MAKALAH ISU-ISU GLOBAL KONTEMPORER
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Isu-Isu Global Kontemporer
Pengaruh Globalisasi Terhadap Supernatural Beliefs di Jepang
Disusun oleh:
Alvianti Purnamasari
Torrysta Alvanso
Abhiyan Bayu Diandi
M. Andriansyah
Anggrek Katresna Anggunatami
Andriski Fajrin Lumaela
M. Ikbal
FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA
JAKARTA
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jepang adalah salah satu Negara yang terletak di kawasan Asia berbentuk kepulauan.
Jepang dikenal sebagai negara yang berhasil dalam kurun waktu singkat dan menjadi suatu
bangsa di Asia yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat. Ketertinggalan Jepang
akibat politik Sakoku ditanggapi dengan cepat. Jepang mulai membangun ketertinggalan
dari negara-negara Barat.
Untuk mengejar ketertinggalannya, di bawah pemerintahan Meiji, Jepang dengan
slogan fukoku kyohei mulai membangun ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan.
Adalah peristiwa besar yang akhirnya mendorong Jepang melakukan perubahan secara
besar-besaran yakni pasca Perang Dunia II.1 Dimana Jepang dikalahkan oleh Amerika yang
berakibat pada kehancuran sektor industri yang selama ini menjadi penopang kehidupan
Jepang.
Keberhasilan Jepang dalam berbagai aspek kehidupan memiliki pengaruh dari Barat
seiring dengan perkembangan waktu yang mengakibatkan sistem globalisasi yang
mewadahi perubahan di Jepang. Dalam segi kebudayaan Jepang mengikuti pola
kebudayaan Barat yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Uniknya meskipun Jepang
terkenal dengan kemajuannya yang pesat, Jepang tidak meninggalkan budaya
tradisionalnya. Dua hal yang dapat diperlihatkan dari kehidupan Jepang adalah budaya
material yang cenderung mengikuti pola Barat dan budaya Spiritual yang tidak banyak
mengalami perubahan.2
Maka dengan ini Jepang seringkali disebut sebagai negara berwajah dua, dimana di satu
sisi tidak nampak masyarakatnya mengandalkan teknologi yang amat canggih, seperti
1 Tanaka Hidemichi, The History of Japan; Really, What is so Great about it?, Tohoku University (Summer,
1990), diakses pada tanggal 26 November 2014 pukul 12.47 WIB, dalam
http://hidemichitanaka.net/column/single/130729/130729.pdf 2 Nelson Bingham, The History of Japan at Ealham, Earlham University (Spring, 2004), diakses pada tanggal
26 November 2014 pukul 13.50 WIB, dalam https://www.earlham.edu/media/178354/historical_brochure.pdf
2
ketergantungan kendaraan bermesin (mobil atau motor), tetapi di lain pihak masyarakat
Jepang tetap menjaga kearifan lokalnya dengan mengadakan upacara-upacara spritual
seperti Matsuri dan berbagai kesenian tradisional lainnya.
Kedudukan budaya tradisional serta supernatural beliefs masyarakat Jepang di tengah
arus globalisasi menjadi suatu kisah yang menarik sebab jika diperhatikan kebudayaan
tradisional Jepang masih memiliki pengaruh yang tersebar ke mancanegara dan menjadi
suatu objek yang unik serta terkadang diadopsi oleh beberapa negara lain. Fenomena
dimana kepercayaan masyarakat Jepang (supernatural beliefs) di tengah arus globalisasi
menjadi perbincangan bagi para globalis yang percaya bahwa globalisasi memberikan
konsekuensi nyata terhadap orang dan lembaga di seluruh dunia. Para globalis percaya
kalau kepercayaan yang selama ini dianut oleh masyarakat Jepang akan pusat diterpa
kebudayaan ekonomi global yang homogen. Tetapi di sisi lain, para transformalis
mengatakan bahwa pengaruh globalisasi telah dilebih-lebihkan sehingga terjadi
pengurangan terhadap ketaatan agama di kalangan masyarakat yang kemudian menghapus
kepercayaan terhadap budaya-budaya tradisional yang selama ini melekat di dalam diri
masyarakat itu sendiri.3
Masuknya pengaruh budaya Barat yang disebut dengan Westernisasi di Jepang terjadi
pada tahun 1854. Saat itu Komodor Perry memaksa dibukanya Jepang dengan perjanjian
Kanagawa yang berujung pada masa Restorasi Meiji. Restorasi Meiji adalah serangkaian
pembaharuan yang menyebabkan adanya perubahan pada struktur politik dan sosial di
Jepang. Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869.4 Dengan mengadopsi
institusi Barat pada periode Meiji, maka kehidupan Kekaisaran Jepang menjadi kekuatan
dunia.
Globalisasi telah memberikan banyak kemajuan bagi Jepang, dari negara tertutup
menjadi negara yang mampu berhadapan dengan negara-negara Barat seperti Amerika
Serikat. Salah satu dampak globalisasi di Jepang adalah menjamurnya gedung-gedung
bertingkat, gaya berpakaian yang merujuk pada Harajuku Style, munculnya Anime dan
3 Masamichi Sasaki, Globalization and National Identity in Japan, International Journal of Japan Sociology
(November, 2004), diakses pada tanggal 26 November 2014 13.54 WIB, dalam http://c-faculty.chuo-
u.ac.jp/~mikenix1/jms/articles_academic/Sasaki-Globalization_National_ID_Japan%20.pdf 4 Ibid, Globalization and National Identity in Japan.
3
Manga yang kemudian dijadikan kebijakan politik luar negeri Jepang yang dikukuhkan
dalam Diplomatic Bluebook Japan dengan program Cool Japan, menguatnya perusahaan
Jepang di belahan dunia dan adanya perubahan yang terjadi pada supernatural beliefs di
Jepang.
Pengaruh globalisasi ini tidak hanya berlaku di kalangan masyarakat Jepang itu sendiri
sehingga pengaruh globalisasi ini terhadap perubahan supernatural beliefs di Jepang
memberikan ide baru bagi pemerintahan Jepang yang kemudian disebarkan Jepang ke
mancanegara, terutama Indonesia. Penulis akan mengkaitkan bagaimana perubahan
supernatural beliefs di Jepang kemudian mempengaruhi Indonesia melalui diplomasi
budaya yang diciptakan oleh Jepang.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang dijabarkan penulis, adapun rumusan masalah yang
diajukan adalah :
Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap supernatural beliefs di Jepang?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan diatas, tujuan dalam penelitian
ini adalah :
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh globalisasi terhadap supernatural beliefs di
Jepang.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kegunaan atau memiliki manfaat
sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian dan menambah ilmu
pengetahuan bagi studi Hubungan Internasional khususnya dapat memperluas kajian
tentang bagaimana pengaruh globalisasi terhadap supernatural beliefs di Jepang
terutama dalam kebudayaan, agama dan pendidikan.
4
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana
pengaruh globalisasi terhadap supernatural beliefs di Jepang terutama dalam
kebudayaan, agama dan pendidikan.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran mengenai isi dari hasil penelitian yang dibuat, penulis
meyusunnya dalam urutan yang sistematis sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Bab ini berisikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian, rumusan masalah,
tujuan dilakukannya penelitian, manfaat dari penelitian yang dilakukan, dan sistematika
penelitian.
Bab II Kerangka Pemikiran
Bab ini berisikan berbagai teori yang digunakan sebagai dasar penelitian yang relevan
dengan judul.
BAB III Metode Penelitian
Bab ini berisikan mengenai rencana penelitian yang digunakan, mulai dari paradigma
penelitian, pendekatan penelitian, strategi penelitian, jenis penelitian, metode pemilihan
informan, metode pengumpulan data, metode analisis data, keabsahan penelitian, hingga
kelemahan penelitian.
BAB IV Analisis dan Interpretasi Data
Bab ini berisikan data mengenai informan serta anlisa dari data-data yang telah
terkumpul, serta hasil interpretasi data dari penelitian ini.
BAB V Penutup
Bab ini berisikan diskusi mengenai penelitian yang dilakukan, kesimpulan, serta saran
yang dapat diberikan kepada pihak-pihak yang terkait.
5
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pengertian Globalisasi dan Dampaknya
Menurut Professor Giddens, Globalisasi merupakan kekuatan yang tak terbendung,
kekuatan yang mengubah segala aspek kontemporer dari masyarakat, politik, dan
ekonomi.5 Dalam tulisannya, Edison juga menjelaskan bahwa globalisasi merupakan suatu
proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah, dan pada
hakikatnya globalisasi adalah proses dari gagasan yang dimunculkan lalu ditawarkan untuk
diikuti oleh bangsa lain yang kemudian sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan
menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Menurutnya, globalisasi
dapat memberikan pengaruh positif dan negatif.6 Pengaruh positif globalisasi diantaranya,
mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan, mudah melakukan komunikasi, cepat
dalam bepergian, memunculkan sikap kosmopolitan dan toleran, memicu masyarakat untuk
meningkatkan kualitas diri dan mudah memenuhi kebutuhan. Sedangkan dampak negatif
globalisasi diantaranya, informasi yang tidak tersaring, cenderung menyebabkan
masyarakat tidak kreatif dan bersifat konsumtif, dan masyarakat mudah terpengaruh oleh
hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara.
Dalam bukunya, Martin Wolf menjelaskan bahwa globalisasi adalah sebuah proses
yang paling mempengaruhi hajat hidup orang banyak di dunia saat ini. Tidak ada satu
masyarakat pun yang tidak terkena dampaknya.7 Budaya yang sangat erat hubungannya
dengan agama juga terkena dampak dari globalisasi. Menurut E. B. Taylor, pengertian
agama sangat erat dengan pemahaman budaya, bahkan keduanya berjalan beriringan.
Sehingga ketika suatu budaya terkena dampak globalisasi maka agama juga terkena
5 Anthony Giddens. 1999. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Malden Massachusetts: Polity
Press. 6 Edison A. Jamil. 2005. Kewarganegaraan. Indonesia: Yudhistira Ghalia.
7 Martin Wolf. 2007. Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 15.
6
dampak tersebut.8 Globalisasi memiliki hubungan yang erat dengan modernitas dan
westernisasi, hal-hal yang bersifat kebarat-baratan menjadi hal yang baru dan dianggap
rasional. Globalisasi menjadi suatu alat yang dapat menggeser pemahaman suatu agama.
Menurut Rostow 9 modernisasi merupakan. Pertama, proses bertahap yang mencakup
berbagai fase pertumbuhan ekonomi yang hendak dicapai oleh masyarakat, diawali dengan
masa primitif dan sederhana, menuju masyarakat yang berakhir pada tatanan yang maju dan
kompleks. Kedua, modernisasi sebagai proses homogenisasi, yaitu sebuah proses yang
menuntut kesamaan dan kemiripan, hal ini menjadi indikator bahwa proses pembangunan
dinilai berhasil. Proses homogenisasi ini memiliki beberapa tingkat, yang pertama adalah
hogomenisasi internal, yaitu hogomenisasi yang terjadi di dalam negara tersebut. Artinya,
diantara masyarakat sudah tidak terjadi lagi ketimpangan ekonomi dan sosial. Yang kedua
adalah homogenisasi eksternal yaitu kemiripan dan kesamaan antara negara maju dan
negara berkembang.
Menurut Rostow, watak homogenisasi ini merupakan salah satu target para pemikir
teori modernisasi untuk melakukan pembangunan secara efektif. Ketiga, Modernisasi
merupakan proses Eropanisasi dan Amerikanisasi atau secara singkat modernisasi itu
cenderung sama dengan Barat. Hal ini dapat dilihat dari sifat Barat yang cenderung
mengarah kepada kemajuan dan keberhasilan. Di sisi lain, negara Barat merupakan negara
yang tak tertandingi dalam kesejahteraan ekonomi dan politik. Ini menjadi salah satu alasan
bagi negara-negara berkembang yang menjadikan negara-negara Barat sebagai mentor
mereka. Misalnya saja kebijakan industrialisasi dan pembangunan ekonomi yang
sepenuhnya meniru hal-hal yang dilakukan oleh negara maju tanpa memperhatikan faktor
budaya dan sejarah lokal negara-negara berkembang.10
8 John Tomlinson. 2013. Globalization and Culture. UK: Political Science, hlm. 1.
9 W. W. Rostow. 1991. The Stages of Economic Growth : A Non Comunist Manifesto 3rd edition. England:
Cambridge University, hlm. 17 10
Ibid, hlm. 18.
7
2.2 Proses Terjadinya Globalisasi
Pada hakikatnya, proses modernisasi banyak diawali dari proses hubungan perdagangan
antar bangsa. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan suatu bangsa untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Revolusi industri yang terjadi di kawasan Eropa juga turut
mendorong negara-negara Barat untuk datang ke berbagai negara-negara lain guna mencari
bahan baku industri dan juga pemasaran hasil produksi industrialisasinya, dan
berkembangnya media massa asing yang menyebar ke berbagai kawasan dunia ikut
berperan dalam penyebaran budaya antar bangsa. 11
Ada beberapa hal yang mencirikan berkembangnya fenomena globalisasi di dunia,
diantaranya adalah perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan teknologi
seperti televisi, satelit, telepon genggam dan internet membuktikan bahwa komunikasi
global mengalami perkembangan. Sedangkan perkembangan budaya dapat dirasakan dari
datangnya turis-turis asing yang membawa budaya mereka. Kedua, adanya ketergantugan
diantara pasar dan produksi ekonomi berbagai negara yang disebabkan tumbuhnya
perdangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional dan juga
dominasi organisasi internasional seperti WTO. Ketiga, Interaksi cultural yang meningkat
akibat perkembangan media massa seperti televisi, film, musik, dan beragam berita
internasional.
Dengan adanya media massa, masyarakat menemukan hal-hal baru dan juga beragam
budaya seperti makanan, fashion, gaya hidup dan literatur. Keempat, munculnya masalah
bersama seperti masalah lingkungan hidup, krisis multinasional dan isu-isu regional. 12
11
Raymond Breton dan Jeffrey G. Reitz. 2003. Globalization and Society: Processes of Differentiation
Examined. UK: Political Science, Chapter 1. 12
Sugiharyanto. 2006. Geografi dan Sosiologi. Indonesia: Yudhistira Ghalia, hlm. 164.
8
2.3 Globalisasi dan Budaya
Bagi sebuah bangsa aspek kebudayaan merupakan kekuatan bangsa yang memiliki
kekayaan nilai yang beragam sebab dalam kebudayaan terhadap beberapa unsur.
Diantaranya, peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian dan system ekonomi,
system kemasyarakatan, bahasa, kesenian, system pengetahuan dan system kepercayaan.13
Kebudayaan merupakan salah satu aspek masyarakat yang terkena dampak dari
globalisasi. Kebudayaan diartikan sebagai nilai atau values yang dianut oleh suatu
masyarakat. Dengan kata lain, budaya merupakan persepsi masyarakat tentang berbagai
hal. Globalisasi merupakan sebuah gejala tersebarnya berbagai nilai-nilai dan budaya
tertentu keseluruh kawasan di dunia. Dan kemudian budaya ini menjadi budaya dunia atau
biasa disebut dengan World Culture. 14
Perkembangan globalisasi kebudayaan tumbuh
secara pesat pada abad 20 yang disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan
kontak melalui media yang mengantikan kontak fisik sebagai sarana komunikasi
antarbangsa. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan globalisasi kebudayaan tersebar
dengan cepat di seluruh dunia. 15
Kebudayaan setiap Negara cenderung mengarah pada globalisasi dan menjadi
peradaban dunia sehingga melibatkan masyarakat di Negara itu sendiri secara menyeluruh.
Dalam bentuk alami, globalisasi akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilainya.
Dalam proses ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan
perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari
kehancuran. Tetapi dalam proses ini Negara-negara harus tetap mempertahankan dimensi
budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya
asing.
13
E. B. Tylor. 1980. Culture In Comparative and Evolutionary Perspective. London: Ethnology Society of
London, Chapter II. 14
Natasha Gentz and Stefan Kramer. 2012. Globalization, Cultural Identities, and Media Representations.
Suny Press, hlm. 1-10. 15
Ibid,
9
2.4 Diplomasi Budaya
Diplomasi adalah seni praktek dalam bernegoisasi oleh seseorang mewakili sebuah
negara atau organisasi. Diplomasi biasanya terkait dengan diplomasi yang biasanya
mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi dan perdagangan. Diplomasi paling
sederhana adalah diplomasi bilateral antara dua pihak yang dilakukan oleh dua negara
saja. Diplomasi memiliki pengertian sebagai usaha suatu Negara untuk memperjuangkan
kepentingan nasional di kalangan masyarakat Internasional. Diplomasi biasanya bersifat
persuasi, salah satu yang menjadi aspek persuasi adalah melibatkan upaya untuk terus
melakukan negosiasi dan memengaruhi masyarakat untuk mau mendukung keinginan yang
ingin dicapai.16
Biasanya diplomasi persuasi mengarah kepada diplomasi kebudayaan yang mana
diplomasi kebudayaan memiliki arti usaha suatu negara dalam memperjuangkan
kepentingan nasionalnya melalui dimensi kebudayaan dengan pemanfaatan ideologi,
politik, ekonomi, kesenian dan teknologi. Diplomasi budaya dapat dilakukan oleh
pemerintah, organisasi atau individu. Suatu negara dikatakan menggunakan diplomasi
budaya sebagai media sekaligus pemberi identitas dalam pencapaian kepentingan nasional
yang merupakan tujuan dari pelaksanaan politik luar negerinya.17
Maka dengan hal ini
kebudayaan dapat digunakan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasional.
Berkembangnya sektor kebudayaan, maka dengan sendirinya mendorong terwujudnya
pencapaian perluasan kesempatan kerja, peningkatan kualitas kerja, revitalisasi ekonomi
serta peningkatan produk dan stabilitas perekonomian rakyat. Dalam hubungan
internasional, diplomasi kebudayaan memasukkan unsur-unsur lokal atau nasional, seperti
ideologi, kesenian tradisional, geografis yang dinegosiasikan sebagai konsep kepentingan
nasional.
Jika melihat pada konsep diplomasi kebudayaan pada paragraf sebelumnya maka
Jepang boleh menjadi salah satu contoh Negara yang menggunakan diplomasi kebudayaan.
16
Judith Trunkos, Cultural Diplomacy, What Is Soft Power Capability and How Doest It Impact Foreign
Policy?, South Carolina, 2013, diakses pada 08 Juli 2014, pukul 01.04 WIB,
dalam http://www.culturaldiplomacy.org/ 17
Toshiya Nakamura, Japan’s New Public Diplomacy; Coolness in Foreign Policy Objectivities, Nagoya
University, 2011, diakses pada tanggal 07 Juli 2014, pukul 10.45 WIB, dalam https://www.lang.nagoya-
u.ac.jp/
10
Setelah sukses dari segi perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya, Jepang kini
melebarkan sayapnya dengan memperkuat basis politik dan kebijakan luar negerinya guna
menunjang kepentingan nasionalnya, salah satunya dengan menjaga eksistensinya di
kawasan Asia. Bagi Jepang yang dikenal dengan soft powernya yang memiliki pengaruh
cukup kuat di kawasan Asia dan bahkan dunia. Budaya menjadi aset penting yang harus
terus dikembangkan oleh Jepang. Dengan kebudayaan, Jepang dapat menjaga hubungan
diplomatiknya dengan beberapa negara di dunia termasuk Indonesia. Tidak hanya melalui
budaya pop saja tetapi Jepang berusaha untuk menempatkan pengaruhnya dengan
menggunakan budaya tradisionalnya.18
Menurut S.L Roy ada 7 unsur dalam melakukan diplomasi, yaitu negosiasi yang
berujung pada peningkatan nilai-nilai kepentingan bersama.19
Ini dilakukan Jepang dalam
membina hubungan dengan Indonesia, dimana terjadi negosiasi diantara kedua negara dari
yang tadinya hanya seputar perdagangan, kemudian melalui negosiasi maka akan muncul
kesepakatan-kesepakatan baru dan memperluas jaringan kerjasama. Kedua, kepentingan
negara, menjadi alasan utama kenapa diplomasi tersebut dilakukan. Jepang pastilah
memiliki kepentingan nasional dalam melakukan diplomasi. Biasanya diplomasi
kebudayaan dilakukan untuk memberikan stimulus pada negara-negara yang akan diajak
kerjasama agar Jepang bisa memenuhi kepentingan nasionalnya misalnya untuk
mensejahterakan masyarakatnya. Ketiga, tindakan politik untuk mencapai kepentingan
nasionalnya, apakah melalui jalan damai atau perang. Keempat, teknik diplomasi. Kelima,
politik luar negeri yang masih ada kaitannnya dengan isu internasional serta keadaan
domestik suatu negara. Keenam, sistem negara yang berbeda sehingga mempengaruhi
teknik diplomasin itu sendiri. Ketujuh, perwakilan negara yang merupakan perwakilan
diplomatik dalam mengedepankan kepentingan nasionalnya.
Selain itu Kaultiya mengemukakan bahwa ada 4 tujuan diplomasi yaitu perolehan,
pemeliharaan, penambahan serta pembagian yang adil.20
Bagi Jepang tujuan diplomasi
18
Cultural Diplomacy The Lipchpin of Public Diplomacy, US Departement of State, 2005, diakses pada
tanggal 08 Juli 2014, pukul 01.18 WIB, dalamhttp://www.state.gov/ 19
S.l. Roy, Diplomacy, New Delhi, Sterling Publisher, 1984, pg. 1 20
Kautilya, Ideas on Inter-State Relations and Diplomacy, Cambridge, Cambridge University Press, 1932,
diakses pada tanggal 08 Juli 2014, pukul 02.45 WIB, dalam http://shodhganga.inflibnet.ac.in/
11
kebudayaannya jelas yaitu untuk memperoleh kerjasama dengan negara lain dalam berbagai
aspek yang menguntungkan sehingga ketika mendapatkan apa yang diinginkan oleh Jepang
maka butuh pemeliharaan hubungan ketika negara yang diajak bekerjasama memberikan
keuntungan sehingga ketika Jepang bisa memelihara suatu hubungan dengan negara lain,
contoh Indonesia, ada kemungkinan besar penambahan kerjasama di aspek lain sebagai
wujud dari pemeliharaan kerjasama dan peningkatan persahabatan, setelah adanya
penambahan di berbagai aspek maka akan terjadi pembagian yang adil. Karena dalam
melakukan diplomasi, kedua negara sama-sama ingin diuntungkan dan untuk mencapai
keuntungan diantara keduanya maka harus ada pembagian yang adil bagi keduanya. Itulah
yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia.
12
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
3.1 Alat Pengumpulan Data
3.1.1 Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, suatu
metode yang dapat digunakan untuk menggambarkan suatu fenomena atau gejala
dari suatu keadaan tertentu, baik itu keadaan social, sikap, pendapat, maupun cara
yang meliputi berbagai aspek. Dengan menggunakan metode ini juga, kita dapat
mengetahui perbedaan-perbedaan dan juga dapat menemukan sebab-sebab dari
suatu akibat.
3.1.2 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan untuk menyelesaikan tulisan ini, penulis
menggunakan pendekatan kualitatif. Dimana pendekatan tersebut mengutamakan
kualitas data-data yang dapat diperoleh. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
penulis tidak perlu menggunakan analisis statistika.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan makalah ini,
penulis menggunakan metode studi pustaka. Metode studi pustaka atau literatur ini
dilakukan dengan cara mendapatkan data atau informasi tertulis yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan tulisan ini bersumber dari buku-buku, Koran, dan berbagai artikel yang
dapat diakses melalui internet yang menurut penulis dapat mendukung penelitian ini.
13
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Globalisasi Terhadap Kebudayaan Jepang
Restorasi Meiji merupakan pembaharuan yang menyebabkan perubahan pada seluruh
sendi-sendi kehidupan di Jepang. Ketika berada di dalam pemerintah Tokugawa, Jepang
adalah negara yang tertutup dan terbelakang, Jspang menutup diri dari negara-negara Barat
dan hanya melakukan hubungan dagang dengan China dan Belanda. Dorongan modernisasi
datang ketika Angkatan Laut Amerika datang ke Jepang dibawah pimpinan Laksamana
Perry yang menghasilkan pejanjian Shimoda oleh Shogun.21
Restorasi Meiji membawa dampak perubahan dalam setiap segi bentuk kehidupan,
politik misalnya. Jepang pada akhirnya menyusun undang-undang dasar sebagai dasar
konstitusinya, menjadikan Tenno sebagai Kepala Negara, membentuk parlemen dan
kabinet, dihapuskannya sistem feodalisme yang terbentuk sejak masa pemerintahan
Bakuhan dan dijadikannya Shinto sebagai agaman nasional.
Selain itu dari segi ekonomi pun mengalami perubahan. Jepang mengadakan perubahan
dalam segi industri, dalam hal ini Jepang mulai mengikuti sistem pendidikan Barat dengan
menerapkan sistem moneter dan sistem pajak yang memungkinkan berkembangkan kaum
pemodal. Modernisasi dalam industri dilakukan dengan pengadaan mesin-mesin produksi
yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan. Akibatnya industri Jepang berkembang
pesat, terjadinya ledakan ekonomi dan munculnya persaingan sengit antara Jepang dengan
negara-negara Barat.22
Masuknya globalisasi memberikan kemajuan bagi Jepang, efek globalisasi ini
berdampak signifikan atas kehidupan Jepang antara lain menjamurnya gedung bertingkat
21
Loren J. Siebert, Mapping Early Modern Japan; Space, Place and Culture in Tokugawa Period (1603-
1868), Journal Interdisciplinary History, Vol. 35 No. 2, (Autumn, 2004) diakses pada tanggal 20 November
2014 pukul 01.42 WIB, dalam https://muse.jhu.edu/ 22
Yoshio Sugimoto, Modern Japanese Culture, The Cambridge Companion (2009), diakses pada tanggal 20
November 2014, puku 01.45 WIB, dalam http://hermitmusic.tripod.com/CUP_japan_religion.pdf
14
dan munculnya tren remaja putri di Jepang untuk memakai pakaian serba menumpuk
dengan motif yang bertabrakan yang dipengaruhi oleh Barat.
Selain itu sejalan dengan globalisasi yang memberikan tantangan baru bagi Jepang
menyebabkan Jepang menjadikan kebudayaan sebagai tools diplomasi. Proses globalisasi
yang masuk ke Jepang tidak membuat Jepang meninggalkan segala bentuk kebudayaan dan
kepercayaannya. Rakyat Jepang masih melakukan ritual-ritual kepercayaannya namun
sayangnya ritual ini dilakukan dengan tujuan yang tidak jelas. Seperti Mitsuri misalnya,
Mitsuri biasanya dilakukan oleh Jepang di setiap awal mula kehidupan sebagai perwujudan
dari rasa syukur yang mendalam terhadap Kami-sama namun belakangan rakyat Jepang
menjadi lupa pada nilai-nilai kepercayaan yang sudah ditanamkan pada generasi
sebelumnu. Ritual Mitsuri berubah yang tadinya diadakan untuk menghormati dan
berterimakasih pada Kami-sama kini nilainya bergeser sebagai acara senang-senang saja.23
4.2 Pengaruh Globalisasi Terhadap Supernatural Beliefs Jepang
Pengaruh globalisasi pun masuk ke dalam agama, tidak sedikit masyarakat Jepang yang
tidak peduli dengan agama mereka yang kemudian identitas agama menjadi pudar.
Sekiranya globalisasi memang membawa dampak positif terhadap Jepang tetapi pengaruh
globalisasi telah menghilangkan keaslian nilai-nilai agama dan kepercayaan yang ada di
Jepang serta mendatangkan perubahan budaya. Globalisasi menciptakan modernisasi di
Jepang, sehingga Jepang yang dikenal sebagai masyarakat Feodal sejak penutupan dirinya
pada akhirnya mengubah seluruh struktur kehidupan mereka terutama dari segi kebudayaan
dan pemerintah yang berkiblat pada Barat denhan dihilangkannya kedudukan dalam
masyarakat feodal pada tahun 1989. Untuk mempercepat modernisasi karena merasa
tertinggal maka pemerintah Jepang menggalakkan sistem Bunmei Kaika yang beruju pada
pemberontakan sebab modernisasi yang berkiblat pada Barat dituduh memakai gagasan
23
Rie Kido, The Cultural Paradox of Modern Japan; Japan and Its Three Others, New Zealand Journal of
Asian Studies 6, Vol. 1, (Monash University, 2004), diakses pada tanggal 20 November 2014, pukul 02.47
WIB, dalam http://www.nzasia.org.nz/downloads/NZJAS-June04/6_1_7.pdf
15
belaka sehingga akhirnya para pemimpin Jepang mulai menanamkan kembali rasa
kecintaan terhadap budaya asli Jepang.24
Pada sistem Kekaisaran kuno, klan-klan yang berpengaruh bersumpah setia pada Kaisar
tanpa harus mempersembahkan dewa-dewa nenek moyang mereka. Artinya meskipun
mereka menghormati Kaisar, yang dianggap sebagai keturunan dewa matahari, mereka
tetap menyembah dewa-dewa nenek moyang mereka sendiri. Yanagita Kunio membedakan
dua hal tersebut dalam konsep keishin (hormat atau bakti) dan saishi (ibadat atau
kepercayaan). Hormat pada dewa baru, termasuk Kaisar, tidaklah melanggar atau
mengesampingkan kepercayaan pada dewa setempat yang telah mereka percaya jauh
sebelum mengenal dewa matahari.25
Dalam pembabakan sejarah Jepang, zaman monarki dimulai dengan zaman Yamato,
zaman Asuka Asuho, zaman Nara dan berakhir pada zaman Heian. kebudayaan Jepang
mendapatkan banyak pengaruh dari China, karena pada saat itu Jepang sudah menjalin
hubungan yang baik dengan China dan Korea. Hubungan baik ini, membuat masuknya
budaya-budaya dari Cina maupun Korea seperti kebudayaan huruf China, ajaran
Konfusianisme serta ajaran agama Budha. Agama Budha sempat menjadi agama negara,
kemudian didirikan banyak kuil dan patung Budha di berbagai penjuru Jepang.
Perkembangan agama Budha yang sangat pesat tersebut turut memberikan pengaruh pada
sendi-sendi kehidupan Jepang.26
Pada masa awal Kamakura (1185-1333) terjadi banyaknya kekacauan pada masa
tersebut, menimbulkan suatu keinginan untuk perubahan dan agama Budha yang
sebelumnya cukup asing berubah menjadi agama asli Jepang yang dipelopori oleh Saicho
berdasarkan filsafat Tendai pada abad ke Sembilan. Ada tiga gerakan pembaharuan agama
Budha pada masa Kamakura. Pertama Amidaisme yang muncul di India dalam pengaruh
hinduisme yang mengajarkan keselamatan yaitu kepercayaan mutlak kepada Amidha
Budha dengan ajaran yang mudah dicerna oleh masyarakat. Kedua, Zen Budhiasme yang
24
Chia Ning Chang, Literaly, Cultural and Political Imagination in Modern Japan, University of California,
Shangai, (Fall, 2013), diakses pada tanggal 20 November 2014 pukul 02.51 WIB, dalam http://eap.ucop.edu/ 25
Kamishima, Jirō, ed. 1973.Nihon Kindaika no Tokushitsu. Tokyo: Ajia Keizai Kenyūjō, hlm. 8-13. 2626
Thomas Baraka, The Concept of Religion in Modern Japan, Tokyo, (Yushisha Press, 2000), diakses pada
20 November 2014 pukul 02.54 WIB, dalam http://jpars.org/online/wp-
content/uploads/2013/12/RSJ_2014_Thomas.pdf
16
menjadi dasar sekte Zen pada tahun 1191, ajaran ini memusatkan pikiran ketika melakukan
meditasi sambil duduk dengan posisi kaki bersilang. Ketiga Budha Ichiren yang
mengembalikan agama Budha pada bentuk murni dan dijadikan dasar sebagai perbaikan
masyarakar.27
Tahun 1484, Yoshida Kanetomo (1435-1511) mendirikan aliran Yoshida Shinto di
Yamashiro, Kyoto. Pengajaran dan paham agam Shinto lingkungan keluarga Yoshida itu
kemudian dijadikan dasar aliran Yoshida Shinto. Aliran ini mengajarkan kesatuan tiga
agama, yaitu Shinto, Budha, dan Konfusius, dengan agama Shinto sebagai basis utamanya.
Jika digambarkan agama Budha dapat dianggap sebagai bunga dan buah dari semua prinsip
aturan (Sanskrit/dharma) di alam ini, agama Konfusius sebagai cabang dan rantingnya, dan
agama Shinto sebagai akar dan batangnya.28
Pada awal pertengahan abad ke-16, untuk pertama kalinya jepang mulai berhubungan
dengan Barat melalui kedatangan Portugis (1542). Tujuh tahun kemudian, St. Francis
Xavier, missionaris Kristen, tiba di Jepang dengan tujuan menyebarkan agama Kristen di
kalangan bangsa Jepang. Namun pada tahun-tahun berikutnya bangsa Jepang menyadari
bahwa pemikiran-pemikiran Barat dibiarkan berkembang maka akan menimbulkan
kekacauan di Jepang. Pada tahun 1587 pemerintah memutuskan melarang semua bentuk
kegiatan penyebaran agama Kristen di Jepang, dan semua misi asing diperintahkan untuk
meninggalkan negeri tersebut, dan sebagai konsekuensinya ancaman kematian diberikan
kepada setiap orang Jepang yang menjadi pengikut agama Kristen, bahkan kepada mereka
yang memberikan perlindungan kepada orang-orang Kristen.29
Pada tahun 1615 agama satu-satunya negara adalah Budha yang pada walnya
dimaksudkan agar tak seorangpun yang menjadi pengikut agama Kristen. Pemerintah
melakukan pengawasan terhadap agama tersebut dan juga mempergunakannya untuk tujuan
memelihara tertib sosial maupun untuk mengatur kehidupan spritual bangsa. Pada awal
masa Tokugawa muncul aliran Mito yang dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-
27
Paul Watt, Japanese Religion, National Clearing House for United States-Japan Studies, Indiana
University, (October, 2003), diakses pada tanggal 21 November 2014 pukul 12.57 WIB, dalam
http://fsi.stanford.edu/sites/default/files/religion.pdf 28
Djam’annuri, Agama Jepang, (Yogyakarta: PT Agus Arafag, 1981), hal: 28-39 29
Kevin M. Doak, Xavier;s Legacies; Catholicism in Modern Japan Culture, Vancouver, Toronto, (UBC
Press, 2011), diakses pada tanggal 21 November 2014 pukul 12.30 WIB, dalam http://www.ubcpress.ca/
17
1700) kemudian juga muncul aliran Fukko Shinto, yang berarti Restorasi Shinto atau
Areformasi Shinto. Pada akhir masa Tokugawa berkembang rasa tidak puas masyarakat
terhadap pemerintah, sehingga banyak terjadi pemberontakan kecil, agama Budha yang
menjadi agama negara memperoleh kesan buruk sementara perhatian terhadap agama asli
semakin meningkat, dan pada akhirnya bermunculan perasaan anti-Budha di kalangan
masyarakat.
Sejak dimulainya masa Meiji (1868-1912) yang merupakan awal modernisasi Jepang
yang berkiblat pada dunia barat, hingga meletusnya perang di tahun 1945, kehidupan
agama di Jepang sangat erat hubungannya dengan politik pemerintahan. Pemerintah Meiji
berusaha mendirikan sebuah negara yang didasarkan atas konsep saisei itchi, kesatuan
agama dan politik. Salah satu kebijakan yang mula-mula diambil adalah menghidupan
kembali Jingi-kan, lembaga resmi pemerintah yang mengurus masalah Shinto. Lembaga
yang dibentuk pada pertengahan abad ketujuh ini awalnya merupakan salah satu
departemen pemerintahan. Pada Juli 1869, lembagatadi dipisahkan dari cabinet Jepang.
Jingi-kan mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan berbagai upacara dan
perayaan keagamaan, hak milik agama, tingkat dan aturan kependetaa, pengaturan tempat-
tempat suci, pendidikan agama, dan ketentuan pemberian bantuan keagamaan. Disamping
itu,pemerintah juga melakukan setiap usaha yang mungkin dilakukan dalam upaya
menjadikan agama Shinto sebagai agama resmi negara. Pada tahun 1870, dikeluaran sebuah
ketetapan pemerintah yang isinya memperkuat hubungan antara agama Shinto dan negara.
Langkah pembaharuan yang diambil pemerintah menetapkan pemisahan agama Shinto
dari agama Buddha (shinbutsu bunri). Peran agama Buddha dikurangi sedemikian rupa dan
agama Shinto dijadikan kultur nasional. Setalah Kementrian Shinto juga dibubarkan
sebagai gantinya pada April 1872 dibentuk Kementrian Agama (Kyobu-sho) yang
bertanggung jawab mengurusi agama Shinto maupun agama Buddha. Sejak saat itu, agama
Shinto dibedakan menjadi dua: Jinja Shinto dan Kyoha Shinto. Perbedaan keduanya
didasarkan atas perbedaan sikap dan pandangan pemerintah terhadap masing-masing.30
30
Reimon Bachika, A Look At Religion in Japan, Departement of Sociology, Bukyo University, (Kyoto,
Japan: 2010), diakses pada tanggal 21 November 2014 pukul 13.05 WIB, dalam
http://www.politicsandreligionjournal.com/images/pdf_files/srpski/godina4_broj1/1%20-
%20reimon%20bachika.pdf
18
Pada tahun 1945 saat berakhirnya Perang Dunia ke II, prinsip dasar kebijakan
pemerintah dalam bidang agama adalah pengawasan dan pengarahan semua organisasi dan
lembaga keagamaan menurut selera dan keinginan pemerintah. Hingga akhir perang dunia
II, Lembaga keagamaan yang diakui pemerintah serta mendapat dukungan dan bantuan dari
pemerintah, selalu dipersulit dalam penyiaraan keagamaannya meski adanya undang-
undang yang berisikan kebebasan beragama. Terlebih lagi, pada tahun 1941-1945, agama
dijadikan sebagai alat untuk mempertebal semangat nasionalisme dan militerisme.
Kedudukan semua tempat suci, baik local maupun nasional menjadi semakin penting.
Pemujaan dan peribadatan yang dilakukan di dalamnya bukan saja berarti memperlihatkan
entusiasme terhadap militer, tetapi juga dijadikan ukuran kesetiaan seseorang kepada kaisar
dan negerinya.
4.3 Implementasi Supernatural Beliefs Jepang di Indonesia Akibat Pengaruh
Globalisasi
Jepang dikenal sebagai negara yang berhasil membangun kembali negaranya dalam
waktu relatif singkat setelah Perang Dunia II serta menjadi bangsa di Benua Asia yang
sejajar dengan Barat. Dalam masa Sakoku (penutupan negara), Jepang mengalami
ketertinggalan sehingga di bawah Pemerintahan Meiji, Jepang mendapat slogan Sakoku dan
mulai membangun negaranya dalam berbagai aspek kehidupan.31
Keberhasilan Jepang
dalam membangun kembali negaranya terutama pasca Perang Dunia II dimana industri
Jepang mengalami kehancuran, Jepang tidak begitu saja meninggalkan budaya
tradisionalnya. Ada dua hal yang diperlihatkan Jepang yakni budaya material yang
cenderung mengikuti budaya Barat sehingga Jepang mengalami kesetaraan dengan budaya
Barat dan ada Budaya spiritual yang tidak banyak mengalami perubahan.32
Dengan 2
budaya ini, Jepang dikatakan sebagai negara berwajah dua, dalam artian di satu sisi Jepang
jelas menunjukkan sebagai masyarakat modern yang hidup dengan teknologi canggih.
31
55 Tahun Indonesia-Jepang; Kebudayaan Memperkuat Persahabatan Kedua Negara, The President Post,
Jakarta, 2013, diakses pada tanggal 07 Juli 2014, pukul 14.00 WIB,
dalam http://thepresidentpostindonesia.com/ 32
Shizuku Saeki, The Perry Cetennial Celebration; A Case Study in US-Japanese Cultural Diplomacy,
International Social Science Review, 80 (3&4); 165-172, 2005.
19
Tetapi di lain sisi masyarakat Jepang banyak melakukan kegiatan ritual dan salah satunya
adalah Matsuri.
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Helen Bauer dan Sherwin bahwa setiap memulai
kegiatan apapun, Matsuri menjadi kunci pembuka dari setiap kegiatan masyarakat
Jepang.33
Contoh ketika sebuah perusahaan penerbangan membeli pesawat baru, maka
sebelum melakukan percobaan terhadap pesawat tersebut, para pekerja perusahaan tersebut
akan mengadakan Matsuri. Kegiatan yang terbilang unik ini pada akhirnya dijadikan suatu
diplomasi kebudayaan oleh Pemerintah Jepang, sekaligus sebagai pembentukan citra bahwa
masyarakat Jepang tidak hanya dikenal sebagai masyarakat ekonomi (animal economic)
tetapi juga memiliki sisi yang religius sehingga nilai-nilai tradisional ini dikembangkan
secara sekuler. Akibat adanya globalisasi, Matsuri mengalami pergeseran makna tradisional
dan dipisahkan dari makna keagamaan sehingga Matsuri yang digunakan Jepang sebagai
alat diplomasi kebudayaan adalah Matsuri dalam bentuk perayaan atau festival dengan
tetap mengusung adanya nilai-nilai budaya tradisional di dalamnya.
Secara sejarah Matsuri berasal dari kata Matsuru yang memiliki arti pemujaan
kepada Kami. Kami dalam bahasa Jepang adalah Tuhan. Secara teologi, dalam agama
Shinto ada 4 unsur dalam melakukan Matsuri yakni Harai (penyucian),
persembahan, Norito (pembacaan doa) dan pesta makan. Matsuri yang paling terkenal dan
tertua di Jepang adalah Matsuri yang dilakukan di depan Amano Iwato. Dalam proses
keagamaan, pembacaan doa pada kegiatan Matsuri masih tersisa dalam
bentuk Kigansai (permohonan secara individu yang dilakukan di kuil). Norito biasanya
dilakukan oleh pendeta Shinto yang menjadi awal dimulainya Mitsuri. Saat ini di
Jepang, Ise Jingu menjadi salah satu kuil agama Shinto yang menyelenggarakan Matsuri
dalam bentuk pembacaan doa sebab sesuai dengan perkembangan zaman,34
tujuan
penyelenggaraan Matsuri sering melenceng jauh dari makna Matsuri yang sebenarnya.
Kemajuan industri Jepang kemudian ditopang oleh kemajuan teknologinya yang
mengubah pola kehidupan masyarakat Jepang dari segi gaya hidup. Masyarakat Jepang
33
Bauer, P .T., and Yamei, B. S. “The Pearson Report: a review”, in T. J. Byers (ed.),Foreign Resources and
Economic Development: A Symposium on the Report of the Pearson Commission, London,: Frank Cass, 1972. 34
Yuji, 3 Main Festivals of Kyoto, Association of Shinto Shrines, 2004, diakses pada tanggal 08 Juli 2014,
pukul 10.00 WIB, dalam http://www.eonet.ne.jp/
20
cenderung lebih modern, ditambah dengan paham Demokrasi yang tertera dalam undang-
undang Showa yang memberikan dampak dalam kehidupan masyarakat Jepang. Namun
untuk memahami kemajuan negaranya, tidak cukup hanya dengan melihat kepada wajah
Barat yang dimiliki oleh Jepang tetapi lebih kepada kemajuan budaya materialnya. Bukan
rahasia umum, jika masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional
terutama masyarakat di pedesaan dan diperkotaan yang masih memegang teguh nilai-nilai
kebudayaan.
Berdasarkan pola hidup masyarakat Jepang yang dikenal gigih dan sangat menghargai
waktu ternyata ada sisi lain dalam pola kehidupannya yaitu sisi religius masyarakat Jepang
yang selalu mengawali segala kegiatan mereka dengan Matsuri.35
Di Indonesia, Matsuri
diadakan dengan beragam tema yang menggambarkan wujud dari persahabatan atau
hubungan diplomatik Indonesia-Jepang. Pada 55 tahun, hubungan diplomatik Jepang-
Indonesia, Matsuri mengangkat tema “Indonesia-Jepang selalu bersama.” Ini menandakan
Jepang semakin merangkul Indonesia sebagai mitra strategis bagi Jepang sekaligus menjadi
negara tujuan investasi yang paling ideal serta menjadi negara tujuan pasar ekspor Jepang
yang paling utama di Kawasan Asia-Pasifik.
Dengan adanya Jak-Japan Matsuri baik Indonesia maupun Jepang menginginkan agar
hubungan kedua negara tersebut semakin dioptimalkan dengan adanya sistem win-win
coorperation sebab diplomasi budaya yang digagas oleh Jepang melalui Matsuri dapat
berdampak pada respon masyarakat Indonesia dan Pemerintahan Indonesia sehingga
Matsuri sebagai diplomasi budaya menjadi stimulus bagi Jepang untuk terus menambah
kerjasama antara Jepang dengan Indonesia dengan prinsip saling menguntungkan. Dampak
dari diadakannya Jak-Japan Matsuri sebagai instrument diplomasi kebudayaannya menjadi
gerbang bagi Jepang untuk terus meningkatkan nilai investasinya ke Indonesia.
Tidak hanya itu, Jepang juga membantu membuka lapangan pekerjaan dengan adanya
1.200 perusahaan Jepang di Indonesia yang kemudian dapat mempekerjakan sekitar
300.000 orang tenaga lokal. Hal ini bersifat menguntungkan bagi Indonesia karena dapat
35
Hwajung Kim, Cultural Diplomacy as The Means of Soft Power in an Information Age, Harvard
University, 2011, diakses pada tanggal 08 Juli 2014, pukul 11.08 WIB,
dalam http://www.culturaldiplomacy.org/
21
menekan angka pengangguran sekaligus angka kemiskinan di Indonesia. Selain itu Jepang
juga memperluas kerjasama di bidang pendidikan dengan pemberian beasiswa melalui
JASSO (Japan Student Services Organization) yang saat ini ada sekitar 3.000 mahasiswa
Indonesia yang menikmati pendidikan di Jepang. Jika dilihat dari tujuannya, Japan Bank
for International Coorperation melakukan survey terhadap 500 perusahaan multinasional
yang hasilnya menempatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi
pertama.36
Keberhasilan Jepang dalam menggunakan pengaruh globalisasi supernatural
beliefs (kepercayaan) dengan jalur diplomasi kebudayaan nampaknya semakin mengangkat
Jepang sebagai negara yang memiliki pengaruh globalisasi dan menyebarkan pengaruh
globalisasinya tanpa harus kehilangan nilai-nilai tradisionalnya.
36
Jepang Pererat Hubungan dengan Indonesia, Tempo News, Jakarta, 2013, diakses pada tanggal 08 Juli
2014, pukul 13.22 WIB, dalam http://www.tempo.co/
22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Restorasi Meiji menjadi momentum penting bagi Jepang sebab telah melahirkan proses
awal sebagai negara yang melakukan modernisasi. Perjalanan Jepang menjadi negara
modern semakin berkembang ketika terjadi adanya sistem pembukaan negara yang
dilakukan Komodor Perry setelah sebelumnya Jepang menutup diri pada dunia Barat
karena ancaman pengaruh buruk dari ajaran kristiani. Dorongan modernisasi semakin
diperkuat setelah menginjak globalisasi dimana Jepang semakin modern terutama dalam
segi industri dan kebudayaan.
Jepang terus memperkaya dirinya secara kebudayaan maupun industri hingga dikenal
sebagai negara yang maju. Hal ini sangat menarik, uniknya walaupun Jepang telah
berkembang menjadi salah satu negara yang mampu menyaingi Barat namun negara ini
sama sekali tidak meninggalkan budaya atau tradisinya. Berbagai kepercayaan serta ritual
masih tetap dilakukan, bahkan Jepang masih mempercayai mitologi-mitologi yang telah
ada sejak jaman dulu.
Meski terdapat agama lain di Jepang namun mayoritas pemeluk agama berasal dari
agaman Budha dan Shinto, meski identitas keagamaan semakin hari memudar namun untuk
menjaga keaslian Jepang para penduduknya tetap merayakan hari kelahiran di kuil Shinto,
pernikahan memakai baju adat Jepang dan kematian tetap dirayakan di kuil Budha.
Walaupun dampak globalisasi benar-benar terasa di Jepang dengan berkembangnya
industri, teknologi dan kebudayaan, namun rakyat Jepang berbeda dengan rakyat Barat.
Rakyat Jepang tetap melakukan sejumlah ritual kepercayaan (supernatural beliefs) yang
sudah diwariskan selama bertahun-tahun oleh para nenek moyang. Bahkan Jepang masih
mengadakan Matsuri sebuah ritual yang rutin diadakan dengan tujuan untuk bersyukur
kepada Kami (Tuhan yang disembah menurut ajaran Shinto) namun sayangnya globalisasi
menyebabkan lunturnya nilai-nilai kepercayaan yang ada pada diri masyarakat Jspang.
23
Hanya sedikit dari rakyat Jepang yang mengetahui tujuan sebenarnya dari setiap ritual
yang dilaksanakan sedangkan sisanya menganggap bahwa ritual yang diadakan hanya
sebagai acara kumpul-kumpul keluarga atau senang-senang. Meski begitu kebudayaan
Jepang secara tradisional tetap dilanggengkan dengan berbagai macam cara untuk menjaga
keutuhan dan rasa nasionalisme penduduk Jepang terhadap negaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Breton, Raymond, Reitz, G. Jefrrey. Globalization and Society: Processes of Differentiation
Examined, UK: Political Science 2003.
Djam’annuri. Agama Jepang, Yogyakarta: PT Agus Arafag, 1981.
Giddens, Anthony. The Third Way: The Renewal of Social Democracy.
Malden Massachusetts: Polity Press, 1999.
Gentz, Natasha, and Kramer Stefany, Globalization, Cultural Identities, and Media
Representations, Suny Press, 2012.
Jamil, A. Edison. Kewarganegaraan. Indonesia: Yudhistira Ghalia, 2005.
Rostow, W. W. The Stages of Economic Growth : A Non Comunist Manifesto 3rd edition.
England: Cambridge University, 1991.
Roy, S. L. , Diplomacy, New Delhi, Sterling Publisher, 1984
Sugiharyanto, Geografi dan Sosiologi. Indonesia: Yudhistira Ghalia, 2006.
Tomlison, John. . Globalization and Culture. UK: Political Science, 2013.
Tylor, E. B, Culture In Comparative and Evolutionary Perspective.
London: Ethnology Society of London, 1980.
Wolf, Martin, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia,
2007.
Jurnal
Bachika, Reimon. A Look At Religion in Japan, Departement of Sociology,
Bukyo University, Kyoto, Japan: 2010.
http://www.politicsandreligionjournal.com/images/pdf_files/srpski/godina4_broj1/1%20-
%20reimon%20bachika.pdf
Baraka, Thomas. , The Concept of Religion in Modern Japan, Tokyo, Yushisha Press, 2000.
http://jpars.org/online/wp-content/uploads/2013/12/RSJ_2014_Thomas.pdf
Bingham, Nelson. The History of Japan at Ealham, Earlham University, Spring, 2004.
https://www.earlham.edu/media/178354/historical_brochure.pdf
Bauer, P .T., and Yamei, B. S. “The Pearson Report: a review”, in T. J. Byers (ed.),
Foreign Resources and Economic Development: A Symposium on the Report of the
Pearson Commission, London,: Frank Cass, 1972.
Chang, Ning Ching. Literaly, Cultural and Political Imagination in Modern Japan, University of
California, Shangai, 2013.
http://eap.ucop.edu/Documents/_forms/1314/China/JPIS_fall/Modern_Japan_Syllabus_a
nd_Readings-EXTRANET.pdf
Doak, M. Kevin. Xavier;s Legacies; Catholicism in Modern Japan Culture, Vancouver,
Toronto, UBC Press, 2011.
http://www.ubcpress.ca/books/pdf/chapters/2011/XaviersLegacies.pdf
Hidemichi, Tanaka. The History of Japan; Really, What is so Great about it?,
Tohoku University, Summer, 1990.
http://hidemichitanaka.net/column/single/130729/130729.pdf
Kaultiya, Ideas on Inter-State Relations and Diplomacy, Cambridge,
Cambridge University Press, 1932.
http://shodhganga.inflibnet.ac.in/
Kido, Rie. The Cultural Paradox of Modern Japan; Japan and Its Three Others,
New Zealand Journal of Asian Studies 6, Vol. 1, Monash University, 2004.
http://www.nzasia.org.nz/downloads/NZJAS-June04/6_1_7.pdf
Kim, Hwanjung. Cultural Diplomacy as The Means of Soft Power in an Information Age,
Harvard University, 2011.
http://www.culturaldiplomacy.org/
Nakamura, Toshiya, Japan’s New Public Diplomacy; Coolness in Foreign Policy Objectivities,
Nagoya University, 2011.
https://www.lang.nagoya-u.ac.jp/
Saeki, Shizuku. The Perry Cetennial Celebration; A Case Study in US-Japanese Cultural
Diplomacy, International Social Science Review, 80 (3&4); 165-172, 2005.
Sasaki, Masamichi, Globalization and National Identity in Japan,
International Journal of Japan Sociology, November, 2004.
http://c-faculty.chuo-u.ac.jp/~mikenix1/jms/articles_academic/Sasaki-
Globalization_National_ID_Japan%20.pdf
Siebert, J. Loren, Mapping Early Modern Japan; Space, Place and Culture in
Tokugawa Period (1603-1868), Journal Interdisciplinary History,
Vol. 35 No. 2, 2004.
https://muse.jhu.edu/login?auth=0&type=summary&url=/journals/journal_of_interdiscipl
inary_history/v03
5/35.2siebert.pdf
Sugimoto, Yoshio, Modern Japanese Culture, The Cambridge Companion, 2009.
http://hermitmusic.tripod.com/CUP_japan_religion.pdf
Trankos, Judith. Cultural Diplomacy, What Is Soft Power Capability and How Doest It Impact
Foreign Policy?, South Carolina, 2013
http://www.culturaldiplomacy.org/
Watt, Paul. Japanese Religion, National Clearing House for United States-Japan Studies,
Indiana University, October, 2003.
http://fsi.stanford.edu/sites/default/files/religion.pdf
Yuji, 3 Main Festivals of Kyoto, Association of Shinto Shrines, 2004.
http://www.eonet.ne.jp/
Website
Cultural Diplomacy The Lipchpin of Public Diplomacy, US Departement of State, 2005,
diakses pada tanggal 08 Juli 2014.
http://www.state.gov/
55 Tahun Indonesia-Jepang; Kebudayaan Memperkuat Persahabatan Kedua Negara,
The President Post, Jakarta, 2013, diakses pada tanggal 07 Juli 2014.
http://thepresidentpostindonesia.com/
Jepang Pererat Hubungan dengan Indonesia, Tempo News, Jakarta, 2013,
diakses pada tanggal 08 Juli 2014.
http://www.tempo.co/
Top Related