Post on 30-Jan-2023
BAB II
SELEBGRAM SEBAGAI WAJIB PAJAK
A. Jenis-Jenis Pungutan Pajak
Segala kepentingan masyarakat tidak dapat dipenuhi tanpa pajak. Pajak
dan masyarakat diibaratkan sebagai dua mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Keputusan negara memungut pajak melalui undang-undang
merupakan bagian dari cara mengontrol perilaku individual guna kepentingan
bersama (kolektif).1 Salah satu elemen yang sangat signifikan sebagai bagian
dari upaya memungut pajak ialah jenis atau klasifikasi pajak yang berlaku. Di
Indonesia ada beberapa jenis pajak yang berlaku saat ini antara lain:
1. Berdasarkan cara pemungutannya:
Pembagian menurut administrasi yuridis terdiri atas pajak langsung
dan pajak tidak langsung, di mana kedua jenis tersebut dibagi lagi
kedalam dua segi lain, yaitu dari segi yuridis dan segi ekonomis.
a) Dari segi yuridis jenis pajak dapat dikelompokkan dalam:
1). Pajak Langsung, yaitu pajak yang dipungut secara berkala
oleh kohir (daftar piutang pajak). Pajak ini dikenakan
terhadap wajib pajak yang sudah ditentukan lebih dahulu.
Contoh: pajak tidak langsung adalah Pajak Penghasilan serta
Pajak Bumi dan Bangunan.
1 Shidarta dkk, Aspek Hukum Ekonomi dan Bisnis, Prenadamedia Group, Jakarta, 2018,
hal. 224.
21
2). Pajak Tidak Langsung, dipungut karena ada peristiwa atau
perbuatan, jadi bukan secara berkala seperti halnya pajak
langsung. Di samping itu pemikul beban pajak juga belum
diketahui terlebih dahulu tidak seperti pada pajak langsung.
Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bea Materai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.2
b). Dari segi ekonomis: dikatakan sebagai pajak langsung apabila
beban pajak tidak dapat dilimpahkan pada pihak lain, contohnya
Pajak Penghasilan. Sedangkan pajak tidak langsung merupakan
jenis beban pajak di mana pihak wajib pajak dapat mengalihkan
beban pajaknya kepada orang lain. Contohnya: Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Jenis Pajak Berdasarkan Sifat
a).Pajak Subjektif : Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan
keadaan pribadi Wajib Pajak/keadaan subjeknya. Contohnya: Pajak
Penghasilan.
b).Pajak Objektif : Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan
objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa,
tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak)
maupun tempat tinggal. Contohnya yaitu Pajak Pertambahan Nilai,
2 Soemarso S.R, op.cit., hal. 16.
22
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Bumi dan
Bangunan.3
3. Pembagian berdasarkan lembaga pemungutannya (kewenangan
memungut) yang terdiri dari :
a). Pajak Pusat atau Pajak Negara: Adalah pajak yang wewenang
pemungutnya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaanya
dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal
Pajak. Pajak Pusat yang berlaku saat ini adalah :
1) Pajak Penghasilan, yang diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983;
2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2009 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983;
3) Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan dan
Pertambangan, yang diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal
Pajak Nomor PER-02/PJ/2015 Tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi Dan
Bangunan Untuk Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan,
Sektor Pertambangan Dan Sektor Lainnya, untuk Pajak Bumi
3 Triska Rahayu dkk, “Tinjauan Atas Pelaksanaan Pemungutan, Penyetoran, Dan
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) Pada Pt. Mainest Gaya Kreatif”, JURNAL Ekonomi &
Bisnis Terapan, No. 1, Februari 2019, hal. 2.
23
dan Bangunan secara umum diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 ; dan
4) Bea Materai yang diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2020.
b). Pajak Daerah : Adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada
pada pemerintah daerah yang pelaksanaanya dilaksanakan oleh
Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Daerah diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
dan Retribusi Daerah, terdiri dari lima (5) jenis Pajak Daerah
Provinsi dan sebelas (11) Pajak Daerah Kabupaten atau Kota.
1) Pajak Daerah Provinsi meliputi : (Pajak Kendaraan Bermotor;
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok);
serta
2). Pajak Daerah Kabupaten atau Kota, meliputi (Pajak Hotel;
Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak
Penerangan Jalan; Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet;
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dan Pajak
Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan).4
Pengelompokan jenis pajak merupakan bagian utama supaya setiap
wajib pajak dapat lebih dahulu memahami kualifikasi seperti apa pajak yang
4 Direktorat Jenderal Pajak Lebih Dekat Dengan Pajak, Jakarta 2013, hal. 4-6.
24
harus disematkan yang pada akhirnya berdampak bagi tingkat kesadaran
antara hak maupun kewajiban dari masyarakat ataupun pemerintah (fiskus).
B. Sistem Pemungutan Pajak Di Indonesia
Menurut Purwono “Pemungutan pajak diperlukan penetapan tentang
sistem, cara, asas, dan syarat pemungutan pajak yang disepakati bersama antar
rakyat selaku pemegang pajak melalui perwakilannya diparlemen dan
pemerintah selaku pemungut pajak (fiskus)”5. Guna menjawab asumsi
Purwono, Alex Radian menyatakan “Reformasi perpajakan pada dasarnya
merupakan perbaikan (improvement) menuju keadaan perpajakan yang lebih
baik.” Reformasi menuntut perubahan menuju paradigma baru yang dianggap
ideal, karena adanya perubahan kehidupan disegala bidang termasuk politik,
ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, reformasi perpajakan sebagai bagian dari
kebijakan publik sebetulnya paling kurang meliputi dua aspek: (1) formulasi
kebijakan dalam bentuk peraturan, dan (2) pelaksanaan dari peraturan itu
sendiri.6
Pada awalnya sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem
government/ official assessment, yaitu setiap tahun pemerintah (dalam hal ini
DJP) akan menerbitkan pajak terhadap wajib pajak. Dengan demikian, wajib
pajak baru terutang pajak setelah ditetapkan pajaknya. Keadaan tersebut
menjadi sangat tidak efektif mengingat jumlah wajib pajak yang semakin
bertambah sementara aparat pajak jumlahnya terbatas. Permasalahan ini
5 Henry Purwono, Dasar-dasar Perpajakan & Akuntansi Pajak. Erlangga, Jakarta, 2009,
hal. 15. 6 Liberti Pandiangan, Moderenisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta, 2008, hal. XV.
25
mengakibatkan banyak keluhan wajib pajak yang menunggu besarnya
ketetapan pajak terutang pada tahun pajak terdahulu karena perlu ditetapkan.
Kemudian pada tahun 1983 Pemerintah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat melakukan reformasi undang-undang perpajakan dengan
mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan lima (5) paket
undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih muda dipelajari dan
dipraktikan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam masalah pemungutan
pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan
yang semula official assessment diubah menjadi self assessment.7 Sejak tahun
1984 berdasarkan UU KUP yang telah berlaku maka, sistem perpajakan telah
berganti menjadi self assessment, yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan
penuh untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar pajak terutang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sistem
dan mekanisme self assessment system pada gilirannya akan menjadi ciri dan
corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Bahwa pungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian
kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan
bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan
untuk pembiayaan negara dan pembagunan nasional;
2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai
pencerminan kewajiban dibidang perpajakan berada pada anggota
masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat
7 Imron Rizki A, “Self Assesment Sistem Sebagai Dasar Pungutan Pajak Di Indonesia
(Analisa Hukum Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan)”, Jurnal Al-‘Adl, No.2,
Juli 2018, hal. 80.
26
perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan
pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan ketentuan yang
digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan; dan
3. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan dapat
melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung,
memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terutang (self
assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi
perpajakan diharapakan dapat dilaksanakan dengan rapih, terkendali,
sederhana dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.8
Dasar reformasi pajak yang ditandai dengan berlakunya self assessment
system dinilai sebagai salah satu langkah yang strategis. Langkah ini kemudian
dituangkan dalam amanat UU KUP pasal 12 yang menyatakan bahwa:
1. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
2. Jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan (SPT) yang
disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang
terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar,
Direktur Jendral Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
Walaupun berlakunya prinsip self assessment system sebagai wujud
peran pengendalian dari wajib pajak tetapi tidak menutup kemungkinan DJP
memiliki kewenangan yang secara subtantsial untuk melakukan tindakan
pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak apabila diketahui wajib pajak tidak
8 Chairul Lutfi, op.cit., hal. 4-6.
27
benar dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Objek ketidak-benaran
perpajakan tentunya didapatkan berdasarkan data yang diperoleh DJP. Peran
DJP kemudian terdapat dalam pasal 35A UU KUP yang pada penjelasannya
menyatakan, dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban
perpajakan sebagai konsekuensi penerapan system self assessment, data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi
pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh DJP.
Lebih lanjut pokok kewenagan DJP terhadap pengelolaan data dan informasi
dari wajib pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan
Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan. Starategi data dan informasi
wajib pajak yang menjadi tanggung jawab DJP diharapkan mampu
memberikan perlindungan dan kerahasiaan guna menciptakan iklim
perpajakan yang berintegritas.
Komposisi sistem pemungutan pajak yang berlaku, tidak lepas dari sistem
pendahulunya oleh karenanya di Indonesia sendiri secara umum pernah
berlaku sistem pemungutan pajak berupa :
1. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak;
2. Self Assessment System adalah wajib pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung, melaporkan, dan membayar sendiri berapa pajak terutang
dalam satu tahun pajak; dan
3. With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ke 3 (tiga), (bukan fiskus dan bukan
28
wajib pajak yang bersangkutan). Untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak.
Setelah memahami sistem pemungutan pajak yang berlaku tentu, syarat
pemungutan pajak juga tidak kala penting pasalnya memiliki kaitan yang
sangat erat karena itu, menurut Mardiasmo syarat pemungutan pajak terdiri
dari:
1. Pemungutan pajak harus adil sesuai dengan tujuan yaitu mencapai
keadilan serta pelaksanaan pemungutan harus adil:
2. Pemungutan harus berdasarkan undang undang
3. Tidak menganggu perekonomian (syarat ekonomis);
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial): dan
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana sehingga dapat
memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban
perpajakan.9
C. Subjek Pajak dan Objek Pajak
Pengertian subjek pajak menurut Erly Suandy adalah “Siapa yang
dikenakan pajak.”10
Bisa ditarik konstruksi pemaknaan dari Erly Suandy
bahwa subjek pajak bisa dimaknai secara lebih luas dan tidak memiliki
batasan tentang kategori subjek pajak itu sendiri. Oleh pemahaman demikian
tidak bisa dipungkiri masing-masing subjek pajak bergantung dari jenis pajak
yang dialamatkan. Jika pengertian subjek pajak dan objek pajak belum dapat
9 Angelia Maylinda Wahyu Anitasari, “Analisis Penerapan Self Assessment System Pajak
Hiburan Di Kota Blitar (Studi Pada Dinas Pendapatan Kota Blitar), No 1. 2016, hal. 3-4. 10
Institut Ilmu Sosial dan Manajemen Stiami, Implementasi Kebijakan PP No. 46 Tahun
2013 Dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cileungsi
Tahun 2014 Sampai 2016, Jakarta 2017, hal. 15.
29
diartikan secara umum, maka untuk mendapatkan pengetian dari subjek pajak
dan objek pajak mesti diarahkan sesuai dengan pengelompokan pajak yakni,
sebagai berikut:
1. Subjek Pajak dan Objek Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh subjek pajak,11
baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan sedangkan yang dimaksud dengan subjek pajak penghasilan
adalah segala sesuatu yang dinilai memiliki potensi penghasilan dan
menjadi sasaran dikenakan pajak. Pajak Penghasilan sendiri diatur secara
yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh)
Subjek Pajak Penghasilan berdasarkan hukum Indonesia terdapat
dalam UU PPh yang secara spesifik merujuk pada pasal (2) :
1. Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
1a. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
2. Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri.
3. Subjek pajak dalam negeri adalah:
11
Jumaiyah dan ADV Wahidullah, Pajak Penghasilan (Teori, Kasus dan Praktik), Lautan
Pustaka, Yogyakarta, 2020, hal. 29.
30
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
negara; dan
b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.
4. Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
(a) tempat kedudukan manajemen; (b) cabang perusahaan; (c) kantor
perwakilan; (d). gedung kantor; (e) pabrik; (f) bengkel; (g) gudang;
(h) ruang untuk promosi dan penjualan; (i) pertambangan dan
penggalian sumber alam; (j) wilayah kerja pertambangan minyak
dan gas bumi; (k) perikanan, peternakan, pertanian,
perkebunan,atau kehutanan; (l). proyek konstruksi, instalasi, atau
31
proyek perakitan; (m) pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh
pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam
puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;(n) orang atau
badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
(o) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
(p) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang
sebenarnya.
Selain penyematan subjek pajak penghasilan sebagaimana
diamanatkan pada UU PPh Pasal 2, ada pula subjek pajak yang tidak dapat
dikenakan pajak, ini dapat dilihat pada UU PPh pasal 3.
Uregensi objek pajak penghasilan juga berkaitan erat dengan subjek
pajak pengahasilan, sebab merupakan pokok yang tidak dapat dilepas
pisahkan. Dalam UU KUP pasal 4 ayat (1) secara khusus memuat objek
pajak penghasilan, yakni:
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal;
32
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan,
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,
atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
33
Untuk menentukan pemungutan pajak bagi objek pajak penghasilan,
UU PPh juga memberikan batasan-batasan pada objek pajak, terutama
yang bukan termasuk objek pajak atau lebih tepatnya dikecualikan. Objek
pajak ini tertera dalam ketentuan UU PPh Pasal 4 ayat (3). Sementara itu
untuk Pasal 4 ayat (2) merupakan objek pajak penghasilan yang bersifat
final.
2. Subjek Pajak dan Objek Pajak Pertambahan Nilai Dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah
Pajak Pertambahan Nilai Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (selanjutnya disebut PPN dan PPnBM) merupakan jenis pajak
bersifat objektif dan pajak tidak langsung, karena itu PPN dan PPnBM
adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau
jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang
mendapat status Pengusaha Kena Pajak.12
PPN dan PPnBM sendiri diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009
Tentang Pajak Pertambahan Nilai Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (selanjutnya disebut UUPPN dan PPnBM).
Subjek Pajak PPN dan PPnBM dibedakan menjadi dua yakni
pengusaha kena pajak dan pengusaha non kena pajak, untuk pengusaha
kena pajak secara spesifik diatur dalam pasal 1 angka (15) UU PPN dan
PPnBM yang menyebutkan bahwa “Pengusaha Kena Pajak adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
12
Wikipedia. (2021, Maret 02). Pajak_pertambahan_nilai. Maret 08, 2021.
https://id.wikipedia.org/wiki/.
34
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
undang ini.”
Sedangkan pengusaha Non Kena Pajak sebagai subjek pajak ialah yang
melakukan kegiatan bukanlah berstatus Pengusaha Kena Pajak, dalam hal
ini:
1) Impor Bukan Kena Pajak;
2) Pemanfaatan Bukan Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean;
3) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean; dan
4) Melakukan kegiatan membangun sendiri.
Ketetapan dua subjek pajak yang secara umum disebutkan, terdapat
pula secara khusus subjek pajak bagi pengusaha dengan golongan kecil
yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
197/PMK.03/2013 dengan menetapkan batasan pengusaha untuk dapat
dikategorikan sebagai pengusaha kecil.
Sebagai bagian vital dalam subjek pajak, objek pajak dari PPN
dirumuskan dalam pasal 4 ayat (1) dan pasal 16 (CD). Objek pajak
menurut pasal 4 ayat (1) adalah:
Pasal 4 ayat (1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
35
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena
Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Sedangkan Untuk objek PPN berdasarkan pasal 16C ditujukan pada
kegiatan membangun sendiri kegiatan tersebut kemudian diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri. Sementara dalam
pasal 16 (D) menyebutkan bahwasanya:
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena
Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan
aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”
Kedudukan objek pajak bagi PPnBM tertuang juga dalam rumusan
pasal 5 ayat (1) dan (2) UU PPN dan PPnBM, dengan bunyi:
1. Disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah terhadap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut
di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.”
2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali
pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah.”
36
Sama halnya dengan PPh, pada PPN dan PPnBM juga memiliki
batasan objek pajak yang dikecualikan, sebagaimana terdapat dalam pasal
4A UU PPN dan PPnBM .
3. Subjek Pajak dan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
S- Aji Suryo menyatakan bahwa “Pajak Bumi dan Bangunan adalah,
pajak yang dikenakan atau dibebankan atas bumi dan bangunan.”13
Pajak
Bumi dan Bangunan (selanjutnya disebut PBB) diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 kemudian (selanjutnya
disebut UU PBB). Subjek pajak PBB menurut pada pasal 4 ayat (1) UU
PBB, adalah:
“Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.”
Pengelompokan objek pajak PBB, juga secara umum diakomodir
dalam pasal Pasal 2 ayat (1) UU PBB, bahwa “Yang menjadi obyek pajak
adalah bumi dan/atau bangunan.” Sementara dalam ayat (2) menyebutkan
“Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri Keuangan.” Berdasarkan pasal 2 ayat (2), maka ketentuan
lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 186/PMK.03/2019 Tentang Klasifikasi Objek Pajak Dan Tata Cara
Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan. Tak bisa
dipungkuri tidak semua objek PBB mesti dikenai pajak, melainkan batasan
pengeculain ini diberikan berdasarkan pasal 3 ayat (1)
13
Elfina Okto Posmaida Damanik dan Eva Sriwiyant, “Perpajakan”, Insan Cendikiawan
Mandiri, Sumatera Barat, 2020, hal. 105.
37
4. Subjek Pajak dan Objek Pajak Bea Meterai
Bea Materi adalah Pajak yang dikenakan atas dokumen, merujuk
pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2020 Tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UU Bea Materai).
Subjek Pajak Bea Meterai tercantum dalam pasal 19 ayat (1), bahwa:
“Pihak yang terutang yang tidak atau kurang membayar Bea Meterai
yang terutang, diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.”
Sementara, objek pajak bea meteria, terdapat pasal 3 ayat (1) dan (2)
yang menyebutkan :
1. Bea Meterai dikenakan atas:
a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai
suatu kejadian yang bersifat perdata; dan
b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
2. Dokumen yang bersifat perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat
lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
b. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
c. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
d. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun; pe
e. dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi
kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
f. dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah
lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
g. dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal
lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:
1. menyebutkan penerimaan uang; atau
2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya
telah dilunasi atau diperhitungkan; dan
h. dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sama seperti jenis pajak pada umumnya UU Bea Meterai secara
konkret memberikan pengecualian terhadap objek pajak bea meterai yang
38
tidak perlu dikenakan pemungutan pajak, sebagaimana diamanatkan dalam
pasal 7 UU Bea Meterai.
Pengenaan subjek pajak dan objek pajak terhadap setiap kategori
pajak bertujuan untuk meningkatkan pemahaman guna mendapatkan
kesadaran wajib pajak. Selain itu, terdapat upaya untuk mengoptimalkan
secara struktural kewenagaan dan kewajiban berdarakan jenis pemungutan
pajak yag ada dalam rangka menciptakan kesejahteraan umum.
D. Wajib Pajak Selebgram
Isilah selebgram merupakan akronim dari kata selebriti (disingkat seleb)
dan instagram (disingkat gram), untuk selebriti sendiri menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah orang yang terkenal atau masyur (biasanya tentang
artis), sementara instagram adalah aplikasi berbagi foto dan video yang
memungkinkan pengguna membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial,
termasuk milik Instagram sendiri. Sehingga, dapat dipahami bahwa selebgram
adalah mereka yang terkenal melalui media sosial.14
Tolak ukur seseorang
dikategorikan sebagai selebgram ialah memiliki banyak followers¸ memiliki
banyak like dan/atau comment pada konten yang diunggah, menerima
endorsement, dan tampil dikolom pencarian (explore).
Tentang ketenaran selebgram jika berdasarkan defenisi di atas maka
aktivitas Endorsment merupakan sasaran yang prinsipil terhadap selebgram.
Endorsement berasal dari kata endorse yang jika diterjemahkan secara sempit
adalah mendukung atau memberi saran terhadap sesuatu. Sonwalkar dkk
14
KBBI. selebriti. April 11, 2021. https://kbbi.web.id/selebriti.
39
menyebutkan bahwa “Endorsement adalah sebuah bentuk komunikasi dimana
seorang celebrity bertindak sebagai juru bicara dari sebuah produk atau merek
tertentu”15
untuk itu celebrity merupakan subjek dalam melakukan
endorsement yang dimaksud.
Profesi selebgram yang melakukan aktivitas endormenst memiliki
keistimewaan bagi pengusaha toko yang berbasis online sebab, keberhasilan
terhadap pemasaran produk atau jasanya dipandang sebagai faktor yang
mendasar selain itu, kemunculan aktivitas endorsement melalui selebgram
bukan hanya memberi dampak positif bagi pelaku usaha online melainkan
selebgram juga memperoleh keuntungan. Salah satu keuntungan seorang
selebgram dalam menjalankan jasanya untuk mempromosikan suatu produk
dari toko online adalah mendapatkan imbalan berupa uang.
Pada umumnya uang yang didapatkan oleh selebgram sebagai bagian
dari aktivitas endorsement secara langsung dapat dikatakan sebagai
penghasilan, pernyataan ini seperti yang dikemukan oleh McCaffery dalam
bukunya yang berjudul Income Tax Law: Exploring the Capital-Labor Divide
menyebutkan bahwa :
“Utamanya, suatu penghasilan berasal dari pekerjaan, modal, atau
kombinasi keduanya. Selain itu, penghasilan juga dapat diperoleh dari
kegiatan usaha atau dikenal dengan istilah business income. Namun, tidak
tertutup kemungkinan pula suatu penghasilan diperoleh selain dari pekerjaan,
15
Mia Rahmawati dan Suci Putri Lestari, “Pengaruh Penggunaan Selebgram (Celebrity
Endorser Instagram) Terhadap Minat Beli Konsumen Secara Online Pada Media Instagram”.
Jurnal Ekonomi Perjuangan, No. 2. Februari 2021, hal. 144.
40
modal, ataupun kegiatan usaha. Untuk penghasilan yang terakhir ini sering
disebut dengan istilah penghasilan lain-lain.”16
Memahami maksud penghasilan dari selebgram serta jika dihubungkan
dengan konsep perpajakan di Indonesia maka, jenis pajak yang diberikan bagi
selebgram ialah Pajak Penghasilan yang didasarkan pada objek pajak yakni
penghasilan itu sendiri. Sebagai lembaga pemungut pajak di pusat DJP
Kementerian Keuangan harus jeli terhadap fenomena selebgram, kejelian yang
dimaksud ialah dapat melakukan pemungutan pajak bagi selebgram, akan
tetapi sebelum dibebankan pajak bagi selebgram pemerintah pula mesti
memastikan entitas wajib pajak bagi selebgram walaupun secara keuntungan
merupakan golongan pajak penghasilan. Wajib Pajak sendiri seperti yang telah
diulas pada latar belakang yakni
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.”
Definisi ini merujuk pada pasal 1 angka (2) UU KUP. Dari pengertian
wajib pajak dapat kita ketahui ada dua kelompok utama wajib pajak, yakni (1)
orang pribadi; dan (2) Badan. Selain itu, syarat subjektif dan objektif sebagai
wajib pajak secara tegas tertulis dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP dimana
dalam penjelasan pasal ini memberikan interprestasi bahwa, persyaratan
subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek
pajak dalam UU PPh 1984 dan perubahannya sedangkan, persyaratan objektif
adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh
16 Darussalam. (2020, Februari 17). apa-saja-yang-menjadi-objek-pajak-penghasilan-
18981. Maret 21, 2021. https://news.ddtc.co.id/.
41
penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan
sesuai dengan ketentuan UU PPh 1984 dan perubahannya. Tentu, UU PPh
penafsiran dari kedua syarat ini. Karena itu dalam pasal 2 dan pasal 4 UU PPh
masing-masing memberikan uraian sebagai turunan dari ketemtuan UU KUP
bagi subjek dan objek pajak penghasilan
Berdasarkan syarat subjektif dan objektif maka, status selebgram
berdasarkan syarat subjektif termasuk subjek pajak Orang Pribadi
berlandasakan pasal 2 ayat (1) huruf a UU PPh. Sebagai subjek pajak orng
pribadi bagi selebgram dapat ditentukan karena, selebgram ketika melakukan
aktivitas endorsement sebagai pekerja lepas atau indiviu yang bekerja
sehingga, tidak terikat pada perusahaan tertentu atau pihak lainnya, bersamaan
dengan subjek pajak orang pribadi selebgram pula yang oleh aktivitasnya
bertempat tinggal di Indonesia atau di luar Indonesia.
Pada dasarnya syarat objek pajak penghasilan sudah dideskripsikan pada
pasal 4 UU PPh yang pokok pemajakan atas penghasilan dalam pengertian
yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk
konsumsi atau menambah kekayaan, sehubungan dengan itu seorang
selebgram dalam menjalankan jasanya untuk mempromosikan suatu produk
dari toko online ini akan mendapatkan imbalan berupa uang, memang secara
eksplisit uang tidak dicantumkan pada objek pajak penghasilan tetapi, salah
satu objek dari penghasilan yakni upah berupa uang inilah yang dikatakan
sebagai penghasilan karena terjadi adanya penambahan kemampuan ekonomis
42
yang diperoleh selebgram, baik itu sumbernya dari Indonesia ataupun negara
lain, selain uang yang menjadi objek pajak penghasilan adapula hadiah yang
tak sedikit didapati oleh selebgram dalam melakukan aktivitas endorsment
sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat (1) huruf b yakni “Hadiah dari
undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.” Hadiah ini juga
merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per- 11/PJ/2015
Tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan, yang
dalam pada Pasal 1 angka (3) menyebutkan bahwa:
“Hadiah sehubungan dengan kegiatan adalah hadiah dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan kegiatan yang
dilakukan oleh penerima hadiah.”
Berkaitan dengan syarat subjektif dan objektif yang merupakan unsur
penting dari wajib pajak, serta mendudukan posisi selebgram dalam
perpajakan di Indonesia oleh karena itu, selebgram dirasa telah memenuhi
kedua persyaratan tersebut sehingga, dapat dikategorikan sebagai wajib pajak.
Secara mendasar penghasilan yang diperoleh dari selebgram lewat
aktivitas endorsement sama dengan penghasilan lainnya, akan tetapi yang
membedahkan hanyalah media yang dipergunakan untuk memperoleh
penghasilan. Kendati demikian penghasilan oleh selebgram tersebut bersifat
tidak tetap dan dilakukan lewat media daring, namun tetap dapat dikenakan
pajak penghasilan berdasarkan subjek maupun objek pajak penghasilan.
Sebelumnya pemerintah lewat otoritas DJP pernah memberi ruang sendiri agar
selebgram dipungut pajaknya. Seperti pada tahun 2015 DJP mengeluarkan
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2015 tentang
43
Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Transaksi E-
Commerce yang membahas transaksi elektronik untuk menimbulkan
kewajiban PPh yang meliputi online marketplace, classified ads, daily deals
dan online retail. Akan tetapi ketentuan tersebut dirasa tidak berkenan bagi
selebgram yang wadanya ialah media sosial yang merupakan basis awal
terhadap aktivitas endorsement atau dengan kata lain aturan tersebut tidak
memberi ruang spesifik bagi media sosial sehingga pemungutan pajak tanpa
sadar tidak diatur dalam surat edaran tersebut sebagai rujukannya. Selain itu,
pada prinsipnya surat edaran tidak terlalu mengikat sama seperti ketentuan
peraturan yang lain sehingga, kewajiban terhadap selebgram untuk membayar
pajak masih tetap diabaikan .
Tahun 2018, kembali pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas
Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik peraturan ini mengatur tata
cara dan prosedur perpajakan sehingga diharapkan dapat memberikan
kemudahan administrasi yang dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan para
pelaku e-commerce namun, aturan tersebut kemudian dicabut dengan dalil
dilakukan koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif antar
kementerian/lembaga agar pengaturan tepat sasaran, adil, efisien serta tetap
mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi global.
Terhadap peraturan yang kemudian dinyatakan tidak berlaku bukan
berarti membuat selebgram tidak dikenai pajak penghasilan melainkan,
ketentuan pokok materiil yakni UU PPh justru memberi tempat yang luas
44
terhap pengenaan pajak bagi selebgram untuk dikatakan sebagai wajib pajak
penghasilan. Kedudukan selebgram sebagai wajib pajak berdasarkan syarat
yang ada, selanjutnya yang oleh kewajiban perpajakannya, selebgram dalam
melakukan aktivitas endorsement harusnya memenuhi unsur kewajiban wajib
pajak, setidaknya ada empat kewajiban wajib pajak yang mesti dicermati oleh
wajib pajak selebgram, yakni: (1) Kewajiban Wajib Pajak selebgram
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau
disingkat NPWP; (2) Kewajiban Wajib Pajak selebgram melakukan
pembayaran, pemotongan/pemungutan; (3) Kewajiban Wajib Pajak selebgram
untuk memperoleh pengukuhan Penghasilan Kena Pajak; dan (4) Kewajiban
Wajib Pajak selebgram untuk memberikan informasi data dan dokumen yang
akurat. Berikut ini ulasan kewajiban terhadap wajib pajak selebgram, yakni:
1. Kewajiban Wajib Pajak selebgram mendaftarkan diri untuk mendapatkan
Nomor Pokok Wajib Pajak
Sebagai Wajib pajak orang pribadi selebgram diharuskan memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (selanjutnya disebut NPWP) sebagaimana yang
ditetapkaan dalam pasal 1 angka (6) UU KUP. Tujuan dari NPWP adalah
sebagai tanda indentitas diri atau administrasi dalam melaksanakan hak
dan kewajiban wajib pajak. Akan tetapi, jika selebgram belum
mendaftrakan diri untuk mendapatkan NPWP maka, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER- 01/ PJ/ 2019 Tentang Tata Cara Pemberian
Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam Rangka Ekstensifikasi, memberi arah
baru berupa pengawasan oleh DJP bagi wajib pajak termasuk selebgram
45
yang syarat subjektif dan objektif telah terpenuhi supaya tetap dikoordinir
untuk memiliki NPWP.
Legitimasi NPWP bagi selebgram bukan tanpa alasan, pasalnya
mekanisme self assessment system memberi kontribusi bagi selebgram
untuk memiliki NPWP, apalagi selebgram yang melakukan aktivitas lewat
digitalisasi telah diberikan kemudahan untuk mengurus NPWP berbasis
online lewat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-24/PJ/2009
tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Perubahan Data Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak yang akurasi pengurusannya melalui sistem e-
Registration.
2. Kewajiban Wajib Pajak selebgram melakukan pembayaran,
pemotongan/pemungutan.
Sejak diberlakukannya prinsip self assessment system sebagai
langkah dari reformasi pajak maka, fungsi pajak regulerend merupakan
porsi pemungutan pajak bagi selebgram kepada pemerintah yakni DJP.
Dalam melakukan pembayaran pajak oleh selebgram terdapat dua
mekanisme yang sebetulnya diberlakukan bagi selebgram, mekanisme ini
dapat ditepakan dalam dua norma pasal yakni pembayaran pajak
berdasarkan pasal 21 dan 23 UU PPh.
Pada pasal 21 UU PPh diberlakukan bagi selebgram apabila seorang
selebgram dalam melakukan aktivitas endorsment berupa barang atau jasa,
kemudian selesai melakukan aktivitas tersebut, selebgram yang
46
bersangkutan mendapatkan upah atau imbalan berupa uang yang menjadi
sasaran objek pajak dari pihak pemberi jasa dan langsung memberikannya
kepada selebgram. Penghasilan yang didapatkan secara langsung oleh
selebgram itulah yang akan dikenakan pajak penghasilan, sehingga
selebgram berkewajiban melaporkan penghasilan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan (selanjtnya disebut SPT) diakhir tahun,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
02/ PJ/ 2019 Tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan dana
Pengelolaan Surat Pemberitahuan. Berkenan dengan pasal 21 yang
diberlakukan, maka golongan pajak bagi selebgram ialah pajak tidak final,
yang memiliki pengertian pajak yang tidak secara langsung dikenakan saat
menerima penghasilan tertentu, melainkan diakumulasikan penghasilannya
selama 1 (satu) tahun. Walaupun, kegiatan endorsement bukanlah
pekerjaan yang memberikan penghasilan yang tetap sebab penghasilan
selebgram hanya didapatkan saat pihak yang ingin mempromosikan jasa
atau barangnya mempergunakan selebgram sehingga berdampak bagi
ketidakpastian penghasilan. Meski demikian, penghasilan tersebut menjadi
Objek PPh Pasal 21 yang merupakan penghasilan tidak teratur yang
sifatnya tidak tetap.
Sementara penerapan pasal 23 UU PPh sangat berpengaruh juga bagi
selebgram ketika melakukan aktivitas endorsement dimana, pasal 23
47
menerpakan sistem Withholding Tax.17
Sistem ini mengutamakan
kewajiaban pembayaran pajak oleh pihak ketiga, hubungannya dengan
selebgram adalah dalam melakukan aktivitas endorsement dipastikan
selebgram memilki management yang fungsinya sebagai penegah atau
perantara terhadap aktivitas selebgram, oleh karena itu ketika pemberi jasa
membayar kepada pihak selebgram, maka managemet itulah yang akan
menerima pembayaran. Tanpa disadari beban kewajiban perpajakan
terletak pada pihak ketiga dari selebgram yaitu manageme. Terhadap pasal
penghasilan ini dikenakan norma pajak bersifat final merujuk pada
ketentuan pasal 23. Pajak bersifat final adalah pajak penghasilan yang
langsung dikenakan saat menerima objek atau sumber penghasilan.
3. Kewajiban Wajib Pajak selebgram untuk memperoleh pengukuhan
Penghasilan Kena Pajak
Pengukuhan selebgram sebagai wajib pajak berdasarkan ketentuan
UU PPh serta memposisikan rumusan pengenaan pajak bagi selebgram
merupakan tahapan yang substansial, akan tetapi salah satu kunci lainnya
ialah bahwa tidak semua selebgram yang oleh aktivitas endorsment
langsung dikenakan norma PPh, sebaliknya menurut pajak penghasilan
ada beberapa dasar pengenaan pajak termasuk selebgram dari segi
penghasilan, artinya pengahsilan yang didapti oleh selebgram mesti
melampaui Penghasilan Tidak Kena Pajak atau (selanjutnya disebut
PTKP) yang dicantumkan dalam pasal 7 ayat (1) UU PPh. Seyogyanya,
17
Dian Arianti. (2015). pph-final-dan-pph-tidak-final.html>. Maret, 21, 2021.
<http://ichakanya.blogspot.com/2015/09/.
48
tarif pajak penghasilan yang dikenakan pada selebgram bergantung pada
penghasilan yang diperoleh selama satu (1) tahun pajak. Adapun tarif
pajak penghasilan menurut ketentuan UU PPh terfokuskan dalam pasal 17
ayat (1) bagi orang pribadi dalam negeri untuk Pengahasilan Kena Pajak
atau (selanjutnya disebut PKP), ialah: (1) 5 % bagi PKP Rp50.000.000,00;
(2) 15% bagi PKP di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan
Rp250.000.000,00; (3) 25% bagi PKP di atas Rp 250.000.000,00 sampai
dengan Rp500.000.000,00; dan (4) 30 % bagi PKP diatas
Rp500.000.000,00.
Sebagai turunan dari ketentuan UU PPh tentang PKP, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh
Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yang mana
menurut Pasal 2 Peraturan ini, wajib pajak dalam negeri yang memiliki
peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dalam jangka waktu tertentu. Wajib pajak yang dimaksud ialah orang
pribadi dan badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau
perseroaan terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat puluh
delapan miliar) dalam satu tahun pajak. Peredaraan bruto berdasarkan
pasal 3 ayat (1) tentang tarif penghasilan bersifat final dalam peraturan ini
kemudian diatur lebih lanjut oleh Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor Per- 17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
49
Pengaruh PTKP pada hakikatnya memberikan manfaat bagi
pengenaan PPh, artinya selebgram dalam melaksanakan aktivitas
endorsement melalui wadah instagram kemudian memperoleh pendapatan
atau pengahsilan akan tetapi, ternyata pengahasilan yang diterima oleh
selebgram masih dibawah PTKP yang semestinya maka, secara langsung
tidak dapat dikenakan pajak PPh, sebaliknya jika PTKP telah memenuhi
sebagaimana diatur dalalm peraturan materiil, secara langsung kewajiban
akan dikenakan pemungutan pajak PPh.
4. Kewajiban Wajib Pajak selebgram untuk memberikan informasi data dan
dokumen yang akurat
Arah dan tujuan dari prinsip self assessment system dengan segala
hak dan kewajiban yang dimiliki oleh wajib pajak guna membayar pajak,
sebetulnya sudah sangat tertata. Akan tetapi, guna memberikan kepastian
terhadap perkembangan selebgram dalam membayar pajak sudah
sepatutnya pemerintah melakui regulasi memberikan kewajiban bagi
selebgram untuk memberikan informasi dan data yang kredibel dan akurat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2012 Tentang
Pemberian Dan Penghimpunan Data Dan Informasi Yang Berkaitan
Dengan Perpajakan adalah konstruksi yang sangat strategis guna
memberikan kewajiban bagi wajib pajak selebgram untuk setiap
perkembangan penghasilan dan pendapatan mesti diokupansi dengan data
sehingga pergerakan kewajiban pajak oleh selebgram dapat terus digenjot
sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang ada.
50
Secara keseluruhan, DJP sejatinya membutuhkan data dan informasi
terkait kegiatan yang dilakukan oleh selebgram. Hal ini penting karena
dengan sistem self-assessment, hanya datalah yang dapat memvalidasi
penghitungan dan pelaporan pajak oleh wajib pajak selebgram. Apabila
data transaksi pembayaran dengan jumlah tertentu dapat dihimpun oleh
DJP, maka akan semakin banyak selebgram yang dapat patuh dengan
kewajiban perpajakannya. Namun, dalam pelaksanaannya, diperlukan
banyak komunikasi ke berbagai pihak yang terlibat juga harus melihat
kondisi perkembangan dari kegiatan ekonomi selebgram yang terkini.