PENGATURAN DALAM PENGURUSAN SIM BAGI PEJABAT DIPLOMATIK ASING DI INDONESIA

26
PENGATURAN DALAM PENGURUSAN SURAT IZIN MENGEMUDI (SIM) BAGI PEJABAT DIPLOMATIK ASING YANG DIAKREDITASIKAN DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara. Menyangkut hubungan internasional tentu akan berkaitan pula dengan hubungan diplomatik. Keterkaitan antara hubungan internasional dan hubungan diplomatik yaitu hubungan diplomatik sebagai salah satu cara yang dipergunakan dalam menjalin hubungan internasional, yang secara khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Dalam rangka mengembangkan hubungan dengan negara-negara lain secara formal, adanya hubungan diplomatik merupakan kenyataan. 1 Menurut Sir Ernest Satow, diplomasi adalah penerapan kemampuan ketrampilan serta intelegensi dalam pelaksanaan hubungan luar negeri antarpemerintah dari negara-negara yang berdaulat. Browlie mengartikan diplomacy sebagai comprises any means by which states establish or maintain mutual relations, communicate with each other, or carry out political or legal transactions, in each case through their authorized agents . Pelaksanaan 1 Masyhur Effendi, SH. MS, Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas Aktif Asas Hukum Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa , 1993, Usaha Nasional, Surabaya, hlm. 64

Transcript of PENGATURAN DALAM PENGURUSAN SIM BAGI PEJABAT DIPLOMATIK ASING DI INDONESIA

PENGATURAN DALAM PENGURUSAN SURAT IZIN MENGEMUDI

(SIM) BAGI PEJABAT DIPLOMATIK ASING YANG

DIAKREDITASIKAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa

mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun

subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.

Menyangkut hubungan internasional tentu akan berkaitan pula

dengan hubungan diplomatik. Keterkaitan antara hubungan

internasional dan hubungan diplomatik yaitu hubungan

diplomatik sebagai salah satu cara yang dipergunakan dalam

menjalin hubungan internasional, yang secara khususnya

menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Dalam

rangka mengembangkan hubungan dengan negara-negara lain

secara formal, adanya hubungan diplomatik merupakan

kenyataan.1 Menurut Sir Ernest Satow, diplomasi adalah

penerapan kemampuan ketrampilan serta intelegensi dalam

pelaksanaan hubungan luar negeri antarpemerintah dari

negara-negara yang berdaulat. Browlie mengartikan diplomacy

sebagai comprises any means by which states establish or maintain mutual

relations, communicate with each other, or carry out political or legal

transactions, in each case through their authorized agents. Pelaksanaan

1 Masyhur Effendi, SH. MS, Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas AktifAsas Hukum Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa , 1993, Usaha Nasional,Surabaya, hlm. 64

diplomasi biasanya melalui perwakilan-perwakilan resmi dan

hampir semua negara berdaulat mempunyai kantor perwakilan

untuk menempatkan wakil-wakil resminya di negara lain.2

Terkait hukum diplomatik di mana dalam perkembangannya

mempunyai lingkup yang lebih luas. Tidak hanya mencakup

hubungan diplomatik antar negara tetapi juga hubungan

konsuler, misi khusus dan keterwakilan negara dalam

hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional

khususnya yang bersifat universal.3 Perbedaan perwakilan

diplomatik dan perwakilan konsuler secara tegasnya bahwa

fungsi perwakilan diplomatik terutama pada urusan

representation (perwakilan), dan negotiation (perundingan),

sedangkan perwakilan konsuler lebih mengutamakan fungsi

perlindungan atas kepentingan para warga negara pengirim di

negara penerima serta memajukan kepentingan perdagangan,

industri, dan pelayaran antara kedua negara. Perlu

diketahui bahwa dalam praktik hubungan diplomatik dan

konsuler, apabila suatu negara tidak membuka perwakilan

diplomatik dan hanya membuka perwakilan konsuler maka

tugas-tugas kediplomatikan dapat dilakukan oleh perwakilan

konsuler. Begitu pula apabila suatu negara tidak membuka

perwakilan konsuler tetapi membuka perwakilan diplomatik

maka tugas-tugas kekonsuleran dapat dilaksanakan oleh

perwakilan diplomatik.4

2 Sir Ernest Satow dan Ian Browlie, dalam Widodo, Hukum Diplomatik dan KonsulerPada Era Globalisasi, 2012, LaksBang Justitia, Surabaya, hlm. 14.3 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, 2013, PT. Tatanusa,Jakarta, hlm. 54 Widodo, op.cit, hlm. 49.

Dalam Konvensi Wina 19615, Pasal 3 diatur mengenai

tugas-tugas dari perwakilan diplomatik antara lain untuk

negotiation, protection dan observation. Adanya pengaturan mengenai

beberapa tugas pokok perwakilan diplomatik ini agar

diplomat dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, tidak

lalai/melupakan tugasnya di negara penerima, atau jangan

sampai melakukan hal-hal yang diluar kewajibannya untuk

mewakili negara pengirim di negara penerima. Fungsi

perwakilan konsuler selain ditentukan dalam Pasal 5

Konvensi Wina 19636 juga diatur melalui perjanjian bilateral

antara negara pengirim dan negara penerima. Berdasarkan

kebiasaan internasional, pejabat diplomatik dalam rangka

pelaksanaan tugasnya akan diberikan kekebalan dan

keistimewaan. Pemberian kekebalan dan keistimewaan tersebut

biasanya didasarkan pada asas resiprositas atau timbal

balik. Pasal 25 Konvensi Wina 1961 juga mengatur bahwa

negara penerima harus memberi kemudahan-kemudahan penuh

kepada misi atau perwakilan asing demi pelaksanaan fungsi

perwakilan di negara penerima.

Pemberian fasilitas diplomatik yang diberikan oleh

satu negara dengan negara lainnya tidaklah selalu sama,

biasanya akan tergantung pada kondisi maupun kesepakatan

dari kedua negara yang mengadakan hubungan diplomatik.

Dalam praktiknya pun ternyata tidak selalu berdasar

perlakuan timbal balik. Indonesia sebagai negara yang

berdaulat, juga merasakan pentingnya mengadakan hubungan

internasional, khususnya dengan negara-negara lain. Hal ini

5 Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocols 19616 Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocols 1963

tercermin dalam dasar menimbang Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

bahwa pemerintah Indonesia telah melaksanakan hubungan luar

negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional

maupun internasional. Dalam pelaksanaan hubungan luar

negeri dan politik luar negeri yang bebas aktif, pemerintah

Indonesia di samping membuka dan menempatkan perwakilan

diplomatik dan konsulernya di berbagai negara, juga

menerima perwakilan diplomatik dan konsuler dari negara

lain. Berkaitan dengan pemberian fasilitas diplomatik guna

memperlancar pelaksanaan fungsi dari perwakilan, penulis

tertarik untuk mengangkat judul “Pengaturan Dalam

Pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) Bagi Pejabat

Diplomatik Asing yang Diakreditasikan di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, sesuai dengan judul

makalah ini, permasalahan hukum yang hendak penulis teliti

adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan dalam mengurus/memohon Surat Ijin

Mengemudi (SIM) oleh pejabat diplomatik asing yang

diakreditasikan di Indonesia?

2. Bagaimanakah pengaturan terkait hal serupa yang diatur di

negara-negara lain bagi pejabat diplomatik asing di

negara akreditasi tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan karya tulis

ini adalah:

a) Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Hukum Diplomatik

b) Untuk mencari tahu secara khusus apakah Surat Ijin

Mengemudi (SIM) untuk diplomat dalam peraturan nasional

merupakan salah satu fasilitas diplomatik dan apakah ada

perbedaannya dengan warga negara asing (WNA) yang berada

di Indonesia, sehingga dalam pengurusannya para diplomat

yang karena statusnya merupakan pejabat diplomatik asing

yang mewakili negara pengirim diberikan perlakuan

istimewa atau kemudahan-kemudahan. Oleh karena itu,

penulis dalam bab pembahasan akan membahas prosedur dalam

mengajukan Surat Izin Mengemudi (SIM) menurut peraturan

nasional yang berlaku serta bagaimana ketentuannya dalam

practical guide yang berlaku bagi para diplomat asing di

Indonesia. Selanjutnya, penulis juga akan menggunakan

studi perbandingan untuk mengetahui bagaimana pengaturan

di beberapa negara sebagai bahan pembanding.

1.4 Keaslian Penelitian

Dengan ini menyatakan bahwa permasalahan hukum yang

diteliti dalam karya tulis yang mengambil judul “Pengaturan

Dalam Pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) oleh Pejabat

Diplomatik Asing yang Diakreditasikan di Indonesia”

merupakan karya asli, dan sepengetahuan penulis belum ada

penulisan yang serupa dengan judul makalah yang penulis

angkat. Jadi penulisan ini bukan merupakan duplikasi

ataupun plagiasi dari hasil karya tulis lain. Sependek

penelusuran penulis, terdapat penulisan hukum berikut ini:

1. Penulisan makalah oleh Winanda Kusuma “Kajian Hukum

Implementasi Keistimewaan Pembebasan Pajak Kendaraan Dalam Fungsi

Diplomatik di Indonesia”, UGM, 2014.

2. Penulisan makalah oleh Grizelda “Mekanisme Permohonan Plat

Kendaraan Diplomatik Bagi Diplomat Asing di Indonesia”, UGM, 2014.

Dari dua judul penulisan hukum tersebut, terlihat bahwa

obyek yang diteliti berbeda. Dimana, dalam penulisan

makalah pertama yang menjadi objek penelitian adalah

mengenai pajak kendaraan, sedangkan dalam makalah kedua

objek yang diteliti adalah mengenai plat kendaraan

bermotor. Dari kedua makalah tersebut mempunyai persamaan

dengan tulisan ini yakni terkait kendaraan bermotor, hanya

saja penulis menegaskan kembali bahwa objek yang penulis

kaji adalah mengenai Surat Izin Mengemudi (SIM).

1.5. Metode Penelitian

1) Sifat dan Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini

termasuk ke dalam penelitian hukum normatif atau studi

kepustakaan dalam upaya untuk memperoleh jawaban atas

rumusan permasalahan dalam penulisan hukum ini.

2) Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yakni data

yang diperoleh dengan cara kepustakaan. Data Sekunder ini

menggunakan tiga bahan hukum yakni:

a. Bahan hukum primer: Bahan Hukum Primer, yakni bahan

hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, yang

dalam tulisan ini penulis menggunakan peraturan

perundang-undangan dan konvensi internasional.

b. Bahan hukum sekunder Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan

hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan

hukum primer, yang dalam penulisan ini berupa buku-

buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar koran, pamflet,

brosur, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum

yang termuat dalam media massa dan berita di internet.

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan non hukum yang

digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus,

ensiklopedi, dan lain-lain.

3) Jenis Pendekatan

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan

hukum ini ialah pendekatan komparatif yakni suatu

pendekatan yang menggunakan bahan perbandingan.

BAB II PEMBAHASAN

Dasar pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik

pada mulanya hanya didasarkan pada kebiasaan internasional dan

berlandaskan asas timbal balik (resiprositas) yang kemudian

menjadi aturan pokok dan asas-asas yang tertuang dalam

Konvensi Wina 1961. Pemberian kekebalan dan keistimewaan

diplomatik itu sendiri bertujuan untuk menjamin terlaksananya

fungsi para pejabat diplomatik secara efisien, terutama tugas

dari negara yang diwakilinya. Kekebalan dan keistimewaan

sesuai dalam Konvensi Wina 1961 tidak hanya meliputi kekebalan

dan keistimewaan diri pribadi pejabat diplomatik, tetapi

termasuk juga anggota keluarga, staff, staff pembantu dan

pelayan pribadi dari pejabat diplomatik yang bersangkutan.

Namun, bentuk pemberian kekebalan dan keistimewaannya tidaklah

sama. Sejauh mana kekebalan dan keistimewaan yang dapat

dinikmati oleh keluarga, staff, staff pembantu serta pelayan

pribadi dari pejabat diplomatik telah dijabarkan secara umum

dalam Konvensi tersebut. Terdapat juga pengecualian di mana

bagi staff maupun pelayan yang memiliki kewarganegaraan sama

dengan negara penerima, tidak menikmati hak kekebalan maupun

keistimewaan sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961.

Pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “The person of a

diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest or

detention. The receiving state shall treat him with due respect and shall take all

appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity”.

(cetak tebal oleh penulis). Kekebalan yang dimaksud dalam

Pasal ini adalah tidak boleh diganggu gugatnya (inviolability)

seorang pejabat diplomatik, dalam artian pejabat diplomatik

kebal terhadap alat-alat kekuasaan dari negara penerima dan

mempunyai hak untuk tidak dapat dikenakan tindakan kekuasaan

oleh alat-alat kekuasaan negara penerima baik berupa

penangkapan maupun penahanan. Selain itu, negara penerima

melalui alat-alat negaranya wajib untuk menjamin perlindungan

pejabat diplomatik baik dengan mengambil langkah-langkah yang

layak sebagai bentuk pencegahan serangan atas diri,

kemerdekaan, dan martabat pejabat diplomatik.

Kekebalan yang melekat pada pejabat diplomatik, antara

lain7: kekebalan terhadap yurisdiksi pidana, kekebalan terhadap

yurisdiksi perdata dan administrasi, kekebalan daripada

kewajiban untuk menjadi saksi, dan kekebalan dalam mengadakan

komunikasi. Keistimewaan yang diperoleh oleh pejabat

diplomatik, antara lain: pembebasan dari pajak-pajak,

pembebasan dari bea cukai, pembebasan dari kewajiban-kewajiban

keamanan sosial, pembebasan dari pelayanan pribadi dan

militer, dan pembebasan dari kewarganegaraan. Konvensi Wina

juga mewajibkan kepada negara penerima untuk memberikan

fasilitas-fasilitas penuh untuk keperluan daripada pelaksanaan

fungsi perwakilan diplomatik. Sehubungan dengan keistimewaan

diplomatik, kemudahan-kemudahan ini juga bersumber pada

kebiasaan internasional sebagai suatu penghormatan khusus dari

negara penerima. Dalam praktek masing-masing negara penerima

mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri dalam memberikan

kemudahan-kemudahan kepada para pejabat diplomatik sehingga

kemudahan-kemudahan yang diberikan tidak mutlak berdasar asas

resiprositas atau timbal balik.

Widodo8 menjelaskan meskipun pemberian fasilitas

diplomatik tidak semata-mata dilakukan berdasar asas

resiprositas atau timbal balik, tetapi menurut kebiasaan

internasional setiap negara pengirim pada akhir tahun menerima

laporan resmi dari kepala kantor perwakilan diplomatik di luar

negeri tentang berbagai fasilitas dan kemudahan yang didapat

di negara penerima selama satu tahun. Laporan tersebut dapat

dipakai sebagai pertimbangan untuk upaya penyesuaian pemberian

7 Lihat pasal-pasal dalam Konvensi Wina 19618 Widodo, op.cit., hlm. 111.

fasilitas pada kantor perwakilan asing yang terkait di negara

penerima. Menurut Syahmin AK tujuan pemberian kemudahan kepada

perwakilan diplomatik tidak berbeda dengan kekebalan dan

keistimewaan diplomatik lainnya, selain secara teknik

prosedural untuk kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan juga

secara tidak langsung membantu tetap terpeliharanya hubungan

diplomatik yang baik antara kedua negara. Pertimbangan-

pertimbangan masing-masing negara dalam memberikan kemudahan-

kemudahan kepada perwakilan diplomatik adalah selain

pertimbangan berdasarkan hukum, juga tidak terlepas daripada

situasi politik kedua negara yang bersangkutan.9

Pemberian perlindungan bagi para pejabat diplomatik dan

pemberian kekebalan diplomatik asing di Indonesia sebelum

Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Wina 1961,

sekalipun tidak diatur secara khusus di dalam suatu perundang-

undangan tersendiri namun hal ini tetap dijamin dengan adanya

perjanjian-perjanjian bilateral yang dibuat antara Pemerintah

Indonesia dengan Pemerintah negara-negara penerima perwakilan

diplomatik tersebut.10 Setelah berlakunya Konvensi Wina 1961

mengenai hubungan diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai

hubungan konsuler, maka Indonesia pun menjadikan kedua

konvensi tersebut sebagai landasan hukum dalam pemberian

kekebalan dan keistimewaan diplomatik melalui ratifikasi yang

disahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahung

1982. Selain itu, Indonesia tetap berpedoman juga pada hukum

9 Syahmin AK, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, 1988, CV. Armico, Bandung, hlm.97-98.10 Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, 1992, Mandar Maju, Bandung, hlm.85.

dalam kebiasaan internasional maupun peraturan-peraturan

nasional yang berlaku.

Pasal 41 Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa sekalipun

pejabat diplomatik dilengkapi dengan kekebalan dan

keistimewaan namun pejabat diplomatik tetap mempunyai

kewajiban untuk menghormati hukum dan aturan-aturan dari

negara penerima. Jelas bahwa sekalipun pejabat diplomatik

memiliki kekebalan terhadap hukum dari negara penerima, bukan

berarti pejabat diplomatik dapat berbuat semaunya tanpa

memperhatikan aturan hukum yang berlaku di negara penerima.

Ketika suatu pejabat diplomat terbukti telah melakukan

pelanggaran atau kejahatan yang bertentangan dengan aturan-

aturan hukum di tempat ia diakreditasikan, selaku negara

penerima mempunyai hak untuk memohon penanggalan kekebalan

atas pejabat tersebut kepada negara pengirim ataupun langsung

menyatakan persona non grata.

Dasar hukum yang khusus dipergunakan dalam pengakuan

serta pelaksanaan kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik di

Indonesia sebagai negara penerima sesungguhnya belum ada dalam

bentuk kodifikasi dan masih tersebar dalam berbagai undang-

undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri luar negeri,

menteri keuangan, dan sebagainya.11 Dalam meninjau bagaimana

praktiknya suatu negara penerima dalam memberikan perlakuan

kepada pejabat diplomatik yang diakreditasikan di negaranya,

pada umumnya dapat diketahui melalui protocol guidelines yang

dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri dari negara tersebut.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri

11 Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, Hukum Diplomatik dan Konsuler Buku AjarUntuk Mahasiswa, 2008, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 238.

mengeluarkan Practical Guide for The Diplomatic and Consular Officers in

Indonesia untuk menjadi panduan bagi para diplomat di Indonesia

untuk mengetahui sejauh mana pemberian kekebalan dan

keistimewaan terhadap mereka serta apa saja kemudahan yang

dapat dinikmati selama pelaksanaan fungsinya.

Dengan demikian, untuk dapat menjawab permasalahan hukum

yang diangkat oleh penulis, berikut akan dijelaskan dalam

pembahasan selanjutnya mengenai bagaimana prosedur permohonan

dalam pengajuan Surat Izin Mengemudi (SIM) khususnya bagi

diplomat asing di Indonesia. Nantinya penulis juga akan

mencoba melakukan perbandingan dalam implementasinya di

beberapa negara.

2.1 Pengaturan Pengurusan Surat Ijin Mengemudi (SIM) di

Indonesia Menurut Peraturan Nasional dan Panduan Protokol

Bagi Pejabat Diplomatik Asing di Indonesia

Di Indonesia, aturan yang ditentukan dalam rangka

penggunaan jalan bahwa setiap orang wajib berperilaku tertib

dan mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan

keamanan dan keselamatan, dan menimbulkan kerusakan jalan. Hal

ini memberi konsekuensi kepada setiap pengguna jalan untuk

tertib berlalu lintas, misalnya dengan mematuhi tanda marka

jalan dan rambu-rambu lalu lintas. Pejabat diplomatik asing

biasanya diizinkan untuk mengimpor dan memiliki kendaraan

bermotor, umumnya adalah mobil, untuk memudahkan pejabat

tersebut dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya ketika harus

pergi ke suatu tempat. Sesuai dengan aturan dalam Konvensi

Wina 1961 bahwa pejabat diplomatik tetap wajib menghormati

aturan dan hukum yang berlaku di negara penerima, maka setiap

pejabat diplomatik yang berada di Indonesia seharusnya

menghormati aturan-aturan dalam berlalu lintas sebagai

pengguna jalan. Termasuk, ketika pejabat diplomatik

mengemudikan sendiri kendaraan bermotornya harus mempunyai

Surat Izin Mengemudi (SIM).

Ketentuan mengenai SIM di Indonesia tersebar dalan

peraturan perundangan-undangan dan peraturan nasional lainnya.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap orang yang

mengemudikan kendaraan bermotor di jalan untuk memiliki SIM

sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan.

Pemberian surat izin mengemudi kendaraan bermotor merupakan

kewenangan kepolisian Republik Indonesia seperti yang

ditetapkan dalam Pasal 15 ayat 2 (c) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam

aturan yang lebih khusus mengenai SIM, diperbolehkan untuk

Warga Negara Asing (WNA) yang berada di Indonesia untuk

mengajukan permohonan penerbitan SIM.12 Untuk dapat

mendaftarkan permohonan penerbitan SIM terdapat persyaratan

yang meliputi usia, administrasi, dan kesehatan. Berikut

pengaturannya seperti yang tercantum dalam Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012

tentang Surat Izin Mengemudi:

Pasal 25(1) Persyaratan usia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24

huruf a, paling rendah:a. berusia 17 (tujuh belas) tahun untuk SIM A, SIM C, dan

SIM D;12 Lihat Pasal 6 Perkap No. 9 Tahun 2012 tentang SIM

b. berusia 20 (dua puluh) tahun untuk SIM B I; dan c. berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk SIM B II.d. berusia 20 (dua puluh) tahun untuk SIM A Umum;e. berusia 22 (dua puluh dua) tahun untuk SIM B I Umum;danf. berusia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk SIM B II Umum.

(2) Persyaratan usia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berlaku bagi Warga Negara Indonesia dan Warga NegaraAsing.

Pasal 27(1) Persyaratan administrasi pengajuan SIM baru, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, untuk mengemudikan Ranmorperseorangan meliputi:a. mengisi formulir pengajuan SIM; danb. Kartu Tanda Penduduk asli setempat yang masih berlaku

bagi Warga Negara Indonesia atau dokumen keimigrasianbagi Warga Negara Asing.

(2) Dokumen keimigrasian, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf b, berupa:a. paspor dan kartu izin tinggal tetap (KITAP) bagi yang

berdomisili tetap di Indonesia;b. paspor, visa diplomatik, kartu anggota diplomatik, dan

identitas diri lain bagi yang merupakan staf ataukeluarga kedutaan;

c. paspor dan visa dinas atau kartu izin tinggalsementara (KITAS) bagi yang bekerja sebagai tenagaahli atau pelajar yang bersekolah di Indonesia; atau

d. paspor dan kartu izin kunjungan atau singgah bagi yangtidak berdomisili di Indonesia.

Pasal 33(1) Persyaratan penerbitan SIM Internasional, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 26 huruf g, meliputi:a. menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Izin

Menetap (KITAP) dan melampirkan fotokopinya;b. menunjukkan SIM yang sah dan masih berlaku serta

melampirkan fotokopinya;c. menunjukkan Paspor yang sah dan masih berlaku serta

melampirkan fotokopinya; dand. menyerahkan pasfoto berwarna terbaru, tampak depan,

berpakaian rapi, dan berkrah, ukuran 4 (empat) x 6(enam) sebanyak 3 (tiga) lembar, berlatar belakangbiru.

(2) Setiap peserta uji SIM Internasional wajib membayar BiayaAdministrasi SIM Internasional yang besarannya sesuaidengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Masa berlaku SIM nasional adalah 5 (lima tahun) dan 3 (tiga)

tahun untuk SIM Internasional yang dapat diperpanjang lagi.13

Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral14

antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, SIM

yang diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara

lain dan SIM yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di

Indonesia.15

Berkenaan dengan Surat Izin Mengemudi (SIM) bagi pejabat

diplomatik asing di Indonesia, dalam practical guide16 disebutkan

dalam part V: Driving Licence for The Diplomatic/Consular Staff adalah

sebagai berikut:

a. A diplomatic or consular staff may apply directly for a driver’s license with

the local police office (in Jakarta, the Polda Metro Jaya c.q. the Directorate

of One Roof Management Unit in Jalan Daan Mogot). In doing so he/she

must show identification card and passport.

b. The Mission may also request a letter of reccomendation addressed to the

local police office from the Directorate of Diplomatic Facilities.

c. Fees will be imposed on the application for a driver’s license according to

regulations.13 Lihat Pasal 11 Perkap No. 9 Tahun 2012 tentang SIM14 Catatan: Salah satu perjanjian internasional yang telah dilakukan olehpemerintah Republik Indonesia dengan negara lain mengenai SIM yaituAGREEMENT ON THE RECOGNITION OF DOMESTIC DRIVING LICENCES ISSUED BY ASEAN COUNTRIESyang ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 9 July 1985. Para pihakdalam perjanjian ini adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina,Singapura, Thailand dan Indonesia sendiri. 15 Lihat Pasal 85 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan AngkutanJalan; dan Pasal 13 Perkap No. 9 Tahun 2012 ttg SIM16 Practical Guide for The Diplomatic and Consular Officers in Indonesia, yang diterbitkanoleh Departemen Umum Protokol dan Konsular Kementrian Luar Negeri RepublikIndonesia tahun 2003.

Jadi berdasarkan practical guide seorang pejabat diplomatik atau

konsuler dapat mengajukan permohonan pembuatan SIM ke kantor

polisi setempat dengan menunjukkan kartu identitas dan pasport

serta membawa surat rekomendasi dari Direktorat Fasilitas

Diplomatik yang dialamatkan ke kantor polisi yang dimaksud.

Pejabat diplomatik dalam hal ini tetap dikenakan biaya sesuai

dengan aturan nasional yang berlaku.

Ketentuan yang disebutkan dalam practical guide sejalan

dengan pengaturan dalam perundang-undangan nasional yang

berlaku di Indonesia, seperti yang telah dijabarkan di atas.

Hanya saja dalam practical guide ini, menjelaskan ketentuan yang

dimaksud secara umum. Namun, baik dalam peraturan nasional

maupun practical guide tidak ada tercantum penjelasan ataupun

aturan dalam pasal yang menunjukkan adanya perbedaan dalam

prosedur pengajuan SIM yang mengindikasikan suatu bentuk

keistimewaan atau pemberian kemudahan (fasilitas) bagi pejabat

yang bersatus diplomatik dengan warga negara biasa (baik WNI

dan WNA), misalnya pembebasan biaya penerbitan SIM bagi

pejabat diplomatik asing. Dengan demikian, dalam hal pengajuan

SIM tidak termasuk ke dalam fasilitas diplomatik atau

kemudahan yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia

bagi para pejabat diplomatik asing yang diakreditasikan di

Indonesia.

2.2 Pengaturan Pengurusan Surat Ijin Mengemudi (SIM) Bagi

Pejabat Diplomatik Asing di Beberapa Negara

Dalam pembahasan ini, akan dijabarkan pengaturan

permohonan pengajuan SIM di beberapa negara sebagai bahan

perbandingan. Cara yang penulis gunakan adalah dengan melihat

ketentuan yang tercantum dalam practical guide bagi pejabat

diplomatik yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri dari

masing-masing negara.

1. Korea (Ministry of Foreign Affairs; Guide for Foreign Mission in Korea; 2013)

Ketentuan mengenai izin mengemudi (driving license) bagi misi-

misi diplomatik asing di Korea:

Members of a mission driving in Korea should hold a valid internationaldriver's license or a driver's license issued by the Government of the Republicof Korea. They must submit a copy of the valid driver's license when applyingto the Ministry of Foreign Affairs for the registration of a motor vehicle.

Members of a mission with a valid driver's license issued by a foreigngovernment (excluding international driver's license) can obtain a Koreandriver's license by submitting the following documents to local driver's licensetest centers:a. Application Form for the Driver's Licenseb. Driver's license (not an international driver's license) issued by the

government of the sending countryc. Korean or English translation of the driver's license (notarized by the

Embassy)d. Passport and diplomatic identification carde. Three color photographs (3 cm x 4 cm)

If a driver's license issued by a foreign government is not available, themember of the mission must take a written examination, performance testand on-road driving test to obtain a Korean driver's license.

The holder of a Korean driver's license may renew the license by taking aphysical capability test shortly before the license expires.

Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut SIM yang diakui

untuk pejabat diplomatik asing adalah SIM internasional atau

SIM yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Korea.

Sehingga, bagi pejabat diplomatik yang memegang SIM bukan

dikeluarkan oleh pemerintah Korea harus menukar SIM tersebut

dengan SIM resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Korea.

Ketentuan bagi yang tidak dapat menyertakan SIM dari negara

asalnya diwajibkan untuk menempuh tes tertulis, dsb. Namun,

tidak ada ketentuan mengenai biaya.

2. Thailand (Department of Protocol Ministry of Foreign Affairs of the Kingdom of

Thailand, Guidelines on Protocol Practice, 2014)

The Department of Protocol will convey the requests of the DiplomaticMissions, Consulates and International Organizations for the driving licenses formembers of the Diplomatic Missions, Consular Posts and InternationalOrganizations and their respective spouses and children with the age over 18years to the Department of Land Transport, Ministry of Transport. Other membersof their households can apply directly for driving licenses to the Department ofLand Transport, Ministry of Transport.

The Diplomatic Missions, Consulates and International Organizations arerequested to submit the relevant documents to the Department of Protocol for thedriving licenses as follows: A Note Verbale requesting the driving license for the applicant and its copy; Two (2) copies of the applicant’s current driving license; A Thai language translation of the applicant’s current driving license and its

copy; Two (2) completed application forms for driving license. The application form

can be obtained from the Department of Land Transport; Two (2) copies of the applicant’s passport.

Untuk di Thailand, terlihat ada perbedaan yakni bagi

pejabat diplomatik, konsuler, maupun pejabat Organisasi

Internasional beserta keluarganya (suami/istri) dan anak

yang berusia lebih dari 18 tahun dapat mengajukan

permohonannya dan Departemen Protokol yang akan menyampaikan

kepada Departemen Lalu Lintas, Kementrian Transportasi.

Sedangkan untuk anggota lain yang termasuk dalam rumah

tangganya mengurus sendiri secara langsung. Thailand dan

Indonesia merupakan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian

mengenai pengakuan domestic driving licences yang diterbitkan oleh

negara-negara ASEAN. Penulis berpendapat dengan adanya

perjanjian tersebut, artinya SIM Indonesia yang dimiliki

pejabat diplomatik Indonesia yang di akreditasi di Thailand

diakui di negara itu sepanjang masa berlaku SIM belum habis.

Begitu juga sebaliknya.

3. Australia (Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade,

Protocol Guidelines)

All diplomatic and consular staff, including administrative and technical staff,service staff, consular officers and consular employees, and their accompanyingdependants who wish to drive in Australia must be in possession of a currentlyvalid driver's licence, either issued in the sending State or by the relevantAustralian State or Territory authority.

For an overseas licence to be acceptable, in addition to being current andvalid, it must be written in English or have with it an English translation certifiedby the mission or post as being genuine.

Drivers are required by law to carry their licence at all times when in chargeof a motor vehicle. Failure to carry their licence, or not having a licence that iscurrently valid, may result in the issue of a traffic infringement notice.

Service staff members of diplomatic and consular missions, and theirdependants, are expected to obtain a State or Territory driver's licence if they wishto drive in Australia. Licences and learner permits are issued free of charge todiplomatic and administrative and technical staff of Canberra based missions,and to their spouses and eligible dependants. However, service staff, includingspouses and dependants, are required to pay for licences and permits, and mustundertake a written theory test and a practical driving test before being issuedwith a licence.

Licences issued to diplomatic staff and dependants are stamped"DIPLOMATIC". Those for administrative and technical staff and dependants arestamped "PRIVILEGED".

Pengurusan SIM bagi diplomatik asing di Australia

termasuk staff administrasi dan dan teknisnya beserta

keluarganya (suami/istri) dibebaskan dari biaya. Sedangkan

untuk staf pembantu tetap dikenai biaya sesuai dengan SIM

yang dimohonkan dan juga mengikuti tes baik tertulis maupun

praktek. Adanya pembebasan biaya bagi pejabat diplomatik

merupakan bentuk perlakuan khusus.

Buku Panduan “A-Z Informasi Penempatan di KBRI Canberra”

yang diterbitkan oleh KBRI Canberra tahun 2010 memberikan

informasi seputar penempatan seorang pejabat

diplomatik/atase tekhnis/pejabat & staf administrasi

pemegang visa diplomatik Australia pada Kedutaan Besar RI di

Canberra. Salah satu informasi yang disediakan dalam buku

tersebut adalah mengenai pengurusan SIM Australia. SIM

Australia dapat diperoleh dengan cara menunjukkan SIM dari

Indonesia, ID diplomatik, paspor asli dan surat pengantar

dari KBRI Canberra untuk kemudian diserahkan kepada Road

Transport Authority (RTA)/Canberra Connect yang terdapat disetiap

suburb. Cara memperoleh SIM bagi pemegang visa diplomatik

sangat mudah yaitu pengecekan mata dan pengambilan pas foto

serta tidak dipungut bayaran. Pembuatan SIM hanya memerlukan

proses selama 30 menit sehingga dapat ditunggu. Untuk

pengambilan SIM baru (bila belum memiliki SIM Indonesia),

maka tahapan yang harus dilalui yaitu ujian tertulis dan

praktek yang cukup ketat.

4. Belanda (Protocol Department Ministry of Foreign Affairs, Protocol Guide

for Diplomatic Missions and Consular Posts, 2013)

1. Privileged persons with a valid, non-European driving licence are allowed todrive with it in the Netherlands only in combination with a valid privilegedperson’s identity card issued by the Ministry of Foreign Affairs. Privilegedpersons may exchange their foreign driving licence for a Dutch driving licenceby following procedure a or b under 2.

2. A privileged holder of a valid EU/EEA driving licence can use his/her licence foras long as it is valid. It is not necessary to show your Ministry ID (though youare strongly advised to keep it on hand at all times). Holders of an EU/EEA

driving licence who are registered in the Municipal Personal Records Database(GBA) must apply for a Dutch driving licence if their national licence, which istypically valid for ten years, is about to expire.a. If the privileged holder of an EU/EEA driving licence is registered in the

GBA, the application should be submitted to the municipality, which willthen forward it to the Road Transport Agency (RDW).

b. If the privileged holder of an EU/EEA driving licence is not registered in theGBA, the application must be submitted to the RDW directly.

The current application fee is €29.40.

Dalam pengurusan SIM di Belanda, pemerintah Belanda

menetapkan biaya sekitar 50 euro bagi warga negara asing

yang berasal dari negara-negara non anggota Uni Eropa,

yang diajukan ke Government Road Transportation Agency (Rijksdienst

voor het Wegverkeer, RDW).17 Untuk pejabat diplomatik, bagi yang

tidak memiliki SIM Uni Eropa diizinkan untuk mengemudi di

negara tersebut sepanjang SIM tersebut masih berlaku dan

menunjukkan kartu identitas diplomatik. Bagi pejabat yang

ingin mengurus atau mendapat SIM Belanda dapat mengajukan

langsung ke Departemen Lalu Lintas (RDW) Belanda. Biaya

yang dikenakan untuk mengurus SIM adalah 29.40 euro. Jadi

terdapat perbedaan besarnya biaya yang dikenakan dalam

pengurusan SIM Belanda.

Pengaturan dalam pedoman keprotokoleran bagi pejabat

diplomatik asing yang diterbitkan oleh masing-masing negara

akreditasi yang dijadikan sebagai bahan perbandingan,

ditemukan bahwa ketentuan yang diatur, khususnya pengaturan

driving license tidak selalu sama di setiap negara. Sehingga dalam

implementasi atau penerapannya pun pasti akan berbeda,

17 Driving License, diakses padahttp://www.iamsterdam.com/en-GB/living/official-matters/driving-licence

mengikuti aturan yang telah dibuat oleh negara tempat pejabat

diplomatik di akreditasi. Hal itu wajar terjadi karena setiap

negara berdaulat yang menerima perwakilan asing di negaranya,

tetap memiliki hak untuk menentukan sejauh mana keistimewaan

atau kemudahan yang dapat dinikmati oleh pejabat diplomatik,

konsuler maupun perwakilan organisasi internasional yang di

akui di negara itu.

Untuk penerapannya di Indonesia, berdasar pada pengaturan

nasional yang ada pengurusan SIM oleh pejabat diplomatik asing

tidak mendapatkan kemudahan. Pengaturannya tidak jauh berbeda

dengan warga negara asing yang bukan berstatus diplomatik.

Pejabat diplomatik asing tetap dikenakan biaya sesuai dengan

daftar biaya dan tarif yang telah ditetapkan dalam peraturan

nasional. Dari beberapa negara yang penulis digunakan sebagai

contoh perbandingan, penulis berpendapat bentuk kemudahan

dalam pengurusan SIM bagi diplomat asing contohnya adalah

praktik di Australia di mana pemerintahnya memberikan

pembebasan biaya bagi pejabat diplomatik asing yang berstatus

diplomat, atase teknis, maupun staf administrasi beserta

keluarganya. Termasuk juga Belanda membedakan besarnya biaya

yang harus dibayar dalam mengurus SIM bagi pejabat diplomatik

dengan warga negara asing biasa. Dengan demikian, negara-

negara dalam memberikan berbagai bentuk fasilitas maupun

kemudahan-kemudahan untuk setiap pejabat diplomatik asing

umumnya mengikuti atau menyesuaikan ketentuan yang telah ada

dalam peraturan nasionalnya.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya,

penulis mencoba menyimpulkan bahwa:

1. Ketentuan yang disebutkan dalam practical guide sejalan

dengan pengaturan dalam perundang-undangan nasional yang

berlaku di Indonesia. Tidak ada tercantum penjelasan

ataupun aturan dalam pasal yang menunjukkan adanya

perbedaan dalam prosedur pengajuan SIM yang

mengindikasikan suatu bentuk keistimewaan atau pemberian

kemudahan (fasilitas) bagi pejabat yang bersatus

diplomatik dengan warga negara biasa (baik WNI dan WNA),

misalnya pembebasan biaya penerbitan SIM bagi pejabat

diplomatik asing. Dengan demikian, dalam hal pengajuan

SIM tidak termasuk ke dalam fasilitas diplomatik atau

kemudahan yang diberikan oleh pemerintah Republik

Indonesia bagi para pejabat diplomatik asing yang

diakreditasikan di Indonesia.

2. Praktik negara-negara dalam memberikan suatu kemudahan

bagi pejabat diplomatik umumnya tergantung pada bagaimana

hukum nasionalnya mengatur akan hal tersebut. Sehingga

ketentuan yang dihasilkan oleh satu negara belum tentu

sama dengan negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari

perbandingan antara pengaturan dalam pengurusan SIM bagi

pejabat diplomatik asing di Indonesia dengan pengaturan

di beberapa negara. Antara lain Korea, Thailand,

Australia dan Belanda. Tidak ada kemudahan yang diberikan

terkait pengurusan SIM bagi diplomat asing di Indonesia,

misalnya pembebasan biaya dalam mengurus SIM seperti yang

dilakukan Australia bagi pejabat diplomatik yang

berstatus diplomat sampai pada staff administrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

AK, Syahmin. 1988. Hukum Diplomatik Suatu Pengantar. Bandung: CV.Armico.

Effendi, Mashyur. 1993. Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan PolitikBebas Aktif Asas Hukum Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa.Surabaya: Usaha Nasional.

Suryokusumo, Sumaryo.2013.Hukum Diplomatik dan Konsuler.Jakarta:PT. Tatanusa. Jilid I.

Suryono, Edy. 1992. Perkembangan Hukum Diplomatik. Bandung: MandarMaju.

Widagdo, Setyo, dan Hanif Nur Widhiyanti, 2008. Hukum Diplomatikdan Konsuler Buku Ajar Untuk Mahasiswa. Malang: Bayumedia Publishing.

Widodo, 2012. Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi.Surabaya: LaksBang Justitia.

Perjanjian Internasional dan Peraturan Perundang-undangan

Nasional

Vienna Convention on Diplomatic Relations and OptionalProtocols 1961

Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocols1963

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi

Internet

Driving License,http://www.iamsterdam.com/en-GB/living/official-matters/driving-licence

Sumber Lain

Departemen Umum Protokol dan Konsular Kementrian Luar Negeri

Republik Indonesia, Practical Guide for The Diplomatic and Consular Officers

in Indonesia, 2003.

Ministry of Foreign Affairs, Guide for Foreign Mission in Korea, 2013.

Department of Protocol Ministry of Foreign Affairs of the

Kingdom of Thailand, Guidelines on Protocol Practice, 2014.

Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade,

Protocol Guidelines.

Kedutaan Besar Republik Indonesia Canberra, Buku Panduan “A-Z

Informasi Penempatan di KBRI Canberra”, 2010.

The Netherlands Government Protocol Department Ministry of

Foreign Affairs, Protocol Guide for Diplomatic Missions and Consular Posts,

2013.