PENDIDIKAN KARAKTER REMAJA DIZAMAN GLOBALISASI
-
Upload
muhammadiyahpurwokerto -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of PENDIDIKAN KARAKTER REMAJA DIZAMAN GLOBALISASI
PENDIDIKAN KARAKTER REMAJA DIZAMANGLOBALISASI
Sumber: muda.kompasiana.com
Pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter( character education ) dalam konteks sekarang sangat relevan untukmengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita.Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulanbebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja,kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaanmenyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, danperusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yanghingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karenaitu betapa pentingnya pendidikan karakter.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moralknonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moralbehavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakanbahwakarakter yang baikdidukung oleh pengetahuan tentang kebaikan,keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatankebaikan. Bagan dibawah ini merupakan bagan kterkaitan ketigakerangka pikir ini.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalamrangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanyauntuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untukwarga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapatdiartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to fosteroptimal character development (usaha kita secara sengaja dariseluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantupembentukan karakter secara optimal.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-
nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun
kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau
kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan
sekolah.
1. Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa
Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk
memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota
masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan
bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap
memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi
kesepakatan bersama.
”Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga
tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu
itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu
hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata
dan bertindak”. Simak, telaah, dan renungkan dalam hati apakah
telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi
peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan
sikap-sikap: kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan,
visioner, dan kemandirian.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter
bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut
pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan
ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter
sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan
implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat
penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal
ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari
pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa”
adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan
bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang
membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat
realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus
diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi
konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan
karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas
implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan
dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas
untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan
berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita
sekali merdeka, tetap merdeka.
2. Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Karakter
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik
pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional
pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP),
dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan
pendidikan sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan
karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan
dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di
sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan
norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi
dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu
pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional
mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap
jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design
menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan,
pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan
dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir
(intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and
kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter
perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7
jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta
didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah
berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan
peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan
keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung
pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik.
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi,
kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di
lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar,
dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh
negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar
peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter
terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan
pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan
formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik
di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil
belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter
peserta didik .
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh sekolah di
Indonesia terutama pada tingkat SMP negeri maupun swasta,
karena di masa SMP peserta didik belum terlalu melawan kepada
guru, seperti anak SMA, dan anak SMP tidak terlalu kecil untuk
mendapatkan materi pendidikan karakter, seperti anak SD atau
MI. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru,
karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran
program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil
melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai
best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke
sekolah-sekolah lainnya.
2. Pendidikan karakter dalam lingkungan keagamaan
sumber:
pkimmstkipmbogor.blogspot.com
saat ini pendidikan agama menjadi suatau hal yang sudah sangat
‘dilupakan’ oleh sebagian remaja, pendidikan agama yang
menjadi modal dasar dan pondasi yang harus kuat dibangun malah
menjadi nomor kesekian yang jarang sekali mendapat perhatian
yang serius dikalangan remaja. Dan ini semua bisa dibuktikan
dan kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, para remaja banyak
sekali yang meninggalkan kewajibannya sebagai orang yang
beragama.
3. Pendidikan karakter dalam lingkungan keluarga
pendidikan karakter dalam
lingkungan keluarga
sangatlah penting bagi anak
remaja karena keharmonisan
dalam keluarga inilah yang
menjadi faktor utama bagi
sianak untuk memperoleh
pendidikan karakter, contohnya kebersamaan dengan setiap
anggota keluarga, keterbukaan dengan orangtua,
sumber: inspiringbrain.wordpress.com
perhatian dan kasih sayang dari orangtua.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah
pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta
didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan
karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter
dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
a . Membangun Karakter Siswa Dengan "Sepiring Nasi" ( Iwan
Gunawan,Guru SD Salman Al Farisi, Bandung )
Ide awal menggunakan metode ini, didasari oleh sebuah
kebingungan mengunakan metode yang tepat untuk menjelaskan
materi PKn tentang ‘Manusia sebagai mahluk sosial’. Dalam hal
ini saya dituntut untuk bisa menterjemahkan hal-hal yang
abstrak menjadi nyata buat siswa, sehingga bisa memudahkan
siswa untuk memahami materi yang rumit dengan cara yang
sederhana.
Berbicara tentang sepiring nasi, kita mungkin selalu
mengkaitkannya dengan masalah makan, perut lapar, nikmat dan
sebagainya. Tetapi tahukah kita bahwa sepiring nasi menyimpan
banyak rahasia yang bisa digunakan dalam pembelajaran? Lalu
apa kaitan antara sepiring nasi dengan pembelajaran? Secara
sepintas mungkin tidak ada. Tetapi apabila kita mau sedikit
kreatif dengan sepiring nasi, maka kita bisa menjadikannya
sebagai sebuah metoda pembelajaran.
Sepiring nasi yang biasa kita makan, sebenarnya memiliki
makna yang sangat dalam bagi tumbuhnya kepekaan, kepedulian
dan penghargaan atas hasil jerih payah orang lain. Mungkin
selama ini, kita hanya memandang sesaat sepiring nasi tanpa
menganalisisnya lebih dalam. Bahkan kita tidak punya waktu
sama sekali untuk memperhatikan sepiring nasi ini disaat perut
sudah sangat lapar.
Cobalah amati dengan seksama dan luangkan waktu sejenak,
“Apa saja” yang ada dalam sepiring nasi? nasi, ikan asin, ikan
goreng, ayam goreng , tahu, lalap, sambal, tempe, ketimun,
garam, vetsin, piring, sendok atau mungkin ada hal yang
lainnya?
Dari analisis sederhana ini, cobalah uraikan kembali
‘siapa saja’ yang berperan dalam menyediakan barang-barang
tersebut. Sebagai contoh, petani merupakan pihak yang
bertanggung jawab dalam menyediakan beras, Ibu yang memasak
nasi dan menggoreng, tahu dibuat oleh pengrajin tahu, garam
disediakan oleh petani garam, dan tentunya masih banyak pihak-
pihak lain yang terlibat. Pernahkan kita berpikir sejauh itu?
Mungkin selama ini kita hanya siap untuk menerima semua itu
dalam keadaan sudah jadi…nasi rames!
Sekarang, apa kaitannya antara sepiring nasi dengan
pembelajaran? Kini saatnya guru untuk menjelaskan tentang
keberadaan manusia sebagai mahluk social. Sebagai mahluk
sosial, manusia memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri.
Ajaklah siswa untuk membayangkan suatu keadaan, dimana
ketika dia akan ‘makan’ harus mempersiapkan segala sesuatunya
seorang diri mulai dari menanam padi selama 6 bulan,
mengeringkan air laut untuk membuat garam, menanam kedelai
untuk membuat tahu dan tempe, menangkap ikan di laut untuk
membuat ikan asin. Keadaan ‘imaginer’ seperti ini haruslah
diterapkan, agar siswa memiliki kepekaan terhadap hasil kerja
dan jerih payah orang lain.
Untuk membangun rasa kepekaan dan kepedulian, ajaklah
siswa untuk membuat pengandaian-pengadaian seperti ini
“Seandainya tidak ada petani, kita tidak bisa makan nasi”,
“seandainya tidak ada petani garam, tentunya makanan kita
tidak ada rasanya”. Dari pengandaian-pengandaian ini, guru
bisa mengajak siswa untuk menyimpulkan sendiri tentang
‘pentingnya ada orang lain di sekitar kita’, tanpa adanya
mereka maka kebutuhan-kebutuhan kita tidak akan bisa
terpenuhi.
Sepiring nasi! Kau telah memberi sebuah inspirasi. Lalu,
apakah kita sebagai guru masih bingung dalam mencari metode
untuk mengajarkan suatu materi? Ijinkan saya mengutip sebuah
anekdot
“Suatu saat dua orang yang berasal dari sekolah yang sama
bertemu. Walaupun berbeda angkatan tetapi mereka cepat akrab
dan pada saat mereka membicarakan salah seorang gurunya,
mereka kemudian tertawa bersama-sama karena setelah obrolan
yang panjang terungkap bahwa sang guru tersebut masih
melakukan praktek pengajaran yang persis sama, bahkan ketika
waktu kelulusan mereka terpaut lebih dari 7 tahun. Ini
membuktikan bahwa guru yang bersangkutan tidak mau berubah dan
mensejajarkan diri dengan kemajuan jaman. Sudah bukan jamannya
lagi kita mengajar berdasarkan diktat kuliah serta keterangan
dari dosen-dosen yang mengajar kita saat di universitas
dahulu. Jaman berubah demikian cepat dan informasi bertambah
terus menerus membuat sebuah ilmu menjadi cepat usang dan
ketinggalan.
b. Kekuatan Do’a Dalam Pembelajaran ( Iwan Gunawan, Guru SD
Salman Al Farisi, Bandung )
Seringkali kali dalam suatu pembelajaran banyak siswa
yang tidak berminat terhadap suatu pelajaran tertentu, baik
karena sikap gurunya ataupun materi yang disampaikan kurang
menarik dan berkenan di hati para siswa.
Ketidaktertarikan siswa ini bisa ditampilkan dalam bentuk
pembangkangan, ribut ataupun mungkin dengan cara yang lebih
sopan, misalnya dengan bertanya kepada guru tentang “apa
manfaatnya bagiku” belajar materi ini. Di tengah semakin
ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan
hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan
mengalami kegagalan atau ketidakberhasilan dalam meraih
prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Sepintas, pertanyaan “apa manfaatnya bagiku” ini agak
sepele dan tidak perlu pembahasan lebih lanjut. Akan tetapi
bagi siswa, hal ini penting untuk diketahui karena menyangkut
keaktifan dalam merespon materi pembelajaran, dan rasa aman di
dalam mengahadapi masa depan mereka. Sebagaima dikatakan Arden
N. Fardesen bahwa hal yang mendorong seorang siswa untuk
belajar adalah:
1. Adanya sifat ingin tahu dan menyelidiki dunia yang amat
luas.
2. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan
keinginan untuk selalu maju.
3. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang
tua, guru, dan teman.
4. Adanya uasaha untuk memperbaiki kegagalaan yang lalu
dengan usaha yang baru, baik dengan koprasi maupun dengan
kompetisi.
5. Adanya usaha untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai
pelajaran.
6. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai konsekwensi dari
belajar.
Guru harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada
setiap peserta didik di dalam menjalani masa-masa belajarnya.
Hal ini senada dengan pendapat Moh. Surya (1997) tentang
peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat di pandang
dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru harus
berperan sebagai :
1. Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2. Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa
belajar secara terus menerus untuk mengembangkan
penguasaan keilmuannya.
3. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta
didik bagi setiap peserta didik di sekolah.
4. model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku
yang harus dicontoh oleh para peserta didik.
5. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta
didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan
gurunya.
Seringkali, kita sebagai guru mengarahkan permasalahan
ini kepada siswa sebagai penyebabnya, baik karena siswa yang
malas, tidak punya buku paket atau alasan lain. Seorang guru
harus senantiasa mau beintrospeksi pada diri sendiri. Betapa
banyak guru sering menempatkan dirinya sebagai “dewa
kebenaran” yang seolah-olah serba tahu semua keinginan
muridnya. Padahal sejalan dengan tantangan kehidupan global,
peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin
kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan
berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya.
Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan
proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang
tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well
informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang
sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di
jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang
yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Guru seringkali terjebak dalam pemecahan masalah “apa
manfaatnya bagiku” dengan menggunakan metode-metode yang belum
tentu sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Dari beberapa
metode dan pendekatan yang digunakan, ada satu hal yang
kiranya bisa dijadikan ‘alternative’ untuk memecahkan masalah
tersebut terlepas dari cara yang telah dilakukan oleh guru
seperti memperjelas tujuan yang ingin dicapai, membangkitkan
minat siswa, menciptakan suasana yang menyenangkan dalam
belajar, memberi pujian yang wajar terhadap setiap
keberhasilan siswa, memberikan penilaian, memberi komentar
terhadap hasil pekerjaan siswa, dan menciptakan persaingan dan
kerja sama yang sehat. Alternatif ini sangat murah dan mudah
dilakukan, tanpa perlu mempelajari teori yang rumit yaitu
berdoa.
Lalu apa hubungannya antara doa dengan kebermaknaan dalam
pembelajaran? Cobalah ingat-ingat kembali oleh kita, berapa
kali kita mendoakan siswa-siswa kita dalam belajar atau
minimal mendoakan mereka diawal atau diakhir pembelajaran?
Walaupun semua guru berbuat demikian, betapa jarang kita
mendoakan mereka diawal atau diakhir pembelajaran.
Mungkin kita hanya menutup dan membuka pembelajaran
dengan ucapan “selamat pagi anak-anak”, “selamat siang”,
“selamat sore” serta ucapan-ucapan lainnya, atau bisa juga
langsung ngeloyor meninggalkan anak-anak tanpa sepatah kata
pun. Ucapan-ucapan ini bukannya tidak bagus, akan tetapi masih
terlalu umum.
Guru adalah orang tua para siswa. Karenanya, Rosulullah
melarang para orangtua (guru) mendoakan keburukan bagi anak-
didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang
berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa
depannya.
Semoga kita termasuk calon guru-guru yang senantiasa
memanfaatkan akal dan mendoakan para siswanya untuk kemajuan
pembelajaran. Amiin
4. Pendidikan Karakter Yang Berhasil
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui
melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana
tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara
lain meliputi sebagai berikut:
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap
perkembangan remaja.
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
3. Menunjukkan sikap percaya diri.
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam
lingkungan yang lebih luas.
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan
golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional.
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar
dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif.
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif,
dan inovatif.
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai
dengan potensi yang dimilikinya.
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari.
10. Mendeskripsikan gejala alam dan social.
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab.
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya
persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional.
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan
untuk berkarya.
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan
memanfaatkan waktu luang dengan baik.
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan
santun.
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam
pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan
pendapat.
Inilah potret yang terjadi pada saat ini di kalangan anak remaja jika mereka tidak dibekali dan tidak tahu PENDIDIKAN KARAKTER .
Sumber: edukasi.kompasiana.com
Sudah seharusya kita sebagai calon pendidik anak bangsa harus bisa menjadi contoh yang baik dan menerapkan pendidikan karakter remaja tidak hanya mengetahui tapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
merekalah generasi dan penerus bangsa ini,karena ditangan merekalahmasa depan negara ini akan dijunjung.
Sumber-sumber: Lickona, Iwan Gunawan (Guru SD Salman Al Farisi, Bandung ), A. Kusuma, Doni, (pendidikan karakter & strategi mendidik anak di Zaman global), Mochtar Buchori (2007), Moh. Surya (1997) (tentang peranan guru di sekolah), Sumber: muda.kompasiana.com, sumber: pkimmstkipmbogor.blogspot.com, sumber: inspiringbrain.wordpress.com, Sumber: edukasi.kompasiana.com
MENGATASI BULLYING PADA ANAKREMAJA
sumber: community-freebullying.blogspot.com sumber: www.sunnihomeschooling.comBullying adalah istilah dalam bahasa Inggris, yang baru marak belakangan ini, karena dampaknya luar biasa banyak anak remajabunuh diri karenanya. Dampak terkecil adalah malas sekolah, prestasi akademik menurun dan menjadikan anak rendah diri dan uring-uringan.
Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek. Bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga korbannya terus menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi.
Berdasarkan beberapa pengertian bullying di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara berulang-ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat seseorang merasa tidak nyaman.
Bullying ini sendiri banyak terjadi di sekolah-sekolah, sekolah umum maupun swasta, bahkan di pesantren sekalipun. Dan bila pada tatanan nilai masyarakat yang agresif seperti di negara barat, maka akan timbul kasus bullying yang cukup parah dari pembunuhan sampai pada kasus cedera. Biasanya di sekolah pertama-tama dilakukan oleh kakak senior kepada adik kelasnya yang dinamakan ospek. Setelah kegiatan ospek usai, maka praktek bullying terjadi juga pada keseharian anak di kelas, dimana anak-anak yang merasa badannya lebih besar, lebih punyapower mem-bully anak yang tampaknya lebih lemah.
Sumber: majalah7ispentigda.blogspot.com
Praktek bullying sendiri dibagi dalam 3 bagian, yaitu :
1. Bullying secara fisik: tindakan menikam, memalak, mencubit,memukul, meludah, menarik leher kerah baju, mendorong, yang semuanya dilakukan dengan sengaja (deliberately).
2. Bullying secara verbal: mengolok olok, menertawakan, memanggil nama orangtua, mencemooh, menghina bahkan memfitnah, dan lagi-lagi dilakukan dengan sengaja.
3. Bullying secara psikologis: mendiamkan, mengucilkan, tidak diajak dalam kegiatan apapun, dibiarkan sendirian.
Semua praktek bullying, tentu saja sangat menyakitkan bagi seorang anak maupun remaja, karena masa mereka adalah masa berkawan, dan di-bully merupakan hal yang paling dibenci oleh seluruh anak dan remaja diseluruh dunia, dan hal ini harus dicegah, oleh berbagai pihak.
1. B. Pengertian Pemahaman Moral
Moral berasal dari kata mores yang berarti tata cara dalam hehidupan atau adat istiadat. moral sebagai hal yang berkenaandengan norma-norma umum mengenai apa yang baik atau benar dalam cara hidup seseorang. Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.
Kohlberg menjelaskan pengertian moral dengan menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thingking dan moral-judgement sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian sama dan digunakan secara bergantian. Terjemahan istilah tersebut menjadi pemahaman moral (Budiningsih, 2004, h.25 dalam Widiharto, h.8) menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, daripada sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baikatau buruk. Pemahaman moral bukan tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai padakeputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Berdasarkan pengertian di atas, maka pemahaman moral adalah pemahaman individu yang menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dan bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk.
1. C. Faktor yang Bisa Mempengaruhi Moral Remaja
Berikut ini beberapa faktor yang dapat menurunkan moral dikalangan para remaja:
1. Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga
Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik.
1. Pengaruh lingkungan yang tidak baik
Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan materialistik. Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggupberbuat apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk.
1. Tekanan psikologi yang dialami remaja
Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah diakibarkan adanya perceraian atau pertengkaran orang tua yangmenyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari pelampiasan.
1. Gagal dalam studi/pendidikan
Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat pendidikan, mempunyai waktu senggang yang banyak, jika waktu itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika dia berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan waktunya.
1. Peranan Media Massa
Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi, karena remaja sedang mencari identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya.
1. Perkembangan teknologi modern
Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti mengakses informasi dengan cepat, mudah dan tanpa batas juga memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai dengan mereka.
1. D. Hubungan antara pemahaman moral remaja dengan perilaku bullying
Pemahaman moral menekankan pada suatu perbuatan yang dapat dinilai baik atau buruk. Hal ini sesuai dengan pendapat Budiningsih (2004, h.25 dalam Widiharto, h.10) yang menyatakanbahwa pemahaman moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan daripada sekedar arti suatu tindakan sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Pemahaman moral bukan tentang apa yang baik atau buruk,tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk.
Berlandaskan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa anakdengan pemahaman moral yang tinggi akan memikirkan dahulu perbuatan yang akan dilakukan. Pemikiran tersebut menyatakan apakah perbuatanannya nanti merupakan perbuatan yang dikatakanbernilai baik atau buruk, adanya pemahaman moral anak tersebutdapat mengakibatkan anak memiliki kemampuan untuk menilai tindakan bullying yang menyakiti orang lain sehingga perbuatan yang buruk yang sebenarnya tidak boleh dilakukan sehingga anakdengan pemahaman moral yang tinggi tidak melakukan perilaku bullying.
Anak yang kurang memiliki pemahaman moral, tidak memikirkan setiap tindakannya apakah mengandung nilai-nilai yang baik atau buruk. Anak tersebut tidak mau tahu apakah perbuatannya akan melukai temannya atau tidak, akibatnya anak tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku bullying.
Sumber: youthfulplanet2a6.wordpress.com
E. Contoh KasusBullying
Hanya karena bersikap cuek terhadap orang lain si anak ini mendapatkan teror sms dan komentar-komentar dimedia sosial yang menjelek-jelkan namanya dan menjatuhkan hargadirinya.
1. F. Analisis kasus perilaku bullying ditinjau dari pemahaman moral
Banyak kasus terjadi mengenai perilaku bullying.Niat baik tapi tidak diiringi dengan cara yang baik akan berdampak pada hasilyang tidak baik. Tindakan yang dilakukan untuk mengingatkan adik tingkatnya agar tidak memakai baju yang ketat sehingga terlihat dalaman, seharusnya tidak sampai melukai fisik. Aturan-aturan yang sebenarnya tidak menjadi peraturan sekolahpun harus ditaati oleh para juniornya. Sangat disayangkan memang atas kejadian tersebut, terlebih hukuman yang diberikan senior kepada juniornya tersebut sangat tidak masuk akal dan dianggap keterlaluan karena hal itu berhubungandengan kohormatan wanita yang sepatutnya ditutupi dan di jaga.
Penyebab terjadinya bullying bisa bermacam-macam, bisa karena inisiatif dari pelaku maupun situasi lingkungan yang kebetulanmendukung terjadinya bullying. Secara umum semua anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dimana orangtua dan lingkungan menjadi faktor utama dalam pembentukan kepribadian
dan pemahaman moral anak. Banyak hal yang diajarkan terutama dalam interaksi dengan teman sebaya, seperti apakah ia mampu mendominasi atau mempengaruhi teman-temannya
Jika hal tersebut dikombinasi dengan faktor-faktor seperti masalah keluarga, pola asuh, penanaman nilai dari keluarga, prestasi akademik yang tidak memuaskan, serta peraturan sekolah yang masih longgar, maka bullying di sekolah kemudian bisa semakin menjadi-jadi karena ditunjang juga oleh emosi yang belum matang.
Anak bisa menjadi pelaku bullying diantaranya karena: kemampuan adaptasi yang buruk, pemenuhan eksistensi diri yang kurang (biasanya pelaku bullying nilainya kurang baik), harga diri yangrendah, adanya pemenuhan kebutuhan yang tidak terpuaskan di aspek lain dalam kehidupannya, hubungan keluarga yang kurang harmonis, bahkan bisa jadi si pelaku ini juga merupakan korbanbullying sebelumnya atau di tempat lain.
Secara umum, tingkah laku bullying ini berawal dari masalah yangdialami oleh pelaku. Kemampuan pemecahan masalah yang kurang bisa membuat anak mencari jalan keluar yang salah, termasuk dalam bentuk bullying ini. Contoh, anak yang sering ditindas kakaknya di rumah, kemudian mencari pelampiasan dengan menindas anak lain di sekolahnya.
Dalam penerapan sanksi, baiknya ada tahapan-tahapannya walaupun memang diperlukan ketegasan dalam sanksi. Akan tetapi, tahapan pertama yang seharusnya dilakukan adalah bahwapelaku harus diajak untuk menyelami apa yang kira-kira dirasakan oleh korbannya. Tentunya pembicaraan ini baru bisa dilakukan kalau pelaku juga sudah tenang dan tidak dalam keadaan emosi. Selain diisi dengan pembicaraan mengenai apa yang ia lakukan terhadap korbannya, penting untuk menggali juga penyebab dari perilaku tersebut dan dapat diketahui faktor apakah yang berpengaruh terhadap kurangnya pemahaman moral.
Jika pelaku bullying lebih dari satu orang atau berkelompok, maka mereka harus diajak bicara secara perorangan pada awalnya. Tahap selanjutnya mengenai sanksi, memang harus diberikan pada pelaku. Sanksinya harus berasal dari refleksi diri mereka sendiri mengenai perasaan korbannya dan bagaimana
menebus kesalahan yang telah dilakukannya. Pada akhirnya jika pelaku sudah bisa memahami perasaan korbannya, ia harus berjanji untuk tidak mengulangnya. Berbagai pihak juga memiliki tanggungjawab untuk memantau para pelaku, terutama keluarga dan pihak sekolah, agar ketika melakukan kesalahan lagi tidak dibiarkan, tapi langsung diingatkan. Misalnya jika korban diejek-ejek “gendut,” maka pelaku harus bisa menyampaikan maaf dan menyampaikan sisi positif yang dia lihatdari korban. Jadi kata-kata ejekan pada korban sudah tidak boleh diucapkan lagi, diganti dengan ucapan yang baik.
Dampak dari perilaku bullying ini memang berbeda-beda, akan tetapi yang pasti sangat merugikan korban bahkan dalam kasus ini berdampak ketakutan sehingga tidak mau sekolah. Dalam beberapa kasus bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Tindakan yang dilakukan berupa baik atau buruk itu merupakan bentuk dari moral. Dalam perkembangan moral, peranan orangtua sangat penting, oleh karena itu orang tua harus konsisten dalam mendidik anaknya, bersikap terbuka serta dialogis, tidakotoriter atau memaksakan kehendak.
Pada tahap ini remaja lebih mengenal tentang nilai-nilai moral, kejujuran, keadilan kesopanan dan kedisiplinan. Oleh karena itu moral remaja harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial. Karena dengan moral, remaja bisa memikirkan sesuatu yang akan dilakukan, apakah termasuk pada hal yang baik atau buruh. Jika baik mereka faham bahwa menyakiti oranglain itu adalah tindakan yang buruk, maka dia tidak akan pernah melakukan tindakan bullying.
Biasanya orang yang melakukan bullying terhadap seseorang itu dia tidak benar-benar mengenal tapi hanya sebatas tau dari apayang dia lihat. Kebanyakan orang menganggap orang lain baik atau buruknya hanya dari apa yang mereka lihat tanpa mereka benar-benar mengetahui dan mengenal orang lain.
Jujur saja saya pernah mengalami yang namanya bullying bahkan sampai sekarang masih saja ada sebagian orang yang kadang-kadang menjudge saya, saya pernah merasa terpuruk, sedih, malu, bahakn tidak ingin bertemu dengan orang lain. Tapi saya berkaca pada diri saya sendiri saya bertanya dan saya benar-benar menilai diri saya sendiri, kemudian saya berpikir “
mengapa mereka bisa menilai keburukan menjudge saya ini-itu padahal mereka tidak mengenal saya begitupun dengan saya yang tidak mengenal mereka, mereka hanya tau saya ketika saya lewatatau mungkin ketika saya dikelas tapi kenapa mereka bisa menjudge saya sedemikian rupa ?”. . .setelah saya benar-benar berkaca pada diri saya sendiri lalu saya berkata “ whatever and i don’t care what they say about me IT’S ME !!!! “. Itulahyang saya katakan pada diri saya sendiri, setelah saya bisa berkata itu sampai sekarang saya selalu merasa PD karena tidakada yang berhak menjudge saya kecuali TUHAN. Dan saya selalu menganggap haters itu sebagai orang yang sangat menyayangi saya bagaimana tidak coba ? mereka selalu memperhatikan saya berarti mereka perhatian kepada saya. Jadi buat teman-temanku diluar sana yang mungkin pernh merasakan dibully jangan pernahmenganggap itu adalah bullyan tapi sebuah kasihsayang yg mereka tujukan kepada kita karena mereka tidak mengenal kita seperti apa makanya mereka menunjukannya dengan cara yang salah.
“don’t judge if you don’t know, don’t speak if you don’t know !!!!!! “
Peran orangtua dan pendidik juga sangatlah berperan penting karena dari merekalah motivasi-motivasi dan pemecahan masalah akan diberikan kepada si anak.
Sumber-sumber : Sullivan (2000, h.14 dalam Widiharto, h.6),Lilie dalam Budiningsih (2004,h. 24), Wahyuning dkk (2003, h.3
dalam Widiharto, h.8). Kohlbreg, (Budiningsih, 2004, h.25dalam Widiharto, h.8), sumber: community-freebullying.blogspot.com
sumber: www.sunnihomeschooling.com, Sumber:majalah7ispentigda.blogspot.com,
Sumber:youthfulplanet2a6.wordpress.com