pengaturan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan ...

26
Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA “(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.) Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873 1138 PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA “(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.) Revaldi Sanjaya (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara) (Email: [email protected]) Dr.Stanislaus Atalim, S.H.,M.H. (Corresponding Author) (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Meraih Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Doktor (Dr.) pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) (Email : [email protected]) Abstract Termination of employment (PHK) is a problem that always occurs in the world of work, termination of employment itself is a very frightening event for workers/laborers who face it, this is because it is related to the cessation/absence of financial income for the worker/laborer concerned to fulfill needs. Because it is a frightening event for workers, they must make every effort so that dismissal never occurs as reflected in Article 151 paragraph (1) of Law Number 13 Year 2003 concerning employment, however in practice this is unlikely to happen. occurs, in a company there must be layoffs, one of which is layoffs due to serious mistakes. One example of layoffs due to serious errors is in Decision Number 178/PdtSus-PHI /2017/PN.Mdn, where Adi Purwanto as a worker was laid off due to a serious error stipulated in the Collective Labor Agreement that applies to the company where he works, the purpose of this research is to find out the validity of layoff regulations due to serious mistakes in Collective Labor Agreement . The methods used in this research are: This type of research is normative legal research which takes the problem from the law then provides justification, the type of data used is primary legal material, secondary legal material, and tertiary legal material, data collection techniques used are used is literature study and interviews, and data analysis techniques are prescriptive techniques. Keywords : Termination of Employment, Serious Error, Collective Labor Agreement I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transcript of pengaturan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan ...

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1138

PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA

ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER

SIBOLGA “(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Revaldi Sanjaya

(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)

(Email: [email protected])

Dr.Stanislaus Atalim, S.H.,M.H.

(Corresponding Author)

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Meraih Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Doktor (Dr.)

pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan)

(Email : [email protected])

Abstract

Termination of employment (PHK) is a problem that always occurs in the world of work,

termination of employment itself is a very frightening event for workers/laborers who face it, this

is because it is related to the cessation/absence of financial income for the worker/laborer

concerned to fulfill needs. Because it is a frightening event for workers, they must make every

effort so that dismissal never occurs as reflected in Article 151 paragraph (1) of Law Number 13

Year 2003 concerning employment, however in practice this is unlikely to happen. occurs, in a

company there must be layoffs, one of which is layoffs due to serious mistakes. One example of

layoffs due to serious errors is in Decision Number 178/PdtSus-PHI /2017/PN.Mdn, where Adi

Purwanto as a worker was laid off due to a serious error stipulated in the Collective Labor

Agreement that applies to the company where he works, the purpose of this research is to find out

the validity of layoff regulations due to serious mistakes in Collective Labor Agreement . The

methods used in this research are: This type of research is normative legal research which takes

the problem from the law then provides justification, the type of data used is primary legal

material, secondary legal material, and tertiary legal material, data collection techniques used

are used is literature study and interviews, and data analysis techniques are prescriptive

techniques.

Keywords : Termination of Employment, Serious Error, Collective Labor Agreement

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1139

Jauh sebelum Indonesia merdeka, telah disadari bahwa

kerja/pekerjaan merupakan salah satu kebutuhan dasar. Sejarah perjalanan

Bangsa Indonesia sebelum sampai pada kemerdekaannya telah memberikan

gambaran dan kondisi “kerja” yang begitu jelas, dengan berbagai model,

jenis maupun istilah yang terkait dengan keadaan seseorang/masyarakat

yang terikat (atau mengikatkan diri) dengan orang lain.Sejarah tentang

ketenagakerjaan seringkali dimulai dengan perbudakan, suatu istilah yang

sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai status dibandingkan dengan

menyatakannya sebagai suatu jenis ikatan pekerjaan. Selanjutnya dikenal

juga berbagai istilah buruh, hamba, peluluran, rodi, kuli, hingga

pekerja/tenaga kerja, sampai karyawan ataupun pegawai.

Gambaran tentang ketenagakerjaan di Indonesia berlanjut ketika

Undang-Undang Dasar NKRI 1945 dalam Pasal 27 ayat (2), menegaskan

bahwa pekerjaan dan kehidupan yang layak merupakan hak konstitusional

bagi segenap rakyat Indonesia. Konsekuensi logis dari penegasan ini adalah,

lahirnya kewajiban Negara untuk menyediakan fasilitas dan kesempatan

yang seluas-luasnya kepada segenap rakya untuk dapat memperoleh

perkerjaan sekaligus menjadikan perkerjaan tersebut sebagai sesuaty yang

layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian pelanggaran terhadap hak dasar

yang dilindungi konstitusi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.1)

Di Indonesia, masalah ketenagakerjaan mulai menjadi perhatian sejak

masuknya penjajahan. Dimulai dengan Belanda, Portugis, Inggris, dan

kemudian Jepang. Semuanya menerapkan sistemnya masing-masing.

Meskipun demikian, perlindungan terhadap tenaga kerja baru mulai

mendapat perhatian setelah Belanda dibawah pimpinan Daendels

menerapkan Etische Politic (politik balas budi).

1)

Ashabul Kahfi, “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja”, Jurisprudentie, Edisi

No.2 Volume 3 tanggal (2 Desember Tahun 2016):.60-61.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1140

Semenjak itu, maka mulai lahir peraturan-peraturan (hukum) tentang

ketenagakerjaan, yang mana peraturan yang dibuat mulai memperhatikan

sisi-sisi kemanusiaan. Seiring perjalanan bangsa sampai memasuki era

kemerdekaan, peraturan demi peraturan dibuat untuk melindungi, dan

menjamin kesejahteraan, keselamatan, dan keberlangsungan hidup (secara

kemanusiaan) para pekerja.2)

Selanjutnya Indonesia memasuki sebuah era globalisasi, yang pada

gilirannya mengharuskan terjadinya perubahan-perubahan di segala bidang.

Tak terkecuali bidang ketenagakerjaan. Pembangunan nasional di era

globalisasi, khususnya bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh

karena itu hukum ketenagakerjaan harus dapat menjamin kepastian hukum,

nilai keadilan, asas kemanfaatan, ketertiban, perlindungan dan penegakan

hukum.

Secara yuridis dalam hukum ketenagakerjaan kedudukan pengusaha

dan pekerja adalah sama dan sederajat. Namun, secara sosiologis pada suatu

kondisi tertentu kedudukan antara pekerja atau bisa dikatakan juga sebagai

buruh dengan pengusaha tidak sama dan seimbang. Karena seringkali

pekerja/buruh berada pada posisi yang lemah. Maka dari itu di dalam dunia

ketenagakerjaan pekerja/buruh adalah kaum yang harus diberikan

perlindungan.3)

Permasalahan dalam dunia ketenagakerjaan ini cenderung menjadi

masalah yang seakan-akan tidak pernah usai, dunia ketenagakerjaan di

Indonesia sendiri masih diselimuti permasalahan-permasalahan pokok

seperti permasalahan mengenai ketentuan dalam perjanjian kerja bersama,

permasalahan mengenai perselisihan kepentingan hak, sampai kepada

2 ) Laurensius Arliman S, “ Perkembangan dan Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Di

Indonesia”, Jurnal Selat, Edisi Volume 5 Nomor 1, (Oktober 2017) :75. 3)

Dani Amran Hakim dan Budi Ispriyaso, “Pemenuhan Hak-Hak Tenaga Kerja Melalui

Penerapan Corporate Social Responsibility Pada Suatu Perusahaan (Studi Penerapan CSR di PT.

Great Giant Pineapple, Provinsi Lampung), Jurnal Law Reform, Volume 12 Nomor 2, (Tahun

2016):198.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1141

permasalahan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja.4, bahwa salah satu

permasalahan yang dapat terjadi dalam suatu hubungan kerja antara pekerja

dengan pihak perusahaan adalah dalam hal perjanjian. Perjanjian tersebut

dinamakan Perjanjian Kerja Bersama/PKB, menurut ketentuan Pasal 1 ayat

21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan (yang

selanjutnya disebut dengan UU Ketenagakerjaan):“ Perjanjian Kerja

Bersama adalah Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat

pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang

tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha

yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”

Adapun komponen penting dalam perjanjian kerja bersama/ PKB

tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 124 UU Ketenagakerjaan

yang mengatur mengenai perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat ; a.

hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban serikat pekerja /serikat

buruh serta pekerja/buruh; c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya

perjanjian kerja bersama; dan d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian

kerja bersama.

Berdasarkan pengertian dan komponen Perjanjian Kerja Bersama

diatas, bahwa di dalam perjanjian kerja bersama dapat mengatur hak kedua

belah pihak, salah satu hak perusahaan yang dapat diatur dalam PKB

tersebut adalah hak untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

yang secara implisit terdapat dalam ketentuan Pasal 150 UU

Ketenagakerjaan. Akan tetapi yang menjadi perhatian adalah bahwa setiap

jenis PHK yang terjadi dalam hubungan kerja harus melalui proses tertentu

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menjadi pertanyaan

tersendiri apabila dalam suatu PKB tersebut mengatur mengenai PHK

4)

Erica Gita Mogi, “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Di PHK Sepihak

Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Lex

Administratum, Volume 5, Nomor 2 (Tahun 2017):1.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1142

sepihak yang dapat dilakukan oleh perusahaan dikarenakan pekerja/buruh

melakukan kesalahan berat.

Hal tersebut tercermin dalam contoh kasus dalam Putusan Nomor

178/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn. Terdapat PHK terhadap Adi Purwanto

(selaku pekerja) dari PT. Mujur Timber Sibolga (selaku Perusahaan) yang

mempekerjakan Adi Purwanto. Bahwa Permasalahan bermula pada saat Adi

Purwanto dan Abdul Azis (Rekan Kerja Adi Purwanto) pada saat perjalanan

menuju kantor terjadi benturan kendaraan keduanya, dari benturan tersebut

terjadi perkelahian yang menyebabkan kedua orang tersebut mengalami

luka-luka pada seluruh tubuhnya.

Perkelahian tersebut menyebabkan kedua belah pihak dipanggil oleh

pihak perusahaan untuk didengarkan keterangannya, dari pemanggilan

tersebut Adi Purwanto memperoleh hasil bahwa dia di-PHK oleh

perusahaan dengan alasan kesalahan berat karena telah menganiaya Abdul

Azis, sementara Abdul Azis hanya memperoleh peringatan. Adi Purwanto

selaku pihak yang di-PHK merasakan kerugian dan mengajukan gugatan

kepada Peradilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Medan. Namun

dari gugatan yang diajukan oleh Adi Purwanto mendapatkan hasil bahwa

gugatan tersebut tidak diterima dan PHK yang dilakukan oleh perusahaan

adalah tepat karena telah diatur dalam PKB mengenai PHK karena

kesalahan berat.

Dalam PKB tersebut salah satu pasalnya yang mengatur PHK karena

kesalahan berat tersebut adalah sebagai berikut:

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Pasal 15 :“Pengusaha dapat

mengambil tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa memberikan

Surat Peringatan terlebih dahulu kepada setiap pekerja yang terbukti

bersalah dalam hal-hal berikut”: 3.2 Melakukan Penganiayaan terhadap

Pengusaha, teman kerja atau keluarganya.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1143

Hakim dalam salah satu pertimbangan putusannya menyatakan bahwa

meskipun bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dimana amanat dari

putusan tersebut adalah pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dikategorikan

kesalahan berat apabila telah melalui putusan pengadilan umum, dan majelis

hakim berpendapat sepanjang jika ketentuan tersebut (kesalahan berat) telah

diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama maka aturan yang berlaku adalah

Perjanjian Kerja Bersama tersebut. Hal ini yang menjadi permasalahan

adalah mengenai pengaturan PHK karena kesalahan berat dalam PKB

dimana jika melihat pada adanya ketentuan dalam suatu peraturan

perundang-undangan salah satunya adalah SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005,

bahwa dalam hal PHK karena kesalahan berat harus memperoleh putusan

hakim pidana yang berkekuatan hukum, hal tersebut berbanding terbalik

dengan kasus Adi Purwanto yang sebaliknya menyatakan bahwa pengusaha

dapat mem-PHK secara sepihak bagi pekerja yang melakukan kesalahan

berat karena diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, Bahwa contoh putusan

tersebut diatas didapatlah semua permasalahan yang diangkat menjadi

bahan penulisan jurnal dengan judul “Pengaturan Pemutusan Hubungan

Kerja Karena Kesalahan Berat Dalam Perjanjian Kerja Bersama Antara Adi

Purwanto (Buruh) dan PT. Mujur Timber Sibolga ” (Studi Kasus Putusan

Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Nomor

178/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn.)

B. Perumusan Masalah

Bagaimana Keabsahan Dari Kesepakatan Pemutusan Hubungan Kerja

Karena Kesalahan Berat Dalam Perjanjian Kerja Bersama?

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yakni adalah metode penelitian

normatif karena berkaitan dengan penggunaan sumber data yang akan

digunakan berupa studi kepustakaan atau yang dikenal dengan Library

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1144

research dengan mengumpulkan data dari berbagai literatur, dalam

penelitian ini penulis juga menggunakan bahan non hukum selain

menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, penelitian

ini juga memiliki spesifikasi adalah deskriptif dan menggunakan teknik

analisis Preskriptif dan menggunakan pendekatan peraturan

perundang-undangan5)

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian & Syarat Sahnya Perjanjian Serta Pembatalan

Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian: Perjanjian Kerja Bersama merupakan sebuah

produk hukum yang dibuat dengan melibatkan serikat pekerja dengan

pengusaha, sebagai suatu produk hukum Perjanjian Kerja Bersama berbentuk

sebuah perjanjian, yang dimaksud dengan perjanjian menurut Pasal 1313

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang kemudian disebut sebagai

KUHPerdata) adalah suatu produk hukum yang mana satu pihak atau lebih

terikat atas nama dirinya sendiri dengan satu atau lebih pihak lainnya. Sebagai

suatu perjanjian yang lahir dari kesepakatan kedua belah pihak, Perjanjian

Kerja Bersama menimbulkan adanya suatu perikatan antara pihak yang

membuat Perjanjian tersebut, dimana perikatan tersebut merupakan bentuk

khusus dari perjanjian yang dibuat. Sumber daripada perikatan tersebut dapat

dibagi antara perjanjian yang melahirkan Perikatan dan juga Undang-Undang

yang melahirkan perikatan (Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata), dapat dikatakan disini bahwa Perjanjian Kerja Bersama merupakan

suatu bentuk perikatan yang lahir karena Perjanjian yang dibuat.

Perikatan yang lahir tersebut dibuat dalam bentuk Perjanjian Kerja

Bersama dengan maksud bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian

tersebut dapat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Ketika suatu

5)

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3. (Jakarta: UI Press,2015),

hal.42.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1145

Perikatan yang dibuat tersebut harus dilaksanakan oleh para pihak dengan

sungguh-sungguh karena perjanjian yang dibuat tersebut berlaku sebagai

undang-undang bagi pihak yang membuatnya (Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata). Hal ini dimaksudkan bahwa perjanjian

tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa adanya persetujuan dari kedua

pihak, atau karena hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, sehingga hal

ini mencerminkan bahwa perjanjian yang dibuat antara kedua pihak harus

dilaksanakan dengan itikad baik.6)

Dalam membuat suatu perjanjian terdapat

beberapa asas yang berlaku secara umum, diantaranya adalah: asas personalia,

yang dimaksudkan sebagai asas personalia adalah Asas ini merupakan

cerminan daripada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1315 KUHPerdata

“ Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri

atau meminta ditetapkannya suatu janji untuk dirinya sendiri”. hal ini

dimanakan bahwa dalam seseorang mencerminkan dirinya sebagai suatu

individu yang merupakan subjek hukum pribadi yang memiliki wewenang

untuk dan atas nama dirinya dapat bertindak dalam perjanjian yang dibuat dan

perjanjian tersebut mengikat kepada dirinya sebagai pihak yang membuat

perjanjian tersebut.7)

dan Asas Konsesualitas Asas konsesualitas merupakan

cerminan pada ketentuan Pasal 1320 angka (1) KUHPerdata dimaksudkan

bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara lisan telah mengikat

kepada para pihak tersebut, dari perjanjian yang sah tersebut maka timbullah

adanya suatu kewajiban bagi pihak yang lain dan hak bagi pihak yang lainnya.

Hal ini berarti para pihak telah mencapai kesepakatan-kesepakatan yang

diperjanjikan dan pada prinsipnya perjanjian tersebut telah menjadi suatu

perikatan bagi para pihak tersebut.8)

Serta Asas Kebebasan Berkontrak Asas

Kebebasan Berkontrak merupakan cerminan daripada ketentuan Pasal 1320

angka (4) dimaksudkan bahwa perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan oleh

6 )

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,

(Jakarta:Rajawali Pers,2014), hal 1. 7)

Ibid., hal.14. 8)

Ibid., hal. 34.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1146

para pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang

dimaksudkan adalah bahwa perjanjian yang dibuat atau dilaksanakan oleh

para pihak tersebut terbebas atau tidak terdapat suatu hal yang dilarang oleh

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.9)

2. Syarat sahnya Perjanjian : sebagai suatu perjanjian yang dibuat oleh para

pihak harus memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan, salah satu adalah mengenai syarat sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang mana terdiri dari : Sepakat, Cakap, Objek tertentu, dan Sebab yang halal.

Sepakat dan Cakap dikatakan sebagai syarat subjektif karena berkaitan

dengan pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan mengenai Objek

tertentu, dan sebab yang halal dikatakan sebagai syarat objektif karena

mengenai perjanjian sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan

10). Syarat pertama mengenai sepakat, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang

mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, seia-sekata terhadap hal-hal

pokok dari perjanjian yang diadakan tersebut, dan juga menghendaki segala

sesuatu yang sama yang memiliki hubungan timbal balik. Mengenai Cakap

sendiri dimaksudkan bahwa orang yang membuat perjanjian harus cakap

menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang telah mencapai dewasa dan

memiliki sehat pikiran adalah cakap, namun terdapat orang-orang yang

dikecualikan dari cakap ini, orang-orang tersebut adalah: orang yang belum

mencapai dewasa, dibawah pengampuan, serta yang menurut Undang-undang

dilarang membuat suatu perjanjian tertentu (Pasal 1330 KUHPerdata)11 )

sehingga jika orang-orang tersebut membuat perjanjian, maka tidak

mencerminkan asas cakap tersebut.

Syarat selanjutnya adalah mengenai objek tertentu, dimaknai sebagai apa

yang diperjanjikan mengenai hak dan kewajiban para pihak harus dirumuskan

9)

Ibid., hal.46. 10)

Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-21. (Jakarta: Intermasa, 2005), hal.17. 11)

Ibid

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1147

secara terperinci dalam perjanjian. Mengenai syarat keempat berupa sebab

yang halal, dimaknai sebagai tiada yang lain dari pada isi perjanjian dan

dimaksudkan untuk tidak melanggar ketentuan peraturan perundang

-undangan yang berlaku. Akibat hukum daripada pelanggaran syarat-syarat

diatas dilanggar adalah, jika syarat subjektif dilanggar adalah perjanjian

tersebut dapat dibatalkan diantara para pihak, sedangkan apabila syarat

objektif dilanggar maka batal demi hukum yang berarti tidak pernah terjadi

perjanjian yang dibuat antara para pihak.12)

3. Pembatalan Perjanjian : Perjanjian yang dapat dikatakan sebagai peristiwa

hukum dengan demikian maka menimbulkan adanya hubungan antar subjek

hukum yang membuat perjanjian tersebut, hak dan kewajiban merupakan

cerminan daripada hubungan antar subjek hukum, dalam perjanjian yang

dibuat tentu terdapat hak dan kewajiban para pihak, yang dimaksudkan hak

dan kewajiban disini adalah jika ada hak dari salah satu pihak maka hal itu

merupakan kewajiban pihak lain untuk memenuhi hak tersebut. Hak dan

kewajiban tersebut tentu harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkaitan

sesuai dengan klausula perjanjian, apabila tidak dilaksanakan maka akan

menimbulkan akibat hukum lain yang dapat mengakibatkan perjanjian

tersebut berakhir.13 )

Dalam perjanjian yang dibuat para pihak dapat

dimungkinkan terjadinya suatu pembatalan, hal itu dapat dimungkinkan

terjadinya suatu pembatalan, hal itu dapat disebabkan karena beberapa hal

antara lain adalah : Perjanjian Dapat dibatalkan, pada dasarnya ketika suatu

perjanjian tersebut dapat dibatalkan pada saat sebelum terjadinya kesepakatan

maupun setelah perjanjian tersebut dilaksanakan, dalam hal ini perjanjian

yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang melanggar ketentuan Pasal 1320

angka (1) dan angka (2) KUHPerdata. Batal demi hukum, pada dasarnya

ketika suatu perjanjian melanggar ketentuan Pasal 1320 angka (3) dan angka

12)

Ibid., hal. 18-19. 13)

Moechtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Suatu Pengenalan

Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku 1), (Bandung : PT. Alumni, 2009), hal.89.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1148

(4) yang merupakan syarat objektif dari perjanjian maka perjanjian tersebut

batal demi hukum, yang dimaksud dengan batal demi hukum adalah bahwa

tidak pernah terjadi perjanjian diantara para pihak, atau perjanjian tersebut

dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. Selanjutnya dalam

wanprestasi, wanprestasi sendiri dapat dimaknakan sebagai suatu prestasi

yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak atau pihak tersebut

melaksanakan prestasi yang tidak diperjanjikan. Hal tersebut berarti bahwa

hak pihak lain telah diabaikan atau pihak lain tidak memperoleh haknya

sebagai yang telah diperjanjikan dan pihak yang haknya diabaikan tersebut

dapat membatalkan perjanjian atas dasar wanprestasi. 14)

B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama & Syarat Sahnya Perjanjian

Kerja Bersama

1. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama, Perjanjian Perburuhan/Kesepakatan

Kerja Bersama atau istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang selanjutnya disebut sebagai UUK)

adalah Perjanjian Kerja Bersama (yang selanjutnya disebut sebagai PKB)/

Collective Labour Agreement (CLA) dan yang dalam Bahasa Belanda dikenal

sebagai Collective ArbeidsOvereenkomst (CAO), adalah suatu bentuk

perjanjian yang dikenal dalam hukum Indonesia yang pada awalnya

berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata. Dalam UUK sendiri pengertian

mengenai PKB itu diatur dalam Pasal 1 angka 21, yang menyatakan

“ perjanjian kerja bersama merupakan perjanjian hasil perundingan antara

serikat pekerja/buruh yang terdaftar pada instasi terkait dalam bidang

ketenagakerjaan dengan pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang

memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak” dan

didaftarkan pada instansi terkait”.

14)

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal.172.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1149

2. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Bersama, sebagai suatu perjanjian yang

dibuat antara serikat pekerja dengan pengusaha sendiri, dan yang berlaku

dalam lingkungan tempat kerja pekerja/buruh yang dilaksanakan oleh semua

pihak dalam lingkungan tersebut memiliki syarat minimal dalam

pembuatannya dimana harus mencantumkan: hak dan kewajiban kedua pihak,

mulai berlaku dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja bersama tersebut,

tanda tangan, dan ketentuan dalam PKB tersebut tentu tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 124 UUK). Selain

mengacu pada pasal tersebut sebagai suatu bentuk dari perjanjian yang dibuat

oleh kedua pihak juga mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata

sebagai pasal yang universal untuk perjanjian.15)

C. Pemutusan Hubungan Kerja

Dalam bidang ketenagakerjaan sendiri dimungkinkan untuk terjadinya

suatu Pemutusan Hubungan Kerja, hal demikian menjadi perhatian tersendiri

dalam dunia ketenagakerjaan, dikarenakan PHK tersebut pekerja berada pada

pihak yang lemah dibandingkan dengan pengusaha, sehingga tidak jarang

mengalami ketidaksesuaian/ketidakadilan dalam prosesnya.16)

PHK sendiri

dapat terjadi karena beberapa hal salah satunya adalah karena kesalahan berat

seperti yang tercermin dalam kasus diatas, mengenai PHK yang terjadi dapat

menyebabkan terjadinya perselisihan antara hubungan industrial dikarenakan

adanya ketidaksesuaian pendapat antara pekerja dengan pengusaha mengenai

PHK tersebut dan juga mengenai sah atau tidaknya PHK yang dilakukan17)

.

15 )

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan (edisi revisi), Cetakan ke-14.

(Jakarta:Rajawali Pers,2016), hal.72-73. 16)

Agus Suprayogi, “ Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kesalahan Berat

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2004”,

https://media.neliti.com/media/publications/145816-ID-penyelesaian-pemutusan-hubungan-kerja-

ka.pdf, (3 May 2020):117. 17)

Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Tata

Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan), Cetakan ke-2. (Jakarta:Sinar Grafika,2012),

hal.38.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1150

PHK sendiri dalam dunia ketenagakerjaan timbul sebagai upaya terakhir

yang dapat dilakukan setelah melalui berbagai proses/langkah yang ditempuh

tetapi tidak mencapai kesepakatan/membawa hasil yang diharapkan, dalam

UUK sendiri pengertian PHK adalah berupa berakhirnya hubungan kerja

antara pekerja dengan pengusaha dengan berakhirnya hubungan tersebut

maka berakhir juga hak dan kewajiban diantara keduanya (Pasal 1 angka 25),

dalam pengakhiran hubungan tersebut harus mendapatkan suatu pemutusan

dari lembaga yang berwenang untuk mengakhiri hubungan antara keduanya

tersebut, lembaga yang berwenang itu adalah Pengadilan Hubungan Industrial

(PHI) jika melalui atau menempuh jalur pengadilan, dan jika tidak menempuh

jalur pengadilan maka pengakhiran hubungan tersebut dapat dilakukan oleh

mediator atau konsiliator (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)18 )

. Seperti yang telah

disebutkan diatas bahwa PHK dapat terjadi karena beberapa sebab salah

satunya adalah karena kesalahan berat, berbagai bentuk dari perbuatan yang

disebut sebagai kesalahan berat dapat dilihat pada Pasal 158 UUK ayat (1)

dalam Pasal 158 ayat (2) juga disebutkan bahwa jika ingin melakukan PHK

karena kesalahan berat harus disertai dengan bukti-bukti sebagaimana

disebutkan dalam pasal tersebut. Selanjutnya menganggap bahwa pasal 158

UUK tidak sesuai dengan asas praduga tak bersalah akhirnya diajukan

Judicial Review dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :

012/PUUI/2003 menyatakan bahwa Pasal 158 UUK sudah tidak berkekuatan

hukum yang kemudian diterbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005, dimana berdasarkan

peraturan menteri tersebut dalam Poin 3 yang menyatakan bahwa jika

Pengusaha akan melakukan PHK dengan dasar/alasan pekerja/buruh

melakukan suatu perbuatan yang tergolong dalam kesalahan berat, maka PHK

tersebut dapat dilakukan setelah adanya putusan hakim di Pengadilan Negeri

18)

Lalu Husni, Op.Cit., hal.175.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1151

pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini mencerminkan bahwa

dalam upaya terjadinya PHK karena kesalahan berat pengusaha tidak dapat

melakukan PHK tersebut tanpa didahului adanya Putusan Pengadilan Pidana

yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian maka ketentuan yang

sebelumnya diatur dalam Pasal 158 UUK yang berkaitan dengan PHK karena

kesalahan berat sudah tidak berlaku demikian, dan yang berlaku adalah

ketentuan dalam Surat Edaran tersebut.

D. Asas Praduga Tak Bersalah

Sebagai salah satu asas dalam ruang lingkup hukum, asas ini dapat

diterapkan dalam berbagai persoalan yang bersangkutan terutama dalam hal

ini persoalan mengenai PHK karena kesalahan berat. Asas praduga tak

bersalah adalah suatu asas yang menyatakan bahwa seseorang yang dituduh,

disangkakan, ditangkap, ditahan, dituntut harus dianggap belum/tidak

bersalah melakukan perbuatan yang disangkakan/dituduhkan terhadap dirinya,

sampai adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Asas ini memiliki peranan penting dalam menjaga martabat seseorang

yang diduga melakukan suatu kesalahan yang menyebabkan kerugian bagi

orang lain harus dianggap tidak melakukan kesalahan itu sebelum diputuskan

oleh hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap19)

Jika dihubungkan dengan kasus PHK karena kesalahan berat, dalam hal

ini jika pekerja/buruh yang dituduh/disangkakan melakukan kesalahan berat

harus dianggap tidak melakukan kesalahan berat tersebut sebelum adanya

putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut juga tercermin

dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005

tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada poin 3

19)

E.Nurhaini Butarbutar, ” Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan Dan Pengaturannya

Dalam Hukum Acara Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum :471.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1152

huruf a, apabila pengusaha ingin mem-PHK pekerja karena melakukan

kesalahan berat harus dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang

berkekuatan hukum tetap. Hal ini berarti mencerminkan asas praduga tak

bersalah untuk PHK karena kesalahan berat.

E. Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum merupakan suatu teori yang terdapat dalam ilmu

hukum, dimana teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Gustav Radbruch

yang menyatakan bahwa hukum harus memiliki beberapa asas yaitu :

kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Mengenai kepastian hukum ini

dimaksudkan bahwa hukum dikatakan menciptakan suatu keadaan yang pasti

dan logis dalam pelaksanaannya.

Hal tersebut memberikan konsekuensi bahwa hukum tersebut

memberikan perlindungan bagi setiap orang terhadap tindakan

sewenang-wenang dan hukum tersebut dalam pelaksanaannya tidak

dipengaruhi oleh keadaan - keadaan tertentu. Sehingga hukum tersebut

dituntut agar dapat dilaksanakan oleh setiap orang dan setiap orang dapat

sesuatu yang diinginkan dalam situasi tertentu, jika terjadi pelanggaran maka

dapat ditindak sesuai dengan sanksi hukum yang berlaku.20 )

Sedangkan

menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa jaminan bahwa hukum

tersebut harus memberikan jaminan dapat dilaksanakan dengan cara yang

baik, kepastian hukum tersebut menyatakan bahwa seluruh peraturan

perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang harus

memberikan jaminan terdapat adanya kepastian hukum yang dapat

dilaksanakan dan berfungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati.21)

20)

Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “ Pemahaman Terhadap Asas Kepastian

Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”, Jurnal Crepido, Volume 01 Nomor

01 (Tahun 2019): 14-15. 21)

Anonim, “ Pengertian Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli “,

http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-para-ahli/, diakses tanggal 16

Desember 2020.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1153

Tinjauan Mengenai Keabsahan Dari Kesepakatan Pemutusan Hubungan

Kerja Karena Kesalahan Berat Dalam Perjanjian Kerja Bersama

Sebagai pihak yang mempekerjakan pekerja/buruh, maka pengusaha memiliki

hubungan hukum dengan pekerja/buruh tersebut, hubungan ini dapat disebut

sebagai hubungan kerja dan tercermin dalam bentuk perjanjian yang disebut

sebagai perjanjian kerja ataupun PKB yang dibuat secara tertulis. Perbedaan

signifikan antara perjanjian kerja dan PKB yaitu adalah bahwa dalam perjanjian

kerja yang dibuat hanya berlaku bagi pribadi pekerja/buruh itu sendiri sedangkan

PKB adalah suatu perjanjian yang dibuat dengan melalui musyawarah yang

dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha dalam suatu

tempat kerja dan PKB yang dibuat itu berlaku untuk semua pekerja/buruh tanpa

terkecuali.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sendiri merupakan suatu persoalan yang

akan dianggap sebagai sesuatu yang tabu bagi pekerja, karena dengan di-PHKnya

pekerja maka akan kehilangan mata pencaharian yang sangat berharga baik bagi

dirinya maupun keluarga, dalam UU Ketenagakerjaan sendiri menganut paham

yang sama, bahwa antara pengusaha dan pekerja harus melakukan segala upaya

agar tidak terjadinya PHK. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, PHK tidak

mungkin untuk dicegah secara keseluruhan dan Dalam PKB tersebut terdapat

pengaturan mengenai PHK karena Kesalahan Berat. Mengenai ketentuan hal-hal

yang minimal diatur dalam PKB diatur dalam ketentuan Pasal 124 yang berbunyi

sebagai berikut : Hak dan kewajiban Pengusaha; Hak dan kewajiban serikat

pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; Jangka waktu dan tanggal mulai

berlakunya perjanjian kerja bersama;Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian

kerja bersama. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

PHK disini dapat dikategorikan sebagai salah satu dari hak pengusaha sebagai

pihak yang mempekerjakan pekerja/buruh, hal tersebut diatur secara tersirat

dalam pasal 150 UU Ketenagakerjaan. Sebagai suatu hak dari pengusaha

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1154

seringkali diatur mengenai ketentuan PHK dalam PKB salah satunya adalah PHK

karena kesalahan berat. Akan tetapi pengaturan PHK karena kesalahan berat ini

menimbulkan permasalahan sendiri mengenai diperbolehkan atau tidaknya

mengatur hal tersebut dalam PKB, Dapat dilihat dari beberapa ketentuan yang

sudah disebutkan, jika melihat bunyi pasal-pasal tersebut tidak ada satu peraturan

yang mengatur secara signifikan mengenai pengaturan PHK karena kesalahan

berat dalam PKB. Akan tetapi hal tersebut dapat ditemui dalam Surat Edaran

Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan

Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Surat Edaran tersebut meskipun tidak mengatur mengenai PHK karena

kesalahan berat dapat diatur atau tidak dalam PKB akan tetapi memiliki salah satu

poin penting yang menyatakan pengusaha yang akan mem-PHK pekerja/buruh

harus terlebih dahulu memperoleh putusan pengadilan pidana yang membuktikan

bahwa benar perbuatan tersebut dilakukan oleh pekerja. Seperti yang telah

dikatakan diatas bahwa PHK merupakan salah satu hak dari pada pengusaha

sebagai pihak yang mempekerjakan pekerja/buruh, oleh karena itu ketentuan

mengenai PHK menjadi salah satu point yang diatur dalam PKB tersebut.

Meskipun menjadi salah satu poin yang diatur dalam PKB, mengenai

ketentuan hal tersebut tidak dapat dibuat secara semena-mena oleh pengusaha

karena dimungkinkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

kesusilaan dan ketertiban umum. Hal tersebut dapat ditemui dalam contoh kasus

yang dijadikan topik jurnal ini dimana pengaturan mengenai PHK karena

kesalahan berat tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 15 PKB yang berbunyi

sebagai berikut :“ Pengusaha dapat mengambil tindakan pemutusan hubungan

kerja (PHK) tanpa memberikan surat peringatan terlebih dahulu kepada setiap

pekerja yang terbukti bersalah dalam hal-hal berikut :3.2. Melakukan

Penganiayaan terhadap Pengusaha, teman kerja, atau keluarganya” Menurut

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1155

penulis sendiri pengaturan PHK karena kesalahan berat tanpa tersebut terkesan

seperti dibuat tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan, kesusilaan,

dan ketertiban umum sehingga tidak dapat diatur seperti demikian.

Penulis dapat menyatakan pendapat tersebut karena menurut penulis

meskipun PHK menjadi hak dari pengusaha salah satunya adalah PHK karena

kesalahan berat, tetapi hak tersebut baru menjadi hak dari pengusaha ketika ada

suatu keadaan yang terpenuhi kemudian pengusaha baru bisa menggunakan hak

tersebut. Pendapat penulis ini juga didukung oleh pendapat yang mengatakan

bahwa secara singkat mengatakan bahwa meskipun PHK karena kesalahan berat

tidak perlu peringatan terlebih dahulu kepada pekerja, akan tetapi bukan berarti

tanpa memberikan peringatan dapat langsung mem-PHK tanpa melalui proses

hukum sebagaimana seharusnya yang pada hal ini mengacu pada proses yang

dikatakan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tersebut. Hal ini agar

mencerminkan dilaksanakannnya peraturan tersebut dalam proses PHK karena

kesalahan berat.

Penulis diatas mengatakan bahwa pengaturan PHK karena kesalahan berat

tersebut adalah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hal tersebut

penulis ungkapkan bukan tanpa dasar, melainkan dengan didasari oleh salah satu

peraturan yang menurut penulis sebagai salah satu poin penting. Peraturan

tersebut adalah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor

SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji

Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebelum diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tersebut ketentuan

mengenai kesalahan berat sendiri diatur dalam Pasal 158 UUK yang pada

pointnya mengatur mengenai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai

kesalahan berat pada ayat 1 dan pada ayat 2 mengenai bukti yang menyatakan

bahwa yang mendukung keaslian perbuatan kesalahan berat tersebut.Surat Edaran

Menteri tersebut yang diterbitkan untuk menggantikan ketentuan Pasal 158 UUK,

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1156

Surat Edaran tersebut dianggap oleh penulis telah menjadi aspek penting dalam

permasalahan mengenai PHK karena kesalahan berat, seperti yang dikatakan

bahwa jika ingin mem-PHK karena kesalahan berat harus melalui putusan pidana.

Putusan pidana disini dimaksudkan agar sebelum pekerja/buruh tersebut

di-PHK dengan dasar karena kesalahan berat, terlebih dahulu dibuktikan bahwa

kesalahan yang dilakukannya merupakan kesalahan berat dan benar kesalahan

tersebut telah pekerja/buruh tersebut lakukan atau bisa dikatakan bahwa hal

tersebut merupakan pencerminan daripada asas presumption of innocent. Dalam

artian bahwa pekerja/buruh yang diduga melakukan kesalahan berat tidak boleh

dianggap sebagai pihak yang benar-benar melakukan kesalahan berat sebelum

adanya putusan pengadilan yang sah dan berkekuatan hukum tetap. Jadi dalam hal

ini tidak dinyatakan oleh pengusaha bahwa pekerja/buruh tersebut telah

melakukan kesalahan berat dan kemudian dengan kewenangannya mem-PHK

pekerja/buruh tersebut. Menurut penulis pengusaha tidak mempunyai

kewenangan untuk menyatakan hal tersebut meskipun sebagai pihak yang

mempekerjakan pekerja/buruh tersebut.

Adapun pendapat menyatakan bahwa pengusaha dapat menyatakan bahwa

pekerja/buruh tersebut melakukan kesalahan berat dan dapat mem-PHK seperti

dalam ketentuan PKB tersebut. Beliau berpendapat bahwa itu untuk menjamin

kepastian keadaan pekerja tersebut dalam perusahaan sehingga apabila pekerja

tidak menerima PHK tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan

Hubungan Industrial dan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.Tetapi

penulis memiliki pendapat lain meskipun agar menjamin kepastian keadaan

pekerja/buruh dalam perusahaan tersebut akan tetapi harus mengikuti proses

sebagaimana yang dikatakan oleh Surat Edaran tersebut karena kesalahan berat

tidak dapat dibuktikan dari sudut pandang pengusaha saja dan jika ini dilakukan

menurut penulis hal tersebut melanggar prinsip sebagaimana yang diatur dalam

Surat Edaran tersebut yang menjadi salah satu poin dalam menghadapi

permasalahan PHK karena kesalahan berat itu.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1157

Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa menurut Surat Edaran Menteri

Tenaga Kerja tersebut menyatakan bahwa PHK karena kesalahan berat harus

memperoleh putusan hakim pidana yang sah dan berkekuatan hukum tetap, jadi

jika sesuai dengan ketentuan ini maka pengaturan PHK karena kesalahan berat

dalam PKB dapat dikatakan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan hukum

Hal tersebut terjadi karena jika PHK karena kesalahan berat tersebut tetap

diatur dalam PKB melangkahi proses hukum yang seharusnya dilakukan sebelum

pengusaha mem-PHK pekerja yang dimaksud, dan juga dapat dikatakan bahwa

pengusaha telat melangkahi kewenangan hakim pidana dalam menentukan apakah

pekerja tersebut memang benar melakukan kesalahan berat yang ditentukan

sendiri oleh pengusaha bahwa pekerja tersebut telah melakukan kesalahan berat

dan kemudian mem-PHK pekerja itu. Menurut penulis sendiri berdasarkan dari

hal diatas jika diambil secara garis besar maka jika pengaturan PHK karena

kesalahan berat diatur dalam PKB seperti dalam contoh kasus Adi Purwanto itu

merupakan hal yang salah dan tidak tepat dan bertentangan dengan hukum yang

berlaku.Jika PHK tersebut tetap diatur maka PKB tersebut menyalahi aturan

sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja. Sehingga

dapat dikatakan bahwa melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan juga tidak sesuai dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PKB dalam contoh kasus Adi

Purwanto tidak sesuai dengan ketentuan sebab yang halal dari pembuatan

perjanjian yang sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sehingga

PKB tersebut dapat dikatakan telah cacat dan menurut ketuan KUHPerdata jika

melanggar ketentuan sebab yang halal ini maka perjanjian/dalam hal ini PKB

adalah batal demi hukum dan yang seharusnya berlaku adalah ketentuan peraturan

perundang-undangan yang dalam hal ini adalah Surat Edaran Menteri Tenaga

Kerja tersebut.

Hal ini juga didukung dengan ketentuan Pasal 124 ayat 2 dan ayat 3 UUK

yang pada pointnya menyatakan bahwa jika PKB melanggar atau tidak sesuai

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1158

dengan peraturan perundang-undangan maka PKB tersebut adalah tidak sah/batal

demi hukum dan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan. Hal ini

mengungkapkan bahwa jika melihat pada ketentuan dalam Surat Edaran tersebut

maka pengaturan PHK karena kesalahan berat dalam PKB adalah hal yang tidak

tepat karena melanggar ketentuan sebagaimana yang terkandung dalam Surat

Edaran tersebut, sehingga dapat dikatakan batal demi hukum dan yang berlaku

adalah Surat Edaran tersebut.

Kepastian Hukum merupakan bahwa hukum harus menciptakan suatu

keadaan yang pasti dan logis dalam pelaksanaannya yang menimbulkan akibat

bahwa hukum tersebut harus secara wajib memberikan perlindungan bagi semua

orang tanpa terkecuali, dalam hal ini pekerja/buruh juga termasuk golongan yang

harus dilindungi.22)

Jika dihubungan dengan pengaturan PHK karena kesalahan

berat dalam PKB yang diperuntukan bagi pekerja/buruh di perusahaan

bersangkutan. Hal tersebut menurut penulis tidak mencerminkan adanya suatu

kepastian hukum.Hal tersebut atas dasar jika dalam Surat Edaran Menteri Tenaga

Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 pada point 3 huruf a yang menyatakan

bahwa untuk melakukan PHK karena kesalahan berat harus berdasarkan putusan

hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu, namun dalam PKB

diatur bahwa Pengusaha dapat melakukan tindakan PHK terhadap pekerja yang

terbukti melakukan kesalahan berat.

Melihat kedua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa PKB tersebut

melangkahi/melewati/bertentangan dengan ketentuan Surat Edaran Menteri

Tenaga Kerja Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 hal tersebut yang

melatarbelakangi penulis mengatakan bahwa kepastian hukum tidak tercermin

dalam hal ini sehingga tidak seharusnya PKB mengatur hal yang

berlainan/bertentangan dengan peraturan yang sudah ada agar timbulnya suatu

kepastian hukum bagi semua pihak dalam hal ini adalah bagi pekerja/buruh.

Sehingga dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai PHK karena Kesalahan

22)

Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, Op.Cit., hal.14.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1159

Berat yang diatur dalam PKB merupakan suatu hal yang salah yang tidak

seharusnya diatur dalam PKB yang jika diatur maka selain melanggar ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku juga tidak mencerminkan kepastian

hukum bagi pekerja/buruh, jika ingin diatur maka sebaiknya ketentuan dalam

PKB tersebut lebih baik daripada peraturan perundang-undangan yang berlaku

jika tidak lebih baik maka sebaiknya tidak diatur dalam PKB. Akan tetapi jika

melihat dari sudut pengusaha juga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum

karena jika melihat pada proses penyelesaian melalui pengadilan negeri yang

berkaitan dengan pembuktian pada kesalahan berat membutuhkan waktu yang

tidak sebentar sehingga menimbulkan keadaan yang tergantung-gantung antara

kedua belah sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa peraturan

perundang-undangan yang berlaku memiliki kelemahan yang menimbulkan

adanya ketidakpastian hukum antara kedua belah pihak.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis, maka penulis

dapat menarik kesimpulan terkait permasalahan yang diangkat, yakni adalah

sebagai berikut : Perjanjian Kerja Bersama sebagai suatu perjanjian yang

dalam pembuatannya selain memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam

UUK yang mengatur mengenai syarat minimal hal-hal yang harus diatur

dalam PKB tersebut juga harus melihat ketentuan-ketentuan lain seperti

ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai pasal perjanjian universal

dan juga Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor

SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 apabila ingin mengatur mengenai PHK karena

kesalahan berat, karena menurut peraturan tersebut menyatakan bahwa

apabila jika PHK karena kesalahan berat harus memperoleh putusan hakim

pidana yang berkekuatan hukum tetap, hal ini mencerminkan bahwa prinsip

mengenai asas praduga tak bersalah harus diterapkan dalam permasalahan

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1160

mengenai kesalahan berat tersebut, yang berarti bahwa seorang pekerja yang

diduga melakukan kesalahan berat tidak patut diduga melakukan kesalahan

tersebut sebelum adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum

tetap, sehingga apabila dalam suatu PKB mengatur PHK karena kesalahan

berat yang tercermin dalam kasus Adi Purwanto hal tersebut dapat

dikatakan bahwa PKB tersebut tidak menerapkan prinsip asas praduga tak

bersalah yang menjadi latar belakang dari penerbitan surat edaran tersebut

sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan surat edaran itu, jika melihat

ketentuan Pasal 124 ayat (2) UUK yang menyatakan bahwa dalam hal

perjanjian bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum

dan yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sehingga ketentuan PKB dalam kasus Adi Purwanto yang mengatur

mengenai PHK karena kesalahan berat adalah tidak sesuai karena

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sehingga ketentuan itu

tidak berlaku dan yang berlaku adalah surat edaran tersebut.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan dalam jurnal ini ditunjukkan

kepada setiap pengusaha dan buruh agar dalam pembuatan PKB

memperhatikan segala peraturan perundang-undangan tanpa terkecuali agar

PKB yang dibuat tersebut tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku karena menimbulkan kerugian bagi salah

satu pihak, dan jika melihat pada ketentuan Surat Edaran tersebut maka

seharusnya ketentuan mengenai PHK karena kesalahan berat tidak diatur

dalam PKB, walaupun tidak diatur dalam PKB bukan berarti bahwa

pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja jika melakukan kesalahan berat,

pengusaha tetap dapat melakukan PHK hanya saja mengikuti ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah surat

edaran tersebut. Jika ingin tetap mengatur maka sebaiknya mengatur lebih

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1161

baik baik daripada ketentuan peraturan perundang-undangan dengan

memperhatikan kepentingan kedua belah pihak yang membuat perjanjian

tersebut.

IV. DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Fajar,Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif &

Empiris.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Cetakan Ke-III,2015).

Husni,Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan (edisi revisi). Cetakan ke-14.

(Jakarta:Rajawali Pers,2016).

Kusumaatmadja,Moechtar dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Suatu

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum

Buku 1), (Bandung : PT. Alumni, 2009).

Mulyadi,Kartini dan Gunawan Widjaja.Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.

(Jakarta:Rajawali Pers,2014).

Soekanto,Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cetakan ke-3. (Jakarta: UI

Press,2015).

Subekti. Hukum Perjanjian. Cetakan ke-21. (Jakarta: Intermasa, 2005).

Sutedi,Adrian. Hukum Perburuhan. Cetakan ke-1 (Jakarta:Sinar Grafika,

2009).

Ugo dan Pujiyo. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial (Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa

Perburuhan). Cetakan ke-2. (Jakarta:Sinar Grafika,2012).

B. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

________,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1162

________,Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor

SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak

Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

C. Artikel Jurnal Cetak

Butarbutar, E.Nurhaini. ” Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan Dan

Pengaturannya Dalam Hukum Acara Perdata”. Jurnal Dinamika

Hukum,:471.

Hakim,Dani Amran dan Budi Ispriyaso. “Pemenuhan Hak-Hak Tenaga Kerja

Melalui Penerapan Corporate Social Responsibility Pada Suatu

Perusahaan (Studi Penerapan CSR di PT. Great Giant Pineapple,

Provinsi Lampung). Jurnal Law Reform. Volume 12 Nomor 2. (Tahun

2016):198.

Julyano,Mario dan Aditya Yuli Sulistyawan. “ Pemahaman Terhadap Asas

Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”.

Jurnal Crepido. Volume 01 Nomor 01 (Tahun 2019):1.

Kahfi, Ashabul. “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja”,

Jurisprudentie, Edisi No.2 Volume 3 tanggal (2 Desember Tahun

2016):60-61.

Mogi,Erica Gita. “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Di

PHK Sepihak Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Lex Administratum. Volume 5,

Nomor 2 (Tahun 2017):14-15.

S,Laurensius Arliman. “Perkembangan dan Dinamika Hukum

Ketenagakerjaan Di Indonesia”.Jurnal Selat, Edisi Volume 5 Nomor 1.

(Oktober 2017) :75.

Revaldi Sanjaya & S. Atalim PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA

KESALAHAN BERAT DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA ANTARA ADI PURWANTO (BURUH) DAN PT. MUJUR TIMBER SIBOLGA

“(STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 178/PDT.SUS-PHI/2017/PN.MDN.)

Volume 3 Nomor 2, Desember 2020 E-ISSN: 2655-7347 | P-ISSN: 2747-0873

1163

Suprayogi,Agus.“ Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Karena

Kesalahan Berat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

012/PUU-I/2004”.https://media.neliti.com/media/publications/145816-I

D-penyelesaian-pemutusan-hubungan-kerja-ka.pdf. (3 May 2020):117.

D. Website

Anonim. “ Pengertian Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli “.

http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-p

ara-ahli/. Diakses tanggal 16 Desember 2020.