Post on 24-Jan-2023
117
KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA ARAB
Hamzah
IAI DDI Polewali Mandar, Sulawesi Barat
hamzah87_aziz@ymail.com
Abstrak: Paradigma pembelajaran saat ini sudah mengalami pergeseran besar-
besaran dengan dalih bahwa tidak ada satu metode atau strategi apapun yang cocok
diterapkan dalam segala situasi dan kondisi. Perubahan paradigma dari behaviorisme
ke konstruktivisme membawa dampak dalam pembelajaran. Bahkan negara
Amerika, Eropa dan Australia telah banyak dipengaruhi prinsip konstruktivisme
dalam sistem pendidikan mereka selama 20 tahun terakhir yang awalnya guru
berperan sebagai teknisi aktif dan bersifat knowledge transfer menjadi tidak lebih
sebagai mediator dan fasilitator. Orientasi pembelajaran saat ini beralih makin jauh
ke arah fokus perhatian terhadap siswa untuk lebih berperan aktif dan interaktif
dalam mengembangkan pengetahuan dan potensi dirinya. Schunk menegaskan
bahwa alih-alih sejumlah peneliti pembelajaran berbicara tentang bagaimana
pengetahuan diperoleh (acquisition) tetapi mereka berbicara bagaimana pengetahuan
dibangun (constcruction). Dampak dari perubahan ini berimplikasi terhadap proses
belajar dan proses mengajar, mulai dari makna belajar dan mengajar, peran siswa
dan guru, strategi belajar dan mengajar, dan evaluasi proses belajar siswa.
Kata Kunci: Konstruktivisme, strategi pembelajaran, pembelajaran bahasa Arab
Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan teori pembelajaran, terdapat tiga teori besar yang
dilahirkan yaitu: teori behaviorisme, teori kognitivisme dan teori konstruktivisme
(Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007). Ada juga yang menyebutkan empat teori
besar dengan menambahkan satu teori lain yaitu teori humanisme, sehingga menjadi
empat teori (Parwati et al., 2018). Teori-teori belajar tersebut merupakan dasar dalam
merancang kegiatan dan proses pembelajaran untuk merealisasikan tujuan, yang
kemudian mengarah ke pemilihan pendekatan, metode dan teknik yang akan
dipergunakan.
Teori pembelajaran bahasa menjadi aspek yang sangat penting untuk diketahui
oleh para linguis dan psikolog. Sehingga melahirkan suatu disiplin baru tersendiri yaitu
psikologi bahasa yang merupakan gabungan dari ilmu psikologi (untuk teori
pembelajaran) dan linguistik umum (untuk teori-teori bahasa dan pemerian bahasa),
yang dikenal dengan istilah psikolinguistik.
Spolsky (1980) menyebutkan bahwa pengajaran bahasa (pedagogi bahasa
kedua) mempunyai tiga sumber utama yaitu 1) linguistik (pemerian bahasa), 2)
psikolinguistik (teori pembelajaran bahasa), 3) sosiolinguistik (teori pemakaian bahasa).
Kemudian teori pembelajaran bahasa (psikolinguistik) diturunkan ke teori pembelajaran
(psikologi) dan teori-teori bahasa dan pemerian bahasa (linguistik umum). Sehingga
secara umum, terdapat 4 disiplin yang mendasari pengajaran bahasa, yaitu 1) psikologi,
2) lingusitik umum, 3) psikolinguistik, dan 4) sosiolinguistik (Tarigan, 1991:26-29.)
Sebagaimana diketahui bahwa teori yang merajai panggung pembelajaran
bahasa sekian abad lamanya dari empat teori besar tersebut adalah teori Behaviorisme,
dengan metode unggulannya “audiolingual method” (thariqah sam‟iyah syafawiyah).
Bahkan Ibrahim al-Ushaili menyebutkan bahwa meskipun sudah terjadi peralihan
paradigma (inveronmentalis ke interaksionis) namun praktik-praktik metode
118
audiolingual masih mendominasi metode pengajaran bahasa Arab untuk non-Arab,
khususnya dalam program pembelajaran formal di universitas-universitas, lembaga
maupun di pusat-pusat bahasa milik pemerintah (Al-Ushaili, 1999:124).
Namun seiring dengan perkembangan zaman, khususnya di bagian Eropa,
Amerika dan Australia, teori belajar konstruktivisme menjadi sebuah teori kontemporer
dan idola untuk diterapkan dalam pembelajaran mereka. Sebagaimana diterangkan oleh
Suparno bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, prinsip belajar konstruktivisme
telah banyak mempengaruhi sistem pendidikan yang ada di Eropa, Amerika dan
Australia (Suparno, 1997; Euis Nurhidayati, 2017).
Penelitian pendidikan sains telah menunjukkan suatu pergeseran ke arah
paradigma konstruktivis selama 20 tahun terakhir. Kontruktivisme menjadi sebuah
aliran yang cukup banyak dipelajari, diteliti dan diperbincangkan. Pada tahun 1983, 60
makalah disajikan di Konferensi Internasional Pertama tentang misconceptions di
Cornell University. Kemudian pada tahun 1987, 160 makalah dalam disajikan dalam
Konferensi Kedua, dan pada tahun 1993, 250 makalah disajikan pada Konferensi Ketiga
(Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997:11-12).
Paradigma pembelajaran saat ini sudah mengalami pergeseran besar-besaran
dengan dalih bahwa tidak ada satu metode atau strategi apapun yang cocok diterapkan
dalam segala situasi dan kondisi. Paradigma pembelajaran yang selama ini
mendudukkan pengajar sebagai pusat pembelajaran (teacher center learning) tidak lagi
diberikan porsi dominan sebagai teknisi aktif dan knowledge transferer, melainkan
penekanannya terlebih kepada pelajar (student center learning) untuk lebih aktif dalam
membangun pengetahuannya, sehingga peran pengajar pada masa konstruktivisme tidak
lebih dari pada seorang fasilitator dan mediator untuk membantu seorang pelajar dalam
membangun pengetahuannya.
Pergeseran paradigma dari Behaviorisme ke Konstruktivisme membawa
perubahan yang begitu dominan dalam sistem pendidikan, dimana pelajar menjadi pusat
perhatian dalam pembelajaran. begitu pula membawa pengaruh cukup besar bagi
peserta didik dalam proses membangun pengetahuan. Perubahan mendasar ditandai dari
yang semula memandang peserta didik sebagai objek pasif (yang memerlukan dorongan
dan penguatan dari seorang guru (teacher centered) dalam menghasilkan pengetahuan)
ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) secara aktif dalam
kegiatan pembelajaran untuk menghasilkan pengetahuan (Udin Erawanto, 2013: 150).
Schunk menegaskan bahwa alih-alih sejumlah peneliti pembelajaran hari ini berbicara
tentang bagaimana pengetahuan diperoleh (acquisition), melainkan mereka berbicara
tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun (construction) (Schunk, 2012:320).
Teori belajar konstruktivisme disebut oleh Munayf sebagai teori belajar
kontemporer (mu‟asirah), yaitu teori dimana para pelajar sendiri yang membangun
pengetahuannya lewat skemata yang dimilikinya dengan bantuan dan bimbingan dari
seorang pengajar (scaffolding).
Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme dalam dunia pendidikan pertama kali muncul pada abad ke-20,
sekitar tahun 1980-an melalui karya Bruner dan Von Glasersfeld (Abrar Rangkuti,
t.t.:2). Namun benih-benih konstruktivisme sudah ada dan bisa dilacak lewat karya
Filosof Italia Giambattisa Vico pada tahun 1710 M (Munayf Hudhair, 2013:17).
Vico dalam sebuah tulisan filsafatnya yang berjudul “De Antequissima Italorum
Sapientia” mengungkapkan bahwa “Tuhan adalah pencipta alam, dan manusia adalah
119
tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui
bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika
ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico,
hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini kare hanya Dia yang tahu
bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu, orang hanya dapat
mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Von Glasersfeld, 1988 dalam
Suparno, 1997: 24).
Para tokoh pedagogi menilai bahwa konstruktivisme muncul sebagai hasil dari
pada pemikiran para ilmuan dan filosof tentang sebuah pengetahuan. Seperti seorang G.
Vico, Kant, P. Moreau, R. Chambers, John Dewey, Piaget dan Vygotsky (Munayf
Hudhair, 2013:17). Kemudian Piaget dan Vygotsky dianggap sebagai dua tokoh yang
paling berpengaruh dalam kemunculan teori konstruktivisme.
Schunk menjelaskan bahwa pengaruh besar yang mendorong kemunculan
konstruktivsme adalah teori dan perhatian dari dalam ilmu perkembangan manusia
terutama teori-teori Peaget dan Vygotsky. Teori Peaget dan Vygotsky merupakan
peletak pondasi bagi gerakan para konstruktivis. Penekanan yang diberikan teori-teori
ini terhadap peran konstruksi pengetahuan merupakan hal pokok dalam konstruktivsme
(Schunk, 2012:320; Munayf Hudhair, 2013:18).
Konstruktivisme merupakan perspektif psikologis dan penjelasan filosofis
tentang sifat pembelajaran, yang memandang bahwa masing-masing individu
membentuk dan membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami
(Bruning et.al, 2004; Hyslop-Margison & Strobel, 2008; Simpson, 2002; Schunk,
2012:322).
Von Glasersfeld & Matthews menjelaskan bahwa konstruktivisme merupakan
salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah
konstruksi (bentukan) kita sendiri. Ia menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah
gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk
skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan
(Suparno, 1997:18).
Adapun Karli dan Yuliariatiningsih menilai bahwa konstrukvisme merupakan
sebuah pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses
belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya
dapat diatasi melalui pengetahuan diri, dan pada akhirnya pengetahuan akan dibangun
oleh anak melalui pengalaman dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Atas dasar ini
dapat dipahami bahwa syarat utama dari konstruktivisme dalam pembelajaran adalah
adanya pengetahuan awal atau pengalaman sebelumnya (skemata) sebagai pembanding
terhadap pengetahuan yang diterima untuk dikonstruksi dan dibangun menjadi sebuah
pengertian dan pengetahuan baru.
Von Glasersfeld mengemukakan bahwa beberapa kemampuan yang diperlukan
dalam proses mengonstruksi pengetahuan adalah:
1. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
2. Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan mengenai
persamaan dan perbedaan tentang suatu hal.
3. Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada
yang lain (selective conscience) (Ummi dan Mulyaningsih, 2016).
Brunner mengungkapkan bahwa dasar teori konstruktivisme dalam
pembelajaran adalah didasarkan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam
120
psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-teknik dalam modifikasi
prilaku yang didasarkan pada teori operan conditioning dalam psikologi behavioral.
Premis dasarnya adalah bahwa individu harus secara aktif “membangun” pengetahuan
dan keterampilannya (Nurhadi dan Qaddafi, 2015).
Adapun hakikat belajar, konstruktivisme memahaminya sebagai kegiatan
manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi
makna pada pengetahuan sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri
bersifat rekaan dan bersifat tidak stabil, sehingga pemahaman yang diperoleh manusia
bersifat tentatif pula dan tidak lengkap, dan akan semakin mendalam dan kuat
pemahaman manusia apabila teruji dengan pengalaman-pengalaman baru (skemata)
(Nurhadi dan Qaddafi, 2015). Oleh karenanya, pembelajaran dalam konstruktivisme
dipahami sebagai kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya, karena pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan
dari guru ke siswa.
Pembelajaran berarti partisipasi guru bersama peserta didik (dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejalasan, bersikap kritis dan mengadakan
justifikasi (mengambil kesimpulan), proses membantu seseorang dalam berpikir secara
benar dengan cara membiarkannya berpikir sendiri. Berpikir yang baik lebih penting
dari pada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan. Seseorang yang
mempunyai cara berpikir yang baik dapat menggunakan cara berpikirnya dalam
menghadapi persoalan lain. kemampuan ini tidak dimiliki siswa yang hanya dapat
menemukan jawaban yang benar, sehingga ia belum tentu bisa memecahkan masalah
yang lain (Frans A. Rumate, 2005:12).
Aktifitas-aktifitas pembelajaran konstruktivis meliputi mengamati fenomena-
fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis,
bekerja sama dengan orang lain, dan menentukan tujuan dan mengevaluasi kemajuan
mereka dan bertindak melampaui standar yang diisyaratkan (Schunk, 2012:324).
Adapun asumsi utama dari konstruktivisme menurut Schunk adalah:
1. Manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri
mereka sendiri.
2. Untuk memahami materi dengan baik maka siswa harus menemukan prinsip-
prinsip dasar yang dipelajarinya.
3. Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran
dengan cara tradisional kepada para siswa.
4. Guru seharusnya membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa
terlibat secara aktif dengan materi melalui dengan pengolahan-materi dan
interaksi sosial (Schunk, 2012:324).
Adapun prinsip-prinsip konstruktivisme yang berkaitan dengan pembelajaran
adalah:
1. Pengetahuan dibangun oleh mahasiswa sendiri, baik secara personal maupun
sosial.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari seorang guru ke siswa kecuali
melalui keaktifan mahasiswa sendiri untuk menalar.
3. Mahasiswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus sehingga selalu
terjadi perubahan konsep menuju yang lebih rinci, lengkap serta sesuai
dengan konsep ilmiah.
4. Dosen sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar konstruksi
mahasiswa dapat terlaksana (Suparno, 1997:49; Frans A. Rumate, 2005:8-9).
121
Konstruktivisme Piaget & Vygotsky
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan.
Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak lepas dari dua orang tokoh psikologi
(psikolog) yaitu Jean Piaget dan Lev S. Vygotsky. Keduanya dianggap sebagai tokoh
yang paling berpengaruh dalam kemunculan teori konstruktivisme.
Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif ke araha perkembangan
terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser disebabkan
karena ada sebuah informasi baru (skemata) yang diterima melalui proses
ketidakseimbangan (disequilibrium). Selain itu keduanya juga menekankan pada
pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi
kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan pengubahan secara
konseptual (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:117).
Hanya saja perbedaannya adalah, Jean Piaget banyak menekankan dan
membahas konstruktivisme proses belajar dari sisi personal (individual cognitive
constructivist). Sedangkan Lev S. Vygotsky mengembangkannya dengan menekankan
dan membahas proses belajar dari sisi sosial (sociocultural constructivist). Dua
pandangan tersebut mendominasi konsep konstruktivisme (Euis Nurhidayati, 2017).
Konsep Belajar Konstruktivisme Piaget
Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme
dalam proses belajar. Ia menjelaskan bagaimana proses pengetahuan seseorang dalam
teori perkembangan intelektual. Piaget dipengaruhi keahliannya dalam bidang Biologi.
Ia percaya bahwa makhluk hidup perlu beradaptasi dan mengorganisasi lingkungan fisik
di sekitarnya agar tetap hidup. Baginya, pikiran dan tubuh juga terkena aturan main
yang sama. Oleh karena itu, ia berpikir bahwa perkembangan pemikiran juga mirip
dengan perkembangan biologis, yaitu perlu beradaptasi dengan dan mengorganisasi
lingkungan sekitar. Piaget sendiri menyatakan bahwa teori pengetahuan itu pada
dasarnya adalah teori adaptasi pikiran (kognitif) ke dalam suatu realitas, seperti
organisme beradaptasi ke dalam lingkungannya (Suparno, 1997:30).
Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya seperti
sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda.
Sehingga pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh oleh
masing-masing individu dan disimpan dalam otak yang berbeda. Dan setiap pengalaman
baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak tersebut atau struktur pengetahuan dalam
otak manusia. Oleh karena itu, pada saat manusia belajar menurur Piaget, sebenarnya
telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu: proses organisasi informasi dan proses
adaptasi (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:118; Munayf Hudhair, 2013:20-23).
1. Proses organisasi: adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang
diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau
sudah ada sebelumnya di dalam otak. Melalui proses organisasi inilah manusia
dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan
informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga
manusia dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi atau pengetahuan
tersebut.
2. Proses adaptasi: adalah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama,
mengintegrasikan pengetahuan yang diterima oleh manusia atau disebut dengan
asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan
struktur pengetahuan yang baru, sehingga akan terjadi keseimbangan
122
(equilibrium). Dalam proses adaptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep
dasar, yaitu: skemata, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan (equilibrium).
1) Skemata
Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep
atau kategori yang digunakan individu ketika berinteraksi dengan lingkungan.
Skemata ini senantiasa berkembang. Perkembangan ini dimungkinkan oleh
stimulus-stimulus yang dialaminya yang kemudian diorganisasikan dalam
pikirannya. Semakin mampu seseorang membedakan satu stimulus dengan
stimulus lainnya, maka semakin banyak skemata yang dimilikinya.
2) Asimilasi
Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru
ketika seseorang memadukan stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau
perilaku yang sudah ada. Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata,
tetapi mempengaruhi atau memungkinkan pertumbuhan skemata.
3) Akomodasi
Akomodasi adalah proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai
dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut menghasilkan terbentuk
skemata baru dan berubahnya skemata lama. Di konsep akomodasi tampak
terjadi perubahan secara kualitatif, sedangkan pada asimilasi terjadi perubahan
secara kuantitaif. Jadi pada hakikatnya, akomodasi menyebabkan terjadinya
perubahan atau pengembangan skemata.
Sebelum terjadi akomodasi, struktur mental anak mengalami
ketidakstabilan (disequilibrium) di saat menerima stimulus baru (proses
asimilasi). Tatkala terjadi akomodasi secara bersamaan maka struktur mental
anak akan stabil kembali, dan begitu seterusnya.
Begitulah proses asimilasi dan akomodasi terjadi secara terus menerus
dan menjadikan skemata manusia berkembang bersama dengan waktu dan
bertambahnya pengalaman. Dengan kata lain, proses asimilasi dan akomodasi
terkoordinasi dan teintegrasi menjadi penyebab terjadinya adaptasi intelektual
dan perkembangan struktur intelektual.
4) Keseimbangan (equilibrium)
Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk
mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian adanya
keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi. Seandainya hanya
terjadi asimilasi secara kontinyu maka yang bersangkutan hanya akan
memiliki beberap pemahaman atau skemata global dan tidak mampu melihat
perbedaan antara berbagai hal. Begitu pun sebaliknya, jika akomodasi saja
yang terjadi secara kontinyu maka individu hanya akan memiliki skemata
yang kecil-kecil saja dan tidak memliki skemata yang umum, maka individu
tidak akan mampu melihat persamaan-persamaan di antara berbagai hal. Itulah
sebabnya sehingga musti ada keserasian yang Piaget menyebutnya dengan
keseimbangan (equilibrium).
Dengan adanya keseimbangan ini maka efisiensi interaksi antara anak
yang sedang berkembang dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin.
Dengan kata lain, terjadi keseimbangan antara faktor-faktor internal dengan
faktor-faktor eksternal.
123
Proses perkembangan Intelektual (development processes)
Proses Adaptasi (adaptation)
Asimilasi (assimilation)
Keseimbangan (equilibrium)
Proses Organisasi (organitation)
Skemata (Schemes)
Akomodasi (accomodation)
Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh faktor herediter (bawaan
keturunan) dan lingkungan. Sehingga hal ini membuat kemampuan anak
dalam melakukan proses asimilasi, akomodasi dan keseimbangan juga ikut
terpengaruh. Jelasnya, proses adaptasi adalah keseimbangan antara proses
asimilasi dan akomodasi. Apabila individu melalui proses asimilasinya tidak
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, terjadilah ketidakseimbangan.
Keseimbangan itulah yang mendorong terjadinya proses akomodasi dimana
struktur kognitifnya sebelumnya mengalami perubahan atau penambahan
skema sehingga terciptalah keseimbangan.
Jadi, perkembangan intelektual adalah suatu proses yang kontinyu dari
keadaan seimbang – tidak seimbang – seimbang dan terjadi setiap saat pada
setiap fase perkembangan manusia.
Gambar: Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Proses adaptasi manusia dalam menghadapi pengetahuan baru juga akan
ditentukan oleh fase perkembangan kognitifnya. Piaget membagi fase perkembangan
manusia ke dalam empat fase perkembangan, yaitu:
1. Periode sensorimotor: usia 0 s/d 2 tahun.
2. Periode preoperasional: usia 2 s/d 7 tahun.
3. Periode Operasional Konkret: usia 7 s/d 11 tahun.
4. Periode Operasioal Formal: usia 11 s/d 15 tahun.
Berikut tabel tahap perkembangan kognitif manusia beserta gambaran
perkembangannya menurut Piaget.
Tahap Usia / Tahun Gambaran
Periode Sensorimotor 0 s/d 2 tahun
Bayi bergerak dari tindakan refleks instingtif pada
saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis.
Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia
melalui pengkoordinasian pengalaman-pengalaman
sensor dengan tindakan fisik.
Periode Preoperasional 2 s/d 7 tahun
Anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-
kata dan gambar-gambar.
Kata-kata dan gambar ini menunjukan adanya
peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui
hubungan informal sensor dan tindak fisik.
Periode Operasional Konkret 7 s/d 11 tahun Anak dapat berpikir secara logis mengenai
124
peristiwa-peristiwa yang konkret dan
mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-
bentuk yang berbeda.
Periode Operasional Formal 11 s/d 15 tahun
Anak remaja berpikiran dengan cara yang lebih
abstrak dan logis.
Pemikiran lebih idealistik.
Tabel: Tahap Perkembangan Kognitif Manusia
Paradigma konstruktivisme oleh Piaget melandasi timbulnya strategi kognitif
yang disebut dengan metacognition. Metacognition merupakan keterampilan yang
dimiliki oleh para pelajar dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. Menurut
Preisseisen, metacognition meliputi empat jenis keterampilan, yaitu:
1. Keterampilan pemecahan masalah (problem solving)
2. Keterampilan pengambila keputusan (decision making) 3. Keterampilan berpikir kritis (critical thinking)
4. Keterampilan berpikir kreatif (creatif thinking). Keterampilan-keterampilan tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya,
kadang pada saat bersamaan seseorang menggunakan strategi kognitifnya untuk
memecahkan masalah, maka dia menggunakan keterampilan untuk memcahkan
masalah, mengambil keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif sekaligus (Euis
Nurhidayati, 2017).
Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Jikalau konsep belajar Piaget penekanannya kepada individu, maka konsep
belajar Vygotsky lebih kepada sosial. Menurut Vygotsky, belajar merupakan proses
yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses secara biologi
sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi
dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga, munculnya
perilaku seseorang karena intervening kedua elemen tersebut. Keterlibatan alat indera
dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam mengelola informasi yang diperoleh
merupakan proses secara fisik psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar.
Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial bagi
perkembangan belajar seseorang. Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika
seorang anak dalam perkembangan zone proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh
seorang anak ketika ia melakukan perilaku sosial. Zona ini dapat juga diartikan sebagai
seorang anak yang tidak dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan kelompok atau
orang dewasa (scaffolding). Dalam belajar, zona ini dapat dipahami sebagai selisih
antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan bantuan
orang dewasa. Maksimalnya perkembangan zone proximal ini tergantung pada
intensifnya interaksi antara seseorang dengan lingkungan sosial (Baharuddin dan Esa
Nur Wahyuni, 2007:124).
Vygotsky (konstruktivis sosial) menegaskan bahwa pembelajaran dalam
kelompok sosal dan kerja sama dengan teman sebaya adalah cara yang bermanfaat
(Ratner, Foley & Gimpert, 2002). Ketika para siswa menjadi model bagi teman-teman
mereka dan mengamati teman-teman mereka sebagai model mereka, mereka tidak
hanya mengajarkan keterampilan-keterampilan tetapi juga mengalami efektifitas diri
yang lebih tinggi untuk belajar (Schunk, 2012:328).
125
Pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif menurut Vygotsky
telah melahirkan konsep perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif manusia ini
berkaitan erat dengan perkembangan bahasanya. Karena bahasa merupakan
perkembangan mental manusia. Untuk itu, Vygotsky membagi perkembangan kognitif
yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi empat tahap, yaitu preintelectual
speech, naive psychology, egosentric speech dan inner speech/private speech. Berikut
tabel beserta gambaran perkembangannya. Tahap Gambaran
Preintelectual Speech
Tahap awal dalam perkembangan ketika manusia baru lahir yang
ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara biologis seperti
menangis, mengoceh, menghentakkan kaki, menggoyang-goyangkan
tangan yang secara perlahan-lahan akan berkembang menjadi bentuk
yang sempurna seperti berbicara dan berperilaku.
Naive Psychology
Pada tahap kedua ini, anak mulai memberi nama terhadap objek-objek
yang diamati dan sudah bisa mengucapkan beberapa kata dalam
berbicara. Anak juga sudah dapat mencapai pemahaman verbal dan
menggunakannya dalam berkomunikasi dengan lingkungannya.
Sehingga sudah bisa meningkatkan kemampuan bahasanya dan
mempengaruhi cara berpikir dan berperilakunya.
Egosentric Speech
Tahap ini terjadi ketika anak berumur 3 tahun, yaitu anak selalu
melakukan percakapan tanpa perdulikan orang lain (didengarkan atau
tidak).
Inner Speech/Private Speech
Tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam mengarahkan
perilaku sesorang. Yaitu percakapan privasi terhadap diri sendiri lewat
mencari tahu sendiri cara penyelesaian masalah tanpa bantuan orang
lain. ini sering dialami baik anak-anak maupun orang dewasa.
Tabel 2: Tahap Perkembangan Kognitif Berdasarkan Perkembangan Bahasa
Ide dasar lain dari konsep Vygotsky adalah scaffolding. Yaitu memberikan
dukungan atau bantuan seorang anak yang sedang pada masa zone proximal, kemudian
lambat laun dikurangi dukungan dan bantuan setelah anak mampu untuk memcahkan
persoalan dari tugas yang dihadapinya (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:127).
Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Bahasa Arab
1. Makna Belajar dan Mengajar
Berdasarkan prinsip dasar konstruktivisme bahwa pengetahuan dibentuk
sendiri oleh pelajar, maka belajar menurut kaum konstruktivis merupakan proses
aktif pelajar dalam mengkonstruksi makna. Belajar juga diartikan sebagai proses
mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang sudah
dipelajari sebelumnya sehingga pengertiannya bisa dikembangkan. Proses tersebut
bercirikan: a) belajar berarti membentuk makna, b) belajar bukanlah kegiatan
mengumpulkan fakta melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan
membuat pemikiran yang baru, c) proses belajar yang sebenarnya adalah pada saat
terjadi tidak keseimbangan (disequilibrium).
Sedangkan makna mengajar bagi kaum konstruktivis bukanlah kegiatan
memindahkan pengetahuan dari guru ke pelajar, melainkan suatu kegiatan yang
membuat pelajar menjadi belajar dan memungkinkan ia membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi pelajar dalam membangun sendiri
126
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan
justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu kegiatan yang membelajarkan pelajar secara
mandiri untuk membentuk pengetahuannya. Dalam proses mengajar, kegiatan
mencari tahu, mencari solusi, membentuk sendiri dan menentukan sendiri secara
mandiri oleh pelajar sangat dipentingkan dalam konstruktivisme.
2. Peran Pelajar dan Pengajar
Berdasarkan pengertian belajar yang merupakan proses aktif pelajar dalam
mengkonstruksi makna dan membangun sendiri pengetahuannya, maka peran
pelajar tentunya menjadi sentral dalam proses pembelajaran (student centered
learning). Pelajar sendiri yang aktif membangun pengetahuannya, membentuk
pengertian dan konsep dari pengetahuan lama menjadi sebuah pengetahuan baru
dengan bimbingan seorang guru dalam membantu belajar untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Bahkan konstruktivisme menyebutkan bahwa pelajar
sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Oleh karenanya
pembelajaran dalam konstruktivisme lebih mengedepankan strategi pembelajaran
yang berpusat pada pelajar.
Sedangkan peran pengajar dalam konstruktivisme tidak lebih dari sebagai
fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajar pelajar berjalan dengan
baik dan mampu mengkostruksi pengetahuannya sendiri. Maka tugas pengajar
dalam proses pembelajaran adalah a) menjadi mitra yang aktif bertanya, b)
merangsang pemikiran pelajar, c) menciptakan persoala, d) membiarkan murid
mengungkapkan gagasan dan konsepnya, e) kritis menguji konsep murid, f)
menghargai dan menerima pemikiran pelajar apapun adanya, g) menguasai bahan
atau materi ajar secara luas dan mendalam, dan h) memonitor, mengevaluasi dan
menunjukkan apakah pemikiran si pelajar jalan atau tidak.
3. Strategi Belajar dan Mengajar
Strategi belajar maupun mengajar dalam konstruktivisme secara baku tidak
ada, akan tetapi strategi apa saja bisa digunakan yang penting sesuai dengan asumsi
dan prinsip belajar konstruktivisme. Maka berdasarkan asumsi dan prinsip
kontruktivisme yang disebutkan bahwa pengetahuan dibentuk oleh pelajar sendiri
secara aktif dan terus menerus baik secara individual (individual constructivist)
maupun sosial (social constructivist) maka strategi belajar yang bisa digunakan
oleh pelajar adalah strategi yang menyebabkan dirinya belajar aktif, belajar
mandiri, belajar memecahkan permasalahan dan mengkonstruksi pengetahuan baik
secara individu maupun kelompok. Di antara strategi belajar yang bisa digunakan
adalah strategi belajar mandiri, cooperative learning strategy, discovery learning
strategy, active learning strategy, generative learning strategy, cognitive learning
strategy, top-down strategy dan mediated learning/scaffolding learning strategy.
Dan untuk strategi mengajar yang bisa digunakan adalah tentunya strategi
yang berpusat pada pelajar, antara lain strategi belajar mandiri, cooperative
learning strategy, discovery learning strategy, active learning strategy, generative
learning strategy, cognitive learning strategy, top-down strategy dan mediated
learning/scaffolding learning strategy.
4. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi belajar terhadap pelajar dalam konstruktivisme berlangsung secara
terus menerus, mulai dari awal sampai akhir. Evaluasi belajar konstruktivisme tidak
tergantung pada evaluasi akhir (sumatif) dan produk, melainkan juga evaluasi
proses yang dilakukan oleh pelajar mulai dari keaktifannya sampai hasilnya.
127
Diantara yang dianggap penting untuk diperhatikan oleh pengajar juga
adalah memonitor dan menunjukkan kepada pelajar apakah pemikirannya jalan atau
tidak. Karena termasuk yang ditekankan dalam konstruktivisme adalah bagaimana
caranya pelajar bisa memiliki kemampuan berpikir yang baik dalam memecahkan
sebuah permasalahan dan membangun makna, pengertian, konsep dan
pengetahuannya secara aktif dan mandiri lewat skemata yang diadopsi.
Berpikir yang baik dan benar dalam proses belajar konstruktivisme lebih
diutamakan dari pada hanya menemukan jawaban yang benar, karena memiliki
jawaban yang benar belum tentu bisa menyelesaikan masalah baru bila
diperhadapkan dengan situasi yang berbeda. Sedangkan yang mempunyai pikiran
yang baik dan benar maka ia akan bisa menyelesaikan permasalahan lain diluar
dirinya. Dengan kata lain, evaluasi yang ditekankan dalam konstruktivisme adalah
evaluasi proses, bukan hasil akhir.
Penutup
Pergeseran paradigma pembelajaran pada masa ini dari behaviorisme ke
konstruktivisme membawa dampak yang sangat signifikan dalam ranah pembelajaran
bahasa Arab, dari pembelajaran yang bersifat teacher center learning menjadi student
center learning. Sehingga pelajar berperan aktif membangun sendiri pengetahuannya
lewat skemata yang sudah di adaptasi, sedangkan peran pengajar menjadi tidak lebih
sebagai mitra pelajar, fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajarnya
berjalan dengan baik. Dan adapun strategi yang bisa dipergunakan tentunya yang
berpusat pada pelajar.
Teori belajar konstruktivisme menjadi teori belajar kontemporer yang patut
dipertimbangkan buat para pengajar bahasa Arab sebagai jalan alternatif dalam
memberikan solusi pembelajaran yang aktif, efektif dan kreatif.
Daftar Pustaka al-Dhawiy, Munayf Hudhair, 2013. Al-Nadzhoriyah al-Binaiyyahwa Tathbiyquha fi Tadris al-
Lughah al-„Arabiyah, Cet. I; Rafhaa: Maktabah al-Malik Fahdh al-Wathaniyah.
al-Ushaili, Abdu al-Aziz bin Ibrahim, 1999 M/1420 H. Al-Nadhzariyyat al-lughawiyyah wa
Ta‟lim al-Lughah al- ‟Arabiyyah. Riyadh: Maktabah al-Malik Fahdh al-Wathaniyyah.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007. Teori Belajar & Pembelajaran, Cet. I; Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media.
Hasan, Nurhadi Kusuma dan Muhammad Qaddafi, 2015. Perbandingan Pendekatan
Konstruktivisme antara Model Pembelajaran Discovery Learning dan Reception
Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Peserta didik Kelas X
SMA Negeri 3 Takalar, dalam Jurnal Pendidikan Fisika, Vol. 3, No. 2, September.
Nurhidayati, Euis, 2017. Pedagogi Konstruktivisme dalam Praksis Pendidikan Indonesia, dalam
Indonesian Journal of Educational Counseling, Volume 1, No. 1, Januari.
Parwati, Ni Nyoman, dkk., 2018. Belajar dan Pembelajaran, Cet. I; Depok: Rajawali Pers.
Rangkuti, Ahmad Abrar, Teori Pembelajaran Konstruktivisme, dalam
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/37341731/TEORI_PEMBELAJAR
AN_KONSTRUKTIVISM2.pdf. Di unduh pada tanggal 18 Juli 2018.
Rumate, Frans A., 2005. Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Disampaikan
dalam Pelatihan Singkat Penyusunan Kontrak Perkuliahan dan Bahan Ajar bagi Staf
Pengajar PTN kawasan Timur Indonesia di P3AI-UNHAS Makassar. Kerjasama Pusat
128
Peningkatan dan Pengembangan Aktifitas Instruksional Universitas Hasanuddin (P3AI-
UNHAS) dengan Bagian Kegiatan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
DIRJEN DIKTI, 21-26 November.
Schunk, Dale H., 2018. Learning Theories an Educational Perspective, Sixth Edition. Terj: Eva
Hamdiah, Rahmat Fajar, Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan, Edisi
Keenam, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparno, Paul, 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Cet. I; Yogyakarta: Kanisius.
Tarigan, Henry Guntur., 1991. Metodologi Pengajaran Bahasa 1. Cet. I; Bandung: Angkasa.
Ummi, Hikmah Uswatun, dan Indrya Mulyaningsih, 2016. Penerapan Teori Konstruktivistik
Pada Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dalam Journal
Indonesian Language Education and Literature, Vol.1, No. 2.