Pengaruh Globalisasi Terhadap Supernatural Beliefs di Jepang dan Implikasinya Terhadap Indonesia

27
MAKALAH ISU-ISU GLOBAL KONTEMPORER Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Isu-Isu Global Kontemporer Pengaruh Globalisasi Terhadap Supernatural Beliefs di Jepang Disusun oleh: Alvianti Purnamasari Torrysta Alvanso Abhiyan Bayu Diandi M. Andriansyah Anggrek Katresna Anggunatami Andriski Fajrin Lumaela M. Ikbal FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA JAKARTA 2014

Transcript of Pengaruh Globalisasi Terhadap Supernatural Beliefs di Jepang dan Implikasinya Terhadap Indonesia

MAKALAH ISU-ISU GLOBAL KONTEMPORER

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Isu-Isu Global Kontemporer

Pengaruh Globalisasi Terhadap Supernatural Beliefs di Jepang

Disusun oleh:

Alvianti Purnamasari

Torrysta Alvanso

Abhiyan Bayu Diandi

M. Andriansyah

Anggrek Katresna Anggunatami

Andriski Fajrin Lumaela

M. Ikbal

FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA

JAKARTA

2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang adalah salah satu Negara yang terletak di kawasan Asia berbentuk kepulauan.

Jepang dikenal sebagai negara yang berhasil dalam kurun waktu singkat dan menjadi suatu

bangsa di Asia yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat. Ketertinggalan Jepang

akibat politik Sakoku ditanggapi dengan cepat. Jepang mulai membangun ketertinggalan

dari negara-negara Barat.

Untuk mengejar ketertinggalannya, di bawah pemerintahan Meiji, Jepang dengan

slogan fukoku kyohei mulai membangun ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan.

Adalah peristiwa besar yang akhirnya mendorong Jepang melakukan perubahan secara

besar-besaran yakni pasca Perang Dunia II.1 Dimana Jepang dikalahkan oleh Amerika yang

berakibat pada kehancuran sektor industri yang selama ini menjadi penopang kehidupan

Jepang.

Keberhasilan Jepang dalam berbagai aspek kehidupan memiliki pengaruh dari Barat

seiring dengan perkembangan waktu yang mengakibatkan sistem globalisasi yang

mewadahi perubahan di Jepang. Dalam segi kebudayaan Jepang mengikuti pola

kebudayaan Barat yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Uniknya meskipun Jepang

terkenal dengan kemajuannya yang pesat, Jepang tidak meninggalkan budaya

tradisionalnya. Dua hal yang dapat diperlihatkan dari kehidupan Jepang adalah budaya

material yang cenderung mengikuti pola Barat dan budaya Spiritual yang tidak banyak

mengalami perubahan.2

Maka dengan ini Jepang seringkali disebut sebagai negara berwajah dua, dimana di satu

sisi tidak nampak masyarakatnya mengandalkan teknologi yang amat canggih, seperti

1 Tanaka Hidemichi, The History of Japan; Really, What is so Great about it?, Tohoku University (Summer,

1990), diakses pada tanggal 26 November 2014 pukul 12.47 WIB, dalam

http://hidemichitanaka.net/column/single/130729/130729.pdf 2 Nelson Bingham, The History of Japan at Ealham, Earlham University (Spring, 2004), diakses pada tanggal

26 November 2014 pukul 13.50 WIB, dalam https://www.earlham.edu/media/178354/historical_brochure.pdf

2

ketergantungan kendaraan bermesin (mobil atau motor), tetapi di lain pihak masyarakat

Jepang tetap menjaga kearifan lokalnya dengan mengadakan upacara-upacara spritual

seperti Matsuri dan berbagai kesenian tradisional lainnya.

Kedudukan budaya tradisional serta supernatural beliefs masyarakat Jepang di tengah

arus globalisasi menjadi suatu kisah yang menarik sebab jika diperhatikan kebudayaan

tradisional Jepang masih memiliki pengaruh yang tersebar ke mancanegara dan menjadi

suatu objek yang unik serta terkadang diadopsi oleh beberapa negara lain. Fenomena

dimana kepercayaan masyarakat Jepang (supernatural beliefs) di tengah arus globalisasi

menjadi perbincangan bagi para globalis yang percaya bahwa globalisasi memberikan

konsekuensi nyata terhadap orang dan lembaga di seluruh dunia. Para globalis percaya

kalau kepercayaan yang selama ini dianut oleh masyarakat Jepang akan pusat diterpa

kebudayaan ekonomi global yang homogen. Tetapi di sisi lain, para transformalis

mengatakan bahwa pengaruh globalisasi telah dilebih-lebihkan sehingga terjadi

pengurangan terhadap ketaatan agama di kalangan masyarakat yang kemudian menghapus

kepercayaan terhadap budaya-budaya tradisional yang selama ini melekat di dalam diri

masyarakat itu sendiri.3

Masuknya pengaruh budaya Barat yang disebut dengan Westernisasi di Jepang terjadi

pada tahun 1854. Saat itu Komodor Perry memaksa dibukanya Jepang dengan perjanjian

Kanagawa yang berujung pada masa Restorasi Meiji. Restorasi Meiji adalah serangkaian

pembaharuan yang menyebabkan adanya perubahan pada struktur politik dan sosial di

Jepang. Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869.4 Dengan mengadopsi

institusi Barat pada periode Meiji, maka kehidupan Kekaisaran Jepang menjadi kekuatan

dunia.

Globalisasi telah memberikan banyak kemajuan bagi Jepang, dari negara tertutup

menjadi negara yang mampu berhadapan dengan negara-negara Barat seperti Amerika

Serikat. Salah satu dampak globalisasi di Jepang adalah menjamurnya gedung-gedung

bertingkat, gaya berpakaian yang merujuk pada Harajuku Style, munculnya Anime dan

3 Masamichi Sasaki, Globalization and National Identity in Japan, International Journal of Japan Sociology

(November, 2004), diakses pada tanggal 26 November 2014 13.54 WIB, dalam http://c-faculty.chuo-

u.ac.jp/~mikenix1/jms/articles_academic/Sasaki-Globalization_National_ID_Japan%20.pdf 4 Ibid, Globalization and National Identity in Japan.

3

Manga yang kemudian dijadikan kebijakan politik luar negeri Jepang yang dikukuhkan

dalam Diplomatic Bluebook Japan dengan program Cool Japan, menguatnya perusahaan

Jepang di belahan dunia dan adanya perubahan yang terjadi pada supernatural beliefs di

Jepang.

Pengaruh globalisasi ini tidak hanya berlaku di kalangan masyarakat Jepang itu sendiri

sehingga pengaruh globalisasi ini terhadap perubahan supernatural beliefs di Jepang

memberikan ide baru bagi pemerintahan Jepang yang kemudian disebarkan Jepang ke

mancanegara, terutama Indonesia. Penulis akan mengkaitkan bagaimana perubahan

supernatural beliefs di Jepang kemudian mempengaruhi Indonesia melalui diplomasi

budaya yang diciptakan oleh Jepang.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang dijabarkan penulis, adapun rumusan masalah yang

diajukan adalah :

Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap supernatural beliefs di Jepang?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan diatas, tujuan dalam penelitian

ini adalah :

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh globalisasi terhadap supernatural beliefs di

Jepang.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kegunaan atau memiliki manfaat

sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian dan menambah ilmu

pengetahuan bagi studi Hubungan Internasional khususnya dapat memperluas kajian

tentang bagaimana pengaruh globalisasi terhadap supernatural beliefs di Jepang

terutama dalam kebudayaan, agama dan pendidikan.

4

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana

pengaruh globalisasi terhadap supernatural beliefs di Jepang terutama dalam

kebudayaan, agama dan pendidikan.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran mengenai isi dari hasil penelitian yang dibuat, penulis

meyusunnya dalam urutan yang sistematis sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Bab ini berisikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian, rumusan masalah,

tujuan dilakukannya penelitian, manfaat dari penelitian yang dilakukan, dan sistematika

penelitian.

Bab II Kerangka Pemikiran

Bab ini berisikan berbagai teori yang digunakan sebagai dasar penelitian yang relevan

dengan judul.

BAB III Metode Penelitian

Bab ini berisikan mengenai rencana penelitian yang digunakan, mulai dari paradigma

penelitian, pendekatan penelitian, strategi penelitian, jenis penelitian, metode pemilihan

informan, metode pengumpulan data, metode analisis data, keabsahan penelitian, hingga

kelemahan penelitian.

BAB IV Analisis dan Interpretasi Data

Bab ini berisikan data mengenai informan serta anlisa dari data-data yang telah

terkumpul, serta hasil interpretasi data dari penelitian ini.

BAB V Penutup

Bab ini berisikan diskusi mengenai penelitian yang dilakukan, kesimpulan, serta saran

yang dapat diberikan kepada pihak-pihak yang terkait.

5

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Pengertian Globalisasi dan Dampaknya

Menurut Professor Giddens, Globalisasi merupakan kekuatan yang tak terbendung,

kekuatan yang mengubah segala aspek kontemporer dari masyarakat, politik, dan

ekonomi.5 Dalam tulisannya, Edison juga menjelaskan bahwa globalisasi merupakan suatu

proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah, dan pada

hakikatnya globalisasi adalah proses dari gagasan yang dimunculkan lalu ditawarkan untuk

diikuti oleh bangsa lain yang kemudian sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan

menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Menurutnya, globalisasi

dapat memberikan pengaruh positif dan negatif.6 Pengaruh positif globalisasi diantaranya,

mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan, mudah melakukan komunikasi, cepat

dalam bepergian, memunculkan sikap kosmopolitan dan toleran, memicu masyarakat untuk

meningkatkan kualitas diri dan mudah memenuhi kebutuhan. Sedangkan dampak negatif

globalisasi diantaranya, informasi yang tidak tersaring, cenderung menyebabkan

masyarakat tidak kreatif dan bersifat konsumtif, dan masyarakat mudah terpengaruh oleh

hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara.

Dalam bukunya, Martin Wolf menjelaskan bahwa globalisasi adalah sebuah proses

yang paling mempengaruhi hajat hidup orang banyak di dunia saat ini. Tidak ada satu

masyarakat pun yang tidak terkena dampaknya.7 Budaya yang sangat erat hubungannya

dengan agama juga terkena dampak dari globalisasi. Menurut E. B. Taylor, pengertian

agama sangat erat dengan pemahaman budaya, bahkan keduanya berjalan beriringan.

Sehingga ketika suatu budaya terkena dampak globalisasi maka agama juga terkena

5 Anthony Giddens. 1999. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Malden Massachusetts: Polity

Press. 6 Edison A. Jamil. 2005. Kewarganegaraan. Indonesia: Yudhistira Ghalia.

7 Martin Wolf. 2007. Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 15.

6

dampak tersebut.8 Globalisasi memiliki hubungan yang erat dengan modernitas dan

westernisasi, hal-hal yang bersifat kebarat-baratan menjadi hal yang baru dan dianggap

rasional. Globalisasi menjadi suatu alat yang dapat menggeser pemahaman suatu agama.

Menurut Rostow 9 modernisasi merupakan. Pertama, proses bertahap yang mencakup

berbagai fase pertumbuhan ekonomi yang hendak dicapai oleh masyarakat, diawali dengan

masa primitif dan sederhana, menuju masyarakat yang berakhir pada tatanan yang maju dan

kompleks. Kedua, modernisasi sebagai proses homogenisasi, yaitu sebuah proses yang

menuntut kesamaan dan kemiripan, hal ini menjadi indikator bahwa proses pembangunan

dinilai berhasil. Proses homogenisasi ini memiliki beberapa tingkat, yang pertama adalah

hogomenisasi internal, yaitu hogomenisasi yang terjadi di dalam negara tersebut. Artinya,

diantara masyarakat sudah tidak terjadi lagi ketimpangan ekonomi dan sosial. Yang kedua

adalah homogenisasi eksternal yaitu kemiripan dan kesamaan antara negara maju dan

negara berkembang.

Menurut Rostow, watak homogenisasi ini merupakan salah satu target para pemikir

teori modernisasi untuk melakukan pembangunan secara efektif. Ketiga, Modernisasi

merupakan proses Eropanisasi dan Amerikanisasi atau secara singkat modernisasi itu

cenderung sama dengan Barat. Hal ini dapat dilihat dari sifat Barat yang cenderung

mengarah kepada kemajuan dan keberhasilan. Di sisi lain, negara Barat merupakan negara

yang tak tertandingi dalam kesejahteraan ekonomi dan politik. Ini menjadi salah satu alasan

bagi negara-negara berkembang yang menjadikan negara-negara Barat sebagai mentor

mereka. Misalnya saja kebijakan industrialisasi dan pembangunan ekonomi yang

sepenuhnya meniru hal-hal yang dilakukan oleh negara maju tanpa memperhatikan faktor

budaya dan sejarah lokal negara-negara berkembang.10

8 John Tomlinson. 2013. Globalization and Culture. UK: Political Science, hlm. 1.

9 W. W. Rostow. 1991. The Stages of Economic Growth : A Non Comunist Manifesto 3rd edition. England:

Cambridge University, hlm. 17 10

Ibid, hlm. 18.

7

2.2 Proses Terjadinya Globalisasi

Pada hakikatnya, proses modernisasi banyak diawali dari proses hubungan perdagangan

antar bangsa. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan suatu bangsa untuk memenuhi

kebutuhannya sendiri. Revolusi industri yang terjadi di kawasan Eropa juga turut

mendorong negara-negara Barat untuk datang ke berbagai negara-negara lain guna mencari

bahan baku industri dan juga pemasaran hasil produksi industrialisasinya, dan

berkembangnya media massa asing yang menyebar ke berbagai kawasan dunia ikut

berperan dalam penyebaran budaya antar bangsa. 11

Ada beberapa hal yang mencirikan berkembangnya fenomena globalisasi di dunia,

diantaranya adalah perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan teknologi

seperti televisi, satelit, telepon genggam dan internet membuktikan bahwa komunikasi

global mengalami perkembangan. Sedangkan perkembangan budaya dapat dirasakan dari

datangnya turis-turis asing yang membawa budaya mereka. Kedua, adanya ketergantugan

diantara pasar dan produksi ekonomi berbagai negara yang disebabkan tumbuhnya

perdangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional dan juga

dominasi organisasi internasional seperti WTO. Ketiga, Interaksi cultural yang meningkat

akibat perkembangan media massa seperti televisi, film, musik, dan beragam berita

internasional.

Dengan adanya media massa, masyarakat menemukan hal-hal baru dan juga beragam

budaya seperti makanan, fashion, gaya hidup dan literatur. Keempat, munculnya masalah

bersama seperti masalah lingkungan hidup, krisis multinasional dan isu-isu regional. 12

11

Raymond Breton dan Jeffrey G. Reitz. 2003. Globalization and Society: Processes of Differentiation

Examined. UK: Political Science, Chapter 1. 12

Sugiharyanto. 2006. Geografi dan Sosiologi. Indonesia: Yudhistira Ghalia, hlm. 164.

8

2.3 Globalisasi dan Budaya

Bagi sebuah bangsa aspek kebudayaan merupakan kekuatan bangsa yang memiliki

kekayaan nilai yang beragam sebab dalam kebudayaan terhadap beberapa unsur.

Diantaranya, peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian dan system ekonomi,

system kemasyarakatan, bahasa, kesenian, system pengetahuan dan system kepercayaan.13

Kebudayaan merupakan salah satu aspek masyarakat yang terkena dampak dari

globalisasi. Kebudayaan diartikan sebagai nilai atau values yang dianut oleh suatu

masyarakat. Dengan kata lain, budaya merupakan persepsi masyarakat tentang berbagai

hal. Globalisasi merupakan sebuah gejala tersebarnya berbagai nilai-nilai dan budaya

tertentu keseluruh kawasan di dunia. Dan kemudian budaya ini menjadi budaya dunia atau

biasa disebut dengan World Culture. 14

Perkembangan globalisasi kebudayaan tumbuh

secara pesat pada abad 20 yang disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan

kontak melalui media yang mengantikan kontak fisik sebagai sarana komunikasi

antarbangsa. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan globalisasi kebudayaan tersebar

dengan cepat di seluruh dunia. 15

Kebudayaan setiap Negara cenderung mengarah pada globalisasi dan menjadi

peradaban dunia sehingga melibatkan masyarakat di Negara itu sendiri secara menyeluruh.

Dalam bentuk alami, globalisasi akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilainya.

Dalam proses ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan

perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari

kehancuran. Tetapi dalam proses ini Negara-negara harus tetap mempertahankan dimensi

budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya

asing.

13

E. B. Tylor. 1980. Culture In Comparative and Evolutionary Perspective. London: Ethnology Society of

London, Chapter II. 14

Natasha Gentz and Stefan Kramer. 2012. Globalization, Cultural Identities, and Media Representations.

Suny Press, hlm. 1-10. 15

Ibid,

9

2.4 Diplomasi Budaya

Diplomasi adalah seni praktek dalam bernegoisasi oleh seseorang mewakili sebuah

negara atau organisasi. Diplomasi biasanya terkait dengan diplomasi yang biasanya

mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi dan perdagangan. Diplomasi paling

sederhana adalah diplomasi bilateral antara dua pihak yang dilakukan oleh dua negara

saja. Diplomasi memiliki pengertian sebagai usaha suatu Negara untuk memperjuangkan

kepentingan nasional di kalangan masyarakat Internasional. Diplomasi biasanya bersifat

persuasi, salah satu yang menjadi aspek persuasi adalah melibatkan upaya untuk terus

melakukan negosiasi dan memengaruhi masyarakat untuk mau mendukung keinginan yang

ingin dicapai.16

Biasanya diplomasi persuasi mengarah kepada diplomasi kebudayaan yang mana

diplomasi kebudayaan memiliki arti usaha suatu negara dalam memperjuangkan

kepentingan nasionalnya melalui dimensi kebudayaan dengan pemanfaatan ideologi,

politik, ekonomi, kesenian dan teknologi. Diplomasi budaya dapat dilakukan oleh

pemerintah, organisasi atau individu. Suatu negara dikatakan menggunakan diplomasi

budaya sebagai media sekaligus pemberi identitas dalam pencapaian kepentingan nasional

yang merupakan tujuan dari pelaksanaan politik luar negerinya.17

Maka dengan hal ini

kebudayaan dapat digunakan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasional.

Berkembangnya sektor kebudayaan, maka dengan sendirinya mendorong terwujudnya

pencapaian perluasan kesempatan kerja, peningkatan kualitas kerja, revitalisasi ekonomi

serta peningkatan produk dan stabilitas perekonomian rakyat. Dalam hubungan

internasional, diplomasi kebudayaan memasukkan unsur-unsur lokal atau nasional, seperti

ideologi, kesenian tradisional, geografis yang dinegosiasikan sebagai konsep kepentingan

nasional.

Jika melihat pada konsep diplomasi kebudayaan pada paragraf sebelumnya maka

Jepang boleh menjadi salah satu contoh Negara yang menggunakan diplomasi kebudayaan.

16

Judith Trunkos, Cultural Diplomacy, What Is Soft Power Capability and How Doest It Impact Foreign

Policy?, South Carolina, 2013, diakses pada 08 Juli 2014, pukul 01.04 WIB,

dalam http://www.culturaldiplomacy.org/ 17

Toshiya Nakamura, Japan’s New Public Diplomacy; Coolness in Foreign Policy Objectivities, Nagoya

University, 2011, diakses pada tanggal 07 Juli 2014, pukul 10.45 WIB, dalam https://www.lang.nagoya-

u.ac.jp/

10

Setelah sukses dari segi perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya, Jepang kini

melebarkan sayapnya dengan memperkuat basis politik dan kebijakan luar negerinya guna

menunjang kepentingan nasionalnya, salah satunya dengan menjaga eksistensinya di

kawasan Asia. Bagi Jepang yang dikenal dengan soft powernya yang memiliki pengaruh

cukup kuat di kawasan Asia dan bahkan dunia. Budaya menjadi aset penting yang harus

terus dikembangkan oleh Jepang. Dengan kebudayaan, Jepang dapat menjaga hubungan

diplomatiknya dengan beberapa negara di dunia termasuk Indonesia. Tidak hanya melalui

budaya pop saja tetapi Jepang berusaha untuk menempatkan pengaruhnya dengan

menggunakan budaya tradisionalnya.18

Menurut S.L Roy ada 7 unsur dalam melakukan diplomasi, yaitu negosiasi yang

berujung pada peningkatan nilai-nilai kepentingan bersama.19

Ini dilakukan Jepang dalam

membina hubungan dengan Indonesia, dimana terjadi negosiasi diantara kedua negara dari

yang tadinya hanya seputar perdagangan, kemudian melalui negosiasi maka akan muncul

kesepakatan-kesepakatan baru dan memperluas jaringan kerjasama. Kedua, kepentingan

negara, menjadi alasan utama kenapa diplomasi tersebut dilakukan. Jepang pastilah

memiliki kepentingan nasional dalam melakukan diplomasi. Biasanya diplomasi

kebudayaan dilakukan untuk memberikan stimulus pada negara-negara yang akan diajak

kerjasama agar Jepang bisa memenuhi kepentingan nasionalnya misalnya untuk

mensejahterakan masyarakatnya. Ketiga, tindakan politik untuk mencapai kepentingan

nasionalnya, apakah melalui jalan damai atau perang. Keempat, teknik diplomasi. Kelima,

politik luar negeri yang masih ada kaitannnya dengan isu internasional serta keadaan

domestik suatu negara. Keenam, sistem negara yang berbeda sehingga mempengaruhi

teknik diplomasin itu sendiri. Ketujuh, perwakilan negara yang merupakan perwakilan

diplomatik dalam mengedepankan kepentingan nasionalnya.

Selain itu Kaultiya mengemukakan bahwa ada 4 tujuan diplomasi yaitu perolehan,

pemeliharaan, penambahan serta pembagian yang adil.20

Bagi Jepang tujuan diplomasi

18

Cultural Diplomacy The Lipchpin of Public Diplomacy, US Departement of State, 2005, diakses pada

tanggal 08 Juli 2014, pukul 01.18 WIB, dalamhttp://www.state.gov/ 19

S.l. Roy, Diplomacy, New Delhi, Sterling Publisher, 1984, pg. 1 20

Kautilya, Ideas on Inter-State Relations and Diplomacy, Cambridge, Cambridge University Press, 1932,

diakses pada tanggal 08 Juli 2014, pukul 02.45 WIB, dalam http://shodhganga.inflibnet.ac.in/

11

kebudayaannya jelas yaitu untuk memperoleh kerjasama dengan negara lain dalam berbagai

aspek yang menguntungkan sehingga ketika mendapatkan apa yang diinginkan oleh Jepang

maka butuh pemeliharaan hubungan ketika negara yang diajak bekerjasama memberikan

keuntungan sehingga ketika Jepang bisa memelihara suatu hubungan dengan negara lain,

contoh Indonesia, ada kemungkinan besar penambahan kerjasama di aspek lain sebagai

wujud dari pemeliharaan kerjasama dan peningkatan persahabatan, setelah adanya

penambahan di berbagai aspek maka akan terjadi pembagian yang adil. Karena dalam

melakukan diplomasi, kedua negara sama-sama ingin diuntungkan dan untuk mencapai

keuntungan diantara keduanya maka harus ada pembagian yang adil bagi keduanya. Itulah

yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia.

12

BAB III

METODOLOGI PENULISAN

3.1 Alat Pengumpulan Data

3.1.1 Metode yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, suatu

metode yang dapat digunakan untuk menggambarkan suatu fenomena atau gejala

dari suatu keadaan tertentu, baik itu keadaan social, sikap, pendapat, maupun cara

yang meliputi berbagai aspek. Dengan menggunakan metode ini juga, kita dapat

mengetahui perbedaan-perbedaan dan juga dapat menemukan sebab-sebab dari

suatu akibat.

3.1.2 Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan untuk menyelesaikan tulisan ini, penulis

menggunakan pendekatan kualitatif. Dimana pendekatan tersebut mengutamakan

kualitas data-data yang dapat diperoleh. Oleh karena itu, dalam penelitian ini

penulis tidak perlu menggunakan analisis statistika.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan makalah ini,

penulis menggunakan metode studi pustaka. Metode studi pustaka atau literatur ini

dilakukan dengan cara mendapatkan data atau informasi tertulis yang dibutuhkan dalam

menyelesaikan tulisan ini bersumber dari buku-buku, Koran, dan berbagai artikel yang

dapat diakses melalui internet yang menurut penulis dapat mendukung penelitian ini.

13

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Globalisasi Terhadap Kebudayaan Jepang

Restorasi Meiji merupakan pembaharuan yang menyebabkan perubahan pada seluruh

sendi-sendi kehidupan di Jepang. Ketika berada di dalam pemerintah Tokugawa, Jepang

adalah negara yang tertutup dan terbelakang, Jspang menutup diri dari negara-negara Barat

dan hanya melakukan hubungan dagang dengan China dan Belanda. Dorongan modernisasi

datang ketika Angkatan Laut Amerika datang ke Jepang dibawah pimpinan Laksamana

Perry yang menghasilkan pejanjian Shimoda oleh Shogun.21

Restorasi Meiji membawa dampak perubahan dalam setiap segi bentuk kehidupan,

politik misalnya. Jepang pada akhirnya menyusun undang-undang dasar sebagai dasar

konstitusinya, menjadikan Tenno sebagai Kepala Negara, membentuk parlemen dan

kabinet, dihapuskannya sistem feodalisme yang terbentuk sejak masa pemerintahan

Bakuhan dan dijadikannya Shinto sebagai agaman nasional.

Selain itu dari segi ekonomi pun mengalami perubahan. Jepang mengadakan perubahan

dalam segi industri, dalam hal ini Jepang mulai mengikuti sistem pendidikan Barat dengan

menerapkan sistem moneter dan sistem pajak yang memungkinkan berkembangkan kaum

pemodal. Modernisasi dalam industri dilakukan dengan pengadaan mesin-mesin produksi

yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan. Akibatnya industri Jepang berkembang

pesat, terjadinya ledakan ekonomi dan munculnya persaingan sengit antara Jepang dengan

negara-negara Barat.22

Masuknya globalisasi memberikan kemajuan bagi Jepang, efek globalisasi ini

berdampak signifikan atas kehidupan Jepang antara lain menjamurnya gedung bertingkat

21

Loren J. Siebert, Mapping Early Modern Japan; Space, Place and Culture in Tokugawa Period (1603-

1868), Journal Interdisciplinary History, Vol. 35 No. 2, (Autumn, 2004) diakses pada tanggal 20 November

2014 pukul 01.42 WIB, dalam https://muse.jhu.edu/ 22

Yoshio Sugimoto, Modern Japanese Culture, The Cambridge Companion (2009), diakses pada tanggal 20

November 2014, puku 01.45 WIB, dalam http://hermitmusic.tripod.com/CUP_japan_religion.pdf

14

dan munculnya tren remaja putri di Jepang untuk memakai pakaian serba menumpuk

dengan motif yang bertabrakan yang dipengaruhi oleh Barat.

Selain itu sejalan dengan globalisasi yang memberikan tantangan baru bagi Jepang

menyebabkan Jepang menjadikan kebudayaan sebagai tools diplomasi. Proses globalisasi

yang masuk ke Jepang tidak membuat Jepang meninggalkan segala bentuk kebudayaan dan

kepercayaannya. Rakyat Jepang masih melakukan ritual-ritual kepercayaannya namun

sayangnya ritual ini dilakukan dengan tujuan yang tidak jelas. Seperti Mitsuri misalnya,

Mitsuri biasanya dilakukan oleh Jepang di setiap awal mula kehidupan sebagai perwujudan

dari rasa syukur yang mendalam terhadap Kami-sama namun belakangan rakyat Jepang

menjadi lupa pada nilai-nilai kepercayaan yang sudah ditanamkan pada generasi

sebelumnu. Ritual Mitsuri berubah yang tadinya diadakan untuk menghormati dan

berterimakasih pada Kami-sama kini nilainya bergeser sebagai acara senang-senang saja.23

4.2 Pengaruh Globalisasi Terhadap Supernatural Beliefs Jepang

Pengaruh globalisasi pun masuk ke dalam agama, tidak sedikit masyarakat Jepang yang

tidak peduli dengan agama mereka yang kemudian identitas agama menjadi pudar.

Sekiranya globalisasi memang membawa dampak positif terhadap Jepang tetapi pengaruh

globalisasi telah menghilangkan keaslian nilai-nilai agama dan kepercayaan yang ada di

Jepang serta mendatangkan perubahan budaya. Globalisasi menciptakan modernisasi di

Jepang, sehingga Jepang yang dikenal sebagai masyarakat Feodal sejak penutupan dirinya

pada akhirnya mengubah seluruh struktur kehidupan mereka terutama dari segi kebudayaan

dan pemerintah yang berkiblat pada Barat denhan dihilangkannya kedudukan dalam

masyarakat feodal pada tahun 1989. Untuk mempercepat modernisasi karena merasa

tertinggal maka pemerintah Jepang menggalakkan sistem Bunmei Kaika yang beruju pada

pemberontakan sebab modernisasi yang berkiblat pada Barat dituduh memakai gagasan

23

Rie Kido, The Cultural Paradox of Modern Japan; Japan and Its Three Others, New Zealand Journal of

Asian Studies 6, Vol. 1, (Monash University, 2004), diakses pada tanggal 20 November 2014, pukul 02.47

WIB, dalam http://www.nzasia.org.nz/downloads/NZJAS-June04/6_1_7.pdf

15

belaka sehingga akhirnya para pemimpin Jepang mulai menanamkan kembali rasa

kecintaan terhadap budaya asli Jepang.24

Pada sistem Kekaisaran kuno, klan-klan yang berpengaruh bersumpah setia pada Kaisar

tanpa harus mempersembahkan dewa-dewa nenek moyang mereka. Artinya meskipun

mereka menghormati Kaisar, yang dianggap sebagai keturunan dewa matahari, mereka

tetap menyembah dewa-dewa nenek moyang mereka sendiri. Yanagita Kunio membedakan

dua hal tersebut dalam konsep keishin (hormat atau bakti) dan saishi (ibadat atau

kepercayaan). Hormat pada dewa baru, termasuk Kaisar, tidaklah melanggar atau

mengesampingkan kepercayaan pada dewa setempat yang telah mereka percaya jauh

sebelum mengenal dewa matahari.25

Dalam pembabakan sejarah Jepang, zaman monarki dimulai dengan zaman Yamato,

zaman Asuka Asuho, zaman Nara dan berakhir pada zaman Heian. kebudayaan Jepang

mendapatkan banyak pengaruh dari China, karena pada saat itu Jepang sudah menjalin

hubungan yang baik dengan China dan Korea. Hubungan baik ini, membuat masuknya

budaya-budaya dari Cina maupun Korea seperti kebudayaan huruf China, ajaran

Konfusianisme serta ajaran agama Budha. Agama Budha sempat menjadi agama negara,

kemudian didirikan banyak kuil dan patung Budha di berbagai penjuru Jepang.

Perkembangan agama Budha yang sangat pesat tersebut turut memberikan pengaruh pada

sendi-sendi kehidupan Jepang.26

Pada masa awal Kamakura (1185-1333) terjadi banyaknya kekacauan pada masa

tersebut, menimbulkan suatu keinginan untuk perubahan dan agama Budha yang

sebelumnya cukup asing berubah menjadi agama asli Jepang yang dipelopori oleh Saicho

berdasarkan filsafat Tendai pada abad ke Sembilan. Ada tiga gerakan pembaharuan agama

Budha pada masa Kamakura. Pertama Amidaisme yang muncul di India dalam pengaruh

hinduisme yang mengajarkan keselamatan yaitu kepercayaan mutlak kepada Amidha

Budha dengan ajaran yang mudah dicerna oleh masyarakat. Kedua, Zen Budhiasme yang

24

Chia Ning Chang, Literaly, Cultural and Political Imagination in Modern Japan, University of California,

Shangai, (Fall, 2013), diakses pada tanggal 20 November 2014 pukul 02.51 WIB, dalam http://eap.ucop.edu/ 25

Kamishima, Jirō, ed. 1973.Nihon Kindaika no Tokushitsu. Tokyo: Ajia Keizai Kenyūjō, hlm. 8-13. 2626

Thomas Baraka, The Concept of Religion in Modern Japan, Tokyo, (Yushisha Press, 2000), diakses pada

20 November 2014 pukul 02.54 WIB, dalam http://jpars.org/online/wp-

content/uploads/2013/12/RSJ_2014_Thomas.pdf

16

menjadi dasar sekte Zen pada tahun 1191, ajaran ini memusatkan pikiran ketika melakukan

meditasi sambil duduk dengan posisi kaki bersilang. Ketiga Budha Ichiren yang

mengembalikan agama Budha pada bentuk murni dan dijadikan dasar sebagai perbaikan

masyarakar.27

Tahun 1484, Yoshida Kanetomo (1435-1511) mendirikan aliran Yoshida Shinto di

Yamashiro, Kyoto. Pengajaran dan paham agam Shinto lingkungan keluarga Yoshida itu

kemudian dijadikan dasar aliran Yoshida Shinto. Aliran ini mengajarkan kesatuan tiga

agama, yaitu Shinto, Budha, dan Konfusius, dengan agama Shinto sebagai basis utamanya.

Jika digambarkan agama Budha dapat dianggap sebagai bunga dan buah dari semua prinsip

aturan (Sanskrit/dharma) di alam ini, agama Konfusius sebagai cabang dan rantingnya, dan

agama Shinto sebagai akar dan batangnya.28

Pada awal pertengahan abad ke-16, untuk pertama kalinya jepang mulai berhubungan

dengan Barat melalui kedatangan Portugis (1542). Tujuh tahun kemudian, St. Francis

Xavier, missionaris Kristen, tiba di Jepang dengan tujuan menyebarkan agama Kristen di

kalangan bangsa Jepang. Namun pada tahun-tahun berikutnya bangsa Jepang menyadari

bahwa pemikiran-pemikiran Barat dibiarkan berkembang maka akan menimbulkan

kekacauan di Jepang. Pada tahun 1587 pemerintah memutuskan melarang semua bentuk

kegiatan penyebaran agama Kristen di Jepang, dan semua misi asing diperintahkan untuk

meninggalkan negeri tersebut, dan sebagai konsekuensinya ancaman kematian diberikan

kepada setiap orang Jepang yang menjadi pengikut agama Kristen, bahkan kepada mereka

yang memberikan perlindungan kepada orang-orang Kristen.29

Pada tahun 1615 agama satu-satunya negara adalah Budha yang pada walnya

dimaksudkan agar tak seorangpun yang menjadi pengikut agama Kristen. Pemerintah

melakukan pengawasan terhadap agama tersebut dan juga mempergunakannya untuk tujuan

memelihara tertib sosial maupun untuk mengatur kehidupan spritual bangsa. Pada awal

masa Tokugawa muncul aliran Mito yang dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-

27

Paul Watt, Japanese Religion, National Clearing House for United States-Japan Studies, Indiana

University, (October, 2003), diakses pada tanggal 21 November 2014 pukul 12.57 WIB, dalam

http://fsi.stanford.edu/sites/default/files/religion.pdf 28

Djam’annuri, Agama Jepang, (Yogyakarta: PT Agus Arafag, 1981), hal: 28-39 29

Kevin M. Doak, Xavier;s Legacies; Catholicism in Modern Japan Culture, Vancouver, Toronto, (UBC

Press, 2011), diakses pada tanggal 21 November 2014 pukul 12.30 WIB, dalam http://www.ubcpress.ca/

17

1700) kemudian juga muncul aliran Fukko Shinto, yang berarti Restorasi Shinto atau

Areformasi Shinto. Pada akhir masa Tokugawa berkembang rasa tidak puas masyarakat

terhadap pemerintah, sehingga banyak terjadi pemberontakan kecil, agama Budha yang

menjadi agama negara memperoleh kesan buruk sementara perhatian terhadap agama asli

semakin meningkat, dan pada akhirnya bermunculan perasaan anti-Budha di kalangan

masyarakat.

Sejak dimulainya masa Meiji (1868-1912) yang merupakan awal modernisasi Jepang

yang berkiblat pada dunia barat, hingga meletusnya perang di tahun 1945, kehidupan

agama di Jepang sangat erat hubungannya dengan politik pemerintahan. Pemerintah Meiji

berusaha mendirikan sebuah negara yang didasarkan atas konsep saisei itchi, kesatuan

agama dan politik. Salah satu kebijakan yang mula-mula diambil adalah menghidupan

kembali Jingi-kan, lembaga resmi pemerintah yang mengurus masalah Shinto. Lembaga

yang dibentuk pada pertengahan abad ketujuh ini awalnya merupakan salah satu

departemen pemerintahan. Pada Juli 1869, lembagatadi dipisahkan dari cabinet Jepang.

Jingi-kan mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan berbagai upacara dan

perayaan keagamaan, hak milik agama, tingkat dan aturan kependetaa, pengaturan tempat-

tempat suci, pendidikan agama, dan ketentuan pemberian bantuan keagamaan. Disamping

itu,pemerintah juga melakukan setiap usaha yang mungkin dilakukan dalam upaya

menjadikan agama Shinto sebagai agama resmi negara. Pada tahun 1870, dikeluaran sebuah

ketetapan pemerintah yang isinya memperkuat hubungan antara agama Shinto dan negara.

Langkah pembaharuan yang diambil pemerintah menetapkan pemisahan agama Shinto

dari agama Buddha (shinbutsu bunri). Peran agama Buddha dikurangi sedemikian rupa dan

agama Shinto dijadikan kultur nasional. Setalah Kementrian Shinto juga dibubarkan

sebagai gantinya pada April 1872 dibentuk Kementrian Agama (Kyobu-sho) yang

bertanggung jawab mengurusi agama Shinto maupun agama Buddha. Sejak saat itu, agama

Shinto dibedakan menjadi dua: Jinja Shinto dan Kyoha Shinto. Perbedaan keduanya

didasarkan atas perbedaan sikap dan pandangan pemerintah terhadap masing-masing.30

30

Reimon Bachika, A Look At Religion in Japan, Departement of Sociology, Bukyo University, (Kyoto,

Japan: 2010), diakses pada tanggal 21 November 2014 pukul 13.05 WIB, dalam

http://www.politicsandreligionjournal.com/images/pdf_files/srpski/godina4_broj1/1%20-

%20reimon%20bachika.pdf

18

Pada tahun 1945 saat berakhirnya Perang Dunia ke II, prinsip dasar kebijakan

pemerintah dalam bidang agama adalah pengawasan dan pengarahan semua organisasi dan

lembaga keagamaan menurut selera dan keinginan pemerintah. Hingga akhir perang dunia

II, Lembaga keagamaan yang diakui pemerintah serta mendapat dukungan dan bantuan dari

pemerintah, selalu dipersulit dalam penyiaraan keagamaannya meski adanya undang-

undang yang berisikan kebebasan beragama. Terlebih lagi, pada tahun 1941-1945, agama

dijadikan sebagai alat untuk mempertebal semangat nasionalisme dan militerisme.

Kedudukan semua tempat suci, baik local maupun nasional menjadi semakin penting.

Pemujaan dan peribadatan yang dilakukan di dalamnya bukan saja berarti memperlihatkan

entusiasme terhadap militer, tetapi juga dijadikan ukuran kesetiaan seseorang kepada kaisar

dan negerinya.

4.3 Implementasi Supernatural Beliefs Jepang di Indonesia Akibat Pengaruh

Globalisasi

Jepang dikenal sebagai negara yang berhasil membangun kembali negaranya dalam

waktu relatif singkat setelah Perang Dunia II serta menjadi bangsa di Benua Asia yang

sejajar dengan Barat. Dalam masa Sakoku (penutupan negara), Jepang mengalami

ketertinggalan sehingga di bawah Pemerintahan Meiji, Jepang mendapat slogan Sakoku dan

mulai membangun negaranya dalam berbagai aspek kehidupan.31

Keberhasilan Jepang

dalam membangun kembali negaranya terutama pasca Perang Dunia II dimana industri

Jepang mengalami kehancuran, Jepang tidak begitu saja meninggalkan budaya

tradisionalnya. Ada dua hal yang diperlihatkan Jepang yakni budaya material yang

cenderung mengikuti budaya Barat sehingga Jepang mengalami kesetaraan dengan budaya

Barat dan ada Budaya spiritual yang tidak banyak mengalami perubahan.32

Dengan 2

budaya ini, Jepang dikatakan sebagai negara berwajah dua, dalam artian di satu sisi Jepang

jelas menunjukkan sebagai masyarakat modern yang hidup dengan teknologi canggih.

31

55 Tahun Indonesia-Jepang; Kebudayaan Memperkuat Persahabatan Kedua Negara, The President Post,

Jakarta, 2013, diakses pada tanggal 07 Juli 2014, pukul 14.00 WIB,

dalam http://thepresidentpostindonesia.com/ 32

Shizuku Saeki, The Perry Cetennial Celebration; A Case Study in US-Japanese Cultural Diplomacy,

International Social Science Review, 80 (3&4); 165-172, 2005.

19

Tetapi di lain sisi masyarakat Jepang banyak melakukan kegiatan ritual dan salah satunya

adalah Matsuri.

Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Helen Bauer dan Sherwin bahwa setiap memulai

kegiatan apapun, Matsuri menjadi kunci pembuka dari setiap kegiatan masyarakat

Jepang.33

Contoh ketika sebuah perusahaan penerbangan membeli pesawat baru, maka

sebelum melakukan percobaan terhadap pesawat tersebut, para pekerja perusahaan tersebut

akan mengadakan Matsuri. Kegiatan yang terbilang unik ini pada akhirnya dijadikan suatu

diplomasi kebudayaan oleh Pemerintah Jepang, sekaligus sebagai pembentukan citra bahwa

masyarakat Jepang tidak hanya dikenal sebagai masyarakat ekonomi (animal economic)

tetapi juga memiliki sisi yang religius sehingga nilai-nilai tradisional ini dikembangkan

secara sekuler. Akibat adanya globalisasi, Matsuri mengalami pergeseran makna tradisional

dan dipisahkan dari makna keagamaan sehingga Matsuri yang digunakan Jepang sebagai

alat diplomasi kebudayaan adalah Matsuri dalam bentuk perayaan atau festival dengan

tetap mengusung adanya nilai-nilai budaya tradisional di dalamnya.

Secara sejarah Matsuri berasal dari kata Matsuru yang memiliki arti pemujaan

kepada Kami. Kami dalam bahasa Jepang adalah Tuhan. Secara teologi, dalam agama

Shinto ada 4 unsur dalam melakukan Matsuri yakni Harai (penyucian),

persembahan, Norito (pembacaan doa) dan pesta makan. Matsuri yang paling terkenal dan

tertua di Jepang adalah Matsuri yang dilakukan di depan Amano Iwato. Dalam proses

keagamaan, pembacaan doa pada kegiatan Matsuri masih tersisa dalam

bentuk Kigansai (permohonan secara individu yang dilakukan di kuil). Norito biasanya

dilakukan oleh pendeta Shinto yang menjadi awal dimulainya Mitsuri. Saat ini di

Jepang, Ise Jingu menjadi salah satu kuil agama Shinto yang menyelenggarakan Matsuri

dalam bentuk pembacaan doa sebab sesuai dengan perkembangan zaman,34

tujuan

penyelenggaraan Matsuri sering melenceng jauh dari makna Matsuri yang sebenarnya.

Kemajuan industri Jepang kemudian ditopang oleh kemajuan teknologinya yang

mengubah pola kehidupan masyarakat Jepang dari segi gaya hidup. Masyarakat Jepang

33

Bauer, P .T., and Yamei, B. S. “The Pearson Report: a review”, in T. J. Byers (ed.),Foreign Resources and

Economic Development: A Symposium on the Report of the Pearson Commission, London,: Frank Cass, 1972. 34

Yuji, 3 Main Festivals of Kyoto, Association of Shinto Shrines, 2004, diakses pada tanggal 08 Juli 2014,

pukul 10.00 WIB, dalam http://www.eonet.ne.jp/

20

cenderung lebih modern, ditambah dengan paham Demokrasi yang tertera dalam undang-

undang Showa yang memberikan dampak dalam kehidupan masyarakat Jepang. Namun

untuk memahami kemajuan negaranya, tidak cukup hanya dengan melihat kepada wajah

Barat yang dimiliki oleh Jepang tetapi lebih kepada kemajuan budaya materialnya. Bukan

rahasia umum, jika masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional

terutama masyarakat di pedesaan dan diperkotaan yang masih memegang teguh nilai-nilai

kebudayaan.

Berdasarkan pola hidup masyarakat Jepang yang dikenal gigih dan sangat menghargai

waktu ternyata ada sisi lain dalam pola kehidupannya yaitu sisi religius masyarakat Jepang

yang selalu mengawali segala kegiatan mereka dengan Matsuri.35

Di Indonesia, Matsuri

diadakan dengan beragam tema yang menggambarkan wujud dari persahabatan atau

hubungan diplomatik Indonesia-Jepang. Pada 55 tahun, hubungan diplomatik Jepang-

Indonesia, Matsuri mengangkat tema “Indonesia-Jepang selalu bersama.” Ini menandakan

Jepang semakin merangkul Indonesia sebagai mitra strategis bagi Jepang sekaligus menjadi

negara tujuan investasi yang paling ideal serta menjadi negara tujuan pasar ekspor Jepang

yang paling utama di Kawasan Asia-Pasifik.

Dengan adanya Jak-Japan Matsuri baik Indonesia maupun Jepang menginginkan agar

hubungan kedua negara tersebut semakin dioptimalkan dengan adanya sistem win-win

coorperation sebab diplomasi budaya yang digagas oleh Jepang melalui Matsuri dapat

berdampak pada respon masyarakat Indonesia dan Pemerintahan Indonesia sehingga

Matsuri sebagai diplomasi budaya menjadi stimulus bagi Jepang untuk terus menambah

kerjasama antara Jepang dengan Indonesia dengan prinsip saling menguntungkan. Dampak

dari diadakannya Jak-Japan Matsuri sebagai instrument diplomasi kebudayaannya menjadi

gerbang bagi Jepang untuk terus meningkatkan nilai investasinya ke Indonesia.

Tidak hanya itu, Jepang juga membantu membuka lapangan pekerjaan dengan adanya

1.200 perusahaan Jepang di Indonesia yang kemudian dapat mempekerjakan sekitar

300.000 orang tenaga lokal. Hal ini bersifat menguntungkan bagi Indonesia karena dapat

35

Hwajung Kim, Cultural Diplomacy as The Means of Soft Power in an Information Age, Harvard

University, 2011, diakses pada tanggal 08 Juli 2014, pukul 11.08 WIB,

dalam http://www.culturaldiplomacy.org/

21

menekan angka pengangguran sekaligus angka kemiskinan di Indonesia. Selain itu Jepang

juga memperluas kerjasama di bidang pendidikan dengan pemberian beasiswa melalui

JASSO (Japan Student Services Organization) yang saat ini ada sekitar 3.000 mahasiswa

Indonesia yang menikmati pendidikan di Jepang. Jika dilihat dari tujuannya, Japan Bank

for International Coorperation melakukan survey terhadap 500 perusahaan multinasional

yang hasilnya menempatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi

pertama.36

Keberhasilan Jepang dalam menggunakan pengaruh globalisasi supernatural

beliefs (kepercayaan) dengan jalur diplomasi kebudayaan nampaknya semakin mengangkat

Jepang sebagai negara yang memiliki pengaruh globalisasi dan menyebarkan pengaruh

globalisasinya tanpa harus kehilangan nilai-nilai tradisionalnya.

36

Jepang Pererat Hubungan dengan Indonesia, Tempo News, Jakarta, 2013, diakses pada tanggal 08 Juli

2014, pukul 13.22 WIB, dalam http://www.tempo.co/

22

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Restorasi Meiji menjadi momentum penting bagi Jepang sebab telah melahirkan proses

awal sebagai negara yang melakukan modernisasi. Perjalanan Jepang menjadi negara

modern semakin berkembang ketika terjadi adanya sistem pembukaan negara yang

dilakukan Komodor Perry setelah sebelumnya Jepang menutup diri pada dunia Barat

karena ancaman pengaruh buruk dari ajaran kristiani. Dorongan modernisasi semakin

diperkuat setelah menginjak globalisasi dimana Jepang semakin modern terutama dalam

segi industri dan kebudayaan.

Jepang terus memperkaya dirinya secara kebudayaan maupun industri hingga dikenal

sebagai negara yang maju. Hal ini sangat menarik, uniknya walaupun Jepang telah

berkembang menjadi salah satu negara yang mampu menyaingi Barat namun negara ini

sama sekali tidak meninggalkan budaya atau tradisinya. Berbagai kepercayaan serta ritual

masih tetap dilakukan, bahkan Jepang masih mempercayai mitologi-mitologi yang telah

ada sejak jaman dulu.

Meski terdapat agama lain di Jepang namun mayoritas pemeluk agama berasal dari

agaman Budha dan Shinto, meski identitas keagamaan semakin hari memudar namun untuk

menjaga keaslian Jepang para penduduknya tetap merayakan hari kelahiran di kuil Shinto,

pernikahan memakai baju adat Jepang dan kematian tetap dirayakan di kuil Budha.

Walaupun dampak globalisasi benar-benar terasa di Jepang dengan berkembangnya

industri, teknologi dan kebudayaan, namun rakyat Jepang berbeda dengan rakyat Barat.

Rakyat Jepang tetap melakukan sejumlah ritual kepercayaan (supernatural beliefs) yang

sudah diwariskan selama bertahun-tahun oleh para nenek moyang. Bahkan Jepang masih

mengadakan Matsuri sebuah ritual yang rutin diadakan dengan tujuan untuk bersyukur

kepada Kami (Tuhan yang disembah menurut ajaran Shinto) namun sayangnya globalisasi

menyebabkan lunturnya nilai-nilai kepercayaan yang ada pada diri masyarakat Jspang.

23

Hanya sedikit dari rakyat Jepang yang mengetahui tujuan sebenarnya dari setiap ritual

yang dilaksanakan sedangkan sisanya menganggap bahwa ritual yang diadakan hanya

sebagai acara kumpul-kumpul keluarga atau senang-senang. Meski begitu kebudayaan

Jepang secara tradisional tetap dilanggengkan dengan berbagai macam cara untuk menjaga

keutuhan dan rasa nasionalisme penduduk Jepang terhadap negaranya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Breton, Raymond, Reitz, G. Jefrrey. Globalization and Society: Processes of Differentiation

Examined, UK: Political Science 2003.

Djam’annuri. Agama Jepang, Yogyakarta: PT Agus Arafag, 1981.

Giddens, Anthony. The Third Way: The Renewal of Social Democracy.

Malden Massachusetts: Polity Press, 1999.

Gentz, Natasha, and Kramer Stefany, Globalization, Cultural Identities, and Media

Representations, Suny Press, 2012.

Jamil, A. Edison. Kewarganegaraan. Indonesia: Yudhistira Ghalia, 2005.

Rostow, W. W. The Stages of Economic Growth : A Non Comunist Manifesto 3rd edition.

England: Cambridge University, 1991.

Roy, S. L. , Diplomacy, New Delhi, Sterling Publisher, 1984

Sugiharyanto, Geografi dan Sosiologi. Indonesia: Yudhistira Ghalia, 2006.

Tomlison, John. . Globalization and Culture. UK: Political Science, 2013.

Tylor, E. B, Culture In Comparative and Evolutionary Perspective.

London: Ethnology Society of London, 1980.

Wolf, Martin, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia,

2007.

Jurnal

Bachika, Reimon. A Look At Religion in Japan, Departement of Sociology,

Bukyo University, Kyoto, Japan: 2010.

http://www.politicsandreligionjournal.com/images/pdf_files/srpski/godina4_broj1/1%20-

%20reimon%20bachika.pdf

Baraka, Thomas. , The Concept of Religion in Modern Japan, Tokyo, Yushisha Press, 2000.

http://jpars.org/online/wp-content/uploads/2013/12/RSJ_2014_Thomas.pdf

Bingham, Nelson. The History of Japan at Ealham, Earlham University, Spring, 2004.

https://www.earlham.edu/media/178354/historical_brochure.pdf

Bauer, P .T., and Yamei, B. S. “The Pearson Report: a review”, in T. J. Byers (ed.),

Foreign Resources and Economic Development: A Symposium on the Report of the

Pearson Commission, London,: Frank Cass, 1972.

Chang, Ning Ching. Literaly, Cultural and Political Imagination in Modern Japan, University of

California, Shangai, 2013.

http://eap.ucop.edu/Documents/_forms/1314/China/JPIS_fall/Modern_Japan_Syllabus_a

nd_Readings-EXTRANET.pdf

Doak, M. Kevin. Xavier;s Legacies; Catholicism in Modern Japan Culture, Vancouver,

Toronto, UBC Press, 2011.

http://www.ubcpress.ca/books/pdf/chapters/2011/XaviersLegacies.pdf

Hidemichi, Tanaka. The History of Japan; Really, What is so Great about it?,

Tohoku University, Summer, 1990.

http://hidemichitanaka.net/column/single/130729/130729.pdf

Kaultiya, Ideas on Inter-State Relations and Diplomacy, Cambridge,

Cambridge University Press, 1932.

http://shodhganga.inflibnet.ac.in/

Kido, Rie. The Cultural Paradox of Modern Japan; Japan and Its Three Others,

New Zealand Journal of Asian Studies 6, Vol. 1, Monash University, 2004.

http://www.nzasia.org.nz/downloads/NZJAS-June04/6_1_7.pdf

Kim, Hwanjung. Cultural Diplomacy as The Means of Soft Power in an Information Age,

Harvard University, 2011.

http://www.culturaldiplomacy.org/

Nakamura, Toshiya, Japan’s New Public Diplomacy; Coolness in Foreign Policy Objectivities,

Nagoya University, 2011.

https://www.lang.nagoya-u.ac.jp/

Saeki, Shizuku. The Perry Cetennial Celebration; A Case Study in US-Japanese Cultural

Diplomacy, International Social Science Review, 80 (3&4); 165-172, 2005.

Sasaki, Masamichi, Globalization and National Identity in Japan,

International Journal of Japan Sociology, November, 2004.

http://c-faculty.chuo-u.ac.jp/~mikenix1/jms/articles_academic/Sasaki-

Globalization_National_ID_Japan%20.pdf

Siebert, J. Loren, Mapping Early Modern Japan; Space, Place and Culture in

Tokugawa Period (1603-1868), Journal Interdisciplinary History,

Vol. 35 No. 2, 2004.

https://muse.jhu.edu/login?auth=0&type=summary&url=/journals/journal_of_interdiscipl

inary_history/v03

5/35.2siebert.pdf

Sugimoto, Yoshio, Modern Japanese Culture, The Cambridge Companion, 2009.

http://hermitmusic.tripod.com/CUP_japan_religion.pdf

Trankos, Judith. Cultural Diplomacy, What Is Soft Power Capability and How Doest It Impact

Foreign Policy?, South Carolina, 2013

http://www.culturaldiplomacy.org/

Watt, Paul. Japanese Religion, National Clearing House for United States-Japan Studies,

Indiana University, October, 2003.

http://fsi.stanford.edu/sites/default/files/religion.pdf

Yuji, 3 Main Festivals of Kyoto, Association of Shinto Shrines, 2004.

http://www.eonet.ne.jp/

Website

Cultural Diplomacy The Lipchpin of Public Diplomacy, US Departement of State, 2005,

diakses pada tanggal 08 Juli 2014.

http://www.state.gov/

55 Tahun Indonesia-Jepang; Kebudayaan Memperkuat Persahabatan Kedua Negara,

The President Post, Jakarta, 2013, diakses pada tanggal 07 Juli 2014.

http://thepresidentpostindonesia.com/

Jepang Pererat Hubungan dengan Indonesia, Tempo News, Jakarta, 2013,

diakses pada tanggal 08 Juli 2014.

http://www.tempo.co/