Post on 28-Mar-2023
PENGATURAN DALAM PENGURUSAN SURAT IZIN MENGEMUDI
(SIM) BAGI PEJABAT DIPLOMATIK ASING YANG
DIAKREDITASIKAN DI INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa
mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun
subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.
Menyangkut hubungan internasional tentu akan berkaitan pula
dengan hubungan diplomatik. Keterkaitan antara hubungan
internasional dan hubungan diplomatik yaitu hubungan
diplomatik sebagai salah satu cara yang dipergunakan dalam
menjalin hubungan internasional, yang secara khususnya
menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Dalam
rangka mengembangkan hubungan dengan negara-negara lain
secara formal, adanya hubungan diplomatik merupakan
kenyataan.1 Menurut Sir Ernest Satow, diplomasi adalah
penerapan kemampuan ketrampilan serta intelegensi dalam
pelaksanaan hubungan luar negeri antarpemerintah dari
negara-negara yang berdaulat. Browlie mengartikan diplomacy
sebagai comprises any means by which states establish or maintain mutual
relations, communicate with each other, or carry out political or legal
transactions, in each case through their authorized agents. Pelaksanaan
1 Masyhur Effendi, SH. MS, Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas AktifAsas Hukum Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa , 1993, Usaha Nasional,Surabaya, hlm. 64
diplomasi biasanya melalui perwakilan-perwakilan resmi dan
hampir semua negara berdaulat mempunyai kantor perwakilan
untuk menempatkan wakil-wakil resminya di negara lain.2
Terkait hukum diplomatik di mana dalam perkembangannya
mempunyai lingkup yang lebih luas. Tidak hanya mencakup
hubungan diplomatik antar negara tetapi juga hubungan
konsuler, misi khusus dan keterwakilan negara dalam
hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional
khususnya yang bersifat universal.3 Perbedaan perwakilan
diplomatik dan perwakilan konsuler secara tegasnya bahwa
fungsi perwakilan diplomatik terutama pada urusan
representation (perwakilan), dan negotiation (perundingan),
sedangkan perwakilan konsuler lebih mengutamakan fungsi
perlindungan atas kepentingan para warga negara pengirim di
negara penerima serta memajukan kepentingan perdagangan,
industri, dan pelayaran antara kedua negara. Perlu
diketahui bahwa dalam praktik hubungan diplomatik dan
konsuler, apabila suatu negara tidak membuka perwakilan
diplomatik dan hanya membuka perwakilan konsuler maka
tugas-tugas kediplomatikan dapat dilakukan oleh perwakilan
konsuler. Begitu pula apabila suatu negara tidak membuka
perwakilan konsuler tetapi membuka perwakilan diplomatik
maka tugas-tugas kekonsuleran dapat dilaksanakan oleh
perwakilan diplomatik.4
2 Sir Ernest Satow dan Ian Browlie, dalam Widodo, Hukum Diplomatik dan KonsulerPada Era Globalisasi, 2012, LaksBang Justitia, Surabaya, hlm. 14.3 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, 2013, PT. Tatanusa,Jakarta, hlm. 54 Widodo, op.cit, hlm. 49.
Dalam Konvensi Wina 19615, Pasal 3 diatur mengenai
tugas-tugas dari perwakilan diplomatik antara lain untuk
negotiation, protection dan observation. Adanya pengaturan mengenai
beberapa tugas pokok perwakilan diplomatik ini agar
diplomat dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, tidak
lalai/melupakan tugasnya di negara penerima, atau jangan
sampai melakukan hal-hal yang diluar kewajibannya untuk
mewakili negara pengirim di negara penerima. Fungsi
perwakilan konsuler selain ditentukan dalam Pasal 5
Konvensi Wina 19636 juga diatur melalui perjanjian bilateral
antara negara pengirim dan negara penerima. Berdasarkan
kebiasaan internasional, pejabat diplomatik dalam rangka
pelaksanaan tugasnya akan diberikan kekebalan dan
keistimewaan. Pemberian kekebalan dan keistimewaan tersebut
biasanya didasarkan pada asas resiprositas atau timbal
balik. Pasal 25 Konvensi Wina 1961 juga mengatur bahwa
negara penerima harus memberi kemudahan-kemudahan penuh
kepada misi atau perwakilan asing demi pelaksanaan fungsi
perwakilan di negara penerima.
Pemberian fasilitas diplomatik yang diberikan oleh
satu negara dengan negara lainnya tidaklah selalu sama,
biasanya akan tergantung pada kondisi maupun kesepakatan
dari kedua negara yang mengadakan hubungan diplomatik.
Dalam praktiknya pun ternyata tidak selalu berdasar
perlakuan timbal balik. Indonesia sebagai negara yang
berdaulat, juga merasakan pentingnya mengadakan hubungan
internasional, khususnya dengan negara-negara lain. Hal ini
5 Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocols 19616 Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocols 1963
tercermin dalam dasar menimbang Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
bahwa pemerintah Indonesia telah melaksanakan hubungan luar
negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional
maupun internasional. Dalam pelaksanaan hubungan luar
negeri dan politik luar negeri yang bebas aktif, pemerintah
Indonesia di samping membuka dan menempatkan perwakilan
diplomatik dan konsulernya di berbagai negara, juga
menerima perwakilan diplomatik dan konsuler dari negara
lain. Berkaitan dengan pemberian fasilitas diplomatik guna
memperlancar pelaksanaan fungsi dari perwakilan, penulis
tertarik untuk mengangkat judul “Pengaturan Dalam
Pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) Bagi Pejabat
Diplomatik Asing yang Diakreditasikan di Indonesia”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, sesuai dengan judul
makalah ini, permasalahan hukum yang hendak penulis teliti
adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan dalam mengurus/memohon Surat Ijin
Mengemudi (SIM) oleh pejabat diplomatik asing yang
diakreditasikan di Indonesia?
2. Bagaimanakah pengaturan terkait hal serupa yang diatur di
negara-negara lain bagi pejabat diplomatik asing di
negara akreditasi tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan karya tulis
ini adalah:
a) Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Hukum Diplomatik
b) Untuk mencari tahu secara khusus apakah Surat Ijin
Mengemudi (SIM) untuk diplomat dalam peraturan nasional
merupakan salah satu fasilitas diplomatik dan apakah ada
perbedaannya dengan warga negara asing (WNA) yang berada
di Indonesia, sehingga dalam pengurusannya para diplomat
yang karena statusnya merupakan pejabat diplomatik asing
yang mewakili negara pengirim diberikan perlakuan
istimewa atau kemudahan-kemudahan. Oleh karena itu,
penulis dalam bab pembahasan akan membahas prosedur dalam
mengajukan Surat Izin Mengemudi (SIM) menurut peraturan
nasional yang berlaku serta bagaimana ketentuannya dalam
practical guide yang berlaku bagi para diplomat asing di
Indonesia. Selanjutnya, penulis juga akan menggunakan
studi perbandingan untuk mengetahui bagaimana pengaturan
di beberapa negara sebagai bahan pembanding.
1.4 Keaslian Penelitian
Dengan ini menyatakan bahwa permasalahan hukum yang
diteliti dalam karya tulis yang mengambil judul “Pengaturan
Dalam Pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) oleh Pejabat
Diplomatik Asing yang Diakreditasikan di Indonesia”
merupakan karya asli, dan sepengetahuan penulis belum ada
penulisan yang serupa dengan judul makalah yang penulis
angkat. Jadi penulisan ini bukan merupakan duplikasi
ataupun plagiasi dari hasil karya tulis lain. Sependek
penelusuran penulis, terdapat penulisan hukum berikut ini:
1. Penulisan makalah oleh Winanda Kusuma “Kajian Hukum
Implementasi Keistimewaan Pembebasan Pajak Kendaraan Dalam Fungsi
Diplomatik di Indonesia”, UGM, 2014.
2. Penulisan makalah oleh Grizelda “Mekanisme Permohonan Plat
Kendaraan Diplomatik Bagi Diplomat Asing di Indonesia”, UGM, 2014.
Dari dua judul penulisan hukum tersebut, terlihat bahwa
obyek yang diteliti berbeda. Dimana, dalam penulisan
makalah pertama yang menjadi objek penelitian adalah
mengenai pajak kendaraan, sedangkan dalam makalah kedua
objek yang diteliti adalah mengenai plat kendaraan
bermotor. Dari kedua makalah tersebut mempunyai persamaan
dengan tulisan ini yakni terkait kendaraan bermotor, hanya
saja penulis menegaskan kembali bahwa objek yang penulis
kaji adalah mengenai Surat Izin Mengemudi (SIM).
1.5. Metode Penelitian
1) Sifat dan Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini
termasuk ke dalam penelitian hukum normatif atau studi
kepustakaan dalam upaya untuk memperoleh jawaban atas
rumusan permasalahan dalam penulisan hukum ini.
2) Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yakni data
yang diperoleh dengan cara kepustakaan. Data Sekunder ini
menggunakan tiga bahan hukum yakni:
a. Bahan hukum primer: Bahan Hukum Primer, yakni bahan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, yang
dalam tulisan ini penulis menggunakan peraturan
perundang-undangan dan konvensi internasional.
b. Bahan hukum sekunder Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan
hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, yang dalam penulisan ini berupa buku-
buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar koran, pamflet,
brosur, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum
yang termuat dalam media massa dan berita di internet.
c. Bahan hukum tersier merupakan bahan non hukum yang
digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus,
ensiklopedi, dan lain-lain.
3) Jenis Pendekatan
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan
hukum ini ialah pendekatan komparatif yakni suatu
pendekatan yang menggunakan bahan perbandingan.
BAB II PEMBAHASAN
Dasar pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik
pada mulanya hanya didasarkan pada kebiasaan internasional dan
berlandaskan asas timbal balik (resiprositas) yang kemudian
menjadi aturan pokok dan asas-asas yang tertuang dalam
Konvensi Wina 1961. Pemberian kekebalan dan keistimewaan
diplomatik itu sendiri bertujuan untuk menjamin terlaksananya
fungsi para pejabat diplomatik secara efisien, terutama tugas
dari negara yang diwakilinya. Kekebalan dan keistimewaan
sesuai dalam Konvensi Wina 1961 tidak hanya meliputi kekebalan
dan keistimewaan diri pribadi pejabat diplomatik, tetapi
termasuk juga anggota keluarga, staff, staff pembantu dan
pelayan pribadi dari pejabat diplomatik yang bersangkutan.
Namun, bentuk pemberian kekebalan dan keistimewaannya tidaklah
sama. Sejauh mana kekebalan dan keistimewaan yang dapat
dinikmati oleh keluarga, staff, staff pembantu serta pelayan
pribadi dari pejabat diplomatik telah dijabarkan secara umum
dalam Konvensi tersebut. Terdapat juga pengecualian di mana
bagi staff maupun pelayan yang memiliki kewarganegaraan sama
dengan negara penerima, tidak menikmati hak kekebalan maupun
keistimewaan sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961.
Pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “The person of a
diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest or
detention. The receiving state shall treat him with due respect and shall take all
appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity”.
(cetak tebal oleh penulis). Kekebalan yang dimaksud dalam
Pasal ini adalah tidak boleh diganggu gugatnya (inviolability)
seorang pejabat diplomatik, dalam artian pejabat diplomatik
kebal terhadap alat-alat kekuasaan dari negara penerima dan
mempunyai hak untuk tidak dapat dikenakan tindakan kekuasaan
oleh alat-alat kekuasaan negara penerima baik berupa
penangkapan maupun penahanan. Selain itu, negara penerima
melalui alat-alat negaranya wajib untuk menjamin perlindungan
pejabat diplomatik baik dengan mengambil langkah-langkah yang
layak sebagai bentuk pencegahan serangan atas diri,
kemerdekaan, dan martabat pejabat diplomatik.
Kekebalan yang melekat pada pejabat diplomatik, antara
lain7: kekebalan terhadap yurisdiksi pidana, kekebalan terhadap
yurisdiksi perdata dan administrasi, kekebalan daripada
kewajiban untuk menjadi saksi, dan kekebalan dalam mengadakan
komunikasi. Keistimewaan yang diperoleh oleh pejabat
diplomatik, antara lain: pembebasan dari pajak-pajak,
pembebasan dari bea cukai, pembebasan dari kewajiban-kewajiban
keamanan sosial, pembebasan dari pelayanan pribadi dan
militer, dan pembebasan dari kewarganegaraan. Konvensi Wina
juga mewajibkan kepada negara penerima untuk memberikan
fasilitas-fasilitas penuh untuk keperluan daripada pelaksanaan
fungsi perwakilan diplomatik. Sehubungan dengan keistimewaan
diplomatik, kemudahan-kemudahan ini juga bersumber pada
kebiasaan internasional sebagai suatu penghormatan khusus dari
negara penerima. Dalam praktek masing-masing negara penerima
mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri dalam memberikan
kemudahan-kemudahan kepada para pejabat diplomatik sehingga
kemudahan-kemudahan yang diberikan tidak mutlak berdasar asas
resiprositas atau timbal balik.
Widodo8 menjelaskan meskipun pemberian fasilitas
diplomatik tidak semata-mata dilakukan berdasar asas
resiprositas atau timbal balik, tetapi menurut kebiasaan
internasional setiap negara pengirim pada akhir tahun menerima
laporan resmi dari kepala kantor perwakilan diplomatik di luar
negeri tentang berbagai fasilitas dan kemudahan yang didapat
di negara penerima selama satu tahun. Laporan tersebut dapat
dipakai sebagai pertimbangan untuk upaya penyesuaian pemberian
7 Lihat pasal-pasal dalam Konvensi Wina 19618 Widodo, op.cit., hlm. 111.
fasilitas pada kantor perwakilan asing yang terkait di negara
penerima. Menurut Syahmin AK tujuan pemberian kemudahan kepada
perwakilan diplomatik tidak berbeda dengan kekebalan dan
keistimewaan diplomatik lainnya, selain secara teknik
prosedural untuk kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan juga
secara tidak langsung membantu tetap terpeliharanya hubungan
diplomatik yang baik antara kedua negara. Pertimbangan-
pertimbangan masing-masing negara dalam memberikan kemudahan-
kemudahan kepada perwakilan diplomatik adalah selain
pertimbangan berdasarkan hukum, juga tidak terlepas daripada
situasi politik kedua negara yang bersangkutan.9
Pemberian perlindungan bagi para pejabat diplomatik dan
pemberian kekebalan diplomatik asing di Indonesia sebelum
Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Wina 1961,
sekalipun tidak diatur secara khusus di dalam suatu perundang-
undangan tersendiri namun hal ini tetap dijamin dengan adanya
perjanjian-perjanjian bilateral yang dibuat antara Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah negara-negara penerima perwakilan
diplomatik tersebut.10 Setelah berlakunya Konvensi Wina 1961
mengenai hubungan diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai
hubungan konsuler, maka Indonesia pun menjadikan kedua
konvensi tersebut sebagai landasan hukum dalam pemberian
kekebalan dan keistimewaan diplomatik melalui ratifikasi yang
disahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahung
1982. Selain itu, Indonesia tetap berpedoman juga pada hukum
9 Syahmin AK, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, 1988, CV. Armico, Bandung, hlm.97-98.10 Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, 1992, Mandar Maju, Bandung, hlm.85.
dalam kebiasaan internasional maupun peraturan-peraturan
nasional yang berlaku.
Pasal 41 Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa sekalipun
pejabat diplomatik dilengkapi dengan kekebalan dan
keistimewaan namun pejabat diplomatik tetap mempunyai
kewajiban untuk menghormati hukum dan aturan-aturan dari
negara penerima. Jelas bahwa sekalipun pejabat diplomatik
memiliki kekebalan terhadap hukum dari negara penerima, bukan
berarti pejabat diplomatik dapat berbuat semaunya tanpa
memperhatikan aturan hukum yang berlaku di negara penerima.
Ketika suatu pejabat diplomat terbukti telah melakukan
pelanggaran atau kejahatan yang bertentangan dengan aturan-
aturan hukum di tempat ia diakreditasikan, selaku negara
penerima mempunyai hak untuk memohon penanggalan kekebalan
atas pejabat tersebut kepada negara pengirim ataupun langsung
menyatakan persona non grata.
Dasar hukum yang khusus dipergunakan dalam pengakuan
serta pelaksanaan kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik di
Indonesia sebagai negara penerima sesungguhnya belum ada dalam
bentuk kodifikasi dan masih tersebar dalam berbagai undang-
undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri luar negeri,
menteri keuangan, dan sebagainya.11 Dalam meninjau bagaimana
praktiknya suatu negara penerima dalam memberikan perlakuan
kepada pejabat diplomatik yang diakreditasikan di negaranya,
pada umumnya dapat diketahui melalui protocol guidelines yang
dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri dari negara tersebut.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri
11 Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, Hukum Diplomatik dan Konsuler Buku AjarUntuk Mahasiswa, 2008, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 238.
mengeluarkan Practical Guide for The Diplomatic and Consular Officers in
Indonesia untuk menjadi panduan bagi para diplomat di Indonesia
untuk mengetahui sejauh mana pemberian kekebalan dan
keistimewaan terhadap mereka serta apa saja kemudahan yang
dapat dinikmati selama pelaksanaan fungsinya.
Dengan demikian, untuk dapat menjawab permasalahan hukum
yang diangkat oleh penulis, berikut akan dijelaskan dalam
pembahasan selanjutnya mengenai bagaimana prosedur permohonan
dalam pengajuan Surat Izin Mengemudi (SIM) khususnya bagi
diplomat asing di Indonesia. Nantinya penulis juga akan
mencoba melakukan perbandingan dalam implementasinya di
beberapa negara.
2.1 Pengaturan Pengurusan Surat Ijin Mengemudi (SIM) di
Indonesia Menurut Peraturan Nasional dan Panduan Protokol
Bagi Pejabat Diplomatik Asing di Indonesia
Di Indonesia, aturan yang ditentukan dalam rangka
penggunaan jalan bahwa setiap orang wajib berperilaku tertib
dan mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan
keamanan dan keselamatan, dan menimbulkan kerusakan jalan. Hal
ini memberi konsekuensi kepada setiap pengguna jalan untuk
tertib berlalu lintas, misalnya dengan mematuhi tanda marka
jalan dan rambu-rambu lalu lintas. Pejabat diplomatik asing
biasanya diizinkan untuk mengimpor dan memiliki kendaraan
bermotor, umumnya adalah mobil, untuk memudahkan pejabat
tersebut dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya ketika harus
pergi ke suatu tempat. Sesuai dengan aturan dalam Konvensi
Wina 1961 bahwa pejabat diplomatik tetap wajib menghormati
aturan dan hukum yang berlaku di negara penerima, maka setiap
pejabat diplomatik yang berada di Indonesia seharusnya
menghormati aturan-aturan dalam berlalu lintas sebagai
pengguna jalan. Termasuk, ketika pejabat diplomatik
mengemudikan sendiri kendaraan bermotornya harus mempunyai
Surat Izin Mengemudi (SIM).
Ketentuan mengenai SIM di Indonesia tersebar dalan
peraturan perundangan-undangan dan peraturan nasional lainnya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan untuk memiliki SIM
sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan.
Pemberian surat izin mengemudi kendaraan bermotor merupakan
kewenangan kepolisian Republik Indonesia seperti yang
ditetapkan dalam Pasal 15 ayat 2 (c) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam
aturan yang lebih khusus mengenai SIM, diperbolehkan untuk
Warga Negara Asing (WNA) yang berada di Indonesia untuk
mengajukan permohonan penerbitan SIM.12 Untuk dapat
mendaftarkan permohonan penerbitan SIM terdapat persyaratan
yang meliputi usia, administrasi, dan kesehatan. Berikut
pengaturannya seperti yang tercantum dalam Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012
tentang Surat Izin Mengemudi:
Pasal 25(1) Persyaratan usia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf a, paling rendah:a. berusia 17 (tujuh belas) tahun untuk SIM A, SIM C, dan
SIM D;12 Lihat Pasal 6 Perkap No. 9 Tahun 2012 tentang SIM
b. berusia 20 (dua puluh) tahun untuk SIM B I; dan c. berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk SIM B II.d. berusia 20 (dua puluh) tahun untuk SIM A Umum;e. berusia 22 (dua puluh dua) tahun untuk SIM B I Umum;danf. berusia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk SIM B II Umum.
(2) Persyaratan usia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berlaku bagi Warga Negara Indonesia dan Warga NegaraAsing.
Pasal 27(1) Persyaratan administrasi pengajuan SIM baru, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, untuk mengemudikan Ranmorperseorangan meliputi:a. mengisi formulir pengajuan SIM; danb. Kartu Tanda Penduduk asli setempat yang masih berlaku
bagi Warga Negara Indonesia atau dokumen keimigrasianbagi Warga Negara Asing.
(2) Dokumen keimigrasian, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf b, berupa:a. paspor dan kartu izin tinggal tetap (KITAP) bagi yang
berdomisili tetap di Indonesia;b. paspor, visa diplomatik, kartu anggota diplomatik, dan
identitas diri lain bagi yang merupakan staf ataukeluarga kedutaan;
c. paspor dan visa dinas atau kartu izin tinggalsementara (KITAS) bagi yang bekerja sebagai tenagaahli atau pelajar yang bersekolah di Indonesia; atau
d. paspor dan kartu izin kunjungan atau singgah bagi yangtidak berdomisili di Indonesia.
Pasal 33(1) Persyaratan penerbitan SIM Internasional, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf g, meliputi:a. menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Izin
Menetap (KITAP) dan melampirkan fotokopinya;b. menunjukkan SIM yang sah dan masih berlaku serta
melampirkan fotokopinya;c. menunjukkan Paspor yang sah dan masih berlaku serta
melampirkan fotokopinya; dand. menyerahkan pasfoto berwarna terbaru, tampak depan,
berpakaian rapi, dan berkrah, ukuran 4 (empat) x 6(enam) sebanyak 3 (tiga) lembar, berlatar belakangbiru.
(2) Setiap peserta uji SIM Internasional wajib membayar BiayaAdministrasi SIM Internasional yang besarannya sesuaidengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Masa berlaku SIM nasional adalah 5 (lima tahun) dan 3 (tiga)
tahun untuk SIM Internasional yang dapat diperpanjang lagi.13
Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral14
antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, SIM
yang diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara
lain dan SIM yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di
Indonesia.15
Berkenaan dengan Surat Izin Mengemudi (SIM) bagi pejabat
diplomatik asing di Indonesia, dalam practical guide16 disebutkan
dalam part V: Driving Licence for The Diplomatic/Consular Staff adalah
sebagai berikut:
a. A diplomatic or consular staff may apply directly for a driver’s license with
the local police office (in Jakarta, the Polda Metro Jaya c.q. the Directorate
of One Roof Management Unit in Jalan Daan Mogot). In doing so he/she
must show identification card and passport.
b. The Mission may also request a letter of reccomendation addressed to the
local police office from the Directorate of Diplomatic Facilities.
c. Fees will be imposed on the application for a driver’s license according to
regulations.13 Lihat Pasal 11 Perkap No. 9 Tahun 2012 tentang SIM14 Catatan: Salah satu perjanjian internasional yang telah dilakukan olehpemerintah Republik Indonesia dengan negara lain mengenai SIM yaituAGREEMENT ON THE RECOGNITION OF DOMESTIC DRIVING LICENCES ISSUED BY ASEAN COUNTRIESyang ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 9 July 1985. Para pihakdalam perjanjian ini adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina,Singapura, Thailand dan Indonesia sendiri. 15 Lihat Pasal 85 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan AngkutanJalan; dan Pasal 13 Perkap No. 9 Tahun 2012 ttg SIM16 Practical Guide for The Diplomatic and Consular Officers in Indonesia, yang diterbitkanoleh Departemen Umum Protokol dan Konsular Kementrian Luar Negeri RepublikIndonesia tahun 2003.
Jadi berdasarkan practical guide seorang pejabat diplomatik atau
konsuler dapat mengajukan permohonan pembuatan SIM ke kantor
polisi setempat dengan menunjukkan kartu identitas dan pasport
serta membawa surat rekomendasi dari Direktorat Fasilitas
Diplomatik yang dialamatkan ke kantor polisi yang dimaksud.
Pejabat diplomatik dalam hal ini tetap dikenakan biaya sesuai
dengan aturan nasional yang berlaku.
Ketentuan yang disebutkan dalam practical guide sejalan
dengan pengaturan dalam perundang-undangan nasional yang
berlaku di Indonesia, seperti yang telah dijabarkan di atas.
Hanya saja dalam practical guide ini, menjelaskan ketentuan yang
dimaksud secara umum. Namun, baik dalam peraturan nasional
maupun practical guide tidak ada tercantum penjelasan ataupun
aturan dalam pasal yang menunjukkan adanya perbedaan dalam
prosedur pengajuan SIM yang mengindikasikan suatu bentuk
keistimewaan atau pemberian kemudahan (fasilitas) bagi pejabat
yang bersatus diplomatik dengan warga negara biasa (baik WNI
dan WNA), misalnya pembebasan biaya penerbitan SIM bagi
pejabat diplomatik asing. Dengan demikian, dalam hal pengajuan
SIM tidak termasuk ke dalam fasilitas diplomatik atau
kemudahan yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia
bagi para pejabat diplomatik asing yang diakreditasikan di
Indonesia.
2.2 Pengaturan Pengurusan Surat Ijin Mengemudi (SIM) Bagi
Pejabat Diplomatik Asing di Beberapa Negara
Dalam pembahasan ini, akan dijabarkan pengaturan
permohonan pengajuan SIM di beberapa negara sebagai bahan
perbandingan. Cara yang penulis gunakan adalah dengan melihat
ketentuan yang tercantum dalam practical guide bagi pejabat
diplomatik yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri dari
masing-masing negara.
1. Korea (Ministry of Foreign Affairs; Guide for Foreign Mission in Korea; 2013)
Ketentuan mengenai izin mengemudi (driving license) bagi misi-
misi diplomatik asing di Korea:
Members of a mission driving in Korea should hold a valid internationaldriver's license or a driver's license issued by the Government of the Republicof Korea. They must submit a copy of the valid driver's license when applyingto the Ministry of Foreign Affairs for the registration of a motor vehicle.
Members of a mission with a valid driver's license issued by a foreigngovernment (excluding international driver's license) can obtain a Koreandriver's license by submitting the following documents to local driver's licensetest centers:a. Application Form for the Driver's Licenseb. Driver's license (not an international driver's license) issued by the
government of the sending countryc. Korean or English translation of the driver's license (notarized by the
Embassy)d. Passport and diplomatic identification carde. Three color photographs (3 cm x 4 cm)
If a driver's license issued by a foreign government is not available, themember of the mission must take a written examination, performance testand on-road driving test to obtain a Korean driver's license.
The holder of a Korean driver's license may renew the license by taking aphysical capability test shortly before the license expires.
Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut SIM yang diakui
untuk pejabat diplomatik asing adalah SIM internasional atau
SIM yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Korea.
Sehingga, bagi pejabat diplomatik yang memegang SIM bukan
dikeluarkan oleh pemerintah Korea harus menukar SIM tersebut
dengan SIM resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Korea.
Ketentuan bagi yang tidak dapat menyertakan SIM dari negara
asalnya diwajibkan untuk menempuh tes tertulis, dsb. Namun,
tidak ada ketentuan mengenai biaya.
2. Thailand (Department of Protocol Ministry of Foreign Affairs of the Kingdom of
Thailand, Guidelines on Protocol Practice, 2014)
The Department of Protocol will convey the requests of the DiplomaticMissions, Consulates and International Organizations for the driving licenses formembers of the Diplomatic Missions, Consular Posts and InternationalOrganizations and their respective spouses and children with the age over 18years to the Department of Land Transport, Ministry of Transport. Other membersof their households can apply directly for driving licenses to the Department ofLand Transport, Ministry of Transport.
The Diplomatic Missions, Consulates and International Organizations arerequested to submit the relevant documents to the Department of Protocol for thedriving licenses as follows: A Note Verbale requesting the driving license for the applicant and its copy; Two (2) copies of the applicant’s current driving license; A Thai language translation of the applicant’s current driving license and its
copy; Two (2) completed application forms for driving license. The application form
can be obtained from the Department of Land Transport; Two (2) copies of the applicant’s passport.
Untuk di Thailand, terlihat ada perbedaan yakni bagi
pejabat diplomatik, konsuler, maupun pejabat Organisasi
Internasional beserta keluarganya (suami/istri) dan anak
yang berusia lebih dari 18 tahun dapat mengajukan
permohonannya dan Departemen Protokol yang akan menyampaikan
kepada Departemen Lalu Lintas, Kementrian Transportasi.
Sedangkan untuk anggota lain yang termasuk dalam rumah
tangganya mengurus sendiri secara langsung. Thailand dan
Indonesia merupakan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian
mengenai pengakuan domestic driving licences yang diterbitkan oleh
negara-negara ASEAN. Penulis berpendapat dengan adanya
perjanjian tersebut, artinya SIM Indonesia yang dimiliki
pejabat diplomatik Indonesia yang di akreditasi di Thailand
diakui di negara itu sepanjang masa berlaku SIM belum habis.
Begitu juga sebaliknya.
3. Australia (Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade,
Protocol Guidelines)
All diplomatic and consular staff, including administrative and technical staff,service staff, consular officers and consular employees, and their accompanyingdependants who wish to drive in Australia must be in possession of a currentlyvalid driver's licence, either issued in the sending State or by the relevantAustralian State or Territory authority.
For an overseas licence to be acceptable, in addition to being current andvalid, it must be written in English or have with it an English translation certifiedby the mission or post as being genuine.
Drivers are required by law to carry their licence at all times when in chargeof a motor vehicle. Failure to carry their licence, or not having a licence that iscurrently valid, may result in the issue of a traffic infringement notice.
Service staff members of diplomatic and consular missions, and theirdependants, are expected to obtain a State or Territory driver's licence if they wishto drive in Australia. Licences and learner permits are issued free of charge todiplomatic and administrative and technical staff of Canberra based missions,and to their spouses and eligible dependants. However, service staff, includingspouses and dependants, are required to pay for licences and permits, and mustundertake a written theory test and a practical driving test before being issuedwith a licence.
Licences issued to diplomatic staff and dependants are stamped"DIPLOMATIC". Those for administrative and technical staff and dependants arestamped "PRIVILEGED".
Pengurusan SIM bagi diplomatik asing di Australia
termasuk staff administrasi dan dan teknisnya beserta
keluarganya (suami/istri) dibebaskan dari biaya. Sedangkan
untuk staf pembantu tetap dikenai biaya sesuai dengan SIM
yang dimohonkan dan juga mengikuti tes baik tertulis maupun
praktek. Adanya pembebasan biaya bagi pejabat diplomatik
merupakan bentuk perlakuan khusus.
Buku Panduan “A-Z Informasi Penempatan di KBRI Canberra”
yang diterbitkan oleh KBRI Canberra tahun 2010 memberikan
informasi seputar penempatan seorang pejabat
diplomatik/atase tekhnis/pejabat & staf administrasi
pemegang visa diplomatik Australia pada Kedutaan Besar RI di
Canberra. Salah satu informasi yang disediakan dalam buku
tersebut adalah mengenai pengurusan SIM Australia. SIM
Australia dapat diperoleh dengan cara menunjukkan SIM dari
Indonesia, ID diplomatik, paspor asli dan surat pengantar
dari KBRI Canberra untuk kemudian diserahkan kepada Road
Transport Authority (RTA)/Canberra Connect yang terdapat disetiap
suburb. Cara memperoleh SIM bagi pemegang visa diplomatik
sangat mudah yaitu pengecekan mata dan pengambilan pas foto
serta tidak dipungut bayaran. Pembuatan SIM hanya memerlukan
proses selama 30 menit sehingga dapat ditunggu. Untuk
pengambilan SIM baru (bila belum memiliki SIM Indonesia),
maka tahapan yang harus dilalui yaitu ujian tertulis dan
praktek yang cukup ketat.
4. Belanda (Protocol Department Ministry of Foreign Affairs, Protocol Guide
for Diplomatic Missions and Consular Posts, 2013)
1. Privileged persons with a valid, non-European driving licence are allowed todrive with it in the Netherlands only in combination with a valid privilegedperson’s identity card issued by the Ministry of Foreign Affairs. Privilegedpersons may exchange their foreign driving licence for a Dutch driving licenceby following procedure a or b under 2.
2. A privileged holder of a valid EU/EEA driving licence can use his/her licence foras long as it is valid. It is not necessary to show your Ministry ID (though youare strongly advised to keep it on hand at all times). Holders of an EU/EEA
driving licence who are registered in the Municipal Personal Records Database(GBA) must apply for a Dutch driving licence if their national licence, which istypically valid for ten years, is about to expire.a. If the privileged holder of an EU/EEA driving licence is registered in the
GBA, the application should be submitted to the municipality, which willthen forward it to the Road Transport Agency (RDW).
b. If the privileged holder of an EU/EEA driving licence is not registered in theGBA, the application must be submitted to the RDW directly.
The current application fee is €29.40.
Dalam pengurusan SIM di Belanda, pemerintah Belanda
menetapkan biaya sekitar 50 euro bagi warga negara asing
yang berasal dari negara-negara non anggota Uni Eropa,
yang diajukan ke Government Road Transportation Agency (Rijksdienst
voor het Wegverkeer, RDW).17 Untuk pejabat diplomatik, bagi yang
tidak memiliki SIM Uni Eropa diizinkan untuk mengemudi di
negara tersebut sepanjang SIM tersebut masih berlaku dan
menunjukkan kartu identitas diplomatik. Bagi pejabat yang
ingin mengurus atau mendapat SIM Belanda dapat mengajukan
langsung ke Departemen Lalu Lintas (RDW) Belanda. Biaya
yang dikenakan untuk mengurus SIM adalah 29.40 euro. Jadi
terdapat perbedaan besarnya biaya yang dikenakan dalam
pengurusan SIM Belanda.
Pengaturan dalam pedoman keprotokoleran bagi pejabat
diplomatik asing yang diterbitkan oleh masing-masing negara
akreditasi yang dijadikan sebagai bahan perbandingan,
ditemukan bahwa ketentuan yang diatur, khususnya pengaturan
driving license tidak selalu sama di setiap negara. Sehingga dalam
implementasi atau penerapannya pun pasti akan berbeda,
17 Driving License, diakses padahttp://www.iamsterdam.com/en-GB/living/official-matters/driving-licence
mengikuti aturan yang telah dibuat oleh negara tempat pejabat
diplomatik di akreditasi. Hal itu wajar terjadi karena setiap
negara berdaulat yang menerima perwakilan asing di negaranya,
tetap memiliki hak untuk menentukan sejauh mana keistimewaan
atau kemudahan yang dapat dinikmati oleh pejabat diplomatik,
konsuler maupun perwakilan organisasi internasional yang di
akui di negara itu.
Untuk penerapannya di Indonesia, berdasar pada pengaturan
nasional yang ada pengurusan SIM oleh pejabat diplomatik asing
tidak mendapatkan kemudahan. Pengaturannya tidak jauh berbeda
dengan warga negara asing yang bukan berstatus diplomatik.
Pejabat diplomatik asing tetap dikenakan biaya sesuai dengan
daftar biaya dan tarif yang telah ditetapkan dalam peraturan
nasional. Dari beberapa negara yang penulis digunakan sebagai
contoh perbandingan, penulis berpendapat bentuk kemudahan
dalam pengurusan SIM bagi diplomat asing contohnya adalah
praktik di Australia di mana pemerintahnya memberikan
pembebasan biaya bagi pejabat diplomatik asing yang berstatus
diplomat, atase teknis, maupun staf administrasi beserta
keluarganya. Termasuk juga Belanda membedakan besarnya biaya
yang harus dibayar dalam mengurus SIM bagi pejabat diplomatik
dengan warga negara asing biasa. Dengan demikian, negara-
negara dalam memberikan berbagai bentuk fasilitas maupun
kemudahan-kemudahan untuk setiap pejabat diplomatik asing
umumnya mengikuti atau menyesuaikan ketentuan yang telah ada
dalam peraturan nasionalnya.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya,
penulis mencoba menyimpulkan bahwa:
1. Ketentuan yang disebutkan dalam practical guide sejalan
dengan pengaturan dalam perundang-undangan nasional yang
berlaku di Indonesia. Tidak ada tercantum penjelasan
ataupun aturan dalam pasal yang menunjukkan adanya
perbedaan dalam prosedur pengajuan SIM yang
mengindikasikan suatu bentuk keistimewaan atau pemberian
kemudahan (fasilitas) bagi pejabat yang bersatus
diplomatik dengan warga negara biasa (baik WNI dan WNA),
misalnya pembebasan biaya penerbitan SIM bagi pejabat
diplomatik asing. Dengan demikian, dalam hal pengajuan
SIM tidak termasuk ke dalam fasilitas diplomatik atau
kemudahan yang diberikan oleh pemerintah Republik
Indonesia bagi para pejabat diplomatik asing yang
diakreditasikan di Indonesia.
2. Praktik negara-negara dalam memberikan suatu kemudahan
bagi pejabat diplomatik umumnya tergantung pada bagaimana
hukum nasionalnya mengatur akan hal tersebut. Sehingga
ketentuan yang dihasilkan oleh satu negara belum tentu
sama dengan negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
perbandingan antara pengaturan dalam pengurusan SIM bagi
pejabat diplomatik asing di Indonesia dengan pengaturan
di beberapa negara. Antara lain Korea, Thailand,
Australia dan Belanda. Tidak ada kemudahan yang diberikan
terkait pengurusan SIM bagi diplomat asing di Indonesia,
misalnya pembebasan biaya dalam mengurus SIM seperti yang
dilakukan Australia bagi pejabat diplomatik yang
berstatus diplomat sampai pada staff administrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
AK, Syahmin. 1988. Hukum Diplomatik Suatu Pengantar. Bandung: CV.Armico.
Effendi, Mashyur. 1993. Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan PolitikBebas Aktif Asas Hukum Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa.Surabaya: Usaha Nasional.
Suryokusumo, Sumaryo.2013.Hukum Diplomatik dan Konsuler.Jakarta:PT. Tatanusa. Jilid I.
Suryono, Edy. 1992. Perkembangan Hukum Diplomatik. Bandung: MandarMaju.
Widagdo, Setyo, dan Hanif Nur Widhiyanti, 2008. Hukum Diplomatikdan Konsuler Buku Ajar Untuk Mahasiswa. Malang: Bayumedia Publishing.
Widodo, 2012. Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi.Surabaya: LaksBang Justitia.
Perjanjian Internasional dan Peraturan Perundang-undangan
Nasional
Vienna Convention on Diplomatic Relations and OptionalProtocols 1961
Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocols1963
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi
Internet
Driving License,http://www.iamsterdam.com/en-GB/living/official-matters/driving-licence
Sumber Lain
Departemen Umum Protokol dan Konsular Kementrian Luar Negeri
Republik Indonesia, Practical Guide for The Diplomatic and Consular Officers
in Indonesia, 2003.
Ministry of Foreign Affairs, Guide for Foreign Mission in Korea, 2013.
Department of Protocol Ministry of Foreign Affairs of the
Kingdom of Thailand, Guidelines on Protocol Practice, 2014.
Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade,
Protocol Guidelines.
Kedutaan Besar Republik Indonesia Canberra, Buku Panduan “A-Z
Informasi Penempatan di KBRI Canberra”, 2010.
The Netherlands Government Protocol Department Ministry of
Foreign Affairs, Protocol Guide for Diplomatic Missions and Consular Posts,
2013.