Post on 09-Jan-2023
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dan Praktik Pengembangannya di MAN Insan Cendekia
Yudhi Fachrudin 2112011000010
PENDAHULUAN
Semenjak kran demokrasi, desentralisasi dan otonomi daerah dibuka sesuai UU No.
22 tentang Pemerintah Daerah. Pendidikan satu bagian yang merasakan itu maka kewenangan
dan tanggung jawab pemerintah daerah meningkat dalam menentukan maju dan mundurnya
pendidikan. Pemerintah daerah bertanggung jawab mulai dari perumusan kebijakan daerah,
perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring di daerah masing-masing
sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah.
Manajemen berasaskan sekolah sebagai paradigm baru pengembangan yang
berorientasi pada kebutuhan sekolah dan kebutuhan daerah masing-masing. Kebijakan
Bottom-up policy, yaitu kebijakan yang diprakarsai oleh setiap sekolah dan daerah. Sebuah
pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk
mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas.
Sekilas makalah ini memuat tentang konsep, tujuan, strategi pengembangan
manajemen berbasis sekolah, sekilas mendeskripsikan pengalaman MBS di Negara-negara
lain. Adapun praktiknya sekilas menggambarkan pengalaman MAN Insan Cendekia Serpong
dalam mengembangkan dan mengelola MBS di lembaga pendidikannya.
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
1. Sejarah Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah atau School Based Management pertama
kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi
pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat1. Diawali
dengan dibentuknya Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association,
NEA) pada 1887. Guru-guru di New York membentuk asosiasi kepentingan bersama
dan asosiasi yangsama didirikan di Chihago, pada 1903 guru-guru Philadelphia
membentuk organisasi asosiasi Guru-guru Philadelpia (Philadelphia Teachers
Associations). Selain di Amerika, Manajemen berbasis sekolah telah dilakukan di
beberapa Negara lainnya, seperti Kanada dikenal pendelegasian finansial (financial
delegation), Hongkong, inisiatif manajemen sekolah (School Management Initiative),
di Inggris sekolah-sekolah pengelola dana bantuan dan manajemen lokal (grant-
maintaned schools and localized management), dan Australia anggaran lokal dan
keterlitabatan masyarakat (local budgeting and community involvement)2.
2. Pengertian Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang
sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Dengan proses yang berkesinambungan yang melibatkan fungsi-fungsi
pokok manajemen yang berlaku, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pembinaan.
Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Sesuai hasil Balitbangdikbud (1991) menunjukkan bahwa
manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
pendidikan. Manajemen sekolah secara langsung mempengaruhi dan menentukan
efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses
pembelajaran.
1 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Rosdakarya, 2006), cet. 10, hal. 11
2 Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management, terj (Jakarta: Logos, 2002), cet.1, hal. 37
Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem
sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi segala sesuatu yang berkenaan dengan
penelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara
system desentralisasi. Wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah
daerah. Pelaksanaannya merupakan bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal).
Implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih
besar diberikan kepada kabupaten dan Kota untuk mengelola pendidikan sesuai
dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, perubahan kelembagaan untuk memenuhi
kebuhan dan meningkatkan eisiensi serta efektivitas dalam perencanaan dan
pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah. Kepegawaian sumber daya manusia yang
menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber yang menekankan pada
profesionalisme, serta perubahan-perubahan anggaran pembangunan pendidikan3.
3. Pengertian Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Manajemen berbasis sekolah (MBS) terjemahan “School-Based Management”. Istilah
ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan
relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS
merupakan paradigm baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat
sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi
diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumberdana dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap
kebutuhan setempat.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupaka inti dari MBS yang dipandang
memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan;
1. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada
peserta didik, orang tua dan guru
2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya local
3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
3 Ibid, Manajemen Berbasis Sekolah…, hal. 22-23
4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,
manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan4.
Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai
keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang ditunjuan
dengan pernyataan politik daam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). MBS
menjadi alternative suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk
menentukan kenijakan sekolah dalam rangka menigkatkan mutu, efisiesi dan pemerataan
pendidian agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin
kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Partisipasi masyarakat
di tuntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan
pendidikan. Dalam konsep ini sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi,
baik kepada orang tua, masyarakat maupun pemerintah5.
Brian J. Caldwell dalam bukunya The Self Managing School mendefinisikan Self-
managing school as one for which there has been significant and consistent delegation to
the school level of authority to make decisions related to the allocation of resources
(knowledge, techonology, power, materiel, people, time and finance). Sementara dalam
bukunya yang lain School Based Management, mengartikan School-based management is
the systematic decentralization to the school level of authority and responsibility to make
decisions on significant matter related to school operations within a centrally determined
framework of goals, policies, curriculum, standars, and accountability6. Manajemen
berbasis sekolah adalah desentralisasi yang sistematis dengan memberikan
kewewenangan kepada sekolah untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan
kegiatan operasional yang meliputi tujuan pendidikan, kebijakan, kurikulum, standar-
standar, dan akuntabilitas.
BPPN dan Bank Dunia (1999) memberi pengertian bahwa MBS merupakan alternatif
sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan yang ditandai oleh otonomi
luas di tingkat sekolah partisipasi masyarakat dan dalam kerangka kebijakan pendidian
nasional. Otonoi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan
mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat setempat.
4 Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2000), cet. 2, hal. 53.
5 Ibid, Manajemen Berbasis Sekolah…, hal. 11-12
6 Brian J. Caldwell, School Based Management, (Paris: UNESCO, 2005), hal. 3
A Malik Fadjar dalam kata pengantar buku School-Based Management, secara
konseptual MBS dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk mengelola
struktur penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah
sebagai unit utama peningkatan. MBS merupakan cara memotivasi kepala sekolah lebih
bertanggung jawab terhadap kualitas peserta didik. Karena perlu mengembangkan
program-program kependidikan untuk melayani kebutuhan peserta didik di sekolah. Di
Indonesia MBS diposisikan sebagai kritik aas penyelenggaraan pendidikan yang selama
ini tersentralisasi. Dimana ranah kemandirian manajemen kelembagaan, kepemimpinan,
pengembangan institusional, pengembangan kurikulum, penyedian sumber belajar,
alokasi sumber daya, dan terutama untuk membangun partisipasi masyarakat untuk ikut
memiliki sekolah. Peningkatan pengaruh sekolah, perlu dukungan dari stakeholder
meliputi; pemerintah daerah, komite sekolah (kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan
tokoh masyarakat) serta siswa. Pengambilan keputusan bersama di kalangan stakeholder
pada level sekolah merupakan kunci utama dalam melaksanakan MBS.
Konsep MBS layaknya dipahami sebagai rangkaian usaha; a. mendesentralisasi
organisasi, manajemen dan penyelenggaraan pendidikan. b. memberdayakan infastruktur
yang ada sesuai dengan kebutuhan para peserta didik. c. menciptakan peran dan tanggung
jawab baru bagi para pelaku sisem MBS, dan d. mentransformasikan proses belajar-
mengajar secara optimal7.
Dalam bentuk sederhana, MBS menggambarkan suatu kumpulan praktik di mana
semakin banyak orang di tingkat sekolah membuat keputusan-keputusan bagi sekolah.
MBS sering mulai dengan suatu pendelegasian kewenangan-kewenangan tertentu dari
Kantor pusat ke sekolah-sekolah yang mungkin mencakup serangkaian kewenangan dari
beberapa bidang terbatas ke hampir segala sesuatu8.
MBS merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada
sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta
didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah meningkatkan kinerja
para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pendidikan. Prof. Armai Arief
menegaskan pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali,
mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan
pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Adapun
7 Ibid, School-Based Management, terj…, hal. xviii
8 Ibid, School-Based Management, terj…, hal. 18
komponen-kompenen manajemen dalam MBS; Manajemen kurikulum dan program
pengajaran, manajemen tenaga pendidikan, manajemen kesiswaan, manajemen keuangan
dan pembiayaan, manajemen sarana dan prasarana pendidikan, dan manajemen hubungan
sekolah dengan masyarakat9.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, Manajemen Berbasis Sekolah adalah otonomi
sekolah dengan memberi kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengelola sumber
daya sekolah, sepert sumber daya manusia, sumber Dana, sarana dan prasarana, serta
partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dengan arti lain, manajemen berbasis sekolah sebagai satu proses kerja inovasi dalam
komunitas sekolah dengan menerapkan beberapa kaidah otonomi, akuntabilitas, dan
partisipasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu di lingkungan
sekolah.
4. Tujuan dan Manfaat MBS
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada,
partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui
partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru,
adayan hadiah dan hukuman sebagai kontrol serta hal lain yang dapat
menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Peningkatan pemerataan antara lain
diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih
berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
Nursisto menambahkan tujuan MBS; meninggkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayaan sumber daya yang
tersedia. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada
orang tua, masyarakat, pemerintah tentang mutu sekolahnya. Meningkatkan kompetensi yang
sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang dicapai10
.
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas. MBS dimaksudkan
sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Perwujudannya ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan
Kabupaten/Kota.
9 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet. 1, hal. 72
10 Nursisto, Peningkatan Prestasi Sekolah Menengah; Acuan Siswa, Pendidik dan Orangtua, (Bandung: Insan
Cendekia, 2002), cet. Ke-1, h. 140
Manfaat MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab
pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat,
sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebi berkonsentrasi pada
tugas.
Manfaat yang lain MBS menekankan keterlibatan banyak pihak sehingga menjamin
partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam
perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi dapat
meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah yang berpengaruh pada efektivitas
dalam pencapaian tujuan sekolah11
.
5. Karakteristik MBS
Karakteristik MBS mengetahui bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja
organisasi sekolah, proses belajar-mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan
pengelolaan sumber daya administrasi.
Ciri-ciri MBS yang dirumuskan BPPN dan Bank Dunia (1999), mengutip dari Focus on
School: the Future Organisation of Education Service for Student, Departement of
Education, Australia (1990) dalam Mulyasa (2006)
Organisasi Sekolah Proses belajar
mengajar
Sumber daya
manusia
Sumber daya dan
Administrasi
Menyediakan
manajemen
organisasi
kepemimpinan
transformasional
dalam mencapai
tujuan sekolah
Meningkatkan
kualitas belajar
siswa
Memberdayakan
staf dan
menempatkan
personel yang dapat
melayani keperluan
semua siswa
Mengindentifikasikan
sumber daya yang
diperlukan dan
mengalokasikan suber
daya tersebut sesuai
dengan kebutuhan
Menyusun rencana
sekolah dan
merumuskan
kebijakan untuk
sekolah mandiri
Mengembangkan
kurikulum yang
cocok dan tanggap
terhadap kebutuhan
siswa dan
Memilih staf yang
memiliki wawasan
manajemen
berbasis sekolah
Mengelola dana
sekolah
11
Ibid, Manajemen Berbasis Sekolah…, hal. 26
mayarakan sekolah
Mengelola kegiatan
operasional sekolah
Menyelenggarakan
pengajaran yang
efekif
Menyediakan
kegiatan untuk
pengembangan
profesi pada semua
staff
Menyediakan
dukungan
administrasi
Menjamin adanya
komunikasi yang
efektif antara
sekolah/dan
masyarakat terkait
(school
community)
Menyediakan
program
pengembangan yang
diperlukan siswa
Menjamin
kesejahteraan staf
dan siswa
Mengelola dan
memelihara gedung
dan sarana lainnya
Menjamin akan
terpeliharanya
sekolah yang
bertanggung jawab
(akuntabel kepada
masyarakat dan
pemerintah)
Program
pengembangan yang
diperlukan siswa
Kesejahteraan staf
dan siswa
Memelihara gedung
dan sarana lainnya
Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh
Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1996:6-7)
dituliskan beberapa indikator yang menjadi karakteristik dari konsep MBS, sebagai berikut12
;
1. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
2. Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai
3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat
4. Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf
lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi
5. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK
12
Amiruddin Siahaan, dkk, Manajemen Pendidikan berbasis Sekolahan, (Ciputat: Quantum Teanching, 2006),
cet.1, hal. 33
6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik
dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau
perbaikan mutu
7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat
lainnya.
6. Prinsip-prinsip MBS
a. Komitmen kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat
dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBS
b. Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental untuk ber-MBS
c. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak
d. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang
efektif
e. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti
tentang pendidikan
f. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan
keputusan program pendidikan dan kurikulum
g. Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam
membuat keputusan pengalokasian dana
h. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders
sekolah13
13
Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, cet. 1, hal.
574
7. Strategi dan Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan MBS
Berbagai lingkup strategi yang ditawarkan oleh manajemen pendidikan sekolah, diantaranya;
a. Kurikulum yang bersifat inklusif,
b. Proses belajar mengajar yang efektif.
c. Lingkungan sekolah yang mendukung,
d. Sumber daya yang berasasskan pemerataan, dan
e. Standarisasi dalam hal-hal tertentu, monitoring, evaluasi, dan tes.
Dengan adanya strategi tersebut, maka fungsi sekolah harus memperhatikan beberapa
faktor berikut; 1. Manajemen/organisasi/kepemimpinan, 2. Proses belajar mengajar, 3.
Sumber daya manusia, 4. Administrasi sekolah14
.
Mulyasa menyebutkan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi MBS; Faktor yang
berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua
dan masyarakat, peranan dan manajerial, serta pengembangan profesi.
Dalam praktiknya MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan
berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan
memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan system dan menghilangkan
birokrasi yang tumpah tindih. Sekolah juga dituntut kemandirian dan kreativitas sekolah dala
mengelola pendidikan dan pembelajaran di balik otonomi yang dimilikinya. Sekolah juga
harus mampu mencermati kebutuhan peserta didik yang bervariasi, keinginan staf yang
berbeda, kondisi lingkungan yang beragam, harapan masyarakat yang menitipkan anaknya
pada sekolah tersebut, serta tuntutan dunia kerja untuk memperoleh tenaga yang produktif,
potensial, dan berkualitas.
MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk melakukan
inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran,
manajeril dan sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesioalisme yang
dimiliki pelibatan masyarakat dalam Dewan sekolah di bawah monitoring pemerintah,
mendorong sekolah untuk lebih terbuka, demokratis, dan bertanggung jawab. Pemberian
kebebasan yang luas memberi kemungkinan kepada sekolah untuk dapat menemukan jati
dirinya dalam membina peserta didik, guru, dan petugas lain yang ada di lingkungan
sekolah15
.
Sementara menurut Sudarman Danim, MBS menuntut keterlibatan tinggi sumber daya
sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha), sumber daya masyarakat (orangtua murid,
14
Amiruddin Siahaan, dkk, Manajemen Pendidikan berbasis Sekolahan.., hal.28 15
E. Mulyasa, M.Pd, Manajemen Berbasis Sekolah.., hal. 13-14
anggota masyarakat, penyandang Dana, tokoh-tokoh masyarakat, unsur pimpinan desa), unit
struktur di atasnya dan siswa. Dan sumber daya pemerintah dan masyarakat. Ketiganya
merupakan tripartite yang saling membahu membangun sebah sosok sekolah yang ideal.
Keterlibatan yang intensif dan ekstensi itu adalah kondisi paling tepat bagi terciptanya fungsi
layanan keorganisasian sekolah dalam hal, seperti produksi pengetahuan (knowledge
production), perubahan lingkungan (changing environment), penyelesaian tugas yang
kompleks (complex job), kemantapan pembuatan keputusan (decision making), dan
interpedensi tugas di dalam organisasi sekolah16
.
Manajemen Berbasis Sekolah terkait dengan perubahan-perubahan pola manajemen dalam
pendidikan17
No Pola Lama Pola Baru
1 Subordinasi Otonomi
2 Pengambilan Keputusan terpusat Pengambilan keputusan partisipatif
3 Ruang gerak kaku Ruang gerak luwes
4 Pendekatan Birokratif Pendekatan Profesional
5 Sentralisasi Desentralisasi
6 Diatur Motivasi diri
7 Over regulasi Deregulasi
8 Mengontrol Mempengaruhi
9 Mengarahkan Memfasilitasi
10 Menghindari resiko Mengelola resiko
11 Gunakan uang semuanya Gunakan uang seefisien mungkin
12 Individual yan cerdas Teamwork yang cerdas
13 Informasi terpribadi Informasi terbagi
14 Pendelegasian Pemberdayan
15 Organisasi hierarkis Organisasi datar
16
Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., (Jakarta: RemajaRosdakarya, 2008), Cet. 2, hal. 202 17
Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, www.depdiknas.go.id diakses pada Selasa, 4 April
2013.
B. Pengalaman Model MBS di Beberapa Negara
Di Amerika Serikat, MBS merupakan sebuah strategi baru yang paling popular
yang muncul sebagai gerakan reformasi sekolah (school reform movement) pada
tahun 1980-an. Dalam hal ini, Sekolah memiliki kewenangan untuk mengelola
anggaran, kurikulum, dan keputusan mengenai personel. Sejalan dengan kebijakan
distrik, sekolah mendorong kebijakan itu secara antusias18
.
Di Amerika semua sekolah telah melakukan MBS, meski sebagian masih
mempraktikkan peran terbatas. Seperti di tulis oleh Wohlstetter & Odden (1992),
“Past research has shown that MBS is everywhere and nowhere”. Disebut everywhere
karena seluruh sistem sekolah (system of school) di seluruh negeri telah menerapkan
atau terlibat di dalam MBS. Disebut nowhere karena perluasan tanggung jawab
pembuatan keputusan (decision making responsibility) di tingkat sekolah masih
cenderung terbatas atau dibatasi. Berdasarkan penelitian di Amerika mengenai kinerja
sekolah yang telah berhasil menerapkan MBS terutama di bidang penganggaran.
Sementara di Distrik lain tengah mengaplikaskan MBS dengan mengombinasikan
reformasi kurikulum dan pembelajaran walaupun ada keragaman mengenai sistem
bimbingan penerapan19
.
Di Selandia Baru dimulai dengan reformasi administrasi yang kemudian
diikuti dengan reformasi sektor pedagogis, berupa komitmen untuk memperkuat
pencapaian tujuan kurikulum nasional dan mengembangkan muatan lokal. Dikenal
istilah “Sekolah Masa Depan” (Tomorrow’s Schools), dan “Sekolah Khusus” (Charter
Schools).
Di Meksiko, pembayaran gaji guru berhasil dilakukan secara tepat waktu
setelah kebijakan desentralisasi pendidikan berjalan empat tahun. Brasil berhasil
membangun tatanan desentrasilisasi pendidikan yang ditandai dengan peningkatan
prestasi belajar siswa. Di Cile, secara pedagogis desentralisasi pendidikan
menunjukkan kemajuan berarti, meski mengalami pasang surut dan angka partisipasi
pendidikan yang cenderung menurun.
Di Burkina Faso, desentralisasi pendidikan menyebabkan pembengkakan
biaya langsung (direct cost) dan biaya kesempatan (opportunity cost) sehingga angka
putus sekolah meningkat drastis. Di Argentina, hal ini pun mengalami kegagalan yang
ditandai dengan gagalnya pelimpahan masalah fiscal akibat tidak ada dukungan dari
18
Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 35 19
Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management.., terj, hal. 4
pejabat kependidikan dan serikat guru. Di Venezuela juga gagal menerapkan
desentralisasi pendidikan akibat tidak mendapat dukungan finansial dari pejabat
daerah. Di Negara Spanyol, Kolombia dan Zimbabwe penerpan desentralisasi
pendidikan hanya berhasil dilihat dari persfektif politis, lemah dalam peningkatan
mutu. Papua Nugini pun merupakan contoh lain dari Negara yang gagal menerapkan
biaya operasi akibat menggelambungnya struktur dan perangkat organisasi di
daerah20
.
Di Inggris dan Wales, corak reformasi diartikulasikan dengan pakem
“Manajemen Lokal Sekolah” (Local Management of Schools), “Sekolah Pengelola
Dana Bantuan” (Grant-Maintained Schools) sebagai bagian dari Undang-Undang
Reformasi Pendidikan Inggris 1998 dan 1993.
Di Kanada MBS dipraktikan di Distrik Sekolah Negeri Edmonton di Alberta,
di mana pendekatan yang biasanya dikenal dengan “pembuatan keputusan di
lingkungan sekolah” (school-site decision-makin), telah menghasilkan desentralisasi
alokasi beberapa sumberdaya bagi staf pengajar dan non-pengajar, peralatan,
perbekalan dan pelayanan “pendelegasian finansial”. Dengan percobaan di tujuh
sekolah pada pertengahan 1970-an membuka jalan untuk adopsi sistem secara luas
dari pendekatan manajemen mandiri yang komprehensif pada 1980-1981 yang kini
terlembagakan21
. Pada 1994, Alberta merancang untuk memulai suatu restrukturisasi
besar sistem adalah untuk melegislasikan beberapa reformasi pendidikan secara luas
yang menghasilkan sebuah Kantor pusat Departemen Pendidikan yang lebih
sederhana dan pengurangan jumlah sekolah distrik dari 140 menjadi 60, termasuk
pelimpahan kewenangan ke tingkat sekolah.
Sementar di Australia, terutama Negara bagian Victoria, dikenal “Sekolah
Masa Depan” (the Schools of the future) dan “Sekolah Unggulan” (Better Schools) di
Australia Barat. Disini ada titik tekan pendelegasia pada aspek keuangan dan alokasi
sumberdaya kepada sekolah-sekolah, seperti yang sudah berjalan di Edmonton,
Kanada. Istilah yang digunakan “Pendanaan Berbasis Sekolah” (School-Based
Budgeting) telah digantikan dengan “Pengambilan Kebijakan Berbasis Sekolah”
(School-Based Decision-Making)22
.
20
Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 164 21
Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management.., terj, hal. 30 22
Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management.., terj, hal. 3
Meskipun demikian tidak menutup mata dari hambatan-hambatan yang
membatasi pada tingkat pembuat keputusan. Berdasarkan pengalaman di Australia,
Brown (1990) menulis, “Central office administrators tend to be the most prominent
among groups that work against the implementation of decentralization. They may
experience role confusion, lack of security, and a diminished sense of authority”.
Maka dalam pengembangan MBS Dalam konteks kita, hambatannya bukan tidak
mungkin datang dari Dinas Diknas Kabupaten/Kota sendiri yang cenderung bekerja
bertolak belakang dengan spirit desentralisasi23
. Pihak berkuasa ini merasa bingung
pola kerja yang harus dijalankan, merasa kurang aman, dan sepertinya akan merasa
terancam kekuasaannya, ketakutan akan kehilangan otonomi, penambahan pekerja
baru, dan adanya intervensi orang tua. Padahal MBS memiliki tiga nilai positif;
efisiensi administrasi, keefektifan pendidikan dan keterlibatan partisipan24
.
Di Hongkong MBS dikenal dengan Inisiatif Manajemen Sekolah (IMS).
Sistem sekolah terdiri dari tiga faktor yang berbeda: sekolah negeri, sekolah
bersubsidi, dan sekolah swasta. Sektor terbesar adalah sekolah bersubsidi. Sektor ini
menyediakan 80% tempat, sedangkan sekolah negeri dan swasta masing-masing
menyediakan hanya 7 dan 13%. Reformasi pendidikan yang pertama dipusatkan pada
perluasan system, dan peningkatan fasilitas belajar-mengajar.
C. Pengalaman MBS di Indonesia.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas Pasal 51 ayat (1) “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah” dan Undang-Undang Otonomi
daerah Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 yag disempurkan menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, telah mengubah segala
peraturan dari yang bersifat sentralistik (top down) menjadi desentralistik25
.
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, sebagaimana tertuang dalam Bab VIII mengenai Standar Pengelolaan
pada Pasal 49 ayat 1 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, menjelaskan
23
Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 64 24
Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 140 25
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. 2, hal. 265
bahwa pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan sekolah dasar dan
menengah adalah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukan dengan
kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Kemudian
Pemerintah melakukan penguatan dengan mengeluarkan peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
Oleh satuan Pendidikan Dasar dan Menengah itu meliputi beberapa hal, diantaranya;
perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja, pengawasan dan evaluasi,
kepemimpinan sekolah, system informasi manajemen, dan penilaian khusus26
.
Dengan lahirnya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, idealnya
pemerintah telah mendukung sekolah agar mampu mengelola sekolahnya secara
mandiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini agar menjadi lebih baik
dan berkualitas serta mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia di
dunia.
D. Pengalaman Otonomi Pendidikan MAN Insan Cendekia Serpong
Sekilas profil MAN Insan Cendekia (MAN IC) adalah sebuah Madrasah Aliyah Negeri
setingkat Sekolah Menengah Atas berasrama. Sekolah berada di Jl. Cendekia, BSD Sektor XI No.1,
Serpong, Tangerang –Banten. Sekolah yang didirikan oleh Prof. Dr. -Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie
melalui BPPT ini menerapkan prinsip keseimbangan antara penguasan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan iman dan taqwa. Berdiri tahun 21 September 1996, sejak tahun 2001, dengan SK
Menteri Agama RI, Nomor 490 Tahun 2001 MA Insan Cendekia Serpong berubah menjadi Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong27
.
Pola praktik MBS di MAN Insan Cendekia dapat kita baca dalam Pedoman Manajemen
MAN Insan Cendekia Serpong. Dengan menggunakan konsep Caldwell dan Spinks. Kita bisa
melihat keotonomian yang terjadi dalam proses pengembangan dan penyelenggaraan
pendidikan di MAN IC.
1. Pengetahuan (Knowledge): desentralisasi keputusan berkaitan dengan kurikulum,
termasuk keputusan mengenai tujuan dan sasaran pendidikan
Layaknya tahapan dalam pengelolaan manajemen kurikulum; pertama, tahap
perencanaan, kedua, Tahap pengorganisasian, ketiga, tahap pelaksanaan, dan keempat
tahap pengendalian. Di MAN Insan Cendekia memuat hal tersebut.
Sebagaimana terlihat dalam alur pembuatan kurikulumnya;
26
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),
cet.4, hal.17-18 27
sumber http://ic.sch.id/, di akses pada 4 April 2013
Kurikulum versi MAN Insan Cendekia disusun oleh sebuah komisi bidang
kurikulum yang bertugas merancang dan merumuskan kurikulum. Dalam pola
kerjanya, komisi kurikulum ini dibantu oleh satu Tim yang terdiri dari para pakar,
kepala madrasah, dan wakil kepala madrasah yang menghasilkan dokumuen I.
Dokumen I merupakan acuan bagi semua bagi semua guru-guru dalam merumuskan
kurikulum. Dokumen I itu berisi visi, misi, tujuan, kurikulum muatan local dan
pengembangan diri. Semua yang disusun oleh guru-guru harus mengacu pada hasil
rumusan dokumen I.
Kurikulum yang ada di MAN dikemas dalam beberapa bentuk; a. struktur
program yang menitikberatkan pada penguasaan basic knowledge of science and
technology, Pendidikan Agama, serta penguasaan bahasa Inggris dan Arab. b.
kurikulum diperkaya dengan pendidikan yang mengarah kepada ketrampilan hidup
(life skill), dan c. menggunkan pendekatan intelektual, kegiatan keteladanan, dan
laboratorium.
2. Teknologi : desentralisasi keputusan mengenai sarana belajar-mengajar
Sarana belajar yang ada di MAN Insan Cendekia dapat dimanfaatkan oleh guru dan
siswa secara maksimal. Begitu juga pengadaan sarana belajar mengaja dilakukan oleh
masing-masing guru mata pelajaran. Dalam pembelajaran berbasis multimedia, yakni
Over Head Projector (OHP), LCD Projector, Slide, alat –alat praktik yang tersedia di
laboratorium Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa.
3. Kekuasaan : desentralisasi kewenangan dalam membuat keputusan
Workshop Pembentukan
Komisi
Merancang dan
merumuskan
kurikulum
Dokumen I
Sidang Pleno
Dokumen II
Pengesahan Kurikulum
dan Siap dilaksanakan
Menurut Fullan (1993) dalam MBS pembuatan keputusan untuk sebagian
besar berbasis pada kemampuan internal sekolah dan pada potensi masyarakat lokal.
Dengan keyakinan tumbuh bahwa strategi baru ini dapat menjadi instrument
peningkatan kinerja sekolah (improved school performance).
MBS menuntut suatu reformasi politik yang diajukan untuk memperluas basis
pembuatan keputusan, baik dalam sekolah, masyarakat luas, maupun keduanya. Tetapi
demokratisasi pembuatan keputusan sebagai sebuah tujuan dalam dirinya menyisakan
pertanyaan tentang siapa yang seharusnya dilibatkan dalam setiap keputusan28
. Dan
meningkatkan proses pembelajaran siswa ialah membiarkan para professional
pendidikan membuat keputusan-keputusan professional yang penting.
Di MAN IC langkah pengambilan keputusan sesuai dengan alur berikut;
Mekanisme pengambilan keputusan di MAN, pertama; Wakil kepala madrasah,
kepala urusan atau kepala unit pelaksana teknis, menyusun draft rencana kerja, sesuai
dengan tugas dan wewenangan masing-masing yang terbentuk dalam beberapa komisi.
Kedua; draft dibahasa dalam rapat komisi dan masing-masing komisi memiliki rancangan
dan perumusan beberapa program yang disampaikan dalam rapat pleno. Ketiga, hasil
rapat komisi dibahas dalam rapat pleno. Masing-masing komisi menyampaikan rancangan
dan perumusan program yang dilaksanakan. Keempat, hasil rapat pleno itu menjadi suatu
keputusan yang ditetapkan oleh Kepala MAN sebagai program satu tahun ke depan.
4. Material : desentralisasi keputusan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan
peralatan alat-alat sekolah
Di MAN dalam manajemen sarana prasana sebagai berikut;
5. Manusia : desentralisasi keputusan mengenai sumberdaya manusia, termasuk
pengembangan profesionalisme dalam hal-hal berkaitan dengan proses belajar-
mengajar, serta dukungan terhadap proses belajar-mengajar
Dalam pengelolaan SDM di MAN Insan Cendekia sebagai alur berikut;
28
Caldwel dalam Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management, terj, hal. 22
Pembentukan
Komisi Rapat Komisi Rapat Pleno Keputusan
Perencanaan Pengadaan Inventaris
Pengawasan Penghapusan
6. Waktu : desentralisasi keputusan mengenai alokasi waktu
Dalam pengaturan waktu, MAN IC memiliki kewenangan sendiri. MAN IC sebagai
sekolah berasrama (boarding school), pastinya memiliki ciri khas tersendiri dalam jadal
kegiatan sehari-hari. Berikut jadwal sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan siswa
sehari-hari.
Pukul Kegiatan Tempat
04.00 – 04.40 Bangun, bersih diri dan ke masjid Asrama
04.40 – 05.30 Shalat Subuh berjama’ah, wirid, do’a,
tadarus dan wirid Asma al-Husna
Masjid
05.30 – 06.45 Mandi, makan pagi dan persiapan ke sekolah Asrama, kantin
06.45 – 07.00 Baris ke sekolah dan masuk kelas Asrama – Madrasah
07.00 – 09.40 Pelajaran I – IV Madrasah
09.40 – 09.55 Istirahat I Madrasah, Masjid
09.55 – 11.55 Pelajaran ke V-VII Madrasah
11.55 – 12.55 Shalat Dzuhur berjamaah dan makan Masjid dan kantin
12.55 – 15.35 Pelajaran ke VIII-XI Madrasah
15.35 – 16.00 Shalat Ashar berjamaah Masjid
16.00 – 17.30 Kegiatan bebas terawasi (istirahat, olah raga,
mencuci, ekstra kurikuler, dll)
Lingkungan IC Serpong
17.30 – 18.00 Bersih diri dan pergi ke Masjid Asrama-Masjid
18.00 – 18.30 Shalat Maghrib berjamaah, wirid dan tadarus
Asma al-husna. Pada hari Rabu, Kamis, dan
Jumat: wirid pendek
Masjid
18.30 – 19.15 Makan malam Kantin
19.15 – 19.45
(19.00 – 19.45)
Shalat Isya berjamaah. Rabu, Kamis, Jumat
ada kajian kitab-kitab tematik, shalat Isya
pukul 19.45 – 20.00
Masjid dan Asrama
20.00 – 22.00 Belajar mandiri diawasi Pembina asrama.
Khusus pada malam-malam ulangan
Kamar asrama, living
room
Perencanaan Pengadaan Pembinaan &
Pengembangan
Promosi &
Mutasi
Pemberhentian Kompensasi Penilaian
harian/tes blok, pecan UTS, dan pecan Ulum
semester diawasi guru-guru piket
22.00 – 04.00 Istirahat, tidur, dan mimpi indah Kamar masing-masing
7. Keuangan : desentralisasi keputusan mengenai alokasi keuangan
MAN Insan Cendekia memiliki sumberdana yang terdiri dari Sumbangan Departemen
Agama yang berupa Dana dari Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP),
dan sumbangan orangtua siswa dan serta dari sumber lainnya.
Adapun alokasi anggaran belanja yang biasa digunakan MAN IC: Belanja Pegawai
Madrasah, Belanja barang operasional, Belanja pengadaan bahan makanan, Belanja kegiatan
pokok: Kurikulum & sarana, kesiswaan, humas, keasramaan & bina Imtak, Belanja daya dan
jasa, perjalanan Dinas, Belanja Pemeliharaan gedung, bangunan, dan peralatan, Belanja
modal peralatan & mesin: pembangunan gedung, dll
PENUTUP
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan strategi di era desentralisasi sebagai
alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolah dengan pemberian yang otonomi yang
luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional.
MBS menekankan kepada kemandirian dan kreativitas sekolah. Sekolah menjadi
lembaga mandiri dalam menetapkan kebijakannya, tetapi memiliki jaringan kerja dengan
berbagai pihak yang dapat meningkatkan mutu kinerja manajemennya.
Manajemen Berbasis Sekolah tentu hanya merupakan salah satu pendekatan reformasi
manajemen persekolahan, di luar itu, perlu pula reformasi di bidang teknologi administrasi,
kurikulum, sikap mental pengelola dan pelaksana tugas-tugas akademik, serta mental
masyarakat untuk mendukung operasi sekolah dan pendidikan anaknya. Mengutip pendapat
Wohlstetter, “high performing of MBS system in school-site overall push for curriculum and
instructional reform”
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Duhou, Ibtisam, School-Based Management, terj (Jakarta: Logos, 2002), cet.1
Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet. 1
Caldwell, Brian J, School Based Management, (Paris: UNESCO, 2005)
Danim, Sudarman, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta: RemajaRosdakarya, 2008), cet. 2
Fattah, Nanang, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2000), cet. 2
Mulyasa, E, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Rosdakarya, 2006), cet. 10
Nursisto, Peningkatan Prestasi Sekolah Menengah; Acuan Siswa, Pendidik dan Orangtua,
(Bandung: Insan Cendekia, 2002), cet. Ke-1
Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. 2
Siahaan, Amiruddin, dkk, Manajemen Pendidikan berbasis Sekolahan, (Ciputat: Quantum
Teanching, 2006), cet.1.
2008, cet. 1
Supriadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006), cet.4
Usman, Husaini, Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara,
Suparman, Eman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, sumber www.depdiknas.go.id
diakses pada Selasa, 4 April 2013.
Sumber http://ic.sch.id/, di akses pada 4 April 2013