08.05.15 FARMAKO - OBAT Antii Tumpah
-
Upload
asa-mutia-sari -
Category
Documents
-
view
226 -
download
7
description
Transcript of 08.05.15 FARMAKO - OBAT Antii Tumpah
OBAT-OBAT ANTI EMETIK,
ANTIDIARE DAN LAKSANSIA
OBAT ANTI TUMPAH
Meskipun nausea dan vomitus dapat disebabkan
oleh berbagai macam kondisi ( antara lain seperti
motion sickness, kehamilan dan hepatitis ) dan
merupakan keadaan yang tidak menyenangkan bagi
pasien, nausea dan vomitus juga dapat disebabkan
oleh penggunaan obat-obat anti kanker yang
membutuhkan suatu tindakan / management yang
efektif. Hampir 70-80% dari semua pasien yang
diberi kemoterapi mengalami mual dan tumpah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi insidens dan
derajat tumpah yang disebabkan oleh kemoterapi
adalah macam dari obat kemoterapi, dosis, cara
pemberian dan skedul pemberian kemoterapi
tersebut, dan juga variable dari penderita ybs.
Emesis tidak saja mempengaruhi kualitas hidup
dari penderita tersebut, tetapi dapat juga
1
mempengaruhi potensi / efektifitas dari pengobatan
anti kanker tadi. Akibatnya vomitus yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi,
metabolik inbalans dan kekurangan nutrient.
A. Mekanisme yang merangsang terjadinya
tumpah.
Dua lokasi di SSP yang memegang peranan
dalam mengontrol tumpah adalah : Chemo reseptor
Triger Zone ( CTZ) yang terletak di area postrema
berada diluar sawar darah otak, sehingga dapat
merespon langsung bila ada rangsangan kemikal
yang berasal dari darah atau cairan cerebro spinal.
Pusat tumpah ke-2 adalah di sebelah lateral dari
formatio retikularis dari medulla yang
mengkoordinasi mekanisme motorik dari tumpah
tadi.
2
B. Mekanisme terjadinya rangsangan tumpah
akibat penggunaan obat-obat kemoterapi.
Obat-obat kemoterapi ( metabolitnya ) dapat
langsung merangsang pusat tumpah CTZ, beberapa
neuroresptor a.l dopamine tipe 2 (D2 reseptor),
serotonin tipe 3 (5-HT3) yang memegang peranan
penting. Sering kali bau / aroma dari obat kemoterapi
pada saat diberikan oleh dokter atau perawat di
ruangan akan menstimuli pusat tumpah dan
merangsang terjadinya emesis. Obat-obat kemoterapi
juga dapat mempunyai efek perifer dengan cara
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel-sel GI
sehingga menyebabkan dilepaskannya serotonin dari
sel enterochromafin mukosa usus halus. Serotonin
yang dilepaskan tersebut akan mengaktifkan serat-
serat afferen vagal dan splanchnicus, yang akan
menghantarkan signal-sensori tadi ke medulla dan
menyebabkan terjadinya tumpah.
3
C. Obat-obat anti emetik.
Oleh karena begitu kompleksnya mekanisme
emetik, maka obat-obat anti emetik juga ber-macam-
macam dengan bermacam-macam pula efektifitasnya.
Obat antikolinergik terutama antagonis reseptor
muskarinik (scopolamine), dan histamine H1
reseptor antagonis (dimenhydrinate, meclizine dan
cyclizine) sangat cocok digunakan untuk pengobatan
“motion-sickness” namun tidak efektif bila digunakan
untuk tumpah akibat perangsangan CTZ.
Beberapa golongan obat yang digunakan untuk
pengobatan tumpah adalah :
1. Fenothiazin
Obat golongan ini menunjukkan efek anti emetik
terutama prochlorperazine bekerja dengan
menghambat reseptor dopamine.
Obat ini efektif sebagai antiemetik untuk
penggunaan emetogenic-chemoterapeutic derajat
4
ringan sampai sedang seperti Fluorouracil dan
doxorubicin. Meskipun dengan penambahan
dosis akan memperkuat efek antiemetiknya , e.s.
hipotensi dan kelelahan merupakan efek samping
obat yang dose-limiting. E.S. lain berupa gejala
ekstrapiramidal dan sedasi.
2. Benzamide
Yang termasuk golongan ini salah satunya
adalah : metoclopramide : pada dosis yang
tinggi efektif untuk pengobatan tumpah akibat
penggunaan emetogenik kuat seperti Cisplatin.
Efek sampingnya berupa sedasi, diare dan gejala
ekstrapiramidal.
Efek samping ini lebih sering terjadi pada
penderita usia muda.
5
3. Butyrophenon
Haloperidol, droperidol dan domperidone
bekerja dengan jalan menghambat reseptor
dopamine. Obat2 golongan butyrophenon
merupakan antiemetik derajat sedang, tapi pada
dosis tinggi dari haloperidol hampir menyamai
dosis tinggi dari metoclopramide dalam
mencengah emesis yang diakibatkan oleh
penggunaan cisplatin.
4. Benzodiazepine.
Potensi antiemetik dari lorazepam dan
alprazolam adalah rendah. Efek antiemetiknya
mungkin lebih disebabkan o.k. efek sedative dan
efek ansiolitiknya. O.k. efek inilah
benzodiazepine digunakan untuk mengantisipasi
terjadinya muntah.
5. Corticosteroid.
Dexamethazone dan methylprednisolone
digunakan untuk mengatasi muntah akibat
6
penggunaan emetogenik–kemoterapi yang ringan
sampai sedang. Mekanisme antiemetiknya tidak
diketahui, tapi kemungkinan disebabkan o.k.
hambatannya terhadap sintesa prostaglandin.
Obat golongan ini dapat menyebabkan terjadinya
insomnia dan hiperglikaemia pada penderita
diabetes mellitus.
6. Cannabinoid : derivat marijuana a.l.
dronabinol dan nabilone efektif untuk
pengobatan penggunaan obat emetogenik derajat
sedang. Namun obat ini jarang digunakan
sebagai obat anti emetic first-line oleh karena
efek sampingnya yang serius berupa dysphoria,
halusinasi, sedasi, vertigo dan disorientasi.
7. 5-HT3 serotonin reseptor-blokers. Antagonis
reseptor 5 HT3 Ondansetron dan Granisetron
secara selektif menghambat reseptor 5 HT 3 di
perifer ( saraf aferen visceral) dan di otak (CTZ).
Obat-obat ini dapat diberikan secara single dose
7
untuk pengobatan muntah akibat penggunaan
emetogenik-kemoterapeutik derajat ringan
sampai kuat. Penelitian mengatakan bahwa
kedua obat ini dapat mencegah terjadinya emesis
50-60% penderita yang mendapat Cisplatin.
Ondansetron juga digunakan untuk pencegahan
nausea dan vomitus pada penderita
postoperative. Sakit kepala merupakan efek
samping yang sering terjadi. Obat golongan ini
harganya mahal.
8. Kombinasi regimen. Obat anti emetik sering
diberikan dalam bentuk kombinasi untuk
menaikkan efek anti emetiknya atau menurunkan
toksisitas. Corticosteroid pada umumnya
dexamethazone menaikkan efek antiemetik bila
diberikan bersama dosis tinggi metoclopramide,
suatu antagonis 5HT3, fenothiazin,
butyrophenone, cannabinoid atau
benzodiazepine. Antihistamin seperti
8
diphenylhydramine sering dikombinasi dengan
metoclopramide untuk mengurangi efek samping
ekstrapiramidal. Penambahan prochlorperazine
pada canabinoid dapat mengurangi e.s.
dysphoria.
OBAT ANTI DIARE
Meningginya motilitas dari traktus gastro
intestinalis dan penurunan absorbsi dari cairan
merupakan masalah yang besar pada diare. Obat-obat
anti diare meliputi obat yang bekerja dengan
menghambat motilitas usus, adsorben dan obat yang
mempengaruhi transport cairan dan elektrolit.
A. Obat yang menghambat motilitas usus.
Dua macam obat yang digunakan secara luas
untuk mengontrol diare adalah : diphenoxylate dan
9
loperamide. Kedua obat ini merupakan analog dari
meperidine, dan mempunyai efek mirip opioid
terhadap usus. Mengaktifkan reseptor opioid presinap
pada sistim saraf usus untuk menghambat release
acetylcholine sehingga menurunkan peristaltik usus.
Efek sampingnya meliputi : mengantuk, kram perut
dan pusing. Sejak obat-obat ini dapat menyebabkan
terjadinya megakolon, obat-obat ini tidak digunakan
pada anak kecil dan penderita colitis yang berat.
B. Adsorben
Bahan-bahan yang bersifat adsorben seperti
Kaolin, Pectin, methylcellulose, activated
attapulgite dan magnesium alumunium silicate
sangat luas digunakan untuk mengontrol diare
meskipun efektifitasnya belum terdokumentasi secara
trial klinik. Mungkin bahan-bahan ini bekerja dengan
mengadsorbsi toksin dan mikroorganisme intestinal,
atau dengan jalan melindungi/melapisi mukosa
10
intestinal. Obat-obat ini efektifitasnya lebih rendah
dibandingkan dengan obat-obat anti motilitas dan
dapat mempengaruhi absorbsi dari obat-obat lain.
C. Obat yang bekerja mempengaruhi transport
cairan dan elektrolit.
Eksperimental dan observasi klinik menunjukkan
bahwa obat-obat NSAID seperti Aspirin dan
indomethacin efektif untuk mengontrol diare. Efek
anti diare dari obat-obat ini kemungkinan akibat
penghambatannya terhadap sintesa prostaglandin.
Bismuth – subsalysilate ( Pepto-Bismol) digunakan
untuk mengatasi traveler’s diarrhea, menurunkan
sekresi cairan di usus besar yang kemungkinan
disebabkan oleh efek komponen salisilatnya.
11
OBAT-OBAT LAKSANSIA
Laksansia digunakan untuk mempercepat
pergerakan makanan melalui traktus gastro intestinal.
Obat-obat golongan ini dapat diklasifikasikan
berdasar mekanisme kerjanya, yaitu sebagai irritant
atau stimulant dari usus, pembentuk massa faeces dan
pelunak faeces.
A. Irritan dan Stimulant.
Castor oil dipecah didalam usus halus menjadi
asam ricinoleat yang bersifat sangat irritant di dalam
usus dan menyebabkan meningginya peristaltik usus.
Cascara,senna dan aloe mengandung emodin yang
merangsang aktivitas kolon. Onzet dari aktivitasnya
memerlukan waktu 6-8 jam oleh karena emodin
diekskresi kedalam kolon sesudah obat ini diabsorbsi.
Emodin dapat melalui ASI.
Phenolphthalein dan bisacodyl juga merupakan
stimulus kolon yang kuat. Efek sampingnya berupa
12
kram perut, potensial menyebabkan terjadinya atonia
kolon pada penggunaan jangka panjang.
B. Pembentuk Massa Faeces.
Obat golongan ini meliputi koloid hidrofilik
(yang berasal dari serat buah-buahan dan sayuran ).
Bahan ini membentuk gel dalam usus besar yang
menyebabkan terjadinya retensi air dan distensi usus
sehingga menaikkan aktivitas peristaltik. Hal serupa
juga dapat terjadi pada penggunaan agar,
methylcellulose, psyllium seeds,dan bran. Katartik
saline seperti magnesium sulfat dan magnesium
hidroksida merupakan garam yang tidak diserap
yang mengikat air didalam usus secara osmose dan
usus besar mengalami distensi/meregang menaikkan
aktivitas intestinal dan menyebabkan terjadinya
defikasi dalam waktu sekitar 1 jam. Larutan elektrolit
isosmotik yang mengandung polyethylene glycol
13
yang digunakan sebagai larutan untuk lavage kolon
untuk menyiapkan usus guna keperluan prosedur
radiologik atau endoskopi. Lactulose suatu
disakharida semisintetik (fruktosa dan galaktosa)
yang juga mempunyai efek sebagai suatu osmotic-
laxative.
C. Pelunak Faeces.
Bahan yang aktif pada permukaan yang dapat
mengemulsikan sehingga menyebabkan faeces
menjadi lunak sehingga mudah melewati usus. Bahan
obat ini meliputi docusate sodium, mineral oil dan
glycerin suppositoria.
14
15