Post on 13-May-2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saussure dalam Syuropati dan Soebachman (2012:52)
berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang
mengekspresikan ide-ide (gagasan-gagasan), dan oleh
karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan,
huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol
keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda
kemiliteran, dan sebagainya.
Bahasa memiliki hubungan yang sangat penting dengan
sastra. Sastra menurut Kleden (1981) dalam Semi
(2013:59) adalah karya individual yang didasarkan pada
kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi.
Jalan pikiran yang dikemukakan Kleden tersebut dapat
dipahami. Kita dapat membenarkan pendapat itu, bahwa
karya sastra tidak harus merupakan cetak-ulang dari
kenyataan yang ada. Karya sastra seharusnya juga dapat
berupa suatu imajinasi yang menggunakan lingkungan
kemasyarakatan sebagai titik tolak, dalam arti, sastra
boleh jadi berupa interpretasi kehidupan, dan boleh
jadi pula suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan.
Sastra memberikan pengalaman dan mengarahkan dirinya
kepada perasa.
Menurut Abrams dalam buku kritik sastra karya Semi
(2013:7) karya sastra merupakan suatu tiruan atau
penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Sementara itu
kesusastraan, menurut Swingewood dalam Faruk (1994:39),
ternyata merupakan suatu rekonstruksi dunia yang
dilihat dari sudut pandang tertentu, dan apabila
penulis mungkin menyadari tradisi sastranya,
ketidaksadaranlah yang justru menggarap kembali
pengalaman, yang dicampuradukkan dengan nilai-nilainya,
yang memproduk semesta fiksional yang dengannya
sosiologi sastra berurusan.
Sastra terdiri dari banyak hal namun karena penulis
dari kecil suka membaca, khususnya pada saat SMP sering
membaca novel, serta karena program studi yang dipilih
oleh penulis memiliki kaitan dengan bahasa, sastra dan
novel maka dalam skripsi ini penulis sangat tertarik
untuk menyusun sebuah skripsi mengenai novel Jepang
serta novelisnya.
Novel sendiri menurut Sapardi dalam Semi (2013:52)
adalah menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan
menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya.
Dalam skripsi ini novel yang akan dianalisis adalah
dua novel karya Natsume Soseki. Asoo dalam bukunya
Sejarah Kesusastraan Jepang (1983:180) menuliskan bahwa
Natsume Soseki mula-mula dikenal dengan novel berjudul
Wagahai wa Neko de Aru (1905) (Saya adalah Kucing) yang
berbentuk satire di mana Soseki menceritakan tokoh
seekor kucing yang dipelihara oleh seorang guru bahasa
Inggris.
Karya lain yang terkenal adalah novel Kusa Makura
(Bantal Rumput) yang dilukiskan melampaui kefanaan
dunia ini. Selain itu ada juga Botchan (1906), Koofu,
Sanshiro (1908), Sorekara (1909), Mon (1910), Koojin
(1912), Kokoro dan Michi Kusa (1914) serta Meian
(1916). Yang terakhir ini tidak berhasil diselesaikan
Soseki, tetapi sebagian ceritanya telah dimuat secara
bersambung dalam Asahi Shinbun dan dirampungkan oleh
Mizumura Minae. Hasil karya Natsume Soseki banyak
berisikan tentang moral dan pada akhir hidupnya ia
mengarahkan tema dan gaya kesusastraan yang ditulisnya
pada paham sokuten kyoshi (meninggalkan ego dan
menghadapkan diri pada yang lebih tinggi).
Ratnaningsih dalam Jonnie Rasmada Hutabarat
(2007:63) menuliskan bahwa peranan penting Natsume
Soseki adalah usahanya yang secara jelas menekankan
pentingnya kritik kesusastraan yang bersifat ilmiah
serta perlunya mengangkat nilai-nilai estetis yang
melukiskan segi keindahan dan moral manusia dalam karya
sastra. Itulah sebabanya, hampir semua karya Soseki
tidak terlepas dari masalah tersebut.
Walaupun pada masa Restorasi Meiji pengaruh
kebudayaan Barat telah begitu banyak mengubah tata
kehidupan masyarakat Jepang, dalam bidang kesusastraan
pengaruh aliran Romantik yang terdapat dalam banyak
karya kesusastraan zaman terdahulu belum sepenuhnya
hilang. Pada waktu itu pula, berkembang aliran
naturalisme (shizen shugi). Dalam hal itulah terdapat
salah satu kelebihan karya Soseki. Ia menginginkan agar
karya sastra dapat menampilkan secara penuh nilai-nilai
yang berkaitan dengan estetika, moral, keagungan,
keindahan, dan cinta.
Karya Natsume Soseki ada banyak namun yang baru
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia baru Botchan
dan Sanshiro. Maka dari itu penulis hanya membahas
novel karya Natsume Soseki yang berjudul Botchan dan
Sanshiro. Adapun judul skripsi ini adalah “Analisisis
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam novel Botchan dan Sanshiro
Karya Natsume Soseki.”
B. Fokus Penelitian dan Subfokus Penelitian
Fokus penelitian pada skripsi ini adalah sinopsis
novel Botchan dan Sanshiro sedangkan Subfokus
penelitiannya adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik
dari masing-masing kedua novel tersebut.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah kisah Botchan dan Sanshiro?
2. Unsur intrinsik dan ekstrinsik apa yang terdapat
dalam novel Botchan serta Sanshiro?
3. Aliran novel apa yang digunakan Natsume Soseki
dalam membuat novel Sanshiro dan Botchan?
4. Apakah unsur ekstrinsik dalam novel Botchan dan
Sanshiro saling terkait?
5. Bagaimana jenis cerita dalam novel Botchan dan
Sanshiro?
6. Bagaimana ending cerita novel Botchan dan
Sanshiro? Apakah sad-ending atau happy ending?
7. Adakah keterkaitan antara kehidupan penulis dengan
kehidupan tokoh di kedua novel tersebut?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kisah Botchan dan Sanshiro.
2. Untuk mengetahui unsur intrinsik dan ekstrinsik
yang terdapat dalam novel Botchan dan Sanshiro.
3. Untuk mengetahui aliran novel yang digunakan
Natsume Soseki dalam membuat novel Sanshiro dan
Botchan.
4. Untuk mengetahui keterkaitan atau ketidakterkaitan
antara unsur ekstrinsik dalam novel Botchan maupun
Sanshiro.
5. Untuk mengetahui jenis cerita dalam novel Botchan
dan Sanshiro.
6. Untuk mengetahui ending cerita novel Botchan dan
Sanshiro.
7. Untuk mengetahui keterkaitan antara kehidupan
penulis dengan kehidupan tokoh di kedua novel
tersebut.
E. Manfaat Penelitian
1. Bermanfaat bagi penelitian selanjutnya terutama
bagi yang meneliti karya sastra berdasarkan
tinjauan teori strukturalisme genetik.
2. Bermanfaat bagi kesempurnaan kelengkapan
perpustakaan Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang
FKIP UHAMKA.
3. Bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai karya
sastra Jepang serta suasana pendidikan Jepang pada
zaman Meiji.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Konseptual Fokus dan Subfokus Penelitian
1. Pengertian Sastra
Bahasa memiliki hubungan yang sangat penting
dengan sastra. Sastra menurut Kleden (1981) dalam
Semi (2013:59) adalah karya individual yang
didasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan
lewat imajinasi. Jalan pikiran yang dikemukakan
Kleden tersebut dapat dipahami. Kita dapat
membenarkan pendapat itu, bahwa karya sastra tidak
harus merupakan cetak-ulang dari kenyataan yang ada.
Karya sastra seharusnya juga dapat berupa suatu
imajinasi yang menggunakan lingkungan kemasyarakatan
sebagai titik tolak, dalam arti, sastra boleh jadi
berupa interpretasi kehidupan, dan boleh jadi pula
suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan. Sastra
memberikan pengalaman dan mengarahkan dirinya kepada
perasa.
Menurut Semi (2013:37) Sastra adalah karya seni,
karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya
seni yang lain, seperti seni suara, seni lukis, dan
seni pahat. Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu
manusia menyingkapkan rahasia keadaannya, untuk
memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membuka
jalan ke kebenaran. Yang membedakannya dengan seni
yang lain, adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.
Sastra, sebagaimana hasil seni yang lain,
merupakan pencerminan atau representasi kehidupan
nyata. Sastra merupakan tiruan atau pemaduan antara
kenyataan dengan imajinasi pengarang, atau hasil
imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu
kenyataan. Di sisi lain sastra juga bisa
didefinisikan sebagai lembaga sosial yang menggunakan
bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu merupakan
ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.
Sementara itu sastra yang berlaku pada zaman
romantik dalam buku karya Luxemburg et al. (1982:5)
merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, sang seniman
menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses
penciptaan di dalam semesta alam, bahkan
menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu
luapan emosi yang spontan.
Menurut Abrams dalam buku kritik sastra karya
Semi (2013:7) karya sastra merupakan suatu tiruan
atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Selain
itu menurut Semi (2013:10) sastra merupakan suatu
fenomena atau gejala sejarah, yakni sebagai hasil
karya dari seseorang seniman yang datang dari suatu
lingkungan tertentu dengan kebudayaan tertentu yang
tidak lepas dari rangkaian sejarah.
Sementara itu kesusastraan, menurut Swingewood
dalam Faruk (1994:39), ternyata merupakan suatu
rekonstruksi dunia yang dilihat dari sudut pandang
tertentu, dan apabila penulis mungkin menyadari
tradisi sastranya, ketidaksadaranlah yang justru
menggarap kembali pengalaman, yang dicampuradukkan
dengan nilai-nilainya, yang memproduk semesta
fiksional yang dengannya sosiologi sastra berurusan.
Di sisi lain Wellek dan Warren (2014:3)
mendefinisikan sastra sebagai suatu kegiatan kreatif
dari sebuah karya seni. Hal ini didukung oleh Kutha
Ratna (2010:174) yakni karya seni bukan semata-mata
imajinasi, dan tiruan dunia nyata, melainkan sebagai
representasi spesifik yang dikontruksi secara sosial.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah
sebuah karya seni yang dibuat oleh seorang pengarang.
Karya seni tersebut adalah sebuah representasi
kehidupan manusia, imitasi alam semesta. Imitasi
kehidupan manusia ini tidak selamanya sesuai dengan
dunia nyata namun ada beberapa hal yang hanya terjadi
dalam pikiran pengarang.
2. Teori Sastra
Ada banyak teori sastra, bahkan sastra yang
bergabung dengan kajian studi lain pun membuat banyak
teori lainnya. Sastra bisa saling bersinergi dengan
sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah bahkan
kultural. Dari banyaknya teori sastra yang
bersinergi dengan kajian studi lainnya, dalam skripsi
ini penulis menjadikan teori Strukturalisme genetik
sebagai panutan karena untuk menghasilkan unsur
intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah novel maka
teori strukturalisme genetik sangat dibutuhkan.
a. Teori Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah
payung sosiologi sastra. Strukturalisme genetik
lahir dari seorang filsuf dan sosiolog Rumania-
Perancis, Lucien Goldmann atas dasar ilmu sastra
seorang Marxis lain yang terkenal, George Lukacs.
Kemunculannya disebabkan, adanya ketidakpuasan
terhadap pendekatan strukturalisme, yang kajiannya
hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik
tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya
sastra, sehingga karya sastra dianggap lepas dari
konteks sosialnya.
Strukturalisme genetik mencoba untuk
memperbaiki kelemahan pendekatan Strukturalisme,
yaitu dengan memasukkan faktor genetik di dalam
memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik
sering juga disebut strukturalisme historis, yang
menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi
historis. Goldmann bermaksud menjembatani jurang
pemisah antara pendekatan strukturalisme
(intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).
Goldmann menyebut teorinya sebagai
strukturalisme genetik. Artinya, ia percaya bahwa
karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan
tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis,
melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang
terus berlangsung, proses strukturasi dan
destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh
masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan
(Faruk, 1994:12).
Dari sudut pandang sosiologi sastra,
strukturalisme genetik memiliki arti penting,
karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar
penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna
yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas
yang tak dapat dipisah-pisahkan Hakikatnya karya
sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan
sejarah yang turut mengkondisikan penciptaan karya
sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh
faktor luar tersebut.
Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang
lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu
kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang
strukturalis, Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa
struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki
arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih
luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur
menopang totalitasnya (Ratna 2004:122).
Secara definisi strukturalisme genetik adalah
analisis struktur dengan memberikan perhatian
terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti
bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan
perhatian terhadap analisis intrinsik dan
ekstrinsik.
Meskipun demikian, sebagai teori yang telah
teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih
ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak
dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri
atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek
transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep
inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik
pada puncak kejayaannya, sekitar tahun 1980-an
hingga 1990-an (Ibid., hal.123).
Goldmann (1975) percaya pada adanya homologi
antara struktur karya sastra dengan struktur
masyarakat sebab keduanya merupakan produk di
aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1994:15 ;
Teeuw, 2003:127). Oleh karena itulah, Boelhower
(Goldmann, 1981:29 ; Ratna, 2004:124) mensyaratkan
homologi sebagai hubungan antara objek dengan
bahasa sebagai sistem model kedua.
Kelas-kelas sosial adalah kolektivitas yang
menciptakan gaya hidup tertentu, dengan struktur
yang ketat dan koheren. Kelas merupakan salah satu
indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang
dimaksudkan oleh pengarang, sehingga peneliti dapat
memfokuskan perhatiannya semata-mata terhadap
kelompok yang dimaksudkan.
Karya sastra pada gilirannya dapat dipahami
hanya dalam kaitannya dengan kelas yang
menghasilkannya. Pada dasarnya, menurut visi
strukturalisme genetik, kelas yang dimaksudkan
identik dengan kelas pengarang. Kenyataan ini
memiliki implikasi metodologis dalam kaitannya
dengan penelitian sosiologi sastra yang pada
umumnya memandang karya sastra sebagai bagian yang
tak terpisahkan dengan pengarang.
Secara sosiologis, menurut Hauser (1985:139)
dalam Ratna (2004:124) seniman pada dasarnya
ditentukan oleh kelas sosialnya. Sesuai dengan
pandangan Marxis, karya disebut sebagai wakil kelas
sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan
aspirasi kelompoknya. Pengarang adalah subjek yang
hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya
di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan.
Karya sastra diciptakan oleh pengarang. Dengan
demikian karya sastra lebih merupakan duplikasi
fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang.
Semua gagasan pengarang dapat dikatakan sebagai
perwakilan dari kelompok sosial. Pengarang dapat
melepaskan diri dari kelompok asal, tapi pada
akhirnya akan terlibat dalam kelompok lain, begitu
seterusnya.Oleh sebab itu pengkajian terhadap
karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan
pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh.
Penafsiran terhadap karya sastra yang
mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan
sangat berbahaya, karena penafsiran tersebut akan
mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita,
juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang
tersebut dalam kultur sosial tertentu.
Pandangan dunialah yang memicu subjek untuk
mengarang, identifikasi pandangan dunia juga yang
dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu
karya. Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan
dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui
kecendrungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang
mendasari perilaku sosial sehari-hari.
Secara definisi Goldmann (1977:25) menjelaskan
pandangan dunia sebagai ekspresi psike melalui
hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan
lingkungan sosial dan fisik, dan terjadi dalam
priode bersejarah yang panjang. Konsep-konsep yang
mendasari pandangan dunia harus digali melalui dan
di dalam kesadaran kelompok yang bersangkutan
dengan melibatkan indikator sistem kepercayaan,
sejarah intelektual, dan sejarah kebudayaan secara
keseluruhan. (Ratna, 2004:126).
Goldmann juga mengembangkan konsep mengenai
pandangan dunia yang dapat terwujud dalam karya
sastra dan filsafat. Menurutnya, struktur kategoris
yang merupakan kompleks menyeluruh gagasan-gagasan,
aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang
menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota
kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya
dengan kelompok sosial yang lain disebut pandangan
dunia (Goldmann 1977:18 ; 1981:112 ; Faruk,
1994:16).
Pemahaman terhadap karya sastra adalah usaha
memahami perpaduan unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik sehingga mampu membangun adanya
keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun
totalitas bentuk atau totalitas kemaknaan.
Setiap karya sastra yang penting mempunyai
struktur kemaknaan (Structure Significative), karena
menurut Goldmann, struktur kemaknaan itu merupakan
struktur global yang bermakna dan mewakili
pandangan dunia (vision du monde, world vision). Penulis
tidak sebagai individu, tetapi mewakili golongan
(kelas) masyarakat. Kelas masyarakat atau subjek
kolektif adalah kumpulan individu-individu yang
membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya.
Pada gilirannya pandangan dunia itulah yang
menghubungkan karya sastra dengan kehidupan
masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan
sosial masyarakat turut mengkondisikan terciptanya
karya sastra baik dari segi isi atau segi bentuk
dan strukturnya.
Hal ini desebabkan oleh kenyataan bahwa
pandangan dunia itu sendiri oleh strukturalisme
genetik dipandang sebagai produk dari hubungan
antara kelompok sosial yang memilikinya dengan
situasi sosial dan ekonomi pada saat tertentu. Oleh
karena itu, sastra pada dasarnya juga merupakan
kegiatan kebudayaan atau peradaban dari setiap
situasi, masa atau zaman saat sastra itu
dihasilkan. Dengan situasi inilah, tidak dapat
dipungkiri bahwa sastra adalah pemapar unsur-unsur
sosiokultural demi memberi pemahaman nilai-nilai
budaya dari setiap zaman atau perkembangan zaman
itu sendiri.
Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural
tidak bisa dipahami di luar totalitas kehidupan
dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan
itu; seperti halnya kata tidak bisa dipahami di
luar ujaran. Jadi, pada dasarnya sastra juga
mengandung nilai-nilai historis, sosiologis, dan
kultural (unsur ekstrinsik).
Goldmann menyatakan bahwa pandangan dunia ini
disebut sebagai suatu bentuk kesadaran kelompok
kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi
suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif.
Menurut Goldmann, karya sastra, namun demikian,
bukan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang
nyata dan ada, melainkan puncak dalam suatu level
koherensi yang amat tinggi dari kecenderungan-
kecenderungan khusus bagi kelompok tertentu, suatu
kesadaran yang harus dipahami sebagai suatu
realitas dinamik yang diarahkan ke satu bentuk
keseimbangan tertentu (Faruk, 1994:33).
Pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris
yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur
gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat
menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Dengan
demikian, strukturalisme genetik merupakan teori
alternatif untuk menganalisis karya sastra yang
antara historis dan sosiologis dapat dilakukan
secara berkaitan.
Karya sastra harus memiliki kepaduan antara
struktur yang satu dengan yang lain. Unsur luar
maupun unsur dalam sama-sama memiliki arti penting
di dalam membangun karya sastra. Kepaduan dari
kedua unsur tersebut memberi kelengkapan, bahwa
karya sastra tidak hanya dapat dilihat dari dalam
(teks) sastra, melainkan unsur pembentuk dari luar.
Karya sastra berusaha mengungkap persoalan-
persoalan yang dihadapi manusia. Persoalan-
persoalan itu sebagian ada yang terpecahkan dan
sebagian tidak ditemukan jalan keluarnya.
Pada penjelasan konsep fakta kemanusiaan
dikemukakan bahwa terdapat dua fakta, yaitu fakta
individual dan fakta sosial. Fakta individual baru
memiliki arti penting jika ditempatkan dalam
keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan mempunyai arti
karena merupakan respon-respon dari bagian-bagian
yang membangunnya. Konsep “keseluruhan-bagian”
memiliki keterkaitan untuk saling melengkapi dalam
memberi arti dari “keseluruhan” dan “bagian” itu
sendiri.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka
strukturalisme genetik memandang karya sastra tidak
hanya sebagai yang memiliki struktur yang lepas-
lepas, melainkan adanya campur tangan faktor-faktor
lain (faktor sosial) dalam proses penciptaannya.
Karya sastra dipahami sebagai totalitas perpaduan
struktur dalam dan struktur luar.
Dalam penelitian, langkah-langkah yang
dilakukan, di antaranya: a) meneliti unsur-unsur
karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra
dengan totalitas karya sastra, c) meneliti unsur-
unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis
karya sastra, d) hubungan unsur-unsur masyarakat
dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya
sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara
keseluruhan. Strukturalisme genetik melangkah lebih
jauh yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah
inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik
sangat dominan pada periode tertentu, dianggap
sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan
analisis, baik di Barat maupun di Indonesia.
(Ratna, 2004:127).
Jadi, kesimpulannya berdasarkan buku karya
Teeuw (2003:126-127) Goldmann mengemukakan bahwa
setiap karya sastra yang penting mempunyai structure
significative, yang menurut Goldmann bersifat otonom
dan imanen, yang harus digali oleh peneliti
berdasarkan analisis yang cermat. Menurut Goldmann
struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia
(vision du monde) penulis, tidak sebagai individu,
melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya.
Dalam hal ini Goldmann seorang Marxis yang
tipikal; katanya, individu berbicara sebagai juru
bicara kelasnya, ditentukan oleh situasi sosialnya
sebagai manusia, dan situasi itu dalam karya
pengarang yang agung secara optimal dan jelas
terbayang dalam karya seninya. Kemudian atas dasar
analisis vision du monde tersebut si peneliti dapat
membandingkannya dengan data-data dan analisis
keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan.
Dalam arti ini karya sastra dapat dipahami
asalnya dan terjadinya (genetic) dari latar belakang
struktur sosial tertentu. Dengan demikian varian
strukturalis Goldmann disebut strukturalis genetik;
yang menerangkan karya sastra dari homologi,
persesuaiannya dengan struktur sosial. Tetapi dalam
kegiatan peneliti analisis struktur karya secara
imanen memenuhi peranan yang esensial.
3. Jenis-Jenis Sastra
Menurut Buku Pengantar Kesusastraan Jepang karya
Darsimah Mandah, dkk (1992:V) Sastra terbagi
menjadi :
a. Puisi
1) Waka
2) Haikai
3) Haiku
4) Kyoka
5) Sen-Ryu
6) Kayo
7) Kindaishi
b. Prosa
1) Shinwa (Mitologi Jepang)
2) Genji Monogatari
3) Rekishi Monogatari
4) Gunki Monogatari (Hikayat Gunki)
5) Setsuwa Bungaku (Sastra Setsuwa)
6) Zuihitsu Bungaku (Kesusastraan Zuihitsu)
7) Nikki Bungaku (Kesusastraan Catatan Harian)
8) Kiko Bungaku (Kesusastraan Catatan
Perjalanan)
9) Kanbungaku (Kesusastraan Klasik)
10) Otogizoshi
11) Kanazoshi (Buku Bacaan Beraksara Kana)
12) Ukiyozoshi (Bacaan Hiburan)
13) Yomihon
14) Kusazoshi
15) Sharebon
16) Ninjobon
17) Kokkeibon
18) Kindai Shosetsu (Novel Modern)
19) Kritik Sastra (Hyoron)
c. Drama
1) Yokyoku (Noh)
2) Kyogen
3) Ningyo Joruri (Bunraku)
4) Kabuki
4. Pengertian Novel
Dari pembagian sastra yang beraneka ragam,
penulis memilih novel untuk dijadikan skripsi penulis
karena dari semenjak SMP penulis sudah tertarik
membaca novel, novel yang penulis baca saat itu
adalah novel lima sekawan yakni novel petualangan,
novel yang dipinjam oleh temannya kakak penulis dari
SMP N 95. Membaca novel membuat imajinasi lebih
hidup.
Novel sendiri menurut Sapardi dalam Semi
(2013:52), adalah menyusup menembus permukaan
kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia
menghayati masyarakat dengan perasaannya. Menurut
Goldmann dalam Faruk (1994:18) novel adalah cerita
mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai
yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi.
Pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang
problematik.
Menurut Sugihastuti dan Suharto ( 2013:43 ) Novel
tidak sekedar merupakan serangkaian tulisan yang
menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan
struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang
padu. Untuk mengetahui makna-makna atau pikiran
tersebut, karya sastra (novel) harus dianalisis.
Dari definisi yang dikatakan oleh berbagai ahli
tersebut bisa disimpulkan bahwa novel adalah sebuah
kisah yang dibuat oleh seorang pengarang demi
membebaskan imajinasinya dan imainasi pembacanya.
5. Jenis Novel
Sesuai dengan teori Luckacs, Goldmann dalam
Faruk (1994: 18) membagi novel menjadi tiga jenis,
yaitu novel "idealisme abstrak", "romantisme
keputusasaan", dan novel-novel "pendidikan". Novel
jenis pertama disebut "idealisme abstrak" karena dua
hal. Dengan menampilkan tokoh yang masih ingin
bersatu dengan dunia, novel itu masih memperlihatkan
suatu idealisme. Akan tetapi, karena persepsi tokoh
itu tentang dunia bersifat subjektif, didasarkan
pada kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi
abstrak.
Bertentangan dengan novel jenis pertama di atas,
novel jenis kedua menampilkan kesadaran hero yang
terlampau luas. Kesadarannya lebih luas daripada
dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah
dari dunia. Itulah sebabnya, sang hero cenderung
pasif dan cerita berkembang menjadi analisis
psikologis semata-mata. Menurut Luckacs dalam Faruk
(1994:19), kenyataan itulah yang menjadi dasar
perbedaan antara novel jenis yang pertama dengan yang
kedua.
Novel pendidikan berada di antara kedua jenis
tersebut. Dalam novel jenis ketiga ini, sang hero di
satu pihak mempunyai interioritas, tetapi di lain
pihak juga ingin bersatu dengan dunia. Karena ada
interaksi antara dirinya dengan dunia, hero itu
mengalami kegagalan. Karena mempunyai interioritas,
ia menyadari sebab kegagalan itu (Lukacs 1978:136).
Oleh Lukacs novel pendidikan ini disebut sebagai
novel "kematangan yang jantan".
6. Unsur - Unsur dalam Novel
Karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara.
Pertama, menganalisis unsur-unsur yang terkandung
dalam karya sastra. Kedua, menganalisis karya melalui
perbandingannya dengan unsur–unsur diluarnya, yaitu
kebudayaan pada umumnya. Mekanisme tata hubungan
sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya
dengan jumlah unsur dalam karya, sedangkan mekanisme
tata hubungan paradigmatik memberikan pemahaman dalam
kaitannya karya dengan masyarakat yang
menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui
pendekatan intrinsik, sedangkan analisis yang kedua
dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. (Ratna,
2014:79).
a. Unsur Intrinsik
Menurut Pradopo (1995:141) dalam Sugihastuti
dan Suharto (2013:43) Teori strukturalisme
merupakan pendekatan yang menganggap karya sastra
sebagai “makhluk” yang berdiri sendiri. Karya
sastra bersifat otonom, terlepas dari alam
sekitarnya, pembaca, dan bahkan pengarangnya
sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat memahami
sebuah karya sastra (novel), karya sastra (novel)
itulah yang harus dianalisis struktur intrinsiknya.
Unsur-unsur intrinsik menurut Stanton
( 1985:11-36) dalam Sugihastuti dan Suharto
(2013:44) adalah fakta, tema, dan sarana sastra.
Fakta (facts) dalam sebuah cerita rekaan meliputi
alur, latar, tokoh, dan penokohan. Fakta cerita
merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat
dibayangkan peristiwanya dan eksistensinya dalam
sebuah novel. Oleh karena itu, fakta cerita sering
juga disebut struktur faktual (factual structure)
atau derajat faktual (factual level).
Sarana sastra (literary devices) adalah teknik
yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun
detail-detail cerita menjadi pola yang bermakna.
Analisis dalam skripsi ini bersifat objektif
sehingga sarana sastra yang dianalisis adalah
sarana sastra yang besar peranannya dalam
menjelaskan tema dan fakta, misalnya sudut pandang
penceritaan atau pusat pengisahan dan gaya bahasa.
Unsur Intrinsik terdiri dari beberapa macam,
yakni :
1) Tema
Menurut Stanton (1965:21) dalam Sugihastuti
dan Suharto (2013:45), tema adalah makna sebuah
cerita yang secara khusus menerangkan sebagian
besar unsurnya dengan cara yang sederhana.
Menurutnya, tema bersinonim dengan ide utama
(central idea) dan tujuan utama (central
purpose).
2) Tokoh
Sugihastuti dan Suharto dalam bukunya Kritik
Sastra Feminisme , Teori dan Aplikasinya
(2013:50) menuliskan bahwa cerita rekaan pada
dasarnya mengisahkan seseorang atau beberapa
orang yang menjadi tokoh. Yang dimaksud tokoh
cerita adalah individu rekaan yang mengalami
pristiwa atau perlakuan di dalam berbagai
peristiwa cerita (Panuti-Sudjiman, 1991:16).
Jadi, tokoh adalah orangnya. Sebagai subjek yang
menggerakkan peristiwa-peristiwa cerita, tokoh
tentu saja dilengkapi dengan watak atau
karakteristik tertentu.
3) Penokohan
Penokohan atau watak adalah kualitas tokoh
yang meliputi kualitas nalar dan jiwa yang
membedakannya dengan tokoh cerita yang lain
(Panuti-Sudjiman, 1986:80;1991:23). Watak itulah
yang menggerakkan tokoh untuk melakukan perbuatan
tertentu sehingga cerita menjadi hidup. Penyajian
watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran
tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh
cerita disebut penokohan (Jones, 1968:33; Panuti-
Sudjiman, 1986:53; 1991:23; Sugihastuti-Suharto,
2013-50).
4) Latar
Sugihastuti dan Suharto dalam bukunya
(2013:54) menuliskan bahwa latar adalah segala
keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana
terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra
(Panuti–Sudjiman, 1991:44). Fungsi latar,
pertama-tama, adalah memberikan informasi tentang
situasi sebagaimana adanya. Selain itu, ada latar
yang berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin
para tokoh cerita (Panuti-Sudjiman, 1991:46;
Sugihastuti-Suharto, 2013:55).
a) Latar Tempat.
Latar tempat menyaran pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat
dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin
lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan
latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan
sifat dan keadaan geografis tempat yang
bersangkutan.
Diskripsi tempat secara mendetail, spesifik
dan realistis penting untuk memberi kesan
kepada pembaca seolah-olah situasi yang
dilukiskan sungguh-sungguh terjadi di tempat
yang diceritakan itu. (Nurgiyantoro 2005: 227)
b) Latar Waktu.
Latar waktu berhubungan dengan masalah
“kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
dicerikan dalam sebuah karya fiksi. Masalah
“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan
waktu faktual. (Nurgiyantoro 2005: 230)
c) Latar Sosial.
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya sastra. Hal-hal sosial ini
menyangkut tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir,
bersikap dan lain-lain. Di samping itu latar
sosial juga berhubungan dengan status sosial
tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah atau atas.
d) Latar Suasana
Latar suasana mendeskripsikan perasaan yang
sedang bergejolak pada diri tokoh. Dengan
adanya latar suasana, pembaca bisa ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh sang tokoh,
sehingga pembaca bisa mengimajinasikan kisah
itu seperti nyata dan terasa oleh alat panca
indra.
5) Alur
Panuti Sudjiman (1991:28) dalam Sugihastuti
dan Suharto (2013:46) menuliskan bahwa di dalam
sebuah cerita rekaan, peristiwa-peristiwa
disajikan dengan urutan tertentu, peristiwa yang
diurutkan itu membangun tulang punggung cerita,
yaitu alur. Menurut Stanton (1965:14), alur
adalah cerita yang berisi urutan pristiwa, tetapi
setiap pristiwa itu dihubungkan secara kausal.
6) Gaya Bahasa
Gaya bahasa, yaitu cara yang digunakan untuk
menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa
sebagai sasarannya. Gaya bahasa terdapat dalam
segala ragam bahasa karena gaya bahasa adalah
cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu
oleh orang tertentu untuk maksud-maksud tertentu
(Panuti-Sudjiman 1993:13; Sugihastuti-Suharto
2013:56).
Sementara itu, Keraf (1986:113) dalam
Sugihastuti dan Suharto (ibid) mendefinisikan
style atau gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai
bahasa. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan
kata, struktur kalimat, majas dan citraan, pola
rima, dan matra (Panuti-Sudjiman, 1993:13).
7) Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) menyarankan
pada cara sebuah cerita dikisahkan (Nurgiyantoro,
1998:248; Sugihastuti-Suharto 2013:60). Sudut
pandang dipergunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai pristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams,
1981:142). Sudut pandang merupakan sesuatu yang
menyatakan pada masalah teknis, sarana untuk
menyampaikan maksud yang lebih besar daripada
sudut pandang itu sendiri (Nurgiyantoro,
1998:249).
Pencerita atau narrator dapat mengisahkan
cerita orang lain sebagai orang ketiga (metode
diaan). Metode orang ketiga ada dua macam :
metode objektif dan metode romantik-ironik. Dapat
juga narrator menceritakan kisahnya sendiri.
Pusat pengisahan ini disebut metode orang pertama
ada dua macam. Pertama, metode orang pertama
sertaan, narrator menceritakan pengalamannya
sendiri dan menyebut tokoh utama sebagai aku.
Kedua, metode orang pertama tidak sertaan,
narrator sebagai aku menceritakan atau
menyaksikan tokoh utama, baik tokoh utama yang
beraku, maupun yang diceritakan sebagai dia atau
mereka. Aku tidak sertaan berlaku sebagai saksi
terhadap tokoh utama yang dikisahkannya (Pradopo,
1995:75-76).
8) Amanat
Amanat adalah pesan moral yang diberikan
pengarang melalui novel yang ia buat. Amanat
terdapat dua macam yakni tersurat (tertulis di
dalam novel) atau yang tersirat (pembaca harus
mencari tahu sendiri pesan moral yang didapat
setelah membaca novel tersebut.
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada
di luar karya sastra itu sendiri yang ikut
mempengaruhi penciptaan karya sastra. Perhatian
terhadap unsur- unsur ini akan membantu keakuratan
penafsiran isi suatu karya sastra. (Ratna,
2004:51).
Berbicara tentang unsur ekstrinsik berarti kita
berbicara tentang sesuatu di luar karya sastra
yaitu masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Di mana
terjadinya interaksi sosial, proses-proses sosial
dan masalah-masalah sosial antar individu dengan
individu, individu dengan kelompok bahkan
sebaliknya, yang mengadakan hubungan-hubungan
sosial yang dinamis. Unsur ini meliputi :
1) Aspek Sejarah
Aspek ini mengungkapkan kejadian sejarah yang
ada di dalam novel serta dikaitkan dengan sejarah
yang terjadi di dunia nyata. Novel sangat mudah
dimasuki oleh unsur sejarah. Dengan unsur sejarah
pembaca bisa lebih merasakan sejarah tersebut
seakan-akan dirinyalah sang tokoh dalam sejarah
tersebut.
Dengan adanya unsur sejarah, pembaca akan
sadar bahwa setiap manusia memiliki kisah
hidupnya sendiri. Suatu hari manusia akan
meninggal, dan kisah hidupnya akan lenyap
dilupakan oleh keluarga maupun masyarakat di
sekitarnya, namun tidak untuk kisah hidup orang-
orang yang diabadikan dalam sebuah buku, kisah
hidupnya terlukis di rangkaian huruf yang
membentuk gambar bergerak dalam benak pembaca.
2) Aspek Biografi Pengarang
Mengungkapkan biografi sang pengarang novel
tersebut. Dengan mengetahui biografi sang
pengarang, pembaca bisa merasakan bahwa novel
yang dibuat oleh sang pengarang, tidak lepas dari
kehidupan sehari-hari sang pengarang, karena apa
yang ditulis oleh pengarang adalah apa yang sudah
diketahui oleh pengarang.
Karya sastra pada gilirannya identik dengan
riwayat hidup pengarang. Sebagai anggota
masyarakat, pengarang dengan sendirinya lebih
berhasil untuk melukiskan masyarakat di tempat ia
tinggal, lingkungan hidup yang benar-benar
dialaminya secara nyata. Oleh karena itulah,
seperti juga ilmuan dari disiplin yang lain dalam
mengungkapkan gejala-gejala sosial, pengarang
juga dianggap perlu untuk mengadakan semacam
‘penelitian’ yang kemudian secara interpretative
imajinatif diangkat ke dalam karya seni. (Ratna,
2014:56).
Dalam kehidupan praktis sehari-hari,
pengarang memiliki posisi yang tinggi.
Kepengarangan dengan demikian dikaitkan dengan
kualitas rohaniah, seperti intelektualitas dan
emosionalitas, moral dan spiritual, didaktis dan
ideologis, yang pada umumnya diasumsikan sebagai
memiliki ciri-ciri positif.
Pengarang dalam hal ini dianggap memiliki
fungsi ganda, kompetensi dalam merekonstruksi
struktur bahasa sebagai medium, sekaligus
menopang stabilitas struktur sosial. Oleh karena
itulah, pengarang juga disebut sebagai pujangga,
empu dan kawi. Fungsi-fungsi elemental pengarang
seperti di atas mendorong penelitian pada
pemahaman total terhadap subjek. (Ratna,
2014:58).
Analisis tidak terbatas pada karya, melainkan
melangkah lebih jauh pada penelusuran identitas
personal, sebagai biografi. Seperti disinggung di
atas, zaman keemasan studi biografi adalah abad
ke-19. Dikaitkan dengan perkembangannya di Barat,
pengarang ternyata memiliki sejarahnya yang
sangat panjang. Menurut Teeuw (1988:155-169),
pengarang telah dibicarakan sejak abad pertama,
melalui tulisan Longinus, yang menjelaskan
peranan perasaan dalam proses mencipta. Gagasan
ini muncul kembali dan mengalami zaman keemasan
pada abad ke-19, pada abad Romantik. (Ratna,
2014:59).
3) Aspek Sosiologis
Aspek Sosiologis menerangkan tentang
interaksi antar masyarakat, dengan membaca novel
tersebut pembaca akan mempelajari suatu
masyarakat yang tinggal di tempat yang begitu
jauh dari sang pembaca dan di suatu waktu yang
lampau jauh dari masa sang pembaca hidup. Dengan
membacanya pembaca akan mengetahui bagaimana
karakteristik di sebuah masyarakat, serta bisa
membandingkannya apakah masih mirip dengan
kehidupan masyarakat di era masa kini, atau telah
mengalami revolusi.
4) Aspek Politis
Pada aspek politis pembaca akan mengetahui
bagaimana sistem politik pada novel tersebut,
yang tentunya sistem politik ini adalah cerminan
dari kehidupan nyata.
5) Aspek Religiusitas
Pada awal mula, segala sastra adalah
religious. (Mangunwijaya, 11). Aspek Religiusitas
menerangkan mengenai agama serta ritual agama
yang dilakukan oleh masyarakat dalam novel.
Karena novel adalah imitasi kehidupan yakni
seperti sebuah foto yang melukiskan keadaan yang
sebenarnya, maka dengan aspek religiusitas
pembaca akan mengetahui agama yang dianut oleh
suatu Negara dalam novel tersebut yang
mencerminkan kehidupan nyata.
6) Aspek Psikologi
Sebagai dunia dalam kata, karya sastra
memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya,
khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek
kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama
aspek psikologi dalam unsur ekstrinsik suatu
karya sastra, sebab semata-mata dalam diri
manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek
kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. (Ratna,
2014:343)
Teori psikologi yang paling dominan dalam
analisis karya sastra adalah teori Freud (1856-
1939) yang membedakan kepribadian menjadi tiga
macam, yaitu : Id, Ego, dan Super Ego. Isi Id
adalah dorongan-dorongan primitive yang harus
dipuaskan. Id dengan demikian merupakan kenyataan
subjektif primer, dunia batin sebelum individu
memiliki pengalaman tentang dunia luar. Ego
bertugas untuk mengontrol Id, sedangkan Super Ego
berisi kata hati. (Ratna, 2014:63).
Teori Freud dengan demikian tidak terbatas
untuk menganalisis asal usul proses kreatif
seperti diduga sebelumnya. Sama dengan menghadapi
seorang pasien, untuk mengobati penyakitnya,
seorang psikolog tidak melakukannya dengan cara
menguraikan asal-usul penyakitnya, melainkan
dengan cara bercakap-cakap, berdialog, sehingga
terungkap seluruh depresi mentalnya, yaitu
melalui pernyataan-pernyataan ketaksadaran
bahasanya.
Bahasa inilah yang kemudian dianalisis
sehingga menghasilkan kesimpulan dalam
pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam
analisis terhadap karya sastra. Teori Freud
dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala
psikologis di balik gejala bahasa. (Ratna,
2014:345).
Bagi Freud, asas psikologi adalah lawan bawah
sadar, yang disadari secara samar-samar oleh
individu yang bersangkutan. Menurutnya,
ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling
besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.
Freud (Milner, 1992: 32-38) juga menghubungkan
karya sastra dengan mimpi. Sastra dan mimpi
dianggap memberi kepuasan secara tak langsung.
Mimpi seperti tulisan, merupakan sistem tanda
yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda, yaitu
melalui tanda-tanda itu sendiri. Pada saat
menulis, seorang novelis, cerpenis, dramawan, dan
penyair, tidak secara keseluruhan sadar akan apa
yang ditulisnya.
Kebesaran penulis dan dengan demikian hasil
karyanya pada dasarnya terletak dalam kualitas
ketaksadaran tersebut. Karya seni, seperti mimpi,
bukan terjemahan langsung realitas. Oleh karena
itulah, pemahaman terhadap eksistensinya mesti
dilakukan melalui interpretasi. Perbedaannya,
karya sastra terdiri atas bahasa yang bersifat
linear, mimpi terdiri atas tanda-tanda figurative
yang tumpang tindih, campur aduk.
Mimpi dipahami seperti menafsirkan huruf
Hieroglif Mesir, maknanya tidak lahir melalui
unsur-unsur yang terpisah, tetapi melalui sistem
hubungan yang berbeda. Dalam hubungan inilah
dikatakan mimpi lebih dekat hubungannya dengan
seni lukis dan seni pahat. (Ratna, 2014:246).
Jadi, dalam aspek psikologi, perasaan tokoh
diungkapkan dan diselami lebih dalam sehingga
pembaca bisa mengetahui tindakan apa saja yang
dilakukan tokoh, serta pilihan hidup apa saja
yang mereka pilih berdasarkan keadaan psikologis
atau kejiwaan mereka. Setiap takdir yang terjadi
oleh seorang manusia adalah berkat karakter yang
ia miliki.
Dalam novel Botchan, Botchan memiliki sifat
agresi yakni perasaan marah terkait erat dengan
ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus
pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi yang
diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau
objek yang merupakan sumber frustasi. Sementara
itu Ayah Botchan memiliki sifat apatis ketika
melihat anaknya nakal. Apatis adalah bentuk lain
dari reaksi terhadap frustasi, yaitu sikap apatis
dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan
pasrah. (Minderop, 2010: 38)
7) Aspek Antropologi
Dari akar kata anthoropos, berarti manusia.
Jadi, antropologi adalah ilmu tentang manusia.
Diduga pertama kali digunakan oleh Aristoteles.
Dalam perkembangan berikut istilah antropologi
digunakan oleh Hundt dalam bukunya
Anthropologeion (1501), Capella dalam bukunya
L’anthropologia (1533). (Ratna, 2010:582).
Aspek antropologi mengungkapkan kebudayaan,
serta adat istiadat yang diwariskan dari generasi
demi generasi. Terkadang ketika dunia sudah
begitu maju dan modern manusia mulai meninggalkan
adat istiadat mereka yang menurut mereka sudah
tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Namun di
negeri Matahari Terbit, mereka memiliki moto
bahwa walaupun mengikuti perkembangan teknologi
serta kecerdasan seperti di Barat, namun harus
tetap memiliki jiwa orang timur, yakni jiwa yang
memiliki nilai spritualitas.
Bahwa manusia ada, bukan karena dengan
sendirinya, namun pasti ada yang menciptakan
seperti seorang manusia yang menciptakan sebuah
robot. Dengan adanya aspek antropologi, pembaca
bisa mengetahui apa saja kebudayaan yang ada di
dalam novel tersebut sehingga bisa menambah
wawasan pembaca.
8) Aspek Ekonomi
Mengungkapkan mengenai keadaan keuangan yang
dialami suatu negara atau tokoh dalam novel.
Apakah tokoh atau negara dalam novel tersebut
memiliki kelebihan uang atau justru kekurangan
uang.
9) Aspek Filsafat
Aspek filsafat mengupas ideologi yang
terkandung di dalam novel, aspek filsafat ini
bisa berupa pola pikir maupun prinsip yang
dimiliki sang tokoh.
Filsafat adalah studi tentang seluruh
fenomena kehidupan, dan pemikiran manusia secara
kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar.
Etika atau filsafat moral, membahas tentang
bagaimana seharusnya manusia bertindak, dan
mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar
tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang
dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran,
tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil Penelitian yang hampir mirip dengan judul
skripsi penulis adalah karya Arlisya Firana dengan
judul “Analisis Pengaruh Keluarga Terhadap Tokoh
Botchan dalam Novel Botchan Karya Natsume Soseki”.
Selain itu Siti Khodijah juga telah menyusun skripsi
dengan judul “Analisis Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik
Cerpen Mai Barentain De- (My Valentine Day) Karya Atoda
Takashi”.
Pada skripsi karya Siti Khodijah yang berjudul
“Analisis Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik Cerpen Mai
Barentain De- (My Valentine Day) Karya Atoda Takashi”, membahas
mengenai sinopsis dan definisi unsur intrinsik serta
ekstrinsik serta kandungan unsur intrinsik dan
ekstrinsik pada cerpen Mai Barentain De- (My Valentine Day)
karya Atoda Takashi.
Sedangkan pada skripsi “Analisis Pengaruh Keluarga
Terhadap Tokoh Botchan dalam Novel Botchan Karya
Natsume Soseki” karya Arlisya Firana berisikan mengenai
Teori Penokohan, Teori Psikoanalisis Sosial, Teori
Agresi, Teori Keluarga , Konsep Keluarga Jepang
Tradisional (Ie), Analisis Pengaruh Ayah Terhadap Tokoh
Botchan, Timbulnya Kecemasan Dasar (Basic Anxiety) pada
Tokoh Botchan, Analisis Pengaruh Ibu Terhadap Tokoh
Botchan, Kecemasan Dasar (Basic Anxiety) pada Tokoh
Botchan, dan Analisis Pengaruh Tokoh Kiyo (Pengasuh)
Terhadap Tokoh Botchan.
Dari kedua skripsi tersebut, penulis memiliki bahan
acuan untuk menyusun skripsi penulis. Setelah melihat
dan mempelajari susunan skripsi dari dua skripsi
tersebut maka dalam bab II penulis menulis teori
strukturalisme genetik, teori tersebut menjelaskan
bahwa untuk memahami dan menganalisis makna suatu karya
sastra maka penulis harus menyusun unsur intrinsik dan
ekstrinsik dari karya sasta tersebut.
Kemudian penulis juga menjelaskan mengenai unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Dalam Bab IV penulis menulis
mengenai biografi Natsume Soseki, sinopsis Botchan dan
Sanshiro serta menyusun unsure intrinsik dan ekstrinsik
dari kedua novel tersebut dan dalam pembahasan penulis
akan menawab pertanyan penelitian dalam skripsi ini.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Skripsi ini dilaksanakan pada akhir bulan Februari
sampai akhir Juni 2015. Bertempat di kamar kerja
penulis, Perpustakan The Japan Foundation serta
Perpustakaan UHAMKA, Jakarta Timur.
Tabel 1 Jadwal Aktivitas PenelitianNo
.
Waktu Tempat Kegiatan
1. 17 Februari
2015
Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku Metode
Penelitian
Pendidikan
khususnya di bagian
kualitatif karya
Prof. Dr. Sugiyono
2. 18 Februari
2015
Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku
Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah
(Skripsi)
3. 19-20
Februari
2015
Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku Teori
Kesusastraan karya
Rene Wellek dan
Austin Warren
4. 24 Februari
2015
Perpustakaan
The Japan
Foundation
Meminjam buku
biografi Natsume
Soseki dan
memfotocopynya
5. 25 Februari
2015
Terminal
Senen
Membeli buku
mengenai sastra 7
buah
6. 26 Februari Perpustakaan Meminjam dan
2015 The Japan
Foundation
mefotocopy novel
Sanshiro dan buku
Dari Botchan sampai
Kalong Taman
Firdaus karya
Jonnie Rasmada
Hutabarat
7. 27 Februari
2015
Kamar Kerja
Penulis
Menyusun Bab 2 dan
3
8. 28 Februari
2015
Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku 7
Teori Sastra
Kontemporer dan 17
Tokohnya karya
Mohammad A.
Syuropati dan
Agustina
Soebachman, serta
ditulis ke dalam
skripsi mengenai
definisi bahasa,
sastra atau novel
serta teori,
pendekatan, teknik
dan metode
penelitian sastra.
9. 1 Maret 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun Bab 2 dan
3
10
.
2 Maret 2015 Perpustakaan
FKIP UHAMKA
Membaca buku Sastra
dan Cultural
Studies
Representasi Fiksi
dan Fakta karya
Prof. Dr. Nyoman
Kutha Ratna, S.U.,
serta ditulis ke
dalam skripsi
mengenai definisi
bahasa, sastra atau
novel serta teori,
pendekatan, teknik
dan metode
penelitian sastra.
11
.
3 Maret 2015 Perpustakaan
The Japan
Foundation
Memperbaiki
penulisan Bab 1
12
.
4 Maret 2015 Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku Kritik
Sastra karya Atar
Semi serta ditulis
ke dalam skripsi
mengenai definisi
bahasa, sastra atau
novel serta teori,
pendekatan, teknik
dan metode
penelitian sastra.
13
.
11 Maret
2015
Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku Dari
Botchan Sampai
Kalong Taman
Firdaus
14 12 Maret Perpustakaan Menyusun biografi
. 2015 The Japan
Foundation
Natsume Soseki pada
Bab IV dan Menyusun
sinopsis Botchan
15
.
13 Maret
2015
Kamar Kerja
Penulis
Menyusun sinopsis
Botchan
16
.
14 Maret
2015
Kamar Kerja
Penulis
Menyusun unsur
Intrinsik novel
Botchan
17
.
15 Maret
2015
Kamar Kerja
Penulis
Menyusun unsur
Intrinsik novel
Botchan
18
.
16 Maret
2015
Kamar Kerja
Penulis
Menyusun sinopsis
Sanshiro
19
.
17 Maret
2015
Perpustakaan
The Japan
Foundation
Membaca buku Teori
Apresiasi Sastra
karya Dra.
Sugihastuti, M.S.,
serta ditulis ke
dalam skripsi
mengenai definisi
bahasa, sastra atau
novel serta teori,
pendekatan, teknik
dan metode
penelitian sastra.
20
.
19 Maret2015
Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku
Pengantar Sosiologi
Sastra karya Faruk,
serta ditulis ke
dalam skripsi
mengenai definisi
bahasa, sastra atau
novel serta teori,
pendekatan, teknik
dan metode
penelitian sastra
21
.
20 Maret2015
Kamar Kerja Membaca buku Kritik
Sastra Feminis
Penulis Teori dan
Aplikasinya karya
Sugihastuti dan
Suharto, serta
ditulis ke dalam
skripsi mengenai
definisi bahasa,
sastra atau novel
serta teori,
pendekatan, teknik
dan metode
penelitian sastra.
22
.
24 Maret2015
Kamar Kerja
Penulis
Merevisi Bab 1
23
.
25 Maret2015
Kamar Kerja
Penulis
Merevisi Bab 2 dan3
24
.
26 Maret2015
Kamar Kerja
Penulis
Merevisi Bab 3 dan4
25 31 Maret2015
Perpustakaan Meminjam dan
. The Japan
Foundation
memfotocopy buku
Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian
Sastra karya Prof.
Dr. Nyoman Kutha
Ratna, S.U dan
Metode Penelitian
Sastra Analisis
Psikologi karya
Siswantoro.
26
.
2 April 2015 Perpustakaan
The Japan
Foundation
Meminjam dan
memfotocopy buku
Sastra dan Ilmu
Sastra karya A.
Teeuw dan Pengantar
Ilmu Sastra karya
Jan Van Luxemburg
dkk.
27
.
4-5 Maret2015
Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku Teori,
Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra,
serta ditulis ke
dalam skripsi
mengenai definisi
bahasa, sastra atau
novel serta teori,
pendekatan, teknik
dan metode
penelitian sastra.
28
.
8 April 2015 Kamar Kerja
Penulis
Membaca buku
Pengantar Ilmu
Sastra, serta
ditulis ke dalam
skripsi mengenai
definisi bahasa,
sastra atau novel
serta teori,
pendekatan, teknik
dan metode
penelitian sastra.
29
.
9 April 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menuliskan Teori
Strukturalisme
Genetik dari buku
Sastra dan Ilmu
Sastra ke dalam
skripsi
30
.
10 April2015
Kamar Kerja
Penulis
Merapihkan Bab 2dan 3
31
.
11 April2015
Kamar Kerja
Penulis
Membuat unsur
intrinsik novel
Sanshiro
32
.
20 April2015
Kamar Kerja
Penulis
Menambahkan unsur
intrinsik novel
Sanshiro
33
.
21 April2015
Kamar Kerja
Penulis
Menambahkan unsur
intrinsik novel
Sanshiro
34
.
23 Mei 2015 Kamar Kerja
Penulis
Merevisi bab I,II,
dan III
35
.
24 Mei 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun bab IV.
36
.
25 Mei 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun Bab IV
37
.
28 Mei 2015 Kamar Kerja
Penulis
Merapihkan Bab I,
II, dan III
38
.
29 Mei 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun Bab IV
39 30 Mei 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun Unsur
Intrinsik novel
Botchan
40
.
31 Mei 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun Unsur
Intrinsik novel
Botchan
41
.
1 Juni 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun unsur
ekstrinsik dalam
novel Botchan
42 2 Juni 2015 Kamar Kerja Menyusun unsur
. Penulis ekstrinsik dalam
novel Botchan
43
.
3 Juni 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun unsur
eksrinsik dalam
novel Sanshiro
44
.
4 Juni 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun unsur
eksrinsik dalam
novel Sanshiro
45
.
5 Juni 2015 Kamar Kerja
Penulis
Menyusun Pembahasan
dan Bab V
46
.
6 Juni 2015 Kamar Kerja
Penulis
Mengetik Halaman
Persetujuan,
Halaman Pengesahan,
Pernyataan, Kata
Pengantar, Daftar
Isi, Daftar Riwayat
Hidup, Daftar
Pustaka
47
.
7 Juni 2015 Kamar Kerja
Penulis
Membaca lang
Skripsi yang telah
dibuat, dan
mengoreksi tulisan
yang salah ketik.
48
.
14 Juni 2015 Kamar Kerja
Penulis
Memperbaiki format
penulisan skripsi.
49
.
15 Juni 2015 Kamar Kerja
Penulis
Memperbaiki format
penulisan skripsi
dan membuat
sinopsis serta
abstrak skripsi.
50 13 Juli 2015 Perpustakaan
The Japan
Foundation
Mengumpulkan
lampiran yakni
berupa satu lembar
novel Botchan dan
Sanshiro serta
kronologi kehidupan
Natsume Soseki.
B. Latar Penelitian
Penyusunan skripsi ini dilaksanakan di perpustakaan
The Japan Foundation dan terkadang di Perpustakaan FKIP
UHAMKA. Karena penulis sudah mengumpulkan data dengan
cara membeli buku mengenai sastra di terminal Senen
serta meminjam dan memfotocopy buku dari perpustakaan
The Japan Foundation maka penulis terkadang melakukan
penyusunan skripsi di rumah dengan membaca, memilah dan
memilih teori serta definisi yang akan dituliskan ke
dalam skripsi, sehingga dapat mengurangi biaya
transportasi menuju perpustakaan. Penulis menyusun
skripsi ini dimulai dari akhir Februari, agar memiliki
banyak waktu untuk membaca buku dan menyusun skripsi.
C. Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
pendekatan objektif. Pendekatan objektif dengan
demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-
unsur, yang dikenal dengan unsur intrinsik. Dalam
fiksi, misalnya, yang dicari adalah unsur-unsur plot,
tokoh, latar, kejadian, sudut pandang, dan sebagainya.
Melalui pendekatan objektif, unsur-unsur intrinsik
karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin.
Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga
disebut analisis otonomi, analisis ergosentris,
pembacaan mikroskopi. Pemahaman dipusatkan pada
analisis terhadap unsur-unsur dalam mempertimbangkan
keterjalinan antarunsur di satu pihak, dan unsur-unsur
dengan totalitas di pihak yang lain. (Ratna, 2004:73-
74).
Dalam penelitian sastra terdiri dari berbagai macam
metode. Karena skripsi ini mengenai unsur intrinsik
serta ekstrinsik terhadap karya sastra khususnya novel,
maka penulis memilih metode formal yang sangat sesuai
untuk menyusun unsur intrinsik serta ekstrinsik pada
karya sastra khususnya novel.
Metode formal adalah analisis dengan
mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk
yang mengarah pada unsur-unsur karya sastra. Tujuan
metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra
dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap
artistik. Metode formal tidak bisa dilepaskan dengan
teori strukturalisme. Esensi metode formal, yaitu
unsur-unsur itu sendiri adalah esensi teori
strukturalisme tersebut. Secara historis metode formal
dapat ditelusuri dengan adanya perhatian pada sastra
sebagai ergon/karya (Ratna, 2004:49-50).
Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis
terhadap unsur-unsur karya sastra kemudian
mempertalikan hubungan antarunsur tersebut dengan
totalitasnya. Metode ini sama dengan metode struktural
yang berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode
formal memandang bahwa keseluruhan aktivitas kultural
memiliki dan terdiri atas unsur-unsur.(Ibid., hal.50).
Unsur-unsur dibedakan menjadi unsur–unsur ekstrinsik
dan intrinsik.
Unsur-unsur ekstrinsik dibicarakan dalam kaitannya
dengan sistem sosiokultural yang lebih luas , unsur-
unsur yang kedua dalam kaitannya dengan karya sastra
sebagai totalitas. Unsur-unsur ekstrinsik novel,
misalnya analisis dalam kaitannya dengan antropologi,
ekonomi, politik, biografi, filsafat, sosiologis,
psikologis, sejarah, dan agama.
Pembicaraan ini juga meliputi masalah-masalah yang
berkaitan dengan pengarang, semestaan tertentu,
pembaca, dan penerbit. Unsur-unsur intrinsik novel,
misalnya tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang,
gaya bahasa, amanat dan sebagainya. (Ibid., hal. 51)
D. Data dan Sumber Data
Pada skripsi ini data yang dikumpulkan berupa
definisi bahasa, sastra, novel serta biografi Natsume
Soseki dan dua novel karya Natsume Soseki yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sumber-sumber
data primer dalam skripsi ini yakni novel karya Natsume
Soseki yakni Sanshiro dan Botchan dalam bahasa
Indonesia dan buku Sejarah Kesusastraan Jepang karangan
Isoji Asoo.
Sedangkan sumber-sumber data sekunder dalam skripsi
ini yakni Dari Botchan sampai Kalong Taman Firdaus
karya Jonnie Rasmada Hutabarat dkk, Buku Pengantar
Sosiologi Sastra karya Faruk, Teori Kesusastraan karya
Rene Wellek dan Austin Warren, Kritik Sastra karya Atar
Semi, 7 Teori Sastra Kontemporer dan 17 Tokohnya karya
Mohammad A. Syuropati dan Agustina Soebachman, Sastra
dan Cultural Studie Representasi Fiksi dan Fakta karya
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Kritik Sastra
Feminis Teori dan aplikasinya karya Sugihastuti dan
Suharto, Teori Apresiasi Sastra karya Dra. Sugihastuti,
M.S,. Sastra dan Ilmu Sastra karya A. Teeuw, Pengantar
Ilmu Sastra karya Jan Van Luxemburg dkk, Teori, Metode,
dan Teknik Penelitian Sastra karya Prof. Dr. Nyoman
Kutha Ratna, S.U, Metode Penelitian Sastra : Analisis
Psikologi karya Siswantoro.
Dalam memberikan penjelasan mengenai unsur
intrinsik dan ekstrinsik maka penulis menggunakan buku
Kritik Sastra Feminis Teori dan aplikasinya karya
Sugihastuti dan Suharto. Untuk menjelaskan teori
Strukturalisme Genetik yang membahas mengenai unsur
intrinsik serta ekstrinsik penulis menggunakan buku
pengantar Sosiologi Sastra, Teori Teknik Metode
Penelitian Sastra, serta Sastra dan Ilmu Sastra sebagai
sumbernya.
Untuk mengetahui mengenai biografi Natsume Soseki
maka penulis mengambil sumber dari dokumen elektronik
yakni bersumber dari Wikipedia. Sedangkan novel
Botchan, penulis jadikan sumber untuk menyusun unsur
intrinsik serta ekstrinsiknya. Sinopsis novel Sanshiro
dan Botchan bersumber dari buku karya Jonnie Rasmada
Hutabarat yang berjudul “Dari Botchan sampai Kalong
Taman Firdaus.”
Sementara itu unsur intrinsik maupun ekstrinsik
novel Sanshiro bersumber dari novel Sanshiro. Sumber
data sekunder yang telah disebutkan sebelumnya juga
sangat membantu dalam menyumbangkan definisi bahasa,
sastra dan novel.
E. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data perlu dilakukan dengan
tujuan agar mendapatkan data – data yang valid dalam
penelitian. Dalam skripsi ini peneliti menggunakan
metode studi kepustakaan yakni suatu teknik pengumpulan
data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen -
dokumen, baik dokumen tertulis maupun elektronik.
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-
karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk
tulisan misalnya catatan harian, novel, sejarah
kehidupan (life histories), ceritera, biografi, dan
foto sedangkan dokumen elektronik yakni dengan
memanfaatkan teknologi informasi yang sudah berkembang
pada awal abad ke-21 ini. (Sugiyono, 2012:329).
Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam
pengumpulan data:
1. Penulis mencari data yang membantu penulisan skripsi
ini ke perpustakaan-perpustakaan, membeli buku,
mencari buku, maupun novel yang terkait mengenai
judul skripsi, serta bisa juga bersumber dari
internet.
2. Meminjam buku yang membantu penulisan skripsi dari
perpustakaan.
3. Serta memfoto copynya.
4. Membeli buku-buku yang dibutuhkan untuk penyusunan
skripsi.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan
sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan,
dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution
(1988) menyatakan “Analisis telah dimulai sejak
merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke
lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil
penelitian.
Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian
selanjutnya sampai “teori grounded”. Namun dalam
penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan
selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan
data (Sugiyono, 2012:336).
1. Analisis yang dilakukan Sebelum di Lapangan
Penelitian kualitatif telah melakukan analisis
data sebelum penulis memasuki lapangan. Analisis
dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau
data skunder, yang akan digunakan untuk menentukan
fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini
masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah
penulis masuk dan selama di lapangan. Dalam analisis
sebelum di lapangan, penulis membaca buku-buku yang
terkait mengenai judul skripsi penulis. Misalnya
buku-buku mengenai sastra sehingga penulis bisa
mengumpulkan definisi bahasa, sastra dan novel untuk
dituliskan di bab I, subbab latar belakang dan bab
II.
2. Analisis Selama di Lapangan Model Miles dan
Huberman
Analisis data dalam penelitian kualitatif,
dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan
setelah selesai pengumpulan data dalam periode
tertentu.
Miles and Huberman (1984) mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara terus menerus sampai jenuh. Aktifitas dalam
analisis data, yaitu data reduction, data display dan
conclusion drawing/verification (Sugiyono, 2012:337).
a. Data Reduction (Reduksi Data)
Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup
banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan
rinci. Seperti telah dikemukakan, makin lama
peneliti di lapangan, maka jumlah data akan makin
banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera
dilakukan analisis data melalui reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal
yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting,
dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak
perlu.
Dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas, dan
memepermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan
data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan
elektronik seperti komputer mini, dengan memberikan
kode-kode pada aspek-aspek tertentu (Sugiyono,
2012:338).
Setelah penulis membaca buku-buku mengenai
sastra, penulis mendapatkan banyak definisi sastra,
bahasa, dan novel. Dalam tahap reduksi, penulis
memilih definisi yang cocok untuk dimasukkan ke
dalam bab I dan II.
b. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya
adalah mendisplaykan data. Penulis memasukkan
definisi bahasa, sastra, dan novel ke dalam latar
belakang. Dari hasil analisis sebelum dilakukan di
lapangan, penulis juga mendapatkan metode, teori
dan teknik penelitian sastra yang segera penulis
masukkan ke dalam bab II dan bab III. Selain itu
dari buku Kritik Sastra Feminis Teori dan
Aplikasinya karya Sugihastuti dan Suharto, penulis
mendapatkan data mengenai unsur intrinsik dan dari
buku Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U penulis
mendapatkan aspek-aspek yang terdapat dalam unsur
Ekstrinsik, selanjutnya penulis masukkan ke dalam
bab II.
Dari dokumen digital yakni wikipedia penulis
mendapatkan data mengenai biografi Natsume Soseki
yang bisa diletakkan di Bab IV, dan untuk membuat
sinopsis novel Botchan dan Sanshiro, penulis
menulisnya dari buku karya Jonnie Rasmada Hutabarat
yang berjudul “Dari Botchan sampai Kalong Taman
Firdaus.”
c. Conclusion Drawing/ Verification
Langkah ketiga dalam analisis data kulitatif
menurut Miles and Huberman adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan berubah
bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
Tetapi apabila pada kesimpulan data yang
dikemukakan di tahap awal didukung kembali oleh
bukti-bukti yang valid dan konsisten saat penulis
kembali ke lapangan saat mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan
yang kredibel (Sugiyono, 2012:345).
Pada tahap Conslusing Drawing, penulis membuat
unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel Botchan
dan Sanshiro. Dan dalam sub bab pembahasan pada bab
4, penulis melakukan analisis mengenai jenis cerita
pada Botchan dan Sanshiro apakah jenis cerita
mengenai cinta atau kehidupan masyarakat, analisis
mengenai ending cerita apakah sad ending atau happy
ending, serta menganalisis adakah keterkaitan
antara kehidupan penulis dan kehidupan tokoh di
kedua novel.
G. Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk memeriksa keabsahan data maka penulis
menggunakan triangulasi teori. Dalam teknik pengumpulan
data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik
pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila
penulis melakukan pengumpulan data dengan triangulasi,
maka sebenarnya penulis mengumpulkan data yang
sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek
kredebilitas data dengan berbagai sumber data
(Sugiyono, 2012:330).
Menurut Siswantoro dalam bukunya Metode Penelitian
Sastra : Analisis Psikologi (2005:76) teknik
triangulasi terdiri dari triangulasi data, triangulasi
metode, triangulasi teori dan triangulasi peneliti.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik
triangulasi teori. Triangulasi teori yaitu penggabungan
teori yang fungsinya untuk mendapatkan data yang absah,
valid dan kredibel.
Dalam triangulasi teori, peneliti dapat pula
memanfaatkan teknik triangulasi teori, yaitu dengan
cara menggunakan teori lain seperti sosiologi,
antropologi, budaya, dan sebagainya. (Ibid., hal. 78).
Teori yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini
adalah teori strukturalisme genetik, yakni menganalisis
karya sastra dengan menyusun unsur intrinsik dan
ekstrinsiknya.
Sedangkan untuk mendapatkan data yang absah, valid
dan kredibel maka penulis akan menggabungkan dengan
teori lain misal seperti biografi, politik, ekonomi,
religiusitas, sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah
atau psikologi. Agar pembahasan tidak melebar maka,
hanya kesembilan hal yang ada di unsur ekstrinsik hanya
dibahas sepintas dalam Bab IV yakni pada subbab temuan
penelitian.
Dalam hal triangulasi, Susan Stainback (1988)
menyatakan bahwa tujuan dari triangulasi bukan untuk
mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi
lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa
yang telah ditemukan. Selanjutnya Bogdan dalam Sugiyono
(2012:330) menyatakan bahwa tujuan penelitian
kualitatif memang bukan semata-mata mencari kebenaran,
tetapi lebih pada pemahaman subyek terhadap dunia
sekitarnya.
Selanjutnya Mathison (1988) mengemukakan bahwa
nilai dari teknik pengumpulan data dengan trianggulasi
adalah untuk memproleh data yang konsisten, tuntas dan
pasti (Sugiyono, 2012:332).
1. Validitas dan Reliabilitas
Validitas dan reliabilitas diperlukan untuk
menjaga kesahihan dan keabsahan data agar hasil
penelitian dapat diterima dan dipertanggungjawabkan.
Dalam penelitian ini digunakan validitas semantik.
Validitas semantik mengukur keabsahan data
berdasarkan tingkat kesensitifan suatu teknik
terhadap makna yang relevan dengan konteks yang
dianalisa.
Validitas semantik merupakan cara mengamati
kemungkinan data mengandung wujud dan karakteristik
tema sebuah Roman. Penafsiran terhadap data tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan konteks data itu
berada. Selain itu, data yang diperoleh
dikonsultasikan kepada ahli (expert judgement) dalam hal
ini adalah Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II.
Reliabilitas data yang digunakan dalam penulisan
ini adalah reliabilitas intrarater dan reliabilitas
interrater. Reliabilitas intrarater dilakukan dengan cara
membaca dan meneliti secara berulang-ulang novel
Sanshiro dan Botchan karya Natsume Soseki agar
diperoleh data dengan hasil yang tetap. Reliabilitas
interrater dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil
penulisan dengan pengamat, baik dosen pembimbing
maupun teman sejawat yang mengetahui bidang yang
diteliti.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Latar Penelitian
1. Sinopsis Novel Botchan
Botchan adalah sosok laki-laki yang mengalami
banyak hal dalam kehidupan pribadinya. Semenjak
kanak-kanak, ia tak pernah lepas dari ‘masalah’,
sehingga membuat dirinya dianggap anak berandalan
yang tak punya masa depan.
Baik ayah, ibu maupun kakaknya bahkan masyarakat
sekitar, tak pernah ada yang menyukai maupun memahami
semua tingkah lakunya. Hanya seorang wanita tua,
pelayan keluarga mereka, yang menyayangi dirinya
serta mampu melihat bahwa dibalik semua ‘keributan &
masalah’ yang diperbuat – yang ada hanyalah sosok
manusia yang jujur, apa adanya, sifatnya yang tak
suka berpura-pura serta bertindak secara spontan
inilah yang justru sering membuatnya menghadapi
masalah.
Sejalan dengan waktu, bocah tersebut tumbuh
menjadi pria dewasa, jauh dari keluarganya yang
‘membuangnya’. Hingga saat terakhir berbekal sebagian
warisan keluarga yang diberikan kakaknya, dia
memutuskan secara spontan menerima tawaran pekerjaan
sebagai guru di daerah pelosok.
Kiyo, sang mantan pelayan yang dianggapnya
sebagai satu-satunya kerabat yang mengasihinya,
mengantar ‘kepergiaan-nya’ dengan pesan agar berhati-
hati dalam menjaga tingkah-lakunya yang suka tanpa
‘tedeng aling-aling’ alias blak-blakan dan berusaha
beradaptasi di daerah baru yang akan dituju.
Kedatangan dirinya sebagai guru baru dari kota
besar (Tokyo ) ke daerah yang dianggap lebih
terpencil, membuat dirinya sedikit memandang remeh
akan kehidupan di daerah tersebut. Dan semenjak
kakinya menginjak daerah baru tersebut, berbagai
masalah menyangkut tata karma, status sosial,
peraturan menjadi sumber konflik melibatkan dirinya
dalam masalah yang akan merubah kehidupannya di masa
mendatang.
Kejujuran serta kepolosan dan sifatnya yang blak-
blakan bertolak belakang dengan sebagian besar orang
yang dijumpainya. Mulai dari Kepala Sekolah, guru-
guru, para murid hingga pemilik rumah tempatnya
menginap. Maka hanya dalam beberapa hari, dia sudah
mendapat ‘masalah’ dengan adanya penipuan, pencemaran
nama baik, hingga perkelahian, semua hal yang
menyebabkan dirinya semakin lama semakin muak dengan
kemunafikan serta kepura-puraan yang terjadi di
sekelilingnya.
Apalagi saat dia melihat bahwa salah satu
rekannya yang menjadi korban justru tidak mampu
bertindak guna membela dirinya sendiri yang dijebak
dalam masalah. Maka sosok Botchan akhirnya harus
mengambil keputusan serta tindakan yang sesuai dengan
kata hatinya.
2. Sinopsis Novel Sanshiro
Novel Sanshiro menceritakan suka duka kehidupan
seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Tokyo
yang bernama Ogawa Sanshiro. Pemuda yang berasal dari
daerah Kumamoto, sebuah desa pedalaman yang belum
terpengaruh oleh masuknya kebudayaan asing itu,
digambarkan begitu lugu dan polos.
Sosok pribadi Sanshiro yang polos itu mula-mula
tampak pada saat ia harus menginap dengan seorang
wanita yang baru dikenalnya dalam kereta, di tengah
perjalanan menuju Tokyo untuk melanjutkan kuliahnya.
Ia juga berkenalan dengan seorang lelaki berkumis.
Belakangan diketahui lelaki itu bernama Hirota
Sensei, seorang guru senior yang hidup membujang.
Setelah kuliah berjalan, dan Sanshiro resmi
menjadi mahasiswa, ia berkenalan dengan sesama
mahasiswa bernama Yojiro. Tokoh inilah yang banyak
mempengaruhi Sanshiro dalam menghadapi kehidupan
dunia kemahasiswaan. Sasaki Yojiro pula yang
mempertemukan kembali Sanshiro dengan Hirota Sensei,
lelaki berkumis yang dijumpainya di dalam perjalanan
kereta api.
Sebelum itu, Sanshiro telah mendatangi seorang
dosen lain dari perguruan tinggi itu yang bernama
Nonomiya Sohachi , seorang tokoh ilmuan sejati sepupu
tetangganya Sanshiro di Kumamoto. Melalui tokoh yang
digambarkan menghabiskan sebagian hidupnya di ruang
penelitian itu, Sanshiro berkenalan dengan adik
Nonomiya bernama Yoshiko.
Suatu saat, ketika diminta untuk membantu
membersihkan rumah kontrakan baru milik Hirota dan
Yojiro, Sanshiro secara kebetulan berkenalan dengan
seorang gadis bernama Satomi Mineko yang digambarkan
begitu menikmati kehidupan modern, sebelumnya pernah
pula berjumpa dengan Sanshiro.
Sanshiro dalam pandangan pertama begitu terpesona
oleh gaya hidup modern Mineko, semakin tertarik
kepada gadis itu setelah perkenalannya di rumah
Hirota. Sejak pristiwa tersebut, persahabatan antara
Sanshiro dan Mineko terus berlanjut. Hal itulah yang
pada akhirnya telah menumbuhkan perasaan cinta dalam
diri Sanshiro.
Dalam pada itu, hubungan Sanshiro dengan Mineko,
Yojiro, Hirota, Nonomiya, maupun Yoshiko, juga
berkembang layaknya persahabatan, walaupun Sanshiro
mempunyai kesan lain terhadap Mineko. Tidak jarang
mereka pergi bersama atau menonton pertunjukan drama.
Hal itulah yang membuat hubungan persahabatan mereka
makin erat.
Cinta Sanshiro kepada Mineko rupanya semakin
mendalam walaupun sahabatnya sering mengingatkan
bahwa Mineko bukanlah gadis yang cocok buat Sanshiro.
Menurut pandangan Yojiro, Mineko “terlalu” modern
untuk ukuran lelaki seperti Sanshiro. Oleh karena
itu, tidaklah tepat jika Sanshiro berhasrat
memperistri gadis yang bergaya hidup modern itu.
Sebaliknya, Mineko sendiri tampaknya memberi hati
kepada Sanshiro. Dan sesungguhnya, ia juga menaruh
hati walaupun tidak jarang ia harus bersikap munafik
dalam menghadapi Sanshiro. Setelah berbagai peristiwa
dilalui, seperti kasus pemakaian uang Sanshiro oleh
Yojiro dalam taruhan pacuan kuda yang kemudian
memaksa Sanshiro meminjam uang kepada Mineko. Atau
kasus penerbitan karangan Hirota Sensei oleh Yajiro
yang menggunakan nama Sanshiro, akhirnya sampai pada
berita yang baginya amat penting, yaitu bahwa Mineko
akan melangsungkan pernikahan.
Untunglah, Yajiro, betapapun sering membuat
Sanshiro jengkel, dapat membawa Sanshiro untuk hidup
lebih realistik. Yang penting adalah bagaimana
kehidupan mahasiswa benar-benar dapat dinikmati tanpa
harus membuat diri sendiri tersiksa. Begitulah,
akhirnya Sanshiro menyadari keadaan dirinya. Ia
kembali sibuk dengan urusan kampus bersama Yojiro,
Hirota, atau Nonomiya.
B. Temuan Penelitian
1. Unsur Intrinsik Novel “Botchan”
a. Tema
Kisah hidup Botchan dari semenjak anak-anak
sampai saat menjadi guru di Sekolah Menengah
Matsuyama. Botchan adalah anak tidak bisa diam yang
selalu membuat ulah. Karena selalu membuat masalah
orang tuanya sudah tidak tahu lagi bagaimana harus
menanggapi ulah Botchan. Hanya Kiyo, sang Pembantu
lah yang menyayangi Botchan. Botchan pun tumbuh
dewasa dan memiliki sifat mudah marah, agresif
namun masih memegang kejujuran dan keadilan,
menurutnya uang dan jabatan bukanlah segalanya.
b. Tokoh
1) Botchan
2) Kantaro
3) Ibu Botchan
4) Ayah Botchan
5) Kakak Botchan
6) Kiyo
7) Pelayan di Penginapan Yamashiroya
8) Kepala Sekolah
9) Guru Kanji
10) Koga, Guru Bahasa Inggris (Si Labu)
11) Hotta, Guru Matematika (Si Landak)
12) Pemilik Rumah yang Disewa Botchan
13) Murid-Murid Botchan
14) Yoshikawa, Guru Seni (Si Badut)
15) Kepala Guru (Si Kemeja Merah)
16) Keponakan Laki-Laki Kiyo
17) Penjaga Sekolah
18) Nenek Hagino
19) Madonna
20) Guru Olahraga
c. Penokohan
1) Karakter Botchan
a) Ceroboh
(1) Sejak kecil kecerobohan alamiku selalu
memberiku masalah. Hal 11. 親親親親親親親親親親親親親
親親親親親親親親親親。(親親、1972:7)
(2) Pernah suatu ketika saat aku masih di
Sekolah Dasar, aku melompat dari jendela
di lantai dua dan akibatnya tidak bisa
berjalan selama seminggu. Beberapa
diantara kalian mungkin bertanya – tanya
kenapa aku melakukan hal sembrono itu. Hal
11. 親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親 親親親親親親親親親親親親親親親親一。
b) Mudah Dihasut
(1) “Kau Cuma bisa omong besar, tapi pasti
kau tidak berani melompat. Huu! Pengecut!”
Kata teman Botchan lalu tepat saat itu
juga Botchan langsung terjun dari lantai
dua. Hal 11.
(2) “Pisaunya pasti tidak tajam.” Kata teman
Botchan.
“Apa maksudmu, tidak tajam? Pisau ini
bisa memotong apa pun,” Kata Botchan
sesumbar.
“Kalau begitu potong jarimu.” Tantang
teman Botchan. Dan bodohnya Botchan benar-
benar memotong jarinya sendiri. Hal 12.
(3) Setelah Si Kemeja Merah mengatakan “
Biarpun beberapa orang tampak ramah,
berhati terbuka, dan beberapa yang lain
mengundangmu ke rumah mereka dan memberimu
atap berteduh dan tempat tinggal, kau
jarang akan bisa, kalaupun memang ada
kesempatan, melepas kewaspadaan.”
Dari perkataan Si Kemeja Merah yang
berbelit-belit, Botchan langsung menarik
kesimpulan bahwa Hotta menyuruh murid-
murid untuk mengganggu Botchan karena
Hotta merasa jabatannya sebagai guru
Matematika terancam karena ada guru
Matematika baru. Hal 91.
c) Nekad
(1) Pernah suatu ketika saat aku masih di
Sekolah Dasar, aku melompat dari jendela
di lantai dua dan akibatnya tidak bisa
berjalan selama seminggu. Hal 11.
d) Tidak Mau Kalah
(1) Aku pun menjawab “Lain kali akan
kutunjukkan, aku tak takut sama
sekali.”Hal 11.
(2) Hotta masih sekali-kali melemparkan
pandangan tajam ke arahku, dan karena
tidak mau kalah, kubalas dengan tatapan
yang sama. Hal 105
e) Nakal
(1) Misalnya aku pernah merusak kebun wortel
mosaku bersama sahabat lama Kane, yang
bekerja di tukang kayu setempat dan Koku
anak tukang ikan. Hal 13.
f) Bodoh
(1) Sumur ini sumber tempat air mengalir
masuk dan keluar ke sawah di sekitarnya.
Air mengalir melalui bambu tebal yang
ditanam cukup dalam di tanah, setelah
sendi-sendi bambunya dicongkel supaya bisa
berfungsi seperti tabung bolong. Waktu itu
aku tidak tahu apa fungsi saluran
tersebut, jadi kusumbat dengan batang
pohon dan batu. Setelah memastikan aliran
air terhenti, aku pulang, dan tepat saat
makan, Furukawa datang berteriak-teriak
dengan wajah semerah bit. Hal 14.
(2) “Apa maksudmu, tidak tajam? Pisau ini
bisa memotong apapun,” jawabku,
menyanggupi tantangan. “Baiklah, kalau
begitu coba potong jarimu,” dia menuntut,
“jari? Hah! Kalau hanya jari, gampang
sekali memotong.” Sambil berkata begitu,
aku membeset miring bagian belakang ibu
jari tangan kananku. Untungnya, pisau itu
kecil dan tulangku keras, jadi aku masih
punya ibu jari, tapi bekas lukanya, seumur
hidup akan tetap di sana. Hal 12.
g) Tidak Bisa Diam
(1) Botchan berjungkir balik di dapur dan
menabrakkan tulang rusuknya dengan keras
ke sudut kompor masak. Hal 14.
h) Tidak Peka
(1) Botchan tidak peka karena tidak
menyadari Ibunya sedang sakit keras. Hal
14.
i) Pundung
(1) Ibu Botchan marah luar biasa dan berkata
tidak akan pernah mau lagi melihat wajah
Botchan, karena pundung akhirnya Botchan
pergi untuk tinggal bersama kerabat
keluarganya. Hal 14. Dan ternyata Sang Ibu
memang tidak akan melihat wajah Botchan
lagi karena Sang Ibu meninggal dunia. Hal
14
j) Berpikiran Pendek
(1) Aku sangat kesal sehingga aku
melemparkan biji catur yang kupegang ke
kepalanya. Biji catur itu mengenai kakakku
di antara kedua mata, merobek kulit
dahinya, darah pun menetes keluar. Hal 15.
k) Sombong
(1) “Kalau tidak sulit? Kan ya? Bahasa macam
apa itu? Kalau terlalu cepat, aku akan
memperlambat bicaraku. Tapi aku dari Tokyo
dan aku tidak bisa berbicara dengan
dialekmu, jadi kalau kau tidak bisa
memahami aksenku, kau hanya harus menunggu
sampai kau terbiasa.” Kata Botchan. Hal 45
l) Pemarah
(1) Aku marah besar sehingga menampar
wajahnya, hal ini membawaku pada masalah
besar. Hal 15.
(2) “Kalau tidak sulit? Kan ya? Bahasa macam
apa itu? Kalau terlalu cepat, aku akan
memperlambat bicaraku. Tapi aku dari Tokyo
dan aku tidak bisa berbicara dengan
dialekmu, jadi kalau kau tidak bisa
memahami aksenku, kau hanya harus menunggu
sampai kau terbiasa.” Kata Botchan saat
memarahi muridnya. Hal 45.
(3) Aku kembali ke ruang guru dengan penuh
emosi. Anak – anak sialan! Hal 45.
(4) Aku marah sehingga sebagai ucapan
perpisahan, aku berkata, “Benar, saya
sedang tugas malam. Itulah sebabnya saya
akan kembali ke sekolah sekarang untuk
menginap di sana.” Hal 61.
(5) Tapi kini setelah mereka muncul dan
tampak dengan jelas mereka hanyalah
belalang, emosiku berubah menjadi rasa
marah. Hal 63.
(6) “Apa maksudmu, apa yang terjadi?”
bentakku, “Memangnya kau pernah dengar ada
orang yang memasukkan belalang ke futon-
nya? Tolol!” Hal 64.
(7) Aku begitu marah sehingga bertanya
“Apakah bertemu Madonna juga rekreasi
spiritual?” Hal 116
(8) Aku tidak terlalu memahami apa yang
dikatakan si Badut, tapi entah kenapa aku
merasa marah sehingga aku berdiri tanpa
benar-benar merencanakan apa yang akan
kuucapkan. Hal 110
(9) Seluruh kemarahan yang aku tahan sejak
tadi meledak dan aku berkata, “Kalau ini
perundingan Cina-Jepang, maka kau pihak
musuh.” Bersamaan dengan ini, aku pun
mengetok keras kepalanya dengan tinjuku.
Hal 174
(10) Tapi aku begitu marah sehingga
memukulnya dengan telur-telur itu sebelum
menyadari tindakanku sendiri. Hal 213
m)Pemberani
(1) Meskipun begitu, aku tidak pernah merasa
takut pada ayahku. Hal 15.
(2) Aku memutuskan bila keadaan sudah tidak
memungkinkan bagiku di sekolah ini, aku
akan pergi ke tempat lain, jadi aku sama
sekali tidak takut pada si Tanuki maupun
si Kemeja Merah. Hal 49.
(3) Selama sekitar satu jam, aku terlibat
dalam pertengkaran dengan lima puluh orang
di antara murid-murid itu. Hal 74.
(4) Selama saya jujur, saya tidak takut
orang mengambil keuntungan dari diri saya.
Hal 90
(5) Aku takkan membiarkan orang bicara bahwa
aku tidak berani datang ke sekolah gara-
gara artikel itu. Hal 196
n) Mempunyai Rasa Peduli
(1) Aku pulang sambil berpikir kalau saja
tahu Ibu sakit keras, aku bakal bersikap
lebih patuh. Hal 14.
o) Pasrah
(1) Sudah lama aku pasrah pada kenyataan
bahwa aku tidak akan pernah menjadi orang
yang disukai, jadi aku sudah tidak ambil
pusing bila mereka memperlakukanku seperti
kotoran. Hal 16.
p) Pencuriga
(1) Justru perbuatan baik Kiyo-lah yang
membuatku curiga. Hal 16
(2) Pelayan di penginapan Yamashiroya
membawa baki dan menyajikan makanan, dia
terus menerus tersenyum menyebalkan.
Seolah aku orang aneh di sirkus. Hal 32.
Botchan mencurigai senyuman pelayan itu
dan mengartikan senyuman itu adalah
senyuman mengejek padahal siapa tahu,
senyuman itu hanyalah senyuman formalitas
yang biasa dilakukan pelayan penginapan
kepada semua pengunjungnya.
(3) Aku curiga perasaanku padanya telah
menyebar ke setiap wanita tua yang
kutemui. Hal 118
q) Terima Apa Adanya
(1) Selain daripada itu, aku sama sekali
tidak mencemaskan apapun, meski memang
mengesalkan betapa ayah tidak pernah
memberiku uang saku. Hal 20.
r) Polos
(1) Tidak ada hal lain yang terlalu
kuinginkan, aku puas dengan keadaan itu
dan mengira begitulah kehidupan. Hal 20.
s) Mandiri
(1) Jadi, daripada menyembah dan mengais –
ngais amal setengah hati dari kakakku, aku
berniat menjaga diriku sendiri, meski aku
berarti harus bekerja mengantarkan susu.
Hal 21.
t) Bertindak Hati – Hati
(1) Aku berbaring ditempat tidur sambil
berpikir akan kupakai untuk apa uang 600
yen ini. Membuka usaha akan terlalu
merepotkan dan akan sulit bagiku
menyukseskannya. Lagi pula, kemungkinan
membuat usaha yang cukup kuat hanya dengan
500 yen sangatlah kecil. Hal 23.
u) Pembosan
(1) Aku terutama tidak mau menjumpai kembali
bahasa /sastra. Aku tidak pernah bisa
memahami satupun dari 20 baris puisi –
puisi modern yang meniru bentuk dan
pemikiran barat itu. Hal 23.
v) Pencela
(1) Aku menyerahkan kartu berkunjungku,
kemudian dipandu ke kantor Kepala Sekolah.
Sang Kepala Sekolah mengingatkanku akan
tanuki (sejenis rakun) dengan kumis tipis
dan mengembang disamping wajahnya, kulit
hitam dan mata besarnya. Hal 32.
(2) Selanjutnya aku bertemu guru Bahasa
Inggris yang namanya kalau tidak salah
Koga. Rona kulitnya sungguh
mengkhawatirkan. Orang yang memiliki rona
kulit pucat kekuningan seperti dia
kebanyakkan kurus, namun orang ini gemuk.
Sejak saat itu, aku selalu menganggap
semua orang berkulit pucat dan berwajah
gemuk pasti pemakan labu mentah. Hal 36.
(3) Semua murid di sekolah ini idiot
pembual. Hal 45.
(4) “Wah, kalau kau juga orang Edo, aku jadi
menyesal berasal dari sana,” Kata Botchan
kepada guru seni tapi dalam hati. Hal 37.
(5) Hotta bertubuh tegap dengan rambut
berpotongan cepak berdiri seperti duri
pada permukaan kacang kastanye, dan wajah
seperti salah satu biksu tentara kuil
Eizan yang selalu memulai pembrontakan di
akhir era Heian. Aku langsung menamainya
“Si Landak” detik itu juga. Hal 37.
(6) Kepala Guru adalah serjana sastra,
seharusnya ia pria terhormat. Anehnya
suaranya agak feminim. Ia juga selalu
memakai flannel merah di udara sepanas
ini. Kemeja merahnya terasa konyol.
Katanya karena ia memiliki penyakit
sehingga memakai warna merah. Menurutku
kecemasannya berlebihan. Karena kalau
ucapannya memang benar, mengapa dia tidak
sekalian saja mengenakan mantel dan celana
merah? Hal 36.
w) Tahu Diri
(1) Aku menyadari diriku tidak memiliki
kemampuan untuk mendominasi mereka hanya
dengan lidah. Hal 44.
x) Rendah Diri
(1) Rasanya ingin memprotes cara para guru
yang menatapku seakan sedang melihat
makhluk aneh. Hal 35.
(2) Wajahku memang tidak tampan, tapi
penting bagiku. Hal 196
y) Rendah Hati
(1) Botchan langsung mengatakan pada Kiyo
bahwa dirinya tidak suka pujian. Hal 16.
z) Acuh
(1) Aku benar – benar tidak peduli pada efek
kesalahan – kesalahanku itu di mata para
murid serta bagaimana reaksi si Kepala
Sekolah dan Kepala Guru saat
mengetahuinya. Hal 49
(2) Aku sama sekali tidak tahu apa maksud
mereka dengan “Turner”, tapi karena
berpikir tanpa pengetahuan itu pun aku
bisa bertahan hidup, aku tetap diam. Hal
79
(3) Aku tidak peduli apakah itu Madonna atau
celana. Dia bisa meletakkan apapun
sesukanya di batu itu. Hal 80
aa)
Teguh
(1) Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya
aku memang bukan orang bernyali baja, tapi
di lain pihak aku orang yang teguh pada
keputusan. Hal 49.
(2) Aku bertekad kalau tidak menang malam
ini, aku akan menang besok; dan kalau
tidak menang besok, aku akan menang hari
berikutnya; kalaupun tidak begitu, aku
akan meminta makanan dikirim ke sini dan
menunggu sampai akhirnya aku menang. Hal
72.
(3) Botchan dan Kemeja Merah berdebat
panjang lebar, Kemeja Merah begitu pandai
berargumen, tapi Botchan sudah menetapkan
hati untuk menolak kenaikan gaji walaupun
Kemeja Merah begitu pintar berargumen,
tapi kata-kata hanyalah kata-kata. Dan
kata-kata tidak sepenuhnya tulus dan
murni. Jadi Botchan tetap menolak karena
Botchan merasakan ketidakmurnian dalam
kata-kata Kemeja Merah. Hal 154.
bb) Penggugup
(1) Pembawaanku yang selalu gelisah dan
penggugup membuat diriku tidak mampu
tidur nyenyak bila aku tidak tidur
ditempat tidurku dan dengan perlengkapan
tidurku sendiri. Hal 59.
(2) Setiap kali tiba saatnya untuk bicara di
muka umum, mulutku serasa dipenuhi cairan
empedu, tenggorokanku tersumbat bongkahan
besar, kemudian tidak ada kata yang
keluar. Hal 161.
cc) Sabar
(1) Namun bila kondisi ini termasuk yang di
haruskan demi 40 yen sebulan, tak ada
pikiran lain kecuali bersabar. Hal59.
(2) Tapi aku bersabar, karena kupikir
berhubung semua orang mematuhi peraturan
itu tanpa mengeluh, tidak akan pantas
bagiku si orang baru untuk membuat
keributan. Hal 46.
(3) Aku memutuskan untuk bersabar menerima
kedatangan si pemilik rumah dan tingkahnya
yang selalu meminum tehku, tentu saja jika
tidak lebih dari itu, tapi dia mulai
datang sambil membawa berbagai macam benda
untuk dijual padaku. Hal 49.
(4) Akhirnya kami tetap duduk menunggu,
berusaha bersabar, hingga pukul lima pagi.
Hal 212
dd) Jujur
(1) Saat memberitahu si penjaga sekolah aku
akan kembali dalam waktu singkat, dia
bertanya apakah ada suatu urusan yang
harus kupenuhi? Aku menjawab, tidak, aku
bukan pergi untuk suatu urusan, aku hanya
akan pergi ke pemandian air panas. Hal 60.
(2) Aku juga melakukan beberapa kejailan
saat di sekolah menengah, tapi ketika para
guru bertanya siapa yang bertanggung
jawab, selayaknya lelaki aku selalu
mengakuinya. Hal 66.
ee) Tanggung Jawab
(1) Semua kelasku untuk hari itu telah
berakhir namun aku belum bisa pulang. Aku
harus menunggu sendirian di sekolah hingga
pukul tiga, aku harus memeriksa kelas –
kelas yang menjadi tanggung jawabku
setelah mereka melapor bahwa pembersihan
sudah selesai. Seusai itu aku harus
memeriksa daftar kehadiran kemudian aku
akan terbebas. Hal 46.
(2) “Tidak, terima kasih,” jawabku, “Sama
sekali saya tidak merasa lelah. Selama ada
nafas dalam tubuh, saya tidak akan cemas
meski keributan seperti ini terjadi setiap
malam. Lagi pula, kalaupun saya terlalu
lelah untuk mengajar akibat tidak tidur
semalam, saya akan mengembalikan gaji 1
hari ke sekolah. Hal 74.
(3) Sambil menggaruk kasar muka, aku berkata
seberapapun bengkaknya wajah saya, mulut
masih bisa bicara. Jadi, tidak ada alasan
untuk tidak mengajar. Hal 75.
ff) Tegas
(1) Saat pemilik rumah yang disewa Botchan
selalu datang untuk memaksa Botchan
membeli barang antik yang ia jual. Botchan
dengan tegas menolaknya. Hal 50.
gg) Enerjik
(1) Dari kecil Botchan sangat energic, ia
memiliki tenaga yang berlebihan, sehingga
dari kecil ia selalu membuat ulah yang
membahayakan dirinya sendiri. Bahkan saat
tidur ia harus melemparkan dirinya ke
futon sekeras yang ia bisa, karena ia
tidak bisa teristirahatkan tanpa melakukan
hal itu terlebih dahulu.
Bahkan ulahnya yang membuat kegaduhan
seperti ini sangat mengganggu orang lain
yakni mahasiswa fakultas hukum yang tidur
di bawah kamarnya Botchan. Karena ia
mahasiswa hukum, ia pun pintar berdebat.
Karena ulah Botchan, saat akan tidurpun
Botchan harus meladeni perdebatan dengan
mahasiswa hukum mengenai kebiasaan Botchan
saat akan tidur. Hal 63.
hh) Berpikiran Negatif
(1) Dari awal Botchan menginjakkan kakinya
di Shikoku, ia selalu berpikiran buruk.
Semua hal yang ia lihat terlihat begitu
buruk. Nelayan, pelayan penginapan,
pemilik rumah sewa, Kepala Sekolah, murid-
murid, guru-guru, kota kecil yang seluruh
pemandangan di kota yang bisa dinikmati
semuanya hanya dalam satu jam. Semuanya
terlihat begitu buruk sampai pada akhirnya
semua hal memang menjadi buruk persis
seperti ia pikirkan.
(2) “Kepala Sekolah memuji semangatku.
Sebenarnya aku curiga itu bukan pujian.
Kurasa dia menertawakanku.” Pikir Botchan.
Hal 75.
(3) “Mau ikut pergi memancing?” Tanya si
Kemeja Merah. Cara bicaranya begitu halus
sampai aku merasa jengah mendengarnya. Hal
76.
(4) “Aku menceritakan kegiatan memancingku
waktu dulu ke si Kemeja Merah, tapi dia
hanya memajukan dagunya dan menyuarakan
tawa yang dibuat-buat. “Tak diragukan,
sejenis orang yang biasa tertawa tidak
tulus.” Pikir Botchan. Hal 77.
Padahal siapa tahu memang seperti itu
suara dan cara tertawanya si Kemeja Merah
dari ia kecil. Semua orang kan memiliki
suara dan cara tertawa yang berbeda-beda.
Botchan terlalu berprasangka buruk,
padahal jika ia melihat segala sesuatunya
dengan sisi positif, semua hal terlihat
begitu indah dan membahagiakan seperti
bunga-bunga yang dihinggapi kupu-kupu di
taman.
(5) Si Kemeja Merah tampak semangat untuk
mengajari Botchan memancing. Tapi Botchan
tidak tertarik diajari, menurutnya
memancing dan berburu adalah perbuatan
kejam, yakni mengambil nyawa makhluk
hidup. Hal 77. Menurut penulis, pikiran
ini juga terlalu negatif. Hewan buruan dan
ikan yang dipancing tidak dibunuh untuk
bersenang-senang tapi bisa untuk dimakan
atau dijadikan pupuk, dan itu bukan
perbuatan kejam, hal itu adalah rantai
makanan. Manusia bukanlah vegetarian yang
selalu puas hanya dengan memakan sayuran.
Bahkan sayuran pun makhluk hidup, dan
kehidupannya juga harus direnggut untuk
dimakan oleh manusia, jadi takdir tumbuhan
sama saja dengan binatang buruan.
(6) “Kosuzu- kau ingat? geisha itu- masuk ke
Kadoya sekitar pukul setengah delapan
tadi.” Kata Hotta.
“Dengan Kemeja Merah?” Tanya Botchan
“Tidak.” Jawab Hotta.
“Kalau begitu tidak ada artinya.” Kata
Botchan.
(7) Tampaknya malam ini pun akan berakhir
tanpa keberuntungan di pihak kami. Hal 209
ii) Terus Terang
(1) Aku bilang kepada sang Kepala Sekolah
aku tidak akan bisa memenuhi semua
harapannya, dan akan mengembalikan
sertifikat perjanjian tugas yang tadi
diberikan kepadaku. Hal 34.
jj) Spontan
(1) Dalam memilih keputusan hidup terkadang
Botchan memutuskan secara spontan,
misalnya saat Kepala Sekolah mengajaknya
bekerja di Sekolah Menengah Shikoku, ia
langsung menerimanya walaupun sebenarnya
tidak ingin menjadi guru tapi karena tidak
memiliki bayangan lain selain menjadi guru
akhirnya ia menerimanya. Hal 24.
(2) Saat memilih antara melanjutkan studi
atau melakukan bisnis kecil-kecilan.
Botchan memilih melanjutkan studi karena
tidak tahu harus bisnis apa dan takut
gagal, serta karena saat melintasi Sekolah
Ilmu Alam Tokyo dan melihat pengumuman
penerimaan siswa baru, Botchan merasa
sepertinya ia ditakdirkan belajar di
Sekolah itu. Hal 23.
kk) Memiliki Ingatan yang Kuat
(1) Karena sudah pernah naik rikshaw ke
sekolah, aku sudah bisa membayangkan letak
sekolah itu. Hal 32.
ll) Idealis
(1) Biarpun aku tidak punya ongkos pulang
yang cukup, lebih baik menolak daripada
hidup dalam kebohongan. Hal 34.
(2) Bila aku menyetujui sesuatu, aku bahkan
tidak akan bermimpi bakal menjilat kembali
ludahku. Hal 99
mm) Egois
(1) “’Kalau tidak sulit?’? ‘Kan ya’? Bahasa
macam apa itu? Kalau terlalu cepat, aku
akan memperlambat bicaraku. Tapi aku dari
Tokyo dan aku tidak bisa bicara memahami
aksenku, kau hanya harus menunggu sampai
kau terbiasa.” Hal 45.
nn) Gaya - Gayaan
(1) Kena kalian ! Aku mulai menggunakan
aksen kasar dan tinggi daerah kota Tokyo.
Hal 44.
oo) Pantang Menyerah
(1) Namun aku tidak berniat dikalahkan. Hal
72.
pp) Kuat
(1) Kugerakkan tangan meraba kakiku yang
sakit, terasa licin. Mungkin kakiku
berdarah. Biarlah berdarah! Hal 73
(2) Aku bahkan tidak merasa dalam kondisi
mampu membaca koran, tapi karena berpikir
aku bukan lelaki lemah yang akan
membiarkan diriku dikalahkan rasa sakit
remeh, aku memaksa diri untuk berguling ke
samping. Hal 194
qq) Ksatria
(1) Mau mengakui kesalahan yang dilakukan.
Hal ini dibuktikan pada pengakuan Botchan
saat rapat sekolah “Memang benar saya
pergi ke tempat pemandian air panas waktu
tugas malam. Saya memang bersalah. Maafkan
saya.” Hal 113.
rr)Tahan Godaan
(1) Saat melewati toko dango, sebenarnya
Botchan ingin memakannya, namun karena
dilarang Kepala Sekolah, dan menyadari
kota ini begitu kecil bahkan satu
rahasiapun tak akan ada yang bisa
menyembunyikannya, akhirnya Botchan tidak
masuk ke toko itu. Hal 136
ss)Setia Kawan
(1) Menolak dinaikkan gaji karena Botchan
tahu gajinya dinaikkan berkat kepindahan
Koga ke sekolah di Nobeoka serta Hotta
akan dipecat sehingga Botchan bisa
menjabat menjadi kepala bagian Matematika.
Hal 151
tt) Sinis
(1) Menurut Botchan, rangkaian-rangkaian
bunga hasil karya ikebana hanyalah omong
kosong. Siapapun yang gemar memandangi
tanaman ataupun bambu yang sekadar
dipuntir-puntir, sama saja dengan bangga
memiliki kekasih berpunuk atau suami
lemah. Hal 187.
2) Karakter Kantaro
a) Berani
(1) Kantaro sering memanjat pagar pembatas
dan mencuri kacang-kacang kastanye
Botchan. Saat tertangkap basah ia menubruk
dan menyeruduk Botchan dengan ujung
kepalanya yang rata, kepalanya melesat
masuk ke lengan kimono Botchan. Hal 12-13.
3) Karakter Ibu Botchan
a) Cuek
(1) “Anak itu begitu kasar dan berandalan ,
entah mau jadi apa nantinya.” Hal 14.
b) Pilih Kasih
(1) .... ibuku pun selalu lebih menyanyangi
kakak laki-lakiku. Hal 14.
c) Tanggung Jawab
(1) Saat Botchan menangkap Kantaro yang
mencuri kacang kastanye nya dan mereka
bergulat sehingga menyisakan sedikit luka
pada diri Botchan dan Kantaro, Ibu Botchan
datang ke rumah Kantaro dan meminta maaf
pada keluarga mereka. Hal 13.
d) Irit
(1) Saat Botchan menangkap Kantaro yang
mencuri kacang kastanye nya dan mereka
bergulat sehingga menyisakan sedikit luka
pada diri Botchan dan Kantaro, Ibu Botchan
datang ke rumah Kantaro dan meminta maaf
pada keluarga mereka dan pulang dengan
membawa lengan kimono Botchan yang berada
bersama Kintaro. Mungkin menurut Ibu
Botchan rasanya sia-sia untuk membelikan
atau membuatkan kimono baru untuk anak
yang selalu membuat ulah, sehingga yang ia
lakukan hanya menjahit lengan kimono
Botchan yang robek, agar bisa dipakai
kembali.
e) Tidak Bisa Mendidik Anak
(1) “Anak itu begitu kasar dan berandalan,
entah akan jadi apa nantinya.” Kata Ibu
Botchan saat membicarakan Botchan.
Seharusnya saat Botchan masih anak-anak
yakni saat karakter anak mulai terbentuk,
sang Ibu harus mengajarkan yang mana yang
benar dan salah, dan mengajarkan Botchan
agar jangan gegabah, harus berfikir matang
sebelum bertindak, jangan selalu membuat
ulah dll.
Botchan mengakui bahwa satu-satunya
yang bisa dia banggakan adalah kenyataan
bahwa sepanjang hidupnya dia belum pernah
mengalami hukuman kerja paksa. Orang
tuanya yang pasrah sama sekali tidak
membuat keliaran Botchan berhenti. Secara
tidak sadar Botchan selalu membuat ulah.
Mungkin ia membuat ulah karena mencari
perhatian orang tuanya, dan mungkin karena
ia merasa seperti anak yang tidak
disayangi sehingga secara tidak sadar
Botchan selalu membuat ulah.
Seharusnya Ibu Botchan mencontoh Kiyo
dalam mendidik anak yakni lebih bersabar,
berpikiran positif, lebih penyayang,
perhatian, dan peduli. Karena sekeras-
kerasnya watak manusia pasti akan luluh
oleh kebaikan hati, seperti batu yang
keras yang pada akhirnya luluh karena
tetesan air terus menerus.
4) Karakter Ayah Botchan
a) Pilih Kasih
(1) Ayahku tidak pernah sedikitpun
menunjukkan kasih sayang kepada diriku .
Hal 14. Hal ini wajar karena semua yang
dilakukan oleh Botchan berujung pada
masalah baru.
b) Pasrah
(1) Sang ayah tidak mengajarkan banyak hal
pada Botchan, ia hanya bisa pasrah menatap
Botchan sembari berkata “Kau tidak
berguna! Tidak berguna.” Sang Ayah tidak
pernah tahu bahwa setiap perkataan adalah
do`a. Setiap kata memancarkan energi yang
akan terserap ke jiwa dan alam pikiran.
Hal 15.
5) Karakter Kakak Botchan
a) Suka Mengadu
(1) Dia pergi mengadu kepada ayah sehingga
ayah memutuskan hubungan orang tua anak
kepadaku. Hal 15.
b) Mempunyai Semangat Tinggi
(1) Kakakku bilang dia mau berbisnis, itulah
sebabnya dia menghabiskan seluruh waktunya
belajar bahasa inggris. Hal 15.
c) Licik
(1) Saat kami bermain catur Jepang, dia
mengambil langkah curang dan tampak sangat
bangga saat meledek posisi sulitku. Hal
15.
d) Tanggung Jawab
(1) Setelah kedua orang tua mereka
meninggal, kakak Botchan memutuskan untuk
bekerja di Kyushu. Karena ia memutuskan
untuk tinggal di Kyushu, semua warisan ia
jual untuk biaya hidup di Kyushu. Walaupun
hubungannya dengan adiknya yakni Botchan
kurang akur dan selalu berantem, ia tetap
tidak lupa untuk memberikan uang kepada
adiknya, untuk biaya hidup serta untuk
melanjutkan hidup.
e) Pengkhayal
(1) Kakakku suka berkhayal jadi aktor. Hal
14
f) Feminim
(1) Kakakku suka berkhayal jadi aktor,
dengan peran wanita. Hal 14.
6) Karakter Kiyo
a) Peduli
(1) “Nah, kau memang punya sifat yang
baik.”Hal 16.
b) Penyayang
(1) Kiyo suka memberi hadiah kepadaku.Hal17.
c) Penyemangat
(1) Kiyo terus menerus menyemangati “Kau
pasti bisa!” Hal 19.
d) Baik Hati
(1) Kiyo hanya memberiku hadiah-hadiah
ketika ayah dan kakakku tidak ada di
rumah.Hal18.
e) Menerima Apa Adanya
(1) Kiyo tampak sangat bahagia meski rumah
yang kami tinggali tidak berserambi indah.
Hal 217.
f) Perhatian
(1) Kiyo khawatir kapalku karam lalu
mengakibatkan diriku tenggelam.
Hal39.
(2) Saat aku akan pergi ke Shikoku untuk
menjadi guru, Kiyo datang di pagi hari
membantuku bersiap-siap. Dia sempat mampir
ke penjual pakaian laki-laki dalam
perjalanannya ke tempatku dan membeli
pasta gigi, sikat gigi, dan handuk yang
dimasukkannya ke tas kanvas. Hal 27.
g) Mempunyai Imajinasi Tinggi
(1) Kiyo memiliki imajinasi
tinggi dan serta merta membuat rencana
sendiri. Hal19.
h) Suka Memuji
(1) “Kau selalu berterus
terang, sifatmu baik.” Kata Kiyo pada
Botchan. Hal 16.
i) Dermawan
(1) Kadang-kadang dia akan
membelikanku, dengan uangnya sendiri, kue
Kintsuba yang bentuknya seperti prajurit
berpedang, atau biskuit Kobaiyaki yang
bentuknya seperti bunga plum. Hal 17.
j) Berpikiran Positif
(1) Kiyo selalu menganggap
Botchan anak yang baik, terus terang,
jujur. Padahal di mata semua orang Botchan
adalah bocah nakal. Kiyo pun melihat masa
depan Botchan sangat cerah, menurutnya
ketika dewasa Botchan akan sukses,
memiliki rumah dengan gerbang megah,
mengendarai rikshaw pribadi. Ia selalu
mengatakan “Pasti bisa!” Botchan yang
tidak memiliki bayangan apapun tentang
masa depannya, menjadi bersemangat untuk
menyambut masa depannya. Hal 19.
k) Kolot
(1) Tapi Kiyo, karena masih
berpikiran ala orang lama, memandang
hubungan kami sebagai hubungan tuan dan
hamba di masa feodal. Sepertinya, sejauh
dalam pikirannya tuannya adalah tuan
keponakannya juga. Sehingga keponakannya
harus bertingkah laku seperti pembantunya
Botchan juga. Hal 26
l) Polos
(1) Kiyo punya bayangan bila
sudah lulus , kantong saku akan langsung
terisi uang. Hal 26. Padahal kalau ingin
terisi uang maka harus bekerja dahulu.
7) Karakter Pelayan di Penginapan Yamashiroya
a) Pembohong
(1) Pelayan itu mengatakan
kamar lain sudah terisi, tapi Botchan
melihat kamar lain begitu kosong. Hal 30.
b) Mata Duitan
(1) Ketika Botchan tidak
memberi tip, pelayan itu memberikan
pelayanan buruk. Tapi ketika sudah diberi
tip 5 yen, ia baru memberikan pelayanan
yang baik. Hal 32.
c) Sombong
(1) Botchan memaki pelayan
penginapan Yamashiroya dalam hati “Dasar
tak tahu malu, memandang rendah orang
padahal dirinya sendiri hanya orang
kampung!” Hal 31.
8) Karakter Kepala Sekolah (Si Tanuki)
a) Angkuh
(1) Sikapnya sangat angkuh
dan dia menyuruhku bekerja rajin dan
keras. Hal 32.
b) Korelis
(1) Kepala Sekolah menyuruhku
bekerja rajin dan keras. Hal 33.
9) Karakter Guru Kanji
a) Formal dan Suka Menyapa
(1)Guru kanji bersikap formal dan menyapaku
sebagai berikut, “Anda sampai kemarin?
Anda pasti lelah.” Hal 37.
10) Koga, Karakter Guru Bahasa Inggris (Si Labu)
a) Pendiam
(1)Setiap kali aku menyapanya, dia akan
membalas dalam bisikan sambil menundukkan
kepala penuh hormat. Hal 104
(2)Koga merupakan orang paling pendiam di
sekolah. Dia jarang tersenyum , namun di
lain pihak dia tidak cerewet. Hal 104.
(3)Bahkan dia tidak pernah berbicara lebih
daripada yang dibutuhkan. Hal 104
b) Murah Hati
(1) Kemudian dengan murah hatinya, Koga
mengajakku pergi ke rumah yang
diceritakannya.Hal 119.
c) Pria Baik dan Seorang Gentlemen
(1) Lalu ada Koga, dengan wajah pucat labu
yang menggelembung karena air, pria baik
hati, murah hati, dan seorang gentlemen.
Hal 137.
d) Rendah Diri
(1) Penampilan Koga selalu menggambarkan
kesengsaraan, berusaha tampak kecil seolah
menganggap diri sekadar parasit yang hidup
di antara langit dan bumi. Hal 131.
(2) Koga selalu naik kereta kelas dua seolah
ini sudah jadi pembawaannya. Hal 134
11) Hotta, Karaker Guru Matematika (Si Landak)
a) Keras Kepala
(1) “Kau tidak suka mengakui kekalahan,
ya ?” ujar Hotta , jadi ku balas dengan
berkata dia juga sama sama keras kepala.
Hal 157.
(2) Hotta pun tetap dengan keras kepala
menolak mengambil koin-koin itu. Hal 141.
b) Sistematis
(1) “Sebaiknya kau pindah ke sana
secepatnya. Kau bisa melihat tempatnya
hari ini, pindah besok, dan mulai mengajar
di hari berikutnya. Begitu sebaiknya
bergerak, menyelesaikan segalanya sesuai
urutan.” Kata Hotta pada Botchan. Hal 41.
c) Dermawan
(1) Dalam perjalanan pulang, Hotta
mentraktirku semangkuk es serut rasa buah
di bagian kota yang bernama Toricho. Waktu
pertama kali bertemu di sekolah, aku
menilainya menyebalkan dan tidak punya
sopan santun, tapi akibat keramahannya
ini, aku berubah pikiran. Hal 42.
d) Tidak Sopan
(1) Di saat ritual perkenalan guru baru
yakni saat Botchan memperlihatkan kepada
setiap guru dengan sopan, Hotta tanpa
melihat sertifikat tersebut, langsung
bertanya “Jadi kau si guru baru itu ya?
Mampir ke tempatku kapan-kapan ya!
Hahaha!” Hal 37.
e) Rendah Hati
(1) Berhubung Hotta guru senior, dirinya
datang ke tempatku agak menunjukkan harga
diri yang rendah. Tapi tetap saja aku
mengagumi tindakan itu daripada membuatku
datang ke tempatnya. Hal 38.
f) Tidak Suka Basa Basi
(1) Hotta datang ke kamar Botchan, tanpa
basa basi ia langsung memberitahu jadwal
mengajar Botchan. Hal 40
g) Peduli
(1) Hotta memperhatikan sekeliling ruangan
dan berkata, “Kau tidak berniat tinggal
lama di sini, kan? Aku tahu tempat bagus
yang bisa kau tinggali. Mereka tidak biasa
menerima sembarang orang, tapi aku akan
bicara pada mereka untukmu. Sebaiknya kau
pindah ke sana secepatnya.” Hal 41.
h) Menyebalkan
(1) Saat sedang tidur, tanpa basa basi Hotta
langsung datang serta langsung memberitahu
jadwal mengajar Botchan. Dalam keadaan
setengah sadar Botchan langsung berusaha
menyimak perkataan Hotta. Hal 40.
i) Ceroboh
(1) “Hotta lumayan juga-meski tentu saja dia
ceroboh dan mudah marah, seperti aku.”
Kata Botchan dalam hati. Hal 42
j) Pemarah
(1) Hotta bertabiat cepat marah seperti aku
dan kami pun mulai saling berteriak. Hal
101
k) Setia Kawan
(1) Hotta san yang adalah teman Koga san
merasa kasihan padanya, maka dia pun pergi
menemui Kepala Guru dan menegur agar tidak
merebut tunangan orang. Hal 124.
l) Teguh
(1) Di lain pihak, keteguhan Hotta sungguh
tak tertandingi. Dia akan duduk dengan
mata tak lepas dari lubang intai dari awal
malam hingga lewat tengah malam, mengawasi
area di bawah lampu gas bulat yang
tergantung di luar Kadoya. Hal 207
m)Berpikiran Positif
(1) Kalau aku kebetulan berkomentar
tampaknya Kemeja Merah takkan ke sana, dia
akan berkata, “Dia pasti datang,” Hal 207
(2) “Kosuzu. Kau ingat? geisha itu masuk ke
Kadoya sekitar pukul setengah delapan
tadi.” Kata Hotta.
“Dengan Kemeja Merah?” Tanya Botchan
“Tidak.” Jawab Hotta.
“Kalau begitu tidak ada artinya.” Kata
Botchan.
“ Kosuzu datang bersama geisha lain, tapi
menurutku ada harapan.” Kata Hotta.
“Kenapa?” Tanya Botchan
“Kenapa? Karena Kemeja Merah licik. Dia
mungkin menyuruh kedua geisha itu datang
duluan dan berniat menyusul kemudian.” Hal
208 Seorang yang berpikiran positif selalu
melihat hal-hal yang positif walaupun hal
itu masih berupa harapan.
12) Karakter Pemilik Rumah yang Disewa Botchan
a) Pembual
(1) Julukannya Ikagin yang artinya pembual,
ia membual bahwa Botchan memiliki
penampilan seorang “gentleman berbudi
bahasa tinggi” padahal seorang “gentleman
berbudi bahasa tinggi” biasanya mengenakan
topi runcing seperti tudung dan membawa ke
mana-mana kertas untuk menuliskan
puisinya. Hal 47.
b) Gigih
(1) Setiap hari datang membawa barang ke
rumah yang di sewa Botchan agar Botchan
membeli barang antik yang ia jual. Hal 49.
c) Rakus
(1) Berhubung dia tidak perlu mengeluarkan
sepeser pun, sepertinya dia berniat
menikmati sepuas mungkin teh yang bisa dia
dapatkan. Hal 48.
d) Oportunis
(1) Pemilik rumah yang disewa Botchan
sungguh memanfaatkan kesempatan yang ia
miliki. Mumpung Botchan masih menyewa
kamarnya, ia selalu merayu Botchan untuk
membeli barang dagangannya. Dan karena ia
meminum teh milik Botchan ia pun meminum
sebanyak-banyaknya mumpung bukan teh
miliknya.
13) Karakter Murid-Murid Botchan
a) Suka Ikut Campur Urusan Orang Lain
(1) Saat Botchan membeli 4 mangkok mie
ramen, murid-muridnya sampai menuliskannya
di papan tulis. Saat Botchan tiap hari ke
pemandian air panas kelas satu, murid-
muridnya menuliskan handuk merah di papan
tulis. Murid-murid Botchan terlalu ikut
campur, padahal apapun yang dilakukan oleh
Botchan tidak ada urusannya dengan mereka.
Hal 56.
b) Nakal
(1) Lelucon adalah lelucon, namun kalau
berlarut-larut hasilnya kenakalan. Hal 53.
c) Kompak
(1) Satu kelas menulis di papan tulis “SENSEI
TEMPURA.” Lalu di kelas lain juga ikut
menulis “SATU ORANG EMPAT MANGKUK MI
TEMPURA. DILARANG TERTAWA.” Lalu di kelas
lainnya ikut menulis “MAKAN MI TEMPURA,
BISA ASAL BALIK BICARA.” Hal 52-54
(2) Beberapa hari kemudian satu kelas menulis
di papan tulis “DUA PIRING DANGO-7 SEN.”
Kelas lain pun ikut menulis “DANGO DAERAH
HIBURAN MALAM SUNGGUH ENAK.” Hal 5
(3) Seruan dan entakan kaki kembali
terdengar, namun kali ini dari bagian
asrama di sisi Timur. Oh jadi ini
konspirasi ya? Pikir Botchan. Anak-anak di
sisi Barat dan Timur bekerja sama untuk
mempermainkanku. Hal 71
(4) Setelah dua orang murid tertangkap oleh
Botchan, karena rasa setia kawan dan
kekompakan akhirnya seluruh murid
berkumpul di kamar Botchan. Hal 73.
d) Tidak Ada Kerjaan
(1) Mengikuti guru barunya untuk mengetahui
apa saja yang dilakukan oleh guru barunya.
Hal ini bisa dilihat dari perkataan
Botchan “Kali ini aku tidak bertemu murid-
murid sekolah dan aku menyangka tidak akan
ada orang yang tahu . Namun keesokan
harinya, di papan tulis kelas tertulis
“DUA PIRING DANGO-7 SEN.” Kota ini memang
terlalu kecil untuk mendapatkan privasi.”
e) Dengki
(1) Tidak bisa melihat gurunya bahagia
sedikit. Hal 53
f) Iseng
(1) Membuat Lelucon di papan tulis “SENSEI
TEMPURA.” Hal 52
g) Pengganggu
(1) Karena mengetahui kebiasaan gurunya suka
menghempaskan dirinya sendiri ke futon
dengan sangat kencang sampai mengeluarkan
suara gedebum, saat gurunya akan tidur
murid-murid itu menghentakkan kaki dengan
sangat kencang ke lantai, untuk mengganggu
guru barunya. Hal 69
h) Kurang Ajar
(1) Murid-murid itu mengetes Botchan dengan
memberikan soal yang sulit dijawab, dan
mencemooh Botchan saat Botchan tidak bisa
menjawab. Hal 45.
(2) Ketenangan mereka hanya berbeda tipis
dengan kekurangajaran. Hal 65.
(3) Murid-murid Botchan selalu menyanggah
perintah Botchan. Misalnya saat Botchan
menyuruh mereka agar tidak mengakhiri
setiap kalimat dengan ‘kan ya’ saat mereka
berbicara dengan guru, karena
kedengarannya seperti ‘kenyang’ dan
Botchan tidak bertanya kepada mereka
apakah mereka lapar atau tidak. Alih-alih
bukannya mereka mengangguk menurut,
mereka justru menjawab “ Kan ya dan
kenyang berbeda bunyi, kan ya,” ucap
mereka. Hal 65.
i) Berani
(1) Ada seorang murid yang berani mengkritik
“Sensei bicara terlalu cepat. Susah
dimengerti. Kalau tidak sulit, bisa lebih
pelan, kan ya?” Hal 45
j) Lancang
(1) Mendebat Botchan tentang binatang
belalang dan lokus. Hal 65.
k) Sok Tahu
(1) Murid Botchan mengatakan bahwa belalang
yang dipegang Botchan adalah Lokus. Hal 65
l) Tidak Sopan
(1) Memasukkan belalang ke futon yang akan
ditiduri Botchan saat jaga malam di asrama
sekolah. Hal 63.
m) Pengecut
(1) Tidak mengakui kenakalan yang mereka
lakukan. Hal 66.
(2) “Mereka mungkin hanya anak kampung dan
berandalan, tapi mereka sungguh ahlinya
melarikan diri.” Kata Botchan. Hal 193
n) Manja
(1) “Dasar bocah-bocah manja!
Hanya kehilangan tidur satu malam dan
kondisi mereka tampak begitu menyedihkan.”
Bentak Botchan pada mereka. Hal 73
o) Sembrono
(1) Sembrono, karena tanpa alasan telah
mempermalukan guru baru. Hal 112.
14) Karakter Yoshikawa, Guru Seni (Si Badut)
a) Penjilat
(1) Tapi sebagai penjilat sejati, Yoshikawa
berkata dengan keahlian si Kemeja Merah
dan perairan laut yang tenang, dia pasti
bisa memancing ikan bream. Hal 81
(2) Saat Si Kemeja Merah tidak mendapatka
ikan, Yoshikawa berkomentar “Oh, sayang
sekali! Saya yakin tadi itu ikan yang
besar. Kalau dengan keahlian Anda saja,
ikan bisa melarikan diri, kami mungkin
tidak akan beruntung hari ini.” Hal 81
b) Pengekor
(1) Si Kemeja Merah menyatakan betapa
menakjubkan pemandangan di sekitar kami
dan Yoshikawa si badut menyuarakan
persetujuannya. Hal 79
(2) Si Kemeja Merah mengatakan bahwa pohon
cemara itu seperti lukisan Turner. Si
Badut menjawab pohon itu memang seolah
“keluar dari lukisan Turner,” Hal 79.
(3) Si Kemeja Merah berusaha melucu “Ah,
kedengarannya seperti Gorki, penulis Rusia
itu.” Dan seperti biasa Yoshikawa
mengiyakan “Anda benar sekali.
Kedengarannya memang seperti penulis
Rusia.”
c) Tidak Tahu Adat
(1) Mengatakan hal-hal yang tidak dimengerti
orang lain. Terlebih lagi, menyatakan
ketidakpedulian, apakah orang lain dengar
atau tidak karena mereka tidak mengerti.
Sungguh sikap tidak tahu adat. Hal 80
d) Sarkastik
(1) Saat Botchan menangkap ikan, Yoshikawa
berkomentar “Kebeliaan memang menakutkan.”
Hal 82
e) Pengecut
(1) Yoshikawa ketakutan saat melihat Botchan
melotot ke arahnya. Hal 87.
f) Pengadu
(1) Setelah dipukul oleh Hotta dan Botchan di
acara perpisahannya Koga, Yoshikawa
mengadu kepada Si Kemeja Merah.
15) Karakter Kepala Guru (Si Kemeja Merah)
a) Berwawasan
(1) “Si Kemeja Merah punya kebiasaan buruk
yakni sering melemparkan nama asing dalam
setiap percakapan. Seolah-olah dia
berbicara dalam huruf kursif.” Pikir
Botchan. Hotta pernah memberitahu Botchan
bahwa semua nama asing itu datang dari
majalah Sastra Kekaisaran. Hal 83-84.
b) Pembohong dan Pengecut
(1) Catat kata-kata Saya, Kemeja Merah itu
pembohong dan pengecut. Hal 149.
(2) Kemeja Merah tidak mengakui dirinya
berada di tepi sungai Nozeri bersama
Madonna. Hal 142.
c) Feminim
(1) Cara bicara si Kemeja Merah begitu
halus sampai aku merasa jengah
mendengarnya. Dari suaranya, kau tidak
akan bisa membedakan dia laki-laki atau
perempuan. Seorang laki-laki seharusnya
berbicara selayaknya laki-laki, apalagi
bila dia lulusan Universitas. Kalau aku
yang hanya lulusan Akademi Ilmu Alam bisa
berbicara seperti caraku bicara, sungguh
tidak pantas seorang Sarjana Sastra
berbicara dengan suara feminim begitu. Hal
76.
(2) Bahkan cara jalannya juga kewanitaan.
Setiap kali berjalan memasuki atau keluar
dari ruangan, dia meletakkan satu kaki di
depan yang lain dengan hati-hati di tanah
supaya tidak bersuara. Hal 99
d) Tidak Tulus
(1) “Dia menyuarakan tawa yang dibuat-
buat. Tak diragukan, sejenis orang yang
biasa tertawa tidak tulus.” Kata Botchan
dalam hati. Hal 77
e) Sombong
(1) Si Kemeja Merah berkata hanya
pemancing amatir yang butuh pengapung. Hal
81.
f) Pengecut
(1) “Meskipun dia membicarakan seseorang
di belakang, dia bahkan tidak memiliki
nyali untuk terang-terangan menyebutkan
nama orang tersebut.” Kata Botchan dalam
hati. Hal 94
g) Licik
(1) Karena ingin menikahi Madonna, ia
membuat siasat agar Koga yakni tunangan
Madonna dimutasi ke tempat lain, serta
orang yang menentang dirinya seperti Hotta
pun ingin diberhentikan, maka dari itulah
Botchan diterima menjadi guru di Sekolah
Menengah Matsuyama.
(2) Kemeja Merah licik. Dia mungkin
menyuruh kedua geisha itu datang duluan
dan berniat menyusul kemudian. Hal 208
h) Tidak Setia
(1) Padahal ingin menikah dengan Madonna
tapi masih menjalin hubungan dengan
seorang geisha.
i) Pintar Membuat Strategi
(1) Setelah mendapat pengaduan dari
Yoshikawa bahwa Yoshikawa telah dipukuli
oleh Hotta dan Botchan di acara
perpisahannya Koga, Si Kemeja Merah pun
membuat siasat untuk membalas dendam.
16) Karakter Keponakan Laki-Laki Kiyo
a) Baik
(1) Keponakannya secara tak terduga ternyata
orang yang baik. Setiap kali aku datang ke
rumahnya dan si Keponakan ada di sana, dia
selalu berusaha membuatku merasa betah.
Hal 25.
17) Karakter Si Penjaga Sekolah
a) Bodoh
(1) Akhirnya Penjaga Sekolah kembali dengan
membawa sekitar sepuluh belalang mati di
atas secarik kertas sambil meminta maaf,
karena gelap dia hanya bisa menemukan
sekian, namun besok dia berjanji akan
menemukan lebih banyak. “Bahkan si Penjaga
Sekolah pun bodoh.” Kata Botchan dalam
hati. Hal 65.
b) Pengadu
(1) Si Penjaga Sekolah pergi mengadu ke
Kepala Sekolah karena ada keributan di
sekolah. Hal 74
c) Lemah
(1) Pergi mengadu dan menjemput Kepala
Sekolah seperti laki-laki tanpa harga diri
hanya gara-gara masalah remeh . Karakter
lemah beginilah yang membuatnya hanya
pantas jadi penjaga sekolah. Hal 74.
18) Karakter Nenek Hagino
a) Sok Tahu
(1) Sang nenek bertanya kenapa aku tidak
membawa istriku? Bagaimana aku bisa
membawanya jika aku belum memilikinya. Hal
121.
b) Asal Tebak
(1) Tapi Sensei, saya yakin Anda sebenarnya
sudah punya istri kan ya. Saya bisa
menebaknya hanya dengan melihat Anda.” Hal
122
c) Penggosip
(1) “Ah, Sensei masih belum mengenalnya? Dia
gadis tercantik di kota ini. Saking
cantiknya, semua guru di sekolah
memanggilnya Madonna. Sensei belum pernah
dengar?” Hal 123
d) Mata Duitan
(1) Botchan bertanya, mana yang lebih baik
Hotta atau Kepala Guru. Sang nenek
menjawab “Saya rasa orang yang mendapat
gaji per bulan lebih besar adalah yang
lebih baik.” Hal 126.
e) Adil
(1) “Jadi dua-duanya benar. Itulah sebabnya
Saya menyukai Anda, Anda selalu adil.”
Kata Botchan pada nenek Hagino. Hal 147
f) Peduli
(1) Nenek Hagino berkata bahwa pria yang
sudah menikah seperti Botchan seharusnya
tidak keluyuran malam-malam. Hal 206
19) Karakter Madonna
a) Tidak Setia
(1) Madonna menerima lamaran Koga kemudian,
segera setelah Kepala Guru datang, Madonna
beralih ke lain hati. Hal 124.
20) Karakter Guru Olahraga
a) Rendah Diri
(1) Guru olahraga selalu mengambil tempat
duduk di bagian kaki meja atas alasan rasa
segan. Hal 103
d. Latar / Setting
1) Latar Tempat
a) Di Lantai Dua Sekolah Dasar
(1) Pernah, suatu ketika saat aku masih di
Sekolah Dasar, aku melompat dari jendela
di lantai dua dan akibatnya tidak bisa
berjalan selama seminggu. Hal 11.
b) Di Kebun Sayuran
(1) Kalau berjalan dua puluh langkah ke
pinggir Timur taman rumah kami, kau akan
mendapati petak kecil tempat sayuran
ditanam di lereng selatan, dan tepat di
tengahnya berdirilah sebatang pohon
kastanye. Hal 12.
c) Di Toko Pegadaian
(1) Permukaan tanah di toko pegadaian lebih
rendah sekitar dua meter daripada kebun
sayur. Hal 13
d) Di Kebun Wortel
(1) Aku pernah merusak kebun wortel Mosaku
bersama sahabat lamaku Kane, yang bekerja
di tukang kayu setempat, dan Kaku anak
tukang ikan. Bagian kebun di mana tunas
wortel tidak tumbuh dengan baik ditutupi
dengan jerami, jadi kami bertanding gulat
separuh hari di sana, menginjak-injak
semua wortel. Hal 13.
e) Di Sumur Sawah Furukawa
(1) Kali lain yang membuatku terlibat masalah
besar adalah ketika aku menyumbat sumur
sawah Furukawa. Hal 13
f) Di Rumah, Tokyo
(1) Setelah ibu meninggal, aku tinggal di
rumah bersama ayah dan kakak. Hal 15.
g) Di Dapur, Rumah Tokyo
(1) Kadang-kadang di dapur, saat tidak ada
orang lain, Kiyo akan berkata, “Kau selalu
berterus terang, sifatmu baik.” Tapi aku
tidak mengerti apa maksudnya. Hal 16.
h) Di Tempat Tidur Botchan
(1) Dia akan diam-diam membeli tepung dan
menyimpannya, kemudian di malam-malam
dingin, tanpa mengatakan apa pun, dia akan
datang membawakanku sup mi saat aku
berbaring di tempat tidur. Hal 17.
i) Di Toilet, Rumah Tokyo
(1) Aku memasukkan tiga yen tersebut ke
dompet kainku, dan dompet di bagian dada
kimonoku; tapi ketika aku pergi ke toilet,
dompet itu jatuh ke lubang kakus. Hal 17.
j) Di Dekat Sumur
(1) Selang beberapa lama, aku mendengar suara
mengalir di dekat sumur, dan ketika aku
pergi memeriksa, di sanalah Kiyo sedang
mencuci dompetku, dengan tali pengikatnya
tergantung di ujung tongkat bambu. Hal 17.
k) Di Stasiun Shimbashi
(1) Kami berpisah dua hari kemudian di
Stasiun Shimbashi ..... Hal 23.
l) Di Losmen Ogawamachi, Tokyo
(1) Aku tidak tahu secara persis karena aku
sudah tinggal di losmen di Ogawamachi,
Kanda. Hal 21.
(2) Aku terkurung dalam kamar berukuran empat
kali empat meter di losmen murah, yang
bakal harus keluar bila keadaan sulit. Hal
21.
(3) Kakakku datang ke losmen tempat
tinggalku.Hal 22.
m) Di Sekolahan Ilmu Alam Tokyo
(1) ….aku melewati Sekolah Ilmu Alam
Tokyo ....... selama tiga tahun aku
belajar sekeras semua orang…Hal 23-24.
n) Di Kantor Kepala Sekolah
(1) Delapan hari setelah kelulusan, Kepala
Sekolah datang dan mengajak Botchan ke
kantornya. Hal 24.
o) Di Rumah Keponakan Kiyo
(1) Setiap kali aku datang kerumahnya, si
Keponakan ada di sana. Hal 25.
p) Di Tempat Tidur Kiyo, Rumah Keponakannya
(1) Kiyo terserang pilek dan sedang
terbaring di tempat tidur dalam kamar dua
kali tiga meternya yang menghadap ke
utara. Hal 26.
q) Di Stasiun
(1) Kami pergi ke stasiun berdampingan
dengan dua rikshaw, dan ketika kami sampai
di peron dan aku telah naik kereta, dia
menatap wajahku lekat-lekat. Hal 27.
r) Di Kapal
(1) Saat kapal berhenti bersama ledakan
sirinenya.Hal 28.
s) Di Sekolah Menengah Matsuyama, Shikoku
(1) Botchan lulus dari Sekolah Ilmu Alam
Tokyo, kemudian pergi ke Shikoku untuk
menjadi seorang guru Matematika di Sekolah
Menengah Matsuyama. Hal 6.
t) Di Penginapan Minatoya
(1) Aku mengikutinya, dan dia menuntunku ke
sebuah penginapan bernama Minatoya, atau
semacamnya. Hal 29
u) Di Penginapan Yamashiroya
(1) Si Kuli bergerak dengan cukup cepat
sehingga tak lama kemudian kami tiba di
penginapan bernama Yamashiroya. Hal 30.
v) Di Kamar Gelap, Penginapan Yamashiroya
(1) Pembantu hotel menuntunku ke kamar gelap
di bawah tangga di lantai dua. Hal 30.
w) Di Kamar Mandi, Penginapan Yamashiroya
(1) Beberapa saat kemudian, mereka
memanggilku dan memberitahukan kamar mandi
telah siap. Aku turun ke kamar mandi dan
berendam sebentar. Hal 30.
x) Di Ruang Staf Pengajar
(1) Ruang staf pengajar berbentuk persegi
panjang dan luas, para guru duduk di meja
yang disusun berderet dekat satu sama lain
di dalamnya. Hal 35.
y) Di Aula Depan, Penginapan Yamashiroya
(1) Ketika aku sudah melepas sepatu dan
melangkah masuk ke aula depan, wanita itu
memberitahuku bahwa ada kamar yang sudah
kosong dan membiarkan seorang pelayan
menuntunku ke sana. Hal 39.
z) Di Toricho
(1) Hotta mentraktirku semangkuk es serut
rasa buah di bagian kota yang bernama
Toricho. Hal 42.
aa) Di Kelas
(1) Kali pertama masuk ke kelas dan naik ke
podium, aku merasa aneh. Hal 43.
bb) Di Rumah Sewa, Shikoku
(1) Ketika aku sampai di rumah, si pemilik
rumah menyatakan dia akan menyeduh teh
untuk kami. Hal 46.
cc) Di Omachi
(1) Suatu malam ketika berjalan-jalan di
bagian kota yang bernama Omachi, aku
melihat papan tanda di samping kantor pos
dengan tulisan : Mi Soba, dan tulisan
lebih kecil: ala Tokyo. Hal 51.
dd) Di Sumida
(1) Sumida merupakan tempat peristirahatan
air panas yang letaknya sekitar sepuluh
menit perjalanan kereta, atau tiga puluh
menit dengan berjalan kaki, dari kota. Hal
54.
ee) Di Asrama Sekolah
(1) Para guru dan murid yang tidak tinggal
di asrama sudah pulang, meninggalkanku
sendiri yang kebosanan karena tidak punya
pekerjaan. Hal 59.
ff) Di Stasiun Komachi
(1) Ketika akhirnya malam tiba, aku naik
kereta kembali ke Stasiun Komachi. Hal 60.
gg) Di Tatemachi
(1) Aku baru saja mencapai perempatan di
Tatemachi ketika kali ini, aku berpapasan
dengan Hotta. Hal 61.
hh) Di Tempat Pemancingan Koume, Tokyo
(1) Tapi waktu kecil, aku pernah menangkap
tiga ekor ikan funa-sejenis gurame- di
tempat pemancingan Koume di Tokyo. Hall
76.
ii) Di Kompleks Kuil Zenkokuji, Kagurazaka
(1) Kali lain, diperayaan yang dilaksanakan
di depan kuil Bishamon di kompleks kuil
Zenkokuji, Kagurazaka, aku berhasil
memancing ikan koi yang besarnya enam
belas sentimeter, tapi ketika aku berusaha
menangkapnya, ikan itu berhasil lepas dan
kembali nyebur ke air. Hal 76
jj) Di Imperial Hotel
(1) Kenyataannya dua tahun lalu waktu aku
membantu seseorang dalam urusan kirim-
mengirim barang ke Imperial Hotel, para
anggota staf hotel menyangka aku ada di
sana untuk memperbaiki kunci. Hal 47
kk) Di Kamakura
(1) Bahkan pernah ketika aku pergi ke
Kamakura untuk melihat patung Budha besar,
mengenakan selimut untuk menutupi kepala,
para penarik rikshaw di daerah tersebut
menyangka diriku kepala kuli. Hal 47
ll) Di Pantai
(1) Lalu bersama-sama kami pergi ke pantai.
Hal 78
mm) Di Laut
(1) Perairan begitu tenang sehingga kau bisa
lupa sedang berada di laut. Hal 79
nn) Di Samping Kantor Kepala Sekolah
(1) Pertemuan itu dilaksanakan di ruang yang
memanjang dan sempit, di samping kantor
Kepala Sekolah. Biasanya ruangan ini
dipakai sebagai ruang makan. Hal 103
oo)Di Kuil Yogenji, Kobinata
(1) Wajahnya mengingatkanku akan wajah yang
terlukis dalam lukisan gulung kuil Yogenji
di Kobinata saat pemakaman ayahku. Sang
Pendeta memberitahuku itu lukisan Idaten,
dewa penjaga Budha yang berkekuatan besar.
Hal 103
pp)Di Kajiyacho
(1) Aku sedang berjalan di daerah tenang yng
tampak nyaman ditinggali, ketika aku
mendapati tempat bernama Kajiyacho. Hal
118.
qq) Di Rumah Hagino
(1) Sejak malam itu, aku menjadi penghuni
rumah Hagino. Hal 119
rr)Di Sisi Jauh Tepi Sungai Nozeri.
(1) Akhirnya aku menyebrangi jembatan batu
dan mendapati diriku telah berada di sisi
jauh tepi sungai Nozeri. Hal 138.
ss)Di Rumah Kemeja Merah
(1) Kemeja Merah bujangan namun karena dia
Kepala Guru, sejak lama dia telah pindah
dari tempat penginapan dan kini tinggal di
rumah bagus dengan serambi bertiang yang
mengagumkan. Hal 142.
tt) Di Kashintei.
(1) Pesta perpisahan diadakan ditempat yang
bernama Kashintei. Hal 161
uu) Di Kantor Polisi
(1) Kami memberi mereka nama kami dan
menceritakan seluruh kejadian, tapi mereka
bilang kami tetap harus pergi ke Kantor
Polisi. Hal 193.
vv) Di Penginapan Minatoya
(1) Hotta akhirnya menyerahkan surat
pengunduran diri, mengucapkan salam
perpisahan kepada guru-guru lain, kemudian
pergi ke Minatoya, penginapan di dekat
pantai. Hal 205
ww)Di Penginapan Masuya
(1) Namun tanpa sepengetahuan orang, dia
berbalik ke Masuya di kota pemandian air
panas dan pergi bersembunyi ke kamar yang
menghadap jalan depan di lantai dua,
tempat dia membolongi kertas jendela dan
memulai pengintaian. Hal 206
xx) Di Kadoya
(1) Sambil tertawa-tawa Si Kemeja Merah dan
Si Badut melewati lampu gas dan masuk ke
Kadoya. Hal 210
yy) Di Bawah Pohon Cedar
(1) Akhirnya Si Kemeja Merah dan Si Badut
terpojok di bawah pohon cedar sambil
gemetar ketakutan. Hal 214
zz)Di Tokyo Tramcar Company
(1) Tak lama setelah itu, seorang teman
membantuku mendapatkan pekerjaan sebagai
asisten mekanik di Tokyo Tramcar Company.
Hal 217
2) Latar Waktu : Tahun 1895 yaitu pada zaman
Meiji.
3) Latar Sosial
Status tokoh dalam novel ini adalah sebagai
seorang guru di Sekolah Menengah Matsuyama.
Kehidupan sosial masyarakat dalam novel ini
kurang nyaman bagi tokoh utama, karena murid yang
iseng, rekan kerja yang kurang bersahabat, orang
tua yang tidak mempedulikan, serta kakak yang
berkpribadian buruk, satu-satunya tokoh yang baik
hati menurut sang tokoh hanyalah Kiyo yakni
pengasuhnya semenjak kecil, yang selalu mengasuh
dengan kasih sayang.
Karena tidak nyaman dengan kondisi sosial
masyarakat di lingkungan hidupnya akhirnya ia
berhenti mengajar di Sekolah Menengah Matsuyama,
yakni setelah satu bulan mengajar. Botchan pun
pergi untuk menemui Kiyo, karena merindukan kasih
sayangnya namun sayang Kiyo akhirnya meninggal
dunia. Cerita pun berakhir di sini, dengan ending
yang sedih karena satu-satunya orang yang
disayangi telah meninggal, dan kehidupan Botchan
menjadi sepi dan dingin.
4) Latar Suasana
a) Tenang
(1) Aku berbaring di tempat
tidur sambil berfikir. Hal 23.
(2) Selama tiga tahun terakhir
ini aku telah mengurung diri dalam kamar
empat kali empat meter, tanpa perlu sekali
pun mendengar omelan orang lain. Hidup
juga berhasil kulalui tanpa pertengkaran
apapun. Selama itu merupakan periode yang
lumayan tenang dalam hidupku, tapi kini
aku harus meninggalkan kamar ini. Hal 24
(3) Perasaanku lebih tenang
ketika aku masuk ke futon untuk kali
ketiga. Hal 68
(4) Sungguh menenangkan berada
di tengah perairan yang luas, ditiup
semilir angin laut. Hal 79.
(5) Aku sedang berjalan di
daerah tenang yng tampak nyaman
ditinggali, ketika aku mendapati tempat
bernama Kajiyacho. Hal 118.
(6) Kalau memang itu
pemandangan dua orang pemuda dari
pemandian, anehnya mereka tidak bernyanyi.
Mereka luar biasa tenang. Hal 138
b) Kesepian
(1) Selama 3 tahun ini aku
telah mengurung diri dalam kamar 4 X 4
meter. Hal 24.
c) Malu
(1) Terkadang dia membuatku
malu dengan menceritakan aku ngompol saat
aku masih kanak-kanak. Hal 25.
(2) Kiyo berkata aku akan
segera lulus kemudian membeli rumah besar
di area Kojimachi, dari sana aku akan
pulang-pergi bekerja di Kantor
Pemerintahan yang menurutnya akan
kumasuki. Karena Kiyo sudah memutuskan
sendiri dan mengumumkan semua bayangan
itu, aku mendapati diri dalam posisi sulit
dan tersipu. Hal 25.
(3) Alhasil aku menjadi bahan
tertawaan rumah kami selama tiga hari dan
merasa malu sekali. Hal 70
(4) Aku merasa sangat malu dan
menyesal pernah membuka mulut. Hal 78.
(5) Aku merasa malu ketika
semua orang, dari Tanuki yang duduk di
depan hingga belakang, menoleh untuk
memandangiku, namun aku tetap memasang
telinga untuk mendengarkan kata-kata
Hotta. Hal 164
d) Bersemangat
(1) Aku pergi ke sekolah
keesokan harinya dan sekali lagi berjalan
penuh semangat menuju kelas pada jam
pelajaran pertama. Hal 54.
(2) Namun suatu hari ketika
datang dari lantai tiga dengan penuh
semangat, bertanya-tanya apakah hari itu
aku bakal bisa berenang? Hal 56.
(3) Mereka tidak hanya
mengentak-entak, tapi juga meneriakkan
seruan-seruan perang dengan penuh
semangat. Hal 69.
(4) Aku mulai bertanya penuh
semangat pada kakakku yang tidur di
sebelah. Hal 70
(5) Si Kemeja Merah tampak
sangat bersemangat mengajariku memancing.
Hal 77.
(6) “Pemandangan yang langka
didapatkan,” kata Yoshikawa sepakat,
seperti biasa bersemangat untuk
menyenangkan hati si Kemeja Merah. Hal 92
(7) Aku begitu bersemangat
melihat ini sehingga tanpa kusadari aku
sudah bertepuk tangan. Hal 164.
(8) Tapi saat melihat wajahnya
sekarang, tiba-tiba aku merasa sangat
bersemangat. Hal 208
e) Haru
(1) “Jaga dirimu baik-baik”
kata Kiyo dengan suara pelan. Hal 27.
f) Sedih
(1) Kiyo sangat sedih melihat
rumah yang ditinggalinya selama sepuluh
tahun berpindah tangan ke orang asing,
tapi karena rumah itu bukan miliknya,
tidak ada yang bisa dilakukan. Hal 21
(2) Mata Kiyo dibanjiri air
mata, saat aku akan pergi ke Shikoku. Hal
27.
g) Menyedihkan
(1) Menyedihkan bila mengingat
aku meninggalkan Tokyo demi mengajar
gerombolan ini. Hal 54.
(2) Pemikiran seluruh sekolah
bersatu untuk menentangku sungguh
menyedihkan. Hal 56.
(3) Sungguh gerombolan yang
menyedihkan. Hal 66
(4) Dasar bocah-bocah manja!
Hanya kehilangan tidur satu malam dan
kondisi mereka tampak begitu menyedihkan.
Hal 73
(5) Aku bertanya-tanya sejauh
mana sifat kewanitaannya bakal bicara dan
berpikir menyedihkan sekali bila semua
Sarjana Sastra seperti dia. Hal 98
h) Bimbang
(1) Aku muak dengan suasana ini, aku langsung
tidur tapi tidak bisa nyenyak.Hal 30.
i) Kecewa
(1) Saat aku menjawab bahwa membeli rumah
bukanlah urusan yang semudah itu dan bahwa
aku tidak akan bisa melakukannya dalam
jangka waktu dekat, dan bahwa aku akan
pergi ke pedesaan, dia tampak kecewa dan
merapikan ke belakang rambut berubannya
yang berantakan di kedua sisi kepalanya.
Hal 26.
(2) Aku benci kebohongan, jadi aku memutuskan
tetap tenang. Hal 34.
(3) Bukan Kemeja Merah. Aku mendesah kecewa.
Hal 209
j) Kantuk
(1) Setelah menulis surat, aku merasa nyaman
dan ngantuk. Hal 40.
k) Bingung
(1) Bisa dibilang aku lebih punya keberanian
daripada kebijakan. Aku selalu bingung
pada saat-saat seperti itu. Hal 72.
(2) Anak yang satu lagi tampak bingung, jadi
aku memanfaatkan situasi dan melompat ke
arahnya, menangkap bahunya lalu
mengguncang-guncang tubuhnya. Hal 73
l) Tergesa-gesa
(1) Meskipun bergerak tergesa-gesa, dia
menangkap sekilas wajahku saat kami
berpapasan.Hal 61.
m) Marah
(1) Aku marah besar sehingga menampar wajah
kakakku. Hal 15.
(2) Aku marah sehingga sebagai ucapan
perpisahan, aku berkata, “Benar, saya
sedang tugas malam. Itulah sebabnya saya
akan kembali ke sekolah sekarang untuk
menginap di sana.” Hal 61.
(3) Tapi kini setelah mereka muncul dan
tampak dengan jelas mereka hanyalah
belalang, emosiku berubah menjadi rasa
marah. Hal 63.
(4) “Apa maksudmu,apa yang terjadi?”
bentakku. Hal 64.
(5) Aku tidak terlalu memahami apa yang
dikatakan si Badut, tapi entah kenapa aku
merasa marah sehingga aku berdiri tanpa
benar-benar merencanakan apa yang akan
kuucapkan. Hal 110
(6) Aku begitu marah sehingga bertanya
“Apakah bertemu Madonna juga rekreasi
spiritual?” Hal 116
(7) Seluruh kemarahan yang aku tahan sejak
tadi meledak dan aku berkata, “Kalau ini
perundingan Cina-Jepang, maka kau pihak
musuh.” Bersamaan dengan ini, aku pun
mengetok keras kepalanya dengan tinjuku.
Hal 174
(8) Aku begitu marah sehingga aku
mengatakan padanya aku akan pergi dan
langsung menemui si editor koran itu
sendiri. Hal 202
(9) Sekitar tiga hari kemudian, di sore
hari, Hotta datang menemuiku dalam keadaan
marah. Hal 202
(10) Tapi aku begitu marah sehingga
memukulnya dengan telur-telur itu sebelum
menyadari tindakanku sendiri. Hal 213
n) Bersitegang
(1) “Berhentilah bertingkah seperti binatang
liar, kalian semua akan merasakan
hukumanku.” Hal 69.
(2) Hotta bertabiat cepat marah seperti aku
dan kami pun mulai saling berteriak. Hal
101
o) Kesal
(1) Aku sangat kesal sehingga aku melemparkan
biji catur yang kupegang ke kepala
kakakku. Biji catur itu mengenainya
diantara kedua mata, merobek kulit
dahinya, darah pun menetes keluar. Hal 15
(2) Botchan ingat betapa guncangan keras saat
ia menaiki rikshaw kemarin sempat
membuatnya kesal. Hal 32.
(3) Kesal karena saat memancing ikan Koi
yang besarnya enam belas sentimeter,
ikannya lepas dan nyebur ke air. Hal 76.
p) Menyesal
(1) “Kalau ditinjau ulang, ini pun kesalahan
yang disebabkan kecerobohan alamiku.”
Ketika merenungi masa lalunya Botchan
merasa menyesal, menurutnya seharusnya ia
tidak usah melanjutkan studi. Karena
melanjutkan studi yang kenyataanya ia
tidak ahli dalam bidang studi apapun
akhirnya saat ia memilih studi matematika
ia selalu mendapat nilai di urutan paling
bawah. Namun walaupun nilainya selalu
jelek ia tetap lulus. Sebenarnya ia merasa
curiga kenapa ia lulus padahal nilainya
selalu jelek, tapi karena tidak memiliki
alasan untuk protes, akhirnya ia menerima
kelulusannya.
Dan walaupun mendapatkan nilai jelek
ia tetap mendapat sebuah pekerjaan sebagai
guru. Saat mendapat pekerjaan sebagai guru
ia menerimanya karena mengira dirinya
beruntung, setelah mendapatkan uang untuk
biaya melanjutkan studi, kini mendapatkan
pekerjaan.
Tapi setelah sampai di Shikoku
perasaan beruntungnya berubah. Semua hal
terlihat begitu buruk, sampai akhirnya ia
merasa muak sendiri. Setelah bekerja satu
bulan lebih, karena tidak betah ia kembali
ke Tokyo untuk bertemu dengan Kiyo dan
memutuskan untuk tinggal bersamanya. Tapi
Kiyo meninggal setelah beberapa bulan
mereka tinggal bersama.
Saat Kiyo meninggal, Botchan
merasa menyesal, andai dulu ia tidak usah
melanjutkan studi, andai ia membuka usaha
saja walaupun usaha kecil-kecilan pun
tidak apa-apa. Lalu tinggal bersama Kiyo,
walaupun menyewa rumah yang biasa saja pun
tidak apa-apa setidaknya ia bisa bersama
Kiyo lebih lama yakni Tiga tahun lebih.
Sayangnya ia tidak bisa kembali ke masa
lalu dan mengulang untuk memilih pilihan
hidup yang lain. Takdir seseorang memang
ditentukan oleh karakter yang dimiliki
orang tersebut. Hal 120
(3) “Menyesal juga tidak membawa handuk
merahku ke asrama.” Kata Botchan dalam
hati. Hal 60.
(4) Aku menyesal sudah menerima es serut rasa
buah dari Hotta. Hal 95
(5) Satu-satunya hal yang kusesali adalah
ketika aku mengungkit masalah Madonna,
wajah labu pucat Koga menjadi kian pucat
lebih dari kapanpun. Hal 116
q) Merasa Curiga
(1) Kadang kala otak anak kecilku akan curiga
dan bertanya-tanya kenapa Kiyo sebaik itu.
Hal 17.
(2) Sebenarnya ia merasa curiga kenapa ia
lulus padahal nilainya selalu jelek, tapi
karena tidak memiliki alasan untuk protes,
akhirnya ia menerima kelulusannya. Hal 24.
r) Merasa Repot
(1) Aku tidak punya bayangan kota seperti apa
tempat itu, atau orang-orang seperti apa
yang tinggal di sana, tapi itu bukan
masalah. Aku tetap pergi. Meski harus
kuakui, semua urusan ini agak merepotkan.
Hal 25.
(2) Karena merasa ini terlalu merepotkan, aku
mengayunkan tali pancing dan melemparkan
ikan itu ke dalam sumur ikan kecil di
tengah perahu. Hal 83
s) Kasihan
(1) Kiyo terus menerus mengatakan betapa
malangnya diriku, betapa tidak
beruntungnya, jadi aku merasa patut
dikasihani. Hal 20.
(2) Aku merasa kasihan kepada Kiyo sehingga
untuk menghibur, aku berkata, “Aku harus
pergi sekarang, tapi aku akan segera
kembali. Aku pasti ke sini saat liburan
musim panas tahun depan.” “Aku akan
membelikanmu hadiah. Apa yang kau
inginkan?” Hal 26
(3) Jadi, Kemeja Merah dan si Badut sedang
sekuat tenaga menangkapi pupuk. Aku jadi
merasa sangat kasihan pada mereka. Hal 84
(4)Setiap kali aku menyapanya, dia akan
membalas dalam bisikan sambil menundukkan
kepala penuh hormat. Ini membuatku kasihan
padanya. Hal 104
(5) Setiap aku bertanya apakah ada surat
untukku. Nenek Hagino menatapku penuh rasa
kasihan dan menjawab tidak ada. Hal 121
(6) Hotta san yang adalah teman Koga san
merasa kasihan padanya, maka dia pun pergi
menemui Kepala Guru dan menegur agar tidak
merebut tunangan orang. Hal 124.
(7) Setelah mendengar kisah nenek Hagino,
aku kian merasa kasihan kepada Koga. Hal
131.
(8) Tapi wajah Tanuki yang berganti-ganti
dari pucat menjadi merah membuatku merasa
kasihan, jadi aku berkata akan kembali
memikirkannya dan pergi dari sana. Hal
205.
(9) Aku merasa kasihan pada Hotta. Kalau
Kemeja Merah tidak datang, Hotta akan
kehilangan satu kesempatan dalam hidupnya
untuk menegakkan keadilan. Hal 207
t) Putus Asa
(1) Aku belum pernah mendengar tentang
kudapan ini, lagipula Echigo berada di
arah yang berlawanan. Ketika aku berkata
sepertinya mereka punya kudapan yang
seperti itu di kota tujuanku, dia
bertanya, “Oh? Memangnya kau akan ke
mana?”
“Ke arah Barat,” jawabku.
“Sisi Barat Hakone atau setelahnya?”
tanyanya lagi. Hakone! Tempat itu kan
tidak seberapa jauh dibanding Kamakura.
Wanita seperti ini memang hanya bisa
membuatmu putus asa. Hal 27.
u) Lelah
(1) Aku berpikir untuk mengunjungi sang
kepala sekolah, tapi karena merasa lelah,
aku naik kembali ke Rikshaw dan meminta si
Kuli membawaku ke hotel. Hal 30.
(2) Tak lama kemudian kelelahan akibat segala
peristiwa akhirnya datang dan tanpa bisa
kucegah, membuatku terlelap. Hal 73.
(3) Aku merasa lelah dan jatuh terlelap. Hal
96
(4) Baik aku maupun Hotta sama-sama kelelahan
dan tertidur nyenyak. Hal 216
v) Geli / Lucu
(1) Aku agak geli mendengar nama itu, karena
namanya sama dengan toko gadai tempat
tinggal Kantaro. Hal 30
(2) Ada perbedaan besar antara memanggil
seseorang “Sensei” dengan ketika dirimu
sendiri dipanggil “Sensei” Oleh orang
lain. Rasanya seperti ada sensasi
menggelitik menuruni tulang rusukku. Hal
43.
w) Muak
(1) Saat menginap di losmen yang berkamar
panas sementara ada kamar lain yang lebih
sejuk, Botchan merasa muak karena pelayan
losmen mengatakan kamar lain sudah terisi,
Botchan tahu pelayan itu bohong. Dan yang
lebih memuakkan saat mereka bertanya dari
mana asal Botchan dan saat Botchan
menjawab dari Tokyo, setelah pelayan itu
keluar ia mendengar suara tawa, dan ia
merasa sedang ditertawakan. Hal 30
(2) Sebenarnya malam sebelumnya aku memang
memintanya membelikanku teh, tapi teh yang
dia beli begitu memuakkan. Hal 48.
(3) Meski terkejut ketika mendapati betapa
memuakkannya makanan itu. Hal 60.
(4) Menurutku tidak ada masyarakat yang rela
mentoleransi orang-orang memuakkan yang
berpikir bisa bersenang-senang tanpa
membayar akibatnya. Hal 67.
(5) Berbicara dengan orang-orang berotak
busuk membuatku muak sehingga aku
membiarkan keenam anak itu pergi. Hal 67.
(6) Aku mengikuti semua orang dan mencoba
sup yang disajikan, rasanya memuakkan. Hal
166
x) Tidak Bisa Tidur
(1) Aku langsung pergi tidur, tapi tidak bisa
terlelap. Bukan hanya karena udara
panasnya, tapi juga kebisingannya. Hal 30.
y) Terkesima
(1) Botchan merasa terkesima karena
memimpikan Kiyo yang sedang memakan
kudapan manis Echigo yang dibungkus daun
bambu. Kiyo bilang daun itu obat dan ia
sangat menikmati kue itu. Hal 31.
z) Sebal
(1) Botchan merasa sebal karena pelayan di
penginapan Yamashiroya membawa baki dan
menyajikan makanan, dia terus menerus
tersenyum menyebalkan. Seolah Botchan
orang aneh di sirkus. Hal 32.
(2) Mendengar seseorang langsung memulai
percakapan dengan,” Maaf soal tadi pagi.
Jadi jadwalmu adalah..” ketika kau baru
saja membuka mata terasa menyebalkan. Hal
40.
(3) Di papan tulis, sudah tertulis DUA PIRING
DANGO-7 SEN. Memang benar, aku memang
makan dua piring dango dan membayar tujuh
sen. Anak-anak ini sungguh menyebalkan!
Hal 55.
(4) Aku mendapati bagian kalimat “mungkin
saya keliru” tadi menyebalkan, karena baru
sekitar dua jam lalu dia berkata. Hal 61.
(5) “Lebih baik kita tidak bicara soal
Madonna,” jawab Kemeja Merah, lalu dia
melepaskan tawa feminimnya yang
menyebalkan. Hal 80
(6) “Aneh juga betapa setiap kata yang
keluarkan dari mulut Yoshikawa membuatku
sebal.” Kata Botchan dalam hati. Hal 88
(7) Namun, begitu aku mengetahui Kemeja Merah
sama sekali bukan orang jujur, perasaan
sebal datang dan aku jadi lebih
membencinya. Hal 154.
aa) Menakjubkan
(1) Karena memberikan uang tip sebesar 5 yen,
Botchan mendapat kamar berukuran empat
setengah kali lima setengah meter. Saat ia
berbaring terentang ia merasa takjub. Hal
39.
(2) Yang membuatku takjub, dia mengenakan
kemeja flannel merah di udara panas
begini. Hal 36.
(3) Tidak ada apa pun di daerah itu yang bisa
menandingi Tokyo, tapi tempat pemandian
air panasnya menakjubkan. Hal 55.
(4) Kemeja merah menyatakan betapa
menakjubkan pemandangan di sekitar kami
dan Yoshikawa si Badut menyuarakan
persetujuannya. Hal 79
(5) Jika aku menceritakan semua kejadian ini,
aku yakin dia akan takjub. Hal 137
(6) Mungkin Kemeja Merah takjub karena tiba-
tiba harus dihadapkan dengan satu-satunya
orang di dunia yang menolak kenaikan gaji.
Hal 152
(7)“Apakah kau benar-benar akan mengambil
uang itu kembali?” Tanya Hotta tampak
takjub. Hal 156.
(8) Yang membuatku takjub adalah setiap orang
dari tiga puluh pria itu membawa pedang
yang terhunus. Hal 188.
bb) Terganggu
(1) Aku terbangun akibat suara keras. Hal 40.
(2) Sekali-sekali salah satu dari mereka akan
berteriak memanggil, “Sensei!” dengan
suara keras berlebihan. Keadaan ini mulai
menggangguku. Hal 43.
(3) Harus kuakui, aku merasa sangat terganggu
pada malam-malam ketika si kakek
melantunkan lirik sandiwara Jepang dengan
suara khususnya, tapi itu lebih baik
daripada terus-menerus didatangi Ikagin
yang menawari seduhan teh, serta memaksa
untuk membeli barang antiknya, namun aku
menolak untuk membelinya. Hal 121
cc) Sepi
(1) Rumah itu terletak di lokasi yang sangat
sepi. Hal 41.
(2) Suasana sepi. Bahkan tidak terdengar
selembar bisikan, apalagi langkah kaki.
Hal 69
(3) Tapi ketika aku sampai di tempat asal
suara, tidak ada lagi suara entakan kaki
ataupun suara di sana. Suasana sesepi
kuburan. Hal 71
dd) Merasa Aneh
(1) Kali pertama masuk ke kelas dan naik ke
podium, aku merasa aneh. Hal 43.
(2) Waktu pertama kali datang ke sekolah, aku
bertanya pada si penjaga sekolah ke mana
guru yang sedang tugas malam, lalu dia
memberitahuku orang itu pergi ke luar.
Saat itu aku merasa tindakan tersebut
aneh, namun setelah merasakan sendiri, aku
mulai memahami alasannya dan memutuskan
aku juga bisa keluar. Hal 60.
(4) Tapi anehnya, kericuhan yang tadi
kudengar kini tiada lagi. Suasana sepi.
Bahkan tidak terdengar selembar bisikan,
apalagi langkah kaki. Aneh. Hal 69
ee) Berisik
(1) Para murid ribut sekali. Hal 43.
(2) Aku terbangun akibat keributan didekatku.
Hal 73
ff) Merasa Kosong
(1) Mendengar seseorang memanggilku “Sensei”
dengan suara keras, membuatku mengalami
perasaan kosong yang sama saat mendengar
meriam tengah hari yang ditembakkan dari
lahan Istana dengan perut kosong. Hal 43
gg) Penuh Emosi
(1) Aku kembali ke ruang guru dengan penuh
emosi. Anak-anak sialan! Memangnya ada
guru yang bisa menjawab soal-soal tadi? Di
mana salahnya mengaku bila kau memang
tidak mampu? Kalau memang sejago itu dalam
matematika, aku tidak akan datang ke sini,
ke tempat terpencil ini, demi empat puluh
yen sebulan. Hal 45.
hh) Konyol
(1) Kemeja merah yang dikenakan kepala guru
terasa konyol. Hal 36.
ii) Frustasi
(1) Tinggal di kota kecil benar-benar
membuatku frustasi ! Hal 55.
jj) Bosan
(1) Para guru dan murid yang tidak tinggal
di asrama sudah pulang, meninggalkanku
sendiri yang kebosanan karena tidak punya
pekerjaan. Hal 59.
(2) Namun setelah dua jam berbincang-bincang
dengan si Penjaga Sekolah, aku merasa
bosan dan memutuskan pergi tidur meskipun
aku tahu aku tidak akan langsung terlelap.
Hal 62
(3) Kami makan umbi malam sebelumnya dan
makan sebelum itu, malam ini pun menunya
sama. Hal 129
(4) Aku agak bosan dengan keadaan ini jadi
aku pergi ke toilet. Hal 167.
(5) Meskipun sedang melakukan tugas mulia
dari langit, aku tetap merasa bosan. Hal
206
(6) Hotta mengakhiri penolakannya dengan
berkata satu-satunya jalan yang terbuka
untuk kami adalah menunggu hingga mereka
keluar, meski menunggu memang sangat
membosankan. Hal 212
kk) Terkejut
(1) Meski terkejut ketika mendapati betapa
memuakkannya makanan itu. Hal 60.
(2) Ini membuatku terkejut sehingga akupun
melompat dari atas futon dan menyibak
selimut. Hal 63.
(3) Anak itu terlalu terkejut sehingga hanya
mampu mengerdip-ngerdipkan mata. Hal 73.
(4) Si Kemeja Merah dan si Badut tampak
terkejut. Hal 83.
(5) Yoshikawa terkejut dan mengalihkan mata
ke tempat lain seolah silau akibat cahaya
kelewat terang dari mataku. Hal 87.
(6) Ketika berdiri di sana, menyapukan mata
ke seluruh ruangan, aku melihat semua
orang tampak terkejut, kecuali Yoshikawa.
Hal 101
(7) Yang membuatku terkejut adalah, di hari
setelah kepergianku dari Ikagin, Yoshikawa
pindah ke sana tinggal di kamar lamaku
seolah hal tersebut merupakan hal paling
biasa di dunia. Hal 119.
(8) Botchan terkejut karena ternyata Madonna
adalah wanita cantik, sampai-sampai semua
guru di sekolah memanggilnya Madonna. Hal
123.
(9) Kelugasan ucapanku telah membuatnya
terkejut. Hal 152
(10) Ini membuatku terkejut karena meskipun
si penabuh tambur tampak paling santai,
menyanyikan lagu “Iyaa---, Haa—“ dengan
perlahan, sebenarnya justru dia yang
memikul beban tanggung jawab besar dan
harus melakukan tugas penting. Hal 190.
(11) Setelah membaca surat kabar, yang
menuliskan hal yang bukan sebenarnya,
membuat Botchan terkejut. Hal 194
(12) “Kenapa Anda tidak meminta pengunduran
diri saya?” Tanya Botchan.
“Apa?” Si Tanuki tampak terkejut. Hal 204
(13) Ketika aku tiba, Hotta akan
mengejutkanku dengan informasi detail
tentang berapa banyak tamu yang datang
hari itu, berapa di antara mereka yang
menginap, dan berapa banyak di antara
mereka yang adalah perempuan. Hal 207.
(14) Hotta turun ke bawah dan memberitahu
staf penginapan bahwa mereka mungkin akan
keluar malam-malam, jadi harap membiarkan
pintu depan tidak terkunci. Bila mengingat
malam itu, aku terkejut mereka setuju.
Kebanyakan orang akan berpikir kau
perampok bila mengusulkan hal seperti itu
kepada mereka. Hal 211.
(15) Nenek pemilik rumah begitu terkejut dan
bertanya apa yang akan kukatakan. Hal 215
ll) Kagum
(1) Aku kagum anak-anak ini masih mampu
bertingkah liar dengan asupan makanan
sedemikian. Hal 60.
(2) Setelah mengetahui betapa gentlemannya
Koga, Botchan merasa kagum padanya. Hal
104
(3) Semua orang memandangi rangkaian-
rangkaian bunga itu penuh kekaguman. Hal
187.
(4) Hotta dan aku begitu terkagum-kagum dan
tenggelam dalam pertunjukkan tari pedang.
Hal 190.
mm) Puas
(1) Setelah mengajar, Hotta bertanya
bagaimana sejauh ini. Aku menjawab dengan
sekenanya dan jawaban itu sepertinya cukup
membuatnya puas. Hal 44.
(2) Di pemandian air panas , aku menggunakan
waktu sepuasnya keluar-masuk bak beberapa
kali. Hal 60
nn) Nyaman
(1) Aku sedang berbaring, merentangkan kaki
lebar-lebar dan berpikir betapa nyaman
rasanya. Hal 63.
(2) Aku tidak bisa setuju apakah
pemandangannya memang menakjubkan atau
tidak, yang jelas aku merasa nyaman
memandang. Hal 79.
oo) Terasa Kasar
(1) Apa pun itu keduanya terasa kasar, yang
berarti mereka bukan kutu. Hal 63
pp) Gatal
(1) Aku melompat dan menendang dua atau tiga
kali di bawah selimut, namun benda-benda
yang membuatku terasa gatal malah
bertambah. Hal 63.
(2) Wajahku memang terasa agak berat dan
gatal di mana-mana. Hal 75.
qq) Ngeri
(1) Waktu merasakan gerakan di tubuhku tanpa
tahu wujud mereka sebenarnya, aku merasa
ngeri. Hal 63.
(2) Meski hanya penonton, aku berkeringat
dingin melihatnya. Hal 189
(3) Ujung atas hidung Hotta terhantam dan
mengeluarkan banyak darah. Hidungnya
sungguh tampak mengerikan, bengkak dan
merah menyala. Hal 193
rr)Takut
(1) Lalu aku melemparkan sapu ke beranda yang
kemudian dipungut si Penjaga Sekolah
dengan takut-takut sebelum dia menyelinap
kabur. Hal 64.
(2) Yoshikawa ketakutan saat melihat Botchan
melotot ke arahnya. Hal 87.
(3) Si Badut pun mengubah sikap menjadi
serius dan sungkan. Dia tampak agak takut.
Hal 102
(4) Si Badut benar-benar ketakutan dan sambil
berseru ngeri, terjatuh duduk. Hal 213
(5) Akhirnya Si Kemeja Merah dan Si Badut
terpojok di bawah pohon cedar sambil
gemetar ketakutan. Hal 214
ss)Khawatir
(1) Hentakannya begitu hebat sampai-sampai
aku khawatir langit-langit akan runtuh
menimpaku karenanya. Hal 69.
tt) Cemas
(1) Karena cemas telah terjadi sesuatu, aku
melompat keluar dari futon dan berlari ke
atas. Hal 69.
(2) Dia tampak sangat cemas dan berkata
betapa memalukannya artikel yang
diterbitkan koran itu, mudah-mudahan tidak
ada masalah yang muncul akibatnya. Hal
198.
(3) Setelah empat atau lima malam seperti
ini, Nenek Hagino mulai mencemaskan
keadaanku. Hal 206
uu) Kesakitan
(1) Aku berteriak kesakitan dan teriakan itu
masih berdenging di telingaku ketika aku
jatuh terhempas dan mendarat dengan wajah
terlebih dahulu. Hal 71
vv) Lapar
(1) Aku mulai lapar. Hal 79
ww)Terusik
(1) Botchan merasa terusik karena si Badut
mengatakan hal-hal yang tidak dimengerti
orang lain, terlebih lagi, menyatakan
ketidakpedulian, apakah orang lain dengar
atau tidak karena mereka tidak mengerti,
sungguh sikap tidak tahu adat. Hal 80
xx) Antusias
(1) Si Kemeja Merah terkadang gemar membawa
ke sekolah majalah merah menyala yang
bernama Sastra Kekaisaran dan
membacakannya penuh antusias. Hal 84.
yy) Benci
(1) Aku benci si Badut. Hal 93
zz)Gelisah
(1) Si Kemeja Merah tampak sangat gelisah.
Hal 98.
(2) Di malam keenam, aku mulai merasa
gelisah. Hal 206.
aaa)Gugup
(1) Suaranya yang kewanitaan membuatnya
terdengar sangat gugup. Hal 97
(2) Wajahnya tampak berkeringat karena gugup.
Hal 98
bbb)Segan
(1) Guru olahraga selalu mengambil tempat
duduk di bagian kaki meja atas alasan rasa
segan. Hal 103
ccc)Bahagia
(1) Aku sangat bahagia karena Hotta telah
mengatakan semua yang ingin kukatakan. Hal
113.
(2) Aku pun begitu bahagia sehingga berkata,
“Aku takkan pernah pergi ke pedasaan lagi.
Aku akan membeli rumah di Tokyo dan hidup
bersamamu.” Hal 217
(3) Kiyo tampak sangat bahagia meski rumah
yang kami tinggali tidak berserambi
indah.Hal 217.
ddd) Merasa Sentimental
(1) Bukannya aku tidak menyukai wanita muda,
namun setiap kali melihat wanita tua, aku
selalu merasa sentimental. Hal 118
eee) Sayang
(1) Hal ini mungkin disebabkan rasa sayangku
terhadap Kiyo. Hal 118
fff) Jijik
(1) Seolah dunia hanya dipenuhi penipu, semua
orang menunggu kesempatan untuk mengambil
keuntungan dari yang lain. Aku jijik
membayangkannya. Hal 119
ggg) Tidak Bersemangat
(1) Koga tampak tidak bersemangat untuk apa
pun. Apa pun yang aku katakan, dia hanya
akan menjawab dengan ya atau tidak. Hal
135
(2) Namun setelah seminggu berlalu tanpa
hasil, aku mulai kehilangan semangat. Hal
206
hhh)Terkesan
(1) Aku begitu terkesan sehingga berkata
dengan lengan seperti itu kurasa dia bisa
meratakan lima atau enam Kemeja Merah
sekaligus. Hal 160.
(2) Sesuai bayangan untuk ruang sebesar itu,
lebar tokonomanya sungguh mengesankan. Hal
162
(3) Guru Biologi begitu terkesan dan
berpendapat musik itu menarik karena
menggunakan bahasa Inggris di dalam
syairnya. Hal 173
iii) Tidak Nyaman
(1) Pakaian Barat yang kukenakan membuatku
terlalu tidak nyaman untuk duduk berlutut
formal sehingga aku pun memilih duduk
bersila. Hal 163.
(2) Di acara perpisahan, Koga tampak tidak
nyaman, karena masih mengenakan hakamanya.
Hal 173
jjj)Bangga
(1) “Nah, bagaimana menurutmu pidatoku tadi?
Bagus bukan?” Hotta tampak bangga. Hal
167.
kkk)Bising
(1) Ruangan itu luar biasa bising dan tak
beraturan. Hal 170
lll) Ramai
(1) Tidak kusangka begitu banyak orang
tinggal di kota kecil seperti ini. Ramai
sekali. Hal 187.
mmm)Tidak Tenang
(1) Aku lebih terganggu karena tidak bisa
merasa tenang. Hal 209
nnn)Merana
(1) Kami tidak boleh tertidur, kemudian
karena harus terus mengintai dari balik
shoji ditambah berbagai ketegangan lain,
aku sungguh merasa merana. Hal 211.
ooo)Panik
(1) Si Badut tampak panik dan berusaha
melarikan diri, jadi aku menyelinap ke
depannya dan menghalangi jalan. Hal 212
ppp)Gembira
(1) “Oh Botchan! Aku sungguh gembira kau
pulang begini cepat,” kata Kiyo. Hal 217
qqq)Heran
(1) Yang mengherankan adalah mengapa mereka
juga mengajak orang yang tidak suka
bergaul seperti diriku. Hal 78
e. Alur :
Maju
f. Sudut Pandang : Orang pertama
pelaku utama
g. Amanat
Jangan takut untuk melakukan suatu perubahan,
karena setiap orang akan mengalami suatu
perubahan . Dalam novel botchan tokoh utama
mengalami perubahan sikap ke arah yang lebih baik ,
yaitu yang dahulunya nakal, usil, ceroboh,bandel,
dan sebagainya sekarang berubah menjadi anak yang
lebih dewasa dan mengerti apa arti sebuah
kehidupan.
h. Gaya Bahasa : Modern Klasik
Natsume Kinnosuke atau lebih dikenal dengan
Natsume Soseki. Lahir pada tahun 1867 di Edo
sebagai anak ke-5 dari keluarga seorang Kepala Desa
yang cukup berpengaruh pada masa reformasi Meiji.
Sōseki lahir sebagai putra kelima (anak bungsu)
keluarga Natsume yang terpandang di kawasan
Ushigome, Babashita Yokomachi, kota Edo (sekarang
Kikui-chō, distrik Shinjuku, Tokyo).
Ayahnya yang bernama Natsume Kohei Naokatsu
menamainya Kinnosuke. Ibunya merasa malu karena
masih hamil dan melahirkan Kinnosuke di usia
lanjut. Keluarganya sedang mengalami masa-masa
sulit akibat keadaan yang kacau setelah runtuhnya
Keshogunan Tokugawa.
Sewaktu masih bayi, Kinnosuke diberikan kepada
pemilik toko barang bekas untuk dijadikan anak
angkat. Hingga tengah malam, bayi Kinnosuke tidur
di toko, di samping barang dagangan. Iba melihat
nasib adiknya, kakak perempuannya membawa Kinnosuke
pulang ke rumah.
Setelah berusia setahun, Kinnosuke diberikan
kepada teman ayahnya, Masanosuke Shiohara untuk
dijadikan anak angkat. Ayah angkatnya yang baru
ternyata memiliki wanita simpanan hingga keluarga
angkatnya menjadi berantakan. Kinnosuke tertular
cacar di usia 3 tahun yang meninggalkan bekas di
wajah.
Sewaktu berusia 7 tahun, Kinnosuke dilarikan
pulang ke rumah orang tua kandungnya oleh ibu
angkatnya. Di sana, ayah dan ibu kandungnya sempat
dikira kakek dan neneknya. Sewaktu berusia 9 tahun,
Kinnosuke dikembalikan ke rumah orang tuanya
setelah orang tua angkatnya bercerai.
Akibat buruknya hubungan antara ayah kandung
dan ayah angkatnya, status Kinnosuke secara resmi
baru dikembalikan sebagai anak dari ayah kandungnya
pada tahun 1888 yakni saat berumur 21 tahun.
Hubungan antara ayah kandung dan ayah angkatnya
diangkat sebagai tema novel otobiografi Michikusa
(Grass on the Wayside).
Di tengah keadaan keluarga yang sulit,
Kinnosuke sempat pindah ke sekolah dasar yang lebih
baik agar bisa diterima di Sekolah Lanjutan 1
Prefektur Tokyo. Namun baru sampai di kelas 2
sekolah lanjutan, Kinnosuke memutuskan untuk
berhenti. Alasannya di sekolah tidak diajarkan
bahasa Inggris, padahal bahasa Inggris diujikan
dalam tes masuk universitas.
Lulusan sekolah tersebut memang tidak
dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Keinginan mendalami sastra klasik Tionghoa menjadi
alasan lain dirinya berhenti sekolah. Walaupun
sudah berhenti sekolah, Kinnosuke yang takut
dimarahi kakak tertua, tetap berpura-pura berangkat
sekolah sambil tidak lupa membawa bekal makan
siang.
Selanjutnya pada tahun 1881, Kinnosuke
mengikuti sekolah privat sastra klasik Tionghoa
yang bernama Nishogakusha. Di sana didapatnya etika
Konfusianisme dan apresiasi seni Asia Timur yang
dimunculkan dalam karyanya di kemudian hari.
Setelah belajar beberapa bulan, Kinnosuke kembali
berhenti sekolah karena kakak tertuanya, Daisuke
menentang keinginan adiknya belajar sastra.
Setelah jatuh sakit, Daisuke berhenti dari
kuliahnya di Universitas Nankō, dan bekerja sebagai
penerjemah di kantor kepolisian. Setelah sadar
adiknya lebih pintar darinya, Daisuke berubah
pikiran dan mendukung adiknya untuk melanjutkan ke
universitas hingga tamat.
Pada tahun 1889, Kinnosuke bertemu dengan
Masaoka Shiki, teman satu sekolah yang memberinya
pengaruh besar dalam bidang kesusastraan. Di
kalangan teman-teman sekolahnya, Shiki mengedarkan
kumpulan tulisan tangan puisi Tionghoa dan haiku
yang diberinya judul Nanakusa-shū. Di bagian
belakang kumpulan puisi tersebut, Kinnosuke
menuliskan ulasan dalam bentuk komposisi Tionghoa
klasik (kanbun).
Pada waktu itu, nama pena "Sōseki" digunakannya
untuk pertama kali. Ulasan tersebut merupakan awal
persahabatan antara dirinya dan Shiki. Pada bulan
September 1889, Sōseki melakukan perjalanan ke
Semenanjung Bōsō di Bōshū. Catatan perjalanan
dituangkannya dalam komposisi Tionghoa klasik
berjudul Bokusetsuroku, dan Shiki dimintanya untuk
memberikan ulasan. Persahabatan di antara keduanya
terus berlanjut hingga Shiki wafat pada tahun 1902.
Dua tahun kemudian (1883), Kinnosuke mengikuti
kursus bahasa Inggris Seiritsu Gakusha di
Kandasurugadai. Bahasa Inggris merupakan satu mata
pelajaran yang diujikan dalam tes masuk sekolah
tingkat persiapan (daigaku yobimon) yang diadakan
Universitas Kekaisaran Tokyo. Tahun berikutnya
(1884), Kinnosuke lulus tes dan diterima sebagai
siswa tingkat persiapan.
Di antara teman seasrama terdapat Yoshikoto
Nakamura yang di kemudian hari menjadi direktur
utama Perusahaan Kereta Api Manchuria Selatan. Pada
tahun 1886, sekolah yang diikutinya berubah nama
menjadi Sekolah Lanjutan Atas 1 (Dai-ichi Kōtō
Gakkō). Kinnosuke menderita apendisitis sehingga
tidak dapat mengikuti ujian akhir dan tidak naik
kelas.
Setelah itu, pekerjaan sebagai guru di
bimbingan masuk universitas dan sekolah swasta
diterimanya untuk mencari uang. Pengalaman sebagai
guru mendorong dirinya semakin rajin belajar, dan
mendapat nilai terbaik nomor satu di hampir semua
mata pelajaran, terutama bahasa Inggris.
Pada tahun 1890, Sōseki diterima di jurusan
sastra Inggris Universitas Kekaisaran (Teikoku
Daigaku) yang baru saja didirikan. Universitas
tersebut nantinya menjadi Universitas Kekaisaran
Tokyo (Tokyo Teikoku Daigaku). Pada periode Meiji, kaum
intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai
pengetahuan dunia Barat dapat membantu pembangunan
negeri dan sudah menjadi kewajiban bagi mereka.
Sejak kuliah, Sōseki menganut paham pesimisme
sekaligus mengidap gangguan kejiwaan yang waktu itu
populer dengan sebutan lemah syaraf (neurastenia).
Kematian berturut-turut orang yang dekat dengannya
diduga menjadi salah satu penyebab. Kakak
tertuanya, Daisuke meninggal dunia bulan Maret
1887, disusul tiga bulan kemudian oleh Einosuke
kakak nomor dua.
Istri dari kakak nomor tiga yang bernama Toyo
juga meninggal pada tahun 1891. Sōseki memang
sering dikatakan menaruh hati pada Toyo, dan
kematian Toyo membuat hatinya terluka. Perasaan
terhadap Toyo ditumpahkannya menjadi puluhan haiku.
Pada tahun berikutnya (1892), Sōseki menerima
beasiswa, dan dipercayakan dosennya yang bernama
J.M. Dixon untuk menerjemahkan Hōjōki ke dalam
bahasa Inggris. Pada tahun yang sama, Sōseki
mengelak dari wajib militer dengan mendirikan
percabangan keluarga, sekaligus memindahkan alamat
tempat tinggalnya ke Hokkaido.
Setelah itu (Mei 1892), Soseki mulai bekerja
sebagai pengajar di Tokyo Senmon Gakkō (sekarang
Universitas Waseda) untuk membayar biaya kuliah.
Pada waktu itu, Shiki sudah berhenti kuliah.
Sewaktu mengunjungi rumah keluarga Shiki di
Matsuyama, Sōseki bertemu dengan Kyoshi Takahama
yang mendorongnya untuk terus menekuni pekerjaan
sebagai penulis.
Dengan memasuki sastra Barat bukan berarti
Soseki meninggalkan sastra Cina melainkan
memperluas pengetahuan dalam bidang yang
dicintainya, yaitu Sastra. Pada tahun 1893, Soseki
lulus dari Imperial University kemudian menjadi
dosen bahasa Inggris di Sekolah Pendidikan Guru.
Pada 1895 ia pergi ke Shikoku dan menjadi guru
bahasa Inggris di Sekolah Menengah Matsuyama di
Prefecture Aichi, yang kemudian menjadi setting
Botchan. Setelah menetap selama setahun di Matsuyama,
Soseki pindah ke tempat lain di Kumamoto, Kyushu
untuk menjadi professor di Sekolah Menengah Tinggi
ke-5, sekarang menjadi Universitas Kumamoto dan
menetap selama empat tahun hingga tahun 1900. Di
Kumamoto Sōseki menikah dengan Kyōko, putri sulung
Nakane Shigekazu yang menjabat sekretaris dewan
aristokrat (Kizoku-in Shokikan).
Pada tahun 1900, Menteri Pendidikan mengirimnya
ke Inggris selama dua tahun sebagai mahasiswa
peneliti. Pada waktu berada di Inggris, ia
menderita stress berat karena dua hal, pertama ia
merasa ragu terhadap kesusastraan, bila melihat
perbedaan yang begitu besar antara tradisi serta
kebudayaan Barat dan Jepang. Kedua, ia menerima
uang penelitian yang tidak cukup. Di London, Sōseki
mendalami karya Charles Dickens dan George
Meredith.
Selain belajar teori kesusastraan, bimbingan
pribadi diterimanya dari peneliti Shakespeare,
Profesor W.J. Craig. Namun, Sōseki lagi-lagi
merasakan dirinya tidak cocok belajar sastra
Inggris, dan lemah syaraf yang dideritanya semakin
parah. Hati Soseki terluka akibat sering mengalami
diskriminasi ras karena dirinya orang Asia Timur.
Studi yang berjalan tidak semulus perkiraan juga
membuatnya jengkel, dan harus berkali-kali pindah
tempat kos.
Karena itu, Natsume Soseki tidak menjadi pemuja
Barat yang optimistik, malah sebaliknya ia menjadi
seorang intelektual yang berupaya mendalami
pemikiran masyarakat ataupun kesusastraan Jepang.
Setelah tinggal selama 2 bulan pada tahun 1901
bersama dengan ahli kimia Ikeda Kikunae, Sōseki
mendapat semangat baru dan mulai giat belajar
sambil mengurung diri di kamar.
Akibatnya, pergaulan dengan sesama mahasiswa
menjadi semakin jarang. Kabar beredar di kalangan
mahasiswa bahwa Sōseki sudah gila. Berita tersebut
sampai ke Kementerian Pendidikan Jepang yang segera
memintanya untuk pulang. Setelah berada di Inggris
selama 3 tahun, Soseki tiba kembali di Jepang pada
tahun 1903.
Setelah kembali ke Jepang pada tahun 1903, ia
menjadi dosen di Universitas Tokyo sebagai
pengganti Koizumi Yakumo, dan mengajarkan teori
kesusastraan. Namun, mahasiswa melakukan aksi
protes agar Yakumo dipertahankan. Mahasiswa tidak
senang dengan cara Soseki memberikan kuliah.
Di Sekolah Lanjutan Atas 1, Sōseki memiliki
murid bernama Misao Fujimura. Setelah dimarahinya
karena malas belajar, Fujimura bunuh diri di Air
terjun Kegon. Peristiwa tersebut membuat lemah
syaraf yang dideritanya kambuh dan Sōseki harus
tinggal terpisah dari istri sekitar 2 bulan.
Setelah pulih (1904), Sōseki bekerja sebagai staf
pengajar Universitas Meiji.
Akhir tahun 1904, Kyoshi Takahama
menganjurkannya agar menulis untuk meringankan
gangguan lemah syaraf. Hasilnya berupa karya
pertama Sōseki, Wagahai wa Neko de aru (I Am a Cat).
Karya tersebut menerima pujian saat pertama
kali diedarkan di perkumpulan murid Shiki (Yama
Kai). Bulan Januari tahun berikutnya, majalah
Hototogisu memuat cerita tersebut hingga habis dalam
sekali pemuatan. Sambutan yang baik dari pembaca
menjadikan cerita tersebut ditulis kelanjutannya.
Dalam buku 親親親夏 karya 親 親 親 親 親 親(1975:31
3)tertulis 親親親親親親 親 親親親親親親 親 親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親〇 「」「」、一 一
Pada tahun1906, ia menulis Botchan. Novel ini pun
menjadi terkenal dan menjadi favorit pembaca
Jepang. Karya Soseki dimuat bersambung di surat
kabar Asahi Shimbun tempatnya bekerja, antara lain
karyanya yang berjudul Gubijinsō (The Poppy) dan Sanshirō.
Soseki sering mengangkat tema-tema seperti
kehidupan masyarakat dalam berjuang mengalami
kesulitan ekonomi, konflik antara tugas, keinginan,
dan harapan, loyalitas dan mentalitas kelompok
melawan kebebasan dan individualitas, keterbukaan
Jepang dalam menerima budaya Barat dalam karya-
karyanya.
Ia juga menaruh perhatian pada para penulis
yang tergabung dalam 7 Shirakaba Literary Group,
Ryunosuke Akutagawa dan Kume Masao menjadi
pengaggum karya-karyanya. Karya Sōseki bagaikan
melupakan dunia orang kebanyakan, dan memandang
hidup dengan lebih santai. Berbeda dengan aliran
naturalisme yang waktu itu merupakan aliran utama,
Sōseki termasuk sastrawan Yoyū-ha (aliran
berkecukupan).
Pada tahun 1906, Toyotaka Komiya dan Shōhei
Morita sering berkunjung ke rumah Sōseki. Miekichi
Suzuki juga datang teratur sebagai muridnya setiap
hari Kamis. Sejumlah muridnya menjadi sastrawan dan
orang terkenal, misalnya Hyakken Uchida dan Nogami
Yaeko. Selain itu, di antara murid Sōseki terdapat
novelis Ryūnosuke Akutagawa dan Masao Kume, serta
ilmuwan seperti Torahiko Terada, Jirō Abe, dan
Yoshishige Abe.
Karena Natsume Soseki sebenarnya tidak begitu
suka menjadi dosen, maka pada tahun 1907 ia
berhenti dari Universitas Tokyo dan memutuskan
menjadi pengarang yang bernaung di bawah Asahi
Shinbunsha. Sejak itu semua karyanya dimuat dalam
surat kabar Asahi Shinbun.
Awal kariernya sebagai penulis tetap ditandai
dengan pemuatan Gubijinsō sebagai cerita bersambung
di Asahi Shimbun, Juni 1907. Di tengah penulisan
Gubijinsō, Sōseki terganggu oleh penyakit lemah
syaraf dan sakit lambung.
Perjalanan ke Manchuria dan Korea dilakukannya
pada tahun 1909 atas undangan mantan teman seasrama
Yoshikoto Nakamura yang menjabat direktur utama
Perusahaan Kereta Api Manchuria Selatan. Catatan
perjalanannya dimuat bersambung di Asahi Shimbun
dengan judul Mansen Tokoro Dokoro (Tempat-tempat di
Manchuria dan Korea).
Pada musim panas tahun 1910, Soseki mengalami
sakit keras dan menyepi di kuil Shuzen-Ji,
Semenanjung Izu untuk beristirahat dan mengobati
penyakit perut di sumber mata air panas. Namun
Natsume Soseki masih sering muntah darah dan
mengalami masa gawat.
Pada tahun berikutnya anak perempuannya yang
berusia satu tahun meninggal secara tiba-tiba.
Keadaan Sōseki semakin kritis, sehingga rekan dan
murid-muridnya datang menjenguk. Setelah sekitar 4
bulan di Shuzen-ji, Sōseki kembali masuk rumah
sakit di Tokyo.
Seusai memberi kuliah di Kansai pada bulan
Agustus 1911, tukak lambungnya kambuh, dan Sōseki
masuk rumah sakit di Osaka. Sekembalinya di Tokyo,
penyakit wasir memaksanya berobat jalan, dan
operasi wasir kembali dijalaninya bulan September
1912.
Pada bulan Desember 1912, penulisan Kōjin
terputus di tengah jalan karena sakit. Sampai bulan
Juni 1913, Sōseki terus menderita lemah syaraf dan
tukak lambung. Pada bulan September 1914, tukak
lambung menyebabkan dirinya terbaring sakit untuk
keempat kalinya.
Pengalaman antara hidup dan mati menjadikan
karya berikutnya sering menampilkan manusia yang
mengejar kepentingan diri sendiri dan menjadi
seorang pengarang gelap dan murung, yang secara
serius memikirkan masalah kematian.
Salah satu karyanya yang menyoroti kematian
adalah novel Kokoro (Heart / Rahasia Hati, 1914) yang
menuliskan seorang Sensei melakukan bunuh diri
untuk menebus rasa bersalahnya kepada teman akrab
yang dikhianatinya. Walaupun sakit, Soseki masih
menghasilkan karya sastra. Ia menghasilkan Kojin (The
wayfarer), kokoro(Heart) dan Garasudo no Uchi (Inside my glass
doors).
Karya terakhirnya berjudul Meian (Light and
Darkness) dimuat bersambung dalam Asahi Shimbun, namun
tidak selesai. Bulan Maret 1915, Sōseki pergi
berwisata ke Kyoto, tapi jatuh sakit untuk kelima
kalinya di sana. Bulan berikutnya (Juni 1915),
Sōseki memulai cerita bersambung Michikusa (Grass on
the Wayside) sambil berusaha menghidupkan kembali
ingatan dan suasana sewaktu menulis Wagahai wa Neko
de Aru.
Tahun berikutnya (1916), Sōseki menderita
diabetes, dan wafat akibat pendarahan pada 9
Desember 1916. Novel berjudul Meian (Light and
Darkness) tidak sempat diselesaikannya, dan Sōseki
berusia 49 tahun sewaktu meninggal. Pesan
terakhirnya, "Mati membuat masalah saja" ("Shinu to
komaru kara").
Keesokan harinya, otopsi dilakukan dokter
pribadinya, Matarō Nagayo di Fakultas Kedokteran,
Universitas Kekaisaran Tokyo. Otak dan lambungnya
disumbangkan ke Universitas Kekaisaran Tokyo.
Sampai hari ini otaknya masih disimpan di dalam
toples, beratnya 1,425 kg.
Penerjemah karya Sōseki, Ikuo Tsunematsu
membuka Museum Soseki di London pada tahun 1984.
Museum tersebut menempati gedung yang berseberangan
dengan tempat kos Sōseki di London. Di dalam museum
dipamerkan keadaan tempat tinggal, foto kawan-
kawan, dan buku-buku yang dibaca Sōseki di London.
Dari tahun 1984 hinga tahun 2004, potretnya
menghiasi uang kertas pecahan 1000 Yen.
Gambar 2 Potret uang bergambar Natsume
Soseki
b. Aspek Sosiologis
1) Teman sepergaulan Botchan saat di sekolah
dasar selalu memberikan tantangan yang
membahayakan raga Botchan, namun agar tidak
dikatakan pengecut Botchan pun menerima
tantangan tersebut. Dan akibatnya ia selalu
celaka. Seperti saat temannya yang menantang
dia untuk lompat dari lantai 2 sekolah.
Dengan mudahnya Botchan langsung terjun
hanya karena tidak ingin dikatakan pengecut.
Tapi untunglah ia tidak meninggal dunia,
karena jika ia meninggal dunia, mungkin kisah
dalam novel ini hanya sepanjang satu halaman,
atau mungkin tokoh utama digantikan oleh tokoh
lainnya.
Lalu saat Botchan membawa sebuah pisau,
temannya menantangnya untuk memotong jempolnya.
Dan dengan bodohnya ia memotong jempolnya tapi
untunglah, pisau yang tipis itu sudah keburu
patah saat beradu kekuatan dengan tulang di
jari jempolnya. Namun walaupun jempolnya tidak
putus, tapi ia memiliki luka yang masih
membekas bahkan sampai ia dewasa. Hal 11-12.
2) Masyarakat di daerah Shikoku tempat Botchan
mengajar menurut pandangan Botchan agak kurang
baik, dimulai dari anak kecil yang ia tanya di
mana sekolah menengah desa ini dan jawabannya
hanya tidak tahu, padahal desa ini kecil
seharusnya anak itu tahu di mana sekolah
menengah itu.
Lalu seseorang yang menyuruh Botchan untuk
mengikutinya, Botchan kira akan diantarkan ke
Sekolah Menengah tersebut tapi malah diantarkan
ke sebuah penginapan. Akhirnya ia ke Sekolah
itu naik kereta, namun hanya sebentar mungkin 5
menit, dan tarifnya hanya 3 sen karena dekat,
saat itu sekolah sudah sepi. Saat Botchan ingin
bertemu dengan guru yang sedang berjaga malam
ternyata gurunya tidak ada. Yang artinya guru
itu santai sekali dalam menjalankan tugasnya.
Saat ia menginap di sebuah penginapan pun
diberikan sebuah kamar yang panas dengan alasan
semua kamar sudah penuh, namun saat setelah
mandi Botchan melihat, banyak kamar yang
kosong. Di kamar ia pun berpikir mungkin karena
pakaiannya lusuh sehingga mereka merendahkan
Botchan dan memberikan kamar yang panas.
Pagi harinya, saat pelayan wanita menatap
Botchan dengan liarnya, Botchan mejadi
tersinggung karena dalam pikirannya senyuman
pelayan wanita itu lebih mirip senyuman yang
mengejek wajahnya, walaupun menurut Botchan
sendiri wajah Botchan masih bagus daripada
wajah orang-orang desa ini.
Di sekolah pun Botchan berniat untuk
menolak pekerjaan ini, karena kepala sekolah
memintanya menjadi guru panutan murid padahal
Botchan menyadari bahwa dirinya begitu liar,
bagaimana mungkin bisa menjadi panutan murid.
Seandainya ada guru yang bisa menjadi panutan
murid pun guru itu tidak mungkin mengajar di
sekolah desa seperti ini.
Botchan merasa ditipu oleh orang yang
memberikannya pekerjaan, karena telah
ditempatkan di desa seperti ini. Saat bertemu
dengan guru-guru pertama kali pun, mereka
memandang Botchan dengan liarnya sehingga
membuat Botchan kurang nyaman, akhirnya Botchan
menjuluki guru-guru itu di alam pikirannya.
Murid-muridnya pun sangat menyebalkan,
mereka selalu ikut campur, tidak punya kerjaan
lain selain mengisengi guru barunya, dan suka
tauran, Kepala Guru yang licik, suka ngambil
tunangan orang lain serta memiliki hubungan
khusus dengan seorang geisha juga, dan
mempengaruhi kepala sekolah untuk memecat
orang-orang yang tidak disukai oleh Kepala
Guru.
3) Menurut Botchan orang kampung tidak mampu
membedakan antara hal yang satu dengan yang
lain dan tidak tahu harus menetapkan batas.
Murid-murid Botchan dibesarkan di kota yang
saking kecilnya seluruh pemandangan bisa
dilihat dalam waktu satu jam, dan karena tidak
memiliki hal lain yang bisa dibanggakan, mereka
bisa begini heboh hanya gara-gara tempura,
seolah makanan itu perang Rusia-Jepang.
Di kota kecil, memata-matai orang dan
menggosipkannya bisa dengan mudah dilakukan.
Murid-murid Botchan yang tinggal di kota kecil
dengan semua pemandangan kota bisa dinikmati
dalam waktu satu jam, membuat mereka terlalu
ikut campur dengan kegiatan yang dilakukan oleh
guru baru mereka.
Saat Botchan makan mi tempura sampai 4
mangkok, murid-muridnya bisa mengetahui hal itu
dengan mudah dan menuliskannya di papan tulis
dengan huruf besar. Saat Botchan makan dango,
atau berendam / berenang di pemandian air panas
setiap malamnya, mereka juga bisa langsung
tahu, karena kota itu begitu kecil.
Hal-hal yang dilakukan Botchan sangat
luar biasa menurut mereka, bahkan lebih luar
biasa daripada berita perang Rusia dan Jepang.
Menurut murid-murid itu memasuki pemandian air
panas kelas satu dengan biaya delapan sen
dengan gaji 40 yen perbulan merupakan suatu
kemewahan.
4) Menurut Botchan tidak ada masyarakat yang
rela mentoleransi orang-orang memuakkan yang
berpikir bisa bersenang-senang tanpa membayar
akibatnya. Hal 67.
5) Orang Jepang terlalu menjunjung tinggi status
atasan dan bawahan. Dalam novel Botchan hal 84.
Saat acara memancing, hasil pancingan yang
didapat oleh kepala guru dan guru kesenian
adalah ikan Goruki yakni ikan yang hanya bisa
dijadikan pupuk.
Guru kesenian memberikan komentar konyol
yakni “Jika Kepala Guru saja hanya bisa
menangkap goruki, maka pastinya saya (guru
kesenian) tidak bisa berharap lebih.”
Penulis tidak habis pikir, kenapa tidak
bisa berharap lebih? Bukankah kesuksesan berhak
dimiliki oleh siapa saja? Bahkan seorang
bawahan sekalipun? Sistem atasan dan bawahan di
Jepang memang sungguh berlebihan, sistem kasta
juga berlebihan, seakan kesuksesan sudah
ditakdirkan untuk orang yang berstatus tinggi.
Jadi, untuk apa orang yang berkasta rendah
dilahirkan jika tidak ikut mereguk kesuksesan.
Hal 84.
6) Semua orang kampung sangat pelit, bahkan dua
sen jadi masalah besar bagi mereka, maka
sebagian besar dari mereka naik kelas dua. Hal
134
c. Aspek Psikologi
1) Karena ketidaktahuan, kelebihan energi, serta
harga diri yang tinggi sehingga tidak ingin
dibilang pengecut oleh kawan-kawannya, disadari
atau tidak oleh Botchan, ia selalu membuat
ulah. Ayahnya sudah tidak tahu harus berbuat
apalagi, jadi ia hanya bisa berkata “Anak itu
tidak akan pernah jadi apa pun.” Dan ketika
Botchan membuat ulah lagi ayahnya hanya
menatapnya dan berkata “Kau tidak berguna!
Tidak berguna!”
Bahkan saat Ibunya sakit pun, Botchan
yang kelebihan energy bermain jungkir balik di
dapur dan menabrakkan tulang rusuknya dengan
keras ke sudut kompor masak. Ibunya marah luar
biasa dan berkata tidak akan pernah mau lagi
melihat wajah Botchan, jadi Botchan pun pergi
untuk tinggal bersama kerabat keluarga.
Raga sang Ibu sedang sakit berat, dan
melihat tingkah anaknya yang pecicilan, bahkan
Botchan pergi dari rumah membuat keadaan
kejiwaan sang Ibu bergejolak. Ia merintih sedih
karena memiliki anak nakal, di satu sisi ia
tidak kuasa menahan rasa sakit di sekujur
tubuhnya. Akhirnya karena tekanan batin dan
penyakit yang dideritanya ia pun meninggal
dunia, dan benar-benar tidak akan melihat
Botchan lagi.
Kakak Botchan pun mengatakan bahwa
Botchan adalah anak celaka dan gara-gara
Botchanlah, Ibu meninggal secepat ini. Andaikan
Botchan tidak banyak tingkah sampai menabrakkan
tulang rusuknya dengan keras ke sudut kompor,
dan andaikan Botchan tak benar-benar pergi dari
rumah (karena sang Ibu berkata seperti itu
hanya karena kekesalannya memuncak) mungkin
sang ibu masih bisa menahan rasa sakitnya
sebentar sembari menunggu pengobatan dari
dokter bereaksi dan menyembuhkan raganya,
sehingga bisa sehat kembali.
Namun karena tekanan batin akhirnya sang
Ibu menyerah dan berfikir untuk apa ia hidup
jika hanya untuk melihat kenakalan anaknya,
yang selalu membuat ulah dan mencelakakan
dirinya sendiri dan hebatnya Botchan seperti
memiliki 99 nyawa, sehingga setelah melakukan
ulah yang membuat dirinya celaka ia tidak
meninggal dunia. Hal 14.
2) Kiyo terserang pilek dan sedang terbaring di
tempat tidur dalam kamar dua kali tiga meternya
yang menghadap ke utara. Tapi begitu melihat
Botchan datang, dia langsung bangkit. Hal 26.
Kiyo benar-benar menyayangi Botchan, padahal
sedang terbaring karena sakit tapi saat Botchan
datang ia seperti memiliki tenaga untuk
bangkit, seakan kedatangan Botchan adalah
tenaga baginya.
3) Saat Botchan melakukan berbagai macam hal
yang selalu mengundangnya ke sebuah masalah,
dan membuat terbiasa jika dirinya dibenci
ayahnya dan selalu bertengkar dengan kakaknya
serta dicap oleh tetangga sebagai anak melarat
yang berandalan serta selalu dilabeli oleh sang
ayah bahwa dirinya adalah anak tidak berguna.
Kiyo sang pembantu justru melakukan hal
yang berlawanan. Ia selalu memuji Botchan bahwa
dirinya anak yang baik padahal semua orang
mengatainya bahwa diriya tidak berguna.
Saat ayanya mengatakan bahwa ketika
dewasa nanti Botchan tidak akan menjadi apa-
apa, Kiyo justru mengatakan bahwa ketika dewasa
nanti Botchan akan sukses bahkan lebih sukses
dari kakaknya dan saat Botchan akan memiliki
rumah sendiri Kiyo ingin ikut dengannya sebagai
pembantu.
Dan di saat sang ayah tidak pernah memberi
uang saku dan hanya memberikan hadiah kepada
kakaknya, Kiyo dengan diam-diam justru
memberikan makanan serta berbagai hadiah kepada
Botchan. Kiyo selalu memberi semangat Botchan
bahwa dirinya pasti bisa.
Setiap semangat dan pujian yang diberikan
oleh Kiyo memancarkan energi positif, dan
energi positif itu terserap ke dalam jiwa
Botchan. Dan ia pun percaya bahwa suatu hari
nanti ia akan sukses dan menjadi sesuatu bahkan
walaupun saat itu ia tidak memiliki bayangan
apapun mengenai masa depannya.
Setelah Botchan lulus sekolah menengah,
ayahnya meninggal karena penyakit ayan dan
kakaknya lulus dari sekolah bisnis dan mendapat
pekerjaan di Kyushu. Karena bosan bertengkar
terus dengan Botchan hampir tiap hari, ia pun
memutuskan akan menjual rumah agar memiliki
uang untuk pindah ke Kyushu. Kakaknya
memberikan 600 yen pada Botchan untuk
melanjutkan hidup dan 50 yen untuk Kiyo sebagai
tanda terima kasih telah membantu keluarga
mereka selama sepuluh tahun.
Setelah kepergian kakaknya ke Kyushu,
Botchan tidak pernah bertemu dengan kakaknya
lagi. Kiyo pun tinggal dengan keponakannya yang
kaya. Karena Kiyo selalu mengatakan bahwa
Botchan adalah anak yang baik dan pasti di masa
depan Botchan akan sukses, maka Botchan
menggunakan uang itu untuk biaya kuliah dan
biaya hidupnya. Hal 23.
Untunglah perkataan negatif ayahnya tidak
terserap ke jiwanya. Jika perkataan “Kau tidak
akan pernah menjadi apa-apa.” Itu terserap ke
dalam jiwa Botchan, mungkin Botchan akan
menggunakan uang itu untuk main judi, minum-
minuman sampai uang itu habis dan membuatnya
menjadi gelandangan dan tinggal di jalanan.
Setiap kata memiliki energi, setiap kata
memancarkan energinya. Dan energi itu bisa
meresap ke dalam jiwa, dan menjadikan perkataan
itu menjadi nyata.
4) Takdir seseorang
ditentukan oleh karakter yang dimilikinya.
Karakter Botchan yang selalu tidak bisa diam,
kelebihan energi, selalu membawa dirinya pada
masalah. Karena itulah ia dicap sebagai anak
pembuat ulah oleh orang tuanya.
Karena melakukan hal-hal yang selalu
membawa Botchan kepada masalah, orang tuanya
menyerah untuk mengurus, mendidik bahkan
menyayanginya. Hal ini mungkin dikarenakan oleh
karakter orang tuanya yang pasrah dan bisa juga
karena kedua orang tuanya mengidap penyakit
sehingga tidak bisa hidup lebih lama lagi.
Karena orang tuanya tidak menunjukkan
kasih sayang pada Botchan, serta masyarakat
yang menolak Botchan karena Botchan selalu
membuat masalah, maka dalam hidupnya dari kecil
sampai besar Botchan selalu membuat agresi
untuk melawan orang-orang di sekelilingnya
serta mengurung dan mengasingkan diri tidak
ingin berbaur dengan masyarakat hal ini dilihat
dari perkataannya.
“Selama 3 tahun ini aku telah mengurung
diri dalam kamar 4 X 4 meter.” Hal 24 dan “Yang
mengherankan adalah mengapa mereka juga
mengajak orang yang tidak suka bergaul seperti
diriku.” Hal 78. Penolakan dari kedua orang
tuanya membuat Botchan menjadi pesimistis serta
melihat segala sesuatunya dengan pikiran
negatif.
Namun kasih sayang Kiyo yakni pembantu di
kelurga Botchanlah yang membuat karakter keras
pada diri Botchan luluh. Botchan yang sudah
terbiasa merasakan penolakan dari pihak
keluarga maupun masyarakat di sekelilingnya
merasa bersyukur karena masih ada satu orang
yang begitu tulus mencintainya walaupun Botchan
sangat nakal. Namun Botchan tidak bisa
selamanya tinggal bersama Kiyo, ada saatnya
Botchan harus menghadapi masyarakat luas
seorang diri.
Karena karakternya yang spontan saat
menentukan pilihan, Botchan pun memilih
melanjutkan studi di Akademi Ilmu Alam Tokyo
dan mengambil jurusan Matematika. Karena ia
tidak terlalu ahli maka nilainya selalu jelek,
namun walau jelek ia bisa lulus. Dan karena
karakternya yang spontan saat memilih pilihan
hidup maka takdir membawanya ke Shikoku.
Saat itu Kiyo sedang sakit, dan Kiyo
menagih janji kepada Botchan untuk hidup
bersama di sebuah rumah mewah. Namun Botchan
menyadari setelah ia lulus dari akademi bukan
berarti ia akan memiliki banyak uang dengan
sendirinya. Ia sadar ia harus bekerja dahulu
agar memiliki uang dan bisa hidup bahagia
bersama Kiyo. Maka dari itu Botchan harus
menerima pekeraan sebagai guru di Shikoku.
Namun Shikoku adalah tempat yang sangat
jauh dari Tokyo. Karena berada jauh dari Kiyo
ia merasa seperti jauh dari belahan jiwanya.
Maka dari itu setelah menginjakkan kakinya di
tanah Shikoku, semua yang Botchan lihat di
Shikoku terasa begitu memuakkan. Bahkan murid-
muridnya pun memuakkan. Murid-muridnya selalu
melakukan kenakalan seperti dirinya dahulu,
mungkin inilah yang disebut hukum karma.
Merenungi kenakalan murid-murid Botchan,
mungkin murid-murid Botchan merasa terpukau
saat melihat seorang guru baru dari Tokyo, saat
sang guru baru mulai mengajar dengan dialek
Tokyonya yang begitu cepat sehingga murid-murid
merasa kesulitan menyimak apa yang dikatakan
sang guru, serta perkataan sang guru yang
mengatakan bahwa sang guru tidak bisa dialek
Shikoku dan murid-murid harus beradaptasi
dengan dialek Tokyo.
Hal ini membuat murid-murid merasa sang
guru agak sombong. Di kota yang begitu kecil di
mana mudah sekali memata-matai orang, awalnya
murid-murid itu tidak sengaja bertemu dengan
sang guru baru di kedai mi tempura. Melihat
gurunya memesan 4 mangkok mie rasanya terlalu
berlebihan, karena iri akhirnya murid-murid itu
menuliskan di papan tulis yakni “Sensei
Tempura.”
Serta karena tidak ada kerjaan dan ingin
tahu apa saja yang dilakukan sang guru baru di
kota kecil ini maka murid-murid itu mulai
membututi sang guru. Sehingga mereka mengetahui
kebiasaan sang guru membeli kue dango dan
menikmati pemandian air panas kelas 1 dengan
tarif 8 sen.
Menurut murid-murid itu menikmati
pemandian air panas setiap hari dengan gaji 40
yen perbulan adalah suatu kemawahan yang
berlebihan. Karena dengki mereka pun menulis di
papan tulis “Sensei Handuk Merah.” Murid-murid
yang suka menjuluki Botchan sangat mirip
seperti Botchan yang suka menjuluki semua guru
yang ada di sekolahan Matsuyama.
Yang paling membuat murid-murid itu
berang adalah saat melihat sang guru baru,
tetap pergi ke pemandian air panas padahal
sedang jaga malam di asrama. Karena kesal dan
jahil akhirnya mereka menangkap belalang dan
memasukkannya ke dalam futon Botchan.
Saat Botchan ingin tidur, Botchan selalu
menghempaskan tubuhnya ke futon keras-keras
sampai berbunyi bedebum yang mengejutkan.
Murid-murid itu terkeut lalu ingin memberi
gurunya pelajaran, mereka menghentak-hentakkan
kakinya ke lantai atas kamar Botchan saat
Botchan sedang jaga malam di asrama. Hentakan
kaki itu menimbulkan suara yang sangat kencang
dan mengganggu sehingga membuat Botchan ingin
menghukum mereka.
Tindakan sekecil apapun yang kita lakukan
sungguh sangat berpengaruh pada lingkungan
sekitar dan pada akhirnya berdampak pada diri
kita sendiri. Seperti rinai hujan yang terjatuh
ke sungai atau genangan air, pada akhirnya
menimbulkan riak air. Hal yang kita lakukan pun
berpengaruh pada lingkungan sekitar dan
akhirnya berpengaruh pada diri sendiri.
Hal-hal yang dilakukan Botchan, berpengaruh
pada murid-murid itu. Perseteruan antara guru
dan murid itu berakhir pada saat terjadi
tauran. Botchan dan Hotta maju ke medan
pertempuran bermaksud untuk menghentikan
tauran, tapi akhirnya mereka jadi ikut
bertarung melawan siswa kejuruan karena Botchan
dan Hotta ditimpuki bebatuan oleh siswa
kejuruan.
Saat Botchan ke kelas setelah pristiwa
tauran kemarin, murid-murid berdiri dan
bertepuk tangan. Tepuk tangan itu memiliki arti
bahwa murid-murid itu sangat terharu karena
guru baru yang selalu mereka buntuti di kota
kecil yang membosankan ini justru membela
mereka dari siswa kejuruan.
d. Aspek Antropologi
1) Karena Kiyo berpikiran ala orang lama,
memandang hubungan dirinya dengan Botchan
sebagai hubungan tuan dan hamba di masa
feodal, jadi menurut pikirannya, tuannya adalah
tuan keponakannya juga. Hal 26.
2) Adat istiadat di sekolah Shikoku saat menerima
pengajar baru maka harus melakukan sebuah
ritual seperti memperkenalkan diri dan
menunjukkan sertifikat perjanjian kerja kepada
seluruh rekan kerja satu persatu. Hal 35.
3) Pemilik penginapan Yamashiroya berlutut,
kemudian duduk dan membungkuk dalam dan formal
ke arahku, dengan dahi menyentuh lantai.
Pemilik penginapan ini bertingkah laku seperti
itu karena meminta maaf telah memberikan
pelayanan buruk sehingga membuat Botchan harus
memberikan uang tip lima yen agar diberikan
kamar yang bagus dan dilayani dengan baik. Hal
39.
4) Disetiap kamar Jepang selalu ada cerukan
tokonoma tempat menggantungkan lukisan dan
meletakkan vas dengan rangkaian bunga.
Lantainya dilapisi tatami, dan jika tidur
memakai kasur yang bernama futon. Hal 39.
5) Di zaman Meiji orang Jepang masih memakai
kimono dan sudah memakai pakaian ala Barat
juga. Hal 39.
6) Di Indonesia biasanya bersih-bersih kelas
dilakukan pagi hari oleh regu piket. Di Jepang
justru dilakukan setelah pelajaran usai. Hal
46.
7) Di Jepang di depan pintu restoran biasanya ada
tirai noren. Hal 51
8) Biasanya yang dilakukan oleh orang Jepang di
pemandian air panas adalah berendam, bukan
berenang. Hal 56.
9) Jika ada guru yang akan mutasi atau pindah
kerja ke tempat lain, maka ada acara perpisahan
di sebuah restoran. Biasanya dimulai dengan
pidato perpisahan oleh Kepala Sekolah, Kepala
Guru, perwakilan guru serta orang yang akan
mutasi / pindah kerja. Lalu acara dilanjutkan
dengan makan malam serta minum-minum, tidak
lupa acara dimeriahkan oleh geisha-geisha yang
memainkan alat musik shamisen, menyanyi dan
menari bersama. Hal 164
10) Di setiap acara perayaan kemenangan, biasanya
ada acara hiburan. Hal 186.
11) Setiap tahun di festival kuil Hachimon,
mereka akan menarik panggung beroda dan
berparade di jalan, jadi Botchan tahu Shiokumi
atau tarian lain. Hal 186.
12) Di Jepang biasanya ada tradisi merangkai
bunga atau yang biasa disebut ikebana. Hal 187
13) Tak lama kemudian grup penari dari Kochi yang
diributkan orang-orang memulai tarian mereka.
Hal 188.
e. Aspek Politis
1) Botchan merasa tidak ada keadilan, karena
Kepala Sekolah dan Kepala Guru dibebas tugaskan
dari tugas malam, jam kerja pendek dan gaji
yang besar. Hotta hanya mengatakan bahwa yang
kuatlah yang mendapatkan keutamaan. Posisi
Kepala Sekolah dan Kepala Guru di sekolah
menengah hanya bisa didapat dengan persetujuan
kekaisaran dan penerimaannya juga memperoleh
gelar sonin, dan bahwa gelar ini berarti
pembebasan dari kewajiban. Seperti inilah
politik, tingkat yang paling ataslah yang
senang. Hal 58.
2) Sekolah libur untuk merayakan kemenangan
tentara Jepang atas Cina. Hal 176
f. Aspek Sejarah
1) Pada era Heian, biksu tentara kuil Eizan
selalu memulai pembrontakan. Hal 37.
2) Kota Matsuyama mungkin dulu di masa feodal
adalah kota dengan istana kecil yang hanya
mampu menghasilkan kurang dari 45 juta liter
beras pada penguasanya. Hal 38
3) Leluhurku pengawal Shogun, penguasa militer
di masa feodal Jepang. Semua pengawal pribadi
Shogun berasal dari keluarga kuno Minamoto yang
turun langsung dari keturunan Kaisar Seiwa.
Singkatnya, leluhurku dulu ksatria hebat, Tada
Mitsunaka. Hal 72.
g. Aspek Religiusitas
1) Aspek Religiusitas pada novel ini yakni
Botchan beragama Budha, ia pernah pergi ke
Kamakura untuk melihat patung Budha yang sangat
besar, serta menonton pertunjukan drama di
kuil.
2) Pagoda kuil Kohakuji menjulang bagai
jarum di tengah pepohonan. Hal 79
3) Wajahnya mengingatkanku akan wajah yang
terlukis dalam lukisan gulung kuil Yogenji di
Kobinata saat pemakaman ayahku. Sang pendeta
memberitahuku itu lukisan Idaten, dewa penjaga
Budha yang berkekuatan besar. Hal 103
4) Aku membayangkan bahkan para pendeta Zen yang
taat biasa mendapatkan menu yang lebih lezat
daripada ubi manis rebus lagi. Hal 130
5) Di sebelah kiri, terdapat gerbang besar dan
dari gerbang itu terhampar jalan menuju kuil
Budha. Kiri kanan jalan itu dpenuhi tempat
pelacuran. Hal 136.
6) Ada patung Kannon, dewi welas asih, di desa
Aioi. Hal 138.
7) Di kuil, tidak hanya tempat beribadah, bisa
juga menjadi tempat bergulat para pesumo.
Seperti di kuil Ekoin misalnya. Hal 141.
8) Setiap tahun di festival kuil Hachimon, mereka
akan menarik panggung beroda dan berparade di
jalan, jadi Botchan mengetahui tarian Shiokumi
atau tarian lain. Hal 186.
9) Di kuil Honmoji mereka mengadakan misa Budha
dan di sekitar lapangan tempat acara hiburan
digelar tampak sejumlah tiang bendera yang
dihiasi umbul-umbul panjang. Hal 186.
10) Kiyo dikuburkan di kuil Yogenji di Kobinata.
Hal 217
h. Aspek Filsafat
1) Idealisme yang dianut oleh Botchan adalah
lebih baik berhenti dari pekerjaannya sebagai
guru daripada hidup dalam kebohongan yakni
berpura-pura bisa menjadi apa yang kepala
sekolah harapkan. Hal 34.
2) Filsafat Moral = Jika aku melakukan kejailan
atau kekacauan aku akan mengakuinya. Jika aku
berniat berbohong supaya terbebas dari
konsekuensi, sejak awal aku tidak akan
bertindak. Kenakalan dan hukuman tidak bisa
dipisahkan. Hal 66.
3) Tempat ini bukan satu-satunya tempat yang
menumbuhkan padi di Jepang, ke mana pun aku
pergi, aku yakin aku tidak akan mati di suatu
parit seperti pengemis. Hal 95
4) Hanya karena seseorang pandai berargumen,
tidak berarti orang itu baik. Hal 155.
i. Aspek Ekonomi
Dalam hal ekonomi, Botchan selalu mensyukuri
yang ada dan menerima apa adanya. Ia tetap ikhlas
walaupun ayahnya tidak pernah memberikannya uang
saku, dan hanya kakaknya saja yang diberikan barang
ini-itu. Berkat keikhlasan Botchan, Kiyo pun merasa
kasihan padanya dan ia memutuskan untuk
membahagiakan Botchan yakni memberikan banyak
makanan, hadiah serta uang untuk Botchan.
Setelah orang tuanya meninggal, Botchan
bersyukur karena kakaknya memberikan 600 yen hasil
menjual seluruh warisan keluarga, sehingga uang 600
yen cukup untuk biaya hidup dan biaya sekolah
Botchan. Selama nafas masih ada rasanya rezeki
akan selalu mengikuti, buktinya setelah lulus pun
Botchan segera menerima pekerjaan menjadi guru
dengan gaji 40 yen per bulan.
Sebenarnya gajinya akan bertambah besar, tapi
Botchan mencium bau mencurigakan dan akhirnya
menyadari gajinya akan bertambah, jabatannya juga
akan naik tapi itu artinya Hotta rekan kerjanya
sesama guru Matematika akan berhenti sebagai guru
matematika di sekolah itu. Karena setia kawan,
Botchan menolak gaji itu.
Botchan sangat merindukan Kiyo dan sudah tidak
betah di Shikoku. Akhirnya Botchan memilih
mengundurkan diri bersama Hotta, karena Botchan
sudah bosan dan muak di Shikoku.
Setelah kembali ke Tokyo, Botchan pun
mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan,
walaupun gajinya 25 perbulan setidaknya ia hidup
bersama Kiyo dan tidak berada jauh darinya, namun
sayang beberapa bulan kemudian Kiyo meninggal, dan
kisahpun selesai pada halaman 217.
Andai itu adalah kehidupan nyata, tentu
kisahnya tidak berakhir di situ, masih banyak
kisah-kisah lainnya. Namun kisah di dunia nyata
begitu lama dan tidak secepat kisah di novel atau
film yang dalam waktu dua jam kisah selama 25 tahun
pun terkisahkan dengan cepatnya. Setelah membacanya
sampai selesai akhirnya pembaca akan mendapatkan
sebuah kesimpulan bahwa hidup ada susah dan senang.
Tidak selamanya susah, dan tidak selamanya senang.
Selalu berganti.
3. Unsur Intrinsik Novel “Sanshiro”
a. Tema
Kisah hidup seorang mahasiswa bernama Sanshiro.
Sanshiro adalah orang yang pasif, pendiam dan
introvert serta rajin belajar. Ia berasal dari
Kumamoto dan tinggal di Tokyo selama beberapa tahun
untuk kuliah. Banyak hal yang terjadi saat ia
kuliah di Tokyo, diantaranya adalah karena adanya
interaksi dengan orang-orang di sekelilingnya yakni
dengan seorang guru, teman kuliahnya, orang yang ia
sukai serta sepupu tetangganya Sanshiro. Dan dalam
menyikapi setiap kejadian yang terjadi saat kuliah,
hanya ia tanggapi sesuai dengan karakter sifatnya.
b. Tokoh
1) Sanshiro
2) Wanita di Kereta
3) Gam Hirota Sensei
4) Ibu Sanshiro
5) Miwata Omitsu
6) Nonomiya Sohachi
7) Satomi Mineko
8) Sasaki Yojiro
9) Nonomiya Yoshiko
10) Shinzo
11) Haraguchi
12) Pembantu Nonomiya
c. Penokohan :
1) Karakter Sanshiro
a) Pengamat
(1) Selama satu halaman Sanshiro
mengamati penumpang kereta, salah satunya
adalah seorang wanita. Sanshiro mengamati
bentuk mulutnya, matanya bahkan dahinya,
serta mengamati seorang laki-laki tua. Hal
2. Berikut cuplikannya dalam buku kumpulan
novel Natsume Soseki (1975:193) 親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親 親親親親親親親親親親親親親親女親親親親親親親親親親 親親親親親親親親親親親親親親親 親親親親親親親親。、、
親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親 親親親親親親親親、
b) Jorok
(1) Membuang sampah sembarangan. Hal
ini dibuktikan pada tulisan “Sesaat
setelah ia melemparkan kotak makannya ke
luar, tutupnya berbalik dan menampar tirai
pemisah, dan Sanshiro sadar ia telah
melakukan suatu perbuatan tolol.” Hal 4.
c) Menjaga Kehormatan Wanita
(1) “Saat Sanshiro sedang mandi/berendam di
bak mandi, seorang wanita yang telah
memiliki anak dan suami yang baru ia kenal
masuk ke dalam kamar mandi dan membuka
obinya. Jelas wanita itu merencanakan
mandi bersama-sama. Kelihatannya ia tidak
malu-malu. Sanshiro melompat dari bak
mandi, menghanduki diri cepat-cepat dan
kembali ke kamar.” Hal 6.
(2) Saat menginap satu kamar dengan wanita
yang baru ia kenal di kereta, Shanshiro
menggulung tepian kasur ke arah sisi di
mana wanita itu berbaring, membuat semacam
penyekat putih sepanjang tengah kasur. Si
wanita berputar ke arah yang berlawanan.
Sanshiro membentangkan handuknya sepanjang
kasur dari ujung ke ujung, lalu merebahkan
diri di atasnya, sepanjang ruang sempit.
Malam itu, tidak ada tangan atau kaki yang
menggerayang ke luar dari batas kasur
Shanshiro. Ia tidak berkata sepatah pun
pada wanita itu. Dan si wanita, yang tidur
menghadap tembok, tidak bergerak sedikit
pun. Hal 7-8.
d) Polos
(1) Setelah wanita yang baru Sanshiro kenal
di kereta itu menghabiskan malam bersama
Sanshiro tanpa melakukan apapun di sebuah
penginapan, wanita yang sudah bersuami dan
memiliki anak itu mengejek disertai
senyuman “Anda kok pengecut sekali?” Hal
8. Tentunya Sanshiro bukan pengecut namun
polos dan masih memegang budaya timur
serta belum terkontaminasi budaya barat,
terlebih Sanshiro dilahirkan dan
dibesarkan di Kumamoto, Kyushu. Sebagai
orang muda yang baru saja meninggalkan
desanya ia memiliki sikap hormat kepada
para ibu.
e) Pendiam
(1) Saat mengobrol dengan Hirota sensei dan
Nonomiya terlebih Yojiro, Sanshiro hanya
diam dan membiarkan mereka mendominasi
percakapan. Hal 15 dan 28.
(2) Ia ingin mendekati dan menyapa Hirota
Sensei, tapi tidak menemukan pokok
pembicaraan. Hal 40
f) Rajin
(1) Padahal kuliah dimulai minggu depan,
tapi ia tetap ke kampus. Hal 30.
(2) Ia mulai mengikuti kuliah yang sama
sekali tak ada hubungannya dengan jurusan
yang dipilihnya. Tetapi sebagian besar
mata kuliah yang diikutinya tidak lebih
dari dua atau tiga kali saja, dan tidak
ada yang sampai sebulan penuh. Meskipun
demikian, ia menghabiskan waktu rata-rata
40 jam seminggu. Hal 36
g) Kurang Wawasan
(1) Sanshiro tidak terlalu mengetahui
mengenai Enyu dan Kosan yakni seorang
pendongeng dan pelawak. Hal 38.
(2) Sanshiro tidak mengerti istilah
Romantische Ironie. Tak ada pijakan untuk
melanjutkan omongan ini. Hal 75.
h) Pembosan
(1) Hari berikutnya kuliah-kuliah di sekolah
membosankan seperti sebelumnya, dengan
suasana ruang kuliah yang masih jauh dari
kenyataan. Hal 75.
i) Rendah Diri
(1) Ogawa Sanshiro, pemuda abad baru merasa
kecil menyaksikan hal ini. Hal 132.
j) Simpati
(1) Karena kasihan pada Yojiro, akhirnya ia
meminjamkan uang pada Yojiro. Hal 143.
k) Baik Hati
(1) Tidak menjadi masalah kalau Yojiro tidak
akan mengembalikan uang yang dipinjamnya.
l) Menjaga Rahasia dengan Baik
(1) Sanshiro telah diperingatkan dengan
tegas agar tidak menceritakan hal itu pada
Sensei tentang tulisan Gelap Gulita atau
kelakuan Yojiro lainnya. Sensei pasti
marah jika mengetahui apa yang baru saja
dilakukannya. Mereka harus tetap diam, dan
jika tiba saatnya untuk memberitahukan
pada Sensei, Yojiro lah yang harus
menceritakannya. Sanshiro akhirnya
mengubah pokok pembicaraan. Hal 144.
m)Penakut
(1) “Engkau penakut sekali sejak kanak-
kanak.” Kata Ibu Sanshiro di suratnya. Hal
156.
n) Berpikir Positif
(1) Hampir dua minggu kemudian, Yojiro
tetap belum mengembalikan uang 20 yen itu.
Sanshiro tidak mendesak Yojiro untuk
mengembalikan uang itu, tetapi tetap
berharap Yojiro akan mengusahakan sesuatu,
karena akhir bulan tinggal dua hari lagi.
Tidak pernah sebelumnya Sanshiro menunda
pembayaran sewa kamarnya. Kalau Yojiro
tidak mengembalikan uang itu, tentu
Sanshiro tidak begitu percaya lagi
padanya.
Tetapi Sanshiro berkata pada dirinya,
bahwa Yojiro berusaha akan menyelesaikan
hal itu. Hirota Sensei berkata bahwa
pikiran Yojiro selalu bergerak, seperti
air sungai yang dangkal, tetapi Sanshiro
mengharapkan bahwa semua gerakan itu tidak
termasuk kelalaian terhadap tanggung
jawabnya. “Tidak, Yojiro tidak seburuk
itu, tentu saja.” Pikir Sanshiro. Hal 158.
o) Imajinatif
(1) Sanshiro melihat sepuluh, dua puluh
versi adegan yang berbeda. Sanshiro selalu
seperti itu. Suatu ketika kalau harus
menemui seseorang, imajinasinya terpusat
pada bagaimana orang itu bersikap. Hal
165.
p) Jujur
(1) Karena tidak pernah berbohong, Sanshiro
berpikir keras alasan untuk meminta uang
itu. Apa yang bisa dilakukan hanyalah
menjelaskan pada ibunya, bahwa karena
kasihan, ia meminjamkan uangnya pada
seorang teman yang telah kehilangan
sejumlah uang dan dalam kesulitan.
Akibatnya, ia sendiri sekarang berada
dalam kesulitan. Bersediakan ibu
mengirimkannya? Hal 190.
q) Introvert
(1) Dari seluruh kisah Sanshiro dalam
novelnya dapat disimpulkan bahwa Sanshiro
adalah seorang introvert yakni orang yang
lebih akrab dengan dirinya sendiri
daripada dengan orang lain. Biasanya jika
sedang beercakap-cakap dengan orang lain
Sanshiro hanya menanggapi dengan singkat
dan tidak mendominasi percakapan.
r) Pemalu
(1) Sanshiro mengamati bagaimana Yojiro
menjual karcis-karcisnya. Ia meminta
pembayaran karcis di tempat, tapi bagi
yang tidak membayar di tempat, karcis
diberikan juga. Karcis yang diserahkan
dengan cara yang terakhir ini cukup banyak
juga, sampai membuat cemas temannya yang
pemalu. hal 221
s) Inferior
(1) Kata “nasib” muncul di dalam pikirannya
setiap kali mendengar tiupan angin seperti
ini. Ia tidak pernah menganggap dirinya
seorang laki-laki yang kuat dan kini ia
berpikir tentang hal itu, nasibnya sejak
datang di Tokyo banyak dibentuk oleh
Yojiro-dibentuk sebegitu rupa sehingga
untuk beberapa hal berterima kasih pada
tingkah Yojiro yang genial.
Ia tahu Yojiro adalah seorang
pengacau yang menyenangkan, dan untuk
beberapa waktu lagi nasibnya masih berada
di tangan pengacau yang menyenangkan ini.
Hal 200. Pemikiran Sanshiro tersebut
adalah pikiran mental seorang inferior.
Seharusnya ia tidak berfikir dan jangan
mau nasibnya di ombang ambing oleh Yojiro.
Seharusnya ia menanamkan dalam dirinya
bahwa dirinya sendirilah yang membentuk
nasib dan takdirnya bukan orang lain.
Andaipun bukan Sanshiro yang
membentuk nasibnya sendiri, seharusnya ia
tahu bahwa yang membentuk nasibnya adalah
Tuhan, bukan orang lain, dan jangan
biarkan orang lain mengombang ambing
nasibnya.
t) Kuno
(1) “Karena kamu baru saja datang dari
Kyushu, maka pikiranmu masih kembali di
tahun 0 Meiji.” Kata Yojiro pada Sanshiro.
Hal 65
u) Pasif
(1) Sebagai seorang pemuda yang menyukai
Mineko, Sanshiro bersikap begitu pasif.
Justru Mineko yang lebih aktif misalnya
mengajak Sanshiro ke Pameran Kelompok
Tanseikai. Hal 172.
2) Karakter Wanita di Kereta
a) Bebas dan Berani
(1) Wanita yang baru dikenal Sanshiro dalam
perjalanan kereta api ke Tokyo, secara
berani meminta pertolongan Sanshiro untuk
mengantarkannya mencari penginapan. Tanpa
prasangka apa-apa Sanshiro mengantar
wanita itu dan berhasil mendapatkan
penginapan. Namun tanpa diduga, wanita itu
meminta agar Sanshiro dapat tidur
dengannya dalam satu kamar.
b) Tidak Sopan
(1) Wanita itu terlalu terkena efek negatif
dari modernitas sehingga prilakunya
terlalu kebarat-baratan padahal hal yang
ditiru tidak baik menurut budaya timur.
Misalnya membuka baju di kamar mandi
padahal saat itu ada pemuda yang sedang
berendam, dan pemuda itu baru ia kenal di
kereta. Hal 6.
c) Tidak Setia
(1) Setelah wanita yang baru Sanshiro kenal
di kereta itu menghabiskan malam bersama
Sanshiro tanpa melakukan apapun kecuali
tidur di sebuah penginapan, wanita yang
sudah bersuami dan memiliki anak itu
mengejek Sanshiro disertai senyuman “Anda
kok pengecut sekali?” hal 8.
Dari ejekan tersebut dengan
mengetahui bahwa latar waktu dalam novel
ini adalah tahun 1908 yakni pada zaman
Meiji di mana seluruh kebudayaan Barat
dihisap dan ditiru mentah-mentah, maka
banyak wanita Jepang yang berubah dan
lebih agresif seperti wanita-wanita Eropa
pada umumnya.
Suami wanita yang ditemui oleh
Sanshiro di kereta ini sedang pergi ke
Dairen untuk mendapatkan penghasilan yang
lebih baik namun tidak pulang-pulang. Hal
ini juga salah satu faktor yang
menyebabkan wanita ini tidak setia.
3) Karakter Gam Hirota Sensei
a) Tidak Nasionalis
(1) Ini adalah percakapan antara Hirota
Sensei dan Sanshiro saat melihat orang
luar negeri dari jendela kereta
“Dibandingkan dengan mereka, kita orang-
orang Jepang kelihatan jelek. Kita bisa
mengalahkan Rusia. Kita bisa menjadi
bangsa yang unggul. Tapi semuanya tidak
membawa perbedaan. Kita tetap punya muka
yang sama, dan tubuh kita tetap kecil.
Anda harus memperhatikan rumah-rumah yang
kita diami, kebun-kebun di sekelilingnya,
dan hanya itulah yang bisa Anda harapkan
dari wajah-wajah seperti ini.” Hal 15
(2) “Jepang mulai bobrok.” Hal 15
b) Pengkritik
(1) “Itu jelas dari caranya makan persik,
caranya meneguk teh dan mengisap rokok,
selalu menatap lurus ke depan; Hirota
Sensei adalah seorang pengkritik.” Kata
Sanshiro dalam hati. Hal 49.
c) Absurd
(1) Menurut Sanshiro, Hirota Sensei cukup
absurd karena menginginkan rumah sewaan
mungil bergaya zaman edo yang jika masih
ada pastilah rumah itu sudah berumur
ratusan tahun. Hal. 66.
d) Ahli Teori Besar
(1) Menurut Yojiro, Hirota Sensei ahli teori
besar. Hirota Sensei tidak akan menikah
hanya untuk mengetahui bahwa seorang istri
tidak baik baginya. Ia mengatakan bahwa
teorinya membuktikan hal itu. Hal 69.
e) Penuh Kontradiksi
(1) Ia selalu mengatakan betapa
menjijikannya Tokyo, tetapi ketika ia
melihat sebuah gerbang batu yang bagus
mati-matian ia menentang, “Bukan yang
gerbang batu.” atau “Itu terlalu bagus
buat kita”. Hal. 69.
f) Bijaksana
(1) Yojiro mengatakan bahwa Hirota Sensei
seorang filsuf. Bukan karena Hirota Sensei
mengajarkan filsafat melainkan karena ia
membentuk filsafat. Hal 69.
(2) Hal ini bisa dilihat dari percakapan
Hirota Sensei dengan Sanshiro di kereta
saat akan ke Tokyo “Tokyo lebih besar
daripada Kumamoto. Dan Jepang lebih besar
dari Tokyo. Dan yang lebih besar dari
Jepang …”
Penulis kira yang lebih besar dari
pada Jepang adalah dunia tapi ternyata
menurut Hirota sensei “Tentu saja yang
lebih besar dari Jepang terletak di
kepalamu. Jangan mau menyerahkan dirimu
kepada Jepang, atau apapun. Kita boleh
berpikir bahwa apa yang kita lakukan
adalah demi kejayaan bangsa ini,
biarkanlah segala sesuatunya menguasaimu
seperti itu, tapi yang perlu kita kerjakan
hanyalah menguranginya.” Hal 16.
g) Eksentrik
(1) Karena Eksentrik, Hirota Sensei tidak
mau berbaur dengan orang lain. Hal 163.
h) Pembosan
(1) “Aku tidak seromantis itu! Aku jauh
lebih pembosan dibandingkan kau.” Kata
Hirota Sensei pada Sanshiro. Hal 236
i) Tahu Banyak Hal
(1) Sensei bahkan tahu berapa harga karcis
pertunjukan di Athena. Hal 240
4) Karakter Ibu Sanshiro
a) Perhatian
(1) Saat Sanshiro baru sampai di Tokyo,
ibunya memberi surat agar Sanshiro tidak
merasa kesepian di tempat tinggal barunya
saat menuntut ilmu di Universitas. Hal 18.
(2) “Ibu yang begitu baik dan penuh
perhatian.” Pikir Sanshiro. Hal 156.
5) Karakter Miwata Omatsu
a) Menjengkelkan
(1) Di rumah, Sanshiro selalu merasa Omitsu
adalah seorang gadis yang menjengkelkan.
Hal 1.
b) Dermawan
(1) Miwata Omitsu memberi keluarga Sanshiro
beberapa makanan yakni ikan.Hal 19.
6) Karakter Nonomiya Sohachi
a) Ramah
(1) Nonomiya menyambut
Sanshiro dengan baik. Ia membungkukkan
badan dan kepalanya, lalu tegak dengan
gerakan kaku. “Sini” katanya, mengajak ke
panggung sempit. Hal 20.
b) Tekun
(1) Meneliti tekanan cahaya dengan tekun
bahkan walau musim berganti dari musim
panas ke musim dingin yang membekukan dan
meneliti sepanjang hari bahkan malam hari,
saat lalu lintas berhenti di malam
hari.Hal. 22.
c) Cerdas
(1) Nonomiya sangat ahli dalam bidangnya.
Hal ini bisa dilihat dari penjelasannya
mengenai penelitiaannya. Hal 184.
d) Fisikawan Naturalis yang Romantis
(1) “Menempatkan cahaya dan benda yang bisa
menerima cahaya di dalam hubungan ruang
yang tidak bisa ditemukan di alam normal
adalah sesuatu yang hanya bisa dikerjakan
oleh seorang romantis.” Kata Hirota
Sensei. Hal 186.
(2) “Sekali Anda telah menempatkannya ke
dalam hubungan ruang, yang bisa Anda
lakukan hanyalah mengamati ciri-ciri
tekanan cahaya, dan hal itu banyak
dimiliki oleh cendikiawan naturalis.” Kata
Nonomiya Hal 186.
7) Karakter Satomi Mineko
a) Memiliki Rasa Ingin Tahu pada Lingkungan Sekitar
(1)“Pohon apa ini?” tanyanya dengan rasa
ingin tahu yang besar. Hal 24.
b) Kuat
(1)“Kamu dapat mengangkatnya? Kalau seorang
wanita lain tentu akan meninggalkannya
saja di rumah.” Kata Yojiro. Hal.87.
c) Tenang
(1)Sanshiro mengakui ketenangan Mineko pada
saat seperti itu, dan juga ketika ia
mengerjakan pekerjaan wanita seperti
sekarang ini. Hal. 89.
d) Sembrono
(1)Menurut Hirota Sensei dan Yojiro Satomi
Mineko sembrono. Hal. 121.
e) Berbakat
(1) “Adik perempuan Satomi Kyosuke adalah
gadis yang berbakat.” Kata Haraguchi. Hal
151.
f) Bebas
(1)Mineko bebas meminjamkan uangnya tanpa
harus meminta izin pada kakak laki-lakinya
yang berperan sebagai kepala keluarga di
rumah mereka. Hal 161.
(2)Sanshiro berpikir tentang Mineko. Gadis
ini pasti dididik supaya bertindak menurut
caranya sendiri. Sekarang, sebagai wanita
muda, tak diragukan lagi bahwa ia memiliki
kebebasan di rumahnya daripada gadis-gadis
lain, dan bisa mengerjakan apapun yang dia
sukai. Hal itu jelas sekali karena dia
bisa berjalan dengan Sanshiro seperti ini
tanpa minta izin terlebih dahulu.
Ia bisa melakukan hal ini karena
tidak lagi punya orang tua dan karena
kakak lelakinya, yang juga masih muda,
tidak membatasinya. Namun kalau hal ini
dilakukan di desa, ia tidak mungkin bisa
melakukannya. Apa reaksi Mineko kalau
seseorang menuntutnya untuk hidup seperti
Miwata Omitsu? Tokyo berbeda dari desa,
terbuka luas, sehingga kebanyakan wanita
di sini seperti Mineko. Hal 171.
g) Modern
(1)Sanshiro hanya bisa membayangkan seperti
apa wanita Tokyo di zaman Meiji ini,
tetapi mereka kelihatan agak lebih kuno
dibandingkan dengan Mineko. Hal 171.
(2)“Mineko tidak akan menikah dengan orang
yang tidak dicintainya. Dan ia tidak bisa
dipaksa. Hal terbaik yang bisa dilakukan
adalah membiarkannya tetap sendirian
sampai ia menemukan seseorang yang
disukainya.” Kata Hirota. Hal 154.
(3)“Sangat bergaya Barat. Tentu saja, mulai
sekarang sampai nanti semua wanita akan
seperti itu.” Kata Haraguchi. Hal 154
h) Taat dalam Beragama
(1)Pada novel Sanshiro halaman 252
dijelaskan bahwa di hari Minggu, Mineko
pergi ke gereja.
i) Memiliki Inisiatif dalam Hal Cinta
(1) “Apa kau sudah menonton pameran
kelompok Tanseikai?” Tanya Mineko.
“Belum.” Jawab Sanshiro. “Mereka mengirimi
aku dua karcis gratis, tapi sampai saat
ini aku tidak punya waktu. Kau mau pergi
sekarang?” Ajak Mineko pada Sanshiro. Hal
172.
j) Memiliki Sifat Wanita Ibsen
(1)Yojiro dan Hirota Sensei berpendapat
bahwa Mineko memiliki sifat Ibsen.
Maksudnya adalah sifat yang dimiliki oleh
karakter Nora Halmer dalam drama yang
dibuat oleh Hendrik Ibsen yang berjudul
Rumah Boneka. Nora Halmer mewakili
ideologi feminisme di Norwegia.
Karakter Nora Halmer adalah
Misterius, tertutup, menyembunyikan
rahasia masa lalunya, mandiri dan tidak
ingin dijadikan boneka oleh suaminya atau
siapapun. Dalam diri Mineko juga memiliki
sifat tersebut, sifat yang tumbuh karena
hidup di zaman Meiji. Yakni zaman di mana
seluruh bangsa Jepang menyerap mentah-
mentah semua hal dari bangsa Barat,
sehingga wanita Jepang pada zaman tersebut
pun memiliki sifat seperti ini, yakni
mandiri, modern, bebas dan ke Barat-
baratan. Hal 121.
8) Karakter Sasaki Yojiro
a)Tidak Menghormati Dosennya
(1)Sanshiro mengintip ke catatannya dan
melihat bahwa mahasiswa itu tidak mencatat
materi yang diajarkan oleh dosen melainkan
menggambar karikatur si Dosen. Hal 33.
b) Kreatif
(1) Sesaat melirik catatannya, mahasiswa itu
menunjukkan karyanya, karikatur yang bagus
menurut Sanshiro. Hal 33.
c) Kurang Ajar
(1) Sanshiro tidak mengerti tulisan di bawah
karikatur si dosen “Si dungu di surga yang
jauh.” Tentu saja maksud tulisan itu
adalah sang dosen yang dungu sedang
menjelaskan di depan ruang kuliah utama
yang berada jauh dari posisi mereka duduk.
Hal 33.
(2) “Yojiro, sebagai pemimpin kekurangajaran,
adalah benar-benar biang kekacauan.” Kata
Hirota Sensei. Hal 148.
d) Pembosan
(1) Pada saat itu, mahasiswa yang menggambar
karikatur berjalan mendekati Sanshiro,
“Kuliah-kuliah di Universitas ini
membosankan sekali,” katanya. Hal 34.
e) Inspiratif
(1) Mengajak Sanshiro muter-muter naik trem.
Hal 37. Tetapi menurut penulis, muter-
muter naik trem jika tidak memiliki tujuan
hanya akan membuat lelah dan pusing saja
serta membuang-buang waktu.
f) Absurd
(1) Menurut Sanshiro, Yojiro cukup absurd
karena menginginkan rumah yang harga
sewanya di luar kemampuannya. Hal. 64.
(2) Yojiro sampai di depan rumah sewanya
Sanshiro dan menatap ke atas pada
Sanshiro. “Hei, kau ada di dalam?” Tanya
Yojiro padahal sudah jelas-jelas ia
melihat Sanshiro ada di dalam. Hal 160.
g) Sanguinis
(1) Yojiro banyak bicara dan sangat
extrovert, percakapannya melompat dari
satu hal ke hal lain. Hal 68.
(2) “Pasti ia seorang anak yang periang,”
pemuda dengan kacamata berbingkai emas
berkata pada Sanshiro. “Ya, Yojiro memang
senang bicara.” Jawab Sanshiro. Hal 128.
h) Tahu Budi
(1) Yojiro karena tinggal satu rumah dengan
Hirota Sensei, jadi ingin membalas budi
baik Hirota Sensei. Caranya dengan membuat
esai yang mempropogandakan bahwa fakultas
sastra Inggris membutuhkun dosen
berkewarganegaraan Jepang yang bisa
mengerti mahasiswa dengan baik, sehingga
tidak perlu terlalu banyak dosen dari luar
negeri sementara dosen dari negeri sendiri
tidak ada. Yojiro mempromosikan Hirota
Sensei agar dijadikan dosen Sastra Inggris
di Universitas mereka. Hal 114.
i) Pembuat Onar
(1) “Tak pernah ada suatu yang terjadi
dengan Yojiro. Ia yang membuat sesuatu
terjadi. Semacam ketololan yang jarang
dibuat orang.” Kata Hirota Sensei. Hal
143.
j) Easy Going
(1) “Yojiro memang menggampangkan segala
sesuatunya.” Kata Hirota Sensei. Hal 143.
k) Dangkal dan Sempit Pikirannya.
(1) “Ia seperti parit di Dangozaka : dangkal
dan sempit, airnya berubah terus. Kalau
kami pergi ke kuil untuk melihat suatu
upacara, ia rewel mau membeli sesuatu yang
tak ada gunanya, misalnya seperti bonsai
cemara. Sebelum aku bisa menjawab, ia
telah menawarnya dan membelinya. Tak lama
kemudian ia menyia-nyiakan cemara itu,
teronggok di dalam rumah selama musim
panas. Tentu saja, ketika kami pulang,
panas telah membuatnya mati dan menjadi
layu.” Kata Hirota Sensei. Hal 143.
l) Pintar Menawar Harga
(1) “Meskipun demikian, harus kuakui, ia
selalu bisa menawar barang sampai semurah
mungkin di pasar malam seperti itu.” Kata
Hirota Sensei. Hal 143.
m)Tidak Fokus
(1) “Ia tidak bisa memusatkan perhatian
hanya pada satu masalah.” Kata Hirota
Sensei. Hal 143.
n) Tidak Tekun
(1) “Tidak ada ketekunan pada sesuatu yang
dilakukannya.” Kata Hirota Sensei. Hal
143.
o) Tidak Tanggung Jawab
(1) Meminjam uang Sanshiro tapi tidak bisa
mengembalikan uang tersebut.
p) Supel
(1) Betapa banyak makhluk kenalan Yojiro ini
! Sanshiro merasa suatu gelombang
penghargaan terhadap cara Yojiro
bersahabat dengan begitu banyak orang yang
lebih tua. Hal 150.
q) Tidak Amanah
(1) Uang yang dititipkan Hirota Sensei untuk
membayar hutang ke Nonomiya dipakai oleh
Yojiro untuk taruhan pacuan kuda. Hal 158.
r) Royal
(1) Yojiro dan Sanshiro menikmati sake di
kedai mie di pojok jalan Oiwake. Yojiro
yang membayar. Ia tidak pernah membiarkan
orang lain membayar untuknya.
s) Terus Terang
(1) “Cara Yojiro berterus terang soal uang
sangat brutal.” Kata Hirota Sensei. Hal
148.
t) Tidak Bisa Dipercaya
(1) “Yojiro mungkin sangat tidak bisa
dipercaya kalau menyangkut persualan
uang.” Hal ini menurut Sanshiro, Mineko
dan Hirota Sensei. Hal 165.
u) Lucu
(1) Pada halaman 188, Yojiro menceritakan
alasan kenapa ia tidak bisa membayar
hutangnya pada Sanshiro, tapi terlepas
dari alasan itu, Yojiro bercerita mengenai
seorang laki-laki yang patah hati ingin
bunuh diri, laki-laki itu membeli senjata.
Tepat saat ia akan menembak kepalanya
sendiri, seorang teman datang untuk
meminjam uang.
Karena tidak memiliki uang juga
laki-laki itu meminjamkan senjatanya untuk
digadaikan temannya. Setelah beberapa lama
kemudian, temannya datang membayar hutang,
ia mengembalikan senjata itu. Tapi laki-
laki itu sudah tidak membutuhkan senjata
itu lagi untuk bunuh diri. Karena ia sudah
tidak patah hati dan sedih.
Ia sudah memiliki kebahagian dan
harapan-harapan dalam hidupnya. Ia
bersyukur dan senang karena pada saat itu
sahabatnya datang untuk meminjam uang
karena akhirnya laki-laki itu tidak jadi
bunuh diri karena senjatanya sudah
dipinjamkan ke sahabatnya untuk
digadaikan. Mendengar cerita tersebut
Sanshiro tertawa dan mengikhlaskan uangnya
untuk Yojiro. Hal 188.
v) Extrovert
(1) Dalam novel Sanshiro hal 220 terlihat
jelas bahwa sikap yang dimiliki oleh
Yojiro adalah extrovert, yakni begitu
rajin menjual karcis keseluruh penghuni
kampus, sementara Sanshiro yang introvert
hanya mendampingi Yojiro saja tanpa
membantu mempromosikan karcis drama
masyarakat sastra. Hal 220.
w) Banyak Wawasan
(1) Saat karcis-karcis itu sulit terjual,
Yojiro mengutip kata-kata Mecius
“Kesempatan tidak mengijinkanku.” Betapa
hebat, orang seperti Yojiro bisa mengenal
Mecius dan mengetahui kata-kata bijaknya
Mecius. Bahkan Sanshiro pun mungkin tidak
mengetahui tentang Mecius, dan mungkin
tidak tahu itu kutipan dari Mecius. Hal
220.
x) Sok Tahu
(1) Saat seorang dosen keluar dari toilet,
dan menolak membeli karcis drama
masyarakat sastra, Yojiro dengan sok
tahunya memberi tahu Sanshiro bahwa dosen
itu pasti punya penyakit salesma usus. Hal
220.
y) Pembohong
(1) “Aku sendiri sudah mencoba pacaran
beberapa kali, tetapi satu diantaranya
menyulitkan sekali sehingga aku berbohong
harus pergi ke Nagasaki karena ada urusan
pekerjaan, waktu meninggalkan dia.” Kata
Yojiro pada Sanshiro. Bahkan Yojiro juga
berbohong saat mengatakan dirinya
mahasiswa kedokteran pada pacarnya. Hal
248.
z) Sahabat yang Baik
(1) Walaupun Yojiro orangnya supel,
extrovert dan sanguitis serta mungkin
memiliki banyak teman atau kenalan, tapi
ia tetap setia menemani Sanshiro yang
pendiam, introvert, jujur dan polos. Saat
Sanshiro sedang demam, dan sakit hati
ketika mengetahui Mineko akan menikah
dengan orang lain.
Yojiro menghiburnya bahwa ada
wanita lain yang lebih baik daripada
Mineko. Dan menikah dengan wanita yang
seumuran pasti akan mengakibatkan wanita
itu menjadi lebih cepat tua, dan berada di
atas Sanshiro. Sehingga Sanshiro yang
patah hati akhirnya bisa menerima realita
dan menjalani kehidupannya sebagai seorang
mahasiswa seperti biasanya. Hal 248.
9) Karakter Nonomiya Yoshiko
a) Manja
(1) Meminta kakaknya Nonomiya untuk
menjenguknya di hari Minggu. Hal 50.
b) Kharismatik
(1) Saat Sanshiro datang ke rumah Nonomiya,
Sanshiro merasa bahwa ia kedatangan
seorang putri muda dan tidak berdosa. Yang
diperlukannya hanya mematuhi perintah-
perintahnya. Sanjungan tak diperlukan
lagi. Sanshiro merasa sepatah kata saja
yang keluar dari mulutnya, maka semuanya
akan terasa hambar. Yang lebih
menyenangkan adalah menghambakan diri
sebagai budak yang membisu. Hal. 94.
c) Kekanak - Kanakan
(1) Yoshiko yang kekanak-kanakan
memperlakukan Sanshiro seperti anak kecil,
tetapi bagi Sanshiro sama sekali tidak
merasa harga dirinya direndahkan. Hal.94.
d) Artistik
(1) Sanshiro melihat sekotak cat dan kuas di
beranda . Juga cat air yang setengah
terpakai. Hal 94.
e) Modern
(1) Karena Yoshiko lahir dan dibesarkan pada
zaman Meiji maka ia juga mendapatkan
pengaruh dari semangat pembaharuan zaman
Meiji. Sifatnya juga menjadi kebarat-
baratan dan mementingkan egonya. Dalam
novel Sanshiro hal 199, dengan tegas ia
menolak dinikahkan dengan pria yang tidak
ia kenali, tidak ia cintai dan tidak ia
benci.
f) Penakut
(1) Nonomiya berkata “Sekarang selama ibuku
di sini ia baik-baik saja tetapi ibuku
akan segera kembali ke desa dan adikku
hanya bersama dengan pembantu. Mereka
berdua penakut, mereka tidak berani
ditinggal sendirian di rumah. Hal 91
10) Karakter Shinzo
a) Pemabuk
(1) Setiap malam ia memakai uangnya
sedikit-sedikit untuk minum. Hal 71.
b) Baik Hati Tapi Berwatak Keras
(1) Sekali waktu ia hampir saja memukul
istrinya dengan sepotong kayu bakar.Hal
71.
c) Ingkar Janji
(1) Shinzo berjanji member Sanshiro madu.
Tapi tak sekalipun ia membawakannya. Hal
71.
11) Karakter Haraguchi
a) Mudah Berbaur
(1) Haraguchi masuk ke dalam kerumunan dan
menghilang di dekat Mineko dan Yoshiko.
Hal 243.
b) Artistik
(1) Menurut Haraguchi saat melukis mata sang
model lukisan maka seluruh perasaan model
lukisan bisa ikut terlukiskan juga. Hal
213.
12) Karakter Pembantu Nonomiya
a) Penakut
(1) Nonomiya berkata pada Sanshiro bahwa
jika Nonomiya pergi ke rumah sakit untuk
menjenguk adiknya, berarti pembantu akan
tinggal di rumah sendirian, Padahal bibi
itu seorang penakut. Hal 45
(2) Pelayan yang menghidangkan makanan pada
Sanshiro berwajah takut-takut seperti yang
dikatakan Nonomiya. Hal 46
d. Latar / setting
1) Latar Tempat
a) Di Kereta
(1) Kereta mulai merangkak lagi selama kira-
kira dua menit. Hal 1-4.
b) Di Penginapan
(1) Sanshiro melihat dua rumah dengan papan
nama sebuah penginapan. Hal 5.
c) Di Kamar Mandi
(1) Sanshiro melepaskan pakaiannya dan masuk
ke dalam bak mandi sambil merenungkan apa
yang terjadi. Hal.6.
d) Di Tokyo
(1) Tokyo dipenuhi dengan bunyi klakson-
klakson mobil di jalan serta orang-orang
yang berjejal-jejal. Kota yang sangat
sibuk, terlebih di Marunouchi, pusat
perdagangan kota. Hal 17.
e) Di Universitas Yayoi-cho
(1) Jalanan gersang dan sempit, sehingga
lapangan Universitas yang banyak
pepohonannya terasa bagaikan hiasan. Hal
19.
f) Di Gudang Bawah Tanah
(1) Ia berada di gudang bawah tanah. Udara
di bawah sini lebih dingin. Hal 20.
g) Di Toko Kaneyasu
(1) Nonomiya menunjuk toko di seberang dan
berkata, “Saya mau membeli sesuatu di toko
Kaneyasu.” Ia membeli karbon tipis yang
transparan. Hal 28.
h) Di Sebuah Restoran Barat, Masago-cho
(1) Nonomiya mentraktir Sanshiro makan malam
di sebuah restoran Barat di Masago-cho.
Nonomiya mengatakan restoran itu
menyediakan makanan yang paling enak di
Hongo, tetapi yang diketahui oleh Sanshiro
hanya rasanya seperti masakan Barat.
Tetapi semua yang disajikan dimakannya.
Hal 29.
i) Di Ruang Kuliah Utama
(1) Sore hari, Sanshiro pergi ke ruang
kuliah utama. Hal 33
j) Di Pondok
(1) Ia langsung pulang ke pondokannya. Hal
34.
k) Di Restoran Yodomiken
(1) Mahasiswa yang membuat karikatur
menarik Sanshiro dari jalan raya Hongo,
dan memesankan sepiring nasi kari di
sebuah tempat yang disebut Yodomiken, di
bagian depannya berupa toko buah dan ada
restoran kecil di belakangnya. Hal 35.
l) Di Restoran Hiranoya
(1) Mereka makan malam dan minum sake di
restoran Hiranoya. Hal 37.
m) Di Kiharadana
(1) Menonton teater komedi di Kiharadana.
Hal 37.
n) Di Perpustakaan
(1) Pada hari berikutnya Sanshiro memotong
40 jam kuliahnya hampir separuhnya dan
mulai mengunjungi perpustakaan. Hal. 38.
o) Di Kafe
(1) Di kafe ada dua kelompok mahasiswa dan
seorang laki-laki duduk sendirian minum
teh di ujung ruang. Hal. 39.
p) Di Rumah Nonomiya
(1) Letak rumah tersebut juga aneh. Hal 43
q) Di Rumah Sakit Universitas
(1) Ia naik rickshaw langsung menuju pintu
depan Rumah Sakit di sayap Aoyama. Hal.
51.
r) Di Sendagi Hayashi-cho
(1) Ketika suatu sore Sanshiro menyusuri
jalan-jalan di kota seperti biasanya, di
puncak Dangozaka ia berbelok ke kiri dan
muncul di jalan raya di Sendagi Hayashi–
cho. Hal. 60.
s) Di Vila Satake
(1) Itu kesalahannya sampai kita bertengkar
seperti di Vila Satake. Hal 68.
t) Di Rumah Baru Hirota Sensei dan Yojiro
(1) Sanshiro pergi ke Nishikatamachi
sepuluh dan menemukan Blok nomor tiga
setengah menuruni jalan lama yang sempit.
Sebuah rumah tua. Hal. 75.
u) Di Pinggir Kolam
(1) Sambil berlutut di tepi kolam, Sanshiro
mengingat kejadian tersebut yang dibacanya
di Koran Kyushu. Hal 22.
v) Di Luar Kuil Ogannon
(1) Seorang pengemis berlutut di tanah di
luar kuil Ogannon. Hal 101.
w) Di Pertunjukan Boneka Chrysantemum di Puncak
Dangozaka
(1) Mereka memasuki stand pameran di sebelah
kiri. Hal 103.
x) Di Lapangan Dekat Sungai Ogawa
(1) Mereka terus berjalan menyusuri
sepanjang tepian sungai, dan tak lama
kemudian mereka berhenti di sebuah
lapangan terbuka. Hal 106.
y) Di Ruang Pertemuan Mahasiswa
(1) Keduanya berjalan melalui kegelapan ke
arah ruang pertemuan mahasiswa. Hal 126.
z) Di Kamar Mandi Umum
(1) Pagi-pagi Sanshiro pergi ke kamar mandi
umum. Hal 131.
aa) Di Ruang Ganti Pakaian
(1) Di ruang ganti pakaian, ia
memperhatikan sebuah pengumuman besar dari
pabrik tenun Mitsukoshi yang menggambarkan
lukisan seorang wanita cantik yang mirip
Mineko. Hal. 131
bb) Di Lapangan Pertandingan Atletik
(1) Hari ini ia akan pergi ke pertandingan
atletik setelah makan siang. Hal 131.
cc) Di Bukit Buatan
(1) Karena ia tidak bisa melihat dengan
jelas para penonton wanita, Sanshiro
menyelinap pergi dari lapangan permainan
dan tiba di bukit buatan di belakang
tempat duduk penonton wanita. Hal 134.
dd) Di Warung Mie Pojok Jalan Oiwake
(1) Agak jauh sedikit, ia melintasi daerah
yang gelap dan muncul di jalan Oiwake. Di
pojok ada warung mie. Kali ini Sanshiro
mengikuti dorongan hatinya dan menyelinap
ke balik tirai di pintu masuk. Ia ingin
minum. Hal 154.
ee) Di Seiyoken, Ueno
(1) Sanshiro pergi ke perjamuan malam di
Seiyoken setelah di desak-desak Yojiro.
Hal 181.
ff) Di Okano
(1) Mereka berhenti di Okano. Ketika
pulang, Yojiro membeli selai kacang. “Ini
untuk Sensei,” katanya, lalu ia membeli
sekeranjang penuh. Hal 164.
gg) Di Rumah Satomi
(1) Sepotong papan nama bertuliskan “Satomi
Kyosuko” terbaca ditiang pintu gerbang
yang beratap genting. Hal 166.
hh) Di Pameran Kelompok Tanseikai
(1) “Apa kau sudah menonton pameran
kelompok Tanseikai?” Tanya Mineko.
“Belum.” Jawab Sanshiro. “Mereka mengirimi
aku dua karcis gratis, tapi sampai saat
ini aku tidak punya waktu. Kau mau pergi
sekarang?” Ajak Mineko pada Sanshiro. Hal
172.
ii) Di Bawah Pohon Dekat Hutan Ueno
(1) “Ayo berteduh di bawah pohon-pohon
itu.” Ajak Mineko. Hal 179.
jj) Di Bukit Suribachi
(1) Sanshiro dan Yojiro mendaki bukit
Suribachi untuk menatap bulan. Hal 188.
kk) Di Yonchome
(1) Saat itu masih terlalu sore sehingga ia
pergi dulu ke Yonchome untuk membeli baju
dalam dari wol di sebuah toko barang-
barang impor. Hal 193.
ll) Di Rumah Haraguchi, Akebono-cho
(1) Kini ia menuju ke Akebono-cho, ke
tempat Haraguchi. Hal 206.
mm) Di Ruang Pertunjukan Drama Masyarakat Sastra
(1) Di dalam terang sekali. Hal 240.
nn) Di Gereja
(1) Setelah membelok tiga kali, Sanshiro
tiba tepat di depan gereja. Hal 252.
2) Latar Waktu : Tahun 1912 yaitu pada tahun Meiji
ke- 45. Hal. 235
3) Latar Sosial
a)Status tokoh dalam novel ini adalah sebagai
seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Yayoi-cho.
b)Kebiasaan hidup di Kumamoto, jika memiliki
pikiran pesemisme terhadap Negara Jepang maka
akan dipukuli, dihajar dan ditangkap karena
dianggap berkhianat.
4) Latar Suasana
a) Malu
(1) Sanshiro merasa malu
dengan topinya karena menunjukan ia baru
lulus SMA. Hal 5
(2) Merasa malu karena
membuang sampah ke luar jendela kereta,
dan sampahnya mengenai wanita yang duduk
di hadapannya yang kepalanya sedang
menghadap ke jendela. Hal 4.
b) Sedih
(1) Rasa terkejutnya sama seperti anak desa
yang untuk pertama kalinya berdiri di
tengah-tengah ibukota. Pendidikannya tak
lagi bisa melunakkan terpaan itu dan tak
menolongnya. Ia merasa segumpal
kepercayaan dirinya menghilang. Dan hal
ini membuatnya sedih. Hal 17.
c) Khawatir, Terkurung dan Terasing.
(1) Saat pertama kali melihat
Tokyo yang begitu sibuk, Shanshiro
khawatir tidak bisa menyatu pada dunia
yang begitu sibuk itu dan ia merasa
khawatir akan ditinggalkan oleh dunia yang
bergerak bergemuruh itu. Hal 18
d) Kagum dan Terkesan
(1) Saat menemui Nonomiya
pertama kali, Sanshiro merasa terkesan
melihat Nonomiya yang begitu tekun
meneliti tekanan cahaya bahkan penelitian
itu sampai setengah tahun berlalu, tapi
Nonomiya menjalankan penelitiannya dengan
suka cita dan tak kenal lelah. Hal 22
e) Keheningan dan Kesendirian
(1) Kesendirian menyebar ke
atas permukaan seperti selubung awan.
Kesunyian pun lengkap, seolah-olah ia
duduk sendirian di gudang bawah tanahnya
Nonomiya. Hal 23
f) Kagum dan Antusias
(1) Sanshiro mengagumi arsitektur bangunan
Universitasnya dan merasa antusias untuk
memulai kuliah.Hal 31
g) Kecewa
(1) Kuliah dimulai pada 11 September tetapi
tak satupun kelas-kelas yang sudah mulai
ada kuliah. Hal 30.
(2) Sesaat kemudian terdengar suara biola
di ruang lain. Suara nya segera
menghilang, seolah-olah segumpal angin
membawanya dari suatu tempat, membuyarkan
suara itu, dan menghempasnya lagi.
Sanshiro merasa kecewa karena tidak
mendengar suara biola itu lagi. Hal 167.
h) Jenuh
(1) Setelah kuliah, Sanshiro
merasa jenuh karena sang Dosen memberi
kuliah dengan gaya deklamasi. Hal 33.
i) Tidak Mengerti
(1) Sang dosen menerangkan
mengenai keterbukaan Jepang terhadap Barat
namun menjadi sulit dimengerti ketika
menyinggung banyak nama filsuf besar
Jerman. Hal 33.
j) Resah
(1) Sanshiro agak resah karena
dijejali terlalu banyak informasi saat
kuliah. Hal 34.
k) Tertekan
(1) Di selang antara kuliah-kuliah ia
mendengar para mahasiswa membicarakan
tentang alumnus yang bersaing untuk
mendapatkan kedudukan di sebuah Sekolah
Negeri. Sanshiro merasakan sesuatu yang
berat dan menekan, seolah-olah masa depan
yang masih jauh mendekatinya. Hal 35.
l) Kegembiraan yang Lenyap
(1) Sanshiro mengikuti kuliah yang bukan
bidangnya, ia menghabiskan 40 jam dalam
seminggu untuk kuliah. Hal 36
m)Senang
(1) Karena pengaruh anggur serta sejenis
perasaan yang menyenangkan, Sanshiro hari
itu menikmati pelajarannya dengan perasaan
senang yang belum pernah dialaminya. Hal
40.
(2) Saat jalan-jalan di kota, ia
mendengarkan suara drum dan bel dari
kejauhan. Apa yang tertinggal dari suara
itu adalah sensasi yang menyenangkan. Hal.
60
(3) Sanshiro merasakan suatu kesenangan
aneh bahwa ia tidak mengerti kuliah itu.
Hal.67.
(4) Merasa senang berada di wilayah
akademi, jauh dari dunia nyata yang
bergemuruh. Di dunia akademi semua hal
begitu damai dan senyap, lebih senyap dari
seluruh hari-hari dan bulan-bulan yang
sepi. Wilayah akademi adalah rumah
pembakar penderitaan duniawi. Hal 73.
n) Ngeri
(1) Suatu perasaan ngeri menerpa
Sanshiro.Hal 47.
o) Sejuk
(1) Sanshiro samar-samar merasa sejuk. Ia
memperhatikan bahwa jendela diatas mejanya
terbuka. Hal 70
p) Takut
(1) Ketakutan menggelitik dan mengalir
melalui punggung sampai ke ujung kakinya.
Hal 47.
q) Cemas
(1) Sanshiro cemas, kejadian itu baru
beberapa saat yang lalu ketika gemuruh
kereta lewat. Sampai saat itu, si wanita
masih hidup. Hal 48.
(2) Cemas dengan adik Nonomiya yang sedang
sakit. Hal 46.
r) Merasa Terganggu
(1) Tiap kali pandangannya menangkap pohon
api ia merasa terganggu, dan terutama
seperti malam ini, saat cahaya bulan yang
kebiruan mencetak bayangan gelap dengan
tepian pohon yang mengingatkannya pada
asap rokok. Hal 70.
s) Kepedihan yang Menyesakkan
(1) Ia merasakan kepedihan yang menyesakkan
saat menyadari bahwa di sana ia juga telah
membenamkan sang ibu tersayang di alam
pikirannya. Hal 72.
t) Ramai
(1) Semakin jauh mereka berjalan, semakin
ramai kerumunan yang mereka masuki. Hal
102.
u) Tenang
(1) Sanshiro duduk di ruang yang tenang
itu. Hal 167.
v) Remang
(1) Cuaca yang berkabut menambah suasana
keremangan. Hal 168.
w) Senyap
(1) Pikiran Sanshiro telah bergerak dalam
suasana senyap ini tanpa disadarinya. Hal
209.
x) Riang
(1) Lukisan itu membuat perasaan Sanshiro
ringan. Efeknya membuat perasaan riang,
seperti naik sebuah sampan yang sedang
melaju cepat. Hal 210.
y) Menakjubkan
(1) Gerakan-gerakan Hamlet di panggung tampak
menakjubkan. Hal 243.
z) Kegembiraan
(1) Gerakan tokoh dramawan Hamlet ketika
berdiri di tengah panggung, merentangkan
tangan lebar-lebar atau menatap langit, ia
menumbuhkan suatu kegembiraan sehingga
para penonton tidak menyadari apapun
kecuali dirinya. Hal 244.
(2) Sanshiro tidak punya pikiran apa pun
tentang apa arti cerita lucu Yojiro,
tetapi sekarang ia merasa gembira. Hal.
249.
aa) Iri
(1) Haraguchi masuk ke dalam kerumunan dan
menghilang di dekat Mineko dan Yoshiko.
Sanshiro yang memperhatikan setiap gerakan
kelompok itu dengan perhatian yang jauh
lebih besar dibandingkan ketika ia
menyaksikan pertunjukan, tiba-tiba merasa
tidak senang dengan cara Haraguchi itu.
Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa
seseorang bisa mendekati orang lain dengan
cara yang begitu menyenangkan. Mungkin
Sanshiro harus mencoba meniru Haraguchi.
Tetapi dengan kesadaran penuh ia akan
meniru orang lain menghancurkan
keberaniannya untuk mencoba. Hambatan
lebih jauh oleh ketidakmungkinan
menyelinap di tengah-tengah ruang yang
tersisa, membuat Sanshiro tetap tinggal di
tempatnya. Hal 243.
bb) Galau
(1) Dengan pikiran seperti itu ia tertidur.
Tidur yang terlalu galau baik bagi nasib
maupun bagi Yojiro untuk menyentuhnya. Hal
200.
cc) Menyesal
(1) “Saya dengar engkau akan menikah.” Kata
Sanshiro. “Engkau tahu?” Tanya Mineko
sembari menyepitkan lipatan alis matanya
untuk memandang Sanshiro. Matanya berkata
sekarang ia lebih menyesalkan hal itu
daripada seharusnya. Setelah memandang
Sanshiro sejenak, Mineko melepaskan napas
panjang yang hampir tidak terdengar.
Akhirnya, menyentuhkan sapu tangannya ke
alis matanya yang lebat ia bergumam, “Saya
mengakui kesalahan saya, dan dosa-dosa
saya sebelumnya.” Hal 254.
e. Alur :
Maju
f. Sudut Pandang : Orang ketiga
serba tahu
g. Amanat :
Jika menyukai seorang wanita dan ingin
menikahinya maka harus memiliki keberanian untuk
mengungkapkan perasaanya.
h. Gaya Bahasa : Modern
Klasik
4. Unsur Ekstrinsik Novel “Sanshiro”
a. Aspek Sejarah
1) Jepang pada abad sekarang dikenal sebagai
negara yang bersih, dan warganya sangat menjaga
kebersihan, tetapi dalan novel Sanshiro yakni
Jepang pada tahun 1912, Sanshiro justru
membuang kotak kayu kosong bekas tempat
makannya ke luar jendela kereta api. Hal 4.
Hirota Sensei juga membungkus sisa-sisa buah
persik dengan kertas koran dan melemparkannya
ke luar jendela. Hal 13
2) Konstitusi diumumkan pada tahun 1889, Tahun
Meiji kedua puluh dua. Mentri Pendidikan, Mori
Arinori, dibunuh sebelum ia pergi ke upacara
itu. Hal 235
b. Aspek Sosiologis
1) Di Kumamoto, orang yang berani menjelek-
jelekkan Jepang, pasti dipukuli dan dihajar,
bahkan mungkin ditangkap karena dianggap
berkhianat. Hal 15
2) Pada halaman 47 dalam novel Sanshiro terdapat
seorang wanita yang bunuh diri dengan
menabrakkan dirinya ke kereta yang sedang
melintas. Saat mengetahui kejadian bunuh diri
tersebut, Sanshiro teringat perkataan Hirota
Sensei mengenai Kehidupan yang bisa berbahaya.
Motif bunuh diri yang dilakukan sang wanita
tidak diketahui, namun budaya bunuh diri sudah
ada di Jepang sejak lama. Biasanya bunuh diri
dilakukan dengan alasan tidak bisa menahan rasa
malu. Daripada menanggung rasa malu dan
kehormatan serta harga dirinya hilang lebih
baik membunuh diri.
3) Di Akademi tempat Sanshiro belajar terdiri
dari murid-murid yang santai-santai belajar
serta rajin. Namun lebih banyak yang santai-
santai saja. Hal 70
4) Masyarakat kota adalah orang-orang yang hidup
di bawah kolong langit yang cukup luas, yang
memungkinkan mereka menjadi jujur terhadap diri
mereka sendiri, tidak seperti di desa yang
penuh basa basi. Hal 102.
5) Di Tokyo jika ada anak nyasar atau hilang,
pasti langsung diserahkan ke polisi untuk
dibantu mencari keluarganya. Hal 103
6) Mahasiswa Sastra berkumpul dan mereka membuat
gerakan agar tidak hanya orang asing saja yang
menjadi dosen mereka melainkan orang jepang pun
harus menjadi dosen mereka. Hal 130
7) Masyarakat Tokyo pada tahun 45 Meiji menurut
Hirota Sensei memiliki tingkat egoisme yang
tinggi. Dahulu saat Hirota Sensei masih
mahasiswa, setiap yang ia lakukan pasti ada
hubungannya dengan orang lain. Untuk Kaisar,
orang tua, negara, atau masyarakat.
Tapi menurutnya anak-anak muda zaman
sekarang hanya mementingkan diri sendiri,
seakan mereka hidup hanya untuk dirinya
sendiri. Padahal kehidupan manusia itu seperti
riak air, semakin lama gelombang riak itu
menyebar luas. Hal yang dilakukan satu orang
manusia juga memiliki dampak ke manusia
sekitarnya. Hal 146.
c. Aspek Politis
1) Keadaan politik di negara-negara dalam novel
ini sedang tidak baik karena terjadi perang
untuk memperebutkan kekuasaan atas tanah
jajahan. Hal 2
d. Aspek Religiusitas
1) Di Jepang, agama Shinto, Budha dan Kristen
memiliki banyak pemeluk. Kuil-kuil pun
bertebaran, dalam novel Sanshiro, di dekat kuil
Tako-Yakushi di Kyoto dideskripsikan sebagai
tempat yang menjual mainan bagus dan murah. Hal
2.
2) Segala sesuatu yang ada pada Hirota Sensei
mengingatkan Sanshiro pada seorang pendeta
Shinto. Hal 10
3) Hirota Sensei, mengatakan bahwa ia mengerti
mengapa para Taois memilih buah persik sebagai
buah abadi. Hal 12
4) Dahi dan mata Nonomiya yang lebar
mengingatkan orang akan Budha. Hal 20
5) Nonomiya dan Sanshiro meninggalkan gerbang
samping dan berjalan sepanjang kuil Karatachi
ke arah jalan yang ramai. Hal 27
6) Fakultas Teknik yang jauh di ujung sebelah
kiri seluruhnya terlihat bagaikan puri Barat
pada abad pertengahan. Bentuknya persegi
sempurna. Bahkan jendela-jendelanya juga
persegi. Tetapi pojok-pojok dan lorong-
lorongnya bundar, dengan tiang-tiang semacam
menara berjajar yang mungkin dimaksudkan mirip
menara-menara kecil di sebuah kuil. Strukturnya
utuh sebagaimana seharusnya sebuah kuil. Hal 32
7) Sanshiro berdiri untuk memberi penghormatan.
Ia membayangkan, beginilah cara yang seharusnya
dilakukan ketika seorang pendeta Shinto
mengenakan sabuknya untuk sebuah upacara suci.
Hal 32.
8) Untuk menghilangkan rasa bosan, Sanshiro
jalan-jalan ke Tabata, Dokanyama, kuburan di
Somei, penjara Sugamo, Kuil Gokokuji. Hal 59
9) Tak lama kemudian mereka sampai ke sebuah
kuil tua yang berdampingan dengan semak belukar
pohon cedar yang baru dibabat serta tanahnya
diratakan untuk pembangunan sebuah rumah
bergaya Barat yang bercat biru. Hal 65
10) Seorang pengemis berlutut di tanah di luar
kuil Ogannon. Hal 101
11) Sanshiro menatap ke cermin dan tempat lilin.
Keduanya secara aneh memberikan suasana Barat.
Bersama dengan pikiran itu, tiba-tiba muncul
pikiran yang menghubungkan suasana ini dengan
agama katolik. Hal 167
12) Pada hari Minggu, Mineko pergi ke gereja.
Karena ingin mengembalikan uang, Sanshiro pun
pergi ke gereja. Di depan gerbang gereja,
Sanshiro menunggu Mineko keluar sembari
mendengar nyanyian/ hymne. Hal 252
e. Aspek Psikologi
1) Sanshiro adalah pemuda pendiam, saat seorang
Ibu muda memintanya mencari penginapan. Karena
menurutnya wanita itu orang asing, dan
bagaimanapun ia seorang wanita, sebenarnya ia
ingin menolak, namun karena begitu pendiam ia
kesulitan untuk mengemukakan alasan menolak
jadi ia membantunya mencari penginapan dan ikut
menginap di penginapan itu. Hal 5
2) Karena terbiasa hidup di desa yang kuno,
ketika menginjakkan kakinya di Tokyo yang
begitu sibuk, Sanshiro merasa sedikit tertekan.
Hal 18
3) Sanshiro begitu polos sehingga saat melihat
seorang Geisha yang bermake-up sangat putih ia
tidak menyukainya, menurutnya make-up/ talek
yang digunakan geisha itu terlalu putih
sehingga terlihat seperti hantu tembok.
Karena Sanshiro adalah pemuda polos ia
pun hanya menyukai kesederhanaan. Seperti
menurutnya wanita yang kulitnya putih kecoklat-
coklatan seperti kue beras (senbei) yang tembus
cahaya dan agak sedikit gosonglah yang cantik
alami tanpa dibuat-buat. Hal 29
4) Sanshiro menyukai Mineko dari pertama kali
mereka bertemu. Mineko pun sepertinya tertarik
pada Sanshiro hal ini bisa dilihat dari hal-hal
yang dilakukan oleh Mineko terhadap Sanshiro.
a) Menurut buku Personal Attraction karya
Kevin Hogan dan Mary Lee LaBay Mata
memberikan banyak informasi mengenai perasaan
yang tersembunyi di hati seseorang. Kita
tidak bisa melihat perasaan di hati
seseorang, tapi kita bisa mengetahui
perasaannya melalui matanya. Mata adalah
cermin hati. Dengan melihat matanya kita bisa
mengetahui apakah orang itu sedang sedih,
kesal, bahagia, terpesona, atau ketakutan.
Kita bisa mengetahui apakah seseorang
tertarik atau tidak dengan melihat matanya.
Awal cinta pandangan pertama juga berawal
dari pandangan atau kontak mata. Saat
Sanshiro pertama kali melihat Mineko ia terus
memandang Mineko sembari duduk di pinggir
kolam kampus.
Jika Mineko tidak tertarik pada
Sanshiro, ia tidak perlu menatap Sanshiro, ia
bisa saja memandang jalanan atau memandang
ujung jalan, berjalan terus seakan tidak ada
siapa-siapa di pinggir kolam. Namun saat di
pinggir kolam, di halaman 25 setelah
memandang pohon, matanya turun dan melirik
Sanshiro.
Sanshiro sangat menyadari, bahwa
sepasang mata yang hitam dan dalam itu
menatapnya. Dan cinta pun jatuh dari mata ke
hati. Mineko pun berjalan melewati Sanshiro
dan menjatuhkan bunga putih di depannya,
seakan seperti ingin memberikan bunga itu
untuk Sanshiro.
b)Pada novel Sanshiro halaman 56. Saat Sanshiro
dan Mineko bertemu untuk kedua kalinya di
rumah sakit, Mineko bertanya pada Sanshiro
mengenai letak ruang nomer 15 yakni ruangan
adiknya Sohachi yang sedang sakit. Bukankah
Mineko sudah pernah menjenguk adiknya Sohachi
sebelumnya.
Bahkan saat bertemu dengan Sanshiro
pertama kali, Mineko sedang jalan-jalan
bersama seorang perawat. Jadi, pertanyaan
Mineko mengenai letak ruangan nomer 15
hanyalah sekedar pertanyaan yang diajukan
karena ingin mengobrol dengan Sanshiro. Hal
56
c)Lalu pada saat pertemuan mereka yang ketika
di rumah sewa Hirota Sensei yang baru. Mereka
berdua datang terlalu cepat, dan memutuskan
untuk menyapu dan mengepel rumah itu terlebih
dahulu. Di lantai atas setelah mereka berdua
selesai menyapu dan mengepel, mereka menatap
ke luar jendela memperhatikan awan.
Namun akhirnya Yojiro datang, merasa
terganggu dengan kedatangan Yojiro akhirnya
Mineko mengatakan “Mereka datang lebih
cepat,” Hal 82
d)Saat membereskan buku-buku Hirota Sensei,
Mineko melihat sebuah album dan
menunjukkannya pada Sanshiro. Hal 85
e)Mineko juga bertanya apakah ia boleh menulis
tentang Sanshiro. Hal 88
f)Mineko, sambil tetap melipat pakaian, menatap
Sanshiro. Hal 89
g) Saat Sanshiro, Mineko, Hirota Sensei,
Yoshiko dan Nonomiya pergi untuk melihat
pertunjukan boneka Chrysanthemum, suasana
sangat ramai, penonton sangat penuh. Karena
begitu ramai, pengap dan kekurangan oksigen,
Mineko merasa pusing.
Ia pun pergi keluar arena pertunjukan.
Sanshiro mengikutinya karena khawatir. Mereka
berjalan menjauh mencari ketenangan. Akhirnya
mereka duduk di pinggir sungai, menatap
langit dan sungai lalu mengobrol. “Pengemis
yang tadi kita lihat seharusnya duduk di
sini.” Kata Mineko. Sanshiro pun menjawab
“Nonomiya benar. Kita bisa berada di sini
cukup lama tanpa seorang pun mengganggu.”
“Bukankah itu lebih baik?” Kata Mineko
seakan ia suka berada di sini cukup lama
bersama Sanshiro tanpa seorangpun mengganggu.
Hal 108.
Tiba-tiba seseorang datang dan melihat
mereka berdua. Sanshiro merasa tidak nyaman
dengan tatapan orang itu, lalu ia berkata
“Aku yakin Pak Guru Hirota dan Nonomiya
mencari-cari kita.” Nampaknya dugaan itu
hanya untuk Sanshiro. Mineko justru tidak
peduli. Ia menjawab “Jangan cemas. Kita
pemuda dan gadis yang sudah besar. Tak apa-
apa kalau kita tersesat.”
“Tapi kita memang tersesat, dan aku
yakin mereka berusaha mencari kita”, Sanshiro
mendesak. Ketidakpedulian Mineko bertambah.
Tapi Sanshiro terus mendesak “Engkau merasa
lebih enak sekarang? Kita harus pulang
sekarang.”
Mineko menatapnya. Sanshiro bangkit,
tapi kemudian ia duduk kembali. Baru kemudian
Sanshiro menyadari ada sesuatu dalam
dirinya : arti gadis ini terlalu besar bagi
dirinya. Samar-samar ia juga merasakan
perasaan rendah diri menyertai kesadaran yang
telah dilihatnya.
Sambil tetap menatap padanya, si gadis
berkata, “Anak hilang.” Sanshiro tidak
menanggapi. “Apa engkau tahu bagaimana
menerjemahkannya ke bahasa Inggris?” Tanya
Mineko. Sanshiro tidak tahu.
“Mau tahu?” Tanya Mineko.
“Boleh.” Jawab Sanshiro.
“Stray Sheep, jelas?” Kata Mineko.
Sanshiro tidak tahu harus menjawab
apa. Ia terdiam lalu memandang Mineko dengan
putus asa dan tidak berkata apa-apa.
Sebaliknya Mineko menjadi serius. “Apakah aku
tampak begitu maju bagimu?” Tanya Mineko.
Sanshiro tidak menjawab apa-apa.
Akhirnya karena Sanshiro terus diam,
Mineko berkata “Baiklah kalau begitu, marilah
kita pulang,” kata Mineko tiba-tiba. Mineko
mengatakannya dengan berbisisk, seolah-olah
ia menerima nasib sebagai seorang yang tidak
berarti bagi Sanshiro. Mereka pun pergi,
Mineko bangkit dari duduknya, sembari
bergumam “Domba yang hilang.” Pada dirinya
sendiri dengan nada suara yang hampir-hampir
tak terdengar.
Sanshiro dan Mineko sudah sampai ke
kubangan lumpur yang memenuhi jalan setapak
di gang itu, dan ditengah-tengahnya seseorang
menempatkan batu pijakan. Sanshiro melompat
ke seberang tanpa bantuan batu itu, kemudian
berbalik untuk mengawasi Mineko.
Mineko mendapatkan kaki kanannya di
batu pijakan, tetapi batunya bergoyang. Ia
bergoyang ke belakang dan ke depan,
menyiapkan langkah untuk melompat. Sanshiro
mengulurkan tangannya. “Sini. Peganglah.”
Kata Sanshiro.
“Tidak, aku tidak apa-apa.” Kata
Mineko tersenyum. Seakan mengatakan bahwa
wanita kota adalah wanita yang mandiri.
Selama Sanshiro mengulurkan tangannya, Mineko
tetap diam di tempatnya.
Mineko melompat dengan seluruh
kekuatan dan tekanan pada kaki kanannya
kemudian melemparkan kaki kirinya ke
seberang. Tetapi karena berusaha kakinya
tidak terkena lumpur, ia melompat sangat kuat
dan kehilangan keseimbangan. Ia jatuh
kehadapan Sanshiro, tangannya mencengkram
lengan Sanshiro.
“Domba yang hilang”, ia mengguman pada
dirinya sendiri. Sanshiro bisa merasakan
napas Mineko di depannya. Hal 104 s/d 112
Sebenarnya Mineko masih ingin lebih
lama lagi bersama Sanshiro di pinggir sungai,
tapi karena Sanshiro besar di desa, dan adat
istiadat di desa mengajarkan bahwa tidak baik
hanya duduk berdua-duaan saja bersama lawan
jenis di tempat sepi, jadi setelah ada orang
lewat yang menatap Sanshiro dengan tatapan
yang memiliki arti seperti ini “Tidak baik
duduk berdua-duaan saja bersama lawan jenis
di tempat yang sepi.” Jadi Sanshiro mengaak
Mineko untuk kembali ke tempat pertunukan
boneka Chrysantemum.
Sedangkan Mineko yang dibesarkan di
Ibukota pada zaman Meiji yakni zaman di mana
Jepang menyerap seluruh pengaruh dari budaya
Barat mentah-mentah, maka menurut Mineko
tidak apa-apa duduk menikmati sungai dan awan
bersama orang yang disenangi.
Tapi melihat Sanshiro yang tidak
tertarik untuk duduk bersama Mineko untuk
menikmati keindahan alam ia pun menyerah dan
mengikuti perkataan Sanshiro yakni kembali ke
Pertunjukan Boneka Chrysantemum untuk bertemu
Hirota Sensei dan yang lainnya.
h)Beberapa hari kemudian Mineko mengirimkan
kartu pos dengan gambar sungai kecil dengan
rumput yang kusut di tepiannya, serta dua
ekor domba berbaring di pinggir rumput itu.
Di seberang sungai berdiri seseorang berbadan
besar berjalan dengan sebuah tongkat. Nama si
pengirim hanya tertulis “Anak Hilang.”
Tapi Sanshiro tidak menjawab kartu pos
ini, sehingga saat bertemu Mineko saat
pertandingan atletik, Mineko hanya diam dan
memandang ke atas yakni ke sebuah pohon yang
tinggi. Pada saat Sanshiro menatap mata
Mineko, Sanshiro melihat seberkas sinar yang
padam.
Setelah Sanshiro bertanya “Kenapa kau
meninggalkan tempat itu? Aku melihat betapa
gembiranya kau di sana.” Mineko akhirnya
tersenyum kecil. Ia tersenyum karena senang.
Sanshiro memperhatikan walaupun duduk di
tempat yang sangat jauh. Hal 135.
i)Sanshiro bertanya pada Mineko “ Tadi Nonomiya
datang dan ngobrol sesuatu denganmu?”
“Di lapangan?” Mineko balik bertanya.
“Ya, di dekat pembatas,” kata Sanshiro,
tetapi ia ingin menelan kembali pertanyaan
itu.
“Ya.” Mineko menjawab dan menatap
Sanshiro tajam. Bibir bawahnya mulai
menyungging senyum yang dirasakan Sanshiro
lama sekali.
Akhirnya Mineko berkata “Engkau belum
membalas kartuposku.” Dengan menahan malu
Sanshiro menjawab “Nanti.” Hal 139
j)Sanshiro datang ke rumah Mineko untuk
meminjam uang, karena uang Sanshiro dipinjam
oleh Yojiro, dan Yojiro tidak memiliki uang
uantuk membayarnya sehingga, Yojiro meminta
Mineko untuk meminjamkan uang ke Sanshiro
untuk bayar uang sewa rumah Sanshiro.
Saat Sanshiro datang Mineko sedang
bermain biola, tapi ketika sang pembantu
memberi tahu kedatangan Sanshiro, suara biola
itu tidak terdengar lagi padahal Sanshiro
ingin mendengar suara biola itu. Sanshiro
menunggu cukup lama.
Mineko seakan tahu bahwa Sanshiro
ingin medengarkan suara biola lagi, maka
Mineko memainkannya sebentar, lalu ke ruang
tamu. Ia mengenakan sehelai kimono sutera
yang gemerlap. Mungkin ia membiarkan Sanshiro
menunggu lama begitu agar bisa berganti
pakaian. Hal 168
Mineko berkali-kali melihat ke jendela
dan berkata “Rasanya seperti mau hujan.”
“Tidak, tidak hujan.” Sanggah Sanshiro.
“Baiklah, kalau begitu aku mau jalan-
jalan.” Kata Mineko.
Sanshiro menafsirkan hal ini sebagai
permintaan baginya untuk segera pergi,
padahal maksud Mineko adalah Mineko ingin
mengajak Sanshiro jalan-jalan keluar.
Sanshiro berkata “Rasanya cukup, aku mau
pulang,” Mineko memandangnya sampai ke pintu.
Sanshiro sedang mengenakan sepatu di lorong
pintu masuk. Akhirnya Mineko buru-buru
berkata “Aku ingin ikut sebentar denganmu,
boleh?”
“Kalau kau mau,” Sanshiro menjawab
sambil mengikat tali sepatunya. Sesaat
kemudian Mineko turun ke lantai beton. Ia
menjulurkan badan ke dekat Sanshiro dan
bergumam “Kau marah?” Sanshiro tidak
menjawab.
Di alam pikiran Sanshiro, ia sibuk
berpikir, bahwa Mineko pasti dididik supaya
bertindak menurut caranya sendiri. Sekarang,
sebagai wanita muda, tak diragukan lagi bahwa
ia lebih memiliki kebebasan di rumahnya
daripada gadis-gadis lain, dan bisa
mengerjakan apa pun yang dia sukai.
Hal itu jelas sekali karena dia bisa
berjalan dengan Sanshiro seperti ini tanpa
minta izin terlebih dahulu. Ia bisa melakukan
hal ini karena tidak lagi punya orang tua dan
karena kakak lelakinya, yang juga masih muda,
tidak membatasinya.
Namun kalau hal ini dilakukan di desa,
ia tidak mungkin bisa melakukannya. Tokyo
berbeda dari desa, terbuka luas, sehingga
kebanyakan wanita di sini mungkin seperti
Mineko. Hal 171
Mineko meminta Sanshiro mengambil uang
Mineko di Bank sebanyak 30 yen. Setelah
Sanshiro mengambil uang itu, Mineko berkata
“Tolong simpankan saja dulu uang itu padamu.”
Saat Sanshiro datang ke rumah Mineko,
ia justru mengatakan bahwa ia tidak jadi
meminjam uang, mungkin sebaiknya ia meminta
pada Ibunya, karena Sanshiro tidak ingin
merepotkan Mineko terlebih Mineko tidak
meminta izin kakaknya.
Namun sepertinya menurut Mineko, uang
yang akan dipinjamkan ke Sanshiro adalah
uangnya sendiri bukan uang kakaknya jadi
tidak perlu meminta izin ke kakaknya segala.
Uang ini bebas digunakan oleh Mineko untuk
apa saja, karena uang ini didapatkan dari
hasil kerja Mineko sebagai model papan atas.
Walaupun Sanshiro menolak untuk
meminjam, Mineko justru memaksanya, Ia
mengajak Sanshiro ke luar untuk mengambil
uang di Bank dan mengatakan “Tolong simpankan
saja uang itu.” Setelah itu Mineko mengajak
Sanshiro ke pameran Tanseikai. Hal 172.
Sanshiro tetap tegak di tempatnya dan
kembali memeriksa lukisan kanal Venesia. Di
tempat yang lebih tinggi, Mineko memandang ke
sekeliling. Sanshiro tidak memperhatikannya.
Mineko berhenti di suatu tempat, menatap
tajam pada profil Sanshiro. Hal 174
Di Pameran, Mineko dan Sanshiro bertemu
Haraguchi dan Nonomiya. Haraguchi mengajaknya
ke Seiyokan untuk minum teh. Mineko menatap
Sanshiro. “Selama kita ada di sini, kita juga
melihat segalanya. Bukan begitu menurut
Engkau?” Tanya Mineko pada Sanshiro. Sanshiro
menyahut “Memang, demikian.” Hal 177.
Terlihat jelas, bahwa Mineko lebih suka
melihat-lihat pameran bersama Sanshiro
disbanding minum the bersama Haraguchi,
Nonomiya dan Sanshiro di Seiyokan.
k)Setelah beberapa hari kemudian Sanshiro
bertemu dengan Mineko dan Yoshiko di
Yonchome. Mineko dan Yoshiko ingn membeli
parfum. Saat Mineko bertemu dengan Sanshiro
ia tersenyum seperti senang telah bertemu
Sanshiro di Yonchome.
Sanshiro pun menyarankan parfum yang
harus dibeli oleh Mineko, walaupun sebenarnya
Sanshiro sama sekali tidak memiliki
pengetahuan mengenai parfum, dengan
sekenanya, ia memungut sebuah botol berlabel
“Heliotrope.” Mineko segera membeli parfum
yang disarankan oleh Sanshiro. Sanshiro agak
sedikit menyesal karena memilih parfum itu
asal-asalan. Hal 194.
l)Beberapa hari kemudian Sanshiro berencana
mengembalikan uang yang dipinjamkan Mineko.
Saat itu Mineko sang model papan atas, sedang
menjadi model lukisan Haraguchi di rumah
Haraguchi. Sanshiro pun mendatangi rumah
Haraguchi, dan menyaksikan Mineko sedang di
lukis. Sanshiro terus menatap Mineko.
Sembari melukis Haraguchi bercerita
tentang sepasang suami istri. Sang suami
sepertinya sudah tidak mencintai sang istri,
lalu menyuruh sang istri pergi, tapi sang
istri tidak ingin pergi karena ia mencintai
suaminya. Akhirnya sang suami pergi.
Sanshiro tidak mengerti kenapa
Haraguchi bercerita tentang kisah seperti
ini. Tapi Mineko mengerti. Maksud Haraguchi
adalah sebaikanya menikah dengan orang yang
mencintai kita bukan dengan orang yang kita
cintai, karena jika menikah dengan orang yang
mencintai kita, setidaknya kita bisa belajar
mencintainya, tapi jika menikah dengan orang
yang dicintai terkadang sulit untuk mengajari
orang tersebut untuk mencintai kita. Saat
Haraguchi istirahat, Sanshiro pun duduk di
samping Mineko “Ini uangnya aku kembalikan.”
“Apa yang bisa kulakukan dengan uang
itu di sini?” Jawab Mineko tanpa mengulurkan
tangan. Akhirnya Haraguchi menyuruh Mineko
berdiri lagi untuk dilukis. Saat melukisnya
Haraguchi menyuruh Sanshiro menatap mata
Mineko.
Katanya Haraguchi tidak bisa melukis
apa yang ada di hati Mineko, ia hanya melukis
apa yang tampak, ia hanya melukis mata itu
sebagaimana adanya. Namun ketika mata itu
terlukis maka ekspresi yang ada di hati
terlihat. Mata memang cermin jiwa.
Haraguchi melihat perubahan ekspresi
di mata dan wajah Mineko dan menurutnya
sebaiknya melukisnya dilanjutkan besok saja
karena Mineko terlihat lelah. Sanshiro
memperhatikan wajah Mineko, wajah Mineko
muram, gairahnya lenyap. Susut mata Mineko
mengungkapkan kelesuan. Sanshiro menjadi
merasa karena kehadiran dirinyalah Mineko
jadi tidak bersemangat.
“Aku tidak membutuhkan uang itu.
Pegang saja.” Kata Mineko. Kemudian, sebuah
angkong datang, penumpangnya seorang pria
gagah. “Kau terlambat sekali, aku datang
menjemputmu. Yuk, jalan. Kakakmu juga sudah
menunggu.” Lalu Mineko naik ke angkong itu.
Hal 219.
Kakak Mineko akan segera menikah.
Mineko dan Yoshiko tidak bisa tinggal
bersamanya selamanya, karena hanya akan
mengganggu rumah tangga mereka. Sementara itu
sang kakak memperkenalkan Mineko dengan
teman kakaknya. Sebenarnya sudah dikenalkan
sejak lama, dan sudah akrab juga.
Laki-laki itu tadinya melamar Yoshiko,
tapi karena menurut Yoshiko ia masih terlalu
muda untuk menikah maka ia menolak, karena
ini zaman Meiji maka mudah saja menolak atau
menerima lamaran. Pria itu pun menceritakan
penolakan Yoshiko kepada kakaknya Mineko, dan
kakaknya Mineko akhirnya menyuruhnya untuk
menikah dengan Mineko saja.
Mineko sebenarnya mencintai Sanshiro
tapi ia merasa sepertinya Sanshiro tidak
memiliki perasaan yang sama dengannya. Kartu
Pos bergambar dua domba yang hilang hanya
dibalas surat berisikan rasa terima kasih
sudah dipinjami uang. Lalu Sanshiro melunasi
uang itu dengan cepatnya, karena Mineko belum
membutuhkan uang itu, jadi menurutnya
sebaiknya dikembalikannya nanti saja. Menurut
Mineko, hidup tidak melulu harus mengurusi
masalah uang.
Karena menurut Mineko, Sanshiro tidak
menyukainya serta karena menurut Haraguchi
lebih baik menikah dengan orang yang
mencintai kita daripada dengan orang yang
kita cintai akhirnya ia menerima lamaran
teman kakaknya.
m)Akhirnya Sanshiro berhasil mengembalikan uang
pinjaman itu saat menunggu Mineko di luar
gereja. Setelah Sanshiro mengembalikkan uang
itu, Mineko menarik tangannya keluar mantel,
ia menggenggam sapu tangan putih.
Diletakkannya saputangan putih itu di
wajahnya sambil memandang Sanshiro. Mineko
tentu menghirup sesuatu dari balik bajunya.
Segera ia mengangkat saputangan dari
wajahnya.
Saputangan itu melewati wajah Sanshiro.
Sebuah keharuman yang tajam mengalir dari
saputangan itu.
“Heliotrope,” Kata Mineko lembut.
Ternyata Mineko memakai parfum yang
dipilihkan Sanshiro dengan senang hati.
“Saya dengar engkau akan menikah.” Kata
Sanshiro. Mineko meletakkan saputangannya di
lengan.
“Engkau tahu?” tanyanya menyepitkan
lipatan alis matanya untuk memandang Sanshiro
seakan ia tidak ingin Sanshiro tahu. Mineko
membuat Sanshiro dalam suatu jarak, matanya
berkata sekarang ia lebih menyesalkan hal itu
daripada seharusnya.
Seakan ia menyesal telah menerima
lamaran itu. Setelah memandang Sanshiro
sejenak, Mineko melepaskan napas panjang yang
hampir tak terdengar. Akhirnya, menyentuhkan
saputangannya ke alis matanya yang lebat ia
bergumam, “Saya mengakui kesalahan saya, dan
dosa-dosa saya sebelumnya.” Ia berbicara
terlalu perlahan untuk bisa didengar tetapi
Sanshiro dapat menangkapnya dengan jelas.
Sangat terlihat sekali bahwa Mineko
menyesali lamaran itu. Namun ia tidak bisa
membatalkan lamaran itu juga, karena
persiapan pernikahannya juga sudah sangat
matang. Takdir seseorang memang ditentukan
oleh karakter yang dimilikinya. Karena
Sanshiro begitu pendiam dan kaku, ia begitu
lamban sekali sehingga kalah cepat dengan
teman kakaknya Mineko saat memprebutkan
Mineko.
Terlebih karena Sanshiro adalah anak
desa, adat istiadatnya mengajarkan dirinya
harus menuruti perkataan orang tua maupun
gurunya. Terlebih Hirota Sensei mengatakan
bahwa Sanshiro harus menuruti Ibunya, karena
setiap hal yang dilakukan oleh satu orang
manusia sangat berpengaruh kepada orang
disekitarnya. Ibu Sanshiro juga sudah
menuliskan di surat bahwa ia tidak ingin
memiliki menantu orang kota karena ia tidak
mengerti pola pikir wanita kota.
Walaupun ia lebih ingin menikah dengan
Mineko daripada dengan pilihan Ibunya, tapi
karena ia begitu pasif jadi ia tidak bisa
mendapatkan apa yang ia inginkan. Karena
hanya orang yang antusias serta mengerahkan
usaha yang lebih besarlah yang bisa
mendapatkan apa yang ia inginkan. Hal 254
f. Aspek Antropologi
1) Masyarakat Jepang pada zaman Meiji, masih
menggunakan kimono. Tidak seperti di abad ke 21
di mana masyarakat Jepang sudah memakai pakaian
ala Barat.
2) Keadaan antara kota dan desa sangat beda, jika
di kota segala sesuatunya begitu sibuk dan
berjalan begitu cepat, di desa justru segala
sesuatunya berjalan begitu lambat dan tenang.
Hal 17
3) Orang Jepang biasanya melakukan salam dengan
membungkukkan badan dan kepalanya. Hal 20
4) Di Jepang ada hantu tembok yakni hantu yang
berwajah sangat putih. Hal 29
5) Budaya orang Jepang meminum sake sudah
berkembang sudah sejak lama. Di zaman Meiji di
dalam novel Sanshiro pun Sanshiro dan temannya
yakni Yojiro datang ke restoran untuk makan
malam dan minum sake. Minum sake merupakan hal
biasa bagi mereka seperti orang Indonesia yang
minum air putih. Hal 37
6) Pada zaman Meiji, budaya membaca sudah
berkembang dalam novel Sanshiro, saat Sanshiro
ke perpustakaan untuk meminjam buku. Semua
buku-buku itu pasti sudah ada coretan-
coretannya yang menandakan buku-buku ini
pastilah sudah di baca. Hal 39
7) Pada novel Sanshiro halaman 52, karena
Sanshiro adalah orang dusun maka ia tidak
mengetuk pintu, menurutnya mengetuk pintu
rasanya terlalu modern.
8) Pada zaman Meiji, belum ada TV maupun bioskop,
biasanya masyarakat menonton acara teater
komedi di Kiharadana. Di sana, Sanshiro dan
Yojiro mendengarkan seorang pendongeng bernama
Kosan. Hal 37. Selain itu biasanya masyarakat
kota uga menonton pertunjukan boneka
Chrysantemum di Dangozaka. Hal 60
9) Pada Hari Ulang Tahun Kaisar, maka sekolah pun
libur. Hal 75
10) Di Kumamoto, Sanshiro hanya pernah minum sake
merah, bir lokal yang murah. Hanya itu saja
yang pernah diminum seluruh siswa Kumamoto, dan
tak seorang pun mempertanyakan kebiasaan itu.
Berbeda dengan makanan yang dimakan oleh
Sanshiro dan teman-temannya di Tokyo, bagi
Sanshiro makanannya enak, karena terbiasa
dengan makanan di Kumamoto yang biasa saja,
namun walaupun menurut Sanshiro rasa makanannya
enak, tapi kata teman Sanshiro rasanya kurang
enak, mungkin dia terbiasa makan makanan yang
lebih enak daripada ini. Hal 127.
11) Sanshiro selalu merasa salah tingkah dengan
kehadiran seniornya. Ia menafsirkan hal ini
sebagai hasil pendidikan gaya Kyushu yang
diterimanya. Hal 150
g. Aspek Ekonomi
1) Di novel Sanshiro, Jepang sedang mengalami
perang, dan banyak barang-barang yang harganya
naik. Hal 3 dan 35. Dalam segi prekonomian yang
dialami Sanshiro sendiri lumayan cukup karena
orang tuanya masih memberikan Sanshiro uang
untuk biaya kuliah, makan, dan sewa rumah.
Namun karena meminjamkan uang ke Yojiro
akhirnya Sanshiro harus meminjam uang ke
Mineko, tapi karena merasa tidak enak meminjam
uang ke Mineko, akhirnya Sanshiro meminta uang
lagi kepada orang tuanya untuk bayar hutang ke
Mineko.
Padahal karena Mineko menyukai Sanshiro,
Mineko justru malah senang bisa membantu
Sanshiro, tapi Sanshiro terlalu terburu-buru
untuk membayarnya, seperti minjam uang sama
siapa saja. Hal ini membuat Mineko tidak
terlalu senang dan akhirnya memutuskan menikah
dengan teman kakaknya saja.
h. Aspek Filsafat
1) Filsafat moral = Bagaimanapun yang paling
penting adalah menjaga kesetiaan. Hal 3
2) Filsafat Moral = Sanshiro, pemuda polos dari
desa terkejut karena melihat seorang Ibu muda
yang sudah tergerus modernisasi, yang bergaya
hidup bebas, dengan tenangnya menawari
menggosok punggung Sanshiro saat Sanshiro
sedang berendam, ia pun tidak segan-segan ingin
berendam bersama Sanshiro. Sanshiro yang masih
berpijak pada Filsafat moral orang timur pun
menyudahi acara berendamnya karena teringat
ibunya di rumah. Hal 6
3) “Tokyo lebih besar dari Kumamoto. Dan Jepang
lebih besar daripada Tokyo. Dan yang lebih
besar dari Jepang adalah yang ada di dalam
kepala.” Kata Hirota Sensei dengan nada
filosofi. Hal 16
4) Alam punya pengaruh sekecil apa pun terhadap
karakter seseorang yang tidak bisa
menerjemahkan alam ke dalam kepribadiannya. Dan
karakter yang dimiliki seseorang sangat
mempengaruhi takdir hidupnya. Hal 63
C. Pembahasan
Yuanita Pranoto menulis di skripsinya yang berjudul
“Natsume Soseki dalam karyanya Sanshiro” bahwa Natsume
Soseki dapat dikatakan menjurus pada aliran anti
naturalisme, dalam bahasa Jepangnya Hanshizenshugi.
Sanshiro dan Botchan ditulis dengan melihat manusia itu
secara keseluruhan dan penuh berisikan keindahan dan
juga keburukan karakternya.
Hubungan antar unsur masing-masing novel tidak
terlalu terkait, dalam aspek sosiologi, Botchan adalah
pemuda yang dibesarkan di kota dan bekerja di Shikoku,
sementara Sanshiro adalah pemuda desa yang kuliah di
ibukota. Sementara itu, masyarakat kota dan desa sangat
berbeda, kecuali desa yang sudah tergerus modernisasi.
Dalam aspek psikologi, Botchan dan Sanshiro sama-
sama merasa kesulitan beradaptasi. Banyak kejadian yang
terjadi pada kehidupan mereka dan mereka merespon semua
kejadian itu berdasarkan karakter mereka. Botchan
dengan pembawaanya yang pemberani, semangat, dan mudah
marah serta selalu memandang sesuatu dari segi negatif,
sementara Sanshiro merespon seluruh kejadian yang
terjadi di kehidupannya saat ia kuliah di Tokyo dengan
pasif, pendiam, terima apa adanya, dan berpikiran
positif.
Sementara dari aspek religiusitas antara novel
Botchan dan Sanshiro, karena latar tempat berada di
Jepang sehingga di segala tempat pasti ada kuil, dan
patung budha namun di novel Sanshiro, tidak hanya ada
agama Budha dan Shinto saja melainkan ada tokoh yang
memeluk agama Kristen, yakni sang tokoh utama wanita.
Dari segi ekonomi dalam kedua novel tersebut,
antara Sanshiro dan Botchan mereka tidak terlalu miskin
sekali karena selama nafas masih berhembus, rezeki
manusia pasti akan selalu menyertai manusia tersebut.
Sementara itu dalam aspek politik, dalam novel Botchan,
Jepang sedang berseteru dengan Cina, sedangkan di novel
Sanshiro, Jepang sedang ikut berpartisipasi dalam
perang.
Namun dalam aspek antropologi dan sejarah dari
kedua novel ini tentu sama karena latar tempat dalam
kedua novel ini berada di Jepang. Sedangkan dalam aspek
filsafat kedua novel ini berisikan filsafat moral.
Jenis cerita Botchan dan Sanshiro adalah mengenai
kehidupan masyarakat namun ada beberapa unsur cinta,
baik cinta dengan lawan jenis maupun cinta antara orang
yang lebih tua maupun anak yang ia anggap sebagai
anaknya sendiri.
Sesuai dengan teori Luckacs, Goldmann dalam Faruk
(1994: 18) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu
novel "idealisme abstrak", "romantisme keputusasaan",
dan novel-novel "pendidikan". Novel Botchan dan
Sanshiro adalah jenis pertama yang disebut "idealisme
abstrak" karena dua hal.
Dengan menampilkan tokoh yang masih ingin bersatu
dengan dunia, novel itu masih memperlihatkan suatu
idealisme. Akan tetapi, karena persepsi tokoh itu
tentang dunia bersifat subjektif, didasarkan pada
kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi abstrak.
Botchan dengan idealismenya bahwa “Selama saya
jujur, maka tidak masalah orang lain mendapatkan
keuntungan dari saya.” Serta idealisme Sanshiro yakni
“Saya harus tetap seperti dulu yakni pemuda desa yang
polos dan tidak boleh berubah. Di sini latar belakang
pendidikan tak ada gunanya.
Yang paling utama adalah kepribadian.” Botchan dan
Sanshiro, pemuda yang hijrah dari tempat mereka
dibesarkan, dan menyadari bahwa dunia yang luas ini
sungguh memiliki realitas kehidupan yang ternyata
berbeda dari realitas kehidupan di tempat asal mereka.
Karena mereka sudah 23 tahun dibesarkan di tempat
asal mereka, mereka pun berusaha agar mereka tetap
menjadi diri mereka dan tidak kehilangan jati diri
walau terus tergerus oleh kehidupan yang menurut mereka
cukup asing dan sangat berbeda dari tempat mereka
dibesarkan.
Sementara itu kisah hidup Sanshiro seperti kisah
hidup Natsume Soseki saat ia kuliah di Departemen
Sastra Inggris di Tokyo Imperial University. Ending
kedua novel ini adalah sad ending. Dalam novel Sanshiro,
novel ini diakhiri dengan pernikahan Mineko dengan pria
lain. Mineko adalah gadis yang dicintai oleh Sanshiro,
namun karena Sanshiro begitu pendiam, hubungannya
dengan Mineko belum mengalami banyak kemajuan, sampai
akhirnya Mineko dimiliki oleh orang lain.
Namun, jika kehidupan dalam novel ini adalah sebuah
kehidupan nyata yang ditulis oleh Natsume Soseki,
tentunya hidup tidak berakhir sampai di situ. Pada
akhirnya Sanshiro harus melanjutkan hidupnya, lulus
dari kuliahnya dan kembali ke desanya untuk menikah
dengan Miwata Omitsu yakni gadis yang dipilihkan oleh
Ibu Sanshiro untuk Sanshiro. Sanshiro adalah pemuda
penurut, ia pasti akan menuruti Ibunya.
Botchan memiliki kemiripan dengan kehidupan Natsume
Soseki yakni mengajar di daerah Shikoku menjadi guru
Matematika, dan di dunia nyata, Natsume Soseki juga
menjadi guru tapi guru bahasa Inggris, sementara itu
Botchan menjadi guru matematika karena tidak menyukai
sastra dan sekolah di Ilmu Alam Tokyo sedangkan Natsume
Soseki menyukai sastra dan kuliah di Departemen Sastra
Inggris di Tokyo Imperial University. Kisah Botchan
terinspirasi dari kisah hidup Natsume Soseki sendiri
yakni menjadi guru di Shikoku.
Ending novel Botchan adalah sad ending dengan
meninggalnya Kiyo di akhir cerita. Kiyo adalah pembantu
Botchan yang sangat menyayangi Botchan, dan Botchan pun
menyayanginya. Jika novel ini diteruskan, tentunya
kehidupan Botchan tidak berakhir bersamaan dengan
meninggalnya Kiyo.
Botchan pasti akan mengajar di Kyushu selama empat
tahun, pergi ke Inggris untuk menjadi mahasiswa
peneliti selama tiga tahun dan akhirnya mengalami sakit
parah sehingga harus meninggal di umurnya yang ke 49
tahun di tahun 1916 seperti kehidupan Natsume Soseki.
Untunglah Natsume Soseki mengabadikan kisah hidupnya
dalam sebuah novel, sehingga walaupun sudah berpuluh-
puluh tahun berlalu, kisah hidupnya masih diingat orang
lain, bahkan dari penjuru dunia lainnya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Adapun unsur intrinsik tersebut terdiri dari Tema,
Tokoh, Penokohan, Latar tempat, suasana, waktu, alur,
sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Sedangkan unsur
ekstrinsik dalam novel ini terdiri dari aspek
psikologi, sosiologi, antropologi, biografi pengarang,
religiusitas, ekonomi, sejarah, politik dan filsafat.
Skripsi ini juga membahas mengenai Hubungan antar
unsur masing-masing novel yakni dalam aspek sosiologi,
Botchan adalah pemuda yang dibesarkan di kota dan
bekerja di Shikoku, sementara Sanshiro adalah pemuda
desa yang kuliah di ibukota. Sementara itu, masyarakat
kota dan desa sangat berbeda, kecuali desa yang sudah
tergerus modernisasi.
Dalam aspek psikologi, Botchan dan Sanshiro sama-
sama merasa kesulitan beradaptasi. Banyak kejadian yang
terjadi pada kehidupan mereka dan mereka merespon semua
kejadian itu berdasarkan karakter mereka. Botchan
dengan pembawaanya yang pemberani, semangat, dan mudah
marah serta selalu memandang sesuatu dari segi negatif,
sementara Sanshiro merespon seluruh kejadian yang
terjadi di kehidupannya saat ia kuliah di Tokyo dengan
pasif, pendiam, terima apa adanya, dan berpikiran
positif.
Sementara dari aspek religiusitas antara novel
Botchan dan Sanshiro, karena latar tempat berada di
Jepang sehingga di segala tempat pasti ada kuil, dan
patung budha namun di novel Sanshiro, tidak hanya ada
agama Budha dan Shinto saja melainkan ada tokoh yang
memeluk agama Kristen, yakni sang tokoh utama wanita.
Dari segi ekonomi dalam kedua novel tersebut,
antara Sanshiro dan Botchan mereka tidak terlalu miskin
sekali karena selama nafas masih berhembus, rezeki
manusia pasti akan selalu menyertai manusia tersebut.
Sementara itu dalam aspek politik, dalam novel Botchan,
Jepang sedang berseteru dengan Cina, sedangkan di novel
Sanshiro, Jepang sedang ikut berpartisipasi dalam
perang.
Namun dalam aspek antropologi dan sejarah dari
kedua novel ini tentu sama karena latar tempat dalam
kedua novel ini berada di Jepang. Sedangkan dalam aspek
filsafat kedua novel ini berisikan filsafat moral.
Jenis cerita Botchan dan Sanshiro adalah mengenai
kehidupan masyarakat namun ada beberapa unsur cinta,
baik cinta dengan lawan jenis maupun cinta antara orang
yang lebih tua maupun anak yang ia anggap sebagai
anaknya sendiri.
Sesuai dengan teori Luckacs, Goldmann dalam Faruk
(1994: 18) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu
novel "idealisme abstrak", "romantisme keputusasaan",
dan novel-novel "pendidikan". Novel Botchan dan
Sanshiro adalah jenis pertama yang disebut "idealisme
abstrak" karena dua hal. Dengan menampilkan tokoh yang
masih ingin bersatu dengan dunia, novel itu masih
memperlihatkan suatu idealisme.
Akan tetapi, karena persepsi tokoh itu tentang
dunia bersifat subjektif, didasarkan pada kesadaran
yang sempit, idealismenya menjadi abstrak. Botchan
dengan idealismenya bahwa “Selama saya jujur, maka
tidak masalah orang lain mendapatkan keuntungan dari
saya.” Serta idealisme Sanshiro yakni “Saya harus tetap
seperti dulu yakni pemuda desa yang polos dan tidak
boleh berubah. Di sini latar belakang pendidikan tak
ada gunanya. Yang paling utama adalah kepribadian.”
Botchan dan Sanshiro, pemuda yang hijrah dari
tempat mereka dibesarkan, dan menyadari bahwa dunia
yang luas ini sungguh memiliki realitas kehidupan yang
ternyata berbeda dari realitas kehidupan di tempat asal
mereka. Karena mereka sudah 23 tahun dibesarkan di
tempat asal mereka, mereka pun berusaha agar mereka
tetap menjadi diri mereka dan tidak kehilangan jati
diri walau terus tergerus oleh kehidupan yang menurut
mereka cukup asing dan sangat berbeda dari tempat
mereka dibesarkan.
Sementara itu kisah hidup Sanshiro seperti kisah
hidup Natsume Soseki saat ia kuliah di Departemen
Sastra Inggris di Tokyo Imperial University. Ending
kedua novel ini adalah sad ending. Dalam novel Sanshiro,
novel ini diakhiri dengan pernikahan Mineko dengan pria
lain. Mineko adalah gadis yang dicintai oleh Sanshiro,
namun karena Sanshiro begitu pendiam, hubungannya
dengan Mineko belum mengalami banyak kemajuan, sampai
akhirnya Mineko dimiliki oleh orang lain.
Namun, jika kehidupan dalam novel ini adalah sebuah
kehidupan nyata yang ditulis oleh Natsume Soseki,
tentunya hidup tidak berakhir sampai di situ. Pada
akhirnya Sanshiro harus melanjutkan hidupnya, lulus
dari kuliahnya dan kembali ke desanya untuk menikah
dengan Miwata Omitsu yakni gadis yang dipilihkan oleh
Ibu Sanshiro untuk Sanshiro. Sanshiro adalah pemuda
penurut, ia pasti akan menuruti Ibunya.
Botchan memiliki kemiripan dengan kehidupan Natsume
Soseki yakni mengajar di daerah Shikoku menjadi guru
Matematika, dan di dunia nyata, Natsume Soseki juga
menjadi guru tapi guru bahasa Inggris, sementara itu
Botchan menjadi guru matematika karena tidak menyukai
sastra dan sekolah di Ilmu Alam Tokyo sedangkan Natsume
Soseki menyukai sastra dan kuliah di Departemen Sastra
Inggris di Tokyo Imperial University. Kisah Botchan
terinspirasi dari kisah hidup Natsume Soseki sendiri
yakni menjadi guru di Shikoku.
Ending novel Botchan adalah sad ending dengan
meninggalnya Kiyo di akhir cerita. Kiyo adalah pembantu
Botchan yang sangat menyayangi Botchan, dan Botchan pun
menyayanginya. Jika novel ini diteruskan, tentunya
kehidupan Botchan tidak berakhir bersamaan dengan
meninggalnya Kiyo.
Botchan pasti akan mengajar di Kyushu selama empat
tahun, pergi ke Inggris untuk menjadi mahasiswa
peneliti selama tiga tahun dan akhirnya mengalami sakit
parah sehingga harus meninggal di umurnya yang ke 49
tahun di tahun 1916 seperti kehidupan Natsume Soseki.
Untunglah Natsume Soseki mengabadikan kisah hidupnya
dalam sebuah novel, sehingga walaupun sudah berpuluh-
puluh tahun berlalu, kisah hidupnya masih diingat orang
lain, bahkan dari penjuru dunia lainnya.
B. Saran-Saran
Setelah penulis menyusun skripsi ini, penulis
berharap agar dikemudian hari ada penulis-penulis lain
yang mengusung tema skripsi seperti ini atau
melanjutkan penelitian seperti ini, misal novel jepang
lain yang lebih baru tahun terbitnya dan dikaji
berdasarkan pendekatan mimesis, biografis, sosiologis,
psikologis, antropologis, historis, mitopik, ekspresif,
pragmatis, atau objektif, serta menggunakan metode
lainnya misal intuitif, hermeneutika, kualitatif,
analisis isi, formal, dialektika atau deskriptif
analisis dan teori formalisme, strukturalisme dinamik,
semiotika, strukturalisme genetik, atau strukturalisme
naratologi.
Penyusunan skripsi ini memiliki implementasi yang
sangat penting yakni penulis ataupun pembaca skripsi
ini bisa mengamati kehidupan masyarakat, kejiwaan
manusia, budaya suatu daerah, perekonomian suatu
tempat, pola pikir maupun sejarah suatu tempat yang
jauh dari kehidupan penulis dan pembaca skripsi ini
dengan menelitinya melalui kehidupan tokoh di dalam
novel, karena terkadang kisah dalam novel merupakan
cerminan masyarakat di dunia nyata. Manfaat lainnya
yakni dengan menganalisis dan menentukan unsur-unsur
intrinsik dalam novel maka penulis maupun pembaca dapat
mengenal suatu karya sastra lebih dekat lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Asoo, Isoji, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang.Depok : Penerbit Universitas Indonesia.
親親 親親親親 親 親 親 親、。1975. 目目目夏 親親親親親親親親親親。:。
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.
Hutabarat, Jonnie Rasmada, dkk. 2007. Dari Botchansampai Kalong Taman Firdaus. Depok: Fakultas IlmuPengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Hogan, Kevin dan Mary Lee LaBay. 2008. PersonalAttraction, Agar Siapapun Tertarik Kepada Anda dan Tidak BisaMenolak Anda. Jakarta: Ufuk Press.
Luxemburg , Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mandah, Darsimah, dkk. 1992. Pengantar KesusastraanJepang. Jakarta: Grasindo
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya Sastra,Metode, dan contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka OborIndonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan TeknikPenelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural StudieRepresentasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 2013. Kritik Sastra. Bandung: CV Angkasa.
Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra : Analisis Psikologi.Surakarta: Muhammadiyah University Press.
親親 親親 親 親 親 親 親、夏。1972.目目目目 親親。: 親親親。
Soseki, Natsume. 1987. Sanshiro. Jakarta: PT PantjaSimpati.
Soseki, Natsume. 2009. Botchan. Jakarta: PT Gramedia.
Sugihastuti. 2011. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Sugihastuti dan Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis Teoridan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan, PendekatanKuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: PenerbitAlfabeta.
Syuropati, Mohammad A dan Agustina Soebachman.2012. 7 Teori Sastra Kontemporer dan 17 Tokohnya.Yogyakarta: IN AzNa Books.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT KiblatBuku Utama.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. TeoriKesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Yu, Beongcheon. 1969. Natsume Soseki. New York : TwaynePublishers, Inc.
http://id.wikipedia.org/wiki/Natsume_Soseki
www.japantimes.co.jp
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Amelia Az-Zahra
2. Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 27 Februari 1994
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Jln. Warakas III Gg.15 No.18
Rt.005 Rw. 014, Tanjung Priok,
Jakarta Utara.
Alamat Email : Ameliaazzahra.aa@Gmail.com
Pendidikan Formal
1. TK Negri Papanggo di Jakarta tahun 1998 s/d 1999
2. SDN Warakas 03 Pagi di Jakarta tahun 1999 s/d 2005
3. SMPN 95 di Jakarta tahun 2005 s/d 2008
4. SMAN 18 di Jakarta tahun 2008 s/d 2011
Pengalaman Organisasi
1. Pramuka sebagai anggota tahun 2002
2. PMR sebagai Junior tahun 2005 s/d 2006
3. Paduan Suara sebagai anggota tahun 2006 s/d 2007
4. KIR sebagai anggota tahun 2007 s/d 2008
5. Klub Bahasa Jepang sebagai Kohai tahun 2008 s/d
2009
6. Rohis sebagai anggota tahun 2008 s/d 2010
7. Rohis sebagai Ketua Keputrian tahun 2010 s/d 2011
8. HIMA PBS sebagai anggota tahun 2011 s/d 2012
9. IMM FKIP UHAMKA Jakarta Selatan sebagai anggota
2011-2012
10. HIMAWARI sebagai Sekretaris Bidang I
Organisasi tahun 2012 s/d 2013
11. IMM FKIP UHAMKA Jakarta Selatan sebagai Ketua
Bidang VI IMMAWATI tahun 2012-2013
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan
sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan serta
dipergunakan sebagaimana mestinya.
B. Kronologi Kehidupan Natsume Soseki (Beongcheon
Yu, 1969 : Xiii)
1867 Natsume Kinnosuke-better known by his pen
name Soseki – Born
February 9, Edo (Tokyo), Japan.
Soon put out to nurse.
1868 Adopted into the Shiobara family.
1874 -1878 Attends primary schools in Tokyo
1876 Returns home with stepmother after divorce
from her husband, but
retains the name of Shiobara
1878-1884 Attends secondary schools in Tokyo;
studies Chinese classics and
English.
1881 Mother dies
1884-1890 Attends the First Higher School, majoring
in English.
1888 Regains the name of Natsume
1889 For the first time uses the pen name Soseki
1890-1893 Attends the Imperial University of Tokyo,
majoring in English
literature
1892 Writes on Laotzu; joins the editorial staff
of Tetsugaku Zasshi;
writes on Whitman.
1893 Reads a paper on the concept of nature in
English poetry; enters the
Gradute School of the University;
appointed a lecturer of the Tokyo
Higher Normal School.
1894-1895 Stays for several weeks at a Zen temple in
Kamakura.
1895 Accepts a position with the secondary school
in Matsuyama;
composes haiku poetry.
1896-1900 Teaches at the Fifth Higher School in
Kumamoto
1896 Marries Nakane Kyoto
1900-1902 Sent to England to study English; stays in
London
1903 Returns to Japan; appointed a lecturer at
both the First Higher
School and the Imperial Univerity
of Tokyo; in the latter, begins a
series of lectures on English
literature.
1905 I Am a Cat begins to appear in Hototogisu.
1906 Publishes his first collection, Seven
Stories; completes I Am a Cat ;
at his home, holds the first of
the Thursday gatherings; declines the
Yomiuri offer.
1907 Publishes his second collection, Three
Stories; accepts the Asahi
offer to serialize his work;
resigns from the university; delivers
“ The Philosophical Basis of
Literary Art’; The Poppy, the first
serial novel.
1908 The Miner; delivers “The Novelist`s
Attitude”; Sanshiro
1909 Spring Miscellanies, a series of personal
essays; And Then;
declines the gold cup for the
highest vote in the Taiyo`s
contemporary artist popularity
poll; journeys through Manchuria
and Korea ; agrees to take charge
of the Asahi literary columns.
1910 The Gate; suffers a serious attack of ulcers
at Shuzenji; begins
Random Recollections.
1911 Declines the governmet’s Doctor of Letters
degree, on lecturing
tours, suffers an attack of
ulcers; treated for hemorrhoids; his fifth
daughter, Hinako, dies.
1912 Until After the Spring Equinox ; treated
again for hemorrhoids; tries
water-color painting; complains of
loneliness; begins Kojin.
1913 After an interruption,completes Kojin;
delivers “Imitation and
Independence.”
1914 Kokoro; suffers the fourth attack of ulcers;
delivers “My
Individualism.”
1915 Within the Sash-Door; journeys to Kyoto ,
where he suffers another
attack of ulcers; Loitering.
1916 Treated for diabetes; Light and Darkness;
following his last attack
of ulcers, dies December 9;
buried in Zoshigaya Cemetery Tokyo.
C. Novel Botchan Halaman Pertama