penerapan permodalan basel iii dan implikasinya terhadap ...

9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER 346 • PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA PENERAPAN PERMODALAN BASEL III DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA PERBANKAN DI INDONESIA Komang Agus Rudi Indra Laksmana Universitas Mahendradatta, Denpasar, Indonesia Email : [email protected] ABSTRAK Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007/2008 telah mendorong pemimpin Negara yang tergabung dalam G-20 untuk mendeklarasikan upaya internasional yang bertujuan meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan regulasi sektor keuangan melalui penguatan kuantitas dan kualitas permodalan sektor perbankan. Hal ini didasari terjadinya krisis keuangan global tahun 2008 lalu salah satunya disebabkan oleh tingkat leverage yang berlebihan di sistem perbankan baik untuk posisi yang tercatat di neraca (on-balance sheet) maupun di rekening administrative (off-balance sheet). Hasil final rekomendasi dimaksud kemudian diterbitkan oleh Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking system pada Desember 2010. Secara umum kesepakatan Basel III terdapat tiga komponen utama yakni permodalan, likuiditas dan leverage ratio. Penerapan permodalan Basel III memiliki dampak yang akan bervariasi di berbagai negera tergantung pada jumlah eksposur yang terkena dampak. Studi ini akan melakukan analisis dampak dari penerapan permodalan Basel III terhadap kinerja perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018 didasarkan pada kecukupan modal (CAR), likuiditas (NSFR, LCR) terhadap pertumbuhan profitabilitas (ROA). Penelitian melibatkan 11 bank dengan aset terbesar di Indonesia pada tahun 2018. Hasil penelitian menunjukan bahwa CAR berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA, selanjutnya NSFR berpengaruh positif signifikan terhadap ROA, dan LCR berpenaruh negatif signifikan terhadap ROA. Keterbatasan penelitian ini terletak pada jumlah sampel dan data yang digunakan, penelitian selanjutnya bisa melakukan pengujian dengan meningkatkan jumlah data dan sampel serta variabel penelitian. Kata kunci: basel III; CAR; LCR; NSFR; ROA. ABSTRACT The global financial crisis that occurred in 2007/2008 has encouraged state leaders who are members of the G-20 to declare international efforts aimed at increasing transparency, accountability and regulation of the financial sector through strengthening the quantity and quality of the banking sector capital. This was based on the occurrence of the global financial crisis in 2008, one of which was caused by the excessive level of leverage in the banking system both for the position recorded on the balance sheet (on-balance sheet) and in administrative accounts (off-balance sheet). The final results of the recommendations are thenissued by Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks andbanking systems on December 2010. In general, the Basel III agreement has threemain components, namely capital, liquidity and leverage ratio. The application ofBasel III capital has an impact that will vary in various countries depending onthe number of exposures affected. This study conducted an impact analysis on theperformance of Basel III capital towards the performance of banks in Indonesiaduring the period of 2018 based on capital adequacy (CAR), and on the liquidity(NSFR, LCR) on growth in profitability (ROA). The study involved 11 banks withthe largest assets in Indonesia in 2018. The results showed that CAR had asignificant negative effect on ROA, while the NSFR had a significant positiveeffect on ROA, and LCR had a significant negative effect on ROA. This study waslimited in terms of the number of samples and data used, therefore furtherresearch is expected to increase the amount of data and samples and research variables. Keyword: Basel III; CAR; LCR; NSFR; ROA.

Transcript of penerapan permodalan basel iii dan implikasinya terhadap ...

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

346 • PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

PENERAPAN PERMODALAN BASEL III DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA PERBANKAN DI INDONESIA

Komang Agus Rudi Indra Laksmana

Universitas Mahendradatta, Denpasar, Indonesia

Email : [email protected]

ABSTRAK

Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007/2008 telah mendorong pemimpin Negara yang tergabung dalam G-20 untuk mendeklarasikan upaya internasional yang bertujuan meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan regulasi sektor keuangan melalui penguatan kuantitas dan kualitas permodalan sektor perbankan. Hal ini didasari terjadinya krisis keuangan global tahun 2008 lalu salah satunya disebabkan oleh tingkat leverage yang berlebihan di sistem perbankan baik untuk posisi yang tercatat di neraca (on-balance sheet) maupun di rekening administrative (off-balance sheet). Hasil final rekomendasi dimaksud kemudian diterbitkan oleh Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking system pada Desember 2010. Secara umum kesepakatan Basel III terdapat tiga komponen utama yakni permodalan, likuiditas dan leverage ratio. Penerapan permodalan Basel III memiliki dampak yang akan bervariasi di berbagai negera tergantung pada jumlah eksposur yang terkena dampak. Studi ini akan melakukan analisis dampak dari penerapan permodalan Basel III terhadap kinerja perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018 didasarkan pada kecukupan modal (CAR), likuiditas (NSFR, LCR) terhadap pertumbuhan profitabilitas (ROA). Penelitian melibatkan 11 bank dengan aset terbesar di Indonesia pada tahun 2018. Hasil penelitian menunjukan bahwa CAR berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA, selanjutnya NSFR berpengaruh positif signifikan terhadap ROA, dan LCR berpenaruh negatif signifikan terhadap ROA. Keterbatasan penelitian ini terletak pada jumlah sampel dan data yang digunakan, penelitian selanjutnya bisa melakukan pengujian dengan meningkatkan jumlah data dan sampel serta variabel penelitian.

Kata kunci: basel III; CAR; LCR; NSFR; ROA.

ABSTRACT

The global financial crisis that occurred in 2007/2008 has encouraged state leaders who are members of the G-20 to declare international efforts aimed at increasing transparency, accountability and regulation of the financial sector through strengthening the quantity and quality of the banking sector capital. This was based on the occurrence of the global financial crisis in 2008, one of which was caused by the excessive level of leverage in the banking system both for the position recorded on the balance sheet (on-balance sheet) and in administrative accounts (off-balance sheet). The final results of the recommendations are thenissued by Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks andbanking systems on December 2010. In general, the Basel III agreement has threemain components, namely capital, liquidity and leverage ratio. The application ofBasel III capital has an impact that will vary in various countries depending onthe number of exposures affected. This study conducted an impact analysis on theperformance of Basel III capital towards the performance of banks in Indonesiaduring the period of 2018 based on capital adequacy (CAR), and on the liquidity(NSFR, LCR) on growth in profitability (ROA). The study involved 11 banks withthe largest assets in Indonesia in 2018. The results showed that CAR had asignificant negative effect on ROA, while the NSFR had a significant positiveeffect on ROA, and LCR had a significant negative effect on ROA. This study waslimited in terms of the number of samples and data used, therefore furtherresearch is expected to increase the amount of data and samples and research variables.

Keyword: Basel III; CAR; LCR; NSFR; ROA.

PENDAHULUAN

Fenomena Subprime Mortage yang meruntuhkan kejayaan raksasa investasi Lehman Brother, JP Morgan, Morgan Stanley, Goldman Sanch yang lebih fokus pada bisnis finansial menyadarkan pelaku perbankan bahwa kesepakatan Basel I dan Basel II belum cukup untuk mengantisipasi risiko usaha perbankan. Kesepakatan Basel I mengatur perihal tentang standar berapa modal yang harus disisihkan Bank sebagai perlindungan terhadap risiko keuangan dan operasional yang akan dihadapi Bank, yang pada intinya Basel I ini memperhitungkan Kredit Risiko Pasar dan Risiko Operasional namun masih dalam tahap yang sederhana, dan disempurnakan secara detail melalui kesepakatan Basel II dengan parameter resiko yang kuantitatif dan definitif.

Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007/2008 telah mendorong pemimpin Negara yang tergabung dalam G-20 untuk mendeklarasikan upaya internasional yang bertujuan meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan regulasi sektor keuangan melalui penguatan kuantitas dan kualitas permodalan sektor perbankan. Hal ini didasari terjadinya krisis keuangan global tahun 2008 lalu salah satunya disebabkan oleh tingkat leverage yang berlebihan di sistem perbankan baik untuk posisi yang tercatat di neraca (on-balance sheet) maupun di rekening administrative (off-balance sheet). Hasil final rekomendasi dimaksud kemudian diterbitkan oleh Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking system pada Desember 2010. Secara umum kesepakatan Basel III terdapat tiga komponen utama yakni permodalan, likuiditas dan leverage ratio. Terkait permodalan ada tiga modal tambahan yang harus disiapkan bank, yakni countercyclical buffer, capital conservation buffer, dan capital surcharge. Ketiga permodalan tambahan tersebut dipersiapkan untuk menghadapi perubahan dan goncangan yang mempengaruhi kinerja dari perbankan. Dalam kesepakatan Basel III, perbankan diwajibkan mencadangkan modal kualitas tinggi (core toer-1) sebesar 4,5% dari asetnya, ditambah modal penyangga sebesar 2,5% jika terjadi goncangan, atau menjadi 7% di tahun 2016, serta harus menyediakan modal penyangga lagi sebesar 2,5% atau total 9,5% di tahun 2019.

Studi yang dilakukan McKinsey & Company menunjukan hasil bahwa Basel III akan mengurangi laba atas ekuitas (ROE) rata-rata sekitar 4% di Eropa dan sekitar rata-rata 3% di Amerika Serikat. Sebuah studi dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2011 mengungkapkan bahwa efek jangka menengah dari kesepakatan Basel III terhadap PDB akan menjadi -0,05% hingga -0,15% per tahun. Agar tetap bertahan, bank akan dipaksa untuk meningkatkan spread pinjaman mereka ketika disaat yang bersamaan, pihak bank mengeluarkan biaya tambahan untuk nasabah mereka. Studi Intsitute of International Finance, sebuah asosiasi perdagangan perbankan beranggotakan 450 orang yang berlokasi di Amerika Serikat, memprotes penerapan Basel III karena potensinya untuk menurunkan kinerja bank dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, American Bankers Association menentang penerapan Basel III, karena berpotensi untuk melumpuhkan bank-bank kecil dengan meningkatkan kepemilikan modal mereka pada pinjaman hipotek dan UKM.

Penelitian ini akan berfokus pada tiga standar yakni rasio kecukupan modal yang didefinisikan sebagai rasio modal terhadap aset atau CAR, Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio atau LCR) serta Rasio Pendanaan Stabil Bersih (the Net Stable Funding Ratio atau NSFR). Ketiga rasio ini merupakan ukuran risiko yang berdampak pada laba bank. CAR mengukur sejauh mana kemampuan bank menyerap kerugian. CAR membatas bank dalam kemampuan mereka untuk meningkatkan leverage (Adrian dan Shin, 2010; Giordana dan Schumacher, 2012). LCR pada dasarnya adalah ukuran eksposur bank terhadap risiko likuiditas jangka pendek (BCBS, 2013), sedangkan NFSR adalah ukuran jatuh tempo mismatch yang bertujuan untuk mengurangi risiko likuiditas terkait

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

• 347PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

PENERAPAN PERMODALAN BASEL III DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA PERBANKAN DI INDONESIA

Komang Agus Rudi Indra Laksmana

Universitas Mahendradatta, Denpasar, Indonesia

Email : [email protected]

ABSTRAK

Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007/2008 telah mendorong pemimpin Negara yang tergabung dalam G-20 untuk mendeklarasikan upaya internasional yang bertujuan meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan regulasi sektor keuangan melalui penguatan kuantitas dan kualitas permodalan sektor perbankan. Hal ini didasari terjadinya krisis keuangan global tahun 2008 lalu salah satunya disebabkan oleh tingkat leverage yang berlebihan di sistem perbankan baik untuk posisi yang tercatat di neraca (on-balance sheet) maupun di rekening administrative (off-balance sheet). Hasil final rekomendasi dimaksud kemudian diterbitkan oleh Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking system pada Desember 2010. Secara umum kesepakatan Basel III terdapat tiga komponen utama yakni permodalan, likuiditas dan leverage ratio. Penerapan permodalan Basel III memiliki dampak yang akan bervariasi di berbagai negera tergantung pada jumlah eksposur yang terkena dampak. Studi ini akan melakukan analisis dampak dari penerapan permodalan Basel III terhadap kinerja perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018 didasarkan pada kecukupan modal (CAR), likuiditas (NSFR, LCR) terhadap pertumbuhan profitabilitas (ROA). Penelitian melibatkan 11 bank dengan aset terbesar di Indonesia pada tahun 2018. Hasil penelitian menunjukan bahwa CAR berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA, selanjutnya NSFR berpengaruh positif signifikan terhadap ROA, dan LCR berpenaruh negatif signifikan terhadap ROA. Keterbatasan penelitian ini terletak pada jumlah sampel dan data yang digunakan, penelitian selanjutnya bisa melakukan pengujian dengan meningkatkan jumlah data dan sampel serta variabel penelitian.

Kata kunci: basel III; CAR; LCR; NSFR; ROA.

ABSTRACT

The global financial crisis that occurred in 2007/2008 has encouraged state leaders who are members of the G-20 to declare international efforts aimed at increasing transparency, accountability and regulation of the financial sector through strengthening the quantity and quality of the banking sector capital. This was based on the occurrence of the global financial crisis in 2008, one of which was caused by the excessive level of leverage in the banking system both for the position recorded on the balance sheet (on-balance sheet) and in administrative accounts (off-balance sheet). The final results of the recommendations are thenissued by Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks andbanking systems on December 2010. In general, the Basel III agreement has threemain components, namely capital, liquidity and leverage ratio. The application ofBasel III capital has an impact that will vary in various countries depending onthe number of exposures affected. This study conducted an impact analysis on theperformance of Basel III capital towards the performance of banks in Indonesiaduring the period of 2018 based on capital adequacy (CAR), and on the liquidity(NSFR, LCR) on growth in profitability (ROA). The study involved 11 banks withthe largest assets in Indonesia in 2018. The results showed that CAR had asignificant negative effect on ROA, while the NSFR had a significant positiveeffect on ROA, and LCR had a significant negative effect on ROA. This study waslimited in terms of the number of samples and data used, therefore furtherresearch is expected to increase the amount of data and samples and research variables.

Keyword: Basel III; CAR; LCR; NSFR; ROA.

PENDAHULUAN

Fenomena Subprime Mortage yang meruntuhkan kejayaan raksasa investasi Lehman Brother, JP Morgan, Morgan Stanley, Goldman Sanch yang lebih fokus pada bisnis finansial menyadarkan pelaku perbankan bahwa kesepakatan Basel I dan Basel II belum cukup untuk mengantisipasi risiko usaha perbankan. Kesepakatan Basel I mengatur perihal tentang standar berapa modal yang harus disisihkan Bank sebagai perlindungan terhadap risiko keuangan dan operasional yang akan dihadapi Bank, yang pada intinya Basel I ini memperhitungkan Kredit Risiko Pasar dan Risiko Operasional namun masih dalam tahap yang sederhana, dan disempurnakan secara detail melalui kesepakatan Basel II dengan parameter resiko yang kuantitatif dan definitif.

Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007/2008 telah mendorong pemimpin Negara yang tergabung dalam G-20 untuk mendeklarasikan upaya internasional yang bertujuan meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan regulasi sektor keuangan melalui penguatan kuantitas dan kualitas permodalan sektor perbankan. Hal ini didasari terjadinya krisis keuangan global tahun 2008 lalu salah satunya disebabkan oleh tingkat leverage yang berlebihan di sistem perbankan baik untuk posisi yang tercatat di neraca (on-balance sheet) maupun di rekening administrative (off-balance sheet). Hasil final rekomendasi dimaksud kemudian diterbitkan oleh Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking system pada Desember 2010. Secara umum kesepakatan Basel III terdapat tiga komponen utama yakni permodalan, likuiditas dan leverage ratio. Terkait permodalan ada tiga modal tambahan yang harus disiapkan bank, yakni countercyclical buffer, capital conservation buffer, dan capital surcharge. Ketiga permodalan tambahan tersebut dipersiapkan untuk menghadapi perubahan dan goncangan yang mempengaruhi kinerja dari perbankan. Dalam kesepakatan Basel III, perbankan diwajibkan mencadangkan modal kualitas tinggi (core toer-1) sebesar 4,5% dari asetnya, ditambah modal penyangga sebesar 2,5% jika terjadi goncangan, atau menjadi 7% di tahun 2016, serta harus menyediakan modal penyangga lagi sebesar 2,5% atau total 9,5% di tahun 2019.

Studi yang dilakukan McKinsey & Company menunjukan hasil bahwa Basel III akan mengurangi laba atas ekuitas (ROE) rata-rata sekitar 4% di Eropa dan sekitar rata-rata 3% di Amerika Serikat. Sebuah studi dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2011 mengungkapkan bahwa efek jangka menengah dari kesepakatan Basel III terhadap PDB akan menjadi -0,05% hingga -0,15% per tahun. Agar tetap bertahan, bank akan dipaksa untuk meningkatkan spread pinjaman mereka ketika disaat yang bersamaan, pihak bank mengeluarkan biaya tambahan untuk nasabah mereka. Studi Intsitute of International Finance, sebuah asosiasi perdagangan perbankan beranggotakan 450 orang yang berlokasi di Amerika Serikat, memprotes penerapan Basel III karena potensinya untuk menurunkan kinerja bank dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, American Bankers Association menentang penerapan Basel III, karena berpotensi untuk melumpuhkan bank-bank kecil dengan meningkatkan kepemilikan modal mereka pada pinjaman hipotek dan UKM.

Penelitian ini akan berfokus pada tiga standar yakni rasio kecukupan modal yang didefinisikan sebagai rasio modal terhadap aset atau CAR, Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio atau LCR) serta Rasio Pendanaan Stabil Bersih (the Net Stable Funding Ratio atau NSFR). Ketiga rasio ini merupakan ukuran risiko yang berdampak pada laba bank. CAR mengukur sejauh mana kemampuan bank menyerap kerugian. CAR membatas bank dalam kemampuan mereka untuk meningkatkan leverage (Adrian dan Shin, 2010; Giordana dan Schumacher, 2012). LCR pada dasarnya adalah ukuran eksposur bank terhadap risiko likuiditas jangka pendek (BCBS, 2013), sedangkan NFSR adalah ukuran jatuh tempo mismatch yang bertujuan untuk mengurangi risiko likuiditas terkait

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

348 • PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

sumber pendanaan untuk jangka waktu yang lebih panjang dengan mensyaratkan Bank mendanai aktivitas dengan sumber dana stabil yang memadai dalam rangka memitigasi risiko kesulitan pendanaan pada masa depan.

Indonesia yang merupakan salah satu dari Negara anggota G-20 memiliki kewajiban dalam memenuhi kesepakatan Basel III. Perbankan di Indonesia harus segera melakukan konsolidasi tanpa henti. Walaupun dalam kegiatan operasional, perbankan di Indonesia masih memiliki kegiatan operasional yang sederhana, yakni sebagai Agen, yakni mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman, sehingga memiliki resiko yang relatif rendah, tidak seperti terjadinya kasus Subprime Mortage. Kinerja perbankan di Indonesia ditinjau dari permodalan dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Gambar 1: Grafik Kinerja Permodalan Perbankan di Indonesia Sumber data: Statisk Perbankan Indonesia (OJK, 2018)

Berdasarkan Gambar 1, dapat dinilai bahwa kinerja perbankan di Indonesia selama periode tahun 2010-2017 dilihat dari pencapaian kecukupan modal (CAR) memiliki tingkat rerata sebesar 15% - 22%, jauh lebih besar dari ketentuan minimal kecukupan modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI sebesar 5%-8%, hal ini berarti bahwa pelaku perbankan di Indonesia sudah mempersiapkan diri untuk memenuhi kecukupan modal berdasarkan kesepakatan Basel III. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/22/PBI/2015, kewajiban pembentukan countercyclical buffer sebesar 0-2,5% diberlakukan mulai per 1 Januari 2016, dan keseriusan perbankan dalam mempersiapkan diri untuk itu sudah terlihat dengan pencapaian CAR yang sudah diatas kecukupan minimal yang ditentukan oleh BI dan OJK RI.

Penerapan permodalan Basel III memiliki dampak yang akan bervariasi di berbagai negera tergantung pada jumlah eksposur yang terkena dampak. Studi ini akan melakukan analisis dampak dari penerapan permodalan Basel III terhadap kinerja perbankan di Indonesia didasarkan pada faktor capital, likuiditas serta profitabilitas. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui dampak yang dimunculkan dari Basel III agar kemudian dirumuskan strategi mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang dimunculkan serta di satu sisi memanfaatkan potensi dampak positif dari kebijakan ini.

METODE PENELITIAN Penelitian ini berfokus pada industri perbankan di Indonesia. Data yang dihimpun dari laporan

keuangan masing-masing bank selama periode tahun 2018. Ini didasarkan karena ketentukan dari OJK RI yang mensyaratkan pelaporan atas NSFR mulai berlaku triwulan pertama tahun 2018.

Prosedur pengambilan sampel dengan metode purposive sampling yakni pengambilan sampel dari bank-bank yang masuk kategori dalam aset terbesar dan total penguasaan aset melebihi 50% dari total aset secara nasional. Sampel dalam penelitian ini adalah 11 bank nasional yang memiliki aset terbesar di Indonesia dengan penguasaan aset sebesar 61,81% dari total aset perbankan nasional di tahun 2018.

Tabel 1 Sampel Penelitian No Nama Bank Jumlah Aset

(dalam juta rupiah) 1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk 1.125.400.727 2. PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk 1.017.323.850 3. PT. Bank Central Asia, Tbk 783.814.134 4. PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk 712.213.488 5. PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk 272.304.662 6. PT. Bank CIMB Niaga, Tbk 259.070.857 7. PT. PAN Indonesia Bank, Tbk 186.831.938 8. PT. Bank OCBC NISP, Tbk 163.994.740 9. PT. Bank Maybank Indonesia, Tbk 157.955.044

10. PT. Bank Permata, Tbk 155.534.538 11. PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk 152.261.989

Sumber: Kinerja Bank, 2019

Penelitian ini menggunakan data panel sehingga analisis data yang digunakan melalui pendekatan Ordinari Least Square (OLS). Metode ini digunakan sebab model regresi ini tidak mempertimbangkan dimensi waktu maupun individu, sehingga diasumsikan bahwa perilaku data perusahaan sama dalam berbagai kurun waktu. Perhitungan terhadap rasio keuangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan perbankan dalam menyediakan dana yang digunakan untuk mengatasi kemungkinan risiko kerugian. Rasio ini penting karena dengan menjaga CAR pada batas aman (minimal 8%), berarti juga melindungi nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Semakin besar nilai CAR mencerminkan kemampuan perbankan yang semakin baik dalam menghadapi kemungkinan risiko kerugian. (SE BI No. 6/23/DPNP Tahun 2004)

Standar pengukuran risiko likuiditas berupa kewajiban pemenuhan rasio pendanaan stabil bersih/Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang bertujuan untuk mengurangi risiko likuiditas terkait sumber pendanaan untuk jangka waktu yang lebih panjang dengan mensyaratkan Bank mendanai aktivitas dengan sumber dana stabil yang memadai dalam rangka memitigasi risiko kesulitan pendanaan pada masa depan. Bank wajib memelihara pendanaan stabil yang memadai yang dihitung dengan menggunakan Net Stable Funding Ratio (NSFR) dan ditetapkan paling rendah 100%

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

• 349PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

sumber pendanaan untuk jangka waktu yang lebih panjang dengan mensyaratkan Bank mendanai aktivitas dengan sumber dana stabil yang memadai dalam rangka memitigasi risiko kesulitan pendanaan pada masa depan.

Indonesia yang merupakan salah satu dari Negara anggota G-20 memiliki kewajiban dalam memenuhi kesepakatan Basel III. Perbankan di Indonesia harus segera melakukan konsolidasi tanpa henti. Walaupun dalam kegiatan operasional, perbankan di Indonesia masih memiliki kegiatan operasional yang sederhana, yakni sebagai Agen, yakni mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman, sehingga memiliki resiko yang relatif rendah, tidak seperti terjadinya kasus Subprime Mortage. Kinerja perbankan di Indonesia ditinjau dari permodalan dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Gambar 1: Grafik Kinerja Permodalan Perbankan di Indonesia Sumber data: Statisk Perbankan Indonesia (OJK, 2018)

Berdasarkan Gambar 1, dapat dinilai bahwa kinerja perbankan di Indonesia selama periode tahun 2010-2017 dilihat dari pencapaian kecukupan modal (CAR) memiliki tingkat rerata sebesar 15% - 22%, jauh lebih besar dari ketentuan minimal kecukupan modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI sebesar 5%-8%, hal ini berarti bahwa pelaku perbankan di Indonesia sudah mempersiapkan diri untuk memenuhi kecukupan modal berdasarkan kesepakatan Basel III. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/22/PBI/2015, kewajiban pembentukan countercyclical buffer sebesar 0-2,5% diberlakukan mulai per 1 Januari 2016, dan keseriusan perbankan dalam mempersiapkan diri untuk itu sudah terlihat dengan pencapaian CAR yang sudah diatas kecukupan minimal yang ditentukan oleh BI dan OJK RI.

Penerapan permodalan Basel III memiliki dampak yang akan bervariasi di berbagai negera tergantung pada jumlah eksposur yang terkena dampak. Studi ini akan melakukan analisis dampak dari penerapan permodalan Basel III terhadap kinerja perbankan di Indonesia didasarkan pada faktor capital, likuiditas serta profitabilitas. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui dampak yang dimunculkan dari Basel III agar kemudian dirumuskan strategi mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang dimunculkan serta di satu sisi memanfaatkan potensi dampak positif dari kebijakan ini.

METODE PENELITIAN Penelitian ini berfokus pada industri perbankan di Indonesia. Data yang dihimpun dari laporan

keuangan masing-masing bank selama periode tahun 2018. Ini didasarkan karena ketentukan dari OJK RI yang mensyaratkan pelaporan atas NSFR mulai berlaku triwulan pertama tahun 2018.

Prosedur pengambilan sampel dengan metode purposive sampling yakni pengambilan sampel dari bank-bank yang masuk kategori dalam aset terbesar dan total penguasaan aset melebihi 50% dari total aset secara nasional. Sampel dalam penelitian ini adalah 11 bank nasional yang memiliki aset terbesar di Indonesia dengan penguasaan aset sebesar 61,81% dari total aset perbankan nasional di tahun 2018.

Tabel 1 Sampel Penelitian No Nama Bank Jumlah Aset

(dalam juta rupiah) 1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk 1.125.400.727 2. PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk 1.017.323.850 3. PT. Bank Central Asia, Tbk 783.814.134 4. PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk 712.213.488 5. PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk 272.304.662 6. PT. Bank CIMB Niaga, Tbk 259.070.857 7. PT. PAN Indonesia Bank, Tbk 186.831.938 8. PT. Bank OCBC NISP, Tbk 163.994.740 9. PT. Bank Maybank Indonesia, Tbk 157.955.044

10. PT. Bank Permata, Tbk 155.534.538 11. PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk 152.261.989

Sumber: Kinerja Bank, 2019

Penelitian ini menggunakan data panel sehingga analisis data yang digunakan melalui pendekatan Ordinari Least Square (OLS). Metode ini digunakan sebab model regresi ini tidak mempertimbangkan dimensi waktu maupun individu, sehingga diasumsikan bahwa perilaku data perusahaan sama dalam berbagai kurun waktu. Perhitungan terhadap rasio keuangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan perbankan dalam menyediakan dana yang digunakan untuk mengatasi kemungkinan risiko kerugian. Rasio ini penting karena dengan menjaga CAR pada batas aman (minimal 8%), berarti juga melindungi nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Semakin besar nilai CAR mencerminkan kemampuan perbankan yang semakin baik dalam menghadapi kemungkinan risiko kerugian. (SE BI No. 6/23/DPNP Tahun 2004)

Standar pengukuran risiko likuiditas berupa kewajiban pemenuhan rasio pendanaan stabil bersih/Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang bertujuan untuk mengurangi risiko likuiditas terkait sumber pendanaan untuk jangka waktu yang lebih panjang dengan mensyaratkan Bank mendanai aktivitas dengan sumber dana stabil yang memadai dalam rangka memitigasi risiko kesulitan pendanaan pada masa depan. Bank wajib memelihara pendanaan stabil yang memadai yang dihitung dengan menggunakan Net Stable Funding Ratio (NSFR) dan ditetapkan paling rendah 100%

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

350 • PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

(seratus persen). NSFR adalah perbandingan antara pendanaan stabil yang tersedia (available stable funding/ASF) dengan pendanaan stabil yang diperlukan (required stable funding/RSF). (POJK No.50/POJK.03/2017)

Liquidity Coverage Ratio, yang selanjutnya disingkat LCR, adalah perbandingan antara High Quality Liquid Asset dengan total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. Aset Likuid Berkualitas Tinggi atau High Quality Liquid Asset, yang selanjutnya disingkat HQLA, adalah kas dan/atau aset keuangan yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa pengurangan nilai untuk memenuhi kebutuhan likuiditas Bank selama periode 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. Total Arus Kas Keluar Bersih, yang selanjutnya disebut Net Cash Outflow, adalah total estimasi arus kas keluar (cash outflow) dikurangi dengan total estimasi arus kas masuk (cash inflow) yang diperkirakan akan terjadi selama 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. Pemenuhan LCR ditetapkan paling rendah 100% (seratus persen) secara berkelanjutan (POJK No.42/POJK.03/2015).

ROA (Return On Assets) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perbankan dalam menghasilkan profit atau laba (bisa disebut profitabilitas) dengan cara membandingkan laba bersih dengan sumber daya atau total aset yang dimiliki. Fungsinya adalah untuk melihat seberapa efektif perbankan dalam menggunakan asetnya dalam menghasilkan pendapatan. Semakin besar nilai ROA artinya semakin baik kemampuan perbankan dalam menghasilkan laba. Menurut ketentuan Bank Indonesia standar yang paling baik untuk ROA dalam ukuran bank-bank Indonesia minimal 1,5%. (SE BI No. 6/23/DPNP Tahun 2004)

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis awal dalam artikel ini didasarkan pada data dari sampel 11 bank di Indonesia yang

mewakili sebesar 61% dari total aset sektor perbankan pada tahun 2018. Skala laporan triwulan pada tahun 2018 digunakan dalam penelitian yang diperoleh dari posisi neraca yang dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia dan terpublikasi pada website bank yang bersangkutan. Secara eksplisit peraturan Basel III meminta penilaian LCR dan NSFR berdasarkan pada data konsolidasi, namun untuk mengantisipasi ketidakstabilan sumber keuangan yang disebabkan oleh besarnya dampak dari unit usaha perbankan bukan dari core unit bank itu sendiri, maka dalam penelitian ini mengandalkan data LCR dan NSFR untuk individu bank itu sendiri sehingga bisa dihitung core bisnis perbankan yang bersangkutan. Berikut ini akan ditampilkan perkembangan nilai rata-rata CAR, LCR, NSFR dan ROA perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018.

Tabel 2 Perhitungan Rasio Likuditas dan Profitabilitas No Nama Bank CAR NFSR LCR ROA 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk 13,31% 129,71% 215,30% 3,50% PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk 19,88% 116,90% 182,23% 2,85% PT. Bank Central Asia, Tbk 13,27% 161,47% 310,94% 3,72% PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk 18,42% 137,14% 213,50% 2,75% PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk 17,88% 107,72% 137,53% 1,39% PT. Bank CIMB Niaga, Tbk 18,74% 107,13% 126,73% 1,70% PT. PAN Indonesia Bank, Tbk 22,65% 141,28% 166,88% 1,85% PT. Bank OCBC NISP, Tbk 17,10% 117,13% 144,36% 2,15% PT. Bank Maybank Indonesia, Tbk 18,80% 108,41% 141,34% 1,31% PT. Bank Permata, Tbk 18,99% 118,23% 241,03% 0,60% PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk 22,29% 125,86% 122,13% 2,63%

Selama periode tahun 2018, Risiko likuiditas bank di Indonesia diantisipasi melalui peningatan rata-rata kecukupan modal dengan nilai CAR rata-rata diatas 8% (minimal yang disyaratkan oleh Otoritas Jasa Keuangan). BCA memiliki rata- rata CAR sebesar 13,27%, nilai ini paling rendah bila dibandingkan dengan 10 Bank lainnya pada periode yang sama namun dengan rata-rata tingkat profitabilitas ROA sebesar 3,72% terbesar diantara bank lainnya. Pencapaian kecukupan modal rata-rata diatas 8% mengindikasikan bahwa fundamental perbankan di Indonesia selama tahun 2018 tetap terjaga dengan baik. Meski begitu, untuk menjaga kecukupan modal, perbankan di Indonesia melakukan ekspansi kredit atau earning asset yang dilakukan secara selektif dan berkualitas, guna meningkatkan kemampuan profitabilitas bank yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan memumpuk modal perbankan.

Likuiditas menjadi perhatian besar dalam penelitian ini, penggunaan indikator Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) merupakan indikator likuiditas baru yang dipublikasikan dalam kerangka Basel III. Liquidity Coverage ratio (LCR) dirumuskan dengan sebagai rasio antara stock of high quality liquid assets (HQLA) dengan net cash outflows (NCO) atau sederhananya adalah menghitung ketersediaan aset paling likuid milik bank yang bisa dipakai menutup potensi arus kas keluar bersih yang bisa terjadi dalam scenario tekanan jangka pendek yang akut. Sedangkan untuk NFSR merupakan rasio antara amount of stable funding (ASF) dan required amount of stable funding (RASF), atau sederhanya adalah membandingkan jumlah sumber pendanaan stabil dan berjangka panjang yang digunakan oleh bank, dengan profil likuiditas dari aset-aset yang didanai serta potensi penarikan dana yang mungkin terjadi dari komitmen dan kewajiban kontinjensi dalam hal ini termasuk dari rekening-rekening off- balancesheet.

LCR maupun NFSR memiliki syarat minimal ketersediaan adalah 100%, berdasarkan perhitungan Tabel 2 diatas, diketahui rata-rata LCR dan NFSR perbankan di Indonesia tahun 2018 diatas 100%, ini artinya bahwa perbankan di Indonesia memiliki kemampuan likuiditas yang baik dengan ketersediaan dana stabil (stable funding) yang lebih besar dari potensi penarikan dana jangka pendek. Kebutuhan likuiditas perbankan di Indonesia bisa dipenuhi secara internal dan fundamental perbankan terjaga dengan baik, sehingga praktek “tambal sulam” sesaat untuk menjaga likuiditas tidak akan terjadi lagi.

Return on Asset (ROA) digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur efisiensi penggunaan modal secara menyeluruh. Titik beratnya pada memaksimalkan laba atas modal yang diinvestasikan. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP Tahun 2004 kategori sehat berada dinatara 1,25%- 1,5%. Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa tingkat ROA rata-rata diatas 1,5% berarti kondisi profitabilitas perbankan di Indonesia sangat sehat, walupun terdapat satu bank yakni

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

• 351PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

(seratus persen). NSFR adalah perbandingan antara pendanaan stabil yang tersedia (available stable funding/ASF) dengan pendanaan stabil yang diperlukan (required stable funding/RSF). (POJK No.50/POJK.03/2017)

Liquidity Coverage Ratio, yang selanjutnya disingkat LCR, adalah perbandingan antara High Quality Liquid Asset dengan total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. Aset Likuid Berkualitas Tinggi atau High Quality Liquid Asset, yang selanjutnya disingkat HQLA, adalah kas dan/atau aset keuangan yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa pengurangan nilai untuk memenuhi kebutuhan likuiditas Bank selama periode 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. Total Arus Kas Keluar Bersih, yang selanjutnya disebut Net Cash Outflow, adalah total estimasi arus kas keluar (cash outflow) dikurangi dengan total estimasi arus kas masuk (cash inflow) yang diperkirakan akan terjadi selama 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. Pemenuhan LCR ditetapkan paling rendah 100% (seratus persen) secara berkelanjutan (POJK No.42/POJK.03/2015).

ROA (Return On Assets) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perbankan dalam menghasilkan profit atau laba (bisa disebut profitabilitas) dengan cara membandingkan laba bersih dengan sumber daya atau total aset yang dimiliki. Fungsinya adalah untuk melihat seberapa efektif perbankan dalam menggunakan asetnya dalam menghasilkan pendapatan. Semakin besar nilai ROA artinya semakin baik kemampuan perbankan dalam menghasilkan laba. Menurut ketentuan Bank Indonesia standar yang paling baik untuk ROA dalam ukuran bank-bank Indonesia minimal 1,5%. (SE BI No. 6/23/DPNP Tahun 2004)

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis awal dalam artikel ini didasarkan pada data dari sampel 11 bank di Indonesia yang

mewakili sebesar 61% dari total aset sektor perbankan pada tahun 2018. Skala laporan triwulan pada tahun 2018 digunakan dalam penelitian yang diperoleh dari posisi neraca yang dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia dan terpublikasi pada website bank yang bersangkutan. Secara eksplisit peraturan Basel III meminta penilaian LCR dan NSFR berdasarkan pada data konsolidasi, namun untuk mengantisipasi ketidakstabilan sumber keuangan yang disebabkan oleh besarnya dampak dari unit usaha perbankan bukan dari core unit bank itu sendiri, maka dalam penelitian ini mengandalkan data LCR dan NSFR untuk individu bank itu sendiri sehingga bisa dihitung core bisnis perbankan yang bersangkutan. Berikut ini akan ditampilkan perkembangan nilai rata-rata CAR, LCR, NSFR dan ROA perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018.

Tabel 2 Perhitungan Rasio Likuditas dan Profitabilitas No Nama Bank CAR NFSR LCR ROA 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk 13,31% 129,71% 215,30% 3,50% PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk 19,88% 116,90% 182,23% 2,85% PT. Bank Central Asia, Tbk 13,27% 161,47% 310,94% 3,72% PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk 18,42% 137,14% 213,50% 2,75% PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk 17,88% 107,72% 137,53% 1,39% PT. Bank CIMB Niaga, Tbk 18,74% 107,13% 126,73% 1,70% PT. PAN Indonesia Bank, Tbk 22,65% 141,28% 166,88% 1,85% PT. Bank OCBC NISP, Tbk 17,10% 117,13% 144,36% 2,15% PT. Bank Maybank Indonesia, Tbk 18,80% 108,41% 141,34% 1,31% PT. Bank Permata, Tbk 18,99% 118,23% 241,03% 0,60% PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk 22,29% 125,86% 122,13% 2,63%

Selama periode tahun 2018, Risiko likuiditas bank di Indonesia diantisipasi melalui peningatan rata-rata kecukupan modal dengan nilai CAR rata-rata diatas 8% (minimal yang disyaratkan oleh Otoritas Jasa Keuangan). BCA memiliki rata- rata CAR sebesar 13,27%, nilai ini paling rendah bila dibandingkan dengan 10 Bank lainnya pada periode yang sama namun dengan rata-rata tingkat profitabilitas ROA sebesar 3,72% terbesar diantara bank lainnya. Pencapaian kecukupan modal rata-rata diatas 8% mengindikasikan bahwa fundamental perbankan di Indonesia selama tahun 2018 tetap terjaga dengan baik. Meski begitu, untuk menjaga kecukupan modal, perbankan di Indonesia melakukan ekspansi kredit atau earning asset yang dilakukan secara selektif dan berkualitas, guna meningkatkan kemampuan profitabilitas bank yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan memumpuk modal perbankan.

Likuiditas menjadi perhatian besar dalam penelitian ini, penggunaan indikator Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) merupakan indikator likuiditas baru yang dipublikasikan dalam kerangka Basel III. Liquidity Coverage ratio (LCR) dirumuskan dengan sebagai rasio antara stock of high quality liquid assets (HQLA) dengan net cash outflows (NCO) atau sederhananya adalah menghitung ketersediaan aset paling likuid milik bank yang bisa dipakai menutup potensi arus kas keluar bersih yang bisa terjadi dalam scenario tekanan jangka pendek yang akut. Sedangkan untuk NFSR merupakan rasio antara amount of stable funding (ASF) dan required amount of stable funding (RASF), atau sederhanya adalah membandingkan jumlah sumber pendanaan stabil dan berjangka panjang yang digunakan oleh bank, dengan profil likuiditas dari aset-aset yang didanai serta potensi penarikan dana yang mungkin terjadi dari komitmen dan kewajiban kontinjensi dalam hal ini termasuk dari rekening-rekening off- balancesheet.

LCR maupun NFSR memiliki syarat minimal ketersediaan adalah 100%, berdasarkan perhitungan Tabel 2 diatas, diketahui rata-rata LCR dan NFSR perbankan di Indonesia tahun 2018 diatas 100%, ini artinya bahwa perbankan di Indonesia memiliki kemampuan likuiditas yang baik dengan ketersediaan dana stabil (stable funding) yang lebih besar dari potensi penarikan dana jangka pendek. Kebutuhan likuiditas perbankan di Indonesia bisa dipenuhi secara internal dan fundamental perbankan terjaga dengan baik, sehingga praktek “tambal sulam” sesaat untuk menjaga likuiditas tidak akan terjadi lagi.

Return on Asset (ROA) digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur efisiensi penggunaan modal secara menyeluruh. Titik beratnya pada memaksimalkan laba atas modal yang diinvestasikan. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP Tahun 2004 kategori sehat berada dinatara 1,25%- 1,5%. Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa tingkat ROA rata-rata diatas 1,5% berarti kondisi profitabilitas perbankan di Indonesia sangat sehat, walupun terdapat satu bank yakni

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

352 • PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

Bank Permata rata-rata nilai ROA 0,60% yang masih tergolong cukup sehat. Meningkatnya fokus pemerintah khususnya OJK RI dalam mengawal pelaksanaan kesepakatan Basel III dengan menitikberatkan pada likuiditas perbankan namun dengan tetap mampu mencapai kinerja profitabilitas yang sehat melaui dukungan kondisi makroekonomi dan stimulasi kebijakan pemerintah untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi.

Estimasi dampak dari penerapan Basel III dengan indikator rasio likuiditas yang terdiri dari CAR (X1), NSFR (X2) dan LCR (X3) terhadap ROA (Y) perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018 dapat dijelaskan berdasarkan persamaan sebagai berikut:

𝑌𝑌 = 0,011 – 0,173 X1 + 0,046 X2 – 0,008 X3

S(β) = 0,043 0,009 0,003 t = -4,051 5,384 -2,806 Sig = 0,000 0,000 0,008 R2 = 0,566 df = 39 F = 16,970**

Hasil perhitungan F menunjukan angka sebesar 16,970, dengan signifikan 0,000. Ini berarti bahwa secara serempak rasio likuiditas pada Basel III yakni CAR (X1), NSFR (X2) dan LCR (X3) secara serempak berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas dengan indikator ROA (Y) perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018.

Koefisien determinasi atau R2 = 0,566 mempunyai arti bahwa 56,6 persen profitabilitas perbankan di Indonesia pada tahun 2018 dipengaruhi oleh tingkat kecukupan modal, tingkat aset likuiditas tinggi dan tingkat sumber pendanaan stabil, sedangkan sisanya 43,4 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak dimasukan dalam model ini.

Koefisien rasio CAR dalam regresi bernilai negatif dan signifikan. Koefisien sebesar 0,173, artinya peningkatan CAR satu point akan menurunkan ROA sebesar 0,173 Hubungan ini kemungkinan menandakan bahwa bank yang memiliki rasio kecukupan modal yang tinggi akan berpeluang lebih berhati-hati dalam berekspansi dalam kredit atau earning asset. Tingkat modal yang lebih tinggi akan mengurangi risiko pengembalian aset dan memberikan sinyal bahwa bank menerapkan strategi investasi yang berhati-hati dengan demikian dapat mengurangi risiko ekuitas. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Giordana dan Schumacher (2017) serta penelitian dari Goddard, et al (2004) yang menemukan tingkat CAR berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat ROA. Namun beberapa penelitian bertolak belakang dengan hasil penelitian ini, penelitian dari Berger (1995), Athanasoglou, et al. (2008), Berger dan Bouwman (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara CAR dengan ROA, hal inin didasari bahwa ekspansi kredit yang didorong melalui penarikan tambahan simpanan (dana pihak ketiga) akan menambah laba bank jika kurva penawaran simpanan yang dihadapi bank meningkat, namun sebaliknya ekspansi kredit melalui penarikan simpanan namun di saat yang bersamaan penawaran simpanan yang cenderung melambat akan mengakibatkan keterbatasan ekspansi kredit dan itu akan menyebabkan penurunan dari tingkat laba yang diperoleh.

Rasio likuiditas dari Basel III yakni NSFR dan LCR memiliki pengaruh yang signifikan namun berbeda nilai koefisien. NSFR memiliki nilai koefisien positif dan signifikan sebesar 0,046, relatif kecil namun signifikan, artinya kenaikan satu basis point NSFR akan menyebabkan kenaikan 0,046 profitabilitas perbankan dengan indikator ROA. Sedangkan LCR memiliki nilai koefisien negatif dan signfikan sebesar 0,003, relatif kecil dengan kenaikan satu basis point LCR akan menyebabkan penurunan profitbilitas sebesar 0,003 tingkat ROA. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan

penelitian dari Giordana dan Schumacher (2017) yang menemukan LCR berpengaruh positif dan tidak signfikan terhadap ROA. Kedua rasio likuiditas ini memiliki penekanan yang berbeda, NSFR yang menekankan kepada sumber ketersediaan dana yang stabil sedangkan LCR yang menekankan ketersediaan dana untuk pemenuhan cash outflow. Hasil penelitian ini menunjukan sekaligus menegaskan bahwa hubungan profitabilitas dan risiko likuiditas lebih memfokuskan pada struktur pendanaan bank daripada karakteristik portofolio aset. Perbankan akan lebih memfokuskan pada sumber dana yang stabil dengan basis pendanaan yang lebih besar, yang akan memungkinkan bank untuk lebih menyesuaikan strategi investasi mereka. Sehingga dengan hasil penelitian ini akan mendorong bank untuk melakukan perubahan terhadap strategi kredit dan pendanaan.

Hasil penelitian ini menegaskan bahwa ekspansi pada kredit jangka panjang menjadi kurang menguntungkan karena berpotensi membutuhkan dana stabil (required stable funding). Bagi beberapa bank di Indonesia yang masih mengandalkan dana pihak ketiga berupa tabungan dan deposito dari korporasi sebagai sumber dana, akan berpotensi cukup riskan karena sumber dana semacam ini akan mudah keluar pada saat terjadi krisis, sehingga memerlukan tambahan asset likuid yang memunculkan tambahan beban negative spread bagi pihak bank. Perbankan di Indonesia sudah harus mengubah arah strategi pendanaan lebih memfokuskan pada penghimpunan dana retail dan simpanan berbiaya murah (current account saving account/CASA). Dengan lebih memprioritaskan pada CASA dapat menekan biaya dana sehingga dapat meningkat rasio net interest margin. Perkembangan teknologi saat ini akan membantu perbankan dalam mengembangkan produk CASA bagi nasabah dengan kemudahan pelayanan.

Arah strategi dalam ekspansi kredit juga harus diubah untuk bisa memenuhi kriteria NFSR. Beberapa bank yang core bisnis lebih memfokuskan pada pembiayaan jangka panjang dari 15-20 tahun misalkan pembiayaan pembelian rumah (KPR) serta pembiayaan kepada Pegawa Negeri harus menyediakan likuiditas jangka panjang agar NFSR bisa terjaga. Perubahan pola bisnis kearah kredit jangka pendek merupakan strategi realistis yang dapat diambil selain melakukan penambahan aset likuid yang akan berefek negatif pada beban dana. Perlu diingat bergerak dalam bidang pembiayaan Pegawai Negeri dalam jangka waktu yang panjang memang menguntungkan dan berisiko rendah tetapi perlu dilakukan kajian dan perubahan strategi untuk bisa keluar dari “zona nyaman” tersebut dan mulai menata ulang strategi bisnis, sebab penerapan LCR dan NFSR saat ini masih pada bank yang masuk kategori BUKU 4 dan BUKU 3, dan tidak menutup kemungkinan akan diterapkan pada seluruh bank baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat.

SIMPULAN

Studi ini melakukan analisis dampak dari penerapan permodalan Basel III terhadap kinerja perbankan di Indonesia didasarkan pada faktor capital, likuiditas serta profitabilitas. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui dampak yang dimunculkan dari Basel III agar kemudian dirumuskan strategi mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang dimunculkan serta di satu sisi memanfaatkan potensi dampak positif dari kebijakan ini. Penelitian ini melibatkan sampel 11 bank terbesar di Indonesia pada tahun 2018. Hasil analisis ordinary least regresi diperoleh hasil bahwa tingkat CAR, NSFR dan LCR berpengaruh signifikan terhadap tingkat ROA perbankan di Indonesia. Keterbatasan penelitian ini pada data panel hanya dalam jangka waktu satu tahun yakni 2018 per triwulan, kedepannya pengujian atas variabel ini dapat dilakukan pada jangka waktu yang relatif panjang dengan jumlah sampel yang lebih luas lagi. Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya struktur pendanaan perbankan dalam rangka memberikan risiko likuiditas yang rendah terhadap cash outflow yang berpotensi terjadi di industri perbankan di Indonesia.

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

• 353PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

Bank Permata rata-rata nilai ROA 0,60% yang masih tergolong cukup sehat. Meningkatnya fokus pemerintah khususnya OJK RI dalam mengawal pelaksanaan kesepakatan Basel III dengan menitikberatkan pada likuiditas perbankan namun dengan tetap mampu mencapai kinerja profitabilitas yang sehat melaui dukungan kondisi makroekonomi dan stimulasi kebijakan pemerintah untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi.

Estimasi dampak dari penerapan Basel III dengan indikator rasio likuiditas yang terdiri dari CAR (X1), NSFR (X2) dan LCR (X3) terhadap ROA (Y) perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018 dapat dijelaskan berdasarkan persamaan sebagai berikut:

𝑌𝑌 = 0,011 – 0,173 X1 + 0,046 X2 – 0,008 X3

S(β) = 0,043 0,009 0,003 t = -4,051 5,384 -2,806 Sig = 0,000 0,000 0,008 R2 = 0,566 df = 39 F = 16,970**

Hasil perhitungan F menunjukan angka sebesar 16,970, dengan signifikan 0,000. Ini berarti bahwa secara serempak rasio likuiditas pada Basel III yakni CAR (X1), NSFR (X2) dan LCR (X3) secara serempak berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas dengan indikator ROA (Y) perbankan di Indonesia selama periode tahun 2018.

Koefisien determinasi atau R2 = 0,566 mempunyai arti bahwa 56,6 persen profitabilitas perbankan di Indonesia pada tahun 2018 dipengaruhi oleh tingkat kecukupan modal, tingkat aset likuiditas tinggi dan tingkat sumber pendanaan stabil, sedangkan sisanya 43,4 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak dimasukan dalam model ini.

Koefisien rasio CAR dalam regresi bernilai negatif dan signifikan. Koefisien sebesar 0,173, artinya peningkatan CAR satu point akan menurunkan ROA sebesar 0,173 Hubungan ini kemungkinan menandakan bahwa bank yang memiliki rasio kecukupan modal yang tinggi akan berpeluang lebih berhati-hati dalam berekspansi dalam kredit atau earning asset. Tingkat modal yang lebih tinggi akan mengurangi risiko pengembalian aset dan memberikan sinyal bahwa bank menerapkan strategi investasi yang berhati-hati dengan demikian dapat mengurangi risiko ekuitas. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Giordana dan Schumacher (2017) serta penelitian dari Goddard, et al (2004) yang menemukan tingkat CAR berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat ROA. Namun beberapa penelitian bertolak belakang dengan hasil penelitian ini, penelitian dari Berger (1995), Athanasoglou, et al. (2008), Berger dan Bouwman (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara CAR dengan ROA, hal inin didasari bahwa ekspansi kredit yang didorong melalui penarikan tambahan simpanan (dana pihak ketiga) akan menambah laba bank jika kurva penawaran simpanan yang dihadapi bank meningkat, namun sebaliknya ekspansi kredit melalui penarikan simpanan namun di saat yang bersamaan penawaran simpanan yang cenderung melambat akan mengakibatkan keterbatasan ekspansi kredit dan itu akan menyebabkan penurunan dari tingkat laba yang diperoleh.

Rasio likuiditas dari Basel III yakni NSFR dan LCR memiliki pengaruh yang signifikan namun berbeda nilai koefisien. NSFR memiliki nilai koefisien positif dan signifikan sebesar 0,046, relatif kecil namun signifikan, artinya kenaikan satu basis point NSFR akan menyebabkan kenaikan 0,046 profitabilitas perbankan dengan indikator ROA. Sedangkan LCR memiliki nilai koefisien negatif dan signfikan sebesar 0,003, relatif kecil dengan kenaikan satu basis point LCR akan menyebabkan penurunan profitbilitas sebesar 0,003 tingkat ROA. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan

penelitian dari Giordana dan Schumacher (2017) yang menemukan LCR berpengaruh positif dan tidak signfikan terhadap ROA. Kedua rasio likuiditas ini memiliki penekanan yang berbeda, NSFR yang menekankan kepada sumber ketersediaan dana yang stabil sedangkan LCR yang menekankan ketersediaan dana untuk pemenuhan cash outflow. Hasil penelitian ini menunjukan sekaligus menegaskan bahwa hubungan profitabilitas dan risiko likuiditas lebih memfokuskan pada struktur pendanaan bank daripada karakteristik portofolio aset. Perbankan akan lebih memfokuskan pada sumber dana yang stabil dengan basis pendanaan yang lebih besar, yang akan memungkinkan bank untuk lebih menyesuaikan strategi investasi mereka. Sehingga dengan hasil penelitian ini akan mendorong bank untuk melakukan perubahan terhadap strategi kredit dan pendanaan.

Hasil penelitian ini menegaskan bahwa ekspansi pada kredit jangka panjang menjadi kurang menguntungkan karena berpotensi membutuhkan dana stabil (required stable funding). Bagi beberapa bank di Indonesia yang masih mengandalkan dana pihak ketiga berupa tabungan dan deposito dari korporasi sebagai sumber dana, akan berpotensi cukup riskan karena sumber dana semacam ini akan mudah keluar pada saat terjadi krisis, sehingga memerlukan tambahan asset likuid yang memunculkan tambahan beban negative spread bagi pihak bank. Perbankan di Indonesia sudah harus mengubah arah strategi pendanaan lebih memfokuskan pada penghimpunan dana retail dan simpanan berbiaya murah (current account saving account/CASA). Dengan lebih memprioritaskan pada CASA dapat menekan biaya dana sehingga dapat meningkat rasio net interest margin. Perkembangan teknologi saat ini akan membantu perbankan dalam mengembangkan produk CASA bagi nasabah dengan kemudahan pelayanan.

Arah strategi dalam ekspansi kredit juga harus diubah untuk bisa memenuhi kriteria NFSR. Beberapa bank yang core bisnis lebih memfokuskan pada pembiayaan jangka panjang dari 15-20 tahun misalkan pembiayaan pembelian rumah (KPR) serta pembiayaan kepada Pegawa Negeri harus menyediakan likuiditas jangka panjang agar NFSR bisa terjaga. Perubahan pola bisnis kearah kredit jangka pendek merupakan strategi realistis yang dapat diambil selain melakukan penambahan aset likuid yang akan berefek negatif pada beban dana. Perlu diingat bergerak dalam bidang pembiayaan Pegawai Negeri dalam jangka waktu yang panjang memang menguntungkan dan berisiko rendah tetapi perlu dilakukan kajian dan perubahan strategi untuk bisa keluar dari “zona nyaman” tersebut dan mulai menata ulang strategi bisnis, sebab penerapan LCR dan NFSR saat ini masih pada bank yang masuk kategori BUKU 4 dan BUKU 3, dan tidak menutup kemungkinan akan diterapkan pada seluruh bank baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat.

SIMPULAN

Studi ini melakukan analisis dampak dari penerapan permodalan Basel III terhadap kinerja perbankan di Indonesia didasarkan pada faktor capital, likuiditas serta profitabilitas. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui dampak yang dimunculkan dari Basel III agar kemudian dirumuskan strategi mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang dimunculkan serta di satu sisi memanfaatkan potensi dampak positif dari kebijakan ini. Penelitian ini melibatkan sampel 11 bank terbesar di Indonesia pada tahun 2018. Hasil analisis ordinary least regresi diperoleh hasil bahwa tingkat CAR, NSFR dan LCR berpengaruh signifikan terhadap tingkat ROA perbankan di Indonesia. Keterbatasan penelitian ini pada data panel hanya dalam jangka waktu satu tahun yakni 2018 per triwulan, kedepannya pengujian atas variabel ini dapat dilakukan pada jangka waktu yang relatif panjang dengan jumlah sampel yang lebih luas lagi. Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya struktur pendanaan perbankan dalam rangka memberikan risiko likuiditas yang rendah terhadap cash outflow yang berpotensi terjadi di industri perbankan di Indonesia.

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL MANAJEMEN BISNIS 2019 DAN CALL FOR PAPER

354 • PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

REFERENSI

Adrian, Tobias, and Shin, Hyun Song. (2010). Liquidity and leverage. Journal of Financial Intermediation. 19: 418–37.

Athanasoglou, Panayiotis P., Sophocles N. Brissimis, and Matthaios D. Delis. (2008). Bank-specific, industryspecific and macroeconomic determinants of bank profitability. Journal of International Financial Markets, Institutions and Money 18: 121–36.

BCBS. (2014). Basel III Leverage Ratio Framework and Disclosure Requirements. Technical Report, Bank for International Settlements (BIS). Basel: BCBS (Basel Committee on Banking

Supervisors). BCBS. (2013). LCR: The Liquidity Coverage Ratio and Liquidity Risk Monitoring Tools. Technical Report,

Bank for International Settlements (BIS). Basel: BCBS (Basel Committee on Banking Supervisors).

BCBS. (2010a). Basel III: International Framework for Liquidity Risk Measurement, Standards and Monitoring. Rules Text, Bank for International Settlements. Basel: BCBS (Basel Committee on Banking Supervisors).

BCBS. (2010b). Basel III: A Global Regulatory Framework for More Resilient Banks And Banking Systems. Rules Text, Bank for International Settlements. Basel: BCBS (Basel Committee on Banking Supervisors).

Berger, Allen N. (1995). The profit-structure relationship in banking-tests of market-power and efficient-structure hypotheses. Journal of Money, Credit and Banking 27: 404–31.

Berger, Allen N., and Christa H. S. Bouwman. (2010). How Does Capital Affect Bank Performance During Financial Crises? Wharton Financial Institutions Center WP 109: 146–176.

Giordana, Gaston A., & Schumacher, Ingmar. (2017). An Empirical Study on the Impact of Basel III Standards on Banks’ Default Risk: Tha Case of Luxembourg. Journal of Risk and Financial Management 10 (8), 3-21.

Goddard, John, Phil Molyneux, and John O. S. Wilso. (2004). Dynamics of growth and profitability in banking. Journal of Money, Credit and Banking. 36:1069–90.

Peraturan Bank Indonesia No. 17/22/PBI/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer. Bank Indonesia. https://www.bi.go.id/id/peraturan/ssk/Documents/pbi_172215_f.pdf

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 50/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio) bagi Bank Umum. https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/regulasi/peraturanojk/Document s/Pages/POJK tentang-Kewajiban-Pemenuhan-Rasio-Pendanaan-Stabil- Bersih-(Net-Stable-Funding Ratio)-bagi-Bank- Umum/Ringkasan%20Eksekutif%20POJK%20NSFR.pdf

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2-15 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) Bagi Bank Umum. https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/regulasi/peraturan- ojk/Documents/Pages/POJK-Nomor-42-Kewajiban-Pemenuhan-Rasio- Kecukupan-Likuiditas-Bagi-Bank-Umum/SALINAN- POJK%20LCR%20.pdf

Statistik Perbankan Indonesia. (2018). Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia. https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/data-dan-statistik/statistik- perbankan-indonesia/Pages/Statistik-Perbankan-Indonesia---Desember-2018.aspx

Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31-05-2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan lampiran. https://www.bi.go.id/id/peraturan/perbankan/Documents/0151b17420f84d118de8fdf0c0642730se623dpnp.pdf

PENGARUH NATIONAL CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY QUALITY (NCSRQ) TERHADAP NATIONAL COMPETITIVENESS

Eva R. A. Sitanggang

Politeknik Saint Paul Sorong, Papua Barat, Indonesia

Email : [email protected]

ABSTRAK

Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkualitas dibutuhkan untuk meningkatkan national competitiveness. Peneliti terdahulu yang menguji pengaruh CSR terhadap competitiveness di level makro sangat terbatas dan menunjukkan hasil yang beragam. National Corporate Social Responsibility Quality (NCSRQ) merupakan penilaian kualitas CSR di level makro yang ditetapkan berdasarkan beberapa indikator. Penelitian ini menggunakan perusahaan di sektor mining and metal. Sampel yang digunakan untuk sector mining and metal diambil dari Revenue Watch Institute. Peneliti menyadari pengukuran kualitas untuk pelaksanaan CSR untuk masing-masing sector usaha sangat beragam. Penelitian ini menawarkan pengukuran index NCSRQ di sector mining and metal, dimana index NCSRQ dibentuk dari 9 indikator yang dinilai sangat penting di sector tersebut. Penelitian ini menggunakan analisis konten. Hasil penelitian mengindikasikan National Corporate Social Responsibility Quality berpengaruh negatif dan signifikan terhadap National competitiveness. Kata Kunci: national corporate social responsibility (NCSRQ); NCSRQ index; national competitiveness (NC). LATAR BELAKANG

Suatu Negara dituntut untuk dapat berkompetisi di pasar internasional dengan mengandalkan baik SDM maupun SDA yang terkandung di masing-masing Negara. Competitiveness merupakan kemampuan untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan yang pada akhirnya berkontribusi bagi peningkatan kualitas kehidupan warga Negara. Bisnis yang progressive memeroleh keuntungan kemakmuran dengan cara membantu masyarakat untuk menjadi makmur (Revathy, 2012).

Macro accounting menjelaskan nilai total (aggregate) dari indicator ekonomi suatu Negara seperti penilaian dari GDP dan Hutang LN melalui pembandingan di berbagai sector dan perubahannya dari waktu ke waktu. National competitiveness merupakan kemampuan produktivitas suatu Negara untuk berkompetisi baik dibidang perdagangan, jasa, maupun industri yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran perekonomian suatu Negara.

Tuntutan akan perkembangan tersebut mendorong peningkatan emisi industry yang juga berdampak terhadap efek rumah kaca, polusi air serta degradasi lingkungan (Van Staden. C., & Chen, X., 2010). Dalam banyak kasus ditunjukkan kerusakan lingkungan tidak hanya memengaruhi kesinambungan lingkungan dan kehidupan masyarakat tetapi juga akan memengaruhi kesinambungan usaha.

Keseluruhan dampak lingkungan tersebut menimbulkan reaksi dari pemerhati lingkungan, ekonom, para peneliti serta masyarakat terutama yang terkena dampak langsung dari emisi industry tersebut. Etika bisnis dari sutau institusi dapat dilihat dari praktek corporate social responsibility nya (Sitanggang, 2014). Dilema atas kebutuhan suatu Negara dalam peningkatan perekonomian serta kontribusinya terhadap degradasi lingkungan menjadi tantangan bagi masing-masing Negara. Teknologi yang ramah lingkungan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan national competitiveness jangka panjang, Para pelaku bisnis diharapkan dapat menyeimbangkan antara peningkatan produktivitas serta berlaku etis dalam pelaksanaan usahanya.

Masalah keterkaitan lingkungan dan competitiveness yaitu issu penyeimbangan keinginan masyarakat untuk memproteksi lingkungan dengan beban ekonomi pada industry dan dinyatakan bahwa perubahan teknologi telah mengatasi prediksi dampak biaya lingkungan sehingga pola pikir