KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM ...

12
117 KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB Hamzah IAI DDI Polewali Mandar, Sulawesi Barat [email protected] Abstrak: Paradigma pembelajaran saat ini sudah mengalami pergeseran besar- besaran dengan dalih bahwa tidak ada satu metode atau strategi apapun yang cocok diterapkan dalam segala situasi dan kondisi. Perubahan paradigma dari behaviorisme ke konstruktivisme membawa dampak dalam pembelajaran. Bahkan negara Amerika, Eropa dan Australia telah banyak dipengaruhi prinsip konstruktivisme dalam sistem pendidikan mereka selama 20 tahun terakhir yang awalnya guru berperan sebagai teknisi aktif dan bersifat knowledge transfer menjadi tidak lebih sebagai mediator dan fasilitator. Orientasi pembelajaran saat ini beralih makin jauh ke arah fokus perhatian terhadap siswa untuk lebih berperan aktif dan interaktif dalam mengembangkan pengetahuan dan potensi dirinya. Schunk menegaskan bahwa alih-alih sejumlah peneliti pembelajaran berbicara tentang bagaimana pengetahuan diperoleh (acquisition) tetapi mereka berbicara bagaimana pengetahuan dibangun (constcruction). Dampak dari perubahan ini berimplikasi terhadap proses belajar dan proses mengajar, mulai dari makna belajar dan mengajar, peran siswa dan guru, strategi belajar dan mengajar, dan evaluasi proses belajar siswa. Kata Kunci: Konstruktivisme, strategi pembelajaran, pembelajaran bahasa Arab Pendahuluan Dalam sejarah perkembangan teori pembelajaran, terdapat tiga teori besar yang dilahirkan yaitu: teori behaviorisme, teori kognitivisme dan teori konstruktivisme (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007). Ada juga yang menyebutkan empat teori besar dengan menambahkan satu teori lain yaitu teori humanisme, sehingga menjadi empat teori (Parwati et al., 2018). Teori-teori belajar tersebut merupakan dasar dalam merancang kegiatan dan proses pembelajaran untuk merealisasikan tujuan, yang kemudian mengarah ke pemilihan pendekatan, metode dan teknik yang akan dipergunakan. Teori pembelajaran bahasa menjadi aspek yang sangat penting untuk diketahui oleh para linguis dan psikolog. Sehingga melahirkan suatu disiplin baru tersendiri yaitu psikologi bahasa yang merupakan gabungan dari ilmu psikologi (untuk teori pembelajaran) dan linguistik umum (untuk teori-teori bahasa dan pemerian bahasa), yang dikenal dengan istilah psikolinguistik. Spolsky (1980) menyebutkan bahwa pengajaran bahasa (pedagogi bahasa kedua) mempunyai tiga sumber utama yaitu 1) linguistik (pemerian bahasa), 2) psikolinguistik (teori pembelajaran bahasa), 3) sosiolinguistik (teori pemakaian bahasa). Kemudian teori pembelajaran bahasa (psikolinguistik) diturunkan ke teori pembelajaran (psikologi) dan teori-teori bahasa dan pemerian bahasa (linguistik umum). Sehingga secara umum, terdapat 4 disiplin yang mendasari pengajaran bahasa, yaitu 1) psikologi, 2) lingusitik umum, 3) psikolinguistik, dan 4) sosiolinguistik (Tarigan, 1991:26-29.) Sebagaimana diketahui bahwa teori yang merajai panggung pembelajaran bahasa sekian abad lamanya dari empat teori besar tersebut adalah teori Behaviorisme, dengan metode unggulannya “audiolingual method” (thariqah sam‟iyah syafawiyah). Bahkan Ibrahim al-Ushaili menyebutkan bahwa meskipun sudah terjadi peralihan paradigma (inveronmentalis ke interaksionis) namun praktik-praktik metode

Transcript of KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM ...

117

KONSTRUKTIVISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN

BAHASA ARAB

Hamzah

IAI DDI Polewali Mandar, Sulawesi Barat

[email protected]

Abstrak: Paradigma pembelajaran saat ini sudah mengalami pergeseran besar-

besaran dengan dalih bahwa tidak ada satu metode atau strategi apapun yang cocok

diterapkan dalam segala situasi dan kondisi. Perubahan paradigma dari behaviorisme

ke konstruktivisme membawa dampak dalam pembelajaran. Bahkan negara

Amerika, Eropa dan Australia telah banyak dipengaruhi prinsip konstruktivisme

dalam sistem pendidikan mereka selama 20 tahun terakhir yang awalnya guru

berperan sebagai teknisi aktif dan bersifat knowledge transfer menjadi tidak lebih

sebagai mediator dan fasilitator. Orientasi pembelajaran saat ini beralih makin jauh

ke arah fokus perhatian terhadap siswa untuk lebih berperan aktif dan interaktif

dalam mengembangkan pengetahuan dan potensi dirinya. Schunk menegaskan

bahwa alih-alih sejumlah peneliti pembelajaran berbicara tentang bagaimana

pengetahuan diperoleh (acquisition) tetapi mereka berbicara bagaimana pengetahuan

dibangun (constcruction). Dampak dari perubahan ini berimplikasi terhadap proses

belajar dan proses mengajar, mulai dari makna belajar dan mengajar, peran siswa

dan guru, strategi belajar dan mengajar, dan evaluasi proses belajar siswa.

Kata Kunci: Konstruktivisme, strategi pembelajaran, pembelajaran bahasa Arab

Pendahuluan

Dalam sejarah perkembangan teori pembelajaran, terdapat tiga teori besar yang

dilahirkan yaitu: teori behaviorisme, teori kognitivisme dan teori konstruktivisme

(Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007). Ada juga yang menyebutkan empat teori

besar dengan menambahkan satu teori lain yaitu teori humanisme, sehingga menjadi

empat teori (Parwati et al., 2018). Teori-teori belajar tersebut merupakan dasar dalam

merancang kegiatan dan proses pembelajaran untuk merealisasikan tujuan, yang

kemudian mengarah ke pemilihan pendekatan, metode dan teknik yang akan

dipergunakan.

Teori pembelajaran bahasa menjadi aspek yang sangat penting untuk diketahui

oleh para linguis dan psikolog. Sehingga melahirkan suatu disiplin baru tersendiri yaitu

psikologi bahasa yang merupakan gabungan dari ilmu psikologi (untuk teori

pembelajaran) dan linguistik umum (untuk teori-teori bahasa dan pemerian bahasa),

yang dikenal dengan istilah psikolinguistik.

Spolsky (1980) menyebutkan bahwa pengajaran bahasa (pedagogi bahasa

kedua) mempunyai tiga sumber utama yaitu 1) linguistik (pemerian bahasa), 2)

psikolinguistik (teori pembelajaran bahasa), 3) sosiolinguistik (teori pemakaian bahasa).

Kemudian teori pembelajaran bahasa (psikolinguistik) diturunkan ke teori pembelajaran

(psikologi) dan teori-teori bahasa dan pemerian bahasa (linguistik umum). Sehingga

secara umum, terdapat 4 disiplin yang mendasari pengajaran bahasa, yaitu 1) psikologi,

2) lingusitik umum, 3) psikolinguistik, dan 4) sosiolinguistik (Tarigan, 1991:26-29.)

Sebagaimana diketahui bahwa teori yang merajai panggung pembelajaran

bahasa sekian abad lamanya dari empat teori besar tersebut adalah teori Behaviorisme,

dengan metode unggulannya “audiolingual method” (thariqah sam‟iyah syafawiyah).

Bahkan Ibrahim al-Ushaili menyebutkan bahwa meskipun sudah terjadi peralihan

paradigma (inveronmentalis ke interaksionis) namun praktik-praktik metode

118

audiolingual masih mendominasi metode pengajaran bahasa Arab untuk non-Arab,

khususnya dalam program pembelajaran formal di universitas-universitas, lembaga

maupun di pusat-pusat bahasa milik pemerintah (Al-Ushaili, 1999:124).

Namun seiring dengan perkembangan zaman, khususnya di bagian Eropa,

Amerika dan Australia, teori belajar konstruktivisme menjadi sebuah teori kontemporer

dan idola untuk diterapkan dalam pembelajaran mereka. Sebagaimana diterangkan oleh

Suparno bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, prinsip belajar konstruktivisme

telah banyak mempengaruhi sistem pendidikan yang ada di Eropa, Amerika dan

Australia (Suparno, 1997; Euis Nurhidayati, 2017).

Penelitian pendidikan sains telah menunjukkan suatu pergeseran ke arah

paradigma konstruktivis selama 20 tahun terakhir. Kontruktivisme menjadi sebuah

aliran yang cukup banyak dipelajari, diteliti dan diperbincangkan. Pada tahun 1983, 60

makalah disajikan di Konferensi Internasional Pertama tentang misconceptions di

Cornell University. Kemudian pada tahun 1987, 160 makalah dalam disajikan dalam

Konferensi Kedua, dan pada tahun 1993, 250 makalah disajikan pada Konferensi Ketiga

(Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997:11-12).

Paradigma pembelajaran saat ini sudah mengalami pergeseran besar-besaran

dengan dalih bahwa tidak ada satu metode atau strategi apapun yang cocok diterapkan

dalam segala situasi dan kondisi. Paradigma pembelajaran yang selama ini

mendudukkan pengajar sebagai pusat pembelajaran (teacher center learning) tidak lagi

diberikan porsi dominan sebagai teknisi aktif dan knowledge transferer, melainkan

penekanannya terlebih kepada pelajar (student center learning) untuk lebih aktif dalam

membangun pengetahuannya, sehingga peran pengajar pada masa konstruktivisme tidak

lebih dari pada seorang fasilitator dan mediator untuk membantu seorang pelajar dalam

membangun pengetahuannya.

Pergeseran paradigma dari Behaviorisme ke Konstruktivisme membawa

perubahan yang begitu dominan dalam sistem pendidikan, dimana pelajar menjadi pusat

perhatian dalam pembelajaran. begitu pula membawa pengaruh cukup besar bagi

peserta didik dalam proses membangun pengetahuan. Perubahan mendasar ditandai dari

yang semula memandang peserta didik sebagai objek pasif (yang memerlukan dorongan

dan penguatan dari seorang guru (teacher centered) dalam menghasilkan pengetahuan)

ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) secara aktif dalam

kegiatan pembelajaran untuk menghasilkan pengetahuan (Udin Erawanto, 2013: 150).

Schunk menegaskan bahwa alih-alih sejumlah peneliti pembelajaran hari ini berbicara

tentang bagaimana pengetahuan diperoleh (acquisition), melainkan mereka berbicara

tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun (construction) (Schunk, 2012:320).

Teori belajar konstruktivisme disebut oleh Munayf sebagai teori belajar

kontemporer (mu‟asirah), yaitu teori dimana para pelajar sendiri yang membangun

pengetahuannya lewat skemata yang dimilikinya dengan bantuan dan bimbingan dari

seorang pengajar (scaffolding).

Pengertian Konstruktivisme

Konstruktivisme dalam dunia pendidikan pertama kali muncul pada abad ke-20,

sekitar tahun 1980-an melalui karya Bruner dan Von Glasersfeld (Abrar Rangkuti,

t.t.:2). Namun benih-benih konstruktivisme sudah ada dan bisa dilacak lewat karya

Filosof Italia Giambattisa Vico pada tahun 1710 M (Munayf Hudhair, 2013:17).

Vico dalam sebuah tulisan filsafatnya yang berjudul “De Antequissima Italorum

Sapientia” mengungkapkan bahwa “Tuhan adalah pencipta alam, dan manusia adalah

119

tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui

bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika

ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico,

hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini kare hanya Dia yang tahu

bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu, orang hanya dapat

mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Von Glasersfeld, 1988 dalam

Suparno, 1997: 24).

Para tokoh pedagogi menilai bahwa konstruktivisme muncul sebagai hasil dari

pada pemikiran para ilmuan dan filosof tentang sebuah pengetahuan. Seperti seorang G.

Vico, Kant, P. Moreau, R. Chambers, John Dewey, Piaget dan Vygotsky (Munayf

Hudhair, 2013:17). Kemudian Piaget dan Vygotsky dianggap sebagai dua tokoh yang

paling berpengaruh dalam kemunculan teori konstruktivisme.

Schunk menjelaskan bahwa pengaruh besar yang mendorong kemunculan

konstruktivsme adalah teori dan perhatian dari dalam ilmu perkembangan manusia

terutama teori-teori Peaget dan Vygotsky. Teori Peaget dan Vygotsky merupakan

peletak pondasi bagi gerakan para konstruktivis. Penekanan yang diberikan teori-teori

ini terhadap peran konstruksi pengetahuan merupakan hal pokok dalam konstruktivsme

(Schunk, 2012:320; Munayf Hudhair, 2013:18).

Konstruktivisme merupakan perspektif psikologis dan penjelasan filosofis

tentang sifat pembelajaran, yang memandang bahwa masing-masing individu

membentuk dan membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami

(Bruning et.al, 2004; Hyslop-Margison & Strobel, 2008; Simpson, 2002; Schunk,

2012:322).

Von Glasersfeld & Matthews menjelaskan bahwa konstruktivisme merupakan

salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah

konstruksi (bentukan) kita sendiri. Ia menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah

gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan akibat dari suatu

konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk

skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan

(Suparno, 1997:18).

Adapun Karli dan Yuliariatiningsih menilai bahwa konstrukvisme merupakan

sebuah pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses

belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya

dapat diatasi melalui pengetahuan diri, dan pada akhirnya pengetahuan akan dibangun

oleh anak melalui pengalaman dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Atas dasar ini

dapat dipahami bahwa syarat utama dari konstruktivisme dalam pembelajaran adalah

adanya pengetahuan awal atau pengalaman sebelumnya (skemata) sebagai pembanding

terhadap pengetahuan yang diterima untuk dikonstruksi dan dibangun menjadi sebuah

pengertian dan pengetahuan baru.

Von Glasersfeld mengemukakan bahwa beberapa kemampuan yang diperlukan

dalam proses mengonstruksi pengetahuan adalah:

1. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.

2. Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan mengenai

persamaan dan perbedaan tentang suatu hal.

3. Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada

yang lain (selective conscience) (Ummi dan Mulyaningsih, 2016).

Brunner mengungkapkan bahwa dasar teori konstruktivisme dalam

pembelajaran adalah didasarkan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam

120

psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-teknik dalam modifikasi

prilaku yang didasarkan pada teori operan conditioning dalam psikologi behavioral.

Premis dasarnya adalah bahwa individu harus secara aktif “membangun” pengetahuan

dan keterampilannya (Nurhadi dan Qaddafi, 2015).

Adapun hakikat belajar, konstruktivisme memahaminya sebagai kegiatan

manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi

makna pada pengetahuan sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri

bersifat rekaan dan bersifat tidak stabil, sehingga pemahaman yang diperoleh manusia

bersifat tentatif pula dan tidak lengkap, dan akan semakin mendalam dan kuat

pemahaman manusia apabila teruji dengan pengalaman-pengalaman baru (skemata)

(Nurhadi dan Qaddafi, 2015). Oleh karenanya, pembelajaran dalam konstruktivisme

dipahami sebagai kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri

pengetahuannya, karena pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan

dari guru ke siswa.

Pembelajaran berarti partisipasi guru bersama peserta didik (dalam membentuk

pengetahuan, membuat makna, mencari kejalasan, bersikap kritis dan mengadakan

justifikasi (mengambil kesimpulan), proses membantu seseorang dalam berpikir secara

benar dengan cara membiarkannya berpikir sendiri. Berpikir yang baik lebih penting

dari pada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan. Seseorang yang

mempunyai cara berpikir yang baik dapat menggunakan cara berpikirnya dalam

menghadapi persoalan lain. kemampuan ini tidak dimiliki siswa yang hanya dapat

menemukan jawaban yang benar, sehingga ia belum tentu bisa memecahkan masalah

yang lain (Frans A. Rumate, 2005:12).

Aktifitas-aktifitas pembelajaran konstruktivis meliputi mengamati fenomena-

fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis,

bekerja sama dengan orang lain, dan menentukan tujuan dan mengevaluasi kemajuan

mereka dan bertindak melampaui standar yang diisyaratkan (Schunk, 2012:324).

Adapun asumsi utama dari konstruktivisme menurut Schunk adalah:

1. Manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri

mereka sendiri.

2. Untuk memahami materi dengan baik maka siswa harus menemukan prinsip-

prinsip dasar yang dipelajarinya.

3. Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran

dengan cara tradisional kepada para siswa.

4. Guru seharusnya membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa

terlibat secara aktif dengan materi melalui dengan pengolahan-materi dan

interaksi sosial (Schunk, 2012:324).

Adapun prinsip-prinsip konstruktivisme yang berkaitan dengan pembelajaran

adalah:

1. Pengetahuan dibangun oleh mahasiswa sendiri, baik secara personal maupun

sosial.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari seorang guru ke siswa kecuali

melalui keaktifan mahasiswa sendiri untuk menalar.

3. Mahasiswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus sehingga selalu

terjadi perubahan konsep menuju yang lebih rinci, lengkap serta sesuai

dengan konsep ilmiah.

4. Dosen sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar konstruksi

mahasiswa dapat terlaksana (Suparno, 1997:49; Frans A. Rumate, 2005:8-9).

121

Konstruktivisme Piaget & Vygotsky

Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan.

Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak lepas dari dua orang tokoh psikologi

(psikolog) yaitu Jean Piaget dan Lev S. Vygotsky. Keduanya dianggap sebagai tokoh

yang paling berpengaruh dalam kemunculan teori konstruktivisme.

Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif ke araha perkembangan

terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser disebabkan

karena ada sebuah informasi baru (skemata) yang diterima melalui proses

ketidakseimbangan (disequilibrium). Selain itu keduanya juga menekankan pada

pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi

kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan pengubahan secara

konseptual (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:117).

Hanya saja perbedaannya adalah, Jean Piaget banyak menekankan dan

membahas konstruktivisme proses belajar dari sisi personal (individual cognitive

constructivist). Sedangkan Lev S. Vygotsky mengembangkannya dengan menekankan

dan membahas proses belajar dari sisi sosial (sociocultural constructivist). Dua

pandangan tersebut mendominasi konsep konstruktivisme (Euis Nurhidayati, 2017).

Konsep Belajar Konstruktivisme Piaget

Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme

dalam proses belajar. Ia menjelaskan bagaimana proses pengetahuan seseorang dalam

teori perkembangan intelektual. Piaget dipengaruhi keahliannya dalam bidang Biologi.

Ia percaya bahwa makhluk hidup perlu beradaptasi dan mengorganisasi lingkungan fisik

di sekitarnya agar tetap hidup. Baginya, pikiran dan tubuh juga terkena aturan main

yang sama. Oleh karena itu, ia berpikir bahwa perkembangan pemikiran juga mirip

dengan perkembangan biologis, yaitu perlu beradaptasi dengan dan mengorganisasi

lingkungan sekitar. Piaget sendiri menyatakan bahwa teori pengetahuan itu pada

dasarnya adalah teori adaptasi pikiran (kognitif) ke dalam suatu realitas, seperti

organisme beradaptasi ke dalam lingkungannya (Suparno, 1997:30).

Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya seperti

sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda.

Sehingga pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh oleh

masing-masing individu dan disimpan dalam otak yang berbeda. Dan setiap pengalaman

baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak tersebut atau struktur pengetahuan dalam

otak manusia. Oleh karena itu, pada saat manusia belajar menurur Piaget, sebenarnya

telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu: proses organisasi informasi dan proses

adaptasi (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:118; Munayf Hudhair, 2013:20-23).

1. Proses organisasi: adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang

diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau

sudah ada sebelumnya di dalam otak. Melalui proses organisasi inilah manusia

dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan

informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga

manusia dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi atau pengetahuan

tersebut.

2. Proses adaptasi: adalah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama,

mengintegrasikan pengetahuan yang diterima oleh manusia atau disebut dengan

asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan

struktur pengetahuan yang baru, sehingga akan terjadi keseimbangan

122

(equilibrium). Dalam proses adaptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep

dasar, yaitu: skemata, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan (equilibrium).

1) Skemata

Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep

atau kategori yang digunakan individu ketika berinteraksi dengan lingkungan.

Skemata ini senantiasa berkembang. Perkembangan ini dimungkinkan oleh

stimulus-stimulus yang dialaminya yang kemudian diorganisasikan dalam

pikirannya. Semakin mampu seseorang membedakan satu stimulus dengan

stimulus lainnya, maka semakin banyak skemata yang dimilikinya.

2) Asimilasi

Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru

ketika seseorang memadukan stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau

perilaku yang sudah ada. Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata,

tetapi mempengaruhi atau memungkinkan pertumbuhan skemata.

3) Akomodasi

Akomodasi adalah proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai

dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut menghasilkan terbentuk

skemata baru dan berubahnya skemata lama. Di konsep akomodasi tampak

terjadi perubahan secara kualitatif, sedangkan pada asimilasi terjadi perubahan

secara kuantitaif. Jadi pada hakikatnya, akomodasi menyebabkan terjadinya

perubahan atau pengembangan skemata.

Sebelum terjadi akomodasi, struktur mental anak mengalami

ketidakstabilan (disequilibrium) di saat menerima stimulus baru (proses

asimilasi). Tatkala terjadi akomodasi secara bersamaan maka struktur mental

anak akan stabil kembali, dan begitu seterusnya.

Begitulah proses asimilasi dan akomodasi terjadi secara terus menerus

dan menjadikan skemata manusia berkembang bersama dengan waktu dan

bertambahnya pengalaman. Dengan kata lain, proses asimilasi dan akomodasi

terkoordinasi dan teintegrasi menjadi penyebab terjadinya adaptasi intelektual

dan perkembangan struktur intelektual.

4) Keseimbangan (equilibrium)

Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk

mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian adanya

keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi. Seandainya hanya

terjadi asimilasi secara kontinyu maka yang bersangkutan hanya akan

memiliki beberap pemahaman atau skemata global dan tidak mampu melihat

perbedaan antara berbagai hal. Begitu pun sebaliknya, jika akomodasi saja

yang terjadi secara kontinyu maka individu hanya akan memiliki skemata

yang kecil-kecil saja dan tidak memliki skemata yang umum, maka individu

tidak akan mampu melihat persamaan-persamaan di antara berbagai hal. Itulah

sebabnya sehingga musti ada keserasian yang Piaget menyebutnya dengan

keseimbangan (equilibrium).

Dengan adanya keseimbangan ini maka efisiensi interaksi antara anak

yang sedang berkembang dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin.

Dengan kata lain, terjadi keseimbangan antara faktor-faktor internal dengan

faktor-faktor eksternal.

123

Proses perkembangan Intelektual (development processes)

Proses Adaptasi (adaptation)

Asimilasi (assimilation)

Keseimbangan (equilibrium)

Proses Organisasi (organitation)

Skemata (Schemes)

Akomodasi (accomodation)

Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh faktor herediter (bawaan

keturunan) dan lingkungan. Sehingga hal ini membuat kemampuan anak

dalam melakukan proses asimilasi, akomodasi dan keseimbangan juga ikut

terpengaruh. Jelasnya, proses adaptasi adalah keseimbangan antara proses

asimilasi dan akomodasi. Apabila individu melalui proses asimilasinya tidak

dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, terjadilah ketidakseimbangan.

Keseimbangan itulah yang mendorong terjadinya proses akomodasi dimana

struktur kognitifnya sebelumnya mengalami perubahan atau penambahan

skema sehingga terciptalah keseimbangan.

Jadi, perkembangan intelektual adalah suatu proses yang kontinyu dari

keadaan seimbang – tidak seimbang – seimbang dan terjadi setiap saat pada

setiap fase perkembangan manusia.

Gambar: Tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Proses adaptasi manusia dalam menghadapi pengetahuan baru juga akan

ditentukan oleh fase perkembangan kognitifnya. Piaget membagi fase perkembangan

manusia ke dalam empat fase perkembangan, yaitu:

1. Periode sensorimotor: usia 0 s/d 2 tahun.

2. Periode preoperasional: usia 2 s/d 7 tahun.

3. Periode Operasional Konkret: usia 7 s/d 11 tahun.

4. Periode Operasioal Formal: usia 11 s/d 15 tahun.

Berikut tabel tahap perkembangan kognitif manusia beserta gambaran

perkembangannya menurut Piaget.

Tahap Usia / Tahun Gambaran

Periode Sensorimotor 0 s/d 2 tahun

Bayi bergerak dari tindakan refleks instingtif pada

saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis.

Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia

melalui pengkoordinasian pengalaman-pengalaman

sensor dengan tindakan fisik.

Periode Preoperasional 2 s/d 7 tahun

Anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-

kata dan gambar-gambar.

Kata-kata dan gambar ini menunjukan adanya

peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui

hubungan informal sensor dan tindak fisik.

Periode Operasional Konkret 7 s/d 11 tahun Anak dapat berpikir secara logis mengenai

124

peristiwa-peristiwa yang konkret dan

mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-

bentuk yang berbeda.

Periode Operasional Formal 11 s/d 15 tahun

Anak remaja berpikiran dengan cara yang lebih

abstrak dan logis.

Pemikiran lebih idealistik.

Tabel: Tahap Perkembangan Kognitif Manusia

Paradigma konstruktivisme oleh Piaget melandasi timbulnya strategi kognitif

yang disebut dengan metacognition. Metacognition merupakan keterampilan yang

dimiliki oleh para pelajar dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. Menurut

Preisseisen, metacognition meliputi empat jenis keterampilan, yaitu:

1. Keterampilan pemecahan masalah (problem solving)

2. Keterampilan pengambila keputusan (decision making) 3. Keterampilan berpikir kritis (critical thinking)

4. Keterampilan berpikir kreatif (creatif thinking). Keterampilan-keterampilan tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya,

kadang pada saat bersamaan seseorang menggunakan strategi kognitifnya untuk

memecahkan masalah, maka dia menggunakan keterampilan untuk memcahkan

masalah, mengambil keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif sekaligus (Euis

Nurhidayati, 2017).

Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky

Jikalau konsep belajar Piaget penekanannya kepada individu, maka konsep

belajar Vygotsky lebih kepada sosial. Menurut Vygotsky, belajar merupakan proses

yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses secara biologi

sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi

dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga, munculnya

perilaku seseorang karena intervening kedua elemen tersebut. Keterlibatan alat indera

dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam mengelola informasi yang diperoleh

merupakan proses secara fisik psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar.

Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial bagi

perkembangan belajar seseorang. Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika

seorang anak dalam perkembangan zone proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh

seorang anak ketika ia melakukan perilaku sosial. Zona ini dapat juga diartikan sebagai

seorang anak yang tidak dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan kelompok atau

orang dewasa (scaffolding). Dalam belajar, zona ini dapat dipahami sebagai selisih

antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan bantuan

orang dewasa. Maksimalnya perkembangan zone proximal ini tergantung pada

intensifnya interaksi antara seseorang dengan lingkungan sosial (Baharuddin dan Esa

Nur Wahyuni, 2007:124).

Vygotsky (konstruktivis sosial) menegaskan bahwa pembelajaran dalam

kelompok sosal dan kerja sama dengan teman sebaya adalah cara yang bermanfaat

(Ratner, Foley & Gimpert, 2002). Ketika para siswa menjadi model bagi teman-teman

mereka dan mengamati teman-teman mereka sebagai model mereka, mereka tidak

hanya mengajarkan keterampilan-keterampilan tetapi juga mengalami efektifitas diri

yang lebih tinggi untuk belajar (Schunk, 2012:328).

125

Pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif menurut Vygotsky

telah melahirkan konsep perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif manusia ini

berkaitan erat dengan perkembangan bahasanya. Karena bahasa merupakan

perkembangan mental manusia. Untuk itu, Vygotsky membagi perkembangan kognitif

yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi empat tahap, yaitu preintelectual

speech, naive psychology, egosentric speech dan inner speech/private speech. Berikut

tabel beserta gambaran perkembangannya. Tahap Gambaran

Preintelectual Speech

Tahap awal dalam perkembangan ketika manusia baru lahir yang

ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara biologis seperti

menangis, mengoceh, menghentakkan kaki, menggoyang-goyangkan

tangan yang secara perlahan-lahan akan berkembang menjadi bentuk

yang sempurna seperti berbicara dan berperilaku.

Naive Psychology

Pada tahap kedua ini, anak mulai memberi nama terhadap objek-objek

yang diamati dan sudah bisa mengucapkan beberapa kata dalam

berbicara. Anak juga sudah dapat mencapai pemahaman verbal dan

menggunakannya dalam berkomunikasi dengan lingkungannya.

Sehingga sudah bisa meningkatkan kemampuan bahasanya dan

mempengaruhi cara berpikir dan berperilakunya.

Egosentric Speech

Tahap ini terjadi ketika anak berumur 3 tahun, yaitu anak selalu

melakukan percakapan tanpa perdulikan orang lain (didengarkan atau

tidak).

Inner Speech/Private Speech

Tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam mengarahkan

perilaku sesorang. Yaitu percakapan privasi terhadap diri sendiri lewat

mencari tahu sendiri cara penyelesaian masalah tanpa bantuan orang

lain. ini sering dialami baik anak-anak maupun orang dewasa.

Tabel 2: Tahap Perkembangan Kognitif Berdasarkan Perkembangan Bahasa

Ide dasar lain dari konsep Vygotsky adalah scaffolding. Yaitu memberikan

dukungan atau bantuan seorang anak yang sedang pada masa zone proximal, kemudian

lambat laun dikurangi dukungan dan bantuan setelah anak mampu untuk memcahkan

persoalan dari tugas yang dihadapinya (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:127).

Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Bahasa Arab

1. Makna Belajar dan Mengajar

Berdasarkan prinsip dasar konstruktivisme bahwa pengetahuan dibentuk

sendiri oleh pelajar, maka belajar menurut kaum konstruktivis merupakan proses

aktif pelajar dalam mengkonstruksi makna. Belajar juga diartikan sebagai proses

mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang sudah

dipelajari sebelumnya sehingga pengertiannya bisa dikembangkan. Proses tersebut

bercirikan: a) belajar berarti membentuk makna, b) belajar bukanlah kegiatan

mengumpulkan fakta melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan

membuat pemikiran yang baru, c) proses belajar yang sebenarnya adalah pada saat

terjadi tidak keseimbangan (disequilibrium).

Sedangkan makna mengajar bagi kaum konstruktivis bukanlah kegiatan

memindahkan pengetahuan dari guru ke pelajar, melainkan suatu kegiatan yang

membuat pelajar menjadi belajar dan memungkinkan ia membangun sendiri

pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi pelajar dalam membangun sendiri

126

pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan

justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu kegiatan yang membelajarkan pelajar secara

mandiri untuk membentuk pengetahuannya. Dalam proses mengajar, kegiatan

mencari tahu, mencari solusi, membentuk sendiri dan menentukan sendiri secara

mandiri oleh pelajar sangat dipentingkan dalam konstruktivisme.

2. Peran Pelajar dan Pengajar

Berdasarkan pengertian belajar yang merupakan proses aktif pelajar dalam

mengkonstruksi makna dan membangun sendiri pengetahuannya, maka peran

pelajar tentunya menjadi sentral dalam proses pembelajaran (student centered

learning). Pelajar sendiri yang aktif membangun pengetahuannya, membentuk

pengertian dan konsep dari pengetahuan lama menjadi sebuah pengetahuan baru

dengan bimbingan seorang guru dalam membantu belajar untuk mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri. Bahkan konstruktivisme menyebutkan bahwa pelajar

sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Oleh karenanya

pembelajaran dalam konstruktivisme lebih mengedepankan strategi pembelajaran

yang berpusat pada pelajar.

Sedangkan peran pengajar dalam konstruktivisme tidak lebih dari sebagai

fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajar pelajar berjalan dengan

baik dan mampu mengkostruksi pengetahuannya sendiri. Maka tugas pengajar

dalam proses pembelajaran adalah a) menjadi mitra yang aktif bertanya, b)

merangsang pemikiran pelajar, c) menciptakan persoala, d) membiarkan murid

mengungkapkan gagasan dan konsepnya, e) kritis menguji konsep murid, f)

menghargai dan menerima pemikiran pelajar apapun adanya, g) menguasai bahan

atau materi ajar secara luas dan mendalam, dan h) memonitor, mengevaluasi dan

menunjukkan apakah pemikiran si pelajar jalan atau tidak.

3. Strategi Belajar dan Mengajar

Strategi belajar maupun mengajar dalam konstruktivisme secara baku tidak

ada, akan tetapi strategi apa saja bisa digunakan yang penting sesuai dengan asumsi

dan prinsip belajar konstruktivisme. Maka berdasarkan asumsi dan prinsip

kontruktivisme yang disebutkan bahwa pengetahuan dibentuk oleh pelajar sendiri

secara aktif dan terus menerus baik secara individual (individual constructivist)

maupun sosial (social constructivist) maka strategi belajar yang bisa digunakan

oleh pelajar adalah strategi yang menyebabkan dirinya belajar aktif, belajar

mandiri, belajar memecahkan permasalahan dan mengkonstruksi pengetahuan baik

secara individu maupun kelompok. Di antara strategi belajar yang bisa digunakan

adalah strategi belajar mandiri, cooperative learning strategy, discovery learning

strategy, active learning strategy, generative learning strategy, cognitive learning

strategy, top-down strategy dan mediated learning/scaffolding learning strategy.

Dan untuk strategi mengajar yang bisa digunakan adalah tentunya strategi

yang berpusat pada pelajar, antara lain strategi belajar mandiri, cooperative

learning strategy, discovery learning strategy, active learning strategy, generative

learning strategy, cognitive learning strategy, top-down strategy dan mediated

learning/scaffolding learning strategy.

4. Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi belajar terhadap pelajar dalam konstruktivisme berlangsung secara

terus menerus, mulai dari awal sampai akhir. Evaluasi belajar konstruktivisme tidak

tergantung pada evaluasi akhir (sumatif) dan produk, melainkan juga evaluasi

proses yang dilakukan oleh pelajar mulai dari keaktifannya sampai hasilnya.

127

Diantara yang dianggap penting untuk diperhatikan oleh pengajar juga

adalah memonitor dan menunjukkan kepada pelajar apakah pemikirannya jalan atau

tidak. Karena termasuk yang ditekankan dalam konstruktivisme adalah bagaimana

caranya pelajar bisa memiliki kemampuan berpikir yang baik dalam memecahkan

sebuah permasalahan dan membangun makna, pengertian, konsep dan

pengetahuannya secara aktif dan mandiri lewat skemata yang diadopsi.

Berpikir yang baik dan benar dalam proses belajar konstruktivisme lebih

diutamakan dari pada hanya menemukan jawaban yang benar, karena memiliki

jawaban yang benar belum tentu bisa menyelesaikan masalah baru bila

diperhadapkan dengan situasi yang berbeda. Sedangkan yang mempunyai pikiran

yang baik dan benar maka ia akan bisa menyelesaikan permasalahan lain diluar

dirinya. Dengan kata lain, evaluasi yang ditekankan dalam konstruktivisme adalah

evaluasi proses, bukan hasil akhir.

Penutup

Pergeseran paradigma pembelajaran pada masa ini dari behaviorisme ke

konstruktivisme membawa dampak yang sangat signifikan dalam ranah pembelajaran

bahasa Arab, dari pembelajaran yang bersifat teacher center learning menjadi student

center learning. Sehingga pelajar berperan aktif membangun sendiri pengetahuannya

lewat skemata yang sudah di adaptasi, sedangkan peran pengajar menjadi tidak lebih

sebagai mitra pelajar, fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajarnya

berjalan dengan baik. Dan adapun strategi yang bisa dipergunakan tentunya yang

berpusat pada pelajar.

Teori belajar konstruktivisme menjadi teori belajar kontemporer yang patut

dipertimbangkan buat para pengajar bahasa Arab sebagai jalan alternatif dalam

memberikan solusi pembelajaran yang aktif, efektif dan kreatif.

Daftar Pustaka al-Dhawiy, Munayf Hudhair, 2013. Al-Nadzhoriyah al-Binaiyyahwa Tathbiyquha fi Tadris al-

Lughah al-„Arabiyah, Cet. I; Rafhaa: Maktabah al-Malik Fahdh al-Wathaniyah.

al-Ushaili, Abdu al-Aziz bin Ibrahim, 1999 M/1420 H. Al-Nadhzariyyat al-lughawiyyah wa

Ta‟lim al-Lughah al- ‟Arabiyyah. Riyadh: Maktabah al-Malik Fahdh al-Wathaniyyah.

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007. Teori Belajar & Pembelajaran, Cet. I; Jogjakarta: Ar-

Ruzz Media.

Hasan, Nurhadi Kusuma dan Muhammad Qaddafi, 2015. Perbandingan Pendekatan

Konstruktivisme antara Model Pembelajaran Discovery Learning dan Reception

Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Peserta didik Kelas X

SMA Negeri 3 Takalar, dalam Jurnal Pendidikan Fisika, Vol. 3, No. 2, September.

Nurhidayati, Euis, 2017. Pedagogi Konstruktivisme dalam Praksis Pendidikan Indonesia, dalam

Indonesian Journal of Educational Counseling, Volume 1, No. 1, Januari.

Parwati, Ni Nyoman, dkk., 2018. Belajar dan Pembelajaran, Cet. I; Depok: Rajawali Pers.

Rangkuti, Ahmad Abrar, Teori Pembelajaran Konstruktivisme, dalam

https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/37341731/TEORI_PEMBELAJAR

AN_KONSTRUKTIVISM2.pdf. Di unduh pada tanggal 18 Juli 2018.

Rumate, Frans A., 2005. Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Disampaikan

dalam Pelatihan Singkat Penyusunan Kontrak Perkuliahan dan Bahan Ajar bagi Staf

Pengajar PTN kawasan Timur Indonesia di P3AI-UNHAS Makassar. Kerjasama Pusat

128

Peningkatan dan Pengembangan Aktifitas Instruksional Universitas Hasanuddin (P3AI-

UNHAS) dengan Bagian Kegiatan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia

DIRJEN DIKTI, 21-26 November.

Schunk, Dale H., 2018. Learning Theories an Educational Perspective, Sixth Edition. Terj: Eva

Hamdiah, Rahmat Fajar, Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan, Edisi

Keenam, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suparno, Paul, 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Cet. I; Yogyakarta: Kanisius.

Tarigan, Henry Guntur., 1991. Metodologi Pengajaran Bahasa 1. Cet. I; Bandung: Angkasa.

Ummi, Hikmah Uswatun, dan Indrya Mulyaningsih, 2016. Penerapan Teori Konstruktivistik

Pada Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dalam Journal

Indonesian Language Education and Literature, Vol.1, No. 2.