pengaturan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of pengaturan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan ...
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1138
PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA
ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER
SIBOLGA “(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Revaldi Sanjaya
(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
(Email: [email protected])
Dr.Stanislaus Atalim, S.H.,M.H.
(Corresponding Author)
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Meraih Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Doktor (Dr.)
pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan)
(Email : [email protected])
Abstract
Termination of employment (PHK) is a problem that always occurs in the world of work,
termination of employment itself is a very frightening event for workers/laborers who face it, this
is because it is related to the cessation/absence of financial income for the worker/laborer
concerned to fulfill needs. Because it is a frightening event for workers, they must make every
effort so that dismissal never occurs as reflected in Article 151 paragraph (1) of Law Number 13
Year 2003 concerning employment, however in practice this is unlikely to happen. occurs, in a
company there must be layoffs, one of which is layoffs due to serious mistakes. One example of
layoffs due to serious errors is in Decision Number 178/PdtSus-PHI /2017/PN.Mdn, where Adi
Purwanto as a worker was laid off due to a serious error stipulated in the Collective Labor
Agreement that applies to the company where he works, the purpose of this research is to find out
the validity of layoff regulations due to serious mistakes in Collective Labor Agreement . The
methods used in this research are: This type of research is normative legal research which takes
the problem from the law then provides justification, the type of data used is primary legal
material, secondary legal material, and tertiary legal material, data collection techniques used
are used is literature study and interviews, and data analysis techniques are prescriptive
techniques.
Keywords : Termination of Employment, Serious Error, Collective Labor Agreement
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1139
Jauh sebelum Indonesia merdeka, telah disadari bahwa
kerja/pekerjaan merupakan salah satu kebutuhan dasar. Sejarah perjalanan
Bangsa Indonesia sebelum sampai pada kemerdekaannya telah memberikan
gambaran dan kondisi “kerja” yang begitu jelas, dengan berbagai model,
jenis maupun istilah yang terkait dengan keadaan seseorang/masyarakat
yang terikat (atau mengikatkan diri) dengan orang lain.Sejarah tentang
ketenagakerjaan seringkali dimulai dengan perbudakan, suatu istilah yang
sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai status dibandingkan dengan
menyatakannya sebagai suatu jenis ikatan pekerjaan. Selanjutnya dikenal
juga berbagai istilah buruh, hamba, peluluran, rodi, kuli, hingga
pekerja/tenaga kerja, sampai karyawan ataupun pegawai.
Gambaran tentang ketenagakerjaan di Indonesia berlanjut ketika
Undang-Undang Dasar NKRI 1945 dalam Pasal 27 ayat (2), menegaskan
bahwa pekerjaan dan kehidupan yang layak merupakan hak konstitusional
bagi segenap rakyat Indonesia. Konsekuensi logis dari penegasan ini adalah,
lahirnya kewajiban Negara untuk menyediakan fasilitas dan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada segenap rakya untuk dapat memperoleh
perkerjaan sekaligus menjadikan perkerjaan tersebut sebagai sesuaty yang
layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian pelanggaran terhadap hak dasar
yang dilindungi konstitusi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.1)
Di Indonesia, masalah ketenagakerjaan mulai menjadi perhatian sejak
masuknya penjajahan. Dimulai dengan Belanda, Portugis, Inggris, dan
kemudian Jepang. Semuanya menerapkan sistemnya masing-masing.
Meskipun demikian, perlindungan terhadap tenaga kerja baru mulai
mendapat perhatian setelah Belanda dibawah pimpinan Daendels
menerapkan Etische Politic (politik balas budi).
1)
Ashabul Kahfi, “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja”, Jurisprudentie, Edisi
No.2 Volume 3 tanggal (2 Desember Tahun 2016):.60-61.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1140
Semenjak itu, maka mulai lahir peraturan-peraturan (hukum) tentang
ketenagakerjaan, yang mana peraturan yang dibuat mulai memperhatikan
sisi-sisi kemanusiaan. Seiring perjalanan bangsa sampai memasuki era
kemerdekaan, peraturan demi peraturan dibuat untuk melindungi, dan
menjamin kesejahteraan, keselamatan, dan keberlangsungan hidup (secara
kemanusiaan) para pekerja.2)
Selanjutnya Indonesia memasuki sebuah era globalisasi, yang pada
gilirannya mengharuskan terjadinya perubahan-perubahan di segala bidang.
Tak terkecuali bidang ketenagakerjaan. Pembangunan nasional di era
globalisasi, khususnya bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh
karena itu hukum ketenagakerjaan harus dapat menjamin kepastian hukum,
nilai keadilan, asas kemanfaatan, ketertiban, perlindungan dan penegakan
hukum.
Secara yuridis dalam hukum ketenagakerjaan kedudukan pengusaha
dan pekerja adalah sama dan sederajat. Namun, secara sosiologis pada suatu
kondisi tertentu kedudukan antara pekerja atau bisa dikatakan juga sebagai
buruh dengan pengusaha tidak sama dan seimbang. Karena seringkali
pekerja/buruh berada pada posisi yang lemah. Maka dari itu di dalam dunia
ketenagakerjaan pekerja/buruh adalah kaum yang harus diberikan
perlindungan.3)
Permasalahan dalam dunia ketenagakerjaan ini cenderung menjadi
masalah yang seakan-akan tidak pernah usai, dunia ketenagakerjaan di
Indonesia sendiri masih diselimuti permasalahan-permasalahan pokok
seperti permasalahan mengenai ketentuan dalam perjanjian kerja bersama,
permasalahan mengenai perselisihan kepentingan hak, sampai kepada
2 ) Laurensius Arliman S, “ Perkembangan dan Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Di
Indonesia”, Jurnal Selat, Edisi Volume 5 Nomor 1, (Oktober 2017) :75. 3)
Dani Amran Hakim dan Budi Ispriyaso, “Pemenuhan Hak-Hak Tenaga Kerja Melalui
Penerapan Corporate Social Responsibility Pada Suatu Perusahaan (Studi Penerapan CSR di PT.
Great Giant Pineapple, Provinsi Lampung), Jurnal Law Reform, Volume 12 Nomor 2, (Tahun
2016):198.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1141
permasalahan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja.4, bahwa salah satu
permasalahan yang dapat terjadi dalam suatu hubungan kerja antara pekerja
dengan pihak perusahaan adalah dalam hal perjanjian. Perjanjian tersebut
dinamakan Perjanjian Kerja Bersama/PKB, menurut ketentuan Pasal 1 ayat
21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan (yang
selanjutnya disebut dengan UU Ketenagakerjaan):“ Perjanjian Kerja
Bersama adalah Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”
Adapun komponen penting dalam perjanjian kerja bersama/ PKB
tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 124 UU Ketenagakerjaan
yang mengatur mengenai perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat ; a.
hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban serikat pekerja /serikat
buruh serta pekerja/buruh; c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya
perjanjian kerja bersama; dan d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian
kerja bersama.
Berdasarkan pengertian dan komponen Perjanjian Kerja Bersama
diatas, bahwa di dalam perjanjian kerja bersama dapat mengatur hak kedua
belah pihak, salah satu hak perusahaan yang dapat diatur dalam PKB
tersebut adalah hak untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
yang secara implisit terdapat dalam ketentuan Pasal 150 UU
Ketenagakerjaan. Akan tetapi yang menjadi perhatian adalah bahwa setiap
jenis PHK yang terjadi dalam hubungan kerja harus melalui proses tertentu
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menjadi pertanyaan
tersendiri apabila dalam suatu PKB tersebut mengatur mengenai PHK
4)
Erica Gita Mogi, “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Di PHK Sepihak
Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Lex
Administratum, Volume 5, Nomor 2 (Tahun 2017):1.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1142
sepihak yang dapat dilakukan oleh perusahaan dikarenakan pekerja/buruh
melakukan kesalahan berat.
Hal tersebut tercermin dalam contoh kasus dalam Putusan Nomor
178/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn. Terdapat PHK terhadap Adi Purwanto
(selaku pekerja) dari PT. Mujur Timber Sibolga (selaku Perusahaan) yang
mempekerjakan Adi Purwanto. Bahwa Permasalahan bermula pada saat Adi
Purwanto dan Abdul Azis (Rekan Kerja Adi Purwanto) pada saat perjalanan
menuju kantor terjadi benturan kendaraan keduanya, dari benturan tersebut
terjadi perkelahian yang menyebabkan kedua orang tersebut mengalami
luka-luka pada seluruh tubuhnya.
Perkelahian tersebut menyebabkan kedua belah pihak dipanggil oleh
pihak perusahaan untuk didengarkan keterangannya, dari pemanggilan
tersebut Adi Purwanto memperoleh hasil bahwa dia di-PHK oleh
perusahaan dengan alasan kesalahan berat karena telah menganiaya Abdul
Azis, sementara Abdul Azis hanya memperoleh peringatan. Adi Purwanto
selaku pihak yang di-PHK merasakan kerugian dan mengajukan gugatan
kepada Peradilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Medan. Namun
dari gugatan yang diajukan oleh Adi Purwanto mendapatkan hasil bahwa
gugatan tersebut tidak diterima dan PHK yang dilakukan oleh perusahaan
adalah tepat karena telah diatur dalam PKB mengenai PHK karena
kesalahan berat.
Dalam PKB tersebut salah satu pasalnya yang mengatur PHK karena
kesalahan berat tersebut adalah sebagai berikut:
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Pasal 15 :“Pengusaha dapat
mengambil tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa memberikan
Surat Peringatan terlebih dahulu kepada setiap pekerja yang terbukti
bersalah dalam hal-hal berikut”: 3.2 Melakukan Penganiayaan terhadap
Pengusaha, teman kerja atau keluarganya.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1143
Hakim dalam salah satu pertimbangan putusannya menyatakan bahwa
meskipun bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dimana amanat dari
putusan tersebut adalah pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dikategorikan
kesalahan berat apabila telah melalui putusan pengadilan umum, dan majelis
hakim berpendapat sepanjang jika ketentuan tersebut (kesalahan berat) telah
diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama maka aturan yang berlaku adalah
Perjanjian Kerja Bersama tersebut. Hal ini yang menjadi permasalahan
adalah mengenai pengaturan PHK karena kesalahan berat dalam PKB
dimana jika melihat pada adanya ketentuan dalam suatu peraturan
perundang-undangan salah satunya adalah SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005,
bahwa dalam hal PHK karena kesalahan berat harus memperoleh putusan
hakim pidana yang berkekuatan hukum, hal tersebut berbanding terbalik
dengan kasus Adi Purwanto yang sebaliknya menyatakan bahwa pengusaha
dapat mem-PHK secara sepihak bagi pekerja yang melakukan kesalahan
berat karena diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, Bahwa contoh putusan
tersebut diatas didapatlah semua permasalahan yang diangkat menjadi
bahan penulisan jurnal dengan judul “Pengaturan Pemutusan Hubungan
Kerja Karena Kesalahan Berat Dalam Perjanjian Kerja Bersama Antara Adi
Purwanto (Buruh) dan PT. Mujur Timber Sibolga ” (Studi Kasus Putusan
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Nomor
178/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn.)
B. Perumusan Masalah
Bagaimana Keabsahan Dari Kesepakatan Pemutusan Hubungan Kerja
Karena Kesalahan Berat Dalam Perjanjian Kerja Bersama?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yakni adalah metode penelitian
normatif karena berkaitan dengan penggunaan sumber data yang akan
digunakan berupa studi kepustakaan atau yang dikenal dengan Library
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1144
research dengan mengumpulkan data dari berbagai literatur, dalam
penelitian ini penulis juga menggunakan bahan non hukum selain
menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, penelitian
ini juga memiliki spesifikasi adalah deskriptif dan menggunakan teknik
analisis Preskriptif dan menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan5)
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Perjanjian & Syarat Sahnya Perjanjian Serta Pembatalan
Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian: Perjanjian Kerja Bersama merupakan sebuah
produk hukum yang dibuat dengan melibatkan serikat pekerja dengan
pengusaha, sebagai suatu produk hukum Perjanjian Kerja Bersama berbentuk
sebuah perjanjian, yang dimaksud dengan perjanjian menurut Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang kemudian disebut sebagai
KUHPerdata) adalah suatu produk hukum yang mana satu pihak atau lebih
terikat atas nama dirinya sendiri dengan satu atau lebih pihak lainnya. Sebagai
suatu perjanjian yang lahir dari kesepakatan kedua belah pihak, Perjanjian
Kerja Bersama menimbulkan adanya suatu perikatan antara pihak yang
membuat Perjanjian tersebut, dimana perikatan tersebut merupakan bentuk
khusus dari perjanjian yang dibuat. Sumber daripada perikatan tersebut dapat
dibagi antara perjanjian yang melahirkan Perikatan dan juga Undang-Undang
yang melahirkan perikatan (Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), dapat dikatakan disini bahwa Perjanjian Kerja Bersama merupakan
suatu bentuk perikatan yang lahir karena Perjanjian yang dibuat.
Perikatan yang lahir tersebut dibuat dalam bentuk Perjanjian Kerja
Bersama dengan maksud bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut dapat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Ketika suatu
5)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3. (Jakarta: UI Press,2015),
hal.42.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1145
Perikatan yang dibuat tersebut harus dilaksanakan oleh para pihak dengan
sungguh-sungguh karena perjanjian yang dibuat tersebut berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak yang membuatnya (Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Hal ini dimaksudkan bahwa perjanjian
tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa adanya persetujuan dari kedua
pihak, atau karena hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, sehingga hal
ini mencerminkan bahwa perjanjian yang dibuat antara kedua pihak harus
dilaksanakan dengan itikad baik.6)
Dalam membuat suatu perjanjian terdapat
beberapa asas yang berlaku secara umum, diantaranya adalah: asas personalia,
yang dimaksudkan sebagai asas personalia adalah Asas ini merupakan
cerminan daripada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1315 KUHPerdata
“ Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkannya suatu janji untuk dirinya sendiri”. hal ini
dimanakan bahwa dalam seseorang mencerminkan dirinya sebagai suatu
individu yang merupakan subjek hukum pribadi yang memiliki wewenang
untuk dan atas nama dirinya dapat bertindak dalam perjanjian yang dibuat dan
perjanjian tersebut mengikat kepada dirinya sebagai pihak yang membuat
perjanjian tersebut.7)
dan Asas Konsesualitas Asas konsesualitas merupakan
cerminan pada ketentuan Pasal 1320 angka (1) KUHPerdata dimaksudkan
bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara lisan telah mengikat
kepada para pihak tersebut, dari perjanjian yang sah tersebut maka timbullah
adanya suatu kewajiban bagi pihak yang lain dan hak bagi pihak yang lainnya.
Hal ini berarti para pihak telah mencapai kesepakatan-kesepakatan yang
diperjanjikan dan pada prinsipnya perjanjian tersebut telah menjadi suatu
perikatan bagi para pihak tersebut.8)
Serta Asas Kebebasan Berkontrak Asas
Kebebasan Berkontrak merupakan cerminan daripada ketentuan Pasal 1320
angka (4) dimaksudkan bahwa perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan oleh
6 )
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
(Jakarta:Rajawali Pers,2014), hal 1. 7)
Ibid., hal.14. 8)
Ibid., hal. 34.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1146
para pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang
dimaksudkan adalah bahwa perjanjian yang dibuat atau dilaksanakan oleh
para pihak tersebut terbebas atau tidak terdapat suatu hal yang dilarang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.9)
2. Syarat sahnya Perjanjian : sebagai suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak harus memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, salah satu adalah mengenai syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang mana terdiri dari : Sepakat, Cakap, Objek tertentu, dan Sebab yang halal.
Sepakat dan Cakap dikatakan sebagai syarat subjektif karena berkaitan
dengan pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan mengenai Objek
tertentu, dan sebab yang halal dikatakan sebagai syarat objektif karena
mengenai perjanjian sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan
10). Syarat pertama mengenai sepakat, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, seia-sekata terhadap hal-hal
pokok dari perjanjian yang diadakan tersebut, dan juga menghendaki segala
sesuatu yang sama yang memiliki hubungan timbal balik. Mengenai Cakap
sendiri dimaksudkan bahwa orang yang membuat perjanjian harus cakap
menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang telah mencapai dewasa dan
memiliki sehat pikiran adalah cakap, namun terdapat orang-orang yang
dikecualikan dari cakap ini, orang-orang tersebut adalah: orang yang belum
mencapai dewasa, dibawah pengampuan, serta yang menurut Undang-undang
dilarang membuat suatu perjanjian tertentu (Pasal 1330 KUHPerdata)11 )
sehingga jika orang-orang tersebut membuat perjanjian, maka tidak
mencerminkan asas cakap tersebut.
Syarat selanjutnya adalah mengenai objek tertentu, dimaknai sebagai apa
yang diperjanjikan mengenai hak dan kewajiban para pihak harus dirumuskan
9)
Ibid., hal.46. 10)
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-21. (Jakarta: Intermasa, 2005), hal.17. 11)
Ibid
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1147
secara terperinci dalam perjanjian. Mengenai syarat keempat berupa sebab
yang halal, dimaknai sebagai tiada yang lain dari pada isi perjanjian dan
dimaksudkan untuk tidak melanggar ketentuan peraturan perundang
-undangan yang berlaku. Akibat hukum daripada pelanggaran syarat-syarat
diatas dilanggar adalah, jika syarat subjektif dilanggar adalah perjanjian
tersebut dapat dibatalkan diantara para pihak, sedangkan apabila syarat
objektif dilanggar maka batal demi hukum yang berarti tidak pernah terjadi
perjanjian yang dibuat antara para pihak.12)
3. Pembatalan Perjanjian : Perjanjian yang dapat dikatakan sebagai peristiwa
hukum dengan demikian maka menimbulkan adanya hubungan antar subjek
hukum yang membuat perjanjian tersebut, hak dan kewajiban merupakan
cerminan daripada hubungan antar subjek hukum, dalam perjanjian yang
dibuat tentu terdapat hak dan kewajiban para pihak, yang dimaksudkan hak
dan kewajiban disini adalah jika ada hak dari salah satu pihak maka hal itu
merupakan kewajiban pihak lain untuk memenuhi hak tersebut. Hak dan
kewajiban tersebut tentu harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkaitan
sesuai dengan klausula perjanjian, apabila tidak dilaksanakan maka akan
menimbulkan akibat hukum lain yang dapat mengakibatkan perjanjian
tersebut berakhir.13 )
Dalam perjanjian yang dibuat para pihak dapat
dimungkinkan terjadinya suatu pembatalan, hal itu dapat dimungkinkan
terjadinya suatu pembatalan, hal itu dapat disebabkan karena beberapa hal
antara lain adalah : Perjanjian Dapat dibatalkan, pada dasarnya ketika suatu
perjanjian tersebut dapat dibatalkan pada saat sebelum terjadinya kesepakatan
maupun setelah perjanjian tersebut dilaksanakan, dalam hal ini perjanjian
yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang melanggar ketentuan Pasal 1320
angka (1) dan angka (2) KUHPerdata. Batal demi hukum, pada dasarnya
ketika suatu perjanjian melanggar ketentuan Pasal 1320 angka (3) dan angka
12)
Ibid., hal. 18-19. 13)
Moechtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku 1), (Bandung : PT. Alumni, 2009), hal.89.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1148
(4) yang merupakan syarat objektif dari perjanjian maka perjanjian tersebut
batal demi hukum, yang dimaksud dengan batal demi hukum adalah bahwa
tidak pernah terjadi perjanjian diantara para pihak, atau perjanjian tersebut
dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. Selanjutnya dalam
wanprestasi, wanprestasi sendiri dapat dimaknakan sebagai suatu prestasi
yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak atau pihak tersebut
melaksanakan prestasi yang tidak diperjanjikan. Hal tersebut berarti bahwa
hak pihak lain telah diabaikan atau pihak lain tidak memperoleh haknya
sebagai yang telah diperjanjikan dan pihak yang haknya diabaikan tersebut
dapat membatalkan perjanjian atas dasar wanprestasi. 14)
B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama & Syarat Sahnya Perjanjian
Kerja Bersama
1. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama, Perjanjian Perburuhan/Kesepakatan
Kerja Bersama atau istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang selanjutnya disebut sebagai UUK)
adalah Perjanjian Kerja Bersama (yang selanjutnya disebut sebagai PKB)/
Collective Labour Agreement (CLA) dan yang dalam Bahasa Belanda dikenal
sebagai Collective ArbeidsOvereenkomst (CAO), adalah suatu bentuk
perjanjian yang dikenal dalam hukum Indonesia yang pada awalnya
berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata. Dalam UUK sendiri pengertian
mengenai PKB itu diatur dalam Pasal 1 angka 21, yang menyatakan
“ perjanjian kerja bersama merupakan perjanjian hasil perundingan antara
serikat pekerja/buruh yang terdaftar pada instasi terkait dalam bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak” dan
didaftarkan pada instansi terkait”.
14)
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal.172.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1149
2. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Bersama, sebagai suatu perjanjian yang
dibuat antara serikat pekerja dengan pengusaha sendiri, dan yang berlaku
dalam lingkungan tempat kerja pekerja/buruh yang dilaksanakan oleh semua
pihak dalam lingkungan tersebut memiliki syarat minimal dalam
pembuatannya dimana harus mencantumkan: hak dan kewajiban kedua pihak,
mulai berlaku dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja bersama tersebut,
tanda tangan, dan ketentuan dalam PKB tersebut tentu tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 124 UUK). Selain
mengacu pada pasal tersebut sebagai suatu bentuk dari perjanjian yang dibuat
oleh kedua pihak juga mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
sebagai pasal yang universal untuk perjanjian.15)
C. Pemutusan Hubungan Kerja
Dalam bidang ketenagakerjaan sendiri dimungkinkan untuk terjadinya
suatu Pemutusan Hubungan Kerja, hal demikian menjadi perhatian tersendiri
dalam dunia ketenagakerjaan, dikarenakan PHK tersebut pekerja berada pada
pihak yang lemah dibandingkan dengan pengusaha, sehingga tidak jarang
mengalami ketidaksesuaian/ketidakadilan dalam prosesnya.16)
PHK sendiri
dapat terjadi karena beberapa hal salah satunya adalah karena kesalahan berat
seperti yang tercermin dalam kasus diatas, mengenai PHK yang terjadi dapat
menyebabkan terjadinya perselisihan antara hubungan industrial dikarenakan
adanya ketidaksesuaian pendapat antara pekerja dengan pengusaha mengenai
PHK tersebut dan juga mengenai sah atau tidaknya PHK yang dilakukan17)
.
15 )
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan (edisi revisi), Cetakan ke-14.
(Jakarta:Rajawali Pers,2016), hal.72-73. 16)
Agus Suprayogi, “ Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kesalahan Berat
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2004”,
https://media.neliti.com/media/publications/145816-ID-penyelesaian-pemutusan-hubungan-kerja-
ka.pdf, (3 May 2020):117. 17)
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Tata
Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan), Cetakan ke-2. (Jakarta:Sinar Grafika,2012),
hal.38.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1150
PHK sendiri dalam dunia ketenagakerjaan timbul sebagai upaya terakhir
yang dapat dilakukan setelah melalui berbagai proses/langkah yang ditempuh
tetapi tidak mencapai kesepakatan/membawa hasil yang diharapkan, dalam
UUK sendiri pengertian PHK adalah berupa berakhirnya hubungan kerja
antara pekerja dengan pengusaha dengan berakhirnya hubungan tersebut
maka berakhir juga hak dan kewajiban diantara keduanya (Pasal 1 angka 25),
dalam pengakhiran hubungan tersebut harus mendapatkan suatu pemutusan
dari lembaga yang berwenang untuk mengakhiri hubungan antara keduanya
tersebut, lembaga yang berwenang itu adalah Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) jika melalui atau menempuh jalur pengadilan, dan jika tidak menempuh
jalur pengadilan maka pengakhiran hubungan tersebut dapat dilakukan oleh
mediator atau konsiliator (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)18 )
. Seperti yang telah
disebutkan diatas bahwa PHK dapat terjadi karena beberapa sebab salah
satunya adalah karena kesalahan berat, berbagai bentuk dari perbuatan yang
disebut sebagai kesalahan berat dapat dilihat pada Pasal 158 UUK ayat (1)
dalam Pasal 158 ayat (2) juga disebutkan bahwa jika ingin melakukan PHK
karena kesalahan berat harus disertai dengan bukti-bukti sebagaimana
disebutkan dalam pasal tersebut. Selanjutnya menganggap bahwa pasal 158
UUK tidak sesuai dengan asas praduga tak bersalah akhirnya diajukan
Judicial Review dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
012/PUUI/2003 menyatakan bahwa Pasal 158 UUK sudah tidak berkekuatan
hukum yang kemudian diterbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005, dimana berdasarkan
peraturan menteri tersebut dalam Poin 3 yang menyatakan bahwa jika
Pengusaha akan melakukan PHK dengan dasar/alasan pekerja/buruh
melakukan suatu perbuatan yang tergolong dalam kesalahan berat, maka PHK
tersebut dapat dilakukan setelah adanya putusan hakim di Pengadilan Negeri
18)
Lalu Husni, Op.Cit., hal.175.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1151
pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini mencerminkan bahwa
dalam upaya terjadinya PHK karena kesalahan berat pengusaha tidak dapat
melakukan PHK tersebut tanpa didahului adanya Putusan Pengadilan Pidana
yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian maka ketentuan yang
sebelumnya diatur dalam Pasal 158 UUK yang berkaitan dengan PHK karena
kesalahan berat sudah tidak berlaku demikian, dan yang berlaku adalah
ketentuan dalam Surat Edaran tersebut.
D. Asas Praduga Tak Bersalah
Sebagai salah satu asas dalam ruang lingkup hukum, asas ini dapat
diterapkan dalam berbagai persoalan yang bersangkutan terutama dalam hal
ini persoalan mengenai PHK karena kesalahan berat. Asas praduga tak
bersalah adalah suatu asas yang menyatakan bahwa seseorang yang dituduh,
disangkakan, ditangkap, ditahan, dituntut harus dianggap belum/tidak
bersalah melakukan perbuatan yang disangkakan/dituduhkan terhadap dirinya,
sampai adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Asas ini memiliki peranan penting dalam menjaga martabat seseorang
yang diduga melakukan suatu kesalahan yang menyebabkan kerugian bagi
orang lain harus dianggap tidak melakukan kesalahan itu sebelum diputuskan
oleh hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap19)
Jika dihubungkan dengan kasus PHK karena kesalahan berat, dalam hal
ini jika pekerja/buruh yang dituduh/disangkakan melakukan kesalahan berat
harus dianggap tidak melakukan kesalahan berat tersebut sebelum adanya
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut juga tercermin
dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005
tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada poin 3
19)
E.Nurhaini Butarbutar, ” Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan Dan Pengaturannya
Dalam Hukum Acara Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum :471.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1152
huruf a, apabila pengusaha ingin mem-PHK pekerja karena melakukan
kesalahan berat harus dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang
berkekuatan hukum tetap. Hal ini berarti mencerminkan asas praduga tak
bersalah untuk PHK karena kesalahan berat.
E. Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum merupakan suatu teori yang terdapat dalam ilmu
hukum, dimana teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Gustav Radbruch
yang menyatakan bahwa hukum harus memiliki beberapa asas yaitu :
kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Mengenai kepastian hukum ini
dimaksudkan bahwa hukum dikatakan menciptakan suatu keadaan yang pasti
dan logis dalam pelaksanaannya.
Hal tersebut memberikan konsekuensi bahwa hukum tersebut
memberikan perlindungan bagi setiap orang terhadap tindakan
sewenang-wenang dan hukum tersebut dalam pelaksanaannya tidak
dipengaruhi oleh keadaan - keadaan tertentu. Sehingga hukum tersebut
dituntut agar dapat dilaksanakan oleh setiap orang dan setiap orang dapat
sesuatu yang diinginkan dalam situasi tertentu, jika terjadi pelanggaran maka
dapat ditindak sesuai dengan sanksi hukum yang berlaku.20 )
Sedangkan
menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa jaminan bahwa hukum
tersebut harus memberikan jaminan dapat dilaksanakan dengan cara yang
baik, kepastian hukum tersebut menyatakan bahwa seluruh peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang harus
memberikan jaminan terdapat adanya kepastian hukum yang dapat
dilaksanakan dan berfungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati.21)
20)
Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “ Pemahaman Terhadap Asas Kepastian
Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”, Jurnal Crepido, Volume 01 Nomor
01 (Tahun 2019): 14-15. 21)
Anonim, “ Pengertian Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli “,
http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-para-ahli/, diakses tanggal 16
Desember 2020.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1153
Tinjauan Mengenai Keabsahan Dari Kesepakatan Pemutusan Hubungan
Kerja Karena Kesalahan Berat Dalam Perjanjian Kerja Bersama
Sebagai pihak yang mempekerjakan pekerja/buruh, maka pengusaha memiliki
hubungan hukum dengan pekerja/buruh tersebut, hubungan ini dapat disebut
sebagai hubungan kerja dan tercermin dalam bentuk perjanjian yang disebut
sebagai perjanjian kerja ataupun PKB yang dibuat secara tertulis. Perbedaan
signifikan antara perjanjian kerja dan PKB yaitu adalah bahwa dalam perjanjian
kerja yang dibuat hanya berlaku bagi pribadi pekerja/buruh itu sendiri sedangkan
PKB adalah suatu perjanjian yang dibuat dengan melalui musyawarah yang
dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha dalam suatu
tempat kerja dan PKB yang dibuat itu berlaku untuk semua pekerja/buruh tanpa
terkecuali.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sendiri merupakan suatu persoalan yang
akan dianggap sebagai sesuatu yang tabu bagi pekerja, karena dengan di-PHKnya
pekerja maka akan kehilangan mata pencaharian yang sangat berharga baik bagi
dirinya maupun keluarga, dalam UU Ketenagakerjaan sendiri menganut paham
yang sama, bahwa antara pengusaha dan pekerja harus melakukan segala upaya
agar tidak terjadinya PHK. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, PHK tidak
mungkin untuk dicegah secara keseluruhan dan Dalam PKB tersebut terdapat
pengaturan mengenai PHK karena Kesalahan Berat. Mengenai ketentuan hal-hal
yang minimal diatur dalam PKB diatur dalam ketentuan Pasal 124 yang berbunyi
sebagai berikut : Hak dan kewajiban Pengusaha; Hak dan kewajiban serikat
pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; Jangka waktu dan tanggal mulai
berlakunya perjanjian kerja bersama;Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian
kerja bersama. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
PHK disini dapat dikategorikan sebagai salah satu dari hak pengusaha sebagai
pihak yang mempekerjakan pekerja/buruh, hal tersebut diatur secara tersirat
dalam pasal 150 UU Ketenagakerjaan. Sebagai suatu hak dari pengusaha
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1154
seringkali diatur mengenai ketentuan PHK dalam PKB salah satunya adalah PHK
karena kesalahan berat. Akan tetapi pengaturan PHK karena kesalahan berat ini
menimbulkan permasalahan sendiri mengenai diperbolehkan atau tidaknya
mengatur hal tersebut dalam PKB, Dapat dilihat dari beberapa ketentuan yang
sudah disebutkan, jika melihat bunyi pasal-pasal tersebut tidak ada satu peraturan
yang mengatur secara signifikan mengenai pengaturan PHK karena kesalahan
berat dalam PKB. Akan tetapi hal tersebut dapat ditemui dalam Surat Edaran
Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Surat Edaran tersebut meskipun tidak mengatur mengenai PHK karena
kesalahan berat dapat diatur atau tidak dalam PKB akan tetapi memiliki salah satu
poin penting yang menyatakan pengusaha yang akan mem-PHK pekerja/buruh
harus terlebih dahulu memperoleh putusan pengadilan pidana yang membuktikan
bahwa benar perbuatan tersebut dilakukan oleh pekerja. Seperti yang telah
dikatakan diatas bahwa PHK merupakan salah satu hak dari pada pengusaha
sebagai pihak yang mempekerjakan pekerja/buruh, oleh karena itu ketentuan
mengenai PHK menjadi salah satu point yang diatur dalam PKB tersebut.
Meskipun menjadi salah satu poin yang diatur dalam PKB, mengenai
ketentuan hal tersebut tidak dapat dibuat secara semena-mena oleh pengusaha
karena dimungkinkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan dan ketertiban umum. Hal tersebut dapat ditemui dalam contoh kasus
yang dijadikan topik jurnal ini dimana pengaturan mengenai PHK karena
kesalahan berat tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 15 PKB yang berbunyi
sebagai berikut :“ Pengusaha dapat mengambil tindakan pemutusan hubungan
kerja (PHK) tanpa memberikan surat peringatan terlebih dahulu kepada setiap
pekerja yang terbukti bersalah dalam hal-hal berikut :3.2. Melakukan
Penganiayaan terhadap Pengusaha, teman kerja, atau keluarganya” Menurut
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1155
penulis sendiri pengaturan PHK karena kesalahan berat tanpa tersebut terkesan
seperti dibuat tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan, kesusilaan,
dan ketertiban umum sehingga tidak dapat diatur seperti demikian.
Penulis dapat menyatakan pendapat tersebut karena menurut penulis
meskipun PHK menjadi hak dari pengusaha salah satunya adalah PHK karena
kesalahan berat, tetapi hak tersebut baru menjadi hak dari pengusaha ketika ada
suatu keadaan yang terpenuhi kemudian pengusaha baru bisa menggunakan hak
tersebut. Pendapat penulis ini juga didukung oleh pendapat yang mengatakan
bahwa secara singkat mengatakan bahwa meskipun PHK karena kesalahan berat
tidak perlu peringatan terlebih dahulu kepada pekerja, akan tetapi bukan berarti
tanpa memberikan peringatan dapat langsung mem-PHK tanpa melalui proses
hukum sebagaimana seharusnya yang pada hal ini mengacu pada proses yang
dikatakan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tersebut. Hal ini agar
mencerminkan dilaksanakannnya peraturan tersebut dalam proses PHK karena
kesalahan berat.
Penulis diatas mengatakan bahwa pengaturan PHK karena kesalahan berat
tersebut adalah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hal tersebut
penulis ungkapkan bukan tanpa dasar, melainkan dengan didasari oleh salah satu
peraturan yang menurut penulis sebagai salah satu poin penting. Peraturan
tersebut adalah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor
SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji
Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebelum diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tersebut ketentuan
mengenai kesalahan berat sendiri diatur dalam Pasal 158 UUK yang pada
pointnya mengatur mengenai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
kesalahan berat pada ayat 1 dan pada ayat 2 mengenai bukti yang menyatakan
bahwa yang mendukung keaslian perbuatan kesalahan berat tersebut.Surat Edaran
Menteri tersebut yang diterbitkan untuk menggantikan ketentuan Pasal 158 UUK,
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1156
Surat Edaran tersebut dianggap oleh penulis telah menjadi aspek penting dalam
permasalahan mengenai PHK karena kesalahan berat, seperti yang dikatakan
bahwa jika ingin mem-PHK karena kesalahan berat harus melalui putusan pidana.
Putusan pidana disini dimaksudkan agar sebelum pekerja/buruh tersebut
di-PHK dengan dasar karena kesalahan berat, terlebih dahulu dibuktikan bahwa
kesalahan yang dilakukannya merupakan kesalahan berat dan benar kesalahan
tersebut telah pekerja/buruh tersebut lakukan atau bisa dikatakan bahwa hal
tersebut merupakan pencerminan daripada asas presumption of innocent. Dalam
artian bahwa pekerja/buruh yang diduga melakukan kesalahan berat tidak boleh
dianggap sebagai pihak yang benar-benar melakukan kesalahan berat sebelum
adanya putusan pengadilan yang sah dan berkekuatan hukum tetap. Jadi dalam hal
ini tidak dinyatakan oleh pengusaha bahwa pekerja/buruh tersebut telah
melakukan kesalahan berat dan kemudian dengan kewenangannya mem-PHK
pekerja/buruh tersebut. Menurut penulis pengusaha tidak mempunyai
kewenangan untuk menyatakan hal tersebut meskipun sebagai pihak yang
mempekerjakan pekerja/buruh tersebut.
Adapun pendapat menyatakan bahwa pengusaha dapat menyatakan bahwa
pekerja/buruh tersebut melakukan kesalahan berat dan dapat mem-PHK seperti
dalam ketentuan PKB tersebut. Beliau berpendapat bahwa itu untuk menjamin
kepastian keadaan pekerja tersebut dalam perusahaan sehingga apabila pekerja
tidak menerima PHK tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial dan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.Tetapi
penulis memiliki pendapat lain meskipun agar menjamin kepastian keadaan
pekerja/buruh dalam perusahaan tersebut akan tetapi harus mengikuti proses
sebagaimana yang dikatakan oleh Surat Edaran tersebut karena kesalahan berat
tidak dapat dibuktikan dari sudut pandang pengusaha saja dan jika ini dilakukan
menurut penulis hal tersebut melanggar prinsip sebagaimana yang diatur dalam
Surat Edaran tersebut yang menjadi salah satu poin dalam menghadapi
permasalahan PHK karena kesalahan berat itu.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1157
Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa menurut Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja tersebut menyatakan bahwa PHK karena kesalahan berat harus
memperoleh putusan hakim pidana yang sah dan berkekuatan hukum tetap, jadi
jika sesuai dengan ketentuan ini maka pengaturan PHK karena kesalahan berat
dalam PKB dapat dikatakan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan hukum
Hal tersebut terjadi karena jika PHK karena kesalahan berat tersebut tetap
diatur dalam PKB melangkahi proses hukum yang seharusnya dilakukan sebelum
pengusaha mem-PHK pekerja yang dimaksud, dan juga dapat dikatakan bahwa
pengusaha telat melangkahi kewenangan hakim pidana dalam menentukan apakah
pekerja tersebut memang benar melakukan kesalahan berat yang ditentukan
sendiri oleh pengusaha bahwa pekerja tersebut telah melakukan kesalahan berat
dan kemudian mem-PHK pekerja itu. Menurut penulis sendiri berdasarkan dari
hal diatas jika diambil secara garis besar maka jika pengaturan PHK karena
kesalahan berat diatur dalam PKB seperti dalam contoh kasus Adi Purwanto itu
merupakan hal yang salah dan tidak tepat dan bertentangan dengan hukum yang
berlaku.Jika PHK tersebut tetap diatur maka PKB tersebut menyalahi aturan
sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja. Sehingga
dapat dikatakan bahwa melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan juga tidak sesuai dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PKB dalam contoh kasus Adi
Purwanto tidak sesuai dengan ketentuan sebab yang halal dari pembuatan
perjanjian yang sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sehingga
PKB tersebut dapat dikatakan telah cacat dan menurut ketuan KUHPerdata jika
melanggar ketentuan sebab yang halal ini maka perjanjian/dalam hal ini PKB
adalah batal demi hukum dan yang seharusnya berlaku adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dalam hal ini adalah Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja tersebut.
Hal ini juga didukung dengan ketentuan Pasal 124 ayat 2 dan ayat 3 UUK
yang pada pointnya menyatakan bahwa jika PKB melanggar atau tidak sesuai
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1158
dengan peraturan perundang-undangan maka PKB tersebut adalah tidak sah/batal
demi hukum dan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan. Hal ini
mengungkapkan bahwa jika melihat pada ketentuan dalam Surat Edaran tersebut
maka pengaturan PHK karena kesalahan berat dalam PKB adalah hal yang tidak
tepat karena melanggar ketentuan sebagaimana yang terkandung dalam Surat
Edaran tersebut, sehingga dapat dikatakan batal demi hukum dan yang berlaku
adalah Surat Edaran tersebut.
Kepastian Hukum merupakan bahwa hukum harus menciptakan suatu
keadaan yang pasti dan logis dalam pelaksanaannya yang menimbulkan akibat
bahwa hukum tersebut harus secara wajib memberikan perlindungan bagi semua
orang tanpa terkecuali, dalam hal ini pekerja/buruh juga termasuk golongan yang
harus dilindungi.22)
Jika dihubungan dengan pengaturan PHK karena kesalahan
berat dalam PKB yang diperuntukan bagi pekerja/buruh di perusahaan
bersangkutan. Hal tersebut menurut penulis tidak mencerminkan adanya suatu
kepastian hukum.Hal tersebut atas dasar jika dalam Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 pada point 3 huruf a yang menyatakan
bahwa untuk melakukan PHK karena kesalahan berat harus berdasarkan putusan
hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu, namun dalam PKB
diatur bahwa Pengusaha dapat melakukan tindakan PHK terhadap pekerja yang
terbukti melakukan kesalahan berat.
Melihat kedua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa PKB tersebut
melangkahi/melewati/bertentangan dengan ketentuan Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 hal tersebut yang
melatarbelakangi penulis mengatakan bahwa kepastian hukum tidak tercermin
dalam hal ini sehingga tidak seharusnya PKB mengatur hal yang
berlainan/bertentangan dengan peraturan yang sudah ada agar timbulnya suatu
kepastian hukum bagi semua pihak dalam hal ini adalah bagi pekerja/buruh.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai PHK karena Kesalahan
22)
Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, Op.Cit., hal.14.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1159
Berat yang diatur dalam PKB merupakan suatu hal yang salah yang tidak
seharusnya diatur dalam PKB yang jika diatur maka selain melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku juga tidak mencerminkan kepastian
hukum bagi pekerja/buruh, jika ingin diatur maka sebaiknya ketentuan dalam
PKB tersebut lebih baik daripada peraturan perundang-undangan yang berlaku
jika tidak lebih baik maka sebaiknya tidak diatur dalam PKB. Akan tetapi jika
melihat dari sudut pengusaha juga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum
karena jika melihat pada proses penyelesaian melalui pengadilan negeri yang
berkaitan dengan pembuktian pada kesalahan berat membutuhkan waktu yang
tidak sebentar sehingga menimbulkan keadaan yang tergantung-gantung antara
kedua belah sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa peraturan
perundang-undangan yang berlaku memiliki kelemahan yang menimbulkan
adanya ketidakpastian hukum antara kedua belah pihak.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis, maka penulis
dapat menarik kesimpulan terkait permasalahan yang diangkat, yakni adalah
sebagai berikut : Perjanjian Kerja Bersama sebagai suatu perjanjian yang
dalam pembuatannya selain memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
UUK yang mengatur mengenai syarat minimal hal-hal yang harus diatur
dalam PKB tersebut juga harus melihat ketentuan-ketentuan lain seperti
ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai pasal perjanjian universal
dan juga Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor
SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 apabila ingin mengatur mengenai PHK karena
kesalahan berat, karena menurut peraturan tersebut menyatakan bahwa
apabila jika PHK karena kesalahan berat harus memperoleh putusan hakim
pidana yang berkekuatan hukum tetap, hal ini mencerminkan bahwa prinsip
mengenai asas praduga tak bersalah harus diterapkan dalam permasalahan
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1160
mengenai kesalahan berat tersebut, yang berarti bahwa seorang pekerja yang
diduga melakukan kesalahan berat tidak patut diduga melakukan kesalahan
tersebut sebelum adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum
tetap, sehingga apabila dalam suatu PKB mengatur PHK karena kesalahan
berat yang tercermin dalam kasus Adi Purwanto hal tersebut dapat
dikatakan bahwa PKB tersebut tidak menerapkan prinsip asas praduga tak
bersalah yang menjadi latar belakang dari penerbitan surat edaran tersebut
sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan surat edaran itu, jika melihat
ketentuan Pasal 124 ayat (2) UUK yang menyatakan bahwa dalam hal
perjanjian bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum
dan yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga ketentuan PKB dalam kasus Adi Purwanto yang mengatur
mengenai PHK karena kesalahan berat adalah tidak sesuai karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sehingga ketentuan itu
tidak berlaku dan yang berlaku adalah surat edaran tersebut.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan dalam jurnal ini ditunjukkan
kepada setiap pengusaha dan buruh agar dalam pembuatan PKB
memperhatikan segala peraturan perundang-undangan tanpa terkecuali agar
PKB yang dibuat tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku karena menimbulkan kerugian bagi salah
satu pihak, dan jika melihat pada ketentuan Surat Edaran tersebut maka
seharusnya ketentuan mengenai PHK karena kesalahan berat tidak diatur
dalam PKB, walaupun tidak diatur dalam PKB bukan berarti bahwa
pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja jika melakukan kesalahan berat,
pengusaha tetap dapat melakukan PHK hanya saja mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah surat
edaran tersebut. Jika ingin tetap mengatur maka sebaiknya mengatur lebih
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1161
baik baik daripada ketentuan peraturan perundang-undangan dengan
memperhatikan kepentingan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
tersebut.
IV. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Fajar,Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Cetakan Ke-III,2015).
Husni,Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan (edisi revisi). Cetakan ke-14.
(Jakarta:Rajawali Pers,2016).
Kusumaatmadja,Moechtar dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum
Buku 1), (Bandung : PT. Alumni, 2009).
Mulyadi,Kartini dan Gunawan Widjaja.Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.
(Jakarta:Rajawali Pers,2014).
Soekanto,Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cetakan ke-3. (Jakarta: UI
Press,2015).
Subekti. Hukum Perjanjian. Cetakan ke-21. (Jakarta: Intermasa, 2005).
Sutedi,Adrian. Hukum Perburuhan. Cetakan ke-1 (Jakarta:Sinar Grafika,
2009).
Ugo dan Pujiyo. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa
Perburuhan). Cetakan ke-2. (Jakarta:Sinar Grafika,2012).
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
________,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1162
________,Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor
SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak
Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
C. Artikel Jurnal Cetak
Butarbutar, E.Nurhaini. ” Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan Dan
Pengaturannya Dalam Hukum Acara Perdata”. Jurnal Dinamika
Hukum,:471.
Hakim,Dani Amran dan Budi Ispriyaso. “Pemenuhan Hak-Hak Tenaga Kerja
Melalui Penerapan Corporate Social Responsibility Pada Suatu
Perusahaan (Studi Penerapan CSR di PT. Great Giant Pineapple,
Provinsi Lampung). Jurnal Law Reform. Volume 12 Nomor 2. (Tahun
2016):198.
Julyano,Mario dan Aditya Yuli Sulistyawan. “ Pemahaman Terhadap Asas
Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”.
Jurnal Crepido. Volume 01 Nomor 01 (Tahun 2019):1.
Kahfi, Ashabul. “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja”,
Jurisprudentie, Edisi No.2 Volume 3 tanggal (2 Desember Tahun
2016):60-61.
Mogi,Erica Gita. “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Di
PHK Sepihak Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Lex Administratum. Volume 5,
Nomor 2 (Tahun 2017):14-15.
S,Laurensius Arliman. “Perkembangan dan Dinamika Hukum
Ketenagakerjaan Di Indonesia”.Jurnal Selat, Edisi Volume 5 Nomor 1.
(Oktober 2017) :75.
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA
KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA
“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)
Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873
1163
Suprayogi,Agus.“ Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Karena
Kesalahan Berat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
012/PUU-I/2004”.https://media.neliti.com/media/publications/145816-I
D-penyelesaian-pemutusan-hubungan-kerja-ka.pdf. (3 May 2020):117.
D. Website
Anonim. “ Pengertian Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli “.
http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-p
ara-ahli/. Diakses tanggal 16 Desember 2020.