pengaturan ganti rugi yang diberikan oleh pihak terkait

98
PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN OLEH PIHAK TERKAIT TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh: MUHAMMMAD FEBRY RAMADHAN 120200033 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

Transcript of pengaturan ganti rugi yang diberikan oleh pihak terkait

PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN OLEH PIHAK TERKAIT

TERHADAP KORBAN KECELAKAAN

LALU LINTAS DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MUHAMMMAD FEBRY RAMADHAN

120200033

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN

OLEH PIHAK TERKAIT TERHADAP KORBAN

KECELAKAAN LALU LINTAS DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MUHAMMAD FEBRY RAMADHAN

120200033

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr. M. Hamdan, SH., M.H.)

NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Edi Yunara, SH., M.Hum) (Dr. Marlina, SH., M.Hum)

NIP. 196012221986031003 NIP. 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

ABSTRAK

Muhammad Febry Ramadhan*

Edi Yunara**

Marlina***

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan pengaturan ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas tidak

dijelaskan secara terperinci baik dalam pemberian dan penyelesaiannya. Penelitian

tentang pengaturan ganti rugi kepada korban kecelakaan lalu lintas ini diharapkan

memberikan kesadaran untuk lebih memberikan hak-hak korban kecelakaan lalu

lintas. Berdasarkan pokok pemikiran diatas, dapat dirumuskan beberapa

permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan mengenai ganti rugi terhadap korban

kecelakaan lalu lintas menurut hukum positif di Indonesia dan bagaimana status

pihak terkait dalam perkara pidana kecelakaan lalu lintas setelah memberi ganti

kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya serta apa saja peran penegak hukum

dalam pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengambil

data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen).

Pengaturan mengenai ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas di

Indonesia sendiri telah diatur dalam pasal 240 b Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Status pihak terkait dalam perkara

pidana kecelakaan lalu lintas setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban

atau ahli warisnya tidaklah mengalami keguguran sebagaimana diatur dalam pasal

235 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Peran penegak hukum dalam pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas

sendiri tidaklah terlalu dibutuhkan kecuali adanya permintaan khusus dari salah satu

pihak untuk menghindari pertikaian dalam penyelesaian perkara ganti kerugian yang

dimaksudkan berlangsung secara damai dan bersifat kekeluargaan.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. **

Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ***

Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, nikmat, dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai

tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam saya haturkan

kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan

yang diridhoi Allah SWT.

Pada kesempatan ini dengan rendah hati, saya mempersembahkan skripsi yang

berjudul, “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak Terkait Terhadap

Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia” kepada dunia pendidikan untuk

memperluas pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini mempunyai banyak kekurangan di dalam

penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukkan dan saran yang

bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi agar dapat dipergunakan oleh

masyarakat di masa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan

hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing,

maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis

ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua

pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi terutama

untuk orang tua penulis yang telah menjadi orang tua terhebat yang selalu

mencurahkan kasih sayangnya dan memberikan semangat hidup agar penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I, Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II,

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Pidana.

7. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah

membantu dan memberikan bimbingan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Para Dosen, serta staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

10. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Kepada seluruh teman-teman yang selalu menemani dan membantu saya

dalam proses pembuatan skripsi saya ini terutama Agung, Ajad, Taufiq,

Mamas, Amrul, Umam, Alfian, dan Faisal.

13. Kepada teman-teman seperjuangan Grup E stambuk 2012, Mahasiswa/i

Fakultas Hukum USU stambuk 2012.

14. Kepada Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana, yang telah

mendukung dan membantu dalam pengerjaan skripsi ini.

15. Kepada sahabat-sahabat SMA yang terus memberi semangat dan desakan

agar selesainya skripsi ini.

16. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Nopember 2016

Muhammad Febry Ramadhan

(NIM. 120200033)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................. iv

ABSTRAKSI ............................................................................................. vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................. 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan .......................................................... 6

2. Manfaat Penulisan ........................................................ 6

D. Keaslian Penulisan ............................................................... 7

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Hukum Pidana ............................................ 7

2. Pengertian Pihak Terkait, Ganti Rugi dan

Kecelakaan Lalu Lintas ................................................ 14

3. Pengertian Korban ........................................................ 17

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian ............................................. 20

2. Sumber Data ................................................................. 20

3. Teknik Pengumpulan data ............................................ 22

4. Analisis Data ................................................................ 22

G. Sistematika Penulisan .......................................................... 22

BAB II : PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN

KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Pengaturan Ganti Rugi Dalam Perspektif

Hukum Positif Di Indonesia ............................................... 25

B. Pengaturan Pemberian Ganti Rugi Terhadap

Korban Kecelakaan Lalu Lintas .......................................... 31

C. Penerapan Pemberian Ganti Kerugian Oleh Pihak

Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas.............. 39

BAB III : STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI

KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas .............................. 45

B. Status Pihak Terkait Setelah Memberi Ganti Kerugian

Kecelakaan Lalu Lintas ....................................................... 53

C. Pemidanaan Kepada Pihak Terkait Dalam

Kecelakaan Lalu Lintas ...................................................... 58

BAB IV : PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERIAN

GANTI RUGI PADA KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Tugas Dan Wewenang Aparat Penegak Hukum Dalam

Perkara Kecelakaan Lalu Lintas ....................................... 64

B. Pemberian Ganti Rugi Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

Dan Hubungannya Dengan Prinsip Restorative Justice ..... 74

C. Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Pemberian Ganti Rugi

Berdasarkan Prinsip Restorative Justice .............................. 80

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 84

B. Saran .................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.1 Berdasarkan

laporan Badan Pusat Statistik tentang data Susenas tahun 2014 dan 2015, jumlah

penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa.2 Transportasi merupakan bagian

penting bagi masyarakat dalam menjalankan roda kehidupannya. Semakin menuju ke

era globalisasi, maka semakin canggih pula alat transportasi yang hadir untuk

meningkatkan kebutuhan masyarakat. Perkembangan alat transportasi ini terjadi

sangat pesat. Dahulu dari Kota A ke Kota B harus menunggangi kuda atau delman,

beralih menjadi sepeda lalu bertranformasi dalam bentuk sepeda motor dan

disempurnakan dengan kehadiran mobil. Selain alat transportasi darat seperti sepeda

motor dan mobil, ada juga alat transportasi laut berupa kapal laut, kapal tongkang dan

alat transportasi udara yaitu kapal terbang. Namun, diantara alat transportasi yang

hadir, alat transportasi darat lebih mendukung mobilitas orang serta barang. Alat

transportasi darat memegang peranan yang vital dalam memperlancar pembangunan

dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Alat tranportasi darat tersebut di

dominasi kendaraan roda dua dan roda empat terutama sepeda motor dan mobil

penumpang.

1 https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia diakses tanggal 1 April 2016, pukul 23.45 WIB 2 https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/960 diakses tanggal 1 April 2016, pukul

23.52 WIB

Data Jumlah Perkembangan Kendaraan Unit Bermotor 1987-2015 oleh Badan

Pusat Statistik jumlah tersebut dibuktikan dengan angka 128.735.972 unit kendaraan

bermotor.3 Jumlah yang cukup besar antara alat transportasi dan tingkat populasi

masyarakat, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas adalah masalah yang kerap terjadi

dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kecelakaan yang terjadi dapat

disebabkan tingginya mobilitas masyarakat dan padatnya jalan sementara

infrastruktur penunjang transportasi tidak mengalami kemajuan yang pesat.

Selain itu, kecelakaan tersebut juga terjadi disebabkan kurangnya kesadaran

masyarakat dalam mengemudikan kendaraan, seperti menerobos lampu merah, tidak

mengenakan helm dan berjalan melawan arah yang tidak hanya berakibat bagi

pengemudi itu secara individual tetapi juga bisa berakibat bagi pengguna jalan yang

lain. Faktor lain dalam meningkatnya kecelakaan ialah standarisasi pembinaan oleh

pihak kepolisian di daerah dalam mengemudikan kendaraan yang amburadul dan

tidak kompeten.

Banyaknya jumlah pengemudi kendaraan bermotor yang tidak memiliki Surat

Izin Mengemudi (SIM) dan juga tidak layak dalam hal berkendara terutama anak

sekolah tentu sangat beresiko dalam pelaksanaan kegiatan berlalu lintas. Lebih lanjut

lagi, data dari Kepolisian Republik Indonesia mengumumkan bahwa angka

kecelakaan di Indonesia cukup tinggi terutama pada hari-hari libur, akhir pekan dan

juga detik-detik perayaan hari besar keagamaan.

3 http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1415 Data Badan Pusat Statistik Oktober

2015 diakses tanggal 2 April 2016, pukul 00.15 WIB

Kecelakaan lalu lintas ini bisa berakibat pada kematian dan cacat fisik bagi

pengguna jalan. Peristiwa kecelakaan lalu lintas tidak selalu disebabkan oleh

kesalahan dari pengemudi, tetapi juga dapat disebabkan kurang memadai

infrastruktur penghubung darat yang rusak dan tidak layak jalan. Pelanggaran oleh

pengemudi kendaraan bermotor merupakan faktor utama terjadinya sebuah

kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran dalam berkendara oleh pengemudi secara

otomatis akan menentukan seseorang menjadi tersangka yang dalam hal kaitannya

yaitu kasus pemidanaan.

Faktor pendukung lain penyebab kecelakaan di Indonesia selain daripada

tingkat kesadaran pengendara kendaraan bermotor, keadaan infrastruktur yang tidak

memadai, dan standarisasi pembinaan berkendara ialah alih fungsi jalan oleh

pedagang kaki lima. Jalan-jalan yang seharusnya dipergunakan untuk keperluan

transportasi dan lalu lintas umum malah beralih fungsi menjadi spot-spot bagi

pedagang kaki lima untuk menjajakan jualannya. Alih fungsi jalan oleh pedagang

kaki lima ini berperan cukup penting dalam meningkatkan kecelakaan lalu lintas.

Lebih lanjut lagi akar dari permasalahan di bidang lalu lintas disebabkan oleh

masyarakat yang kurang peduli terhadap terciptanya ketertiban berlalu lintas dan

kurang paham mekanisme penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang secara

sadar maupun tidak sadar kurang melakukan pengawasan kepada setiap kendaraan

bemotor yang menyalahi aturan dan tidak mempunyai dokumen yang lengkap

sehingga layak untuk beredar di jalan raya. Banyak sekali dijumpai permasalahan

yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang

berat.4

Kepala Bidang Manajemen Operasional Rekayasa Lalu Lintas Korp Lalu Lintas

Mabes Polri Kombes Pol Unggul Sediantoro menuturkan, berdasarkan data Korps

Lalu Lintas Mabes Polri hingga September 2015 jumlah kasus kecelakaan lalu lintas

mencapai 23.000 kasus.5 Data ini menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas cukup

tinggi di Indonesia. Data terbaru yang dikeluarkan, World Health Organization

(WHO) menunjukkan India menempati urutan pertama negara dengan jumlah

kematian terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara Indonesia menempati

urutan kelima.6

Negara Indonesia menegaskan pengaturan tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan secara nasional diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menjadi

dasar pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan

mengenai pidana denda terhadap setiap pelanggaran lalu-lintas secara jelas telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan tersebut.

Kecelakaan lalu lintas pasti memakan korban yang merasa dirugikan oleh pihak

tertentu. Korban kecelakaan lalu lintas memiliki hak untuk mendapatkan ganti

4 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, hal 20 5 http://www.merdeka.com/otomotif/hingga-september-2015-ada-23-ribu-kasus-kecelakaan-di-

indonesia.html diakses tanggal 4 April 2016 pukul 23.20 WIB 6 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/4/11/06/nem9nc-indonesia-urutan-pertama-

peningkatan-kecelakaan-lalu-lintas diakses tanggal 5 April 2016 pukul 00.20 WIB

kerugian oleh pihak yang bertanggung jawab dari pihak yang menjadi penyebab atas

terjadinya kecelakaan lalu lintas.7

Pemberian ganti rugi kepada korban kecelakaan lalu lintas oleh pihak tertentu

diklasifikasikan kepada kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh korban. Kecelakaan

lalu lintas yang dialami oleh korban dapat berupa kecelakaan yang bersifat ringan,

sedang dan berat. Pemberian ganti kerugian kepada korban kecelakaan lalu lintas

tersebut dapat diberikan berdasarkan dari putusan pengadilan atau kesepakatan antara

pihak yang terlibat.

Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya bersifat

ringan sehingga hakim lebih cenderung menjatuhkan pidana denda kepada setiap

pelanggar lalu lintas.8 Sementara itu, dalam penerapannya di dalam kehidupan

bermasyarakat, banyak sekali dijumpai pihak-pihak yang menjadi korban merasa

sangat dirugikan atas terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimpa dirinya tersebut.

Korban kecelakaan lalu lintas itu sendiri ada yang menderita kerugian baik dari segi

fisik, material dan kejiwaan.

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan penulis diatas, maka penulis

tertarik mengambil judul “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak

Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia”.

7 Pasal 240 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan 8 Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar

Grafika, Jakarta, hal.24.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan tentang ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu

lintas menurut hukum positif Indonesia ?

2. Bagaimana status pihak terkait dalam perkara pidana kecelakaan lalu

lintas setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli

warisnya ?

3. Bagaimana peran aparat penegak hukum dalam pemberian ganti rugi pada

korban kecelakaan lalu lintas ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk dapat mengetahui pengaturan hukum pidana tentang ganti rugi

terhadapa korban kecelakaan lalu lintas yang berlaku di Indonesia

b. Untuk dapat mengetahui status pihak terkait dalam perkara pidana

setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya

c. Untuk dapat mengetahui peran aparat penegak hukum dalam pemberian

ganti rugi pada kecelakaan lalu lintas

2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat secara teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukan terhadap

perkembangan ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan tentang hal-

hal yang berhubungan dengan “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan

Oleh Pihak Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas di

Indonesia”.

b. Manfaat secara praktis

Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi

pemikiran kepada Aparat Penegak Hukum, Pelaku Tindak Pidana,

Masyarakat dan Pemerintah.

D. Keaslian Penelitian

Judul “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak Terkait Terhadap

Korban Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia” ini belum pernah ditulis di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli merupakan hasil karya penulis

sendiri. Penulis menyusun skripsi ini adalah terkait ganti rugi dalam tindak pidana

lalu lintas dan berdasarkan dari referensi Tinjauan Pustaka.

E. Tinjauan Pustaka

I. Pengertian Hukum Pidana

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam

arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif

atau strafrecht in subjectieve zin.

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau

yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poniale.9 Hukum pidana dalam arti

objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum

9 P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Idomesia, Sinar Baru, Bandung, hal.1-2

positif atau ius poenale.10

Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif

sebagai :

1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan

nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;

2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan

pidana, dan;

3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan

penerapan pidana.11

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas

dan sempit, yaitu sebagai berikut :

1. Dalam arti luas:

Hak negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau

mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;

2. Dalam arti sempit:

Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan

melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang

dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi

adalah hak untuk mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif

(ius puniendi) yang merupakan peratuan yang mengatur hak negara dan alat

perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan

10

Ibid, hal.3 11

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hal.9

hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang

telah diatur di dalam hukum pidana dalam aeri objektif (ius poenale).

Dengan kata lain, ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.

Lebih lanjut lagi, Moeljatno menjelaskan hukum pidana adalah bagian daripada

keseluruhan hukum yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan;

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.12

Berdasarkan pendapat-pendapat menurut para ahli tersebut, dapatlah kita tarik

benang merah yang menjelaskan hukum pidana itu sendiri, bahwa hukum pidana

setidaknya merupakan hukum yang mengatur tentang :

1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;

2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;

3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan

suatu perbuatan yang dilarang (delik);

12

Moeljatno, 1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal.1

4. Cara mempertahankan/ memberlakukan hukum pidana.13

Tindak pidana dikenal dengan istilah straafbar feit, akan tetapi dalam

peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan definisinya, begitupula

dengan KUHP yang tidak menjelaskan secara rinci pengertian dari Straafbaar Feit

tersebut. Strafbaar feit berasal dari bahasa belanda yang dibagi atas dua kata yaitu

straafbaar yang berarti dapat dihukum dan feit memiliki pengertian sebagian dari

suatu kenyataan, sehingga makna harfiah perkataan strafbaar feit adalah sebagian

dari suatu kenyataan yang dapat dihukum,14

akan tetapi penjatuhan suatu hukuman

tidak dapat dilakukan tanpa adanya seseorang yang melakukan perbuatan tersebut,

Hal ini sejalan dengan pendapat Jonkers, ia berpendapat bahwa yang dimaksud

dengan tindak pidana adalah “suatu perbuatan yang melawan hukum

(wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang

dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”15

adapun istilah yang

muncul saat kata Strafbaar Feit diterjemahkan yaitu : Tindak Pidana, Delik,

Perbuatan Pidana, Peristiwa Pidana.16

a. Tindak Pidana

Kata Tindak Pidana ditemukan dalam aturan pidana di Indonesia, antara lain

ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

13

Muhammad Ekaputra, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan, hal. 5 14

Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Cetakan ke

IV, Bandung, hal. 181. 15

Adami Chazawi, 2001, Pembelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Bagian 1,

Jakarta, hal. 75. 16

Tongat, 2002, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,

UMM Press, Malang, hal. 101.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Komariah E. Sapradjaja menggunakan

istilah tindak pidana dan mengartikannya sebagai suatu perbuatan manusia yang

memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan

perbuatan itu.17

Pakar lain yang menggunakan kata Tindak Pidana adalah Satochid

Kartanegara, Menurutnya tindak pidana diartikan sebagai tindakan yang dilakukan

oleh manusia untuk mana ia dapat dipidana.18

b. Delik

Berasal dari bahasa latin Delictum yang dapat dipakai untuk mengartikan

strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Utrecht

meskipun beliau juga menggunakan istilah lain yaitu peristiwa pidana untuk

mengartikan strafbaar feit yaitu peristiwa pidana.19

c. Perbuatan Pidana

Moeljatno, ia mengartikan Strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana, ia

menuliskan bahwa perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. Moelijatno tidak setuju dengan

17

Chairul Huda,2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Prenada Media,

Jakarta, hal. 26. 18

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Hal. 209. 19

Adami Chazawi, Op.cit, Hal.68.

penggunaan istilah tindak pidana karena menurutnya kata “tindak” lebih pendek dari

“perbuatan” sehingga hanya menunjukan suatu keadaan kongkrit saja.20

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya

dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

objektif.21

Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si

pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu

tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-

lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat

di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si

20

Leden Marpaung, 1991, Unsur- Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar

Grafika, Jakarta, Hal. 3. 21

P.A.F, Lamintang, Op.cit, hal. 193.

pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu

adalah:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”

keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di

dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan

sesuatu kenyataan sebagai akibat.22

Hukum pidana juga termasuk ke dalam hukum publik, hal ini sejalan dengan

apa yang dimaksudkan oleh Hazewinkel-Suringa yakni hukum publik adalah hukum

yang mengatur kepentingan publik (masyarakat umum). Apabila diperinci sifat

hukum publik dalam hubungannya dengan hukum pidana, maka akan ditemukan ciri-

ciri hukum publik yaitu:

1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang

perseorangan;

2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan.

Dengan perkataan lain orang perseorangan disubordinasikan kepada

penguasa;

3. Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang)

tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada

umumnya negara/ penguasa wajib menuntut seseorang tersebut;

22

Ibid, Hal. 194.

4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana

objektif atau hukum pidana positif.23

II. Pengertian Pihak Terkait, Ganti Rugi dan Kecelakaan Lalu Lintas

Pengertian pihak terkait yang termasuk ialah pengemudi, pemilik, perusahaan

angkutan umum, perusahaan asuransi dan pemerintah. Pengemudi adalah orang yang

mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki surat izin

mengemudi.24

Pemilik ialah :

a. Orang atau badan atas nama siapa tanda nomor untuk kendaraan bermotor itu

dituliskan yaitu :

1. Orang pribadi;

2. Badan baik yang bersifat badan hukum atau tidak termasuk perusahaan

negara;

3. Perkumpulan-perkumpulan;

4. Yayasan;

5. Koperasi;

6. Firma atau perseroan lainnya

b. Orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar negeri;

23

Ibid. Hal. 8 24

Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan

c. importir, dealer dan orang-orang atau badan-badan pemegang kendaraan

bermotor yang belum mendapat tanda nomor Polisi Lalu lintas Indonesia.25

Perusahaan angkutan umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa

angkutan orang dan/ atau barang dengan kendaraan bermotor umum.26

Perusahaan

asuransi adalah lembaga yang menyediakan berbagai polis asuransi untuk melindungi

seseorang atau nasabahnya dari berbagai macam resiko kerugian dengan cara

membayar premi secara teratur, perusahaan asuransi bekerja dengan cara menyatukan

resiko dari sejumlah pemegang polis asuransi.

Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang

telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena

kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”,

yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah

melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan

sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau

dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-

bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari.

Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab

pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Dewasa ini sanksi ganti kerugian

tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam

25

Pasal 1 Ke-2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 Tentang Sumbangan Wajib Istimewa

Tahun 1962 Atas Kendaraan Bermotor 26

Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan

hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian

masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.27

Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan

tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang

mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.28

Kecelakaan lalu lintas merupakan bahaya potensial akibat meningkatnya

kegiatan dalam sektor ekonomi, khususnya perhubungan darat. Kerugian yang

ditimbulkan akibat dari kecelakaan lalu lintas tidak saja kerugian materil tetapi juga

menyebabkan luka ringan, luka berat, cacat tubuh yang permanen, bahkan meninggal

dunia.

Berdasarkan Pasal 93 PP Nomor 43 Tahun 1993 menyatakan bahwa korban

kecelakaan lalu lintas dapat berupa :29

1. Korban mati sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah

korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam

jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.

2. Korban luka berat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, adalah

orang yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat

dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan

tersebut.

27 http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html diakses tanggal 9

April 2016, pukul 18.00 WIB 28

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 29

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, Pasal

93.

3. Korban luka ringan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf c,

adalah korban yang tidak termasuk dalam ayat (3) dan ayat (4).

III. Pengertian Korban

Berdasarkan pengaturan hukum di Indonesia, korban selalu menjadi pihak

yang paling dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan

yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban

juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering

diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum,

misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi

(merekontruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani

proses pemeriksaan, baik ditingkat penyidikan maupun setelah kasusnya

diperiksa di pengadilan.

Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika

dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa

peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan hak istimewa

kepada tersangka (terdakwa) dibandingkan kepada korban. Terjadinya suatu tindak

pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban tindak pidana dan juga

pelaku tindak pidana. Dimana dalam terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang

sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana tersebut.

Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan

rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan

diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak

yang di rugikan.30

Muladi sendiri memandang pengertian bahwa korban (victims) adalah

orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian,

termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial

terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar

hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.31

Definisi korban tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa korban adalah

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi

yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.32

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, korban adalah

orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah

tangga.33

Menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi, korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau

mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai

akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli

30

Arif Gosita, 1993, masalah korban kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, hal 63 31

Muladi,1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang, hlm 108 32

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan

Korban 33 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga

warisnya.34

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia

yang Berat, korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami

penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang

memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan

kekerasan dari pihak manapun.35

Berdasarkan pada pengertian-pengertian korban di atas, korban pada dasarnya

bukan saja orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari

perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaan bagi diri/ kelompoknya,

bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung

dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan

konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.

Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah

berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang

bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu,

34

Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan

Rekonsiliasi 35 Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara

Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan

jalan menganalisanya.36

Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami

objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dengan

demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan

suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. Adapun metode penelitian yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Jenis dan Sifat Penilitian

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis penelitian, yaitu penelitian hukum

empiris dan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum empiris adalah penelitian

dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan,

sedangkan penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengambil data

sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penulisan skripsi ini

menggunakan penelitian hukum normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa

melalui penelitian ini adalah pengaturan ganti rugi yang diberikan oleh pihak terkait

terhadap korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis, artinya

bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah,

dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa penerapan, pelaksanaan dan

pengaturan hak yang berkaitan tentang korban kecelakaan lalu lintas.

2. Sumber Data

36

Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 42-43

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam

penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5205), Undang-Undang Nomor 33 Tahun

1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang,

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Undang-

Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan

dan Peratuan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : semua dokumen yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-

Undang (RUU), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan

hukum, dan sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Bahan hukum tersier yaitu bahan yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, misalnya : kamus-kamus (hukum), ensiklopedia,

indeks kumulatif, dan sebagainya.37

37

Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hlm. 113-114

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi

pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak

maupun media elektronik, dokumen-dokumen perintah, termasuk peraturan

perundang-undangan.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan

menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan

membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber-sumber yang erkaitan dengan

penelitian ini, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai

sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh

kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripisi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi pengantar yang didalamnya dijelaskan mengenai latar

belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN

KECELAKAAN LALU LINTAS

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengaturan tentang ganti rugi,

pengaturan ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas dan

penerapan pemberian ganti rugi oleh pihak terkait dalam perkara

kecelakaan lalu lintas.

BAB III : STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI

KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

Di dalam bab ini akan diuraikan tentang tindak pidana kecelakaan lalu

lintas, status dan pemidanaan kepada pihak terkait setelah pemberian

ganti kerugian kepada korban kecelakaan lalu lintas.

BAB IV : PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERIAN

GANTI KERUGIAN PADA KECELAKAAN LALU LINTAS

Dalam bab ini akan dibahas mengenai tugas dan wewenang aparat

penegak hukum dan upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum dalam pemberian ganti kerugian kepada korban dan kaitannya

antara pihak terkait melalui prinsip restorative justice.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan-kesimpulan yang dapat diambil

dari bab-bab sebelumnya, dan juga berisi saran-saran yang berkaitan

dengan hal-hal yang dikaji di dalam penulisan skripsi.

BAB II

PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN

KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Pengaturan Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.38

Mustafa Kamal

Pasha menyatakan adanya tiga ciri khas negara hukum, yaitu :

1) Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM;

2) Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak,

3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.39

Negara hukum biasa disebut rechtstaat memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis

tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;

2. Adanya pembagian kekuasaan Negara ;

3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.40

Berdasarkan pada ciri-ciri di atas maka dapat disimpulkan bahwa negara hukum

adalah negara yang mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan penguasa

negara dengan ketentuan yang berlaku dan disusun dalam suatu peraturan tertulis.

Penjelasan diatas adalah cikal bakal atas pemikiran Plato yaitu penyelenggaraan

pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Cita Plato tersebut kemudian

38

Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 39 http://www.seputarpengetahuan.com/2014/09/ciri-ciri-negara-hukum-menurut-para-ahli-

hukum.html diakses pada 2 Mei 2016 pukul 21.00 40

Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,

Yogyakarta, hal.9

dilanjutkan oleh muridnya yaitu Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa suatu

negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan

hukum.

Salah satu bentuk penyelenggaraan yang baik dalam pemerintahan yang diatur

menurut hukum ialah pengaturan hukum terhadap ganti rugi. Pengaturan hukum

terhadap ganti rugi sendiri ialah bagian dari hukum privat yang tercakup dalam

hukum perdata. Tetapi dalam pengaturannya di Indonesia, ada beberapa pengaturan

ganti rugi yang berkaitan dengan hukum pidana.

Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti rugi perdata lebih

menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, yakni

kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditur akibat kelalaian pihak debitur

melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi:

1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan;

2. Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik

kreditur akibat kelalaian debitur; dan

3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan.

Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana, namun di antara

keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti

kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum

perdata. Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang

telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena

kesalahannya tersebut.41

Sanksi ganti kerugian, menurut Schafer telah dikenal sejak

masa hukum primitif. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”,

yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah

melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan

sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau

dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-

bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari.42

Pada masa ini terlihat, sanksi ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi

pelaku tindak pidana kepada pribadi korban.

Bentuk pengaturan lain terhadap ganti rugi dapat ditemui dalam KUHPerdata

mengenai Perbuatan Melawan Hukum. Suatu perbuatan melawan hukum dapat

dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum apabila memenuhi 4 syarat yakni :

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;

3. Bertentangan dengan kesusilaan;

4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.43

Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum

perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi

41

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal.113 42

Romli Atmasasmita, 1992, Tindak Pidana, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT.

Eresco, Bandung, Hal.1 43

Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia,

Jakarta, Hal.117

karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak

pidana.44

Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana berupa mempercepat

proses untuk memperoleh ganti kerugian yang dideritanya sebagai akibat perbuatan

terdakwa dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara gugatan

ganti kerugian yang pada hakekatnya merupakan perkara perdata.45

Berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP, Penggabungan perkara Gugatan ganti

rugi dilakukan jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan yang di dalam

pemeriksaan perkara pidana oleh pihak Pengadilan telah menimbulkan kerugian bagi

orang lain. Dengan adanya penggabungan perkara gugatan ganti rugi pada perkara

pidana ini adalah supaya perkara gugatan pada waktu yang sama diperiksa serta

diputus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Tentunya penggabungan ini akan

menguntungkan korban karena dengan cara ini kompensasi atas kerugian terhadap

korban akan dapat didapatkan dengan cepat, murah dan sederhana.46

Masalah gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Bab XIII Pasal 98 KUHAP

berbeda dengan apa yang dimaksud dengan ganti kerugian yang dimaksud pada Bab

XII Bagian kesatu Pasal 95 KUHAP, sebab gugatan ganti kerugian sebagaimana

dimaksud pada Pasal 98 KUHAP adalah “suatu gugatan ganti kerugian yang timbul

44 http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html diakses tanggal 3

Mei 2016 pukul 22.00 WIB 45

Leden Marpaung, 1997, Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam Hukum

Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 80. 46 http://www.lbh-apik.or.id/penyelesaian-95-seri-55-penggabungan-perkara-gugatan-ganti-

kerugian-pada-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan.html diakses tanggal 2 Juni 2016 pukul 22.29

WIB

akibat dilakukannya suatu tindak pidana atau gugatan ganti kerugian bukan akibat

penangkapan, penahanan, penuntutan, atau peradilan yang tidak berdasar undang-

undang,” jadi gugatan ganti kerugian dalam pengertian ini bersifat asesoir dari

perkara yang ada.47

Pasal 1365 KUHPerdata telah mengakomodasikan ketentuan tersebut yang

berbunyi, “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karena itu menimbulkan

kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan

kerugian tersebut mengganti kerugian”.48

Dalam hukum pidana, makna ganti rugi dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 22

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana / Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang isinya :

“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas

tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut

ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan

mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini”.

Dalam hal penggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara

pidana, KUHAP memberikan dasar hukum melalui ketentuan Pasal 98, yang isinya

sebagai berikut :

47

Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta,

hal. 213. 48 http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/ diakses tanggal 3 Mei 2016

pukul 21.44 WIB

“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi

orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat

menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada

perkara pidana itu.

(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan

selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.

Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-

lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.”

Berdasarkan pasal tersebut, maka kita dapat menggabungkan gugatan ganti

kerugian tersebut dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Penggabungannya

wajib dimintakan Kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo paling lambat

sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Jadi, sehubungan perkara

pidana masih dalam tahap pemeriksaan Kepolisian, maka kita harus menunggu

hingga pemeriksaan dilakukan di Pengadilan untuk dapat mengajukan gugatan

tersebut. Sekalipun melalui proses yang berbeda, kedua cara tersebut didasarkan pada

satu dasar hukum yang sama, yaitu Pasal 1365 KUHPer, yang isinya:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut”.

Secara rinci untuk adanya penggabungan perkara diperlakukan tiga syarat,

yaitu:

1) Adanya perbuatan terdakwa terbatas hanya yang menjadi dasar dakwaan.

2) Timbulnya kerugian akibat perbuatan tersebut.

3) Adanya permintaan dari orang yang merasa dirugikan kepada hakim.

Salah satu pengaturan yang berkaitan dengan ganti rugi juga terdapat dalam

pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

B. Pengaturan Pemberian Ganti Rugi Terhadap Korban Kecelakaan Lalu

Lintas

Perlindungan hukum bagi korban kecelakaan lalu lintas bukanlah hal baru,

dimana pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah atur dalam

Werverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933 Nomor 86) lalu diubah dan ditambah

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1951 Tentang Perubahan & Tambahan

Undang-Undang Lalu Lintas Jalan (Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 Nomor

86). Dalam perkembangannya diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang menjadi Undang-Undang pertama

yang mengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Indonesia setelah Indonesia

Merdeka. Seiring waktu Undang-Undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan kini telah berubah

menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas & Angkutan

Jalan.

Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat menyebabkan

terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian. Kecelakaan yang

ditimbulkan tersebut bukan hanya berupa tabrakan, baik antar sesama kendaraan

bermotor maupun antara kendaraan bermotor dengan pemakai jalan lainnya, tetapi

dapat pula berupa kecelakaann lainnya seperti jatuhnya penumpang dari bus kota

ataupun jatuhnya kendaraan umum antar kota ke dalam jurang. Dalam kecelakaan

semacam itu, pada umumnya orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman

yang dijatuhkan kepada si pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu.49

Salah satu hal yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut mengatur perihal

kecelakaan. Kecelakaan Lalu Lintas dalam undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan digolongkan menjadi 3, yakni :

1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan

kerusakan Kendaraan dan/atau barang,

2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan

luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

3. Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan

korban meninggal dunia atau luka berat.

Secara umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab Pengemudi, Pemilik

Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan ini diatur dalam Pasal 234 ayat

(1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi “Pengemudi,

pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung

jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/ atau pemilik barang dan/atau

pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”

Namun, ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:

49

Marianna Sutadi, 1992, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah

Agung RI, Jakarta, hal 1

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar

kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau

c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan

pencegahan.

Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti

kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban

mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan

damai di antara para pihak yang terlibat.50

Perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia

termuat di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. Perlindungan hukum terhadap korban tersebut menyangkut hak-hak

yang di dapatnya apabila terjadi suatu kecelakaan lalu lintas sebagaimana tercantum

dalam pasal 240 tentang hak yang didapatkan korban kecelakaan lalu lintas ialah :

a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas

terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;

b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya

Kecelakaan Lalu Lintas; dan

c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.51

50

Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 51

Pasal 240 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab ialah tindakan

insentif berupa menolong korban, membawa ke rumah sakit dan membiayai

perawatan korban selama berada dirumah sakit ataupun, baik perawatan jalan ataupun

rawat inap yang bermaksud demi kesembuhan korban akibat kecelakaan lalu lintas

tersebut. Namun demikian, tindakan pertolongan pertama tersebut tidak

keseluruhannya dalam bentuk pengobatan medikal di rumah sakit. Hal ini terjadi bila

ada kesepakatan spontan antara tersangka dan korban yang lebih memilih menuju

dukun patah terdekat. Kesepakatan spontan antara pihak tersangka dan korban dalam

praktiknya di lapangan dapat kita simpulkan sebagai wujud pelaksanaan hak atas

korban kecelakaan lalu lintas.

Ganti kerugian merupakan hak korban kecelakaan lalu lintas dari pihak yang

bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sementara sebelumnya

dalam Pasal 234 dijelaskan bahwa:

1. Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan

umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang

dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.

2. Setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan

angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau

perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

jika:

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar

kemampuan pengemudi;

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau;

c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil

tindakan pencegahan.52

Bunyi pasal 234 diatas menjelaskan kewajiban dan tanggung jawab yang

dibebankan kepada pihak Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau

Perusahaan Angkutan untuk memberikan biaya ganti kerugian kepada Penumpang

dan Pemilik Barang dan/ atau pihak ketiga yang mana dikarenakan kelalaian

pengemudi. Hal ini menjelaskan bahwa pihak-pihak yang disebutkan diatas

bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan barang yang diderita baik penumpang

atau pemilik barang. Pertanggung jawaban dari pihak-pihak yang disebutkan diatas

disesuaikan kembali menurut tingkat kesalahan akibat kelalaian tersebut. Selain

beban mengganti kerugian kepada korban kecelakaan, pihak-pihak tersebut juga

dibebankan untuk mengganti kerusakan jalan dan perlengkapan jalan yang

disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengemudi.

Dalam hal-ihwal kecelakaan lalu lintas, korban berhak mendapatkan santunan

atas peristiwa tersebut. Santunan yang didapat korban kecelakaan lalu lintas berasal

dari perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi yang memberikan santunan kecelakaan

lalu lintas adalah Jasa Raharja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33

Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan

52

Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas

Jalan.53

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 17

Tahun 1965 yang berhak mendapatkan santunan kecelakaan dana pertanggungan

wajib kecelakaan penumpang ialah :

1. Korban yang berhak atas santunan yaitu

Setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum yang mengalami

kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum,

selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut, yaitu

saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan;

2. Jaminan Ganda

Kendaraan bermotor Umum (bis) berada dalam kapal ferry, apabila kapal

ferry di maksud mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi

korban diberikan jaminan ganda;

3. Penumpang mobil plat hitam

Bagi penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat

angkutan penumpang umum, seperti antara lain mobil pariwisata , mobil sewa

dan lain-lain, terjamin oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965;

4. Korban Yang mayatnya tidak diketemukan

53 https://www.jasaraharja.co.id/tentang-kami/sejarah diakses 28 Juli 2016 pukul 10.00 WIB

Penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan dan

atau hilang didasarkan kepada Putusan Pengadilan Negeri.

Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Jo Peraturan Pemerintah

Nomor 18 Tahun 1965 yang berhak mendapatkan santunan dana kecelakaan lalu

lintas ialah :

1. Korban Yang Berhak Atas Santunan, adalah pihak ketiga yaitu :

a. Setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang

menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari

penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, contoh : Pejalan kaki

ditabrak kendaraan bermotor;

b. Setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor

dan ditabrak, dimana pengemudi kendaran bermotor yang ditumpangi

dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini

para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi;

2. Tabrakan Dua atau Lebih Kendaraan Bermotor :

a. Apabila dalam laporan hasil pemeriksaan Kepolisian dinyatakan bahwa

pengemudi yang mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya

kecelakaan, maka baik pengemudi mapupun penumpang kendaraan

tersebut tidak terjamin dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 jo

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965;

b. Apabila dalam kesimpulan hasil pemeriksaan pihak Kepolisian belum

diketahui pihak-pihak pengemudi yang menjadi penyebab kecelakaan dan

atau dapat disamakan kedua pengemudinya sama-sama sebagai penyebab

terjadinya kecelakaan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang Nomor 34 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun

1965 santunan belum daat diserahkan atau ditangguhkan sambil

menunggu Putusan Hakim/Putusan Pengadilan;

3. Kasus Tabrak Lari

Terlebih dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran kasus kejadiannya;

4. Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Kereta Api

a. Berjalan kaki di atas rel ata u jalanan kereta api dan atau menyebrang

sehingga tertabrak kereta api serta pengemudi/penumpang kendaraan

bermotor yang mengalami kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerata

api, maka korban terjamin Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964;

b. Pejalan kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang

dengan sengaja menerobos palang pintu kereta api yang sedang

difungsikan sebagaimana lazimnya kerata api akan lewat, apabila tertabrak

kereta api maka korban tidak terjamin oleh Undang-Undang Nomor 34

Tahun 1964.

Penggabungan gugatan ganti kerugian dalam tindak pidana merujuk kepada

pasal 98 KUHAP. Mekanisme permohonan dalam penggabungan perkara pidana dan

perdata yang berkaitan dengan ganti rugi haruslah dilakukan sebelum adanya putusan

dari hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tersebut. Pengajuan

penggabungan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian itu ditentukan, yakni :

a. Dalam hal penuntut umum membacakan / mengajukan tuntutan

pidana, hal ini dimaksudkan agar penuntut umum

mempertimbangkan dengan seksama tuntutan pidana dengan

gugatan ganti kerugian;

b. Perkara pidana yang di hadiri penuntut umum adalah perkara

pidana yang acara pemeriksaannya adalah perkara biasa dan

pemeriksaan singkat;

c. Dalam hal Penuntut Umum tidak hadir yakni perkara pidana

dengan pemeriksaan cepat yakni :

- Acara pemeriksaan tindak pidana ringan ;

- Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan54

C. Penerapan Pemberian Ganti Kerugian Oleh Pihak Terkait Terhadap

Korban Kecelakaan Lalu Lintas

Secara umum ganti kerugian dalam konteks kecelakaan lalu lintas yang

dilakukan oleh pihak terkait masih termasuk ke dalam pokok bahasan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini

secara gamblang dijelaskan dalam Pasal 234 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan yang berbunyi :

54 Kinestren Wurasti, 2007, “Studi tentang pelaksanaan penggabungan perkara Pidana dengan

gugatan ganti kerugian dalam perkara Kecelakaan lalu lintas (Studi kasus di Pengadilan Negeri

Wonogiri)”, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

“Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan

Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/

atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”

Suatu tindakan dinyatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur:

a. Subjek;

b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum (dari tindakan);

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/

perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;

e. Waktu, tempat dan keadaan.55

Konsep hukum pidana menjelaskan bahwa kecelakaan lalu lintas tergolong

dalam tindak pidana, baik disengaja atau disebabkan atas kealpaan pengemudi. Jika

dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang

maupun berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal

230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan yang berbunyi:

“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229

ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Namun, ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:

55

Chairul Huda Loc.Cit hal 26

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar

kemampuan Pengemudi;

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau

c. Disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil

tindakan pencegahan.

Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti

kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban

mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan

damai di antara para pihak yang terlibat. Kewajiban mengganti kerugian yang

didasari atas putusan pengadilan dalam hal kecelakaan lalu lintas termasuk ke dalam

perkara perdata yang digabungkan dengan perkara pidana. Penggabungan perkara

pidana dan perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada

pasal 98-101.

Proses pelaksanaan penggabungan perkara pidana dengan gugatan ganti

kerugian di Pengadilan Negeri :

1. Korban mengajukan suat permohonan penggabungan perkara pidana

dengan gugatan ganti kerugian disertai dengan lampiran rincian

kerugian yang diderita korban kemudian didaftarkan di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri dan surat tersebut disampaikan kepada Ketua

Pengadilan. Surat permohonan disini memuat antara lain :

a. Identitas korban Yaitu nama, umur, alamat, pekerjaan, agama, dan

tempat tanggal lahir yang ditulis secara jelas;

b. Permintaan agar Pengadilan Negeri (yang bersangkutan)

menggabungkan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian;

c. Permintaan agar biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh korban

dan juga tuntutan, yaitu segala sesuatu yang diharapkan korban

untuk diperiksa dan diputus oleh pihak hakim.

2. Setelah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, kemudian

Ketua Pengadilan Negeri membuat surat penetapan untuk menunjuk

majelis hakim yang akan memeriksa perkara tersebut.

3. Majelis hakim yang bersangkutan dengan surat penetapan tersebut

menetapkan hari sidang perkara dan sekaligus menyuruh memanggil

kedua belah pihak dan agar menghadapdi Pengadilan Negeri pada hari

sidang yang telah ditentukan dengan membawa saksi-saksi dan bukti-

bukti yang diperlukan.

Dengan demikian pihak korban harus aktif untuk mempersiapkan alat

bukti terutama bukti tulisan, misalnya kwitansi-kwitansi yang

membuktikan bahwa pihak korban telah mengeluarkan biaya karena

kerugian yang dialami sebagai akibat perbuatan terdakwa. Sesuai

dengan Pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi :

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu

hak atau guna meneguhkan hak sendiri maupun mambantah suatu hak

orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan

adanya hak atau peristiwa tersebut.”;

4. Setelah kedua belah pihak hadir dalam persidangan pada hari yang

telah ditenrtukan, maka Majelis Hakim memberi kesempatan kedua

belah pihak untuk mengadakan perdamaian, sidang ditunda supaya

kedua belah pihak dapat merundingkan perdamaian tersebut. Apabila

sidang berikutnya perdamaian belum dicapai, maka pemeriksaan

dilanjutkan, tanpa menutup kemungkinan untuk mengusahakan

perdamaian selama proses pemeriksaan dan sebelum putusan hakim

dijatuhkan;

5. Tuntutan pidana dibacakan oleh majelis hakim, pihak korban di beri

kesempatan untuk mengadakan perubahan atau pencabutan tuntutan

sebelum pihak terdakwa diberikan kesempatan untuk menjawab

apabila tidak ada perubahan atau pencabutan tuntutan, maka pihak

korban diberi kesempatan untuk menjawab secara lisan atau secara

tertulis;

6. Apabila jawaban pihak terdakwa secara tertulis, maka pihak korban

diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan yang disebut Replik

dan terhadap Replik dari pihak korban, pihak Terdakwa dapat

memberikan tanggapannya yaitu disebut duplik;

7. Dari jawab-menjawab antara pihak korban dan Terdakwa hanya

dibatasi dua kali dan kesempatan terakhir diberikan kepada pihak

korban, setelah menjawab selesai diberikan kesempatan, kepada pihak

korban untuk mengajukan pembuktian. Tujuan pembuktian adalah

untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-

peristiwa tertentu, karena hakim yang mengkonstantir peristiwa,

mengkualisir peristiwa tersebut, pembuktian juga untuk dasar putusan

hakim. Kemudian dilanjutkan kesempatan pihak terdakwa mengajukan

pembuktian sebagai tanggapan atas pembuktian pihak korban;

8. Setelah proses pemeriksaan dianggap cukup oleh Majelis Hakim,

maka kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengajukan

kesimpulan yang berisi tentang tanggapan masing-masing pihak

terhadap segala sesuatu yang terjadi di persidangan;

9. Setelah pengajuan kesimpulan selesai, maka majelis Hakim dalam

memutuskan perkara pidana dalam bentuk putusan hakim;

10. Apabila putusan hakim sudah dijatuhkan dan para pihak menerima

putusan Hakim Pengadilan tersebut, maka diadakanlah eksekusi

pelaksanaan putusan. Pengambilan putusan dalam penggabungan

perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian masing-masing Hakim

mengajukan pendapat mengenai dua hal yakni :

d. Pertimbangan-pertimbangan mengenai perkara pidana yang

didasarkan pada Hukum Acara Pidana

e. Pertimbangan-pertimbangan mengenai gugatan ganti kerugian

sesuai Acara Perdata.56

56 Leden Marpaung, SH, 1997, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum

Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta

BAB III

STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI

KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam

arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif

atau strafrecht in subjectieve zin. Tindak pidana ialah tindakan melanggar hukum

pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum

pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Tindak pidana yang di artikan oleh Simons tersebut mengandung pengertian

bahwa suatu perbuatan melanggar hukum dapat dinyatakan tindak pidana meskipun

tiada unsur kesengajaan dari pihak yang menyebabkan peristiwa tersebut. Unsur lain

yang menjelaskan suatu perbuatan tersebut dapat dinyatakan tindak pidana juga

terdapat pihak penyebab peristiwa tersebut yang dapat dimintai

pertanggungjawabannya dan adanya aturan yang menyangkut dengan peristiwa itu

berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan yang dimaksud dengan kecelakaan lalu lintas ialah suatu

peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan

atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan\atau

kerugian harta benda.

Berdasarkan pengertian dari pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut peristiwa kecelakaan

adalah peristiwa yang terjadi karena kesalahan pelaku kecelakaan lalu lintas itu dan

dalam hukum pidana kesalahan pelaku tersebut tergolong ke dalam jenis culpa. Culpa

sendiri mengandung arti kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan

hukum mempunyai arti teknis, yaitu satu macam kesalahan si pelaku tindak pidana

yang tidak seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak

disengaja terjadi.57

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas

yakni:

1. Kelalaian pengguna jalan, misalnya : menggunakan handphone ketika

mengemudi, kondisi tubuh letih dan mengantuk, mengendarai kendaraan

dalam keadaan mabuk, kurangnya pemahaman terhadap rambu-rambu lalu

lintas, berkendara secara brutal dan ugal-ugalan, dan sebagainya.

2. Ketidaklaikan kendaraan, misalnya : kendaraan dengan modifikasi yang

tidak standard, rem blong, kondisi ban yang sudah tidak layak pakai, batas

muatan yang melebihi batas angkut kendaraan dan sebagainya.

3. Ketidaklaikan jalan dan/atau lingkungan. : kondisi jalan yang berlubang,

kurangnya pemasangan rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan dan

sebagainya.

57

Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco Jakarta,

Bandung, hal. 61

Berdasarkan rangkaian diatas dan diperkuat dengan ketentuan dalam pasal 230

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

kecelakaan lalu lintas termasuk kedalam tindak pidana. Hal ini diperkuat dengan isi

pasal tersebut yang berbunyi :

“perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat

(2), (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Suatu tindakan dinyatakan tindak pidana jika memenuhi unsur :

a. Subjek;

b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum;

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/

perundangan dan terhadap pelanggaran diancam dengan pidana;

e. Waktu, tempat dan keadaan.58

Faktor-faktor kecelakaan lalu lintas yang terjadi dan disebabkan oleh kelalaian

pengguna jalan diatur dalam pasal 310-311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kelalaian pengguna jalan yang

menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas secara implisit juga termuat dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana bunyinya yakni :

Pasal 359 KUHP

58

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Hal. 211.

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana

kurungan paling lama satu tahun.”

Pasal 360 KUHP

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima

tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

luka-luka sedemikian rupa sehingga timhul penyakit atau halangan

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana

kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu

lima ratus rupiah.”

Ketentuan dalam pasal 359-360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

mengandung pengertian bahwa kesalahan ataupun kealpaan adalah kondisi dari

subjek yang disebut dengan culpa, yang karena tindakannya mengakibatkan suatu

peristiwa tindak pidana. Culpa sendiri mengandung pengertian suatu keadaan, yang

sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan

kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki

lagi.

Ketentuan dalam KUHP yang merupakan kodifikasi utama dalam pemidanaan

di Indonesia tidaklah berlaku apabila dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas yang

menyebabkan kematian.Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 63 ayat (2) KUHP

menyebutkan bahwa :

“jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur

pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang

diterapkan.”

Penyelarasan atas pasal 63 ayat (2) dalam KUHP tersebut sesuai dengan asas

hukum lex specialis derogat legi generalis.Asas hukum lex specialis derogat legi

generalis mengandung pengertian bahwa undang-undang yang bersifat khusus

mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.59

Sifat-sifat yang melekat

dari asas lex specialis derogat legi generalis inilah yang kemudian ditransformasikan

kaitannya dalam unsur pemidanaan terutama perihal kecelakaan lalu lintas.Hal ini

disebabkan dalam KUHP tidak diatur secara jelas mengenai tindak pidana kecelakaan

lalu lintas. Tindak pidana kecelakaan lalu lintas sendiri termaktum dalam pasal-pasal

yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Melihat dari pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu

lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai peraturan yang bersifat

khusus, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam

mengadili dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun,

dan bukan Pasal 359 dalam KUHP.

59

Liza Erwina, 2012, Ilmu Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, Hal. 54

Lain lagi jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi,

pengemudi tersebut mengemudikan kendaraan dalam kondisi tertentu yang bisa

membahayakan orang lain, ancaman hukuman pidananya lebih tinggi apabila

korbannya meninggal dunia, yaitu ancaman hukumannya 12 tahun penjara. Secara

lengkap diatur ketentuan pasal 311 yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor

dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda

paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak

Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan

Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat

(3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun

atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua

puluh juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan

orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara

paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak

Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal

311 ayat (5) antara lain:

1. Setiap orang;

2. Mengemudikan kendaraan bermotor;

3. Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau

keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang

4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.60

Ketentuan Pasal 311 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) sebenarnya serupa dengan

Pasal 310, akan tetapi yang membedakan dalam pasal 311 ini adalah terdapatnya

unsur kesengajaan pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan cara atau

keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Hal inilah yang menyebabkan

hukuman pidana dalam pasal 311 lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310.

Berdasarkan pengaturan perundangan yang berlaku terkait dengan tindak

pidana kecelakaan lalu lintas, jika dalam kasus kecelakaan pengemudi kendaraan

yang menabrak tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dengan jenis

Kendaraan Bermotor yang dikemudikan, maka jaksa penuntut umum dapat

menambahkan pasal 281 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan terkait pelanggaran atas syarat dalam mengemudikan

suatu kendaraan bermotor, yang berbunyi:

“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang

tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan

atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.

60 http://patuhorangindonesia.blogspot.co.id/2013/08/pertanggungjawaban-pidana-pada.html

diakses pada tanggal 16 Oktober 2016 pukul 19.00

Penambahan pasal 281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang

berkaitan dengan pelanggaran atas syarat mengemudi kendaraan bermotor ialah

bentuk dalam menguatkan tuntutan atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang

terjadi.

Untuk memperjelas pasal diatas, bunyi Pasal 77 ayat (1) tersebut adalah:

Pasal 77 ayat (1)

“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib

memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang

dikemudikan”

Penambahan pasal yang dimuat jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya

ialah dasar untuk menguatkan dalam penuntutan dan pemidanaan penyebab

kecelakaan lalu lintasyang tidak memenuhi persyaratan dalam mengemudi kendaraan

bermotor tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jaksa penuntut

umum dapat menuntut penyebab terjadinya tindak pidana dengan dakwaan yang

diperoleh dari pengajuan penyidik berdasarkan hasil penyidikan. Penuntutan terhadap

penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang tidak memenuhi persyaratan dalam

mengemudi kendaraan bermotor oleh jaksa penuntut umum menggunakan dakwaan

kumulatif. Dakwaan kumulatif ialah dakwaan yang dipergunakan dalam hal terdakwa

melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana

yang berdiri sendiri.61

Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkatan Jalan tersebut setiap peristiwa kecelakaan lalu lintas

tergolong ke dalam peristiwa tindak pidana yang selalu melibatkan beberapa pihak

terkait dengan pelanggaran atau kejahatan pidana itu sendiri.

B. Status Pihak Terkait Setelah Memberi Ganti Kerugian Kecelakaan Lalu

Lintas

Menurut isinya hukum dapat dibagi menjadi hukum privat dan hukum publik.

Hukum privat adalah hukum yang mengatur antara hubungan orang yang satu dengan

orang yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan. Hukum publik

ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya.62

Hukum privat yang bersifat perorangan dan perikatan dapat digambarkan

sebagai hukum perdata dan hukum dagang. Sedangkan hukum publik yang sifatnya

lebih kepada pengaturan dan kebijakan digambarkan dalam hukum tata negara,

hukum administrasi negara, hukum pidana dan hukum internasional. Apabila

dikaitkan dengan pengertian kecelakaan lalu lintas maka peristiwa kecelakaan lalu

lintas dan ganti rugi adalah keadaan yang terpisah segi hukum yang mengadilinya.

Kecelakaan lalu lintas masuk ke dalam ranah hukum pidana sesuai dengan ketentuan

61

Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan 62

C.S.T. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, Hal.46

peraturan perundang-undangan dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi :

“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229

ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pengertian Kecelakaan lalu lintas berdasarkan pasal 1 angka 24 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan

tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang

mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Peristiwa kecelakaan

lalu lintas ialah segi hukum pidana yang mana mengakibatkan korban manusia,

sedangkan ganti kerugian merupakan ranah hukum perdata.

Unsur yang terkandung di dalam Pasal 1 angka ke 24 ini ialah, mengakibatkan

korban manusia dan kerugian harta benda. Hal ini menjadi landasan pengertian

tersebut mengacu kepada dua hukum berbeda yakni yang mengarah kepada hukum

pidana yang melibatkan korban manusia dan hukum perdata terkait dengan kerugian

harta benda. Dalam praktiknya, peristiwa kecelakaan lalu lintas pastilah melibatkan

pengguna jalan.

Berdasarkan pada pasal 1 angka ke 27 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dimaksud dengan pengguna jalan

adalah setiap orang yang menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Penjabaran

pengguna jalan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengemudi;

2. Pejalan Kaki;

3. Jasa Angkutan Umum;

4. Penumpang.

Peristiwa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan komponen pengguna jalan

selalu saja berbuntut panjang pada permasalahan hukum. Tak jarang permasalahan

tersebut berakhir di sidang pengadilan. Dalam praktiknya, korban yang mengalami

penderitaan akibat kecelakaan tentu berusaha untuk mengembalikan hak-hak yang

diderita baik yang sifatnya materiil dan juga inmateriil.

Pada praktiknya apabila terjadi kecelakaan lalu lintas, korban yang merasa telah

dirugikan atas perbuatan tersangka akan menuntut haknya baik secara pidana dan

perdata. Meskipun permasalahan kecelakaan lalu lintas yang kaitannya lebih menitik

beratkan pada permasalahan pidana yang mengakibatkan korban manusia, hal ini

tidaklah bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Kecelakaan lalu lintas yang merupakan tindak pidana yang menimpa diri

korban dan juga memberikan dampak kerugian baik secara materiil dan inmateriil

dapat digabungkan perkaranya. Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak

pidana berupa mempercepat proses untuk memperoleh ganti kerugian yang

dideritanya sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara

pidananya dengan perkara gugatan ganti kerugian yang pada hakekatnya merupakan

perkara perdata.63

63

Leden Marpaung Loc.cit Hal 26.

Masalah gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Bab XIII Pasal 98 KUHAP

berbeda dengan apa yang dimaksud dengan ganti kerugian yang diamksud pada Bab

XII Bagian kesatu Pasal 95 KUHAP, sebab gudatan ganti kerugian sebagaimana

dimaksud pada Pasal 98 KUHAP adalah “suatu gugatan ganti kerugian yang timbul

akibat dilakukannya suatu tindak pidana atau gugatan ganti kerugian bukan akibat

penangkapan, penahanan, penuntutan, atau peradilan yang tidak berdasar undang-

undang,” jadi gugatan ganti kerugian dalam pengertian ini bersifat asesoir dari

perkara yang ada.64

Namun bisa saja permasalahan kecelakaan lalu lintas tidak sampai pada tahap

persidangan di meja pengadilan. Bisa saja permalahan tersebut tidak sampai ke meja

pengadilan sebab tidak ditemukannya pihak lain yang menyebabkan kecelakaan

peristiwa, atau kesepakatan antara pengemudi yang menabrak dan tertabrak merasa

hanya masalah senggolan yang tidak menyebabkan kerusakan berarti dan juga

kesepakatan dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan masalah ini secara

kekeluargaan.

Berdasarkan pada pasal 240 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sendiri mengenai ganti kerugian dalam

kecelakaan lalu lintas tertangguh atau ditanggungkan pada pihak yang bertanggung

jawab. Baik pihak tertanggung tersebut dapat saja perusahaan angkutan jasa, ataupun

pengemudi dari kendaraan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Pihak yang

64

http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/ diakses pada tanggal 19 Oktober

2016 pukul 21.50

bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian

yang besarannya ditentukan berdasarkan pada putusan pengadilan. Kewajiban

mengganti kerugian tersebut juga dapat dilakukan diluar pengadilan jika terjadi

kesepakatan damai diantara para pihak. Hal ini diperkuat dengan pasal 236 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pemberian ganti rugi oleh pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan lalu

lintas tidak semata-mata menghilangkan tuntutan pidana yang akan diganjarkan

kepadanya. Hal ini sendiri diperkuat dengan pasal 235 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi :

“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau

Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris

korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak

menggugurkan tuntutan perkara pidana.”

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa walaupun pengemudi

telah bertanggung jawab atas penderitaan korban, tuntutan pidana terhadap dirinya

tidak menjadi hilang. Akan tetapi, pertanggung jawaban akan biaya ganti rugi sangat

berpengaruh dalam menentukan putusan atas proses pengadilan terhadap pihak yang

bertanggung jawab.

C. Pemidanaan Kepada Pihak Terkait Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 1 Ayat (3) menjelaskan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Karena

itu untuk mewujudkan sebagai negara hukum maka segala penyelenggaraan

kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum. Sayangnya Indonesia

belum secara keseluruhan memiliki hukum nasional yang dibuat oleh bangsa sendiri.

Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka hukum di Indonesia

masih menggunakan hukum-hukum warisan kolonial yang disesuaikan dengan

keadaan hukum di Indonesia atau sesuai dengan UUD 1945. Seperti yang tertulis

dalam Pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala peraturan

perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru

menurut Undang-Undang Dasar ini”. Hukum nasional yang merupakan warisan dari

zaman kolonial, antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);

3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia telah dilakukan kodifikasi. Sebagian

besar dari aturan-aturan pidana telah disusun dalam suatu kitab undang-undang, yaitu

KUH Pidana. Sebagian lagi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan,

seperti peraturan lalu lintas, peraturan tentang tindak pidana terorisme. Selain sudah

dikodifikasi, hukum pidana kita juga telah diunifikasi. Tujuan hukum positif

Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang berbunyi “untuk

membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Pemidanaan kepada pihak terkait dalam hal ini ialah tersangka yang menurut

putusan pengadilan akibat kelalaiannya menyebabkan terjadinya peristiwa kecelakaan

lalu lintas dan bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh korban dari

kecelakaan tersebut. Apabila merunut pada unsur yang berkaitan dengan definisi

kecelakaan, maka kecelakaan lalu lintas tergolong kedalam buku kedua dalam KUH

Pidana yang disebabkan karena kelalaian pengemudi tersebut.

Berdasarkan sistem peradilan hukum di Indonesia dan sesuai dengan ketentuan

dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan yang berbunyi,”Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara

peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Hal ini sama sekali tidak bertentangan sebab dalam hukum positif Indonesia

menganut asas Lex specialis derogat legi generalis. Asas tersebut memberikan

tafsiran bahwa, peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang

bersifat umum. Dalam kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan kelalaian maka unsur

kelalaian daripada peristiwa tersebut lebih menitikberatkan pada Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 yang dianggap bersifat khusus menangani permasalahan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, pihak-pihak terkait yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya

dalam kecelakaan lalu lintas adalah pengemudi dan perusahaan angkutan jasa umum.

Pemidanaan kecelakaan lalu lintas juga dapat dikenakan pidana penjara, kurungan,

atau denda, dan juga pengemudi dapat diberi pidana tambahan yakin pencabutan surat

izin mengemudi (SIM) atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu

lintas berdasarkan pada aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan pada pasal 314.

Pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas memiliki kewajiban

(Pasal 231 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan) :

a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;

b. memberikan pertolongan kepada korban;

c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia

terdekat; dan

d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.

Setiap pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu

lintas wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban, akan tetapi

tanggung jawab ini tidak berlaku apabila (Pasal 234 ayat (3) Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) :

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar

kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau

c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan

pencegahan.

Pemidanaan terhadap pengemudi yang mengakibatkan kecelekaan lalu lintas

dan menimbulkan korban luka-luka dan meninggal dunia di dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman

kejahatan. Pemidanaan yang didasari kecelakaan dengan ancaman kejahatan yang

mengakibatkan korban luka-luka dan meninggal dunia dimuat dalam pasal 310-311.

Pasal 310

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan

kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu

juta rupiah).

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban

luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban

luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 65

Pasal 311

65

Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan

Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa

atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan

dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2),

pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau

denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan

kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama

4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan

juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda

paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan

pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling

banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 66

Sedangkan pemidanaan terhadap perusahaan angkutan umum apabila

melakukan tindak pidana kejahatan yang termuat dalam pasal 273, pasal 275 ayat (2),

pasal 277, pasal 310 dan pasal 311 dibebankan kepada Perusahaan angkutan umum

dan/ atau pengurusnya. Pemidanaan yang terkait dengan perusahaan angkutan umum

terkandung pada pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkatan Jalan.

Pasal 315

66 Pasal 311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum,

pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan

Umum dan/atau pengurusnya.

Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan

Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak

dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal

dalam Bab ini.

Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi

pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin

penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan.67

Sebelum hakim memutuskan sanksi pidana kepada terdakwa, kepolisian

sebagai salah satu penegak hukum haruslah menetapkan status tersangka kepada

pengemudi yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Penetapan status

tersangka kepada pengemudi yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas haruslah

berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan yang terkandung dalam pasal 259-263.

67

Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB IV

PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERIAN GANTI RUGI

PADA KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Tugas Dan Wewenang Aparat Penegak Hukum Dalam Perkara

Kecelakaan Lalu Lintas

Indonesia yang merupakan negara hukum dan menganut trias politica,

membagi tiga kekuasaan menjadi peranan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-

masing peranan tersebut memiliki tugas dan wewenang tersendiri. Pokok pikiran

yang berasal dari Montesqiue ini membagi peranan pemerintah sebagai berikut :

1. Legislatif (Lembaga Pembuat Undang-Undang);

2. Eksekutif (Lembaga Pelaksana Undang-Undang); dan

3. Yudikatif (Lembaga Pengawas dan Mengadili Undang-Undang).

Salah satu fungsi keberadaan suatu hukum adalah untuk menetapkan perbuatan

yang harus dilakukan dan atau perbuatan yang boleh dilakukan serta yang dilarang.

Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat

melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan

kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya

hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. Dalam

mewujudkan penegakan hukum tersebut, proses penanganan perkara pidana haruslah

dilaksanakan secara optimal, sehingga haruslah dapat ditentukan secara cepat dan

tepat tentang apakah suatu perkara pidana akan dapat diajukan ke persidangan

ataukah tidak. Dalam kasus penegakan hukum kecelakaan lalu lintas, tidak terlepas

dari peran beberapa penegak hukum.

Penegak hukum yang berkaitan langsung dengan permasalahan dibidang

kecelakaan lalu lintas ialah Polri, Jaksa, dan juga Hakim. Masing-masing penegak

hukum tersebut juga memiliki beberapa tugas dan wewenang dalam menyelesaikan

perkara kecelakaan lalu lintas.

Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat

penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan

yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi

Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,

dan pelayanan kepada masyarakat”.68

Sementara polisi memberikan pengayoman yang bersifat langsung ke inti

masyarakat, maka perlindungan hukum bagi masyarakat dalam proses pemidanaan

dari jaksa dan juga hakim selaku aparat penegak hukum ialah penuntutan dan

pemutus perkara di pengadilan. Sebagaimana tugas jaksa mengenai ketentuan hukum

pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang

Kejaksaan Republik Indonesia :

Pasal 30 ayat (1) :

Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. melakukan penuntutan;

68

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.69

Penegakan hukum dalam perkara kecelakaan lalu lintas adalah salah satu tugas

pokok dari wewenang dan fungsi kepolisian. Sebagaimana dalam pasal 14 ayat (1)

huruf b yang berbunyi,”menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin

keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan”.70

Bentuk penegakan

hukum dari kepolisian dalam memberikan pengayoman kepada masyarakat terutama

pengguna jalan juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Salah satu bentuk pengayoman tersebut adalah

penyidikan guna mengidentifikasi kronologi suatu perkara tindak pidana kejahatan

berkaitan dengan masalah kecelakaan lalu lintas yang terkandung pada pasal 259.

Pasal 259

69 Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia 70

Pasal 14 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:

a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

menurut Undang-Undang ini.

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri

atas:

a. Penyidik; dan

b. Penyidik Pembantu.71

Selain bertindak menyidik dan mengidentifikasi kecelakaan, kepolisian juga

diberikan wewenang dalam melakukan penindakan yang sesuai dengan aturan dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebagaimana terkandung

dalam pasal 260 :

Pasal 260

Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan berwenang:

a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita

sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan

berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;

b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan

Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor,

dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;

d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan

Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat

Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang

bukti;

e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan

Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

71 Pasal 259 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;

h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan

Lalu Lintas; dan/atau

i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.

Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.72

Berdasarkan tujuan dari Negara hukum dalam menegakkan supremasi hukum,

posisi Kepolisian (yang berwenang melakukan penyidikan) dan Kejaksaan (yang

berwenang melakukan penuntutan) sangat penting dalam mewujudkan hukum in

concreto. Mewujudkan hukum in concreto bukan hanya merupakan fenomena

pengadilan atau hakim, tetapi termasuk dalam pengertian pemberian pelayanan

hukum dan penegakan hukum, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan yang merupakan

pranata publik penegak hukum dalam sistem peradilan pidana juga mempunyai peran

krusial dalam perwujudan hukum in concreto.

Proses untuk menentukan suatu berkas perkara guna menentukan lengkap

tidaknya berkas perkara tersebut untuk dilimpahkan di persidangan dalam rangkaian

proses peradilan pidana terletak pada tahap Prapenuntutan yang menggambarkan

adanya keterkaitan antara Penyidik dengan Penuntut Umum. Apabila terdapat

kekurangan di dalam berkas perkara, yang nantinya akan menyulitkan Kejaksaan

dalam melakukan penuntutan, maka berkas perkara dapat dikembelikan kepada

Penyidik untuk disempurnakan dengan disertai petunjuk yang dianggap perlu.

Pada prinsipnya, ketentuan tentang Penyidikan dan Penuntutan dalam KUHAP

di atas menunjukkan hubungan yang erat antara penyidikan dengan penuntutan.

72

Pasal 260 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyidikan merupakan kegiatan untuk

mengumpulkan alat bukti mengenai adanya satu tindak pidana beserta pelaku tindak

pidana tersebut, sementara penuntutan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk

mempertanggungjawabkan hasil dari kegiatan penyidikan di forum pengadilan.

Oleh karena itu, pelaksanaan dari integrated criminal justice system sebetulnya

adalah untuk melaksanakan penegakan hukum yang terpadu dan berkesinambungan

untuk mendapatkan out put yang maksimal. Dalam hal ini, penyidikan haruslah

diarahkan kepada pembuktian di persidangan, sehingga tersangka (pelaku tindak

pidana) dapat dituntut dan diadili di persidangan. Penyidikan yang berakhir dengan

putusan (vrisjpraak) ataupun lepas dari segala tuntutan (onslag van alle

rechtsvervolging) dari Pengadilan terhadap pelaku tindak pidana akan merugikan

masyarakat dan lembaga penegak hukum itu sendiri.

Prinsip ini merupakan bagian dari kewenangan Kejaksaan sesuai dengan

Dominis Litius, yaitu maka penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya

berada di satu tangan yaitu Kejaksaan.

Sebelum penyidikan dimulai, sudah harus diperkirakan delik yang dan diatur

dalam ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut sangat penting, karena

penyidikan diarahkan kepada keadaan yang terjadi, yang cocok dengan perumusan

delik tersebut. Namun demikian, Penuntut Umum dapat pula mengubah pasal

perundang-undangan pidana yang dicantumkan oleh Penyidik. Disinilah letak

hubungan yang tidak terpisahkan antara penyidik dan Penuntut Umum.

Adapun Mekanisme koordinasi dalam hal penyidikan antara Kepolisian

(Penyidik) dengan Kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) tersebut dilakukan dengan

tahap-tahap sebagai berikut :

a. Setelah Kepolisian (Penyidik) melakukan kegiatan penyidikan, maka Kepala

Kepolisian di unit bersangkutan (Kapolres/ Kapolsek) segera mengirim Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Jaksa Penuntut Umum

melalui Kajati/ Kajari. Pengiriman SPDP inilah yang merupakan titik awal

hubungan koordinasi antara Kepolisian (Penyidik) dengan Kejaksaan (Jaksa

Penuntut Umum) dalam hal dilakukannya suatu kegiatan penyidikan.

b. Selanjutnya, Kajati atau Kajari akan menunjuk Jaksa untuk melakukan

pemantauan perkembangan penyidikan dan melakukan penelitian berkas

perkara (form surat P-16A). Jaksa yang ditunjuk inilah yang akan melakukan

koordinasi dengan para penyidik dalam hal menentukan suatu perkara layak

atau tidak ditingkatkan dalam tahap penuntutan.

c. Setelah Penyidik selesai melakukan tindakan-tindakan penyidikan, seperti

melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli maupun tersangka, melakukan

penyitaan, penangkapan, penahanan dan sebagainya, maka hasil dari kegiatan

penyidikan tersebut dituangkan dalam sebuah Berkas Perkara. Selanjutnya

Penyidik melimpahkan Berkas perkara tersebut ke Kejaksaan untuk diteliti.

d. Jaksa Peneliti melakukan penelitian berkas perkara, apakah berkas perkara

tersebut telah memenuhi syarat formil maupun materiil untuk dilimpahkan ke

persidangan. KUHAP menentukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya Berkas Perkara tersebut, Jaksa sudah harus menyatakan sikap.

Dalam hal ini terdapat 2 (dua) sikap dari Jaksa Peneliti, yaitu :

1. Apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap, maka Jaksa Peneliti

akan menyusun Berita Acara Pendapat yang menyatakan bahwa

Berkas Perkara telah lengkap dan berkas perkara dapat dinaikkan ke

tahap penuntutan. Apabila sikap ini yang diambil oleh Jaksa Peneliti,

maka penyidikan berarti telah selesai dan tahap Prapenuntutan dengan

sendirinya akan beralih ke tahap Penuntutan. Konsekuensi dari

peralihan dari tahap Prapenuntutan ke tahap Penuntutan tersebut

sekaligus berakibat beralihnya “tanggung jawab yuridis” perkara

pidana dari tangan Penyidik ke tangan Penuntut Umum setelah

Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang

bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP).

Selain itu Jaksa Peneliti juga segera menyusun Rencana Dakwaan

sebagai landasan untuk membuat Surat Dakwaan yang akan

dilimpahkan ke Pengadilan.

2. Apabila Berkas Perkara dinyatakan kurang lengkap, maka Jaksa

Peneliti akan segera menerbitkan Surat (P-18) yang menyatakan

bahwa Berkas Perkara dikembalikan kepada Penyidik, karena berkas

tersebut masih kurang lengkap. Selanjutnya dalam waktu 14 (empat

belas hari) sejak diterimanya berkas perkara, Jaksa Peneliti sudah

harus memberikan petunjuk kepada penyidik, baik berupa

kelengkapan syarat formil maupun syarat materiil.

e. Setelah menerima petunjuk dari Jaksa untuk melengkapi berkas perkara,

Penyidik “wajib” melengkapi berkas perkara sesuai dengan petunjuk Jaksa.

Dalam hal ini, koordinasi juga dilakukan dengan cara Penyidik menghadap

kepada Jaksa untuk memperoleh petunjuk secara konkrit dalam melengkapi

kekurangan Berkas perkara. Setelah berkas perkara dilengkapi oleh Penyidik,

Penyidik dalam waktu 14 hari harus menyerahkan atau menyampaikan

kembali berkas dan tambahan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal

110 ayat (2) dan (3) serta pasal 138 ayat (2) KUHAP).

f. Jaksa Peneliti kembali melakukan penelitian berkas perkara dan setelah

dinyatakan lengkap segera memberitahukan kepada penyidik untuk

melimpahkan tersangka dengan barang bukti kepada Jaksa Penuntut

Umum. Namun apabila berkas perkara tersebut ternyata menurut Jaksa

Peneliti masih kurang lengkap, maka berkas perkara tersebut dikembalikan

lagi kepada Penyidik dan proses bolak-balik berkas perkara tersebut akan

terjadi sampai berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Peneliti.

Dari gambaran diatas, dapat dilihat bahwa peran tahap Prapenuntutan dalam

proses penanganan perkara pidana adalah sangat penting, sehingga diperlukan upaya-

upaya untuk menyusun berkas perkara sebagai bahan pembuatan Surat Dakwaan

sekaligus menjadi “amunisi” bagi Penuntut Umum untuk melakukan pembuktian

tentang adanya perbuatan pidana.

Setelah semua proses terpenuhi barulah perkara tersebut diacarakan dalam

persidangan di pengadilan. Selama perkara tersebut dalam perkara pengadilan, pihak

korban kecelakaan lalu lintas yang merasa mengalami kerugian dalam bentuk perdata

dapat melakukan penuntutan ganti rugi dengan penggabungan perkara perdata ke

dalam pidana yang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 98-101 Kitab Undang-

Undang Acara Hukum Pidana.

Permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal

98 ayat (2) KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum

mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan

diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian

maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan

tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya

yang telah dikeluarkan oleh korban.73

Putusan mengenai ganti kerugian dengan

sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga

telah mendapat kekuatan hukum tetap.74

Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara

pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang

sama.75

Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan

banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding.76

73

Pasal 99 Ayat (1) Kuhap 74

Pasal 99 Ayat (3) Kuhap 75

Pasal 100 Ayat (1) Kuhap 76

Pasal 100 Ayat (2) Kuhap

Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan

ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum

Acara Pidana.

B. Pemberian Ganti Rugi Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Dan Hubungannya

Dengan Prinsip Restorative Justice

Menurut Tony F. Marshal dalam penelitiannya “Restorative Justice an

Overview” yang dimaksud Restorative Justice adalah sebuah proses dimana para

pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk

menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari

pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.77

Lebih lanjut lagi, Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision

For Hearing and Change“ mengemukakan 5 prinsip kunci dalam Restorative Justice

yaitu :

1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;

2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian

yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

3. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari

pelaku secara utuh;

4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga

masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;

77 http://www.damang.web.id/2012/01/restorative-justice.html diakses tanggal 29 Agustus

2016, pukul 21.10

5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar

dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

Berdasarkan pengertian dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan

mengedapankan pendekatan intregasi pelaku di satu sisi dan korban/ masyarakat di

lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan

baik dalam masyarakat. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus

pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan

kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi

pihak korban dan pelaku.78

Konsep teori restorative justice menawarkan jawaban atas isu-isu penting

dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu :

1. Kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan

kesempatan khusunya bagi korban;

2. Menghilangkan konlik khususnya antara pelaku dengan korban dan

masyarakat;

3. Fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat

dari indak pidana harus diatasi untuk mencapai perbaikan.

Program yang terkandung dalam restorative justice dalam upaya mengatasi

persoalan kejahatan adalah sebagai berikut :

78

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-

dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh- diakses tanggal 29 Agustus, pukul 21.30

1. Restorative Justice adalah perluasan konsep pemikiran seiring

perkembangan sosial yang bergeser untuk melembagakan pendekatan

dengan cara-cara damai (to institutional peaceful approaches) terhadap

kerugian akibat tindak pidana, pemecahan masalah, dan pelanggaran

hukum dan HAM;

2. Restorative Justice mencari/ membangun hubungan kemitraan (seeks

to build partnership) untuk mengokohkan kembali pertanggung

jawaban yang saling menguntungkan (mutual responsibility) untuk

merespon secara konstruktif atas tindak pidana yang terjadi dalam

masyarakat;

3. Restorative Justice mencari pendekatan yang seimbang (seek a

balanced approach) terhadap kebutuhan korban, pelaku dan

masyarakat melalui proses yang memelihara keamanan dan martabat

bagi semua pihak.

Praktik dan program restorative justice tercermin pada tujuannya yang

menyikapi tindakan pidana dengan :79

1. Mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki

kerugian/ kerusakan;

2. Melibatkan semua pihak yang berkepentingan;

79

Lilis Atikah, 2016, “Disparitas Pemidanaan Dalam Perkara M.Rasyid Amrullah Rajasa Dan

Muhmmad Dwigusta Cahya Ditinjau Dari Pendekatan Sistem Restorative Justice”, Skripsi,

Universitas Pasundan, Bandung

3. Mentransformasikan pola masyarakat dan negara menghadapi pelaku

dengan pengenaan sanksi pidana menjadi pola hubungan kooperatif

antara pelaku dan masyarakat.

Melihat pada fakta yang terjadi di lapangan terutama pada dunia lalu lintas yang

terjadi di Indonesia, maka sudah sepatutnya dalam tindak pidana lalu lintas,

restorative justice adalah tindakan yang cukup relevan sebelum dilakukan justifikasi

terhadap permasalahan tersebut. Tindakan restorative justice yang mencegah

dilakukannya tindakan pemidanaan terhadap pelaku dalam kecelakaan lalu lintas

diharapkan dapat membantu penyelesaian perkara tersebut.

Tindakan restorative justice tersebut dapat berupa pemberian ganti rugi yang

dilaksanakan oleh pihak pelaku terhadap korban. Pemberian ganti rugi diharapkan

sebagai pengganti sanksi pidana agar pelaku merasa jera untuk membayar sejumlah

uang dan mengganti kerusakan atas terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut.

Salah satu poin yang dikemukakan oleh Susan Sharpe ialah Restorative Justice

memberikan pertanggung jawaban penuh dari pelaku secara utuh. Pemberian

pertanggung jawaban yang diberikan oleh pihak pelaku tersebut biasanya diiringi

oleh pulihnya kesadaran dari pihak korban untuk tidak mempermasalahkan tindak

pidana tersebut ke jalur hukum. Proses dari pemberian ganti rugi yang dilakukan

pelaku kecelakaan lalu lintas disamping untuk mengganti penderitaan yang

berdampak pada korban juga diharapkan untuk menggugurkan tindak pidana tersebut

agar tidak diproses melalui hukum pidana konvensional.

Dalam proses acara pidana konvensional apabila telah terjadi perdamaian antara

pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut

tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan

perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang

pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan

kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun

memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice

menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung

dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan

korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak

mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa

yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi

dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan

tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima

pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

Proses pelaksanaan pendekatan restorative justice tersebut biasanya terjadi

secara spontan baik dari pihak pelaku, korban dan juga masyarakat yang

mengharapkan permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan

dan secara singkat tanpa harus melibatkan penegak hukum. Hal ini dimaksudkan

untuk mengurangi kerugian baik waktu ataupun material dari masing-masing pihak

yang bertikai.

Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai

perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam

praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan

tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana,

diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai

sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas

pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak

pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut.

Hubungan pemberian ganti rugi atas penderitaan korban dalam perkara

kecelakaan lalu lintas dan kaitannya dengan restorative justice inilah yang diharapkan

sebagai salah satu pilihan dalam pemidanaan terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas

sebelum pemidanaan yang konvensial di pengadilan. Ganti rugi dari pihak pelaku

diharapkan dapat menyembuhkan kesan luka baik lahir dan bathin yang diderita oleh

korban kecelakaan lalu lintas.

Selain daripada itu pemberian ganti rugi yang dimaksudkan sebagai iktikad

baik oleh pelaku kecelakaan dapat meringankan sanksi pidana yang dijatuhkan

kepadanya. Pemberian ganti rugi yang merupakan unsur restorative justice ini

menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana untuk

memberatkan atau meringankan pemidanaan kepada pelaku.

C. Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Pemberian Ganti Rugi Berdasarkan

Prinsip Restorative Justice

Kecelakaan lalu lintas sebagaimana dijelaskan adalah perkara yang tidak dapat

diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dan juga manusia.Kecelakaan

lalu lintas sendiri merupakan peristiwa yang kerap kali terjadi di masyarakat. Hal ini

dibuktikan dengan data Korps Lalu Lintas Mabes Polri hingga September 2015

dengan jumlah kecelakaan lalu lintas mencapai 23.000. Sedangkan masih banyak lagi

kecelakaan lalu lintas yang terjadi tetapi luput dari pantauan petugas kepolisian yang

disebabkan kurangnya informasi dan juga adanya sifat enggan dari para pihak untuk

menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut sampai ke jalur hukum. Alas an

dari para pihak tersebut tidak lain dan tidak bukan karena masih adanya dogma di

masyarakat yang menggambarkan bahwa kecelakaan lalu lintas yang tidak

menimbulkan korban jiwa dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Selain itu

ada juga yang berpikiran bahwa perkara kecelakaan lalu lintas apabila masuk sampai

ke kepolisian akan mengalami proses yang lama dan juga berbelit-belit dengan

mengatasnamakan penegakan hukum.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi

kenyataan. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu

lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan

konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum

merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.80

Hubungan antara penegakan hukum dengan prinsip restorative justice dalam

permasalahan tindak pidana kecelakaan lalu lintas sebenarnya sangatlah erat. Prinsip

restorative justice yang mengedepankan pemecahan masalah dengan cara

memperbaiki akar dari permasalahan tersebut tanpa harus memberikan sanksi formil

kepada pelaku dari kecelakaan lalu lintas itu sendiri dianggap dapat mengobati

ataupun memperbaiki hukum dengan lebih lugas dan cepat. Penerapan restorative

justice yang seperti ini maksudnya ialah membantu penyelesaian permasalahan

hukum yang terjadi di masyarakat dengan cara yang sederhana dan bersifat

kekeluargaan. Sementara itu prinsip yang dipakai dalam restorative justice sangat

berbanding terbalik dengan proses hukum yang formal dalam keadilan hukum yang

nyata di Indonesia yang sangat ribet, mulai dari terlalu mahal, terlampau lama

prosesnya, tidak menyelesaikan masalah dan yang lebih parah lagi ialah keadilan di

Indonesia sarat dengan praktik kecurangan mulai dari korupsi, kolusi dan juga

nepotisme. Salah satu cara dari prinsip restorative justice ialah pemberian ganti rugi

dari tersangka kepada korban. Pemberian ganti rugi kepada korban dimaksudkan

untuk mengobati penderitaan yang dirasakan akibat dari kecelakaan lalu lintas.

Wujud penyelesaian dalam permasalahan hukum yang berkaitan dengan tindak

pidana kecelakaan lalu lintas sendiri telah diatur secara khusus dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

80

Shant Dellyana. 1998. Konsep Penegakan Hukum. Liberty. Yogyakarta. Hal.32

Penyelesaian kecelakaan lalu lintas yang merunut pada Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengedepankan proses

penindakan yang berlandaskan pada ius constitutum. Proses penindakan

permasalahan tersebut ialah dengan pelaksanaan oleh aparat penegak hukum yang

berwenang dalam memeriksa, mengidentifikasi selanjutnya menuntut dan memutus

perkara tersebut. Aparat penegak hukum yang berwenang dalam mengatasi

kecelakaan lalu lintas ialah:

1. Kepolisian Republik Indonesia;

2. Kejaksaan;

3. Pengadilan;

4. Advokat;

Kewenangan para aparat penegak hukum tersebut dalam mengatasi

penyelesaian kecelakaan lalu lintas tidak berbeda sama sekali dengan aturan yang

berlaku di dalam KUHAP dan juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam praktiknya, konsep restorative justice yang

berkaitan dengan tindak pidana kecelakaan lalu lintas terjadi secara spontan dan

fleksibel. Spontan disebabkan baik dari pihak korban dan tersangka merasa perkara

tindak pidana tersebut lebih baik dan efisien diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

Sementara fleksibel karena sifatnya yang berupa mediasi dari kedua belah pihak

dalam menyelesaikan perkara tersebut.

Pemberian ganti rugi terhadap korban tindak pidana kecelakaan lalu lintas

sendiri dalam praktiknya, tidaklah memerlukan peran-peran daripada aparat penegak

hukum. Pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas sendiri biasanya

terjadi dengan sendirinya dimana para pihak baik tersangka dan korban melakukan

duduk perkara bersama keluarga masing-masing pihak dan membahas mengenai ganti

rugi dan santunan yang akan diberikan dengan melibatkan beberapa tokoh

masyarakat ataupun mediator yang bersedia untuk menyelesaikan perkara lalu lintas

dengan jalan damai dan bersifat pada keadilan yang restoratif.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengaturan tentang ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas

menurut hukum positif Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang termuat dalam

pasal 240 huruf b yang mengharuskan pihak yang menyebabkan kecelakaan

lalu lintas bertanggung jawab terhadap ganti kerugian tersebut. Ganti

kerugian dalam perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut dapat

dikaitkan dengan pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan

Hukum yang melibatkan harta benda dengan pertimbangan hakim yang

merunut dalam pasal 98 KUHAP tentang penggabungan perkara perdata dan

pidana dalam suatu persidangan.

2. Status pihak terkait dalam perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas

setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya

tetaplah tidak mengalami perubahan. Setiap pihak terkait yang menjadi

tersangka dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang perkaranya

berlanjut sampai ke pengadilan tetap diadili dengan aturan dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pemberian ganti rugi oleh pihak terkait kepada korban dari tindak pidana

kecelakaan lalu lintas sendiri berfungsi sebagai pertimbangan hakim dalam

memutuskan perkara tersebut menjadi lebih ringan. Perkara tindak pidana

kecelakaan lalu lintas sendiri lebih sering menggunakan prinsip restorative

justice yang berlangsung dengan cepat dan fleksibel.

3. Peran aparat penegak hukum dalam pemberian ganti rugi terhadap tindak

pidana kecelakaan lalu lintas adalah sebagai mediator. Hal ini ditunjukkan

dengan adanya peran dari polisi dan juga hakim yang berpartisipasi agar

pihak tersangka dan korban atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas baik

sebelum tindak pidana tersebut diadili baik dalam bentuk formal di

pengadilan atau non-formal dengan pendekatan restorative justice.

B. Saran

1. Pengaturan ganti rugi terhadap korban tindak pidana kecelakaan lalu lintas

sebaiknya dibuat lebih terperinci karena dalam pelaksanaannya ganti rugi

dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas lebih efektif mengadili para

pengendara kendaraan bermotor dan perusahaan penyedia jasa angkutan

dibandingkan dengan pemidanaan terhadap pelaku yang bertanggung jawab

atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut. Pemidanaan terhadap

pelaku kecelakaan lalu lintas dengan menjebloskannya ke penjara sama

sekali tidak memberikan efek jera, sebab pelaku tersebut merasa keadilan

tidak berpihak kepadanya. Sedangkan kecelakaan lalu lintas sendiri ialah

musibah yang sama sekali tidak diinginkan oleh masing-masing pihak.

Sementara itu terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kecelakaan

lalu lintas yang tidak terjadi secara disengaja dengan tindakan yang secara

sengaja menabrakkan kendaraannya pada pengguna jalan raya yang lain.

2. Status pihak terkait dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidak

langsung diadili di tingkat formal dalam hukum positif Indonesia yang

mengacu pada pengadilan negeri. Sejatinya, diharapkan diperbaharuinya

undang-undang yang mengatur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang

bersifat restoratif dalam menindak pihak terkait yang menyebabkan

kecelakaan lalu lintas dibandingkan dengan penindakan yang menuntut

keadilan setegak-setegaknya tanpa melihat hal-hal yang sifatnya manusiawi

dan kealpaan.

3. Peran aparat penegak hukum selaku pengawal keadilan lebih ditingkatkan

pada fungsi yang bersahaja dan sejahtera bagi masyarakat. Peran aparat yang

dekat dengan masyarakat diharapkan dapat membenahi dogma-dogma

terhadap pihak aparat penegak hukum yang sarat akan arogansi, penuh

dengan kesewenang-wenangan dan maraknya praktik korupsi, kolusi dan

nepotisme.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Agustina, Rosa, (2003), Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas

Indonesia, Jakarta

Atmasasmita, Romli, (1992), Tindak Pidana, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi,

PT. Eresco, Bandung

Chazawi, Adami, (2001), Pembelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta

Dellyana, Shant. (1998), Konsep Penegakan Hukum. Liberty, Yogyakarta

Ekaputra, Muhammad, (2013), Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press,

Medan

Erwina, Liza, (2012), Ilmu Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan,

Gosita, Arif, (1993), Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,

Huda, Chairul, (2006), Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa kesalahan, Prenada Media, Jakarta

Huda, Ni’matul, (2005), Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,

Yogyakarta,

Kansil, C.S.T., (2002), Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta

Kanter, E.Y., dan S.R Sianturi, (2002), Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta

Marpaung, Leden, (1991), Unsur- Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik),

Sinar Grafika, Jakarta

Marpaung, Leden, (1997), Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam

Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Moeljatno, (1982), Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

Muladi, (1997), Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan

Penerbit Universita Diponegoro, Semarang,

P.A.F. Lamintang, (1984), Dasar-Dasar Hukum Pidana Idomesia, Sinar Baru,

Bandung

Prodjodikoro, Wirjono, (1981), Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco

Jakarta

---------------, ---------, (2003), Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika

Aditama, Bandung

Soekanto, Soerjono, (2005), Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta

Sofyan, Andi, dan Abd. Asis, (2014), Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar,

Kencana, Jakarta

Sudarto, (1981), Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung

---------, (1990), Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang

Sunggono, Bambang, (2011), Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,

Jakarta

Suparni, Niniek, (2007), Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan

Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta

Sutadi, Marianna (1992), Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas,

Mahkamah Agung RI

Tongat, (2002), Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan, UMM Press, Malang

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Dasar Negara Republik Indosesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi

Kebenaran Dan Rekonsiliasi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan

Saksi Dan Korban

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan

Angkutan Jalan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 1962 Tentang Sumbangan Wajib Istimewa Tahun 1962 Atas Kendaraan

Bermotor

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan

Hidup

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

Republik Indonesia

Kitab Undang-Undang Republik Indonesia Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan

Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat

Dakwaan

C. Jurnal Dan Skripsi

Lilis Atikah, “Disparitas Pemidanaan Dalam Perkara M.Rasyid Amrullah Rajasa

Dan Muhammad Dwigusta Cahya Ditinjau Dari Pendekatan Sistem

Restorative Justice”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Pasundan,

Bandung, 2016

D. Website

www.repository.usu.ac.id.

https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia

https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/960

http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1415

http://www.merdeka.com/otomotif/hingga-september-2015-ada-23-ribu-kasus-

kecelakaan-di-indonesia.html

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/4/11/06/nem9nc-indonesia-urutan-

pertama-peningkatan-kecelakaan-lalu-lintas

http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html

http://www.seputarpengetahuan.com/2014/09/ciri-ciri-negara-hukum-menurut-para-

ahli-hukum.html

http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html

http://www.lbh-apik.or.id/penyelesaian-95-seri-55-penggabungan-perkara-gugatan-

ganti-kerugian-pada-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan.html

http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/

https://www.jasaraharja.co.id/tentang-kami/sejarah

http://patuhorangindonesia.blogspot.co.id/2013/08/pertanggungjawaban-pidana-

pada.html

http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/

http://www.damang.web.id/2012/01/restorative-justice.html

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-

justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-