Manajemen Berbasis Sekolah

21
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Dan Praktik Pengembangannya di MAN Insan Cendekia Yudhi Fachrudin 2112011000010 PENDAHULUAN Semenjak kran demokrasi, desentralisasi dan otonomi daerah dibuka sesuai UU No. 22 tentang Pemerintah Daerah. Pendidikan satu bagian yang merasakan itu maka kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah meningkat dalam menentukan maju dan mundurnya pendidikan. Pemerintah daerah bertanggung jawab mulai dari perumusan kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah. Manajemen berasaskan sekolah sebagai paradigm baru pengembangan yang berorientasi pada kebutuhan sekolah dan kebutuhan daerah masing-masing. Kebijakan Bottom-up policy, yaitu kebijakan yang diprakarsai oleh setiap sekolah dan daerah. Sebuah pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Sekilas makalah ini memuat tentang konsep, tujuan, strategi pengembangan manajemen berbasis sekolah, sekilas mendeskripsikan pengalaman MBS di Negara-negara lain. Adapun praktiknya sekilas menggambarkan pengalaman MAN Insan Cendekia Serpong dalam mengembangkan dan mengelola MBS di lembaga pendidikannya.

Transcript of Manajemen Berbasis Sekolah

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Dan Praktik Pengembangannya di MAN Insan Cendekia

Yudhi Fachrudin 2112011000010

PENDAHULUAN

Semenjak kran demokrasi, desentralisasi dan otonomi daerah dibuka sesuai UU No.

22 tentang Pemerintah Daerah. Pendidikan satu bagian yang merasakan itu maka kewenangan

dan tanggung jawab pemerintah daerah meningkat dalam menentukan maju dan mundurnya

pendidikan. Pemerintah daerah bertanggung jawab mulai dari perumusan kebijakan daerah,

perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring di daerah masing-masing

sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah.

Manajemen berasaskan sekolah sebagai paradigm baru pengembangan yang

berorientasi pada kebutuhan sekolah dan kebutuhan daerah masing-masing. Kebijakan

Bottom-up policy, yaitu kebijakan yang diprakarsai oleh setiap sekolah dan daerah. Sebuah

pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk

mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas.

Sekilas makalah ini memuat tentang konsep, tujuan, strategi pengembangan

manajemen berbasis sekolah, sekilas mendeskripsikan pengalaman MBS di Negara-negara

lain. Adapun praktiknya sekilas menggambarkan pengalaman MAN Insan Cendekia Serpong

dalam mengembangkan dan mengelola MBS di lembaga pendidikannya.

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah

1. Sejarah Manajemen Berbasis Sekolah

Istilah manajemen berbasis sekolah atau School Based Management pertama

kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi

pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat1. Diawali

dengan dibentuknya Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association,

NEA) pada 1887. Guru-guru di New York membentuk asosiasi kepentingan bersama

dan asosiasi yangsama didirikan di Chihago, pada 1903 guru-guru Philadelphia

membentuk organisasi asosiasi Guru-guru Philadelpia (Philadelphia Teachers

Associations). Selain di Amerika, Manajemen berbasis sekolah telah dilakukan di

beberapa Negara lainnya, seperti Kanada dikenal pendelegasian finansial (financial

delegation), Hongkong, inisiatif manajemen sekolah (School Management Initiative),

di Inggris sekolah-sekolah pengelola dana bantuan dan manajemen lokal (grant-

maintaned schools and localized management), dan Australia anggaran lokal dan

keterlitabatan masyarakat (local budgeting and community involvement)2.

2. Pengertian Manajemen Pendidikan

Manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang

sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan

nasional. Dengan proses yang berkesinambungan yang melibatkan fungsi-fungsi

pokok manajemen yang berlaku, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan

pembinaan.

Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan

kualitas pendidikan. Sesuai hasil Balitbangdikbud (1991) menunjukkan bahwa

manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas

pendidikan. Manajemen sekolah secara langsung mempengaruhi dan menentukan

efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses

pembelajaran.

1 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Rosdakarya, 2006), cet. 10, hal. 11

2 Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management, terj (Jakarta: Logos, 2002), cet.1, hal. 37

Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem

sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi segala sesuatu yang berkenaan dengan

penelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara

system desentralisasi. Wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah

daerah. Pelaksanaannya merupakan bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan

wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal).

Implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih

besar diberikan kepada kabupaten dan Kota untuk mengelola pendidikan sesuai

dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, perubahan kelembagaan untuk memenuhi

kebuhan dan meningkatkan eisiensi serta efektivitas dalam perencanaan dan

pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah. Kepegawaian sumber daya manusia yang

menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber yang menekankan pada

profesionalisme, serta perubahan-perubahan anggaran pembangunan pendidikan3.

3. Pengertian Manajemen berbasis sekolah (MBS)

Manajemen berbasis sekolah (MBS) terjemahan “School-Based Management”. Istilah

ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan

relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS

merupakan paradigm baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat

sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi

diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumberdana dengan

mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap

kebutuhan setempat.

Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupaka inti dari MBS yang dipandang

memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan;

1. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada

peserta didik, orang tua dan guru

2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya local

3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,

tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.

3 Ibid, Manajemen Berbasis Sekolah…, hal. 22-23

4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,

manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan4.

Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai

keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang ditunjuan

dengan pernyataan politik daam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). MBS

menjadi alternative suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk

menentukan kenijakan sekolah dalam rangka menigkatkan mutu, efisiesi dan pemerataan

pendidian agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin

kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Partisipasi masyarakat

di tuntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan

pendidikan. Dalam konsep ini sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi,

baik kepada orang tua, masyarakat maupun pemerintah5.

Brian J. Caldwell dalam bukunya The Self Managing School mendefinisikan Self-

managing school as one for which there has been significant and consistent delegation to

the school level of authority to make decisions related to the allocation of resources

(knowledge, techonology, power, materiel, people, time and finance). Sementara dalam

bukunya yang lain School Based Management, mengartikan School-based management is

the systematic decentralization to the school level of authority and responsibility to make

decisions on significant matter related to school operations within a centrally determined

framework of goals, policies, curriculum, standars, and accountability6. Manajemen

berbasis sekolah adalah desentralisasi yang sistematis dengan memberikan

kewewenangan kepada sekolah untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan

kegiatan operasional yang meliputi tujuan pendidikan, kebijakan, kurikulum, standar-

standar, dan akuntabilitas.

BPPN dan Bank Dunia (1999) memberi pengertian bahwa MBS merupakan alternatif

sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan yang ditandai oleh otonomi

luas di tingkat sekolah partisipasi masyarakat dan dalam kerangka kebijakan pendidian

nasional. Otonoi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan

mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan

masyarakat setempat.

4 Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2000), cet. 2, hal. 53.

5 Ibid, Manajemen Berbasis Sekolah…, hal. 11-12

6 Brian J. Caldwell, School Based Management, (Paris: UNESCO, 2005), hal. 3

A Malik Fadjar dalam kata pengantar buku School-Based Management, secara

konseptual MBS dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk mengelola

struktur penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah

sebagai unit utama peningkatan. MBS merupakan cara memotivasi kepala sekolah lebih

bertanggung jawab terhadap kualitas peserta didik. Karena perlu mengembangkan

program-program kependidikan untuk melayani kebutuhan peserta didik di sekolah. Di

Indonesia MBS diposisikan sebagai kritik aas penyelenggaraan pendidikan yang selama

ini tersentralisasi. Dimana ranah kemandirian manajemen kelembagaan, kepemimpinan,

pengembangan institusional, pengembangan kurikulum, penyedian sumber belajar,

alokasi sumber daya, dan terutama untuk membangun partisipasi masyarakat untuk ikut

memiliki sekolah. Peningkatan pengaruh sekolah, perlu dukungan dari stakeholder

meliputi; pemerintah daerah, komite sekolah (kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan

tokoh masyarakat) serta siswa. Pengambilan keputusan bersama di kalangan stakeholder

pada level sekolah merupakan kunci utama dalam melaksanakan MBS.

Konsep MBS layaknya dipahami sebagai rangkaian usaha; a. mendesentralisasi

organisasi, manajemen dan penyelenggaraan pendidikan. b. memberdayakan infastruktur

yang ada sesuai dengan kebutuhan para peserta didik. c. menciptakan peran dan tanggung

jawab baru bagi para pelaku sisem MBS, dan d. mentransformasikan proses belajar-

mengajar secara optimal7.

Dalam bentuk sederhana, MBS menggambarkan suatu kumpulan praktik di mana

semakin banyak orang di tingkat sekolah membuat keputusan-keputusan bagi sekolah.

MBS sering mulai dengan suatu pendelegasian kewenangan-kewenangan tertentu dari

Kantor pusat ke sekolah-sekolah yang mungkin mencakup serangkaian kewenangan dari

beberapa bidang terbatas ke hampir segala sesuatu8.

MBS merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada

sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta

didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah meningkatkan kinerja

para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan

meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pendidikan. Prof. Armai Arief

menegaskan pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali,

mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan

pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Adapun

7 Ibid, School-Based Management, terj…, hal. xviii

8 Ibid, School-Based Management, terj…, hal. 18

komponen-kompenen manajemen dalam MBS; Manajemen kurikulum dan program

pengajaran, manajemen tenaga pendidikan, manajemen kesiswaan, manajemen keuangan

dan pembiayaan, manajemen sarana dan prasarana pendidikan, dan manajemen hubungan

sekolah dengan masyarakat9.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, Manajemen Berbasis Sekolah adalah otonomi

sekolah dengan memberi kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengelola sumber

daya sekolah, sepert sumber daya manusia, sumber Dana, sarana dan prasarana, serta

partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Dengan arti lain, manajemen berbasis sekolah sebagai satu proses kerja inovasi dalam

komunitas sekolah dengan menerapkan beberapa kaidah otonomi, akuntabilitas, dan

partisipasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu di lingkungan

sekolah.

4. Tujuan dan Manfaat MBS

Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.

Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada,

partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui

partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru,

adayan hadiah dan hukuman sebagai kontrol serta hal lain yang dapat

menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Peningkatan pemerataan antara lain

diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih

berkonsentrasi pada kelompok tertentu.

Nursisto menambahkan tujuan MBS; meninggkatkan mutu pendidikan melalui

kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayaan sumber daya yang

tersedia. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan

pendidikan melalui pengambilan keputusan. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada

orang tua, masyarakat, pemerintah tentang mutu sekolahnya. Meningkatkan kompetensi yang

sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang dicapai10

.

Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas. MBS dimaksudkan

sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.

Perwujudannya ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan

Kabupaten/Kota.

9 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet. 1, hal. 72

10 Nursisto, Peningkatan Prestasi Sekolah Menengah; Acuan Siswa, Pendidik dan Orangtua, (Bandung: Insan

Cendekia, 2002), cet. Ke-1, h. 140

Manfaat MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai

seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab

pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat,

sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebi berkonsentrasi pada

tugas.

Manfaat yang lain MBS menekankan keterlibatan banyak pihak sehingga menjamin

partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam

perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi dapat

meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah yang berpengaruh pada efektivitas

dalam pencapaian tujuan sekolah11

.

5. Karakteristik MBS

Karakteristik MBS mengetahui bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja

organisasi sekolah, proses belajar-mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan

pengelolaan sumber daya administrasi.

Ciri-ciri MBS yang dirumuskan BPPN dan Bank Dunia (1999), mengutip dari Focus on

School: the Future Organisation of Education Service for Student, Departement of

Education, Australia (1990) dalam Mulyasa (2006)

Organisasi Sekolah Proses belajar

mengajar

Sumber daya

manusia

Sumber daya dan

Administrasi

Menyediakan

manajemen

organisasi

kepemimpinan

transformasional

dalam mencapai

tujuan sekolah

Meningkatkan

kualitas belajar

siswa

Memberdayakan

staf dan

menempatkan

personel yang dapat

melayani keperluan

semua siswa

Mengindentifikasikan

sumber daya yang

diperlukan dan

mengalokasikan suber

daya tersebut sesuai

dengan kebutuhan

Menyusun rencana

sekolah dan

merumuskan

kebijakan untuk

sekolah mandiri

Mengembangkan

kurikulum yang

cocok dan tanggap

terhadap kebutuhan

siswa dan

Memilih staf yang

memiliki wawasan

manajemen

berbasis sekolah

Mengelola dana

sekolah

11

Ibid, Manajemen Berbasis Sekolah…, hal. 26

mayarakan sekolah

Mengelola kegiatan

operasional sekolah

Menyelenggarakan

pengajaran yang

efekif

Menyediakan

kegiatan untuk

pengembangan

profesi pada semua

staff

Menyediakan

dukungan

administrasi

Menjamin adanya

komunikasi yang

efektif antara

sekolah/dan

masyarakat terkait

(school

community)

Menyediakan

program

pengembangan yang

diperlukan siswa

Menjamin

kesejahteraan staf

dan siswa

Mengelola dan

memelihara gedung

dan sarana lainnya

Menjamin akan

terpeliharanya

sekolah yang

bertanggung jawab

(akuntabel kepada

masyarakat dan

pemerintah)

Program

pengembangan yang

diperlukan siswa

Kesejahteraan staf

dan siswa

Memelihara gedung

dan sarana lainnya

Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh

Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1996:6-7)

dituliskan beberapa indikator yang menjadi karakteristik dari konsep MBS, sebagai berikut12

;

1. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib

2. Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai

3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat

4. Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf

lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi

5. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK

12

Amiruddin Siahaan, dkk, Manajemen Pendidikan berbasis Sekolahan, (Ciputat: Quantum Teanching, 2006),

cet.1, hal. 33

6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik

dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau

perbaikan mutu

7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat

lainnya.

6. Prinsip-prinsip MBS

a. Komitmen kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat

dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBS

b. Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental untuk ber-MBS

c. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak

d. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang

efektif

e. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti

tentang pendidikan

f. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan

keputusan program pendidikan dan kurikulum

g. Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam

membuat keputusan pengalokasian dana

h. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders

sekolah13

13

Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, cet. 1, hal.

574

7. Strategi dan Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan MBS

Berbagai lingkup strategi yang ditawarkan oleh manajemen pendidikan sekolah, diantaranya;

a. Kurikulum yang bersifat inklusif,

b. Proses belajar mengajar yang efektif.

c. Lingkungan sekolah yang mendukung,

d. Sumber daya yang berasasskan pemerataan, dan

e. Standarisasi dalam hal-hal tertentu, monitoring, evaluasi, dan tes.

Dengan adanya strategi tersebut, maka fungsi sekolah harus memperhatikan beberapa

faktor berikut; 1. Manajemen/organisasi/kepemimpinan, 2. Proses belajar mengajar, 3.

Sumber daya manusia, 4. Administrasi sekolah14

.

Mulyasa menyebutkan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi MBS; Faktor yang

berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua

dan masyarakat, peranan dan manajerial, serta pengembangan profesi.

Dalam praktiknya MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan

berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan

memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan system dan menghilangkan

birokrasi yang tumpah tindih. Sekolah juga dituntut kemandirian dan kreativitas sekolah dala

mengelola pendidikan dan pembelajaran di balik otonomi yang dimilikinya. Sekolah juga

harus mampu mencermati kebutuhan peserta didik yang bervariasi, keinginan staf yang

berbeda, kondisi lingkungan yang beragam, harapan masyarakat yang menitipkan anaknya

pada sekolah tersebut, serta tuntutan dunia kerja untuk memperoleh tenaga yang produktif,

potensial, dan berkualitas.

MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk melakukan

inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran,

manajeril dan sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesioalisme yang

dimiliki pelibatan masyarakat dalam Dewan sekolah di bawah monitoring pemerintah,

mendorong sekolah untuk lebih terbuka, demokratis, dan bertanggung jawab. Pemberian

kebebasan yang luas memberi kemungkinan kepada sekolah untuk dapat menemukan jati

dirinya dalam membina peserta didik, guru, dan petugas lain yang ada di lingkungan

sekolah15

.

Sementara menurut Sudarman Danim, MBS menuntut keterlibatan tinggi sumber daya

sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha), sumber daya masyarakat (orangtua murid,

14

Amiruddin Siahaan, dkk, Manajemen Pendidikan berbasis Sekolahan.., hal.28 15

E. Mulyasa, M.Pd, Manajemen Berbasis Sekolah.., hal. 13-14

anggota masyarakat, penyandang Dana, tokoh-tokoh masyarakat, unsur pimpinan desa), unit

struktur di atasnya dan siswa. Dan sumber daya pemerintah dan masyarakat. Ketiganya

merupakan tripartite yang saling membahu membangun sebah sosok sekolah yang ideal.

Keterlibatan yang intensif dan ekstensi itu adalah kondisi paling tepat bagi terciptanya fungsi

layanan keorganisasian sekolah dalam hal, seperti produksi pengetahuan (knowledge

production), perubahan lingkungan (changing environment), penyelesaian tugas yang

kompleks (complex job), kemantapan pembuatan keputusan (decision making), dan

interpedensi tugas di dalam organisasi sekolah16

.

Manajemen Berbasis Sekolah terkait dengan perubahan-perubahan pola manajemen dalam

pendidikan17

No Pola Lama Pola Baru

1 Subordinasi Otonomi

2 Pengambilan Keputusan terpusat Pengambilan keputusan partisipatif

3 Ruang gerak kaku Ruang gerak luwes

4 Pendekatan Birokratif Pendekatan Profesional

5 Sentralisasi Desentralisasi

6 Diatur Motivasi diri

7 Over regulasi Deregulasi

8 Mengontrol Mempengaruhi

9 Mengarahkan Memfasilitasi

10 Menghindari resiko Mengelola resiko

11 Gunakan uang semuanya Gunakan uang seefisien mungkin

12 Individual yan cerdas Teamwork yang cerdas

13 Informasi terpribadi Informasi terbagi

14 Pendelegasian Pemberdayan

15 Organisasi hierarkis Organisasi datar

16

Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., (Jakarta: RemajaRosdakarya, 2008), Cet. 2, hal. 202 17

Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, www.depdiknas.go.id diakses pada Selasa, 4 April

2013.

B. Pengalaman Model MBS di Beberapa Negara

Di Amerika Serikat, MBS merupakan sebuah strategi baru yang paling popular

yang muncul sebagai gerakan reformasi sekolah (school reform movement) pada

tahun 1980-an. Dalam hal ini, Sekolah memiliki kewenangan untuk mengelola

anggaran, kurikulum, dan keputusan mengenai personel. Sejalan dengan kebijakan

distrik, sekolah mendorong kebijakan itu secara antusias18

.

Di Amerika semua sekolah telah melakukan MBS, meski sebagian masih

mempraktikkan peran terbatas. Seperti di tulis oleh Wohlstetter & Odden (1992),

“Past research has shown that MBS is everywhere and nowhere”. Disebut everywhere

karena seluruh sistem sekolah (system of school) di seluruh negeri telah menerapkan

atau terlibat di dalam MBS. Disebut nowhere karena perluasan tanggung jawab

pembuatan keputusan (decision making responsibility) di tingkat sekolah masih

cenderung terbatas atau dibatasi. Berdasarkan penelitian di Amerika mengenai kinerja

sekolah yang telah berhasil menerapkan MBS terutama di bidang penganggaran.

Sementara di Distrik lain tengah mengaplikaskan MBS dengan mengombinasikan

reformasi kurikulum dan pembelajaran walaupun ada keragaman mengenai sistem

bimbingan penerapan19

.

Di Selandia Baru dimulai dengan reformasi administrasi yang kemudian

diikuti dengan reformasi sektor pedagogis, berupa komitmen untuk memperkuat

pencapaian tujuan kurikulum nasional dan mengembangkan muatan lokal. Dikenal

istilah “Sekolah Masa Depan” (Tomorrow’s Schools), dan “Sekolah Khusus” (Charter

Schools).

Di Meksiko, pembayaran gaji guru berhasil dilakukan secara tepat waktu

setelah kebijakan desentralisasi pendidikan berjalan empat tahun. Brasil berhasil

membangun tatanan desentrasilisasi pendidikan yang ditandai dengan peningkatan

prestasi belajar siswa. Di Cile, secara pedagogis desentralisasi pendidikan

menunjukkan kemajuan berarti, meski mengalami pasang surut dan angka partisipasi

pendidikan yang cenderung menurun.

Di Burkina Faso, desentralisasi pendidikan menyebabkan pembengkakan

biaya langsung (direct cost) dan biaya kesempatan (opportunity cost) sehingga angka

putus sekolah meningkat drastis. Di Argentina, hal ini pun mengalami kegagalan yang

ditandai dengan gagalnya pelimpahan masalah fiscal akibat tidak ada dukungan dari

18

Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 35 19

Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management.., terj, hal. 4

pejabat kependidikan dan serikat guru. Di Venezuela juga gagal menerapkan

desentralisasi pendidikan akibat tidak mendapat dukungan finansial dari pejabat

daerah. Di Negara Spanyol, Kolombia dan Zimbabwe penerpan desentralisasi

pendidikan hanya berhasil dilihat dari persfektif politis, lemah dalam peningkatan

mutu. Papua Nugini pun merupakan contoh lain dari Negara yang gagal menerapkan

biaya operasi akibat menggelambungnya struktur dan perangkat organisasi di

daerah20

.

Di Inggris dan Wales, corak reformasi diartikulasikan dengan pakem

“Manajemen Lokal Sekolah” (Local Management of Schools), “Sekolah Pengelola

Dana Bantuan” (Grant-Maintained Schools) sebagai bagian dari Undang-Undang

Reformasi Pendidikan Inggris 1998 dan 1993.

Di Kanada MBS dipraktikan di Distrik Sekolah Negeri Edmonton di Alberta,

di mana pendekatan yang biasanya dikenal dengan “pembuatan keputusan di

lingkungan sekolah” (school-site decision-makin), telah menghasilkan desentralisasi

alokasi beberapa sumberdaya bagi staf pengajar dan non-pengajar, peralatan,

perbekalan dan pelayanan “pendelegasian finansial”. Dengan percobaan di tujuh

sekolah pada pertengahan 1970-an membuka jalan untuk adopsi sistem secara luas

dari pendekatan manajemen mandiri yang komprehensif pada 1980-1981 yang kini

terlembagakan21

. Pada 1994, Alberta merancang untuk memulai suatu restrukturisasi

besar sistem adalah untuk melegislasikan beberapa reformasi pendidikan secara luas

yang menghasilkan sebuah Kantor pusat Departemen Pendidikan yang lebih

sederhana dan pengurangan jumlah sekolah distrik dari 140 menjadi 60, termasuk

pelimpahan kewenangan ke tingkat sekolah.

Sementar di Australia, terutama Negara bagian Victoria, dikenal “Sekolah

Masa Depan” (the Schools of the future) dan “Sekolah Unggulan” (Better Schools) di

Australia Barat. Disini ada titik tekan pendelegasia pada aspek keuangan dan alokasi

sumberdaya kepada sekolah-sekolah, seperti yang sudah berjalan di Edmonton,

Kanada. Istilah yang digunakan “Pendanaan Berbasis Sekolah” (School-Based

Budgeting) telah digantikan dengan “Pengambilan Kebijakan Berbasis Sekolah”

(School-Based Decision-Making)22

.

20

Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 164 21

Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management.., terj, hal. 30 22

Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management.., terj, hal. 3

Meskipun demikian tidak menutup mata dari hambatan-hambatan yang

membatasi pada tingkat pembuat keputusan. Berdasarkan pengalaman di Australia,

Brown (1990) menulis, “Central office administrators tend to be the most prominent

among groups that work against the implementation of decentralization. They may

experience role confusion, lack of security, and a diminished sense of authority”.

Maka dalam pengembangan MBS Dalam konteks kita, hambatannya bukan tidak

mungkin datang dari Dinas Diknas Kabupaten/Kota sendiri yang cenderung bekerja

bertolak belakang dengan spirit desentralisasi23

. Pihak berkuasa ini merasa bingung

pola kerja yang harus dijalankan, merasa kurang aman, dan sepertinya akan merasa

terancam kekuasaannya, ketakutan akan kehilangan otonomi, penambahan pekerja

baru, dan adanya intervensi orang tua. Padahal MBS memiliki tiga nilai positif;

efisiensi administrasi, keefektifan pendidikan dan keterlibatan partisipan24

.

Di Hongkong MBS dikenal dengan Inisiatif Manajemen Sekolah (IMS).

Sistem sekolah terdiri dari tiga faktor yang berbeda: sekolah negeri, sekolah

bersubsidi, dan sekolah swasta. Sektor terbesar adalah sekolah bersubsidi. Sektor ini

menyediakan 80% tempat, sedangkan sekolah negeri dan swasta masing-masing

menyediakan hanya 7 dan 13%. Reformasi pendidikan yang pertama dipusatkan pada

perluasan system, dan peningkatan fasilitas belajar-mengajar.

C. Pengalaman MBS di Indonesia.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sisdiknas Pasal 51 ayat (1) “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan

minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah” dan Undang-Undang Otonomi

daerah Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1999 yag disempurkan menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, telah mengubah segala

peraturan dari yang bersifat sentralistik (top down) menjadi desentralistik25

.

Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan, sebagaimana tertuang dalam Bab VIII mengenai Standar Pengelolaan

pada Pasal 49 ayat 1 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, menjelaskan

23

Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 64 24

Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 140 25

Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. 2, hal. 265

bahwa pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan sekolah dasar dan

menengah adalah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukan dengan

kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Kemudian

Pemerintah melakukan penguatan dengan mengeluarkan peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan

Oleh satuan Pendidikan Dasar dan Menengah itu meliputi beberapa hal, diantaranya;

perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja, pengawasan dan evaluasi,

kepemimpinan sekolah, system informasi manajemen, dan penilaian khusus26

.

Dengan lahirnya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, idealnya

pemerintah telah mendukung sekolah agar mampu mengelola sekolahnya secara

mandiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini agar menjadi lebih baik

dan berkualitas serta mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia di

dunia.

D. Pengalaman Otonomi Pendidikan MAN Insan Cendekia Serpong

Sekilas profil MAN Insan Cendekia (MAN IC) adalah sebuah Madrasah Aliyah Negeri

setingkat Sekolah Menengah Atas berasrama. Sekolah berada di Jl. Cendekia, BSD Sektor XI No.1,

Serpong, Tangerang –Banten. Sekolah yang didirikan oleh Prof. Dr. -Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie

melalui BPPT ini menerapkan prinsip keseimbangan antara penguasan ilmu pengetahuan dan

teknologi dengan iman dan taqwa. Berdiri tahun 21 September 1996, sejak tahun 2001, dengan SK

Menteri Agama RI, Nomor 490 Tahun 2001 MA Insan Cendekia Serpong berubah menjadi Madrasah

Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong27

.

Pola praktik MBS di MAN Insan Cendekia dapat kita baca dalam Pedoman Manajemen

MAN Insan Cendekia Serpong. Dengan menggunakan konsep Caldwell dan Spinks. Kita bisa

melihat keotonomian yang terjadi dalam proses pengembangan dan penyelenggaraan

pendidikan di MAN IC.

1. Pengetahuan (Knowledge): desentralisasi keputusan berkaitan dengan kurikulum,

termasuk keputusan mengenai tujuan dan sasaran pendidikan

Layaknya tahapan dalam pengelolaan manajemen kurikulum; pertama, tahap

perencanaan, kedua, Tahap pengorganisasian, ketiga, tahap pelaksanaan, dan keempat

tahap pengendalian. Di MAN Insan Cendekia memuat hal tersebut.

Sebagaimana terlihat dalam alur pembuatan kurikulumnya;

26

Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),

cet.4, hal.17-18 27

sumber http://ic.sch.id/, di akses pada 4 April 2013

Kurikulum versi MAN Insan Cendekia disusun oleh sebuah komisi bidang

kurikulum yang bertugas merancang dan merumuskan kurikulum. Dalam pola

kerjanya, komisi kurikulum ini dibantu oleh satu Tim yang terdiri dari para pakar,

kepala madrasah, dan wakil kepala madrasah yang menghasilkan dokumuen I.

Dokumen I merupakan acuan bagi semua bagi semua guru-guru dalam merumuskan

kurikulum. Dokumen I itu berisi visi, misi, tujuan, kurikulum muatan local dan

pengembangan diri. Semua yang disusun oleh guru-guru harus mengacu pada hasil

rumusan dokumen I.

Kurikulum yang ada di MAN dikemas dalam beberapa bentuk; a. struktur

program yang menitikberatkan pada penguasaan basic knowledge of science and

technology, Pendidikan Agama, serta penguasaan bahasa Inggris dan Arab. b.

kurikulum diperkaya dengan pendidikan yang mengarah kepada ketrampilan hidup

(life skill), dan c. menggunkan pendekatan intelektual, kegiatan keteladanan, dan

laboratorium.

2. Teknologi : desentralisasi keputusan mengenai sarana belajar-mengajar

Sarana belajar yang ada di MAN Insan Cendekia dapat dimanfaatkan oleh guru dan

siswa secara maksimal. Begitu juga pengadaan sarana belajar mengaja dilakukan oleh

masing-masing guru mata pelajaran. Dalam pembelajaran berbasis multimedia, yakni

Over Head Projector (OHP), LCD Projector, Slide, alat –alat praktik yang tersedia di

laboratorium Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa.

3. Kekuasaan : desentralisasi kewenangan dalam membuat keputusan

Workshop Pembentukan

Komisi

Merancang dan

merumuskan

kurikulum

Dokumen I

Sidang Pleno

Dokumen II

Pengesahan Kurikulum

dan Siap dilaksanakan

Menurut Fullan (1993) dalam MBS pembuatan keputusan untuk sebagian

besar berbasis pada kemampuan internal sekolah dan pada potensi masyarakat lokal.

Dengan keyakinan tumbuh bahwa strategi baru ini dapat menjadi instrument

peningkatan kinerja sekolah (improved school performance).

MBS menuntut suatu reformasi politik yang diajukan untuk memperluas basis

pembuatan keputusan, baik dalam sekolah, masyarakat luas, maupun keduanya. Tetapi

demokratisasi pembuatan keputusan sebagai sebuah tujuan dalam dirinya menyisakan

pertanyaan tentang siapa yang seharusnya dilibatkan dalam setiap keputusan28

. Dan

meningkatkan proses pembelajaran siswa ialah membiarkan para professional

pendidikan membuat keputusan-keputusan professional yang penting.

Di MAN IC langkah pengambilan keputusan sesuai dengan alur berikut;

Mekanisme pengambilan keputusan di MAN, pertama; Wakil kepala madrasah,

kepala urusan atau kepala unit pelaksana teknis, menyusun draft rencana kerja, sesuai

dengan tugas dan wewenangan masing-masing yang terbentuk dalam beberapa komisi.

Kedua; draft dibahasa dalam rapat komisi dan masing-masing komisi memiliki rancangan

dan perumusan beberapa program yang disampaikan dalam rapat pleno. Ketiga, hasil

rapat komisi dibahas dalam rapat pleno. Masing-masing komisi menyampaikan rancangan

dan perumusan program yang dilaksanakan. Keempat, hasil rapat pleno itu menjadi suatu

keputusan yang ditetapkan oleh Kepala MAN sebagai program satu tahun ke depan.

4. Material : desentralisasi keputusan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan

peralatan alat-alat sekolah

Di MAN dalam manajemen sarana prasana sebagai berikut;

5. Manusia : desentralisasi keputusan mengenai sumberdaya manusia, termasuk

pengembangan profesionalisme dalam hal-hal berkaitan dengan proses belajar-

mengajar, serta dukungan terhadap proses belajar-mengajar

Dalam pengelolaan SDM di MAN Insan Cendekia sebagai alur berikut;

28

Caldwel dalam Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management, terj, hal. 22

Pembentukan

Komisi Rapat Komisi Rapat Pleno Keputusan

Perencanaan Pengadaan Inventaris

Pengawasan Penghapusan

6. Waktu : desentralisasi keputusan mengenai alokasi waktu

Dalam pengaturan waktu, MAN IC memiliki kewenangan sendiri. MAN IC sebagai

sekolah berasrama (boarding school), pastinya memiliki ciri khas tersendiri dalam jadal

kegiatan sehari-hari. Berikut jadwal sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan siswa

sehari-hari.

Pukul Kegiatan Tempat

04.00 – 04.40 Bangun, bersih diri dan ke masjid Asrama

04.40 – 05.30 Shalat Subuh berjama’ah, wirid, do’a,

tadarus dan wirid Asma al-Husna

Masjid

05.30 – 06.45 Mandi, makan pagi dan persiapan ke sekolah Asrama, kantin

06.45 – 07.00 Baris ke sekolah dan masuk kelas Asrama – Madrasah

07.00 – 09.40 Pelajaran I – IV Madrasah

09.40 – 09.55 Istirahat I Madrasah, Masjid

09.55 – 11.55 Pelajaran ke V-VII Madrasah

11.55 – 12.55 Shalat Dzuhur berjamaah dan makan Masjid dan kantin

12.55 – 15.35 Pelajaran ke VIII-XI Madrasah

15.35 – 16.00 Shalat Ashar berjamaah Masjid

16.00 – 17.30 Kegiatan bebas terawasi (istirahat, olah raga,

mencuci, ekstra kurikuler, dll)

Lingkungan IC Serpong

17.30 – 18.00 Bersih diri dan pergi ke Masjid Asrama-Masjid

18.00 – 18.30 Shalat Maghrib berjamaah, wirid dan tadarus

Asma al-husna. Pada hari Rabu, Kamis, dan

Jumat: wirid pendek

Masjid

18.30 – 19.15 Makan malam Kantin

19.15 – 19.45

(19.00 – 19.45)

Shalat Isya berjamaah. Rabu, Kamis, Jumat

ada kajian kitab-kitab tematik, shalat Isya

pukul 19.45 – 20.00

Masjid dan Asrama

20.00 – 22.00 Belajar mandiri diawasi Pembina asrama.

Khusus pada malam-malam ulangan

Kamar asrama, living

room

Perencanaan Pengadaan Pembinaan &

Pengembangan

Promosi &

Mutasi

Pemberhentian Kompensasi Penilaian

harian/tes blok, pecan UTS, dan pecan Ulum

semester diawasi guru-guru piket

22.00 – 04.00 Istirahat, tidur, dan mimpi indah Kamar masing-masing

7. Keuangan : desentralisasi keputusan mengenai alokasi keuangan

MAN Insan Cendekia memiliki sumberdana yang terdiri dari Sumbangan Departemen

Agama yang berupa Dana dari Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP),

dan sumbangan orangtua siswa dan serta dari sumber lainnya.

Adapun alokasi anggaran belanja yang biasa digunakan MAN IC: Belanja Pegawai

Madrasah, Belanja barang operasional, Belanja pengadaan bahan makanan, Belanja kegiatan

pokok: Kurikulum & sarana, kesiswaan, humas, keasramaan & bina Imtak, Belanja daya dan

jasa, perjalanan Dinas, Belanja Pemeliharaan gedung, bangunan, dan peralatan, Belanja

modal peralatan & mesin: pembangunan gedung, dll

PENUTUP

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan strategi di era desentralisasi sebagai

alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolah dengan pemberian yang otonomi yang

luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan

pendidikan nasional.

MBS menekankan kepada kemandirian dan kreativitas sekolah. Sekolah menjadi

lembaga mandiri dalam menetapkan kebijakannya, tetapi memiliki jaringan kerja dengan

berbagai pihak yang dapat meningkatkan mutu kinerja manajemennya.

Manajemen Berbasis Sekolah tentu hanya merupakan salah satu pendekatan reformasi

manajemen persekolahan, di luar itu, perlu pula reformasi di bidang teknologi administrasi,

kurikulum, sikap mental pengelola dan pelaksana tugas-tugas akademik, serta mental

masyarakat untuk mendukung operasi sekolah dan pendidikan anaknya. Mengutip pendapat

Wohlstetter, “high performing of MBS system in school-site overall push for curriculum and

instructional reform”

DAFTAR PUSTAKA

Abu-Duhou, Ibtisam, School-Based Management, terj (Jakarta: Logos, 2002), cet.1

Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet. 1

Caldwell, Brian J, School Based Management, (Paris: UNESCO, 2005)

Danim, Sudarman, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta: RemajaRosdakarya, 2008), cet. 2

Fattah, Nanang, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2000), cet. 2

Mulyasa, E, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Rosdakarya, 2006), cet. 10

Nursisto, Peningkatan Prestasi Sekolah Menengah; Acuan Siswa, Pendidik dan Orangtua,

(Bandung: Insan Cendekia, 2002), cet. Ke-1

Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. 2

Siahaan, Amiruddin, dkk, Manajemen Pendidikan berbasis Sekolahan, (Ciputat: Quantum

Teanching, 2006), cet.1.

2008, cet. 1

Supriadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2006), cet.4

Usman, Husaini, Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara,

Suparman, Eman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, sumber www.depdiknas.go.id

diakses pada Selasa, 4 April 2013.

Sumber http://ic.sch.id/, di akses pada 4 April 2013