Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi) Jurnal Akuntansi Keuangan
pengaturan ganti rugi yang diberikan oleh pihak terkait
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of pengaturan ganti rugi yang diberikan oleh pihak terkait
PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN OLEH PIHAK TERKAIT
TERHADAP KORBAN KECELAKAAN
LALU LINTAS DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
MUHAMMMAD FEBRY RAMADHAN
120200033
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN
OLEH PIHAK TERKAIT TERHADAP KORBAN
KECELAKAAN LALU LINTAS DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
MUHAMMAD FEBRY RAMADHAN
120200033
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Dr. M. Hamdan, SH., M.H.)
NIP: 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Dr. Edi Yunara, SH., M.Hum) (Dr. Marlina, SH., M.Hum)
NIP. 196012221986031003 NIP. 197503072002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
ABSTRAK
Muhammad Febry Ramadhan*
Edi Yunara**
Marlina***
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan pengaturan ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas tidak
dijelaskan secara terperinci baik dalam pemberian dan penyelesaiannya. Penelitian
tentang pengaturan ganti rugi kepada korban kecelakaan lalu lintas ini diharapkan
memberikan kesadaran untuk lebih memberikan hak-hak korban kecelakaan lalu
lintas. Berdasarkan pokok pemikiran diatas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan mengenai ganti rugi terhadap korban
kecelakaan lalu lintas menurut hukum positif di Indonesia dan bagaimana status
pihak terkait dalam perkara pidana kecelakaan lalu lintas setelah memberi ganti
kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya serta apa saja peran penegak hukum
dalam pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas.
Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengambil
data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen).
Pengaturan mengenai ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas di
Indonesia sendiri telah diatur dalam pasal 240 b Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Status pihak terkait dalam perkara
pidana kecelakaan lalu lintas setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban
atau ahli warisnya tidaklah mengalami keguguran sebagaimana diatur dalam pasal
235 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Peran penegak hukum dalam pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas
sendiri tidaklah terlalu dibutuhkan kecuali adanya permintaan khusus dari salah satu
pihak untuk menghindari pertikaian dalam penyelesaian perkara ganti kerugian yang
dimaksudkan berlangsung secara damai dan bersifat kekeluargaan.
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. **
Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ***
Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, nikmat, dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai
tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam saya haturkan
kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan
yang diridhoi Allah SWT.
Pada kesempatan ini dengan rendah hati, saya mempersembahkan skripsi yang
berjudul, “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak Terkait Terhadap
Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia” kepada dunia pendidikan untuk
memperluas pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini mempunyai banyak kekurangan di dalam
penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukkan dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi agar dapat dipergunakan oleh
masyarakat di masa yang akan datang.
Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan
hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing,
maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi terutama
untuk orang tua penulis yang telah menjadi orang tua terhebat yang selalu
mencurahkan kasih sayangnya dan memberikan semangat hidup agar penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I, Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana
6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana.
7. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah
membantu dan memberikan bimbingan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9. Para Dosen, serta staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
11. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
12. Kepada seluruh teman-teman yang selalu menemani dan membantu saya
dalam proses pembuatan skripsi saya ini terutama Agung, Ajad, Taufiq,
Mamas, Amrul, Umam, Alfian, dan Faisal.
13. Kepada teman-teman seperjuangan Grup E stambuk 2012, Mahasiswa/i
Fakultas Hukum USU stambuk 2012.
14. Kepada Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana, yang telah
mendukung dan membantu dalam pengerjaan skripsi ini.
15. Kepada sahabat-sahabat SMA yang terus memberi semangat dan desakan
agar selesainya skripsi ini.
16. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, Nopember 2016
Muhammad Febry Ramadhan
(NIM. 120200033)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................. iv
ABSTRAKSI ............................................................................................. vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan .......................................................... 6
2. Manfaat Penulisan ........................................................ 6
D. Keaslian Penulisan ............................................................... 7
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Hukum Pidana ............................................ 7
2. Pengertian Pihak Terkait, Ganti Rugi dan
Kecelakaan Lalu Lintas ................................................ 14
3. Pengertian Korban ........................................................ 17
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian ............................................. 20
2. Sumber Data ................................................................. 20
3. Teknik Pengumpulan data ............................................ 22
4. Analisis Data ................................................................ 22
G. Sistematika Penulisan .......................................................... 22
BAB II : PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN
KECELAKAAN LALU LINTAS
A. Pengaturan Ganti Rugi Dalam Perspektif
Hukum Positif Di Indonesia ............................................... 25
B. Pengaturan Pemberian Ganti Rugi Terhadap
Korban Kecelakaan Lalu Lintas .......................................... 31
C. Penerapan Pemberian Ganti Kerugian Oleh Pihak
Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas.............. 39
BAB III : STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI
KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS
A. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas .............................. 45
B. Status Pihak Terkait Setelah Memberi Ganti Kerugian
Kecelakaan Lalu Lintas ....................................................... 53
C. Pemidanaan Kepada Pihak Terkait Dalam
Kecelakaan Lalu Lintas ...................................................... 58
BAB IV : PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERIAN
GANTI RUGI PADA KECELAKAAN LALU LINTAS
A. Tugas Dan Wewenang Aparat Penegak Hukum Dalam
Perkara Kecelakaan Lalu Lintas ....................................... 64
B. Pemberian Ganti Rugi Dalam Kecelakaan Lalu Lintas
Dan Hubungannya Dengan Prinsip Restorative Justice ..... 74
C. Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Pemberian Ganti Rugi
Berdasarkan Prinsip Restorative Justice .............................. 80
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 84
B. Saran .................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.1 Berdasarkan
laporan Badan Pusat Statistik tentang data Susenas tahun 2014 dan 2015, jumlah
penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa.2 Transportasi merupakan bagian
penting bagi masyarakat dalam menjalankan roda kehidupannya. Semakin menuju ke
era globalisasi, maka semakin canggih pula alat transportasi yang hadir untuk
meningkatkan kebutuhan masyarakat. Perkembangan alat transportasi ini terjadi
sangat pesat. Dahulu dari Kota A ke Kota B harus menunggangi kuda atau delman,
beralih menjadi sepeda lalu bertranformasi dalam bentuk sepeda motor dan
disempurnakan dengan kehadiran mobil. Selain alat transportasi darat seperti sepeda
motor dan mobil, ada juga alat transportasi laut berupa kapal laut, kapal tongkang dan
alat transportasi udara yaitu kapal terbang. Namun, diantara alat transportasi yang
hadir, alat transportasi darat lebih mendukung mobilitas orang serta barang. Alat
transportasi darat memegang peranan yang vital dalam memperlancar pembangunan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Alat tranportasi darat tersebut di
dominasi kendaraan roda dua dan roda empat terutama sepeda motor dan mobil
penumpang.
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia diakses tanggal 1 April 2016, pukul 23.45 WIB 2 https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/960 diakses tanggal 1 April 2016, pukul
23.52 WIB
Data Jumlah Perkembangan Kendaraan Unit Bermotor 1987-2015 oleh Badan
Pusat Statistik jumlah tersebut dibuktikan dengan angka 128.735.972 unit kendaraan
bermotor.3 Jumlah yang cukup besar antara alat transportasi dan tingkat populasi
masyarakat, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas adalah masalah yang kerap terjadi
dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kecelakaan yang terjadi dapat
disebabkan tingginya mobilitas masyarakat dan padatnya jalan sementara
infrastruktur penunjang transportasi tidak mengalami kemajuan yang pesat.
Selain itu, kecelakaan tersebut juga terjadi disebabkan kurangnya kesadaran
masyarakat dalam mengemudikan kendaraan, seperti menerobos lampu merah, tidak
mengenakan helm dan berjalan melawan arah yang tidak hanya berakibat bagi
pengemudi itu secara individual tetapi juga bisa berakibat bagi pengguna jalan yang
lain. Faktor lain dalam meningkatnya kecelakaan ialah standarisasi pembinaan oleh
pihak kepolisian di daerah dalam mengemudikan kendaraan yang amburadul dan
tidak kompeten.
Banyaknya jumlah pengemudi kendaraan bermotor yang tidak memiliki Surat
Izin Mengemudi (SIM) dan juga tidak layak dalam hal berkendara terutama anak
sekolah tentu sangat beresiko dalam pelaksanaan kegiatan berlalu lintas. Lebih lanjut
lagi, data dari Kepolisian Republik Indonesia mengumumkan bahwa angka
kecelakaan di Indonesia cukup tinggi terutama pada hari-hari libur, akhir pekan dan
juga detik-detik perayaan hari besar keagamaan.
3 http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1415 Data Badan Pusat Statistik Oktober
2015 diakses tanggal 2 April 2016, pukul 00.15 WIB
Kecelakaan lalu lintas ini bisa berakibat pada kematian dan cacat fisik bagi
pengguna jalan. Peristiwa kecelakaan lalu lintas tidak selalu disebabkan oleh
kesalahan dari pengemudi, tetapi juga dapat disebabkan kurang memadai
infrastruktur penghubung darat yang rusak dan tidak layak jalan. Pelanggaran oleh
pengemudi kendaraan bermotor merupakan faktor utama terjadinya sebuah
kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran dalam berkendara oleh pengemudi secara
otomatis akan menentukan seseorang menjadi tersangka yang dalam hal kaitannya
yaitu kasus pemidanaan.
Faktor pendukung lain penyebab kecelakaan di Indonesia selain daripada
tingkat kesadaran pengendara kendaraan bermotor, keadaan infrastruktur yang tidak
memadai, dan standarisasi pembinaan berkendara ialah alih fungsi jalan oleh
pedagang kaki lima. Jalan-jalan yang seharusnya dipergunakan untuk keperluan
transportasi dan lalu lintas umum malah beralih fungsi menjadi spot-spot bagi
pedagang kaki lima untuk menjajakan jualannya. Alih fungsi jalan oleh pedagang
kaki lima ini berperan cukup penting dalam meningkatkan kecelakaan lalu lintas.
Lebih lanjut lagi akar dari permasalahan di bidang lalu lintas disebabkan oleh
masyarakat yang kurang peduli terhadap terciptanya ketertiban berlalu lintas dan
kurang paham mekanisme penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang secara
sadar maupun tidak sadar kurang melakukan pengawasan kepada setiap kendaraan
bemotor yang menyalahi aturan dan tidak mempunyai dokumen yang lengkap
sehingga layak untuk beredar di jalan raya. Banyak sekali dijumpai permasalahan
yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang
berat.4
Kepala Bidang Manajemen Operasional Rekayasa Lalu Lintas Korp Lalu Lintas
Mabes Polri Kombes Pol Unggul Sediantoro menuturkan, berdasarkan data Korps
Lalu Lintas Mabes Polri hingga September 2015 jumlah kasus kecelakaan lalu lintas
mencapai 23.000 kasus.5 Data ini menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas cukup
tinggi di Indonesia. Data terbaru yang dikeluarkan, World Health Organization
(WHO) menunjukkan India menempati urutan pertama negara dengan jumlah
kematian terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara Indonesia menempati
urutan kelima.6
Negara Indonesia menegaskan pengaturan tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan secara nasional diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menjadi
dasar pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan
mengenai pidana denda terhadap setiap pelanggaran lalu-lintas secara jelas telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan tersebut.
Kecelakaan lalu lintas pasti memakan korban yang merasa dirugikan oleh pihak
tertentu. Korban kecelakaan lalu lintas memiliki hak untuk mendapatkan ganti
4 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, hal 20 5 http://www.merdeka.com/otomotif/hingga-september-2015-ada-23-ribu-kasus-kecelakaan-di-
indonesia.html diakses tanggal 4 April 2016 pukul 23.20 WIB 6 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/4/11/06/nem9nc-indonesia-urutan-pertama-
peningkatan-kecelakaan-lalu-lintas diakses tanggal 5 April 2016 pukul 00.20 WIB
kerugian oleh pihak yang bertanggung jawab dari pihak yang menjadi penyebab atas
terjadinya kecelakaan lalu lintas.7
Pemberian ganti rugi kepada korban kecelakaan lalu lintas oleh pihak tertentu
diklasifikasikan kepada kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh korban. Kecelakaan
lalu lintas yang dialami oleh korban dapat berupa kecelakaan yang bersifat ringan,
sedang dan berat. Pemberian ganti kerugian kepada korban kecelakaan lalu lintas
tersebut dapat diberikan berdasarkan dari putusan pengadilan atau kesepakatan antara
pihak yang terlibat.
Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya bersifat
ringan sehingga hakim lebih cenderung menjatuhkan pidana denda kepada setiap
pelanggar lalu lintas.8 Sementara itu, dalam penerapannya di dalam kehidupan
bermasyarakat, banyak sekali dijumpai pihak-pihak yang menjadi korban merasa
sangat dirugikan atas terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimpa dirinya tersebut.
Korban kecelakaan lalu lintas itu sendiri ada yang menderita kerugian baik dari segi
fisik, material dan kejiwaan.
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan penulis diatas, maka penulis
tertarik mengambil judul “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak
Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia”.
7 Pasal 240 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan 8 Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar
Grafika, Jakarta, hal.24.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan tentang ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu
lintas menurut hukum positif Indonesia ?
2. Bagaimana status pihak terkait dalam perkara pidana kecelakaan lalu
lintas setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli
warisnya ?
3. Bagaimana peran aparat penegak hukum dalam pemberian ganti rugi pada
korban kecelakaan lalu lintas ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk dapat mengetahui pengaturan hukum pidana tentang ganti rugi
terhadapa korban kecelakaan lalu lintas yang berlaku di Indonesia
b. Untuk dapat mengetahui status pihak terkait dalam perkara pidana
setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya
c. Untuk dapat mengetahui peran aparat penegak hukum dalam pemberian
ganti rugi pada kecelakaan lalu lintas
2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat secara teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukan terhadap
perkembangan ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan tentang hal-
hal yang berhubungan dengan “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan
Oleh Pihak Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas di
Indonesia”.
b. Manfaat secara praktis
Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi
pemikiran kepada Aparat Penegak Hukum, Pelaku Tindak Pidana,
Masyarakat dan Pemerintah.
D. Keaslian Penelitian
Judul “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak Terkait Terhadap
Korban Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia” ini belum pernah ditulis di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli merupakan hasil karya penulis
sendiri. Penulis menyusun skripsi ini adalah terkait ganti rugi dalam tindak pidana
lalu lintas dan berdasarkan dari referensi Tinjauan Pustaka.
E. Tinjauan Pustaka
I. Pengertian Hukum Pidana
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam
arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif
atau strafrecht in subjectieve zin.
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau
yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poniale.9 Hukum pidana dalam arti
objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum
9 P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Idomesia, Sinar Baru, Bandung, hal.1-2
positif atau ius poenale.10
Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif
sebagai :
1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan
nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan
pidana, dan;
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana.11
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas
dan sempit, yaitu sebagai berikut :
1. Dalam arti luas:
Hak negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau
mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;
2. Dalam arti sempit:
Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan
melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi
adalah hak untuk mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif
(ius puniendi) yang merupakan peratuan yang mengatur hak negara dan alat
perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan
10
Ibid, hal.3 11
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hal.9
hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang
telah diatur di dalam hukum pidana dalam aeri objektif (ius poenale).
Dengan kata lain, ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.
Lebih lanjut lagi, Moeljatno menjelaskan hukum pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.12
Berdasarkan pendapat-pendapat menurut para ahli tersebut, dapatlah kita tarik
benang merah yang menjelaskan hukum pidana itu sendiri, bahwa hukum pidana
setidaknya merupakan hukum yang mengatur tentang :
1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan
suatu perbuatan yang dilarang (delik);
12
Moeljatno, 1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal.1
4. Cara mempertahankan/ memberlakukan hukum pidana.13
Tindak pidana dikenal dengan istilah straafbar feit, akan tetapi dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan definisinya, begitupula
dengan KUHP yang tidak menjelaskan secara rinci pengertian dari Straafbaar Feit
tersebut. Strafbaar feit berasal dari bahasa belanda yang dibagi atas dua kata yaitu
straafbaar yang berarti dapat dihukum dan feit memiliki pengertian sebagian dari
suatu kenyataan, sehingga makna harfiah perkataan strafbaar feit adalah sebagian
dari suatu kenyataan yang dapat dihukum,14
akan tetapi penjatuhan suatu hukuman
tidak dapat dilakukan tanpa adanya seseorang yang melakukan perbuatan tersebut,
Hal ini sejalan dengan pendapat Jonkers, ia berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan tindak pidana adalah “suatu perbuatan yang melawan hukum
(wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang
dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”15
adapun istilah yang
muncul saat kata Strafbaar Feit diterjemahkan yaitu : Tindak Pidana, Delik,
Perbuatan Pidana, Peristiwa Pidana.16
a. Tindak Pidana
Kata Tindak Pidana ditemukan dalam aturan pidana di Indonesia, antara lain
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
13
Muhammad Ekaputra, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan, hal. 5 14
Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Cetakan ke
IV, Bandung, hal. 181. 15
Adami Chazawi, 2001, Pembelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Bagian 1,
Jakarta, hal. 75. 16
Tongat, 2002, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
UMM Press, Malang, hal. 101.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Komariah E. Sapradjaja menggunakan
istilah tindak pidana dan mengartikannya sebagai suatu perbuatan manusia yang
memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan
perbuatan itu.17
Pakar lain yang menggunakan kata Tindak Pidana adalah Satochid
Kartanegara, Menurutnya tindak pidana diartikan sebagai tindakan yang dilakukan
oleh manusia untuk mana ia dapat dipidana.18
b. Delik
Berasal dari bahasa latin Delictum yang dapat dipakai untuk mengartikan
strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Utrecht
meskipun beliau juga menggunakan istilah lain yaitu peristiwa pidana untuk
mengartikan strafbaar feit yaitu peristiwa pidana.19
c. Perbuatan Pidana
Moeljatno, ia mengartikan Strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana, ia
menuliskan bahwa perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. Moelijatno tidak setuju dengan
17
Chairul Huda,2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Prenada Media,
Jakarta, hal. 26. 18
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Hal. 209. 19
Adami Chazawi, Op.cit, Hal.68.
penggunaan istilah tindak pidana karena menurutnya kata “tindak” lebih pendek dari
“perbuatan” sehingga hanya menunjukan suatu keadaan kongkrit saja.20
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya
dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur
objektif.21
Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu
tindak pidana itu adalah :
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-
lain.
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat
di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
20
Leden Marpaung, 1991, Unsur- Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar
Grafika, Jakarta, Hal. 3. 21
P.A.F, Lamintang, Op.cit, hal. 193.
pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu
adalah:
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di
dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. Kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.22
Hukum pidana juga termasuk ke dalam hukum publik, hal ini sejalan dengan
apa yang dimaksudkan oleh Hazewinkel-Suringa yakni hukum publik adalah hukum
yang mengatur kepentingan publik (masyarakat umum). Apabila diperinci sifat
hukum publik dalam hubungannya dengan hukum pidana, maka akan ditemukan ciri-
ciri hukum publik yaitu:
1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang
perseorangan;
2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan.
Dengan perkataan lain orang perseorangan disubordinasikan kepada
penguasa;
3. Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang)
tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada
umumnya negara/ penguasa wajib menuntut seseorang tersebut;
22
Ibid, Hal. 194.
4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana
objektif atau hukum pidana positif.23
II. Pengertian Pihak Terkait, Ganti Rugi dan Kecelakaan Lalu Lintas
Pengertian pihak terkait yang termasuk ialah pengemudi, pemilik, perusahaan
angkutan umum, perusahaan asuransi dan pemerintah. Pengemudi adalah orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki surat izin
mengemudi.24
Pemilik ialah :
a. Orang atau badan atas nama siapa tanda nomor untuk kendaraan bermotor itu
dituliskan yaitu :
1. Orang pribadi;
2. Badan baik yang bersifat badan hukum atau tidak termasuk perusahaan
negara;
3. Perkumpulan-perkumpulan;
4. Yayasan;
5. Koperasi;
6. Firma atau perseroan lainnya
b. Orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar negeri;
23
Ibid. Hal. 8 24
Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
c. importir, dealer dan orang-orang atau badan-badan pemegang kendaraan
bermotor yang belum mendapat tanda nomor Polisi Lalu lintas Indonesia.25
Perusahaan angkutan umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa
angkutan orang dan/ atau barang dengan kendaraan bermotor umum.26
Perusahaan
asuransi adalah lembaga yang menyediakan berbagai polis asuransi untuk melindungi
seseorang atau nasabahnya dari berbagai macam resiko kerugian dengan cara
membayar premi secara teratur, perusahaan asuransi bekerja dengan cara menyatukan
resiko dari sejumlah pemegang polis asuransi.
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang
telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena
kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”,
yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah
melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan
sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau
dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-
bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari.
Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab
pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Dewasa ini sanksi ganti kerugian
tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam
25
Pasal 1 Ke-2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 Tentang Sumbangan Wajib Istimewa
Tahun 1962 Atas Kendaraan Bermotor 26
Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian
masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.27
Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan
tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang
mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.28
Kecelakaan lalu lintas merupakan bahaya potensial akibat meningkatnya
kegiatan dalam sektor ekonomi, khususnya perhubungan darat. Kerugian yang
ditimbulkan akibat dari kecelakaan lalu lintas tidak saja kerugian materil tetapi juga
menyebabkan luka ringan, luka berat, cacat tubuh yang permanen, bahkan meninggal
dunia.
Berdasarkan Pasal 93 PP Nomor 43 Tahun 1993 menyatakan bahwa korban
kecelakaan lalu lintas dapat berupa :29
1. Korban mati sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah
korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.
2. Korban luka berat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, adalah
orang yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat
dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan
tersebut.
27 http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html diakses tanggal 9
April 2016, pukul 18.00 WIB 28
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 29
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, Pasal
93.
3. Korban luka ringan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf c,
adalah korban yang tidak termasuk dalam ayat (3) dan ayat (4).
III. Pengertian Korban
Berdasarkan pengaturan hukum di Indonesia, korban selalu menjadi pihak
yang paling dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan
yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban
juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering
diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum,
misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi
(merekontruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani
proses pemeriksaan, baik ditingkat penyidikan maupun setelah kasusnya
diperiksa di pengadilan.
Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika
dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa
peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan hak istimewa
kepada tersangka (terdakwa) dibandingkan kepada korban. Terjadinya suatu tindak
pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban tindak pidana dan juga
pelaku tindak pidana. Dimana dalam terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang
sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana tersebut.
Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak
yang di rugikan.30
Muladi sendiri memandang pengertian bahwa korban (victims) adalah
orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian,
termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial
terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar
hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.31
Definisi korban tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.32
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, korban adalah
orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga.33
Menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau
mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai
akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli
30
Arif Gosita, 1993, masalah korban kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, hal 63 31
Muladi,1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, hlm 108 32
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban 33 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
warisnya.34
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang Berat, korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan
kekerasan dari pihak manapun.35
Berdasarkan pada pengertian-pengertian korban di atas, korban pada dasarnya
bukan saja orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari
perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaan bagi diri/ kelompoknya,
bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung
dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah
berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu,
34
Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi 35 Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisanya.36
Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami
objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dengan
demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan
suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Jenis dan Sifat Penilitian
Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis penelitian, yaitu penelitian hukum
empiris dan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum empiris adalah penelitian
dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan,
sedangkan penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengambil data
sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penulisan skripsi ini
menggunakan penelitian hukum normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa
melalui penelitian ini adalah pengaturan ganti rugi yang diberikan oleh pihak terkait
terhadap korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis, artinya
bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah,
dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa penerapan, pelaksanaan dan
pengaturan hak yang berkaitan tentang korban kecelakaan lalu lintas.
2. Sumber Data
36
Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 42-43
Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu : bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam
penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5205), Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang,
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
dan Peratuan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : semua dokumen yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-
Undang (RUU), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan
hukum, dan sebagainya.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Bahan hukum tersier yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, misalnya : kamus-kamus (hukum), ensiklopedia,
indeks kumulatif, dan sebagainya.37
37
Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 113-114
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi
pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak
maupun media elektronik, dokumen-dokumen perintah, termasuk peraturan
perundang-undangan.
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan
menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan
membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber-sumber yang erkaitan dengan
penelitian ini, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai
sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh
kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam skripisi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi pengantar yang didalamnya dijelaskan mengenai latar
belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN
KECELAKAAN LALU LINTAS
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengaturan tentang ganti rugi,
pengaturan ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas dan
penerapan pemberian ganti rugi oleh pihak terkait dalam perkara
kecelakaan lalu lintas.
BAB III : STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI
KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS
Di dalam bab ini akan diuraikan tentang tindak pidana kecelakaan lalu
lintas, status dan pemidanaan kepada pihak terkait setelah pemberian
ganti kerugian kepada korban kecelakaan lalu lintas.
BAB IV : PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERIAN
GANTI KERUGIAN PADA KECELAKAAN LALU LINTAS
Dalam bab ini akan dibahas mengenai tugas dan wewenang aparat
penegak hukum dan upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam pemberian ganti kerugian kepada korban dan kaitannya
antara pihak terkait melalui prinsip restorative justice.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi mengenai kesimpulan-kesimpulan yang dapat diambil
dari bab-bab sebelumnya, dan juga berisi saran-saran yang berkaitan
dengan hal-hal yang dikaji di dalam penulisan skripsi.
BAB II
PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN
KECELAKAAN LALU LINTAS
A. Pengaturan Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.38
Mustafa Kamal
Pasha menyatakan adanya tiga ciri khas negara hukum, yaitu :
1) Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM;
2) Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak,
3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.39
Negara hukum biasa disebut rechtstaat memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis
tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan Negara ;
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.40
Berdasarkan pada ciri-ciri di atas maka dapat disimpulkan bahwa negara hukum
adalah negara yang mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan penguasa
negara dengan ketentuan yang berlaku dan disusun dalam suatu peraturan tertulis.
Penjelasan diatas adalah cikal bakal atas pemikiran Plato yaitu penyelenggaraan
pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Cita Plato tersebut kemudian
38
Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 39 http://www.seputarpengetahuan.com/2014/09/ciri-ciri-negara-hukum-menurut-para-ahli-
hukum.html diakses pada 2 Mei 2016 pukul 21.00 40
Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,
Yogyakarta, hal.9
dilanjutkan oleh muridnya yaitu Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa suatu
negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan
hukum.
Salah satu bentuk penyelenggaraan yang baik dalam pemerintahan yang diatur
menurut hukum ialah pengaturan hukum terhadap ganti rugi. Pengaturan hukum
terhadap ganti rugi sendiri ialah bagian dari hukum privat yang tercakup dalam
hukum perdata. Tetapi dalam pengaturannya di Indonesia, ada beberapa pengaturan
ganti rugi yang berkaitan dengan hukum pidana.
Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti rugi perdata lebih
menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, yakni
kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditur akibat kelalaian pihak debitur
melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan;
2. Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik
kreditur akibat kelalaian debitur; dan
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan.
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana, namun di antara
keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti
kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum
perdata. Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang
telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena
kesalahannya tersebut.41
Sanksi ganti kerugian, menurut Schafer telah dikenal sejak
masa hukum primitif. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”,
yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah
melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan
sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau
dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-
bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari.42
Pada masa ini terlihat, sanksi ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi
pelaku tindak pidana kepada pribadi korban.
Bentuk pengaturan lain terhadap ganti rugi dapat ditemui dalam KUHPerdata
mengenai Perbuatan Melawan Hukum. Suatu perbuatan melawan hukum dapat
dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum apabila memenuhi 4 syarat yakni :
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.43
Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum
perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi
41
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal.113 42
Romli Atmasasmita, 1992, Tindak Pidana, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT.
Eresco, Bandung, Hal.1 43
Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia,
Jakarta, Hal.117
karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak
pidana.44
Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana berupa mempercepat
proses untuk memperoleh ganti kerugian yang dideritanya sebagai akibat perbuatan
terdakwa dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara gugatan
ganti kerugian yang pada hakekatnya merupakan perkara perdata.45
Berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP, Penggabungan perkara Gugatan ganti
rugi dilakukan jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan yang di dalam
pemeriksaan perkara pidana oleh pihak Pengadilan telah menimbulkan kerugian bagi
orang lain. Dengan adanya penggabungan perkara gugatan ganti rugi pada perkara
pidana ini adalah supaya perkara gugatan pada waktu yang sama diperiksa serta
diputus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Tentunya penggabungan ini akan
menguntungkan korban karena dengan cara ini kompensasi atas kerugian terhadap
korban akan dapat didapatkan dengan cepat, murah dan sederhana.46
Masalah gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Bab XIII Pasal 98 KUHAP
berbeda dengan apa yang dimaksud dengan ganti kerugian yang dimaksud pada Bab
XII Bagian kesatu Pasal 95 KUHAP, sebab gugatan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud pada Pasal 98 KUHAP adalah “suatu gugatan ganti kerugian yang timbul
44 http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html diakses tanggal 3
Mei 2016 pukul 22.00 WIB 45
Leden Marpaung, 1997, Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam Hukum
Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 80. 46 http://www.lbh-apik.or.id/penyelesaian-95-seri-55-penggabungan-perkara-gugatan-ganti-
kerugian-pada-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan.html diakses tanggal 2 Juni 2016 pukul 22.29
WIB
akibat dilakukannya suatu tindak pidana atau gugatan ganti kerugian bukan akibat
penangkapan, penahanan, penuntutan, atau peradilan yang tidak berdasar undang-
undang,” jadi gugatan ganti kerugian dalam pengertian ini bersifat asesoir dari
perkara yang ada.47
Pasal 1365 KUHPerdata telah mengakomodasikan ketentuan tersebut yang
berbunyi, “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karena itu menimbulkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan
kerugian tersebut mengganti kerugian”.48
Dalam hukum pidana, makna ganti rugi dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 22
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana / Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang isinya :
“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”.
Dalam hal penggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara
pidana, KUHAP memberikan dasar hukum melalui ketentuan Pasal 98, yang isinya
sebagai berikut :
47
Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta,
hal. 213. 48 http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/ diakses tanggal 3 Mei 2016
pukul 21.44 WIB
“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-
lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.”
Berdasarkan pasal tersebut, maka kita dapat menggabungkan gugatan ganti
kerugian tersebut dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Penggabungannya
wajib dimintakan Kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo paling lambat
sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Jadi, sehubungan perkara
pidana masih dalam tahap pemeriksaan Kepolisian, maka kita harus menunggu
hingga pemeriksaan dilakukan di Pengadilan untuk dapat mengajukan gugatan
tersebut. Sekalipun melalui proses yang berbeda, kedua cara tersebut didasarkan pada
satu dasar hukum yang sama, yaitu Pasal 1365 KUHPer, yang isinya:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
Secara rinci untuk adanya penggabungan perkara diperlakukan tiga syarat,
yaitu:
1) Adanya perbuatan terdakwa terbatas hanya yang menjadi dasar dakwaan.
2) Timbulnya kerugian akibat perbuatan tersebut.
3) Adanya permintaan dari orang yang merasa dirugikan kepada hakim.
Salah satu pengaturan yang berkaitan dengan ganti rugi juga terdapat dalam
pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
B. Pengaturan Pemberian Ganti Rugi Terhadap Korban Kecelakaan Lalu
Lintas
Perlindungan hukum bagi korban kecelakaan lalu lintas bukanlah hal baru,
dimana pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah atur dalam
Werverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933 Nomor 86) lalu diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1951 Tentang Perubahan & Tambahan
Undang-Undang Lalu Lintas Jalan (Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 Nomor
86). Dalam perkembangannya diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang menjadi Undang-Undang pertama
yang mengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Indonesia setelah Indonesia
Merdeka. Seiring waktu Undang-Undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan kini telah berubah
menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas & Angkutan
Jalan.
Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian. Kecelakaan yang
ditimbulkan tersebut bukan hanya berupa tabrakan, baik antar sesama kendaraan
bermotor maupun antara kendaraan bermotor dengan pemakai jalan lainnya, tetapi
dapat pula berupa kecelakaann lainnya seperti jatuhnya penumpang dari bus kota
ataupun jatuhnya kendaraan umum antar kota ke dalam jurang. Dalam kecelakaan
semacam itu, pada umumnya orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman
yang dijatuhkan kepada si pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu.49
Salah satu hal yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut mengatur perihal
kecelakaan. Kecelakaan Lalu Lintas dalam undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan digolongkan menjadi 3, yakni :
1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang,
2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
3. Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
korban meninggal dunia atau luka berat.
Secara umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab Pengemudi, Pemilik
Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan ini diatur dalam Pasal 234 ayat
(1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi “Pengemudi,
pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/ atau pemilik barang dan/atau
pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”
Namun, ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:
49
Marianna Sutadi, 1992, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah
Agung RI, Jakarta, hal 1
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan Pengemudi;
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau
c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan
pencegahan.
Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti
kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban
mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan
damai di antara para pihak yang terlibat.50
Perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia
termuat di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Perlindungan hukum terhadap korban tersebut menyangkut hak-hak
yang di dapatnya apabila terjadi suatu kecelakaan lalu lintas sebagaimana tercantum
dalam pasal 240 tentang hak yang didapatkan korban kecelakaan lalu lintas ialah :
a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;
b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas; dan
c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.51
50
Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 51
Pasal 240 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab ialah tindakan
insentif berupa menolong korban, membawa ke rumah sakit dan membiayai
perawatan korban selama berada dirumah sakit ataupun, baik perawatan jalan ataupun
rawat inap yang bermaksud demi kesembuhan korban akibat kecelakaan lalu lintas
tersebut. Namun demikian, tindakan pertolongan pertama tersebut tidak
keseluruhannya dalam bentuk pengobatan medikal di rumah sakit. Hal ini terjadi bila
ada kesepakatan spontan antara tersangka dan korban yang lebih memilih menuju
dukun patah terdekat. Kesepakatan spontan antara pihak tersangka dan korban dalam
praktiknya di lapangan dapat kita simpulkan sebagai wujud pelaksanaan hak atas
korban kecelakaan lalu lintas.
Ganti kerugian merupakan hak korban kecelakaan lalu lintas dari pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sementara sebelumnya
dalam Pasal 234 dijelaskan bahwa:
1. Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan
umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang
dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.
2. Setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan
angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau
perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
jika:
a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan pengemudi;
b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau;
c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil
tindakan pencegahan.52
Bunyi pasal 234 diatas menjelaskan kewajiban dan tanggung jawab yang
dibebankan kepada pihak Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau
Perusahaan Angkutan untuk memberikan biaya ganti kerugian kepada Penumpang
dan Pemilik Barang dan/ atau pihak ketiga yang mana dikarenakan kelalaian
pengemudi. Hal ini menjelaskan bahwa pihak-pihak yang disebutkan diatas
bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan barang yang diderita baik penumpang
atau pemilik barang. Pertanggung jawaban dari pihak-pihak yang disebutkan diatas
disesuaikan kembali menurut tingkat kesalahan akibat kelalaian tersebut. Selain
beban mengganti kerugian kepada korban kecelakaan, pihak-pihak tersebut juga
dibebankan untuk mengganti kerusakan jalan dan perlengkapan jalan yang
disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengemudi.
Dalam hal-ihwal kecelakaan lalu lintas, korban berhak mendapatkan santunan
atas peristiwa tersebut. Santunan yang didapat korban kecelakaan lalu lintas berasal
dari perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi yang memberikan santunan kecelakaan
lalu lintas adalah Jasa Raharja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan
52
Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas
Jalan.53
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 yang berhak mendapatkan santunan kecelakaan dana pertanggungan
wajib kecelakaan penumpang ialah :
1. Korban yang berhak atas santunan yaitu
Setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum yang mengalami
kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum,
selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut, yaitu
saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan;
2. Jaminan Ganda
Kendaraan bermotor Umum (bis) berada dalam kapal ferry, apabila kapal
ferry di maksud mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi
korban diberikan jaminan ganda;
3. Penumpang mobil plat hitam
Bagi penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat
angkutan penumpang umum, seperti antara lain mobil pariwisata , mobil sewa
dan lain-lain, terjamin oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965;
4. Korban Yang mayatnya tidak diketemukan
53 https://www.jasaraharja.co.id/tentang-kami/sejarah diakses 28 Juli 2016 pukul 10.00 WIB
Penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan dan
atau hilang didasarkan kepada Putusan Pengadilan Negeri.
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Jo Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1965 yang berhak mendapatkan santunan dana kecelakaan lalu
lintas ialah :
1. Korban Yang Berhak Atas Santunan, adalah pihak ketiga yaitu :
a. Setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang
menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari
penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, contoh : Pejalan kaki
ditabrak kendaraan bermotor;
b. Setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor
dan ditabrak, dimana pengemudi kendaran bermotor yang ditumpangi
dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini
para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi;
2. Tabrakan Dua atau Lebih Kendaraan Bermotor :
a. Apabila dalam laporan hasil pemeriksaan Kepolisian dinyatakan bahwa
pengemudi yang mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya
kecelakaan, maka baik pengemudi mapupun penumpang kendaraan
tersebut tidak terjamin dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965;
b. Apabila dalam kesimpulan hasil pemeriksaan pihak Kepolisian belum
diketahui pihak-pihak pengemudi yang menjadi penyebab kecelakaan dan
atau dapat disamakan kedua pengemudinya sama-sama sebagai penyebab
terjadinya kecelakaan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1965 santunan belum daat diserahkan atau ditangguhkan sambil
menunggu Putusan Hakim/Putusan Pengadilan;
3. Kasus Tabrak Lari
Terlebih dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran kasus kejadiannya;
4. Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Kereta Api
a. Berjalan kaki di atas rel ata u jalanan kereta api dan atau menyebrang
sehingga tertabrak kereta api serta pengemudi/penumpang kendaraan
bermotor yang mengalami kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerata
api, maka korban terjamin Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964;
b. Pejalan kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang
dengan sengaja menerobos palang pintu kereta api yang sedang
difungsikan sebagaimana lazimnya kerata api akan lewat, apabila tertabrak
kereta api maka korban tidak terjamin oleh Undang-Undang Nomor 34
Tahun 1964.
Penggabungan gugatan ganti kerugian dalam tindak pidana merujuk kepada
pasal 98 KUHAP. Mekanisme permohonan dalam penggabungan perkara pidana dan
perdata yang berkaitan dengan ganti rugi haruslah dilakukan sebelum adanya putusan
dari hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tersebut. Pengajuan
penggabungan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian itu ditentukan, yakni :
a. Dalam hal penuntut umum membacakan / mengajukan tuntutan
pidana, hal ini dimaksudkan agar penuntut umum
mempertimbangkan dengan seksama tuntutan pidana dengan
gugatan ganti kerugian;
b. Perkara pidana yang di hadiri penuntut umum adalah perkara
pidana yang acara pemeriksaannya adalah perkara biasa dan
pemeriksaan singkat;
c. Dalam hal Penuntut Umum tidak hadir yakni perkara pidana
dengan pemeriksaan cepat yakni :
- Acara pemeriksaan tindak pidana ringan ;
- Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan54
C. Penerapan Pemberian Ganti Kerugian Oleh Pihak Terkait Terhadap
Korban Kecelakaan Lalu Lintas
Secara umum ganti kerugian dalam konteks kecelakaan lalu lintas yang
dilakukan oleh pihak terkait masih termasuk ke dalam pokok bahasan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini
secara gamblang dijelaskan dalam Pasal 234 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan yang berbunyi :
54 Kinestren Wurasti, 2007, “Studi tentang pelaksanaan penggabungan perkara Pidana dengan
gugatan ganti kerugian dalam perkara Kecelakaan lalu lintas (Studi kasus di Pengadilan Negeri
Wonogiri)”, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
“Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan
Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/
atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”
Suatu tindakan dinyatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur:
a. Subjek;
b. Kesalahan;
c. Bersifat melawan hukum (dari tindakan);
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/
perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
e. Waktu, tempat dan keadaan.55
Konsep hukum pidana menjelaskan bahwa kecelakaan lalu lintas tergolong
dalam tindak pidana, baik disengaja atau disebabkan atas kealpaan pengemudi. Jika
dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang
maupun berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal
230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang berbunyi:
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Namun, ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:
55
Chairul Huda Loc.Cit hal 26
a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan Pengemudi;
b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau
c. Disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil
tindakan pencegahan.
Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti
kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban
mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan
damai di antara para pihak yang terlibat. Kewajiban mengganti kerugian yang
didasari atas putusan pengadilan dalam hal kecelakaan lalu lintas termasuk ke dalam
perkara perdata yang digabungkan dengan perkara pidana. Penggabungan perkara
pidana dan perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada
pasal 98-101.
Proses pelaksanaan penggabungan perkara pidana dengan gugatan ganti
kerugian di Pengadilan Negeri :
1. Korban mengajukan suat permohonan penggabungan perkara pidana
dengan gugatan ganti kerugian disertai dengan lampiran rincian
kerugian yang diderita korban kemudian didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri dan surat tersebut disampaikan kepada Ketua
Pengadilan. Surat permohonan disini memuat antara lain :
a. Identitas korban Yaitu nama, umur, alamat, pekerjaan, agama, dan
tempat tanggal lahir yang ditulis secara jelas;
b. Permintaan agar Pengadilan Negeri (yang bersangkutan)
menggabungkan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian;
c. Permintaan agar biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh korban
dan juga tuntutan, yaitu segala sesuatu yang diharapkan korban
untuk diperiksa dan diputus oleh pihak hakim.
2. Setelah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, kemudian
Ketua Pengadilan Negeri membuat surat penetapan untuk menunjuk
majelis hakim yang akan memeriksa perkara tersebut.
3. Majelis hakim yang bersangkutan dengan surat penetapan tersebut
menetapkan hari sidang perkara dan sekaligus menyuruh memanggil
kedua belah pihak dan agar menghadapdi Pengadilan Negeri pada hari
sidang yang telah ditentukan dengan membawa saksi-saksi dan bukti-
bukti yang diperlukan.
Dengan demikian pihak korban harus aktif untuk mempersiapkan alat
bukti terutama bukti tulisan, misalnya kwitansi-kwitansi yang
membuktikan bahwa pihak korban telah mengeluarkan biaya karena
kerugian yang dialami sebagai akibat perbuatan terdakwa. Sesuai
dengan Pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi :
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu
hak atau guna meneguhkan hak sendiri maupun mambantah suatu hak
orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut.”;
4. Setelah kedua belah pihak hadir dalam persidangan pada hari yang
telah ditenrtukan, maka Majelis Hakim memberi kesempatan kedua
belah pihak untuk mengadakan perdamaian, sidang ditunda supaya
kedua belah pihak dapat merundingkan perdamaian tersebut. Apabila
sidang berikutnya perdamaian belum dicapai, maka pemeriksaan
dilanjutkan, tanpa menutup kemungkinan untuk mengusahakan
perdamaian selama proses pemeriksaan dan sebelum putusan hakim
dijatuhkan;
5. Tuntutan pidana dibacakan oleh majelis hakim, pihak korban di beri
kesempatan untuk mengadakan perubahan atau pencabutan tuntutan
sebelum pihak terdakwa diberikan kesempatan untuk menjawab
apabila tidak ada perubahan atau pencabutan tuntutan, maka pihak
korban diberi kesempatan untuk menjawab secara lisan atau secara
tertulis;
6. Apabila jawaban pihak terdakwa secara tertulis, maka pihak korban
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan yang disebut Replik
dan terhadap Replik dari pihak korban, pihak Terdakwa dapat
memberikan tanggapannya yaitu disebut duplik;
7. Dari jawab-menjawab antara pihak korban dan Terdakwa hanya
dibatasi dua kali dan kesempatan terakhir diberikan kepada pihak
korban, setelah menjawab selesai diberikan kesempatan, kepada pihak
korban untuk mengajukan pembuktian. Tujuan pembuktian adalah
untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-
peristiwa tertentu, karena hakim yang mengkonstantir peristiwa,
mengkualisir peristiwa tersebut, pembuktian juga untuk dasar putusan
hakim. Kemudian dilanjutkan kesempatan pihak terdakwa mengajukan
pembuktian sebagai tanggapan atas pembuktian pihak korban;
8. Setelah proses pemeriksaan dianggap cukup oleh Majelis Hakim,
maka kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengajukan
kesimpulan yang berisi tentang tanggapan masing-masing pihak
terhadap segala sesuatu yang terjadi di persidangan;
9. Setelah pengajuan kesimpulan selesai, maka majelis Hakim dalam
memutuskan perkara pidana dalam bentuk putusan hakim;
10. Apabila putusan hakim sudah dijatuhkan dan para pihak menerima
putusan Hakim Pengadilan tersebut, maka diadakanlah eksekusi
pelaksanaan putusan. Pengambilan putusan dalam penggabungan
perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian masing-masing Hakim
mengajukan pendapat mengenai dua hal yakni :
d. Pertimbangan-pertimbangan mengenai perkara pidana yang
didasarkan pada Hukum Acara Pidana
e. Pertimbangan-pertimbangan mengenai gugatan ganti kerugian
sesuai Acara Perdata.56
56 Leden Marpaung, SH, 1997, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum
Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
BAB III
STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI
KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS
A. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam
arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif
atau strafrecht in subjectieve zin. Tindak pidana ialah tindakan melanggar hukum
pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum
pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Tindak pidana yang di artikan oleh Simons tersebut mengandung pengertian
bahwa suatu perbuatan melanggar hukum dapat dinyatakan tindak pidana meskipun
tiada unsur kesengajaan dari pihak yang menyebabkan peristiwa tersebut. Unsur lain
yang menjelaskan suatu perbuatan tersebut dapat dinyatakan tindak pidana juga
terdapat pihak penyebab peristiwa tersebut yang dapat dimintai
pertanggungjawabannya dan adanya aturan yang menyangkut dengan peristiwa itu
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang dimaksud dengan kecelakaan lalu lintas ialah suatu
peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan
atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan\atau
kerugian harta benda.
Berdasarkan pengertian dari pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut peristiwa kecelakaan
adalah peristiwa yang terjadi karena kesalahan pelaku kecelakaan lalu lintas itu dan
dalam hukum pidana kesalahan pelaku tersebut tergolong ke dalam jenis culpa. Culpa
sendiri mengandung arti kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan
hukum mempunyai arti teknis, yaitu satu macam kesalahan si pelaku tindak pidana
yang tidak seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak
disengaja terjadi.57
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas
yakni:
1. Kelalaian pengguna jalan, misalnya : menggunakan handphone ketika
mengemudi, kondisi tubuh letih dan mengantuk, mengendarai kendaraan
dalam keadaan mabuk, kurangnya pemahaman terhadap rambu-rambu lalu
lintas, berkendara secara brutal dan ugal-ugalan, dan sebagainya.
2. Ketidaklaikan kendaraan, misalnya : kendaraan dengan modifikasi yang
tidak standard, rem blong, kondisi ban yang sudah tidak layak pakai, batas
muatan yang melebihi batas angkut kendaraan dan sebagainya.
3. Ketidaklaikan jalan dan/atau lingkungan. : kondisi jalan yang berlubang,
kurangnya pemasangan rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan dan
sebagainya.
57
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco Jakarta,
Bandung, hal. 61
Berdasarkan rangkaian diatas dan diperkuat dengan ketentuan dalam pasal 230
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
kecelakaan lalu lintas termasuk kedalam tindak pidana. Hal ini diperkuat dengan isi
pasal tersebut yang berbunyi :
“perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat
(2), (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Suatu tindakan dinyatakan tindak pidana jika memenuhi unsur :
a. Subjek;
b. Kesalahan;
c. Bersifat melawan hukum;
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/
perundangan dan terhadap pelanggaran diancam dengan pidana;
e. Waktu, tempat dan keadaan.58
Faktor-faktor kecelakaan lalu lintas yang terjadi dan disebabkan oleh kelalaian
pengguna jalan diatur dalam pasal 310-311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kelalaian pengguna jalan yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas secara implisit juga termuat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana bunyinya yakni :
Pasal 359 KUHP
58
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Hal. 211.
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.”
Pasal 360 KUHP
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timhul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu
lima ratus rupiah.”
Ketentuan dalam pasal 359-360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
mengandung pengertian bahwa kesalahan ataupun kealpaan adalah kondisi dari
subjek yang disebut dengan culpa, yang karena tindakannya mengakibatkan suatu
peristiwa tindak pidana. Culpa sendiri mengandung pengertian suatu keadaan, yang
sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki
lagi.
Ketentuan dalam KUHP yang merupakan kodifikasi utama dalam pemidanaan
di Indonesia tidaklah berlaku apabila dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan kematian.Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 63 ayat (2) KUHP
menyebutkan bahwa :
“jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
diterapkan.”
Penyelarasan atas pasal 63 ayat (2) dalam KUHP tersebut sesuai dengan asas
hukum lex specialis derogat legi generalis.Asas hukum lex specialis derogat legi
generalis mengandung pengertian bahwa undang-undang yang bersifat khusus
mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.59
Sifat-sifat yang melekat
dari asas lex specialis derogat legi generalis inilah yang kemudian ditransformasikan
kaitannya dalam unsur pemidanaan terutama perihal kecelakaan lalu lintas.Hal ini
disebabkan dalam KUHP tidak diatur secara jelas mengenai tindak pidana kecelakaan
lalu lintas. Tindak pidana kecelakaan lalu lintas sendiri termaktum dalam pasal-pasal
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Melihat dari pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu
lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai peraturan yang bersifat
khusus, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam
mengadili dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun,
dan bukan Pasal 359 dalam KUHP.
59
Liza Erwina, 2012, Ilmu Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, Hal. 54
Lain lagi jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi,
pengemudi tersebut mengemudikan kendaraan dalam kondisi tertentu yang bisa
membahayakan orang lain, ancaman hukuman pidananya lebih tinggi apabila
korbannya meninggal dunia, yaitu ancaman hukumannya 12 tahun penjara. Secara
lengkap diatur ketentuan pasal 311 yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor
dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat
(3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan
orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal
311 ayat (5) antara lain:
1. Setiap orang;
2. Mengemudikan kendaraan bermotor;
3. Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau
keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang
4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.60
Ketentuan Pasal 311 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) sebenarnya serupa dengan
Pasal 310, akan tetapi yang membedakan dalam pasal 311 ini adalah terdapatnya
unsur kesengajaan pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan cara atau
keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Hal inilah yang menyebabkan
hukuman pidana dalam pasal 311 lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310.
Berdasarkan pengaturan perundangan yang berlaku terkait dengan tindak
pidana kecelakaan lalu lintas, jika dalam kasus kecelakaan pengemudi kendaraan
yang menabrak tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dengan jenis
Kendaraan Bermotor yang dikemudikan, maka jaksa penuntut umum dapat
menambahkan pasal 281 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan terkait pelanggaran atas syarat dalam mengemudikan
suatu kendaraan bermotor, yang berbunyi:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan
atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.
60 http://patuhorangindonesia.blogspot.co.id/2013/08/pertanggungjawaban-pidana-pada.html
diakses pada tanggal 16 Oktober 2016 pukul 19.00
Penambahan pasal 281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang
berkaitan dengan pelanggaran atas syarat mengemudi kendaraan bermotor ialah
bentuk dalam menguatkan tuntutan atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang
terjadi.
Untuk memperjelas pasal diatas, bunyi Pasal 77 ayat (1) tersebut adalah:
Pasal 77 ayat (1)
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib
memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang
dikemudikan”
Penambahan pasal yang dimuat jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya
ialah dasar untuk menguatkan dalam penuntutan dan pemidanaan penyebab
kecelakaan lalu lintasyang tidak memenuhi persyaratan dalam mengemudi kendaraan
bermotor tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jaksa penuntut
umum dapat menuntut penyebab terjadinya tindak pidana dengan dakwaan yang
diperoleh dari pengajuan penyidik berdasarkan hasil penyidikan. Penuntutan terhadap
penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang tidak memenuhi persyaratan dalam
mengemudi kendaraan bermotor oleh jaksa penuntut umum menggunakan dakwaan
kumulatif. Dakwaan kumulatif ialah dakwaan yang dipergunakan dalam hal terdakwa
melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana
yang berdiri sendiri.61
Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkatan Jalan tersebut setiap peristiwa kecelakaan lalu lintas
tergolong ke dalam peristiwa tindak pidana yang selalu melibatkan beberapa pihak
terkait dengan pelanggaran atau kejahatan pidana itu sendiri.
B. Status Pihak Terkait Setelah Memberi Ganti Kerugian Kecelakaan Lalu
Lintas
Menurut isinya hukum dapat dibagi menjadi hukum privat dan hukum publik.
Hukum privat adalah hukum yang mengatur antara hubungan orang yang satu dengan
orang yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan. Hukum publik
ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya.62
Hukum privat yang bersifat perorangan dan perikatan dapat digambarkan
sebagai hukum perdata dan hukum dagang. Sedangkan hukum publik yang sifatnya
lebih kepada pengaturan dan kebijakan digambarkan dalam hukum tata negara,
hukum administrasi negara, hukum pidana dan hukum internasional. Apabila
dikaitkan dengan pengertian kecelakaan lalu lintas maka peristiwa kecelakaan lalu
lintas dan ganti rugi adalah keadaan yang terpisah segi hukum yang mengadilinya.
Kecelakaan lalu lintas masuk ke dalam ranah hukum pidana sesuai dengan ketentuan
61
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan 62
C.S.T. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, Hal.46
peraturan perundang-undangan dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi :
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pengertian Kecelakaan lalu lintas berdasarkan pasal 1 angka 24 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan
tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang
mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Peristiwa kecelakaan
lalu lintas ialah segi hukum pidana yang mana mengakibatkan korban manusia,
sedangkan ganti kerugian merupakan ranah hukum perdata.
Unsur yang terkandung di dalam Pasal 1 angka ke 24 ini ialah, mengakibatkan
korban manusia dan kerugian harta benda. Hal ini menjadi landasan pengertian
tersebut mengacu kepada dua hukum berbeda yakni yang mengarah kepada hukum
pidana yang melibatkan korban manusia dan hukum perdata terkait dengan kerugian
harta benda. Dalam praktiknya, peristiwa kecelakaan lalu lintas pastilah melibatkan
pengguna jalan.
Berdasarkan pada pasal 1 angka ke 27 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dimaksud dengan pengguna jalan
adalah setiap orang yang menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Penjabaran
pengguna jalan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengemudi;
2. Pejalan Kaki;
3. Jasa Angkutan Umum;
4. Penumpang.
Peristiwa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan komponen pengguna jalan
selalu saja berbuntut panjang pada permasalahan hukum. Tak jarang permasalahan
tersebut berakhir di sidang pengadilan. Dalam praktiknya, korban yang mengalami
penderitaan akibat kecelakaan tentu berusaha untuk mengembalikan hak-hak yang
diderita baik yang sifatnya materiil dan juga inmateriil.
Pada praktiknya apabila terjadi kecelakaan lalu lintas, korban yang merasa telah
dirugikan atas perbuatan tersangka akan menuntut haknya baik secara pidana dan
perdata. Meskipun permasalahan kecelakaan lalu lintas yang kaitannya lebih menitik
beratkan pada permasalahan pidana yang mengakibatkan korban manusia, hal ini
tidaklah bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Kecelakaan lalu lintas yang merupakan tindak pidana yang menimpa diri
korban dan juga memberikan dampak kerugian baik secara materiil dan inmateriil
dapat digabungkan perkaranya. Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak
pidana berupa mempercepat proses untuk memperoleh ganti kerugian yang
dideritanya sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara
pidananya dengan perkara gugatan ganti kerugian yang pada hakekatnya merupakan
perkara perdata.63
63
Leden Marpaung Loc.cit Hal 26.
Masalah gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Bab XIII Pasal 98 KUHAP
berbeda dengan apa yang dimaksud dengan ganti kerugian yang diamksud pada Bab
XII Bagian kesatu Pasal 95 KUHAP, sebab gudatan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud pada Pasal 98 KUHAP adalah “suatu gugatan ganti kerugian yang timbul
akibat dilakukannya suatu tindak pidana atau gugatan ganti kerugian bukan akibat
penangkapan, penahanan, penuntutan, atau peradilan yang tidak berdasar undang-
undang,” jadi gugatan ganti kerugian dalam pengertian ini bersifat asesoir dari
perkara yang ada.64
Namun bisa saja permasalahan kecelakaan lalu lintas tidak sampai pada tahap
persidangan di meja pengadilan. Bisa saja permalahan tersebut tidak sampai ke meja
pengadilan sebab tidak ditemukannya pihak lain yang menyebabkan kecelakaan
peristiwa, atau kesepakatan antara pengemudi yang menabrak dan tertabrak merasa
hanya masalah senggolan yang tidak menyebabkan kerusakan berarti dan juga
kesepakatan dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan masalah ini secara
kekeluargaan.
Berdasarkan pada pasal 240 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sendiri mengenai ganti kerugian dalam
kecelakaan lalu lintas tertangguh atau ditanggungkan pada pihak yang bertanggung
jawab. Baik pihak tertanggung tersebut dapat saja perusahaan angkutan jasa, ataupun
pengemudi dari kendaraan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Pihak yang
64
http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/ diakses pada tanggal 19 Oktober
2016 pukul 21.50
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian
yang besarannya ditentukan berdasarkan pada putusan pengadilan. Kewajiban
mengganti kerugian tersebut juga dapat dilakukan diluar pengadilan jika terjadi
kesepakatan damai diantara para pihak. Hal ini diperkuat dengan pasal 236 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pemberian ganti rugi oleh pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan lalu
lintas tidak semata-mata menghilangkan tuntutan pidana yang akan diganjarkan
kepadanya. Hal ini sendiri diperkuat dengan pasal 235 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi :
“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau
Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris
korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana.”
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa walaupun pengemudi
telah bertanggung jawab atas penderitaan korban, tuntutan pidana terhadap dirinya
tidak menjadi hilang. Akan tetapi, pertanggung jawaban akan biaya ganti rugi sangat
berpengaruh dalam menentukan putusan atas proses pengadilan terhadap pihak yang
bertanggung jawab.
C. Pemidanaan Kepada Pihak Terkait Dalam Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 1 Ayat (3) menjelaskan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Karena
itu untuk mewujudkan sebagai negara hukum maka segala penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum. Sayangnya Indonesia
belum secara keseluruhan memiliki hukum nasional yang dibuat oleh bangsa sendiri.
Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka hukum di Indonesia
masih menggunakan hukum-hukum warisan kolonial yang disesuaikan dengan
keadaan hukum di Indonesia atau sesuai dengan UUD 1945. Seperti yang tertulis
dalam Pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”. Hukum nasional yang merupakan warisan dari
zaman kolonial, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia telah dilakukan kodifikasi. Sebagian
besar dari aturan-aturan pidana telah disusun dalam suatu kitab undang-undang, yaitu
KUH Pidana. Sebagian lagi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
seperti peraturan lalu lintas, peraturan tentang tindak pidana terorisme. Selain sudah
dikodifikasi, hukum pidana kita juga telah diunifikasi. Tujuan hukum positif
Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang berbunyi “untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Pemidanaan kepada pihak terkait dalam hal ini ialah tersangka yang menurut
putusan pengadilan akibat kelalaiannya menyebabkan terjadinya peristiwa kecelakaan
lalu lintas dan bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh korban dari
kecelakaan tersebut. Apabila merunut pada unsur yang berkaitan dengan definisi
kecelakaan, maka kecelakaan lalu lintas tergolong kedalam buku kedua dalam KUH
Pidana yang disebabkan karena kelalaian pengemudi tersebut.
Berdasarkan sistem peradilan hukum di Indonesia dan sesuai dengan ketentuan
dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang berbunyi,”Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara
peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Hal ini sama sekali tidak bertentangan sebab dalam hukum positif Indonesia
menganut asas Lex specialis derogat legi generalis. Asas tersebut memberikan
tafsiran bahwa, peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang
bersifat umum. Dalam kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan kelalaian maka unsur
kelalaian daripada peristiwa tersebut lebih menitikberatkan pada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 yang dianggap bersifat khusus menangani permasalahan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, pihak-pihak terkait yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya
dalam kecelakaan lalu lintas adalah pengemudi dan perusahaan angkutan jasa umum.
Pemidanaan kecelakaan lalu lintas juga dapat dikenakan pidana penjara, kurungan,
atau denda, dan juga pengemudi dapat diberi pidana tambahan yakin pencabutan surat
izin mengemudi (SIM) atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu
lintas berdasarkan pada aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan pada pasal 314.
Pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas memiliki kewajiban
(Pasal 231 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan) :
a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
b. memberikan pertolongan kepada korban;
c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
Setiap pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu
lintas wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban, akan tetapi
tanggung jawab ini tidak berlaku apabila (Pasal 234 ayat (3) Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) :
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan Pengemudi;
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau
c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan
pencegahan.
Pemidanaan terhadap pengemudi yang mengakibatkan kecelekaan lalu lintas
dan menimbulkan korban luka-luka dan meninggal dunia di dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman
kejahatan. Pemidanaan yang didasari kecelakaan dengan ancaman kejahatan yang
mengakibatkan korban luka-luka dan meninggal dunia dimuat dalam pasal 310-311.
Pasal 310
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban
luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban
luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 65
Pasal 311
65
Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan
Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa
atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan
dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2),
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan
juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling
banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 66
Sedangkan pemidanaan terhadap perusahaan angkutan umum apabila
melakukan tindak pidana kejahatan yang termuat dalam pasal 273, pasal 275 ayat (2),
pasal 277, pasal 310 dan pasal 311 dibebankan kepada Perusahaan angkutan umum
dan/ atau pengurusnya. Pemidanaan yang terkait dengan perusahaan angkutan umum
terkandung pada pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkatan Jalan.
Pasal 315
66 Pasal 311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum,
pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan
Umum dan/atau pengurusnya.
Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan
Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak
dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal
dalam Bab ini.
Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin
penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan.67
Sebelum hakim memutuskan sanksi pidana kepada terdakwa, kepolisian
sebagai salah satu penegak hukum haruslah menetapkan status tersangka kepada
pengemudi yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Penetapan status
tersangka kepada pengemudi yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas haruslah
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang terkandung dalam pasal 259-263.
67
Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
BAB IV
PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERIAN GANTI RUGI
PADA KECELAKAAN LALU LINTAS
A. Tugas Dan Wewenang Aparat Penegak Hukum Dalam Perkara
Kecelakaan Lalu Lintas
Indonesia yang merupakan negara hukum dan menganut trias politica,
membagi tiga kekuasaan menjadi peranan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-
masing peranan tersebut memiliki tugas dan wewenang tersendiri. Pokok pikiran
yang berasal dari Montesqiue ini membagi peranan pemerintah sebagai berikut :
1. Legislatif (Lembaga Pembuat Undang-Undang);
2. Eksekutif (Lembaga Pelaksana Undang-Undang); dan
3. Yudikatif (Lembaga Pengawas dan Mengadili Undang-Undang).
Salah satu fungsi keberadaan suatu hukum adalah untuk menetapkan perbuatan
yang harus dilakukan dan atau perbuatan yang boleh dilakukan serta yang dilarang.
Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat
melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan
kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya
hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. Dalam
mewujudkan penegakan hukum tersebut, proses penanganan perkara pidana haruslah
dilaksanakan secara optimal, sehingga haruslah dapat ditentukan secara cepat dan
tepat tentang apakah suatu perkara pidana akan dapat diajukan ke persidangan
ataukah tidak. Dalam kasus penegakan hukum kecelakaan lalu lintas, tidak terlepas
dari peran beberapa penegak hukum.
Penegak hukum yang berkaitan langsung dengan permasalahan dibidang
kecelakaan lalu lintas ialah Polri, Jaksa, dan juga Hakim. Masing-masing penegak
hukum tersebut juga memiliki beberapa tugas dan wewenang dalam menyelesaikan
perkara kecelakaan lalu lintas.
Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat
penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan
yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi
Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat”.68
Sementara polisi memberikan pengayoman yang bersifat langsung ke inti
masyarakat, maka perlindungan hukum bagi masyarakat dalam proses pemidanaan
dari jaksa dan juga hakim selaku aparat penegak hukum ialah penuntutan dan
pemutus perkara di pengadilan. Sebagaimana tugas jaksa mengenai ketentuan hukum
pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia :
Pasal 30 ayat (1) :
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
68
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.69
Penegakan hukum dalam perkara kecelakaan lalu lintas adalah salah satu tugas
pokok dari wewenang dan fungsi kepolisian. Sebagaimana dalam pasal 14 ayat (1)
huruf b yang berbunyi,”menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin
keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan”.70
Bentuk penegakan
hukum dari kepolisian dalam memberikan pengayoman kepada masyarakat terutama
pengguna jalan juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Salah satu bentuk pengayoman tersebut adalah
penyidikan guna mengidentifikasi kronologi suatu perkara tindak pidana kejahatan
berkaitan dengan masalah kecelakaan lalu lintas yang terkandung pada pasal 259.
Pasal 259
69 Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia 70
Pasal 14 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
menurut Undang-Undang ini.
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
atas:
a. Penyidik; dan
b. Penyidik Pembantu.71
Selain bertindak menyidik dan mengidentifikasi kecelakaan, kepolisian juga
diberikan wewenang dalam melakukan penindakan yang sesuai dengan aturan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebagaimana terkandung
dalam pasal 260 :
Pasal 260
Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan berwenang:
a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita
sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan
berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan
Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor,
dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;
d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan
Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat
Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang
bukti;
e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan
Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
71 Pasal 259 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;
h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan
Lalu Lintas; dan/atau
i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.
Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.72
Berdasarkan tujuan dari Negara hukum dalam menegakkan supremasi hukum,
posisi Kepolisian (yang berwenang melakukan penyidikan) dan Kejaksaan (yang
berwenang melakukan penuntutan) sangat penting dalam mewujudkan hukum in
concreto. Mewujudkan hukum in concreto bukan hanya merupakan fenomena
pengadilan atau hakim, tetapi termasuk dalam pengertian pemberian pelayanan
hukum dan penegakan hukum, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan yang merupakan
pranata publik penegak hukum dalam sistem peradilan pidana juga mempunyai peran
krusial dalam perwujudan hukum in concreto.
Proses untuk menentukan suatu berkas perkara guna menentukan lengkap
tidaknya berkas perkara tersebut untuk dilimpahkan di persidangan dalam rangkaian
proses peradilan pidana terletak pada tahap Prapenuntutan yang menggambarkan
adanya keterkaitan antara Penyidik dengan Penuntut Umum. Apabila terdapat
kekurangan di dalam berkas perkara, yang nantinya akan menyulitkan Kejaksaan
dalam melakukan penuntutan, maka berkas perkara dapat dikembelikan kepada
Penyidik untuk disempurnakan dengan disertai petunjuk yang dianggap perlu.
Pada prinsipnya, ketentuan tentang Penyidikan dan Penuntutan dalam KUHAP
di atas menunjukkan hubungan yang erat antara penyidikan dengan penuntutan.
72
Pasal 260 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyidikan merupakan kegiatan untuk
mengumpulkan alat bukti mengenai adanya satu tindak pidana beserta pelaku tindak
pidana tersebut, sementara penuntutan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk
mempertanggungjawabkan hasil dari kegiatan penyidikan di forum pengadilan.
Oleh karena itu, pelaksanaan dari integrated criminal justice system sebetulnya
adalah untuk melaksanakan penegakan hukum yang terpadu dan berkesinambungan
untuk mendapatkan out put yang maksimal. Dalam hal ini, penyidikan haruslah
diarahkan kepada pembuktian di persidangan, sehingga tersangka (pelaku tindak
pidana) dapat dituntut dan diadili di persidangan. Penyidikan yang berakhir dengan
putusan (vrisjpraak) ataupun lepas dari segala tuntutan (onslag van alle
rechtsvervolging) dari Pengadilan terhadap pelaku tindak pidana akan merugikan
masyarakat dan lembaga penegak hukum itu sendiri.
Prinsip ini merupakan bagian dari kewenangan Kejaksaan sesuai dengan
Dominis Litius, yaitu maka penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya
berada di satu tangan yaitu Kejaksaan.
Sebelum penyidikan dimulai, sudah harus diperkirakan delik yang dan diatur
dalam ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut sangat penting, karena
penyidikan diarahkan kepada keadaan yang terjadi, yang cocok dengan perumusan
delik tersebut. Namun demikian, Penuntut Umum dapat pula mengubah pasal
perundang-undangan pidana yang dicantumkan oleh Penyidik. Disinilah letak
hubungan yang tidak terpisahkan antara penyidik dan Penuntut Umum.
Adapun Mekanisme koordinasi dalam hal penyidikan antara Kepolisian
(Penyidik) dengan Kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) tersebut dilakukan dengan
tahap-tahap sebagai berikut :
a. Setelah Kepolisian (Penyidik) melakukan kegiatan penyidikan, maka Kepala
Kepolisian di unit bersangkutan (Kapolres/ Kapolsek) segera mengirim Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Jaksa Penuntut Umum
melalui Kajati/ Kajari. Pengiriman SPDP inilah yang merupakan titik awal
hubungan koordinasi antara Kepolisian (Penyidik) dengan Kejaksaan (Jaksa
Penuntut Umum) dalam hal dilakukannya suatu kegiatan penyidikan.
b. Selanjutnya, Kajati atau Kajari akan menunjuk Jaksa untuk melakukan
pemantauan perkembangan penyidikan dan melakukan penelitian berkas
perkara (form surat P-16A). Jaksa yang ditunjuk inilah yang akan melakukan
koordinasi dengan para penyidik dalam hal menentukan suatu perkara layak
atau tidak ditingkatkan dalam tahap penuntutan.
c. Setelah Penyidik selesai melakukan tindakan-tindakan penyidikan, seperti
melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli maupun tersangka, melakukan
penyitaan, penangkapan, penahanan dan sebagainya, maka hasil dari kegiatan
penyidikan tersebut dituangkan dalam sebuah Berkas Perkara. Selanjutnya
Penyidik melimpahkan Berkas perkara tersebut ke Kejaksaan untuk diteliti.
d. Jaksa Peneliti melakukan penelitian berkas perkara, apakah berkas perkara
tersebut telah memenuhi syarat formil maupun materiil untuk dilimpahkan ke
persidangan. KUHAP menentukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya Berkas Perkara tersebut, Jaksa sudah harus menyatakan sikap.
Dalam hal ini terdapat 2 (dua) sikap dari Jaksa Peneliti, yaitu :
1. Apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap, maka Jaksa Peneliti
akan menyusun Berita Acara Pendapat yang menyatakan bahwa
Berkas Perkara telah lengkap dan berkas perkara dapat dinaikkan ke
tahap penuntutan. Apabila sikap ini yang diambil oleh Jaksa Peneliti,
maka penyidikan berarti telah selesai dan tahap Prapenuntutan dengan
sendirinya akan beralih ke tahap Penuntutan. Konsekuensi dari
peralihan dari tahap Prapenuntutan ke tahap Penuntutan tersebut
sekaligus berakibat beralihnya “tanggung jawab yuridis” perkara
pidana dari tangan Penyidik ke tangan Penuntut Umum setelah
Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang
bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP).
Selain itu Jaksa Peneliti juga segera menyusun Rencana Dakwaan
sebagai landasan untuk membuat Surat Dakwaan yang akan
dilimpahkan ke Pengadilan.
2. Apabila Berkas Perkara dinyatakan kurang lengkap, maka Jaksa
Peneliti akan segera menerbitkan Surat (P-18) yang menyatakan
bahwa Berkas Perkara dikembalikan kepada Penyidik, karena berkas
tersebut masih kurang lengkap. Selanjutnya dalam waktu 14 (empat
belas hari) sejak diterimanya berkas perkara, Jaksa Peneliti sudah
harus memberikan petunjuk kepada penyidik, baik berupa
kelengkapan syarat formil maupun syarat materiil.
e. Setelah menerima petunjuk dari Jaksa untuk melengkapi berkas perkara,
Penyidik “wajib” melengkapi berkas perkara sesuai dengan petunjuk Jaksa.
Dalam hal ini, koordinasi juga dilakukan dengan cara Penyidik menghadap
kepada Jaksa untuk memperoleh petunjuk secara konkrit dalam melengkapi
kekurangan Berkas perkara. Setelah berkas perkara dilengkapi oleh Penyidik,
Penyidik dalam waktu 14 hari harus menyerahkan atau menyampaikan
kembali berkas dan tambahan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal
110 ayat (2) dan (3) serta pasal 138 ayat (2) KUHAP).
f. Jaksa Peneliti kembali melakukan penelitian berkas perkara dan setelah
dinyatakan lengkap segera memberitahukan kepada penyidik untuk
melimpahkan tersangka dengan barang bukti kepada Jaksa Penuntut
Umum. Namun apabila berkas perkara tersebut ternyata menurut Jaksa
Peneliti masih kurang lengkap, maka berkas perkara tersebut dikembalikan
lagi kepada Penyidik dan proses bolak-balik berkas perkara tersebut akan
terjadi sampai berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Peneliti.
Dari gambaran diatas, dapat dilihat bahwa peran tahap Prapenuntutan dalam
proses penanganan perkara pidana adalah sangat penting, sehingga diperlukan upaya-
upaya untuk menyusun berkas perkara sebagai bahan pembuatan Surat Dakwaan
sekaligus menjadi “amunisi” bagi Penuntut Umum untuk melakukan pembuktian
tentang adanya perbuatan pidana.
Setelah semua proses terpenuhi barulah perkara tersebut diacarakan dalam
persidangan di pengadilan. Selama perkara tersebut dalam perkara pengadilan, pihak
korban kecelakaan lalu lintas yang merasa mengalami kerugian dalam bentuk perdata
dapat melakukan penuntutan ganti rugi dengan penggabungan perkara perdata ke
dalam pidana yang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 98-101 Kitab Undang-
Undang Acara Hukum Pidana.
Permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal
98 ayat (2) KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan
diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian
maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh korban.73
Putusan mengenai ganti kerugian dengan
sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga
telah mendapat kekuatan hukum tetap.74
Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara
pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang
sama.75
Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan
banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding.76
73
Pasal 99 Ayat (1) Kuhap 74
Pasal 99 Ayat (3) Kuhap 75
Pasal 100 Ayat (1) Kuhap 76
Pasal 100 Ayat (2) Kuhap
Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan
ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum
Acara Pidana.
B. Pemberian Ganti Rugi Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Dan Hubungannya
Dengan Prinsip Restorative Justice
Menurut Tony F. Marshal dalam penelitiannya “Restorative Justice an
Overview” yang dimaksud Restorative Justice adalah sebuah proses dimana para
pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk
menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.77
Lebih lanjut lagi, Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision
For Hearing and Change“ mengemukakan 5 prinsip kunci dalam Restorative Justice
yaitu :
1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian
yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;
3. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari
pelaku secara utuh;
4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga
masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;
77 http://www.damang.web.id/2012/01/restorative-justice.html diakses tanggal 29 Agustus
2016, pukul 21.10
5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar
dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.
Berdasarkan pengertian dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan
mengedapankan pendekatan intregasi pelaku di satu sisi dan korban/ masyarakat di
lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan
baik dalam masyarakat. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus
pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan
kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi
pihak korban dan pelaku.78
Konsep teori restorative justice menawarkan jawaban atas isu-isu penting
dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu :
1. Kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan
kesempatan khusunya bagi korban;
2. Menghilangkan konlik khususnya antara pelaku dengan korban dan
masyarakat;
3. Fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat
dari indak pidana harus diatasi untuk mencapai perbaikan.
Program yang terkandung dalam restorative justice dalam upaya mengatasi
persoalan kejahatan adalah sebagai berikut :
78
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-
dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh- diakses tanggal 29 Agustus, pukul 21.30
1. Restorative Justice adalah perluasan konsep pemikiran seiring
perkembangan sosial yang bergeser untuk melembagakan pendekatan
dengan cara-cara damai (to institutional peaceful approaches) terhadap
kerugian akibat tindak pidana, pemecahan masalah, dan pelanggaran
hukum dan HAM;
2. Restorative Justice mencari/ membangun hubungan kemitraan (seeks
to build partnership) untuk mengokohkan kembali pertanggung
jawaban yang saling menguntungkan (mutual responsibility) untuk
merespon secara konstruktif atas tindak pidana yang terjadi dalam
masyarakat;
3. Restorative Justice mencari pendekatan yang seimbang (seek a
balanced approach) terhadap kebutuhan korban, pelaku dan
masyarakat melalui proses yang memelihara keamanan dan martabat
bagi semua pihak.
Praktik dan program restorative justice tercermin pada tujuannya yang
menyikapi tindakan pidana dengan :79
1. Mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki
kerugian/ kerusakan;
2. Melibatkan semua pihak yang berkepentingan;
79
Lilis Atikah, 2016, “Disparitas Pemidanaan Dalam Perkara M.Rasyid Amrullah Rajasa Dan
Muhmmad Dwigusta Cahya Ditinjau Dari Pendekatan Sistem Restorative Justice”, Skripsi,
Universitas Pasundan, Bandung
3. Mentransformasikan pola masyarakat dan negara menghadapi pelaku
dengan pengenaan sanksi pidana menjadi pola hubungan kooperatif
antara pelaku dan masyarakat.
Melihat pada fakta yang terjadi di lapangan terutama pada dunia lalu lintas yang
terjadi di Indonesia, maka sudah sepatutnya dalam tindak pidana lalu lintas,
restorative justice adalah tindakan yang cukup relevan sebelum dilakukan justifikasi
terhadap permasalahan tersebut. Tindakan restorative justice yang mencegah
dilakukannya tindakan pemidanaan terhadap pelaku dalam kecelakaan lalu lintas
diharapkan dapat membantu penyelesaian perkara tersebut.
Tindakan restorative justice tersebut dapat berupa pemberian ganti rugi yang
dilaksanakan oleh pihak pelaku terhadap korban. Pemberian ganti rugi diharapkan
sebagai pengganti sanksi pidana agar pelaku merasa jera untuk membayar sejumlah
uang dan mengganti kerusakan atas terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut.
Salah satu poin yang dikemukakan oleh Susan Sharpe ialah Restorative Justice
memberikan pertanggung jawaban penuh dari pelaku secara utuh. Pemberian
pertanggung jawaban yang diberikan oleh pihak pelaku tersebut biasanya diiringi
oleh pulihnya kesadaran dari pihak korban untuk tidak mempermasalahkan tindak
pidana tersebut ke jalur hukum. Proses dari pemberian ganti rugi yang dilakukan
pelaku kecelakaan lalu lintas disamping untuk mengganti penderitaan yang
berdampak pada korban juga diharapkan untuk menggugurkan tindak pidana tersebut
agar tidak diproses melalui hukum pidana konvensional.
Dalam proses acara pidana konvensional apabila telah terjadi perdamaian antara
pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut
tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan
perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang
pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan
kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun
memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice
menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung
dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan
korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak
mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa
yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi
dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan
tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima
pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Proses pelaksanaan pendekatan restorative justice tersebut biasanya terjadi
secara spontan baik dari pihak pelaku, korban dan juga masyarakat yang
mengharapkan permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan
dan secara singkat tanpa harus melibatkan penegak hukum. Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi kerugian baik waktu ataupun material dari masing-masing pihak
yang bertikai.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai
perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam
praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan
tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana,
diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai
sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas
pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak
pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut.
Hubungan pemberian ganti rugi atas penderitaan korban dalam perkara
kecelakaan lalu lintas dan kaitannya dengan restorative justice inilah yang diharapkan
sebagai salah satu pilihan dalam pemidanaan terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas
sebelum pemidanaan yang konvensial di pengadilan. Ganti rugi dari pihak pelaku
diharapkan dapat menyembuhkan kesan luka baik lahir dan bathin yang diderita oleh
korban kecelakaan lalu lintas.
Selain daripada itu pemberian ganti rugi yang dimaksudkan sebagai iktikad
baik oleh pelaku kecelakaan dapat meringankan sanksi pidana yang dijatuhkan
kepadanya. Pemberian ganti rugi yang merupakan unsur restorative justice ini
menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana untuk
memberatkan atau meringankan pemidanaan kepada pelaku.
C. Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Pemberian Ganti Rugi Berdasarkan
Prinsip Restorative Justice
Kecelakaan lalu lintas sebagaimana dijelaskan adalah perkara yang tidak dapat
diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dan juga manusia.Kecelakaan
lalu lintas sendiri merupakan peristiwa yang kerap kali terjadi di masyarakat. Hal ini
dibuktikan dengan data Korps Lalu Lintas Mabes Polri hingga September 2015
dengan jumlah kecelakaan lalu lintas mencapai 23.000. Sedangkan masih banyak lagi
kecelakaan lalu lintas yang terjadi tetapi luput dari pantauan petugas kepolisian yang
disebabkan kurangnya informasi dan juga adanya sifat enggan dari para pihak untuk
menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut sampai ke jalur hukum. Alas an
dari para pihak tersebut tidak lain dan tidak bukan karena masih adanya dogma di
masyarakat yang menggambarkan bahwa kecelakaan lalu lintas yang tidak
menimbulkan korban jiwa dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Selain itu
ada juga yang berpikiran bahwa perkara kecelakaan lalu lintas apabila masuk sampai
ke kepolisian akan mengalami proses yang lama dan juga berbelit-belit dengan
mengatasnamakan penegakan hukum.
Penegakan hukum (law enforcement) merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan
konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum
merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.80
Hubungan antara penegakan hukum dengan prinsip restorative justice dalam
permasalahan tindak pidana kecelakaan lalu lintas sebenarnya sangatlah erat. Prinsip
restorative justice yang mengedepankan pemecahan masalah dengan cara
memperbaiki akar dari permasalahan tersebut tanpa harus memberikan sanksi formil
kepada pelaku dari kecelakaan lalu lintas itu sendiri dianggap dapat mengobati
ataupun memperbaiki hukum dengan lebih lugas dan cepat. Penerapan restorative
justice yang seperti ini maksudnya ialah membantu penyelesaian permasalahan
hukum yang terjadi di masyarakat dengan cara yang sederhana dan bersifat
kekeluargaan. Sementara itu prinsip yang dipakai dalam restorative justice sangat
berbanding terbalik dengan proses hukum yang formal dalam keadilan hukum yang
nyata di Indonesia yang sangat ribet, mulai dari terlalu mahal, terlampau lama
prosesnya, tidak menyelesaikan masalah dan yang lebih parah lagi ialah keadilan di
Indonesia sarat dengan praktik kecurangan mulai dari korupsi, kolusi dan juga
nepotisme. Salah satu cara dari prinsip restorative justice ialah pemberian ganti rugi
dari tersangka kepada korban. Pemberian ganti rugi kepada korban dimaksudkan
untuk mengobati penderitaan yang dirasakan akibat dari kecelakaan lalu lintas.
Wujud penyelesaian dalam permasalahan hukum yang berkaitan dengan tindak
pidana kecelakaan lalu lintas sendiri telah diatur secara khusus dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
80
Shant Dellyana. 1998. Konsep Penegakan Hukum. Liberty. Yogyakarta. Hal.32
Penyelesaian kecelakaan lalu lintas yang merunut pada Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengedepankan proses
penindakan yang berlandaskan pada ius constitutum. Proses penindakan
permasalahan tersebut ialah dengan pelaksanaan oleh aparat penegak hukum yang
berwenang dalam memeriksa, mengidentifikasi selanjutnya menuntut dan memutus
perkara tersebut. Aparat penegak hukum yang berwenang dalam mengatasi
kecelakaan lalu lintas ialah:
1. Kepolisian Republik Indonesia;
2. Kejaksaan;
3. Pengadilan;
4. Advokat;
Kewenangan para aparat penegak hukum tersebut dalam mengatasi
penyelesaian kecelakaan lalu lintas tidak berbeda sama sekali dengan aturan yang
berlaku di dalam KUHAP dan juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam praktiknya, konsep restorative justice yang
berkaitan dengan tindak pidana kecelakaan lalu lintas terjadi secara spontan dan
fleksibel. Spontan disebabkan baik dari pihak korban dan tersangka merasa perkara
tindak pidana tersebut lebih baik dan efisien diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
Sementara fleksibel karena sifatnya yang berupa mediasi dari kedua belah pihak
dalam menyelesaikan perkara tersebut.
Pemberian ganti rugi terhadap korban tindak pidana kecelakaan lalu lintas
sendiri dalam praktiknya, tidaklah memerlukan peran-peran daripada aparat penegak
hukum. Pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas sendiri biasanya
terjadi dengan sendirinya dimana para pihak baik tersangka dan korban melakukan
duduk perkara bersama keluarga masing-masing pihak dan membahas mengenai ganti
rugi dan santunan yang akan diberikan dengan melibatkan beberapa tokoh
masyarakat ataupun mediator yang bersedia untuk menyelesaikan perkara lalu lintas
dengan jalan damai dan bersifat pada keadilan yang restoratif.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan tentang ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas
menurut hukum positif Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang termuat dalam
pasal 240 huruf b yang mengharuskan pihak yang menyebabkan kecelakaan
lalu lintas bertanggung jawab terhadap ganti kerugian tersebut. Ganti
kerugian dalam perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut dapat
dikaitkan dengan pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan
Hukum yang melibatkan harta benda dengan pertimbangan hakim yang
merunut dalam pasal 98 KUHAP tentang penggabungan perkara perdata dan
pidana dalam suatu persidangan.
2. Status pihak terkait dalam perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas
setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya
tetaplah tidak mengalami perubahan. Setiap pihak terkait yang menjadi
tersangka dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang perkaranya
berlanjut sampai ke pengadilan tetap diadili dengan aturan dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pemberian ganti rugi oleh pihak terkait kepada korban dari tindak pidana
kecelakaan lalu lintas sendiri berfungsi sebagai pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara tersebut menjadi lebih ringan. Perkara tindak pidana
kecelakaan lalu lintas sendiri lebih sering menggunakan prinsip restorative
justice yang berlangsung dengan cepat dan fleksibel.
3. Peran aparat penegak hukum dalam pemberian ganti rugi terhadap tindak
pidana kecelakaan lalu lintas adalah sebagai mediator. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya peran dari polisi dan juga hakim yang berpartisipasi agar
pihak tersangka dan korban atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas baik
sebelum tindak pidana tersebut diadili baik dalam bentuk formal di
pengadilan atau non-formal dengan pendekatan restorative justice.
B. Saran
1. Pengaturan ganti rugi terhadap korban tindak pidana kecelakaan lalu lintas
sebaiknya dibuat lebih terperinci karena dalam pelaksanaannya ganti rugi
dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas lebih efektif mengadili para
pengendara kendaraan bermotor dan perusahaan penyedia jasa angkutan
dibandingkan dengan pemidanaan terhadap pelaku yang bertanggung jawab
atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut. Pemidanaan terhadap
pelaku kecelakaan lalu lintas dengan menjebloskannya ke penjara sama
sekali tidak memberikan efek jera, sebab pelaku tersebut merasa keadilan
tidak berpihak kepadanya. Sedangkan kecelakaan lalu lintas sendiri ialah
musibah yang sama sekali tidak diinginkan oleh masing-masing pihak.
Sementara itu terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kecelakaan
lalu lintas yang tidak terjadi secara disengaja dengan tindakan yang secara
sengaja menabrakkan kendaraannya pada pengguna jalan raya yang lain.
2. Status pihak terkait dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidak
langsung diadili di tingkat formal dalam hukum positif Indonesia yang
mengacu pada pengadilan negeri. Sejatinya, diharapkan diperbaharuinya
undang-undang yang mengatur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
bersifat restoratif dalam menindak pihak terkait yang menyebabkan
kecelakaan lalu lintas dibandingkan dengan penindakan yang menuntut
keadilan setegak-setegaknya tanpa melihat hal-hal yang sifatnya manusiawi
dan kealpaan.
3. Peran aparat penegak hukum selaku pengawal keadilan lebih ditingkatkan
pada fungsi yang bersahaja dan sejahtera bagi masyarakat. Peran aparat yang
dekat dengan masyarakat diharapkan dapat membenahi dogma-dogma
terhadap pihak aparat penegak hukum yang sarat akan arogansi, penuh
dengan kesewenang-wenangan dan maraknya praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Agustina, Rosa, (2003), Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas
Indonesia, Jakarta
Atmasasmita, Romli, (1992), Tindak Pidana, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi,
PT. Eresco, Bandung
Chazawi, Adami, (2001), Pembelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Dellyana, Shant. (1998), Konsep Penegakan Hukum. Liberty, Yogyakarta
Ekaputra, Muhammad, (2013), Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press,
Medan
Erwina, Liza, (2012), Ilmu Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan,
Gosita, Arif, (1993), Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,
Huda, Chairul, (2006), Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa kesalahan, Prenada Media, Jakarta
Huda, Ni’matul, (2005), Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,
Yogyakarta,
Kansil, C.S.T., (2002), Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta
Kanter, E.Y., dan S.R Sianturi, (2002), Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta
Marpaung, Leden, (1991), Unsur- Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik),
Sinar Grafika, Jakarta
Marpaung, Leden, (1997), Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam
Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Moeljatno, (1982), Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta
Muladi, (1997), Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan
Penerbit Universita Diponegoro, Semarang,
P.A.F. Lamintang, (1984), Dasar-Dasar Hukum Pidana Idomesia, Sinar Baru,
Bandung
Prodjodikoro, Wirjono, (1981), Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco
Jakarta
---------------, ---------, (2003), Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung
Soekanto, Soerjono, (2005), Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta
Sofyan, Andi, dan Abd. Asis, (2014), Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar,
Kencana, Jakarta
Sudarto, (1981), Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung
---------, (1990), Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang
Sunggono, Bambang, (2011), Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Suparni, Niniek, (2007), Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan
Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta
Sutadi, Marianna (1992), Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas,
Mahkamah Agung RI
Tongat, (2002), Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif
Pembaharuan, UMM Press, Malang
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Dasar Negara Republik Indosesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi Dan Korban
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 1962 Tentang Sumbangan Wajib Istimewa Tahun 1962 Atas Kendaraan
Bermotor
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan
Hidup
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
Kitab Undang-Undang Republik Indonesia Hukum Acara Pidana
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat
Dakwaan
C. Jurnal Dan Skripsi
Lilis Atikah, “Disparitas Pemidanaan Dalam Perkara M.Rasyid Amrullah Rajasa
Dan Muhammad Dwigusta Cahya Ditinjau Dari Pendekatan Sistem
Restorative Justice”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Pasundan,
Bandung, 2016
D. Website
www.repository.usu.ac.id.
https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/960
http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1415
http://www.merdeka.com/otomotif/hingga-september-2015-ada-23-ribu-kasus-
kecelakaan-di-indonesia.html
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/4/11/06/nem9nc-indonesia-urutan-
pertama-peningkatan-kecelakaan-lalu-lintas
http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html
http://www.seputarpengetahuan.com/2014/09/ciri-ciri-negara-hukum-menurut-para-
ahli-hukum.html
http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html
http://www.lbh-apik.or.id/penyelesaian-95-seri-55-penggabungan-perkara-gugatan-
ganti-kerugian-pada-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan.html
http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/
https://www.jasaraharja.co.id/tentang-kami/sejarah
http://patuhorangindonesia.blogspot.co.id/2013/08/pertanggungjawaban-pidana-
pada.html
http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/
http://www.damang.web.id/2012/01/restorative-justice.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-
justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-