Penelitian Bahasa
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of Penelitian Bahasa
PEMILIHAN BAHASA PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR
SUDIRMAN
KOTA PONTIANAK
KALIMANTAN BARAT
Penelitian Mini
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Oleh
YULIA VERONIKA K
(511300089)
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUPLIK INDONESIA
PONTIANAK
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan
penelitian bahasa ini tepat pada waktunya. Penelitian mini ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik, dengan judul Pemilihan Bahasa
Penjual dan Pembeli di Pasar Sudirman Kota Pontianak Kalimantan Barat.
Peneliti mengucapkan terima kasih, kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan, terutama kepada Bapak AL Ashadi Alimin, M.Pd., selaku dosen
pengampu mata kuliah Sosiolinguistik, yang telah memberikan banyak bantuan
kepada peneliti, baik berupa rekomendasi materi maupun bimbingan dalam
pelaksanaan dan penulisan laporan penelitian ini.
Peneliti berharap, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
terutama bagi mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia kebahasaan, sehingga
dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya tentang penelitian bahasa
yang berfokus pada kajian sosiolinguistik. Peneliti juga mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat konstruktif dari pembaca, demi perbaikan dan pengoptimalan
pelaksanaan penelitian selanjutnya.
Pontianak, Oktober 2014
Peneliti
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 4
A. Latar Belakang ........................................................................ 4
B. Fokus Penelitian ....................................................................... 5
C. Tujuan ..................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI .................................................................. 7
A. Hakikat Bahasa ........................................................................ 7
B. Sosiolinguistik .......................................................................... 8
C. Kedwibahasaan ........................................................................ 9
D. Peristiwa tutur dan Tindak Tutur .............................................. 10
E. Sikap Bahasa ............................................................................ 12
F. Pilihan Bahasa .......................................................................... 13
BAB III HASIL PENELITIAN ......................................................... 16
A. Jenis Pemilihan Bahasa Penjual dan Pembeli di Pasar
Sudirman .................................................................................. 16
B. Faktor-faktor yang memengaruhi Pemilihan Bahasa
Penjual dan Pembeli di Pasar Sudirman .................................... 23
C. Dampak Pemilihan Bahasa Penjual dan Pembeli di Pasar
Sudirman .................................................................................. 25
BAB IV PENUTUP ............................................................................ 27
A. Simpulan .................................................................................. 27
B. Saran ........................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 29
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Situasi kebahasaan masyarakat Pontianak diwarnai pemakaian bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia dengan segala kemungkinan pemakaian bahasa
daerah lain dan bahasa asing. Apabila dalam situasi seperti itu terjadi kontak
sosial antarpenutur, maka penutur yang terlibat dalam kontak sosial tersebut akan
berusaha memilih salah satu bahasa atau variasinya yang paling cocok untuk
keperluan dan situasi tertentu. Pemilihan bahasa demikian menunjukkan fungsi
tiap-tiap bahasa bertalian dengan keperluan dan situasinya. Gejala semacam itu
terlihat di dalam pemakaian bahasa oleh penjual dan pembeli di pasar Sudirman
Pontianak.
Mengenai pemakaian bahasa, Fishman (Handayani, 2005:2) menegaskan
bahwa: Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi
juga oleh faktor nonlinguistik, seperti faktor sosial dan faktor situasional”. Faktor-
faktor sosial tersebut, di antaranya meliputi status sosial, tingkat pendidikan,
tingkat ekonomi, usia, jenis kelamin dan sebagainya. Adapun faktor situasional di
antaranya mencakup siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
kapan, di mana, dan masalah apa yang dibicarakan. Faktor sosial dan situasional
dalam aktivitas bahasa akan mempengaruhi munculnya pilihan bahasa.
Dalam penelitian ini pilihan bahasa lisan merupakan alat yang digunakan
penjual dan pembeli di dalam mengadakan interaksi jual-beli. Bahasa yang
digunakan pun bervariasi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dan
mempercepat interaksi jual-beli agar cepat tercapai. Bahasa yang digunakan
antara penjual yang satu dengan penjual lain atau pembeli yang satu dengan
pembeli lain berbeda, tetapi bahasa yang mereka gunakan kebanyakan bahasa
tidak baku dan bersifat informal, bukan formal. Dalam situasi informal mereka
menggunakan bahasa santai, ringkas, dan kurang memperhatikan struktur kalimat
yang benar.
Bahasa yang digunakan penjual dan pembeli di pasar Sudirman adalah
bahasa Melayu (Pontianak) dan bahasa Indonesia dengan segala ragamnya serta
1
kemungkinan penggunaan bahasa daerah lainnnya dan bahasa Asing. Hal tersebut
menunjukkan adanya pilihan bahasa yang digunakan penjual dan pembeli pada
pasar Sudirman Pontianak.
Dalam pemakaian bahasanya, setiap penutur selalu memperhitungkan
kepada siapa ia berbicara, di mana, mengenai masalah apa, dan dalam situasi yang
bagaimana. Dengan demikian, tempat berbicara menentukan cara pemakaian
bahasa penutur. Demikian pula pokok tuturan dan situasi tutur akan memberi
warna terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung.
Pemilihan bahasa penjual dan pembeli di pasar Sudirman, dijadikan sebagai
objek penelitian berdasarkan pada beberapa alasan. Pertama, untuk melaksanakan
dan memenuhi tugas individu mata kuliah sosiolinguistik, yang ditugaskan oleh
dosen yang bersangkutan. Kedua, penjual dan pembeli di pasar Sudirman
Pontianak terdiri dari masyarakat multi etnis, yang memiliki latar belakang
kebahasaan yang beragam, sehingga memungkinkan terjadinya pemilihan bahasa
untuk mencapai tujuan komunikasi dalam interaksi jual-beli. Ketiga, penjual dan
pembeli di pasar Sudirman berasal dari berbagai kalangan usia, status sosial, dan
tingkat pendidikan, sehingga mempengaruhi pemilihan bahasa yang digunakan
dalam berinteraksi.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah kajian di bidang sosiolinguistik. Kajian
sosiolinguistik tersebut berfokus pada pemilihan bahasa penjual dan pembeli di
pasar Sudirman Pontianak. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
sebelumnya, masalah umum dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemilihan
bahasa penjual dan pembeli di pasar Sudirman?. Masalah umum tersebut
dibatasi menjadi submasalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah jenis pilihan bahasa penjual dan pembeli di pasar
Sudirman?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pemilihan bahasa penjual
dan pembeli di pasar Sudirman?
3. Bagaimanakah dampak pemilihan bahasa penjual dan pembeli di pasar
Sudirman?
2
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan jenis pilihan bahasa penjual dan pembeli
di pasar Sudirman.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemilihan bahasa penjual dan pembeli di pasar Sudirman.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan dampak pemilihan bahasa penjual dan
pembeli di pasar Sudirman.
D. Manfaat Penelitian
Ada pun manfaat penelitian ini meliputi sebagai berikut.
1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai sikap dan pilihan bahasa
penjual dan pembeli di pasar Sudirman kota Pontianak.
2. Memperkaya kajian linguistik di bidang Sosiolinguistik khususnya sikap dan
pilihan bahasa.
3. Menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti dalam upaya membuktikan
dan menerapkan teori linguistik (Sosiolinguistik) dalam penelitian bahasa.
4. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
5. Sebagai wujud pembinaan bagi peneliti dalam upaya melakukan penelitian dan
menganalisis data lapangan berdasarkan teori dan konsep yang sudah ada.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakiat Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem simbol yang arbiter yang dipakai oleh anggota
masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya
berlandaskan pada budaya yang mereka miliki (Dardjowidjojo dalam Anjar,
2013:4). Dalam pemilihan bahasa harus mempertimbangkan berbagai faktor.
Fishman (Anjar, 2013:4) menegaskan bahwa pemakaian bahasa tidak hanya
ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor nonlinguistik, seperti
faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial, di antaranya meliputi status
sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, usia, dan jenis kelamin. Adapun
faktor situasional di antaranya mencakup siapa yang berbicara, dengan bahasa
apa, kepada siapa, bilamana, di mana, dan masalah apa yang dibicarakan. Sesuai
dengan penegasan ini, berarti dominasi faktor sosial dan situasional dalam
pemakaian bahasa akan mempengaruhi munculnya variasi bahasa.
Hakikat bahasa antara lain adalah bahasa itu sebuah sistem lambang,
berbunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
1. Bahasa adalah sebuah sistem artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah
komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
2. Sistem bahasa tersebut berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi. Artinya,
lambang-lambang itu berbentuk bunyi, yang lazim disebut bunyi ujar atau
bunyi bahasa.
3. Bunyi bahasa bersifat arbitrer atau mana suka artinya bahasa mempunyai
kehendak untuk diucapkan (terserah dan merdeka) atau juga dapat dikatakan
bahasa memiliki kemandirian dimana tidak ada yang bisa diganti sifat-sifat
bahasanya.
4. Bahasa bersifat produktif artinya dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun
dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas.
5. Bahasa bersifat dinamis artinya bahasa selalu berubah-ubah tidak terlepas dari
berbagai kemungkinan perubahan waktu yang terjadi. Perubahan itu terjadi
4
pada tataran bahasa antara lain fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan
leksikon.
6. Bahasa itu beragam artinya meski bahasa memiliki kaidah namun karena
digunakan oleh penutur yang heterogen dan memiliki latar belakang yang
berbeda maka bahasa tersebut menjadi beragam.
7. Bahasa bersifat manusiawi artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal
hanya dimiliki manusia, hewan tidak memiliki bahasa. Yang dimiliki hewan
sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat
produktif dan tidak dinamis.
B. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik meneliti antara dua aspek tingkah laku manusia; penggunaan
bahasa dan organisasi tingkah laku sosial. Sosiolinguistik menghususkan
kajiannya pada bagaimana bahasa berfungsi di tengah masyarakat. Sosiolinguistik
merupakan ilmu yang mengkaji tentang sosial atau sosiologi dan linguistik atau
bahasa. Sosiologi yaitu ilmu yang berhubungan dengan sosial atau berhubungan
dengan masyarakat, kelompok masyarakat, dan fungsi kemasyarakatan. Nababan
(Anjar, 2013:5) menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mempelajari atau
membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, dan
kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur itu, termasuk hakikat dan pembentukan
unsur-unsur itu.
Fasold (Suddhono, 2006:2-3) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik
tergantung dari dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut
pilihan bahasa-bahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan
sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari seseorang
kepada orang lain. Kenyataaan ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan
bahasa tertentu, pembicara akan dikenali siapa jati dirinya, berasal dari mana,
bagaimana hubungannya dengan mitra tuturnya, dalam peristiwa tutur apa dia
terlibat dalam komunikasi. Pilihan di antara bahasa-bahasa itulah yang
menentukan situasi sosial. Dalam mengkaji pemakaian bahasa, perlu
dikemukakan pula hal-hal yang terkait lainnya yang mempengaruhi hasil akhir
5
dari kajian tersebut. Hal-hal terkait yang dimaksud misalnya adalah tentang sikap
bahasa masyarakat tersebut, kemampuan dan pemakaian bahasanya dalam
kehidupan sehari-hari, di samping situasi kebahasaan secara umum dalam
masyarakat tersebut perlu pula diungkapkan.
Dalam kajian pemilihan bahasa, tugas sosiolinguistik adalah berusaha
mendeskripsikan hubungan antara gejala pemilihan bahasa dan faktor-faktor
sosial, budaya, dan situasional dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa,
baik secara korelasional maupun implikasional. Menurut Fasold (Bakti dkk,
2012:4), Adanya fenomena pemakaian variasi bahasa dalam masyarakat tutur
dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional.
C. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan disebut juga bilingualisme, yaitu berkenaan dengan
penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Mackey (Adawiyah, 2009:11)
berpendapat bahwa bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Jadi,
tentu saja untuk menggunakan dua bahasa seseorang harus menguasai bahasa itu.
Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh
penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut
dalam keadaan saling kontak. Dengan demikian, kontak bahasa terjadi dalam
diri penutur secara individual. Individu-individu tempat terjadinya kontak
bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan peristiwa pemakaian dua bahasa
atau lebih secara bergantian oleh seorang penutur disebut kedwibahasaan.
Mackey (Bakti, 2008:5) mengemukakan adanya tingkat-tingkat
kedwibahasaan, yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat kemampuan
seseorang dalam penguasaan bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan
demikian dapat dilihat dari penguasaan penutur terhadap segi-segi gramatikal,
leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan
berbahasa. Makin banyak unsur tersebut dikuasai oleh seorang penutur
makin tinggi tingkat kedwibahasaannya, makin sedikit penguasaan terhadap
unsur-unsur itu makin rendah. Selanjutnya Nababan (Bakti, 2008:5)
6
menambahkan bahwa kedwibahasaan dapat dipakai untuk perorangan
(individual bilingualisme) dan dapat juga untuk masyarakat (societal
bilingualisme). Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa tidak cukup
membatasi kedwibahasaan hanya sebagai milik individu. Kedwibahasan harus
diperlakukan juga sebagai milik kelompok karena bahasa itu sendiri tidak
terbatas sebagai alat penghubung antar individu, melainkan juga alat komunikasi
antar kelompok.
D. Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur
Terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak.
1. Peristiwa Tutur
Menurut Hyms (Alimin, 2013:8), Suatu peristiwa tutur harus meliputi
delapan komponen tutur meliputi: Setting (tempat dan waktu), participans (pihak
yang terlibat dalam tuturan), ends (maksud dan tujuan tuturan), act sequensce
(bentuk dan isi ujaran) key (nada, cara dan semangat suatu pesan di sampaikan),
instrumentalities (jalur bahasa yang digunakan, misal lisan atau tertulis), Norma
of interaction and interpretation (norma dan aturan dalam berinteraksi), genre
(jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah). komponen tutur
tersebut dikenal dengan istilah SPEAKING, yang dijabarkan lebih lanjut sebagai
berikut:
1. Setting dan Scene, dalam bagian ini unsur-unsur yang dimaksud yaitu
keadaan, suasana, serta situasi penggunaan bahasa tersebut pada waktu
dilakukan, hal ini akan mempengaruhi tuturan seseorang dalam suatu
komunikasi.
2. Participant, yaitu siapa-siapa yang terlibat dalam peristiwa berbahasa, hal ini
berkaitan antara penutur dan lawan tutur. Keputusan tindak bahasa
penutur pada bagian ini dipengaruhi olek kedudukan dan permasalahan yang
melatari suatu komunikasi.
3. End (purpose and goal ), dalam unsur ini yang dibicarakan adalah akibat atau
hasil dan tujuan apa yang dikehendaki oleh pembicara, hal ini akan
berpengaruh pada bentuk bahasa serta tuturan pembicara.
7
4. Act Sequence, dalam unsur ini yang dibicarakan adalah bentuk, isi pesan dan
topik yang akan dibicarakan dalam komunikasi. Hal ini juga berpengaruh pada
bentuk bahasa serta tuturan pembicara.
5. Key / tone of spirit of art, unsur nada suara yang bagaimana serta ragam
bahasa yang digunakan dalam komunikasi akan berpengaruh pada bentuk
tuturan.
6. Instrumentalis, yaitu tuturan akan dipakai dalam komunikasi. Jalur ini
bisa berupa tuturan melalui media cetak, media dengar, dan sebagainya.
7. Norm of intersection and interpretation, unsur norma atau tuturan yang harus
dimengerti dan ditaati dalam suatu komunikasi. Norma yang dimaksud dapat
berupa norma bahasa yang mengatur bagaimana agar bahasa tersebut mudah
dipahami.
8. Genres, yaitu unsur berupa jenis penyampaian pesan. Jenis penyampaian
pesan ini berwujud puisi, dialog, cerita dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi
oleh bentuk bahasa yang digunakan.
2. Tindak Tutur
Tindak tutur adalah telaah bagaimana seseorang dengan menggunakan
tuturan sekaligus dengan melakukan tindakan atau ucapan kepada orang lain.
Austin dan Searle (Sibarani, 2008: 24), membagi tindak tutur ke dalam tiga
bagian, yakni:
a. Lokusi: apa yang akan di sampaikan penutur dengan mitra tuturnya
b. Ilokusi: menyampaikan sesuatu dari penutur terhadap mitra tutur.
c. Perlokusi: tanggapan mitra tutur terhadap ilokusi yang disampaikan penutur
Tindak tutur ialah melakukan tindak tertentu melalui kata, misalnya
memohon sesuatu, menolak (tawaran, permohonan), berterima kasih, member
salam, memuji, minta maaf, dan mengeluh. Bentuk lahiriah tindak tutur yang
sama tidak saja dapat berbeda, tetapi daya atau kekuatan tindak tutur mungkin
pula berbeda.
8
E. Sikap Bahasa
Sikap berbahasa merupakan tata keyakinan yang berhubungan dengan
bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang
memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara
tertentu yang disukainya (Anderson, dalam Damanik 2009:23). Sikap terhadap
suatu bahasa dapat pula dilihat dari bagaimana keyakinan penutur terhadap suatu
bahasa; bagaimana perasaan penutur terhadap bahasa itu; bagaimana
kecenderungan bertindak tutur (speech act) terhadap suatu bahasa.
Chaer (Tauhid, 2008:38) membagi sikap bahasa atas dua macam, yaitu (1)
sikap kebahasaan dan (2) sikap non kebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial,
sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini dapat menyangkut
keyakinan mengenai bahasa. Dengan demikian, sikap bahasa adalah tata
keyakinan yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, dan
sebagian mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada
seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginnya. Namun, perlu
diperhatikan bahwa sikap terhadap bahasa bisa positif bisa juga negatif.
Garvin dan Mathiot (Tauhid, 2008:38-39) menyebutkan tiga ciri pokok dari
sikap bahasa, yaitu (1) kesetiaan bahasa (language loyalty), yang mendorong
masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu
mencegah adanya pengaruh bahasa lain, (2) kebangaan bahasa (language pride),
yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan mengggunakannya
sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, dan (3) kesadaran akan
adanya norma bahasa (awareness of the norm), yang mendorong orang
menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan
bahasa (language use). Ketiga ciri yang dikemukakan di atas merupakan ciri-ciri
positif terhadap bahasa. Sebaliknya, jika ketiga ciri sikap bahasa itu sudah
menghilang atau melemah dari diri seseorang atau diri sekelompok orang anggota
masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda
diri orang atau kelompok itu.
9
F. Pilihan Bahasa
Sosiolinguistik sebagai suatu bidang ilmu itu ada, karena terdapat pilihan-
pilihan dalam penggunaan bahasa. Istilah masyarakat aneka bahasa pun
mengacu kepada kenyataan bahwa di sana ada beberapa bahasa dan ada pilihan
bahasa. Dengan demikian, pilihan bahasa selalu muncul bersama dengan adanya
ragam bahasa. Oleh karena itu, pengkajian pilihan bahasa merupakan suatu aspek
penting dalam kajian sosiolinguistik.
Pemilihan bahasa oleh para ahli disebut juga dengan seleksi kode yang
dapat didefinisikan sebagai pemilihan terhadap suatu bahasa atau ragam bahasa
tertentu pada satu situasi. Jika seseorang menggunakan lebih dari satu bahasa saat
berkomunikasi dengan lainnya, mereka selalu memilih salah satu bahasa untuk
tujuan-tujuan tertentu, tempat tertentu, orang tertentu dan menggunakan bahasa
lain untuk tujuan lain, tempat lain dan orang lain.
Menurut Sumarsono dan Partana (Bakti dkk, 2008:6), terdapat tiga jenis
pilihan bahasa yang biasa dikenal dalam kajian sosiolinguistik. Pertama apa
yang disebut alih kode (code switching). Kode adalah istilah netral yang dapat
mengacu pada bahasa, dialek, sosiolek atau ragam bahasa. Jenis pilihan bahasa
yang kedua adalah campur kode (code mixing). Campur kode ini serupa dengan
apa yang dahulu pernah disebut interferensi dari bahasa yang satu ke bahasa yang
lain. Dalam campur kode, penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika
sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa lain
tersebut seringkali berwujud kata-kata, tetapi dapat juga berwujud frase atau
kelompok kata. Jika berwujud kata, biasanya gejala itu disebut peminjaman. Jenis
pilihan bahasa ketiga adalah variasi dalam bahasa yang sama (variation
within the same language). Jenis pilihan bahasa ini sering menjadi fokus kajian
tentang sikap bahasa.
Pemilihan bahasa oleh seorang individu akan melibatkan situsi psikologis,
artinya situasi pertama berhubungan dengan kebutuhan individu (personal needs),
kedua berhubungan dengan latar belakang individu (background situation), dan
ketiga berhubungan dengan kedekatan situsi (immediate situation). Pilihan bahasa
melibatkan sikap loyalitas bahasa.
10
Grosjean (Tauhid,2008:39-40) berpendapat bahwa terdapat empat faktor
yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa. Keempat faktor tersebut adalah (1)
partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan fungsi interaksi. Partisipan adalah
keahlian berbahasa, pilihan bahasa yang dianggap lebih tepat, usia, pendidikan,
pekerjaan, latar belakang etnis, keintiman dan sebagainya. Aspek yang
berhubungan dengan faktor situasi adalah lokasi atau latar, tingkat formalitas serta
kehadiran pembicara. Faktor isi wacana adalah topik, sementara faktor yang
berhubungan dengan fungsi interaksi yaitu menaikkan status, menciptakan jarak
sosial, dan memerintah serta melarang.
Menurut sugiono (Tauhid, 2008:40) situasi sosial sangat berperan aktif pula
di dalam menentukan pemilihan bahasa dimana, situasi sosial terdiri atas tiga
elemen yaitu: tempat, pelaku, dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan bahasa yang
dilakukan oleh dwibahasaan atau multibahasawan disebabkan oleh empat faktor
utama. Dari keempat faktor tersebut, tampaknya faktor partisipan menduduki
kedudukan yang lebih penting dari pada faktor-faktor lainnya. Jadi, karakteristik
pembicara dan pendengar merupakan faktor penentu terpenting dalam pemilihan
bahasa.
Ketepatan pemilihan bahasa di kalangan masyarakat pemakainya dapat
dikaji dengan menggunakan pendekatan domain yang diperkenalkan oleh
Fishman (Damanik, 2009:23). Domain merupakan konteks institusional tertentu
yang menyebabkan varietas yang satu lebih tepat digunakan dari pada varietas
lainnya. Ketepatan itu merupakan hubungan antara faktor lokasi, topik dan
partisipan.
Siregar (Siahaan, 2002:23) menyimpulkan pilih bahasa sebagai tindakan
memilih beberapa pilihan linguistik yang ada dalam reporter verbal. Pilihan
lingustik ini dapat berupa pilihan ragam-ragam dalam bahasa yang sama maupun
dalam dua atau lebih bahasa yang berbeda. Dalam penelitian yang pernah
dilakukan, siregar melihat adanya suatu perilaku bahasa yang terpola yang
dikondisikan oleh suatu hubungan timbal balik yang sangat kompleks dari faktor-
faktor yang muncul dalam situasi sosial dari peristiwa bahasa. Pemilihan bahasa
11
dipengaruhi oleh komponen tutur. Unsur yang memengaruhinya tersebut
diantaranya yaitu faktor ranah, peserta, dan norma.
12
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Jenis Pemilihan Bahasa Penjual dan Pembeli di Pasar Sudirman
Berdasarkan penelitian, bahasa yang ditemukan pada penjual dan pembeli di
pasar Sudirman adalah Bahasa Melayu Pontianak (BMP), Bahasa Indonesia (BI),
serta kemungkinan penggunaan Bahasa Daerah Lain (BL), dan Bahasa Asing
(BA). Bahasa-bahasa tersebut muncul akibat adanya peristiwa kontak bahasa
antara penjual dan pembeli di pasar Sudirman. Berdasarkan data penelitian, pada
peristiwa tutur penjual dan pembeli di pasar Sudirman terdapat fenomena campur
kode. Fenomena campur kode tersebut terjadi pada bahasa Melayu yang
diselipkan pada bahasa Indonesia.
Analisis Data 1
Konteks : Percakapan seorang bapak penjual kaos kaki dengan pembelinya, dua
orang gadis remaja berseragam SMA.
Pembeli 1 :Pak kaos kakinya berapaan pak?
Penjual : itu sepulOh dek.
Yang ni ma’k ribu dek. Yang tu sepulOh.
Pembeli 1 : harga pas pak?
Penjual : harga pas lah.
Pembeli 2 : Ndak itukah, ndak tiga sepuluh kah?
Bang?
Penjual : ah ?
Pembeli : Ndak tiga sepuluhkah Bang?
Penjual : Alah, mana dapat. Dah nai’klah dek. Lama’k dah.
Pembeli 1 : Yang di bawah ni lima ribu semua ni?
Penjual : Lima ribu. Bawah ni.
Pada tuturan di atas, penutur dan mitra tutur menggunakan bahasa
Indonesia. Namun tuturan tersebut didominasi oleh variasi bahasa penjual, yang
menggunakan dialek dan beberapa kata dalam bahasa melayu. Dalam tuturan
13
tersebut terdapat campur kode, dan penyisipan partikel bahasa bahasa melayu,
yang di sisipkan pada bahasa Indonesia, yaitu pada kata sepulOh ‘sepuluh’, nai’k
‘naik’, ‘ma’k ‘lima’, Dah ‘udah’ dan kata alah,(ungkapan yang menyatakan
kesangsian atau tanggapan yang berbeda pada sebuah tuturan) yang di selipkan
pada bahasa Indonesia.
Pemilihan bahasa Indonesia pada tuturan tersebut, disebabkan satu di antara
penutur yaitu pembeli memulai tuturan dengan menggunakan bahasa Indonesia,
sehingga penutur lain yaitu penjual memberikan tanggapan dengan bahasa sejenis.
Pemilihan bahasa Indonesia juga disebabkan penutur dan mitra tutur tidak saling
mengenal, sehingga perlunya bahasa penghubung untuk menjalin komunikasi
dalam tuturan tersebut. Adanya campur kode dan variasi bahasa berupa dialek,
yang di gunakan satu di antara penutur yaitu penjual, disebabkan karena faktor
kebiasaan si penutur dalam berbahasa. Penutur tersebut sulit meninggalkan bahasa
Melayu Pontianak karena bahasa tersebut merupakan bahasa ibunya.
Analisi Data 2
Konteks: dialog seorang ibu, berusia 35 tahun (tinggal di sungai Jawi) penjual
pakaian, dengan dua orang mahasiswa.
Penjual : Dari mana dek ? UNTAN (Universitas Tanjung Pura),
pasti ya?
Pembeli 1 : IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan).
Penjual : IKIPkan berarti UNTANkan?
Pembeli 2 : Bukan, STKIP.
Penjual : O, kapan penerimaan murid baru?
Pembeli 2 : Udah, udah kemarin.
Penjual : Iyakah? Kok ngak ada orang cari rok hitam?
Biasakan pada umumnya, kalau pemasukan anak, terima’k
anak barukan, cari rok hitam. Udah lama’k ya
penerimaannya dek? Ospeknya udah lama’k?
Pembeli 2 : Ospeknya baru kemarin.
Penjual : Oh, ya kok ngak ad yang cari-cari rok hitam ya. Ini
14
pakai rok hitamkan? kemarinkan?
Pembeli 2 : A, saya di POLNEP, ini di IKIP.
Penjual : Iyakan ? pakai rok hitamkan kan Dekkan?
Pembeli 2 : Iya hitam putih. Kalau maba (mahasiswa baru) sih pakai
hitam putih.
Penjual : Kalau polnep gimana?
Pembeli 1 : Polnep?
Penjual : Iya?
Pembeli 1 : Polnep hitam putih mabanya. Tapikan ada baju jurusan.
Pembeli 2 : Kayak gini berapa ni ?
Penjual : Seratus enam Sembilan say.
Biasa kalau penerimaan anak baru tu semua pada masih
cari rok hitam, rok putih. Kalau kemarin anak UNTAN
iya, banyak yang cari rok putih, rok hitam.
Pembeli 2 : Iya, UNTAN memang disuruh pakai rok putih. baju putih
rok putih.
penjual : Kalau anak STKIP setiap tahun tuh hitam. Biasa cari di
sini.
Pembeli 2 : Anak polnep juga. Polnep hitam putih mabanya.
Penjual : Berapa harga? Pas ya sayang?
Masih baru ya dek? Baru?
Pembeli 1 : Nggak udah semester III
Penjual : Udah semester III berarti ya. Berapa harga, cepat say.
Maunya berapa. Apalagi kita dah semester III, dah tau dah
da batik a. Apalagi cucikan ngak luntur, ngak berbulu say.
Ada pin buat ganti kok. Ambil duakah?
Pembeli 2 : Model lain ada ngak bu?
Penjual : Ah?
Pembeli 2 : Model lain?
Penjual : Kalau batik, rata-rata kalau kemeja model kayak gini say.
Kan untuk kuliahkan. Untuk kuliah rata-rata bisa. Harga
15
masih pas ya say ya. Ini cuci ngak luntur dek, sampai
kamu semester terakhir pun tetap utuh. bukan katun,
kalau katun luntur, tapi harga pun miring. Mendingan ini
say. Berapa harga?
Pembeli 1 : Berapa ?
Penjual :169 murah kok say. Bisa kurang say. Ambe’k tu kah say?
Celana sekalian ya say ya?
Pembeli 1 : Boleh lima puluhkah?
Penjual : Kalau lima puluh belum dapat. Sayang pakai delapan
lima. Kalau kita udah ada, udah taulah Say. Kasi delapan
limalah jak say
Pembeli 1 : Lima puluhlah ya?
Penjual : Belum dapat kalau batik say. Ini ukuran L lagi.
Pada dialog di atas, penjual dan pembeli menggunakan Bahasa Indonesia
(BI) dalam peristiwa tutur. Hampir tidak ditemukan bentuk campur kode pada
tuturan tersebut, hanya pada kata ambe’k ‘ambil’ dan Kasi ‘beri’, dalam bahasa
Melayu Pontianak yang disisipkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam tuturan
tersebut, terdapat variasi bahasa berupa partikel-partikel bahasa dan dialek yang
masih kental dalam penuturan bahasa penjual, sedangkan pembeli terdengar fasih
dalam berbahasa Indonesia.
Dialek penjual dalam tuturan tersebut berupa dialek Tionghoa. Hal itu,
disebabkan penjual tersebut merupakan keturunan Tionghoa, yang bahasa ibunya
merupakan bahasa tionghoa. Partikel-partikel bahasa yang digunakan penjual
berupa jak ‘saja’. Partikel bahasa tersebut muncul karena pengaruh kebiasaan dan
kebahasaan yang berlangsung di ranah sosial (pasar Sudirman), sehingga
menimbulkan penggunaan ragam bahasa non formal.
Penjual dalam tuturan tersebut menggunakan sapaan berupa kata dek/adek
dan sayang untuk menyapa pembeli. Hal tersebut bertujuan untuk menjalin
keakraban, agar pembeli merasa nyaman untuk berkomunikasi dengan penjual.
Sapaan yang digunakan penjual dalam berinteraksi dengan pembeli tersebut juga
16
merupakan strategi komunikasi yang dilakukan untuk membujuk pembeli, agar
pembeli mau membeli barang dagangan penjual.
Pemilihan bahasa Indonesia dalam peristiwa tutur tersebut disebabkan
situasi kebahasaan di pasar tersebut, yang masyarakatnya terdiri dari masyarakat
asli dan masyarakat pendatang dari berbagai daerah. Untuk menjembatani hal
tersebut, penjual dan pembeli di pasar Sudirman menggunakan BI untuk
berkomunikasi. Penggunaan BI dalam peristiwa jual beli, kebanyakan digunakan
apabila peserta tutur tidak saling mengenal atau tidak mengenal dengan baik.
Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia BI dapat pula terjadi karena penutur satu
berasal dari suku yang berbeda dengan penutur lainnya. Pemilihan jenis bahasa
yang digunakan (Bahasa Indonesia), bertujuan untuk menjalin pemahaman antara
penutur dan mitra tutur, sehingga tercapainya tujuan komunikasi, yaitu
kesepakatan dalam transaksi jual-beli.
Analisi Data 3
Konteks: Percakapan seorang penjual baju (karyawati), dengan pembeli yang
merupakan seorang remaja.
Pembeli : ada kaos Oblongkah kak ?
Penjual : kaos oblong ? a, kaos oblong, kita cari’k. Buat siape dek?
Pembeli : ah ?
Penjual : buat siape ni?
Pembeli : buat sendiri’k.
Penjual : Buat sendiri’k ? panjangkah ape?
Pembeli : hmm, pendek.
Penjual : pendek. Sebelah sini pun ade dek.
Pembeli : yang kayak gini berapa ?
Penjual : inikah? Seratus enam Sembilan. Ambe’k duakah?
yang itu ada pilihannye tu?
Pembeli : berapaan? Hampir sama kayak yang tadi.
Penjual : ah?
Pembeli : sama kayak yang tadi.
17
Penjual : bede sayang, ini bahannye bede.
Pembeli : berapaan kayak gini mbak?
Penjual : itukah?, Sembilan lima’k jak. Ambe’k duakan? Dalam jak! dalam
dalam. Ini dalam, dalam!. Ambe’k tigekah. Ambe’k tigekan?
Pembeli : ngak, tengok dulu jak mbak.
Pada peristiwa tutur di atas, penutur dan mitra tutur menggunakan bahasa
Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia tersebut dimulai oleh penutur pertama
yaitu pembeli, kemudian penjual merespon tuturan tersebut dengan bahasa yang
sama pula. Namun, pada tuturan di atas terdapat campur kode bahasa Melayu
yang dimasukkan ke dalam Bahasa Indonesia. Hal tersebut terlihat pada
percakapan antara penutur dan mitra tutur, yang ditunjukkan pada kata-kata dalam
bahasa Melayu, seperti pada kata cari’k ‘cari’, siape ’siapa’, sendiri’k ‘sendiri’,
ape ‘apa’, ade ‘ada’, Ambe’k ‘ambil’, nye ‘nya’, bede ‘beda’, bahannye
‘bahannya’, lima’k ‘ lima’, jak ‘saja’, tige ‘tiga’.
Campur kode yang dilakukan oleh penjual tersebut disebabkan oleh
pengaruh lingkungan atau tempat penjual tersebut beraktivitas yang mayoritasnya
menggunakan bahasa Melayu, sehingga penutur tersebut terpengaruh untuk
menggunakan bahasa Melayu, dengan mencampurkan bahasa Melayu tersebut ke
dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu (BM) merupakan bahasa dominan yang digunakan oleh
penjual dan pembeli di pasar Sudirman Pontianak. Pemakaian bahasa Melayu ini
juga terdapat di hampir seluruh wilayah pasar Sudirman. Bahasa Melayu biasanya
digunakan antar penutur bahasa Melayu yang saling mengenal dengan baik. Hal
inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap kebiasaan berbahasa individu
yang ada di dalam ranah tersebut.
Analisis Data 4
Konteks : Tuturan seorang Ibu penjual pakaian dan dua orang pembeli
(Mahasiswa).
Pembeli 1 : Warna apa bagus sih?
Pembeli 2 : Hijau bagus sih.
18
Pembeli1 : Ah, yang inikah?
(Kedua pembeli sambil melihat-lihat baju)
Penjual : Ibu coba inikan ya. Mau ukuran apa, M Ya ?
Pembeli1 : Ha’a, iya.
Penjual : Pakai jak, ngak apa-apa, dulu coba’k. untuk adekkan? A, pakai
jak ngak apa-apa.
Pembeli1 : Ngak apa-apa, simpan situ’k jak.
Penjual : Ngak apa-apa dek.
Penbeli1 : Ndak, coba dulu’k.
Penjual : Cocok adek beli. Ngak cocok, ngak apa-apa.
Pembeli2 : Warnanya cuma inikah bu?
Penjual : Ini warnanya tu ada ungu, ini, yang itu, yang di situ. Ah, terus
yang ada tinta masnya ini.
Pembeli1 : Kalau yang kayak gini ni berapa?
Penjual : Delapan puluh yang ada tinta masnya. Kalau inikan tujuh
puluhan.
Pembeli2 : Oh, yang kayak gini tujuh puluhan?
Penjual : Ha’a.
Pembeli1 : Kalau yang ungu tu habis-habisnya berapa buk?
Penjual : Kita udah harga pas sayang.
Pembeli2 : Oh harga pas ?
Penjual : Kalau orang yang letak harga kan, orang yang ngejual aja ngak
segitu, pasti tinggikan ? kita udah harga pas. Udah bagusnya,
sekarang di cari.
Pembeli1 : Oh, ngak bisa tawar ya.
Penjual : Ha’a, ngak main harga. Kalau main harga ngak mungkin segitu,
kan pasti tinggi.
Pembeli1 : Udah, nanti aja ya buk, ya
Penjual : Iya, ngak apa-apa
Pembeli2 : Maaf ya bu.
Penjual : Yok.
19
Pada tuturan diatas, penutur dan mitra tutur menggunakan bahasa Indonesia
secara keseluruhan. Penggunaan bahasa Indonesia tersebut dilakukan karena
penutur dan mitra tutur tersebut tidak saling mengenal dan memiliki tingkat
keakraban yang rendah. Penjual tersebut membujuk pembeli dengan
menggunakan bahasa Indonesia secara keseluruhan, bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang sejelas-jelasnya kepada pembeli, sehingga pembeli mudah
memahami maksud tuturan dari penjual tersebut. Penggunaan bahasa Indonesia,
pada peristiwa tutur tersebut menimbulkan kelancaran pada proses dan tujuan
komunikasi, karena bahasa Indonesia yang merupakan bahasa pemersatu di
Negara Indonesia, umumnya di mengerti oleh masyarakat Indonesia itu Sendiri.
B. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilihan Bahasa Penjual dan Pembeli
di Pasar Sudirman
Faktor yang memengaruhi munculnya campur kode pada bahasa penjual
dan pembeli di pasar sudirman adalah (1) bahasa ibu penutur, (2) penggunaan
kode (bahasa) yang tidak lancar, (3) pemilihan istilah populer, (4) kehadiran
penutur ketiga, (5) tingkat keakraban peserta tutur, dan (6) bahasa yang
dipilih mitra tutur. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan bahasa
penjual dan pembeli di pasar sudirman adalah ranah, peserta tutur, dan norma.
1. Ranah
Dalam penelitian ini, ranah pemilihan bahasa penjual dan pembeli di pasar
Sudirman adalah ranah pekerjaan dalam masyarakat, yang mengacu pada
lingkungan sosial yakni lingkungan pasar Sudirman. Faktor penentu utama pilihan
bahasa di pasar Sudirman Pontianak adalah domain sosialnya, yang meliputi:
lingkungan atau lokasi tutur (LT), situasi tutur (ST), dan topik tuturan (TT).
Ada enam faktor sosial yang menjadi penyebab dipilihnya bahasa tertentu
dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar Sudirman, yaitu (1) tingkat
keakraban, (2) perbedaan umur, (3) perbedaan status sosial, (4) suasana
percakapan, (5) orientasi kelompok etnis, dan (6) sifat interaksi.
Tingkat keakraban yang terjalin antara penutur dan mitra tutur merupakan
satu di antara penyebab dipilihnya suatu bahasa. Pilihan bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi dengan mitra tutur akrab, berbeda dengan pilihan bahasa
20
yang digunakan dalam berkomunikasi dengan mitra tutur tidak akrab. Perbedaan
umur menjadi peyebab dipilihnya suatu bahasa dalam sebuah peristiwa tutur. Hal
tersebut disebabkan karena umur biasanya mempengaruhi cara penjual dalam
membujuk pembeli dalam aktivitas jual-beli.
2. Peserta Tutur
Peserta tutur merupakan satu diantara penentu dalam pemilihan bahasa.
Pada komponen ini, dapat digolongkan menjadi tiga pihak, yakni (P1)
penutur, (P2) mitra tutur, dan (P3) penutur ketiga. Masing-masing akan
memilih bahasa sesuai konteks tuturannya. Berikut akan dijelaskan
komponen apa saja yang menjadi faktor peserta tutur dalam memilih bahasa
dalam tuturannya. Faktor pertama yaitu jenis kelamin, jenis kelamin
memengaruhi peserta tutur untuk memilih bahasa, seperti panggilan pada
mitra tutur. Faktor kedua yaitu usia. Usia penutur juga menjadi faktor
terpenting dalam melakukan interaksi komunikasi. Maka usia sangat
memengaruhi kedudukan dan status seseorang dalam sebuah ranah atau
kehidupan sosial. Usia juga yang menentukan orang untuk memilih bahasa yang
tepat saat bertutur dengan mitra tuturnya. Seperti halnya pada usia anak-anak,
mereka yang memiliki umur dibawah tujuh belas tahun akan memilih bahasa
yang dapat dipahami oleh dirinya sendiri dan mitra tuturnya. Seperti anak
balita yang kemampuan kosakatanya masih terbatas, ia akan menggunakan
kosakata yang sering ia dengar dari pada kosakata yang asing atau bahkan tidak
ia mengerti. Usia remaja akan menggunakan istilah-istilah yang menandakan
usianya, seperti penggunaan istilah-istilah yang sedang populer atau istilah-
istilah teknologi. Sementara usia lanjut menggunakan istilah-istilah yang
mengandung nasihat dalam setiap ucapannya.
Pendidikan menjadi faktor penting dalam memilih suatu bahasa, hal
itu sangat erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa seseorang yang
memiliki latar pendidikan tinggi atau tidaknya terdapat pada cara ia bertutur
atau memilih kode (bahasa) tutur yang tepat. Pendidikan menentukan tuturan
yang berkualitas, karena biasanya seseorang yang pengetahuannya luas
memiliki latar pendidikan yang baik. Terakhir, Tingkat keakraban antara
21
penutur dan mitra tutur menjadi faktor penanda pemilihan bahasa. Tingkat ke
akraban terjadi jika di antara penutur dan mitra tutur tidak lagi memiliki sekat
sosial seperti rasa canggung dan segan. Dengan demikian, setelah hubungan
mereka telah cukup dekat, mereka biasanya menggunakan kode tutur akrab dalam
peristiwa komunikasinya.
3. Norma
Norma yang ada pada penjual dan pembeli di pasar Sudirman ini, terlihat
pada kosakata yang dipilih dalam bertutur. Dalam berinteraksi verbal, penjual dan
pembeli di pasar Sudirman masih memegang teguh norma-norma yang ada pada
masyarakat tutur umumnya, yakni dengan tetap mempertimbangkan kepada siapa
dia bertutur dan ragam bahasa apa yang sesuai dengan sosial budayanya.
Pada peristiwa tutur penjual dan pembeli di pasar Sudirman, terdapat dua
bahasa yang dominan digunakan dalam berinteraksi verbal, yaitu bahasa
Indonesia danBahasa Melayu Pontianak. Dalam bertutur dengan mitra tutur yang
bukan berasal dari etnis Melayu atau hubungan dengan mitra tutur tidak
akrab, masyarakat tutur di pasar Sudirman cenderung menggunakan bahasa
Indonesia dalam komunikasi verbalnya. Hal ini menunjukan bahwa penutur
mempertimbangkan etika berbahasa dalam berkomunikasi dengan mitra tutur.
C. Dampak Pemilihan Bahasa Penjual Dan Pembeli di Pasar Sudirman
Dampak adanya pemilihan bahasa penjual dan pembeli di pasar Sudirman
meliputi sebagai berikut.
1. Memperlancar proses komunikasi penjual dan pembeli yang memiliki latar
belakang kebahasaan yang berbeda.
Dengan adanya pemilihan bahasa, proses komunikasi dapat berlangsung
dengan baik.
2. Terciptanya kesalingpemahaman antara penutur dan mitra tutur dalam
peristiwa tutur, sehingga timbulnya kesepakatan dalam interaksi jual-beli.
Dengan dipilihnya suatu bahasa dalam peristiwa tutur, penutur dan mitra
tutur dapat saling memahami ujaran yang di sampaikan melalui bahasa yang di
pilih oleh keduanya.
22
3. Tercapainya tujuan komunikasi dalam peristiwa tutur
Berlangsungnya suatu peristiwa tutur tentu karena adanya tujuan tertentu
yang ingin di capai, dengan adanya pemilihan terhadap suatu bahasa sebagai
media untuk menyampaikan maksud pikiran, maka penutur dan mitra tutur
dapat mencapai tujuan dari komunikasi dalam sebuah peristiwa tutur.
4. Penutur dan mitra tutur dapat saling mengimbangi kemampuan berbahasa
masing-masing.
Dengan dipilihnya suatu bahasa penutur dan mitra tutur dapat saling
menyesuaikan diri dengan bahasa yang di kuasai masing-masing dari penutur
dan mitra tutur.
5. Pelestarian terhadap keragaman bahasa yang ada pada masyarakat tertentu
(masyarakat Pontianak khususnya di pasar Sudirman).
Di pilihnya suatu bahasa pada masyarakat tertentu, dapat
mempertahankan eksisistensi bahasa-bahasa yang digunakan, baik itu bahasa
daerah, bahasa Indonesia maupun bahasa asing yang mungkin saja digunakan
oleh peserta tutur dalam peristiwa tutur.
Dampak terjadinya campur kode dalam peristiwa tutur penjual dan
pembeli di pasar Sudirman, yaitu: (1). berlangsungnya proses komunikasi,
berdasarkan tingkat kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa dan
menyesuaikan diri terhadap kemampuan mitra tuturnya. (2) Rusaknya tatanan
bahasa Indonesia yang diakibatkan adanya campur kode pada penggunaan
bahasa Indonesia tersebut.
23
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka
simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pilihan bahasa yang ditemukan pada penjual dan pembeli di pasar
Sudirman adalah Bahasa Melayu Pontianak (BMP), Bahasa Indonesia (BI),
serta kemungkinan penggunaan Bahasa Daerah Lain (BL), dan Bahasa
Asing (BA). Berdasarkan data penelitian, pada peristiwa tutur penjual dan
pembeli di pasar Sudirman terdapat fenomena campur kode. Fenomena
campur kode tersebut terjadi pada bahasa Melayu yang diselipkan pada
bahasa Indonesia.
2. Faktor yang memengaruhi munculnya campur kode pada bahasa penjual
dan pembeli di pasar sudirman adalah (1) bahasa ibu penutur, (2)
penggunaan kode (bahasa) yang tidak lancar, (3) pemilihan istilah populer,
(4) kehadiran penutur ketiga, (5) tingkat keakraban peserta tutur, dan
(6) bahasa yang dipilih mitra tutur. Adapun faktor-faktor yang
memengaruhi pemilihan bahasa penjual dan pembeli di pasar sudirman
adalah ranah, peserta tutur, dan norma.
3. Dampak adanya pemilihan bahasa penjual dan pembeli di pasar Sudirman
meliputi: (a) Memperlancar proses komunikasi penjual dan pembeli yang
memiliki latar belakang kebahasaan yang berbeda. (b) Terciptanya kesaling
pemahaman antara penutur dan mitra tutur dalam peristiwa tutur, sehingga
timbulnya kesepakatan dalam interaksi jual-beli. (c) Tercapainya tujuan
komunikasi dalam peristiwa tutur, (d) Penutur dan mitra tutur dapat saling
mengimbangi kemampuan berbahasa masing-masing. (e) Pelestarian
terhadap keragaman bahasa yang ada pada masyarakat tertentu (masyarakat
Pontianak khususnya di pasar Sudirman). Dampak terjadinya campur
kode dalam peristiwa tutur penjual dan pembeli di pasar Sudirman, yaitu:
(1). berlangsungnya proses komunikasi, berdasarkan tingkat kemampuan
penutur dalam menggunakan bahasa dan menyesuaikan diri terhadap
24
kemampuan mitra tuturnya. (2) Rusaknya tatanan bahasa Indonesia yang
diakibatkan adanya campur kode pada penggunaan bahasa Indonesia
tersebut.
B. Saran
Pertama, saran kepada para mahasiswa, khususnya yang berkecimpung
dalam dunia kebahasaan, hendaknya meneliti dan mengkaji bahasa-bahasa yang
tumbuh dan berkembang dalam lingkup kehidupan sehari-hari, demi memperoleh
pengetahuan dan pemahaman mengenai jenis bahasa apa saja yang mendominasi
kehidupan masyarakat dalam lingkup kehidupan sehari-hari, dari masing-masing
individu tersebut (mahasiswa yang bersangkutan), sehingga data-data yang di
hasilkan dapat menjadi satu di antara tulisan yang mencatat sejarah penggunaan
dan perkembangan bahasa Indonesia pada masa yang akan datang. Mahasiswa
yang begelut dalam bidang kebahasaan juga hendaknya, menerapkan dan
membuktikan teori-teori yang telah di kemukakan para ahli, dengan melakukan
berbagai bentuk penelitian, sebagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan,
memperdalam ilmu pendidikan, mempertinggi daya kreatifitas dalam menyajikan
ilmu pendidikan yang berkualitas, serta melestarikan bentuk bahasa yang di
pergunakan masyarakat Indonesia dalam wilayah-wilayah yang menjadi target
penelitian pada masa perkembangannya.
Kedua, saran kepada peneliti lain, mengingat berbagai kekurangan yang ada
dalam tulisan peneliti ini, seperti pada kajian bahasa dalam penelitian,
pemahaman mengenai ilmu bahasa yang masih terbatas, serta minimnya
pengalaman peneliti dalam dunia bahasa dan penelitian bahasa. Kepada peneliti
lain hendaknya semakin memperkaya, meningkatkan dan memperdalam
pengetahuan dalam berbagai ranah ilmu bahasa (linguistic), demi terciptanya
tulisan berupa data-data pendidikan (penelitian) yang bermutu, serta secara terus
menerus memperkaya pengalaman dengan melakukan penelitian, yang secara
tidak langsung melatih kemampuan peneliti dalam berkarya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, R. (2009). Analisis Pemakaian Interferensi Pada Rubik Bianglala
Majalah Anninda. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Http://pasca.usu.ac.id. Pdf. Di unduh pada 14 Oktober 2014.
Alimin, A. A. (2013). Analisis Alih Kode Tabloid PULSA Rubik Connect Edisi
259 Th X/2012/8-21 Mei. Pdf. Universitas Sebelas Maret.
Anjar, F. K. (2013). Faktor Penyebab Variasi Bahasa Lisan Pada Penghuni Kos
Coklat. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Pdf. Http://pasca.usm.ac.id.
Di unduh pada 10 Oktober 2014.
Bakti, H.M, dkk. (2012). Wujud pilihan Bahasa Masyarakat Samin Dalam Ranah
Keluarga. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Http://pasca.uns.ac.id.
Pdf. Diunduh pada 10 Oktober 2014.
Damanik, R. (2009). Pemertahanan Bahasa Sialungun di Kabupaten
Simalungun.Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Http://pasca.usu.ac.id. Pdf. Di unduh pada 14 Oktober 2014.
Handayani, S.M dan Atiqa S. (2005). Variasi Bahasa Lisan Penjual Dan Pembeli
di Pasar Gede Kota Surakarta. Surakarta : Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Http://pasca.ums.ac.id. Pdf. Diunduh pada 10 Oktober 2014.
Saddhono, K. (2006). Bahasa Etnik Madura Di Lingkungan Sosial: Kajian
Sosiolinguistik Di Kota Surakarta. Surakarta: UNS.
Siahaan, R. (2002). Kajian Kasus Tentang Tingkat Pemertahanan Bahasa Pada
Masyarakat Batak Toba di Medan Berdasarkan Perilaku Pilih Bahasa.
Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara. Http://pasca.unu.ac.id. Pdf.
Diunduh pada 10 Oktober 2014.
Sibarani, T. (2008). Tindak Tutur Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Batak
Toba. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
26