Post on 03-Apr-2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bahasa merupakan bagian sentral dalam kehidupan.
Manusia menggunakan bahasa tidak hanya sebatas survival
layaknya binatang. Manusia menggunakan bahasa untuk
berbagai segi dalam kehidupan. Oleh karena itu, manusia
dibekali LAD (Language Acquisition Devicion) sehingga
mampu mengembangkan diri dalam berbahasa.
Penggunaan bahasa ini tidak terlepas dari proses
pemerolehan bahasa yang dialami manusia dari masa
kanak-kanak hingga dewasa. Bahasa yang digunakan anak
dari masa kanak-kanaknya dan menjadi alat yang paling
banyak digunakan dalam interaksi sosialnya adalah
bahasa pertamanya. Jika ada istilah pertama tentu ada
istilah bahasa kedua. Bahasa pertama (B1) merupakan
bahasa yang paling dikuasai dan paling sering digunakan
oleh seseorang, sedangkan bahasa kedua merupakan bahasa
yang diperoleh melalui pembelajaran dan cenderung
dipelajari dengan sengaja. Bahasa kedua bukan berarti
sebatas bahasa kedua, tetapi bahasa lain yang
dipelajari oleh seseorang entah itu satu bahasa, dua,
maupun lebih dari itu.
1
Untuk pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua,
kita tentunya harus mengetahui lebih dalam mengenai
pengenalan dan berbagai hipotesis mengenai permasalahan
tersebut. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dibahas mengenai hipotesis dan penjabaran mengenai
pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua (B2).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu pemerolehan bahasa kedua?
2. Apa saja variabel yang memengaruhi pemerolehan
dan pembelajaran Bahasa kedua?
3. Di mana dan seperti apa wilayah serta
generalisasi mengenai pembelajaran bahasa
kedua?
4. Bagaimana teori dan hipotesis pembelajaran
bahasa kedua?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah
Metode Pengajaran Bahasa dan Sastra. Selain itu,
untuk memberikan informasi mengenai pemerolehan
bahasa kedua.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai bagaimana pemerolehan bahasa kedua dan
memberikan informasi mengenai teori-teori yang
mendukung untuk pembelajarannya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HAKIKAT PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa itu
pemerolehan bahasa kedua, ada baiknya kita memahami
lebih dulu apa itu bahasa kedua. Bahasa kedua sendiri
didefinisikan dalam pengertian-pengertian yang luas.
3
Bahasa kedua secara sederhana dianggap sebagai bahasa
yang diperoleh atau dipelajari setelah anak menguasai
bahasa pertama.1
Pengertian lain yang lebih jauh mengungkapkan
bahwa bahasa kedua merupakan bahasa resmi atau dominan
secara sosial yang biasanya dibutuhkan untuk
pendidikan, pekerjaan, dan tujuan lainnya. adapun
bahasa asing diartikan sebagai salah satu bahasa yang
tidak banyak digunakan oleh pembelajarnya dalam konteks
sosial yang mungkin dapat digunakan untuk perjalanan
masa depan atau komunikasi lintas budaya, namun tidak
terlalu diperlukan dan aplikasi praktik langsung.2
Ketika bahasa pertama dianggap sebagai bahasa yang
diperoleh tanpa upaya sadar, bahasa kedua ini memiliki
karakteristik tersendiri dalam proses dan kondisi
pemerolehannya. Terlebih, bahasa kedua tidak hanya
terbatas pada bahasa yang dipelajari oleh anak,
melainkan mencakup pemeroleh yang lebih heterogen dalam
berbagai segi.
Jadi dapat diartikan bahwa bahasa kedua adalah
bahasa yang diperoleh setelah bahasa pertama dikuasai
dan dipelajari untuk tujuan yang variatif.
1 Rod Ellis, Second Language Acquistion (New York: Oxford University Press, 2003), h. 8.2 Muriel Saville Troike, Introducing Second Language. (Cambridge: Cambridge University Press, 2006). h.4.
4
Berangkat pada hakikat pemerolehan bahasa kedua,
ada baiknya kita memahami lebih dulu apa itu
pemerolehan. Menurut Krashen, pemerolehan adalah sebuah
proses bawah sadar dan intuitif dalam pengembangan
sistem sebuah bahasa, tidak beda dengan proses seorang
anak untuk “belajar begitu saja sebuah bahasa.3
Dalam pengembangan bahasa kedua Krashen
berpendapat bahwa bahasa kedua ini diperoleh dengan dua
cara, yaitu:
(1) Pemerolehan (acquisition), merupakan proses
subconcious bawah sadar yang mengarah pada
pengembangan kompetensi dan tidak bergantung pada
kaidah gramatika.
(2) Pembelajaran (learning) mengacu pada consious
kesadaran belajar dan pengetahuan kaidah
gramatika.
Pemerolehan bahasa kedua (SLA) juga mengacu pada
pembelajaran sebuah bahasa sasaran (Target Language)
baik oleh individu maupun kelompok untuk tujuan bahasa
dan tujuan pembelajaran tertentu. Ruang lingkup SLA
mencakup pembelajaran informal B2 yang terjadi secara
naturalistik, pembelajaran formal B2 di ruang kelas,
maupun campuran dari pengaturan dan keadaan tersebut.4
3 H.Doughlas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Pearson Education, 2007). H. 322.4 Muriel Saville Troike. Op.Cit. H.2.
5
Sebelumnya telah disebutkan bahwa pemerolehan
bahasa kedua berbeda dengan pemerolehan bahasa pertama,
B2 melibatkan proses dan kondisi yang tentunya berbeda.
Oleh karena itu, pemerolehan ini melibatkan variabel-
variabel yang seperti digambarkan oleh Yorio, di
antaranya:5
1) Usia
Usia mencakup 3 bagian. Yaitu, kanak-kanak,
remaja, dan dewasa. Pada kanak-kanak pembelajaran
dipengaruhi oleh faktor biologis, faktor kognitif,
dan faktor sosial yang mencakup pengaruh Orang
Tua, sekolah, maupun tekanan kawan sebaya. Pada
remaja, dipengaruhi oleh faktor biologis yang
memang sedang mengalami masa kritis serta faktor
sosial yang juga dipengaruhi oleh orang tua,
sekolah dan kawan sebaya. Adapun pada tahap dewasa
faktor yang mempengaruhi adalah faktor biologis
yang mencakup masa kritis, tekanan kawan sebaya,
kontek belajar/mengajar, dan bahasa keduanya itu
sendiri.
2) Kognisi
Kognisi ini mencakup kecerdasan umum dan bakat
bahasa seseorang.
3) Bahasa Asli
5 Yorio, C. Discussion of “Explaining sequence and variation in second language acquisition.” (S
6
Bahasa asli ini mempengaruhi transfer pada bahasa
kedua bak dari segi fonologis, gramatikal, maupun
semantik.
4) Masukan
Masukan dalam hal ini berkaitan dengan
pembelajarnya sendiri. Yaitu pembelajar bebas dan
pembelajar terbimbing. Pembelajar bebas bergantung
pada konteks pengajaran yang mencakup tempat
belajar (lingkungan bahasa asing, bahasa kedua,
dwibahasa), jenis kontak bahasa, lingkungan bahasa
keluarga dan lingkungan bahasa kawan sebaya.
Pembelajar terbimbing bergantung pada konteks
pembelajaran yang mencakup tipe bimbingan (formal,
informal serta intensif/tidak intensif). Lamanya
bimbingan, materi bimbingan, dan sumber bimbingan.
5) Wilayah Afektif
Wilayah afektif ini berkenaan dengan faktor sosial
budaya, faktor egosentris, dan faktor motivasi.
6) Latar belakang pendidikan
Beberapa contoh faktor yang berkenaan dengan ini
adalah buta huruf, melek huruf serta
keprofesionalitasannya.
2.2 WILAYAH DAN GENERALISASI DALAM PENGAJARAN BAHASA
KEDUA
7
Pengajaran bahasa kedua mencakup ke dalam beberapa
ranah. Pertama, mencakup pemahaman, secara umum,
tentang apa itu bahasa, apa itu pembelajaran, dan untuk
konteks ruang kelas, apa itu pengajaran. Kedua,
pengetahuan tentang pembelajaran bahasa pertama pada
anak-anak memberikan wawasan untuk memahami SLA.
Ketiga, bagaimana, sejumlah perbedaan esensial
antara pembelajaran anak-anak dan orang dewasa dan
antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua
harus disampaikan secara hati-hati. Keempat,
pembelajaran bahasa kedua adalah bagian dari dan
mengikuti prinsipa-prinsip umum pembelajaran dan
kecerdasan manusia. Kelima, terdapat variasi besar pada
gaya kognitif di antara para pembelajara dan juga
pemilihan strategi berbeda pada setiap pembelajar.
Keenam, kepribadian, cara orang melihat dirinya
sendiri dan mengungkapkan dirinya sendiri dalam
komunikasi akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas
pembelajaran bahasa kedua. Ketujuh, mempelajari budaya
kedua sering bertumpang tindih dengan mempelajari
bahasa kedua. Kedelapan, pemerolehan kompetensi
komunikatif dalam banyak hal adalah sosialisasi bahasa,
dan merupakan tujan utama bagi para pembelajar saat
mereka berurusan dengan fungsi, kemampuan mencerna,
gaya, dan aspek-aspek nonverbal dari interaksi
antarmanusia dan negosiasi politik. Kesembilan yaitu
8
kontras-kontras linguistik antara bahasa asli dan
bahasa sasaran menciptakan pangkal kesulitan dalam
mempelajari bahasa kedua. Namun proses kreatif
pembentukan sistem antarbahasa mendorong pembelajar
untuk menggunakan banyak sumber dan kecakapan yang
memudahkan. Dalam proses ini, kekeliruan merupakan
aspek tak terhindarkan, namun dari sini pembelajar dan
pengajar bisa memperoleh wawasan lebih mendalam.
2.3 HIPOTESIS DAN KLAIM
Teori mengenai bahasa kedua merupakan seperangkat
hipotesis atau klaim yang saling berkaitan mengenai
bagaimana orang menjadi cakap dalam bahasa kedua.
Lightbown membuat beberapa klaim mengenai bahasa kedua.
Di antaranya:
1. Orang dewasa dan anak remaja bisa “memperoleh”
bahasa kedua.
2. Para pembelajar menciptakan antarbahasa yang
sistematis yang sering ditandai dnegan kesalahan-
kesalahan yang sama sistematisnya dengan kesalahan
kanak-kanak yang mempelajari bahasa tersebut
sebagai bahasa pertama, dan juga orang-orang lain
yang mendasarkan diri pada bahasa asli mereka
sendiri.
9
3. Ada bagian yang bisa digunakan dalam pemerolehan
sehingga struktur-struktur tertentu harus
diperoleh sebelum yang lainnya bisa dipadukan.
4. Praktek belum tentu menjadikan sempurna.
5. Mengetahui kaidah bahasa bukan berarti orang akan
bisa menggunakan bahasa itu dalam interaksi yang
komunikatif.
6. Koreksi kesalahan secara eksplisit dan terpisah
biasanya tak efektif dalam mengubah perilaku
bahasa.
7. Bagi kebanyakan pembelajar dewasa, pemerolehan
berhenti-“memfosil”- sebelum pembelajara meraih
kecakapan dalam bahasa sasaran yang mendekati
kefasihan penutur asli.
8. Orang tidak bisa mencapai pemahaman menyeluruh
pada bahasa kedua yang mendekati penutur asli
bahasa tersebut dengan satu jam sehari.
9. Pembelajar memikul beban berat karena bahasa
sangat kompleks
10. Kemampuan seorang pembelajar untuk memahami
makna bahasa menurut konteksnya memperluas
kemampuannya untuk memahami bahasa yang dilepaskan
dari konteks dan untuk memproduksi bhasa yng
kompleksitas dan akurasinya setara.6
6 Patsy LightBown, Great Expectations: Second-Language Acquisition Research and Classroom Teaching. (Oxford: Applied Linguistics, 1985).hh. 176-180.
10
Adapun pernyataan lain yang dibuat oleh LightBown
dan Spada mengenai bahasa kedua ini. Di antaranya:
1. Pada umumnya, bahasa dipelajari melalui peniruan
2. Biasanya orang tua mengoreksi kanak-kanak ketika
mereka membuat kesalahan
3. Orang dengan IQ tinggi adalah pembelajar bahasa
yang baik
4. Semakin dini bahasa kedua diperkenalkan di
sekolah, semain besar kemungkinan berhasilnya
dalam pembelajaran
5. Kesalahan terbanyak yang dibuat oleh para
pembelajar bahasa kedua adisebabkan oleh tumpang
tindihnya dengan bahasa pertama
6. Kekeliruan-kekeliruan pembelajara seharusnya
dikoreksi saat itu juga demi menghindarkan
terbentuknya kebiasaan buruk.7
2.4 TEORI KOMPLEKSITAS
Untuk menggiring pada pengetahuan mengenai
komponen-komponen jitu bagi teori bahasa kedua, dapat
dikaitkan dengan teori kompleksitas yang dijabarkan
oleh Diana Larsen-Freeman yang memaparkan mengenai
kesamaan antara teori khaos dan bahasa kedua. Bahasa
kedua dianggap sebagai sistem yang dinamis, kompleks,
dan tak linier, tak beda dengan fisika, biologi, dan
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Jalur-jalur yang7 Patsy Lightbown and Nina Spada. How Languages Are Learned. (USA: Oxford University Press, 2013). Hh.11-116.
11
ditempuh oleh para pembelajar untuk meraih keberhasilan
adalah berbeda dan terkadang amat berbeda satu sama
lain. 8
Brown kemudian membuat ikhtisar dari paparan Diane
Larsen Freeman mengenai rancangan teori bahasa kedua
yang berhubungan dengan teori kompleksitas.
1. Hati-hatilah terhadap dikotomi-dikotomi yang
menyesatkan. Cari hubungan antarbagian
(complementarity), keterjangkauan
(inclusiveness), dan ruang bersama (antarmuka,
interface).
2. Hati-hatilah terhadap pendekatan sebab-akibat
linier yang digunakan dalam membangun teori.
3. Hati-hatilah terhadap generalisasi yang
berlebihan. Perhatikan detail. Faktor-faktor
terkecil yang kelihatannya remeh bisa menjadi
faktor penting dalam mempelajari bahasa kedua.
4. Sebaliknya, hati-hatilah terhadap pemikiran
yang terlalu menyederhanakan. Dengan sistem
yang kompleks dan kacau, niscaya sangat
menggiurkan untuk membuat penyederhanaan dengan
memngambil beberapa bagian kecil dan
mengeluarkannya dar keseluruhan sistem.9
8 Diane Larsen Freeman. Chaos/Complexity Science and Second Language Acquisition. (Oxford: Apllied Linguistics)h.142.9 H.Douglas Brown. Op.Cit. h.318.
12
2.5 PEMBELAJARAN EKSPLISIT DAN IMPLISIT
Pembelajaran eksplisit dalam SLA (Second Language
Acquisition) melibatkan kesadaran dan niat yang
disengaja. Pembelajaran eksplisit diartikan sebagai
pemrosesan masukan untuk menemukan apakah informasi
mengandung keteraturan dan, jika demikian, untuk
menyusun konsep dan kaidan yang dengannya keteraturan-
keteraturan bisa ditangkap.
Pembelajaran implisit diartikan sebagai
pembelajaran tana perhatian sengaja atau kesadaran.
Pembelajaran implisit dan eksplisit ini juga
berhubungan dengan pembelajaran intensional dan
insidental yang saling berkaitan.10
2.6 PEMBELAJARAN SADAR DAN BAWAH SADAR
Topik panas lain yang terkait dalam SIA adalah
sampai sejauh mana kemahfuman merupakan
faktorsignifikan yang punya andil untuk pemerolehan.
Kemahfuman untuk beberapa waktu, mungkin dianggap
analog pembelajaran sadar (vs. bawah sadar), di mana
pembelajar secara sengaja mengontrol perhatian mereka
kepada sejumlah aspek masukan atau keluaran. Gagasan
pikiran sadar ini bermasalah karena sulitnya membuat
definisi berkenaan dengan kompleksitas akar sejarahnya
pada k Freud, Jung, dan psikologpsikolog lain era
mereka. Sebagian karena permasalahan pendefinisian ini,
10 Ibid., h.320
13
Mclaughlin (1978) dan para psikolog kognitif lain
(Slavin, 2003, misalnya) menghindar dari isu pikiran
sadar ini dan lebih menekankan perhatian pusat dan
periferal atau pinggiran. Dalam usulan Schmidt (1990)
tentang hipotesis menyimak, dibahas singkat di bab
sebelumnya, ia mengendalikan peran utama bagi perhatian
pusat, yang berawal dari kemafhuman, supaya seorang
pembelajar menyimal masukan bahasa.11 Menurur Schmidt
dan yang lainnya (Robinson, 2003; Ellis, 1997; Leo,
2000), menyimak, atau memperhatikan sungguh-sungguh
kepada sebuah unsur linguistik dalam sebuah masukan
pembelajar, mungkin merupakan prasyarat esensial bagi
kemampuan pembelajar untuk mengubah masukan menjadi
asupan (intake), terutama masukan yang diniatkan
sebagai umpan balik atas bentuk. (lihat bagian berikut
untuk definisi dan diskusi masukan vs. asupan.)
Kemafhuman sekarang sudah menjadi nama sebuah jurnal
profesional, Language Awareness, dan topik ini terus
menarik perhatian peneliti (Williams, 2005; Rosa & Leow
& 2004; simard & Wong, 2004; Leow, 2000).
Seperti topik sebelumnya, debat mengenai tingkat
kemafhuman yang dipersyaratkan dalam SLA adalah hal
yang kompleks, dan menurut kecermatan menetapkan
kondisi-kondisi sebelum kesimpulan diajukan. Timbul
11 R. Scmidt , 1990. The Role of consciousness in Second Language Learning. Applied Linguistics,11: h. 129-158
14
tenggelam di sepanjang sejarah pengajaran bahasa yang
berubah-ubah, orang memproklamasikan bahwa bahasa
seharusnya jangan pernah diperajari di bawah kondisi
kemafhuman yang disadari (terhadap bentuk-benruk
bahasa, misalnya)- Krashen dekat dengan klaim semacam
itu dan mereka yang tetap berkeras tentang betapa
pentingnya kemafhuman (akan bentul-bentuk) dalam SLA.
Tugas anda, sebagai kreator teori Anda sendiri tentang
SLA adalah menetapkan konteks secara cermat dan
kemudian mengambil tindakan pedagosis yang sejalan.
Agaknya sangat bermanfaat bagi para pembelajar untuk
menjadi mafhum akan kekuatan dan kelemahan mereka
sendiri dan secara sadar terlibat dalam bentuk-bentuk
bahasa sasaran, sampai tingkatan bahwa kemafhuman
terhadap jalinan bentuk tersebut menghalangi kemampun
mereka untuk fokus pada makna. Kita akan menyimak
konsep pembelajaran sadar dan bawah sadar dalam
pembahasan selanjutnya tentang model Mclaughlin.
Masukan dan Keluaran
Suatu topik yang pernah kontroversial, tetapi kian
berkurang kadarnya, adalah hubungan antara masukan dan
keluaran dalam SLA. Masukan tak lain adalah proses
memahami bahasa (mendengar dan membaca) dan keluaran
adalah produksi (bicara dan menulis). Sekalipun tidak
selaiu, sekarang tampak jelas bahwa baik
15
masukan :laupun keluaran merupakan proses yang penting
pada tingkatnya masing.masing dalam perjalanan
linguistik pembelajar bahasa. Tetapi seperti yang akan
kita lihat di bagian selanjurnya, proporsi oprimal dari
setiap moda sudah mendapat berbagai rekomendasi. Lebih
lanjut, masih ada pcrdebatan sengit mengenai apa yang
disebut kualitas optimal masukan dan keluaran.
2.7 Frekuensi
Tak akan pas mendaftar topil-topik panas dalam SLA
tanpa meninjau ulang frekuensi, atau berapa kali kata,
struktur, atau unsur bahasa lain yang spesifik menarik
perhatian seorang pembelajar. maka cukup dikatakan di
sini bahwa para peneliti telah membangkitkan kembali
isu ini (N. Ellis, 2002), dan memberi kita pengertian
bahwa frekuensi mungkin lebih penting daripada yang
semula kita pikir. Meskipun saliensi (saliency)
pentingnya masukan yang dipahami dan sampai sejauh mana
seorang pembelajar menyimak masukan masih tampak lebih
kuat sebagai prediktor ketimbang frekuensi para guru
tak bisa mengabaikan begitu saja kemungkinan bahwa yang
disebut belakangan itu boleh ladl adalah faktor
penyebab pemerolehan. 12
2.8 HIPOTESIS MASUKAN KRASHEN
12 R. Ellis, 1997. SLA research ang Language Taching. Oxford University Press.
16
Salah satu perspektif teoretis paling
kontroversial dalam SLA pada 25 tahun terakhir abad
kedua puluh disodorkan oleh Stephen Krashen (1977,1981,
1982, 1985, 1992, 1997) dalam sebuah himpunan artikel
dan buku. Hipotesis Krashen mempunyai nama-nama yang
berbeda. Dalam tahun-tahun awal, “Model Monitor” dan
“Hipotesis Pemerolehan-Pembelajaran” adalah nama-nama
yang lebih popular; dalam tahun-tahun terakhir
“Hipotesis Masukan” digunakan untuk menyebut satu set
yang terdiri atas lima hipotesis yang saling berkait.
Masing-masing dirangkur di bawah
Lima Hipotesis
1. Hipotesis Pemerolehan-Pembelajaran. Krashen
menyatakan bahwa pembelajaran bahasa kedua dewasa
punya dua cara untuk menyerap bahasa sasaran.
Pertama adalah “pemerolehan”, sebuah proses bawah
sadar dan intuitif dalam pengembangan sistem
sebuah bahasa, tidak beda dengan proses seorang
anak untuk “belajar begitu saja” sebuah bahasa.
Cara kedua adalah sebuah proses "pembelajaran"
sadar di mana pembelajar memperhatikan bentuk,
memahami aturan, dan secara umum mafhum akan
proses mereka sendiri. Menurut Krashen, "kecakapan
dalam performa bahasa kedua seiring dengan apa
yang sudah kita peroleh, bukan apa yang kita
17
pelajari". Oleh karenanya, orang dewasa harus
memperoleh sebanyak mungkin agar bisa mencapai
kecakapan komunikatif; bila tidak, mereka akan
berhenti pada pembelajaran aturan dan terlalu
memperhatikan secara sadar bentuk bahasa dan
terlalu mengawasi kemajuan mereka sendiri. Lebih
lanjut, Proses pembelajaran sadar kita dan proses
pemerolehan bawah sadar kita berdiri sendiri-
sendiri: pembelajar tak bisa "menjadi"
pemerolehan. Klaim mengenai "tak adanya titik
singgung antara pemerolehan dan pembelajaran ini
dipakai untuk memperkuat argument bagi
perekomendasian dosis yang lebih besar aktivitas
pemerolehan di ruang kelas, dengan sedikit saja
peran keil untuk pembelajaran.13
2. Model Monitor "Monitor" ada dalam pembelajaran,
bukan pemerolehan. Ia adalah alat untuk "memantau"
keluaran seseorang, untuk menyunting dan membuat
perubahan atau mengoreksi ketika keluaran-keluaran
itu dipikiran secara sadar. Pembelajaran yang
eksplisit dan intensional semacam itu, menurut
Krashen, harus dihindari jauh-jauh, karena
dianggap merintangi pemerolehan. Hanya begitu
kecakapan mapan, barulah pemantauan atau
penyuntingan yang cukup digunakan. Hipotesis mengenai13 S. Kreshen. 1982. Principles and practice in second Language acquisition. Oxford: Pergamon Press. h. 10-11
18
pemantau(monitor) pembelajaran berfungsi sebagai
pemantau. Pembelajaran tampil untuk menggantikan
bentuk ujaran sesudah ujaran dapat diproduksi
berupa sistem. Penerapan pemantau dapat
menghasilkan efektifitas jika pemakai B2
memusatkan perhatian pada bentuk yang benar.
Mc.Laughlin menyatakan bahwa monitor jarang
dipakai dalam kondisi normal pemakaian dan dalam
pemerolehan B2 dan monitor secara teoritis
merupakan konsep yang tak berguna.
3. Hipotesis Urutan Alamiah. Menyusul studi-studi
awal urutan morfem dari Dulay dan Burt (1974b,
1976) dan yang lainnya, Krashen menyatakan bahwa
kita memperoleh kaidah-kaidah bahasa dalam sebuah
urutan yang bisa diprediksi atau "alamiah".
4. Hipotesis Masukan. Menurut Krashen masukan yang
bisa dipahami adalah “satu-satunya alasan bagi
pemerolehan bahasa kedua.14 “Hipotesis Masukan
menyatakan bahwa “kondisi bagi terwujudnya
pemerolehan bahasa adalah ketika si pembelajar
memahami (melalui mendengarkan atau membaca)
masukan yang strukturnya mengandung hal yang
“sedikit merampaui” tingkat kompetensinya saat
ini.... Jika pembelajar berada di tingkat i,
14 S. Kreshen. 1984. Immersion: Why it Work and what it has taught us. Languege and society, h. 61
19
masukan yang ia pahami seharusnya berisi i +
1" .15 Dengan kata lain bahasa yang dipaparkan
kepada para pembelajar semestinya sedikit di atas
kompetensi mereka dan masih bisa mereka pahami,
tetapi tetap menantang mereka untuk berkembang.
yang harus diperhatikan adalah bahwa masukan ini
tidak boleh terlalu jauh di luar jangkauan
sehingga mereka kewalahan (misalnya saja i + 2)
atau terlalu dekat dengan tingkat mereka saat ini
yang menyebabkan mereka ddak tertantang sama sekah
(i + 0).
Bagian penting dari Hipotesis Masukan ini adalah
rekomendasi Krashen bahwa percakapan jangan
diajarkan langsung atau terlalu dini di ruang
kelas. Kecakapan wicara akan "muncul" ketika
pembelajar telah mengembangkan pemahaman yang
memadai terhadap masukan (i + 1), sebagaimana kita
lihat dalam Bab 3 dalam pembahasan tenrang
Pendekatan Alamiah.
5. Hipotesis Saringan Afektif. Krashen lebih lanjut
menyatakan bahwa pemerolehan terbaik akan terjadi
dalam lingkungan yang tingkar kecemasannya rendah
dan tidak ada sikap defensil arau, daiam istilah
Krashen, dalam konteks di mana “filter afekti”
rendah.15 S. Kreshen. 1984.Second Language acquisition and second language learning. oxford: Pragamon Press, h. 100
20
BAB III
KESIMPULAN
Pemerolehan bahasa kedua beriringan dengan
pembelajaran bahasa kedua. Keefektifan pembelajaran
bahasa kedua dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti
faktor usia, juga termasuk sosial dan kultural.
Terdapat banyak hipotesis mengenai bagaimana seharusnya
pembelajaran bahasa kedua, dimulai dari generalisasi
LightBown mengenai keharusan dan kenyataan SLA dalam
pandangannya, perumpaan/analogi Larsen teori chaos
dengan pembelajaran SLA, serta beberapa pandangan
pembelajaran dari sudut kesadaran, pusat perhatian,
hingga pada konstruktivisme sosial. Semua sudut pandang
tersebut dikembalikan lagi pada hakikat ketergantungan
gaya dan rancangan pembelajaran untuk pemerolehan
bahasa kedua.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ellis, Rod. Second Language Acquistion. New York: Oxford
University Press, 2003.
Freeman, Diane Larsen. Chaos/Complexity Science and Second Language
Acquisition. (Oxford: Apllied Linguistics. 1997.
H.Doughlas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.Pearson
Education.2007.
Kreshen, S. Principles and practice in second Language acquisition.
Oxford: Pergamon Press. 1982.
_________. Second Language acquisition and second language learning.
oxford: Pragamon Press. 1984.
LightBown, Patsy . Great Expectations: Second-Language Acquisition
Research and Classroom Teaching.Oxford: Applied Linguistics.
1985.
22