Skripsi Amelia Az-Zahra

390
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saussure dalam Syuropati dan Soebachman (2012:52) berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengekspresikan ide-ide (gagasan-gagasan), dan oleh karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda kemiliteran, dan sebagainya. Bahasa memiliki hubungan yang sangat penting dengan sastra. Sastra menurut Kleden (1981) dalam Semi (2013:59) adalah karya individual yang didasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Jalan pikiran yang dikemukakan Kleden tersebut dapat dipahami. Kita dapat membenarkan pendapat itu, bahwa karya sastra tidak harus merupakan cetak-ulang dari kenyataan yang ada. Karya sastra seharusnya juga dapat

Transcript of Skripsi Amelia Az-Zahra

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saussure dalam Syuropati dan Soebachman (2012:52)

berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang

mengekspresikan ide-ide (gagasan-gagasan), dan oleh

karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan,

huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol

keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda

kemiliteran, dan sebagainya.

Bahasa memiliki hubungan yang sangat penting dengan

sastra. Sastra menurut Kleden (1981) dalam Semi

(2013:59) adalah karya individual yang didasarkan pada

kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi.

Jalan pikiran yang dikemukakan Kleden tersebut dapat

dipahami. Kita dapat membenarkan pendapat itu, bahwa

karya sastra tidak harus merupakan cetak-ulang dari

kenyataan yang ada. Karya sastra seharusnya juga dapat

berupa suatu imajinasi yang menggunakan lingkungan

kemasyarakatan sebagai titik tolak, dalam arti, sastra

boleh jadi berupa interpretasi kehidupan, dan boleh

jadi pula suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan.

Sastra memberikan pengalaman dan mengarahkan dirinya

kepada perasa.

Menurut Abrams dalam buku kritik sastra karya Semi

(2013:7) karya sastra merupakan suatu tiruan atau

penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Sementara itu

kesusastraan, menurut Swingewood dalam Faruk (1994:39),

ternyata merupakan suatu rekonstruksi dunia yang

dilihat dari sudut pandang tertentu, dan apabila

penulis mungkin menyadari tradisi sastranya,

ketidaksadaranlah yang justru menggarap kembali

pengalaman, yang dicampuradukkan dengan nilai-nilainya,

yang memproduk semesta fiksional yang dengannya

sosiologi sastra berurusan.

Sastra terdiri dari banyak hal namun karena penulis

dari kecil suka membaca, khususnya pada saat SMP sering

membaca novel, serta karena program studi yang dipilih

oleh penulis memiliki kaitan dengan bahasa, sastra dan

novel maka dalam skripsi ini penulis sangat tertarik

untuk menyusun sebuah skripsi mengenai novel Jepang

serta novelisnya.

Novel sendiri menurut Sapardi dalam Semi (2013:52)

adalah menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan

menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat

dengan perasaannya.

Dalam skripsi ini novel yang akan dianalisis adalah

dua novel karya Natsume Soseki. Asoo dalam bukunya

Sejarah Kesusastraan Jepang (1983:180) menuliskan bahwa

Natsume Soseki mula-mula dikenal dengan novel berjudul

Wagahai wa Neko de Aru (1905) (Saya adalah Kucing) yang

berbentuk satire di mana Soseki menceritakan tokoh

seekor kucing yang dipelihara oleh seorang guru bahasa

Inggris.

Karya lain yang terkenal adalah novel Kusa Makura

(Bantal Rumput) yang dilukiskan melampaui kefanaan

dunia ini. Selain itu ada juga Botchan (1906), Koofu,

Sanshiro (1908), Sorekara (1909), Mon (1910), Koojin

(1912), Kokoro dan Michi Kusa (1914) serta Meian

(1916). Yang terakhir ini tidak berhasil diselesaikan

Soseki, tetapi sebagian ceritanya telah dimuat secara

bersambung dalam Asahi Shinbun dan dirampungkan oleh

Mizumura Minae. Hasil karya Natsume Soseki banyak

berisikan tentang moral dan pada akhir hidupnya ia

mengarahkan tema dan gaya kesusastraan yang ditulisnya

pada paham sokuten kyoshi (meninggalkan ego dan

menghadapkan diri pada yang lebih tinggi).

Ratnaningsih dalam Jonnie Rasmada Hutabarat

(2007:63) menuliskan bahwa peranan penting Natsume

Soseki adalah usahanya yang secara jelas menekankan

pentingnya kritik kesusastraan yang bersifat ilmiah

serta perlunya mengangkat nilai-nilai estetis yang

melukiskan segi keindahan dan moral manusia dalam karya

sastra. Itulah sebabanya, hampir semua karya Soseki

tidak terlepas dari masalah tersebut.

Walaupun pada masa Restorasi Meiji pengaruh

kebudayaan Barat telah begitu banyak mengubah tata

kehidupan masyarakat Jepang, dalam bidang kesusastraan

pengaruh aliran Romantik yang terdapat dalam banyak

karya kesusastraan zaman terdahulu belum sepenuhnya

hilang. Pada waktu itu pula, berkembang aliran

naturalisme (shizen shugi). Dalam hal itulah terdapat

salah satu kelebihan karya Soseki. Ia menginginkan agar

karya sastra dapat menampilkan secara penuh nilai-nilai

yang berkaitan dengan estetika, moral, keagungan,

keindahan, dan cinta.

Karya Natsume Soseki ada banyak namun yang baru

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia baru Botchan

dan Sanshiro. Maka dari itu penulis hanya membahas

novel karya Natsume Soseki yang berjudul Botchan dan

Sanshiro. Adapun judul skripsi ini adalah “Analisisis

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam novel Botchan dan Sanshiro

Karya Natsume Soseki.”

B. Fokus Penelitian dan Subfokus Penelitian

Fokus penelitian pada skripsi ini adalah sinopsis

novel Botchan dan Sanshiro sedangkan Subfokus

penelitiannya adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik

dari masing-masing kedua novel tersebut.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah kisah Botchan dan Sanshiro?

2. Unsur intrinsik dan ekstrinsik apa yang terdapat

dalam novel Botchan serta Sanshiro?

3. Aliran novel apa yang digunakan Natsume Soseki

dalam membuat novel Sanshiro dan Botchan?

4. Apakah unsur ekstrinsik dalam novel Botchan dan

Sanshiro saling terkait?

5. Bagaimana jenis cerita dalam novel Botchan dan

Sanshiro?

6. Bagaimana ending cerita novel Botchan dan

Sanshiro? Apakah sad-ending atau happy ending?

7. Adakah keterkaitan antara kehidupan penulis dengan

kehidupan tokoh di kedua novel tersebut?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kisah Botchan dan Sanshiro.

2. Untuk mengetahui unsur intrinsik dan ekstrinsik

yang terdapat dalam novel Botchan dan Sanshiro.

3. Untuk mengetahui aliran novel yang digunakan

Natsume Soseki dalam membuat novel Sanshiro dan

Botchan.

4. Untuk mengetahui keterkaitan atau ketidakterkaitan

antara unsur ekstrinsik dalam novel Botchan maupun

Sanshiro.

5. Untuk mengetahui jenis cerita dalam novel Botchan

dan Sanshiro.

6. Untuk mengetahui ending cerita novel Botchan dan

Sanshiro.

7. Untuk mengetahui keterkaitan antara kehidupan

penulis dengan kehidupan tokoh di kedua novel

tersebut.

E. Manfaat Penelitian

1. Bermanfaat bagi penelitian selanjutnya terutama

bagi yang meneliti karya sastra berdasarkan

tinjauan teori strukturalisme genetik.

2. Bermanfaat bagi kesempurnaan kelengkapan

perpustakaan Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang

FKIP UHAMKA.

3. Bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai karya

sastra Jepang serta suasana pendidikan Jepang pada

zaman Meiji.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Konseptual Fokus dan Subfokus Penelitian

1. Pengertian Sastra

Bahasa memiliki hubungan yang sangat penting

dengan sastra. Sastra menurut Kleden (1981) dalam

Semi (2013:59) adalah karya individual yang

didasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan

lewat imajinasi. Jalan pikiran yang dikemukakan

Kleden tersebut dapat dipahami. Kita dapat

membenarkan pendapat itu, bahwa karya sastra tidak

harus merupakan cetak-ulang dari kenyataan yang ada.

Karya sastra seharusnya juga dapat berupa suatu

imajinasi yang menggunakan lingkungan kemasyarakatan

sebagai titik tolak, dalam arti, sastra boleh jadi

berupa interpretasi kehidupan, dan boleh jadi pula

suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan. Sastra

memberikan pengalaman dan mengarahkan dirinya kepada

perasa.

Menurut Semi (2013:37) Sastra adalah karya seni,

karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya

seni yang lain, seperti seni suara, seni lukis, dan

seni pahat. Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu

manusia menyingkapkan rahasia keadaannya, untuk

memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membuka

jalan ke kebenaran. Yang membedakannya dengan seni

yang lain, adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.

Sastra, sebagaimana hasil seni yang lain,

merupakan pencerminan atau representasi kehidupan

nyata. Sastra merupakan tiruan atau pemaduan antara

kenyataan dengan imajinasi pengarang, atau hasil

imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu

kenyataan. Di sisi lain sastra juga bisa

didefinisikan sebagai lembaga sosial yang menggunakan

bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu merupakan

ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.

Sementara itu sastra yang berlaku pada zaman

romantik dalam buku karya Luxemburg et al. (1982:5)

merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, sang seniman

menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses

penciptaan di dalam semesta alam, bahkan

menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu

luapan emosi yang spontan.

Menurut Abrams dalam buku kritik sastra karya

Semi (2013:7) karya sastra merupakan suatu tiruan

atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Selain

itu menurut Semi (2013:10) sastra merupakan suatu

fenomena atau gejala sejarah, yakni sebagai hasil

karya dari seseorang seniman yang datang dari suatu

lingkungan tertentu dengan kebudayaan tertentu yang

tidak lepas dari rangkaian sejarah.

Sementara itu kesusastraan, menurut Swingewood

dalam Faruk (1994:39), ternyata merupakan suatu

rekonstruksi dunia yang dilihat dari sudut pandang

tertentu, dan apabila penulis mungkin menyadari

tradisi sastranya, ketidaksadaranlah yang justru

menggarap kembali pengalaman, yang dicampuradukkan

dengan nilai-nilainya, yang memproduk semesta

fiksional yang dengannya sosiologi sastra berurusan.

Di sisi lain Wellek dan Warren (2014:3)

mendefinisikan sastra sebagai suatu kegiatan kreatif

dari sebuah karya seni. Hal ini didukung oleh Kutha

Ratna (2010:174) yakni karya seni bukan semata-mata

imajinasi, dan tiruan dunia nyata, melainkan sebagai

representasi spesifik yang dikontruksi secara sosial.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah

sebuah karya seni yang dibuat oleh seorang pengarang.

Karya seni tersebut adalah sebuah representasi

kehidupan manusia, imitasi alam semesta. Imitasi

kehidupan manusia ini tidak selamanya sesuai dengan

dunia nyata namun ada beberapa hal yang hanya terjadi

dalam pikiran pengarang.

2. Teori Sastra

Ada banyak teori sastra, bahkan sastra yang

bergabung dengan kajian studi lain pun membuat banyak

teori lainnya. Sastra bisa saling bersinergi dengan

sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah bahkan

kultural. Dari banyaknya teori sastra yang

bersinergi dengan kajian studi lainnya, dalam skripsi

ini penulis menjadikan teori Strukturalisme genetik

sebagai panutan karena untuk menghasilkan unsur

intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah novel maka

teori strukturalisme genetik sangat dibutuhkan.

a. Teori Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah

payung sosiologi sastra. Strukturalisme genetik

lahir dari seorang filsuf dan sosiolog Rumania-

Perancis, Lucien Goldmann atas dasar ilmu sastra

seorang Marxis lain yang terkenal, George Lukacs.

Kemunculannya disebabkan, adanya ketidakpuasan

terhadap pendekatan strukturalisme, yang kajiannya

hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik

tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya

sastra, sehingga karya sastra dianggap lepas dari

konteks sosialnya.

Strukturalisme genetik mencoba untuk

memperbaiki kelemahan pendekatan Strukturalisme,

yaitu dengan memasukkan faktor genetik di dalam

memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik

sering juga disebut strukturalisme historis, yang

menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi

historis. Goldmann bermaksud menjembatani jurang

pemisah antara pendekatan strukturalisme

(intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).

Goldmann menyebut teorinya sebagai

strukturalisme genetik. Artinya, ia percaya bahwa

karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan

tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis,

melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang

terus berlangsung, proses strukturasi dan

destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh

masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan

(Faruk, 1994:12).

Dari sudut pandang sosiologi sastra,

strukturalisme genetik memiliki arti penting,

karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar

penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna

yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas

yang tak dapat dipisah-pisahkan Hakikatnya karya

sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan

sejarah yang turut mengkondisikan penciptaan karya

sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh

faktor luar tersebut.

Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang

lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu

kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang

strukturalis, Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa

struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki

arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih

luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur

menopang totalitasnya (Ratna 2004:122).

Secara definisi strukturalisme genetik adalah

analisis struktur dengan memberikan perhatian

terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti

bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan

perhatian terhadap analisis intrinsik dan

ekstrinsik.

Meskipun demikian, sebagai teori yang telah

teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih

ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak

dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri

atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek

transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep

inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik

pada puncak kejayaannya, sekitar tahun 1980-an

hingga 1990-an (Ibid., hal.123).

Goldmann (1975) percaya pada adanya homologi

antara struktur karya sastra dengan struktur

masyarakat sebab keduanya merupakan produk di

aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1994:15 ;

Teeuw, 2003:127). Oleh karena itulah, Boelhower

(Goldmann, 1981:29 ; Ratna, 2004:124) mensyaratkan

homologi sebagai hubungan antara objek dengan

bahasa sebagai sistem model kedua.

Kelas-kelas sosial adalah kolektivitas yang

menciptakan gaya hidup tertentu, dengan struktur

yang ketat dan koheren. Kelas merupakan salah satu

indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang

dimaksudkan oleh pengarang, sehingga peneliti dapat

memfokuskan perhatiannya semata-mata terhadap

kelompok yang dimaksudkan.

Karya sastra pada gilirannya dapat dipahami

hanya dalam kaitannya dengan kelas yang

menghasilkannya. Pada dasarnya, menurut visi

strukturalisme genetik, kelas yang dimaksudkan

identik dengan kelas pengarang. Kenyataan ini

memiliki implikasi metodologis dalam kaitannya

dengan penelitian sosiologi sastra yang pada

umumnya memandang karya sastra sebagai bagian yang

tak terpisahkan dengan pengarang.

Secara sosiologis, menurut Hauser (1985:139)

dalam Ratna (2004:124) seniman pada dasarnya

ditentukan oleh kelas sosialnya. Sesuai dengan

pandangan Marxis, karya disebut sebagai wakil kelas

sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan

aspirasi kelompoknya. Pengarang adalah subjek yang

hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya

di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan.

Karya sastra diciptakan oleh pengarang. Dengan

demikian karya sastra lebih merupakan duplikasi

fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang.

Semua gagasan pengarang dapat dikatakan sebagai

perwakilan dari kelompok sosial. Pengarang dapat

melepaskan diri dari kelompok asal, tapi pada

akhirnya akan terlibat dalam kelompok lain, begitu

seterusnya.Oleh sebab itu pengkajian  terhadap

karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan

pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh.

Penafsiran terhadap karya sastra yang

mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan

sangat berbahaya, karena penafsiran tersebut akan

mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita,

juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang

tersebut dalam kultur sosial tertentu.

Pandangan dunialah yang memicu subjek untuk

mengarang, identifikasi pandangan dunia juga yang

dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu

karya. Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan

dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui

kecendrungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang

mendasari perilaku sosial sehari-hari.

Secara definisi Goldmann (1977:25) menjelaskan

pandangan dunia sebagai ekspresi psike melalui

hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan

lingkungan sosial dan fisik, dan terjadi dalam

priode bersejarah yang panjang. Konsep-konsep yang

mendasari pandangan dunia harus digali melalui dan

di dalam kesadaran kelompok yang bersangkutan

dengan melibatkan indikator sistem kepercayaan,

sejarah intelektual, dan sejarah kebudayaan secara

keseluruhan. (Ratna, 2004:126).

Goldmann juga mengembangkan konsep mengenai

pandangan dunia yang dapat terwujud dalam karya

sastra dan filsafat. Menurutnya, struktur kategoris

yang merupakan kompleks menyeluruh gagasan-gagasan,

aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang

menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota

kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya

dengan kelompok sosial yang lain disebut pandangan

dunia (Goldmann 1977:18 ; 1981:112 ; Faruk,

1994:16).

Pemahaman terhadap karya sastra adalah usaha

memahami perpaduan unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik sehingga mampu membangun adanya

keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun

totalitas bentuk atau totalitas kemaknaan.

Setiap karya sastra yang penting mempunyai

struktur kemaknaan (Structure Significative), karena

menurut Goldmann, struktur kemaknaan itu merupakan

struktur global yang bermakna dan mewakili

pandangan dunia (vision du monde, world vision). Penulis

tidak sebagai individu, tetapi mewakili golongan

(kelas) masyarakat. Kelas masyarakat atau subjek

kolektif adalah kumpulan individu-individu yang

membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya.

Pada gilirannya pandangan dunia itulah yang

menghubungkan karya sastra dengan kehidupan

masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan

sosial masyarakat turut mengkondisikan terciptanya

karya sastra baik dari segi isi atau segi bentuk

dan strukturnya.

Hal ini desebabkan oleh kenyataan bahwa

pandangan dunia itu sendiri oleh strukturalisme

genetik dipandang sebagai produk dari hubungan

antara kelompok sosial yang memilikinya dengan

situasi sosial dan ekonomi pada saat tertentu. Oleh

karena itu, sastra pada dasarnya juga merupakan

kegiatan kebudayaan atau peradaban dari setiap

situasi, masa atau zaman saat sastra itu

dihasilkan. Dengan situasi inilah, tidak dapat

dipungkiri bahwa sastra adalah pemapar unsur-unsur

sosiokultural demi memberi pemahaman nilai-nilai

budaya dari setiap zaman atau perkembangan zaman

itu sendiri.

Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural

tidak bisa dipahami di luar totalitas kehidupan

dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan

itu; seperti halnya kata tidak bisa dipahami di

luar ujaran. Jadi, pada dasarnya sastra juga

mengandung nilai-nilai historis, sosiologis, dan

kultural (unsur ekstrinsik).

Goldmann menyatakan bahwa pandangan dunia ini 

disebut sebagai suatu bentuk kesadaran kelompok

kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi

suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif.

Menurut Goldmann, karya sastra, namun demikian,

bukan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang

nyata dan ada, melainkan puncak dalam suatu level

koherensi yang amat tinggi dari kecenderungan-

kecenderungan khusus bagi kelompok tertentu, suatu

kesadaran yang harus dipahami sebagai suatu

realitas dinamik yang diarahkan ke satu bentuk

keseimbangan tertentu (Faruk, 1994:33).

Pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris

yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur

gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat

menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Dengan

demikian, strukturalisme genetik merupakan teori

alternatif untuk menganalisis karya sastra yang

antara historis dan sosiologis dapat dilakukan

secara berkaitan.

Karya sastra harus memiliki kepaduan antara

struktur yang satu dengan yang lain. Unsur luar

maupun unsur dalam sama-sama memiliki arti penting

di dalam membangun karya sastra. Kepaduan dari

kedua unsur tersebut memberi kelengkapan, bahwa

karya sastra tidak hanya dapat dilihat dari dalam

(teks) sastra, melainkan unsur pembentuk dari luar.

Karya sastra berusaha mengungkap persoalan-

persoalan yang dihadapi manusia. Persoalan-

persoalan itu sebagian ada yang terpecahkan dan

sebagian tidak ditemukan jalan keluarnya.

Pada penjelasan konsep fakta kemanusiaan

dikemukakan bahwa terdapat dua fakta, yaitu fakta

individual dan fakta sosial. Fakta individual baru

memiliki arti penting jika ditempatkan dalam

keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan mempunyai arti

karena merupakan respon-respon dari bagian-bagian

yang membangunnya. Konsep “keseluruhan-bagian”

memiliki keterkaitan untuk saling melengkapi dalam

memberi arti dari “keseluruhan” dan “bagian” itu

sendiri.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka

strukturalisme genetik memandang karya sastra tidak

hanya sebagai yang memiliki struktur yang lepas-

lepas, melainkan adanya campur tangan faktor-faktor

lain (faktor sosial) dalam proses penciptaannya.

Karya sastra dipahami sebagai totalitas perpaduan

struktur dalam dan struktur luar.

Dalam penelitian, langkah-langkah yang

dilakukan, di antaranya: a) meneliti unsur-unsur

karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra

dengan totalitas karya sastra, c) meneliti unsur-

unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis

karya sastra, d) hubungan unsur-unsur masyarakat

dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya

sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara

keseluruhan. Strukturalisme genetik melangkah lebih

jauh yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah

inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik

sangat dominan pada periode tertentu, dianggap

sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan

analisis, baik di Barat maupun di Indonesia.

(Ratna, 2004:127).

Jadi, kesimpulannya berdasarkan buku karya

Teeuw (2003:126-127) Goldmann mengemukakan bahwa

setiap karya sastra yang penting mempunyai structure

significative, yang menurut Goldmann bersifat otonom

dan imanen, yang harus digali oleh peneliti

berdasarkan analisis yang cermat. Menurut Goldmann

struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia

(vision du monde) penulis, tidak sebagai individu,

melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya.

Dalam hal ini Goldmann seorang Marxis yang

tipikal; katanya, individu berbicara sebagai juru

bicara kelasnya, ditentukan oleh situasi sosialnya

sebagai manusia, dan situasi itu dalam karya

pengarang yang agung secara optimal dan jelas

terbayang dalam karya seninya. Kemudian atas dasar

analisis vision du monde tersebut si peneliti dapat

membandingkannya dengan data-data dan analisis

keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan.

Dalam arti ini karya sastra dapat dipahami

asalnya dan terjadinya (genetic) dari latar belakang

struktur sosial tertentu. Dengan demikian varian

strukturalis Goldmann disebut strukturalis genetik;

yang menerangkan karya sastra dari homologi,

persesuaiannya dengan struktur sosial. Tetapi dalam

kegiatan peneliti analisis struktur karya secara

imanen memenuhi peranan yang esensial.

3. Jenis-Jenis Sastra

Menurut Buku Pengantar Kesusastraan Jepang karya

Darsimah Mandah, dkk (1992:V) Sastra terbagi

menjadi :

a. Puisi

1) Waka

2) Haikai

3) Haiku

4) Kyoka

5) Sen-Ryu

6) Kayo

7) Kindaishi

b. Prosa

1) Shinwa (Mitologi Jepang)

2) Genji Monogatari

3) Rekishi Monogatari

4) Gunki Monogatari (Hikayat Gunki)

5) Setsuwa Bungaku (Sastra Setsuwa)

6) Zuihitsu Bungaku (Kesusastraan Zuihitsu)

7) Nikki Bungaku (Kesusastraan Catatan Harian)

8) Kiko Bungaku (Kesusastraan Catatan

Perjalanan)

9) Kanbungaku (Kesusastraan Klasik)

10) Otogizoshi

11) Kanazoshi (Buku Bacaan Beraksara Kana)

12) Ukiyozoshi (Bacaan Hiburan)

13) Yomihon

14) Kusazoshi

15) Sharebon

16) Ninjobon

17) Kokkeibon

18) Kindai Shosetsu (Novel Modern)

19) Kritik Sastra (Hyoron)

c. Drama

1) Yokyoku (Noh)

2) Kyogen

3) Ningyo Joruri (Bunraku)

4) Kabuki

4. Pengertian Novel

Dari pembagian sastra yang beraneka ragam,

penulis memilih novel untuk dijadikan skripsi penulis

karena dari semenjak SMP penulis sudah tertarik

membaca novel, novel yang penulis baca saat itu

adalah novel lima sekawan yakni novel petualangan,

novel yang dipinjam oleh temannya kakak penulis dari

SMP N 95. Membaca novel membuat imajinasi lebih

hidup.

Novel sendiri menurut Sapardi dalam Semi

(2013:52), adalah menyusup menembus permukaan

kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia

menghayati masyarakat dengan perasaannya. Menurut

Goldmann dalam Faruk (1994:18) novel adalah cerita

mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai

yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi.

Pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang

problematik.

Menurut Sugihastuti dan Suharto ( 2013:43 ) Novel

tidak sekedar merupakan serangkaian tulisan yang

menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan

struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang

padu. Untuk mengetahui makna-makna atau pikiran

tersebut, karya sastra (novel) harus dianalisis.

Dari definisi yang dikatakan oleh berbagai ahli

tersebut bisa disimpulkan bahwa novel adalah sebuah

kisah yang dibuat oleh seorang pengarang demi

membebaskan imajinasinya dan imainasi pembacanya.

5. Jenis Novel

Sesuai dengan teori Luckacs, Goldmann dalam

Faruk (1994: 18) membagi novel menjadi tiga jenis,

yaitu novel "idealisme abstrak", "romantisme

keputusasaan", dan novel-novel "pendidikan". Novel

jenis pertama disebut "idealisme abstrak" karena dua

hal. Dengan menampilkan tokoh yang masih ingin

bersatu dengan dunia, novel itu masih memperlihatkan

suatu idealisme. Akan tetapi, karena persepsi tokoh

itu tentang dunia bersifat subjektif, didasarkan

pada kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi

abstrak.

Bertentangan dengan novel jenis pertama di atas,

novel jenis kedua menampilkan kesadaran hero yang

terlampau luas. Kesadarannya lebih luas daripada

dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah

dari dunia. Itulah sebabnya, sang hero cenderung

pasif dan cerita berkembang menjadi analisis

psikologis semata-mata. Menurut Luckacs dalam Faruk

(1994:19), kenyataan itulah yang menjadi dasar

perbedaan antara novel jenis yang pertama dengan yang

kedua.

Novel pendidikan berada di antara kedua jenis

tersebut. Dalam novel jenis ketiga ini, sang hero di

satu pihak mempunyai interioritas, tetapi di lain

pihak juga ingin bersatu dengan dunia. Karena ada

interaksi antara dirinya dengan dunia, hero itu

mengalami kegagalan. Karena mempunyai interioritas,

ia menyadari sebab kegagalan itu (Lukacs 1978:136).

Oleh Lukacs novel pendidikan ini disebut sebagai

novel "kematangan yang jantan".

6. Unsur - Unsur dalam Novel

Karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara.

Pertama, menganalisis unsur-unsur yang terkandung

dalam karya sastra. Kedua, menganalisis karya melalui

perbandingannya dengan unsur–unsur diluarnya, yaitu

kebudayaan pada umumnya. Mekanisme tata hubungan

sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya

dengan jumlah unsur dalam karya, sedangkan mekanisme

tata hubungan paradigmatik memberikan pemahaman dalam

kaitannya karya dengan masyarakat yang

menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui

pendekatan intrinsik, sedangkan analisis yang kedua

dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. (Ratna,

2014:79).

a. Unsur Intrinsik

Menurut Pradopo (1995:141) dalam Sugihastuti

dan Suharto (2013:43) Teori strukturalisme

merupakan pendekatan yang menganggap karya sastra

sebagai “makhluk” yang berdiri sendiri. Karya

sastra bersifat otonom, terlepas dari alam

sekitarnya, pembaca, dan bahkan pengarangnya

sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat memahami

sebuah karya sastra (novel), karya sastra (novel)

itulah yang harus dianalisis struktur intrinsiknya.

Unsur-unsur intrinsik menurut Stanton

( 1985:11-36) dalam Sugihastuti dan Suharto

(2013:44) adalah fakta, tema, dan sarana sastra.

Fakta (facts) dalam sebuah cerita rekaan meliputi

alur, latar, tokoh, dan penokohan. Fakta cerita

merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat

dibayangkan peristiwanya dan eksistensinya dalam

sebuah novel. Oleh karena itu, fakta cerita sering

juga disebut struktur faktual (factual structure)

atau derajat faktual (factual level).

Sarana sastra (literary devices) adalah teknik

yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun

detail-detail cerita menjadi pola yang bermakna.

Analisis dalam skripsi ini bersifat objektif

sehingga sarana sastra yang dianalisis adalah

sarana sastra yang besar peranannya dalam

menjelaskan tema dan fakta, misalnya sudut pandang

penceritaan atau pusat pengisahan dan gaya bahasa.

Unsur Intrinsik terdiri dari beberapa macam,

yakni :

1) Tema

Menurut Stanton (1965:21) dalam Sugihastuti

dan Suharto (2013:45), tema adalah makna sebuah

cerita yang secara khusus menerangkan sebagian

besar unsurnya dengan cara yang sederhana.

Menurutnya, tema bersinonim dengan ide utama

(central idea) dan tujuan utama (central

purpose).

2) Tokoh

Sugihastuti dan Suharto dalam bukunya Kritik

Sastra Feminisme , Teori dan Aplikasinya

(2013:50) menuliskan bahwa cerita rekaan pada

dasarnya mengisahkan seseorang atau beberapa

orang yang menjadi tokoh. Yang dimaksud tokoh

cerita adalah individu rekaan yang mengalami

pristiwa atau perlakuan di dalam berbagai

peristiwa cerita (Panuti-Sudjiman, 1991:16).

Jadi, tokoh adalah orangnya. Sebagai subjek yang

menggerakkan peristiwa-peristiwa cerita, tokoh

tentu saja dilengkapi dengan watak atau

karakteristik tertentu.

3) Penokohan

Penokohan atau watak adalah kualitas tokoh

yang meliputi kualitas nalar dan jiwa yang

membedakannya dengan tokoh cerita yang lain

(Panuti-Sudjiman, 1986:80;1991:23). Watak itulah

yang menggerakkan tokoh untuk melakukan perbuatan

tertentu sehingga cerita menjadi hidup. Penyajian

watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran

tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh

cerita disebut penokohan (Jones, 1968:33; Panuti-

Sudjiman, 1986:53; 1991:23; Sugihastuti-Suharto,

2013-50).

4) Latar

Sugihastuti dan Suharto dalam bukunya

(2013:54) menuliskan bahwa latar adalah segala

keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang

berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana

terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra

(Panuti–Sudjiman, 1991:44). Fungsi latar,

pertama-tama, adalah memberikan informasi tentang

situasi sebagaimana adanya. Selain itu, ada latar

yang berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin

para tokoh cerita (Panuti-Sudjiman, 1991:46;

Sugihastuti-Suharto, 2013:55).

a) Latar Tempat.

Latar tempat menyaran pada lokasi

terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang

dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat

dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin

lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan

latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah

mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan

sifat dan keadaan geografis tempat yang

bersangkutan.

Diskripsi tempat secara mendetail, spesifik

dan realistis penting untuk memberi kesan

kepada pembaca seolah-olah situasi yang

dilukiskan sungguh-sungguh terjadi di tempat

yang diceritakan itu. (Nurgiyantoro 2005: 227)

b) Latar Waktu.

Latar waktu berhubungan dengan masalah

“kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang

dicerikan dalam sebuah karya fiksi. Masalah

“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan

waktu faktual. (Nurgiyantoro 2005: 230)

c) Latar Sosial.

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang

berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat di suatu tempat yang diceritakan

dalam karya sastra. Hal-hal sosial ini

menyangkut tata cara kehidupan sosial

masyarakat mencakup berbagai masalah dalam

lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa

kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,

keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir,

bersikap dan lain-lain. Di samping itu latar

sosial juga berhubungan dengan status sosial

tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,

menengah atau atas.

d) Latar Suasana

Latar suasana mendeskripsikan perasaan yang

sedang bergejolak pada diri tokoh. Dengan

adanya latar suasana, pembaca bisa ikut

merasakan apa yang dirasakan oleh sang tokoh,

sehingga pembaca bisa mengimajinasikan kisah

itu seperti nyata dan terasa oleh alat panca

indra.

5) Alur

Panuti Sudjiman (1991:28) dalam Sugihastuti

dan Suharto (2013:46) menuliskan bahwa di dalam

sebuah cerita rekaan, peristiwa-peristiwa

disajikan dengan urutan tertentu, peristiwa yang

diurutkan itu membangun tulang punggung cerita,

yaitu alur. Menurut Stanton (1965:14), alur

adalah cerita yang berisi urutan pristiwa, tetapi

setiap pristiwa itu dihubungkan secara kausal.

6) Gaya Bahasa

Gaya bahasa, yaitu cara yang digunakan untuk

menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa

sebagai sasarannya. Gaya bahasa terdapat dalam

segala ragam bahasa karena gaya bahasa adalah

cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu

oleh orang tertentu untuk maksud-maksud tertentu

(Panuti-Sudjiman 1993:13; Sugihastuti-Suharto

2013:56).

Sementara itu, Keraf (1986:113) dalam

Sugihastuti dan Suharto (ibid) mendefinisikan

style atau gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan

pikiran melalui bahasa secara khas yang

memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai

bahasa. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan

kata, struktur kalimat, majas dan citraan, pola

rima, dan matra (Panuti-Sudjiman, 1993:13).

7) Sudut Pandang

Sudut pandang (point of view) menyarankan

pada cara sebuah cerita dikisahkan (Nurgiyantoro,

1998:248; Sugihastuti-Suharto 2013:60). Sudut

pandang dipergunakan pengarang sebagai sarana

untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan

berbagai pristiwa yang membentuk cerita dalam

sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams,

1981:142). Sudut pandang merupakan sesuatu yang

menyatakan pada masalah teknis, sarana untuk

menyampaikan maksud yang lebih besar daripada

sudut pandang itu sendiri (Nurgiyantoro,

1998:249).

Pencerita atau narrator dapat mengisahkan

cerita orang lain sebagai orang ketiga (metode

diaan). Metode orang ketiga ada dua macam :

metode objektif dan metode romantik-ironik. Dapat

juga narrator menceritakan kisahnya sendiri.

Pusat pengisahan ini disebut metode orang pertama

ada dua macam. Pertama, metode orang pertama

sertaan, narrator menceritakan pengalamannya

sendiri dan menyebut tokoh utama sebagai aku.

Kedua, metode orang pertama tidak sertaan,

narrator sebagai aku menceritakan atau

menyaksikan tokoh utama, baik tokoh utama yang

beraku, maupun yang diceritakan sebagai dia atau

mereka. Aku tidak sertaan berlaku sebagai saksi

terhadap tokoh utama yang dikisahkannya (Pradopo,

1995:75-76).

8) Amanat

Amanat adalah pesan moral yang diberikan

pengarang melalui novel yang ia buat. Amanat

terdapat dua macam yakni tersurat (tertulis di

dalam novel) atau yang tersirat (pembaca harus

mencari tahu sendiri pesan moral yang didapat

setelah membaca novel tersebut.

b. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada

di luar karya sastra itu sendiri yang ikut

mempengaruhi penciptaan karya sastra. Perhatian

terhadap unsur- unsur ini akan membantu keakuratan

penafsiran isi suatu karya sastra. (Ratna,

2004:51).

Berbicara tentang unsur ekstrinsik berarti kita

berbicara tentang sesuatu di luar karya sastra

yaitu masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Di mana

terjadinya interaksi sosial, proses-proses sosial

dan masalah-masalah sosial antar individu dengan

individu, individu dengan kelompok bahkan

sebaliknya, yang mengadakan hubungan-hubungan

sosial yang dinamis. Unsur ini meliputi :

1) Aspek Sejarah

Aspek ini mengungkapkan kejadian sejarah yang

ada di dalam novel serta dikaitkan dengan sejarah

yang terjadi di dunia nyata. Novel sangat mudah

dimasuki oleh unsur sejarah. Dengan unsur sejarah

pembaca bisa lebih merasakan sejarah tersebut

seakan-akan dirinyalah sang tokoh dalam sejarah

tersebut.

Dengan adanya unsur sejarah, pembaca akan

sadar bahwa setiap manusia memiliki kisah

hidupnya sendiri. Suatu hari manusia akan

meninggal, dan kisah hidupnya akan lenyap

dilupakan oleh keluarga maupun masyarakat di

sekitarnya, namun tidak untuk kisah hidup orang-

orang yang diabadikan dalam sebuah buku, kisah

hidupnya terlukis di rangkaian huruf yang

membentuk gambar bergerak dalam benak pembaca.

2) Aspek Biografi Pengarang

Mengungkapkan biografi sang pengarang novel

tersebut. Dengan mengetahui biografi sang

pengarang, pembaca bisa merasakan bahwa novel

yang dibuat oleh sang pengarang, tidak lepas dari

kehidupan sehari-hari sang pengarang, karena apa

yang ditulis oleh pengarang adalah apa yang sudah

diketahui oleh pengarang.

Karya sastra pada gilirannya identik dengan

riwayat hidup pengarang. Sebagai anggota

masyarakat, pengarang dengan sendirinya lebih

berhasil untuk melukiskan masyarakat di tempat ia

tinggal, lingkungan hidup yang benar-benar

dialaminya secara nyata. Oleh karena itulah,

seperti juga ilmuan dari disiplin yang lain dalam

mengungkapkan gejala-gejala sosial, pengarang

juga dianggap perlu untuk mengadakan semacam

‘penelitian’ yang kemudian secara interpretative

imajinatif diangkat ke dalam karya seni. (Ratna,

2014:56).

Dalam kehidupan praktis sehari-hari,

pengarang memiliki posisi yang tinggi.

Kepengarangan dengan demikian dikaitkan dengan

kualitas rohaniah, seperti intelektualitas dan

emosionalitas, moral dan spiritual, didaktis dan

ideologis, yang pada umumnya diasumsikan sebagai

memiliki ciri-ciri positif.

Pengarang dalam hal ini dianggap memiliki

fungsi ganda, kompetensi dalam merekonstruksi

struktur bahasa sebagai medium, sekaligus

menopang stabilitas struktur sosial. Oleh karena

itulah, pengarang juga disebut sebagai pujangga,

empu dan kawi. Fungsi-fungsi elemental pengarang

seperti di atas mendorong penelitian pada

pemahaman total terhadap subjek. (Ratna,

2014:58).

Analisis tidak terbatas pada karya, melainkan

melangkah lebih jauh pada penelusuran identitas

personal, sebagai biografi. Seperti disinggung di

atas, zaman keemasan studi biografi adalah abad

ke-19. Dikaitkan dengan perkembangannya di Barat,

pengarang ternyata memiliki sejarahnya yang

sangat panjang. Menurut Teeuw (1988:155-169),

pengarang telah dibicarakan sejak abad pertama,

melalui tulisan Longinus, yang menjelaskan

peranan perasaan dalam proses mencipta. Gagasan

ini muncul kembali dan mengalami zaman keemasan

pada abad ke-19, pada abad Romantik. (Ratna,

2014:59).

3) Aspek Sosiologis

Aspek Sosiologis menerangkan tentang

interaksi antar masyarakat, dengan membaca novel

tersebut pembaca akan mempelajari suatu

masyarakat yang tinggal di tempat yang begitu

jauh dari sang pembaca dan di suatu waktu yang

lampau jauh dari masa sang pembaca hidup. Dengan

membacanya pembaca akan mengetahui bagaimana

karakteristik di sebuah masyarakat, serta bisa

membandingkannya apakah masih mirip dengan

kehidupan masyarakat di era masa kini, atau telah

mengalami revolusi.

4) Aspek Politis

Pada aspek politis pembaca akan mengetahui

bagaimana sistem politik pada novel tersebut,

yang tentunya sistem politik ini adalah cerminan

dari kehidupan nyata.

5) Aspek Religiusitas

Pada awal mula, segala sastra adalah

religious. (Mangunwijaya, 11). Aspek Religiusitas

menerangkan mengenai agama serta ritual agama

yang dilakukan oleh masyarakat dalam novel.

Karena novel adalah imitasi kehidupan yakni

seperti sebuah foto yang melukiskan keadaan yang

sebenarnya, maka dengan aspek religiusitas

pembaca akan mengetahui agama yang dianut oleh

suatu Negara dalam novel tersebut yang

mencerminkan kehidupan nyata.

6) Aspek Psikologi

Sebagai dunia dalam kata, karya sastra

memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya,

khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek

kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama

aspek psikologi dalam unsur ekstrinsik suatu

karya sastra, sebab semata-mata dalam diri

manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek

kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. (Ratna,

2014:343)

Teori psikologi yang paling dominan dalam

analisis karya sastra adalah teori Freud (1856-

1939) yang membedakan kepribadian menjadi tiga

macam, yaitu : Id, Ego, dan Super Ego. Isi Id

adalah dorongan-dorongan primitive yang harus

dipuaskan. Id dengan demikian merupakan kenyataan

subjektif primer, dunia batin sebelum individu

memiliki pengalaman tentang dunia luar. Ego

bertugas untuk mengontrol Id, sedangkan Super Ego

berisi kata hati. (Ratna, 2014:63).

Teori Freud dengan demikian tidak terbatas

untuk menganalisis asal usul proses kreatif

seperti diduga sebelumnya. Sama dengan menghadapi

seorang pasien, untuk mengobati penyakitnya,

seorang psikolog tidak melakukannya dengan cara

menguraikan asal-usul penyakitnya, melainkan

dengan cara bercakap-cakap, berdialog, sehingga

terungkap seluruh depresi mentalnya, yaitu

melalui pernyataan-pernyataan ketaksadaran

bahasanya.

Bahasa inilah yang kemudian dianalisis

sehingga menghasilkan kesimpulan dalam

pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam

analisis terhadap karya sastra. Teori Freud

dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala

psikologis di balik gejala bahasa. (Ratna,

2014:345).

Bagi Freud, asas psikologi adalah lawan bawah

sadar, yang disadari secara samar-samar oleh

individu yang bersangkutan. Menurutnya,

ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling

besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.

Freud (Milner, 1992: 32-38) juga menghubungkan

karya sastra dengan mimpi. Sastra dan mimpi

dianggap memberi kepuasan secara tak langsung.

Mimpi seperti tulisan, merupakan sistem tanda

yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda, yaitu

melalui tanda-tanda itu sendiri. Pada saat

menulis, seorang novelis, cerpenis, dramawan, dan

penyair, tidak secara keseluruhan sadar akan apa

yang ditulisnya.

Kebesaran penulis dan dengan demikian hasil

karyanya pada dasarnya terletak dalam kualitas

ketaksadaran tersebut. Karya seni, seperti mimpi,

bukan terjemahan langsung realitas. Oleh karena

itulah, pemahaman terhadap eksistensinya mesti

dilakukan melalui interpretasi. Perbedaannya,

karya sastra terdiri atas bahasa yang bersifat

linear, mimpi terdiri atas tanda-tanda figurative

yang tumpang tindih, campur aduk.

Mimpi dipahami seperti menafsirkan huruf

Hieroglif Mesir, maknanya tidak lahir melalui

unsur-unsur yang terpisah, tetapi melalui sistem

hubungan yang berbeda. Dalam hubungan inilah

dikatakan mimpi lebih dekat hubungannya dengan

seni lukis dan seni pahat. (Ratna, 2014:246).

Jadi, dalam aspek psikologi, perasaan tokoh

diungkapkan dan diselami lebih dalam sehingga

pembaca bisa mengetahui tindakan apa saja yang

dilakukan tokoh, serta pilihan hidup apa saja

yang mereka pilih berdasarkan keadaan psikologis

atau kejiwaan mereka. Setiap takdir yang terjadi

oleh seorang manusia adalah berkat karakter yang

ia miliki.

Dalam novel Botchan, Botchan memiliki sifat

agresi yakni perasaan marah terkait erat dengan

ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus

pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi yang

diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau

objek yang merupakan sumber frustasi. Sementara

itu Ayah Botchan memiliki sifat apatis ketika

melihat anaknya nakal. Apatis adalah bentuk lain

dari reaksi terhadap frustasi, yaitu sikap apatis

dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan

pasrah. (Minderop, 2010: 38)

7) Aspek Antropologi

Dari akar kata anthoropos, berarti manusia.

Jadi, antropologi adalah ilmu tentang manusia.

Diduga pertama kali digunakan oleh Aristoteles.

Dalam perkembangan berikut istilah antropologi

digunakan oleh Hundt dalam bukunya

Anthropologeion (1501), Capella dalam bukunya

L’anthropologia (1533). (Ratna, 2010:582).

Aspek antropologi mengungkapkan kebudayaan,

serta adat istiadat yang diwariskan dari generasi

demi generasi. Terkadang ketika dunia sudah

begitu maju dan modern manusia mulai meninggalkan

adat istiadat mereka yang menurut mereka sudah

tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Namun di

negeri Matahari Terbit, mereka memiliki moto

bahwa walaupun mengikuti perkembangan teknologi

serta kecerdasan seperti di Barat, namun harus

tetap memiliki jiwa orang timur, yakni jiwa yang

memiliki nilai spritualitas.

Bahwa manusia ada, bukan karena dengan

sendirinya, namun pasti ada yang menciptakan

seperti seorang manusia yang menciptakan sebuah

robot. Dengan adanya aspek antropologi, pembaca

bisa mengetahui apa saja kebudayaan yang ada di

dalam novel tersebut sehingga bisa menambah

wawasan pembaca.

8) Aspek Ekonomi

Mengungkapkan mengenai keadaan keuangan yang

dialami suatu negara atau tokoh dalam novel.

Apakah tokoh atau negara dalam novel tersebut

memiliki kelebihan uang atau justru kekurangan

uang.

9) Aspek Filsafat

Aspek filsafat mengupas ideologi yang

terkandung di dalam novel, aspek filsafat ini

bisa berupa pola pikir maupun prinsip yang

dimiliki sang tokoh.

Filsafat adalah studi tentang seluruh

fenomena kehidupan, dan pemikiran manusia secara

kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar.

Etika atau filsafat moral, membahas tentang

bagaimana seharusnya manusia bertindak, dan

mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar

tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang

dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran,

tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Hasil Penelitian yang hampir mirip dengan judul

skripsi penulis adalah karya Arlisya Firana dengan

judul “Analisis Pengaruh Keluarga Terhadap Tokoh

Botchan dalam Novel Botchan Karya Natsume Soseki”.

Selain itu Siti Khodijah juga telah menyusun skripsi

dengan judul “Analisis Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik

Cerpen Mai Barentain De- (My Valentine Day) Karya Atoda

Takashi”.

Pada skripsi karya Siti Khodijah yang berjudul

“Analisis Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik Cerpen Mai

Barentain De- (My Valentine Day) Karya Atoda Takashi”, membahas

mengenai sinopsis dan definisi unsur intrinsik serta

ekstrinsik serta kandungan unsur intrinsik dan

ekstrinsik pada cerpen Mai Barentain De- (My Valentine Day)

karya Atoda Takashi.

Sedangkan pada skripsi “Analisis Pengaruh Keluarga

Terhadap Tokoh Botchan dalam Novel Botchan Karya

Natsume Soseki” karya Arlisya Firana berisikan mengenai

Teori Penokohan, Teori Psikoanalisis Sosial, Teori

Agresi, Teori Keluarga , Konsep Keluarga Jepang

Tradisional (Ie), Analisis Pengaruh Ayah Terhadap Tokoh

Botchan, Timbulnya Kecemasan Dasar (Basic Anxiety) pada

Tokoh Botchan, Analisis Pengaruh Ibu Terhadap Tokoh

Botchan, Kecemasan Dasar (Basic Anxiety) pada Tokoh

Botchan, dan Analisis Pengaruh Tokoh Kiyo (Pengasuh)

Terhadap Tokoh Botchan.

Dari kedua skripsi tersebut, penulis memiliki bahan

acuan untuk menyusun skripsi penulis. Setelah melihat

dan mempelajari susunan skripsi dari dua skripsi

tersebut maka dalam bab II penulis menulis teori

strukturalisme genetik, teori tersebut menjelaskan

bahwa untuk memahami dan menganalisis makna suatu karya

sastra maka penulis harus menyusun unsur intrinsik dan

ekstrinsik dari karya sasta tersebut.

Kemudian penulis juga menjelaskan mengenai unsur

intrinsik dan ekstrinsik. Dalam Bab IV penulis menulis

mengenai biografi Natsume Soseki, sinopsis Botchan dan

Sanshiro serta menyusun unsure intrinsik dan ekstrinsik

dari kedua novel tersebut dan dalam pembahasan penulis

akan menawab pertanyan penelitian dalam skripsi ini.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Skripsi ini dilaksanakan pada akhir bulan Februari

sampai akhir Juni 2015. Bertempat di kamar kerja

penulis, Perpustakan The Japan Foundation serta

Perpustakaan UHAMKA, Jakarta Timur.

Tabel 1 Jadwal Aktivitas PenelitianNo

.

Waktu Tempat Kegiatan

1. 17 Februari

2015

Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku Metode

Penelitian

Pendidikan

khususnya di bagian

kualitatif karya

Prof. Dr. Sugiyono

2. 18 Februari

2015

Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku

Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah

(Skripsi)

3. 19-20

Februari

2015

Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku Teori

Kesusastraan karya

Rene Wellek dan

Austin Warren

4. 24 Februari

2015

Perpustakaan

The Japan

Foundation

Meminjam buku

biografi Natsume

Soseki dan

memfotocopynya

5. 25 Februari

2015

Terminal

Senen

Membeli buku

mengenai sastra 7

buah

6. 26 Februari Perpustakaan Meminjam dan

2015 The Japan

Foundation

mefotocopy novel

Sanshiro dan buku

Dari Botchan sampai

Kalong Taman

Firdaus karya

Jonnie Rasmada

Hutabarat

7. 27 Februari

2015

Kamar Kerja

Penulis

Menyusun Bab 2 dan

3

8. 28 Februari

2015

Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku 7

Teori Sastra

Kontemporer dan 17

Tokohnya karya

Mohammad A.

Syuropati dan

Agustina

Soebachman, serta

ditulis ke dalam

skripsi mengenai

definisi bahasa,

sastra atau novel

serta teori,

pendekatan, teknik

dan metode

penelitian sastra.

9. 1 Maret 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun Bab 2 dan

3

10

.

2 Maret 2015 Perpustakaan

FKIP UHAMKA

Membaca buku Sastra

dan Cultural

Studies

Representasi Fiksi

dan Fakta karya

Prof. Dr. Nyoman

Kutha Ratna, S.U.,

serta ditulis ke

dalam skripsi

mengenai definisi

bahasa, sastra atau

novel serta teori,

pendekatan, teknik

dan metode

penelitian sastra.

11

.

3 Maret 2015 Perpustakaan

The Japan

Foundation

Memperbaiki

penulisan Bab 1

12

.

4 Maret 2015 Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku Kritik

Sastra karya Atar

Semi serta ditulis

ke dalam skripsi

mengenai definisi

bahasa, sastra atau

novel serta teori,

pendekatan, teknik

dan metode

penelitian sastra.

13

.

11 Maret

2015

Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku Dari

Botchan Sampai

Kalong Taman

Firdaus

14 12 Maret Perpustakaan Menyusun biografi

. 2015 The Japan

Foundation

Natsume Soseki pada

Bab IV dan Menyusun

sinopsis Botchan

15

.

13 Maret

2015

Kamar Kerja

Penulis

Menyusun sinopsis

Botchan

16

.

14 Maret

2015

Kamar Kerja

Penulis

Menyusun unsur

Intrinsik novel

Botchan

17

.

15 Maret

2015

Kamar Kerja

Penulis

Menyusun unsur

Intrinsik novel

Botchan

18

.

16 Maret

2015

Kamar Kerja

Penulis

Menyusun sinopsis

Sanshiro

19

.

17 Maret

2015

Perpustakaan

The Japan

Foundation

Membaca buku Teori

Apresiasi Sastra

karya Dra.

Sugihastuti, M.S.,

serta ditulis ke

dalam skripsi

mengenai definisi

bahasa, sastra atau

novel serta teori,

pendekatan, teknik

dan metode

penelitian sastra.

20

.

19 Maret2015

Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku

Pengantar Sosiologi

Sastra karya Faruk,

serta ditulis ke

dalam skripsi

mengenai definisi

bahasa, sastra atau

novel serta teori,

pendekatan, teknik

dan metode

penelitian sastra

21

.

20 Maret2015

Kamar Kerja Membaca buku Kritik

Sastra Feminis

Penulis Teori dan

Aplikasinya karya

Sugihastuti dan

Suharto, serta

ditulis ke dalam

skripsi mengenai

definisi bahasa,

sastra atau novel

serta teori,

pendekatan, teknik

dan metode

penelitian sastra.

22

.

24 Maret2015

Kamar Kerja

Penulis

Merevisi Bab 1

23

.

25 Maret2015

Kamar Kerja

Penulis

Merevisi Bab 2 dan3

24

.

26 Maret2015

Kamar Kerja

Penulis

Merevisi Bab 3 dan4

25 31 Maret2015

Perpustakaan Meminjam dan

. The Japan

Foundation

memfotocopy buku

Teori, Metode, dan

Teknik Penelitian

Sastra karya Prof.

Dr. Nyoman Kutha

Ratna, S.U dan

Metode Penelitian

Sastra Analisis

Psikologi karya

Siswantoro.

26

.

2 April 2015 Perpustakaan

The Japan

Foundation

Meminjam dan

memfotocopy buku

Sastra dan Ilmu

Sastra karya A.

Teeuw dan Pengantar

Ilmu Sastra karya

Jan Van Luxemburg

dkk.

27

.

4-5 Maret2015

Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku Teori,

Metode, dan Teknik

Penelitian Sastra,

serta ditulis ke

dalam skripsi

mengenai definisi

bahasa, sastra atau

novel serta teori,

pendekatan, teknik

dan metode

penelitian sastra.

28

.

8 April 2015 Kamar Kerja

Penulis

Membaca buku

Pengantar Ilmu

Sastra, serta

ditulis ke dalam

skripsi mengenai

definisi bahasa,

sastra atau novel

serta teori,

pendekatan, teknik

dan metode

penelitian sastra.

29

.

9 April 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menuliskan Teori

Strukturalisme

Genetik dari buku

Sastra dan Ilmu

Sastra ke dalam

skripsi

30

.

10 April2015

Kamar Kerja

Penulis

Merapihkan Bab 2dan 3

31

.

11 April2015

Kamar Kerja

Penulis

Membuat unsur

intrinsik novel

Sanshiro

32

.

20 April2015

Kamar Kerja

Penulis

Menambahkan unsur

intrinsik novel

Sanshiro

33

.

21 April2015

Kamar Kerja

Penulis

Menambahkan unsur

intrinsik novel

Sanshiro

34

.

23 Mei 2015 Kamar Kerja

Penulis

Merevisi bab I,II,

dan III

35

.

24 Mei 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun bab IV.

36

.

25 Mei 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun Bab IV

37

.

28 Mei 2015 Kamar Kerja

Penulis

Merapihkan Bab I,

II, dan III

38

.

29 Mei 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun Bab IV

39 30 Mei 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun Unsur

Intrinsik novel

Botchan

40

.

31 Mei 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun Unsur

Intrinsik novel

Botchan

41

.

1 Juni 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun unsur

ekstrinsik dalam

novel Botchan

42 2 Juni 2015 Kamar Kerja Menyusun unsur

. Penulis ekstrinsik dalam

novel Botchan

43

.

3 Juni 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun unsur

eksrinsik dalam

novel Sanshiro

44

.

4 Juni 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun unsur

eksrinsik dalam

novel Sanshiro

45

.

5 Juni 2015 Kamar Kerja

Penulis

Menyusun Pembahasan

dan Bab V

46

.

6 Juni 2015 Kamar Kerja

Penulis

Mengetik Halaman

Persetujuan,

Halaman Pengesahan,

Pernyataan, Kata

Pengantar, Daftar

Isi, Daftar Riwayat

Hidup, Daftar

Pustaka

47

.

7 Juni 2015 Kamar Kerja

Penulis

Membaca lang

Skripsi yang telah

dibuat, dan

mengoreksi tulisan

yang salah ketik.

48

.

14 Juni 2015 Kamar Kerja

Penulis

Memperbaiki format

penulisan skripsi.

49

.

15 Juni 2015 Kamar Kerja

Penulis

Memperbaiki format

penulisan skripsi

dan membuat

sinopsis serta

abstrak skripsi.

50 13 Juli 2015 Perpustakaan

The Japan

Foundation

Mengumpulkan

lampiran yakni

berupa satu lembar

novel Botchan dan

Sanshiro serta

kronologi kehidupan

Natsume Soseki.

B. Latar Penelitian

Penyusunan skripsi ini dilaksanakan di perpustakaan

The Japan Foundation dan terkadang di Perpustakaan FKIP

UHAMKA. Karena penulis sudah mengumpulkan data dengan

cara membeli buku mengenai sastra di terminal Senen

serta meminjam dan memfotocopy buku dari perpustakaan

The Japan Foundation maka penulis terkadang melakukan

penyusunan skripsi di rumah dengan membaca, memilah dan

memilih teori serta definisi yang akan dituliskan ke

dalam skripsi, sehingga dapat mengurangi biaya

transportasi menuju perpustakaan. Penulis menyusun

skripsi ini dimulai dari akhir Februari, agar memiliki

banyak waktu untuk membaca buku dan menyusun skripsi.

C. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah

pendekatan objektif. Pendekatan objektif dengan

demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-

unsur, yang dikenal dengan unsur intrinsik. Dalam

fiksi, misalnya, yang dicari adalah unsur-unsur plot,

tokoh, latar, kejadian, sudut pandang, dan sebagainya.

Melalui pendekatan objektif, unsur-unsur intrinsik

karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin.

Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga

disebut analisis otonomi, analisis ergosentris,

pembacaan mikroskopi. Pemahaman dipusatkan pada

analisis terhadap unsur-unsur dalam mempertimbangkan

keterjalinan antarunsur di satu pihak, dan unsur-unsur

dengan totalitas di pihak yang lain. (Ratna, 2004:73-

74).

Dalam penelitian sastra terdiri dari berbagai macam

metode. Karena skripsi ini mengenai unsur intrinsik

serta ekstrinsik terhadap karya sastra khususnya novel,

maka penulis memilih metode formal yang sangat sesuai

untuk menyusun unsur intrinsik serta ekstrinsik pada

karya sastra khususnya novel.

Metode formal adalah analisis dengan

mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk

yang mengarah pada unsur-unsur karya sastra. Tujuan

metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra

dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap

artistik. Metode formal tidak bisa dilepaskan dengan

teori strukturalisme. Esensi metode formal, yaitu

unsur-unsur itu sendiri adalah esensi teori

strukturalisme tersebut. Secara historis metode formal

dapat ditelusuri dengan adanya perhatian pada sastra

sebagai ergon/karya (Ratna, 2004:49-50).

Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis

terhadap unsur-unsur karya sastra kemudian

mempertalikan hubungan antarunsur tersebut dengan

totalitasnya. Metode ini sama dengan metode struktural

yang berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode

formal memandang bahwa keseluruhan aktivitas kultural

memiliki dan terdiri atas unsur-unsur.(Ibid., hal.50).

Unsur-unsur dibedakan menjadi unsur–unsur ekstrinsik

dan intrinsik.

Unsur-unsur ekstrinsik dibicarakan dalam kaitannya

dengan sistem sosiokultural yang lebih luas , unsur-

unsur yang kedua dalam kaitannya dengan karya sastra

sebagai totalitas. Unsur-unsur ekstrinsik novel,

misalnya analisis dalam kaitannya dengan antropologi,

ekonomi, politik, biografi, filsafat, sosiologis,

psikologis, sejarah, dan agama.

Pembicaraan ini juga meliputi masalah-masalah yang

berkaitan dengan pengarang, semestaan tertentu,

pembaca, dan penerbit. Unsur-unsur intrinsik novel,

misalnya tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang,

gaya bahasa, amanat dan sebagainya. (Ibid., hal. 51)

D. Data dan Sumber Data

Pada skripsi ini data yang dikumpulkan berupa

definisi bahasa, sastra, novel serta biografi Natsume

Soseki dan dua novel karya Natsume Soseki yang sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sumber-sumber

data primer dalam skripsi ini yakni novel karya Natsume

Soseki yakni Sanshiro dan Botchan dalam bahasa

Indonesia dan buku Sejarah Kesusastraan Jepang karangan

Isoji Asoo.

Sedangkan sumber-sumber data sekunder dalam skripsi

ini yakni Dari Botchan sampai Kalong Taman Firdaus

karya Jonnie Rasmada Hutabarat dkk, Buku Pengantar

Sosiologi Sastra karya Faruk, Teori Kesusastraan karya

Rene Wellek dan Austin Warren, Kritik Sastra karya Atar

Semi, 7 Teori Sastra Kontemporer dan 17 Tokohnya karya

Mohammad A. Syuropati dan Agustina Soebachman, Sastra

dan Cultural Studie Representasi Fiksi dan Fakta karya

Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Kritik Sastra

Feminis Teori dan aplikasinya karya Sugihastuti dan

Suharto, Teori Apresiasi Sastra karya Dra. Sugihastuti,

M.S,. Sastra dan Ilmu Sastra karya A. Teeuw, Pengantar

Ilmu Sastra karya Jan Van Luxemburg dkk, Teori, Metode,

dan Teknik Penelitian Sastra karya Prof. Dr. Nyoman

Kutha Ratna, S.U, Metode Penelitian Sastra : Analisis

Psikologi karya Siswantoro.

Dalam memberikan penjelasan mengenai unsur

intrinsik dan ekstrinsik maka penulis menggunakan buku

Kritik Sastra Feminis Teori dan aplikasinya karya

Sugihastuti dan Suharto. Untuk menjelaskan teori

Strukturalisme Genetik yang membahas mengenai unsur

intrinsik serta ekstrinsik penulis menggunakan buku

pengantar Sosiologi Sastra, Teori Teknik Metode

Penelitian Sastra, serta Sastra dan Ilmu Sastra sebagai

sumbernya.

Untuk mengetahui mengenai biografi Natsume Soseki

maka penulis mengambil sumber dari dokumen elektronik

yakni bersumber dari Wikipedia. Sedangkan novel

Botchan, penulis jadikan sumber untuk menyusun unsur

intrinsik serta ekstrinsiknya. Sinopsis novel Sanshiro

dan Botchan bersumber dari buku karya Jonnie Rasmada

Hutabarat yang berjudul “Dari Botchan sampai Kalong

Taman Firdaus.”

Sementara itu unsur intrinsik maupun ekstrinsik

novel Sanshiro bersumber dari novel Sanshiro. Sumber

data sekunder yang telah disebutkan sebelumnya juga

sangat membantu dalam menyumbangkan definisi bahasa,

sastra dan novel.

E. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data perlu dilakukan dengan

tujuan agar mendapatkan data – data yang valid dalam

penelitian. Dalam skripsi ini peneliti menggunakan

metode studi kepustakaan yakni suatu teknik pengumpulan

data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen -

dokumen, baik dokumen tertulis maupun elektronik.

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-

karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk

tulisan misalnya catatan harian, novel, sejarah

kehidupan (life histories), ceritera, biografi, dan

foto sedangkan dokumen elektronik yakni dengan

memanfaatkan teknologi informasi yang sudah berkembang

pada awal abad ke-21 ini. (Sugiyono, 2012:329).

Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam

pengumpulan data:

1. Penulis mencari data yang membantu penulisan skripsi

ini ke perpustakaan-perpustakaan, membeli buku,

mencari buku, maupun novel yang terkait mengenai

judul skripsi, serta bisa juga bersumber dari

internet.

2. Meminjam buku yang membantu penulisan skripsi dari

perpustakaan.

3. Serta memfoto copynya.

4. Membeli buku-buku yang dibutuhkan untuk penyusunan

skripsi.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan

sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan,

dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution

(1988) menyatakan “Analisis telah dimulai sejak

merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke

lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil

penelitian.

Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian

selanjutnya sampai “teori grounded”. Namun dalam

penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan

selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan

data (Sugiyono, 2012:336).

1. Analisis yang dilakukan Sebelum di Lapangan

Penelitian kualitatif telah melakukan analisis

data sebelum penulis memasuki lapangan. Analisis

dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau

data skunder, yang akan digunakan untuk menentukan

fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini

masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah

penulis masuk dan selama di lapangan. Dalam analisis

sebelum di lapangan, penulis membaca buku-buku yang

terkait mengenai judul skripsi penulis. Misalnya

buku-buku mengenai sastra sehingga penulis bisa

mengumpulkan definisi bahasa, sastra dan novel untuk

dituliskan di bab I, subbab latar belakang dan bab

II.

2. Analisis Selama di Lapangan Model Miles dan

Huberman

Analisis data dalam penelitian kualitatif,

dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan

setelah selesai pengumpulan data dalam periode

tertentu.

Miles and Huberman (1984) mengemukakan bahwa

aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan

secara terus menerus sampai jenuh. Aktifitas dalam

analisis data, yaitu data reduction, data display dan

conclusion drawing/verification (Sugiyono, 2012:337).

a. Data Reduction (Reduksi Data)

Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup

banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan

rinci. Seperti telah dikemukakan, makin lama

peneliti di lapangan, maka jumlah data akan makin

banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera

dilakukan analisis data melalui reduksi data.

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal

yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting,

dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak

perlu.

Dengan demikian data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang lebih jelas, dan

memepermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan

data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan

elektronik seperti komputer mini, dengan memberikan

kode-kode pada aspek-aspek tertentu (Sugiyono,

2012:338).

Setelah penulis membaca buku-buku mengenai

sastra, penulis mendapatkan banyak definisi sastra,

bahasa, dan novel. Dalam tahap reduksi, penulis

memilih definisi yang cocok untuk dimasukkan ke

dalam bab I dan II.

b. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya

adalah mendisplaykan data. Penulis memasukkan

definisi bahasa, sastra, dan novel ke dalam latar

belakang. Dari hasil analisis sebelum dilakukan di

lapangan, penulis juga mendapatkan metode, teori

dan teknik penelitian sastra yang segera penulis

masukkan ke dalam bab II dan bab III. Selain itu

dari buku Kritik Sastra Feminis Teori dan

Aplikasinya karya Sugihastuti dan Suharto, penulis

mendapatkan data mengenai unsur intrinsik dan dari

buku Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra

karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U penulis

mendapatkan aspek-aspek yang terdapat dalam unsur

Ekstrinsik, selanjutnya penulis masukkan ke dalam

bab II.

Dari dokumen digital yakni wikipedia penulis

mendapatkan data mengenai biografi Natsume Soseki

yang bisa diletakkan di Bab IV, dan untuk membuat

sinopsis novel Botchan dan Sanshiro, penulis

menulisnya dari buku karya Jonnie Rasmada Hutabarat

yang berjudul “Dari Botchan sampai Kalong Taman

Firdaus.”

c. Conclusion Drawing/ Verification

Langkah ketiga dalam analisis data kulitatif

menurut Miles and Huberman adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang

dikemukakan masih bersifat sementara, dan berubah

bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

Tetapi apabila pada kesimpulan data yang

dikemukakan di tahap awal didukung kembali oleh

bukti-bukti yang valid dan konsisten saat penulis

kembali ke lapangan saat mengumpulkan data, maka

kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan

yang kredibel (Sugiyono, 2012:345).

Pada tahap Conslusing Drawing, penulis membuat

unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel Botchan

dan Sanshiro. Dan dalam sub bab pembahasan pada bab

4, penulis melakukan analisis mengenai jenis cerita

pada Botchan dan Sanshiro apakah jenis cerita

mengenai cinta atau kehidupan masyarakat, analisis

mengenai ending cerita apakah sad ending atau happy

ending, serta menganalisis adakah keterkaitan

antara kehidupan penulis dan kehidupan tokoh di

kedua novel.

G. Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk memeriksa keabsahan data maka penulis

menggunakan triangulasi teori. Dalam teknik pengumpulan

data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan

data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik

pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila

penulis melakukan pengumpulan data dengan triangulasi,

maka sebenarnya penulis mengumpulkan data yang

sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek

kredebilitas data dengan berbagai sumber data

(Sugiyono, 2012:330).

Menurut Siswantoro dalam bukunya Metode Penelitian

Sastra : Analisis Psikologi (2005:76) teknik

triangulasi terdiri dari triangulasi data, triangulasi

metode, triangulasi teori dan triangulasi peneliti.

Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik

triangulasi teori. Triangulasi teori yaitu penggabungan

teori yang fungsinya untuk mendapatkan data yang absah,

valid dan kredibel.

Dalam triangulasi teori, peneliti dapat pula

memanfaatkan teknik triangulasi teori, yaitu dengan

cara menggunakan teori lain seperti sosiologi,

antropologi, budaya, dan sebagainya. (Ibid., hal. 78).

Teori yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini

adalah teori strukturalisme genetik, yakni menganalisis

karya sastra dengan menyusun unsur intrinsik dan

ekstrinsiknya.

Sedangkan untuk mendapatkan data yang absah, valid

dan kredibel maka penulis akan menggabungkan dengan

teori lain misal seperti biografi, politik, ekonomi,

religiusitas, sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah

atau psikologi. Agar pembahasan tidak melebar maka,

hanya kesembilan hal yang ada di unsur ekstrinsik hanya

dibahas sepintas dalam Bab IV yakni pada subbab temuan

penelitian.

Dalam hal triangulasi, Susan Stainback (1988)

menyatakan bahwa tujuan dari triangulasi bukan untuk

mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi

lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa

yang telah ditemukan. Selanjutnya Bogdan dalam Sugiyono

(2012:330) menyatakan bahwa tujuan penelitian

kualitatif memang bukan semata-mata mencari kebenaran,

tetapi lebih pada pemahaman subyek terhadap dunia

sekitarnya.

Selanjutnya Mathison (1988) mengemukakan bahwa

nilai dari teknik pengumpulan data dengan trianggulasi

adalah untuk memproleh data yang konsisten, tuntas dan

pasti (Sugiyono, 2012:332).

1. Validitas dan Reliabilitas

Validitas dan reliabilitas diperlukan untuk

menjaga kesahihan dan keabsahan data agar hasil

penelitian dapat diterima dan dipertanggungjawabkan.

Dalam penelitian ini digunakan validitas semantik.

Validitas semantik mengukur keabsahan data

berdasarkan tingkat kesensitifan suatu teknik

terhadap makna yang relevan dengan konteks yang

dianalisa.

Validitas semantik merupakan cara mengamati

kemungkinan data mengandung wujud dan karakteristik

tema sebuah Roman. Penafsiran terhadap data tersebut

dilakukan dengan mempertimbangkan konteks data itu

berada. Selain itu, data yang diperoleh

dikonsultasikan kepada ahli (expert judgement) dalam hal

ini adalah Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II.

Reliabilitas data yang digunakan dalam penulisan

ini adalah reliabilitas intrarater dan reliabilitas

interrater. Reliabilitas intrarater dilakukan dengan cara

membaca dan meneliti secara berulang-ulang novel

Sanshiro dan Botchan karya Natsume Soseki agar

diperoleh data dengan hasil yang tetap. Reliabilitas

interrater dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil

penulisan dengan pengamat, baik dosen pembimbing

maupun teman sejawat yang mengetahui bidang yang

diteliti.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Latar Penelitian

1. Sinopsis Novel Botchan

Botchan adalah sosok laki-laki yang mengalami

banyak hal dalam kehidupan pribadinya. Semenjak

kanak-kanak, ia tak pernah lepas dari ‘masalah’,

sehingga membuat dirinya dianggap anak berandalan

yang tak punya masa depan.

Baik ayah, ibu maupun kakaknya bahkan masyarakat

sekitar, tak pernah ada yang menyukai maupun memahami

semua tingkah lakunya. Hanya seorang wanita tua,

pelayan keluarga mereka, yang menyayangi dirinya

serta mampu melihat bahwa dibalik semua ‘keributan &

masalah’ yang diperbuat – yang ada hanyalah sosok

manusia yang jujur, apa adanya, sifatnya yang tak

suka berpura-pura serta bertindak secara spontan

inilah yang justru sering membuatnya menghadapi

masalah.

Sejalan dengan waktu, bocah tersebut tumbuh

menjadi pria dewasa, jauh dari keluarganya yang

‘membuangnya’. Hingga saat terakhir berbekal sebagian

warisan keluarga yang diberikan kakaknya, dia

memutuskan secara spontan menerima tawaran pekerjaan

sebagai guru di daerah pelosok.

Kiyo, sang mantan pelayan yang dianggapnya

sebagai satu-satunya kerabat yang mengasihinya,

mengantar ‘kepergiaan-nya’ dengan pesan agar berhati-

hati dalam menjaga tingkah-lakunya yang suka tanpa

‘tedeng aling-aling’ alias blak-blakan dan berusaha

beradaptasi  di daerah baru yang akan dituju.

Kedatangan dirinya sebagai guru baru dari kota

besar (Tokyo ) ke daerah yang dianggap lebih

terpencil,  membuat dirinya sedikit memandang remeh

akan kehidupan di daerah tersebut. Dan semenjak

kakinya menginjak daerah baru tersebut, berbagai

masalah menyangkut tata karma, status sosial,

peraturan menjadi sumber konflik melibatkan dirinya

dalam masalah yang akan merubah kehidupannya di masa

mendatang.

Kejujuran serta kepolosan dan sifatnya yang blak-

blakan bertolak belakang dengan sebagian besar orang

yang dijumpainya. Mulai dari Kepala Sekolah, guru-

guru, para murid hingga pemilik rumah tempatnya

menginap. Maka hanya dalam beberapa hari, dia sudah

mendapat ‘masalah’ dengan adanya penipuan, pencemaran

nama baik, hingga perkelahian, semua hal yang

menyebabkan dirinya semakin lama semakin muak dengan

kemunafikan serta kepura-puraan yang terjadi di

sekelilingnya.

Apalagi saat dia melihat bahwa salah satu

rekannya yang menjadi korban justru tidak mampu

bertindak guna membela dirinya sendiri yang dijebak

dalam masalah. Maka sosok Botchan akhirnya harus

mengambil keputusan serta tindakan yang sesuai dengan

kata hatinya.

2. Sinopsis Novel Sanshiro

Novel Sanshiro menceritakan suka duka kehidupan

seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Tokyo

yang bernama Ogawa Sanshiro. Pemuda yang berasal dari

daerah Kumamoto, sebuah desa pedalaman yang belum

terpengaruh oleh masuknya kebudayaan asing itu,

digambarkan begitu lugu dan polos.

Sosok pribadi Sanshiro yang polos itu mula-mula

tampak pada saat ia harus menginap dengan seorang

wanita yang baru dikenalnya dalam kereta, di tengah

perjalanan menuju Tokyo untuk melanjutkan kuliahnya.

Ia juga berkenalan dengan seorang lelaki berkumis.

Belakangan diketahui lelaki itu bernama Hirota

Sensei, seorang guru senior yang hidup membujang.

Setelah kuliah berjalan, dan Sanshiro resmi

menjadi mahasiswa, ia berkenalan dengan sesama

mahasiswa bernama Yojiro. Tokoh inilah yang banyak

mempengaruhi Sanshiro dalam menghadapi kehidupan

dunia kemahasiswaan. Sasaki Yojiro pula yang

mempertemukan kembali Sanshiro dengan Hirota Sensei,

lelaki berkumis yang dijumpainya di dalam perjalanan

kereta api.

Sebelum itu, Sanshiro telah mendatangi seorang

dosen lain dari perguruan tinggi itu yang bernama

Nonomiya Sohachi , seorang tokoh ilmuan sejati sepupu

tetangganya Sanshiro di Kumamoto. Melalui tokoh yang

digambarkan menghabiskan sebagian hidupnya di ruang

penelitian itu, Sanshiro berkenalan dengan adik

Nonomiya bernama Yoshiko.

Suatu saat, ketika diminta untuk membantu

membersihkan rumah kontrakan baru milik Hirota dan

Yojiro, Sanshiro secara kebetulan berkenalan dengan

seorang gadis bernama Satomi Mineko yang digambarkan

begitu menikmati kehidupan modern, sebelumnya pernah

pula berjumpa dengan Sanshiro.

Sanshiro dalam pandangan pertama begitu terpesona

oleh gaya hidup modern Mineko, semakin tertarik

kepada gadis itu setelah perkenalannya di rumah

Hirota. Sejak pristiwa tersebut, persahabatan antara

Sanshiro dan Mineko terus berlanjut. Hal itulah yang

pada akhirnya telah menumbuhkan perasaan cinta dalam

diri Sanshiro.

Dalam pada itu, hubungan Sanshiro dengan Mineko,

Yojiro, Hirota, Nonomiya, maupun Yoshiko, juga

berkembang layaknya persahabatan, walaupun Sanshiro

mempunyai kesan lain terhadap Mineko. Tidak jarang

mereka pergi bersama atau menonton pertunjukan drama.

Hal itulah yang membuat hubungan persahabatan mereka

makin erat.

Cinta Sanshiro kepada Mineko rupanya semakin

mendalam walaupun sahabatnya sering mengingatkan

bahwa Mineko bukanlah gadis yang cocok buat Sanshiro.

Menurut pandangan Yojiro, Mineko “terlalu” modern

untuk ukuran lelaki seperti Sanshiro. Oleh karena

itu, tidaklah tepat jika Sanshiro berhasrat

memperistri gadis yang bergaya hidup modern itu.

Sebaliknya, Mineko sendiri tampaknya memberi hati

kepada Sanshiro. Dan sesungguhnya, ia juga menaruh

hati walaupun tidak jarang ia harus bersikap munafik

dalam menghadapi Sanshiro. Setelah berbagai peristiwa

dilalui, seperti kasus pemakaian uang Sanshiro oleh

Yojiro dalam taruhan pacuan kuda yang kemudian

memaksa Sanshiro meminjam uang kepada Mineko. Atau

kasus penerbitan karangan Hirota Sensei oleh Yajiro

yang menggunakan nama Sanshiro, akhirnya sampai pada

berita yang baginya amat penting, yaitu bahwa Mineko

akan melangsungkan pernikahan.

Untunglah, Yajiro, betapapun sering membuat

Sanshiro jengkel, dapat membawa Sanshiro untuk hidup

lebih realistik. Yang penting adalah bagaimana

kehidupan mahasiswa benar-benar dapat dinikmati tanpa

harus membuat diri sendiri tersiksa. Begitulah,

akhirnya Sanshiro menyadari keadaan dirinya. Ia

kembali sibuk dengan urusan kampus bersama Yojiro,

Hirota, atau Nonomiya.

B. Temuan Penelitian

1. Unsur  Intrinsik Novel “Botchan”

a. Tema                              

Kisah hidup Botchan dari semenjak anak-anak

sampai saat menjadi guru di Sekolah Menengah

Matsuyama. Botchan adalah anak tidak bisa diam yang

selalu membuat ulah. Karena selalu membuat masalah

orang tuanya sudah tidak tahu lagi bagaimana harus

menanggapi ulah Botchan. Hanya Kiyo, sang Pembantu

lah yang menyayangi Botchan. Botchan pun tumbuh

dewasa dan memiliki sifat mudah marah, agresif

namun masih memegang kejujuran dan keadilan,

menurutnya uang dan jabatan bukanlah segalanya.

b. Tokoh

1) Botchan

2) Kantaro

3) Ibu Botchan

4) Ayah Botchan

5) Kakak Botchan

6) Kiyo

7) Pelayan di Penginapan Yamashiroya

8) Kepala Sekolah

9) Guru Kanji

10) Koga, Guru Bahasa Inggris (Si Labu)

11) Hotta, Guru Matematika (Si Landak)

12) Pemilik Rumah yang Disewa Botchan

13) Murid-Murid Botchan

14) Yoshikawa, Guru Seni (Si Badut)

15) Kepala Guru (Si Kemeja Merah)

16) Keponakan Laki-Laki Kiyo

17) Penjaga Sekolah

18) Nenek Hagino

19) Madonna

20) Guru Olahraga

c. Penokohan   

1) Karakter Botchan

a) Ceroboh         

(1) Sejak kecil kecerobohan alamiku selalu

memberiku masalah. Hal 11. 親親親親親親親親親親親親親

親親親親親親親親親親。(親親、1972:7)

(2) Pernah suatu ketika saat aku masih di

Sekolah Dasar, aku melompat dari jendela

di lantai dua dan akibatnya tidak bisa

berjalan selama seminggu. Beberapa

diantara kalian mungkin bertanya – tanya

kenapa aku melakukan hal sembrono itu. Hal

11. 親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親 親親親親親親親親親親親親親親親親一。

b) Mudah Dihasut

(1) “Kau Cuma bisa omong besar, tapi pasti

kau tidak berani melompat. Huu! Pengecut!”

Kata teman Botchan lalu tepat saat itu

juga Botchan langsung terjun dari lantai

dua. Hal 11.

(2) “Pisaunya pasti tidak tajam.” Kata teman

Botchan.

“Apa maksudmu, tidak tajam? Pisau ini

bisa memotong apa pun,” Kata Botchan

sesumbar.

“Kalau begitu potong jarimu.” Tantang

teman Botchan. Dan bodohnya Botchan benar-

benar memotong jarinya sendiri. Hal 12.

(3) Setelah Si Kemeja Merah mengatakan “

Biarpun beberapa orang tampak ramah,

berhati terbuka, dan beberapa yang lain

mengundangmu ke rumah mereka dan memberimu

atap berteduh dan tempat tinggal, kau

jarang akan bisa, kalaupun memang ada

kesempatan, melepas kewaspadaan.”

Dari perkataan Si Kemeja Merah yang

berbelit-belit, Botchan langsung menarik

kesimpulan bahwa Hotta menyuruh murid-

murid untuk mengganggu Botchan karena

Hotta merasa jabatannya sebagai guru

Matematika terancam karena ada guru

Matematika baru. Hal 91.

c) Nekad                                                  

(1) Pernah suatu ketika saat aku masih di

Sekolah Dasar, aku melompat dari jendela

di lantai dua dan akibatnya tidak bisa

berjalan selama seminggu. Hal 11.

d) Tidak Mau Kalah                      

(1) Aku pun menjawab “Lain kali akan

kutunjukkan, aku tak takut sama 

sekali.”Hal 11.

(2) Hotta masih sekali-kali melemparkan

pandangan tajam ke arahku, dan karena

tidak mau kalah, kubalas dengan tatapan

yang sama. Hal 105

e) Nakal                 

(1) Misalnya aku pernah merusak kebun wortel

mosaku bersama sahabat lama Kane, yang

bekerja di tukang kayu setempat dan Koku

anak tukang ikan. Hal 13.

f) Bodoh

(1) Sumur ini sumber tempat air mengalir

masuk dan keluar ke sawah di sekitarnya.

Air mengalir melalui bambu tebal yang

ditanam cukup dalam di tanah, setelah

sendi-sendi bambunya dicongkel supaya bisa

berfungsi seperti tabung bolong. Waktu itu

aku tidak tahu apa fungsi saluran

tersebut, jadi kusumbat dengan batang

pohon dan batu. Setelah memastikan aliran

air terhenti, aku pulang, dan tepat saat

makan, Furukawa datang berteriak-teriak

dengan wajah semerah bit. Hal 14.

(2) “Apa maksudmu, tidak tajam? Pisau ini

bisa memotong apapun,” jawabku,

menyanggupi tantangan. “Baiklah, kalau

begitu coba potong jarimu,” dia menuntut,

“jari? Hah! Kalau hanya jari, gampang

sekali memotong.” Sambil berkata begitu,

aku membeset miring bagian belakang ibu

jari tangan kananku. Untungnya, pisau itu

kecil dan tulangku keras, jadi aku masih

punya ibu jari, tapi bekas lukanya, seumur

hidup akan tetap di sana. Hal 12.

g) Tidak Bisa Diam

(1) Botchan berjungkir balik di dapur dan

menabrakkan tulang rusuknya dengan keras

ke sudut kompor masak. Hal 14.

h) Tidak Peka

(1) Botchan tidak peka karena tidak

menyadari Ibunya sedang sakit keras. Hal

14.

i) Pundung

(1) Ibu Botchan marah luar biasa dan berkata

tidak akan pernah mau lagi melihat wajah

Botchan, karena pundung akhirnya Botchan

pergi untuk tinggal bersama kerabat

keluarganya. Hal 14. Dan ternyata Sang Ibu

memang tidak akan melihat wajah Botchan

lagi karena Sang Ibu meninggal dunia. Hal

14

j) Berpikiran Pendek

(1) Aku sangat kesal sehingga aku

melemparkan biji catur yang kupegang ke

kepalanya. Biji catur itu mengenai kakakku

di antara kedua mata, merobek kulit

dahinya, darah pun menetes keluar. Hal 15.

k) Sombong

(1) “Kalau tidak sulit? Kan ya? Bahasa macam

apa itu? Kalau terlalu cepat, aku akan

memperlambat bicaraku. Tapi aku dari Tokyo

dan aku tidak bisa berbicara dengan

dialekmu, jadi kalau kau tidak bisa

memahami aksenku, kau hanya harus menunggu

sampai kau terbiasa.” Kata Botchan. Hal 45

l) Pemarah                                             

(1) Aku marah besar sehingga menampar

wajahnya, hal ini membawaku pada masalah

besar. Hal 15.

(2) “Kalau tidak sulit? Kan ya? Bahasa macam

apa itu? Kalau terlalu cepat, aku akan

memperlambat bicaraku. Tapi aku dari Tokyo

dan aku tidak bisa berbicara dengan

dialekmu, jadi kalau kau tidak bisa

memahami aksenku, kau hanya harus menunggu

sampai kau terbiasa.” Kata Botchan saat

memarahi muridnya. Hal 45.

(3) Aku kembali ke ruang guru dengan penuh

emosi. Anak – anak sialan! Hal 45.

(4) Aku marah sehingga sebagai ucapan

perpisahan, aku berkata, “Benar, saya

sedang tugas malam. Itulah sebabnya saya

akan kembali ke sekolah sekarang untuk

menginap di sana.” Hal 61.

(5) Tapi kini setelah mereka muncul dan

tampak dengan jelas mereka hanyalah

belalang, emosiku berubah menjadi rasa

marah. Hal 63.

(6) “Apa maksudmu, apa yang terjadi?”

bentakku, “Memangnya kau pernah dengar ada

orang yang memasukkan belalang ke futon-

nya? Tolol!” Hal 64.

(7) Aku begitu marah sehingga bertanya

“Apakah bertemu Madonna juga rekreasi

spiritual?” Hal 116

(8) Aku tidak terlalu memahami apa yang

dikatakan si Badut, tapi entah kenapa aku

merasa marah sehingga aku berdiri tanpa

benar-benar merencanakan apa yang akan

kuucapkan. Hal 110

(9) Seluruh kemarahan yang aku tahan sejak

tadi meledak dan aku berkata, “Kalau ini

perundingan Cina-Jepang, maka kau pihak

musuh.” Bersamaan dengan ini, aku pun

mengetok keras kepalanya dengan tinjuku.

Hal 174

(10) Tapi aku begitu marah sehingga

memukulnya dengan telur-telur itu sebelum

menyadari tindakanku sendiri. Hal 213

m)Pemberani                                        

(1) Meskipun begitu, aku tidak pernah merasa

takut pada ayahku. Hal 15.

(2) Aku memutuskan bila keadaan sudah tidak

memungkinkan bagiku di  sekolah ini, aku

akan pergi ke tempat lain, jadi aku sama

sekali tidak takut pada si Tanuki maupun

si Kemeja Merah. Hal 49.

(3) Selama sekitar satu jam, aku terlibat

dalam pertengkaran dengan lima puluh orang

di antara murid-murid itu. Hal 74.

(4) Selama saya jujur, saya tidak takut

orang mengambil keuntungan dari diri saya.

Hal 90

(5) Aku takkan membiarkan orang bicara bahwa

aku tidak berani datang ke sekolah gara-

gara artikel itu. Hal 196

n) Mempunyai Rasa Peduli              

(1) Aku pulang sambil berpikir kalau saja

tahu Ibu sakit keras, aku bakal bersikap

lebih patuh. Hal 14.

o) Pasrah                                                 

(1) Sudah lama aku pasrah pada kenyataan

bahwa aku tidak akan pernah menjadi orang

yang disukai, jadi aku sudah tidak ambil

pusing bila mereka memperlakukanku seperti

kotoran. Hal 16.

p) Pencuriga

(1) Justru perbuatan baik Kiyo-lah yang

membuatku curiga. Hal 16

(2) Pelayan di penginapan Yamashiroya

membawa baki dan menyajikan makanan, dia

terus menerus tersenyum menyebalkan.

Seolah aku orang aneh di sirkus. Hal 32.

Botchan mencurigai senyuman pelayan itu

dan mengartikan senyuman itu adalah

senyuman mengejek padahal siapa tahu,

senyuman itu hanyalah senyuman formalitas

yang biasa dilakukan pelayan penginapan

kepada semua pengunjungnya.

(3) Aku curiga perasaanku padanya telah

menyebar ke setiap wanita tua yang

kutemui. Hal 118

q) Terima Apa Adanya                         

(1) Selain daripada itu, aku sama sekali

tidak mencemaskan apapun, meski memang

mengesalkan betapa ayah tidak pernah

memberiku uang saku. Hal 20.

r) Polos      

(1) Tidak ada hal lain yang terlalu

kuinginkan, aku puas dengan keadaan itu

dan mengira begitulah kehidupan. Hal 20.

s) Mandiri                                               

(1) Jadi, daripada menyembah dan mengais –

ngais amal setengah hati dari kakakku, aku

berniat menjaga diriku sendiri, meski aku

berarti harus bekerja mengantarkan susu.

Hal 21.

t) Bertindak Hati – Hati                    

(1) Aku berbaring ditempat tidur sambil

berpikir akan kupakai untuk apa uang 600

yen ini. Membuka usaha akan terlalu

merepotkan dan akan sulit bagiku

menyukseskannya. Lagi pula, kemungkinan

membuat usaha yang cukup kuat hanya dengan

500 yen sangatlah kecil. Hal 23.

u) Pembosan                                         

(1) Aku terutama tidak mau menjumpai kembali

bahasa /sastra. Aku tidak pernah bisa

memahami satupun dari 20 baris puisi –

puisi modern yang meniru bentuk dan

pemikiran barat itu. Hal 23.

v) Pencela                                               

(1) Aku menyerahkan kartu berkunjungku,

kemudian dipandu ke kantor Kepala Sekolah.

Sang Kepala Sekolah mengingatkanku akan

tanuki (sejenis rakun) dengan kumis tipis

dan mengembang disamping wajahnya, kulit

hitam dan mata besarnya. Hal 32.

(2) Selanjutnya aku bertemu guru Bahasa

Inggris yang namanya kalau tidak salah

Koga. Rona kulitnya sungguh

mengkhawatirkan. Orang yang memiliki rona

kulit pucat kekuningan seperti dia

kebanyakkan kurus, namun orang ini gemuk.

Sejak saat itu, aku selalu menganggap

semua orang berkulit pucat dan berwajah

gemuk pasti pemakan labu mentah. Hal 36.

(3) Semua murid di sekolah ini idiot

pembual. Hal 45.

(4) “Wah, kalau kau juga orang Edo, aku jadi

menyesal berasal dari sana,” Kata Botchan

kepada guru seni tapi dalam hati. Hal 37.

(5) Hotta bertubuh tegap dengan rambut

berpotongan cepak berdiri seperti duri

pada permukaan kacang kastanye, dan wajah

seperti salah satu biksu tentara kuil

Eizan yang selalu memulai pembrontakan di

akhir era Heian. Aku langsung menamainya

“Si Landak” detik itu juga. Hal 37.

(6) Kepala Guru adalah serjana sastra,

seharusnya ia pria terhormat. Anehnya

suaranya agak feminim. Ia juga selalu

memakai flannel merah di udara sepanas

ini. Kemeja merahnya terasa konyol.

Katanya karena ia memiliki penyakit

sehingga memakai warna merah. Menurutku

kecemasannya berlebihan. Karena kalau

ucapannya memang benar, mengapa dia tidak

sekalian saja mengenakan mantel dan celana

merah? Hal 36.

w) Tahu Diri

(1) Aku menyadari diriku tidak memiliki

kemampuan untuk mendominasi mereka hanya

dengan lidah. Hal 44.

x) Rendah Diri

(1) Rasanya ingin memprotes cara para guru

yang menatapku seakan sedang melihat

makhluk aneh. Hal 35.

(2) Wajahku memang tidak tampan, tapi

penting bagiku. Hal 196

y) Rendah Hati

(1) Botchan langsung mengatakan pada Kiyo

bahwa dirinya tidak suka pujian. Hal 16.

z) Acuh                                              

       

(1) Aku benar – benar tidak peduli pada efek

kesalahan – kesalahanku itu di mata para

murid serta bagaimana reaksi si Kepala

Sekolah dan Kepala Guru saat

mengetahuinya. Hal 49

(2) Aku sama sekali tidak tahu apa maksud

mereka dengan “Turner”, tapi karena

berpikir tanpa pengetahuan itu pun aku

bisa bertahan hidup, aku tetap diam. Hal

79

(3) Aku tidak peduli apakah itu Madonna atau

celana. Dia bisa meletakkan apapun

sesukanya di batu itu. Hal 80

aa)

Teguh                                       

           

(1) Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya

aku memang bukan orang bernyali baja, tapi

di lain pihak aku orang yang teguh pada

keputusan. Hal 49.

(2) Aku bertekad kalau tidak menang malam

ini, aku akan menang besok; dan kalau

tidak menang besok, aku akan menang hari

berikutnya; kalaupun tidak begitu, aku

akan meminta makanan dikirim ke sini dan

menunggu sampai akhirnya aku menang. Hal

72.

(3) Botchan dan Kemeja Merah berdebat

panjang lebar, Kemeja Merah begitu pandai

berargumen, tapi Botchan sudah menetapkan

hati untuk menolak kenaikan gaji walaupun

Kemeja Merah begitu pintar berargumen,

tapi kata-kata hanyalah kata-kata. Dan

kata-kata tidak sepenuhnya tulus dan

murni. Jadi Botchan tetap menolak karena

Botchan merasakan ketidakmurnian dalam

kata-kata Kemeja Merah. Hal 154.

bb) Penggugup                                        

(1) Pembawaanku yang selalu gelisah dan

penggugup membuat diriku  tidak mampu

tidur nyenyak bila aku tidak tidur

ditempat tidurku dan dengan perlengkapan

tidurku sendiri. Hal 59.

(2) Setiap kali tiba saatnya untuk bicara di

muka umum, mulutku serasa dipenuhi cairan

empedu, tenggorokanku tersumbat bongkahan

besar, kemudian tidak ada kata yang

keluar. Hal 161.

cc) Sabar                                                    

(1) Namun bila kondisi ini termasuk yang di

haruskan demi 40 yen sebulan, tak ada

pikiran lain kecuali bersabar. Hal59.

(2) Tapi aku bersabar, karena kupikir

berhubung semua orang mematuhi peraturan

itu tanpa mengeluh, tidak akan pantas

bagiku si orang baru untuk membuat

keributan. Hal 46.

(3) Aku memutuskan untuk bersabar menerima

kedatangan si pemilik rumah dan tingkahnya

yang selalu meminum tehku, tentu saja jika

tidak lebih dari itu, tapi dia mulai

datang sambil membawa berbagai macam benda

untuk dijual padaku. Hal 49.

(4) Akhirnya kami tetap duduk menunggu,

berusaha bersabar, hingga pukul lima pagi.

Hal 212

dd) Jujur                                                     

(1) Saat memberitahu si penjaga sekolah aku

akan kembali dalam waktu singkat, dia

bertanya apakah ada suatu urusan yang

harus kupenuhi? Aku menjawab, tidak, aku

bukan pergi untuk suatu urusan, aku hanya

akan pergi ke pemandian air panas. Hal 60.

(2) Aku juga melakukan beberapa kejailan

saat di sekolah menengah, tapi ketika para

guru bertanya siapa yang bertanggung

jawab, selayaknya lelaki aku selalu

mengakuinya. Hal 66.

ee) Tanggung Jawab                        

(1) Semua kelasku untuk hari itu telah

berakhir namun aku belum bisa pulang. Aku

harus menunggu sendirian di sekolah hingga

pukul tiga, aku harus memeriksa kelas –

kelas yang menjadi tanggung jawabku

setelah mereka melapor bahwa pembersihan

sudah selesai. Seusai itu aku harus

memeriksa daftar kehadiran kemudian aku

akan terbebas. Hal 46.

(2) “Tidak, terima kasih,” jawabku, “Sama

sekali saya tidak merasa lelah. Selama ada

nafas dalam tubuh, saya tidak akan cemas

meski keributan seperti ini terjadi setiap

malam. Lagi pula, kalaupun saya terlalu

lelah untuk mengajar akibat tidak tidur

semalam, saya akan mengembalikan gaji  1

hari ke sekolah. Hal 74.

(3) Sambil menggaruk kasar muka, aku berkata

seberapapun bengkaknya wajah saya, mulut

masih bisa bicara. Jadi, tidak ada alasan

untuk tidak mengajar. Hal 75.

ff) Tegas

(1) Saat pemilik rumah yang disewa Botchan

selalu datang untuk memaksa Botchan

membeli barang antik yang ia jual. Botchan

dengan tegas menolaknya. Hal 50.

gg) Enerjik

(1) Dari kecil Botchan sangat energic, ia

memiliki tenaga yang berlebihan, sehingga

dari kecil ia selalu membuat ulah yang

membahayakan dirinya sendiri. Bahkan saat

tidur ia harus melemparkan dirinya ke

futon sekeras yang ia bisa, karena ia

tidak bisa teristirahatkan tanpa melakukan

hal itu terlebih dahulu.

Bahkan ulahnya yang membuat kegaduhan

seperti ini sangat mengganggu orang lain

yakni mahasiswa fakultas hukum yang tidur

di bawah kamarnya Botchan. Karena ia

mahasiswa hukum, ia pun pintar berdebat.

Karena ulah Botchan, saat akan tidurpun

Botchan harus meladeni perdebatan dengan

mahasiswa hukum mengenai kebiasaan Botchan

saat akan tidur. Hal 63.

hh) Berpikiran Negatif

(1) Dari awal Botchan menginjakkan kakinya

di Shikoku, ia selalu berpikiran buruk.

Semua hal yang ia lihat terlihat begitu

buruk. Nelayan, pelayan penginapan,

pemilik rumah sewa, Kepala Sekolah, murid-

murid, guru-guru, kota kecil yang seluruh

pemandangan di kota yang bisa dinikmati

semuanya hanya dalam satu jam. Semuanya

terlihat begitu buruk sampai pada akhirnya

semua hal memang menjadi buruk persis

seperti ia pikirkan.

(2) “Kepala Sekolah memuji semangatku.

Sebenarnya aku curiga itu bukan pujian.

Kurasa dia menertawakanku.” Pikir Botchan.

Hal 75.

(3) “Mau ikut pergi memancing?” Tanya si

Kemeja Merah. Cara bicaranya begitu halus

sampai aku merasa jengah mendengarnya. Hal

76.

(4) “Aku menceritakan kegiatan memancingku

waktu dulu ke si Kemeja Merah, tapi dia

hanya memajukan dagunya dan menyuarakan

tawa yang dibuat-buat. “Tak diragukan,

sejenis orang yang biasa tertawa tidak

tulus.” Pikir Botchan. Hal 77.

Padahal siapa tahu memang seperti itu

suara dan cara tertawanya si Kemeja Merah

dari ia kecil. Semua orang kan memiliki

suara dan cara tertawa yang berbeda-beda.

Botchan terlalu berprasangka buruk,

padahal jika ia melihat segala sesuatunya

dengan sisi positif, semua hal terlihat

begitu indah dan membahagiakan seperti

bunga-bunga yang dihinggapi kupu-kupu di

taman.

(5) Si Kemeja Merah tampak semangat untuk

mengajari Botchan memancing. Tapi Botchan

tidak tertarik diajari, menurutnya

memancing dan berburu adalah perbuatan

kejam, yakni mengambil nyawa makhluk

hidup. Hal 77. Menurut penulis, pikiran

ini juga terlalu negatif. Hewan buruan dan

ikan yang dipancing tidak dibunuh untuk

bersenang-senang tapi bisa untuk dimakan

atau dijadikan pupuk, dan itu bukan

perbuatan kejam, hal itu adalah rantai

makanan. Manusia bukanlah vegetarian yang

selalu puas hanya dengan memakan sayuran.

Bahkan sayuran pun makhluk hidup, dan

kehidupannya juga harus direnggut untuk

dimakan oleh manusia, jadi takdir tumbuhan

sama saja dengan binatang buruan.

(6) “Kosuzu- kau ingat? geisha itu- masuk ke

Kadoya sekitar pukul setengah delapan

tadi.” Kata Hotta.

“Dengan Kemeja Merah?” Tanya Botchan

“Tidak.” Jawab Hotta.

“Kalau begitu tidak ada artinya.” Kata

Botchan.

(7) Tampaknya malam ini pun akan berakhir

tanpa keberuntungan di pihak kami. Hal 209

ii) Terus Terang

(1) Aku bilang kepada sang Kepala Sekolah

aku tidak akan bisa memenuhi semua

harapannya, dan akan mengembalikan

sertifikat perjanjian tugas yang tadi

diberikan kepadaku. Hal 34.

jj) Spontan

(1) Dalam memilih keputusan hidup terkadang

Botchan memutuskan secara spontan,

misalnya saat Kepala Sekolah mengajaknya

bekerja di Sekolah Menengah Shikoku, ia

langsung menerimanya walaupun sebenarnya

tidak ingin menjadi guru tapi karena tidak

memiliki bayangan lain selain menjadi guru

akhirnya ia menerimanya. Hal 24.

(2) Saat memilih antara melanjutkan studi

atau melakukan bisnis kecil-kecilan.

Botchan memilih melanjutkan studi karena

tidak tahu harus bisnis apa dan takut

gagal, serta karena saat melintasi Sekolah

Ilmu Alam Tokyo dan melihat pengumuman

penerimaan siswa baru, Botchan merasa

sepertinya ia ditakdirkan belajar di

Sekolah itu. Hal 23.

kk) Memiliki Ingatan yang Kuat

(1) Karena sudah pernah naik rikshaw ke

sekolah, aku sudah bisa membayangkan letak

sekolah itu. Hal 32.

ll) Idealis

(1) Biarpun aku tidak punya ongkos pulang

yang cukup, lebih baik menolak daripada

hidup dalam kebohongan. Hal 34.

(2) Bila aku menyetujui sesuatu, aku bahkan

tidak akan bermimpi bakal menjilat kembali

ludahku. Hal 99

mm) Egois

(1) “’Kalau tidak sulit?’? ‘Kan ya’? Bahasa

macam apa itu? Kalau terlalu cepat, aku

akan memperlambat bicaraku. Tapi aku dari

Tokyo dan aku tidak bisa bicara memahami

aksenku, kau hanya harus menunggu sampai

kau terbiasa.” Hal 45.

nn) Gaya - Gayaan

(1) Kena kalian ! Aku mulai menggunakan

aksen kasar dan tinggi daerah kota Tokyo.

Hal 44.

oo) Pantang Menyerah

(1) Namun aku tidak berniat dikalahkan. Hal

72.

pp) Kuat

(1) Kugerakkan tangan meraba kakiku yang

sakit, terasa licin. Mungkin kakiku

berdarah. Biarlah berdarah! Hal 73

(2) Aku bahkan tidak merasa dalam kondisi

mampu membaca koran, tapi karena berpikir

aku bukan lelaki lemah yang akan

membiarkan diriku dikalahkan rasa sakit

remeh, aku memaksa diri untuk berguling ke

samping. Hal 194

qq) Ksatria

(1) Mau mengakui kesalahan yang dilakukan.

Hal ini dibuktikan pada pengakuan Botchan

saat rapat sekolah “Memang benar saya

pergi ke tempat pemandian air panas waktu

tugas malam. Saya memang bersalah. Maafkan

saya.” Hal 113.

rr)Tahan Godaan

(1) Saat melewati toko dango, sebenarnya

Botchan ingin memakannya, namun karena

dilarang Kepala Sekolah, dan menyadari

kota ini begitu kecil bahkan satu

rahasiapun tak akan ada yang bisa

menyembunyikannya, akhirnya Botchan tidak

masuk ke toko itu. Hal 136

ss)Setia Kawan

(1) Menolak dinaikkan gaji karena Botchan

tahu gajinya dinaikkan berkat kepindahan

Koga ke sekolah di Nobeoka serta Hotta

akan dipecat sehingga Botchan bisa

menjabat menjadi kepala bagian Matematika.

Hal 151

tt) Sinis

(1) Menurut Botchan, rangkaian-rangkaian

bunga hasil karya ikebana hanyalah omong

kosong. Siapapun yang gemar memandangi

tanaman ataupun bambu yang sekadar

dipuntir-puntir, sama saja dengan bangga

memiliki kekasih berpunuk atau suami

lemah. Hal 187.

2) Karakter Kantaro

a) Berani

(1) Kantaro sering memanjat pagar pembatas

dan mencuri kacang-kacang kastanye

Botchan. Saat tertangkap basah ia menubruk

dan menyeruduk Botchan dengan ujung

kepalanya yang rata, kepalanya melesat

masuk ke lengan kimono Botchan. Hal 12-13.

3) Karakter Ibu Botchan

a) Cuek

(1) “Anak itu begitu kasar dan  berandalan ,

entah mau jadi apa nantinya.” Hal 14.

b) Pilih Kasih

(1) .... ibuku pun selalu lebih menyanyangi

kakak laki-lakiku. Hal 14.

c) Tanggung Jawab

(1) Saat Botchan menangkap Kantaro yang

mencuri kacang kastanye nya dan mereka

bergulat sehingga menyisakan sedikit luka

pada diri Botchan dan Kantaro, Ibu Botchan

datang ke rumah Kantaro dan meminta maaf

pada keluarga mereka. Hal 13.

d) Irit

(1) Saat Botchan menangkap Kantaro yang

mencuri kacang kastanye nya dan mereka

bergulat sehingga menyisakan sedikit luka

pada diri Botchan dan Kantaro, Ibu Botchan

datang ke rumah Kantaro dan meminta maaf

pada keluarga mereka dan pulang dengan

membawa lengan kimono Botchan yang berada

bersama Kintaro. Mungkin menurut Ibu

Botchan rasanya sia-sia untuk membelikan

atau membuatkan kimono baru untuk anak

yang selalu membuat ulah, sehingga yang ia

lakukan hanya menjahit lengan kimono

Botchan yang robek, agar bisa dipakai

kembali.

e) Tidak Bisa Mendidik Anak

(1) “Anak itu begitu kasar dan berandalan,

entah akan jadi apa nantinya.” Kata Ibu

Botchan saat membicarakan Botchan.

Seharusnya saat Botchan masih anak-anak

yakni saat karakter anak mulai terbentuk,

sang Ibu harus mengajarkan yang mana yang

benar dan salah, dan mengajarkan Botchan

agar jangan gegabah, harus berfikir matang

sebelum bertindak, jangan selalu membuat

ulah dll.

Botchan mengakui bahwa satu-satunya

yang bisa dia banggakan adalah kenyataan

bahwa sepanjang hidupnya dia belum pernah

mengalami hukuman kerja paksa. Orang

tuanya yang pasrah sama sekali tidak

membuat keliaran Botchan berhenti. Secara

tidak sadar Botchan selalu membuat ulah.

Mungkin ia membuat ulah karena mencari

perhatian orang tuanya, dan mungkin karena

ia merasa seperti anak yang tidak

disayangi sehingga secara tidak sadar

Botchan selalu membuat ulah.

Seharusnya Ibu Botchan mencontoh Kiyo

dalam mendidik anak yakni lebih bersabar,

berpikiran positif, lebih penyayang,

perhatian, dan peduli. Karena sekeras-

kerasnya watak manusia pasti akan luluh

oleh kebaikan hati, seperti batu yang

keras yang pada akhirnya luluh karena

tetesan air terus menerus.

4) Karakter Ayah Botchan

a) Pilih Kasih

(1) Ayahku tidak pernah sedikitpun

menunjukkan kasih sayang kepada diriku .

Hal 14. Hal ini wajar karena semua yang

dilakukan oleh Botchan berujung pada

masalah baru.

b) Pasrah

(1) Sang ayah tidak mengajarkan banyak hal

pada Botchan, ia hanya bisa pasrah menatap

Botchan sembari berkata “Kau tidak

berguna! Tidak berguna.” Sang Ayah tidak

pernah tahu bahwa setiap perkataan adalah

do`a. Setiap kata memancarkan energi yang

akan terserap ke jiwa dan alam pikiran.

Hal 15.

5) Karakter Kakak Botchan

a) Suka Mengadu

(1) Dia pergi mengadu kepada ayah sehingga

ayah memutuskan hubungan orang tua anak

kepadaku. Hal 15.

b) Mempunyai Semangat Tinggi

(1) Kakakku bilang dia mau berbisnis, itulah

sebabnya dia menghabiskan seluruh waktunya

belajar bahasa inggris. Hal 15.

c) Licik

(1) Saat kami bermain catur Jepang, dia

mengambil langkah curang dan tampak sangat

bangga saat meledek posisi sulitku. Hal

15.

d) Tanggung Jawab

(1) Setelah kedua orang tua mereka

meninggal, kakak Botchan memutuskan untuk

bekerja di Kyushu. Karena ia memutuskan

untuk tinggal di Kyushu, semua warisan ia

jual untuk biaya hidup di Kyushu. Walaupun

hubungannya dengan adiknya yakni Botchan

kurang akur dan selalu berantem, ia tetap

tidak lupa untuk memberikan uang kepada

adiknya, untuk biaya hidup serta untuk

melanjutkan hidup.

e) Pengkhayal

(1) Kakakku suka berkhayal jadi aktor. Hal

14

f) Feminim

(1) Kakakku suka berkhayal jadi aktor,

dengan peran wanita. Hal 14.

6) Karakter Kiyo

a) Peduli

(1) “Nah, kau memang punya sifat yang 

baik.”Hal 16.

b) Penyayang

(1) Kiyo suka memberi hadiah kepadaku.Hal17.

c) Penyemangat

(1) Kiyo terus menerus menyemangati “Kau

pasti bisa!” Hal 19.

d) Baik Hati

(1) Kiyo hanya memberiku hadiah-hadiah

ketika ayah dan kakakku tidak ada di 

rumah.Hal18.

e) Menerima Apa Adanya

(1) Kiyo tampak sangat bahagia meski rumah

yang kami tinggali tidak berserambi indah.

Hal 217.

f) Perhatian

(1) Kiyo khawatir kapalku karam lalu

mengakibatkan diriku tenggelam.

Hal39.         

(2) Saat aku akan pergi ke Shikoku untuk

menjadi guru, Kiyo datang di pagi hari

membantuku bersiap-siap. Dia sempat mampir

ke penjual pakaian laki-laki dalam

perjalanannya ke tempatku dan membeli

pasta gigi, sikat gigi, dan handuk yang

dimasukkannya ke tas kanvas. Hal 27. 

g) Mempunyai Imajinasi Tinggi

(1) Kiyo memiliki imajinasi

tinggi dan serta merta membuat rencana

sendiri. Hal19.

h) Suka Memuji

(1) “Kau selalu berterus

terang, sifatmu baik.” Kata Kiyo pada

Botchan. Hal 16.

i) Dermawan

(1) Kadang-kadang dia akan

membelikanku, dengan uangnya sendiri, kue

Kintsuba yang bentuknya seperti prajurit

berpedang, atau biskuit Kobaiyaki yang

bentuknya seperti bunga plum. Hal 17.

j) Berpikiran Positif

(1) Kiyo selalu menganggap

Botchan anak yang baik, terus terang,

jujur. Padahal di mata semua orang Botchan

adalah bocah nakal. Kiyo pun melihat masa

depan Botchan sangat cerah, menurutnya

ketika dewasa Botchan akan sukses,

memiliki rumah dengan gerbang megah,

mengendarai rikshaw pribadi. Ia selalu

mengatakan “Pasti bisa!” Botchan yang

tidak memiliki bayangan apapun tentang

masa depannya, menjadi bersemangat untuk

menyambut masa depannya. Hal 19.

k) Kolot

(1) Tapi Kiyo, karena masih

berpikiran ala orang lama, memandang

hubungan kami sebagai hubungan tuan dan

hamba di masa feodal. Sepertinya, sejauh

dalam pikirannya tuannya adalah tuan

keponakannya juga. Sehingga keponakannya

harus bertingkah laku seperti pembantunya

Botchan juga. Hal 26

l) Polos

(1) Kiyo punya bayangan bila

sudah lulus , kantong saku akan langsung

terisi uang. Hal 26. Padahal kalau ingin

terisi uang maka harus bekerja dahulu.

7) Karakter Pelayan di Penginapan Yamashiroya

a) Pembohong

(1) Pelayan itu mengatakan

kamar lain sudah terisi, tapi Botchan

melihat kamar lain begitu kosong. Hal 30.

b) Mata Duitan

(1) Ketika Botchan tidak

memberi tip, pelayan itu memberikan

pelayanan buruk. Tapi ketika sudah diberi

tip 5 yen, ia baru memberikan pelayanan

yang baik. Hal 32.

c) Sombong

(1) Botchan memaki pelayan

penginapan Yamashiroya dalam hati “Dasar

tak tahu malu, memandang rendah orang

padahal dirinya sendiri hanya orang

kampung!” Hal 31.

8) Karakter Kepala Sekolah (Si Tanuki)

a) Angkuh

(1) Sikapnya sangat angkuh

dan dia menyuruhku bekerja rajin dan

keras. Hal 32.

b) Korelis

(1) Kepala Sekolah menyuruhku

bekerja rajin dan keras. Hal 33.

9) Karakter Guru Kanji

a) Formal dan Suka Menyapa

(1)Guru kanji bersikap formal dan menyapaku

sebagai berikut, “Anda sampai kemarin?

Anda pasti lelah.” Hal 37.

10) Koga, Karakter Guru Bahasa Inggris (Si Labu)

a) Pendiam

(1)Setiap kali aku menyapanya, dia akan

membalas dalam bisikan sambil menundukkan

kepala penuh hormat. Hal 104

(2)Koga merupakan orang paling pendiam di

sekolah. Dia jarang tersenyum , namun di

lain pihak dia tidak cerewet. Hal 104.

(3)Bahkan dia tidak pernah berbicara lebih

daripada yang dibutuhkan. Hal 104

b) Murah Hati

(1) Kemudian dengan murah hatinya, Koga

mengajakku pergi ke rumah yang

diceritakannya.Hal 119.

c) Pria Baik dan Seorang Gentlemen

(1) Lalu ada Koga, dengan wajah pucat labu

yang menggelembung karena air, pria baik

hati, murah hati, dan seorang gentlemen.

Hal 137.

d) Rendah Diri

(1) Penampilan Koga selalu menggambarkan

kesengsaraan, berusaha tampak kecil seolah

menganggap diri sekadar parasit yang hidup

di antara langit dan bumi. Hal 131.

(2) Koga selalu naik kereta kelas dua seolah

ini sudah jadi pembawaannya. Hal 134

11) Hotta, Karaker Guru Matematika (Si Landak)

a) Keras Kepala

(1) “Kau tidak suka mengakui kekalahan,

ya ?” ujar Hotta , jadi ku balas dengan

berkata dia juga sama sama keras kepala.

Hal 157.

(2) Hotta pun tetap dengan keras kepala

menolak mengambil koin-koin itu. Hal 141.

b) Sistematis

(1) “Sebaiknya kau pindah ke sana

secepatnya. Kau bisa melihat tempatnya

hari ini, pindah besok, dan mulai mengajar

di hari berikutnya. Begitu sebaiknya

bergerak, menyelesaikan segalanya sesuai

urutan.” Kata Hotta pada Botchan. Hal 41.

c) Dermawan

(1) Dalam perjalanan pulang, Hotta

mentraktirku semangkuk es serut rasa buah

di bagian kota yang bernama Toricho. Waktu

pertama kali bertemu di sekolah, aku

menilainya menyebalkan dan tidak punya

sopan santun, tapi akibat keramahannya

ini, aku berubah pikiran. Hal 42.

d) Tidak Sopan

(1) Di saat ritual perkenalan guru baru

yakni saat Botchan memperlihatkan kepada

setiap guru dengan sopan, Hotta tanpa

melihat sertifikat tersebut, langsung

bertanya “Jadi kau si guru baru itu ya?

Mampir ke tempatku kapan-kapan ya!

Hahaha!” Hal 37.

e) Rendah Hati

(1) Berhubung Hotta guru senior, dirinya

datang ke tempatku agak menunjukkan harga

diri yang rendah. Tapi tetap saja aku

mengagumi tindakan itu daripada membuatku

datang ke tempatnya. Hal 38.

f) Tidak Suka Basa Basi

(1) Hotta datang ke kamar Botchan, tanpa

basa basi ia langsung memberitahu jadwal

mengajar Botchan. Hal 40

g) Peduli

(1) Hotta memperhatikan sekeliling ruangan

dan berkata, “Kau tidak berniat tinggal

lama di sini, kan? Aku tahu tempat bagus

yang bisa kau tinggali. Mereka tidak biasa

menerima sembarang orang, tapi aku akan

bicara pada mereka untukmu. Sebaiknya kau

pindah ke sana secepatnya.” Hal 41.

h) Menyebalkan

(1) Saat sedang tidur, tanpa basa basi Hotta

langsung datang serta langsung memberitahu

jadwal mengajar Botchan. Dalam keadaan

setengah sadar Botchan langsung berusaha

menyimak perkataan Hotta. Hal 40.

i) Ceroboh

(1) “Hotta lumayan juga-meski tentu saja dia

ceroboh dan mudah marah, seperti aku.”

Kata Botchan dalam hati. Hal 42

j) Pemarah

(1) Hotta bertabiat cepat marah seperti aku

dan kami pun mulai saling berteriak. Hal

101

k) Setia Kawan

(1) Hotta san yang adalah teman Koga san

merasa kasihan padanya, maka dia pun pergi

menemui Kepala Guru dan menegur agar tidak

merebut tunangan orang. Hal 124.

l) Teguh

(1) Di lain pihak, keteguhan Hotta sungguh

tak tertandingi. Dia akan duduk dengan

mata tak lepas dari lubang intai dari awal

malam hingga lewat tengah malam, mengawasi

area di bawah lampu gas bulat yang

tergantung di luar Kadoya. Hal 207

m)Berpikiran Positif

(1) Kalau aku kebetulan berkomentar

tampaknya Kemeja Merah takkan ke sana, dia

akan berkata, “Dia pasti datang,” Hal 207

(2) “Kosuzu. Kau ingat? geisha itu masuk ke

Kadoya sekitar pukul setengah delapan

tadi.” Kata Hotta.

“Dengan Kemeja Merah?” Tanya Botchan

“Tidak.” Jawab Hotta.

“Kalau begitu tidak ada artinya.” Kata

Botchan.

“ Kosuzu datang bersama geisha lain, tapi

menurutku ada harapan.” Kata Hotta.

“Kenapa?” Tanya Botchan

“Kenapa? Karena Kemeja Merah licik. Dia

mungkin menyuruh kedua geisha itu datang

duluan dan berniat menyusul kemudian.” Hal

208 Seorang yang berpikiran positif selalu

melihat hal-hal yang positif walaupun hal

itu masih berupa harapan.

12) Karakter Pemilik Rumah yang Disewa Botchan

a) Pembual

(1) Julukannya Ikagin yang artinya pembual,

ia membual bahwa Botchan memiliki

penampilan seorang “gentleman berbudi

bahasa tinggi” padahal seorang “gentleman

berbudi bahasa tinggi” biasanya mengenakan

topi runcing seperti tudung dan membawa ke

mana-mana kertas untuk menuliskan

puisinya. Hal 47.

b) Gigih

(1) Setiap hari datang membawa barang ke

rumah yang di sewa Botchan agar Botchan

membeli barang antik yang ia jual. Hal 49.

c) Rakus

(1) Berhubung dia tidak perlu mengeluarkan

sepeser pun, sepertinya dia berniat

menikmati sepuas mungkin teh yang bisa dia

dapatkan. Hal 48.

d) Oportunis

(1) Pemilik rumah yang disewa Botchan

sungguh memanfaatkan kesempatan yang ia

miliki. Mumpung Botchan masih menyewa

kamarnya, ia selalu merayu Botchan untuk

membeli barang dagangannya. Dan karena ia

meminum teh milik Botchan ia pun meminum

sebanyak-banyaknya mumpung bukan teh

miliknya.

13) Karakter Murid-Murid Botchan

a) Suka Ikut Campur Urusan Orang Lain

(1) Saat Botchan membeli 4 mangkok mie

ramen, murid-muridnya sampai menuliskannya

di papan tulis. Saat Botchan tiap hari ke

pemandian air panas kelas satu, murid-

muridnya menuliskan handuk merah di papan

tulis. Murid-murid Botchan terlalu ikut

campur, padahal apapun yang dilakukan oleh

Botchan tidak ada urusannya dengan mereka.

Hal 56.

b) Nakal

(1) Lelucon adalah lelucon, namun kalau

berlarut-larut hasilnya kenakalan. Hal 53.

c) Kompak

(1) Satu kelas menulis di papan tulis “SENSEI

TEMPURA.” Lalu di kelas lain juga ikut

menulis “SATU ORANG EMPAT MANGKUK MI

TEMPURA. DILARANG TERTAWA.” Lalu di kelas

lainnya ikut menulis “MAKAN MI TEMPURA,

BISA ASAL BALIK BICARA.” Hal 52-54

(2) Beberapa hari kemudian satu kelas menulis

di papan tulis “DUA PIRING DANGO-7 SEN.”

Kelas lain pun ikut menulis “DANGO DAERAH

HIBURAN MALAM SUNGGUH ENAK.” Hal 5

(3) Seruan dan entakan kaki kembali

terdengar, namun kali ini dari bagian

asrama di sisi Timur. Oh jadi ini

konspirasi ya? Pikir Botchan. Anak-anak di

sisi Barat dan Timur bekerja sama untuk

mempermainkanku. Hal 71

(4) Setelah dua orang murid tertangkap oleh

Botchan, karena rasa setia kawan dan

kekompakan akhirnya seluruh murid

berkumpul di kamar Botchan. Hal 73.

d) Tidak Ada Kerjaan

(1) Mengikuti guru barunya untuk mengetahui

apa saja yang dilakukan oleh guru barunya.

Hal ini bisa dilihat dari perkataan

Botchan “Kali ini aku tidak bertemu murid-

murid sekolah dan aku menyangka tidak akan

ada orang yang tahu . Namun keesokan

harinya, di papan tulis kelas tertulis

“DUA PIRING DANGO-7 SEN.” Kota ini memang

terlalu kecil untuk mendapatkan privasi.”

e) Dengki

(1) Tidak bisa melihat gurunya bahagia

sedikit. Hal 53

f) Iseng

(1) Membuat Lelucon di papan tulis “SENSEI

TEMPURA.” Hal 52

g) Pengganggu

(1) Karena mengetahui kebiasaan gurunya suka

menghempaskan dirinya sendiri ke futon

dengan sangat kencang sampai mengeluarkan

suara gedebum, saat gurunya akan tidur

murid-murid itu menghentakkan kaki dengan

sangat kencang ke lantai, untuk mengganggu

guru barunya. Hal 69

h) Kurang Ajar

(1) Murid-murid itu mengetes Botchan dengan

memberikan soal yang sulit dijawab, dan

mencemooh Botchan saat Botchan tidak bisa

menjawab. Hal 45.

(2) Ketenangan mereka hanya berbeda tipis

dengan kekurangajaran. Hal 65.

(3) Murid-murid Botchan selalu menyanggah

perintah Botchan. Misalnya saat Botchan

menyuruh mereka agar tidak mengakhiri

setiap kalimat dengan ‘kan ya’ saat mereka

berbicara dengan guru, karena

kedengarannya seperti ‘kenyang’ dan

Botchan tidak bertanya kepada mereka

apakah mereka lapar atau tidak. Alih-alih

bukannya mereka mengangguk menurut,

mereka justru menjawab “ Kan ya dan

kenyang berbeda bunyi, kan ya,” ucap

mereka. Hal 65.

i) Berani

(1) Ada seorang murid yang berani mengkritik

“Sensei bicara terlalu cepat. Susah

dimengerti. Kalau tidak sulit, bisa lebih

pelan, kan ya?” Hal 45

j) Lancang

(1) Mendebat Botchan tentang binatang

belalang dan lokus. Hal 65.

k) Sok Tahu

(1) Murid Botchan mengatakan bahwa belalang

yang dipegang Botchan adalah Lokus. Hal 65

l) Tidak Sopan

(1) Memasukkan belalang ke futon yang akan

ditiduri Botchan saat jaga malam di asrama

sekolah. Hal 63.

m) Pengecut

(1) Tidak mengakui kenakalan yang mereka

lakukan. Hal 66.

(2) “Mereka mungkin hanya anak kampung dan

berandalan, tapi mereka sungguh ahlinya

melarikan diri.” Kata Botchan. Hal 193

n) Manja

(1) “Dasar bocah-bocah manja!

Hanya kehilangan tidur satu malam dan

kondisi mereka tampak begitu menyedihkan.”

Bentak Botchan pada mereka. Hal 73

o) Sembrono

(1) Sembrono, karena tanpa alasan telah

mempermalukan guru baru. Hal 112.

14) Karakter Yoshikawa, Guru Seni (Si Badut)

a) Penjilat

(1) Tapi sebagai penjilat sejati, Yoshikawa

berkata dengan keahlian si Kemeja Merah

dan perairan laut yang tenang, dia pasti

bisa memancing ikan bream. Hal 81

(2) Saat Si Kemeja Merah tidak mendapatka

ikan, Yoshikawa berkomentar “Oh, sayang

sekali! Saya yakin tadi itu ikan yang

besar. Kalau dengan keahlian Anda saja,

ikan bisa melarikan diri, kami mungkin

tidak akan beruntung hari ini.” Hal 81

b) Pengekor

(1) Si Kemeja Merah menyatakan betapa

menakjubkan pemandangan di sekitar kami

dan Yoshikawa si badut menyuarakan

persetujuannya. Hal 79

(2) Si Kemeja Merah mengatakan bahwa pohon

cemara itu seperti lukisan Turner. Si

Badut menjawab pohon itu memang seolah

“keluar dari lukisan Turner,” Hal 79.

(3) Si Kemeja Merah berusaha melucu “Ah,

kedengarannya seperti Gorki, penulis Rusia

itu.” Dan seperti biasa Yoshikawa

mengiyakan “Anda benar sekali.

Kedengarannya memang seperti penulis

Rusia.”

c) Tidak Tahu Adat

(1) Mengatakan hal-hal yang tidak dimengerti

orang lain. Terlebih lagi, menyatakan

ketidakpedulian, apakah orang lain dengar

atau tidak karena mereka tidak mengerti.

Sungguh sikap tidak tahu adat. Hal 80

d) Sarkastik

(1) Saat Botchan menangkap ikan, Yoshikawa

berkomentar “Kebeliaan memang menakutkan.”

Hal 82

e) Pengecut

(1) Yoshikawa ketakutan saat melihat Botchan

melotot ke arahnya. Hal 87.

f) Pengadu

(1) Setelah dipukul oleh Hotta dan Botchan di

acara perpisahannya Koga, Yoshikawa

mengadu kepada Si Kemeja Merah.

15) Karakter Kepala Guru (Si Kemeja Merah)

a) Berwawasan

(1) “Si Kemeja Merah punya kebiasaan buruk

yakni sering melemparkan nama asing dalam

setiap percakapan. Seolah-olah dia

berbicara dalam huruf kursif.” Pikir

Botchan. Hotta pernah memberitahu Botchan

bahwa semua nama asing itu datang dari

majalah Sastra Kekaisaran. Hal 83-84.

b) Pembohong dan Pengecut

(1) Catat kata-kata Saya, Kemeja Merah itu

pembohong dan pengecut. Hal 149.

(2) Kemeja Merah tidak mengakui dirinya

berada di tepi sungai Nozeri bersama

Madonna. Hal 142.

c) Feminim

(1) Cara bicara si Kemeja Merah begitu

halus sampai aku merasa jengah

mendengarnya. Dari suaranya, kau tidak

akan bisa membedakan dia laki-laki atau

perempuan. Seorang laki-laki seharusnya

berbicara selayaknya laki-laki, apalagi

bila dia lulusan Universitas. Kalau aku

yang hanya lulusan Akademi Ilmu Alam bisa

berbicara seperti caraku bicara, sungguh

tidak pantas seorang Sarjana Sastra

berbicara dengan suara feminim begitu. Hal

76.

(2) Bahkan cara jalannya juga kewanitaan.

Setiap kali berjalan memasuki atau keluar

dari ruangan, dia meletakkan satu kaki di

depan yang lain dengan hati-hati di tanah

supaya tidak bersuara. Hal 99

d) Tidak Tulus

(1) “Dia menyuarakan tawa yang dibuat-

buat. Tak diragukan, sejenis orang yang

biasa tertawa tidak tulus.” Kata Botchan

dalam hati. Hal 77

e) Sombong

(1) Si Kemeja Merah berkata hanya

pemancing amatir yang butuh pengapung. Hal

81.

f) Pengecut

(1) “Meskipun dia membicarakan seseorang

di belakang, dia bahkan tidak memiliki

nyali untuk terang-terangan menyebutkan

nama orang tersebut.” Kata Botchan dalam

hati. Hal 94

g) Licik

(1) Karena ingin menikahi Madonna, ia

membuat siasat agar Koga yakni tunangan

Madonna dimutasi ke tempat lain, serta

orang yang menentang dirinya seperti Hotta

pun ingin diberhentikan, maka dari itulah

Botchan diterima menjadi guru di Sekolah

Menengah Matsuyama.

(2) Kemeja Merah licik. Dia mungkin

menyuruh kedua geisha itu datang duluan

dan berniat menyusul kemudian. Hal 208

h) Tidak Setia

(1) Padahal ingin menikah dengan Madonna

tapi masih menjalin hubungan dengan

seorang geisha.

i) Pintar Membuat Strategi

(1) Setelah mendapat pengaduan dari

Yoshikawa bahwa Yoshikawa telah dipukuli

oleh Hotta dan Botchan di acara

perpisahannya Koga, Si Kemeja Merah pun

membuat siasat untuk membalas dendam.

16) Karakter Keponakan Laki-Laki Kiyo

a) Baik

(1) Keponakannya secara tak terduga ternyata

orang yang baik. Setiap kali aku datang ke

rumahnya dan si Keponakan ada di sana, dia

selalu berusaha membuatku merasa betah.

Hal 25.

17) Karakter Si Penjaga Sekolah

a) Bodoh

(1) Akhirnya Penjaga Sekolah kembali dengan

membawa sekitar sepuluh belalang mati di

atas secarik kertas sambil meminta maaf,

karena gelap dia hanya bisa menemukan

sekian, namun besok dia berjanji akan

menemukan lebih banyak. “Bahkan si Penjaga

Sekolah pun bodoh.” Kata Botchan dalam

hati. Hal 65.

b) Pengadu

(1) Si Penjaga Sekolah pergi mengadu ke

Kepala Sekolah karena ada keributan di

sekolah. Hal 74

c) Lemah

(1) Pergi mengadu dan menjemput Kepala

Sekolah seperti laki-laki tanpa harga diri

hanya gara-gara masalah remeh . Karakter

lemah beginilah yang membuatnya hanya

pantas jadi penjaga sekolah. Hal 74.

18) Karakter Nenek Hagino

a) Sok Tahu

(1) Sang nenek bertanya kenapa aku tidak

membawa istriku? Bagaimana aku bisa

membawanya jika aku belum memilikinya. Hal

121.

b) Asal Tebak

(1) Tapi Sensei, saya yakin Anda sebenarnya

sudah punya istri kan ya. Saya bisa

menebaknya hanya dengan melihat Anda.” Hal

122

c) Penggosip

(1) “Ah, Sensei masih belum mengenalnya? Dia

gadis tercantik di kota ini. Saking

cantiknya, semua guru di sekolah

memanggilnya Madonna. Sensei belum pernah

dengar?” Hal 123

d) Mata Duitan

(1) Botchan bertanya, mana yang lebih baik

Hotta atau Kepala Guru. Sang nenek

menjawab “Saya rasa orang yang mendapat

gaji per bulan lebih besar adalah yang

lebih baik.” Hal 126.

e) Adil

(1) “Jadi dua-duanya benar. Itulah sebabnya

Saya menyukai Anda, Anda selalu adil.”

Kata Botchan pada nenek Hagino. Hal 147

f) Peduli

(1) Nenek Hagino berkata bahwa pria yang

sudah menikah seperti Botchan seharusnya

tidak keluyuran malam-malam. Hal 206

19) Karakter Madonna

a) Tidak Setia

(1) Madonna menerima lamaran Koga kemudian,

segera setelah Kepala Guru datang, Madonna

beralih ke lain hati. Hal 124.

20) Karakter Guru Olahraga

a) Rendah Diri

(1) Guru olahraga selalu mengambil tempat

duduk di bagian kaki meja atas alasan rasa

segan. Hal 103

d. Latar / Setting                 

1) Latar Tempat

a) Di Lantai Dua Sekolah Dasar

(1) Pernah, suatu ketika saat aku masih di

Sekolah Dasar, aku melompat dari jendela

di lantai dua dan akibatnya tidak bisa

berjalan selama seminggu. Hal 11.

b) Di Kebun Sayuran

(1) Kalau berjalan dua puluh langkah ke

pinggir Timur taman rumah kami, kau akan

mendapati petak kecil tempat sayuran

ditanam di lereng selatan, dan tepat di

tengahnya berdirilah sebatang pohon

kastanye. Hal 12.

c) Di Toko Pegadaian

(1) Permukaan tanah di toko pegadaian lebih

rendah sekitar dua meter daripada kebun

sayur. Hal 13

d) Di Kebun Wortel

(1) Aku pernah merusak kebun wortel Mosaku

bersama sahabat lamaku Kane, yang bekerja

di tukang kayu setempat, dan Kaku anak

tukang ikan. Bagian kebun di mana tunas

wortel tidak tumbuh dengan baik ditutupi

dengan jerami, jadi kami bertanding gulat

separuh hari di sana, menginjak-injak

semua wortel. Hal 13.

e) Di Sumur Sawah Furukawa

(1) Kali lain yang membuatku terlibat masalah

besar adalah ketika aku menyumbat sumur

sawah Furukawa. Hal 13

f) Di Rumah, Tokyo

(1) Setelah ibu meninggal, aku tinggal di

rumah bersama ayah dan kakak. Hal 15.

g) Di Dapur, Rumah Tokyo

(1) Kadang-kadang di dapur, saat tidak ada

orang lain, Kiyo akan berkata, “Kau selalu

berterus terang, sifatmu baik.” Tapi aku

tidak mengerti apa maksudnya. Hal 16.

h) Di Tempat Tidur Botchan

(1) Dia akan diam-diam membeli tepung dan

menyimpannya, kemudian di malam-malam

dingin, tanpa mengatakan apa pun, dia akan

datang membawakanku sup mi saat aku

berbaring di tempat tidur. Hal 17.

i) Di Toilet, Rumah Tokyo

(1) Aku memasukkan tiga yen tersebut ke

dompet kainku, dan dompet di bagian dada

kimonoku; tapi ketika aku pergi ke toilet,

dompet itu jatuh ke lubang kakus. Hal 17.

j) Di Dekat Sumur

(1) Selang beberapa lama, aku mendengar suara

mengalir di dekat sumur, dan ketika aku

pergi memeriksa, di sanalah Kiyo sedang

mencuci dompetku, dengan tali pengikatnya

tergantung di ujung tongkat bambu. Hal 17.

k)    Di Stasiun Shimbashi

(1) Kami berpisah dua hari kemudian di

Stasiun Shimbashi ..... Hal 23.

l) Di Losmen Ogawamachi, Tokyo

(1) Aku tidak tahu secara persis karena aku

sudah tinggal di losmen di Ogawamachi,

Kanda. Hal 21.

(2) Aku terkurung dalam kamar berukuran empat

kali empat meter di losmen murah, yang

bakal harus keluar bila keadaan sulit. Hal

21.

(3) Kakakku datang ke losmen tempat

tinggalku.Hal 22.

m) Di Sekolahan Ilmu Alam Tokyo

(1) ….aku melewati Sekolah Ilmu Alam

Tokyo ....... selama tiga tahun aku

belajar sekeras semua orang…Hal 23-24.

n) Di Kantor Kepala Sekolah

(1) Delapan hari setelah kelulusan, Kepala

Sekolah datang dan mengajak Botchan ke

kantornya. Hal 24.

o)  Di Rumah Keponakan Kiyo

(1) Setiap kali aku datang kerumahnya, si

Keponakan ada di sana. Hal 25.

p) Di Tempat Tidur Kiyo, Rumah Keponakannya

(1) Kiyo terserang pilek dan sedang

terbaring di tempat tidur dalam kamar dua

kali tiga meternya yang menghadap ke

utara. Hal 26.

q) Di Stasiun

(1) Kami pergi ke stasiun berdampingan

dengan dua rikshaw, dan ketika kami sampai

di peron dan aku telah naik kereta, dia

menatap wajahku lekat-lekat. Hal 27.

r) Di Kapal

(1) Saat kapal berhenti bersama ledakan

sirinenya.Hal 28.

s)  Di Sekolah Menengah Matsuyama, Shikoku

(1) Botchan lulus dari Sekolah Ilmu Alam

Tokyo, kemudian pergi ke Shikoku untuk

menjadi seorang guru Matematika di Sekolah

Menengah Matsuyama. Hal 6.

t) Di Penginapan Minatoya

(1) Aku mengikutinya, dan dia menuntunku ke

sebuah penginapan bernama Minatoya, atau

semacamnya. Hal 29

u) Di Penginapan Yamashiroya

(1) Si Kuli bergerak dengan cukup cepat

sehingga tak lama kemudian kami tiba di

penginapan bernama Yamashiroya. Hal 30.

v) Di Kamar Gelap, Penginapan Yamashiroya

(1) Pembantu hotel menuntunku ke kamar gelap

di bawah tangga di lantai dua. Hal 30.

w) Di Kamar Mandi, Penginapan Yamashiroya

(1) Beberapa saat kemudian, mereka

memanggilku dan memberitahukan kamar mandi

telah siap. Aku turun ke kamar mandi dan

berendam sebentar. Hal 30.

x) Di Ruang Staf Pengajar

(1) Ruang staf pengajar berbentuk persegi

panjang dan luas, para guru duduk di meja

yang disusun berderet dekat satu sama lain

di dalamnya. Hal 35.

y) Di Aula Depan, Penginapan Yamashiroya

(1) Ketika aku sudah melepas sepatu dan

melangkah masuk ke aula depan, wanita itu

memberitahuku bahwa ada kamar yang sudah

kosong dan membiarkan seorang pelayan

menuntunku ke sana. Hal 39.

z) Di Toricho

(1) Hotta mentraktirku semangkuk es serut

rasa buah di bagian kota yang bernama

Toricho. Hal 42.

aa) Di Kelas

(1) Kali pertama masuk ke kelas dan naik ke

podium, aku merasa aneh. Hal 43.

bb) Di Rumah Sewa, Shikoku

(1) Ketika aku sampai di rumah, si pemilik

rumah menyatakan dia akan menyeduh teh

untuk kami. Hal 46.

cc) Di Omachi

(1) Suatu malam ketika berjalan-jalan di

bagian kota yang bernama Omachi, aku

melihat papan tanda di samping kantor pos

dengan tulisan : Mi Soba, dan tulisan

lebih kecil: ala Tokyo. Hal 51.

dd) Di Sumida

(1) Sumida merupakan tempat peristirahatan

air panas yang letaknya sekitar sepuluh

menit perjalanan kereta, atau tiga puluh

menit dengan berjalan kaki, dari kota. Hal

54.

ee) Di Asrama Sekolah

(1) Para guru dan murid yang tidak tinggal

di asrama sudah pulang, meninggalkanku

sendiri yang kebosanan karena tidak punya

pekerjaan. Hal 59.

ff) Di Stasiun Komachi

(1) Ketika akhirnya malam tiba, aku naik

kereta kembali ke Stasiun Komachi. Hal 60.

gg) Di Tatemachi

(1) Aku baru saja mencapai perempatan di

Tatemachi ketika kali ini, aku berpapasan

dengan Hotta. Hal 61.

hh) Di Tempat Pemancingan Koume, Tokyo

(1) Tapi waktu kecil, aku pernah menangkap

tiga ekor ikan funa-sejenis gurame- di

tempat pemancingan Koume di Tokyo. Hall

76.

ii) Di Kompleks Kuil Zenkokuji, Kagurazaka

(1) Kali lain, diperayaan yang dilaksanakan

di depan kuil Bishamon di kompleks kuil

Zenkokuji, Kagurazaka, aku berhasil

memancing ikan koi yang besarnya enam

belas sentimeter, tapi ketika aku berusaha

menangkapnya, ikan itu berhasil lepas dan

kembali nyebur ke air. Hal 76

jj) Di Imperial Hotel

(1) Kenyataannya dua tahun lalu waktu aku

membantu seseorang dalam urusan kirim-

mengirim barang ke Imperial Hotel, para

anggota staf hotel menyangka aku ada di

sana untuk memperbaiki kunci. Hal 47

kk) Di Kamakura

(1) Bahkan pernah ketika aku pergi ke

Kamakura untuk melihat patung Budha besar,

mengenakan selimut untuk menutupi kepala,

para penarik rikshaw di daerah tersebut

menyangka diriku kepala kuli. Hal 47

ll) Di Pantai

(1) Lalu bersama-sama kami pergi ke pantai.

Hal 78

mm) Di Laut

(1) Perairan begitu tenang sehingga kau bisa

lupa sedang berada di laut. Hal 79

nn) Di Samping Kantor Kepala Sekolah

(1) Pertemuan itu dilaksanakan di ruang yang

memanjang dan sempit, di samping kantor

Kepala Sekolah. Biasanya ruangan ini

dipakai sebagai ruang makan. Hal 103

oo)Di Kuil Yogenji, Kobinata

(1) Wajahnya mengingatkanku akan wajah yang

terlukis dalam lukisan gulung kuil Yogenji

di Kobinata saat pemakaman ayahku. Sang

Pendeta memberitahuku itu lukisan Idaten,

dewa penjaga Budha yang berkekuatan besar.

Hal 103

pp)Di Kajiyacho

(1) Aku sedang berjalan di daerah tenang yng

tampak nyaman ditinggali, ketika aku

mendapati tempat bernama Kajiyacho. Hal

118.

qq) Di Rumah Hagino

(1) Sejak malam itu, aku menjadi penghuni

rumah Hagino. Hal 119

rr)Di Sisi Jauh Tepi Sungai Nozeri.

(1) Akhirnya aku menyebrangi jembatan batu

dan mendapati diriku telah berada di sisi

jauh tepi sungai Nozeri. Hal 138.

ss)Di Rumah Kemeja Merah

(1) Kemeja Merah bujangan namun karena dia

Kepala Guru, sejak lama dia telah pindah

dari tempat penginapan dan kini tinggal di

rumah bagus dengan serambi bertiang yang

mengagumkan. Hal 142.

tt) Di Kashintei.

(1) Pesta perpisahan diadakan ditempat yang

bernama Kashintei. Hal 161

uu) Di Kantor Polisi

(1) Kami memberi mereka nama kami dan

menceritakan seluruh kejadian, tapi mereka

bilang kami tetap harus pergi ke Kantor

Polisi. Hal 193.

vv) Di Penginapan Minatoya

(1) Hotta akhirnya menyerahkan surat

pengunduran diri, mengucapkan salam

perpisahan kepada guru-guru lain, kemudian

pergi ke Minatoya, penginapan di dekat

pantai. Hal 205

ww)Di Penginapan Masuya

(1) Namun tanpa sepengetahuan orang, dia

berbalik ke Masuya di kota pemandian air

panas dan pergi bersembunyi ke kamar yang

menghadap jalan depan di lantai dua,

tempat dia membolongi kertas jendela dan

memulai pengintaian. Hal 206

xx) Di Kadoya

(1) Sambil tertawa-tawa Si Kemeja Merah dan

Si Badut melewati lampu gas dan masuk ke

Kadoya. Hal 210

yy) Di Bawah Pohon Cedar

(1) Akhirnya Si Kemeja Merah dan Si Badut

terpojok di bawah pohon cedar sambil

gemetar ketakutan. Hal 214

zz)Di Tokyo Tramcar Company

(1) Tak lama setelah itu, seorang teman

membantuku mendapatkan pekerjaan sebagai

asisten mekanik di Tokyo Tramcar Company.

Hal 217

2) Latar Waktu : Tahun 1895 yaitu pada zaman

Meiji.

3) Latar Sosial

Status tokoh dalam novel ini adalah sebagai

seorang guru di Sekolah Menengah Matsuyama.

Kehidupan sosial masyarakat dalam novel ini

kurang nyaman bagi tokoh utama, karena murid yang

iseng, rekan kerja yang kurang bersahabat, orang

tua yang tidak mempedulikan, serta kakak yang

berkpribadian buruk, satu-satunya tokoh yang baik

hati menurut sang tokoh hanyalah Kiyo yakni

pengasuhnya semenjak kecil, yang selalu mengasuh

dengan kasih sayang.

Karena tidak nyaman dengan kondisi sosial

masyarakat di lingkungan hidupnya akhirnya ia

berhenti mengajar di Sekolah Menengah Matsuyama,

yakni setelah satu bulan mengajar. Botchan pun

pergi untuk menemui Kiyo, karena merindukan kasih

sayangnya namun sayang Kiyo akhirnya meninggal

dunia. Cerita pun berakhir di sini, dengan ending

yang sedih karena satu-satunya orang yang

disayangi telah meninggal, dan kehidupan Botchan

menjadi sepi dan dingin.

4)  Latar  Suasana

a)  Tenang

(1) Aku berbaring di tempat

tidur sambil berfikir. Hal 23.

(2) Selama tiga tahun terakhir

ini aku telah mengurung diri dalam kamar

empat kali empat meter, tanpa perlu sekali

pun mendengar omelan orang lain. Hidup

juga berhasil kulalui tanpa pertengkaran

apapun. Selama itu merupakan periode yang

lumayan tenang dalam hidupku, tapi kini

aku harus meninggalkan kamar ini. Hal 24

(3) Perasaanku lebih tenang

ketika aku masuk ke futon untuk kali

ketiga. Hal 68

(4) Sungguh menenangkan berada

di tengah perairan yang luas, ditiup

semilir angin laut. Hal 79.

(5) Aku sedang berjalan di

daerah tenang yng tampak nyaman

ditinggali, ketika aku mendapati tempat

bernama Kajiyacho. Hal 118.

(6) Kalau memang itu

pemandangan dua orang pemuda dari

pemandian, anehnya mereka tidak bernyanyi.

Mereka luar biasa tenang. Hal 138

b) Kesepian

(1) Selama 3 tahun ini aku

telah mengurung diri dalam kamar 4 X 4

meter. Hal 24.

c) Malu

(1) Terkadang dia membuatku

malu dengan menceritakan aku ngompol saat

aku masih kanak-kanak. Hal 25.

(2) Kiyo berkata aku akan

segera lulus kemudian membeli rumah besar

di area Kojimachi, dari sana aku akan

pulang-pergi bekerja di Kantor

Pemerintahan yang menurutnya akan

kumasuki. Karena Kiyo sudah memutuskan

sendiri dan mengumumkan semua bayangan

itu, aku mendapati diri dalam posisi sulit

dan tersipu. Hal 25.

(3) Alhasil aku menjadi bahan

tertawaan rumah kami selama tiga hari dan

merasa malu sekali. Hal 70

(4) Aku merasa sangat malu dan

menyesal pernah membuka mulut. Hal 78.

(5) Aku merasa malu ketika

semua orang, dari Tanuki yang duduk di

depan hingga belakang, menoleh untuk

memandangiku, namun aku tetap memasang

telinga untuk mendengarkan kata-kata

Hotta. Hal 164

d) Bersemangat

(1) Aku pergi ke sekolah

keesokan harinya dan sekali lagi berjalan

penuh semangat menuju kelas pada jam

pelajaran pertama. Hal 54.

(2) Namun suatu hari ketika

datang dari lantai tiga dengan penuh

semangat, bertanya-tanya apakah hari itu

aku bakal bisa berenang? Hal 56.

(3) Mereka tidak hanya

mengentak-entak, tapi juga meneriakkan

seruan-seruan perang dengan penuh

semangat. Hal 69.

(4) Aku mulai bertanya penuh

semangat pada kakakku yang tidur di

sebelah. Hal 70

(5) Si Kemeja Merah tampak

sangat bersemangat mengajariku memancing.

Hal 77.

(6) “Pemandangan yang langka

didapatkan,” kata Yoshikawa sepakat,

seperti biasa bersemangat untuk

menyenangkan hati si Kemeja Merah. Hal 92

(7) Aku begitu bersemangat

melihat ini sehingga tanpa kusadari aku

sudah bertepuk tangan. Hal 164.

(8) Tapi saat melihat wajahnya

sekarang, tiba-tiba aku merasa sangat

bersemangat. Hal 208

e) Haru

(1) “Jaga dirimu baik-baik”

kata Kiyo dengan suara pelan. Hal 27.

f) Sedih

(1) Kiyo sangat sedih melihat

rumah yang ditinggalinya selama sepuluh

tahun berpindah tangan ke orang asing,

tapi karena rumah itu bukan miliknya,

tidak ada yang bisa dilakukan. Hal 21

(2) Mata Kiyo dibanjiri air

mata, saat aku akan pergi ke Shikoku. Hal

27.

g) Menyedihkan

(1) Menyedihkan bila mengingat

aku meninggalkan Tokyo demi mengajar

gerombolan ini. Hal 54.

(2) Pemikiran seluruh sekolah

bersatu untuk menentangku sungguh

menyedihkan. Hal 56.

(3) Sungguh gerombolan yang

menyedihkan. Hal 66

(4) Dasar bocah-bocah manja!

Hanya kehilangan tidur satu malam dan

kondisi mereka tampak begitu menyedihkan.

Hal 73

(5) Aku bertanya-tanya sejauh

mana sifat kewanitaannya bakal bicara dan

berpikir menyedihkan sekali bila semua

Sarjana Sastra seperti dia. Hal 98

h) Bimbang

(1) Aku muak dengan suasana ini, aku langsung

tidur tapi tidak bisa nyenyak.Hal  30.

i) Kecewa

(1) Saat aku menjawab bahwa membeli rumah

bukanlah urusan yang semudah itu dan bahwa

aku tidak akan bisa melakukannya dalam

jangka waktu dekat, dan bahwa aku akan

pergi ke pedesaan, dia tampak kecewa dan

merapikan ke belakang rambut berubannya

yang berantakan di kedua sisi kepalanya.

Hal 26.

(2) Aku benci kebohongan, jadi aku memutuskan

tetap tenang. Hal 34.

(3) Bukan Kemeja Merah. Aku mendesah kecewa.

Hal 209

j)  Kantuk

(1) Setelah menulis surat, aku merasa nyaman

dan ngantuk. Hal 40.

k) Bingung

(1) Bisa dibilang aku lebih punya keberanian

daripada kebijakan. Aku selalu bingung

pada saat-saat seperti itu. Hal 72.

(2) Anak yang satu lagi tampak bingung, jadi

aku memanfaatkan situasi dan melompat ke

arahnya, menangkap bahunya lalu

mengguncang-guncang tubuhnya. Hal 73

l) Tergesa-gesa

(1) Meskipun bergerak tergesa-gesa, dia

menangkap sekilas wajahku saat kami

berpapasan.Hal 61.

m)  Marah

(1) Aku marah besar sehingga menampar wajah

kakakku. Hal 15.

(2) Aku marah sehingga sebagai ucapan

perpisahan, aku berkata, “Benar, saya

sedang tugas malam. Itulah sebabnya saya

akan kembali ke sekolah sekarang untuk

menginap di sana.” Hal 61.

(3) Tapi kini setelah mereka muncul dan

tampak dengan jelas mereka hanyalah

belalang, emosiku berubah menjadi rasa

marah. Hal 63.

(4) “Apa maksudmu,apa yang terjadi?”

bentakku. Hal 64.

(5) Aku tidak terlalu memahami apa yang

dikatakan si Badut, tapi entah kenapa aku

merasa marah sehingga aku berdiri tanpa

benar-benar merencanakan apa yang akan

kuucapkan. Hal 110

(6) Aku begitu marah sehingga bertanya

“Apakah bertemu Madonna juga rekreasi

spiritual?” Hal 116

(7) Seluruh kemarahan yang aku tahan sejak

tadi meledak dan aku berkata, “Kalau ini

perundingan Cina-Jepang, maka kau pihak

musuh.” Bersamaan dengan ini, aku pun

mengetok keras kepalanya dengan tinjuku.

Hal 174

(8) Aku begitu marah sehingga aku

mengatakan padanya aku akan pergi dan

langsung menemui si editor koran itu

sendiri. Hal 202

(9) Sekitar tiga hari kemudian, di sore

hari, Hotta datang menemuiku dalam keadaan

marah. Hal 202

(10) Tapi aku begitu marah sehingga

memukulnya dengan telur-telur itu sebelum

menyadari tindakanku sendiri. Hal 213

n)  Bersitegang

(1) “Berhentilah bertingkah seperti binatang

liar, kalian semua akan merasakan

hukumanku.” Hal 69.

(2) Hotta bertabiat cepat marah seperti aku

dan kami pun mulai saling berteriak. Hal

101

o) Kesal

(1) Aku sangat kesal sehingga aku melemparkan

biji catur yang kupegang ke kepala

kakakku. Biji catur itu mengenainya

diantara kedua mata, merobek kulit

dahinya, darah pun menetes keluar. Hal 15

(2) Botchan ingat betapa guncangan keras saat

ia menaiki rikshaw kemarin sempat

membuatnya kesal. Hal 32.

(3) Kesal karena saat memancing ikan Koi

yang besarnya enam belas sentimeter,

ikannya lepas dan nyebur ke air. Hal 76.

p) Menyesal

(1) “Kalau ditinjau ulang, ini pun kesalahan

yang disebabkan kecerobohan alamiku.”

Ketika merenungi masa lalunya Botchan

merasa menyesal, menurutnya seharusnya ia

tidak usah melanjutkan studi. Karena

melanjutkan studi yang kenyataanya ia

tidak ahli dalam bidang studi apapun

akhirnya saat ia memilih studi matematika

ia selalu mendapat nilai di urutan paling

bawah. Namun walaupun nilainya selalu

jelek ia tetap lulus. Sebenarnya ia merasa

curiga kenapa ia lulus padahal nilainya

selalu jelek, tapi karena tidak memiliki

alasan untuk protes, akhirnya ia menerima

kelulusannya.

Dan walaupun mendapatkan nilai jelek

ia tetap mendapat sebuah pekerjaan sebagai

guru. Saat mendapat pekerjaan sebagai guru

ia menerimanya karena mengira dirinya

beruntung, setelah mendapatkan uang untuk

biaya melanjutkan studi, kini mendapatkan

pekerjaan.

Tapi setelah sampai di Shikoku

perasaan beruntungnya berubah. Semua hal

terlihat begitu buruk, sampai akhirnya ia

merasa muak sendiri. Setelah bekerja satu

bulan lebih, karena tidak betah ia kembali

ke Tokyo untuk bertemu dengan Kiyo dan

memutuskan untuk tinggal bersamanya. Tapi

Kiyo meninggal setelah beberapa bulan

mereka tinggal bersama.

Saat Kiyo meninggal, Botchan

merasa menyesal, andai dulu ia tidak usah

melanjutkan studi, andai ia membuka usaha

saja walaupun usaha kecil-kecilan pun

tidak apa-apa. Lalu tinggal bersama Kiyo,

walaupun menyewa rumah yang biasa saja pun

tidak apa-apa setidaknya ia bisa bersama

Kiyo lebih lama yakni Tiga tahun lebih.

Sayangnya ia tidak bisa kembali ke masa

lalu dan mengulang untuk memilih pilihan

hidup yang lain. Takdir seseorang memang

ditentukan oleh karakter yang dimiliki

orang tersebut. Hal 120

(3) “Menyesal juga tidak membawa handuk

merahku ke asrama.” Kata Botchan dalam

hati. Hal 60.

(4) Aku menyesal sudah menerima es serut rasa

buah dari Hotta. Hal 95

(5) Satu-satunya hal yang kusesali adalah

ketika aku mengungkit masalah Madonna,

wajah labu pucat Koga menjadi kian pucat

lebih dari kapanpun. Hal 116

q) Merasa Curiga

(1) Kadang kala otak anak kecilku akan curiga

dan bertanya-tanya kenapa Kiyo sebaik itu.

Hal 17.

(2) Sebenarnya ia merasa curiga kenapa ia

lulus padahal nilainya selalu jelek, tapi

karena tidak memiliki alasan untuk protes,

akhirnya ia menerima kelulusannya. Hal 24.

r) Merasa Repot

(1) Aku tidak punya bayangan kota seperti apa

tempat itu, atau orang-orang seperti apa

yang tinggal di sana, tapi itu bukan

masalah. Aku tetap pergi. Meski harus

kuakui, semua urusan ini agak merepotkan.

Hal 25.

(2) Karena merasa ini terlalu merepotkan, aku

mengayunkan tali pancing dan melemparkan

ikan itu ke dalam sumur ikan kecil di

tengah perahu. Hal 83

s) Kasihan

(1) Kiyo terus menerus mengatakan betapa

malangnya diriku, betapa tidak

beruntungnya, jadi aku merasa patut

dikasihani. Hal 20.

(2) Aku merasa kasihan kepada Kiyo sehingga

untuk menghibur, aku berkata, “Aku harus

pergi sekarang, tapi aku akan segera

kembali. Aku pasti ke sini saat liburan

musim panas tahun depan.” “Aku akan

membelikanmu hadiah. Apa yang kau

inginkan?” Hal 26

(3) Jadi, Kemeja Merah dan si Badut sedang

sekuat tenaga menangkapi pupuk. Aku jadi

merasa sangat kasihan pada mereka. Hal 84

(4)Setiap kali aku menyapanya, dia akan

membalas dalam bisikan sambil menundukkan

kepala penuh hormat. Ini membuatku kasihan

padanya. Hal 104

(5) Setiap aku bertanya apakah ada surat

untukku. Nenek Hagino menatapku penuh rasa

kasihan dan menjawab tidak ada. Hal 121

(6) Hotta san yang adalah teman Koga san

merasa kasihan padanya, maka dia pun pergi

menemui Kepala Guru dan menegur agar tidak

merebut tunangan orang. Hal 124.

(7) Setelah mendengar kisah nenek Hagino,

aku kian merasa kasihan kepada Koga. Hal

131.

(8) Tapi wajah Tanuki yang berganti-ganti

dari pucat menjadi merah membuatku merasa

kasihan, jadi aku berkata akan kembali

memikirkannya dan pergi dari sana. Hal

205.

(9) Aku merasa kasihan pada Hotta. Kalau

Kemeja Merah tidak datang, Hotta akan

kehilangan satu kesempatan dalam hidupnya

untuk menegakkan keadilan. Hal 207

t) Putus Asa

(1) Aku belum pernah mendengar tentang

kudapan ini, lagipula Echigo berada di

arah yang berlawanan. Ketika aku berkata

sepertinya mereka punya kudapan yang

seperti itu di kota tujuanku, dia

bertanya, “Oh? Memangnya kau akan ke

mana?”

“Ke arah Barat,” jawabku.

“Sisi Barat Hakone atau setelahnya?”

tanyanya lagi. Hakone! Tempat itu kan

tidak seberapa jauh dibanding Kamakura.

Wanita seperti ini memang hanya bisa

membuatmu putus asa. Hal 27.

u) Lelah

(1) Aku berpikir untuk mengunjungi sang

kepala sekolah, tapi karena merasa lelah,

aku naik kembali ke Rikshaw dan meminta si

Kuli membawaku ke hotel. Hal 30.

(2) Tak lama kemudian kelelahan akibat segala

peristiwa akhirnya datang dan tanpa bisa

kucegah, membuatku terlelap. Hal 73.

(3) Aku merasa lelah dan jatuh terlelap. Hal

96

(4) Baik aku maupun Hotta sama-sama kelelahan

dan tertidur nyenyak. Hal 216

v) Geli / Lucu

(1) Aku agak geli mendengar nama itu, karena

namanya sama dengan toko gadai tempat

tinggal Kantaro. Hal 30

(2) Ada perbedaan besar antara memanggil

seseorang “Sensei” dengan ketika dirimu

sendiri dipanggil “Sensei” Oleh orang

lain. Rasanya seperti ada sensasi

menggelitik menuruni tulang rusukku. Hal

43.

w) Muak

(1) Saat menginap di losmen yang berkamar

panas sementara ada kamar lain yang lebih

sejuk, Botchan merasa muak karena pelayan

losmen mengatakan kamar lain sudah terisi,

Botchan tahu pelayan itu bohong. Dan yang

lebih memuakkan saat mereka bertanya dari

mana asal Botchan dan saat Botchan

menjawab dari Tokyo, setelah pelayan itu

keluar ia mendengar suara tawa, dan ia

merasa sedang ditertawakan. Hal 30

(2) Sebenarnya malam sebelumnya aku memang

memintanya membelikanku teh, tapi teh yang

dia beli begitu memuakkan. Hal 48.

(3) Meski terkejut ketika mendapati betapa

memuakkannya makanan itu. Hal 60.

(4) Menurutku tidak ada masyarakat yang rela

mentoleransi orang-orang memuakkan yang

berpikir bisa bersenang-senang tanpa

membayar akibatnya. Hal 67.

(5) Berbicara dengan orang-orang berotak

busuk membuatku muak sehingga aku

membiarkan keenam anak itu pergi. Hal 67.

(6) Aku mengikuti semua orang dan mencoba

sup yang disajikan, rasanya memuakkan. Hal

166

x) Tidak Bisa Tidur

(1) Aku langsung pergi tidur, tapi tidak bisa

terlelap. Bukan hanya karena udara

panasnya, tapi juga kebisingannya. Hal 30.

y) Terkesima

(1) Botchan merasa terkesima karena

memimpikan Kiyo yang sedang memakan

kudapan manis Echigo yang dibungkus daun

bambu. Kiyo bilang daun itu obat dan ia

sangat menikmati kue itu. Hal 31.

z) Sebal

(1) Botchan merasa sebal karena pelayan di

penginapan Yamashiroya membawa baki dan

menyajikan makanan, dia terus menerus

tersenyum menyebalkan. Seolah Botchan

orang aneh di sirkus. Hal 32.

(2) Mendengar seseorang langsung memulai

percakapan dengan,” Maaf soal tadi pagi.

Jadi jadwalmu adalah..” ketika kau baru

saja membuka mata terasa menyebalkan. Hal

40.

(3) Di papan tulis, sudah tertulis DUA PIRING

DANGO-7 SEN. Memang benar, aku memang

makan dua piring dango dan membayar tujuh

sen. Anak-anak ini sungguh menyebalkan!

Hal 55.

(4) Aku mendapati bagian kalimat “mungkin

saya keliru” tadi menyebalkan, karena baru

sekitar dua jam lalu dia berkata. Hal 61.

(5) “Lebih baik kita tidak bicara soal

Madonna,” jawab Kemeja Merah, lalu dia

melepaskan tawa feminimnya yang

menyebalkan. Hal 80

(6) “Aneh juga betapa setiap kata yang

keluarkan dari mulut Yoshikawa membuatku

sebal.” Kata Botchan dalam hati. Hal 88

(7) Namun, begitu aku mengetahui Kemeja Merah

sama sekali bukan orang jujur, perasaan

sebal datang dan aku jadi lebih

membencinya. Hal 154.

aa) Menakjubkan

(1) Karena memberikan uang tip sebesar 5 yen,

Botchan mendapat kamar berukuran empat

setengah kali lima setengah meter. Saat ia

berbaring terentang ia merasa takjub. Hal

39.

(2) Yang membuatku takjub, dia mengenakan

kemeja flannel merah di udara panas

begini. Hal 36.

(3) Tidak ada apa pun di daerah itu yang bisa

menandingi Tokyo, tapi tempat pemandian

air panasnya menakjubkan. Hal 55.

(4) Kemeja merah menyatakan betapa

menakjubkan pemandangan di sekitar kami

dan Yoshikawa si Badut menyuarakan

persetujuannya. Hal 79

(5) Jika aku menceritakan semua kejadian ini,

aku yakin dia akan takjub. Hal 137

(6) Mungkin Kemeja Merah takjub karena tiba-

tiba harus dihadapkan dengan satu-satunya

orang di dunia yang menolak kenaikan gaji.

Hal 152

(7)“Apakah kau benar-benar akan mengambil

uang itu kembali?” Tanya Hotta tampak

takjub. Hal 156.

(8) Yang membuatku takjub adalah setiap orang

dari tiga puluh pria itu membawa pedang

yang terhunus. Hal 188.

bb) Terganggu

(1) Aku terbangun akibat suara keras. Hal 40.

(2) Sekali-sekali salah satu dari mereka akan

berteriak memanggil, “Sensei!” dengan

suara keras berlebihan. Keadaan ini mulai

menggangguku. Hal 43.

(3) Harus kuakui, aku merasa sangat terganggu

pada malam-malam ketika si kakek

melantunkan lirik sandiwara Jepang dengan

suara khususnya, tapi itu lebih baik

daripada terus-menerus didatangi Ikagin

yang menawari seduhan teh, serta memaksa

untuk membeli barang antiknya, namun aku

menolak untuk membelinya. Hal 121

cc) Sepi

(1) Rumah itu terletak di lokasi yang sangat

sepi. Hal 41.

(2) Suasana sepi. Bahkan tidak terdengar

selembar bisikan, apalagi langkah kaki.

Hal 69

(3) Tapi ketika aku sampai di tempat asal

suara, tidak ada lagi suara entakan kaki

ataupun suara di sana. Suasana sesepi

kuburan. Hal 71

dd) Merasa Aneh

(1) Kali pertama masuk ke kelas dan naik ke

podium, aku merasa aneh. Hal 43.

(2) Waktu pertama kali datang ke sekolah, aku

bertanya pada si penjaga sekolah ke mana

guru yang sedang tugas malam, lalu dia

memberitahuku orang itu pergi ke luar.

Saat itu aku merasa tindakan tersebut

aneh, namun setelah merasakan sendiri, aku

mulai memahami alasannya dan memutuskan

aku juga bisa keluar. Hal 60.

(4) Tapi anehnya, kericuhan yang tadi

kudengar kini tiada lagi. Suasana sepi.

Bahkan tidak terdengar selembar bisikan,

apalagi langkah kaki. Aneh. Hal 69

ee) Berisik

(1) Para murid ribut sekali. Hal 43.

(2) Aku terbangun akibat keributan didekatku.

Hal 73

ff) Merasa Kosong

(1) Mendengar seseorang memanggilku “Sensei”

dengan suara keras, membuatku mengalami

perasaan kosong yang sama saat mendengar

meriam tengah hari yang ditembakkan dari

lahan Istana dengan perut kosong. Hal 43

gg) Penuh Emosi

(1) Aku kembali ke ruang guru dengan penuh

emosi. Anak-anak sialan! Memangnya ada

guru yang bisa menjawab soal-soal tadi? Di

mana salahnya mengaku bila kau memang

tidak mampu? Kalau memang sejago itu dalam

matematika, aku tidak akan datang ke sini,

ke tempat terpencil ini, demi empat puluh

yen sebulan. Hal 45.

hh) Konyol

(1) Kemeja merah yang dikenakan kepala guru

terasa konyol. Hal 36.

ii) Frustasi

(1) Tinggal di kota kecil benar-benar

membuatku frustasi ! Hal 55.

jj) Bosan

(1) Para guru dan murid yang tidak tinggal

di asrama sudah pulang, meninggalkanku

sendiri yang kebosanan karena tidak punya

pekerjaan. Hal 59.

(2) Namun setelah dua jam berbincang-bincang

dengan si Penjaga Sekolah, aku merasa

bosan dan memutuskan pergi tidur meskipun

aku tahu aku tidak akan langsung terlelap.

Hal 62

(3) Kami makan umbi malam sebelumnya dan

makan sebelum itu, malam ini pun menunya

sama. Hal 129

(4) Aku agak bosan dengan keadaan ini jadi

aku pergi ke toilet. Hal 167.

(5) Meskipun sedang melakukan tugas mulia

dari langit, aku tetap merasa bosan. Hal

206

(6) Hotta mengakhiri penolakannya dengan

berkata satu-satunya jalan yang terbuka

untuk kami adalah menunggu hingga mereka

keluar, meski menunggu memang sangat

membosankan. Hal 212

kk) Terkejut

(1) Meski terkejut ketika mendapati betapa

memuakkannya makanan itu. Hal 60.

(2) Ini membuatku terkejut sehingga akupun

melompat dari atas futon dan menyibak

selimut. Hal 63.

(3) Anak itu terlalu terkejut sehingga hanya

mampu mengerdip-ngerdipkan mata. Hal 73.

(4) Si Kemeja Merah dan si Badut tampak

terkejut. Hal 83.

(5) Yoshikawa terkejut dan mengalihkan mata

ke tempat lain seolah silau akibat cahaya

kelewat terang dari mataku. Hal 87.

(6) Ketika berdiri di sana, menyapukan mata

ke seluruh ruangan, aku melihat semua

orang tampak terkejut, kecuali Yoshikawa.

Hal 101

(7) Yang membuatku terkejut adalah, di hari

setelah kepergianku dari Ikagin, Yoshikawa

pindah ke sana tinggal di kamar lamaku

seolah hal tersebut merupakan hal paling

biasa di dunia. Hal 119.

(8) Botchan terkejut karena ternyata Madonna

adalah wanita cantik, sampai-sampai semua

guru di sekolah memanggilnya Madonna. Hal

123.

(9) Kelugasan ucapanku telah membuatnya

terkejut. Hal 152

(10) Ini membuatku terkejut karena meskipun

si penabuh tambur tampak paling santai,

menyanyikan lagu “Iyaa---, Haa—“ dengan

perlahan, sebenarnya justru dia yang

memikul beban tanggung jawab besar dan

harus melakukan tugas penting. Hal 190.

(11) Setelah membaca surat kabar, yang

menuliskan hal yang bukan sebenarnya,

membuat Botchan terkejut. Hal 194

(12) “Kenapa Anda tidak meminta pengunduran

diri saya?” Tanya Botchan.

“Apa?” Si Tanuki tampak terkejut. Hal 204

(13) Ketika aku tiba, Hotta akan

mengejutkanku dengan informasi detail

tentang berapa banyak tamu yang datang

hari itu, berapa di antara mereka yang

menginap, dan berapa banyak di antara

mereka yang adalah perempuan. Hal 207.

(14) Hotta turun ke bawah dan memberitahu

staf penginapan bahwa mereka mungkin akan

keluar malam-malam, jadi harap membiarkan

pintu depan tidak terkunci. Bila mengingat

malam itu, aku terkejut mereka setuju.

Kebanyakan orang akan berpikir kau

perampok bila mengusulkan hal seperti itu

kepada mereka. Hal 211.

(15) Nenek pemilik rumah begitu terkejut dan

bertanya apa yang akan kukatakan. Hal 215

ll) Kagum

(1) Aku kagum anak-anak ini masih mampu

bertingkah liar dengan asupan makanan

sedemikian. Hal 60.

(2) Setelah mengetahui betapa gentlemannya

Koga, Botchan merasa kagum padanya. Hal

104

(3) Semua orang memandangi rangkaian-

rangkaian bunga itu penuh kekaguman. Hal

187.

(4) Hotta dan aku begitu terkagum-kagum dan

tenggelam dalam pertunjukkan tari pedang.

Hal 190.

mm) Puas

(1) Setelah mengajar, Hotta bertanya

bagaimana sejauh ini. Aku menjawab dengan

sekenanya dan jawaban itu sepertinya cukup

membuatnya puas. Hal 44.

(2) Di pemandian air panas , aku menggunakan

waktu sepuasnya keluar-masuk bak beberapa

kali. Hal 60

nn) Nyaman

(1) Aku sedang berbaring, merentangkan kaki

lebar-lebar dan berpikir betapa nyaman

rasanya. Hal 63.

(2) Aku tidak bisa setuju apakah

pemandangannya memang menakjubkan atau

tidak, yang jelas aku merasa nyaman

memandang. Hal 79.

oo) Terasa Kasar

(1) Apa pun itu keduanya terasa kasar, yang

berarti mereka bukan kutu. Hal 63

pp) Gatal

(1) Aku melompat dan menendang dua atau tiga

kali di bawah selimut, namun benda-benda

yang membuatku terasa gatal malah

bertambah. Hal 63.

(2) Wajahku memang terasa agak berat dan

gatal di mana-mana. Hal 75.

qq) Ngeri

(1) Waktu merasakan gerakan di tubuhku tanpa

tahu wujud mereka sebenarnya, aku merasa

ngeri. Hal 63.

(2) Meski hanya penonton, aku berkeringat

dingin melihatnya. Hal 189

(3) Ujung atas hidung Hotta terhantam dan

mengeluarkan banyak darah. Hidungnya

sungguh tampak mengerikan, bengkak dan

merah menyala. Hal 193

rr)Takut

(1) Lalu aku melemparkan sapu ke beranda yang

kemudian dipungut si Penjaga Sekolah

dengan takut-takut sebelum dia menyelinap

kabur. Hal 64.

(2) Yoshikawa ketakutan saat melihat Botchan

melotot ke arahnya. Hal 87.

(3) Si Badut pun mengubah sikap menjadi

serius dan sungkan. Dia tampak agak takut.

Hal 102

(4) Si Badut benar-benar ketakutan dan sambil

berseru ngeri, terjatuh duduk. Hal 213

(5) Akhirnya Si Kemeja Merah dan Si Badut

terpojok di bawah pohon cedar sambil

gemetar ketakutan. Hal 214

ss)Khawatir

(1) Hentakannya begitu hebat sampai-sampai

aku khawatir langit-langit akan runtuh

menimpaku karenanya. Hal 69.

tt) Cemas

(1) Karena cemas telah terjadi sesuatu, aku

melompat keluar dari futon dan berlari ke

atas. Hal 69.

(2) Dia tampak sangat cemas dan berkata

betapa memalukannya artikel yang

diterbitkan koran itu, mudah-mudahan tidak

ada masalah yang muncul akibatnya. Hal

198.

(3) Setelah empat atau lima malam seperti

ini, Nenek Hagino mulai mencemaskan

keadaanku. Hal 206

uu) Kesakitan

(1) Aku berteriak kesakitan dan teriakan itu

masih berdenging di telingaku ketika aku

jatuh terhempas dan mendarat dengan wajah

terlebih dahulu. Hal 71

vv) Lapar

(1) Aku mulai lapar. Hal 79

ww)Terusik

(1) Botchan merasa terusik karena si Badut

mengatakan hal-hal yang tidak dimengerti

orang lain, terlebih lagi, menyatakan

ketidakpedulian, apakah orang lain dengar

atau tidak karena mereka tidak mengerti,

sungguh sikap tidak tahu adat. Hal 80

xx) Antusias

(1) Si Kemeja Merah terkadang gemar membawa

ke sekolah majalah merah menyala yang

bernama Sastra Kekaisaran dan

membacakannya penuh antusias. Hal 84.

yy) Benci

(1) Aku benci si Badut. Hal 93

zz)Gelisah

(1) Si Kemeja Merah tampak sangat gelisah.

Hal 98.

(2) Di malam keenam, aku mulai merasa

gelisah. Hal 206.

aaa)Gugup

(1) Suaranya yang kewanitaan membuatnya

terdengar sangat gugup. Hal 97

(2) Wajahnya tampak berkeringat karena gugup.

Hal 98

bbb)Segan

(1) Guru olahraga selalu mengambil tempat

duduk di bagian kaki meja atas alasan rasa

segan. Hal 103

ccc)Bahagia

(1) Aku sangat bahagia karena Hotta telah

mengatakan semua yang ingin kukatakan. Hal

113.

(2) Aku pun begitu bahagia sehingga berkata,

“Aku takkan pernah pergi ke pedasaan lagi.

Aku akan membeli rumah di Tokyo dan hidup

bersamamu.” Hal 217

(3) Kiyo tampak sangat bahagia meski rumah

yang kami tinggali tidak berserambi

indah.Hal 217.

ddd) Merasa Sentimental

(1) Bukannya aku tidak menyukai wanita muda,

namun setiap kali melihat wanita tua, aku

selalu merasa sentimental. Hal 118

eee) Sayang

(1) Hal ini mungkin disebabkan rasa sayangku

terhadap Kiyo. Hal 118

fff) Jijik

(1) Seolah dunia hanya dipenuhi penipu, semua

orang menunggu kesempatan untuk mengambil

keuntungan dari yang lain. Aku jijik

membayangkannya. Hal 119

ggg) Tidak Bersemangat

(1) Koga tampak tidak bersemangat untuk apa

pun. Apa pun yang aku katakan, dia hanya

akan menjawab dengan ya atau tidak. Hal

135

(2) Namun setelah seminggu berlalu tanpa

hasil, aku mulai kehilangan semangat. Hal

206

hhh)Terkesan

(1) Aku begitu terkesan sehingga berkata

dengan lengan seperti itu kurasa dia bisa

meratakan lima atau enam Kemeja Merah

sekaligus. Hal 160.

(2) Sesuai bayangan untuk ruang sebesar itu,

lebar tokonomanya sungguh mengesankan. Hal

162

(3) Guru Biologi begitu terkesan dan

berpendapat musik itu menarik karena

menggunakan bahasa Inggris di dalam

syairnya. Hal 173

iii) Tidak Nyaman

(1) Pakaian Barat yang kukenakan membuatku

terlalu tidak nyaman untuk duduk berlutut

formal sehingga aku pun memilih duduk

bersila. Hal 163.

(2) Di acara perpisahan, Koga tampak tidak

nyaman, karena masih mengenakan hakamanya.

Hal 173

jjj)Bangga

(1) “Nah, bagaimana menurutmu pidatoku tadi?

Bagus bukan?” Hotta tampak bangga. Hal

167.

kkk)Bising

(1) Ruangan itu luar biasa bising dan tak

beraturan. Hal 170

lll) Ramai

(1) Tidak kusangka begitu banyak orang

tinggal di kota kecil seperti ini. Ramai

sekali. Hal 187.

mmm)Tidak Tenang

(1) Aku lebih terganggu karena tidak bisa

merasa tenang. Hal 209

nnn)Merana

(1) Kami tidak boleh tertidur, kemudian

karena harus terus mengintai dari balik

shoji ditambah berbagai ketegangan lain,

aku sungguh merasa merana. Hal 211.

ooo)Panik

(1) Si Badut tampak panik dan berusaha

melarikan diri, jadi aku menyelinap ke

depannya dan menghalangi jalan. Hal 212

ppp)Gembira

(1) “Oh Botchan! Aku sungguh gembira kau

pulang begini cepat,” kata Kiyo. Hal 217

qqq)Heran

(1) Yang mengherankan adalah mengapa mereka

juga mengajak orang yang tidak suka

bergaul seperti diriku. Hal 78

e.  Alur                                  :

Maju

f.  Sudut Pandang              : Orang pertama

pelaku utama

g.  Amanat                         

Jangan takut untuk melakukan suatu perubahan,

karena setiap orang akan mengalami suatu

perubahan . Dalam novel botchan tokoh utama

mengalami perubahan sikap ke arah yang lebih baik ,

yaitu yang dahulunya nakal, usil, ceroboh,bandel,

dan sebagainya sekarang berubah menjadi anak yang

lebih dewasa dan mengerti apa arti sebuah

kehidupan.

h. Gaya Bahasa                     : Modern Klasik

2. Unsur

a. Aspek Biografi Pengarang

Gambar 1 Natsume Soseki

Natsume Kinnosuke atau lebih dikenal dengan

Natsume Soseki. Lahir pada tahun 1867 di Edo

sebagai anak ke-5 dari keluarga seorang Kepala Desa

yang cukup berpengaruh pada masa reformasi Meiji.

Sōseki lahir sebagai putra kelima (anak bungsu)

keluarga Natsume yang terpandang di kawasan

Ushigome, Babashita Yokomachi, kota Edo (sekarang

Kikui-chō, distrik Shinjuku, Tokyo).

Ayahnya yang bernama Natsume Kohei Naokatsu

menamainya Kinnosuke. Ibunya merasa malu karena

masih hamil dan melahirkan Kinnosuke di usia

lanjut. Keluarganya sedang mengalami masa-masa

sulit akibat keadaan yang kacau setelah runtuhnya

Keshogunan Tokugawa.

Sewaktu masih bayi, Kinnosuke diberikan kepada

pemilik toko barang bekas untuk dijadikan anak

angkat. Hingga tengah malam, bayi Kinnosuke tidur

di toko, di samping barang dagangan. Iba melihat

nasib adiknya, kakak perempuannya membawa Kinnosuke

pulang ke rumah.

Setelah berusia setahun, Kinnosuke diberikan

kepada teman ayahnya, Masanosuke Shiohara untuk

dijadikan anak angkat. Ayah angkatnya yang baru

ternyata memiliki wanita simpanan hingga keluarga

angkatnya menjadi berantakan. Kinnosuke tertular

cacar di usia 3 tahun yang meninggalkan bekas di

wajah.

Sewaktu berusia 7 tahun, Kinnosuke dilarikan

pulang ke rumah orang tua kandungnya oleh ibu

angkatnya. Di sana, ayah dan ibu kandungnya sempat

dikira kakek dan neneknya. Sewaktu berusia 9 tahun,

Kinnosuke dikembalikan ke rumah orang tuanya

setelah orang tua angkatnya bercerai.

Akibat buruknya hubungan antara ayah kandung

dan ayah angkatnya, status Kinnosuke secara resmi

baru dikembalikan sebagai anak dari ayah kandungnya

pada tahun 1888 yakni saat berumur 21 tahun.

Hubungan antara ayah kandung dan ayah angkatnya

diangkat sebagai tema novel otobiografi Michikusa

(Grass on the Wayside).

Di tengah keadaan keluarga yang sulit,

Kinnosuke sempat pindah ke sekolah dasar yang lebih

baik agar bisa diterima di Sekolah Lanjutan 1

Prefektur Tokyo. Namun baru sampai di kelas 2

sekolah lanjutan, Kinnosuke memutuskan untuk

berhenti. Alasannya di sekolah tidak diajarkan

bahasa Inggris, padahal bahasa Inggris diujikan

dalam tes masuk universitas.

Lulusan sekolah tersebut memang tidak

dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Keinginan mendalami sastra klasik Tionghoa menjadi

alasan lain dirinya berhenti sekolah. Walaupun

sudah berhenti sekolah, Kinnosuke yang takut

dimarahi kakak tertua, tetap berpura-pura berangkat

sekolah sambil tidak lupa membawa bekal makan

siang.

Selanjutnya pada tahun 1881, Kinnosuke

mengikuti sekolah privat sastra klasik Tionghoa

yang bernama Nishogakusha. Di sana didapatnya etika

Konfusianisme dan apresiasi seni Asia Timur yang

dimunculkan dalam karyanya di kemudian hari.

Setelah belajar beberapa bulan, Kinnosuke kembali

berhenti sekolah karena kakak tertuanya, Daisuke

menentang keinginan adiknya belajar sastra.

Setelah jatuh sakit, Daisuke berhenti dari

kuliahnya di Universitas Nankō, dan bekerja sebagai

penerjemah di kantor kepolisian. Setelah sadar

adiknya lebih pintar darinya, Daisuke berubah

pikiran dan mendukung adiknya untuk melanjutkan ke

universitas hingga tamat.

Pada tahun 1889, Kinnosuke bertemu dengan

Masaoka Shiki, teman satu sekolah yang memberinya

pengaruh besar dalam bidang kesusastraan. Di

kalangan teman-teman sekolahnya, Shiki mengedarkan

kumpulan tulisan tangan puisi Tionghoa dan haiku

yang diberinya judul Nanakusa-shū. Di bagian

belakang kumpulan puisi tersebut, Kinnosuke

menuliskan ulasan dalam bentuk komposisi Tionghoa

klasik (kanbun).

Pada waktu itu, nama pena "Sōseki" digunakannya

untuk pertama kali. Ulasan tersebut merupakan awal

persahabatan antara dirinya dan Shiki. Pada bulan

September 1889, Sōseki melakukan perjalanan ke

Semenanjung Bōsō di Bōshū. Catatan perjalanan

dituangkannya dalam komposisi Tionghoa klasik

berjudul Bokusetsuroku, dan Shiki dimintanya untuk

memberikan ulasan. Persahabatan di antara keduanya

terus berlanjut hingga Shiki wafat pada tahun 1902.

Dua tahun kemudian (1883), Kinnosuke mengikuti

kursus bahasa Inggris Seiritsu Gakusha di

Kandasurugadai. Bahasa Inggris merupakan satu mata

pelajaran yang diujikan dalam tes masuk sekolah

tingkat persiapan (daigaku yobimon) yang diadakan

Universitas Kekaisaran Tokyo. Tahun berikutnya

(1884), Kinnosuke lulus tes dan diterima sebagai

siswa tingkat persiapan.

Di antara teman seasrama terdapat Yoshikoto

Nakamura yang di kemudian hari menjadi direktur

utama Perusahaan Kereta Api Manchuria Selatan. Pada

tahun 1886, sekolah yang diikutinya berubah nama

menjadi Sekolah Lanjutan Atas 1 (Dai-ichi Kōtō

Gakkō). Kinnosuke menderita apendisitis sehingga

tidak dapat mengikuti ujian akhir dan tidak naik

kelas.

Setelah itu, pekerjaan sebagai guru di

bimbingan masuk universitas dan sekolah swasta

diterimanya untuk mencari uang. Pengalaman sebagai

guru mendorong dirinya semakin rajin belajar, dan

mendapat nilai terbaik nomor satu di hampir semua

mata pelajaran, terutama bahasa Inggris.

Pada tahun 1890, Sōseki diterima di jurusan

sastra Inggris Universitas Kekaisaran (Teikoku

Daigaku) yang baru saja didirikan. Universitas

tersebut nantinya menjadi Universitas Kekaisaran

Tokyo (Tokyo Teikoku Daigaku). Pada periode Meiji, kaum

intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai

pengetahuan dunia Barat dapat membantu pembangunan

negeri dan sudah menjadi kewajiban bagi mereka.

Sejak kuliah, Sōseki menganut paham pesimisme

sekaligus mengidap gangguan kejiwaan yang waktu itu

populer dengan sebutan lemah syaraf (neurastenia).

Kematian berturut-turut orang yang dekat dengannya

diduga menjadi salah satu penyebab. Kakak

tertuanya, Daisuke meninggal dunia bulan Maret

1887, disusul tiga bulan kemudian oleh Einosuke

kakak nomor dua.

Istri dari kakak nomor tiga yang bernama Toyo

juga meninggal pada tahun 1891. Sōseki memang

sering dikatakan menaruh hati pada Toyo, dan

kematian Toyo membuat hatinya terluka. Perasaan

terhadap Toyo ditumpahkannya menjadi puluhan haiku.

Pada tahun berikutnya (1892), Sōseki menerima

beasiswa, dan dipercayakan dosennya yang bernama

J.M. Dixon untuk menerjemahkan Hōjōki ke dalam

bahasa Inggris. Pada tahun yang sama, Sōseki

mengelak dari wajib militer dengan mendirikan

percabangan keluarga, sekaligus memindahkan alamat

tempat tinggalnya ke Hokkaido.

Setelah itu (Mei 1892), Soseki mulai bekerja

sebagai pengajar di Tokyo Senmon Gakkō (sekarang

Universitas Waseda) untuk membayar biaya kuliah.

Pada waktu itu, Shiki sudah berhenti kuliah.

Sewaktu mengunjungi rumah keluarga Shiki di

Matsuyama, Sōseki bertemu dengan Kyoshi Takahama

yang mendorongnya untuk terus menekuni pekerjaan

sebagai penulis.

Dengan memasuki sastra Barat bukan berarti

Soseki meninggalkan sastra Cina melainkan

memperluas pengetahuan dalam bidang yang

dicintainya, yaitu Sastra. Pada tahun 1893, Soseki

lulus dari Imperial University kemudian menjadi

dosen bahasa Inggris di Sekolah Pendidikan Guru.

Pada 1895 ia pergi ke Shikoku dan menjadi guru

bahasa Inggris di Sekolah Menengah Matsuyama di

Prefecture Aichi, yang kemudian menjadi setting

Botchan. Setelah menetap selama setahun di Matsuyama,

Soseki pindah ke tempat lain di Kumamoto, Kyushu

untuk menjadi professor di Sekolah Menengah Tinggi

ke-5, sekarang menjadi Universitas Kumamoto dan

menetap selama empat tahun hingga tahun 1900. Di

Kumamoto Sōseki menikah dengan Kyōko, putri sulung

Nakane Shigekazu yang menjabat sekretaris dewan

aristokrat (Kizoku-in Shokikan).

Pada tahun 1900, Menteri Pendidikan mengirimnya

ke Inggris selama dua tahun sebagai mahasiswa

peneliti. Pada waktu berada di Inggris, ia

menderita stress berat karena dua hal, pertama ia

merasa ragu terhadap kesusastraan, bila melihat

perbedaan yang begitu besar antara tradisi serta

kebudayaan Barat dan Jepang. Kedua, ia menerima

uang penelitian yang tidak cukup. Di London, Sōseki

mendalami karya Charles Dickens dan George

Meredith.

Selain belajar teori kesusastraan, bimbingan

pribadi diterimanya dari peneliti Shakespeare,

Profesor W.J. Craig. Namun, Sōseki lagi-lagi

merasakan dirinya tidak cocok belajar sastra

Inggris, dan lemah syaraf yang dideritanya semakin

parah. Hati Soseki terluka akibat sering mengalami

diskriminasi ras karena dirinya orang Asia Timur.

Studi yang berjalan tidak semulus perkiraan juga

membuatnya jengkel, dan harus berkali-kali pindah

tempat kos.

Karena itu, Natsume Soseki tidak menjadi pemuja

Barat yang optimistik, malah sebaliknya ia menjadi

seorang intelektual yang berupaya mendalami

pemikiran masyarakat ataupun kesusastraan Jepang.

Setelah tinggal selama 2 bulan pada tahun 1901

bersama dengan ahli kimia Ikeda Kikunae, Sōseki

mendapat semangat baru dan mulai giat belajar

sambil mengurung diri di kamar.

Akibatnya, pergaulan dengan sesama mahasiswa

menjadi semakin jarang. Kabar beredar di kalangan

mahasiswa bahwa Sōseki sudah gila. Berita tersebut

sampai ke Kementerian Pendidikan Jepang yang segera

memintanya untuk pulang. Setelah berada di Inggris

selama 3 tahun, Soseki tiba kembali di Jepang pada

tahun 1903.

Setelah kembali ke Jepang pada tahun 1903, ia

menjadi dosen di Universitas Tokyo sebagai

pengganti Koizumi Yakumo, dan mengajarkan teori

kesusastraan. Namun, mahasiswa melakukan aksi

protes agar Yakumo dipertahankan. Mahasiswa tidak

senang dengan cara Soseki memberikan kuliah.

Di Sekolah Lanjutan Atas 1, Sōseki memiliki

murid bernama Misao Fujimura. Setelah dimarahinya

karena malas belajar, Fujimura bunuh diri di Air

terjun Kegon. Peristiwa tersebut membuat lemah

syaraf yang dideritanya kambuh dan Sōseki harus

tinggal terpisah dari istri sekitar 2 bulan.

Setelah pulih (1904), Sōseki bekerja sebagai staf

pengajar Universitas Meiji.

Akhir tahun 1904, Kyoshi Takahama

menganjurkannya agar menulis untuk meringankan

gangguan lemah syaraf. Hasilnya berupa karya

pertama Sōseki, Wagahai wa Neko de aru (I Am a Cat).

Karya tersebut menerima pujian saat pertama

kali diedarkan di perkumpulan murid Shiki (Yama

Kai). Bulan Januari tahun berikutnya, majalah

Hototogisu memuat cerita tersebut hingga habis dalam

sekali pemuatan. Sambutan yang baik dari pembaca

menjadikan cerita tersebut ditulis kelanjutannya.

Dalam buku 親親親夏 karya 親 親 親 親 親 親(1975:31

3)tertulis 親親親親親親 親 親親親親親親 親 親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親〇 「」「」、一 一

Pada tahun1906, ia menulis Botchan. Novel ini pun

menjadi terkenal dan menjadi favorit pembaca

Jepang. Karya Soseki dimuat bersambung di surat

kabar Asahi Shimbun tempatnya bekerja, antara lain

karyanya yang berjudul Gubijinsō (The Poppy) dan Sanshirō.

Soseki sering mengangkat tema-tema seperti

kehidupan masyarakat dalam berjuang mengalami

kesulitan ekonomi, konflik antara tugas, keinginan,

dan harapan, loyalitas dan mentalitas kelompok

melawan kebebasan dan individualitas, keterbukaan

Jepang dalam menerima budaya Barat dalam karya-

karyanya.

Ia juga menaruh perhatian pada para penulis

yang tergabung dalam 7 Shirakaba Literary Group,

Ryunosuke Akutagawa dan Kume Masao menjadi

pengaggum karya-karyanya. Karya Sōseki bagaikan

melupakan dunia orang kebanyakan, dan memandang

hidup dengan lebih santai. Berbeda dengan aliran

naturalisme yang waktu itu merupakan aliran utama,

Sōseki termasuk sastrawan Yoyū-ha (aliran

berkecukupan).

Pada tahun 1906, Toyotaka Komiya dan Shōhei

Morita sering berkunjung ke rumah Sōseki. Miekichi

Suzuki juga datang teratur sebagai muridnya setiap

hari Kamis. Sejumlah muridnya menjadi sastrawan dan

orang terkenal, misalnya Hyakken Uchida dan Nogami

Yaeko. Selain itu, di antara murid Sōseki terdapat

novelis Ryūnosuke Akutagawa dan Masao Kume, serta

ilmuwan seperti Torahiko Terada, Jirō Abe, dan

Yoshishige Abe.

Karena Natsume Soseki sebenarnya tidak begitu

suka menjadi dosen, maka pada tahun 1907 ia

berhenti dari Universitas Tokyo dan memutuskan

menjadi pengarang yang bernaung di bawah Asahi

Shinbunsha. Sejak itu semua karyanya dimuat dalam

surat kabar Asahi Shinbun.

Awal kariernya sebagai penulis tetap ditandai

dengan pemuatan Gubijinsō sebagai cerita bersambung

di Asahi Shimbun, Juni 1907. Di tengah penulisan

Gubijinsō, Sōseki terganggu oleh penyakit lemah

syaraf dan sakit lambung.

Perjalanan ke Manchuria dan Korea dilakukannya

pada tahun 1909 atas undangan mantan teman seasrama

Yoshikoto Nakamura yang menjabat direktur utama

Perusahaan Kereta Api Manchuria Selatan. Catatan

perjalanannya dimuat bersambung di Asahi Shimbun

dengan judul Mansen Tokoro Dokoro (Tempat-tempat di

Manchuria dan Korea).

Pada musim panas tahun 1910, Soseki mengalami

sakit keras dan menyepi di kuil Shuzen-Ji,

Semenanjung Izu untuk beristirahat dan mengobati

penyakit perut di sumber mata air panas. Namun

Natsume Soseki masih sering muntah darah dan

mengalami masa gawat.

Pada tahun berikutnya anak perempuannya yang

berusia satu tahun meninggal secara tiba-tiba.

Keadaan Sōseki semakin kritis, sehingga rekan dan

murid-muridnya datang menjenguk. Setelah sekitar 4

bulan di Shuzen-ji, Sōseki kembali masuk rumah

sakit di Tokyo.

Seusai memberi kuliah di Kansai pada bulan

Agustus 1911, tukak lambungnya kambuh, dan Sōseki

masuk rumah sakit di Osaka. Sekembalinya di Tokyo,

penyakit wasir memaksanya berobat jalan, dan

operasi wasir kembali dijalaninya bulan September

1912.

Pada bulan Desember 1912, penulisan Kōjin

terputus di tengah jalan karena sakit. Sampai bulan

Juni 1913, Sōseki terus menderita lemah syaraf dan

tukak lambung. Pada bulan September 1914, tukak

lambung menyebabkan dirinya terbaring sakit untuk

keempat kalinya.

Pengalaman antara hidup dan mati menjadikan

karya berikutnya sering menampilkan manusia yang

mengejar kepentingan diri sendiri dan menjadi

seorang pengarang gelap dan murung, yang secara

serius memikirkan masalah kematian.

Salah satu karyanya yang menyoroti kematian

adalah novel Kokoro (Heart / Rahasia Hati, 1914) yang

menuliskan seorang Sensei melakukan bunuh diri

untuk menebus rasa bersalahnya kepada teman akrab

yang dikhianatinya. Walaupun sakit, Soseki masih

menghasilkan karya sastra. Ia menghasilkan Kojin (The

wayfarer), kokoro(Heart) dan Garasudo no Uchi (Inside my glass

doors).

Karya terakhirnya berjudul Meian (Light and

Darkness) dimuat bersambung dalam Asahi Shimbun, namun

tidak selesai. Bulan Maret 1915, Sōseki pergi

berwisata ke Kyoto, tapi jatuh sakit untuk kelima

kalinya di sana. Bulan berikutnya (Juni 1915),

Sōseki memulai cerita bersambung Michikusa (Grass on

the Wayside) sambil berusaha menghidupkan kembali

ingatan dan suasana sewaktu menulis Wagahai wa Neko

de Aru.

Tahun berikutnya (1916), Sōseki menderita

diabetes, dan wafat akibat pendarahan pada 9

Desember 1916. Novel berjudul Meian (Light and

Darkness) tidak sempat diselesaikannya, dan Sōseki

berusia 49 tahun sewaktu meninggal. Pesan

terakhirnya, "Mati membuat masalah saja" ("Shinu to

komaru kara").

Keesokan harinya, otopsi dilakukan dokter

pribadinya, Matarō Nagayo di Fakultas Kedokteran,

Universitas Kekaisaran Tokyo. Otak dan lambungnya

disumbangkan ke Universitas Kekaisaran Tokyo.

Sampai hari ini otaknya masih disimpan di dalam

toples, beratnya 1,425 kg.

Penerjemah karya Sōseki, Ikuo Tsunematsu

membuka Museum Soseki di London pada tahun 1984.

Museum tersebut menempati gedung yang berseberangan

dengan tempat kos Sōseki di London. Di dalam museum

dipamerkan keadaan tempat tinggal, foto kawan-

kawan, dan buku-buku yang dibaca Sōseki di London.

Dari tahun 1984 hinga tahun 2004, potretnya

menghiasi uang kertas pecahan 1000 Yen.

Gambar 2 Potret uang bergambar Natsume

Soseki

b. Aspek Sosiologis

1) Teman sepergaulan Botchan saat di sekolah

dasar selalu memberikan tantangan yang

membahayakan raga Botchan, namun agar tidak

dikatakan pengecut Botchan pun menerima

tantangan tersebut. Dan akibatnya ia selalu

celaka. Seperti saat temannya yang menantang

dia untuk lompat dari lantai 2 sekolah.

Dengan mudahnya Botchan langsung terjun

hanya karena tidak ingin dikatakan pengecut.

Tapi untunglah ia tidak meninggal dunia,

karena jika ia meninggal dunia, mungkin kisah

dalam novel ini hanya sepanjang satu halaman,

atau mungkin tokoh utama digantikan oleh tokoh

lainnya.

Lalu saat Botchan membawa sebuah pisau,

temannya menantangnya untuk memotong jempolnya.

Dan dengan bodohnya ia memotong jempolnya tapi

untunglah, pisau yang tipis itu sudah keburu

patah saat beradu kekuatan dengan tulang di

jari jempolnya. Namun walaupun jempolnya tidak

putus, tapi ia memiliki luka yang masih

membekas bahkan sampai ia dewasa. Hal 11-12.

2) Masyarakat di daerah Shikoku tempat Botchan

mengajar menurut pandangan Botchan agak kurang

baik, dimulai dari anak kecil yang ia tanya di

mana sekolah menengah desa ini dan jawabannya

hanya tidak tahu, padahal desa ini kecil

seharusnya anak itu tahu di mana sekolah

menengah itu.

Lalu seseorang yang menyuruh Botchan untuk

mengikutinya, Botchan kira akan diantarkan ke

Sekolah Menengah tersebut tapi malah diantarkan

ke sebuah penginapan. Akhirnya ia ke Sekolah

itu naik kereta, namun hanya sebentar mungkin 5

menit, dan tarifnya hanya 3 sen karena dekat,

saat itu sekolah sudah sepi. Saat Botchan ingin

bertemu dengan guru yang sedang berjaga malam

ternyata gurunya tidak ada. Yang artinya guru

itu santai sekali dalam menjalankan tugasnya.

Saat ia menginap di sebuah penginapan pun

diberikan sebuah kamar yang panas dengan alasan

semua kamar sudah penuh, namun saat setelah

mandi Botchan melihat, banyak kamar yang

kosong. Di kamar ia pun berpikir mungkin karena

pakaiannya lusuh sehingga mereka merendahkan

Botchan dan memberikan kamar yang panas.

Pagi harinya, saat pelayan wanita menatap

Botchan dengan liarnya, Botchan mejadi

tersinggung karena dalam pikirannya senyuman

pelayan wanita itu lebih mirip senyuman yang

mengejek wajahnya, walaupun menurut Botchan

sendiri wajah Botchan masih bagus daripada

wajah orang-orang desa ini.

Di sekolah pun Botchan berniat untuk

menolak pekerjaan ini, karena kepala sekolah

memintanya menjadi guru panutan murid padahal

Botchan menyadari bahwa dirinya begitu liar,

bagaimana mungkin bisa menjadi panutan murid.

Seandainya ada guru yang bisa menjadi panutan

murid pun guru itu tidak mungkin mengajar di

sekolah desa seperti ini.

Botchan merasa ditipu oleh orang yang

memberikannya pekerjaan, karena telah

ditempatkan di desa seperti ini. Saat bertemu

dengan guru-guru pertama kali pun, mereka

memandang Botchan dengan liarnya sehingga

membuat Botchan kurang nyaman, akhirnya Botchan

menjuluki guru-guru itu di alam pikirannya.

Murid-muridnya pun sangat menyebalkan,

mereka selalu ikut campur, tidak punya kerjaan

lain selain mengisengi guru barunya, dan suka

tauran, Kepala Guru yang licik, suka ngambil

tunangan orang lain serta memiliki hubungan

khusus dengan seorang geisha juga, dan

mempengaruhi kepala sekolah untuk memecat

orang-orang yang tidak disukai oleh Kepala

Guru.

3) Menurut Botchan orang kampung tidak mampu

membedakan antara hal yang satu dengan yang

lain dan tidak tahu harus menetapkan batas.

Murid-murid Botchan dibesarkan di kota yang

saking kecilnya seluruh pemandangan bisa

dilihat dalam waktu satu jam, dan karena tidak

memiliki hal lain yang bisa dibanggakan, mereka

bisa begini heboh hanya gara-gara tempura,

seolah makanan itu perang Rusia-Jepang.

Di kota kecil, memata-matai orang dan

menggosipkannya bisa dengan mudah dilakukan.

Murid-murid Botchan yang tinggal di kota kecil

dengan semua pemandangan kota bisa dinikmati

dalam waktu satu jam, membuat mereka terlalu

ikut campur dengan kegiatan yang dilakukan oleh

guru baru mereka.

Saat Botchan makan mi tempura sampai 4

mangkok, murid-muridnya bisa mengetahui hal itu

dengan mudah dan menuliskannya di papan tulis

dengan huruf besar. Saat Botchan makan dango,

atau berendam / berenang di pemandian air panas

setiap malamnya, mereka juga bisa langsung

tahu, karena kota itu begitu kecil.

Hal-hal yang dilakukan Botchan sangat

luar biasa menurut mereka, bahkan lebih luar

biasa daripada berita perang Rusia dan Jepang.

Menurut murid-murid itu memasuki pemandian air

panas kelas satu dengan biaya delapan sen

dengan gaji 40 yen perbulan merupakan suatu

kemewahan.

4) Menurut Botchan tidak ada masyarakat yang

rela mentoleransi orang-orang memuakkan yang

berpikir bisa bersenang-senang tanpa membayar

akibatnya. Hal 67.

5) Orang Jepang terlalu menjunjung tinggi status

atasan dan bawahan. Dalam novel Botchan hal 84.

Saat acara memancing, hasil pancingan yang

didapat oleh kepala guru dan guru kesenian

adalah ikan Goruki yakni ikan yang hanya bisa

dijadikan pupuk.

Guru kesenian memberikan komentar konyol

yakni “Jika Kepala Guru saja hanya bisa

menangkap goruki, maka pastinya saya (guru

kesenian) tidak bisa berharap lebih.”

Penulis tidak habis pikir, kenapa tidak

bisa berharap lebih? Bukankah kesuksesan berhak

dimiliki oleh siapa saja? Bahkan seorang

bawahan sekalipun? Sistem atasan dan bawahan di

Jepang memang sungguh berlebihan, sistem kasta

juga berlebihan, seakan kesuksesan sudah

ditakdirkan untuk orang yang berstatus tinggi.

Jadi, untuk apa orang yang berkasta rendah

dilahirkan jika tidak ikut mereguk kesuksesan.

Hal 84.

6) Semua orang kampung sangat pelit, bahkan dua

sen jadi masalah besar bagi mereka, maka

sebagian besar dari mereka naik kelas dua. Hal

134

c. Aspek Psikologi

1) Karena ketidaktahuan, kelebihan energi, serta

harga diri yang tinggi sehingga tidak ingin

dibilang pengecut oleh kawan-kawannya, disadari

atau tidak oleh Botchan, ia selalu membuat

ulah. Ayahnya sudah tidak tahu harus berbuat

apalagi, jadi ia hanya bisa berkata “Anak itu

tidak akan pernah jadi apa pun.” Dan ketika

Botchan membuat ulah lagi ayahnya hanya

menatapnya dan berkata “Kau tidak berguna!

Tidak berguna!”

Bahkan saat Ibunya sakit pun, Botchan

yang kelebihan energy bermain jungkir balik di

dapur dan menabrakkan tulang rusuknya dengan

keras ke sudut kompor masak. Ibunya marah luar

biasa dan berkata tidak akan pernah mau lagi

melihat wajah Botchan, jadi Botchan pun pergi

untuk tinggal bersama kerabat keluarga.

Raga sang Ibu sedang sakit berat, dan

melihat tingkah anaknya yang pecicilan, bahkan

Botchan pergi dari rumah membuat keadaan

kejiwaan sang Ibu bergejolak. Ia merintih sedih

karena memiliki anak nakal, di satu sisi ia

tidak kuasa menahan rasa sakit di sekujur

tubuhnya. Akhirnya karena tekanan batin dan

penyakit yang dideritanya ia pun meninggal

dunia, dan benar-benar tidak akan melihat

Botchan lagi.

Kakak Botchan pun mengatakan bahwa

Botchan adalah anak celaka dan gara-gara

Botchanlah, Ibu meninggal secepat ini. Andaikan

Botchan tidak banyak tingkah sampai menabrakkan

tulang rusuknya dengan keras ke sudut kompor,

dan andaikan Botchan tak benar-benar pergi dari

rumah (karena sang Ibu berkata seperti itu

hanya karena kekesalannya memuncak) mungkin

sang ibu masih bisa menahan rasa sakitnya

sebentar sembari menunggu pengobatan dari

dokter bereaksi dan menyembuhkan raganya,

sehingga bisa sehat kembali.

Namun karena tekanan batin akhirnya sang

Ibu menyerah dan berfikir untuk apa ia hidup

jika hanya untuk melihat kenakalan anaknya,

yang selalu membuat ulah dan mencelakakan

dirinya sendiri dan hebatnya Botchan seperti

memiliki 99 nyawa, sehingga setelah melakukan

ulah yang membuat dirinya celaka ia tidak

meninggal dunia. Hal 14.

2) Kiyo terserang pilek dan sedang terbaring di

tempat tidur dalam kamar dua kali tiga meternya

yang menghadap ke utara. Tapi begitu melihat

Botchan datang, dia langsung bangkit. Hal 26.

Kiyo benar-benar menyayangi Botchan, padahal

sedang terbaring karena sakit tapi saat Botchan

datang ia seperti memiliki tenaga untuk

bangkit, seakan kedatangan Botchan adalah

tenaga baginya.

3) Saat Botchan melakukan berbagai macam hal

yang selalu mengundangnya ke sebuah masalah,

dan membuat terbiasa jika dirinya dibenci

ayahnya dan selalu bertengkar dengan kakaknya

serta dicap oleh tetangga sebagai anak melarat

yang berandalan serta selalu dilabeli oleh sang

ayah bahwa dirinya adalah anak tidak berguna.

Kiyo sang pembantu justru melakukan hal

yang berlawanan. Ia selalu memuji Botchan bahwa

dirinya anak yang baik padahal semua orang

mengatainya bahwa diriya tidak berguna.

Saat ayanya mengatakan bahwa ketika

dewasa nanti Botchan tidak akan menjadi apa-

apa, Kiyo justru mengatakan bahwa ketika dewasa

nanti Botchan akan sukses bahkan lebih sukses

dari kakaknya dan saat Botchan akan memiliki

rumah sendiri Kiyo ingin ikut dengannya sebagai

pembantu.

Dan di saat sang ayah tidak pernah memberi

uang saku dan hanya memberikan hadiah kepada

kakaknya, Kiyo dengan diam-diam justru

memberikan makanan serta berbagai hadiah kepada

Botchan. Kiyo selalu memberi semangat Botchan

bahwa dirinya pasti bisa.

Setiap semangat dan pujian yang diberikan

oleh Kiyo memancarkan energi positif, dan

energi positif itu terserap ke dalam jiwa

Botchan. Dan ia pun percaya bahwa suatu hari

nanti ia akan sukses dan menjadi sesuatu bahkan

walaupun saat itu ia tidak memiliki bayangan

apapun mengenai masa depannya.

Setelah Botchan lulus sekolah menengah,

ayahnya meninggal karena penyakit ayan dan

kakaknya lulus dari sekolah bisnis dan mendapat

pekerjaan di Kyushu. Karena bosan bertengkar

terus dengan Botchan hampir tiap hari, ia pun

memutuskan akan menjual rumah agar memiliki

uang untuk pindah ke Kyushu. Kakaknya

memberikan 600 yen pada Botchan untuk

melanjutkan hidup dan 50 yen untuk Kiyo sebagai

tanda terima kasih telah membantu keluarga

mereka selama sepuluh tahun.

Setelah kepergian kakaknya ke Kyushu,

Botchan tidak pernah bertemu dengan kakaknya

lagi. Kiyo pun tinggal dengan keponakannya yang

kaya. Karena Kiyo selalu mengatakan bahwa

Botchan adalah anak yang baik dan pasti di masa

depan Botchan akan sukses, maka Botchan

menggunakan uang itu untuk biaya kuliah dan

biaya hidupnya. Hal 23.

Untunglah perkataan negatif ayahnya tidak

terserap ke jiwanya. Jika perkataan “Kau tidak

akan pernah menjadi apa-apa.” Itu terserap ke

dalam jiwa Botchan, mungkin Botchan akan

menggunakan uang itu untuk main judi, minum-

minuman sampai uang itu habis dan membuatnya

menjadi gelandangan dan tinggal di jalanan.

Setiap kata memiliki energi, setiap kata

memancarkan energinya. Dan energi itu bisa

meresap ke dalam jiwa, dan menjadikan perkataan

itu menjadi nyata.

4) Takdir seseorang

ditentukan oleh karakter yang dimilikinya.

Karakter Botchan yang selalu tidak bisa diam,

kelebihan energi, selalu membawa dirinya pada

masalah. Karena itulah ia dicap sebagai anak

pembuat ulah oleh orang tuanya.

Karena melakukan hal-hal yang selalu

membawa Botchan kepada masalah, orang tuanya

menyerah untuk mengurus, mendidik bahkan

menyayanginya. Hal ini mungkin dikarenakan oleh

karakter orang tuanya yang pasrah dan bisa juga

karena kedua orang tuanya mengidap penyakit

sehingga tidak bisa hidup lebih lama lagi.

Karena orang tuanya tidak menunjukkan

kasih sayang pada Botchan, serta masyarakat

yang menolak Botchan karena Botchan selalu

membuat masalah, maka dalam hidupnya dari kecil

sampai besar Botchan selalu membuat agresi

untuk melawan orang-orang di sekelilingnya

serta mengurung dan mengasingkan diri tidak

ingin berbaur dengan masyarakat hal ini dilihat

dari perkataannya.

“Selama 3 tahun ini aku telah mengurung

diri dalam kamar 4 X 4 meter.” Hal 24 dan “Yang

mengherankan adalah mengapa mereka juga

mengajak orang yang tidak suka bergaul seperti

diriku.” Hal 78. Penolakan dari kedua orang

tuanya membuat Botchan menjadi pesimistis serta

melihat segala sesuatunya dengan pikiran

negatif.

Namun kasih sayang Kiyo yakni pembantu di

kelurga Botchanlah yang membuat karakter keras

pada diri Botchan luluh. Botchan yang sudah

terbiasa merasakan penolakan dari pihak

keluarga maupun masyarakat di sekelilingnya

merasa bersyukur karena masih ada satu orang

yang begitu tulus mencintainya walaupun Botchan

sangat nakal. Namun Botchan tidak bisa

selamanya tinggal bersama Kiyo, ada saatnya

Botchan harus menghadapi masyarakat luas

seorang diri.

Karena karakternya yang spontan saat

menentukan pilihan, Botchan pun memilih

melanjutkan studi di Akademi Ilmu Alam Tokyo

dan mengambil jurusan Matematika. Karena ia

tidak terlalu ahli maka nilainya selalu jelek,

namun walau jelek ia bisa lulus. Dan karena

karakternya yang spontan saat memilih pilihan

hidup maka takdir membawanya ke Shikoku.

Saat itu Kiyo sedang sakit, dan Kiyo

menagih janji kepada Botchan untuk hidup

bersama di sebuah rumah mewah. Namun Botchan

menyadari setelah ia lulus dari akademi bukan

berarti ia akan memiliki banyak uang dengan

sendirinya. Ia sadar ia harus bekerja dahulu

agar memiliki uang dan bisa hidup bahagia

bersama Kiyo. Maka dari itu Botchan harus

menerima pekeraan sebagai guru di Shikoku.

Namun Shikoku adalah tempat yang sangat

jauh dari Tokyo. Karena berada jauh dari Kiyo

ia merasa seperti jauh dari belahan jiwanya.

Maka dari itu setelah menginjakkan kakinya di

tanah Shikoku, semua yang Botchan lihat di

Shikoku terasa begitu memuakkan. Bahkan murid-

muridnya pun memuakkan. Murid-muridnya selalu

melakukan kenakalan seperti dirinya dahulu,

mungkin inilah yang disebut hukum karma.

Merenungi kenakalan murid-murid Botchan,

mungkin murid-murid Botchan merasa terpukau

saat melihat seorang guru baru dari Tokyo, saat

sang guru baru mulai mengajar dengan dialek

Tokyonya yang begitu cepat sehingga murid-murid

merasa kesulitan menyimak apa yang dikatakan

sang guru, serta perkataan sang guru yang

mengatakan bahwa sang guru tidak bisa dialek

Shikoku dan murid-murid harus beradaptasi

dengan dialek Tokyo.

Hal ini membuat murid-murid merasa sang

guru agak sombong. Di kota yang begitu kecil di

mana mudah sekali memata-matai orang, awalnya

murid-murid itu tidak sengaja bertemu dengan

sang guru baru di kedai mi tempura. Melihat

gurunya memesan 4 mangkok mie rasanya terlalu

berlebihan, karena iri akhirnya murid-murid itu

menuliskan di papan tulis yakni “Sensei

Tempura.”

Serta karena tidak ada kerjaan dan ingin

tahu apa saja yang dilakukan sang guru baru di

kota kecil ini maka murid-murid itu mulai

membututi sang guru. Sehingga mereka mengetahui

kebiasaan sang guru membeli kue dango dan

menikmati pemandian air panas kelas 1 dengan

tarif 8 sen.

Menurut murid-murid itu menikmati

pemandian air panas setiap hari dengan gaji 40

yen perbulan adalah suatu kemawahan yang

berlebihan. Karena dengki mereka pun menulis di

papan tulis “Sensei Handuk Merah.” Murid-murid

yang suka menjuluki Botchan sangat mirip

seperti Botchan yang suka menjuluki semua guru

yang ada di sekolahan Matsuyama.

Yang paling membuat murid-murid itu

berang adalah saat melihat sang guru baru,

tetap pergi ke pemandian air panas padahal

sedang jaga malam di asrama. Karena kesal dan

jahil akhirnya mereka menangkap belalang dan

memasukkannya ke dalam futon Botchan.

Saat Botchan ingin tidur, Botchan selalu

menghempaskan tubuhnya ke futon keras-keras

sampai berbunyi bedebum yang mengejutkan.

Murid-murid itu terkeut lalu ingin memberi

gurunya pelajaran, mereka menghentak-hentakkan

kakinya ke lantai atas kamar Botchan saat

Botchan sedang jaga malam di asrama. Hentakan

kaki itu menimbulkan suara yang sangat kencang

dan mengganggu sehingga membuat Botchan ingin

menghukum mereka.

Tindakan sekecil apapun yang kita lakukan

sungguh sangat berpengaruh pada lingkungan

sekitar dan pada akhirnya berdampak pada diri

kita sendiri. Seperti rinai hujan yang terjatuh

ke sungai atau genangan air, pada akhirnya

menimbulkan riak air. Hal yang kita lakukan pun

berpengaruh pada lingkungan sekitar dan

akhirnya berpengaruh pada diri sendiri.

Hal-hal yang dilakukan Botchan, berpengaruh

pada murid-murid itu. Perseteruan antara guru

dan murid itu berakhir pada saat terjadi

tauran. Botchan dan Hotta maju ke medan

pertempuran bermaksud untuk menghentikan

tauran, tapi akhirnya mereka jadi ikut

bertarung melawan siswa kejuruan karena Botchan

dan Hotta ditimpuki bebatuan oleh siswa

kejuruan.

Saat Botchan ke kelas setelah pristiwa

tauran kemarin, murid-murid berdiri dan

bertepuk tangan. Tepuk tangan itu memiliki arti

bahwa murid-murid itu sangat terharu karena

guru baru yang selalu mereka buntuti di kota

kecil yang membosankan ini justru membela

mereka dari siswa kejuruan.

d. Aspek Antropologi

1) Karena Kiyo berpikiran ala orang lama,

memandang hubungan dirinya dengan Botchan

sebagai hubungan tuan dan hamba di masa

feodal, jadi menurut pikirannya, tuannya adalah

tuan keponakannya juga. Hal 26.

2) Adat istiadat di sekolah Shikoku saat menerima

pengajar baru maka harus melakukan sebuah

ritual seperti memperkenalkan diri dan

menunjukkan sertifikat perjanjian kerja kepada

seluruh rekan kerja satu persatu. Hal 35.

3) Pemilik penginapan Yamashiroya berlutut,

kemudian duduk dan membungkuk dalam dan formal

ke arahku, dengan dahi menyentuh lantai.

Pemilik penginapan ini bertingkah laku seperti

itu karena meminta maaf telah memberikan

pelayanan buruk sehingga membuat Botchan harus

memberikan uang tip lima yen agar diberikan

kamar yang bagus dan dilayani dengan baik. Hal

39.

4) Disetiap kamar Jepang selalu ada cerukan

tokonoma tempat menggantungkan lukisan dan

meletakkan vas dengan rangkaian bunga.

Lantainya dilapisi tatami, dan jika tidur

memakai kasur yang bernama futon. Hal 39.

5) Di zaman Meiji orang Jepang masih memakai

kimono dan sudah memakai pakaian ala Barat

juga. Hal 39.

6) Di Indonesia biasanya bersih-bersih kelas

dilakukan pagi hari oleh regu piket. Di Jepang

justru dilakukan setelah pelajaran usai. Hal

46.

7) Di Jepang di depan pintu restoran biasanya ada

tirai noren. Hal 51

8) Biasanya yang dilakukan oleh orang Jepang di

pemandian air panas adalah berendam, bukan

berenang. Hal 56.

9) Jika ada guru yang akan mutasi atau pindah

kerja ke tempat lain, maka ada acara perpisahan

di sebuah restoran. Biasanya dimulai dengan

pidato perpisahan oleh Kepala Sekolah, Kepala

Guru, perwakilan guru serta orang yang akan

mutasi / pindah kerja. Lalu acara dilanjutkan

dengan makan malam serta minum-minum, tidak

lupa acara dimeriahkan oleh geisha-geisha yang

memainkan alat musik shamisen, menyanyi dan

menari bersama. Hal 164

10) Di setiap acara perayaan kemenangan, biasanya

ada acara hiburan. Hal 186.

11) Setiap tahun di festival kuil Hachimon,

mereka akan menarik panggung beroda dan

berparade di jalan, jadi Botchan tahu Shiokumi

atau tarian lain. Hal 186.

12) Di Jepang biasanya ada tradisi merangkai

bunga atau yang biasa disebut ikebana. Hal 187

13) Tak lama kemudian grup penari dari Kochi yang

diributkan orang-orang memulai tarian mereka.

Hal 188.

e. Aspek Politis

1) Botchan merasa tidak ada keadilan, karena

Kepala Sekolah dan Kepala Guru dibebas tugaskan

dari tugas malam, jam kerja pendek dan gaji

yang besar. Hotta hanya mengatakan bahwa yang

kuatlah yang mendapatkan keutamaan. Posisi

Kepala Sekolah dan Kepala Guru di sekolah

menengah hanya bisa didapat dengan persetujuan

kekaisaran dan penerimaannya juga memperoleh

gelar sonin, dan bahwa gelar ini berarti

pembebasan dari kewajiban. Seperti inilah

politik, tingkat yang paling ataslah yang

senang. Hal 58.

2) Sekolah libur untuk merayakan kemenangan

tentara Jepang atas Cina. Hal 176

f. Aspek Sejarah

1) Pada era Heian, biksu tentara kuil Eizan

selalu memulai pembrontakan. Hal 37.

2) Kota Matsuyama mungkin dulu di masa feodal

adalah kota dengan istana kecil yang hanya

mampu menghasilkan kurang dari 45 juta liter

beras pada penguasanya. Hal 38

3) Leluhurku pengawal Shogun, penguasa militer

di masa feodal Jepang. Semua pengawal pribadi

Shogun berasal dari keluarga kuno Minamoto yang

turun langsung dari keturunan Kaisar Seiwa.

Singkatnya, leluhurku dulu ksatria hebat, Tada

Mitsunaka. Hal 72.

g. Aspek Religiusitas

1) Aspek Religiusitas pada novel ini yakni

Botchan beragama Budha, ia pernah pergi ke

Kamakura untuk melihat patung Budha yang sangat

besar, serta menonton pertunjukan drama di

kuil.

2) Pagoda kuil Kohakuji menjulang bagai

jarum di tengah pepohonan. Hal 79

3) Wajahnya mengingatkanku akan wajah yang

terlukis dalam lukisan gulung kuil Yogenji di

Kobinata saat pemakaman ayahku. Sang pendeta

memberitahuku itu lukisan Idaten, dewa penjaga

Budha yang berkekuatan besar. Hal 103

4) Aku membayangkan bahkan para pendeta Zen yang

taat biasa mendapatkan menu yang lebih lezat

daripada ubi manis rebus lagi. Hal 130

5) Di sebelah kiri, terdapat gerbang besar dan

dari gerbang itu terhampar jalan menuju kuil

Budha. Kiri kanan jalan itu dpenuhi tempat

pelacuran. Hal 136.

6) Ada patung Kannon, dewi welas asih, di desa

Aioi. Hal 138.

7) Di kuil, tidak hanya tempat beribadah, bisa

juga menjadi tempat bergulat para pesumo.

Seperti di kuil Ekoin misalnya. Hal 141.

8) Setiap tahun di festival kuil Hachimon, mereka

akan menarik panggung beroda dan berparade di

jalan, jadi Botchan mengetahui tarian Shiokumi

atau tarian lain. Hal 186.

9) Di kuil Honmoji mereka mengadakan misa Budha

dan di sekitar lapangan tempat acara hiburan

digelar tampak sejumlah tiang bendera yang

dihiasi umbul-umbul panjang. Hal 186.

10) Kiyo dikuburkan di kuil Yogenji di Kobinata.

Hal 217

h. Aspek Filsafat

1) Idealisme yang dianut oleh Botchan adalah

lebih baik berhenti dari pekerjaannya sebagai

guru daripada hidup dalam kebohongan yakni

berpura-pura bisa menjadi apa yang kepala

sekolah harapkan. Hal 34.

2) Filsafat Moral = Jika aku melakukan kejailan

atau kekacauan aku akan mengakuinya. Jika aku

berniat berbohong supaya terbebas dari

konsekuensi, sejak awal aku tidak akan

bertindak. Kenakalan dan hukuman tidak bisa

dipisahkan. Hal 66.

3) Tempat ini bukan satu-satunya tempat yang

menumbuhkan padi di Jepang, ke mana pun aku

pergi, aku yakin aku tidak akan mati di suatu

parit seperti pengemis. Hal 95

4) Hanya karena seseorang pandai berargumen,

tidak berarti orang itu baik. Hal 155.

i. Aspek Ekonomi

Dalam hal ekonomi, Botchan selalu mensyukuri

yang ada dan menerima apa adanya. Ia tetap ikhlas

walaupun ayahnya tidak pernah memberikannya uang

saku, dan hanya kakaknya saja yang diberikan barang

ini-itu. Berkat keikhlasan Botchan, Kiyo pun merasa

kasihan padanya dan ia memutuskan untuk

membahagiakan Botchan yakni memberikan banyak

makanan, hadiah serta uang untuk Botchan.

Setelah orang tuanya meninggal, Botchan

bersyukur karena kakaknya memberikan 600 yen hasil

menjual seluruh warisan keluarga, sehingga uang 600

yen cukup untuk biaya hidup dan biaya sekolah

Botchan. Selama nafas masih ada rasanya rezeki

akan selalu mengikuti, buktinya setelah lulus pun

Botchan segera menerima pekerjaan menjadi guru

dengan gaji 40 yen per bulan.

Sebenarnya gajinya akan bertambah besar, tapi

Botchan mencium bau mencurigakan dan akhirnya

menyadari gajinya akan bertambah, jabatannya juga

akan naik tapi itu artinya Hotta rekan kerjanya

sesama guru Matematika akan berhenti sebagai guru

matematika di sekolah itu. Karena setia kawan,

Botchan menolak gaji itu.

Botchan sangat merindukan Kiyo dan sudah tidak

betah di Shikoku. Akhirnya Botchan memilih

mengundurkan diri bersama Hotta, karena Botchan

sudah bosan dan muak di Shikoku.

Setelah kembali ke Tokyo, Botchan pun

mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan,

walaupun gajinya 25 perbulan setidaknya ia hidup

bersama Kiyo dan tidak berada jauh darinya, namun

sayang beberapa bulan kemudian Kiyo meninggal, dan

kisahpun selesai pada halaman 217.

Andai itu adalah kehidupan nyata, tentu

kisahnya tidak berakhir di situ, masih banyak

kisah-kisah lainnya. Namun kisah di dunia nyata

begitu lama dan tidak secepat kisah di novel atau

film yang dalam waktu dua jam kisah selama 25 tahun

pun terkisahkan dengan cepatnya. Setelah membacanya

sampai selesai akhirnya pembaca akan mendapatkan

sebuah kesimpulan bahwa hidup ada susah dan senang.

Tidak selamanya susah, dan tidak selamanya senang.

Selalu berganti.

3. Unsur  Intrinsik Novel “Sanshiro”

a. Tema                              

Kisah hidup seorang mahasiswa bernama Sanshiro.

Sanshiro adalah orang yang pasif, pendiam dan

introvert serta rajin belajar. Ia berasal dari

Kumamoto dan tinggal di Tokyo selama beberapa tahun

untuk kuliah. Banyak hal yang terjadi saat ia

kuliah di Tokyo, diantaranya adalah karena adanya

interaksi dengan orang-orang di sekelilingnya yakni

dengan seorang guru, teman kuliahnya, orang yang ia

sukai serta sepupu tetangganya Sanshiro. Dan dalam

menyikapi setiap kejadian yang terjadi saat kuliah,

hanya ia tanggapi sesuai dengan karakter sifatnya.

b. Tokoh

1) Sanshiro

2) Wanita di Kereta

3) Gam Hirota Sensei

4) Ibu Sanshiro

5) Miwata Omitsu

6) Nonomiya Sohachi

7) Satomi Mineko

8) Sasaki Yojiro

9) Nonomiya Yoshiko

10) Shinzo

11) Haraguchi

12) Pembantu Nonomiya

c. Penokohan :

1) Karakter Sanshiro

a) Pengamat        

(1) Selama satu halaman Sanshiro

mengamati penumpang kereta, salah satunya

adalah seorang wanita. Sanshiro mengamati

bentuk mulutnya, matanya bahkan dahinya,

serta mengamati seorang laki-laki tua. Hal

2. Berikut cuplikannya dalam buku kumpulan

novel Natsume Soseki (1975:193) 親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親 親親親親親親親親親親親親親親女親親親親親親親親親親 親親親親親親親親親親親親親親親 親親親親親親親親。、、

親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親親 親親親親親親親親、

b) Jorok

(1) Membuang sampah sembarangan. Hal

ini dibuktikan pada tulisan “Sesaat

setelah ia melemparkan kotak makannya ke

luar, tutupnya berbalik dan menampar tirai

pemisah, dan Sanshiro sadar ia telah

melakukan suatu perbuatan tolol.” Hal 4.

c) Menjaga Kehormatan Wanita

(1) “Saat Sanshiro sedang mandi/berendam di

bak mandi, seorang wanita yang telah

memiliki anak dan suami yang baru ia kenal

masuk ke dalam kamar mandi dan membuka

obinya. Jelas wanita itu merencanakan

mandi bersama-sama. Kelihatannya ia tidak

malu-malu. Sanshiro melompat dari bak

mandi, menghanduki diri cepat-cepat dan

kembali ke kamar.” Hal 6.

(2) Saat menginap satu kamar dengan wanita

yang baru ia kenal di kereta, Shanshiro

menggulung tepian kasur ke arah sisi di

mana wanita itu berbaring, membuat semacam

penyekat putih sepanjang tengah kasur. Si

wanita berputar ke arah yang berlawanan.

Sanshiro membentangkan handuknya sepanjang

kasur dari ujung ke ujung, lalu merebahkan

diri di atasnya, sepanjang ruang sempit.

Malam itu, tidak ada tangan atau kaki yang

menggerayang ke luar dari batas kasur

Shanshiro. Ia tidak berkata sepatah pun

pada wanita itu. Dan si wanita, yang tidur

menghadap tembok, tidak bergerak sedikit

pun. Hal 7-8.

d) Polos

(1) Setelah wanita yang baru Sanshiro kenal

di kereta itu menghabiskan malam bersama

Sanshiro tanpa melakukan apapun di sebuah

penginapan, wanita yang sudah bersuami dan

memiliki anak itu mengejek disertai

senyuman “Anda kok pengecut sekali?” Hal

8. Tentunya Sanshiro bukan pengecut namun

polos dan masih memegang budaya timur

serta belum terkontaminasi budaya barat,

terlebih Sanshiro dilahirkan dan

dibesarkan di Kumamoto, Kyushu. Sebagai

orang muda yang baru saja meninggalkan

desanya ia memiliki sikap hormat kepada

para ibu.

e) Pendiam                

(1) Saat mengobrol dengan Hirota sensei dan

Nonomiya terlebih Yojiro, Sanshiro hanya

diam dan membiarkan mereka mendominasi

percakapan. Hal 15 dan 28.

(2) Ia ingin mendekati dan menyapa Hirota

Sensei, tapi tidak menemukan pokok

pembicaraan. Hal 40

f) Rajin                                             

(1) Padahal kuliah dimulai minggu depan,

tapi ia tetap ke kampus. Hal 30.

(2) Ia mulai mengikuti kuliah yang sama

sekali tak ada hubungannya dengan jurusan

yang dipilihnya. Tetapi sebagian besar

mata kuliah yang diikutinya tidak lebih

dari dua atau tiga kali saja, dan tidak

ada yang sampai sebulan penuh. Meskipun

demikian, ia menghabiskan waktu rata-rata

40 jam seminggu. Hal 36

g) Kurang Wawasan                                       

(1) Sanshiro tidak terlalu mengetahui

mengenai Enyu dan Kosan yakni seorang

pendongeng dan pelawak. Hal 38.

(2) Sanshiro tidak mengerti istilah

Romantische Ironie. Tak ada pijakan untuk

melanjutkan omongan ini. Hal 75.

h) Pembosan

(1) Hari berikutnya kuliah-kuliah di sekolah

membosankan seperti sebelumnya, dengan

suasana ruang kuliah yang masih jauh dari

kenyataan. Hal 75.

i) Rendah Diri

(1) Ogawa Sanshiro, pemuda abad baru merasa

kecil menyaksikan hal ini. Hal 132.

j) Simpati

(1) Karena kasihan pada Yojiro, akhirnya ia

meminjamkan uang pada Yojiro. Hal 143.

k) Baik Hati

(1) Tidak menjadi masalah kalau Yojiro tidak

akan mengembalikan uang yang dipinjamnya.

l) Menjaga Rahasia dengan Baik

(1) Sanshiro telah diperingatkan dengan

tegas agar tidak menceritakan hal itu pada

Sensei tentang tulisan Gelap Gulita atau

kelakuan Yojiro lainnya. Sensei pasti

marah jika mengetahui apa yang baru saja

dilakukannya. Mereka harus tetap diam, dan

jika tiba saatnya untuk memberitahukan

pada Sensei, Yojiro lah yang harus

menceritakannya. Sanshiro akhirnya

mengubah pokok pembicaraan. Hal 144.

m)Penakut

(1) “Engkau penakut sekali sejak kanak-

kanak.” Kata Ibu Sanshiro di suratnya. Hal

156.

n) Berpikir Positif

(1) Hampir dua minggu kemudian, Yojiro

tetap belum mengembalikan uang 20 yen itu.

Sanshiro tidak mendesak Yojiro untuk

mengembalikan uang itu, tetapi tetap

berharap Yojiro akan mengusahakan sesuatu,

karena akhir bulan tinggal dua hari lagi.

Tidak pernah sebelumnya Sanshiro menunda

pembayaran sewa kamarnya. Kalau Yojiro

tidak mengembalikan uang itu, tentu

Sanshiro tidak begitu percaya lagi

padanya.

Tetapi Sanshiro berkata pada dirinya,

bahwa Yojiro berusaha akan menyelesaikan

hal itu. Hirota Sensei berkata bahwa

pikiran Yojiro selalu bergerak, seperti

air sungai yang dangkal, tetapi Sanshiro

mengharapkan bahwa semua gerakan itu tidak

termasuk kelalaian terhadap tanggung

jawabnya. “Tidak, Yojiro tidak seburuk

itu, tentu saja.” Pikir Sanshiro. Hal 158.

o) Imajinatif

(1) Sanshiro melihat sepuluh, dua puluh

versi adegan yang berbeda. Sanshiro selalu

seperti itu. Suatu ketika kalau harus

menemui seseorang, imajinasinya terpusat

pada bagaimana orang itu bersikap. Hal

165.

p) Jujur

(1) Karena tidak pernah berbohong, Sanshiro

berpikir keras alasan untuk meminta uang

itu. Apa yang bisa dilakukan hanyalah

menjelaskan pada ibunya, bahwa karena

kasihan, ia meminjamkan uangnya pada

seorang teman yang telah kehilangan

sejumlah uang dan dalam kesulitan.

Akibatnya, ia sendiri sekarang berada

dalam kesulitan. Bersediakan ibu

mengirimkannya? Hal 190.

q) Introvert

(1) Dari seluruh kisah Sanshiro dalam

novelnya dapat disimpulkan bahwa Sanshiro

adalah seorang introvert yakni orang yang

lebih akrab dengan dirinya sendiri

daripada dengan orang lain. Biasanya jika

sedang beercakap-cakap dengan orang lain

Sanshiro hanya menanggapi dengan singkat

dan tidak mendominasi percakapan.

r) Pemalu

(1) Sanshiro mengamati bagaimana Yojiro

menjual karcis-karcisnya. Ia meminta

pembayaran karcis di tempat, tapi bagi

yang tidak membayar di tempat, karcis

diberikan juga. Karcis yang diserahkan

dengan cara yang terakhir ini cukup banyak

juga, sampai membuat cemas temannya yang

pemalu. hal 221

s) Inferior

(1) Kata “nasib” muncul di dalam pikirannya

setiap kali mendengar tiupan angin seperti

ini. Ia tidak pernah menganggap dirinya

seorang laki-laki yang kuat dan kini ia

berpikir tentang hal itu, nasibnya sejak

datang di Tokyo banyak dibentuk oleh

Yojiro-dibentuk sebegitu rupa sehingga

untuk beberapa hal berterima kasih pada

tingkah Yojiro yang genial.

Ia tahu Yojiro adalah seorang

pengacau yang menyenangkan, dan untuk

beberapa waktu lagi nasibnya masih berada

di tangan pengacau yang menyenangkan ini.

Hal 200. Pemikiran Sanshiro tersebut

adalah pikiran mental seorang inferior.

Seharusnya ia tidak berfikir dan jangan

mau nasibnya di ombang ambing oleh Yojiro.

Seharusnya ia menanamkan dalam dirinya

bahwa dirinya sendirilah yang membentuk

nasib dan takdirnya bukan orang lain.

Andaipun bukan Sanshiro yang

membentuk nasibnya sendiri, seharusnya ia

tahu bahwa yang membentuk nasibnya adalah

Tuhan, bukan orang lain, dan jangan

biarkan orang lain mengombang ambing

nasibnya.

t) Kuno

(1) “Karena kamu baru saja datang dari

Kyushu, maka pikiranmu masih kembali di

tahun 0 Meiji.” Kata Yojiro pada Sanshiro.

Hal 65

u) Pasif

(1) Sebagai seorang pemuda yang menyukai

Mineko, Sanshiro bersikap begitu pasif.

Justru Mineko yang lebih aktif misalnya

mengajak Sanshiro ke Pameran Kelompok

Tanseikai. Hal 172.

2) Karakter Wanita di Kereta

a) Bebas dan Berani

(1) Wanita yang baru dikenal Sanshiro dalam

perjalanan kereta api ke Tokyo, secara

berani meminta pertolongan Sanshiro untuk

mengantarkannya mencari penginapan. Tanpa

prasangka apa-apa Sanshiro mengantar

wanita itu dan berhasil mendapatkan

penginapan. Namun tanpa diduga, wanita itu

meminta agar Sanshiro dapat tidur

dengannya dalam satu kamar.

b) Tidak Sopan

(1) Wanita itu terlalu terkena efek negatif

dari modernitas sehingga prilakunya

terlalu kebarat-baratan padahal hal yang

ditiru tidak baik menurut budaya timur.

Misalnya membuka baju di kamar mandi

padahal saat itu ada pemuda yang sedang

berendam, dan pemuda itu baru ia kenal di

kereta. Hal 6.

c) Tidak Setia

(1) Setelah wanita yang baru Sanshiro kenal

di kereta itu menghabiskan malam bersama

Sanshiro tanpa melakukan apapun kecuali

tidur di sebuah penginapan, wanita yang

sudah bersuami dan memiliki anak itu

mengejek Sanshiro disertai senyuman “Anda

kok pengecut sekali?” hal 8.

Dari ejekan tersebut dengan

mengetahui bahwa latar waktu dalam novel

ini adalah tahun 1908 yakni pada zaman

Meiji di mana seluruh kebudayaan Barat

dihisap dan ditiru mentah-mentah, maka

banyak wanita Jepang yang berubah dan

lebih agresif seperti wanita-wanita Eropa

pada umumnya.

Suami wanita yang ditemui oleh

Sanshiro di kereta ini sedang pergi ke

Dairen untuk mendapatkan penghasilan yang

lebih baik namun tidak pulang-pulang. Hal

ini juga salah satu faktor yang

menyebabkan wanita ini tidak setia.

3) Karakter Gam Hirota Sensei

a) Tidak Nasionalis

(1) Ini adalah percakapan antara Hirota

Sensei dan Sanshiro saat melihat orang

luar negeri dari jendela kereta

“Dibandingkan dengan mereka, kita orang-

orang Jepang kelihatan jelek. Kita bisa

mengalahkan Rusia. Kita bisa menjadi

bangsa yang unggul. Tapi semuanya tidak

membawa perbedaan. Kita tetap punya muka

yang sama, dan tubuh kita tetap kecil.

Anda harus memperhatikan rumah-rumah yang

kita diami, kebun-kebun di sekelilingnya,

dan hanya itulah yang bisa Anda harapkan

dari wajah-wajah seperti ini.” Hal 15

(2) “Jepang mulai bobrok.” Hal 15

b) Pengkritik

(1) “Itu jelas dari caranya makan persik,

caranya meneguk teh dan mengisap rokok,

selalu menatap lurus ke depan; Hirota

Sensei adalah seorang pengkritik.” Kata

Sanshiro dalam hati. Hal 49.

c) Absurd

(1) Menurut Sanshiro, Hirota Sensei cukup

absurd karena menginginkan rumah sewaan

mungil bergaya zaman edo yang jika masih

ada pastilah rumah itu sudah berumur

ratusan tahun. Hal. 66.

d) Ahli Teori Besar

(1) Menurut Yojiro, Hirota Sensei ahli teori

besar. Hirota Sensei tidak akan menikah

hanya untuk mengetahui bahwa seorang istri

tidak baik baginya. Ia mengatakan bahwa

teorinya membuktikan hal itu. Hal 69.

e) Penuh Kontradiksi

(1) Ia selalu mengatakan betapa

menjijikannya Tokyo, tetapi ketika ia

melihat sebuah gerbang batu yang bagus

mati-matian ia menentang, “Bukan yang

gerbang batu.” atau “Itu terlalu bagus

buat kita”. Hal. 69.

f) Bijaksana

(1) Yojiro mengatakan bahwa Hirota Sensei

seorang filsuf. Bukan karena Hirota Sensei

mengajarkan filsafat melainkan karena ia

membentuk filsafat. Hal 69.

(2) Hal ini bisa dilihat dari percakapan

Hirota Sensei dengan Sanshiro di kereta

saat akan ke Tokyo “Tokyo lebih besar

daripada Kumamoto. Dan Jepang lebih besar

dari Tokyo. Dan yang lebih besar dari

Jepang …”

Penulis kira yang lebih besar dari

pada Jepang adalah dunia tapi ternyata

menurut Hirota sensei “Tentu saja yang

lebih besar dari Jepang terletak di

kepalamu. Jangan mau menyerahkan dirimu

kepada Jepang, atau apapun. Kita boleh

berpikir bahwa apa yang kita lakukan

adalah demi kejayaan bangsa ini,

biarkanlah segala sesuatunya menguasaimu

seperti itu, tapi yang perlu kita kerjakan

hanyalah menguranginya.” Hal 16.

g) Eksentrik

(1) Karena Eksentrik, Hirota Sensei tidak

mau berbaur dengan orang lain. Hal 163.

h) Pembosan

(1) “Aku tidak seromantis itu! Aku jauh

lebih pembosan dibandingkan kau.” Kata

Hirota Sensei pada Sanshiro. Hal 236

i) Tahu Banyak Hal

(1) Sensei bahkan tahu berapa harga karcis

pertunjukan di Athena. Hal 240

4) Karakter Ibu Sanshiro

a) Perhatian

(1) Saat Sanshiro baru sampai di Tokyo,

ibunya memberi surat agar Sanshiro tidak

merasa kesepian di tempat tinggal barunya

saat menuntut ilmu di Universitas. Hal 18.

(2) “Ibu yang begitu baik dan penuh

perhatian.” Pikir Sanshiro. Hal 156.

5) Karakter Miwata Omatsu

a) Menjengkelkan

(1) Di rumah, Sanshiro selalu merasa Omitsu

adalah seorang gadis yang menjengkelkan.

Hal 1.

b) Dermawan

(1) Miwata Omitsu memberi keluarga Sanshiro

beberapa makanan yakni ikan.Hal 19.

6) Karakter Nonomiya Sohachi

a) Ramah

(1) Nonomiya menyambut

Sanshiro dengan baik. Ia membungkukkan

badan dan kepalanya, lalu tegak dengan

gerakan kaku. “Sini” katanya, mengajak ke

panggung sempit. Hal 20.

b) Tekun

(1) Meneliti tekanan cahaya dengan tekun

bahkan walau musim berganti dari musim

panas ke musim dingin yang membekukan dan

meneliti sepanjang hari bahkan malam hari,

saat lalu lintas berhenti di malam

hari.Hal. 22.

c) Cerdas

(1) Nonomiya sangat ahli dalam bidangnya.

Hal ini bisa dilihat dari penjelasannya

mengenai penelitiaannya. Hal 184.

d) Fisikawan Naturalis yang Romantis

(1) “Menempatkan cahaya dan benda yang bisa

menerima cahaya di dalam hubungan ruang

yang tidak bisa ditemukan di alam normal

adalah sesuatu yang hanya bisa dikerjakan

oleh seorang romantis.” Kata Hirota

Sensei. Hal 186.

(2) “Sekali Anda telah menempatkannya ke

dalam hubungan ruang, yang bisa Anda

lakukan hanyalah mengamati ciri-ciri

tekanan cahaya, dan hal itu banyak

dimiliki oleh cendikiawan naturalis.” Kata

Nonomiya Hal 186.

7)  Karakter Satomi Mineko

a) Memiliki Rasa Ingin Tahu pada Lingkungan Sekitar

(1)“Pohon apa ini?” tanyanya dengan rasa

ingin tahu yang besar. Hal 24.

b) Kuat

(1)“Kamu dapat mengangkatnya? Kalau seorang

wanita lain tentu akan meninggalkannya

saja di rumah.” Kata Yojiro. Hal.87.

c) Tenang

(1)Sanshiro mengakui ketenangan Mineko pada

saat seperti itu, dan juga ketika ia

mengerjakan pekerjaan wanita seperti

sekarang ini. Hal. 89.

d) Sembrono

(1)Menurut Hirota Sensei dan Yojiro Satomi

Mineko sembrono. Hal. 121.

e) Berbakat

(1) “Adik perempuan Satomi Kyosuke adalah

gadis yang berbakat.” Kata Haraguchi. Hal

151.

f) Bebas

(1)Mineko bebas meminjamkan uangnya tanpa

harus meminta izin pada kakak laki-lakinya

yang berperan sebagai kepala keluarga di

rumah mereka. Hal 161.

(2)Sanshiro berpikir tentang Mineko. Gadis

ini pasti dididik supaya bertindak menurut

caranya sendiri. Sekarang, sebagai wanita

muda, tak diragukan lagi bahwa ia memiliki

kebebasan di rumahnya daripada gadis-gadis

lain, dan bisa mengerjakan apapun yang dia

sukai. Hal itu jelas sekali karena dia

bisa berjalan dengan Sanshiro seperti ini

tanpa minta izin terlebih dahulu.

Ia bisa melakukan hal ini karena

tidak lagi punya orang tua dan karena

kakak lelakinya, yang juga masih muda,

tidak membatasinya. Namun kalau hal ini

dilakukan di desa, ia tidak mungkin bisa

melakukannya. Apa reaksi Mineko kalau

seseorang menuntutnya untuk hidup seperti

Miwata Omitsu? Tokyo berbeda dari desa,

terbuka luas, sehingga kebanyakan wanita

di sini seperti Mineko. Hal 171.

g) Modern

(1)Sanshiro hanya bisa membayangkan seperti

apa wanita Tokyo di zaman Meiji ini,

tetapi mereka kelihatan agak lebih kuno

dibandingkan dengan Mineko. Hal 171.

(2)“Mineko tidak akan menikah dengan orang

yang tidak dicintainya. Dan ia tidak bisa

dipaksa. Hal terbaik yang bisa dilakukan

adalah membiarkannya tetap sendirian

sampai ia menemukan seseorang yang

disukainya.” Kata Hirota. Hal 154.

(3)“Sangat bergaya Barat. Tentu saja, mulai

sekarang sampai nanti semua wanita akan

seperti itu.” Kata Haraguchi. Hal 154

h) Taat dalam Beragama

(1)Pada novel Sanshiro halaman 252

dijelaskan bahwa di hari Minggu, Mineko

pergi ke gereja.

i) Memiliki Inisiatif dalam Hal Cinta

(1) “Apa kau sudah menonton pameran

kelompok Tanseikai?” Tanya Mineko.

“Belum.” Jawab Sanshiro. “Mereka mengirimi

aku dua karcis gratis, tapi sampai saat

ini aku tidak punya waktu. Kau mau pergi

sekarang?” Ajak Mineko pada Sanshiro. Hal

172.

j) Memiliki Sifat Wanita Ibsen

(1)Yojiro dan Hirota Sensei berpendapat

bahwa Mineko memiliki sifat Ibsen.

Maksudnya adalah sifat yang dimiliki oleh

karakter Nora Halmer dalam drama yang

dibuat oleh Hendrik Ibsen yang berjudul

Rumah Boneka. Nora Halmer mewakili

ideologi feminisme di Norwegia.

Karakter Nora Halmer adalah

Misterius, tertutup, menyembunyikan

rahasia masa lalunya, mandiri dan tidak

ingin dijadikan boneka oleh suaminya atau

siapapun. Dalam diri Mineko juga memiliki

sifat tersebut, sifat yang tumbuh karena

hidup di zaman Meiji. Yakni zaman di mana

seluruh bangsa Jepang menyerap mentah-

mentah semua hal dari bangsa Barat,

sehingga wanita Jepang pada zaman tersebut

pun memiliki sifat seperti ini, yakni

mandiri, modern, bebas dan ke Barat-

baratan. Hal 121.

8) Karakter Sasaki Yojiro

a)Tidak Menghormati Dosennya

(1)Sanshiro mengintip ke catatannya dan

melihat bahwa mahasiswa itu tidak mencatat

materi yang diajarkan oleh dosen melainkan

menggambar karikatur si Dosen. Hal 33.

b) Kreatif

(1) Sesaat melirik catatannya, mahasiswa itu

menunjukkan karyanya, karikatur yang bagus

menurut Sanshiro. Hal 33.

c) Kurang Ajar

(1) Sanshiro tidak mengerti tulisan di bawah

karikatur si dosen “Si dungu di surga yang

jauh.” Tentu saja maksud tulisan itu

adalah sang dosen yang dungu sedang

menjelaskan di depan ruang kuliah utama

yang berada jauh dari posisi mereka duduk.

Hal 33.

(2) “Yojiro, sebagai pemimpin kekurangajaran,

adalah benar-benar biang kekacauan.” Kata

Hirota Sensei. Hal 148.

d) Pembosan

(1) Pada saat itu, mahasiswa yang menggambar

karikatur berjalan mendekati Sanshiro,

“Kuliah-kuliah di Universitas ini

membosankan sekali,” katanya. Hal 34.

e) Inspiratif

(1) Mengajak Sanshiro muter-muter naik trem.

Hal 37. Tetapi menurut penulis, muter-

muter naik trem jika tidak memiliki tujuan

hanya akan membuat lelah dan pusing saja

serta membuang-buang waktu.

f) Absurd

(1) Menurut Sanshiro, Yojiro cukup absurd

karena menginginkan rumah yang harga

sewanya di luar kemampuannya. Hal. 64.

(2) Yojiro sampai di depan rumah sewanya

Sanshiro dan menatap ke atas pada

Sanshiro. “Hei, kau ada di dalam?” Tanya

Yojiro padahal sudah jelas-jelas ia

melihat Sanshiro ada di dalam. Hal 160.

g) Sanguinis

(1) Yojiro banyak bicara dan sangat

extrovert, percakapannya melompat dari

satu hal ke hal lain. Hal 68.

(2) “Pasti ia seorang anak yang periang,”

pemuda dengan kacamata berbingkai emas

berkata pada Sanshiro. “Ya, Yojiro memang

senang bicara.” Jawab Sanshiro. Hal 128.

h) Tahu Budi

(1) Yojiro karena tinggal satu rumah dengan

Hirota Sensei, jadi ingin membalas budi

baik Hirota Sensei. Caranya dengan membuat

esai yang mempropogandakan bahwa fakultas

sastra Inggris membutuhkun dosen

berkewarganegaraan Jepang yang bisa

mengerti mahasiswa dengan baik, sehingga

tidak perlu terlalu banyak dosen dari luar

negeri sementara dosen dari negeri sendiri

tidak ada. Yojiro mempromosikan Hirota

Sensei agar dijadikan dosen Sastra Inggris

di Universitas mereka. Hal 114.

i) Pembuat Onar

(1) “Tak pernah ada suatu yang terjadi

dengan Yojiro. Ia yang membuat sesuatu

terjadi. Semacam ketololan yang jarang

dibuat orang.” Kata Hirota Sensei. Hal

143.

j) Easy Going

(1) “Yojiro memang menggampangkan segala

sesuatunya.” Kata Hirota Sensei. Hal 143.

k) Dangkal dan Sempit Pikirannya.

(1) “Ia seperti parit di Dangozaka : dangkal

dan sempit, airnya berubah terus. Kalau

kami pergi ke kuil untuk melihat suatu

upacara, ia rewel mau membeli sesuatu yang

tak ada gunanya, misalnya seperti bonsai

cemara. Sebelum aku bisa menjawab, ia

telah menawarnya dan membelinya. Tak lama

kemudian ia menyia-nyiakan cemara itu,

teronggok di dalam rumah selama musim

panas. Tentu saja, ketika kami pulang,

panas telah membuatnya mati dan menjadi

layu.” Kata Hirota Sensei. Hal 143.

l) Pintar Menawar Harga

(1) “Meskipun demikian, harus kuakui, ia

selalu bisa menawar barang sampai semurah

mungkin di pasar malam seperti itu.” Kata

Hirota Sensei. Hal 143.

m)Tidak Fokus

(1) “Ia tidak bisa memusatkan perhatian

hanya pada satu masalah.” Kata Hirota

Sensei. Hal 143.

n) Tidak Tekun

(1) “Tidak ada ketekunan pada sesuatu yang

dilakukannya.” Kata Hirota Sensei. Hal

143.

o) Tidak Tanggung Jawab

(1) Meminjam uang Sanshiro tapi tidak bisa

mengembalikan uang tersebut.

p) Supel

(1) Betapa banyak makhluk kenalan Yojiro ini

! Sanshiro merasa suatu gelombang

penghargaan terhadap cara Yojiro

bersahabat dengan begitu banyak orang yang

lebih tua. Hal 150.

q) Tidak Amanah

(1) Uang yang dititipkan Hirota Sensei untuk

membayar hutang ke Nonomiya dipakai oleh

Yojiro untuk taruhan pacuan kuda. Hal 158.

r) Royal

(1) Yojiro dan Sanshiro menikmati sake di

kedai mie di pojok jalan Oiwake. Yojiro

yang membayar. Ia tidak pernah membiarkan

orang lain membayar untuknya.

s) Terus Terang

(1) “Cara Yojiro berterus terang soal uang

sangat brutal.” Kata Hirota Sensei. Hal

148.

t) Tidak Bisa Dipercaya

(1) “Yojiro mungkin sangat tidak bisa

dipercaya kalau menyangkut persualan

uang.” Hal ini menurut Sanshiro, Mineko

dan Hirota Sensei. Hal 165.

u) Lucu

(1) Pada halaman 188, Yojiro menceritakan

alasan kenapa ia tidak bisa membayar

hutangnya pada Sanshiro, tapi terlepas

dari alasan itu, Yojiro bercerita mengenai

seorang laki-laki yang patah hati ingin

bunuh diri, laki-laki itu membeli senjata.

Tepat saat ia akan menembak kepalanya

sendiri, seorang teman datang untuk

meminjam uang.

Karena tidak memiliki uang juga

laki-laki itu meminjamkan senjatanya untuk

digadaikan temannya. Setelah beberapa lama

kemudian, temannya datang membayar hutang,

ia mengembalikan senjata itu. Tapi laki-

laki itu sudah tidak membutuhkan senjata

itu lagi untuk bunuh diri. Karena ia sudah

tidak patah hati dan sedih.

Ia sudah memiliki kebahagian dan

harapan-harapan dalam hidupnya. Ia

bersyukur dan senang karena pada saat itu

sahabatnya datang untuk meminjam uang

karena akhirnya laki-laki itu tidak jadi

bunuh diri karena senjatanya sudah

dipinjamkan ke sahabatnya untuk

digadaikan. Mendengar cerita tersebut

Sanshiro tertawa dan mengikhlaskan uangnya

untuk Yojiro. Hal 188.

v) Extrovert

(1) Dalam novel Sanshiro hal 220 terlihat

jelas bahwa sikap yang dimiliki oleh

Yojiro adalah extrovert, yakni begitu

rajin menjual karcis keseluruh penghuni

kampus, sementara Sanshiro yang introvert

hanya mendampingi Yojiro saja tanpa

membantu mempromosikan karcis drama

masyarakat sastra. Hal 220.

w) Banyak Wawasan

(1) Saat karcis-karcis itu sulit terjual,

Yojiro mengutip kata-kata Mecius

“Kesempatan tidak mengijinkanku.” Betapa

hebat, orang seperti Yojiro bisa mengenal

Mecius dan mengetahui kata-kata bijaknya

Mecius. Bahkan Sanshiro pun mungkin tidak

mengetahui tentang Mecius, dan mungkin

tidak tahu itu kutipan dari Mecius. Hal

220.

x) Sok Tahu

(1) Saat seorang dosen keluar dari toilet,

dan menolak membeli karcis drama

masyarakat sastra, Yojiro dengan sok

tahunya memberi tahu Sanshiro bahwa dosen

itu pasti punya penyakit salesma usus. Hal

220.

y) Pembohong

(1) “Aku sendiri sudah mencoba pacaran

beberapa kali, tetapi satu diantaranya

menyulitkan sekali sehingga aku berbohong

harus pergi ke Nagasaki karena ada urusan

pekerjaan, waktu meninggalkan dia.” Kata

Yojiro pada Sanshiro. Bahkan Yojiro juga

berbohong saat mengatakan dirinya

mahasiswa kedokteran pada pacarnya. Hal

248.

z) Sahabat yang Baik

(1) Walaupun Yojiro orangnya supel,

extrovert dan sanguitis serta mungkin

memiliki banyak teman atau kenalan, tapi

ia tetap setia menemani Sanshiro yang

pendiam, introvert, jujur dan polos. Saat

Sanshiro sedang demam, dan sakit hati

ketika mengetahui Mineko akan menikah

dengan orang lain.

Yojiro menghiburnya bahwa ada

wanita lain yang lebih baik daripada

Mineko. Dan menikah dengan wanita yang

seumuran pasti akan mengakibatkan wanita

itu menjadi lebih cepat tua, dan berada di

atas Sanshiro. Sehingga Sanshiro yang

patah hati akhirnya bisa menerima realita

dan menjalani kehidupannya sebagai seorang

mahasiswa seperti biasanya. Hal 248.

9) Karakter Nonomiya Yoshiko

a) Manja

(1) Meminta kakaknya Nonomiya untuk

menjenguknya di hari Minggu. Hal 50.

b) Kharismatik

(1) Saat Sanshiro datang ke rumah Nonomiya,

Sanshiro merasa bahwa ia kedatangan

seorang putri muda dan tidak berdosa. Yang

diperlukannya hanya mematuhi perintah-

perintahnya. Sanjungan tak diperlukan

lagi. Sanshiro merasa sepatah kata saja

yang keluar dari mulutnya, maka semuanya

akan terasa hambar. Yang lebih

menyenangkan adalah menghambakan diri

sebagai budak yang membisu. Hal. 94.

c) Kekanak - Kanakan

(1) Yoshiko yang kekanak-kanakan

memperlakukan Sanshiro seperti anak kecil,

tetapi bagi Sanshiro sama sekali tidak

merasa harga dirinya direndahkan. Hal.94.

d) Artistik

(1) Sanshiro melihat sekotak cat dan kuas di

beranda . Juga cat air yang setengah

terpakai. Hal 94.

e) Modern

(1) Karena Yoshiko lahir dan dibesarkan pada

zaman Meiji maka ia juga mendapatkan

pengaruh dari semangat pembaharuan zaman

Meiji. Sifatnya juga menjadi kebarat-

baratan dan mementingkan egonya. Dalam

novel Sanshiro hal 199, dengan tegas ia

menolak dinikahkan dengan pria yang tidak

ia kenali, tidak ia cintai dan tidak ia

benci.

f) Penakut

(1) Nonomiya berkata “Sekarang selama ibuku

di sini ia baik-baik saja tetapi ibuku

akan segera kembali ke desa dan adikku

hanya bersama dengan pembantu. Mereka

berdua penakut, mereka tidak berani

ditinggal sendirian di rumah. Hal 91

10) Karakter Shinzo

a) Pemabuk

(1) Setiap malam ia memakai uangnya

sedikit-sedikit untuk minum. Hal 71.

b) Baik Hati Tapi Berwatak Keras

(1) Sekali waktu ia hampir saja memukul

istrinya dengan sepotong kayu bakar.Hal

71.

c) Ingkar Janji

(1) Shinzo berjanji member Sanshiro madu.

Tapi tak sekalipun ia membawakannya. Hal

71.

11) Karakter Haraguchi

a) Mudah Berbaur

(1) Haraguchi masuk ke dalam kerumunan dan

menghilang di dekat Mineko dan Yoshiko.

Hal 243.

b) Artistik

(1) Menurut Haraguchi saat melukis mata sang

model lukisan maka seluruh perasaan model

lukisan bisa ikut terlukiskan juga. Hal

213.

12) Karakter Pembantu Nonomiya

a) Penakut

(1) Nonomiya berkata pada Sanshiro bahwa

jika Nonomiya pergi ke rumah sakit untuk

menjenguk adiknya, berarti pembantu akan

tinggal di rumah sendirian, Padahal bibi

itu seorang penakut. Hal 45

(2) Pelayan yang menghidangkan makanan pada

Sanshiro berwajah takut-takut seperti yang

dikatakan Nonomiya. Hal 46

d. Latar / setting                 

1) Latar Tempat

a) Di Kereta

(1) Kereta mulai merangkak lagi selama kira-

kira dua menit. Hal 1-4.

b)     Di Penginapan

(1) Sanshiro melihat dua rumah dengan papan

nama sebuah penginapan. Hal 5.

c) Di Kamar Mandi

(1) Sanshiro melepaskan pakaiannya dan masuk

ke dalam bak mandi sambil merenungkan apa

yang terjadi. Hal.6.

d) Di Tokyo

(1) Tokyo dipenuhi dengan bunyi klakson-

klakson mobil di jalan serta orang-orang

yang berjejal-jejal. Kota yang sangat

sibuk, terlebih di Marunouchi, pusat

perdagangan kota. Hal 17.

e)  Di Universitas Yayoi-cho

(1) Jalanan gersang dan sempit, sehingga

lapangan Universitas yang banyak

pepohonannya terasa bagaikan hiasan. Hal

19.

f) Di Gudang Bawah Tanah

(1) Ia berada di gudang bawah tanah. Udara

di bawah sini lebih dingin. Hal 20.

g)  Di Toko Kaneyasu

(1) Nonomiya menunjuk toko di seberang dan

berkata, “Saya mau membeli sesuatu di toko

Kaneyasu.” Ia membeli karbon tipis yang

transparan. Hal 28.

h) Di Sebuah Restoran Barat, Masago-cho

(1) Nonomiya mentraktir Sanshiro makan malam

di sebuah restoran Barat di Masago-cho.

Nonomiya mengatakan restoran itu

menyediakan makanan yang paling enak di

Hongo, tetapi yang diketahui oleh Sanshiro

hanya rasanya seperti masakan Barat.

Tetapi semua yang disajikan dimakannya.

Hal 29.

i) Di Ruang Kuliah Utama

(1) Sore hari, Sanshiro pergi ke ruang

kuliah utama. Hal 33

j) Di Pondok

(1) Ia langsung pulang ke pondokannya. Hal

34.

k) Di Restoran Yodomiken

(1) Mahasiswa yang membuat karikatur

menarik Sanshiro dari jalan raya Hongo,

dan memesankan sepiring nasi kari di

sebuah tempat yang disebut Yodomiken, di

bagian depannya berupa toko buah dan ada

restoran kecil di belakangnya. Hal 35.

l) Di Restoran Hiranoya

(1) Mereka makan malam dan minum sake di

restoran Hiranoya. Hal 37.

m) Di Kiharadana

(1) Menonton teater komedi di Kiharadana.

Hal 37.

n) Di Perpustakaan

(1) Pada hari berikutnya Sanshiro memotong

40 jam kuliahnya hampir separuhnya dan

mulai mengunjungi perpustakaan. Hal. 38.

o) Di Kafe

(1) Di kafe ada dua kelompok mahasiswa dan

seorang laki-laki duduk sendirian minum

teh di ujung ruang. Hal. 39.

p) Di Rumah Nonomiya

(1) Letak rumah tersebut juga aneh. Hal 43

q) Di Rumah Sakit Universitas

(1) Ia naik rickshaw langsung menuju pintu

depan Rumah Sakit di sayap Aoyama. Hal.

51.

r) Di Sendagi Hayashi-cho

(1) Ketika suatu sore Sanshiro menyusuri

jalan-jalan di kota seperti biasanya, di

puncak Dangozaka ia berbelok ke kiri dan

muncul di jalan raya di Sendagi Hayashi–

cho. Hal. 60.

s) Di Vila Satake

(1) Itu kesalahannya sampai kita bertengkar

seperti di Vila Satake. Hal 68.

t) Di Rumah Baru Hirota Sensei dan Yojiro

(1) Sanshiro pergi ke Nishikatamachi

sepuluh dan menemukan Blok nomor tiga

setengah menuruni jalan lama yang sempit.

Sebuah rumah tua. Hal. 75.

u) Di Pinggir Kolam

(1) Sambil berlutut di tepi kolam, Sanshiro

mengingat kejadian tersebut yang dibacanya

di Koran Kyushu. Hal 22.

v) Di Luar Kuil Ogannon

(1) Seorang pengemis berlutut di tanah di

luar kuil Ogannon. Hal 101.

w) Di Pertunjukan Boneka Chrysantemum di Puncak

Dangozaka

(1) Mereka memasuki stand pameran di sebelah

kiri. Hal 103.

x) Di Lapangan Dekat Sungai Ogawa

(1) Mereka terus berjalan menyusuri

sepanjang tepian sungai, dan tak lama

kemudian mereka berhenti di sebuah

lapangan terbuka. Hal 106.

y) Di Ruang Pertemuan Mahasiswa

(1) Keduanya berjalan melalui kegelapan ke

arah ruang pertemuan mahasiswa. Hal 126.

z) Di Kamar Mandi Umum

(1) Pagi-pagi Sanshiro pergi ke kamar mandi

umum. Hal 131.

aa) Di Ruang Ganti Pakaian

(1) Di ruang ganti pakaian, ia

memperhatikan sebuah pengumuman besar dari

pabrik tenun Mitsukoshi yang menggambarkan

lukisan seorang wanita cantik yang mirip

Mineko. Hal. 131

bb) Di Lapangan Pertandingan Atletik

(1) Hari ini ia akan pergi ke pertandingan

atletik setelah makan siang. Hal 131.

cc) Di Bukit Buatan

(1) Karena ia tidak bisa melihat dengan

jelas para penonton wanita, Sanshiro

menyelinap pergi dari lapangan permainan

dan tiba di bukit buatan di belakang

tempat duduk penonton wanita. Hal 134.

dd) Di Warung Mie Pojok Jalan Oiwake

(1) Agak jauh sedikit, ia melintasi daerah

yang gelap dan muncul di jalan Oiwake. Di

pojok ada warung mie. Kali ini Sanshiro

mengikuti dorongan hatinya dan menyelinap

ke balik tirai di pintu masuk. Ia ingin

minum. Hal 154.

ee) Di Seiyoken, Ueno

(1) Sanshiro pergi ke perjamuan malam di

Seiyoken setelah di desak-desak Yojiro.

Hal 181.

ff) Di Okano

(1) Mereka berhenti di Okano. Ketika

pulang, Yojiro membeli selai kacang. “Ini

untuk Sensei,” katanya, lalu ia membeli

sekeranjang penuh. Hal 164.

gg) Di Rumah Satomi

(1) Sepotong papan nama bertuliskan “Satomi

Kyosuko” terbaca ditiang pintu gerbang

yang beratap genting. Hal 166.

hh) Di Pameran Kelompok Tanseikai

(1) “Apa kau sudah menonton pameran

kelompok Tanseikai?” Tanya Mineko.

“Belum.” Jawab Sanshiro. “Mereka mengirimi

aku dua karcis gratis, tapi sampai saat

ini aku tidak punya waktu. Kau mau pergi

sekarang?” Ajak Mineko pada Sanshiro. Hal

172.

ii) Di Bawah Pohon Dekat Hutan Ueno

(1) “Ayo berteduh di bawah pohon-pohon

itu.” Ajak Mineko. Hal 179.

jj) Di Bukit Suribachi

(1) Sanshiro dan Yojiro mendaki bukit

Suribachi untuk menatap bulan. Hal 188.

kk) Di Yonchome

(1) Saat itu masih terlalu sore sehingga ia

pergi dulu ke Yonchome untuk membeli baju

dalam dari wol di sebuah toko barang-

barang impor. Hal 193.

ll) Di Rumah Haraguchi, Akebono-cho

(1) Kini ia menuju ke Akebono-cho, ke

tempat Haraguchi. Hal 206.

mm) Di Ruang Pertunjukan Drama Masyarakat Sastra

(1) Di dalam terang sekali. Hal 240.

nn) Di Gereja

(1) Setelah membelok tiga kali, Sanshiro

tiba tepat di depan gereja. Hal 252.

2) Latar Waktu : Tahun 1912 yaitu pada tahun Meiji

ke- 45. Hal. 235

3) Latar Sosial

a)Status tokoh dalam novel ini adalah sebagai

seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas

Yayoi-cho.

b)Kebiasaan hidup di Kumamoto, jika memiliki

pikiran pesemisme terhadap Negara Jepang maka

akan dipukuli, dihajar dan ditangkap karena

dianggap berkhianat.

4)  Latar  Suasana

a) Malu

(1) Sanshiro merasa malu

dengan topinya karena menunjukan ia baru

lulus SMA. Hal 5

(2) Merasa malu karena

membuang sampah ke luar jendela kereta,

dan sampahnya mengenai wanita yang duduk

di hadapannya yang kepalanya sedang

menghadap ke jendela. Hal 4.

b)  Sedih

(1) Rasa terkejutnya sama seperti anak desa

yang untuk pertama kalinya berdiri di

tengah-tengah ibukota. Pendidikannya tak

lagi bisa melunakkan terpaan itu dan tak

menolongnya. Ia merasa segumpal

kepercayaan dirinya menghilang. Dan hal

ini membuatnya sedih. Hal 17.

c) Khawatir, Terkurung dan Terasing.

(1) Saat pertama kali melihat

Tokyo yang begitu sibuk, Shanshiro

khawatir tidak bisa menyatu pada dunia

yang begitu sibuk itu dan ia merasa

khawatir akan ditinggalkan oleh dunia yang

bergerak bergemuruh itu. Hal 18

d) Kagum dan Terkesan

(1) Saat menemui Nonomiya

pertama kali, Sanshiro merasa terkesan

melihat Nonomiya yang begitu tekun

meneliti tekanan cahaya bahkan penelitian

itu sampai setengah tahun berlalu, tapi

Nonomiya menjalankan penelitiannya dengan

suka cita dan tak kenal lelah. Hal 22

e) Keheningan dan Kesendirian

(1) Kesendirian menyebar ke

atas permukaan seperti selubung awan.

Kesunyian pun lengkap, seolah-olah ia

duduk sendirian di gudang bawah tanahnya

Nonomiya. Hal 23

f) Kagum dan Antusias

(1) Sanshiro mengagumi arsitektur bangunan

Universitasnya dan merasa antusias untuk

memulai kuliah.Hal  31

g) Kecewa

(1) Kuliah dimulai pada 11 September tetapi

tak satupun kelas-kelas yang sudah mulai

ada kuliah. Hal 30.

(2) Sesaat kemudian terdengar suara biola

di ruang lain. Suara nya segera

menghilang, seolah-olah segumpal angin

membawanya dari suatu tempat, membuyarkan

suara itu, dan menghempasnya lagi.

Sanshiro merasa kecewa karena tidak

mendengar suara biola itu lagi. Hal 167.

h)  Jenuh

(1) Setelah kuliah, Sanshiro

merasa jenuh karena sang Dosen memberi

kuliah dengan gaya deklamasi. Hal 33.

i) Tidak Mengerti

(1) Sang dosen menerangkan

mengenai keterbukaan Jepang terhadap Barat

namun menjadi sulit dimengerti ketika

menyinggung banyak nama filsuf besar

Jerman. Hal 33.

j) Resah

(1) Sanshiro agak resah karena

dijejali terlalu banyak informasi saat

kuliah. Hal 34.

k) Tertekan

(1) Di selang antara kuliah-kuliah ia

mendengar para mahasiswa membicarakan

tentang alumnus yang bersaing untuk

mendapatkan kedudukan di sebuah Sekolah

Negeri. Sanshiro merasakan sesuatu yang

berat dan menekan, seolah-olah masa depan

yang masih jauh mendekatinya. Hal 35.

l) Kegembiraan yang Lenyap

(1) Sanshiro mengikuti kuliah yang bukan

bidangnya, ia menghabiskan 40 jam dalam

seminggu untuk kuliah. Hal 36

m)Senang

(1) Karena pengaruh anggur serta sejenis

perasaan yang menyenangkan, Sanshiro hari

itu menikmati pelajarannya dengan perasaan

senang yang belum pernah dialaminya. Hal

40.

(2) Saat jalan-jalan di kota, ia

mendengarkan suara drum dan bel dari

kejauhan. Apa yang tertinggal dari suara

itu adalah sensasi yang menyenangkan. Hal.

60

(3) Sanshiro merasakan suatu kesenangan

aneh bahwa ia tidak mengerti kuliah itu.

Hal.67.

(4) Merasa senang berada di wilayah

akademi, jauh dari dunia nyata yang

bergemuruh. Di dunia akademi semua hal

begitu damai dan senyap, lebih senyap dari

seluruh hari-hari dan bulan-bulan yang

sepi. Wilayah akademi adalah rumah

pembakar penderitaan duniawi. Hal 73.

n)  Ngeri

(1) Suatu perasaan ngeri menerpa

Sanshiro.Hal 47.

o) Sejuk

(1) Sanshiro samar-samar merasa sejuk. Ia

memperhatikan bahwa jendela diatas mejanya

terbuka. Hal 70

p) Takut

(1) Ketakutan menggelitik dan mengalir

melalui punggung sampai ke ujung kakinya.

Hal 47.

q) Cemas

(1) Sanshiro cemas, kejadian itu baru

beberapa saat yang lalu ketika gemuruh

kereta lewat. Sampai saat itu, si wanita

masih hidup. Hal 48.

(2) Cemas dengan adik Nonomiya yang sedang

sakit. Hal 46.

r) Merasa Terganggu

(1) Tiap kali pandangannya menangkap pohon

api ia merasa terganggu, dan terutama

seperti malam ini, saat cahaya bulan yang

kebiruan mencetak bayangan gelap dengan

tepian pohon yang mengingatkannya pada

asap rokok. Hal 70.

s) Kepedihan yang Menyesakkan

(1) Ia merasakan kepedihan yang menyesakkan

saat menyadari bahwa di sana ia juga telah

membenamkan sang ibu tersayang di alam

pikirannya. Hal 72.

t) Ramai

(1) Semakin jauh mereka berjalan, semakin

ramai kerumunan yang mereka masuki. Hal

102.

u) Tenang

(1) Sanshiro duduk di ruang yang tenang

itu. Hal 167.

v) Remang

(1) Cuaca yang berkabut menambah suasana

keremangan. Hal 168.

w) Senyap

(1) Pikiran Sanshiro telah bergerak dalam

suasana senyap ini tanpa disadarinya. Hal

209.

x) Riang

(1) Lukisan itu membuat perasaan Sanshiro

ringan. Efeknya membuat perasaan riang,

seperti naik sebuah sampan yang sedang

melaju cepat. Hal 210.

y) Menakjubkan

(1) Gerakan-gerakan Hamlet di panggung tampak

menakjubkan. Hal 243.

z) Kegembiraan

(1) Gerakan tokoh dramawan Hamlet ketika

berdiri di tengah panggung, merentangkan

tangan lebar-lebar atau menatap langit, ia

menumbuhkan suatu kegembiraan sehingga

para penonton tidak menyadari apapun

kecuali dirinya. Hal 244.

(2) Sanshiro tidak punya pikiran apa pun

tentang apa arti cerita lucu Yojiro,

tetapi sekarang ia merasa gembira. Hal.

249.

aa) Iri

(1) Haraguchi masuk ke dalam kerumunan dan

menghilang di dekat Mineko dan Yoshiko.

Sanshiro yang memperhatikan setiap gerakan

kelompok itu dengan perhatian yang jauh

lebih besar dibandingkan ketika ia

menyaksikan pertunjukan, tiba-tiba merasa

tidak senang dengan cara Haraguchi itu.

Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa

seseorang bisa mendekati orang lain dengan

cara yang begitu menyenangkan. Mungkin

Sanshiro harus mencoba meniru Haraguchi.

Tetapi dengan kesadaran penuh ia akan

meniru orang lain menghancurkan

keberaniannya untuk mencoba. Hambatan

lebih jauh oleh ketidakmungkinan

menyelinap di tengah-tengah ruang yang

tersisa, membuat Sanshiro tetap tinggal di

tempatnya. Hal 243.

bb) Galau

(1) Dengan pikiran seperti itu ia tertidur.

Tidur yang terlalu galau baik bagi nasib

maupun bagi Yojiro untuk menyentuhnya. Hal

200.

cc) Menyesal

(1) “Saya dengar engkau akan menikah.” Kata

Sanshiro. “Engkau tahu?” Tanya Mineko

sembari menyepitkan lipatan alis matanya

untuk memandang Sanshiro. Matanya berkata

sekarang ia lebih menyesalkan hal itu

daripada seharusnya. Setelah memandang

Sanshiro sejenak, Mineko melepaskan napas

panjang yang hampir tidak terdengar.

Akhirnya, menyentuhkan sapu tangannya ke

alis matanya yang lebat ia bergumam, “Saya

mengakui kesalahan saya, dan dosa-dosa

saya sebelumnya.” Hal 254.

e.  Alur                                  :

Maju

f.  Sudut Pandang               : Orang ketiga

serba tahu

g.  Amanat :

Jika menyukai seorang wanita dan ingin

menikahinya maka harus memiliki keberanian untuk

mengungkapkan perasaanya.

h. Gaya Bahasa                     : Modern

Klasik

4. Unsur  Ekstrinsik Novel “Sanshiro”

a. Aspek Sejarah

1) Jepang pada abad sekarang dikenal sebagai

negara yang bersih, dan warganya sangat menjaga

kebersihan, tetapi dalan novel Sanshiro yakni

Jepang pada tahun 1912, Sanshiro justru

membuang kotak kayu kosong bekas tempat

makannya ke luar jendela kereta api. Hal 4.

Hirota Sensei juga membungkus sisa-sisa buah

persik dengan kertas koran dan melemparkannya

ke luar jendela. Hal 13

2) Konstitusi diumumkan pada tahun 1889, Tahun

Meiji kedua puluh dua. Mentri Pendidikan, Mori

Arinori, dibunuh sebelum ia pergi ke upacara

itu. Hal 235

b. Aspek Sosiologis

1) Di Kumamoto, orang yang berani menjelek-

jelekkan Jepang, pasti dipukuli dan dihajar,

bahkan mungkin ditangkap karena dianggap

berkhianat. Hal 15

2) Pada halaman 47 dalam novel Sanshiro terdapat

seorang wanita yang bunuh diri dengan

menabrakkan dirinya ke kereta yang sedang

melintas. Saat mengetahui kejadian bunuh diri

tersebut, Sanshiro teringat perkataan Hirota

Sensei mengenai Kehidupan yang bisa berbahaya.

Motif bunuh diri yang dilakukan sang wanita

tidak diketahui, namun budaya bunuh diri sudah

ada di Jepang sejak lama. Biasanya bunuh diri

dilakukan dengan alasan tidak bisa menahan rasa

malu. Daripada menanggung rasa malu dan

kehormatan serta harga dirinya hilang lebih

baik membunuh diri.

3) Di Akademi tempat Sanshiro belajar terdiri

dari murid-murid yang santai-santai belajar

serta rajin. Namun lebih banyak yang santai-

santai saja. Hal 70

4) Masyarakat kota adalah orang-orang yang hidup

di bawah kolong langit yang cukup luas, yang

memungkinkan mereka menjadi jujur terhadap diri

mereka sendiri, tidak seperti di desa yang

penuh basa basi. Hal 102.

5) Di Tokyo jika ada anak nyasar atau hilang,

pasti langsung diserahkan ke polisi untuk

dibantu mencari keluarganya. Hal 103

6) Mahasiswa Sastra berkumpul dan mereka membuat

gerakan agar tidak hanya orang asing saja yang

menjadi dosen mereka melainkan orang jepang pun

harus menjadi dosen mereka. Hal 130

7) Masyarakat Tokyo pada tahun 45 Meiji menurut

Hirota Sensei memiliki tingkat egoisme yang

tinggi. Dahulu saat Hirota Sensei masih

mahasiswa, setiap yang ia lakukan pasti ada

hubungannya dengan orang lain. Untuk Kaisar,

orang tua, negara, atau masyarakat.

Tapi menurutnya anak-anak muda zaman

sekarang hanya mementingkan diri sendiri,

seakan mereka hidup hanya untuk dirinya

sendiri. Padahal kehidupan manusia itu seperti

riak air, semakin lama gelombang riak itu

menyebar luas. Hal yang dilakukan satu orang

manusia juga memiliki dampak ke manusia

sekitarnya. Hal 146.

c. Aspek Politis

1) Keadaan politik di negara-negara dalam novel

ini sedang tidak baik karena terjadi perang

untuk memperebutkan kekuasaan atas tanah

jajahan. Hal 2

d. Aspek Religiusitas

1) Di Jepang, agama Shinto, Budha dan Kristen

memiliki banyak pemeluk. Kuil-kuil pun

bertebaran, dalam novel Sanshiro, di dekat kuil

Tako-Yakushi di Kyoto dideskripsikan sebagai

tempat yang menjual mainan bagus dan murah. Hal

2.

2) Segala sesuatu yang ada pada Hirota Sensei

mengingatkan Sanshiro pada seorang pendeta

Shinto. Hal 10

3) Hirota Sensei, mengatakan bahwa ia mengerti

mengapa para Taois memilih buah persik sebagai

buah abadi. Hal 12

4) Dahi dan mata Nonomiya yang lebar

mengingatkan orang akan Budha. Hal 20

5) Nonomiya dan Sanshiro meninggalkan gerbang

samping dan berjalan sepanjang kuil Karatachi

ke arah jalan yang ramai. Hal 27

6) Fakultas Teknik yang jauh di ujung sebelah

kiri seluruhnya terlihat bagaikan puri Barat

pada abad pertengahan. Bentuknya persegi

sempurna. Bahkan jendela-jendelanya juga

persegi. Tetapi pojok-pojok dan lorong-

lorongnya bundar, dengan tiang-tiang semacam

menara berjajar yang mungkin dimaksudkan mirip

menara-menara kecil di sebuah kuil. Strukturnya

utuh sebagaimana seharusnya sebuah kuil. Hal 32

7) Sanshiro berdiri untuk memberi penghormatan.

Ia membayangkan, beginilah cara yang seharusnya

dilakukan ketika seorang pendeta Shinto

mengenakan sabuknya untuk sebuah upacara suci.

Hal 32.

8) Untuk menghilangkan rasa bosan, Sanshiro

jalan-jalan ke Tabata, Dokanyama, kuburan di

Somei, penjara Sugamo, Kuil Gokokuji. Hal 59

9) Tak lama kemudian mereka sampai ke sebuah

kuil tua yang berdampingan dengan semak belukar

pohon cedar yang baru dibabat serta tanahnya

diratakan untuk pembangunan sebuah rumah

bergaya Barat yang bercat biru. Hal 65

10) Seorang pengemis berlutut di tanah di luar

kuil Ogannon. Hal 101

11) Sanshiro menatap ke cermin dan tempat lilin.

Keduanya secara aneh memberikan suasana Barat.

Bersama dengan pikiran itu, tiba-tiba muncul

pikiran yang menghubungkan suasana ini dengan

agama katolik. Hal 167

12) Pada hari Minggu, Mineko pergi ke gereja.

Karena ingin mengembalikan uang, Sanshiro pun

pergi ke gereja. Di depan gerbang gereja,

Sanshiro menunggu Mineko keluar sembari

mendengar nyanyian/ hymne. Hal 252

e. Aspek Psikologi

1) Sanshiro adalah pemuda pendiam, saat seorang

Ibu muda memintanya mencari penginapan. Karena

menurutnya wanita itu orang asing, dan

bagaimanapun ia seorang wanita, sebenarnya ia

ingin menolak, namun karena begitu pendiam ia

kesulitan untuk mengemukakan alasan menolak

jadi ia membantunya mencari penginapan dan ikut

menginap di penginapan itu. Hal 5

2) Karena terbiasa hidup di desa yang kuno,

ketika menginjakkan kakinya di Tokyo yang

begitu sibuk, Sanshiro merasa sedikit tertekan.

Hal 18

3) Sanshiro begitu polos sehingga saat melihat

seorang Geisha yang bermake-up sangat putih ia

tidak menyukainya, menurutnya make-up/ talek

yang digunakan geisha itu terlalu putih

sehingga terlihat seperti hantu tembok.

Karena Sanshiro adalah pemuda polos ia

pun hanya menyukai kesederhanaan. Seperti

menurutnya wanita yang kulitnya putih kecoklat-

coklatan seperti kue beras (senbei) yang tembus

cahaya dan agak sedikit gosonglah yang cantik

alami tanpa dibuat-buat. Hal 29

4) Sanshiro menyukai Mineko dari pertama kali

mereka bertemu. Mineko pun sepertinya tertarik

pada Sanshiro hal ini bisa dilihat dari hal-hal

yang dilakukan oleh Mineko terhadap Sanshiro.

a) Menurut buku Personal Attraction karya

Kevin Hogan dan Mary Lee LaBay Mata

memberikan banyak informasi mengenai perasaan

yang tersembunyi di hati seseorang. Kita

tidak bisa melihat perasaan di hati

seseorang, tapi kita bisa mengetahui

perasaannya melalui matanya. Mata adalah

cermin hati. Dengan melihat matanya kita bisa

mengetahui apakah orang itu sedang sedih,

kesal, bahagia, terpesona, atau ketakutan.

Kita bisa mengetahui apakah seseorang

tertarik atau tidak dengan melihat matanya.

Awal cinta pandangan pertama juga berawal

dari pandangan atau kontak mata. Saat

Sanshiro pertama kali melihat Mineko ia terus

memandang Mineko sembari duduk di pinggir

kolam kampus.

Jika Mineko tidak tertarik pada

Sanshiro, ia tidak perlu menatap Sanshiro, ia

bisa saja memandang jalanan atau memandang

ujung jalan, berjalan terus seakan tidak ada

siapa-siapa di pinggir kolam. Namun saat di

pinggir kolam, di halaman 25 setelah

memandang pohon, matanya turun dan melirik

Sanshiro.

Sanshiro sangat menyadari, bahwa

sepasang mata yang hitam dan dalam itu

menatapnya. Dan cinta pun jatuh dari mata ke

hati. Mineko pun berjalan melewati Sanshiro

dan menjatuhkan bunga putih di depannya,

seakan seperti ingin memberikan bunga itu

untuk Sanshiro.

b)Pada novel Sanshiro halaman 56. Saat Sanshiro

dan Mineko bertemu untuk kedua kalinya di

rumah sakit, Mineko bertanya pada Sanshiro

mengenai letak ruang nomer 15 yakni ruangan

adiknya Sohachi yang sedang sakit. Bukankah

Mineko sudah pernah menjenguk adiknya Sohachi

sebelumnya.

Bahkan saat bertemu dengan Sanshiro

pertama kali, Mineko sedang jalan-jalan

bersama seorang perawat. Jadi, pertanyaan

Mineko mengenai letak ruangan nomer 15

hanyalah sekedar pertanyaan yang diajukan

karena ingin mengobrol dengan Sanshiro. Hal

56

c)Lalu pada saat pertemuan mereka yang ketika

di rumah sewa Hirota Sensei yang baru. Mereka

berdua datang terlalu cepat, dan memutuskan

untuk menyapu dan mengepel rumah itu terlebih

dahulu. Di lantai atas setelah mereka berdua

selesai menyapu dan mengepel, mereka menatap

ke luar jendela memperhatikan awan.

Namun akhirnya Yojiro datang, merasa

terganggu dengan kedatangan Yojiro akhirnya

Mineko mengatakan “Mereka datang lebih

cepat,” Hal 82

d)Saat membereskan buku-buku Hirota Sensei,

Mineko melihat sebuah album dan

menunjukkannya pada Sanshiro. Hal 85

e)Mineko juga bertanya apakah ia boleh menulis

tentang Sanshiro. Hal 88

f)Mineko, sambil tetap melipat pakaian, menatap

Sanshiro. Hal 89

g) Saat Sanshiro, Mineko, Hirota Sensei,

Yoshiko dan Nonomiya pergi untuk melihat

pertunjukan boneka Chrysanthemum, suasana

sangat ramai, penonton sangat penuh. Karena

begitu ramai, pengap dan kekurangan oksigen,

Mineko merasa pusing.

Ia pun pergi keluar arena pertunjukan.

Sanshiro mengikutinya karena khawatir. Mereka

berjalan menjauh mencari ketenangan. Akhirnya

mereka duduk di pinggir sungai, menatap

langit dan sungai lalu mengobrol. “Pengemis

yang tadi kita lihat seharusnya duduk di

sini.” Kata Mineko. Sanshiro pun menjawab

“Nonomiya benar. Kita bisa berada di sini

cukup lama tanpa seorang pun mengganggu.”

“Bukankah itu lebih baik?” Kata Mineko

seakan ia suka berada di sini cukup lama

bersama Sanshiro tanpa seorangpun mengganggu.

Hal 108.

Tiba-tiba seseorang datang dan melihat

mereka berdua. Sanshiro merasa tidak nyaman

dengan tatapan orang itu, lalu ia berkata

“Aku yakin Pak Guru Hirota dan Nonomiya

mencari-cari kita.” Nampaknya dugaan itu

hanya untuk Sanshiro. Mineko justru tidak

peduli. Ia menjawab “Jangan cemas. Kita

pemuda dan gadis yang sudah besar. Tak apa-

apa kalau kita tersesat.”

“Tapi kita memang tersesat, dan aku

yakin mereka berusaha mencari kita”, Sanshiro

mendesak. Ketidakpedulian Mineko bertambah.

Tapi Sanshiro terus mendesak “Engkau merasa

lebih enak sekarang? Kita harus pulang

sekarang.”

Mineko menatapnya. Sanshiro bangkit,

tapi kemudian ia duduk kembali. Baru kemudian

Sanshiro menyadari ada sesuatu dalam

dirinya : arti gadis ini terlalu besar bagi

dirinya. Samar-samar ia juga merasakan

perasaan rendah diri menyertai kesadaran yang

telah dilihatnya.

Sambil tetap menatap padanya, si gadis

berkata, “Anak hilang.” Sanshiro tidak

menanggapi. “Apa engkau tahu bagaimana

menerjemahkannya ke bahasa Inggris?” Tanya

Mineko. Sanshiro tidak tahu.

“Mau tahu?” Tanya Mineko.

“Boleh.” Jawab Sanshiro.

“Stray Sheep, jelas?” Kata Mineko.

Sanshiro tidak tahu harus menjawab

apa. Ia terdiam lalu memandang Mineko dengan

putus asa dan tidak berkata apa-apa.

Sebaliknya Mineko menjadi serius. “Apakah aku

tampak begitu maju bagimu?” Tanya Mineko.

Sanshiro tidak menjawab apa-apa.

Akhirnya karena Sanshiro terus diam,

Mineko berkata “Baiklah kalau begitu, marilah

kita pulang,” kata Mineko tiba-tiba. Mineko

mengatakannya dengan berbisisk, seolah-olah

ia menerima nasib sebagai seorang yang tidak

berarti bagi Sanshiro. Mereka pun pergi,

Mineko bangkit dari duduknya, sembari

bergumam “Domba yang hilang.” Pada dirinya

sendiri dengan nada suara yang hampir-hampir

tak terdengar.

Sanshiro dan Mineko sudah sampai ke

kubangan lumpur yang memenuhi jalan setapak

di gang itu, dan ditengah-tengahnya seseorang

menempatkan batu pijakan. Sanshiro melompat

ke seberang tanpa bantuan batu itu, kemudian

berbalik untuk mengawasi Mineko.

Mineko mendapatkan kaki kanannya di

batu pijakan, tetapi batunya bergoyang. Ia

bergoyang ke belakang dan ke depan,

menyiapkan langkah untuk melompat. Sanshiro

mengulurkan tangannya. “Sini. Peganglah.”

Kata Sanshiro.

“Tidak, aku tidak apa-apa.” Kata

Mineko tersenyum. Seakan mengatakan bahwa

wanita kota adalah wanita yang mandiri.

Selama Sanshiro mengulurkan tangannya, Mineko

tetap diam di tempatnya.

Mineko melompat dengan seluruh

kekuatan dan tekanan pada kaki kanannya

kemudian melemparkan kaki kirinya ke

seberang. Tetapi karena berusaha kakinya

tidak terkena lumpur, ia melompat sangat kuat

dan kehilangan keseimbangan. Ia jatuh

kehadapan Sanshiro, tangannya mencengkram

lengan Sanshiro.

“Domba yang hilang”, ia mengguman pada

dirinya sendiri. Sanshiro bisa merasakan

napas Mineko di depannya. Hal 104 s/d 112

Sebenarnya Mineko masih ingin lebih

lama lagi bersama Sanshiro di pinggir sungai,

tapi karena Sanshiro besar di desa, dan adat

istiadat di desa mengajarkan bahwa tidak baik

hanya duduk berdua-duaan saja bersama lawan

jenis di tempat sepi, jadi setelah ada orang

lewat yang menatap Sanshiro dengan tatapan

yang memiliki arti seperti ini “Tidak baik

duduk berdua-duaan saja bersama lawan jenis

di tempat yang sepi.” Jadi Sanshiro mengaak

Mineko untuk kembali ke tempat pertunukan

boneka Chrysantemum.

Sedangkan Mineko yang dibesarkan di

Ibukota pada zaman Meiji yakni zaman di mana

Jepang menyerap seluruh pengaruh dari budaya

Barat mentah-mentah, maka menurut Mineko

tidak apa-apa duduk menikmati sungai dan awan

bersama orang yang disenangi.

Tapi melihat Sanshiro yang tidak

tertarik untuk duduk bersama Mineko untuk

menikmati keindahan alam ia pun menyerah dan

mengikuti perkataan Sanshiro yakni kembali ke

Pertunjukan Boneka Chrysantemum untuk bertemu

Hirota Sensei dan yang lainnya.

h)Beberapa hari kemudian Mineko mengirimkan

kartu pos dengan gambar sungai kecil dengan

rumput yang kusut di tepiannya, serta dua

ekor domba berbaring di pinggir rumput itu.

Di seberang sungai berdiri seseorang berbadan

besar berjalan dengan sebuah tongkat. Nama si

pengirim hanya tertulis “Anak Hilang.”

Tapi Sanshiro tidak menjawab kartu pos

ini, sehingga saat bertemu Mineko saat

pertandingan atletik, Mineko hanya diam dan

memandang ke atas yakni ke sebuah pohon yang

tinggi. Pada saat Sanshiro menatap mata

Mineko, Sanshiro melihat seberkas sinar yang

padam.

Setelah Sanshiro bertanya “Kenapa kau

meninggalkan tempat itu? Aku melihat betapa

gembiranya kau di sana.” Mineko akhirnya

tersenyum kecil. Ia tersenyum karena senang.

Sanshiro memperhatikan walaupun duduk di

tempat yang sangat jauh. Hal 135.

i)Sanshiro bertanya pada Mineko “ Tadi Nonomiya

datang dan ngobrol sesuatu denganmu?”

“Di lapangan?” Mineko balik bertanya.

“Ya, di dekat pembatas,” kata Sanshiro,

tetapi ia ingin menelan kembali pertanyaan

itu.

“Ya.” Mineko menjawab dan menatap

Sanshiro tajam. Bibir bawahnya mulai

menyungging senyum yang dirasakan Sanshiro

lama sekali.

Akhirnya Mineko berkata “Engkau belum

membalas kartuposku.” Dengan menahan malu

Sanshiro menjawab “Nanti.” Hal 139

j)Sanshiro datang ke rumah Mineko untuk

meminjam uang, karena uang Sanshiro dipinjam

oleh Yojiro, dan Yojiro tidak memiliki uang

uantuk membayarnya sehingga, Yojiro meminta

Mineko untuk meminjamkan uang ke Sanshiro

untuk bayar uang sewa rumah Sanshiro.

Saat Sanshiro datang Mineko sedang

bermain biola, tapi ketika sang pembantu

memberi tahu kedatangan Sanshiro, suara biola

itu tidak terdengar lagi padahal Sanshiro

ingin mendengar suara biola itu. Sanshiro

menunggu cukup lama.

Mineko seakan tahu bahwa Sanshiro

ingin medengarkan suara biola lagi, maka

Mineko memainkannya sebentar, lalu ke ruang

tamu. Ia mengenakan sehelai kimono sutera

yang gemerlap. Mungkin ia membiarkan Sanshiro

menunggu lama begitu agar bisa berganti

pakaian. Hal 168

Mineko berkali-kali melihat ke jendela

dan berkata “Rasanya seperti mau hujan.”

“Tidak, tidak hujan.” Sanggah Sanshiro.

“Baiklah, kalau begitu aku mau jalan-

jalan.” Kata Mineko.

Sanshiro menafsirkan hal ini sebagai

permintaan baginya untuk segera pergi,

padahal maksud Mineko adalah Mineko ingin

mengajak Sanshiro jalan-jalan keluar.

Sanshiro berkata “Rasanya cukup, aku mau

pulang,” Mineko memandangnya sampai ke pintu.

Sanshiro sedang mengenakan sepatu di lorong

pintu masuk. Akhirnya Mineko buru-buru

berkata “Aku ingin ikut sebentar denganmu,

boleh?”

“Kalau kau mau,” Sanshiro menjawab

sambil mengikat tali sepatunya. Sesaat

kemudian Mineko turun ke lantai beton. Ia

menjulurkan badan ke dekat Sanshiro dan

bergumam “Kau marah?” Sanshiro tidak

menjawab.

Di alam pikiran Sanshiro, ia sibuk

berpikir, bahwa Mineko pasti dididik supaya

bertindak menurut caranya sendiri. Sekarang,

sebagai wanita muda, tak diragukan lagi bahwa

ia lebih memiliki kebebasan di rumahnya

daripada gadis-gadis lain, dan bisa

mengerjakan apa pun yang dia sukai.

Hal itu jelas sekali karena dia bisa

berjalan dengan Sanshiro seperti ini tanpa

minta izin terlebih dahulu. Ia bisa melakukan

hal ini karena tidak lagi punya orang tua dan

karena kakak lelakinya, yang juga masih muda,

tidak membatasinya.

Namun kalau hal ini dilakukan di desa,

ia tidak mungkin bisa melakukannya. Tokyo

berbeda dari desa, terbuka luas, sehingga

kebanyakan wanita di sini mungkin seperti

Mineko. Hal 171

Mineko meminta Sanshiro mengambil uang

Mineko di Bank sebanyak 30 yen. Setelah

Sanshiro mengambil uang itu, Mineko berkata

“Tolong simpankan saja dulu uang itu padamu.”

Saat Sanshiro datang ke rumah Mineko,

ia justru mengatakan bahwa ia tidak jadi

meminjam uang, mungkin sebaiknya ia meminta

pada Ibunya, karena Sanshiro tidak ingin

merepotkan Mineko terlebih Mineko tidak

meminta izin kakaknya.

Namun sepertinya menurut Mineko, uang

yang akan dipinjamkan ke Sanshiro adalah

uangnya sendiri bukan uang kakaknya jadi

tidak perlu meminta izin ke kakaknya segala.

Uang ini bebas digunakan oleh Mineko untuk

apa saja, karena uang ini didapatkan dari

hasil kerja Mineko sebagai model papan atas.

Walaupun Sanshiro menolak untuk

meminjam, Mineko justru memaksanya, Ia

mengajak Sanshiro ke luar untuk mengambil

uang di Bank dan mengatakan “Tolong simpankan

saja uang itu.” Setelah itu Mineko mengajak

Sanshiro ke pameran Tanseikai. Hal 172.

Sanshiro tetap tegak di tempatnya dan

kembali memeriksa lukisan kanal Venesia. Di

tempat yang lebih tinggi, Mineko memandang ke

sekeliling. Sanshiro tidak memperhatikannya.

Mineko berhenti di suatu tempat, menatap

tajam pada profil Sanshiro. Hal 174

Di Pameran, Mineko dan Sanshiro bertemu

Haraguchi dan Nonomiya. Haraguchi mengajaknya

ke Seiyokan untuk minum teh. Mineko menatap

Sanshiro. “Selama kita ada di sini, kita juga

melihat segalanya. Bukan begitu menurut

Engkau?” Tanya Mineko pada Sanshiro. Sanshiro

menyahut “Memang, demikian.” Hal 177.

Terlihat jelas, bahwa Mineko lebih suka

melihat-lihat pameran bersama Sanshiro

disbanding minum the bersama Haraguchi,

Nonomiya dan Sanshiro di Seiyokan.

k)Setelah beberapa hari kemudian Sanshiro

bertemu dengan Mineko dan Yoshiko di

Yonchome. Mineko dan Yoshiko ingn membeli

parfum. Saat Mineko bertemu dengan Sanshiro

ia tersenyum seperti senang telah bertemu

Sanshiro di Yonchome.

Sanshiro pun menyarankan parfum yang

harus dibeli oleh Mineko, walaupun sebenarnya

Sanshiro sama sekali tidak memiliki

pengetahuan mengenai parfum, dengan

sekenanya, ia memungut sebuah botol berlabel

“Heliotrope.” Mineko segera membeli parfum

yang disarankan oleh Sanshiro. Sanshiro agak

sedikit menyesal karena memilih parfum itu

asal-asalan. Hal 194.

l)Beberapa hari kemudian Sanshiro berencana

mengembalikan uang yang dipinjamkan Mineko.

Saat itu Mineko sang model papan atas, sedang

menjadi model lukisan Haraguchi di rumah

Haraguchi. Sanshiro pun mendatangi rumah

Haraguchi, dan menyaksikan Mineko sedang di

lukis. Sanshiro terus menatap Mineko.

Sembari melukis Haraguchi bercerita

tentang sepasang suami istri. Sang suami

sepertinya sudah tidak mencintai sang istri,

lalu menyuruh sang istri pergi, tapi sang

istri tidak ingin pergi karena ia mencintai

suaminya. Akhirnya sang suami pergi.

Sanshiro tidak mengerti kenapa

Haraguchi bercerita tentang kisah seperti

ini. Tapi Mineko mengerti. Maksud Haraguchi

adalah sebaikanya menikah dengan orang yang

mencintai kita bukan dengan orang yang kita

cintai, karena jika menikah dengan orang yang

mencintai kita, setidaknya kita bisa belajar

mencintainya, tapi jika menikah dengan orang

yang dicintai terkadang sulit untuk mengajari

orang tersebut untuk mencintai kita. Saat

Haraguchi istirahat, Sanshiro pun duduk di

samping Mineko “Ini uangnya aku kembalikan.”

“Apa yang bisa kulakukan dengan uang

itu di sini?” Jawab Mineko tanpa mengulurkan

tangan. Akhirnya Haraguchi menyuruh Mineko

berdiri lagi untuk dilukis. Saat melukisnya

Haraguchi menyuruh Sanshiro menatap mata

Mineko.

Katanya Haraguchi tidak bisa melukis

apa yang ada di hati Mineko, ia hanya melukis

apa yang tampak, ia hanya melukis mata itu

sebagaimana adanya. Namun ketika mata itu

terlukis maka ekspresi yang ada di hati

terlihat. Mata memang cermin jiwa.

Haraguchi melihat perubahan ekspresi

di mata dan wajah Mineko dan menurutnya

sebaiknya melukisnya dilanjutkan besok saja

karena Mineko terlihat lelah. Sanshiro

memperhatikan wajah Mineko, wajah Mineko

muram, gairahnya lenyap. Susut mata Mineko

mengungkapkan kelesuan. Sanshiro menjadi

merasa karena kehadiran dirinyalah Mineko

jadi tidak bersemangat.

“Aku tidak membutuhkan uang itu.

Pegang saja.” Kata Mineko. Kemudian, sebuah

angkong datang, penumpangnya seorang pria

gagah. “Kau terlambat sekali, aku datang

menjemputmu. Yuk, jalan. Kakakmu juga sudah

menunggu.” Lalu Mineko naik ke angkong itu.

Hal 219.

Kakak Mineko akan segera menikah.

Mineko dan Yoshiko tidak bisa tinggal

bersamanya selamanya, karena hanya akan

mengganggu rumah tangga mereka. Sementara itu

sang kakak memperkenalkan Mineko dengan

teman kakaknya. Sebenarnya sudah dikenalkan

sejak lama, dan sudah akrab juga.

Laki-laki itu tadinya melamar Yoshiko,

tapi karena menurut Yoshiko ia masih terlalu

muda untuk menikah maka ia menolak, karena

ini zaman Meiji maka mudah saja menolak atau

menerima lamaran. Pria itu pun menceritakan

penolakan Yoshiko kepada kakaknya Mineko, dan

kakaknya Mineko akhirnya menyuruhnya untuk

menikah dengan Mineko saja.

Mineko sebenarnya mencintai Sanshiro

tapi ia merasa sepertinya Sanshiro tidak

memiliki perasaan yang sama dengannya. Kartu

Pos bergambar dua domba yang hilang hanya

dibalas surat berisikan rasa terima kasih

sudah dipinjami uang. Lalu Sanshiro melunasi

uang itu dengan cepatnya, karena Mineko belum

membutuhkan uang itu, jadi menurutnya

sebaiknya dikembalikannya nanti saja. Menurut

Mineko, hidup tidak melulu harus mengurusi

masalah uang.

Karena menurut Mineko, Sanshiro tidak

menyukainya serta karena menurut Haraguchi

lebih baik menikah dengan orang yang

mencintai kita daripada dengan orang yang

kita cintai akhirnya ia menerima lamaran

teman kakaknya.

m)Akhirnya Sanshiro berhasil mengembalikan uang

pinjaman itu saat menunggu Mineko di luar

gereja. Setelah Sanshiro mengembalikkan uang

itu, Mineko menarik tangannya keluar mantel,

ia menggenggam sapu tangan putih.

Diletakkannya saputangan putih itu di

wajahnya sambil memandang Sanshiro. Mineko

tentu menghirup sesuatu dari balik bajunya.

Segera ia mengangkat saputangan dari

wajahnya.

Saputangan itu melewati wajah Sanshiro.

Sebuah keharuman yang tajam mengalir dari

saputangan itu.

“Heliotrope,” Kata Mineko lembut.

Ternyata Mineko memakai parfum yang

dipilihkan Sanshiro dengan senang hati.

“Saya dengar engkau akan menikah.” Kata

Sanshiro. Mineko meletakkan saputangannya di

lengan.

“Engkau tahu?” tanyanya menyepitkan

lipatan alis matanya untuk memandang Sanshiro

seakan ia tidak ingin Sanshiro tahu. Mineko

membuat Sanshiro dalam suatu jarak, matanya

berkata sekarang ia lebih menyesalkan hal itu

daripada seharusnya.

Seakan ia menyesal telah menerima

lamaran itu. Setelah memandang Sanshiro

sejenak, Mineko melepaskan napas panjang yang

hampir tak terdengar. Akhirnya, menyentuhkan

saputangannya ke alis matanya yang lebat ia

bergumam, “Saya mengakui kesalahan saya, dan

dosa-dosa saya sebelumnya.” Ia berbicara

terlalu perlahan untuk bisa didengar tetapi

Sanshiro dapat menangkapnya dengan jelas.

Sangat terlihat sekali bahwa Mineko

menyesali lamaran itu. Namun ia tidak bisa

membatalkan lamaran itu juga, karena

persiapan pernikahannya juga sudah sangat

matang. Takdir seseorang memang ditentukan

oleh karakter yang dimilikinya. Karena

Sanshiro begitu pendiam dan kaku, ia begitu

lamban sekali sehingga kalah cepat dengan

teman kakaknya Mineko saat memprebutkan

Mineko.

Terlebih karena Sanshiro adalah anak

desa, adat istiadatnya mengajarkan dirinya

harus menuruti perkataan orang tua maupun

gurunya. Terlebih Hirota Sensei mengatakan

bahwa Sanshiro harus menuruti Ibunya, karena

setiap hal yang dilakukan oleh satu orang

manusia sangat berpengaruh kepada orang

disekitarnya. Ibu Sanshiro juga sudah

menuliskan di surat bahwa ia tidak ingin

memiliki menantu orang kota karena ia tidak

mengerti pola pikir wanita kota.

Walaupun ia lebih ingin menikah dengan

Mineko daripada dengan pilihan Ibunya, tapi

karena ia begitu pasif jadi ia tidak bisa

mendapatkan apa yang ia inginkan. Karena

hanya orang yang antusias serta mengerahkan

usaha yang lebih besarlah yang bisa

mendapatkan apa yang ia inginkan. Hal 254

f. Aspek Antropologi

1) Masyarakat Jepang pada zaman Meiji, masih

menggunakan kimono. Tidak seperti di abad ke 21

di mana masyarakat Jepang sudah memakai pakaian

ala Barat.

2) Keadaan antara kota dan desa sangat beda, jika

di kota segala sesuatunya begitu sibuk dan

berjalan begitu cepat, di desa justru segala

sesuatunya berjalan begitu lambat dan tenang.

Hal 17

3) Orang Jepang biasanya melakukan salam dengan

membungkukkan badan dan kepalanya. Hal 20

4) Di Jepang ada hantu tembok yakni hantu yang

berwajah sangat putih. Hal 29

5) Budaya orang Jepang meminum sake sudah

berkembang sudah sejak lama. Di zaman Meiji di

dalam novel Sanshiro pun Sanshiro dan temannya

yakni Yojiro datang ke restoran untuk makan

malam dan minum sake. Minum sake merupakan hal

biasa bagi mereka seperti orang Indonesia yang

minum air putih. Hal 37

6) Pada zaman Meiji, budaya membaca sudah

berkembang dalam novel Sanshiro, saat Sanshiro

ke perpustakaan untuk meminjam buku. Semua

buku-buku itu pasti sudah ada coretan-

coretannya yang menandakan buku-buku ini

pastilah sudah di baca. Hal 39

7) Pada novel Sanshiro halaman 52, karena

Sanshiro adalah orang dusun maka ia tidak

mengetuk pintu, menurutnya mengetuk pintu

rasanya terlalu modern.

8) Pada zaman Meiji, belum ada TV maupun bioskop,

biasanya masyarakat menonton acara teater

komedi di Kiharadana. Di sana, Sanshiro dan

Yojiro mendengarkan seorang pendongeng bernama

Kosan. Hal 37. Selain itu biasanya masyarakat

kota uga menonton pertunjukan boneka

Chrysantemum di Dangozaka. Hal 60

9) Pada Hari Ulang Tahun Kaisar, maka sekolah pun

libur. Hal 75

10) Di Kumamoto, Sanshiro hanya pernah minum sake

merah, bir lokal yang murah. Hanya itu saja

yang pernah diminum seluruh siswa Kumamoto, dan

tak seorang pun mempertanyakan kebiasaan itu.

Berbeda dengan makanan yang dimakan oleh

Sanshiro dan teman-temannya di Tokyo, bagi

Sanshiro makanannya enak, karena terbiasa

dengan makanan di Kumamoto yang biasa saja,

namun walaupun menurut Sanshiro rasa makanannya

enak, tapi kata teman Sanshiro rasanya kurang

enak, mungkin dia terbiasa makan makanan yang

lebih enak daripada ini. Hal 127.

11) Sanshiro selalu merasa salah tingkah dengan

kehadiran seniornya. Ia menafsirkan hal ini

sebagai hasil pendidikan gaya Kyushu yang

diterimanya. Hal 150

g. Aspek Ekonomi

1) Di novel Sanshiro, Jepang sedang mengalami

perang, dan banyak barang-barang yang harganya

naik. Hal 3 dan 35. Dalam segi prekonomian yang

dialami Sanshiro sendiri lumayan cukup karena

orang tuanya masih memberikan Sanshiro uang

untuk biaya kuliah, makan, dan sewa rumah.

Namun karena meminjamkan uang ke Yojiro

akhirnya Sanshiro harus meminjam uang ke

Mineko, tapi karena merasa tidak enak meminjam

uang ke Mineko, akhirnya Sanshiro meminta uang

lagi kepada orang tuanya untuk bayar hutang ke

Mineko.

Padahal karena Mineko menyukai Sanshiro,

Mineko justru malah senang bisa membantu

Sanshiro, tapi Sanshiro terlalu terburu-buru

untuk membayarnya, seperti minjam uang sama

siapa saja. Hal ini membuat Mineko tidak

terlalu senang dan akhirnya memutuskan menikah

dengan teman kakaknya saja.

h. Aspek Filsafat

1) Filsafat moral = Bagaimanapun yang paling

penting adalah menjaga kesetiaan. Hal 3

2) Filsafat Moral = Sanshiro, pemuda polos dari

desa terkejut karena melihat seorang Ibu muda

yang sudah tergerus modernisasi, yang bergaya

hidup bebas, dengan tenangnya menawari

menggosok punggung Sanshiro saat Sanshiro

sedang berendam, ia pun tidak segan-segan ingin

berendam bersama Sanshiro. Sanshiro yang masih

berpijak pada Filsafat moral orang timur pun

menyudahi acara berendamnya karena teringat

ibunya di rumah. Hal 6

3) “Tokyo lebih besar dari Kumamoto. Dan Jepang

lebih besar daripada Tokyo. Dan yang lebih

besar dari Jepang adalah yang ada di dalam

kepala.” Kata Hirota Sensei dengan nada

filosofi. Hal 16

4) Alam punya pengaruh sekecil apa pun terhadap

karakter seseorang yang tidak bisa

menerjemahkan alam ke dalam kepribadiannya. Dan

karakter yang dimiliki seseorang sangat

mempengaruhi takdir hidupnya. Hal 63

C. Pembahasan

Yuanita Pranoto menulis di skripsinya yang berjudul

“Natsume Soseki dalam karyanya Sanshiro” bahwa Natsume

Soseki dapat dikatakan menjurus pada aliran anti

naturalisme, dalam bahasa Jepangnya Hanshizenshugi.

Sanshiro dan Botchan ditulis dengan melihat manusia itu

secara keseluruhan dan penuh berisikan keindahan dan

juga keburukan karakternya.

Hubungan antar unsur masing-masing novel tidak

terlalu terkait, dalam aspek sosiologi, Botchan adalah

pemuda yang dibesarkan di kota dan bekerja di Shikoku,

sementara Sanshiro adalah pemuda desa yang kuliah di

ibukota. Sementara itu, masyarakat kota dan desa sangat

berbeda, kecuali desa yang sudah tergerus modernisasi.

Dalam aspek psikologi, Botchan dan Sanshiro sama-

sama merasa kesulitan beradaptasi. Banyak kejadian yang

terjadi pada kehidupan mereka dan mereka merespon semua

kejadian itu berdasarkan karakter mereka. Botchan

dengan pembawaanya yang pemberani, semangat, dan mudah

marah serta selalu memandang sesuatu dari segi negatif,

sementara Sanshiro merespon seluruh kejadian yang

terjadi di kehidupannya saat ia kuliah di Tokyo dengan

pasif, pendiam, terima apa adanya, dan berpikiran

positif.

Sementara dari aspek religiusitas antara novel

Botchan dan Sanshiro, karena latar tempat berada di

Jepang sehingga di segala tempat pasti ada kuil, dan

patung budha namun di novel Sanshiro, tidak hanya ada

agama Budha dan Shinto saja melainkan ada tokoh yang

memeluk agama Kristen, yakni sang tokoh utama wanita.

Dari segi ekonomi dalam kedua novel tersebut,

antara Sanshiro dan Botchan mereka tidak terlalu miskin

sekali karena selama nafas masih berhembus, rezeki

manusia pasti akan selalu menyertai manusia tersebut.

Sementara itu dalam aspek politik, dalam novel Botchan,

Jepang sedang berseteru dengan Cina, sedangkan di novel

Sanshiro, Jepang sedang ikut berpartisipasi dalam

perang.

Namun dalam aspek antropologi dan sejarah dari

kedua novel ini tentu sama karena latar tempat dalam

kedua novel ini berada di Jepang. Sedangkan dalam aspek

filsafat kedua novel ini berisikan filsafat moral.

Jenis cerita Botchan dan Sanshiro adalah mengenai

kehidupan masyarakat namun ada beberapa unsur cinta,

baik cinta dengan lawan jenis maupun cinta antara orang

yang lebih tua maupun anak yang ia anggap sebagai

anaknya sendiri.

Sesuai dengan teori Luckacs, Goldmann dalam Faruk

(1994: 18) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu

novel "idealisme abstrak", "romantisme keputusasaan",

dan novel-novel "pendidikan". Novel Botchan dan

Sanshiro adalah jenis pertama yang disebut "idealisme

abstrak" karena dua hal.

Dengan menampilkan tokoh yang masih ingin bersatu

dengan dunia, novel itu masih memperlihatkan suatu

idealisme. Akan tetapi, karena persepsi tokoh itu

tentang dunia bersifat subjektif, didasarkan pada

kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi abstrak.

Botchan dengan idealismenya bahwa “Selama saya

jujur, maka tidak masalah orang lain mendapatkan

keuntungan dari saya.” Serta idealisme Sanshiro yakni

“Saya harus tetap seperti dulu yakni pemuda desa yang

polos dan tidak boleh berubah. Di sini latar belakang

pendidikan tak ada gunanya.

Yang paling utama adalah kepribadian.” Botchan dan

Sanshiro, pemuda yang hijrah dari tempat mereka

dibesarkan, dan menyadari bahwa dunia yang luas ini

sungguh memiliki realitas kehidupan yang ternyata

berbeda dari realitas kehidupan di tempat asal mereka.

Karena mereka sudah 23 tahun dibesarkan di tempat

asal mereka, mereka pun berusaha agar mereka tetap

menjadi diri mereka dan tidak kehilangan jati diri

walau terus tergerus oleh kehidupan yang menurut mereka

cukup asing dan sangat berbeda dari tempat mereka

dibesarkan.

Sementara itu kisah hidup Sanshiro seperti kisah

hidup Natsume Soseki saat ia kuliah di Departemen

Sastra Inggris di Tokyo Imperial University. Ending

kedua novel ini adalah sad ending. Dalam novel Sanshiro,

novel ini diakhiri dengan pernikahan Mineko dengan pria

lain. Mineko adalah gadis yang dicintai oleh Sanshiro,

namun karena Sanshiro begitu pendiam, hubungannya

dengan Mineko belum mengalami banyak kemajuan, sampai

akhirnya Mineko dimiliki oleh orang lain.

Namun, jika kehidupan dalam novel ini adalah sebuah

kehidupan nyata yang ditulis oleh Natsume Soseki,

tentunya hidup tidak berakhir sampai di situ. Pada

akhirnya Sanshiro harus melanjutkan hidupnya, lulus

dari kuliahnya dan kembali ke desanya untuk menikah

dengan Miwata Omitsu yakni gadis yang dipilihkan oleh

Ibu Sanshiro untuk Sanshiro. Sanshiro adalah pemuda

penurut, ia pasti akan menuruti Ibunya.

Botchan memiliki kemiripan dengan kehidupan Natsume

Soseki yakni mengajar di daerah Shikoku menjadi guru

Matematika, dan di dunia nyata, Natsume Soseki juga

menjadi guru tapi guru bahasa Inggris, sementara itu

Botchan menjadi guru matematika karena tidak menyukai

sastra dan sekolah di Ilmu Alam Tokyo sedangkan Natsume

Soseki menyukai sastra dan kuliah di Departemen Sastra

Inggris di Tokyo Imperial University. Kisah Botchan

terinspirasi dari kisah hidup Natsume Soseki sendiri

yakni menjadi guru di Shikoku.

Ending novel Botchan adalah sad ending dengan

meninggalnya Kiyo di akhir cerita. Kiyo adalah pembantu

Botchan yang sangat menyayangi Botchan, dan Botchan pun

menyayanginya. Jika novel ini diteruskan, tentunya

kehidupan Botchan tidak berakhir bersamaan dengan

meninggalnya Kiyo.

Botchan pasti akan mengajar di Kyushu selama empat

tahun, pergi ke Inggris untuk menjadi mahasiswa

peneliti selama tiga tahun dan akhirnya mengalami sakit

parah sehingga harus meninggal di umurnya yang ke 49

tahun di tahun 1916 seperti kehidupan Natsume Soseki.

Untunglah Natsume Soseki mengabadikan kisah hidupnya

dalam sebuah novel, sehingga walaupun sudah berpuluh-

puluh tahun berlalu, kisah hidupnya masih diingat orang

lain, bahkan dari penjuru dunia lainnya.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Adapun unsur intrinsik tersebut terdiri dari Tema,

Tokoh, Penokohan, Latar tempat, suasana, waktu, alur,

sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Sedangkan unsur

ekstrinsik dalam novel ini terdiri dari aspek

psikologi, sosiologi, antropologi, biografi pengarang,

religiusitas, ekonomi, sejarah, politik dan filsafat.

Skripsi ini juga membahas mengenai Hubungan antar

unsur masing-masing novel yakni dalam aspek sosiologi,

Botchan adalah pemuda yang dibesarkan di kota dan

bekerja di Shikoku, sementara Sanshiro adalah pemuda

desa yang kuliah di ibukota. Sementara itu, masyarakat

kota dan desa sangat berbeda, kecuali desa yang sudah

tergerus modernisasi.

Dalam aspek psikologi, Botchan dan Sanshiro sama-

sama merasa kesulitan beradaptasi. Banyak kejadian yang

terjadi pada kehidupan mereka dan mereka merespon semua

kejadian itu berdasarkan karakter mereka. Botchan

dengan pembawaanya yang pemberani, semangat, dan mudah

marah serta selalu memandang sesuatu dari segi negatif,

sementara Sanshiro merespon seluruh kejadian yang

terjadi di kehidupannya saat ia kuliah di Tokyo dengan

pasif, pendiam, terima apa adanya, dan berpikiran

positif.

Sementara dari aspek religiusitas antara novel

Botchan dan Sanshiro, karena latar tempat berada di

Jepang sehingga di segala tempat pasti ada kuil, dan

patung budha namun di novel Sanshiro, tidak hanya ada

agama Budha dan Shinto saja melainkan ada tokoh yang

memeluk agama Kristen, yakni sang tokoh utama wanita.

Dari segi ekonomi dalam kedua novel tersebut,

antara Sanshiro dan Botchan mereka tidak terlalu miskin

sekali karena selama nafas masih berhembus, rezeki

manusia pasti akan selalu menyertai manusia tersebut.

Sementara itu dalam aspek politik, dalam novel Botchan,

Jepang sedang berseteru dengan Cina, sedangkan di novel

Sanshiro, Jepang sedang ikut berpartisipasi dalam

perang.

Namun dalam aspek antropologi dan sejarah dari

kedua novel ini tentu sama karena latar tempat dalam

kedua novel ini berada di Jepang. Sedangkan dalam aspek

filsafat kedua novel ini berisikan filsafat moral.

Jenis cerita Botchan dan Sanshiro adalah mengenai

kehidupan masyarakat namun ada beberapa unsur cinta,

baik cinta dengan lawan jenis maupun cinta antara orang

yang lebih tua maupun anak yang ia anggap sebagai

anaknya sendiri.

Sesuai dengan teori Luckacs, Goldmann dalam Faruk

(1994: 18) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu

novel "idealisme abstrak", "romantisme keputusasaan",

dan novel-novel "pendidikan". Novel Botchan dan

Sanshiro adalah jenis pertama yang disebut "idealisme

abstrak" karena dua hal. Dengan menampilkan tokoh yang

masih ingin bersatu dengan dunia, novel itu masih

memperlihatkan suatu idealisme.

Akan tetapi, karena persepsi tokoh itu tentang

dunia bersifat subjektif, didasarkan pada kesadaran

yang sempit, idealismenya menjadi abstrak. Botchan

dengan idealismenya bahwa “Selama saya jujur, maka

tidak masalah orang lain mendapatkan keuntungan dari

saya.” Serta idealisme Sanshiro yakni “Saya harus tetap

seperti dulu yakni pemuda desa yang polos dan tidak

boleh berubah. Di sini latar belakang pendidikan tak

ada gunanya. Yang paling utama adalah kepribadian.”

Botchan dan Sanshiro, pemuda yang hijrah dari

tempat mereka dibesarkan, dan menyadari bahwa dunia

yang luas ini sungguh memiliki realitas kehidupan yang

ternyata berbeda dari realitas kehidupan di tempat asal

mereka. Karena mereka sudah 23 tahun dibesarkan di

tempat asal mereka, mereka pun berusaha agar mereka

tetap menjadi diri mereka dan tidak kehilangan jati

diri walau terus tergerus oleh kehidupan yang menurut

mereka cukup asing dan sangat berbeda dari tempat

mereka dibesarkan.

Sementara itu kisah hidup Sanshiro seperti kisah

hidup Natsume Soseki saat ia kuliah di Departemen

Sastra Inggris di Tokyo Imperial University. Ending

kedua novel ini adalah sad ending. Dalam novel Sanshiro,

novel ini diakhiri dengan pernikahan Mineko dengan pria

lain. Mineko adalah gadis yang dicintai oleh Sanshiro,

namun karena Sanshiro begitu pendiam, hubungannya

dengan Mineko belum mengalami banyak kemajuan, sampai

akhirnya Mineko dimiliki oleh orang lain.

Namun, jika kehidupan dalam novel ini adalah sebuah

kehidupan nyata yang ditulis oleh Natsume Soseki,

tentunya hidup tidak berakhir sampai di situ. Pada

akhirnya Sanshiro harus melanjutkan hidupnya, lulus

dari kuliahnya dan kembali ke desanya untuk menikah

dengan Miwata Omitsu yakni gadis yang dipilihkan oleh

Ibu Sanshiro untuk Sanshiro. Sanshiro adalah pemuda

penurut, ia pasti akan menuruti Ibunya.

Botchan memiliki kemiripan dengan kehidupan Natsume

Soseki yakni mengajar di daerah Shikoku menjadi guru

Matematika, dan di dunia nyata, Natsume Soseki juga

menjadi guru tapi guru bahasa Inggris, sementara itu

Botchan menjadi guru matematika karena tidak menyukai

sastra dan sekolah di Ilmu Alam Tokyo sedangkan Natsume

Soseki menyukai sastra dan kuliah di Departemen Sastra

Inggris di Tokyo Imperial University. Kisah Botchan

terinspirasi dari kisah hidup Natsume Soseki sendiri

yakni menjadi guru di Shikoku.

Ending novel Botchan adalah sad ending dengan

meninggalnya Kiyo di akhir cerita. Kiyo adalah pembantu

Botchan yang sangat menyayangi Botchan, dan Botchan pun

menyayanginya. Jika novel ini diteruskan, tentunya

kehidupan Botchan tidak berakhir bersamaan dengan

meninggalnya Kiyo.

Botchan pasti akan mengajar di Kyushu selama empat

tahun, pergi ke Inggris untuk menjadi mahasiswa

peneliti selama tiga tahun dan akhirnya mengalami sakit

parah sehingga harus meninggal di umurnya yang ke 49

tahun di tahun 1916 seperti kehidupan Natsume Soseki.

Untunglah Natsume Soseki mengabadikan kisah hidupnya

dalam sebuah novel, sehingga walaupun sudah berpuluh-

puluh tahun berlalu, kisah hidupnya masih diingat orang

lain, bahkan dari penjuru dunia lainnya.

B. Saran-Saran

Setelah penulis menyusun skripsi ini, penulis

berharap agar dikemudian hari ada penulis-penulis lain

yang mengusung tema skripsi seperti ini atau

melanjutkan penelitian seperti ini, misal novel jepang

lain yang lebih baru tahun terbitnya dan dikaji

berdasarkan pendekatan mimesis, biografis, sosiologis,

psikologis, antropologis, historis, mitopik, ekspresif,

pragmatis, atau objektif, serta menggunakan metode

lainnya misal intuitif, hermeneutika, kualitatif,

analisis isi, formal, dialektika atau deskriptif

analisis dan teori formalisme, strukturalisme dinamik,

semiotika, strukturalisme genetik, atau strukturalisme

naratologi.

Penyusunan skripsi ini memiliki implementasi yang

sangat penting yakni penulis ataupun pembaca skripsi

ini bisa mengamati kehidupan masyarakat, kejiwaan

manusia, budaya suatu daerah, perekonomian suatu

tempat, pola pikir maupun sejarah suatu tempat yang

jauh dari kehidupan penulis dan pembaca skripsi ini

dengan menelitinya melalui kehidupan tokoh di dalam

novel, karena terkadang kisah dalam novel merupakan

cerminan masyarakat di dunia nyata. Manfaat lainnya

yakni dengan menganalisis dan menentukan unsur-unsur

intrinsik dalam novel maka penulis maupun pembaca dapat

mengenal suatu karya sastra lebih dekat lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Asoo, Isoji, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang.Depok : Penerbit Universitas Indonesia.

親親 親親親親 親 親 親 親、。1975. 目目目夏 親親親親親親親親親親。:。

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Hutabarat, Jonnie Rasmada, dkk. 2007. Dari Botchansampai Kalong Taman Firdaus. Depok: Fakultas IlmuPengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Hogan, Kevin dan Mary Lee LaBay. 2008. PersonalAttraction, Agar Siapapun Tertarik Kepada Anda dan Tidak BisaMenolak Anda. Jakarta: Ufuk Press.

Luxemburg , Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mandah, Darsimah, dkk. 1992. Pengantar KesusastraanJepang. Jakarta: Grasindo

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya Sastra,Metode, dan contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka OborIndonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan TeknikPenelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural StudieRepresentasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. 2013. Kritik Sastra. Bandung: CV Angkasa.

Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra : Analisis Psikologi.Surakarta: Muhammadiyah University Press.

親親 親親 親 親 親 親 親、夏。1972.目目目目 親親。: 親親親。

Soseki, Natsume. 1987. Sanshiro. Jakarta: PT PantjaSimpati.

Soseki, Natsume. 2009. Botchan. Jakarta: PT Gramedia.

Sugihastuti. 2011. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Sugihastuti dan Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis Teoridan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan, PendekatanKuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: PenerbitAlfabeta.

Syuropati, Mohammad A dan Agustina Soebachman.2012. 7 Teori Sastra Kontemporer dan 17 Tokohnya.Yogyakarta: IN AzNa Books.

Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT KiblatBuku Utama.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. TeoriKesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yu, Beongcheon. 1969. Natsume Soseki. New York : TwaynePublishers, Inc.

http://id.wikipedia.org/wiki/Natsume_Soseki

www.japantimes.co.jp

LAMPIRAN

A. Riwayat Hidup

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Amelia Az-Zahra

2. Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 27 Februari 1994

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Alamat : Jln. Warakas III Gg.15 No.18

Rt.005 Rw. 014, Tanjung Priok,

Jakarta Utara.

Alamat Email : [email protected]

Pendidikan Formal

1. TK Negri Papanggo di Jakarta tahun 1998 s/d 1999

2. SDN Warakas 03 Pagi di Jakarta tahun 1999 s/d 2005

3. SMPN 95 di Jakarta tahun 2005 s/d 2008

4. SMAN 18 di Jakarta tahun 2008 s/d 2011

Pengalaman Organisasi

1. Pramuka sebagai anggota tahun 2002

2. PMR sebagai Junior tahun 2005 s/d 2006

3. Paduan Suara sebagai anggota tahun 2006 s/d 2007

4. KIR sebagai anggota tahun 2007 s/d 2008

5. Klub Bahasa Jepang sebagai Kohai tahun 2008 s/d

2009

6. Rohis sebagai anggota tahun 2008 s/d 2010

7. Rohis sebagai Ketua Keputrian tahun 2010 s/d 2011

8. HIMA PBS sebagai anggota tahun 2011 s/d 2012

9. IMM FKIP UHAMKA Jakarta Selatan sebagai anggota

2011-2012

10. HIMAWARI sebagai Sekretaris Bidang I

Organisasi tahun 2012 s/d 2013

11. IMM FKIP UHAMKA Jakarta Selatan sebagai Ketua

Bidang VI IMMAWATI tahun 2012-2013

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan

sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan serta

dipergunakan sebagaimana mestinya.

B. Kronologi Kehidupan Natsume Soseki (Beongcheon

Yu, 1969 : Xiii)

1867 Natsume Kinnosuke-better known by his pen

name Soseki – Born

February 9, Edo (Tokyo), Japan.

Soon put out to nurse.

1868 Adopted into the Shiobara family.

1874 -1878 Attends primary schools in Tokyo

1876 Returns home with stepmother after divorce

from her husband, but

retains the name of Shiobara

1878-1884 Attends secondary schools in Tokyo;

studies Chinese classics and

English.

1881 Mother dies

1884-1890 Attends the First Higher School, majoring

in English.

1888 Regains the name of Natsume

1889 For the first time uses the pen name Soseki

1890-1893 Attends the Imperial University of Tokyo,

majoring in English

literature

1892 Writes on Laotzu; joins the editorial staff

of Tetsugaku Zasshi;

writes on Whitman.

1893 Reads a paper on the concept of nature in

English poetry; enters the

Gradute School of the University;

appointed a lecturer of the Tokyo

Higher Normal School.

1894-1895 Stays for several weeks at a Zen temple in

Kamakura.

1895 Accepts a position with the secondary school

in Matsuyama;

composes haiku poetry.

1896-1900 Teaches at the Fifth Higher School in

Kumamoto

1896 Marries Nakane Kyoto

1900-1902 Sent to England to study English; stays in

London

1903 Returns to Japan; appointed a lecturer at

both the First Higher

School and the Imperial Univerity

of Tokyo; in the latter, begins a

series of lectures on English

literature.

1905 I Am a Cat begins to appear in Hototogisu.

1906 Publishes his first collection, Seven

Stories; completes I Am a Cat ;

at his home, holds the first of

the Thursday gatherings; declines the

Yomiuri offer.

1907 Publishes his second collection, Three

Stories; accepts the Asahi

offer to serialize his work;

resigns from the university; delivers

“ The Philosophical Basis of

Literary Art’; The Poppy, the first

serial novel.

1908 The Miner; delivers “The Novelist`s

Attitude”; Sanshiro

1909 Spring Miscellanies, a series of personal

essays; And Then;

declines the gold cup for the

highest vote in the Taiyo`s

contemporary artist popularity

poll; journeys through Manchuria

and Korea ; agrees to take charge

of the Asahi literary columns.

1910 The Gate; suffers a serious attack of ulcers

at Shuzenji; begins

Random Recollections.

1911 Declines the governmet’s Doctor of Letters

degree, on lecturing

tours, suffers an attack of

ulcers; treated for hemorrhoids; his fifth

daughter, Hinako, dies.

1912 Until After the Spring Equinox ; treated

again for hemorrhoids; tries

water-color painting; complains of

loneliness; begins Kojin.

1913 After an interruption,completes Kojin;

delivers “Imitation and

Independence.”

1914 Kokoro; suffers the fourth attack of ulcers;

delivers “My

Individualism.”

1915 Within the Sash-Door; journeys to Kyoto ,

where he suffers another

attack of ulcers; Loitering.

1916 Treated for diabetes; Light and Darkness;

following his last attack

of ulcers, dies December 9;

buried in Zoshigaya Cemetery Tokyo.

C. Novel Botchan Halaman Pertama

D. Novel Sanshiro Halaman Pertama