EFEKTIVITAS REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of EFEKTIVITAS REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH ...
EFEKTIVITAS REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH
DAN MANFAATNYA TERHADAP KEMASLAHATAN RAKYAT
(Studi Implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018
Tentang Lembaga Keuangan Syariah)
Disertasi Doktor Pengkajian Islam
Konsentrasi Syariah
Oleh :
MASYHAR SA’ADI
NIM: 31161200000124
Promotor:
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, M.A.
Prof. Dr. Muhammad Bin Said
Konsentrasi/Peminatan Hukum Islam (Syariah)
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2021
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga penulisan disertasi dengan judul “EFEKTIVITAS
REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH DAN MANFAATNYA
TERHADAP KEMASLAHATAN RAKYAT (Studi Implementasi Qanun Aceh
Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS))” dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam dihaturkan kepada yang mulia Nabi agung
Muhammad SAW yang telah menuntun manusia dari zaman zalim kepada akhlak
yang mulia untuk dapat hidup dalam peradaban dan berkemajuan.
Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis berhutang budi kepada banyak
pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung. Kepada
mereka, penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya, semoga Allah memberikan balasan yang sebesar-besarnya dan
menghitungnya sebagai amal saleh di Akhirat kelak.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya disampaikan
kepada yang terhormat Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, M.A. dan Prof. Dr.
Muhammad Bin Said, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dalam penulisan disertasi ini. Ucapan Terima Kasih yang sebesar-besarnya
Kami Ucapkan Kepada, Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, L.c., M.A
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Prof. Dr. Phil Asep Saepudin
Jahar, MA., Dr. Hamka Hasan, Lc. MA, selaku Direktur dan wakil Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih yang
sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Didin Saepudin, MA
selaku Ketua Prodi Doktor yang selalu meluangkan waktu untuk verifikasi
perkembangan disertasi. Terima kasih yang setinggi-tingginya juga penulis
sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Koesmawan, M.Sc., MBA, DBA., Prof. Dr.
Muhammad Amin Summa, S.H.,M.M., Dr. Riris Aishah Prasetyowati, S.E.,M.M.,
Dr. JM Muslimin, MAg, Dr. Asmawi, MA, Dr. Kamarusdiana, M.A., MA., Dr.
Mesraini, M.Ag.,serta seluruh dosen Sekolah Pascasarjan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah menyajikan berbagai mata kuliah selama penulis menempuh
studi dan juga telah memberikan masukan dan kritikan selama penulis menempuh
berbagai ujian dalam penyelesaian disertasi ini, mulai dari ujian proposal, WIP I
dan WIP II, ujian Komprehensif tulis dan lisan, Ujian Pendahuluan dan Ujian
Promosi.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian penulisan
disertasi ini seperti petugas perpustakaan Pascasarjana dan Pusat perpustakaan
UIN Jakarta, Sekolah Tinggi Hukum Militer dan seluruh pengurus serta segenap
karyawan staff Sekretariat SPs UIN Jakarta; Mas Arif, Mas Adam, Mas Adeb,
Mba Farah, Mba Ema, Kang Toni dll yang selalu memberikan pelayanan dengan
cepat untuk mahasiswa SPs UIN Jakarta, Serta teman-teman yang banyak
memberikan bantuan moral dan material dalam diskusi bersama yang sering
dilakukan Mayjen TNI Dr.Agus Dhani Mandaladikari, S.H., M.Hum, MBA.,
iii
Dr.Abdul Hakim Wahid, M.A, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Ucapan terimakasih yang sebesar besarnya dan teristimewa penulis
sampaikan kepada orang tua penulis atas segala, do’a yang tiada henti dan
dukungan untuk penulis sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik,
Semoga Allah meridoi dan melimpahkan berkahnya kepada mereka dan menerima
segala amal baiknya.
Dan penghargaan yang penulis sayangi isteri tercinta dr. Cut Srijuita,
SpPD, Finasim, serta Ananda Gharza Fahma Adzkiya, Ihtada Naqibunnas, Kanzal
Makarim, Azzahra Salsabila Hakima serta adinda Eny Khumaiya, S.E. beserta
suami. Dukungan dan bantuan mereka membuat penulisan disertasi ini dapat
terselesaikan dengan lancar. Kepada mereka itulah, disertasi ini dipersembahkan.
Jakarta, September 2021
Penulis,
Masyhar Sa’adi
x
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengelaborasi dan mendeskripsikan efektivitas
regulasi Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah, dalam
rangka mengkaji implementasi Hukum ekonomi Islam pada Bank Syariah dan
untuk mengeksplorasi dan membuktikan manfaat penerapan wajib bank syariah
terhadap kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Metodologi disertasi ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi dengan desain
penelitian studi kasus deskriptif. Sumber data primernya adalah hasil observasi
dan wawancara kepada nasabah aktif bank Syariah dan pegawai perbankan
Syariah di Aceh yang berkaitan dengan pemberlakuan Qanun Aceh No. 11 tahun
2018 tentang lembaga keuangan syariah. Sedangkan sumber data sekunder adalah
buku-buku referensi dan jurnal nasional maupun internasional yang relevan
dengan penelitian ini. Hasil Penelitian ini membuktikan bahwa efektivitas dengan
indikator yang terdiri dari; Hukumnya itu sendiri atau perundang-undangan yang
berlaku, penegak hukumnya, sarana dan fasilitas yang mendukung penerapan
hukum, masyarakat dengan hukum yang diberlakukan, dan budaya hukum
masyarakat. Serta penggunaan tingkat keterukuran efektivitas pada: Ringkas dan
mudah dipahami, mudah dilaksanakan, dan mengakomodir keragaman. Dari
kelima indikator tersebut, empat indikator telah memenuhi kriteria ukuran
efektivitas, kecuali sarana dan fasilitas pendukung penerapan hukum Qanun. Hasil
penelitian pada indikator manfaat pelaksanaan regulasi wajib bank Syariah di
Aceh dapat membawa maslahat bagi rakyat; berupa kesejahteraan, kebahagiaan,
keuntungan, kemudahan dan keringanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian masyarakat Aceh sudah merasakan manfaatnya dari Bank Syariah yang
menerapkan Regulasi Wajib Bank Syariah, sementara sebagian masyarakat
lainnya belum sepenuhnya merasakan manfaat tersebut. Penelitian dalam disertasi
ini tidak sependapat dengan M.B Hooker (2008) yang menyatakan bahwa terdapat
banyak kendala dan hambatan dalam proses legislasi syariat Islam di Aceh, karena
ketentuan hukum yang ingin diterapkan tidak sesuai dengan sistem hukum
nasional, sehingga Pemerintah Pusat harus menambah keluasan otonomi secara
khusus bagi Aceh, yakni dalam bidang hukum Islam untuk melegislasi qanun
syariat. Penelitian ini juga tidak sependapat dengan kesimpulan Harold Crouch
dalam karyanya (2002) yang mengatakan bahwa rentetan sejarah kegagalan partai
Islam dalam upaya menerapkan syariat Islam membuat peluang untuk penerapan
syariat Islam di Indonesia sama sekali tidak ada. Pendapat Crouch hanya
mengatakan kalau penerapan syariat Islam harus dalam arti mendirikan negara
Islam.
Kata Kunci: Qanun, Aceh, Bank Syariah, Efektivitas, Manfaat
xi
امللخص رقم القانون رقم. قانون آتشيه فعالية ووصف توضيح هو الدراسة هذه من 2018لسنة 11الغرض
البنوك يف اإلسالمي االقتصادي القانون تطبيق مراجعة هبدف ، اإلسالمية املالية املؤسسات بشأن مية اإللزامية لرفاهية الناس ومنافعهم. تستخدم اإلسالمية واستكشاف وإثبات فوائد تطبيق الصريفة اإلسال
مصادر احلالة. لدراسة وصفي تصميم حبث مع ظاهرية طريقة مع نوعيا هنجا األطروحة هذه منهجية البياانت األولية هي نتائج املالحظات واملقابالت مع العمالء النشطني للبنوك اإلسالمية وموظفي الصريفة
بشأن املؤسسات املالية 2018لسنة 11قة بتنفيذ قانون آتشيه رقم. قانون رقم اإلسالمية يف آتشيه املتعلاإلسالمية. يف حني أن مصادر البياانت الثانوية هي كتب مرجعية وجمالت وطنية ودولية ذات صلة هبذا التشريعات أو نفسه القانون ؛ من تتكون املؤشرات مع الفعالية أن تثبت الدراسة هذه نتائج البحث.
ملعمول هبا ، وإنفاذ القانون ، واملرافق والتسهيالت اليت تدعم تطبيق القانون ، واجملتمع مع القانون املعمول اموجز يف: للقياس القابلة الفعالية مستوايت استخدام إىل ابإلضافة للمجتمع. القانونية والثقافة ، به
التنوع. من بني املؤش التنفيذ ، واستيعاب الفهم ، وسهل أربعة مؤشرات وسهل رات اخلمسة ، استوفت حول البحث نتائج القانون. قانون لتطبيق الداعمة واملرافق املرافق ابستثناء ، الفاعلية قياس معايري مؤشرات فوائد تطبيق اللوائح اإللزامية للمصارف اإلسالمية يف آتشيه ميكن أن تعود ابلنفع على الناس ؛
نتائج هذه الدراسة إىل أن بعض سكان آتشيه قد يف شكل رفاهية وسعادة وربح وسهولة وراحة. تشري البعض يشعر مل بينما ، اإللزامية الشريعة مصرف للوائح اإلسالمية البنوك تطبيق بفوائد ابلفعل شعروا
( الذي ينص 2008) MB Hookerاآلخر هبذه الفوائد متاما. ال يتفق البحث يف هذه الرسالة مع العديد من ا والعقبات يف عملية تشريع الشريعة اإلسالمية يف آتشيه ، ألن األحكام على وجود لعقبات
أنه جيب على احلكومة املركزية الوطين ، لذلك القانوين النظام تتوافق مع القانونية اليت سيتم تطبيقها ال سالمية لتشريع زايدة اتساع نطاق احلكم الذايت على وجه التحديد. آلتشيه ، وحتديدا يف جمال الشريعة اإل
( الذي يقول إن 2002قوانني الشريعة. ال تتفق هذه الدراسة أيضا مع استنتاج هارولد كراوتش يف عمله )السلسلة التارخيية إلخفاقات األحزاب اإلسالمية يف حماولة لتطبيق الشريعة اإلسالمية جتعل الفرصة لتطبيق
ول رأي كراوتش فقط أن تطبيق الشريعة اإلسالمية جيب الشريعة اإلسالمية يف إندونيسيا منعدمة متاما. يق أن يكون مبعىن إقامة دولة إسالمية.
والفوائد ،الفعالية ، القانون، أجيه، البنوك الشريعة الكلمات الدالة:
xii
Abstract
The purpose of this study is to elaborate and describe the effectiveness of the
Aceh Qanun no. 11 of 2018 concerning Islamic financial institutions, in order to
review the implementation of Islamic economic law in Islamic banks and to
explore and prove the benefits of implementing mandatory Islamic banking for the
welfare and benefit of the people. The methodology of this dissertation uses a
qualitative approach with a phenomenological method with a descriptive case
study research design. The primary data sources are the results of observations
and interviews with active customers of Islamic banks and employees of Islamic
banking in Aceh related to the implementation of Aceh Qanun No. 11 of 2018
concerning Islamic financial institutions. While the secondary data sources are
reference books and national and international journals that are relevant to this
research. The results of this study prove that the effectiveness with indicators
consisting of; The law itself or the applicable legislation, law enforcement,
facilities and facilities that support the application of the law, the community
with the applicable law, and the legal culture of the community. As well as the
use of measurable levels of effectiveness in: Concise and easy to understand, easy
to implement, and accommodate diversity. Of the five indicators, four indicators
have met the criteria for measuring effectiveness, except for supporting facilities
and facilities for the implementation of the Qanun law. The results of the research
on indicators of the benefits of implementing mandatory regulations for Islamic
banks in Aceh can bring benefits to the people; in the form of welfare, happiness,
profit, ease and relief. The results of this study indicate that some Acehnese have
already felt the benefits of Islamic banks implementing the Sharia Bank
Mandatory Regulations, while some other people have not fully felt these
benefits. The research in this dissertation does not agree with MB Hooker (2008)
which states that there are many obstacles and obstacles in the Islamic law
legislation process in Aceh, because the legal provisions to be applied are not in
accordance with the national legal system, so that the Central Government must
increase the breadth of autonomy specifically. for Aceh, namely in the field of
Islamic law to legislate sharia qanuns. This study also disagrees with the
conclusion of Harold Crouch in his work (2002) which says that the historical
series of failures of Islamic parties in an effort to implement Islamic law makes
the opportunity for the application of Islamic law in Indonesia completely non-
existent. Crouch's opinion only says that the application of Islamic law must be in
the sense of establishing an Islamic state.
Key Words: Qanun, Aceh, Islamic Banks, Effectiveness, Benefits
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin.
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t} = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Ketentuan alih vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan
dengan h}araka>t dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin
Keterangan
<a اa dengan garis di
atas
<i يi dengan garis di
atas
<u وu dengan garis di
atas
xiv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................... ii
Pernyataan Bebas Plagiarisme ........................................................................... iv
Lembar Pengecekan Plagiarisme Pernyataan Perbaikan Setelah Ujian
Promosi Doktor.................................................................................................... v
Persetujuan Pembimbing .................................................................................. vi
Persetujuan Penguji ............................................................................................ viii
Lembar Pengesahan............................................................................................ ix
Abstrak…………………………………………………………………………..x
Translitrasi………………………………………………………………………xiii
Daftar Isi………………………………………………………………………...xiv
Daftar Tabel……………………………………………………………………..xvi
Daftar Grafik……………………………………………………………………xvii
Daftar Bagan……………………………………………………………………xviii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Permasalahan Penelitian……………………………………………… 9
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 10
D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian ................................................... 11
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................................... 12
F. Metode Penelitian ............................................................................... 18
G. Sistematika penulisan ......................................................................... 20
BAB II PEMBERLAKUAN SYARIAT ISLAM DAN KEMASLAHATAN
UMAT .................................................................................................. 23
A. Syariat Islam di Aceh ........................................................................... 23
B. Efektivitas Penerapan Hukum ............................................................ 29
C. Hukum Bunga Bank Menurut Syariat Islam ....................................... 38
D. Maslahat Sebagai Tujuan Pemberlakuan Syariat ................................ 50
BAB III KOTA BANDA ACEH DAN LEMBAGA PERBANKANNYA ....... 57
A. Profil Kota Banda Aceh ...................................................................... 57
B. Lembaga Perbankan yang Beroperasi di Banda Aceh ......................... 65
BAB IV EFEKTIVITAS PELAKSANAAN QANUN TENTANG
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH ..................................................... 71
A. Faktor Peraturan Perundang-undangan ................................................ 71
xv
B. Faktor Penegak Hukum dalam Penerapan Qanun Aceh ....................... 88
C. Faktor Sarana Pendukung Penerapan Qanun ...................................... 110
D. Faktor Masyarakat Aceh dan Budayanya ........................................... 114
BAB V MANFAAT PENERAPAN WAJIB BANK SYARIAH TERHADAP
KEMASLAHATAN .................................................................................. 135
A. Posisi Perbankan Syariah dalam Perekonomian .................................. 135
B. Prinsip-prinsip Perbankan Syariah ...................................................... 146
C. Implementasi Prinsip Syariah pada Bank Syariah di Aceh ................. 155
D. Maslahat Penerapan Wajib Bank Syariat pada Masyarakat Aceh ...... 179
BAB VI PENUTUP .................................................................................. 195
A. Kesimpulan ......................................................................................... 195
B. Saran / Rekomendasi ........................................................................... 195
Daftar Pustaka .................................................................................................. 197
Indeks ................................................................................................................ 211
Glosarium .......................................................................................................... 217
Biodata Penulis ................................................................................................. 221
Lampiran
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ............................................................................................................... 59
Tabel 2 ............................................................................................................... 61
Tabel 3 ............................................................................................................... 64
Tabel 4 ............................................................................................................... 65
Tabel 5 ............................................................................................................... 66
Tabel 6 ............................................................................................................... 66
Tabel 7 ............................................................................................................... 67
Tabel 8 ............................................................................................................... 68
Tabel 9 ............................................................................................................... 78
Tabel 10 ............................................................................................................. 85
Tabel 11 ............................................................................................................. 130
Tabel 12 ............................................................................................................. 130
Tabel 13 ............................................................................................................. 131
Tabel 14 ............................................................................................................. 131
Tabel 15 ............................................................................................................ 132
Tabel 16 ............................................................................................................ 164
Tabel 17 ............................................................................................................ 165
Tabel 18 ............................................................................................................. 166
Tabel 19 ............................................................................................................ 168
Tabel 20 ............................................................................................................ 169
Tabel 21 ............................................................................................................ 169
Tabel 22 ............................................................................................................ 175
Tabel 23 ............................................................................................................ 186
Tabel 24 ............................................................................................................ 186
Tabel 25 ............................................................................................................ 187
Tabel 26 ............................................................................................................ 187
Tabel 27 ............................................................................................................ 188
Tabel 28 ............................................................................................................ 189
Tabel 29 ............................................................................................................ 189
Tabel 30 ............................................................................................................ 190
Tabel 31 ............................................................................................................ 191
Tabel 32 ............................................................................................................ 191
Tabel 33 ............................................................................................................ 192
Tabel 34 ............................................................................................................ 192
Tabel 35 ............................................................................................................ 193
Tabel 36 ............................................................................................................ 193
Tabel 37 ............................................................................................................ 194
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 .............................................................................................................. 126
Grafik 2 .............................................................................................................. 127
Grafik 3 .............................................................................................................. 128
Grafik 4 .............................................................................................................. 128
Grafik 5 .............................................................................................................. 129
Grafik 6 .............................................................................................................. 129
Grafik 7 .............................................................................................................. 130
xviii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 .............................................................................................................. 38
Bagan 2 .............................................................................................................. 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era Reformasi yang mulai terjadi pada tahun 1998 telah menjadi salah satu
penguat dalam semangat penegakan syariah dalam pemerintahan Indonesia.1
Sebagian masyarakat muslim2 menganggap bahwa hukum yang saat ini diterapkan
adalah warisan penjajah Belanda yang sudah tidak relevan lagi untuk menangani
perkembangan dan perubahan zaman, dan mereka menganggap hukum Islam sebagai
satu-satunya alternatif.3 Dengan adanya penguat semangat itu, menyulut munculnya
berbagai tuntutan untuk menerapkan syariat Islam yang terus bergulir dari tahun
1999 sampai tahun 2009.4 Reformasi yang telah membawa perubahan mendasar
dalam tatanan pemerintahan, salah satunya membuahkan bentuk pemerintahan
daerah yang memiliki otonomi,5 dan turut memengaruhi munculnya gagasan
pemberlakuan syariat Islam secara formal.6 Atas dasar tersebut, maka banyak daerah
berlomba untuk menjadikan Islam sebagai dasar hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, seperti munculnya PERDA tentang larangan menjual minuman
keras, PERDA Pencegahan Maksiat, PERDA tentang Prostitusi dan pemberantasan
maksiat,7 dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pasca reformasi 1998 yang membuahkan amandemen atau perubahan Undang-
undang Dasar 1945, terjadi perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat di
Jakarta dengan Pemerintah-pemerintah Daerah, berupa perubahan sistem
pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi bentuk desentralistik.8 Hal ini
1 Mark E. Cammack And R. Michael Feener, “The Islamic Legal System In Indonesia”
, Pacific Rim Law & Policy Journal, Vol. 21 No. 1, 17; Wasisto Raharjo Jati, “Permasalahan
Implementasi Perda Syariah Dalam Otonomi Daerah” , al-Manahi>j, Vol. VII No. 2, Juli 2013,
305-318. 2 Ma. Theresa R. Milallos, “Muslim veil as politics: political autonomy, women and
Syariah Islam in Aceh” http://link.springer.com /article/10.1007/s11562-007-0028-
5/fulltext.html. (Tanggal akses: 28 Feb 2015). 3 Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius
2007), 36. 4 Marzuki Wahid, Agama dan Kontestasi Ruang Publik: Islamisme, Konflik dan
Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), iii. 5 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari
Indonesia Hingga Nigeria, (Ciputat: Pustaka Alvabet 2004), 59. 6 Sukron Kamil dan Chaidaer S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM: Dampak
Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim (Jakarta:
CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 108. 7 Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya,... 38-42. 8 Muhammad Alim, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”,
Jurnal Hukum No.1 Vol. 17 Januari 2007, 120; Abdul Gani Isa, “Paradigma Syariat Islam
Dalam Rangka Otonomi Khusus: Studi Kajian di Provinsi Aceh”, Media Syariah, Vol. XIV
Januari – Juni 2012, 1 – 2 .
2
memberikan harapan besar bagi Provinsi Aceh untuk menerapkan syariat Islam.
Selain itu, ditambah pula dengan adanya dukungan Undang-undang yang
memberikan hak Istimewa kepada Aceh, yaitu UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh.9 Undang-undang tersebut
mengakomodasi kepentingan dan keinginan tokoh masyarakat Aceh10 dalam bidang
agama dan adat istiadat serta memberikan tempat untuk ulama agar dapat berperan
pada tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.11
Pada tahun 2001, pemerintah RI menerbitkan Undang-undang No. 18 tentang
Provinsi Aceh yang mengatur lebih jauh tentang Otonomi Khusus (OTSUS) dengan
sebutan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan pembentukan beberapa
lembaga seperti mahkamah syariah, qanun, lembaga daerah, zakat, kepolisian
syariah, kepemimpinan adat dan lain-lain. Dengan adanya legalitas dari pemerintah
Pusat untuk menerapkan syariat Islam, Pemerintah Provinsi Aceh meresponsnya
dengan mengeluarkan beberapa peraturan daerah (Perda) dalam rangka terlaksananya
syariat Islam. Dari perda-perda tersebut, kemudian dikembangkan menjadi
peraturan-peraturan daerah yang menyangkut tata laksana syariat Islam yang pada
tataran berikutnya melahirkan Qanun Aceh,12 yang mengatur berbagai macam aturan
seperti hukum keluarga (pernikahan dan waris), ekonomi, jina>yah (hukum pidana)
dan hukum diya>ni (ibadah dan akhlak).13
Setelah Undang-undang Otonomi Khusus bagi Aceh disahkan pada tahun
2001, kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menerbitkan serangkaian
qanun atau peraturan daerah (istilah yang digunakan untuk memberi ciri khas bagi
semua peraturan daerah yang disahkan di Aceh), yang mengatur tentang pelaksanaan
syariat Islam. Ada 5 qanun yang disahkan antara tahun 2002-2004 yang berisi
tentang hukum pidana atas pelanggaran syariah, yakni: 1) Qanun No. 11 Tahun 2002
tentang Penerapan Syariah Dalam Aspek Kepercayaan (akidah), Ritual (ibadah), dan
Penyebaran (syiar) Islam yang meliputi persyaratan busana islami, 2) Qanun Nomor
12 Tahun 2003 tentang pelarangan Konsumsi dan Menjual Minuman yang
mengandung alkohol (khamar), 3) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang pelarangan
9 Hasnil Basri Siregar, “Lessons Learned From The Implementation Of Islamic
Shari’ah Criminal Law In Aceh, Indonesia” , Journal of Law and Religion, Vol. 24, No. 1 (2008/2009), pp. 143-176,145. http://www.jstor.org/page/info/about/policies/terms.jsp
(diakses pada tanggal 6 Mar 2014 ). 10 Asma Uddin, "Religious Freedom Implications of Sharia Implementation in Aceh,
Indonesia,"..., 627; Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, “The Application Of Islamic Law In
Indonesia:..., 137. 11 Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum”,
Legitimasi, Vol.1 No.2 Januari – Juni 2012, 155. 12 Syamsul Bahri, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian dari Wilayah
NKRI”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2 Mei 2012. 13 Sukran Kamil dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non Muslim, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2007),
xviii.
3
judi (maisir); 4) Qanun No. 14 Tahun 2003 melarang “perbuatan bersunyi-sunyian”
(khalwat)14 dan 5) Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pembayaran Zakat.
Aturan-aturan tersebut mencakup sejumlah ketentuan yang membedakannya
dari hukum pidana yang diterapkan di tempat lain di Indonesia kecuali perjudian,
tidak ada tindak pidana semacam ini yang dilarang di luar Aceh. Tanggung jawab
penegakan qanun terletak pada Kepolisian Nasional dan pasukan polisi khusus
syariah yang hanya terdapat di Aceh atau yang dikenal sebagai Wilayatul Hisbah
(WH). Semua qanun mengatur penalti yang meliputi denda, hukuman penjara dan
cambuk, inilah sebuah bentuk penghukuman yang tidak dikenal di sebagian besar
daerah di Indonesia.15
Kewenangan pelaksanaan syariat Islam yang diberikan oleh Pemerintah
Republik Indonesia kepada Pemerintah Provinsi Aceh adalah syariat dalam arti yang
luas, yakni semua tuntunan Islam sebagai pedoman dalam berbagai bidang
kehidupan, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-undang
nomor 44 Tahun 1999. Arti syariat semacam inilah yang selanjutnya ditetapkan
dalam qanun-qanun Aceh.16 Namun, dalam praktiknya, syariat Islam itu mencakup
banyak bidang yang luas dan masih terjadi perbedaan pendapat tentangnya.17
Definisi syariat Islam dalam makna yang luas sebagaimana dimaksudkan dalam
beberapa qanun di Aceh tersebut mengandung makna bahwa seluruh bidang syariat
Islam yang sangat luas cakupannya akan diatur dalam sebuah qanun atau dalam
artian Pemerintah Aceh akan mengurusi seluruh bidang syariat Islam. Langkah
semacam ini mirip dengan pemikiran ‘Ali Jarishah yang menyatakan bahwa seorang
penguasa dalam Islam, itu harus mengurus seluruh aspek ajaran Islam.18 Upaya
14 Asma Uddin, "Religious Freedom Implications of Sharia ..., 632. 15Qanun No. 14/2003 tentang “perbuatan bersunyi-sunyian” mengizinkan
pemberlakuan hukuman cambuk antara 3-9 kali, dan/atau denda antara Rp 2,5-10 juta. Pasal
22(1). 16 Lihat Pasal 1 ayat 6 Perda No. 5 Tahun 2000; Pasal 1 ayat 1 Qanun No. 10 Tahun
2002; dan Pasal 1 ayat 6 Qanun No. 11 Tahun 2002.
17 Dalam Pasal 1 ayat (6), Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaksanaan syariat Islam mencakup 13 (tiga belas)
bidang, yakni: akidah, ibadah, muamalah, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah atau
amar makruf dan nahi munkar, Baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam,
qad}a’, jina>ya>t, muna>ka>ha>t, dan mawa>ri>s. Dalam penjelasan umum Qanun No. 11 Tahun 2002
tentang Pelaksanaan Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam dijelaskan bahwa syariat secara
umum mencakup bidang: akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sementara bidang-bidang
syariat Islam dalam Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: al-Ahwa>l al-Shakhs}iyyah, mu’a>malah, dan jina>yat. Meskipun
dalam penjelasan umum, poin keempat disebutkan bahwa bidang hukum yang menjadi
kompetensi Mahkamah Syariyyah sebagai Peradilan Islam tersebut hanya merupakan
pembagian secara garis besar saja dan bagian rincinya akan diatur dalam qanun tersendiri,
namun pemilihan bidang syariat Islam tersebut terlihat masih kurang konsisten dalam
klasifikasinya. 18 Ali Jarishah menjelaskan bahwa ajaran Islam mencakup 4 (empat) bidang, yaitu: 1)
akidah, 2) akhlak, 3) sha’a>ir (syiar-syiar), dan 4) al-Ahkam al-Amaliyah . Keempat bidang
tersebut harus ditegakkan oleh penguasa dan hal inilah yang menjadi pondasi berdirinya
4
pembuatan qanun di Aceh tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa tanpa adanya
sanksi, pelaksanaan syariat tidak akan ditaati oleh masyarakat, dan pelaksanaannya
akan sulit untuk ditegakkan. Sanksi pertama adalah sanksi di akhirat yang akan
diterima seseorang setelah ia mati, dan sanksi kedua adalah sanksi duniawi yang
dapat diterapkan melalui jalan kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dari sini diketahui bahwa penegakan hukum membutuhkan peran negara, karena
hukum tidak akan punya arti tanpa penegakkan, dan kemampuan untuk
menegakkannya membutuhkan kekuasaan.19
Pengaturan syariat yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh meliputi seluruh
bidang, termasuk akidah dan syiar Islam yang diatur dalam Qanun nomor 11 Tahun
2002. Dalam qanun ini diatur berbagai aspek, mulai dari bentuknya sampai dengan
sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Pengaturan bidang-bidang syariat dalam qanun Aceh tersebut merupakan bentuk campur tangan pemerintah terhadap bidang
keagamaan,20 hal ini didasarkan pada pandangan bahwa syariat Islam dalam qanun Aceh merupakan tuntunan ajaran Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan,
seperti yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat (6) Perda No. 5 Tahun 2000, Pasal 11
Tahun 2002.21
Selain pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat
Provinsi Aceh, telah juga dilakukan perubahan peraturan di tingkat Pemerintah Pusat
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur kedudukan dan
kewenangan berbagai lembaga penegak hukum di Aceh, seperti Undang-undang No.
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan dan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di
dalam undang-undang yang disebut terakhir ini terdapat penetapan kedudukan dan
bangunan Islam. lihat dalam ‘Ali Jarishah, Ushul al-Syariyah Madmunuha wa Khasisuha, Cet.
I, (Kairo: Da>r Gharib, 1979), 36-60. Pemikiran yang sama juga disampaikan oleh al-Bayati,
yang menjelaskan bahwa di antara tugas kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi atau
membuat hukum, di mana ketentuan hukum yang dihasilkan itu meliputi seluruh bidang
hukum syara’ yang terbagi dalam bidang ibadah, mu’a>malah, dan u>qu>bat. Bidang mu’a>malat
dan u>qu>bat ini, mencakup semua bidang yang termasuk dalam Qanun ‘Am (hukum umum)
dan Qanun Khas (hukum privat) dengan segala bentuk cabang-cabangnya. Lihat dalam Munir
Hamid al-Bayati, al-Dawlah al-Qanuniyyah Muqarranah (Baghdad al-Da>r al-Arabiyyah,
1979), 238-239. 19 Campur tangan negara yang terwujud dalam bentuk peraturan tertulis merupakan
salah satu sumber qanun (al-Mas}a>dir al-Rasmiyyah). Sumber ini sifatnya mengikat dan
memaksa, sedangkan sumber qanun yang lain adalah sumber-sumber material (al-Mas}a>dir al-Ma>ddiyah atau al-maqdu>’iyyah), sumber-sumber kesejarahan (al-Mas}a>dir al-Ta>ri>khiyyah) dan sumber yang berupa pemahaman (al-Mas}a>dir al-Tafsi>riyyah), lihat dalam ‘Abd al-Hamid
Mutawalli, al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka Mas}dar al-Asa>siy li al-Dustu>r Cet. III,
(Iskandariyyah: al-Ma’a>rif, 1990), 19-20. 20 Sampai saat ini bidang-bidang syariat Islam yang sudah diatur dalam qanun Aceh
adalah bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam, masalah minuman khamar dan sejenisnya,
masalah maisir (perjudian), dan masalah khalwat atau mesum. 21 Dengan terbitnya undang-undang No. 18 Tahun 2001, maka seluruh Perda yang ada
termasuk Perda Nomor 5 ini disebut dengan qanun.
5
fungsi lembaga yang disebut dengan Wilayatul hisbah (WH) sebagai lembaga
pengawas pelaksanaan syariat dan melakukan penegakan hukum atas qanun-qanun
syariat. Di masa depan, lembaga ini diproyeksikan akan ditingkatkan perannya
sebagai pelaksana fungsi penyidikan pada kasus-kasus pelanggaran qanun, dan
menggantikan tugas kepolisian.22
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Aceh sangat menginginkan kembali
hadirnya kejayaan “Tanah Rentjong” di masa lalu yang pada Kerajaan Samudera
Pasai di abad ke-14. Kesultanan Pasai atau Samudera Pasai adalah kerajaan Islam
pertama di Nusantara yang kaya dan makmur dan disegani oleh penjajah barat
maupun negara-negara wilayah Asia Tenggara. Masa kejayaan Samudera Pasai
sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara dengan julukan “Serambi Mekkah”
inilah yang kemudian menjadi model bagi masyarakat Aceh untuk diwujudkan
kembali kejayaan Aceh di masa sekarang melalui penegakan syariat Islam dalam
segala aspek kehidupan masyarakat.23 Karena itu, sebagai upaya untuk pelaksanaan
syariah secara kafah, pada tahun 2018 Pemerintah Aceh menerbitkan qanun tentang
lembaga keuangan syariah, sebagai sarana Implementasi syariah bidang ekonomi.
Qanun terbaru tersebut mewajibkan seluruh lembaga keuangan untuk
menerapkan sistem syariah pada tahun 2020. Semua lembaga keuangan di Provinsi
Aceh mulai dari perbankan, asuransi, pasar modal, lesing, koperasi, hingga BUMG
yang memakai sistem konvensional harus berubah menggunakan sistem syariah agar
seluruh kegiatan perekonomian di Aceh berjalan sesuai syariah. Selain itu, Bank
syariah tersebut diharapkan dapat membantu penyaluran modal ke badan usaha di
desa-desa untuk membantu membebaskan masyarakat dari rentenir.24 Berhubungan
dengan regulasi tersebut, maka saat ini beberapa bank konvensional yang beroperasi
di Aceh sedang bersiap mengalihkan asetnya menjadi unit usaha syariah atau kepada
anak usaha yang merupakan bank umum syariah. Sebagian Bank memberikan pilihan
kepada pegawainya untuk tetap bertahan dan mengikuti migrasi atau pindah ke
cabang lain yang berada di luar Aceh.
Hal semacam ini, tentunya merupakan suatu masalah yang memerlukan
pertimbangan dari berbagai aspek. Karena pengalihan aset itu tentunya memerlukan
migrasi yang mencakup dana simpanan dan pinjaman, termasuk perubahan gaji
pegawai bank yang ikut memengaruhi kesejahteraan hidup para pegawai. Kesulitan
tersebut di antaranya berkaitan migrasi pinjaman dari sistem yang disebut bunga
menjadi sistem bagi hasil.25 Permasalahan lainnya adalah karena banyak pula bank
22 Natangsa Surbakti, “Pidana Cambuk dalam Perspektif Keadilan Hukum dan Hak
Asasi Manusia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 (2010):
456-474, 461. 23Marzuki Alie, Implementasi Hukum Islam dan Kebijakan Lokal di Aceh
http://www.marzukialie.com/?show=tulisan&id=67 (Tanggal akses: 12 November 2014). 24https://www.merdeka.com/uang/semua-bank-di-aceh-wajib-syariah- mulai2020.
Html;https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190906202247-78-428298/ perbankan-di-
aceh-wajib-berstatus-syariah-mulai-2020 25https://finance.detik.com/moneter/d-4715523/wajib-syariah-mulai-2020-bagai-
mana -nasib-bank-konvensional-di-Aceh
6
yang beroperasi di Aceh dan tidak memiliki anak usaha yang berbasis syariah, hal ini
tentunya berbeda dengan bank-bank yang telah memiliki anak usaha syariah seperti
Bank Mandiri, BNI, BRI dan lainnya. Namun, Qanun tersebut memberikan batas
waktu hingga akhir Desember 2021 bagi bank-bank yang beroperasi di Aceh untuk
mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan proses konversi yang harus
dijalani.
Nasabah pun tak punya pilihan lain, mereka harus mengonversi rekening yang
mereka miliki menjadi rekening berbasis syariah. Persoalannya adalah adanya
kemungkinan nasabah yang tidak mau menjadi nasabah Bank Syariah, dan pilihan
tersebut juga perlu dihargai. Karena itu diperlukan solusi bagi mereka atas pilihan
tersebut, salah satunya dengan memindahkan rekening tersebut ke cabang lain di luar
Aceh yang tentunya akan cukup merepotkan bagi nasabah. Terlebih lagi jika nasabah
tersebut tidak menerima solusi itu, maka tidak ada cara lain kecuali menutup
rekening tersebut. Sebetulnya penutupan rekening ini tidak akan menimbulkan
problem jika yang ditutup adalah rekening simpanan, tetapi jika rekening milik
nasabah adalah rekening pinjaman, maka nasabah tersebut harus melunasi hutangnya
sebelum batas akhir waktu yang telah disepakati, dan hal ini tentu akan
memberatkan. Untuk itu proses konversi yang melibatkan masyarakat luas ini perlu
dilakukan dengan persiapan yang matang agar tidak merugikan berbagai pihak,26
karena tujuan utama dari pemberlakuan qanun No. 11 tahun 2018 tersebut adalah
untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.27
Wacana Ekonomi Islam itu muncul, di mana dunia ekonomi global sedang
memutarkan surplus dolar melalui lembaga perbankan. Saat simpanan di bank
dihukumi haram karena simpanan itu menghasilkan bunga bank (bank interest), dan
bunga bank disamakan dengan riba. Karena wacana ekonomi Islam yang berkembang
selalu berkisar mengenai riba yang diartikan sebagai bunga bank, dan definisi
ekonomi Islam lebih diarahkan kepada sistem ekonomi yang bebas riba (non-ribawi economic system).28 Sistem perdagangan dan industri dalam Islam mensyaratkan
halal, mekanisme perdagangan itu sendiri tidak memakai cara-cara tertentu yang
mengakibatkan kerugian secara tidak fair pada salah satu atau kedua belah pihak,
sehingga, bisnis Islami itu tidak semata-mata tergantung pada kehendak pasar.29
Pengejawantahan fikih bidang muamalah, atau secara lebih khusus dalam
bidang ekonomi syariah di Indonesia, mulai muncul dan berkembang pada tahun
1990-an, yakni setelah pengesahan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan.. Di antara isi kandungan dalam undang-undang tersebut adalah
membenarkan bank konvensional dengan beroperasi melalui sistem bagi hasil (profit-sharing). Dengan demikian, praktik keuangan syariah di Indonesia memerlukan
26 https://www.kompasiana.com/irwanrinaldi/5dfd4e32d541df235b50d052/semua-
bank-di-aceh-harus-dikonversi-jadi-bank-syariah?page=3 27 Lihat pasal 5 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 28 M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius, (Jakarta:
Mizan,2011), 146. 29 Agus Triyanta, Hukum Ekonomi Islam, dari politik hukum ekonomi Islam sampai
pranata ekonomi syariah. (Yogyakarta:FH UII Press, 2012), 149.
7
panduan hukum untuk mengawasi pelaku ekonomi yang sesuai dengan ketentuan
syariah,30 karena berdasarkan penelitian masih ada lembaga keuangan dengan label
syariah, tetapi masih memberlakukan sistem bunga atau profit interest, yang dapat
dikategorikan sebagai tidak taat syariah, karena teori utama dalam operasional Bank
syariah adalah profit and loss sharing.31
Hukum Islam bermula dari dua sumber pokok, yakni wahyu dan akal. Identitas
ganda dalam hukum Islam ini tercermin dalam dua istilah yang sudah sangat popular
di kalangan para ulama, yakni syariah dan fikih. Syariah memuat hukum-hukum yang
jelas mengenai hal-hal fundamental dalam Islam. Perintah-perintahnya berkaitan
dengan yang dihalalkan dan yang diharamkan (al-halal wa al- haram) yang
seluruhnya bersifat definitif (qat’i), dan aturan-aturan hukum mengenai sejumlah
aspek transaksi sipil/perdata (muamalah). Namun syariah pada umumnya bersifat
fleksibel mengakomodir berbagai bentuk transaksi, hukum kriminalitas (dengan
pengecualian terhadap hukuman yang telah ditentukan dalam Islam/hudud),
kebijakan dan konstitusi pemerintahan, kebijakan fiskal, pajak, dan persoalan-
persoalan perekonomian.32
Materi hukum Islam dapat menjadi muatan dalam proses legislasi melalui
mekanisme positivisasi. Positivisme hukum Islam dalam pembangunan hukum
nasional memiliki dua bentuk yaitu: Pertama: hukum Islam tidak bisa diberlakukan
dalam lingkup nasional karena kondisi pluralistis bangsa Indonesia, namun, hukum
Islam dapat menjadi salah satu sumber nilai dalam penyusunan hukum nasional.
Kedua; Hukum Islam dapat menjadi hukum positif yang berlaku bagi semua warga
melalui proses legislasi yang sah seperti bidang muamalah atau hukum privat.33 Studi
hukum Islam itu lebih dari sekedar studi fikih dan usul fikih, melainkan mencakup
tiga wilayah kajian yang luas meliputi filsafat hukum, hukum Islam normatif dan
hukum Islam empiris yang ketiga-tiganya harus di kaji secara seimbang, dan
ketimpangan atas salah satunya merupakan bentuk tantangan itu sendiri.34
Dalam pandangan tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sekedar
trustee (pemegang amanah). Karena itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah
dalam segala aktivitasnya, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah yang
harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat teologis (Uluhiyah) dan moral
(khuluqiyah).35 Aspek yang sangat mendasar dalam ajaran Islam yaitu aspek akidah
30 M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI Press,2011), 5. 31 Beng Soon Chong and Ming-Hua Liu, “Islamic banking: Interest-free or interest-
based?” Pacific-Basin Finance Journal 17 (2009) 125–144. 32 Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah di Dunia
Islam Kontemporer, (Jakarta:Gramata Publishing, 2011), 85-86. 33 Junaidi, Positivisme hukum Dalam Perspektif pembangunan hukum Nasional
Indonesia di Era Reformasi , Tesis Program Pasca Sarjana UNS Surakarta: Program Pasca
Sarjana UNS,2009)130,Dalam Khotibul Umam, Legislasi fiqih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah Di Indonesia (Jakarta FE. Dan Bisnis UGM, 2011), 29.
34 M. Atho Mudzhar, Tantangan Studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta:
Journal Indo-Islamika volume II, Nomor 1, 2012/1433) 91-103. 35 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prespektif
Maqashid al-Syari’ah, (Jakarta, Kencana , 2014) 8.
8
(tauhid), hukum syariah, dan Akhlak.36 Kegiatan bisnis dan produksi termasuk bisnis
dengan sistem syariah tidak mungkin sepenuhnya dapat dihindari dari sengketa
antara pihak-pihak yang melakukannya. Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut,
para pelaku bisnis dan pakar hukum bisnis mencari bentuk penyelesaian sengketa
yang efektif dan efisien. Konflik yang konkret diselesaikan dengan menerapkan
Norma hukum yang konkret pula.37
Dalam pandangan ekonomi kerakyatan, tokoh yang terkenal sebagai bapak
Ekonomi yang Sesungguhnya adalah Muhammad Hatta, beliau sangat menekankan
arah dan tujuan serta strategi kebijakan pembangunan ekonomi yang hendak
dikembangkannya. Strategi itu diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pokok dan
jaminan sosial, peningkatan daya beli rakyat, pembangunan infrastruktur
perhubungan dan transmigrasi, penataan pertanahan (landreform) dan lingkungan
hidup serta penataan ekspor dan impor.38
Zamir Iqbal mengemukakan, Ukuran aset kecil Lembaga Keuangan Islam
sering dianggap sebagai kendala dalam pertumbuhan lebih lanjut. Melihat faktor
motivasi di balik gelombang konsolidasi di Indonesia pasar keuangan konvensional,
dia berpendapat bahwa lembaga keuangan juga dapat mengambil manfaat dari
konsolidasi dalam beberapa cara. Memperluas skala operasi tidaklah cukup tetapi
penting bahwa lembaga keuangan Islam untuk memperluas cakupan produk dan
layanan mereka untuk dipenuhi tantangan pasar domestik dan internasional.
Peningkatan skala dan ruang lingkup melalui konsolidasi dapat memberikan ambang
batas yang diperlukan oleh lembaga keuangan Islam untuk dibenarkan membangun
infrastruktur yang solid untuk layanan baru di kedua sisi neraca. Selain manfaat
memperluas cakupan, konsolidasi dapat membawa manfaat bagi lembaga keuangan
islam melalui diversifikasi dan melalui peningkatan kualitas manajemen serta
keuntungan efisiensi dari pengambilan risiko, pemantauan dan manajemen yang
bijaksana.39 Hal serupa juga dinyatakan oleh Nor Hayati Ahmad dan Sharul Nizam
Ahmad dalam membicarakan tentang faktor kunci dalam pengembangan manajemen
bank syariah.40
Sirajo Aliyu dan Rosylin Mohd Yusof, mengatakan bahwa Bank Islam
memiliki aset lebih dari US $ 700 miliar dan tumbuh di atas 15% p.a. Perbankan dan
Keuangan Islam (IBF) melibatkan isu etika dan moral yang lebih luas dari sekadar
Transaksi ‘tanpa minat’. Para pendukungnya berpendapat bahwa ini membuatnya
lebih efisien secara ekonomi dari perbankan konvensional dan mempromosikan
36 Ika Yunia Fauzia et.al.,Prinsip dasar ekonomi Islam…....... (Jakarta: Kencana,2014),
8. 37 Sudikno Mertokusumo, Penemuan hukum sebuah pengantar (Yogyakarta: Liberty,
2014) cetakan ke-3 15. Dalam Jaih Mubarok, Akad Mudharabah, (Bandung: Fokusmedia,
2014) 53. 38 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, (Jakarta: Kompas, 2010) 259. 39 Zamir Iqbal, The Impact Of Consolidation On Islamic Financial Services Industry,
Islamic Economic Studies Vol. 15, No. 2, January 2008,79. 40 Nor Hayati Ahmad dan Sharul Nizam Ahmad, “Key Factors Influencing Kredit
Risk of Islamic Bank: A Malaysian Case” JMIFR Volume 1 No. 1 (2004), PP. 65-80.
9
keadilan ekonomi yang lebih besar, sehingga menjadi tujuan dari praktik perbankan
Islam yang benar, sesuai dengan syariat dan ideal. Akan tetapi muncul pertanyaan
bagaimana perbedaannya mereka dari perbankan konvensional? Dalam penelitian
awal telah ditemukan bahwa dalam tiga dekade setelah diperkenalkan, masih ada
perbedaan besar antara cita-cita IBF dan praktiknya, dan masih banyak IBF masih
tetap tidak dapat dibedakan secara fungsional dari perbankan konvensional. Ini
bertentangan dengan klaim oleh pendukung IBF bahwa bank syariah akan dengan
cepat terlihat perbedaannya dari perbankan konvensional. Namun, meski tidak
memberikan alternatif yang konvensional perbankan dan keuangan, IBF benar-benar
memperkuat identitas Islam dengan menyediakan terminologi Islami yang tepat
untuk transaksi keuangan konvensional secara de facto.41 Semua itu sangat penting
karena pemahaman umum masyarakat saat ini, masih menganggap bahwa bank
syariah cenderung memberatkan nasabah yang ingin meminjam modal dibandingkan
dengan bank konvensional.
Berdasarkan kajian terdahulu di atas maka mayoritas penelitian tentang
penerapan syariat Islam adalah pada aspek hukum jinayat, sedangkan penelitian
tentang wajib bank syariah di suatu wilayah khususnya Aceh, masih belum ada yang
melakukannya secara komprehensif. Dengan demikian maka tampak adanya gap
antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu tersebut. Penelitian ini memiliki
kebaruan dalam hal efektivitas implementasi qanun Aceh ditinjau dari aspek
manfaatnya bagi masyarakat.
B. Permasalahan Penelitian
1. Identifikasi Masalah\
Penelitian disertasi ini akan menganalisis tentang keistimewaan Aceh
dalam bidang agama sebagaimana yang telah diamanahkan oleh UU No. 44
Tahun 1999 dan sebagai daerah khusus yang diatur dalam UU No. 11 Tahun
2006,42 dan qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah.
Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah dijelaskan di atas,
permasalahan yang dapat di identifikasi adalah sebagai berikut:
a. Kesiapan dan keseriusan Pemerintah Aceh dalam menerapkan syariat
Islam kepada masyarakatnya;
b. Masih belum ada yang meneliti tentang manfaat wajib Bank syariah
untuk kesejahteraan rakyat Aceh;
c. Diperlukan tindakan yang jelas oleh Pemerintah untuk mengantisipasi
persoalan yang timbul akibat penerapan syariat Islam, khususnya yang
berkaitan dengan ekonomi;
41 Sirajo Aliyu1, Rosylin Mohd Yusof, Profitability and Cost Efficiency of Islamic
Banks: A PanelAnalysis of Some Selected Countries, International Journal of Economics and
Financial Issues | Vol 6 • Issue 4 • 2016, 1736. 42 Mukhlis, “Keistimewaan Dan Kekhususan Aceh Dalam Perspektif Negara Kesatuan
Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 No. 1, 2001, 76.
10
d. Belum jelasnya nasib nasabah bank konvensional yang ditutup atau
bermigrasi ke dalam sistem syariah;
e. Efektivitas penerapan wajib Bank Syariah terhadap kemaslahatan rakyat
perlu untuk diteliti;
f. Masih ada masyarakat yang menganggap bahwa lembaga keuangan yang
berlabel syariah, tidak berbeda dengan yang konvensional, perbedaannya
hanya pada istilah saja, tetapi praktiknya masih sama;
g. Masih ada beberapa lembaga keuangan dengan label syariah yang tidak
taat syariah.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan berbagai permasalahan yang berhasil diidentifikasi di atas,
maka penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan pokok Bagaimana Efektivitas Penerapan Wajib Bank Syariah di Aceh dan Manfaatnya Terhadap Kemaslahatan Rakyat? Masalah pokok ini akan diuraikan dalam beberapa
masalah penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana efektivitas pemberlakuan wajib bank syariah sebagai
implementasi qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan
syariah?
b. Bagaimana implementasi prinsip-prinsip syariah dalam Bank syariah di
Aceh?
c. Bagaimana manfaat penerapan wajib Bank syariah di Aceh untuk
kemaslahatan rakyat?
3. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2020 dan dibatasi pada
masyarakat Kota Banda Aceh. Yang menjadi fokus objek penelitian adalah qanun
No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah yang meliputi: lembaga
perbankan, lembaga non-bank, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, dana
pensiun syariah, modal ventura syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah, anjak
piutang syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah. Namun dalam penelitian
ini, lembaga keuangan syariah yang diteliti, dibatasi hanya pada Bank syariah
yang beroperasi di Aceh. Konsep teori yang digunakan dalam disertasi ini dibatasi
pada teori dan penelitian yang relevan yaitu teori maslahat, teori efektivitas dan
ketentuan hukum ekonomi Islam.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi dan mendeskripsikan
efektivitas pemberlakuan regulasi wajib bank syariah di Aceh dan mengetahui
dampak dari pemberlakuan qanun tersebut, yang secara rinci tergambar dalam
tujuan-tujuan berikut:
11
1. Untuk mengkaji bagaimana Efektivitas pemberlakuan wajib bank
syariah sebagai implementasi qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang
lembaga keuangan syariah;
2. Untuk mengeksplorasi implementasi prinsip-prinsip syariah dalam
Bank syariah di Aceh sebagai bentuk ketaatan pada ketentuan syariah
dalam bidang perbankan;
3. Untuk membuktikan manfaat penerapan wajib bank syariah terhadap
kemaslahatan rakyat.
D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian
1. Manfaaat Teoritis
Secara teoritis, Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi bahan referensi
bagi pembaca, dan untuk penelitian selanjutnya tentang pelaksanaan wajib Bank
Syariah di Indonesia dalam dalam bingkai hukum Islam dan penerapannya di
masyaralat madani, khususnya di Aceh. Sedangkan bagi Lembaga Pendidikan,
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian, rekomendasi
dan sumbangan pemikiran dalam melengkapi bahan bacaan atau literatur bidang
hukum ekonomi Syariah, khususnya perbankan Syariah, sehingga dapat
bermanfaat bagi civitas akademika dalam mengembangkan penelitian
perbankkan Syariah
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktisnya adalah diharapkan dapat menjadi masukan bagi
masyarakat dan Pemerintah Aceh khususnya Kota Banda Aceh dalam
menjalankan syariah secara efektif agar cita-cita masyarakat Aceh yang ingin
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup melalui pengamalan syariah
secara kafah dapat tercapai.
3. Signifilkansi Penelitian
Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, karena penerapan syariat
Islam secara penuh dalam segala bidang kehidupan, masih dipertanyakan
keberhasilannya oleh sebagian sarjana, dan pemberlakuan wajib syariah bagi
semua bank di Aceh, memerlukan sebuah pengujian. Secara garis besar,
penelitian ini memiliki tiga signifikansi, yaitu:
a. Memberikan kontribusi dan masukan dalam bidang Hukum Ekonomi
Islam, khususnya yang berkenaan dengan penerapan hukum ekonomi
Islam di suatu daerah;
b. Mendapatkan gambaran pengelolaan Bank syariah dan migrasi aset
yang baik dari sistem konvensional ke sistem syariah;
c. Mendapatkan data pelaksanaan hukum ekonomi Islam oleh pelaku
ekonomi yang sesuai dengan ketentuan syariah.
12
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Berdasarkan hasil identifikasi ada beberapa hasil kajian terdahulu yang
mempunyai titik singgung dan relevansi dengan fokus penelitian ini pada tataran
implementasi kewajiban Bank Syariah di Aceh. Sistem ekonomi syariah memiliki
prinsip-prinsip dasar yang membedakan dirinya dengan sistem ekonomi lainnya.
Sistem ekonomi yang diilhami oleh pandangan Islam mengenai alam Kehidupan, dan
manusia yang berasaskan akidah (tauhid). Prinsip-prinsip ini merupakan tiang
penyangga yang kokoh dan permanen. Oleh sebab itu, prinsipnya bersifat tetap dan
tidak dapat berubah akibat perubahan ruang dan waktu.43
Kajian yang berkaitan dengan legalisasi hukum ekonomi Islam adalah karya
Michael S. Bennett and Zamir Iqbalb, How socially responsible investing can help bridge the gapbetween Islamic and conventional financial markets.44 Di dalamnya
dikatakan bahwa keuangan Islam bertanggung jawab secara sosial. Dan investasi
(SRI) telah dua kali berkembang dengan paling cepat di bidang keuangan selama dua
dekade terakhir. Selama periode ini, masing-masing tumbuh pada tingkat yang jauh
melebihi dari pasar keuangan secara keseluruhan. Relevansi penelitian ini dengan
disertasi ini adalah pada adanya tanggung jawab sosial dari lembaga keuangan Islam.
Penelitian terdahulu lainnya dapat ditemukan dalam beberapa karya
akademik seperti penelitian yang dilakukan oleh Jazuni dengan judul Legislasi Hukum Islam di Indonesia,45 Citra Aditya Bakti, dan penelitian yang dilakukan oleh
Khotibul Umam dengan judul Legislasi Fiqih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia,46 serta disertasi Atho’ Mudzhar yang
berjudul ”Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thoutht in Indonesia 1975-1988,47 dan Tantangan studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini. 48 Secara umum, penelitian tersebut di atas mengkaji fatwa dari sisi
legalitas syara’ dan faktor politik yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tersebut.
Kajian mereka difokuskan pada pandangan mazhab fiqih, metode dan faktor sosial
yang memengaruhi keluarkannya fatwa, tapi bukan fiqih muamalah, meskipun
demikian, ini memiliki relevansi dengan disertasi ini dalam aspek penerapan hukum.
Penelitian Wahidudin Adam yang berjudul ”Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama
43 Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah…, (Jakarta:
Gramata Publishing, 2011), 55 44 Michael S. Bennett and Zamir Iqbalb, How socially responsible investing can help
bridge the gapbetween Islamic and conventional financial markets, Washington, DC, USA, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 6 No. 3, 2013) .(accessed Juli 23, 2014).
45 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung :Citra aditya Bakti, 2005). 46 Khotibul Umam, Legislasi Fiqih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk
Perbankan Syariah di Indonesia, (yogyakarta :Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, 2011). 47 Muhammad Atho’ Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study
of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988, (Los Angeles, USA: Disertasi Universitas
California, 1990). 48 Muhammad Atho’ Mudzhar, Tantangan studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa
Ini, Jurnal Indo-Islamika, Volume II Nomor 1, 2012/1433 H/ 91, (Jakarta:UIN, 2012).
13
Indonesia (MUI) dalam peraturan perundang-undangan 1975-1997.49 Adam
mengkaji kedudukan dan peran hukum Islam dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan Fathurrahman Djamil mengkaji masalah metode
atau manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Hukum dan Fiqih Islam.
Sedangkan di antara penelitian terdahulu yang memiliki topik berkaitan
dengan penerapan hukum Islam secara massal adalah Darwish Almoharby, The current world business meltdown: Islamic religion as a regulator.50 Penelitian ini
bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana Islam mengatur proses
dan interaksi di bidang ekonomi dan perdagangan. Islam telah memberikan solusi
untuk masalah etika dan agama Islam mengajarkan tentang moral yang baik dan etika
dalam kehidupan bisnis Adanya ketidakteraturan dalam lingkup kejujuran dan
transparansi (yaitu informasi), dan adanya keserakahan yang tidak terkendali telah
menyebabkan kerusakan moral di urusan bisnis dan industri.
Olatoye, Kareem Adebayo dan Yekini, Abubakri mempertegas bahwa
Kontrak keuangan Islam yang diatur oleh Syariah dapat dipenuhi di Nigeria dan
dengan perluasan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya,
sebaliknya, di Inggris dan Eropa di mana pengadilan pada umumnya tidak menyukai
penerapan hukum Islam. Doktrin tentang hukum kontrak yang benar harus diperluas
ke keuangan Islam dengan menegakkan hukum Islam sebagai undang-undang yang
dipilih oleh para pihak regulator atau sebagai sistem hukum di mana keuangan Islam
Transaksi paling erat kaitannya.51 Samiul Hasan menjelaskan bahwa umat Islam
harus memenuhi kewajiban keagamaan masing-masing dengan menilai, menjunjung
tinggi, dan menerapkan prinsip "kepentingan umum" (Mas}a>lih} al-Mursalah) di semua
transaksi komersial yang tidak menunggu kepentingan nasional dan organisasi.52
Hussam I. Asbeig dan Salina H. Kassim menganalisis, peran bank syariah
dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui saluran pembiayaan bank di
Malaysia. Ukuran bank, likuiditas dan tingkat kapitalisasi dihipotesiskan menjadi
sumber perbedaan cross-sectional antar bank. Hasilnya menunjukkan tidak ada
perbedaan signifikan antar bank, berdasarkan ukuran, kapitalisasi dan tingkat
likuiditas, dan dengan demikian tidak mendukung kehadiran saluran pembiayaan
49 Wahidudin Adam, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
peraturan perundang-undangan 1975-1997, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,Disertasi, 2002). 50 Darwish Almoharby, The current world business meltdown: Islamic religion as a
regulator, Jurnal internasional Humanomics Vol. 27 No. 2, 2011 pp. 97-108 q Emerald Group
Publishing Limited 0828-8666 DOI 10.1108/08288661111135108 (Acccessed, Juli 23, 2014). 51 Olatoye, Kareem Adebayo; Yekini, Abubakri. “Choice Of Islamic Law As The
Governing Law In Islamic Finance Contracts: The United Kingdom And Nigerian
Perspectives “IIUM Law Journal; Kuala Lumpur Vol. 25, Iss. 1, (2017): 137-159. 52 Hasan, Samiul. “Business sustainability and the UN Global Compact: A "public
interest" analysis for Muslim majority countries” Intellectual Discourse; Kuala
Lumpur Vol. 23, Iss. 1, (2015): 7-28.
14
bank syariah di Malaysia. Studi ini memberikan pemahaman yang lebih dalam
tentang peran bank syariah dalam transmisi kebijakan moneter.53
Di antara penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan topik ini
dilakukan oleh Tun Arifin Bin Zakaria, yang menjelaskan bahwa Dalam empat
dasawarsa terakhir ini, para ahli hukum Malaysia dan ilmuwan syariah sangat
berkontribusi terhadap bidang keuangan Islam yang cukup untuk menarik pengakuan
dan penerimaan dunia internasional. Hal ini telah mengubah Malaysia menjadi pusat
global yang dinamis untuk layanan keuangan Islam. Kerangka hukum baru baru-baru
ini diperkenalkan diharapkan dapat menekan kembali sifat pragmatis dan tangguh
dari industri keuangan Islam. Oleh karena itu, reformasi kerangka hukum industri
keuangan Islam dibutuhkan dalam dinamika litegasi keuangan Islam, dan menyoroti
penting lembaga peradilan dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya dalam
membentuk masa depan industri. Hukum industri tentu akan mengarah pada
pengembangan produk kompetitif yang tidak hanya sesuai dengan syariah tetapi juga
secara konvensional layak dilakukan.54
Adapun penelitian yang berkaitan dengan Aceh, dilakukan oleh Tim Linsdey,
bersama dengan MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley dalam sebuah buku
dengan judul Sharia Revival in Aceh, mengatakan bahwa fenomena kebangkitan
syariah di Aceh merupakan perubahan yang bersifat radikal, namun perkembangan
dan keberlanjutannya akan sangat ditentukan oleh politik di Jakarta. Pengaruh qanun
terhadap kehidupan masyarakat akan terjadi dalam waktu yang lama, meskipun telah
terjadi perubahan di awal penerapannya, tetapi hal itu masih dalam skala kecil saja.
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh telah meningkatkan otoritas para ulama
sehingga dapat berkompetisi dengan para pemikir sekuler. Ulama Aceh telah
memperoleh keuntungan dari pemberlakuan qanun-qanun, berupa pembentukan
instansi berbasis agama, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).55
Yuni Roslali dalam Disrtasi SPs UIN Jakarta yang berjudul, Formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia “Analisis kasus Penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darusslam” (2009). Menyimpulkan bahwa, pengaruh penerapan
syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam terhadap upaya formalisasi hukum
pidana Islam terhadap sistem hukum perundang-undangan nasional dapat dipahami
sebagai ikut mewarnai produk hukum nasional yang telah dan akan di buat.56 Dalam
penelitian ini dikaji juga tentang pengaruh Hukum Pidana Islam terhadap masyarakat
53 Hussam I. Asbeig and Salina H. Kasim, Monetary Policy Transmission through
the Bank-Financing Channel in Malaysia: Evidence from Bank-Level Data, Journal of
Economic Cooperation and Development, 35, 2 (2014), 121-136 54 Zakaria, Tun Arifin Bin. “ A Judicial Perspective On Islamic Finance Litigation In
Malaysia” IIUM Law Journal; Kuala Lumpur Vol. 21, Iss. 2, (2013): 143-182. 55 Tim Linsdey, dkk, “Sharia Revival in Aceh” dalam R. Michael Feener dan Mark E.
Cammack, Islamic Law In Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions (Cambridge:
Harvard Law School, 2007), 253-254. 56 Yuni Roslaili, formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia: Analisis kasus
penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. ( Disertasi UIN Jakarta
2009), 274.
15
Aceh yang menjelaskan bahwa, kelemahan penerapan syariat Islam di Aceh hampir
meliputi segala aspek yaitu: tataran masyarakat, pimpinan dan pemilihan materi dari
syariat Islam itu sendiri.57Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang meluas
mengenai penerapan syariat Islam di Aceh, sehingga tidak ada kesan bahwa
penerapan syariat Islam di Aceh merupakan hadiah politik dari Jakarta. Penelitian
ini, meskipun dalam hukum pidana, tetapi memiliki relevansi dengan penelitian yang
akan dilakukan, dalam aspek penerapan hukum Islam secara utuh di Aceh.
Dalam karyanya yang berjudul Indonesia Sharia: Defining a National School of Islamic Law, MB. Hooker menyatakan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh
akan menemui banyak hambatan karena tidak sejalan dengan hukum nasional.
Menurut Hooker, proses legislasi syariat yang akan diterapkan seharusnya sejalan
dan konsisten terhadap hukum nasional, sebab dalam kenyataannya, meskipun
pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah diberi wewenang dalam bentuk otonomi
khusus melalui undang-undang, tetapi dalam pelaksanaannya tetaplah harus dalam
bingkai dan lingkup sistem hukum nasional, sehingga qanun-qanun syariat tersebut
harus disesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku secara nasional.58
Penelitian Crisis Group yang berjudul, Syariat Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, (2006) menyimpulkan bahwa meskipun para pejabat syariat di Aceh benar-
benar yakin bahwa penerapan hukum Islam yang ketat akan ikut memfasilitasi tujuan
yang lebih luas seperti upaya perdamaian, rekonsiliasi, dan rekonstruksi, tapi ada
dinamika lain yang juga terjadi. Fokus perbaikan moralitas tak lagi jadi sarana tapi
sudah jadi tujuan itu sendiri. Birokrasi syariat memiliki kepentingan untuk
memperluas kekuasaannya, semangat yang ditunjukkan oleh polisi syariat dalam
menerapkan peraturan ini telah mendorong sebuah proses di mana penduduk saling
melaporkan tentang tetangganya dan main hakim sendiri. Ada persepsi bahwa
perempuan dan kaum miskin telah menjadi target utama dari penegakan hukum Islam
ini, dan belum ada indikasi bahwa penerapan syariat Islam bisa meningkatkan
keadilan bagi sebagian besar rakyat Aceh.59
Kemudian Haedar Nasir dalam disertasi yang berjudul Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia menjelaskan bahwa sejarah Aceh dan
Indonesia telah menempatkan masyarakat Serambi Mekkah ini pada posisi yang
khas, dan kekhasan tersebut tampak lebih nyata dalam bidang agama. syariat Islam
bagi masyarakat Aceh adalah bagian yang tidak terpisahkan dari adat dan budayanya.
Hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat dalam keseharian mereka, diukur
dengan standar ajaran Islam, yang secara spesifik selalu merujuk pada keyakinan
agama, walaupun mungkin dengan pemahaman-pemahaman atau interpretasi yang
masih tidak selalu tepat dan relevan. Nasir memandang bahwa dalam hal itu, terletak
muatan psikologis akan petingnya penerapan syariat Islam untuk masyarakat Aceh,
dan alasan ini juga yang menjadi alasan mengapa penerapan syariat Islam di Aceh
57 Yuni Roslaili, Formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia....., 260. 58 M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law,
(Singapore: ISEAS, 2008), 246. 59 International Crisis Group, Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, Asia Report
N’11 (31 Juli 2006), 2.
16
akan sangat menentukan masa depan Aceh, selain itu, pemberlakuan syariat Islam di
Aceh juga akan menjadi obyek pertaruhan bagi Islam sebagai ajaran, dan umat Islam
sebagai pemeluknya.60
Muhammad Yani, dalam tesisnya yang berjudul Hukum Jinayat di Aceh dalam Persoektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003
mengatakan bahwa implementasi Hukum Jina>ya>t dalam bentuk pencambukan (baik dalam kategori h}udu>d maupun ta‘zi>r) terhadap pelaku tindak pidana khamar, maisir, dan khalwat yang disahkan oleh qanun, berlangsung berdasarkan kasus yang diajukan
oleh masyarakat, dan hasil penyelidikan (opsporing) lembaga wilayatul hisbah,
dan/atau temuan pihak terkait lainnya. Penerapan hukum ini memang kerap
mengundang perdebatan yang disebabkan oleh kompleksitas pemahaman atau
pandangan para pakar Hukum Islam dan HAM. Pelaksanaan ketiga qanun tersebut
didasarkan pada perspektif fik}ih yang masih memerlukan penyesuaian atau tinjauan
lebih lanjut, karena pelaksanaan Hukum Pidana Islam (Jina>ya>h) ini berada dalam
lingkup pelaksanaan Hak Otonomi Khusus bagi Aceh dan perundang-undangan
lainnya yang berlaku di Indonesia.
Berkenaan dengan qanun No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan
syariah, juga telah ada penelitian terdahulu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh
Irhamna Utamy dan Ahmad Hasan Basri dalam artikel yang berjudul “Konsep
Keadilan Pada Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan
Syariah”. Artikel ini fokus pada persoalan prinsip keadilan menggunakan metode
deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan filosofis dan
sosiologis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa prinsip keadilan yang dimaksud
dalam qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 telah sesuai dengan syariat Islam, salah
satunya terlihat dalam pemberlakuan konversi Bank BPD Aceh menjadi Bank Milik
Pemerintah Daerah pada tahun 2015.61 Selain artikel di atas, juga ada karya
Rahmawati dan Khairul Putriana dalam “Tantangan Konversi Bank Konvensional
Menjadi Bank Syariah di Aceh Berdasarkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah No
11 Tahun 2018”. Mereka menjelaskan bahwa penerbitan Qanun Aceh No 11 tahun
2018 merupakan hak khusus bagi Aceh dan telah membawa angin segar bagi
perkembangan industri perbankan syariah di Aceh, sejumlah bank konvensional di
Aceh diwajibkan beralih ke Bank Syaria. Artikel tersebut membahas tentang
prosedur percepatan konversi bank konvensional menjadi bank syariah di Aceh dan
menjelaskan tantangan lembaga perbankan.62
60 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia
(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007); Nurjanah Ismail, ”Syariat Islam dan Keadilan
Gender” First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Asia Rearch Institute National University of Singapore, 2007, 6.
61 Irhamna Utamy dan Ahmad Hasan Basri, “Konsep Keadilan Pada Qanun Aceh
Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah” Al-Mabsu>t Volume 14 No. 1
Maret 2020: 121-132 62 Rahmawati dan Khairul Putriana, “Tantangan Konversi Bank Konvensional
Menjadi Bank Syariah di Aceh Berdasarkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah No 11 Tahun
17
Selanjutnya ada tulisan Yoga Arief Setiawan dan Yeni Salma Barlinti dalam
“Analisis Penggunaan Akta Subrogasi dalam Rangka Implementasi Pasal 2 Qanun
Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah”. Tulisan ini
menyatakan bahwa Implementasi suatu peraturan perundang-undangan memiliki
dampak penyesuaian terhadap beberapa aspek, khususnya berkaitan dengan boleh
atau tidaknya suatu perbuatan hukum dilakukan. Sebab, dengan berlakunya Qanun
Aceh Nomor 11 Tahun 2018 telah menyebabkan suatu lembaga keuangan yang
bersifat konvensional tidak dapat beroperasi di Aceh, kecuali telah dikonversi
menggunakan prinsip syariah. Artikel ini menyimpulkan bahwa pengalihan utang
berdasarkan transaksi non syariah menjadi transaksi syariah tidak dapat dilakukan
dengan skema subrogasi. Subrogasi berdasarkan prinsip syariah untuk konversi
nasabah kredit bank konvensional menjadi nasabah pembiayaan bank syariah dapat
dilakukan dengan merujuk pada Fatwa DSN MUI Nomor 104/DSN-MUI/IX/2016
tentang Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Selain itu, terdapat mekanisme lain
yang dapat mempengaruhi notaris dalam membuat akta dalam rangka konversi
transaksi konvensional menjadi transaksi berdasarkan prinsip syariah.63
Adapun berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang bank ssyariah di
Aceh, ada sebuah artikel yang ditulis oleh Early Ridho Kismawadi dengan judul:
“Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di Konversikannya Bank Konvensional Ke
Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus Di Kota Langsa”. Penelitian ini fokusnya pada
Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok - Pokok Syariat Islam dan Qanun No.
8 tahun 2016 tentang sistem jaminan produk halal yang mengharuskan semua
perbankan yang beroperasi di Aceh untuk menggunakan prinsip syariah. Artikel ini
menyimpulkan bahwa masyarakat Aceh sangat antusias dengan keputusan
pemerintah Aceh untuk mensyari’ahkan seluruh bank yang ada di sana, dan mereka
meminta agar pemberlakuan syariah dalam perbankan ditopang dengan perbaikan
fasilitas untuk memudahkan berbagai kegiatan keuangan masyarakat.64
Selain itu, ada pula penelitian Rahmah Yulianti dalam artikel yang berjudul:
“Pengaruh Minat Masyarakat Aceh terhadap Keputusan Memilih Produk Perbankan
Syariah di Kota Banda Aceh” yang menyimpulkan bahwa motif religius berpengaruh
secara positif terhadap pertimbangan nasabah dalam memutuskan untuk memilih
produk bank syariah, dan semakin baik implementasi bank syariah, maka
menyebabkan nasabah semakin memilih untuk menggunakan produk bank syariah.
Dan kualitas layanan juga menjadi pertimbangan nasabah, karena itu, semakin baik
pelayanan yang dilakukan oleh perbankan syariah, menyebabkan masyarakat
2018” Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, Volume 3, Nomor 2, September 2020:
229-236. 63 Yoga Arief Setiawan, Yeni Salma Barlinti, “Analisis Penggunaan Akta Subrogasi
dalam Rangka Implementasi Pasal 2 Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga
Keuangan Syariah”: 366-388 64 Early Ridho Kismawadi, “Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di Konversikannya
Bank Konvensional Ke Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus di Kota Langsa” Ihtiyath Vol. 2
No. 2 Desember (2018): 136-148.
18
cenderung memilih untuk menggunakan produk bank syariah, dibandingkan bank
konvensional.65
Dari beberapa kajian terdahulu yang telah dipaparkan, maka dapat diketahui
persamaan dan perbedaan yang akan dilakukan penelitian ini dengan yang telah
ditulis sebelumnya. Penelitian ini akan fokus pada efektivitas pelaksanaan qanun dan
juga manfaatnya terhadap masyarakat, ditinjau dari tujuan syariat, yakni
kemaslahatan. Penelitian semacam ini masih belum dilakukan dalam karya-karya
yang telah penulis paparkan sebagai kajian terdahulu yang relevan. Di antara
pentingnya penelitian ini untuk dilakukan, adalah karena penelitian terhadap
penerapan hukum ekonomi Islam secara luas dalam satu wilayah, merupakan hal
yang baru dan sangat penting dilakukan, agar dapat memberi masukan kepada
pelaksana hukum tersebut.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan dari penelitian lapangan (Field Research).
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode kualitatif, yaitu
suatu metode penelitian yang dihasilkan dari data deskritif yang didapat dari
obyek penelitian.66 Sesuai karakternya, penelitian ini mengharuskan peneliti
untuk menjadi Key of Instrument, dengan melakukan survei langsung ke lapangan
pada masa tertentu yang memadai dan menyatu dengan obyek penelitian dan
obyek lain yang mendukungnya.67 Penelitian ini menggunakan pendekatan
fenomenologi, sebagai salah satu pendekatan dalam sosiologi yang menekankan
pada makna dari suatu kejadian dan interaksi yang dibangun oleh obyek yang
diteliti.68
Sesuai dengan fokus kajian, Penelitian ini juga menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif dan empiris. Sebagaimana pendapat Soerjono
Soekanto yang menyatakan: “hukum dalam gambarannya yang lengkap
merupakan gejala dua segi, yaitu segi normatif (das Sollen) dan segi empiris (das Sein)”.69 Pendekatan ini dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti peraturan
perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dan relevansi dengan
65 Rahmah Yulianti, “Pengaruh Minat Masyarakat Aceh terhadap Keputusan Memilih
Produk Perbankan Syariah di Kota Banda Aceh” Jurnal Dinamika Akuntansi Dan Bisnis Vol.
2, No. 1, Maret (2015): 14-28. 66Krahnke, K., Giacalone, R., & Jurkiewicz, C. “Point-Counterpoint: Measuring
Workplace Spirituality” Journal of Organizational Change Management, 16(4), 2003), 396-
405. 67 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2002), 25. 68 Robert C. Bogdam and Bilken Sari Knopp, Qualitive Reseach for Education: An
Introduction to Theori and Methods, 3th Edition (Needham Heights: Viacom Company,
1998), 23. 69 Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, Penerbit
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm.113.
19
permasalahan yang diteliti. Peneliti akan memulai dengan menyusun kerangka
teoritis berdasarkan hasil studi sebelumnya yang memiliki kaitan dengan obyek
penelitian, setelah itu, baru terjun ke lapangan.70
Desain penelitian yang dilakukan dengan metode survei dengan studi
kasus deskriptif, metode ini dipilih, karena dapat dimanfaatkan untuk mengetahui
opini, sikap dan perilaku obyek yang diteliti.71 Hal ini sesuai pendapat Sekaran72
dan Malhotra,73 yang menjelaskan bahwa penelitian survei adalah salah satu yang
paling banyak digunakan dalam pengumpulan data primer, karena dengannya
akan dihasilkan data yang lebih akurat. Untuk mendapatkan data, peneliti
membuat pedoman wawancara yang dirancang sedemikan rupa untuk
menghasilkan data yang dapat menggambarkan berbagai indikator dan variable
penelitian, karena hasilnya merupakan data primer.74 Pedoman wawancara dan
kuesioner yang dibuat, dirancang untuk mengetahui persepsi yang dianggap
sebagai alat yang efektif untuk mencari pendapat dan sikap terhadap
pemberlakuan qanun No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah di
Aceh.75
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari data lapangan
yang terdiri dari hasil wawancara dengan informan sesuai dengan kriteria
informan yang menjadi obyek penelitian. Peneliti telah memilih 50 Informan yang
merupakan nasabah aktif bank syariah, Informan tersebut adalah merupakan
nasabah aktif dengan minimal transaksi 5 kali perminggu, dari total nasabah bank
syariah yang berasal dari berbagai daerah dan dari bermacam-macam pekerjaan
serta pendidikannya, guna mendapatkan gambaran efektivitas regulasi Qanun
Aceh No.11 Tahun 2018 tentang LKS, dan manfaatnya kepada kemaslahatan
hidup mereka. Penulis menanyakan pengalaman, pemikiran dan persepsi mereka
terhadap pemberlakuan wajib bank syariah di Aceh sebagai informasi kunci latar
belakang penelitian.76 Penetapan informan tersebut dilakukan dengan purposive sampling, yakni memilih dengan cara kriteria tertentu agar peneliti bisa
70 Marguerite G. Lodico, Methods in Educational Research From Theory to Practice
(San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 256. 71Ary, D., Jacobs, L. C., & Razavieh, A. Introduction to Research in Education, 7th
Ed. (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006). 72Sekaran, U. Research Methods for Business: A Skill Building Approach, (4th Ed.)
(New York: John Wiley and Sons, Inc. 2006). 73Malhotra, N. K. Marketing Research: An Applied Orientation, (fifth Ed.) (New
Jersey, USA: Prentice-Hall, Pearson Education, Inc. 2007). 74Hussey, J. and Hussey, R. Business Research: A Practical Guide for Undergraduate
and Postgraduate Students, (MacMillan Business, Oxford. 1997). 75Ghauri, P.N. and Gronhaug, K. Research Methods in Business Studies: A Practical
Guide, (Financial Times Prentice Hall, New York, NY.2002), 76 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006), .
20
mendapatkan informasi secara mendalam untuk mengungkapkan fenomena yang
terjadi.77 Peneliti juga melakukan wawancara dengan 5 (Lima) bank syariah yang
beroperasi di Aceh, yakni: Bank Aceh (IB), Bank Muamalat, Bank BCA Syariah,
May Bank Syariah dan BSI (Bank Syariah Indonesia). Dengan dua kelompok
informan ini, yakni pihak masyarakat dan pihak Bank, diharapkan akan diperoleh
data yang komprehensif dan memenuhi semua variabel penelitian.
Sedangkan Data sekunder bersifat dokumen yang diperoleh dari sumber-
sumber pustaka yang terdiri dari buku, jurnal internasional dan nasional,
Peraturan pemerintah, berita online, data online milik bank, data online
pemerintah Aceh, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian, dan
dikumpulkan dengan cara dokumentasi.
3. Teknik Analisis
Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu analisis yang
dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumus statistika dan matematika.
Dalam analisis ini, untuk efektivitas hukum menggunakan teori Montesquiue,
yaitu: Ringkas dan mudah dimengerti, mudah dilaksanakan, dan mengakomodir
keragaman. Selain itu, penulis juga menggunakan teori Soerjono Soekanto, yaitu:
Isi undang-undangnya, penegak hukumnya, sarana dan fasilitasnya,
masyarakatnya, dan budaya hukum masyarakatnya.
Prosedur analisa data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
prosedur analisis Milles dan Huberman. Menurut Milles dan Hubetman analisis
data dalam penelitian kualitatif secara umum dimulai sejak pengumpulan data,
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.78
Berdasarkan pada teori ini, maka peneliti akan mengumpulkan data dengan
datang ke Aceh untuk observasi lapangan, bertemu dengan informan dan
melakukan wawancara, kemudian setelah mendapatkan semua data yang
diperlukan, maka akan dilakukan reduksi, diolah dianalisis, dan dibuat
kesimpulan atas data tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri enam (6) bab, dan masing-masing bab memiliki sub judul.
bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang: latar belakang masalah,
permasalahan yang dirinci dengan identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah,
dan pembatasannya, dilanjutkan dengan tujuan penelitian, dan signifikansi serta
manfaat dari penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan praktis, kajian
terdahulu yang relevan, dan metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian,
sumber data dan teknik pengumpulannya, serta analisis data yang digunakan.
Bab Kedua berisi kerangka teori dan perdebatan akademik mengenai
pemberlakuan syariat Islam dan kemaslahatan umat. Pada bab ini berisi sejumlah
77 R. Krisyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), 78 Matthew B.Milles dan A. Michael Huberman. Qualitative Data Analysis: A
Sourebook of New Methods (Bavery Hills:Sage Publication, 1986), 16.
21
konsep penting yang merupakan konstruksi ilmu dalam studi ini. Seperti konsep
negara dan agama, konsep maslahat, dan teori penerapan hukum Islam. Dalam bab
ini, penulis mencoba memaparkan perdebatan dari para sarjana mengenai konsep
suatu negara, posisi syariat Islam, dan kedudukan syariat Islam di Aceh. Konsep teori
mengenai efektivitas penerapan hukum, yang mengkaji mengenai aspek-aspek yang
mempengaruhi efektivitas suatu undang-undang ditengah-tengah masyarakat yang
meliputi: Peraturan perundang-undangan, penegak hukum, sarana dan fasilitas
penunjang penegakan hukum, masyarakat yang menjadi objek hukum serta budaya
hukum di dalam masyarakat. Dalam bab ini juga dibahas perdebatan para sarjana
mengenai bunga bank dan di akhir pembahasan, dijelaskan konsep maslahat dan
indikatornya
Bab Ketiga merupakan gambaran dari obyek penelitian. Bab ini menganalisis
tentang kondisi kota Banda Aceh, dan lembaga perbankan yang beroperasi di sana,
dengan mengungkap sejumlah langkah yang telah dilakukan oleh pihak bank dalam
mengantisipasi permasalahan yang timbul akibat pemberlakuan qanun Aceh No. 11
tahun 2018.
Bab Keempat merupakan bab inti penelitian yang berisi data dan hasil
analisis implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga
Keuangan Syariah. Pada bab ini di bahas efektivitas penerapan wajib bank syariah
ditinjau dari 5 faktor, isi undang-undangnya, penegak hukumnya, sarana dan
fasilitasnya, masyarakat dan budaya hukumnya.
Bab Kelima juga merupakan bab inti penelitian. Dalam bab ini akan dibahas
mengenai posisi lembaga perbankan dalam perekonomian suatu negara, prinsip-
prinsip syariah dan pentingnya untuk ditaati oleh bank syariah, implementasi prinsip
syariah, sebagai gambaran ketaatan bank terhadap ketentuan syariah, dan di akhiri
dengan penjelasan tentang manfaat penerapan wajib bank syariah terhadap
kemaslahatan rakyat di Aceh yang diukur dengan indikator maslahat yang telah
dipaparkan.
Bab Keenam sebagai bab penutup berisi kesimpulan dari lima bab yang
ditulis sebelumnya. Selain kesimpulan, bab ini juga memberikan rekomendasi berupa
saran yang bisa dijadikan pertimbangan dalam bidang akademik dan praktis bagi
peneliti selanjutnya dan bagi pemerintah Aceh.
23
BAB II
PEMBERLAKUAN SYARIAT ISLAM
DAN KEMASLAHATAN UMAT
A. Syariat Islam di Aceh
Masyarakat Aceh sangat teguh memegang syariat Islam. Berdasarkan sudut
pandang sosio-budaya, tampak bahwa unsur Islam telah menyatu dengan budaya
hidup masyarakat dan mengendalikan kehidupan mereka. Islam telah terbentuk
menjadi identitas bagi masyarakat Aceh sejak masa pertama datang dari Jazirah
Arab.1 Nilai-nilai hukum dan norma adat masyarakat Aceh sudah menyatu dengan
Islam,2 Sehingga B.J Bollan menyimpulkan “Being an Acehnese is equivalent to being a Muslim” (menjadi orang Aceh berati menjadi seorang Muslim).3 Hukum
Islam telah mempengaruhi hukum adat masyarakat Aceh dalam semua aspek
kehidupan, dan dapat dikatakan bahwa hukum adat dan hukum Islam telah melebur
menjadi satu kesatuan hukum. Terdapat sebuah Adagium yang masih terus
dipegang teguh oleh masyarakat Aceh, yaitu: “Adat bak po Teummeurehum, Hukum bak Syah Kuala, Qanun bak Putro Pahang, reusum bak Laksamana”.4 Hal
ini sesungguhnya mengandung makna tentang pembagian kekuasaan dalam
kesultanan Aceh masa lalu, di mana kekuasaan politik dan adat berada di tangan
sultan (Po Teummeurehum), kekuasaan pelaksanaan hukum berada di tangan ulama
(Syiah Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang berada di tangan Putro Pahang,
dan peraturan protokoler (reusam) ada di tangan laksamana (panglima perang
Aceh).5
Arskal Salim menyatakan ada 3 alasan mengapa masyarakat Aceh
menjadikan Islam sebagai identitasnya. Pertama, adanya catatan sejarah bahwa
perkembangan Islam di Indonesia bermula dari Aceh. Kedua, kerajaan Islam
pertama di Indonesia berdiri di Aceh, yang dibuktikan dengan penemuan batu nisan
Raja Samudra Sultan Malikussalih yang tercatat pada tahun 1927. Menurut
Ricklefs, penemuan itu menunjukkan bahwa kerajaan Islam yang pertama di
Indonesia adalah di Aceh. Ketiga, penerapan syariat Islam di Aceh telah melewati
1 Yusni Saby, “Apa Pentingnya Studi Aceh”, dalam buku M. Jakfar Puteh, Sistem
Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012),
xxxi. 2Abidin Nurdin, “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh: Peran Budaya Dalam
Menyelesaikan Konflik Masyarakat”, Analisis Vol. XIII No. 1 Juni 2013, 139. 3 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003), 48; Hasnil Basri Siregar, “Lessons Learned from The Implementation
of Islamic Shari’ah Criminal Law In Aceh, Indonesia”, Journal of Law and Religion, Vol.
24, No. 1 (2008/2009), pp. 143-176,147; Nur Jannah Ismail, “Syariat Islam dan Keadilan
Gender”, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies 24 – 27 February
2007, 6-7. 4 Mohd Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk
Indonesia (Bandung: Unpad Press, 2009), 38. 5 Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat di Aceh dan Kelantan (Tangerang
Selatan: LSIP, 2014),70-72.
24
waktu yang sangat panjang dalam sejarah, sehingga menjadi motivasi bagi
masyarakat Aceh untuk menjadikan Islam sebagai identitasnya.6
Dilihat dari sudut pandang tujuan dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh,
tampak ada dua sudut yang berbeda, pertama sisi ke-Indonesiaan, yaitu
pemberlakuan syariat Islam di Aceh bertujuan untuk mencegah agar Aceh tidak
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sini dapat terlihat
bahwa proses pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang
terjadi secara alami, tetapi lebih merupakan sebuah kebijakan politik dalam rangka
menjaga keutuhan wilayah negara. Penerapan syariat Islam pada tahap ini bertujuan
untuk mengurangi rasa tidak puas Aceh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah
pusat dan untuk mendatangkan kenyamanan secara psikologis bagi masyarakat
Aceh dalam naungan NKRI.7 Kedua, Keinginan rakyat Aceh, di mana
pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan cita-cita dan hasrat yang sudah
lama diinginkan rakyat Aceh, yang salah satunya menyebabkan pemberontakan
DI/TII yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud Beureueh.8
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut Pemerintah Indonesia melalui
DPR-RI telah mengesahkan UU No. 44 Tahun 19999 yang mengatur pelaksanaan
untuk keistimewaan yang diberikan kepada Aceh pada tahun 1959.10 Setelah itu
disahkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
6 Arskal Salim,“Shari’a From Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity And
The Right To Self-Determination With Comparative Reference to The Moro Islamic
Liberation”, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No. 92, (2004) Front (Milf), 83;
Javier Gil Pérez, “Lessons of peace in Aceh: administrative decentralization and political
freedom as a strategy of pacification in Aceh”, Icip Working Papers: International Catalan Institute, 2009, 11; Liht Asma Uddin, "Religious Freedom Implications of Sharia
Implementation in Aceh, Indonesia", University of St. Thomas Law Journal: Vol. 7: Iss. 3
(2010), Article 8, 615. 7 Zainun Kamal, Dkk. Islam Negara & Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer, (Jakarta; Paramadina, 2005), 35-37. 8 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari
Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 21. Lihat juga Geoffrey
Robinson, “Rawan Is As Rawan Does: The Origins Of Disorder In New Order Aceh”,
Indonesia, No. 66 (Oct., 1998), pp. 126-157, 130. http://www.jstor.org/stable/3351450,
(diakses pada tanggal 19 nov 2014). 9 Menurut pasal 3 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 ada empat
bidang keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Aceh, yaitu: (1). Penyelenggaraan
kehidupan beragama; (2). Penyelenggaraan kehidupan adat; (3). Penyelenggaraan
pendidikan, dan(4). Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah. 10 Aceh sebagai Daerah Istimewa sebenarnya telah muncul sejak tahun 1959
berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 yang ditanda
tangani oleh Mr. Hardi. Sebagai daerah otonomi, melalui surat keputusan tersebut, kepada
Aceh diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yaitu: Keagamaan, Peradatan dan
Pendidikan. Namun keistimewaan tersebut terutama hak untuk menjalankan syariat Islam
di Aceh (bidang keagamaan) tidak pernah terealisasikan karena tidak pernah dikeluarkan
peraturan pelaksanaannya. Bahkan ada kesan keistimewaan tersebut dihalangi dan secara
tidak langsung dicabut kembali dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah.
25
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam undang-
undang ini, Aceh diberikan Peradilan Syariat Islam yang akan dijalankan oleh
Mahkamah Syariah yang kewenangannya ditetapkan dengan qanun.
Secara formal aplikasi syariat Islam di Aceh telah didukung oleh qanun-
qanun yang bersifat publik, ada empat qanun yang diterapkan kepada masyarakat
Aceh di awal penerapan syariat Islam, yaitu (1) Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, (2) Qanun No.
12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar (minuman keras), (3) Qanun No. 13
Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang
Khalwat (perbuatan mesum), dan pada tahun 2018 lahir Qanun No. 11 tentang
lembaga keuangan Islam.
Dalam rangka mewujudkan syariat Islam yang dapat berperan sesuai dengan
yang dicita-citakan, maka penerapan syariat Islam ini memerlukan kesiapan
masyarakat dan adanya penegakan hukum atasnya. Karena itu, dibentuklah
wilayatul hisbah11 sebagai pengawas terhadap pemberlakuan syariat Islam di Aceh
agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Lembaga ini dibentuk
berdasarkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 01 Tahun 2004
dengan susunan organisasi yang terdiri atas Wilayatul Hisbah Provinsi, Wilayatul
Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota, Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamatan, Wilayatul
Hisbah Kemukiman, dan memungkinkan untuk di bentuk di tingkat desa
(Gampong).12
Formalisasi dan legalisasi syariat Islam di Aceh merupakan hasil dari konflik
yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Republik Indonesia, dan pemberian otonomi khusus dengan pemberlakuan syariat
Islam ini bertujuan untuk mengakhiri konflik vertikal tersebut.13 Akumulasi
konflik di Aceh memiliki akar politik yang sangat dalam dan merentang panjang
sepanjang sejarah Aceh. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah pusat
dalam merespons dan menyelesaikan konflik Aceh, kebijakan yang dianggap
sebagai solusi bagi Aceh adalah diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).14 UU OTSUS
ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD, yang
mencantumkan empat keistimewaan pokok bagi Aceh; (1) keistimewaan dalam
menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam
bagi pemeluknya; (2) keistimewaan dalam menyelenggarakan pendidikan;
11 Wilayatul Hisbah adalah suatu lembaga yang secara khusus bertugas dalam
pengawasan, pembinaan, dan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
bidang syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi> munkar. 12 Lihat Pasal 14 ayat (2) Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan
syariat Islam bidang akidah, ibadah dan syi’ar Islam. 13 Husni Mubarok A. Latief, “Disonansi Qanun syariat Islam dalam Bingkai
Konstitusi Indonesia: Aceh Sebagai Studi Kasus”, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS XII), 27080.
14 Meskipun pada tangal 15 Agustus 2005 pihak Pemerintah RI dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) telah menandatangani kesepakatan damai di Aceh, tetapi kesepakatan itu
tetap berada dalam konteks UU Otomi Khusus bagi Aceh.
26
(3)keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan adat; dan (4) keistimewaan
menempatkan peran ulama dalam penetapan kebijakan. Berdasarkan kedua undang-
undang pokok soal Aceh itulah, otoritas legislasi Aceh menyusun berbagai qanun
sebagai aturan derivatifnya.15 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Aceh menjadi bertambah dalam
menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam merealisasikan UU yang tidak
terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada Bab XVII Pasal 128-
137 yang memberikan kewenangan bagi Pemerintah Aceh dalam penerapan syariat
di berbagai aspek (termasuk jina>ya>t).16
Sebagai sebuah peraturan daerah yang muncul setelah berlakunya Otonomi
Khusus bagi Aceh, maka qanun-qanun tersebut secara yuridis dipayungi oleh
undang-undang, yakni undang-undang No. 44 tahun 1999, undang-undang No. 18
tahun 2001, dan undang-undang No. 11 tahun 2006.17 Dalam UU No. 44 Tahun
1999, pada Pasal 12 terdapat penjelasan bahwa peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dan atau tidak sesuai dengan UU tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu qanun di Aceh juga dilindungi oleh UU Pemerintahan Aceh, pada Pasal
269 dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada pada saat UU
Pemerintah Aceh diundangkan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini. Untuk mendukung kelangsungan pemberlakuan syariat Islam di
Aceh, maka Pemerintah Aceh telah membentuk lembaga-lembaga penegak syariat
Islam di daerah tersebut seperti, Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar’iyah, Majelis
Adat Aceh dan lembaga-lembaga lainnya.
Dalam perjalanannya penegakan syariat Islam di Aceh tidaklah mudah. Hal
ini karena belum ada suatu negara-pun yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam
penegakan syariat Islam.18 Sementara itu Alyasa’ Abu Bakar mengatakan bahwa
penerapan syariat Islam di Aceh masih trial and error (uji coba), sehingga masih
memerlukan masukan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya.19 Alyasa’
mengakui bahwa masih ada kekhawatiran sebagian kalangan mengenai penerapan
syariat Islam secara formal di Aceh, baik dari sisi aturan maupun pelaksanaannya.
Namun, kekhawatiran semacam ini sebenarnya tidak perlu muncul secara
berlebihan, karena terdapat beberapa prinsip yang menyertai penerapan syariat
Islam. Pertama, Syariat Islam itu dari segi isinya lebih menyentuh aspek Islam
secara luas. Kedua, Syariat Islam yang diberlakukan sesuai dengan konteks budaya
Aceh yang memang sudah melekat dengan ajaran Islam, dan bukan syariat Islam
dalam konteks budaya Arab, sehingga akan lebih mudah diimplementasikan.
Ketiga, Penerapan syariat Islam berlangsung secara bertahap, tidak serta merta
membuat pemaksaan, karena diikuti dengan sosialisasi dan pemberian pemahaman
15 Pasal Pasal 11 UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, Pasal 9 dan 11
UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otsus. 16 Muhammad Yani, Pelaksanaan Hukum Jinayat Di Aceh....,4. 17 Sukron Kamil dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah...,126. 18 Azumardi Azra, Belum ada negara sebagai acuan Syari’at Islam, 183-191; Lihat
Juga Samsul Bahri, “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Wilayah NKRI”, 6. 19 Samsul Bahri, “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Wilayah NKRI”,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12 No 2 Mei (2012), 6.
27
ajaran Islam kepada rakyat secara berkelanjutan.20 Sementara itu sebagian sarjana,
dalam kritiknya terhadap formalisasi syariat Islam di Aceh mengatakan bahwa,
penerapan syariat Islam yang konservatif di Aceh mesti jadi pelajaran bagi
pemerintah, agar tidak terulang kegagalan dalam mengatasi konflik sehingga
membiarkan kelompok konservatif mendikte syariat Islam seperti yang terjadi di
Aceh, karena tidak disadari bahwa Islam di Aceh telah dieksploitasi sedemikian
rupa oleh kelompok konservatif dan pemberontak untuk mendapatkan kekuasaan.21
Ketakutan atau fobia terhadap penerapan syariat Islam merupakan sesuatu
yang terlalu dibesar-besarkan. Syariat Islam sama sekali tidak bertujuan untuk
menganiaya manusia, bahkan menurut syariat Islam, binatang dan lingkungan
sekitar tidak boleh dizalimi, karena tujuan syariat Islam adalah untuk memelihara
hak-hak manusia dan memberi mereka perlindungan serta keselamatan. Karena itu,
merasa takut terhadap syariat Islam, apa lagi memusuhinya adalah sikap dan
tindakan yang tidak beralasan. Kekerasan dan penyelewengan hukum memang
pernah terjadi dalam sejarah Islam, tetapi itu juga pernah terjadi dalam agama dan
komunitas mana pun di dunia ini, termasuk Yahudi, Kristen dan Barat. Demikian
juga sebaliknya, sejarah menjadi saksi atas kesuksesan syariat Islam menciptakan
masyarakat yang makmur dan sejahtera serta penegakan hukum yang adil secara
mengagumkan. Titik paling penting yang harus diketahui adalah bahwa syariat
Islam bukanlah sebuah kumpulan peraturan yang baku, statis dan rinci, bukan pula
sebuah petunjuk teknis atau manual yang menjadi pegangan setiap muslim dalam
menjalankan kehidupan di dunia ini, sehingga ia tidak perlu lagi berpikir, apa yang
harus dilakukan dan bagaimana ia harus melakukannya. Syariat Islam adalah
sebuah paradigma moral yang bersandar pada ketundukan kepada Tuhan. Karena
itu penerjemahan syariat Islam dengan hukum Islam sebenarnya dapat dipandang
sebagai sebuah kekeliruan, walaupun telah digunakan secara luas. Istilah hukum
Islam barangkali lebih tepat disamakan dengan fikih, yakni syariat yang telah
ditafsirkan dan dituangkan dalam sebuah undang-undang, sehingga menjadi
realistis dan dapat dipraktikkan. Meskipun aturan-aturan ini telah menjadi hukum
positif, tetapi tetap berdimensi spiritual, yakni, pelaksanaan atau penerapan
hukumnya tetap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengabdian kepada
Tuhan. Hal ini merupakan muatan psikologis dari pentingnya penyerapan syariat
Islam bagi masyarakat Muslim, dan ini juga yang menjadi salah satu alasan
mengapa penerapan syariat Islam di Aceh akan sangat menentukan masa depan
Aceh itu sendiri.22
Berkaitan dengan pemberlakuan syariat Islam dalam negara, Mahfud MD
menjelaskan dalam pengantar buku Syarah Konstitusi Dalam Perspektif Islam yang
ditulis oleh Masdar Farid Mas’udi, bahwa dengan dasar Pancasila dan UUD 1945,
Indonesia merupakan negara yang islami, tetapi bukan negara Islam. Sifat islami
20 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007), 351. 21 Nurohman, “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia”, Arrisalah, Volume 12
Nomor 1, Mei 2012, 87-88. 22 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003), 47-48.
28
yang dimaksud oleh Mahfud adalah negara yang secara resmi tidak menggunakan
nama dan simbol-simbol Islam, tetapi substansi hukumnya mengandung nilai-nilai
ajaran Islam, seperti kepemimpinan yang adil, amanah, demokratis, menghormati
hak asasi manusia, pernikahan yang mengikuti syariat, dan lain sebagainya.23 Para
pendiri Bangsa memilih menerapkan syariat Islam secara substantif, di dasarkan
atas argumen bahwa dalam sumber primer ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunah) tidak
ada keharusan bagi umat muslim untuk membentuk negara Islam, yang terpenting
adalah adanya negara yang melindungi dan menjamin kebebasan untuk menjalakan
ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam.24 Selain itu, tokoh-tokoh Islam Indonesia
pada masa lalu telah berjuang melalui jalur konstitusi yang demokratis, dan
menawarkan Islam sebagai dasar negara,25 tetapi hasil kesepakatan yang ditetapkan
melalui proses politik yang demokratis, telah menetapkan Pancasila sebagai dasar
negara.26
Masykuri Abdillah mengatakan bahwa orientasi pelaksanaan syariah terbagi
dalam 3 bentuk. 1) Pelaksanaan syariat secara formal untuk hukum-hukum privat,
seperti hukum keluarga, zakat, haji, wakaf dan perbankan dapat dilaksanakan dalam
negara, 2) Pelaksanaan syariat Islam secara substantif, seperti hukuman mati bagi
tindak pembunuhan dimana secara materi sama hukumannya dengan kisas 3)
Pelaksanaan syariat Islam secara esensial, yaitu apabila pelaksanaan syariat Islam
secara substantif sulit untuk diwujudkan karena konteks kekinian, misalnya
hukuman penjara bagi tindak pidana pencurian. Secara esensi, hukuman tersebut
telah sesuai dengan ruh hukum Islam, dalam hal bahwa pencurian merupakan
kejahatan yang harus diberi sanksi. Pandangan semacam ini menjadikan syariat
Islam sebagai sumber etika moral dalam penetapan hukum nasional dan kebijakan
publik lainnya.27
Sementara itu, dua ormas Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah tidak mendukung adanya pemberlakuan syariat Islam
dalam Negara. Hasim Muzadi menjelaskan bahwa perjuangan untuk menegakkan
syariat Islam di Indonesia tampak tidak realistis, sedangkan yang lebih utama
adalah menerapkan nilai-nilai universal demi kemakmuran rakyat dan bukan
23 Muh. Mahfud MD, “Jiwa Syariat Dalam Konstitusi Kita”, dalam Masdar Farid
Mas’udi, Syarah Konstitusi UU 1945 Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2011), XVII. 24 Dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tentang kebebasan untuk memiliki atau
memeluk agama yang mereka anut atau percayai dan kewajiban memiliki agama yang di
anut dan juga beribadah sesuai agama yang mereka percayai. Hal ini berarti tidak ada ruang
untuk ateisme sebagaimana kebebasan beragama yang ada di Amerika dan negara-negara
Barat lainnya. 25 Martin van Bruinessen, “Islamic state or state Islam? Fifty years of state-Islam
relations in Indonesia”, Ingrid Wessel (ed.), Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts, Hamburg: Abera-Verlag, pp. 19-34, 4.
26 Arif Hidayat, “Formalization Of Sharia Law In Indonesia (A Constitusion
Perspective)”, Proceeding - Kuala Lumpur International Business, Economics And Law Conference Vol. 3. December 2 - 3, 2013, 78.
27 Maskuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan, 2005), 7.
29
mendorong gagasan syariat Islam untuk diterapkan di Indonesia. senada dengan itu,
Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa komitmen persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia harus lebih diutamakan, karena merupakan amanat dari para pendiri
Bangsa.28 Berkaitan dengan pandangan 2 tokoh tersebut, Anis Baswedan
menjelaskan bahwa fokus umat Islam saat ini bukanlah menjadikan Islam sebagai
dasar negara Indonesia, tetapi bagaimana membawa warna Islam ke dalam
kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen, inilah menurutnya yang menjadi
pendekatan syariah yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
B. Efektivitas Penerapan Hukum
Efektivitas pemberlakuan hukum merupakan suatu indikator untuk menilai
penerapan suatu hukum, atau bisa juga dikatakan untuk mengukur keberhasilan dari
target yang telah ditetapkan dalam penerapan suatu hukum.29 Efektivitas berasal
dari kata dasar efektif, artinya: memiliki pengaruh, akibat, membawa hasil atau
berhasil guna. Sedangkan dalam penggunaannya untuk efektivitas hukum, adalah
posisi hukum sebagai kaidah yang merupakan patokan mengenai sikap, tindakan
atau perilaku yang pantas. Achmad Ali mengatakan bahwa ketika ingin mengetahui
sejauh mana efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus dapat mengukur
sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Pada umumnya, faktor
yang banyak menentukan dalam efektivitas suatu hukum adalah profesionalitas,
peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum baik di dalam menjalankan
tugas yang di bebankan kepada mereka, maupun dalam menegakkan ketentuan
perundang-undangan.30 Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa efektivitas
hukum adalah kesesuaian antara apa yang di atur dalam hukum dengan
pelaksanaannya.
Efektif adalah ukuran bagaimana suatu kelompok dapat mencapai
tujuannya.31 Suatu hukum dapat dinyatakan efektif apabila memiliki dampak yang
positif. Pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing atau
mengubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku mereka menjadi sesuai
dengan hukum.32 Dikatakan pula bahwa pengertian efektivitas adalah suatu
keadaan yang mengandung keadaan terjadinya suatu efek yang dikehendaki.33
Penegakan hukum adalah sebuah upaya yang dilakukan dalam proses
memfungsikan ketentuan hukum sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan
bermasyarakat di dalam negara. Dari segi subjeknya, penegakan hukum dapat
28 Nadirsyah Hosen, “Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate”
Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 36, (2005), 426. 29 Bambang Sutiyiso, Aktualisasi Hukum Dalam Era Reformasi (Jakarta: Rajawali
Pers, 2004), 58. 30 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Vol.1 (Jakarta: Kencana,
2010), 375. 31 Soerjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi (Bandung: CV.
Ramadja Karya, 1988), 80. 32 Soerjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, 80. 33 The Liang Gie, Efisiensi Kerja Bagi Pembangunan Negara (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1981), 21.
30
dilakukan oleh subjek hukum yang luas dan subjek hukum yang sempit atau
terbatas. Penegakan hukum dalam arti luas melibatkan semua subjek hukum dalam
setiap hubungan hukum, maksudnya adalah siapa saja yang menjalankan aturan
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri
pada norma atau aturan hukum yang berlaku, maka dia disebut telah menjalankan
atau menegakkan hukum. Sedangkan penegakan hukum dalam arti sempit adalah
penegakan hukum yang diartikan sebagai upaya aparat penegak hukum tertentu
untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu ketentuan hukum dapat berjalan
sebagaimana mestinya.34 Dengan demikian, maka dapat diambil dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum baik dalam arti formal yang sempit maupun material yang luas
sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan masyarakat, baik oleh subjek
hukum maupun oleh penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang untuk
menjamin berfungsinya ketentuan hukum yang berlaku.
Penegakan hukum tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban, hal
ini disebabkan karena hukum selalu identik dengan penegakan peraturan
perundang-undangan. anggapan semacam ini, adalah kurang tepat, karena hukum
itu harus di lihat dalam satu sistem yang menimbulkan interaksi tertentu dalam
berbagai unsur. Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations) namun mencakup bidang yang luas yang meliputi
struktur, lembaga dan prosedur yang mengisinya, serta terkait dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure) masyarakatnya. Lawrence Friedman menjelaskan bahwa unsur-unsur sistem hukum
itu terdiri dari dari 3 aspek, yaitu: struktur hukum (legal structure), substansi
hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).35
Adapun struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif
serta lembaga-lembaga terkait seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, komisi
yudisial dan lain sebagainya. Sedangkan substansi hukum adalah segala yang
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Dan budaya hukum adalah semua
hal yang berkaitan dengan pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat
mengenai pemikiran, nilai-nilai, dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku,
atau bisa juga dikatakan bahwa budaya hukum adalah iklim dari pemikiran sosial
tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan. Budaya
hukum ini sangat penting, karena tanpa budaya hukum sistem hukum tidak akan
mempunyai kekuatan, bahkan keadaannya dianggap seperti ikan mati yang terkapar
di keranjang, tidak seperti ikan hidup yang berenang di lautan.36
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan masyarakat terhadap
ketentuan hukum, menurut Achmad Ali, C.G. Howard dan R.S. Mumner,
jumlahnya ada 8 (delapan), yaitu:
1) Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi
target aturan hukum. Karena itu, maka pembuat aturan hukum tersebut
34 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/Penegakan
_Hukum.pdf (diakses pada tanggal 5 Oktober 2015). 35 Lawrence Friedman, American Law (London: W.W. Norton & Company, 1984), 6. 36 Donald Black, Behavior of Law (New York: Academic Press, 1976), 2.
31
harus mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan
peraturan tersebut;
2) Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah
dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum tersebut.
Perumusan substansi hukum harus dirancang dengan baik, ditulis dengan
jelas dan mudah dipahami secara pasti, meskipun nantinya tetap akan
membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan
menegakkannya;
3) Aturan yang dibuat bersifat melarang dan tidak mengharuskan,
ketentuan semacam ini, apabila hukum tersebut adalah aturan
perundang-undangan, karena hukum yang bersifat melarang
(prohibitation) lebih mudah untuk dilaksanakan daripada ketentuan
yang sifatnya mengharuskan;
4) Sanksi yang di ancamkan oleh aturan hukum tersebut harus disetarakan
dengan sifat aturan hukum yang di langgar, karena satu sanksi yang
dapat dianggap tepat pada suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat
untuk tujuan lainnya. Berat atau ringannya sanksi yang di ancamkan
dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk
dilaksanakan. Sebab jika sanksi yang ditetapkan terasa terlalu ringan
untuk suatu jenis kejahatan, tentunya akan mengakibatkan warga
masyarakat tidak segan untuk melakukan kejahatan tersebut;
5) Memungkinkan untuk ditegakkan oleh penegak hukum dalam
memprosesnya apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum yang
ditetapkan, karena tindakan yang di atur dan di ancam dengan sanksi
memang suatu tindakan yang konkret, dapat dilihat, dan diamati,
sehingga memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan
(penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penghukuman). Dengan
demikian, maka membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan
sanksi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat gaib atau mistik adalah
mustahil untuk bisa efektif, karena mustahil untuk ditegakkan melalui
proses hukum. Seperti menetapkan sanksi untuk perbuatan yang sering
dikenal dengan sihir atau teluh, karena sulit untuk dibuktikan;
6) Mengandung nilai moral yang dianut oleh masyarakat. Aturan hukum
yang mengandung nilai moral akan jauh lebih efektif daripada aturan
hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang di anut oleh
masyarakat yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut;
7) Mengikuti standar hidup sosio-ekonomi minimal masyarakat, hal ini
disebabkan karena efektivitas hukum dipengaruhi oleh kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat. Hukum juga tidak akan bisa efektif jika
keadaan masyarakatnya tidak tenteram karena terjadinya kekacauan
atau peperangan.
8) Sosialisasi kepada seluruh target aturan hukum secara optimal. tidak
boleh ada keyakinan bahwa semua produk hukum telah diketahui oleh
semua penduduk dengan benar atau menganggap bahwa semua warga
masyarakat telah mengetahui semua aturan hukum yang ada, karena
32
tidak mungkin semua warga masyarakat mampu mengetahui keberadaan
suatu hukum dan substansinya, tanpa adanya sosialisasi yang optimal. 37
Penegakan hukum yang baik berhubungan dengan harmonisasi antara nilai-
nilai dengan kaidah-kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. Dalam rangka
untuk mewujudkan harmonisasi tersebut, terdapat tiga hal yang berkaitan dengan
pemberlakuan hukum, yaitu: aspek yuridis, sosiologis dan filosofis. Mengenai
berlakunya hukum secara yuridis, ada beberapa tokoh yang memberikan
pernyataan. Di antaranya Hans Kalsen yang menyatakan bahwa hukum mempunyai
sifat yuridis jika dalam menetapkannya didasarkan atas kaidah atau undang-undang
yang lebih tinggi tingkatannya. Sementara itu, W. Zavenbereng menyatakan bahwa
suatu ketentuan hukum dianggap mempunyai sifat yuridis apabila ketentuannya
terbentuk sesuai kaidah yang telah ditetapkan. sedangkan Logemann berpendapat
bahwa ketentuan hukum bersifat mengikat jika mengandung hubungan keharusan
antara suatu kondisi dan akibatnya. Adapun berlakunya hukum secara sosiologis,
ada dua teori yang menjelaskan hal tersebut, yaitu teori kekuasaan yang pada
pokoknya menyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiologis jika berlakunya
dipaksakan oleh penguasa tanpa memperdulikan apakah masyarakat menerimanya
atau menolaknya. kemudian pengakuan yang berpangkal pada pendirian bahwa
berlakunya hukum di dasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat
atas sistem hukum yang diterapkan. Dan berlakunya hukum secara filosofis adalah
apabila di dalam ketentuan hukum tersebut terdapat kesesuaian dengan apa yang
dicita-citakan oleh hukum sebagai suatu nilai positif yang tertinggi.38 Ketentuan
hukum harus memenuhi ketiga unsur tersebut supaya dapat berfungsi dengan baik.
Sebab, jika hanya memiliki kekuatan yuridis, maka ada kemungkinan hukum
tersebut hanya merupakan kaidah yang mati, jika hanya memiliki sifat sosiologis,
maka hukum tersebut hanya menjadi aturan pemaksa, dan jika hanya memiliki sifat
filosofis, maka hukum tersebut hanya menjadi kaidah yang sekedar menjadi
harapan.39
Penegakan hukum merupakan proses menyerasikan antara apa yang ada di
dalam rumusan sejumlah peraturan terhadap penciptaan, pemeliharaan dan
mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup di masyarakat.40 Keadaan
tersebut dapat di tinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut
Soerjono Soekanto masalah pokok dalam penegakan hukum terletak pada
hukumnya itu sendiri atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, penegak
37 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 376-378; Heru
Muljanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP ) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta (Tesis Univ.
Sebelas Maret Surakarat, 2008), 22. 38 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1983), 34. 39 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan Indonesia, 35-36. 40 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan
Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 373.
33
hukumnya, yaitu pihak-pihak yang mengawal penerapan hukum, sarana dan
fasilitas yang mendukung penerapan hukum, masyarakat di mana hukum tersebut
diberlakukan dan budaya hukum dalam masyarakatnya.41 Kelima faktor tersebut
saling berkaitan erat karena esensi dari penegakan hukum. Lima faktor ini
merupakan tolak ukur daripada efektivitas pemberlakuan hukum.
Sedangkan Achmad Ali mengatakan bahwa efektivitas suatu perundang-
undangan banyak tergantung pada 4 (empat) faktor, yaitu: 1) Pengetahuan tentang
substansi perundang-undangan, 2) Cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut, 3)
Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam
masyarakat, 4) Proses lahirnya suatu perundang-undangan. Suatu aturan
perundang-undangan tidak boleh di lahirkan secara tergesa-gesa hanya untuk
kepentingan sesaat yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall dengan sweep legislation
(undang-undang sapu) yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat tempat berlakunya hukum.42
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum
adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur
yang andal, sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Kehandalan dalam kaitannya di sini adalah meliputi keterampilan profesional dan
mempunyai mental yang baik, sebagaimana pendapat J. E. Sahetapy yang
menjelaskan bahwa pada prinsipnya, penegakan hukum harus bisa memberi
manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, yang mengharapkan suatu
keadilan dalam penegakan hukum. Karena itu, keadilan harus diperhatikan dalam
pelaksanaan penegakan hukum, karena sifatnya hukum adalah umum, mengikat
setiap orang dan bersifat menyamaratakan. Sedangkan sifat adil itu subjektif dan
tidak sama rata. Karena sesuatu yang sama rata itu belum tentu adil.43
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah yang berpengaruh terhadap
efektivitas hukum tertulis ditinjau dari faktor aparatnya bergantung pada 4 macam,
yaitu: 1) keterikatan petugas penegak hukum dengan peraturan-peraturan yang
diberlakukan, 2) kebijaksanaan petugas penegak hukum, 3) keteladanan petugas
penegak hukum untuk masyarakatnya, 4) Kesesuaian petugas penegak hukum
dengan bidang-bidang tugasnya, sehingga batas-batas yang menjadi wewenangnya
menjadi jelas. Sedangkan Menurut Daniel S. Lev yang paling menentukan dalam
proses penegakan hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, karena
hukum merupakan alat politik, tempat hukum dalam negara tergantung pada
keseimbangan politik, kekuasaan, ideologi negara, keadaan ekonomi, dan kondisi
sosial masyarakat.44
Faktor ketiga yang menjadi penentu efektivitas hukum adalah sarana atau
fasilitas, peranannya sangat penting dalam penegakan hukum, karena tanpa adanya
41 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 8;
Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 62. 42 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 378-379. 43 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993), 2. 44 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,
Cet I (Jakarta: LP3S, 1990), 45.
34
sarana atau fasilitas yang mendukungnya, penegak hukum tidak akan mampu
menyerasikan fungsi yang seharusnya dengan fungsi yang ada. Soerjono Soekanto
mengatakan patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari sarana prasarana
adalah pada saat prasarana tersebut betul-betul secara nyata menjadi bagian yang
memberikan kontribusi pada kelancaran tugas aparat penegak hukum di tempat
kerjanya. Yang harus diperhatikan dalam pemenuhan sarana dan prasarana atau
fasilitas adalah pemeliharaan yang baik, penyediaan anggaran untuk pengadaan
sarana atau fasilitas, melengkapi fasilitas yang masih kurang, dan memperbaiki
sarana yang telah rusak. Selain itu, juga diperlukan pemeriksaan fasilitas yang
kurang fungsinya atau mengalami kemunduran fungsi. 45
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dilihat dari sudut tertentu, maka
masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.46 Warga masyarakat
memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, namun disisi lain warga
masyarakat berkewajiban untuk mematuhi hukum selama masyarakat dilibatkan
secara aktif dalam proses perbuatan hukum tersebut, sehingga adanya hukum
dengan segala peraturan di dalamnya dan seperangkat sanksinya diketahui,
dimaknai dan disetujui oleh masyarakat yang menyebabkan hukum di jadikan
sebagai kesenangan hidup. Berdasarkan atas kenyataan ini, ada satu hal yang perlu
di ingat bahwa proses bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak terlepas dari
keberadaan hukum itu sendiri dalam sistem sosial masyarakatnya, dan karena itu,
prosedur penegakan hukum tidak bisa lepas dari faktor-faktor sosial dan budaya di
mana hukum tersebut hendak diberlakukan.47
Menurut Harold J. Laksi warga negara memiliki kewajiban untuk
menegakkan hukum, apabila hukum tersebut dapat memenuhi rasa keadilan.48 Laksi
melanjutkan bahwa berkaitan dengan pemberlakuan hukum, ada 3 bentuk
masyarakat yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1) Masyarakat teratur, karena
diatur dengan tujuan tertentu, 2) Masyarakat teratur yang terjadi dengan sendirinya
disebabkan adanya kepentingan yang sama, 3) Masyarakat yang tidak teratur, yang
terjadi dengan sendirinya tanpa dibentuk.49 Menurut Chambliss dan Seidman dalam
menghadapi hukum, masyarakat terbagi dalam 2 model,50 1) Model masyarakat
yang terbentuk atas dasar kesepakatan akan nilai-nilai (value concensus).
45 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 82. 46 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 45. 47 Fauzie Y. Hasibuan, Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum,
http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-penegakan-hukum -
dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-advokat-indonesia/, 2. (diakses pada
25 September 2015). 48 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan
Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 186. 49 J. B. Daliyo, dkk. Pengantar Ilmu Hukum: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta:
Gramedia, 1989), 13. 50 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 48-52;
Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Grup, 2013), 106-112.
35
Masyarakat semacam ini jarang mengenal adanya konflik atau ketegangan di
dalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang
menjadi landasan kehidupan mereka.51 Selain itu, juga tidak ada perbedaan tentang
nilai-nilai yang harus dipertahankan di antara masyarakat. 2) Model masyarakat
konflik, model masyarakat ini berlawanan dengan model masyarakat pertama,
berdirinya masyarakat kedua ini bertumpu suatu hubungan di mana sebagian
warganya mengalami tekanan dari warga yang lainnya. Nilai-nilai yang dianut
dalam masyarakat konflik ini berbeda dengan nilai-nilai dalam masyarakat yang
bertumpu kepada kesepakatan, sehingga akan tercermin dalam pembuatan
hukumnya.
Secara umum, fungsi hukum dalam sebuah masyarakat memiliki 2 tujuan.
Pertama, Sebagai sarana kontrol sosial,52 kedua, Sebagai sarana untuk melakukan
perubahan sosial.53 Proses perubahan masyarakat dengan hukum ini oleh Chambliss
dan Seidman digambarkan dengan efektivitas hukum dalam menanamkan kekuatan
yang menentang unsur-unsur baru dari masyarakat. Perubahan keadaan sosial yang
di kehendaki itu apabila berhasil, maka pada akhirnya akan melembaga sebagai
pola-pola perilaku yang baru di masyarakat.54
Berdasarkan fungsinya, baik sebagai sarana rekayasa sosial ataupun sebagai
sarana kontrol sosial, setiap peraturan diciptakan adalah untuk dijalankan sesuai
dengan tujuan dan makna yang terkandung di dalamnya. Warga masyarakat atau
individu, sebagai pihak yang dituju oleh suatu ketentuan hukum harus
menerimanya dengan lapang dada disertai pengertian pada ketentuan hukum
tersebut. Sebab, meskipun ketentuan hukum sudah baik, didukung oleh penegak
hukum yang bijak, dan sarana atau fasilitas yang memadai, tetapi tidak didukung
oleh kesadaran masyarakatnya, maka hukum akan mengalami banyak hambatan
dalam penerapannya. Selain itu, perlu juga diperhatikan bahwa perilaku setiap
individu itu bermacam-macam karena motif kepentingan yang berbeda-beda, dan
dalam sebuah masyarakat yang pluralistis, penyimpangan yang dilakukan oleh
seorang individu dapat mempengaruhi yang lainnya. Dalam keadaan semacam ini,
maka diperlukan kontrol sosial, dengan mengendalikan perilaku warga masyarakat
51 W.G. Sumner mengungkapkan pandangannya tentang model masyarakat
konsensus dalam hubungannya antara hukum dan masyarakat. Menurut Sumner, masyarakat
semacam ini mengatur diri mereka sendiri melalui folkways dan moral yang mereka miliki,
sedangkan hukum dikembangkan secara bertahap melalui adat istiadat dan perilaku yang
sikapnya umum. Lihat dalam Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, 108.
52Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses perubahan sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang
berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Lawrence Friedman, American Law (London:
W.W. Norton & Company, 1984), 3. 53Hukum sebagai alat mengontrol sosial (law as a tool of social enginering) dengan
upaya control tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban umum. E. Utrecht,
Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), 43. 54Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 119-120.
36
agar tetap sesuai dan mengikuti ketentuan hukum, dengan cara menetapkan sanksi
yang kuat.55
Kesadaran hukum mengacu kepada cara-cara di mana warga masyarakat
memahami hukum dan institusi-institusinya, sehingga pemahaman-pemahaman
tersebut memberikan makna pada pengamalan dan tindakan masyarakat. Menurut
Ewick dan Sylbey kesadaran hukum tergambar dalam tindakan, dan merupakan
persoalan praktik yang perlu dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran
hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku dan bukan hukum sebagai aturan
norma atau asas saja.56 Sedangkan menurut Achmad Ali, kesadaran hukum,
ketaatan hukum dan efektivitas hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan,
namun sering kali orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan
hukum, padahal dua hal itu meskipun sangat erat hubungannya, namun tidak bisa
dianggap sama, kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya
pelaksanaan hukum atau perundang-undangan di dalam masyarakat.57
Faktor penting yang menentukan efektivitas hukum adalah budaya hukum.
Budaya hukum dalam masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal biasanya muncul karena ada dorongan tertentu baik yang
bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya
rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang bergerak untuk melakukan
sesuatu yang bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif biasanya akan
muncul karena adanya rangsangan yang bersifat negatif, seperti perlakuan tidak
adil dan lainnya. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi budaya hukum
biasanya disebabkan karena adanya tekanan dari pihak luar yang mengharuskan
atau bersifat memaksa agar warga masyarakat tunduk kepada hukum.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai
hasil dari karya, rasa, dan cipta masyarakat. Rasa adalah semua unsur yang
merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai warga masyarakat.
Sedangkan cipta adalah kemampuan mental dan kemampuan berpikir dari setiap
individu yang hidup di masyarakat yang kemudian menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan, baik dalam bentuk teori murni maupun yang sudah disusun secara
sistematis untuk dapat diamalkan secara langsung dalam kehidupan
bermasyarakat.58 Semantara itu, Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa budaya
hukum adalah adanya tanggapan yang sama dari masyarakat tertentu terhadap
gejala-gejala hukum, dalam bentuk kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum. Menurut Hilman, budaya hukum adalah pola perilaku setiap
individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan atau
orientasi yang sama terhadap kehidupan yang dihayati masyarakat bersangkutan.
55Heru Muljanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta, 24-25.
56 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, 298. 57 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, 299. 58 Selo Soemardjan dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, Cet. I (Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), 113.
37
Budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi, melainkan budaya masyarakat
secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan sikap dan perilaku masyarakat.59
Dalam tataran umum, kewajiban warga masyarakat untuk tunduk dan taat
pada hukum, disebabkan oleh adanya sanksi yang menimbulkan rasa takut atau rasa
tidak nyaman, sehingga mereka lebih memilih untuk tunduk pada hukum daripada
melakukan pelanggaran yang dapat menyusahkan mereka. Motivasi ini biasanya
bersifat sementara atau hanya temporer. Berhubungan dengan persoalan efektivitas
hukum, pengenalan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal, namun
juga memerlukan proses pengadilan. Ancaman dan paksaan juga merupakan unsur
yang mutlak harus ada, agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum.
Karena itu, tentunya unsur paksaan ini berkaitan erat dengan efektif atau tidaknya
suatu ketentuan hukum. Apabila suatu aturan hukum tidak efektif, maka salah satu
pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman
dan paksaannya, karena tidak efektifnya suatu hukum disebabkan karena ancaman
atau paksaannya kurang berat, atau mungkin juga karena ancaman paksaan itu
tidak tersampaikan secara benar kepada warga masyarakat yang menjadi target
pemberlakuan hukum tersebut.60
Berbicara tentang efektivitas hukum, berarti membahas tentang kekuatan
kerja suatu ketentuan hukum dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat agar
taat terhadap hukum. Suatu peraturan, dapat menjadi efektif apabila faktor-faktor
yang mempengaruhinya dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif
atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang diberlakukan, dapat
diketahui dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-
undangan akan dianggap efektif jika warga masyarakat telah berperilaku sesuai
dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh suatu peraturan yang diundangkan.
Sementara itu, faktor-faktor yang menghambat efektivitas hukum tidak hanya
disebabkan oleh para penegaknya saja, misalnya polisi, jaksa, hakim, dll. tetapi juga
dipengaruhi oleh budaya hukum dalam suatu masyarakat di mana ketetapan hukum
diberlakukan.61
Secara konseptual, penelitian tentang efektivitas penerapan qanun Aceh No.
11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah ini, tergambar dalam bagan di
bawah ini:
59 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 2010),
51. 60 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif
Watampone, 1998), 186. 61 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum (Bandung: CV Ramadja Karya, 1988), 80.
38
Gambar Bagan 1:
Peta Konseptual efektivitas dan Manfaat Wajib Bank syariah
QANUN
TTG LKS
NO. 11/2018
EFEKTIVITAS HUKUM
1. Hukumnya itu sendiri atau
Peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Penegak hukumnya.
3. Sarana dan fasilitas yang
mendukung penerapan
hukum.
4. Masyarakat di mana
hukum tersebut
diberlakukan.
5. Budaya hukum dalam
masyarakatnya
MANFAAT
Wajib Bank Syariah:
dapat menghasilkan
1. Kesejahteraan;
2. Kebahagiaan;
3. Keuntungan;
4. Kemudahan;
5. Keringanan.
Alat Ukur :
1. Ringkas
2. Mudah dilaksanakan
3. Mengakomodasi
keragaman
Sumber: Data olahan sendiri (2021)
Bagan di atas menggambar konsep efektivitas hukum yang dilihat dari 5
aspek, dan melihat manfaatnya dengan 5 kategori. Untuk efektivitas isi undang-
undang, digunakan 3 pengukuran.
C. Hukum Bunga Bank Menurut Syariat Islam
Ada sebuah pertanyaan, mengapa harus bertransaksi dengan perbankan
syariah, jawaban yang paling sederhana adalah karena bank konvensional
memberlakukan sistem bunga yang mengandung riba, sedangkan bank syariah
memberlakukan sistem bagi hasil, sebagai prinsip dasar transaksi perbankan yang
dianut oleh bank syariah sesuai prinsip dasar muamalah dalam syariah Islam. Atas
pandangan haramnya transaksi dengan bank konvensional, maka banyak umat
Islam yang tidak mau bertransaksi dalam bentuk apa pun dengan bank, bahkan
banyak karyawan bank konvensional yang kemudian memilih mengundurkan diri
dari pekerjaannya, karena ingin hidup terbebas dari riba.
39
Berbagai agama mengharamkan riba, dan bunga bank konvensional adalah
riba. Dalam Islam secara jelas al-Quran menetapkan bahwa riba itu haram. Agama
Yahudi juga melarang penganutnya untuk mempraktikkan pengambilan bunga.
Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament
(Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Di dalam agama Kristen,
larangan bunga dinyatakan dalam Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25, Kitab
Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19, dan Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25
ayat 36 – 37. Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi,
serta pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi,
terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga
selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan
hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan
berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga,
tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable). Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan
bunga tidak diperbolehkan, akan tetapi, pada masa Unciaria (88 SM), praktik
tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Berbagai pandangan di kalangan
pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu
pandangan para pendeta awal Kristen (abad I - XII) yang mengharamkan bunga,
pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga
diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang
menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.62
Secara etimologis, kata bunga, sebagaimana disebutkan dalam the American Heritage Dictionary of The English Language didefinisikan sebagai interest in charge for a financial loan, unsually a percentage of the amaount loaned.63 Bunga
adalah sebuah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan
persentase dari uang yang dipinjamkan. Sedangkan menurut Kasmir, bunga adalah
sebuah bentuk balas jasa yang diberikan oleh bank berdasarkan prinsip
konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga bank
juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang
memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (yang
memperoleh pinjaman).64 Menurut Muhammad Syafi’i Antonio menyebut bunga
sebagai suatu tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dalam bentuk
persentase dari uang yang dipinjamkan dengan asumsi selalu untung. Besarnya
persentase berdasarkan pada jumlah uang yang dipinjamkan. Pembayaran bunga
sifatnya tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang
dijalankan oleh nasabah mendapat untung atau mengalami kerugian. Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan usaha nasabah
berlipat.65
62 Ahmad Ifham Solihin, Ini Lho Bank Syariah (Jakarta: Hamdalah, 2008), 7-8 63 Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005),
21. 64 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), 154. 65 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), 60.
40
Pendapat lain menyatakan bahwa bunga adalah sejumlah uang yang dibayar
atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut biasanya dinyatakan
dengan satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut paut dengan itu, yang
dinamakan suku bunga.66 Di samping istilah interest terdapat pula istilah usury
(rente) yang memiliki 2 pengertian, yaitu: 1) Jumlah besar yang melebihi suku
bunga yang sah menurut hukum yang dikenakan atas pinjaman uang, 2) Perbuatan
menetapkan bunga yang melebihi suku bunga yang sah. Perbedaan kedua istilah
tersebut hanya terletak pada tingkat uang yang dikenakan pada peminjam, di mana
usury melebihi suku bunga yang sah, sehingga bunga yang diberikan menjadi
sangat tinggi. Atas dasar itu maka ada satu pendapat yang menyatakan bahwa
orang yang mengharamkan bunga itu telah salah dalam memahami antara kata
interest dan usury.
Meski Komisi Fatwa MUI sudah mengharamkan bunga bank, gaji karyawan
yang bekerja di bank konvensional masih dihitung dalam kondisi darurat, sehingga
masih tidak haram. Namun, di kalangan umat Islam ada yang berpendapat bahwa
bunga bank konvensional tidak sepenuhnya haram.
1. Pendapat yang menganggap bahwa bunga bank adalah riba, sehingga
hukumnya haram. Pendapat ini menganggap bahwa bunga dengan segala
jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
2. Pendapat yang menganggap bahwa bunga bank itu bisa haram, dan bisa
juga tidak. mereka menganggap bahwa bunga untuk keperluan yang bersifat
konsumtif sama dengan riba dan hukumnya haram. Sedangkan bunga untuk
usaha produktif tidak sama dengan riba, maka hukumnya halal. Bunga yang
diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih
dahulu secara umum.
3. Pendapat yang menganggap juga bahwa bunga bank hukumnya syubhat,
yaitu perkara yang meragukan atau samar-samar, sehingga tidak identik
dengan haram. Majelis Tarjih Muhammadiyah, dalam beberapa kali
sidangnya pada tahun 1968, 1972, 1976 dar 1989, tidak berhasil
menetapkan secara tegas haramnya bunga bank. Hal serupa juga terjadi
pada NU. Walaupun NU menyatakan bahwa bank dengan sistem riba itu
haram tetapi mereka berpandangan bahwa bunga yang diberikan oleh
lembaga perbankan milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya
yang selama ini berlaku adalah termasuk perkara mustabihat.67
Karakteristik yang unik dari syariat Islam dapat diidentifikasi dari dua sisi.
Pertama, syariat Islam bermuara pada wahyu yang memiliki nilai sakral baik dalam
arti wahyu langsung (al-wahy al-matluw) atau wahyu tidak langsung (al-matluw ghair al-matluw) yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Kondisi ini bermakna
bahwa setiap aktivitas kehidupan manusia dan aturan yang dibuat dalam rangka
menerjemahkan wahyu sudah seharusnya mencerminkan nilai-nilai Ilahiyah,
66 Muhammad, Bank Syari,ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman
(Yogyakarta: Ekonisia, 2003), 28. 67 Ahmad Ifham Solihin, Ini Lho Bank Syariah, 5-6
41
sebagai landasan sentral, namun praktis sejarah menunjukkan bahwa syariat ini
sarat dengan nilai-nilai fleksibilitas, inspiratif dan akomodatif ketika berhadapan
dengan pergumulan dan perkembangan kehidupan sosiologis suatu masyarakat.
Ketentuan tentang Riba merupakan hukum yang bersumber dari wahyu yang
langsung, dan dinyatakan dengan jelas, sehingga tidak ada lagi perdebatan apakah
riba itu halal atau haram, karena sudah dijelaskan bahwa hukumnya haram. Namun
yang sering menjadi perdebatan adalah apakah bunga bank itu termasuk riba yang
haram, ataukah tidak termasuk riba, sehingga hukumnya tidak haram.
Di dalam al-Quran pembahasan tentang riba dinyatakan bersama dengan
pembahasan jual beli, dan al-Quran secara tegas menyatakan bahwa jual beli itu
halal, dan riba hukumnya haram. Hal itu disebabkan karena orang Jahiliah
menganggap jual beli dan riba adalah sama. Allah sangat mencela orang-orang
yang makan riba, karena pemakan riba itu merupakan lintah darat yang sangat
berbahaya bagi masyarakat. Selanjutnya dalam ayat berikutnya Allah SWT memuji
orang-orang yang bersedekah, mengeluarkan zakat dan mengerjakan amal saleh
lainnya, sebagaimana juga memuji orang-orang yang melakukan salat, karena hal
ini selain dari mendapat pahala dari Allah, juga merupakan sarana untuk
pemeliharaan harta benda, karena zakat dan sedekah itu dapat mengurangi
keinginan orang-orang yang tak punya untuk mencuri dan merampok harta orang-
orang kaya. Oleh karena itu pada ayat selanjutnya Allah SWT memerintahkan
kaum mukminin untuk menghentikan pekerjaan riba dan sisanya jangan lagi
dipungut, dan pada surat al-Baqarah ayat 279 memberikan ultimatum perang
kepada mereka yang tidak menghentikan riba itu dan hanya diperbolehkan
mengambil kembali pokoknya saja dan jika yang berutang belum dapat
mengembalikan modalnya, maka perlu ditunggu sampai ia mampu membayarnya
tanpa memungut bunga lagi.68 Allah berfirman:
وان
ورسوله
هن الل وا بحرب م
نذأوا ف
عل
فم ت
لان
ف
مون
لظ ت
ول
لمون
ظ ت
ل
مموالك
م رءوس ا
كلم ف
بت ت
Artinya: Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).
Dengan penjelasan tersebut, harusnya orang Islam menjadi mengerti bahwa
segala sesuatu yang diancam dengan perang, adalah hal yang pokok, dan oleh
karena itu pula dalam ayat 281 diperingatkan sekali lagi, bahwa kalaupun belum
ada balasan di dunia ini, pasti nanti di hari akhirat akan dibalas dengan balasan
yang setimpal. Dan untuk menguatkan haramnya riba ini, Allah kembali
mengingatkan orang-orang yang beriman agar menghindari riba. Allah berfirman
dalam surat Ali-Imran ayat 130 sebagai berikut:
لحو فم ت
كعل ل
هوا الل
قات و
ةعف
ض ا م
عاف
ض
ا ا بو وا الر
لكأ ت
وا ل
منذين ا
ها ال ي
ا ي
ن
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Melihat pada semua ayat al-Quran yang membahas tentang riba, selalu
berhubungan dengan masalah hutang piutang, sehingga dapat disimpulkan bahwa
68 Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999),
105-106
42
mayoritas terjadinya riba adalah dalam transaksi hutang piutang, yang merupakan
operasional utama berdirinya perbankan, karena itulah, maka bank selalu identik
dengan riba.
Riba secara bahasa merupakan sebuah isim (nama) yang memiliki makna
bertambah, membesar, menjadi lebih banyak, tumbuh, berkembang dan naik.69 Di
dalam al-Quran penggunaannya dengan berbagai bentuk kata yang seakar dengan
kata riba mengacu kepada makna leksikal seperti yang terdapat pada beberapa kata,
misalnya dalam bentuk kata kerja lampau raba> artinya bertambah dan
berkembang.70 Raba> al-Ma>l artinya harta itu bertambah atau berkembang.71
Kemudian jika asalnya dari kata Al-Rabiyah maka artinya adalah “bukit” atau
bagian dari bumi yang menggunduk, lebih tinggi, atau naik ke atas.72 Jika dibuat
contoh dalam kalimat raba> fula>n al-Rabiyah, artinya orang itu menaiki bukit.
Dalam bentuk lainnya, berasal dari kata Arba> berarti menumbuhkan atau
mengembangkan, seperti dalam contoh perkataan arba> fula>n al-Shai’ orang itu
menambah dan mengembangkan sesuatu.
Untuk menghindari riba dalam hutang piutang ini, Syariat Islam memberikan
alternatif berupa perubahan akad kerja sama yang disebut dengan musyarakah atau
sistem bagi hasil. Hal ini karena persoalan hutang piutang memang suatu hal yang
sulit dihindarkan oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Dengan sistem bagi
hasil ini maka prinsip keadilan akan terimplementasi dalam kehidupan bersama,
dan tidak ada yang dirugikan, sebab orang yang meminjam uang tidak harus selalu
dianggap untung, tetapi ada kalanya dia rugi, sehingga pengembalian hutangnya
berdasarkan hasil keuntungannya dan tidak tetap selamanya. Sedangkan hutang
piutang yang sifatnya bukan untuk modal usaha, maka bank dapat menggunakan
akad murabahah (akad jual beli) di mana pihak bank bisa mengambil keuntungan
dalam bentuk margin dari penjualan barang, dengan mempertimbangkan
keuntungan yang akan diambil dan biaya-biaya yang timbul,73 dan bukan dari sebab
memberikan hutang.
Sistem perbankan konvensional dianggap sebagai sistem yang tidak adil,
karena dalam transaksi simpan pinjam, pemberi pinjaman mengambil tambahan
dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima seorang
peminjam, kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses
peminjaman tersebut. Yang tampak tidak adil di sini adalah seorang peminjam
diwajibkan untuk selalu, dan tidak boleh tidak, harus untung dalam setiap
penggunaan kesempatan tersebut.74
Di kalangan ulama fikih, istilah riba digunakan dalam dua arti sesuai dengan
bentuk katanya berupa kata benda dan kata kerja. Dalam arti kata benda, maka
69 Rafiq Yunus al-Misri, Al-Jami' Fi Ushuli al-Riba, (Damaskus: Dar al-Qalam,
2001), 9. 70 Ibn Mandhu>r, Lisan al-Arab, Juz XIV (Beirut: Dar Sadir, t.t.), 304. 71 Al-Zamaksyari, Asa>s al-Bala>ghah, Juz 1 (Beirut: Maktabah Lubnan, 1995), 219. 72 Al-Maududi, Al-Riba>, (Beirut: dar al-Fikr, t.t.),. 219. 73 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 17. 74 Ahmad Ifham Solihin, Ini Lho Bank Syariah, 7
43
artinya adalah tambahan atau kelebihan yang dihasilkan oleh salah satu pihak.
Sedangkan jika dalam bentuk kata kerja, riba mempunyai arti perbuatan melakukan
riba. Kata riba dalam firman Allah “La> Takulu> al-riba>", bentuknya adalah kata
benda, maka artinya tambahan atas jumlah yang dibayarkan dalam hutang piutang,
dan kelebihan dalam tukar menukar benda yang mengandung riba dalam akad jual
beli. Adapun kata riba dalam firman Allah “wa ah}alla Allahu al-Bai’a wa H}arrama al-Riba>”, bentuknya adalah kata kerja, sehingga mempunyai makna perbuatan
melakukan riba, maksudnya melakukan penambahan atas jumlah yang harus
dibayarkan dalam hutang piutang atau pinjaman atau memberikan kelebihan atas
suatu jumlah yang tidak ada imbalannya dalam tukar menukar benda yang
mengandung riba.75
Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa riba itu adalah kelebihan yang boleh
dituntut oleh salah satu pihak dalam sebuah transaksi timbal balik dan yang tidak
memiliki imbalan yang disyaratkan dalam akad.76 Menurut ulama syafi’iyah
sebagaimana yang terdapat dalam kitab Mughni al-Muhta>j, dinyatakan bahwa riba
adalah transaksi atas suatu obyek tertentu yang tidak diketahui kesamaannya
menurut ukuran Syar’i pada waktu melakukannya, atau dengan menunda
penyerahan salah satu obyeknya.77 Muhammad Abduh berpendapat bahwa
penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada
orang yang meminjam hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan disebut riba. Adapun menurut
Abdurahman al-Jaziri yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi dengan
penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau
terlambat salah satunya. Secara garis besar, riba dapat diklasifikasikan dalam dua
bentuk, yaitu:
1. Riba hutang piutang (riba al-Diwan) dan sering pula disebut dengan
riba kredit (riba al qard), riba jahiliah dan riba nasi’ah. Riba jenis ini
merupakan tambahan tanpa imbalan atas hutang, yang disyaratkan oleh
pemberi hutang kepada penerima hutang pada saat penutupan akad atau
pada saat penundaan pembayaran hutang. Di kalangan ahli fikih, riba
ini dikenal dengan riba tenggang waktu atau riba nasi’ah. Riba ini
adalah konsep asli riba yang dikenal sepanjang zaman sejak masa
jahiliyah hingga saat ini, dan termasuk ke dalamnya adalah bunga atas
pinjaman yang dikenal dalam lembaga keuangan kontemporer dengan
denda yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran hutang.
2. Riba jual beli (riba al-Bai’). Pengharaman riba jenis ini ditegaskan di
dalam hadis Nabi. Riba jual beli ini ada dua jenis, yaitu:
a. Riba kelebihan (riba al-fad}l), yaitu kelebihan jumlah dari salah satu
pihak dalam jual beli barang tertentu seperti emas, perak, gandum,
jawawut, kurma dan garam.
75 Muhammad Maulana dan EMK Alidar, Model Transaksi Ekonomi Kontemporer
Dalam Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2020), 190. 76 Al-Marginani, al-Hida>yah fi> Sharh} Bidayah al-Mubtadi’, Juz II (Bairut: al-
Maktabah al-Islamiyah, t.t), 61. 77 Al-Sharbini>, Mughni> al-Muhta>j, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 27.
44
b. Riba penangguhan, yaitu jika dalam tukar menukar barang terjadi
penangguhan penyerahan, baik dari kedua pihak maupun dari salah
satunya, meskipun jumlahnya sama. Apabila terjadi penangguhan
dan pihak yang membayar di belakang membayar dengan jumlah
yang lebih besar, maka terjadi riba nasi’ah. Untuk tukar menukar
bentuk benda yang berbeda, seperti dinar dengan dirham
dibolehkan jumlahnya berbeda, karena perbedaan mata uang, tetapi
tidak boleh ada penangguhan dan bila terjadi penangguhan maka
terjadi riba nasa’. Apabila untuk bentuk yang sama terjadi
kelebihan dan terjadi penangguhan berarti telah terjadi riba nasa’
dan riba fad}l sekaligus dan pertemuan riba fad}l dengan riba nasa’
sekaligus ini menjadikannya berubah menjadi riba nasi’ah.78
Terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh para pendukung bunga
dalam rangka melegitimasi institusi perbankan ini. Sebagaimana yang ditulis oleh
Riza Yulistia Fajar dalam skripsinya yang berjudul Riba dan Bunga Bank Dalam
Pandangan Syafi’i Antonio.79 Adapun teori-teori tersebut antara lain adalah:
a. Teori Abstinence. Teori ini menganggap bunga adalah sejumlah uang
yang diberikan kepada seseorang sebagai imabaln karena pemberi
pinjaman telah menahan diri (abstinence) dari keinginannya
memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan
meminjam. Pengorbanan untuk menahan keinginan, sehingga menunda
suatu kepuasan menuntut adanya kompensasi, dan itu adalah bunga.80
b. Teori Produktif-Konsumtif. Teori ini menganggap setiap uang yang
dipinjamkan akan membawa keuntungan bagi orang yang dipinjaminya.
Jadi setiap uang yang dipinjamkan baik pinjaman produktif maupun
bukan, maka pemberi pinjaman berhak untuk menarik sekian persen dari
keuntungan apa yang telah peminjam lakukan atas pinjaman yang telah
diberikan sebagai imbalan sewa uang.81
c. Teori Opportunity Cost. Teori ini beranggapan bahwa bunga adalah
biaya dari tenggang waktu yang diberikan pemilik uang kepada
peminjam, yang seharusnya ia dapat menggunakan uang tersebut untuk
memenuhi kepentingannya.
d. Teori Penurunan Nilai Uang Pada Masa mendatang dan penurunan daya
beli uang yang disebabkan oleh inflasi. Teori ini menganggap bahwa
bunga adalah selisih nilai (agio) yang diperoleh dari barang-barang pada
78 Yusuf Al-Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis Terj.
(Bogor: Al Azhar Press, 2014), 196. 79 Riza Yulistia Fajar, Ribadan Bunga Bank Dalam Pandangan Muhamnyad Syafi"i
Antonio, Skripsi pada Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, 39. 80 Abdul Wahid al-Faizin Nashr Akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali
Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2018), 65; Riza Yulistia
Fajar, Ribadan Bunga Bank Dalam Pandangan Muhamnyad Syafi"i Antonio, 40. 81 Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-
Qur’an, 65; Riza Yulistia Fajar, Ribadan Bunga Bank Dalam Pandangan Muhamnyad
Syafi"i Antonio, 2009, 41.
45
waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu
mendatang yang akan berkurang.82
Teori-teori yang mendukung bunga bank di atas, jika diperhatikan memiliki
banyak kelemahan. Dalam teori Abstinence misalnya, pada kenyataannya pemberi
pinjaman hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia manfaatkan, pemberi
pinjaman hanya akan meminjamkan uang berlebihan dari yang ia perlukan. Dengan
demikian, sebenarnya pemberi pinjaman tidak menahan diri atas apa pun, karena
itu, seharusnya ia tidak berhak menuntut imbalan atas apa yang tidak dilakukannya.
Selain itu, juga tidak ada standar yang dapat dipergunakan untuk mengukur unsur
penundaan konsumsi dari teori bunga abstinence, meskipun ada, bagaimana
menentukan suku bunga yang adil antara kedua belah pihak. Kemudian, pada teori
Produktif-Konsumtif, kelemahan teori ini adalah pada kenyataan bahwa setiap
penggunaan pinjaman, terdapat dua kemungkinan, yaitu untung dan rugi, sehingga
tidak dasar yang kuat dari pemberi pinjaman dana untuk menarik atau meminta
keuntungan secara tetap setiap bulan ataupun setiap tahun. Adapun kelemahan dari
teori opportunity cost adalah karena waktu, tidak dapat dijadikan patokan bagi
peminjam uang untuk memperoleh keuntungan dalam usahanya. Karena
keberhasilan sebuah usaha dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi
perekonomian suatu negara, dan persaingan usaha yang ada, untuk itu, maka tidak
bisa disama ratakan keuntungan dari setiap usaha, bahkan bisa saja, seseorang
dengan kerja kerasnya akan dapat menghasilkan untung yang besar pada suatu
waktu. Sedangkan kelemahan teori nilai uang yang menurun pada masa yang akan
datang adalah kenyataan bahwa banyak orang yang memilih menunda keinginannya
dan tidak membelanjakan seluruh uangnya, sebagai sarana untuk persiapan masa
depan, hal ini disebabkan karena tidak seorang pun yang dapat menduga apa yang
akan terjadi di masa yang akan datang. Hasil yang nyata dari pemanfaatan waktu
tergantung pada jenis usaha, sektor industri, lama usahanya, kondisi pasar,
stabilitas sosial, politik, dan lain sebagainya.83
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menafsirkan
ayat-ayat riba dan menentukan hukum bunga bank. Secara global terdapat dua
kelompok pendapat, pendapat yang pertama adalah golongan muharrimun (yang
mengharamkan bunga bank), yaitu pendapat Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah al-
Zuhaili. Dan pendapat kedua menyatakan bahwa bunga bank berbeda dengan riba,
yaitu pendapat Rashid Ridho dan Abdullah Saeed, dan pendapat yang menyatakan
bahwa bunga bank sama dengan riba. Faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah cara pandang dan pendekatan
yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat riba.
Muhammad Rashid Ridha berpendapat, bahwa riba yang dilarang dalam surat
al-Baqarah 278 adalah riba yang berlipat ganda, sebagaimana yang dimaksud dalam
82 Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-
Qur’an, 65; Riza Yulistia Fajar, Ribadan Bunga Bank Dalam Pandangan Muhamnyad
Syafi"i Antonio, 43. 83Muhammad Maulana dan EMK Alidar, Model Transaksi Ekonomi Kontemporer
Dalam Islam, 196-199; Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-Qur’an, 65-67.
46
surat Ali Imran ayat 130, sesuai dengan kondisi dan sebab diturunkannya ayat
tersebut. Walaupun demikian, illat (sebab) diharamkannya riba adalah karena
adanya unsur penganiayaan sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah itu.84
Sementara itu, Abdullah Saeed melihat bahwa sistem bunga dalam
perbankan konvensional saat ini, dalam praktiknya bukan termasuk dalam jenis
bunga yang menyebabkan ketidakadilan, apalagi sampai pada terjadinya penindasan
dan penganiayaan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman kepada peminjam dana.
Karena itu, bunga bank yang seperti itu, bukan termasuk kategori riba yang
dilarang, karena tidak menimbulkan dampak buruk, yang menjadi tujuan utama
dalam aspek pelarangan riba dalam Islam.85 Lebih jauh Abdullah Saeed
mengatakan, bahwa sistem perbankan konvensional dengan pinjaman berbunganya,
telah memiliki andil yang besar dalam mendorong kemajuan ekonomi dunia, sebab
banyak manfaat yang bisa didapatkan darinya. Bolehnya pinjaman bunga pada bank
konvensional, menurut Abdullah Saeed didasarkan pada beberapa alasan sebagai
berikut:
a. Bunga bank yang ada saat ini tidak menimbulkan terjadinya
ketidakadilan, sebagaimana yang terjadi dalam praktik riba yang ada
pada masa jahiliyah.
b. Bunga bank memiliki manfaat yang besar dalam mendorong tercapainya
kemajuan dalam masyarakat.
c. Transaksi pinjam meminjam dalam sistem perbankan, umumnya
dilakukan secara jelas, terbuka dan dilindungi oleh undang-undang,
sehingga tidak memungkinkan terjadinya penindasan oleh pemberi
pinjaman kepada penerima pinjaman.
d. Pada masa sekarang, seorang yang akan mengajukan suatu pinjaman
kepada bank, telah memperhitungkan dengan teliti, apakah ia akan
mampu mengembalikan modal pinjaman beserta bunganya atau tidak.
Selain didasarkan pada alasan-alasan di atas, persetujuan Abdullah Saeed
terhadap bolehnya bunga bank, ditemukan juga dalam pemikiran-pemikirannya
yang memang lebih condong menyetujui pemikiran-pemikiran beberapa sarjana
modern lainnya yang memperbolehkan pinjaman dengan bunga pada bank
konvensional, seperti pandangan Fazlur Rahman, yang menekankan pada aspek
kontekstual antara situasi pada masa jahiliyah dengan situasi pada saat ini yang
telah berbeda konteks penerapannya.86
Berbeda dengan pendapat di atas, Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa
sebetulnya masalah seputar riba ini, adalah sebuah permasalahan yang telah selesai
pembahasannya sejak seperempat abad yang lalu. Hal itu ia utarakan pada saat
mengisi seminar yang diselenggarakan oleh forum ekonomi Islam di Kairo, Mesir.87
84 Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Juz IV (Beirut: dar al-ma"rifah, t.t). 113-114. 85 Wartoyo “Bunga Bank: Abdullah Saeed Vs Yusuf al-Qardhawi,” La Riba: Jurnal
Ekonomi Islam, No. 1, Vol. IV, Juli (2010), 125. 86 Wartoyo “Bunga Bank: Abdullah Saeed Vs Yusuf Oardhawi,” LA . Riba: Jurnal
Ekonomi Islam, No. 1, Vol. IV, Juli, 2010, 126. 87 Yusuf-Al-Qardhawi, Fawaidu al-Bunuk hiya al-Riba al-Haram, (Kairo: Da>r al-
S}ahwah, 1990), 13
47
al-Qardhawi, menyatakan bahwa Islam secara tegas telah mengharamkan riba dan
secara keras melarangnya. Pengharaman dan pelarangan itu, didasarkan atas nas-
nas yang sudah pasti (qat}’i) baik di dalam al-Quran maupun sunah, yang tidak bisa
lagi ditafsirkan ataupun ditakwilkan berbeda, meskipun dengan alasan ijtihad dan
pembaharuan hukum. Sebab tidak ada ijtihad dalam setiap permasalahan yang telah
terdapat kepastian hukumnya, yang ditetapkan dengan dalil (qat}’i wa thubu>t al-Dila>lah), dan secara ijmak seluruh umat baik dari generasi terdahulu, maupun
generasi belakangan. Al-Qardhawi juga mengatakan bahwa pada prinsipnya, dalam
menyikapi masalah riba ini, Islam tidak berbeda dengan sikap yang diperlihatkan
oleh agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi misalnya, terdapat aturan
yang jelas mengenai riba, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian lama,
“jika temanmu meminta pinjaman, maka penuhilah (berikanlah), jangan menuntut
darinya keuntungan juga manfaat. Kemudian di dalam agama Kristen juga ada
larangan riba, sebagaimana terdapat dalam kitab Injil Lukas dikatakan: “berbuat
baiklah, dan pinjamkanlah dan jangan kalian menunggu untuk (mengambil)
pembayarannya, sehingga (itu) menjadi pahala yang banyak bagi kalian”. Namun
sangat disayangkan karena telah terjadi penyelewengan dalam penafsiran isi dari
kitab perjanjian lama, yang menjadikan kata “temanmu” sebagai sebuah
pengkhususan, yang hanya berlaku bagi orang-orang Yahudi, dan kemudian
dijelaskan dalam kitab Ulangan “Bagi orang-orang asing engkau boleh
meminjamkan dengan riba, tetapi bagi saudaramu (sesama Yahudi) janganlah
engkau pinjamkan dengan riba”.88
Islam telah melarang setiap jalan yang dapat menimbulkan perkembangan
harta melalui jalan riba, sebab Islam telah mengharamkan riba, baik itu sedikit
ataupun banyak, dan begitulah pula yang telah dikecam oleh al-Qur’an terhadap
orang-orang Yahudi yang masih saja mengambil riba, padahal mereka telah
dilarang untuk itu. Hal ini sebagaimana telah dikemukakan dalam beberapa ayat
dalam surat al-Baqarah yang turun pada akhir periode penurunan wahyu, yang
menjelaskan tentang hal tersebut. Untuk mengetahui dan memahami aspek
keharaman dan pelarangan riba ini, cukuplah bagi setiap muslim membaca ayat
tersebut, dan terlihat betapa kerasnya ancaman yang dijanjikan Allah dalam ayat
itu, yang merupakan ayat-ayat muhkamat yang ketentuan hukumnya sudah pasti,
dan tidak membutuhkan interpretasi lebih jauh.
Yusuf al-Qardhawi juga menyatakan bahwa keterangan yang menunjukkan
kezaliman dan keterangan yang menunjukkan jenis tertentu serta keterangan yang
menunjukkan keumuman, maksudnya sudah jelas dan terang, yaitu mengharamkan
seluruh jenis riba. Seandainya pengertian riba masih kabur, niscaya Allah akan
menerangkan kepada mereka. Sedangkan ayat ini tidak lagi mendefinisikan kata
riba, mengingat sudah lazim dikenal secara umum. padahal penjelasan yang datang
lebih akhir dari waktu yang dibutuhkan, tidak dibolehkan dalam kaidah hukum
Islam, sehingga dengan demikian, riba yang dimaksud tidak memerlukan penjelasan
lebih jauh. Mengenai penjelasan riba dalam ungkapan berlipat ganda, sebagaimana
88 Yusuf al-Qardhawi, Al-H}ala>l wa al-H}ara>m fi al-Isla>m, (Beirut: Maktabah al-
Isla>mi>, 1990), 241
48
yang terdapat dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 130, berlipat ganda itu bukanlah
dari syarat pelarangan berbuat riba. Sebagaimana diketahui, bahwa bagi orang yang
ahli dalam bidang bahasa arab, dan memahami retorikanya, mengetahui bahwa sifat
riba yang disebutkan dalam ayat ini adalah dalam konteks menerangkan kondisi
objektif dan sekaligus kecaman terhadapnya, di mana mereka (masyarakat pada
masa itu) telah sampai pada tingkatan ini, dengan mempraktikkan riba yang
berlipat ganda.89
Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa bunga bank termasuk dalam riba.
Baik sedikit maupun banyak. Hal itu karena pekerjaan asli bank adalah meminjam
dan memberikan pinjaman. Misalnya, bank akan memberikan bunga sebesar 4 atau
5, kepada pihak yang memberi pinjaman padanya dan mengambil bunga 9-12 kali
dari pihak yang meminjam darinya. Pernyataan bahwa bank hanya sekedar
perantara antara penyimpan uang dan peminjam lalu mendapatkan upah dari
tugasnya sebagai perantara ini adalah tidak benar. Hal itu karena bank tidak boleh
melakukan kegiatan investasi, ia tidak membagi keuntungan atau kerugian dengan
para nasabah yang menyimpan uang dan tidak pula mendapat keuntungan dan
kerugian dari proyek yang dijalankan oleh peminjam.90 Selain itu, haramnya juga
karena persentase bunga yang telah ditentukan sejak awal, baik bagi nasabah
maupun bagi peminjam. Mudarat bunga terwujud secara jelas, sehingga hukumnya
adalah haram, bunga seperti riba dan dosanya seperti dosa riba.91
Adapun keputusan dan Fatwa-fatwa berbagai lembaga Islam pada tingkat
Internasional maupun nasional menyatakan bahwa bunga adalah riba. Lembaga-
lembaga yang memutuskan haramnya bunga bank tersebut antara lain adalah:
a. Keputusan muktamar II lembaga penelitian Islam al-Azhar, Kairo, pada
bulan Muharam 1385 H/ Mei1965 M.92
b. Keputusan Muktamar Bank Islam II, di Kuwait, pada tahun 1403 H/ Mei
1965.
c. Keputusan Muktamar II Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi
Islam (OKI), di Jeddah, pada 10-16 Rabiul akhir tahun 1406/22-28
Desember 1985.
d. Keputusan sidang IX Dewan Lembaga Fikih Islam, Rabitah Alam al-
Islami, di Makkah, pada 19 Rajab 1406 H/ 1986 M.
e. Fatwa Komite Fatwa al-Azhar, pada 28 Februari 1988.
f. Fatwa Dar al-Ifta’ Mesir pada 20-02-1989.93
g. Keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor 08 Tahun
89 Yusuf al-Qardhawi, Fawa>id al-Bunu>k Hiya al-Riba> al-Hara>m (Kairo: Da>r al-Wafa>,
1990), 40-43. 90 Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillaruhu, ter. Abdul Havvie al-Kattani, dkk,
Judul asli, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 343. 91 Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillaruhu, ter. Abdul Havvie al-Kattani, dkk,
Judul asli, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuhu, 344. 92 Yusuf al-Qardhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba> al-Hara>m (Kairo: Dar al-
S}ahwah wa at-Tauzi', 1990), 29. 93 Yusuf al-Qardhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram (Kairo: Da>r al-
S}ahwah wa at-Tauzi', 1990), 149
49
2006.94
h. Keputusan Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004.95 Keputusan MUI ini
dilandaskan pada fatwa-fatwa internasional di atas.96
Perbedaan pendapat tentang seputar hukum bunga bank di kalangan para
ulama dan cendekiawan muslim sebagaimana yang telah disebutkan di atas tidak
lepas dari adanya faktor-faktor yang melatar belakangi pendapat dan argumentasi
yang telah mereka bangun. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan pendapat di antara kalangan para ulama tersebut adalah cara pandang
atau pendekatan yang mereka pergunakan. Para ulama yang memandang bahwa
bunga bank itu tidaklah haram dan berbeda dengan riba lebih memperhatikan pada
aspek moral sebagai bentuk pelarangan riba dan mengesampingkan aspek legal
formal dari larangan riba sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum Islam.
Argumentasi mereka adalah sebab dilarangnya riba karena menimbulkan
ketidakadilan, sebagaimana dalam al-Quran diungkapkan “La> tadhlimu>na wa La> Tudhlamu>na”.97
Adapun pandangan yang mengatakan bahwa bunga bank itu adalah haram
dan sama dengan riba, lebih menekankan kepada bentuk legal dari riba sebagaimana
diungkapkan dalam hukum Islam dan ditegaskan bahwa pernyataan yang
ditetapkan di dalam al-Quran harus diambil maknanya secara harfiah, tanpa
memperhatikan apa yang dipraktikkan di dalam periode pra Islam. Menurut
pandangan ini, karena al-Quran telah menyatakan bahwa hanya uang pokok yang
diambil, maka tidak ada pilihan kecuali sesuai dengan pernyataan itu.98
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa para ulama mempunyai
pandangan yang berbeda-beda bahkan cenderung sangat bertolak belakang namun
tidak bisa dipungkiri bahwa argumentasi dari seluruh ulama yang telah dijelaskan
di atas sama-sama rasional. Setelah dilakukan analisis secara mendalam terhadap
beberapa argumen dan pendapat para ulama maka penulis menyimpulkan bahwa
pendapat dari Rashid Ridha dan Abdullah Saeed tidak bisa dijadikan pijakan karena
pendapat tersebut kurang kuat. Pendapat Rashid Ridha yang menyatakan bahwa
riba yang dilarang dalam al-Qur’n hanyalah riba yang berlipat ganda saja tidak
dapat dijadikan pijakan karena pada proses penurunannya lafal berlipat ganda turun
sebelum riba benar-benar diharamkan apa pun bentuk dan jenisnya sama halnya
dengan kasus pelarangan minuman keras yang pada akhirnya al-Quran melarangnya
dengan tegas. Menurut Syeikh Umar bin Abdul Aziz al-Khayyath sebagaimana
yang dikutip oleh Dwi Condro Triono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
ayat 130 surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya
sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus demikian banyak. Ayat
ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum yang mempunyai
94 Himpunan Putusan Tarjih,. 370. 95M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syari’ah (Jakarta: Ul-Press, 2011), 140. 96 Kumpulan fatwa tersebut dapad dilihat dalam Abdel Hamid el Ghazali, Profit
Versus Bank Interest in Economic Analysis and Islamic Law (Jeddah: Islamic Research and
Training Institute and Islamic Development Bank, 1994), 33-55. 97 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,), 73. 98 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, 87.
50
kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu.
Dengan demikian redaksi berlipat-lipat menjadi sifat umum dari riba dalam
terminologi syara’.99
Di dalam kitab al-‘lja>b fi> Baya>ni al-Asba>b terdapat isyarat bahwa ayat ini
turun dalam konteks perang uhud, dan ayat ini menegaskan pelarangan riba secara
tegas.100 Frasa berlipat ganda yang terdapat di dalam ayat tersebut bukan suatu
keterangan kualifikasi hukum, sehingga tidak menimbulkan paham bahwa riba
sedikit atau tidak berlipat ganda hukumnya boleh. Frasa tersebut hanya
menyatakan kebiasaan yang ada pada masa jahiliah, di mana praktik riba itu selalu
berlipat ganda. Selanjutnya pendapat Abdullah Saeed yang mengatakan bahwa
jenis bunga yang ada pada bank konvensional tidaklah mengandung kezaliman dan
penindasan sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliah, pendapat ini juga sangat
lemah karena pada praktiknya di dalam bunga bank terdapat banyak sekali unsur
kezaliman. Hal itu bisa dilihat pada seseorang yang gagal dalam mengelola uang
hasil pinjamannya ke bank. Di samping ia harus mengembalikan pokok modal
tersebut dan dituntut untuk mengembalikan tambahan (bunga) yang telah
disepakati. Hal ini juga sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran Islam yang mengajarkan sistem bagi hasil dan sama sekali
tidak menghendaki tambahan dalam pinjaman.
Berkaitan dengan pendapat Yusuf al-Qardhawi dan Wahbah al-Zuhaili yang
menyatakan bahwa bunga bank itu adalah haram lebih kuat apabila dibandingkan
dengan pendapat Rashid Ridho dan Abdullah Saeed sebagaimana yang telah
dijelaskan bahwa al-Quran tidak pernah memberi batasan dalam masalah riba baik
jumlahnya sedikit ataupun banyak. Menurut al-Qardhawi, al-Quran dan hadis sudah
sangat terang dalam menjelaskan permasalahan riba ini, yang tidak lagi
membutuhkan pemahaman lebih mendalam atau penafsiran berbeda untuk
mengetahui riba seperti apa yang dilarang dalam Islam.
D. Maslahat Sebagai Tujuan Pemberlakuan Syariat
Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dalam rangka penegakan hukum
diperlukan adanya kekuasaan, karena itu, maka diperlukan peran negara sebagai
organisasi kekuasaan (machts organisatie) yang akan melaksanakan dan
menegakkan hukum. Saiful Mujani mengutip perkataan Hasan al-Banna yang
menyatakan bahwa sebuah pengakuan tiada Tuhan selain Allah oleh seseorang,
berarti mewajibkan seseorang untuk bergantung pada hukum Allah dalam setiap
aspek kehidupannya, karena itu, mendirikan pemerintahan Tuhan di atas muka
bumi adalah suatu kewajiban dalam urusan politik umat Islam.101
99 Dwi Condro Triono, Ekonomi Islam Madzhab Hamfara: Ekonomi Pasar Syariah
(Yogyakarta: Irtikaz, 2017), 112; Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa
Greace Haque Fawzi, Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), 139. 100 Ibn Hajar al-‘Asqala>ini, al-‘lja>b fi> Baya>ni al-Asba>b J.1 (Kairo: Da>r Ibn al-Jaqzi,
tth), 139. 101 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Partai Politik di Indonesia Pasaca Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007), 59.
51
Dalam pandangan Sayyid Qut}ub (1906-1966) Islam adalah suatu sistem yang
mengatur kehidupan secara menyeluruh, dalam pandangannya, syariat Islam
merupakan satu-satunya alternatif terhadap sistem-sistem barat yang harus dipilih
oleh setiap muslim. Negara dan pemerintah Islam menurut Qut}ub terdiri atas tiga
asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara rakyat
dan penguasa.102 Pemerintahan yang tidak mengakui syariat Islam meskipun
dilaksanakan oleh organisasi yang menamakan dirinya Islam atau mempergunakan
label Islam, tidak dapat dikatakan sebagai pemerintahan Islam. Muhammad Rasyid
Ridha (1865-1935) berpandangan bahwa penerapan hukum Islam memerlukan
sebuah pemerintahan Islam, karena hukum merupakan sebuah produk dari
musyawarah antara penguasa dan ulama. Ridha juga menegaskan perlunya
memulihkan kekhalifahan yang murni yang merujuk kepada zaman nabi dan 4
khalifah setelah beliau.103
Ridwan yang mengutip pernyataan Karen Amstrong mengatakan bahwa pada
akhir abad ke-20, agama akan menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan. Hal
yang dianggap mustahil oleh banyak orang pada tahun 1950 sampai tahun 60-an, di
mana kelompok sekuler memiliki anggapan bahwa agama hanyalah takhayul dan
bualan yang bersifat primitif yang tumbuh dan berkembang pada manusia rasional
dan beradab.104 Apa yang menjadi prediksi kaum sekuler itu, saat ini malah terjadi
sebaliknya, prediksi tersebut meleset, di penghujung abat ke-20, di mana manusia
kembali melirik agama sebagai alternatif yang menjanjikan akan kebahagiaan
hidup. Nilai-nilai yang telah diabaikan oleh modernisme dirindukan kembali, agama
telah mendapatkan tempatnya kembali di hati manusia.
Ali> Abdurra>zi>q (1888-1966) menegaskan bahwa Islam tidak menetapkan
terhadap suatu rezim tertentu dan tidak pula mendeklarasikan kepada kaum
muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu,105 tetapi Islam justru memberikan
kebebasan kepada pemeluknya untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan
intelektual, sosial dan tuntutan zaman. Ali> Abdurra>zi>q berpendapat bahwa tidak
ada petunjuk yang jelas baik dalam al-Qur’a>n maupun as-Sunnah tentang ketentuan
suatu bentuk sistem pemerintahan dalam Islam. Hal ini senada dengan pendapat
Muhammad Abu> Zahra> yang mengatakan bahwa pembagian negara kedalam Da>rul Isla>m dan da>rul H}arb tidaklah berdasarkan pada sunah tetapi merupakan hasil
analisis dan ijtihad para ulama.106 Dalam konteks ini Abdurra>zi>q menegaskan
bahwa khilafah bukanlah rezim agama, dan Ia juga tidak memberikan legitimasi
pada sistem demokrasi dan sistem politik lainnya.
102 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia, 71. 103 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1933), 126-127. 104 Ridwan, Islam dan Negara: Telaah Kritis Terhadap Artikulasi Politik Islam
Dalam Negara (Banda Aceh: LKAS, 2011), 91. 105 Leonard Bidner, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 131. 106 Muhammad Abu Zahrah, al-‘Alaqat al-Dauliyyah fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Fikr
al-Arabi>, tt), 53.
52
Seorang cendikiawan muslim terkenal dari Mesir yang bernama T}a>ha> Husein
mengatakan bahwa negara yang di dirikan oleh Nabi Muhammad bukanlah negara
teokrasi, sebab banyak perkara-perkara penting yang di hadapkan kepada
Rasulullah dan diputuskan dengan mempertimbangkan atas tradisi dan aspirasi
masyarakat Arab yang tidak bertentangan dengan Islam.107 Dalam persoalan
penyatuan agama dan negara, T}a>ha> berpendapat bahwa hal itu tidak akan bisa,
menurutnya sistem negara dan agama adalah dua hal yang berbeda, kesamaan
agama dan agama tidak akan dapat bergandengan tangan dengan kesamaan politik
dan bukan juga merupakan tiang penopang tegaknya negara, menurutnya negara di
dirikan atas kepentingan praktis yang tidak memperhatikan agama.108
Sedangkan Abdullah Ahmad An-Na’i>m menyatakan bahwa syariat bukanlah
keseluruhan dari Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi dari teks
dasarnya sebagaimana dipahami oleh konteks historis tertentu. Pandangan ini
menolak prinsip penyatuan total dan tuntas antara ajaran Islam atau syariat dengan
realitas kehidupan para pemeluknya, sebagaimana dianut oleh kelompok
fundamentalis Islam dalam gerakan Islam kontemporer.109 An-Na’i>m menyatakan
bahwa aturan-aturan syariat tidak dapat di berlakukan secara formal oleh negara
sebagai hukum dan sebagai kebijakan publik, karena aturan-aturan tersebut adalah
bagian dari syariah, dan negara tidak perlu berusaha untuk menerapkan syariat
Islam secara formal.110
Berbeda dengan pendapat Muhammad An-Na’i>m, Sa’i>d al-Ashma>wi> dengan
tegas menolak pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama
dan negara, dan dia memberikan empat kesimpulan, pertama, bahwa sistem
pemerintahan yang dipraktikkan oleh negara-negara Islam adalah bagian dari
agama, kedua, politik adalah bagian dari agama, sehingga dapat dikatakan bahwa
aktivitas politik adalah aktivitas agama, ketiga, Mendirikan negara Islam yang
memberlakukan syariat Islam dalam negara adalah kewajiban, keempat, dasar atau
asas negara-negara Islam adalah sistem Islam, sistem moral Islam dan budaya
Islam, dan apabila yang dimaksud dengan konsepsi Islam adalah negara agama,
maka bagi al-Ashma>wi>, itu adalah suatu kekeliruan yang besar dalam memahami
Islam, karena al-Qur’an dan hadis tidak membuat ajaran normatif secara tekstual
yang berkaitan dengan sistem politik, sehingga sistem pemerintahan dalam Islam
bersumber bukan bersumber dari kehenak Tuhan, tetapi dari kehendak manusia.111
107 Yuni Roslaili, “Formalisai Hukum Pidana Islam di Indonesia (Analisis Kasus
Penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam” (Disertasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009), 54. 108 John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam and Transition: Muslim
Perspectives, terj. Machnun Husain, Islam dan Pembaharuan (Jakarta: Rajawali Press,
1994), 110. 109 Abdullahi Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syariat: Wacana Kebebasan, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Terj. (Yogyakarta: LkiS, 2001),
xxi. 110 Abdullah Ahmad An-Na’im, Islam and The Secular State: Negotiating The
Future of Shari’a (London: Harvard University Press, 2008), 15-17. 111 Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat di Aceh dan Kelantan, 27.
53
Perdebatan pemikiran berkaitan dengan politik, hukum, negara, dan agama
masih terus terjadi di kalangan para sarjana, termasuk di Indonesia. Sebagian
pemikir dan penggiat politik berpendapat bahwa Islam telah mengajarkan secara
lengkap tentang ketentuan hukum yang harus di berlakukan dalam kehidupan
bernegara, sehingga harus diikuti sepenuhnya. Nurcholish Madjid berpendapat
bahwa fundamentalisme Islam lebih berbahaya daripada narkotika, ia
menyampaikan pemikiran tentang bahayanya “organized religion” dan
fundamentalisme agama. Menurut Nurcholis fundamentalisme adalah musuh yang
harus diwaspadai, karena fundamentalisme dalam agama tertentu menyebabkan
munculnya gagasan-gagasan palsu yang bersifat menipu. Saat ini, fundamentalisme
telah menjadi sumber kekacauan dan penyakit mental baru di masyarakat. Akibat-
akibat yang ditimbulkannya jauh lebih buruk dibandingkan dengan masalah-
masalah sosial lainnya yang sudah ada, seperti kecanduan minuman keras dan
penyalahgunaan narkoba.112 Selain Nurcholis, Adian Husaini berpendapat bahwa
pelaksanaan syariat Islam yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya
hipokrisi, karena ketaatan pada syariat yang disebabkan oleh paksaan negara hanya
merupakan sebuah ketaatan yang semu, dan agama pada intinya harus menjadi
wilayah yang otonom dari negara.113
Sedangkan KH. Abdurrahman Wahid secara tegas menyatakan bahwa
feodalisme agama dapat menciptakan keresahan antar umat beragama, karena itu
Gus Dur menentang formalisasi syariat atau menjadikan Islam sebagai hukum
negara. Menurunya, penggunaan masa lampau sebagai acuan, membuat kaum Islam
formalis tidak mampu memandang realitas secara obyektif. Realitas masa kini
dilihat dengan kaca mata masa lalu, sehingga persepsinya mengalami distorsi dan
anakronistis. Kaum Islam formalis disebutnya hanya melihat Islam dari aspek ritual
yang wajib dilaksanakan, dipertahankan, dan bahkan diperjuangkan sampai titik
darah penghabisan, sehingga semua yang berlabel Islam harus menjadi prioritas.
Konsekuensi logis dari sikap ini adalah Islam menjadi sebuah gerakan komunal, sektarian dan feodal yang kehilangan peran vitalnya.114
Berbeda dengan pemikiran Gus Dur, kelompok Islam politik, Islam Formal
dan Islam Eksklusif berpendapat bahwa ajaran Islam sudah mencakup berbagai
bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum internasional, dan
semuanya siap dioperasionalkan sebagai paket yang given yang harus diikuti oleh
setiap pemeluk Islam.115 Pendapat semacam ini dianut oleh kelompok Islam Politik,
Islam Formal atau Islam Eksklusif atas dasar firman Allah QS al-Ma>idah ayat 44
yang berbunyi: “.......Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
112 Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat: Penerapan Hukum Rajam di
Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar 2001), 166. 113 Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat: Penerapan Hukum Rajam di
Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global, 168. 114 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008), 240. 115 Mahfud MD, “Bernegara dan Berhukum dalam Islam”, xii.
54
Di sisi lain ada penggiat politik muslim yang menganut paham yang lebih
moderat dan akomodatif terhadap realita perbedaan dan pluralitas masyarakat.
Paham ini sering disebut sebagai penganut gerakan Islam Kultural, Islam
Substantif, Islam Inklusif atau Islam Kosmopolit. Mereka berpendapat bahwa
hukum Islam yang harus diperjuangkan pemberlakuannya dalam hidup bernegara
itu bukan norma-norma tekstual atau aspek hukum fik}ihnya, melainkan makna-
makna subtantif atau asas-asasnya. Menurut pendapat ini “barang siapa yang tidak
berhukum dengan prinsip hukum (yakni keadilan) seperti yang diperintahkan Allah, maka orang itu kafir”. Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum Islam
terlebih dalam bentuk fik}ih tidak ada yang bersifat mutlak, sehingga tidak harus
diikuti seperti apa adanya, dan yang lebih penting adalah penerapan prinsip
keadilan.116
Uraian di atas menggambarkan perbedaan pendapat tentang pemberlakuan
syariat dalam sebuah negara, namun semua sepakat bahwa pembentukan negara
bertujuan untuk kemaslahatan rakyat, dan syariat diturunkan oleh Allah juga untuk
kemaslahatan umat manusia. Kerelaan para pendiri bangsa untuk mewajibkan
pelaksanaan syariat dalam dasar negara juga didasarkan atas maslahat, yakni
persatuan dan kesatuan. Untuk itu, penting sekali untuk mengukur maslahat yang
ditimbulkan dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh dalam bidang perbankan.
Berkaitan dengan maslahat, para ulama’ sepakat bahwa syariat Islam yang
dilaksanakan dengan baik akan membawa kepada kemaslahatan. Dan salah satu
prinsip penerapan syariat Islam adalah maslahat.117 Bahkan Imam al-Syatibi
menyatakan bahwa di mana-pun ada maslahat, maka di sana ada syariat Allah. Dari
sini, tampak sekali hubungan erat antara syariat dengan maslahat. al-Ghazali
menjelaskan bahwa maslahat adalah memelihara tujuan hukum Islam, yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia. Lima hal tersebut
merupakan kebutuhan primer dalam hidup manusia. Dengan lima hal tersebut,
manusia akan memperoleh kemaslahatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki,
lahir batin, material spiritual, dan dunia akhirat. Oleh sebab itu, maka setiap hal
yang dimaksudkan untuk memelihara lima hal tersebut, dan setiap hal yang
bertujuan untuk menghindarkannya dari bahaya yang mengancamnya, disebut
sebagai maslahat.118
Dilihat dari aspek kualitas dan tingkat kepentingan, para ulama’ membagi
kemaslahatan dalam 3 bentuk sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya, yaitu:
1) D}aruriyyah, ini merupakan kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya
kehidupan dasar manusia, baik yang terkait dengan agama maupun dunia,
dan jika tidak ada, maka hidup manusia akan kehilangan nikmat.119
Maslahat ini adalah semua hal yang menjamin terwujud dan
terpeliharanya maksud dari tujuan syariat. Dalam konsep maqa>s}id al-
116 Mahfud MD, “Bernegara dan Berhukum dalam Islam”, xiii. 117 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 43. 118 Al-Ghazali, al-Mus}tas}fa> Juz.1 (Bairut: Da>r al-Fikr, tth), 286-287. 119 Muhammad Mustafa Shalabi, Ta’lil al-Ahkam, cet. 2, (Beirut: Dar al-Nahdah al-
Arabiah, 1981), 282.
55
Shari>’ah pemenuhan kebutuhan seseorang harus mengutamakan the basic need terlebih dahulu, karena jika tidak terpenuhi akan membawa
kerusakan pada seseorang, dan setelah kebutuhan ini tercapai, baru boleh
berpindah kepada hajjiyyah dan tah}si>niyyah.120
2) Hajjiyyah, maslahat ini mencakup segala persoalan yang dibutuhkan oleh
manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi,
dan untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup.121
3) Tah}si>niyyah, kemaslahatan ini sifatnya sebagai pelengkap untuk
memelihara sesuatu yang baik, seperti dalam budi pekerti dan keindahan
yang lainnya, sehingga, apabila kemaslahatan tersebut tidak dapat
realisasikan dalam kehidupan, tidak akan berdampak pada munculnya
kesulitan hidup, dan rusaknya tatanan kehidupan manusia.122
Fathurrahman Djamil (2013), menjelaskan bahwa maslahat memiliki 5
indikator, yaitu:
1) Menghasilkan kesejahteraan,
2) Mewujudkan kebahagiaan,
3) Memberikan keuntungan,
4) Memberikan kemudahan,
5) Menyebabkan keringanan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka 5 (lima) indikator di atas akan
digunakan oleh penulis untuk mengukur maslahat yang dihasilkan dari
pemberlakuan syariat Islam di Aceh melalui qanun-qanun yang telah diterbitkan,
dan secara khusus akan difokuskan pada qanun No. 11 tahun 2018 tentang
Lembaga Keuangan Syariah, dengan kerangka konsep gambar bagan di bawah ini:
Gambar Bagan 2 :
5 (lima) indikator maslahat yang di kaitkan dengan Maqosid Al-Syari’ah
Sumber: Data olahan sendiri (2021)
120 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Perspektif Maqa>s}id al-Shari>’ah (Jakarta: Kencana, 2014), 175. 121 Abu Ishaq al-Shatibi, Al-Muwafaqat Fi Usul al-Shari‘ah, cet. 3, (Beirut : Dar al-
Makrifah, 1997), 2: 326. 122 Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 220-
222; Yusuf Hamid al-‘Alim, al-Maqasid al-’Ammah Li al-Shari‘ah al-Islamiyyah, (Riyadh:
al-Dar al-‘Alamiah Li al-Kutub al-Islami, 1994), 164.
Tujuan
Syariah/
Maqasid
al-Syari’ah
1. Menjaga
Agama
2. Menjaga Jiwa
3. Menjaga Akal
4. Menjaga
Keturunan
5. Menjaga Harta
M
A
S
L
A
H
A
T
Kesejahteraan
Kebahagiaan
Keuntungan
Kemudahan
Keringanan
56
Diagram di atas menggambarkan bahwa syariat Islam memiliki 5 tujuan, dan
semua tujuan itu adalah demi kemaslahatan manusia. Maslahat memiliki 5
Indikator, yang merupakan dampak atau manfaat dari penerapan syariat dalam
kehidupan. Masalah perbankan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia pada saat ini, oleh karena itu, perbankan bisa dikategorikan
dalam maslahat yang bersifat daruriyyah, yang harus ada dan sangat penting, untuk
itu, maka harus betul-betul bisa mendatangkan maslahat untuk manusia. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Nugroho, Hidayah dan Badawi bahwa perbankan syariah
memiliki 3 prinsip dalam operasionalnya, yaitu:
1. Falah: Terciptanya tatanan masyarakat sipil yang berperadaban dengan
pemenuhan aspek fisik, ilmu dan teknologi, serta realisasi aspek
spiritual-iman yang didukung oleh ekosistem keuangan berbasis syariah.
2. Maslahah: Keberadaan bank syariah adalah untuk memberikan
keuntungan dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat
3. Maqa>sid al-Shari>’ah: Fungsi bank syariah adalah untuk
mengimplementasikan tujuan syariah, yaitu: Menjaga Agama, Menjaga
Jiwa, Menjaga Akal, Menjaga Keturunan, dan Menjaga Harta.123 Bank
syariah, sesuai dengan prinsip, fungsi dan tujuannya telah memenuhi 5
tujuan dari syariat Islam.
Adanya perbankan syariah merupakan salah satu dari tujuan syariat yang 5
itu, khususnya dalam aspek menjaga harta. Meskipun pada hakikatnya semua harta
benda itu milik Allah, namun Islam juga mengakui kepemilikan pribadi. Karena
tabiat manusia sangat tamak terhadap harta benda, maka dia ingin memiliki banyak
harta dengan usaha apa pun, karenanya Islam mengatur persoalan usaha ini dengan
aturan muamalat, agar tidak terjadi benturan antara satu orang dengan lainnya.
Aturan muamalat tersebut mencakup jual beli, sewa menyewa, pegadaian, kerja
sama usaha, dan lain sebagainya. Dalam semua aturan itu, Islam melarang
penipuan, riba, dan mewajibkan kepada orang lain yang merusak harta atau benda
orang lain untuk membayarnya, bahkan jika yang merusaknya adalah anak yang di
bawah umur, ataupun binatang peliharaan.124 Dengan demikian, maka dengan
penerapan syariah dalam bidang perbankan, seseorang telah menjaga hartanya agar
terjaga dari yang haram ataupun syubhat. Hal ini, karena dalam praktik perbankan
konvensional masih terdapat unsur bunga yang dianggap riba, dan dilarang oleh
syariat.
123 Lucky Nugroho, Ahmad Badawi, dan Nurul Hidayah, “Discourses of Sustainable
Finance Implementation in Islamic Bank (Cases Studies in Bank Mandiri Syariah 2018)” Internasional Journal of Finansial Research Vol, 10, No. 6 (2019), 108-117.
124 Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1999), 101.
57
BAB III
KOTA BANDA ACEH
DAN LEMBAGA PERBANKANNYA
A. Profil Kota Banda Aceh
Banda Aceh adalah ibu kota Provinsi Aceh, dahulu Namanya Bandar Aceh
Darussalam yang berkaitan dengan kegemilangan Kerajaan Aceh di masa lalu.
Banda Aceh dibangun oleh Sultan Johan Syah pada tanggal 1 Ramadhan 601
Hijriah atau 22 April 1205 Masehi. Usia Banda Aceh saat ini adalah 813 tahun.
Kota ini merupakan salah satu dari kota Islam Tertua di Indonesia bahkan di Asia
Tenggara. Banda Aceh memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran
Islam di seluruh Nusantara, dan dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah karena
dianggap sebagai pintu masuknya Islam ke Nusantara untuk pertama kalinya. Pada
masa kejayaan Kesultanan Samudra Pasai, Banda Aceh dikenal sebagai kota
regional utama yang juga disebut sebagai kota yang menjadi pusat pendidikan
Islam. Karena itulah maka Banda Aceh banyak dikunjungi oleh para pelajar dari
Timur Tengah, India dan Negara-negara lainnya. Pada masa itu, Bandar Aceh
Darussalam merupakan pusat perdagangan yang menjadi destinasi para pedagang
seluruh dunia seperti Eropa, Turki, India, Arab, dan China.
Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada Sultan Iskandar Muda
menjadi Sultan, yakni pada tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda adalah tokoh
legendaris dalam sejarah Kesultanan Aceh. Penduduk Aceh memiliki ciri khas
secara fisik yang terlihat berbeda dengan rumpun Melayu pada umunya, wajah
mereka mirip dengan keturunan Arab dengan hidung mancung. Hal ini disebabkan
karena pada masa kejayaan Kesultanan Pasai, banyak pelajar dari timur tengah dan
pedagang yang datang, kemudian menetap dan menikah dengan wanita Aceh. Hal
ini pula yang menyebabkan budaya Aceh bercampur dengan budaya masyarakat
dari negara lain yang masih terlihat di sudut-sudut kota Banda Aceh, seperti
budaya Pecinan di Gampong Peunayong dan peninggalan kuburan Turki di
Gampong Bitai.1
Letak Geografis Kota Banda Aceh terletak antara 05016’ 15”- 05036’ 16”
Lintang Utara dan 95° 16’15” - 95022’35” Bujur Timur. Secara administratif Kota
Banda Aceh memiliki batas wilayah sebelah utara dengan selat Malaka, sebelah
selatan dengan Kabupaten Aceh Besar, sebelah timur dengan Kabupaten Aceh
Besar, dan sebelah Barat dengan Samudera Hindia.2
Jumlah penduduk Kota Banda Aceh saat ini adalah 265.111 jiwa, dengan
kepadatan mencapai 43 jiwa/ Ha, dan pertumbuhan penduduk sebanyak 2% setiap
tahunnya. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan cukup berimbang. Penduduk
1 Rusdi Sufi, Irini Dewi Wanti, Seno, dan Djuniat, Sejarah Kotamadya Banda Aceh
(Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1997), 87; Badan Pusat Statistik
Kota Banda Aceh, Laporan Kinerja BPS Kota Banda Aceh 2019 (Aceh: BPS Kota Banda
Aceh, 2018), https://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html (diakses pada 22 Januari 2021) 2 RPI-2JM Bidang Cipta Karya Kota Banda Aceh 2015-2019
58
Kota Banda Aceh didominasi oleh penduduk berusia muda yang mencapai 73 %
dari total seluruh penduduk. Hal ini merupakan salah satu dampak dari fungsi
Banda Aceh sebagai pusat pendidikan di Aceh dan bahkan di Pulau Sumatera,
sehingga banyak pemuda dari daerah lain di Sumatera yang bermigrasi ke Banda
Aceh untuk mencari kerja.3 Berikut gambaran penduduk Banda Aceh sebagaimana
dikutip dari website resmi pemerintah Kota Banda Aceh:
Kota Banda Aceh terdiri dari 10 Kecamatan dan 90 desa atau gampoeng,
dengan rincian: 1) Kecamatan Baiturrahman, dengan 11 desa, yaitu: Ateuk Jawo,
Ateuk Deah Tanoh, Ateuk Pahlawan, Ateuk Munjeng, Neusu Aceh, Seutui,
Sukaramai, Neusu Jaya, Peuniti, Kampung Baru. 2) Kecamatan Meuraxa dengan 16
desa, yaitu: Surien, Aso Nanggroe, Gampong Blang, Lamjabat, Gampong Baro,
Punge Jurong, Lampaseh Aceh, Punge Ujong, Cot Lamkeuweuh, Gampong Pie,
Ulee Lheue, Deah Glumpang, Lambung, Blang Oi, Alue Deah Teungoh, dan Deah
Baro. 3) Kecamatan Lueng Bata dengan 9 desa, yaitu: Lamdom, Cot Masjid,
Bathoh, Lueng Bata, Blang Cut, Lampaloh, Suka Damai, Panteriek,
Lamseupeung. 4) Kecamatan Banda Raya, dengan 10 desa, yaitu: Lam Ara,
Lampeuot, Mibo, Lhong Cut, Lhong raya, Peunyerat, Lamlagang, Geuceu
Komplek, Geuceu Inem, Geuceu Kayee Jato. 5) Kecamatan Kuta Alam dengan 11
desa, yaitu: Peunayong, Laksana, Keuramat, Kuta Alam, Beurawe, Kota Baru,
Bandar baru, Mulia, Lampulo, Lamdingin, Lambaro Skep. 6) Kecamatan Syiah
Kuala, dengan 10 desa, yaitu: Ie Maseng Kaye Adang, Gampong Pineung,
Lamgugob, Kopelma Darussalam, Rukoh, Jeulingke, Tibang, Deah raya, Aleu
Naga, Peurada. 7) Kecamatan Kuta Raja dengan 6 desa, yaitu: Lampaseh Kota,
Merduati, Keudah, Peulanggahan, Gampong Jawa, Gampong Pande. 8) Kecamatan
Jaya Baru dengan 9 desa, yaitu: Ulee Pata, Lamjamee, Lampoh Daya, Emperom,
Geuceu Meunara, Lamteumen Barat, Lamteumen Timur, Bitai, Punge Blang Cut.
9) Kecamatan Ulee Kareng, dengan 9 desa, yaitu: Pango Raya, Pango Deah, Ilie,
Lamteh, Lamglumpang, Ceurih, Ie Masen Ulee Kareng, Doi, Lambhuk.4
Berdasarkan data tersebut, maka menunjukkan luasnya daerah tersebut dan
kecamatan di Banda Aceh masih memerlukan pemekaran.
3 https://bandaacehkota.go.id/p/demografi.html (diakses pada 22 Januari 2021) 4 https://bandaacehkota.go.id/p/kecamatan_gampong.html
59
Masyarakat Kota Banda Aceh mayoritas memeluk agama Islam dan
jumlahnya mencapai 98,2 %, namun di kota ini juga berkembang agama lainnya,
seperti Kristen, Hindu, Budha dan lainnya yang hidup berdampingan dengan
penduduk Muslim secara damai. Jenis Agama yang dianut masyarakat Banda Aceh
beserta persentasenya dapat terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 1:
No Agama Penganut Persentase
1 Islam 222.582 Jiwa 98,2 %
2 Protestan 717 Jiwa 0,32 %
3 Katolik 538 Jiwa 0,24 %
4 Hindu 39 Jiwa 0,02 %
5 Budha 2755 Jiwa 1,22 %
Jumlah 226.631 Jiwa
Jumlah Fasilitas Ibadah pun juga bermacam-macam sesuai agama yang
dianut oleh warganya, dengan rincian sebagai berikut: 1) Masjid: 104 Unit, 2)
Meunasah, 91 Unit, 3) Mushalla, 90 Unit, 4) Gereja, 4 Unit, 5) Kuil, 1 Unit, 6)
Klenteng, 1 Unit.5 Melihat pada data tersebut maka tampak jelas bahwa mayoritas
masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam, karena itu wajar jika mereka
menginginkan agar syariat Islam diberlakukan secara penuh dalam berbagai bidang
kehidupan mereka, dan pelaksanaan nilai-nilai syariat Islam terlihat lebih menonjol
daripada agama-agama lain. Namun kehidupan beragama di antara penduduk
tampak harmonis, dan toleransi antara umat beragama terjaga dengan baik.6
Mata pencaharian sebagian besar penduduk kota Banda Aceh adalah pada
sektor non agraris dan bersifat heterogen. Hal itu disebabkan karena sebagian besar
perkampungan penduduk kota tersebut berada di dalam dan di sekitar pusat-pusat
kegiatan ekonomi, pemerintahan, pariwisata, perhubungan, komunikasi,
transportasi dan lain sebagainya. Pegawai negeri menengah ke bawah merupakan
kelompok mayoritas di Kota Banda Aceh, karena itu Banda Aceh dijuluki sebagai
“kota pegawai”, karena di Kota ini, 40 % mata pencaharian penduduk adalah
pegawai negeri, tentara 10 %, pedagang 20 %, buruh, tukang, nelayan, dan yang
bergerak dalam bidang industri dan jasa sebanyak 10 %, dan pelajar atau
mahasiswa 20 %. Sedangkan mereka yang berpangkat dan mempunyai kedudukan
atau jabatan merupakan kelompok minoritas yang dianggap sebagai golongan elite.
Kelompok elite lain adalah para pengusaha, pedagang besar dan orang-orang yang
sukses dalam usahanya dalam berwiraswasta, seperti pemilik tambak, pemilik
kapal, dan lain-lain yang ikut menentukan nasib ekonomi rakyat kecil. Tingkat
kesejahteraan penduduk berhubungan erat dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Kebutuhan bahan makanan berupa hasil pertanian untuk keperluan
5 https://bandaacehkota.go.id/p/agama.html 6 Rusdi Sufi, Irini Dewi Wanti, Seno, dan Djuniat, Sejarah Kotamadya Banda Aceh
(Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1997), 14
60
penduduk didatangkan dari kampung lain atau dari daerah tetangganya yaitu
kabupaten Aceh Besar, kabupaten Pidie, dan kabupaten-kabupaten lainnya di
wilayah Aceh.7
Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan
Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan
dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad
lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang
Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama masuknya
budaya dan agama di Nusantara. Pada abad ke-7 para pedagang India
memperkenalkan agama Hindu dan Budha. Namun peran Aceh menonjol sejalan
dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah ini, yang diperkenalkan
oleh pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9. Menurut catatan
sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan
sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan
Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayat Syah dengan ibukotanya
di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah luas
wilayahnya yang meliputi sebagian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga
ke Semenanjung Malaka.8 Dalam lintasan sejarah Banda Aceh memiliki perjalanan
sejarah yang cukup panjang, bahkan setelah kemerdekaan, Banda Aceh masih
memiliki berbagai dilema, di antaranya terjadi beberapa kali pergantian status,
sebagai ibukota keresidenan, berubah menjadi Ibukota Provinsi Daerah Aceh,
kemudian kembali menjadi Ibukota Keresidenan Aceh yaitu dengan
menggabungkan daerah ini ke dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang dengan
demikian kota Banda Aceh sekaligus merangkap dua fungsi, sebagai ibukota
Provinsi Daerah Istimewa Aceh maupun sebagai ibukota Daerah tingkat II Kota
Madya Banda Aceh.
Selain dikenal sebagai Ibukota Provinsi, kota budaya, kota pendidikan,
Banda Aceh juga dikenal sebagai kota perdagangan. Sebagai kota perdagangan,
Banda Aceh telah memiliki faktor penunjang, di antaranya adalah jalan raya yang
menghubungkan Banda Aceh dengan kota-kota lain, pelabuhan Malahayati, Bandar
Udara Blang Bintang yang sejak awal tahun 1995, telah diganti namanya menjadi
Bandara Sultan Isk~andar Muda. Meskipun Pelabuhan Malahayati dan Bandara
Sultan Iskandar Muda berada di wilayah Kabupaten Aceh besar, namun peranannya
dalam bidang perekonomian dan perdagangan kota Banda Aceh sangat besar.9
Stabilitas pemerintahan dan politik dalam suatu kawasan dapat mendukung
pembangunan yang akan dilaksanakan, karena itu, demi menjaga stabilitas politik
dan pemerintahan, Banda Aceh ingin tetap mempertahankan identitasnya sebagai
Serambi Mekah dan denyut kehidupan yang dapat dirasakan di daerah ini adalah
Agama, budaya dan pendidikan, maka pemerintah pusat memberikan otonomi
7 Rusdi Sufi, Irini Dewi Wanti, Seno, dan Djuniat, Sejarah Kotamadya Banda Aceh
(Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1997), 21. 8 https://acehprov.go.id/halaman/sejarah-provinsi-aceh 9 A. Hasjmy, (et al.) Lima Puluh Tahun Aceh Membangun. (Banda Aceh: MUI
Provinsi Daerah lstimewa Aceh, 1995), 371.
61
khusus kepada Aceh berupa izin penerapan syariat Islam.10 Dilihat dari segi
kehidupan kota Banda Aceh memiliki empat kegiatan utama yaitu sebagai pusat
pemerintahan, perekonomian, ilmu pengetahuan dan kebudayaan kegiatan tersebut
yang mempercepat tumbuh dan berkembangnya kota Banda Aceh dari zaman
Kerajaan Aceh Darussalam hingga masa pemerintahan Republik Indonesia. Sebagai
kota paling ·barat Indonesia keberadaan Banda Aceh patut diperhitungkan bagi
peneliti sejarah bangsa Indonesia.
Saat ini, Aceh memiliki potensi yang besar dalam pengembangan sektor
industri halal. Klaster industri halal yang menjadi unggulan di Aceh adalah
makanan dan minuman halal, serta obyek pariwisata yang ramah untuk umat
Muslim. Industri makanan dan minuman halal ini mendapat dukungan dari besarnya
potensi bahan bakunya, seperti hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan, yang
berkontribusi sebesar 29.6 persen terhadap PDR.11 Data pertumbuhan ekonomi
daerah, inflasi, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan masyarakat Banda
Aceh dapat terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2:
Pertumbuhan
Ekonomi Daerah Inflasi
Tingkat
Pengangguran
Tingkat
Kemiskinan
2018 2019 2018 2019 2018 2019 2018 2019
4,61% 4,15% 1,84% 1,69% 6,36% 6,20% 15,68% 15,01%
Dari tabel tersebut, tampak bahwa dari tahun 2018 ke 2019, pertumbuhan
ekonomi Kota Banda Aceh masih belum meningkat secara signifikan, namun inflasi
menurun, tingkat pengangguran dan kemiskinan juga menurun.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator makro untuk melihat
kinerja perekonomian secara riil di suatu wilayah. Laju pertumbuhan ekonomi
dihitung berdasarkan perubahan PDRB atas dasar harga konstan tahun yang
bersangkutan terhadap tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dipandang
sebagai pertambahan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh semua lapangan
usaha kegiatan ekonomi yang ada di suatu wilayah selama kurun waktu setahun.
Berdasarkan harga konstan tahun 2010, nilai PDRB Kota Banda Aceh pada tahun
2017 terlihat meningkat. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya
produksi di sebagian besar bidang usaha yang sudah bebas dari pengaruh inflasi.
Nilai PDRB Kota Banda Aceh atas dasar harga konstan tahun 2017, mencapai
13,94 triliun rupiah. Angka tersebut naik dari 13,53 triliun rupiah pada tahun 2016.
Hal tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2017 terjadi pertumbuhan ekonomi
10 Rusdi Sufi, Irini Dewi Wanti, Seno, dan Djuniat, Sejarah Kotamadya Banda Aceh,
3. 11 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 13.
62
sebesar 3,04 persen, namun hal ini terbilang melambat jika dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi pada tahun sebelumnya yang mencapai 6,32 persen.12
Pertumbuhan ekonomi selama 2017 melambat dibandingkan tahun
sebelumnya disebabkan sebagian besar tahapan proyek infrastruktur bernilai besar
(Perluasan Mesjid raya Baiturrahman, Pembangunan Fly Over Simpang Surabaya
dan Underpass Beurawe, Pelebaran Jembatan Lamnyong dan Jembatan Krueng Cut
) telah selesai di tahun 2016. Penyelesaian pekerjaan di tahun 2017 tidak sebanyak
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan Konstruksi menjadi
satu-satunya kategori yang mengalami perlambatan hingga - 31,88 persen.13
Selanjutnya, Berdasarkan harga konstan 2010, nilai PDRB Kota Banda Aceh
pada tahun 2018 tampak meningkat. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh
meningkatnya produksi di sebagian besar bidang usaha yang sudah bebas dari
pengaruh inflasi. Nilai PDRB Kota Banda Aceh atas dasar harga konstan 2010,
mencapai 14,56 triliun rupiah. Angka tersebut naik dari 13,93 triliun rupiah pada
tahun 2017. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2018 terjadi
pertumbuhan ekonomi sebesar 4,94 persen, lebih baik apabila dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 yang mencapai 3,39 persen.14
Sedangkan pada tahun 2019, nilai PDRB Kota Banda Aceh meningkat
berdasarkan harga konstan 2010. Peningkatan tersebut juga dipengaruhi oleh
meningkatnya produksi di sebagian besar bidang usaha yang sudah bebas dari
pengaruh inflasi. Nilai PDRB Kota Banda Aceh atas dasar harga konstan 2010,
mencapai 15,17 triliun rupiah. Angka tersebut naik dari 14,56 triliun rupiah pada
tahun 2018. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2019 terjadi
pertumbuhan ekonomi sebesar 4,18 persen, namun, jika dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi tahun 2018, yang mencapai 4,49 persen, maka pertumbuhan
ini tergolong melambat.15 Berdasarkan 3 periode catatan pertumbuhan ekonomi,
terlihat bahwa inflasi sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara
signifikan.
Salah satu indikator tingkat kemakmuran penduduk di suatu wilayah, dapat
dilihat dari nilai PDRB per kapita, yang dihasilkan dari pembagian antara nilai
tambah yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan jumlah penduduk.
Karena itu, besar kecilnya jumlah penduduk akan mempengaruhi nilai PDRB per
kapita, sedangkan besar kecilnya nilai PDRB sangat bergantung kepada potensi
sumber daya alam dan faktor-faktor produksi yang terdapat di wilayah tersebut.
PDRB per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDRB per kepala atau
per satu orang penduduk. Nilai PDRB per kapita Kota Banda Aceh atas dasar harga
yang berlaku sejak tahun 2013 hingga 2017 senantiasa mengalami kenaikan. Pada
tahun 2013 PDRB per kapita tercatat sebesar 50,41 juta rupiah, yang secara
nominal, berarti terus mengalami kenaikan hingga tahun 2017 mencapai 64,66 juta
12 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2017, 21 13 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2017, 23 14 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2018, 16 15 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2019, 16.
63
rupiah. Kenaikan angka PDRB per kapita yang cukup tinggi ini disebabkan masih
dipengaruhi oleh faktor inflasi.16
Sedangkan pada tahun 2018, nilai PDRB per kapita Kota Banda Aceh atas
dasar harga yang berlaku sejak tahun 2014 hingga 2018 juga terus mengalami
kenaikan. Pada tahun 2014 PDRB per kapita tercatat sebesar 54,11 juta rupiah,
yang secara nominal terus mengalami kenaikan hingga tahun 2018 mencapai 66,27
juta rupiah. Kenaikan angka PDRB per kapita yang cukup tinggi ini juga
dipengaruhi oleh faktor inflasi.17 Adapun Nilai PDRB per kapita Kota Banda Aceh
atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2015 hingga 2019 terus mengalami
kenaikan. Pada tahun 2015 PDRB per kapita tercatat sebesar 57,90 juta rupiah.
Secara nominal terus mengalami kenaikan hingga tahun 2019 mencapai 68,87 juta
rupiah. Kenaikan angka PDRB per kapita yang cukup tinggi ini masih dipengaruhi
oleh faktor inflasi.18
Berdasarkan pada data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemberian
hak otonomi khusus bagi Aceh untuk menerapkan syariat Islam, telah ikut andil
dalam pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Terlihat bahwa dari tahun ke tahun
terjadi peningkatan pada kemakmuran rakyat Aceh, yang juga didorong oleh
stabilitas kemanan wilayah tersebut.
Persentase penduduk miskin Indonesia per September 2020 adalah 10,19
persen, lebih tinggi 0,97 poin jika dibandingkan dari September 2019 sebesar 9,22
persen. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa, atau
naik 2,76 juta jiwa dari September 2019 yang tercatat sebanyak 24,79 juta jiwa.
Aceh termasuk di dalamnya, namun kenaikannya hanya sebesar 0,44 poin
dibandingkan dengan kenaikan nasional sebesar 9,22 % menjadi 10,19% atau naik
0,93 poin. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini disebabkan karena pandemi
Covid-19 yang memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia dan Aceh
khususnya, di mana pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan akibat berbagai
kendala yang ditimbulkan, mulai dari tidak lancarnya mobilitas ekonomi, sampai
dengan dibatasinya aktivitas masyarakat. Saat ini, persentase penduduk miskin
Aceh pada September 2020 sebesar 15,43 persen. Sedangkan jumlah penduduk
miskin Aceh pada September 2020 sebanyak 833,91 ribu orang, bertambah 19 ribu
orang dibanding Maret 2020 yang sebesar 814, 91 ribu orang. Tingginya Angka
Kemiskinan Aceh Tak Bisa Disamakan dengan Daerah Lain. Isu kemiskinan di
Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kemiskinan di Aceh, meningkat
tajam saat tahun 2000 sampai dengan 2004 karena konflik bersenjata dan tsunami
yang menghancurkan Aceh pada saat itu. Sedangkan Aceh 2019 angka kemiskinan
Aceh 15,01 % tahun 2020 menjadi 15,43% dalam hal ini naik sebesar 0,42%, masih
16 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2017, 25-26 17 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2018, 18 18 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2019, 20
64
rendah dibandingkan dengan kenaikan secara nasional yang mencapai 0,93 poin.19
Berikut ini data penduduk miskin Aceh menurut Badan Pusat Statistik:
Tabel 3:
Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Aceh (ribu), 2015–202020
Kabupaten/Kota 2015 2016 2017 2018 2019 2020
SIMEULUE 18,12 17,93 18,40 18,22 17,67 17,34
ACEH SINGKIL 24,84 25,09 26,27 25,74 25,66 25,43
ACEH SELATAN 29,61 30,68 32,51 32,82 31,06 30,91
ACEH TENGGARA 30,14 29,39 30,84 30,20 28,93 28,98
ACEH TIMUR 63,48 61,63 63,67 61,64 62,79 62,34
ACEH TENGAH 34,26 33,16 34,24 32,31 32,78 32,48
ACEH BARAT 41,36 40,11 40,72 39,56 39,29 39,06
ACEH BESAR 62,27 62,03 62,72 60,08 58,90 59,70
PIDIE 88,22 90,16 92,35 89,53 86,29 86,39
BIREUEN 73,14 70,44 71,54 65,74 63,60 62,42
ACEH UTARA 111,44 115,05 118,74 111,27 107,34 106,41
ACEH BARAT DAYA 25,93 25,73 26,57 25,23 24,36 24,21
GAYO LUES 19,32 19,48 19,91 19,09 18,63 18,42
ACEH TAMIANG 40,38 40,88 42,01 41,21 39,35 38,93
NAGAN RAYA 31,32 30,31 31,06 31,06 29,93 29,99
ACEH JAYA 13,85 13,10 13,23 12,85 12,35 12,11
BENER MERIAH 29,31 29,82 29,99 29,08 28,45 28,38
PIDIE JAYA 31,81 31,94 33,60 31,72 30,97 31,39
BANDA ACEH 19,30 18,80 19,23 19,13 19,42 18,97
SABANG 5,86 5,81 5,98 5,62 5,43 5,27
LANGSA 19,22 18,63 19,20 18,73 18,62 18,65
LHOKSEUMAWE 23,15 23,28 24,40 23,88 23,05 22,69
SUBULUSSALAM 15,25 14,99 15,44 14,78 14,56 14,46
ACEH 851,59 848,44 872,61 839,49 819,44 814,91
Melihat data di atas, penduduk miskin di Kota Banda Aceh berada pada
posisi ketiga terendah setelah Kabupaten Sabang dan Kabupaten Simeulue. Hal ini
19 Admin Diskominfo Aceh, Kamis, 18 Februari 2021,
https://diskominfo.acehprov.go.id/berita/kategori/pemerintah-aceh/peningkatan-angka-
kemiskinan-di-aceh-masih-lebih-baik-dari-rata-rata-nasional 20 https://aceh.bps.go.id/
65
menggambarkan bahwa masyarakat di pusat kota, memiliki kesejahteraan yang
lebih tinggi di bandingkan dengan masyarakat yang berada di daerah pedesaan.
B. Lembaga Perbankan yang Beroperasi di Banda Aceh
Pada saat ini, ada dua jenis perbankan yang beroperasi di Aceh yaitu bank
konvensional dan bank syariah. Perbankan konvensional di Banda Aceh ada 17,
yaitu: 1. Bank Rakyat Indonesia, 2. Kanwil BRI, 3. Bank Mandiri, 4. Bank BNI, 5.
Bank Danamon, 6. Bank Permata, 7. Bank Central Asia, 8. Bank International
Indonesia, 9. Bank Panin, 10. Bank Aceh (Kantor Pusat), 11. Bank Aceh (KPO), 12.
Bank Sinarmas, 13. Bank Tabungan Negara, 14. Bank Tabungan Pensiunan
Nasional, 15. Bank Bukopin, 16. Bank CIMB Niaga, 17. Bank Pundi. Semua
lembaga perbankan tersebut, saat ini sedang menjalani proses migrasi kepada
sistem syariah, dan pada tahun 2021, pada saat penulis melakukan penelitian,
semua bank tersebut telah berubah menjadi bank syariah, sebagai implementasi dari
pelaksanaan qanun Aceh No. 11 tahun 2018.
Sedangkan Perbankan Syariah yang beroperasi di Banda Aceh ada 8, yaitu: 1.
Bank BNI Syariah, 2. Bank Danamon Syariah, 3. PERMATA Bank Syariah, 4.
Bank BII Syariah, 5. BPD Aceh Syariah, 6. Bank Muamalat, 7. Bank BRI Syariah,
8. Bank Syariah Mandiri.21 Semua bank ini tetap beroperasi di Aceh tanpa harus
melakukan konversi, karena sistem yang digunakan telah menggunakan prinsip
syariah. Bank Muamalat, sebagai pelopor bank syariah di Indonesia, masih eksis
dan berkembang di Aceh dan hingga saat ini tetap berdiri sendiri, sedangkan bank
syariah yang berada dalam pengelolaan BUMN, pada saat ini sedang melakukan
proses merger untuk menjadi satu perusahaan yang kemudian diberi nama Bank
Syariah Indonesia (BSI). Berdasarkan data dari badan pusat statistik jumlah bank
yang beroperasi di Banda Aceh tergambar dalam tabel di bawah ini:22
Tabel 4:
Jumlah Bank Kota Banda Aceh
Status Kantor
Uraian Pusat Wilayah Cabang Cabang Pembantu
Bank Umum Konvensional - 1 11 27
Bank Umum Syariah 1 - 13 21
Bank Perkreditan Rakyat 3 1 -
Pada tahun 2019, di Kota Banda Aceh terdapat 4 kantor pusat bank, 2 kantor
wilayah, 24 kantor cabang, dan 48 kantor cabang pembantu. Selain itu, terdapat
384 koperasi yang terdiri dari 3 Koperasi Unit Desa (KUD) dan 381 non KUD.
Tabungan dan Simpanan Berjangka menjadi pilihan masyarakat untuk menyimpan
uang di tahun 2019. Triwulan keempat menjadi periode puncak di mana masyarakat
21 https://bpmkotabandaaceh.wordpress.com/data/alamat-perbankan/ 22 Kota Banda Aceh dalam Angka 2020
66
lebih memilih untuk menyimpan sebagian pendapatannya di bank. Kredit rupiah
dan valuta asing yang disalurkan perbankan Kota Banda Aceh terus mengalami
perkembangan signifikan hingga tahun 2019. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya, penyaluran kredit konsumsi menjadi jenis tertinggi dibandingkan
kredit modal kerja dan investasi, bahkan bila keduanya digabung. Pada akhir tahun
2019, kredit konsumsi yang disalurkan mencapai 3,95 triliun rupiah. Tidak seperti
kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumsi beranjak meningkat dari
setiap kuartalnya sehingga akhir tahun menjadi posisi tertinggi. Pola yang hampir
mirip juga muncul pada dana simpanan masyarakat dalam bentuk rupiah. Kuartal
keempat menjadi waktu di mana tabungan yang berhasil dikumpulkan dari
masyarakat mencapai puncaknya. Pada akhir kuartal keempat yakni bulan
Desember 2019, dana masyarakat yang tersimpan di bank mencapai 18,60 triliun.23
Berdasarkan pada Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020, terlihat pekembangan lembaga keuangan syariah di Aceh sebagai berikut:24
Tabel 5:
Profil Keuangan BPD Syariah Aceh (Milyar Rupiah)
2015 2016 2017 2018 2019
Total Aset Gross 2.500 18.759 22.612 23.095 25.121
Total Pembiayaan 1.714 12.206 12.847 13.237 14.363
Total DPK 2.089 14.429 18.499 18.390 20.925
Total FDR 82.05% 84.59% 69.44% 71.98% 68.64%
Total NPF 0,18 1.39% 1.38% 1.04% 1.29%
Pangsa Pasar (%) 47% 49%
Tabel 6:
Profil Industri Perbankan Syariah di Aceh (Ribu Miliar Rupiah
2018 2019
Pangsa pasa (%)
Pembiayaan berdasarkan tipe nasabah
53% 55%
Modal kerja (UMKM) 1,183 1,800
Modal kerja (bukan UMKM) 44 324
Investasi UMKM 348 429
Investasi (bukan UMKM) 77 262
Konsumsi 12,441 13,510
NPF berdasarkan tipe nasabah
23 Kota Banda Aceh dalam Angka 2020, 17 24 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020, 28-29.
67
Modal Kerja (UMKM) 106 51
Investasi (UMKM) 33 14
Konsumsi 27 32
Data di atas, menunjukkan bahwa pemberlakuan qanun lembaga keuangan
syariah memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pengembangan usaha
masyarakat kecil dan menengah dari tahun ke tahun.
Sejak terbitnya qanun No. 11 tahun 2018, ditetapkan agar seluruh Bank yang
beroperasi di Aceh untuk mengubah sistemnya sesuai prinsip Syariah, dan saat ini
hampir semua bank telah melakukan migrasi ke dalam sistem syariah. Sebagai
bentuk ketaatan dan pelaksanaan qanun, semua bank telah berusaha melakukan
migrasi dari sistem konvensional menjadi sistem syariah. Dampak dari qanun yang
telah berlaku sejak 4 Januari 2019 itu adalah semua bank konvensional BUMN
yaitu BRI, Mandiri dan BNI yang dulunya beroperasional di Aceh mengalihkan
pelayanannya melalui Bank Syariah anak perusahaan masing-masing yaitu BRI
Syariah, BSM dan BNIS. Untuk itu, maka pada tanggal 1 Februari 2021 telah
dilaksanakan merger tiga bank syariah yang dimiliki BUMN. Latar belakang
penggabungan bank syariah BUMN adalah adanya keinginan dari Menteri BUMN
Erick Thohir untuk meningkatkan core competence seluruh BUMN termasuk sektor
keuangan, maka Kementerian BUMN pun menggabungkan tiga bank syariah yang
dimiliki bank BUMN yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI
Syariah. Tujuan dari merger ini salah satunya adalah agar Indonesia yang
merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki bank
syariah yang besar dan berdaya saing di tingkat global.25
Menurut Ikhwan, sejak penggabungan 3 bank Syariah tersebut, pertumbuhan
aset BSI mengalami perkembangan yang sustain. Dari total 115 Bank Umum per
Desember 2017, BSI yang awalnya menempati posisi ke 9 dari aspek aset dengan
total Rp. 154,3 Triliun, kemudian per Desember 2020 posisi BSI meningkat
menjadi nomor 7. BSI memiliki 11 Regional Office yang tersebar di seluruh
Indonesia, salah satunya yaitu Bank Syariah Indonesia Regional Aceh yang akan
mengambil peran penting dalam kegiatan impor dan ekspor di Provinsi Aceh, baik
dalam layanan maupun pembiayaan serta fasilitas perbankan lainnya.
Bank Syariah Indonesia Regional Aceh saat ini memiliki Outlet yang
tersebar di seluruh Provinsi Aceh, yaitu :
Tabel 7:
No. Fasilitas Pendukung Jumlah
1 Area 3
2 Kantor Cabang 24
3 Kantor Cabang Pembantu 175
25 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh
pada Maret 2021.
68
4 Kantor Fungsional Operasional 2
5 Kantor Kas 2
6 Payment Point 14
Selain itu, Bank Syariah Indonesia Regional Aceh memiliki Resourch
sebagai berikut :
Tabel 8:
No. Resourch Jumlah
1 Pegawai 3.075 Orang
2 Aset Dana Rp.16,78 T
3 Dana Pembiayaan Rp.13,85 T
4 Dana Pihak Ketiga (DPK) Rp.13,55 T
5 Laba Bersih (CM) Rp.440,7 M
6 Return Of Aset (ROA) Rp.2,69 %
7 Nasabah 1,8 Juta
8 E-Channel 666 ATM
9 BSI Smart 11.090
10 EDC 751
11 CRM 8
Melihat pada aset yang di miliki oleh Bank Syariah Indonesia tersebut, dapat
diketahui bahwa keberadaan BSI telah cukup berkembang di Aceh, dan tentunya
telah ikut terlibat dalam laju perekonomian Provinsi Aceh.
Sebagai akibat dari proses migrasi, maka ada nasib nasabah yang perlu
mendapat perhatian secara khusus, dan dalam hubungannya dengan nasib nasabah
ini, langkah yang ditempuh oleh pihak bank adalah menyiapkan petugas untuk
menghubungi nasabah, dan memintanya untuk membuka rekening di Bank Syariah
serta memindahkan dananya ke rekening bank Syariah tersebut, lalu rekening di
Bank konvensionalnya segera ditutup. Sedangkan untuk nasabah pembiayaan,
Petugas Bank konvensional bersama Petugas Bank Syariah menjumpai nasabah
untuk menandatangani akad pembiayaan di bank Syariah (take over) lalu melunasi
pembiayaan di Bank Konvensional dari dana pencairan di Bank Syariah.26
Nasabah juga diberi pilihan untuk migrasi ke rekening Syariah atau tetap
sebagai nasabah konvensional. Namun semaksimal mungkin akan diarahkan ke
rekening Syariah dan portofolio nasabah dipindahkan dari Bank Konvensional ke
Bank Syariah, karena seluruh transaksi di Provinsi Aceh akan berbasis Syariah.
Apabila nasabah tersebut tetap memilih menjadi nasabah konvensional, maka
seluruh transaksi perbankan tidak dapat dilayani di Provinsi Aceh, karena itu, maka
26 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh
pada Maret 2021.
69
pengelolaan rekeningnya dipindahkan ke cabang di luar Aceh. Melihat upaya yang
dilakukan oleh bank tersebut, tampak bahwa tidak ada nasabah yang akan dirugikan
akibat migrasi bank konvensional ke bank syariah, karena pihak bank
mengupayakan segala cara agar hak-hak nasabah tetap diterima.27
Proses migrasi hingga saat ini masih terus berjalan, namun dalam
perjalanannya masih terdapat beberapa kendala pada segmen pendanaan dan
pembiayaan yang belum termigrasi seluruhnya. Di antara kendala yang menjadi
sebab belum dapat dimigrasikannya segmen Pendanaan disebabkan oleh
masyarakat yang belum memahami betul ketentuan qanun Aceh, dan karena
mereka merasa masih membutuhkan dan adanya sifat ketergantungan pada sistem
konvensional, bahkan di antara mereka ada yang ingin memiliki 2 rekening secara
bersamaan (konvensional dan syariah). Adapun kendala pada segmen pembiayaan,
disebabkan karena proses pemindahan portofolio kredit dengan prinsip syariah
hanya dapat dilakukan secara kolektif, sedangkan kenyataannya tidak semua
nasabah melakukan pembayaran secara lancar, dan yang lainnya masih belum
lancar, sehingga diperlukan waktu tunggu agar yang lainnya membayar secara
lancar terlebih dahulu. Dan kendala yang paling utama adalah sulitnya
mendatangkan nasabah ke kantor Bank untuk membuka rekening syariah sebagai
pengganti rekening konvensional.28
Selain itu, terdapat pula kendala berupa nomor handphone nasabah yang
tidak aktif, dan sebagian besar nasabah yang masih membutuhkan rekening di Bank
Konvensional untuk transaksi perbankan yang belum ada di Bank Syariah, seperti
pembelian LPG 3KG, penebusan atau pembelian semen di PT Solusi Bangun
Andalas (SBI), penebusan pupuk di PT PIM, pembayaran iuran BPJS Kesehatan
secara auto debet, dan lain sebagainya.29
Sehubungan dengan nasib pegawai bank akibat dari adanya migrasi ke Bank
Syariah, telah dilakukan tindakan oleh masing-masing Bank Konvensional yang
berada di Aceh yang akan dilakukan migrasi, dengan memberi pilihan kepada
pegawainya untuk dapat menentukan untuk tetap bekerja di Bank Konvensional
atau ikut beralih menjadi pegawai Bank Syariah. Apabila pegawai tersebut memilih
tetap di bank Konvensional, maka pegawai tersebut akan ditugaskan di luar
Provinsi Aceh, karena operasional bank konvensional tidak diizinkan lagi di
Provinsi Aceh, dan jika memilih pindah ke Bank Syariah, maka pegawai tersebut
diberhentikan sebagai pegawai Bank Konvensional dan secara otomatis diterima
pada Bank Syariah dengan grading yang sama.30 Dengan demikian, maka nasib
pegawai bank tidak berubah, karena pihak bank memberi kebebasan pilihan yang
tidak merugikan posisi mereka. Adapun bagi bank Aceh IB yang sudah cukup lama
melakukan migrasi, tidak ada persoalan terkait posisi para pegawainya, dan pihak
27 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh
pada Maret 2021. 28 Alif dan Dedy, Wawancara, Maret 2021. 29 Alif dan Dedy, Wawancara, Maret 2021. 30 Alif dan Dedy, Wawancara, Maret 2021.
70
Bank Aceh IB menyatakan bahwa pemberlakuan wajib bank Syariah telah berjalan
secara efektif.31
Berdasarkan pada tindakan lembaga perbankan yang tetap memperhatikan
nasib nasabah dan pegawainya tersebut, berupa kebijakan dalam penanganan
masalah yang diakibatkan migrasi sistem dari konvensional ke syariah, maka
penulis menyimpulkan bahwa bank-bank syariah yang beroperasi di Aceh akan
dapat tetap eksis, dan berkembang, bahkan akan menjadi semakin besar karena
mendapatkan keberkahan dari penerapan syariat Islam.
31 Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI), Wawancara, September 2021
71
BAB IV
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN QANUN TENTANG
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Sebagaimana telah diungkapkan dalam bab sebelumnya bahwa efektivitas
suatu hukum terletak pada 5 hal pokok yang saling berkaitan dan merupakan tolak
ukur dari efektivitas hukum, yaitu: 1) Hukumnya itu sendiri atau perundang-
undangan yang diberlakukan, 2) Penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang
mengawal pemberlakuan hukum, 3) Sarana dan fasilitas yang mendukung
pemberlakuan hukum, 4) Masyarakat yang akan menerima pemberlakuan hukum,
dan 5) Budaya hukum dalam masyarakatnya.1 Karena itu, dalam bab ini penulis
akan menyampaikan pembahasan hasil penelitian terhadap Kelima faktor tersebut.
A. Faktor Peraturan Perundang-undangan
Secara naluri, manusia mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat
itu dimiliki sejak lahir dan terus berkembang dalam pergaulan hidupnya. Namun,
apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh
orang lain.2 Karena itu, maka manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup
bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat aturan, agar tidak terjadi
pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda
mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan
pedoman untuk berperilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu
pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan. Patokan-patokan
untuk berperilaku pantas tersebut, kemudian dikenal dengan sebutan norma atau
kaidah. Norma atau kaidah tersebut mungkin timbul dari pandangan-pandangan
mengenai apa yang dianggap baik atau dianggap buruk, yang lazimnya disebut
dengan nilai. Terkadang, norma atau kaidah tersebut timbul dari pola perilaku
manusia yang berkesinambungan, sebagai suatu abstraksi dari perilaku berulang-
ulang yang nyata. Norma atau kaidah tersebut, untuk selanjutnya mengatur diri
pribadi manusia, khususnya mengenai bidang-bidang kepercayaan dan kesusilaan.
Norma atau kaidah kepercayaan bertujuan agar manusia mempunyai kehidupan
yang beriman, sedangkan norma atau kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia
mempunyai hati nurani yang bersih. Di samping itu, ada pula norma atau kaidah
yang mengatur pola kehidupan antarpribadi manusia, khususnya mengenai bidang-
bidang kesopanan dan hukum. Norma atau kaidah kesopanan ini bertujuan agar
1Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 8; Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), 62. 2Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993), 2.
72
manusia dapat merasakan kesenangan atau kenikmatan di dalam pergaulan hidup
bersama dengan orang lain.3
Adapun norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian di
dalam kehidupan bersama, di mana kedamaian berarti terciptanya keserasian antara
ketertiban dengan ketenteraman, atau terciptanya keserasian antara keterikatan
dengan kebebasan, dan itulah yang menjadi tujuan dari hukum. Dengan demikian,
maka tugas hukum adalah untuk mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum
dengan kesetaraan hukum.4
Pada dasarnya, semua orang dalam masyarakat membutuhkan organisasi dan
aturan-aturan, guna mengatur hubungan antar mereka dan memenuhi hak masing-
masing dari mereka dengan tujuan supaya tatanan hidup mereka tidak kacau,
karena pada hakikatnya manusia diciptakan dengan watak egois serta cinta kepada
materi. Maka watak-watak tersebut masih perlu diluruskan dan dididik, supaya
manusia tidak berlaku zalim terhadap sesama. Sesungguhnya dalam kehidupan
seseorang selalu ada interaksi dengan kehidupan orang lain. Sehingga tidak seorang
pun mampu hidup sendiri Nan berjauhan dengan manusia lainnya. Terlihat dari
adanya saling tolong menolong dan tukar manfaat demi kemaslahatan bersama.
Dan inilah maksud dari ungkapan yang berbunyi “secara tabiat, manusia adalah
makhluk sosial”.5
Sebagai makhluk sosial, manusia perlu bersosialisasi. Terkait hal ini Ibnu
Khaldun mengatakan, “Sesungguhnya perkumpulan manusia adalah perkara yang
penting.” Kemudian ahli hikmah mengistilahkan ini dengan ungkapan “secara
tabiat, manusia adalah makhluk sosial”. Manusia perlu bersosialisasi untuk
mewujudkan kemajuan bersama, karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara sendirian, ia pasti membutuhkan
bantuan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Dan sesungguhnya manusia
perlu berkumpul demi mendapatkan sandang, pangan, dan memenuhi kebutuhan
lainnya. Apabila mereka berkumpul, maka akan terjalin komunikasi dan pergaulan
di antara mereka.6
Berbeda dengan watak hewan. Kezaliman dan permusuhan menjadi hal yang
biasa terjadi dalam kehidupan mereka. Tak jarang pembunuhan menjadi akhir dari
permusuhan tersebut, yang ditambah dengan tidak adanya figur pemimpin yang
mendamaikan satu dengan yang lain di antara mereka. Kehidupan manusia yang
dimulai sejak benih-benih pertamanya pada zaman Nabi Adam, senantiasa
beriringan dengan apa yang Allah wahyukan kepada para utusan-Nya supaya akidah
mereka bersih dan kehidupan mereka lurus di atas jalan kebenaran. Maka, manusia
3 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 1 4 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 1. 5 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi> (Bairut: Maktabah
Wahbah, 2001), 10-13 6 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13
73
membutuhkan aturan yang mengatur bagaimana seharusnya hubungan antar
mereka, yakni hubungan yang terjalin atas dasar keadilan dan kesetaraan.7
Hasbi As-Shiddiqi menjelaskan bahwa ada kaidah-kaidah umum yang harus
diperhatikan dalam menerapkan hukum, jumlahnya ada 5, yaitu:8
1. Mewujudkan keadilan.
2. Mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,
3. Menetapkan hukum yang berpadanan dengan keadaan darurat. Apa
yang tidak dibolehkan dalam keadaan normal diperbolehkan dalam
keadaan darurat.
4. Pembalasan harus sesuai dengan dosa yang dilakukan.
5. Tiap-tiap manusia memikul dosanya sendiri.
Tentang hukum dan keadilan, Cicero dalam De Legibus sebagaimana
dikutip oleh Tasrif,9 menyatakan bahwa tidak ada satu hal yang lebih penting untuk
dipahami bahwa manusia itu dilahirkan untuk keadilan dan keadilan itu tidak
dilakukan berdasarkan pendapat manusia, tetapi dilakukan oleh alam itu sendiri.
Adil menurut hukum diartikan sebagai apa yang secara tegas diharuskan oleh
pembentuk undang-undang, yang dibuat dengan tujuan kebaikan, keamanan,
perdamaian, dan terwujudnya keadilan bagi seluruh warga masyarakat. Karena itu,
demi tercapainya apa yang diharapkan, maka para pembuat undang-undang harus
merumuskan substansi dari undang-undang, sesuai dengan standar moral dan
kebahagiaan umum yang di dalamnya tercakup seluruh hakikat dan daya keadilan
agar rakyat bersedia menerima dan menaatinya.10
Sebuah masyarakat, tersusun dari sekumpulan keluarga dan kabilah.
Mereka terbentuk berdasarkan asas, di mana asas tersebut menyesuaikan keadaan
lingkungan, standar kehidupan maupun adat istiadat. Seiring perkembangan
kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan di dalamnya, berkembang pula standar
kehidupan serta adat istiadat dan meningkat pula aturan-aturan kehidupan. Hingga
lahirlah karakter paten bagi kehidupan manusia yang menjadi hukum penengah di
antara mereka. Jika populasi masyarakat meningkat, maka pemikiran mereka pun
akan ikut meningkat. Begitu juga aturan hidup mereka pun bertambah banyak.
Kondisi tersebut memungkinkan terwujudnya keamanan dan kenyamanan untuk
mereka. Sementara aturan-aturan yang mereka tetapkan dinamakan dengan undang-
undang atau qanun.11
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh yang diikuti dengan penerbitan qanun-
qanun Aceh, merupakan isu hangat yang masih diperbincangkan secara intensif
oleh berbagai kalangan baik pada skala regional maupun nasional. Kepedulian
7 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-11 8 Hasbi Ash-Shiddiqy, Dinamika dari Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas,
1975), 25-26; Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 54. 9 Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, (Jakarta: CV Abadin, 1987) 102. 10 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 418-419. 11 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 12-13
74
masyarakat terhadap pelaksanaan syariat Islam tidak hanya berasal dari kalangan
akademis akan tetapi juga kaum praktisi. Pada taraf tertentu kaum awam pun juga
ikut melibatkan diri dalam wacana pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kondisi ini
jelas menunjukkan bahwa syariat Islam merupakan Syariat yang memiliki nilai
karakteristik yang unik dan universal. Nilai universal syariat Islam dimaknai
dengan prinsip-prinsip dasar (Basic principles) ajaran Islam yang dibawa oleh
alquran dan al-Hadits, yang juga merupakan sumber utama syariat Islam. Prinsip
dasar itu terwujud dalam bentuk ajaran pokok akidah, hukum dan etika. Nilai
universal syariat Islam juga bermakna bahwa syariat ini dapat diterapkan dan sesuai
dengan kehidupan sosial masyarakat, tanpa membedakan latak geografis, sosiologis
dan bahkan politis. Nilai universal syariat Islam yang sifatnya normatif ini
barangkali akan berbenturan dengan kehidupan sosiologis masyarakat, jika kita
tidak mampu memahami dan menyelami makna syariat Islam secara proporsional.12
Qanun atau undang-undang, diartikan dengan sekumpulan prinsip, asas, dan
aturan yang diciptakan manusia untuk mengatur semua individu dalam sebuah
masyarakat supaya tercipta kehidupan yang baik dari segi sosial, ekonomi,
terbentuknya kemakmuran masyarakat, serta terpenuhinya hak-hak mereka.
Undang-undang menjadi tolok ukur dalam bermasyarakat yang dapat mengukur
sejauh mana peningkatan yang terjadi di sebuah masyarakat secara real, serta
mampu mengukur sejauh mana kemajuan yang mereka usahakan. Jika masyarakat
mampu mengambil pelajaran dari pengalaman, secara otomatis mereka mampu
membenahi kesalahan dan kekeliruan dalam undang-undang buatan mereka,
sehingga mereka dapat mengadakan perubahan dan pembaruan pada undang-
undang tersebut supaya sinkron dengan kehidupan mereka.13
Secara umum, peranan hukum dalam pembangunan ekonomi Indonesia
memiliki 5 fungsi sebagai berikut:14
1. Hukum sebagai alat untuk perubahan masyarakat (A Tool of Social Engineering)
2. Hukum sebagai alat untuk kontol sosial (A Tool of Social Control ) 3. Hukum sebagai Alat Kontrol Pembangunan
4. Hukum Sebagai Sarana Penegak Keadilan
5. Hukum sebagai Sarana Pendidikan Masyarakat
Pengertian qanun (undang-undang) seperti ini dapat berbeda antara
masyarakat satu dengan lainnya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan adat
istiadat dan kapasitas ilmu yang mereka miliki. Ada undang-undang yang cocok
diterapkan pada masyarakat tertentu, tetapi tidak cocok untuk diterapkan pada
masyarakat lainnya. Terkadang ada yang sesuai untuk zaman tertentu tetapi tidak
sesuai untuk masa-masa sebelumnya ataupun sesudahnya. Oleh sebab itu, jarang
12 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003), 182. 13 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13 14 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 405-421.
75
ditemukan adanya sebuah undang-undang buatan yang cocok diterapkan di dua
negara yang memiliki perbedaan lingkungan, adat istiadat maupun jalan
pemikirannya.15
Qanun (undang-undang) yang tidak memikirkan akhlak mulia yang dapat
menggugah hati manusia, mendidik emosional mereka, dan memotivasi mereka
agar selalu menjaga norma serta mematuhi kewajiban-kewajibannya. Sebagaimana
qanun juga tidak memperhatikan sisi akidah yang mengatur hubungan antara
hamba dengan Tuhannya, batasan-batasan di dalamnya, dan menjelaskan asli
ciptaan mereka serta tempat kembali mereka pada hari Kiamat kelak. Secara
umum, undang-undang seperti ini dinamakan oleh sebagian orang dengan undang-
undang atau hukum positif.16
Kata Qanun berasal dari bahasa Yunani yang berarti prinsip, asalnya canon
yang juga berasal dari kata canonical dalam hukum barat. Pemakaian istilah qanun
dalam Islam adalah untuk menerangkan hukum non agama atau hukum buatan
manusia, sedangkan dalam agama Kristen, canon menerangkan hukum agama atau
hukum gereja.17 Kata tersebut kemudian menjadi bahasa serapan dalam Bahasa
Arab yang berarti ukuran segala sesuatu. Ulama salaf tidak menggunakan kata
qanun sebagai sinonim dari syariat ataupun hukum syar’i. Sebagaimana mereka
juga tidak pernah menggunakan istilah sha>ri’ ataupun Musyarri’ (penetap syariat)
untuk menamakan orang yang membuat undang-undang. Namun, kata ini
digunakan oleh ulama-ulama terkini yang terkena pengaruh dari pengkajian
terhadap undang-undang positif, sehingga mereka menamakan unsur-unsur di
dalam undang-undang tersebut dengan istilah-istilah islami. Padahal dalam fikih
Islam sendiri belum pernah ada istilah-istilah tersebut.18
Dalam berbagai literatur hukum Islam, ditemukan istilah-istilah yang
memiliki makna yang berimpitan satu sama lain. Istilah itu antara lain syariat, fikih
dan hukum Islam. Di samping itu, kadang-kadang dalam buku berbahasa Arab
terdapat pula istilah al-fiqh Al-islami atau al-syari’at al-Islamiyah. Pemahaman
yang keliru terhadap istilah-istilah ini akan berakibat fatal dalam pemaknaan
syariat Islam secara sempurna. Istilah syariat mengandung makna thariqat (jalan).19
Al-Shar’u secara bahasa adalah masdar dari kata kerja shara’a, sementara tashri’ ialah masdar dari kata kerja syarra’a (menggunakan syiddah). Adapun kata syariah
secara bahasa berarti “sumber air yang digunakan untuk minum".20 Kemudian
orang-orang Arab menggunakan istilah tersebut untuk mengistilahkan jalan yang
lurus, dikarenakan sumber air adalah jalan kehidupan dan sebab keselamatan bagi
15 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13 16 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13 17 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2005), 312; Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, 145. 18 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13 19 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, 183 20 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 31
76
jasad manusia. Begitulah halnya jalan yang lurus, ia menunjukkan manusia kepada
jalan kebenaran, menerangi jiwa dan akal mereka.
Penyusun kitab Al-Qa>mus berkata: “Syariat adalah apa saja yang Allah
tetapkan bagi hamba-hamba-Nya.” Dan Ar-Raghib berkata, “Al-Shar’u adalah jalan
yang terang, maka dikatakan “Aku arahkan dia kepada jalan yang terang." Dan kata al-Shar’u adalah masdar, yang kemudian digunakan untuk mengistilahkan suatu
jalan yang ditempuh. Jalan yang ditempuh diistilahkan dengan shar’u dan sha>riah,
yang kemudian dua istilah ini digunakan untuk menamai jalan atau aturan Allah
untuk umat manusia. Sebagian ulama berkata, “Syariah diibaratkan seperti aliran
air, maka barang siapa yang berjalan mengikuti arah aliran air tersebut maka ia
akan puas meminum darinya dan dapat bersuci dengannya. Syariat Islam secara
istilah adalah apa saja yang Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya yang berupa
akidah, ibadah (amaliah), akhlak, muamalah (pergaulan), dan aturan untuk segala
aspek kehidupan, guna mewujudkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.21
Meskipun pada awalnya syariat diartikan dengan agama, namun kemudian
dikhususkan untuk hukum amaliyah yang menyangkut aktivitas manusia secara
praktis, dan tidak termasuk keimanan dan akidah. Pengkhususan itu bertujuan
untuk membedakan antara agama dan syariah, karena pada hakikatnya, agama itu
adalah satu dan universal. Kata syariah dikhususkan untuk hal-hal yang
menyangkut kewajiban, sanksi hukum, perintah dan larangan. Pada tahap
berikutnya kata syariah digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam baik
yang ditetapkan langsung melalui al-Quran dan hadis maupun yang telah tercampur
dengan pemikiran manusia atau hasil ijitihad.22
Melihat pada paparan di atas, maka qanun Aceh adalah seperangkat
peraturan yang disusun dalam rangka mengantarkan rakyat Aceh untuk mencapai
cita-cita dalam kehidupan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, sebagaimana penjelasan dalam qanun tersebut bahwa tujuan utama dari
penetapannya adalah untuk memperkuat implementasi pembangunan ekonomi
syariah di Aceh. Dan secara khusus, ditetapkan pulan 8 tujuan, yaitu: 1)
Mewujudkan perekonomian Aceh yang islami, 2) Menjadi penggerak dan
pendorong pertumbuhan perekonomian Aceh, 3) Menghimpun dan/atau
memberikan dukungan pendanaan serta menjalankan fungsi lembaga keuangan
berdasarkan Prinsip Syariah, 4) Menjalankan fungsi sosial lainnya termasuk
memanfaatkan harta agama untuk kemaslahatan umat berdasarkan Prinsip Syariah,
5) Mendorong peningkatan Pendapatan Asli Aceh, 6) Meningkatkan akses
pendanaan dan usaha bagi masyarakat, 7) Membantu peningkatan pemberdayaan
ekonomi dan produktivitas masyarakat, 8) Membantu peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.23 Karena sifatnya universal, maka qanun ini
diberlakukan untuk semua orang yang di Aceh, baik yang beragama Islam maupun
non muslim yang melakukan transaksi di wilayah Aceh.24
21 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13; 22 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, 34. 23 Pasal 5 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 24 Pasal 6 qanun Aceh No. 11 tahun 2018
77
Peraturan dalam qanun itu, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
efektivitas sebuah hukum. Menurut Soerjono Soekanto, suatu ketetapan hukum
akan dapat berjalan dengan baik, apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:25
1. Unsur yuridis, yaitu ditentukan atas dasar kaidah yang lebih tinggi
tingkatannya, dan bersifat mengikat, serta dapat menunjukkan suatu
kondisi yang seharusnya dan akibatnya.
2. Unsur sosiologis, yaitu apabila hukum diberlakukan dengan paksaan dari
penguasa, atau atas dasar masyarakat yang menginginkannya dan
mengakuinya.
3. Unsur filosofis, yaitu apabila hukum tersebut berisi ketentuan yang
dicita-citakan, dan merupakan nilai positif yang tinggi.
Tiga unsur di atas harus ada dalam sebuah ketentuan hukum secara
bersamaan, sebab, Jika hukum hanya terdiri dari kaidah yuridis saja, maka hukum
tersebut akan menjadi kaidah yang mati. kemudian, Jika hukum hanya terdiri dari
unsur sosiologis, maka akan menjadi sebuah aturan yang memaksa. Dan Jika hanya
unsur filosofis, maka akan hanya menjadi sekedar cita-cita belaka.26 Tiga unsur di
atas, tampak dalam pembukaannya yang menyatakan bahwa yang menjadi
pertimbangan dalam penerbitannya adalah untuk mewujudkan ekonomi masyarakat
Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syariat Islam. Dan untuk itu,
diperlukan jasa lembaga keuangan syariah sebagai kebutuhan masyarakat Aceh dan
sebagai salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan ekonomi syariah.
Pertimbangan utamanya adalah bahwa Al-Quran dan As-Sunah adalah dasar utama
agama Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam yang telah menjadi
keyakinan serta pegangan hidup masyarakat Aceh.27 Selain itu, juga tampak dalam
asas yang ditetapkan dalam qanun tersebut yang mencakup 11 asas bagi lembaga
keuangan dengan prinsip syariah, yaitu: 1) keadilan, 2) amanah, 3) persaudaraan, 4)
keuntungan, 5) transparansi, 6) kemandirian, 7) kerja sama, 8) kemudahan, 9)
keterbukaan, 10) keberlanjutan, dan 11) universal.
Dengan didasarkan pada pandangan di atas, maka qanun Aceh No. 11 tahun
2018, telah memenuhi 3 unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis. Unsur yuridis
tampak pada ‘mengingat’ yang menampilkan undang-undang yang lebih tinggi
tingkatannya dan menjadi sandaran atas penerbitan qanun. Unsur sosiologis,
tampak pada isi setiap bab dan pasal dalam qanun itu. Dan unsur filosofis tampak
pada bagian pertimbangan yang menunjukkan adanya cita-cita dari masyarakat
Aceh. Qanun tersebut isinya tidak ada yang bertentangan dengan ideologi negara
dan sesuai dengan konstitusi. Qanun ini juga merupakan kebutuhan dan harapan
masyarakat Aceh secara umum yang telah diperjuangkan sejak lama. Table di
bawah ini menunjukkan substansi qanun No. 11 tahun 2018. Tabel berikut
menggambarkan isi qanun secara keseluruhan:
25 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan Indonesia, Cet. Ketiga (Jakarta: UI Press, 1983), 34. 26 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan Indonesia, 35-36. 27 Qanun Aceh no. 11 tahun 2018
78
Tabel 9:
Substansi Muatan Qanun No. 12 Tahun 2003
BAB Isi Bab Pasal
BAB I Ketentuan Umum 1-6
BAB II Jenis, Pendirian, Kepemilikan, dan Perizinan 7 – 12
BAB III Bank Syariah 13 – 20
BAB IV Lembaga Keuangan Non-Bank Syariah 21 – 37
BAB V Kegiatan Usaha Dan Cakupan Wilayah Usaha 38 – 43
BAB VI Dewan Pengawas Syariah, Dewan Syariah Aceh
dan Dewan Syariah Kabupaten/Kota
44 – 49
BAB VII Tanggung Jawab Pemerintah Aceh dan
Pemerintah Kabupaten/Kota
50 – 54
BAB VIII Perlindungan Nasabah, Mitra, Lks, Dan Penjaminan 60 – 63
BAB IX Pembinaan, Pengaturan, Dan Pengawasan 36 – 37
BAB X Sanksi Administratif 64
BAB XI Ketentuan Peralihan 65
BAB XII Ketentuan Penutup 66 – 67
Qanun LKS ini memuat 12 Bab dan 67 Pasal. Qanun ini berisi aturan terkait
pelaksanaan jasa lembaga keuangan Syariah di Provinsi Aceh yang harus
dilaksanakan sesuai dengan Prinsip Syariah. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum
dan etika keislaman dalam kegiatan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki wewenang dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Secara umum, Qanun LKS mengatur empat dimensi penting dalam praktik
keuangan Syariah di Aceh yaitu:
1. Lembaga keuangan Syariah (LKS) yang merupakan lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, sektor keuangan Syariah
non perbankan dan sektor keuangan lainnya yang sesuai dengan prinsip
Syariah yang mencakup pasar modal, asuransi, dana pensiun, modal
ventura, pegadaian, koperasi, lembaga pembiayaan, anjak piutang,
lembaga keuangan mikro, atau lembaga jasa keuangan lainnya yang
pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
2. Pihak-pihak yang terkait yang melakukan aktivitas transaksi atau
menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan Syariah di Aceh seperti
individu, badan usaha, lembaga, dan juga para stakeholders terkait
seperti Pemerintah Aceh, Baitul Mal Aceh.
79
3. Kegiatan usaha LKS dan aktivitas transaksi keuangan Syariah seperti
simpanan, pinjaman, pembiayaan dan investasi yang harus sesuai dengan
ketentuan akad Syariah.28
Selain unsur yang telah disebutkan di atas, Soerjono Soekanto juga
menyampaikan ukuran efektivitas suatu undang-undang ada 4, yaitu:29
1. Undang-undang tersebut harus berisi tentang bidang-bidang kehidupan
tertentu secara sistematis.
Aspek ini telah terlihat dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018. Misalnya,
dalam bab II pasal 7 dijelaskan bahwa jenis LKS yang diatur dalam
qanun ada 3 bentuk, yakni: 1) Bank Syariah, termasuk unit usaha Syariah
dan bank pembiayaan rakyat syariah. 2) Lembaga Keuangan non Bank
yang meliputi: asuransi syariah, pasar modal syariah, dana pensiun
syariah, modal ventura syariah, pegadaian syariah, koperasi pembiayaan
syariah dan sejenisnya, lembaga pembiayaan syariah, anjak piutang
syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dan teknologi finansial
syariah. Sedangkan bentuk ketiga adalah 3) Lembaga keuangan lainnya,
yang meliputi: Lembaga keuangan non formal; dan Lembaga pegadaian
non formal. Namun semua Lembaga keuangan tersebut tidak akan
dianalisis implementasinya, karena penulis hanya fokus pada Lembaga
perbankan.
Kemudian, berkenaan dengan obyek hukum, dalam Bagian Kedua
tentang Pendirian, Pasal 8, dinyatakan bahwa pendirian Lembaga
keuangan Syariah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1)
bentuk badan hukum, yakni Perseroan Terbatas, 2) struktur
kepengurusan dan kepemilikan yang jelas, 3) permodalan yang sesuai
dengan ketentuan undang-undang; dan 4) kegiatan usaha yang sesuai
dengan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Selain itu, terlihat pula Dalam bab 3 tentang Bank Syariah, ditetapkan 3
hal, yakni: tugas, kegiatan usaha dan fungsi bank Syariah. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa yang disebut bank Syariah bertugas sebagai
penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat dan pelayanan jasa
keuangan lainnya serta menjalankan fungsi sosial. Bank Syariah juga
ditugaskan untuk mendukung penghimpunan zakat, infak, sedekah dan
wakaf dalam bentuk tunai atas nama BMA atau BMK.30 Adapun kegiatan
usaha yang diperbolehkan meliputi: 1) Menghimpun dana dalam bentuk
simpanan dan investasi dengan akad yang tidak bertentangan dengan
prinsip Syariah, 2) menyalurkan pembiayaan berbasis bagi hasil, jual beli,
sewa beli, jasa, dan pinjaman kebaikan (Qardh Hasan), dan 3)
Memasarkan produk keuangan dari LKS yang diatur sesuai dengan
28 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 39. 29 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 80. 30 Lihat dalam pasal 13 qanun Aceh No. 11 tahun 2018
80
ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, bank Syariah
diwajibkan untuk melaksanakan pengaturan tentang pencapaian rasio
pembiayaan kepada usaha mikro, kecil dan menengah dalam rangka
peningkatan pembangunan perekonomian masyarakat Aceh secara
bertahap dengan ketentuan 30% pada tahun 2020, dan minimal 40 %,
(empat puluh persen) pada tahun 2022. Dalam qanun tersebut juga
dinyatakan agar Pembiayaan yang disalurkan bank Syariah
mengutamakan akad berbasis bagi hasil dan memperhatikan kemampuan
dan kebutuhan nasabah dengan memperhatikan: 1) pengajuan
Pembiayaan dari calon nasabah yang didasarkan pada kebutuhan, 2)
prospek bisnis atau usaha dari calon nasabah yang memenuhi kriteria
kelayakan pembiayaan perbankan; dan 3) besarnya total kewajiban
angsuran nasabah paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari pendapatan resmi.
Akad berbasis bagi hasil sebagaimana dimaksud harus dilakukan secara
bertahap dengan ketentuan 10% pada tahun 2020, dan 20% pada tahun
2022, dan pada tahun 2024 harus sudah mencapai paling sedikit 40 %
(empat puluh persen).31
Selain ketentuan tentang lembaga keuangan, qanun ini juga menegaskan
adanya perlindungan terhadap nasabah, mitra, LKS, dan penjaminan.
Dinyatakan dalam bab 7 pasal 55, bahwa LKS diwajibkan untuk
menyediakan informasi secara terbuka dalam rangka perlindungan
terhadap nasabah. Informasi itu meliputi: hak dan kewajiban LKS dan
nasabah, produk dan persyaratannya, mekanisme Pembiayaan dan
manajemen risikonya, dan tentang penguasaan jaminan/ agunan dan
eksekusinya.32 Kemudian sebagai upaya untuk melindungi mitra, lembaga
keuangan juga diwajibkan menyediakan informasi secara terbuka yang
meliputi: wewenang dan tanggung jawab LKS, produk dan
persyaratannya yang perlu diketahui oleh mitra, dan kemungkinan
timbulnya risiko dari masing-masing produk sehubungan transaksi LKS
dengan pihak mitra. Selain kepada LKS, perlindungan kepada nasabah
dan mitra juga diamanatkan kepada OJK dan pemerintah Aceh melalui
Lembaga penjaminan Pembiayaan daerah.33
2. Undang-undang tersebut berkaitan dengan bidang kehidupan dan disusun
dengan sinkronisasi secara hierarki dan tidak ada pertentangan secara
horizontal.
Qanun ini didasarkan pada qanun-qanun sebelumnya dan undang-undang
yang telah ditetapkan oleh pemerintah Pusat, dengan demikian, secara
hierarki tidak ada pertentangan dan telah sinkron dengan ketentuan
perundang-undangan yang ada.
3. Undang-undang tersebut secara kualitatif dan kuantitatif telah
mencukupi untuk mengatur bidang kehidupan tertentu.
31 Lihat pasal 14 Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 32 Pasal 55 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 33 Pasa 56-59 qanun Aceh No. 11 tahun 2018
81
Aspek ini tampak dalam penjelasan tentang prinsip-prinsip syariah.
Dalam qanun itu dinyatakan bahwa Prinsip Syariah yang dimaksud
adalah prinsip hukum dan etika keislaman dalam kegiatan keuangan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Akad adalah
transaksi tertulis antara LKS dan pihak lain yang memuat adanya hak
dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada LKS
dalam bentuk titipan, tabungan dan/atau giro, deposito dan/atau yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad penyimpanan dana. Pinjaman
adalah penyediaan dana oleh LKS kepada nasabah yang harus
dikembalikan sesuai dengan Akad pinjaman.
Kemudian dalam hal ketentuan pembiayaan juga terlihat telah memenuhi
secara kualitatif, sebagaimana penjelasan bahwa Pembiayaan adalah
penyediaan dana oleh LKS kepada nasabah yang pokok dan
keuntungannya atau yang dipersamakan dengannya harus dikembalikan
sesuai dengan Akad perjanjian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
Investasi adalah modal dalam bentuk dana atau bentuk lainnya yang
dipercayakan oleh nasabah kepada LKS berdasarkan Akad yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah. Otoritas Jasa Keuangan yang
selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dewan
Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang
bertugas mengawasi, memberi nasehat serta saran kepada manajemen
LKS agar sesuai dengan prinsip syariah. Dewan Syariah Aceh yang
selanjutnya disingkat DSA adalah dewan yang berwenang mengatur dan
mengawasi penerapan Prinsip Syariah pada seluruh transaksi keuangan
yang dilakukan LKS.
4. Penerbitan undang-undang tersebut telah sesuai dengan persyaratan
yuridis yang ada.
Persyaratan yuridis ini tergambar dalam penyusunan qanun tersebut yang
telah melibatkan berbagai pihak, dan telah mendapat persetujuan dari
dewan perwakilan rakyat Aceh. Arah penerapan Syariat Islam dalam
bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh mulai secara
sistematis disusun sejak tahun 2015 di mana Dinas Syariat Islam Provinsi
Aceh melakukan kajian tentang Lembaga Keuangan Syariat di Aceh,
sehingga dapat Menghasilkan Naskah Akademik yang menjadi dasar
penyusunan Rancangan Qanun Lembaga Keuangan Syariah. Selanjutnya,
diskusi intensif dan terbuka dalam bentuk FGD dan diskusi publik
dilakukan untuk penyempurnaan draf rancangan Qanun LKS tersebut.
Pada tahun 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membentuk
pansus pembahasan Rancangan Qanun LKS bersama dengan lembaga
terkait seperti Dinas Syariat Islam, Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, Praktisi Perbankan dan Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan
Bisnis (FEBI) Universitas Islam Neger Ar-Raniry. Hasil pembahasan
82
yang panjang dan komprehensif akhirnya melahirkan penerbitan Qanun
Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah pada
rapat paripurna DPRA dan diundangkan pada tanggal 4 Januari 2019
dalam Lembaran Daerah Aceh.34
Di dalam qanun itu dinyatakan bahwa lembaga adalah institusi atau
pranata yang di dalamnya terdapat seperangkat norma-norma, nilai-nilai,
dan keyakinan yang bersentuhan dengan berbagai kebutuhan sosial,
ekonomi dan/atau keuangan dilakukan secara berulang dan teratur.
Lembaga Keuangan Syariah yang selanjutnya disingkat LKS adalah
Lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, sektor
keuangan syariah non perbankan dan sektor keuangan lainnya sesuai
dengan prinsip syariah. Sedangkan Bank Syariah adalah bank yang
menja1ankan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
serta unit usaha syariah. Adapun Lembaga Keuangan Non Bank
Syariah adalah lembaga yang bergerak dalam bidang kegiatan pasar
modal, asuransi, dana pensiun, modal ventura, pegadaian, koperasi,
lembaga pembiayaan, anjak piutang, lembaga keuangan mikro dan
lembaga keuangan jasa lainnya yang pelaksanaannya tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah. Dan yang dimaksud dengan Lembaga
Keuangan Lainnya adalah lembaga yang belum mempunyai legalitas
formal.
Sementara itu, Montesquieu menjelaskan dalam bukunya The Spirit of Laws
bahwa undang-undang yang efektif adalah yang memenuhi 3 kriteria, yaitu:
1) Ketentuan dalam perundang-undangan harus ringkas dan mudah di
mengerti, sehingga hukum tersebut akan dapat berarti dan dimengerti
oleh siapa pun yang membacanya.
2) Peraturan undang-undang harus mudah dilaksanakan, karena itu aturan
yang sulit diterapkan dan ketentuan yang tidak diperlukan harus
dihindari, karena akan memperlemah otoritas sistem hukum secara
umum.
3) Suatu perundang-undangan yang mengakomodasi keragaman dan tidak
memaksakan keseragaman, akan lebih efektif untuk dilaksanakan.
Karena keseragaman, akan dirasa menyenangkan secara psikologis,
namun dapat membahayakan efektivitasnya, apalagi jika rumusannya
tidak sesuai dengan harapan orang-orang yang punya kepentingan.35
Dengan melihat pada isi dari ketentuan perundang-undangan yang termuat
dalam qanun ini, maka penulis menyatakan bahwa isi dari semua ketentuan yang
34 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 39. 35 Montesquieu, Dua Puluh Sembilan Tentang Cara Menyusun Undang-Undang
dalam buku: “The Spirit Of Laws” Terj. Khairul Anam, (Bandung: Nusamedia, 2007), 357-
358.
83
ditetapkan, telah memenuhi syarat untuk menjadikan sebuah hukum untuk
dilaksanakan secara efektif. Qanun Aceh ini ringkas, mudah dilaksanakan dan
mudah dimengerti. Misalnya tentang fungsi bank syariah, di dalam qanun
dijelaskan secara mudah dalam Pasal 15 dan 16, bahwa fungsi bank syariah ada 2,
yaitu: 1) menghimpun dan menyalurkan dana dari nasabah dan kegiatan usaha
lainnya sesuai dengan Prinsip Syariah, 2) melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk
menerima dana yang berasal dari zakat dan infak atas nama BMA atau BMK, dan
sedekah, hibah, wakaf uang atau dana sosial untuk kepentingan umat Islam.
Pelaksanaan fungsi sosial tersebut, harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam pengumpulan dana wakaf uang tersebut LKS wajib
terdaftar sebagai LKS penerima wakaf uang pada BMA. Kemudian, dalam hal
Pembiayaan murah kepada usaha mikro dan pembangunan ekonomi Aceh, Bank
Syariah wajib bekerja sama dengan BMA atau BMK melalui integrasi antara zakat,
infak, sedekah dan wakaf dengan dana sosial lainnya.36
Qanun ini berisi segala ketentuan yang normal, dan sudah mencakup segala
aspek yang dibutuhkan oleh sebuah hukum. Dengan demikian, benarlah apa yang
dinyatakan oleh Rusjdi Ali, bahwa Qanun Aceh dihasilkan melalui proses metode
pilihan hukum dari khazanah pemikiran dan ijtihad para fukaha, dan penemuan
hukum atau ijtihad baru dalam hal-hal yang dibutuhkan masyarakat pada masa kini
dan tidak bertentangan dengan asas hierarki perundang-undangan melalui asas Lex Spesials yang memberi kebebasan kepada wilayah yang diberi Otonomi secara
Khusus. Adapun berkaitan dengan Penyusunan Hukum Material Islam maka
mengacu kepada ketentuan fikih jinayah, seperti kisas dan hudud yang telah ada
nasnya dan kepastian ketentuannya di dalam al-Quran dan hadis, sementara dalam
bidang takzir masih memerlukan kodifikasi hukum, kebijakan dan kearifan para
pembuat hukum untuk menetapkannya.37
Selanjutnya, mengenai berlakunya undang-undang, terdapat beberapa asas
yang bertujuan agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
Maksudnya agar undang-undang yang dibuat dapat mencapai tujuannya secara
efektif. Asas-asas tersebut adalah:38
1. Undang-undang yang diterbitkan tidak berlaku surut, undang-undang
hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam
undang-undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu
dinyatakan berlaku.
Asas ini telah terpenuhi dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018, di mana
qanun tersebut diberlakukan mulai pada tahun 2019, yakni satu tahun
setelah diundangkan.39
2. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
36 Pasal 15 dan 16 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 37 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, 46. 38 Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1979 39 Lihat dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018 bab xi pasal 65
84
Asas ini telah terpenuhi dalam qanun, di mana pembuatnya adalah
pemerintah provinsi, dan berlaku untuk semua pemerintah kabupaten dan
Kota di seluruh wilayah Aceh.40
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang
yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya, terhadap
peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebutkan
peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula
diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih
luas ataupun lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus
tersebut.
Asas ini tergambar dalam pemberlakuan qanun yang menyeluruh bagi
seluruh penduduk Aceh, baik yang beragama Islam maupun non
muslim.41
4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang
yang berlaku terdahulu. Artinya, undang-undang lain yang lebih dahulu
berlaku di mana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi
apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur
pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan
atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut,
5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui
pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).42
7. pembuat undang-undang tidak sewenang-wenang atau supaya undang-
undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa
syarat tertentu, yakni antara lain:
a. Keterbukaan di dalam proses pembuatan Undang-undang.
b. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-
usul tertentu, melalui cara-cara:
c. Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk
menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang
akan dibuat.
d. Suatu Departemen tertentu, mengundang Organisasi-organisasi
tertentu untuk memberikan masukan bagi suatu rancangan undang-
undang yang sedang disusun.
e. Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat.
f. Pembentukan kelompok-kelompok penasihat yang terdiri dari tokoh-
tokoh atau ahli-ahli terkemuka. ;;43
Qanun ini ditetapkan pada tanggal 4 Januari 2019 dan mulai berlaku satu
tahun setelahnya, yaitu pada tahun 2020, dan bagi seluruh lembaga keuangan yang
beroperasi di Aceh diwajibkan untuk mengikuti ketentuan dalam qanun tersebut
40 Lihat dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018 bab vii tentang tanggung jawab
pemerintah Aceh, dan pemerintah Kabupaten/Kota. 41 Lihat dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018 pasal 6
85
paling lambat 3 tahun sejak qanun itu disahkan, yakni pada tahun 2022.42 Melihat
pada penahapan implementasi qanun ini, penulis melihat adanya waktu yang
ditetapkan, dan meskipun ada sifat paksaan di dalamnya, tetapi masih pada batas
normal yang dapat ditolerir, karena dengan batas waktu yang telah ditetapkan
tersebut, lembaga keuangan memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan
segala hal yang dibutuhkan. Perbankan syariah di provinsi Aceh memiliki potensi
untuk berkembang pesat, karena di dukung oleh penerbitan peraturan daerah atau
Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang pokok-pokok syariat Islam. Dalam pasal 21
poin 1-4 dinyatakan bahwa lembaga keuangan yang akan beroperasi di provinsi
Aceh harus berlandaskan prinsip syariah. Ketentuan ini lalu didukung oleh qanun
No. 8 tahun 2016 tentang sistem jaminan produk halal.43
Sebagai sebuah hukum yang harus ditaati, tentunya dibutuhkan sanksi agar
dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam pasal 64, sanksi yang ditetapkan tersebut,
berupa: 1) denda uang, 2) peringatan tertulis, 3) pembekuan kegiatan usaha, 4)
pemberhentian direksi dan/atau pengurus LKS, 5) pencabutan izin usaha. Bagi
setiap lembaga keuangan dan mitra yang melanggar ketentuan dalam qanun.44
Suatu masalah lain yang erat hubungannya dengan penyelesaian perkara dan sarana
atau fasilitasnya, adalah soal efektivitas dari sanksi negatif yang diancamkan
terhadap peristiwa-peristiwa pidana tertentu. Tujuan sanksi-sanksi tersebut dapat
mempunyai efek yang menakutkan terhadap pelanggar-pelanggar potensial,
maupun yang pernah dijatuhi hukuman karena pernah melanggar (agar tidak
mengulanginya lagi). Dengan demikian diharapkan, bahwa kejahatan akan
berkurang secara semaksimal mungkin Sanksi negatif yang relatif berat atau
diperberat saja, bukan merupakan sarana yang efektif untuk dapat mengendalikan
kejahatan maupun penyimpangan-penyimpangan lainnya Kepastian (certainty) di
dalam penanganan perkara maupun kecepatannya, mempunyai dampak yang lebih
nyata, apabila dibandingkan dengan peningkatan sanksi negatif belaka. Kalau
tingkat kepastian dan kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksi-
sanksi negatif akan mempunyai efek menakuti yang lebih tinggi pula, sehingga
akan dapat mencegah peningkatan kejahatan maupun residivisme.
Tabel 10:
Faktor Efektivitas unsur Perundang-undangan
A. Unsur yang harus dipenuhi Telah
terpenuhi
Belum
terpenuhi
Yuridis V
Sosiologis V
Filosofis V
42 Bab xi pasal 65, 66 dan 67 Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 43 Early Ridho Kismawadi, “Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di Konversikannya
Bank Konvensional Ke Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus di Kota Langsa” Ihtiyath Vol. 2
No. 2 Desember (2018): 136-148. 44 Bab x pasal 64 Qanun Aceh No. 11 tahun 2018
86
B. Ukuran Efektivitas
Sistematis V
Sinkron, Secara Hierarki dan Tidak Ada
Pertentangan secara Horizontal V
Mencukupi V
Sesuai dengan Persyaratan Yuridis V
Ruang Lingkup Perundang-undangan V
Tidak Dilahirkan Secara Tergesa-gesa V
Ringkas dan Mudah Dimengerti, V
C. Kaidah dalam Menerapkan Hukum
Mewujudkan keadilan V
Mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat V
berpadanan dengan keadaan darurat V
Sanksi yang sesuai dengan Kesalahan V
Setiap orang memikul kesalahannya sendiri V
Dengan isinya yang lengkap dan memuat berbagai aspek dari ketentuan
umum hingga ketentuan khusus, serta memuat sanksi atas pelanggaran yang
mungkin terjadi, maka qanun Aceh ini merupakan faktor pendukung untuk
efektivitas pemberlakuan qanun tersebut.
Selain itu, tingkat keberhasilan penerapan qanun ini juga berpeluang akan
lebih maksimal, karena didukung oleh peraturan-peraturan daerah yang berkaitan
dengan sektor ekonomi dan keuangan syariah sebagai berikut:
1. Peraturan Daerah terkait Keuangan Syariah, yaitu: Qanun Aceh No. 8
Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam, Qanun Aceh No. 11
Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, Nomor 9 Tahun 2014
tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah, dan Qanun Aceh Nomor 10
Tahun 2018 tentang Baitul Mal
2. Peraturan Daerah terkait Industri Halal, yaitu: Peraturan Daerah tentang
Konversi Bank Aceh Syariah yang saat ini sedang dalam tahap finalisasi.
3. Peraturan Daerah terkait Makanan/Minuman Halal, yaitu: Qanun Aceh
No. 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, dan Qanun
Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang pokok-pokok Syariat Islam.
4. Peraturan Daerah terkait Fashion Muslim, yaitu: Qanun Prov. NAD No.
11 Tahun 2002 Pasal 13 dan 23 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
87
Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, dan Qanun Aceh No.8 Tahun
2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam.
5. Peraturan Gubernur terkait Pariwisata ramah Muslim, yaitu: Qanun Aceh
No. 8 Tahun 2013 tentang Kepariwisataan.
6. Peraturan Gubernur terkait Pengelolaan Zakat, yaitu: Pergub Nomor 08
tahun 2017 tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat.
7. Peraturan Daerah Lainnya, yaitu: Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2016
tentang Pencabutan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 Tentang
Pembentukan Bank Aceh Syariah, dan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2015
tentang Perubahan Bentuk Hukum Perusahaan Daerah Bank Perkreditan
Rakyat Mustaqim Suka makmur Menjadi Perseroan Terbatas Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah Mustaqim Aceh.45
Menurut Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Aceh bahwa dengan
disahkannya Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan
Syariah akan memberikan peluang yang besar khususnya bagi pengembangan
Koperasi Simpan Pinjam Syariah dan Usaha Simpan Pinjam Syariah dan UMKM
Syariah, dikarenakan amanah dari Qanun tersebut yang mewajibkan seluruh
lembaga keuangan baik bank dan non bank untuk menjalankan usaha sesuai dengan
prinsip dan pengelolaan syariah paling lambat pada Desember 2020. Menurutnya,
Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Aceh terus berupaya dan
berkesinambungan mengembangkan KSPPS/USPPS melalui penambahan jumlah
tenaga DPS dengan program atau kegiatan Sertifikasi Dewan Pengawas Syariah
yang bekerja sama dengan MUI Pusat dan difasilitasi dengan perubahan Anggaran
Dasar Koperasi Konvensional ke Syariah. Untuk UMKM Syariah khususnya di
bidang kuliner halal, dengan memfasilitasi para pelaku UMKM di bidang kuliner
untuk memperoleh sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Aceh. Dengan usaha ini, diharapkan Aceh akan menjadi salah satu
destinasi favorit wisata kuliner halal di Indonesia dengan potensi dan
keanekaragaman cita rasa kuliner halal yang menjadi salah satu prioritas
pengembangan di sektor UMKM yang dilakukan oleh Dinas Koperasi Usaha Kecil
dan Menengah Aceh.46
Ditambah lagi, menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Aceh efektivitas qanun LKS ini didukung oleh kesadaran masyarakat Aceh
yang mayoritas Muslim, Semua masyarakat Aceh mengonsumsi atau menggunakan
barang dan jasa halal, sehingga Aceh merupakan bagian dari daerah memiliki
pengeluaran barang atau makanan halal (Muslim food expenditure). Sehingga
dengan itu semua, bonus demografi pada 2025-2035, yang berpotensi menghasilkan
masyarakat kelas menengah akan didominasi oleh umat Muslim yang kreatif yang
menjadikan bisnis dan keuangan syariah juga lebih beragam. Dalam kaitannya
45 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 14. 46 Kepala Dinas Koperasi dalam Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan
Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020, 49
88
dengan pengeluaran produk halal, Kantor wilayah Kementerian Agama dan Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh secara tegas mendukung terlaksananya
jaminan produk halal, karena akan menjadi peluang untuk membangkitkan
semangat para pelaku industri untuk menyentuh sektor halal food, sehingga fokus
pengembangan ekonomi syariah di Aceh dapat terus ditingkatkan sesuai degan
sektor usaha yang diinginkan, seperti industri makanan dan minuman, tata busana,
pariwisata, media dan rekreasi, serta farmasi dan kosmetika. Tentunya hal ini akan
memberikan peluang bagi pelaku usaha dalam memilih usaha yang dapat
dikembangkan, dan penegakan syariat Islam di Aceh akan merambah ke berbagai
bidang usaha dan jasa terutama di bidang ekonomi. Sebagai langkah pendukung,
pemerintah berkomitmen untuk menguatkan lembaga keuangan syariah, Industri
Kecil Menengah (IKM) dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) berbasis
produk Syariah. Generasi muda Aceh bangga dan berani menyatakan bahwa Aceh
adalah daerah berbasis Syariah. Hal ini menjadikan tumbuhnya generasi baru yang
membawa perubahan dimasa yang akan datang.47
Sementara itu, menurut Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu, Provinsi Aceh merupakan provinsi yang secara geografis
sangat strategis, dengan status ekonomi khusus dan penerapan syariat Islam
menjadikan Aceh sebagai wilayah yang ramah terhadap investasi yang merupakan
instrumen peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada pengembangan
pada sektor potensial seperti agro industri, energi dan infrastruktur, pariwisata dan
pengembangan kawasan industri Aceh. Keempat sektor tersebut memiliki fondasi
yang kuat untuk dikembangkan dan tentunya sejalan dengan penerapan Syariat
Islam secara kafah dari berbagai sektor kehidupan masyarakat di provinsi Aceh.
Apalagi jika dikaitkan dengan ketersediaan regulasi yang mendukung investasi
namun tidak mencederai penerapan nilai-nilai syariat Islam, akan menjadikan Aceh
sangat tepat dan cocok menjadi destinasi utama bagi setiap kegiatan investasi
berbasis syariah. Selain itu, Aceh juga telah memiliki Kawasan Industri Aceh dan
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang menjadi magnet dan
peluang bagi investor yang ingin berinvestasi pada kawasan yang memiliki insentif
dan kemudahan termasuk pengurangan pajak dan kemudahan lainnya. Melalui dua
kawasan ini, harapan untuk terlaksananya lokomotif kegiatan berusaha yang dapat
menumbuhkan berbagai sektor turunan dengan nilai tambah yang besar.48
B. Faktor Penegak Hukum dalam Penerapan Qanun Aceh
Faktor kedua yang menentukan efektivitas kinerja hukum adalah faktor
penegak hukum. Untuk itu, maka diperlukan adanya aparat penegak hukum yang
andal agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Keandalan itu adalah
keterampilan profesional, dan mental yang kuat. J. E. Sahetapy yang mengatakan
bahwa keadilan dan kebijakan diperlukan oleh seorang penegak hukum, sebab
47 Kepala Bappeda, dalam Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan
Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020, 49 48 Kepala Dinas Penanaman Modal, dalam Muhammad Quraisy, dkk. Laporan
Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020, 50
89
implementasi penegakan hukum secara adil, tetapi tidak disertai kebenaran, adalah
sebuah kebijakan, dan penegakan hukum secara benar, tetapi tidak disertai
kejujuran adalah sebuah kemunafikan. Karena itu, lembaga penegak hukum harus
dapat menampilkan keadilan dan kebenaran yang dapat dirasakan oleh masyarakat,
sehingga prinsip penegakan hukum yang dapat memberi manfaat atau berdaya guna
(utility) bagi masyarakat dapat terealisasi. Namun, hukum itu tidak identik dengan
keadilan, dan masyarakat menghendaki adanya keadilan. Sifat hukum adalah
umum, mengikat setiap orang dan memandang semua orang dengan status sama di
hadapan hukum. Setiap orang yang melakukan pelanggaran harus mendapatkan
hukuman, tanpa membeda-bedakan siapa pelakunya, sebaliknya sifat keadilan itu
adalah subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang
belum tentu terasa adil bagi orang lain.49
Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa hukum yang baik adalah yang dapat
memenuhi rasa keadilan dan terus berkembang mengikuti nilai-nilai keadilan
manusia. Kesadaran hukum pada masyarakat akan timbul apabila ada kesesuaian
antara keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan keadilan yang ingin
dihasilkan oleh hukum yang diberlakukan. Oleh sebab itu, kepastian hukum
hendaknya harus selalu ditegakkan, karena di dalam kepastian hukum itu,
terkandung nilai keadilan hukum. Kepastian dan keadilan hukum merupakan dua
sisi yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mengisi. Dari pandangan
ini maka muncul dan tercipta hukum positif yang dapat mengayomi kehidupan
masyarakat, dan secara tidak langsung akan tercipta hukum yang berdimensi
keadilan dan kebenaran.
Hukum dan keadilan merupakan dua sisi yang tidak boleh dipisahkan karena
kedua hal ini saling berkaitan. Apabila hukum dilaksanakan dengan baik, maka
keadilan akan terwujud. Apabila keadilan dapat bersatu dengan hukum, maka akan
terwujud ketertiban dan kedamaian serta kebahagiaan dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum harus berperan aktif dalam mewujudkan
keadilan dan harus ditegakkan tanpa memandang bulu dan pilih kasih. Dalam
kaitan ini, diperlukan sikap keteladanan dari penguasa dalam berbuat dan
bertindak, sehingga dengan kesadarannya sendiri akhirnya masyarakat akan
mengikuti teladan tersebut dan patuh kepada hukum. Masyarakat akan tunduk
kepada hukum karena mereka merasa bahwa kepentingannya terlindungi dan
mereka taat kepada hukum karena menganggap bahwa hukum tersebut dapat
mendidik dan membimbing individu menjadi lebih baik dalam mengayomi
masyarakat dan bersikap adil dalam segala tindakan.50
Sebenarnya, sebuah peraturan perundang-undangan telah dimulai penegakan
hukumnya ketika peraturan tersebut dirumuskan oleh badan legislatif. Setiap
ketentuan hukum apa pun bentuknya, pasti akan berpedoman pada nilai-nilai
tertentu yang dianggap baik dan mulia oleh masyarakatnya. Nilai-nilai yang
dianggap baik tersebut sama dalam pandangan siapa pun, karena dalam nilai-nilai
49 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993), 2. 50 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 420-421.
90
yang mulia itu terdapat dalam hukum alam. Suatu undang-undang yang kurang
baik, akan menjadi salah satu faktor munculnya kejahatan. Namun yang paling
mempengaruhi baik dan tidaknya sebuah undang-undang, adalah pelaksanaannya
yang terkadang tidak konsekuen dan sikap atau perilaku penegak hukumnya.51
Seyogyanya para penegak hukum selalu bertitik tolak pada hukum yang hidup
dengan memerhatikan budaya hukum di tengah-tengah masyarakat agar dapat
memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat
terhadap hukum dalam sebuah sistem hukum yang berlaku. Para penegak hukum
tidak boleh hanya berpedoman pada substansi norma hukum formal yang ada di
dalam undang-undang saja, karena hal itu dapat mencederai rasa keadilan di dalam
masyarakat.
Yang dimaksud dengan aparat penegak hukum di sini, mencakup semua
institusi penegak hukum dan aparat penegaknya. Dalam arti sempit aparat penegak
hukum yang terlibat dalam tegaknya hukum tersebut dimulai dari saksi, polisi,
penasihat hukum, jaksa, hakim dan petugas-petugas sipir lembaga pemasyarakatan,
serta lembaga-lembaga yang secara khusus diberi wewenang dalam penegakan
hukum dalam suatu wilayah. Setiap aparat dan aparatur terkait juga mencakup
pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau peranannya, yakni terkait dengan
kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan
kembali terpidana.52
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam proses bekerjanya aparat penegak hukum
sering kali dipengaruhi oleh 3 elemen penting, yaitu:
1. Institusi penegak hukum beserta pelbagai perangkat sarana dan
prasarana pendukung serta mekanisme kerja kelembagaannya;
2. Budaya kerja yang berkaitan dengan aparatnya, termasuk mengenai
kesejahteraan aparat;
3. Seperangkat peraturan yang mendukung, baik kinerja kelembagaannya
maupun yang mengatur material hukum yang dijadikan sebagai standar
kerja dalam hukum material dan hukum acara.
Dalam usaha penegakan hukum yang tersistem, diharuskan untuk
memperhatikan 3 aspek tersebut secara bersamaan, sehingga praktik penegakan
hukum dapat berjalan dengan baik dan dapat diwujudkan dengan nyata.53
Efektivitas sebuah hukum tidak cukup hanya melihat hukum sebagai suatu
perangkat norma, kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
51 J.E. Sahetapy dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010),
51. 52 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/Penegakan-
Hukum.pdf (diakses pada tanggal 5 Oktober 2015). 53 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/.../Penegakan
_Hukum.pdf
91
masyarakat, tetapi juga harus memerhatikan pada lembaga atau institusinya dan
proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kehidupan nyata.54
Hikmanto Juwanto menyampaikan pendapat yang selaras dengan penjelasan
Jimly di atas, bahwa pelaksanaan penegakan hukum akan menjadi lemah apabila
hukum dijadikan sebagai komoditas politik, dan dilaksanakan secara diskriminatif.
Karena itu, perlu dilakukan pembenahan dalam pelbagai aspek yang mencakup
institusi penegak hukum, kesejahteraan penegak hukum serta memperbaiki
substansi hukum agar sesuai dengan kehidupan masyarakat, karena penegakan
hukum merupakan faktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.55
Sementara itu Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah yang
mempengaruhi efektivitas hukum, bila ditinjau dari faktor aparat penegaknya,
sangat tergantung pada 4 hal, yaitu:
1. Sejauh mana aparat penegak hukum terikat oleh peraturan-peraturan
yang ada,
2. Apa batas yang ditentukan bagi penegak hukum dalam mengambil atau
memberikan kebijakan,
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh penegak hukum
kepada masyarakat,
4. Sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada
penegak hukum, sehingga memberikan mereka batasan yang tegas
dalam wewenangnya.
Menurut Daniel S. Lev yang paling menentukan dalam proses hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik, karena hukum sering kali merupakan
sebuah alat politik. Posisi hukum dalam negara tergantung pada keseimbangan
politik, definisi kekuasaan, evolusi ideologi politik, ekonomi, sosial, dan
seterusnya.56 Sedangkan Noet dan Selznick menyatakan bahwa seorang penguasa
atau yang memiliki otoritas dalam penegakan hukum dan dapat mengeluarkan atau
membuat pelbagai aturan sebagai sarana kekuasaannya, harus ingat bahwa
kekuasaan empiris tidak dapat dipaksakan sesuai dengan keinginannya, tetapi harus
dengan menambah kredibilitas para penegak hukumnya, dengan itu, maka aturan-
aturan tersebut akan mendapatkan legitimasi serta menarik kemauan masyarakat
secara sukarela.57 Dengan demikian, maka kredibilitas para penegak hukum
54 Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan,
Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, (Bandung: Alumni, 1999) dalam Fauzie Y. Hasibuan, Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum, 4.
55 Fauzie Y. Hasibuan, Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum,
http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-penegakan-hukum-
dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-advokat-indonesia/,2. (diakses pada
tanggal 25 Januari 2021). 56 Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Cet I, (Jakarta: LP3S, 1990), 45. 57 Noet dan Selznick dalam Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna
Dialog Antara Hukum dan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 251-252.
92
merupakan hal yang sangat penting dalam terlaksananya suatu aturan atau undang-
undang.
Cakupan penegak hukum sangat luas sekali, dan yang dimaksudkan dengan
penegak hukum dalam disertasi ini adalah penegak hukum yang secara langsung
berkecimpung di dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement (penegakan hukum) belaka, akan tetapi juga peace maintenance (pemeliharaan perdamaian). Mereka adalah yang bertugas dalam bidang kehakiman,
kejaksaan, kepolisian, pengacara dan pemasyarakatan,58 serta para penegak hukum
yang secara khusus hanya ada di Provinsi Aceh, dan tidak ada di wilayah lainnya.
Dalam sejarah penerapan syariat Islam dikenal paling tidak empat macam
wilayah peradilan Islam, yaitu wilayah al-Hisbah, wilayah al-qadha, wilayah al-maz}a>lim dan ada yang menambahkannya dengan 1 wilayah lagi, yaitu wilayah at-tahkim,. Keempat wilayah ini telah mengambil peran yang cukup penting pada saat
mewujudkan syariat Islam di dalam kehidupan masyarakat.59
Wilayah hisbah adalah suatu lembaga yang bertugas menegakkan amar
makruf apabila jelas-jelas ditinggalkan (zhahara tarkuhu) dan mencegah
kemungkaran apabila jelas-jelas dilakukan (zahara fi’luhu).60 Kewenangan lembaga
ini meliputi hal-hal yang berkenaan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
sebagian dari tindak pidana ringan yang menghendaki penyelesaian segera. Karena
Tujuan adanya lembaga ini adalah untuk menjaga ketertiban umum serta
memelihara keutamaan moral dan adab dalam masyarakat. Jadi tugas lembaga ini
meliputi amar makruf dan nahi munkar, agar kehidupan masyarakat dapat
berkembang dan lestari, dengan terjaganya ketertiban sosial.61
Wilayah qadha adalah lembaga peradilan yang sesungguhnya yang
berwenang menyelesaikan segala macam sengketa baik perdata maupun pidana.
Khususnya di Indonesia, Peradilan Agama tidak berwenang dalam memutuskan
perkara pidana. Pengadilan Agama hanya berwenang memeriksa dan memutuskan
serta menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam
dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah serta wakaf dan sedekah.62
Wilayah al-mazhalim merupakan lembaga peradilan khusus yang agaknya
mirip dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan lembaga ini menurut al-
Mawardy ada 10 macam,63 yaitu: 1) pengaduan oleh rakyat terhadap penganiayaan
yang dilakukan oleh pejabat/penguasa, 2) kecurangan petugas zakat dan baitul mal,
58 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 19. 59 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 120. 60 Al-Mawardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah (Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-H}alabi>, 1973),
240. 61 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
120-121; Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer (Jakarta: Gramata Publishing, 2011), 137.
62 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
128-129 63 Al-Mawardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 162-168
93
3) pengawasan terhadap perlakuan para pejabat terhadap rakyatnya, 4) pengaduan
para pegawai dan tentara misalnya menyangkut pemotongan dan keterlambatan
gaji, 5) pengaduan oleh rakyat tentang perampasan harta oleh para penguasa atau
orang-orang kuat, 6) pengawasan harta wakaf, 7) melaksanakan putusan lembaga
peradilan yang tidak sanggup dijalankan karena pihak yang kalah adalah orang-
orang besar dan kuat, 8) meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang menyangkut
kepentingan umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh muhtasib (petugas hisbah),
9) menjaga pelaksanaan ibadah yang penting seperti Shalat Jumat, Idul Fitri dan
Haji, 10) mengawasi penyelesaian perkara-perkara yang menjadi sengketa antara
dua pihak agar tetap dijalankan dengan benar. Sedangkan Wilayah tahkim mirip
dengan apa yang disebut arbitrase pada masa sekarang, yaitu apabila dua pihak atau
lebih memilih seseorang yang dianggap mampu dan adil untuk menyelesaikan
sengketa mereka berdasarkan hukum syara'. Berbeda dengan peradilan (qadha’) pada tahkim meskipun kedua pihak bersengketa, tetapi mereka sepakat untuk
memilih seseorang untuk memutuskan persoalan mereka. Kewenangan lembaga
tahkim ini hanya terhadap soal sengketa harta, hukum keluarga dan tidak
dibenarkan menyangkut hukum pidana.64
Sejak lahirnya jaminan atas keistimewaan Provinsi Aceh dalam bidang
agama, pendidikan, adat istiadat serta pemberian peran kepada ulama untuk ikut
serta dalam menetapkan kebijakan daerah melalui Undang-undang Nomor 44
Tahun 1999, kemudian lahir pula Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), maka berdirilah beberapa lembaga yang
bertugas untuk membantu penegakan syariat di Aceh. Lembaga-lembaga itu
adalah: 1) Dinas syariat Islam, 2) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), 3)
Mahkamah Syar’iyah, 4) Wilayatul Hisbah (WH), dan 5) Majelis Adat Aceh
(MAA), dan ditambah dengan kepolisian dan kejaksaan. Di bawah ini, penulis
jelaskan fungsi masing-masing lembaga tersebut:
1. Dinas Syariat Islam
Salah satu lembaga penegak syariah di Aceh adalah Dinas Syariat
Islam (DSI) yaitu perangkat daerah yang bertugas melaksanakan syariat Islam
di lingkungan Pemerintah Daerah Aceh dan posisinya berada di bawah
Gubernur.65 Pembentukan Dinas Syariat Islam ini merupakan tindak lanjut dari
UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah
Istimewa Aceh, dan tujuannya untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan
tugas operasional Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam bidang
64 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
125-127; Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, 127.
65 Adi Hermansyah, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Badan (Corporal Punishment) di Indonesia: Kajian Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam, (Tesis:
Universitas Diponegoro Semarang, 2008), 169.
94
pelaksanaan syariat Islam yang lebih efisien.66 Hal ini untuk mewujudkan visi
syariat Islam yakni mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera dan
bermartabat sebagai hasil dari pelaksanaan syariat Islam secara kafah.
Menciptakan kemaslahatan masyarakat Aceh di dunia dan akhirat dengan
kewajiban memelihara agama, harta, keturunan, akal dan kewajiban
memelihara kehormatan.67 Visi syariat Islam di Aceh kemudian dijelaskan
lebih lanjut dalam rumusan misi sebagai berikut: 1) menyebarluaskan
pelaksanaan syariat Islam; 2) mempersiapkan, mensosialisasikan qanun dan
perundang-undangan pelaksanaan syariat Islam; 3) mempersiapkan dan
membina sumber daya manusia pelaksana dan pengawasan syariat Islam; 4)
membina dan memantapkan kesadaran beragama masyarakat; dan 5)
mewujudkan pengadilan yang jujur, adil, mengayomi, berwibawa serta murah
dan cepat.68
Dinas Syariat Islam memiliki tugas pengawasan terhadap
implementasi syariah dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan dalam qanun syariah.69 Sedangkan wewenangnya dalam
pelaksanaan fungsi pengawasan disebutkan dalam Pasal 4 sebagai berikut:
a) Merencanakan program, melakukan penelitian dan pengembangan
unsur-unsur syariat Islam;
b) Melestarikan nilai-nilai Islam;
c) Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan syariat Islam yang
meliputi bidang-bidang Aqidah, ibadah, mu’a>malat, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar makruf nahi> munkar, baitulmal>l, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qada>, jina>ya>t, munaka>ha>t dan mawaris;
d) Mengawas terhadap pelaksanaan syariat Islam; dan
e) Membina dan mengawasi terhadap Lembaga Pengembangan
Tilawatil Quran (LPTQ);
Visi dan misi utama dibentuknya Dinas Syariat Islam adalah untuk
mewujudkan masyarakat Aceh yang adil dan makmur serta bermartabat dalam
tuntunan syariat Islam secara kafah, dengan menyebarluaskan informasi
tentang syariat Islam, menyiapkan, mensosialisasikan qanun dan peraturan
66 Konsideran peraturan daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 33 Tahun 2001
Tentang Pembentukan Susunan Organsasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 No.
65. 67 Muhammad Ta>hir Ibn ‘A>syur, Ma>qa>sid Asy-Syari>’ah al-Isla>miyyah (Tunisia: Da>r
as-Sala>m, 2006), 79. 68 Taslim H.M. Yasin, Pluralisme Agama di Wilayah Syari’at, dalam Syamsul Rijal,
ed. Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Pelaksanaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Provinsi NAD, 2007), 38. 69 Lihat dalam pasal 3 Peraturan Daerah No. 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh
(NAD).
95
tentang pelaksanaan syariat Islam, menyiapkan dan membina sumber daya
manusia pelaksana dan pengawas pelaksanaan syariat Islam, membina dan
memantapkan kesadaran keislaman umat, pengamalan ibadat serta
menyemarakkan syiar keagamaan dan membantu mewujudkan pengadilan
yang jujur, adil, mengayomi, berwibawa serta mudah, murah dan cepat yang
berlandaskan syariat Islam.70
2. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan salah satu
lembaga yang dibentuk dari penjabaran terhadap UU No. 44 Tahun 1999
Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.71 Dengan terbitnya UU
tersebut, pemerintah Aceh mencoba untuk membangkitkan kembali peran
ulama dalam masyarakat Aceh.72 Dalam Pasal 9 UU No. 44 Tahun 1999
disebutkan bahwa: Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri
atas para ulama dan bersifat independen yang berfungsi dalam memberikan
pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk dalam bidang
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang
islami.
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) bukan
merupakan suatu badan atau unsur pelaksana pemerintah daerah dan DPRD,
tetapi keberadaannya merupakan mitra sejajar pemerintah daerah dan DPRD.73
Dijelaskan dalam Pasal 3 Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi
Daerah Istimewa Aceh tentang kedudukan MPU sebagai badan yang
independen dan menjadi mitra sejajar dengan pemerintah daerah dan DPRD,
dan bukan unsur pelaksana dari pemerintah daerah.74
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga
dijelaskan dalam Pasal 1 angka 16 UU No. 11 Tahun 2006 menjelaskan bahwa
MPU adalah majelis yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan
muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.75 MPU
memiliki tugas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4, 5 dan 6 Perda No. 3
70 Dede Hendra Mr, Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar
Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh (Tesis: Fak. Hukum, Univ. Indonesia, 2012), 66. 71 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam Dari
Indonesia Sampai Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 31. 72 Husni Jalil, “Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam Pelaksanaan
Otonomi Khusus Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2
Agustus 2007, 131. 73 Dede Hendra Mr, Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk ..., 92. 74 Munawar Rizki Jailani & Mohammad Taqiuddin bin Mohamad, “Peran Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh Dalam Mengembang Dan Mensosialisasikan Perbankan
Islam Di Aceh” Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan, Vol. 18, No.
2, Desember (2018) 93-108. 75 Lihat Pasal 128 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
96
Tahun 2000, yaitu untuk dapat memberikan masukan, pertimbangan,
bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan daerah
dari aspek syariat Islam, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada
masyarakat. Majelis ini juga ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya
pemerintahan yang jujur, bersih, berwibawa dan islami. di Aceh.76
Keberadaan ulama dalam masyarakat Aceh memiliki status yang
sejajar dengan instansi daerah lainnya. Hal ini menempatkan MPU sebagai
mitra penting pemerintahan daerah. Namun MPU memiliki keterbatasan dalam
pembuatan keputusan meskipun posisinya sejajar, karena fungsi MPU adalah
sebagai pemberi saran, pertimbangan, dan usulan kepada pemerintah daerah,
dan keputusannya tetap berada pada pihak pemerintahan daerah, dan dalam
kenyataannya, meskipun secara yuridis kedudukan MPU adalah mitra yang
sejajar dengan pemerintah daerah dan DPRD, namun dalam praktiknya masih
belum berjalan secara maksimal, dan masih sebatas hanya hubungan
konsultasi.77
Dalam bidang perbankan syariah, tugas MPU adalah untuk membantu
Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dalam mengembangkan dan
mensosialisasikan perbankan syariah kepada masyarakat Aceh seiring dengan
tujuan penerapan Syariat Islam secara penuh. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Jailani dan Muhammad disimpulkan bahwa MPU telah
berperan dengan baik dalam pengembangan dan sosialisasi perbankan syariah
di Aceh, dengan bukti adanya berbagai upaya yang dilakukan dalam
mendorong pemerintah untuk membuat payung hukum untuk memudahkan
pengembangan perbankan Islam di Aceh yang disebut dengan Qanun Lembaga
Keuangan Syariah. Peran lain yang tampak adalah dalam meminta kepada
pemerintah di Aceh untuk mendirikan bank-bank syariah di seluruh wilayah
Aceh, guna memudahkan akses masyarakat terhadap lembaga perbankan yang
sesuai dengan syariat Islam.78
3. Mahkamah Syar’iyah
Perjuangan rakyat Aceh untuk memiliki Mahkamah Syar’iyah
sebetulnya sudah sejak lama, yakni sejak tahun 1957 yang terbentuk dari hasil
revolusi. Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh, pada awalnya tidak
didasarkan pada surat keputusan pemerintah, tetapi atas dasar musyawarah
untuk menampung keinginan masyarakat Aceh. Perjuangan tersebut
mendapatkan hasilnya setelah terjadi perdamaian antara pemerintah RI dengan
GAM dengan terbitnya Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah Aceh
76 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, 31. 77 Husni Jalil, “Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam Pelaksanaan..., 133. 78 Munawar Rizki Jailani & Mohammad Taqiuddin bin Mohamad, “Peran Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh Dalam Mengembang Dan Mensosialisasikan Perbankan
Islam Di Aceh” Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan, Vol. 18, No.
2, Desember (2018) 93-108.
97
diberi hak untuk membentuk sebuah lembaga peradilan yang bertujuan untuk
menunjang kelangsungan penerapan syariat Islam. Lembaga tersebut adalah
Mahkamah Syar’iyah yang merupakan lembaga resmi Peradilan syariat di
Aceh yang sebelumnya juga telah diisyaratkan dalam undang-undang No. 18
tahun 2001, sebagai jaminan berlakunya keistimewaan daerah Aceh.79 MS ini
adalah lembaga peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama, yang
dibentuk atas dasar ketentuan Pasal 15 ayat 2 dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang tersebut
menjelaskan bahwa peradilan syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
adalah peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama dalam
permasalahan yang berkaitan dengan wewenang peradilan agama dan
merupakan peradilan khusus dalam lingkup peradilan umum dalam
permasalahan yang berkaitan dengan peradilan umum.80
Sebagai lembaga peradilan, mahkamah ini memiliki 2 fungsi dan
wewenang, yaitu sebagai peradilan agama sekaligus peradilan umum,81
meskipun begitu, lembaga ini tetap tidak keluar dari sistem peradilan Nasional
sebagaimana penjelasan dalam Undang-undang Peradilan Agama Pasal 128
ayat 1 bahwa Peradilan syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan bagian dari
sistem peradilan nasional di lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh
mahkamah syar’iyah dan bebas dari pengaruh pihak mana pun.82 Dengan
demikian, maka secara umum, kewenangan mahkamah syar’iyah adalah sama
dengan kewenangan pengadilan agama yang ditambah dengan kewenangan
lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Aceh dalam bidang ibadah
dan syiar Islam yang ditetapkan dalam qanun Aceh.83 Mahkamah Syar’iyah
berwenang dan bertugas untuk memeriksa dan memutuskan semua perkara
yang menjadi wewenangnya dalam tingkat pertama dan banding.84
Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah ini berdasarkan syariat Islam dalam
sistem hukum Nasional dan diatur lebih jauh dengan qanun Aceh.
79 Jaenal Aripin, Himpunan UU Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), 795; Lihat pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah, yang menjelaskan tentang perubahan
nomenklatur pengadilan agama di Aceh. “Pengadilan agama yang telah ada di Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah”.
80 Zul Akli, “Eksekusi Tindak Pidana Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar’iyah
Lhokseumawe”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2, 145. 81 Efa Laela Fakhriah, Yusriza, “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah Di Aceh
Dihubungkan Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia”, http://pustaka.unpad.ac.id/wp
content/uploads/2014/02/Kewenangan-Mahkamah-Syariyah.pdf; Rifqi Ridlo Phahlevy,
“Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Konteks NKRI Dan HAM”, Rechtsidee, Vol. 1 No. 1
Tahun 2013, 88. 82 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 tentang
Mahkamah Syar’iyah. 83 Jaenal Aripin, Himpunan UU Kekuasaan Kehakiman,767. 84 Muhibuth Thabary, Konsep dan Implementasi Wilayatul Hisbah dalam Penerapan
Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Disertasi, Tahun 2007), 35.
98
Sementara itu, bila terjadi sengketa wewenang antara mahkamah
syar’iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang
Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan terakhir.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh ini berlaku bagi pemeluk agama
Islam saja dan tidak berlaku bagi warga yang tidak beragama Islam,85
sebagaimana penjelasan pasal 128 ayat 3 undang-undang Nomor 11 Tahun
2006 yang menyatakan bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang untuk
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi
bidang al-Ahwa>l al-Shakhs}iyyah atau hukum keluarga, mu’a>malah (hukum
perdata), dan jina>yah (hukum pidana) yang sesuai dengan syariat Islam.86
4. Wilayatul Hisbah
Lembaga ini merupakan badan yang berwenang dalam menyampaikan
informasi kepada masyarakat tentang peraturan-peraturan yang sudah
diberlakukan, sehingga masyarakat dapat mematuhi aturan-aturan tersebut dan
dapat menghindari sanksi atau denda atas pelanggaran terhadap peraturan (law enforcement).87 Kata Hisbah ini berasal dari bahasa arab, maknanya menurut
Muhammad Mubarak adalah pengawasan administrasi yang dilaksanakan oleh
pemerintah dengan menugaskan pejabat khusus, pengawasannya dalam bidang
akhlak, agama, dan ekonomi, atau lebih tepatnya dalam berbagai aspek sosial
kemasyarakatan secara umum sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan dan
keutamaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam dan tradisi atau adat
istiadat yang diakui oleh segala tempat dan zaman.88 Sedangkan di dalam
penjelasan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2004, Wilayatul hisbah disebut
sebagai lembaga yang pembantu tugas kepolisian dalam membina,
memberikan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi> munkar,
sekaligus berfungsi sebagai polisi khusus (polsus) dan PPNS.89
Wilayatul Hisbah (WH) adalah suatu lembaga yang mendapatkan
amanat untuk menegakkan hukum (law enforcement) dan pengawasan90
85 Natangsa Surbakti, “Pidana Cambuk dalam Perspektif Keadilan Hukum dan Hak
Asasi Manusia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli
(2010): 456 – 474, 462. 86 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 87 Al Yasa’ Abu Bakar, Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan
Khusus di Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009), 22. 88 Marah Halim, “Eksistensi Wilayatul Hisbah dalam Sistem Pemerintahan Islam”,
Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. X, No. 2, (2011), 67. 89 Al Yasa’ Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005), 358; Pasal 1
Ayat (8) Qanun No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam. 90 Dina Afrianty, “Sharia Police and The Regulating of morality”, International
Conference on Negotiating Diversity in Indonesia, Singapore Management University
November 5-6, 2012,3.
99
pelaksanaan syariat Islam secara total di Aceh91. Lembaga ini terbentuk
menyusul berlangsungnya penanda tanganan nota perdamaian yang terjadi
antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki telah
melahirkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh.92 Di dalam Pasal 244 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa gubernur, Bupati
atau Walikota dapat membentuk Polisi Pamong Praja (Pol PP) sebagai upaya
untuk menegakkan ketertiban dan ketenteraman umum. Gubernur dan
bupati/Walikota dapat membentuk Polisi Wilayatul Hisbah sebagai usaha
untuk menegakkan qanun syariat, dan menjadi bagian dari Polisi Pamong
Praja.93
Sebetulnya persoalan pengawasan terhadap pelaksanaan syariat Islam
di Aceh telah dijelaskan di dalam Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang
pelaksanaan syariat Islam dalam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, serta
dinyatakan dalam bab VI pasal 14 Ayat 1-5 dengan penjelasan: 1) Untuk
terlaksananya syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan syiar Islam, Pemerintah
provinsi, Kab/kota di Aceh membentuk Wilayatul hisbah yang berwenang
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan qanun, 2) Wilayatul
Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, pemukiman, kecamatan dan
wilayah atau lingkungan lainnya, 3) Apabila dari hasil pengawasan yang
dilakukan oleh Wilayatul hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 terdapat
alasan yang cukup tentang terjadinya pelanggaran terhadap qanun, maka
pejabat Wilayatul hisbah diberi wewenang untuk menegur atau menasihati
orang yang melanggar, 4) Setelah upaya menegur atau menasihati dilakukan,
tetapi pelaku pelanggaran tetap tidak berubah, maka WH menyerahkan kasus
tersebut kepada pejabat penyidik, 5) Susunan organisasi Kewenangan dan tata
kerja WH diatur dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar
pertimbangan dari MPU.94
Selanjutnya, dalam Keputusan Gubernur Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, dijelaskan
bahwa dalam perannya sebagai penasihat spiritual bagi masyarakat Aceh,
bidang tugasnya adalah untuk: 1) memberitahu masyarakat tentang qanun yang terkait dengan hukum syariah; 2) mengawasi kepatuhan atas hukum
syariah, menegur, memperingatkan dan memberi bimbingan moral kepada
91 Chairul Fahmi, “Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh (Kajian terhadap
UU No. 11 Tahun 2006)”, Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, No. 2, Oktober 2012, 300. 92 Topo Santoso,” Implementation of Islamic Criminal Law in Indonesia: Ta’zi>r
Punishment as A Solution?”, IIUM Law Journal Vol. 19 No. 1, 2011, 141; Saadan Man,
“Transformasi Hukum Islam Komtemporer di Malaysia Melalui Gagasan Fiqh Malaysia”,
Icon-Imad, International Conferece On Islam In Malay Word 2011, 557; Badan Arsip dan
Perpustakaan Pemerintah Aceh,” Sejarah Lahirnya Polisi Wilayatul Hisbah”,
http://arpus.acehprov .go.id/in dex.php/9-uncategorised/121-profil.html. 93 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 94 Muhibbuthabary, “Kelembagaan Wila>yat al-Hisba>h Dalam Konteks Penerapan
Syariat Islam di Aceh”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. 2 No. 2 Mei 2014, 64.
100
mereka yang disangka melanggar hukum syariah,95 3) berusaha menghentikan
tindakan atau perilaku yang dicurigai melanggar hukum syariah, 4) menangani
pelanggaran-pelanggaran melalui proses adat, dan menyerahkan pelanggaran
hukum syariah kepada penyelidik pidana. Di dalam Keputusan Gubernur
tersebut, dinyatakan bahwa susunan organisasi Wilayatul hisbah, terdiri atas:
1)Wilayatul Hisbah Tingkat Provinsi, 2) Wilayatul Hisbah tingkat
Kabupaten/Kota, 3) Wilayatul Hisbah tingkat Kecamatan, 4) Wilayatul
Hisbah tingkat Pemukiman. Selanjutnya, pada tahun 2007, atas dasar Qanun
Aceh Nomor 5, kedudukan WH yang mulanya berada di bawah Dinas Syariah
Islam, berubah secara resmi dan digabungkan dengan Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP).96 Di dalam pasal 202 ayat (1) Qanun Nomor 5 tersebut
dijelaskan bahwa satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah adalah
aparat Pemerintah Aceh di bidang penegakan pelaksanaan qanun dan syariat
Islam, ketenteraman, ketertiban umum serta hubungan antar lembaga.97
5. Kepolisian
Kepolisian memiliki tanggung jawab atas penciptaan dan pembinaan
situasi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat, sebagai tugas
pokoknya dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Subroto
Brotodiredja sebagaimana dikutip oleh Abdussalam mengatakan bahwa
keamanan dan ketertiban adalah suatu keadaan terbebas dari kerusakan atau
kehancuran yang menjadi ancaman umum atau perorangan dari masyarakat
dan memberikan rasa aman dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga
muncul kepastian dan perasaan yakin terhadap adanya jaminan dalam segala
kepentingan, yang bisa juga disebut sebagai suatu keadaan tidak adanya
norma-norma hukum yang dilanggar.98
Kepolisian daerah Aceh juga memiliki tanggung jawab terhadap
keberhasilan penerapan syariat Islam di Aceh, hal ini sesuai dengan landasan
yuridis pada qanun Nomor 11 tahun 2004 tentang TUPOKSI kepolisian daerah
95 Hirwan Jack, “Efektivitas Wilayatul Hisbah dalam Pencegahan Aliran Sesat di
Aceh”, http://bkpp.acehprov .go.id/ simp egbrr /Art ikel/Artikel05-02-2015/Wilayatul
Hisbah_Aceh.pdf, 2. (diakses pada 16/03/2021); International Crisis Group, “Syari’at Islam
dan Peradilan Pidana Di Aceh”, http://www.crisisgroup.org /~/media/Files/asia/south-
eastasia/indonesia/Indonesian%20translations/17_indonesians_islamic_law_criminal_justic
e_indonesian_version.pdf (diakses pada 25 Maret 2021). 96 Arskal Salim, “Politics, Criminal Justice and Islamisation in Aceh”, Melborne Law
School, 8. http://www.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/salim_final2_forwebsite wo b l
eed2.pdf (dikases pada tanggal 31 Maret 2021). 97 Qanun Aceh No. 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas,
Lembaga Teknis Daerah dan lembaga Daerah Provinsi Aceh. 98 Soebroto Brotodirejo dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum di Lapangan, Oleh
Polri (Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997), 22.
101
Nanggroe Aceh Darussalam.99 Dalam qanun tersebut dijelaskan bahwa tugas
kepolisian mencakup berbagai bidang preemtif, preventif dan represif non-yustisial, dan represif pro-yustisial sebagai tugas umum polisi Negara dan
penegak syariat Islam di Provinsi Aceh.100
Dalam hal ini, Tugas utama kepolisian negara adalah memelihara
keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana
dijelaskan dalam undang-undang kepolisian,101 Sedangkan untuk yang bertugas
di Aceh, mereka mendapat tugas tambahan sebagai petugas khusus untuk ikut
serta dalam penegakan syariat Islam.102 Tugas tersebut tidak dalam bentuk
yang berbeda dari tugas utama kepolisian, hanya obyeknya saja yang
mendapatkan tambahan, di antaranya: melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap berbagai bentuk tindak pidana (jari>mah) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan atau qanun yang berlaku di Aceh.103 Penjelasan terkait
tugas khusus ini terdapat dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum
Acara Jina>ya>t dalam pasal 6-9. Dalam qanun tersebut juga terdapat penjelasan
bahwa penyidik dari kepolisian diberi wewenang untuk menangkap, melarang
meninggalkan tempat, menggeledah dan menyita.104
6. Kejaksaan
Sesuai dengan penjelasan UUD Negara Indonesia, Kejaksaan Republik
Indonesia adalah salah satu dari lembaga yang memiliki fungsi terkait dengan
kekuasaan kehakiman. Kedudukan lembaga ini secara rinci diatur dalam
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.105 Di dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam
99 Lihat Pasal 21 ayat 1 Bab X Tentang Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. 100 Lihat Pasal 4 ayat 1 Qanun Aceh No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. 101 Lihat Bab III Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. 102 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, 843. 103 Di dalam Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam
Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam, Pasal 15 ayat 1 terdapat penjelasan bahwa
Lembaga Kepolisian Daerah Aceh memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan
terhadap setiap kasus pelanggaran syariat Islam di Aceh. Kemudian, dalam Bab V Pasal 10
dan 11 Qanun Aceh No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam dijelaskan mengenai wewenang Kepolisian Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam Pasal 16 – 19 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. 104 Lihat pasal 7 ayat 1 hurup (a) Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum
Acara Jinayat. 105 Nurmuklis dan Agus Sanwani, Penerapan Hukum Acara Pidana..., 93.
102
bidang penuntutan serta mempunyai kewenangan lain sesuai ketentuan dalam
undang-undang yang diselenggarakan oleh: 1) Kejaksaan Agung yang
berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya
yang mencakup wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia, 2) Kejaksaan
Tinggi yang berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya yang
mencakup wilayah provinsi, 3) Kejaksaan Negeri yang berkedudukan di
Ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya mencakup wilayah
kabupaten/kota.
Sedangkan dalam bidang pidana, kejaksaan mempunyai 5 tugas pokok
dan wewenang sebagai berikut: 1) melakukan penuntutan, 2) melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, 3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat, 4)
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang, 5) melengkapi berkas perkara tertentu, dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum perkara tersebut dilimpahkan kepada
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.106
Dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh kedudukan kejaksaan
sebagai penuntut umum diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2002
tentang pelaksanaan syariat Islam dalam bidang Aqidah, Ibadah, dan syiar Islam. Dalam pasal 16 ayat 1 dijelaskan bahwa pelaksana penuntut umum
adalah jaksa,107 atau pejabat lain yang mendapat wewenang dari qanun untuk
melaksanakan penuntutan dan melaksanakan putusan atau penetapan hakim
mahkamah syar’iyah.108 Adapun wewenang jaksa dalam melakukan fungsinya
sebagai penuntut, di jelaskan dalam Pasal 17 Qanun Aceh Nomor 11 tahun
2002 sebagai berikut:
a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;
b) Mengadakan pra-penuntutan apabila berkas perkara hasil penyidikan
terdapat kekurangan disertai petunjuk penyempurnaannya;
c) Membuat surat dakwaan;
d) Melimpahkan perkara ke mahkamah syar’iyah;
e) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi agar datang pada hari
sidang yang telah ditentukan;
f) Melakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku;
106 Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 107 Chairul Fahmi, “Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh (Kajian terhadap
UU No.11 Tahun 2006)” Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, No. 2, Oktober 2012, 30. 108 Pasal 16 ayat (1) Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
pada Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
103
g) Mengadakan tindakan lain dalam lingkungan tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
h) Melaksanakan putusan hakim.
Dalam pasal 18 qanun No. 11 tahun 2002 disebutkan bahwa penuntut
umum dalam melakukan tuntutan perkara atas pelanggaran qanun yang terjadi
dalam wilayah hukumnya. Kemudian dalam pasal 19, disebutkan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam qanun
tersebut harus diperiksa dan diputuskan oleh mahkamah syar’iyah.109
Sementara itu dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara
Jina>ya>t dinyatakan bahwa jaksa diberi wewenang oleh Qanun dalam hukum
acara Jina>ya>t untuk melaksanakan penuntutan serta melaksanakan penetapan
dan putusan hakim mahkamah dengan kewenangan sebagai berikut:110
a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
b) Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan lanjutan dan
atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
d) Membuat surat dakwaan;
e) Melimpahkan perkara ke mahkamah;
f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa dan saksi tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan
surat panggilan untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g) Melakukan penuntutan;
h) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan Qanun No. 7 Tahun
2013 dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya; dan
i) Melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah.111
7. Majelis Adat Aceh (MAA)
Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang religius, masyarakat
Aceh sangat memperhatikan kesesuaian dengan syariat Islam dalam
melaksanakan hukum adat, karena dalam perspektif masyarakat Aceh, adat
harus bersendikan syara’. Selanjutnya berkenaan dengan hukum Islam,
109 Nur Muklis dan Agus Sanwani, Penerapan Hukum Acara Pidana, 95. 110 Lihat Pasal 1 ayat (22) Qanun No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat. 111 Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam, Kompilasi Hukum
Formil dan Materil Tentang Syariat Islam di Aceh, (Subulussalam: Pol PP dan WH Kota
Subulussalam, 2014), 16-17.
104
masyarakat Aceh mengamalkannya sebagaimana pelajaran yang mereka terima
dari guru agama atau ulama.112 Adat istiadat Aceh telah memberikan
sumbangan yang tak ternilai harganya dalam kehidupan sosial dan keagamaan
di masyarakat Aceh, bahkan adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam
perilaku sosial dan agama di provinsi Aceh.113 Hal ini dibuktikan dengan
ungkapan “Hukom Ngon Adat Hanjeut Cre Lagee Zat Ngon Sifeuet” (hukum
adat dan agama tidak boleh dipisahkan, ibarat tidak bisa dipisahkannya antara
zat Allah dan sifat-sifat-Nya). 114
Dari sini dapat dijelaskan bahwa adat dan budaya masyarakat Aceh
tidak lain adalah Islam itu sendiri. Budaya dan Islam di Aceh telah berinteraksi
dan berasimilasi secara harmonis dalam masyarakat sejak zaman dahulu.
Bentuk kongkret harmonisasi adat dan budaya di Aceh tidak hanya sebatas
pada tataran sosial saja, melainkan telah merambah ke bidang-bidang lainnya,
seperti ekonomi, politik dan hukum. Begitulah pentingnya budaya dan adat
bagi masyarakat Aceh, sehingga budaya dan adat tersebut diterapkan dalam
bentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Hal
ini juga tertera dalam kaidah Usul Fikih yang berbunyi: “al- A>datu Muhakkamah” (adat dapat dijadikan sebagai hukum). Hal ini menunjukkan
bahwa Islam tidak membonsai apalagi mengebiri budaya adat setempat, tetapi
Islam memberi ruang yang harmonis supaya adat dapat tumbuh bersama
selama adat dan budaya tersebut tidak menyalahi atau bertentangan dengan
syariat Islam.115
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum yang memiliki pola tersendiri
dalam menyelesaikan sengketa, memiliki karakter yang khas dan unik bila
dibandingkan dengan sistem hukum lain.116 Tradisi penyelesaian sengketa
dalam masyarakat hukum adat didasarkan atas filosofi kebersamaan,
pengorbanan, nilai supernatural dan keadilan. Penyelesaian sengketa dalam
masyarakat hukum adat cenderung menggunakan pola adat atau dalam istilah
lain dikenal dengan sistem “kekeluargaan”. Pola semacam ini diterapkan
bukan hanya untuk sengketa perdata saja, tetapi juga dalam persoalan
pidana.117
Di samping adanya lembaga hukum formal yang menangani pelanggaran
syariat Islam, di Aceh juga terdapat lembaga informal yaitu lembaga adat yang
sangat berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat Aceh. Lembaga adat ini
memiliki landasan hukum berupa Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
112 Hasan Basri,” A. Hasjmy (1914-1998) ..., 55. 113 Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh (Banda Aceh:
Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004), 22. 114 Muhammad Husein, Adat Atjeh (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, 1970), 1. 115 Abidin Nurdin, “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh...,138-140. 116 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan
Hukum Nasional (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 235. 117 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah... 247.
105
Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Aceh no. 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat. Kedua qanun tersebut di satu sisi menjadi
indikasi keseriusan Pemerintah Aceh dalam usaha untuk menjadikan adat yang
ada di Aceh dapat berlaku kembali dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari pemerintahan Aceh. Di sisi lain, ini juga dapat menjadi sebuah pola
“sentralisasi” yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dalam pluralitas adat yang
ada di berbagai kabupaten di Aceh. Saat ini Aceh memiliki 23 kabupaten/kota
yang setiap kabupaten/kota memiliki perkembangan adat tersendiri. Meskipun
penduduk Aceh secara mayoritas adalah suku Aceh, tetapi masing-masing
daerah memiliki adat yang khas sesuai dengan daerahnya, misalnya
perkembangan adat yang ada di Aceh Tenggara tampak berbeda dengan adat
yang ada di Aceh Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama orang
Aceh.118
Berkaitan dengan penyelenggaraan kehidupan dalam adat istiadat, setiap
daerah diberi wewenang untuk menetapkan berbagai kebijakan sebagai upaya
pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di
wilayahnya yang dijiwai dan harus sesuai dengan syariat Islam. Selanjutnya,
daerah juga diberi hak untuk membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga
adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di provinsi
Aceh, kabupaten/kota, kecamatan, pemukiman dan kelurahan/desa (gampong).
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian permasalahan, dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan adat pada masing-masing daerah, kabupaten, kota,
kecamatan, mukim dan gampong. Adapun lembaga-lembaga adat di Aceh119
adalah sebagai berikut:
a) Majelis Adat Aceh;
b) Imeum Mukim atau nama lain;
c) Imeum Chik atau nama lain;
d) Keuchik atau nama lain;
e) Tuha Peut atau nama lain;
f) Tuha Lapan atau nama lain;
g) Imeum Meunasah atau nama lain;
h) Keujruen Blang atau nama lain;
i) Panglima Laot atau nama lain;
j) Pawang Glee/uteun atau nama lain;
k) Petua Seuneubok atau nama lain;
l) Haria Peukan atau nam lain; dan
m) Syahbanda atau nama lain.
Dalam pasal 89 ayat 1 Undang-undang No. 11 Tahun 2006 disebutkan
bahwa Lembaga adat memiliki fungsi dan peran sebagai wadah partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Aceh dan
118 Juniarti, “Peran Strategis Peradilan Adat di Aceh Dalam Memberikan Keadilan
Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal”, Anual International Conference Islamic Studies
(AICIS XII), 2452. 119 Pasal 2 ayat (2) Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat Aceh.
106
pemerintahan kabupaten/kota dalam bidang keamanan, ketenteraman,
kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Kemudian, dalam ayat 2 terdapat
penjelasan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat
ditempuh melalui lembaga adat. Selanjutnya dalam pasal 99 dijelaskan pula
bahwa pembinaan kehidupan adat istiadat dilakukan sesuai dengan
perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang dilandaskan kepada
nilai-nilai syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe Aceh.
Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh ini,
dilaksanakan oleh lembaga adat dengan pertimbangan dari wali Nanggroe
Aceh.
Kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh peradilan adat di Aceh
tentunya tidak setara dengan kompetensi yang dimiliki oleh peradilan negara.
Karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, kompetensi
Peradilan Adat di Aceh lebih ditekankan pada aspek umum, dan tidak
membedakan jenis perkara perdata dan pidana.120 Setalah adanya pemberian
peran kepada lembaga adat untuk mewujudkan suatu kesejahteraan bagi
masyarakat Aceh, dan telah ada ketentuan yang mengatur tentang wilayah
lembaga adat dalam pengambilan suatu kebijakan untuk menyelesaikan kasus
yang terjadi dalam masyarakat, maka kebijakan yang dilakukan oleh lembaga
adat tersebut adalah dalam bentuk larangan-larangan kepada warga
masyarakat yang melakukan pelanggaran syariat, dan dalam menyelesaikan
suatu kasus, lembaga adat lebih memilih untuk menyelesaikannya melalui jalur
kekeluargaan.
Sebagai tindaklanjut berlakunya UUPA telah disahkan pula Qanun
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat.
Qanun tersebut memberikan alternatif untuk mengurangi kesulitan-
kesulitan dalam penyelesaian perkara, yaitu melalui peradilan hukum adat
gampong.121 Penyelesaian semacam ini dalam bahasa sehari-hari disebut
dengan penyelesaian secara adat. Lahirnya qanun tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa adat dan adat istiadat yang berkembang dalam kehidupan
masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang melahirkan nilai-nilai budaya,
norma adat dan aturan yang sejalan dengan syariat Islam yang merupakan
kekayaan budaya yang perlu dibina, dikembangkan dan dilestarikan. Upaya-
upaya tersebut perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke
generasi berikutnya sehingga dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari
Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintah Gampong, yang telah
menegaskan bahwa salah satu fungsi gampong adalah penyelesaian
permasalahan hukum dalam hal adanya persengketaan atau perkara-perkara
120 Mahdi, “Eksistensi Peradilan Adat Di Aceh”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika,
Vol. 8, No. 2, (2011), 197. 121 Eka Srimulyani, “Islam, Adat And the State: Matrifocality in Aceh Revisited”, al-
Ja>mi‘ah, Vol. 48, No. 2, 2010 M/1431 H, 334.
107
adat dan adat istiadat di gampong, dimana keuchiek karena jabatannya (ex officio) bertindak selaku ketua majelis hakim persidangan pada tingkat
gampong.
Dalam Qanun No. 9 Tahun 2008 telah diatur secara tegas dalam bab
tersendiri mengenai penyelesaian sengketa dan mekanismenya. Pasal 13 ayat
(1), menegaskan bahwa jenis sengketa atau perselisihan adat dan adat istiadat
adalah meliputi perkara sebagai berikut:
a) Perselisihan dalam rumah tangga;
b) Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan fara>idh;
c) Perselisihan antar warga;
d) Khalwat/meusum;
e) Perselisihan tentang hak milik;
f) Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g) Perselisihan harta sehareukat; h) Pencurian ringan;
i) Pencurian ternak peliharaan;
j) Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k) Persengketaan di laut;
l) Persengketaan di pasar;
m) Penganiayaan ringan;
n) Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas
adat);
o) Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p) Pencemaran lingkungan (skala ringan);
q) Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r) Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Dengan melihat pada uraian di atas, diketahui bahwa telah ditentukan
secara tegas 18 bentuk perkara yang bisa diselesaikan melalui peradilan adat.
Sebagaimana umumnya dalam pandangan hukum adat, jenis perkaranya tidak
dibedakan di dalam kelompok bidang hukum publik, administratif maupun
privat, karena dalam hukum adat, semua jenis perkara itu bersifat publik atau
umum.
Jenis sanksi yang bisa dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat
berdasarkan Pasal 16 Qanun No. 9 Tahun 2008 adalah: 1) nasehat, 2) teguran,
3) pernyataan maaf, 4) Sayam,122 5) Diyat, 6) ganti rugi, 7) dikucilkan oleh
masyarakat, 8) dikeluarkan dari masyarakat, 9) pencabutan gelar adat, dan
sanksi lainnya yang sesuai adat setempat. Satu hal yang membedakan sistem
penyelesaian perkara menurut hukum adat di Aceh bila di bandingkan dengan
sistem hukum nasional adalah adanya ketentuan bahwa tanggung
jawab keluarga seseorang yang melanggar hukum, di mana sanksi tersebut
juga dijatuhkan kepada anggota keluarganya. Ketentuan ini telah
122Sayam adalah perdamaian persengketaan atau perselisihan yang mengakibatkan
keluarnya darah dan diformulasikan dalam bentuk ganti rugi berupa penyembelihan hewan
ternak dalam suatu acara adat.
108
mengembangkan pemahaman perlunya tanggung jawab keluarga kepada
anggota keluarganya, sebagaimana juga sudah dipraktikkan dalam sistem
hukum pidana nasional. Berbeda dengan sebelumnya, yang menempatkan
semua tanggung jawab pidana kepada pribadi yang melanggar hukum saja,
sebagai tanggung jawab atas segala kesalahan atau kejahatan yang
dilakukannya, dan tidak kepada keluarganya.
8. Dewan Pengawas Syariah
Lembaga ini dibentuk untuk terlaksananya qanun dengan baik sesuai
dengan tujuan diterbitkannya. Pemerintah Aceh menetapkan agar setiap LKS
wajib membentuk dewan pengawas syariah (DPS) yang diangkat oleh rapat
umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Di dalam
Qanun No. 11 tahun 2018, dinyatakan bahwa tugas mereka adalah sebagai
berikut:
a) Mengawasi lembaga keuangan syariah;
b) Memberi teguran serta saran kepada direksi atau pengurus LKS
sesuai dengan Prinsip Syariah.123
Selain dewan pengawas syariah, pemerintah Aceh juga membentuk
dewan syariah untuk kepentingan koordinasi dan pengawasan syariah secara
umum, sebagai perwakilan Dewan Syariah Nasional di tingkat provinsi Aceh
dengan masa jabatan 5 tahun. Anggota DSA ini terdiri dari anggota tetap
dan anggota pleno yang juga mewakili OJK dan Bank Indonesia. Dalam
qanun ini ditetapkan bahwa pembentukan DSA ini paling lambat pada tahun
2019. DSA ini memiliki beberapa wewenang, yaitu: 1) Koordinasi dan
konsolidasi antar DPS pada setiap LKS, 2) Koordinasi dan konsolidasi antara
DSA dengan DSK, 3) Pengawasan terhadap putusan DSN atas produk dan
transaksi LKS di Aceh, 4) Mengatur dan mengawasi LKS lainnya yang belum
memiliki DPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, 5)
Penghubung antara LKS dengan pemerintah, 6) Koordinasi terkait edukasi
keuangan syariah kepada masyarakat, 7) Sertifikasi DPS setelah berkoordinasi
dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Selain di tingkat
Provinsi, dewan syariah ini juga dibentuk di tingkat Kabupaten dan Kota di
seluruh Aceh.124
Dalam rangka pembinaan, pengaturan dan pengawasan, telah ditetapkan
aspek dan bidang yang akan terus dipantau, yaitu:
a) Kesesuaian dengan Prinsip Syariah;
b) Kestabilan sistem keuangan;
c) Kesehatan LKS;
d) Kelancaran sistem pembayaran;
e) Perlindungan nasabah dan Mitra LKS;
123 Lihat bab VI bagian kesatu pasal 44 dan 45 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 124 Pasal 46-49
109
f) Kontribusi sosial kepada masyarakat; dan
g) objek lainnya yang diperlukan, termasuk larangan terhadap suatu
kegiatan seperti:
1) kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah
2) jual beli saham secara langsung di pasar modal
3) kegiatan perasuransian (kecuali sebagai agen pemasaran),
Dengan adanya lembaga-lembaga penegak hukum atau qanun sebagaimana
telah disebutkan di atas, diharapkan semua qanun Aceh dapat terlaksana dengan
baik dan efektif. Memang dalam beberapa penelitian, masih ada yang menyatakan
bahwa beberapa lembaga tersebut masih kurang serius dalam penegakan hukum,
karena beberapa faktor, akan tetapi berkaitan dengan qanun Aceh No. 11 tahun
2018, semua lembaga itu telah mengawalnya dengan baik, terbukti dengan adanya
ketaatan lembaga perbankan yang beroperasi di Aceh untuk mengubah sistem
operasinya ke bentuk syariah, dan saat ini sebagian sedang dalam proses migrasi
dan mengimplementasikan qanun tersebut.
Selain itu, berdasarkan pada Laporan Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020,
dinyatakan bahwa Pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Provinsi Aceh
melaju sangat pesat semenjak lahirnya Qanun Aceh No.11 tahun 2018 tentang
Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Kehadiran Qanun atau peraturan daerah
tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tersebut memperkuat implementasi
pembangunan ekonomi syariah di Aceh dan menambah pendapatan asli daerah di
mana proses konversi Bank BPD Aceh menjadi Bank Aceh Syariah menjadi titik
kulminasinya. Konversi Bank Aceh Syariah yang merupakan proses konversi BPD
pertama di Indonesia mendorong market share aset perbankan Syariah nasional
keluar dari jebakan pasar pada angka 5%. Sementara pada sektor keuangan mikro
Syariah, hampir seluruh lembaga keuangan mikro di Aceh telah meminta penerapan
prinsip Syariah dan ditargetkan pada akhir 2021 seluruh Koperasi konvensional
sudah berkonversi menjadi Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah.125
Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi tidak
boleh lepas dari berbagai hukum, baik kegiatan itu dilakukan oleh badan usaha
maupun sebagai perorangan dalam berbagai skala dan berbagai bentuk kegiatan.
Kegiatan-kegiatan yang dimaksud bisa dalam bentuk produksi barang dan jasa,
perdagangan dan dalam bentuk perantara baik lokal, nasional, dan internasional.
Kegiatan-kegiatan ini mengacu pada dua orientasi hukum berdasarkan dua kegiatan
yaitu secara makro dan mikro. Karena itu, kegiatan ekonomi harus selalu mengacu
kepada dua konsep hukum secara simultan yaitu hukum publik dan hukum privat
atau hukum perdata dagang.126 Dari sini terlihat bahwa salah satu fungsi qanun
adalah sebagai alat untuk kontrol pembangunan.
125 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 13. 126 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, 416.
110
C. Faktor Sarana Pendukung Penerapan Qanun
Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin
penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang
aktual. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan lain sebagainya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka
mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.127 Sarana dan fasilitas juga
merupakan faktor pendukung untuk terlaksananya qanun secara optimal di tengah
masyarakat. Untuk menunjang efektivitas penerapan qanun, pemerintah Aceh harus
memperhatikan sarana dan fasilitas pendukungnya, agar berbagai ketentuan yang
ada di dalam qanun dapat berjalan secara optimal. Soerjono Soekanto memberikan
langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam upaya pemenuhan sarana pendukung
ini sebagai berikut:
1. Meninjau apakah sarana dan prasarana yang telah ada telah terpelihara
dengan baik;
2. Sarana dan prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan
memperhitungkan angka dan waktu pengadaannya;
3. Sarana dan prasarana yang dianggap masih kurang, perlu segera
dilengkapi;
4. Sarana dan prasarana yang telah rusak harus segera diperbaiki;
5. Sarana dan prasarana yang kurang efektif harus segera dilancarkan
fungsinya;
6. Sarana dan prasarana yang mengalami kemunduran dari sisi fungsinya,
harus ditingkatkan agar menjadi baik kembali.
Sebagai penerbit qanun, pemerintah Aceh sendiri telah menetapkan fungsi
dan tanggung jawabnya untuk menyediakan, melengkapi dan mengadakan
infrastruktur yang dibutuhkan untuk terlaksananya qanun tentang lembaga
keuangan syariah ini. Dinyatakan dalam Bagian Keempat, Peran Pemerintah Aceh,
pada pasal 19, ditetapkan agar Pemerintah Aceh memfasilitasi ketersediaan
infrastruktur dasar Bank Syariah, dan Apabila di Kabupaten/Kota belum ada Bank
Syariah, Pemerintah Aceh dapat memfasilitasi atau membentuk Bank Syariah.
Kemudian, di dalam pasal 20 dinyatakan bahwa dalam rangka memberikan insentif
kepada Bank Syariah yang berkinerja baik, Pemerintah Aceh dapat memberikan
insentif berupa penempatan dana atau bentuk insentif lainnya. Dalam menentukan
jenis dan bentuk insentif, termasuk teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pemerintah Aceh berkoordinasi dengan regulator, Dewan Syariah Aceh,
dan pihak terkait lainnya. Pemerintah Aceh, OJK dan DSA dapat melakukan
penilaian bersama-sama dengan kriteria yang disepakati pada tiap semester dalam
rangka menilai kinerja dan peran perbankan syariah di Aceh dan diumumkan pada
akhir tahun berjalan.128
127 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 82. 128 Pasal 19 dan 20 qanun Aceh No. 11 tahun 2018
111
Dari ketentuan pasal di atas, tampak bahwa penyediaan infrastruktur ini
adalah menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh, utamanya dalam mendirikan
bank syariah di tiap kabupaten/kota. Sebab tanpa adanya bank syariah di tiap
wilayah, maka mustahil qanun ini akan terlaksana. Dapat dibayangkan jika
seseorang harus melakukan transaksi perbankan sampai ke luar kota, maka tentunya
akan menyita banyak tenaga dan biaya yang tidak sedikit, sehingga efisiensi waktu
akan menjadi kurang baik.
Berkenaan dengan tersedianya fasilitas ini, penulis menemukan bahwa masih
banyak masyarakat Aceh yang mengeluhkan minimnya sarana dan fasilitas
tersebut. Dalam beberapa wawancara, diperoleh jawaban bahwa masih ada
masyarakat yang enggan bertransaksi dengan bank syariah, disebabkan oleh
kurangnya fasilitas. Misalnya saat penulis menanyakan tentang keringanan,
kemudahan dan keuntungan yang mereka dapatkan sebagai manfaat dari
pemberlakuan qanun tentang LKS, 30% informan menjawab bahwa mereka
mengalami kendala dan kesulitan, dan belum merasakan manfaat dari
pemberlakuan qanun ini karena fasilitasnya masih kurang.129
Kemudian, untuk mendukung terlaksananya qanun, Pemerintah provinsi
dan kabupaten, diberi tanggung jawab untuk mengembangkan lembaga keuangan
agar sesuai dengan Prinsip Syariah, dengan beberapa langkah: 1) Mewajibkan
seluruh transaksi keuangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota
wajib melalui LKS. 2) Melakukan penyertaan modal untuk penguatan LKS, 3)
Memberikan pendampingan kepada LKS yang bermasalah. 4) Ikut serta dalam
pengembangan sumber daya LKS dalam bentuk pendidikan dan pelatihan. 5)
Melakukan inventarisasi LKS yang belum berbadan hukum. Selain daripada itu,
pemerintah Aceh juga wajib memfasilitasi LKS untuk melakukan koordinasi
dengan Pemerintah Pusat terkait dengan berbagai program Pembiayaan, bekerja
sama dengan dayah dan masjid, serta pihak/lembaga lainnya, dan pengembangan
jaringan kerja sama antar LKS.130
Adanya kewajiban dari pemerintah daerah untuk melakukan transaksi dengan
bank syariah, dan menyertakan modal untuk penguatan LKS merupakan bukti
adanya dukungan penuh pemerintah dalam usaha memenuhi kebutuhan sarana dan
prasarana agar qanun LKS ini dapat berjalan secara optimal.
Selanjutnya, sebagai tambahan sarana untuk penerapan prinsip syariah, yang
menetapkan agar bank syariah menyediakan dana untuk zakat, maka Pemerintah
Aceh mendirikan baitul mal wattamwil. Mengenai ketentuan ini terdapat dalam
pasal 15 dan 16. Dalam qanun itu dinyatakan bahwa Baitul Mal Aceh yang
selanjutnya disingkat BMA adalah Lembaga keistimewaan dan kekhususan pada
Pemerintah Aceh yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen yang
diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, infak, harta wakaf,
dan harta keagamaan lainnya. Baitul Mal Kabupaten/Kota yang selanjutnya
disingkat BMK adalah Lembaga keistimewaan dan kekhususan pada Pemerintah
129 Wawancara dengan warga Aceh pada Maret 2021 130 Bab VII pasal 50 s.d 54 qanun Aceh No. 11 tahun 2018
112
Kabupaten/Kota yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen yang
diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, infak, wakaf dan
harta keagamaan lainnya. Dan untuk mendukung kegiatan ini, ditetapkan pulan
agar dalam pengumpulan dana wakaf uang, lembaga keuangan syariah wajib
terdaftar sebagai penerima wakaf uang pada BMA.131 Selanjutnya, dijelaskan dalam
pasal 16, bahwa dalam hal pembiayaan murah kepada usaha mikro dan
pembangunan ekonomi Aceh, Bank Syariah diwajibkan untuk bekerja sama dengan
BMA atau BMK melalui integrasi antara zakat, infak, sedekah dan wakaf dengan
dana sosial lainnya.132
Pendirian BMA dan BMK ini merupakan sarana pendukung terlaksananya
qanun Aceh. Mengingat bahwa aspek mobilisasi dana zakat merupakan satu aspek
penting dalam mengakomodasi kepentingan umat dan kesejahteraan mereka, yang
harus mendapat perhatian serius dari bank syariah. Dana zakat bersumber dari
nasabah dan pendapatan yang diperoleh perusahaan atau bank sendiri sebesar 2,5
persen serta berasal dari masyarakat luas yang memiliki kepedulian sosial ekonomi
terhadap orang lain. Zakat dalam konteks praktik bank syariah, dipahami
sebagaimana lazimnya dalam fikih Islam, yaitu infak, memberikan, mengeluarkan,
atau membelanjakan sebagian dari harta atau benda yang dimiliki seseorang untuk
tujuan kebaikan, pembangunan fasilitas sosial, dan memanfaatkannya untuk
membantu kebutuhan ekonomi kelompok tertentu. 133
Di dalam syariat Islam, zakat merupakan kata yang digunakan untuk
menunjukkan pemberian sedekah, infak, dan untuk zakat sendiri. Zakat berasal dari
akar kata zakiya yang berarti menyucikan. Zakat adalah sedekah wajib yang
dikeluarkan menurut syariat Islam sebagai suatu cara untuk menyucikan karunia
dan rezeki telah Allah berikan dengan cara menafkahkan sebagian dari padanya
untuk membantu orang miskin dan orang yang membutuhkan.134
Al-Quran menjadikan penafkahan (yaitu berderma kepada orang miskin)
Sebagai kewajiban dengan cara membayar zakat. Anjuran memberikan derma
secara sukarela dan dalam setiap situasi dimaksudkan untuk mengurangi
penderitaan dan kesusahan orang lain atau sekelompok orang yang secara ekonomis
masih kekurangan. Selain itu, dalam Al-Quran zakat memiliki fungsi penyucian,
artinya, penafkahan sebagian dari harta, akan memudahkan dalam penyucian rohani
seseorang dan menjadi sebab mendapat rida Allah Swt. yang lebih besar, seperti
digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya:
ه
الللدين فيها ومسكن وعد
هر خ
ن حتها ال
جري من ت
ت ت
ت جن
منمؤ
ن وال مني
مؤ
ال
عظيم الوز
فو ال
ه
لك ذ ب
ك اه
ن الل موان
ن ورض
ت عد
جن ي
فنبة ي
ط
Artinya: Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
131 Lihat pasal 15 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 132 Lihat pasal 16 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 133 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 87. 134 Abdul Wahid al-Faizin Nashr Akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali
Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2018), 101.
113
mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung.
ال ون
منمؤ
ال ما
ان ي
سهم فنفنوا موالهم
با وا
دابوا وجاه
يرت م
ل م
ث ورسوله
هوا بالل
منا ذين
ون
دق م الص
ه
ك ى
ول ا
ه سبيل الل
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Dana zakat yang dimobilisasi bank syariah pada hakikatnya menunjukkan
posisi lain dari lembaga tersebut, dalam mewujudkan prinsip keadilan,
produktivitas dan nalar. Prinsip keadilan dalam zakat mengandung arti bahwa zakat
merupakan instrumen yang bisa digunakan sebagai sumbangan wajib yang bisa
dikenakan dalam berbagai jenis pendapatan, seperti hasil bumi dan sebagainya. Hal
ini mengikuti prinsip keadilan yang menyatakan bahwa semakin berkurang jumlah
pekerjaan dan modal, semakin berkurang tingkat pungutan.
Makna prinsip produktivitas dari zakat adalah zakat wajib dibayar setiap
tahun setelah tercapainya nisab harta itu, yaitu surplus minimum tahunan dari nilai
harta benda yang sama nilainya di atas pengeluaran yang diperlukan. Prinsip ini
sesuai dengan apa yang pernah dikemukakan Nabi Muhammad saw. dalam
sabdanya, “Barang siapa memperoleh kekayaan setelah satu tahun, maka berlaku
atasnya zakat”. Ini mengandung makna bahwa nisab berlaku pada zakat jika telah
sampai waktunya dan produktif. Sedangkan prinsip nalar berarti orang yang
diharuskan membayar zakat adalah orang yang berakal dan bertanggung jawab.
Dengan kata lain, orang yang tidak berakal tidak akan dikenakan kewajiban zakat
baginya. Karena itu disimpulkan bahwa zakat hanya diwajibkan pada orang yang
mampu melaksanakan kebijaksanaan saja.135
Keberhasilan dalam mengoptimalkan dana ZISWAF dalam konteks
pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bukti bahwa ekonomi syariah
lebih komprehensif bila dibandingkan dengan sistem ekonomi yang lain, karena
Islam memberikan ruang yang seimbang bagi altruism (sifat mementingkan
kepentingan orang lain), sekaligus dengan memperhatikan kepentingan pribadi
(egoism) sebagai hasil atas usaha masing-masing individu. Dari sini, tampak jelas
perbedaan sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi yang lain, baik
kapitalisme atau pun sosialisme, yang terlalu ekstrim dalam memisahkan
kepedulian-kedermawanan, moralitas ekonomi, dan pengaturan hak-hak
kepemilikan individu.136
Melihat pada komitmen pemerintah Aceh dalam penerapan lembaga
keuangan berbasis syariah yang diiringi dengan dibentuknya BMA dan BMK untuk
135 Mannan, 1992 136 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020, 48
114
menggerakkan kewajiban zakat, maka qanun ini telah ikut serta dalam membangun
prinsip keadilan, meningkatkan produktivitas dan nalr dalam masyarakat Aceh.
D. Faktor Masyarakat Aceh dan Budayanya
Syariat Islam merupakan tuntutan masyarakat Aceh yang mayoritas
beragama Islam. Bagi masyarakat Aceh lahirnya Undang-undang dan qanun-qanun
syariah tersebut bukanlah hal baru, tetapi secara historis, syariat Islam di bumi
Aceh, sudah dilaksanakan dalam kehidupan nyata sejak beberapa abad yang lalu,
ketika Aceh masih berbentuk kerajaan. Dengan itu benarlah apa yang dikatakan
oleh B.J. Boland bahwa menjadi orang Aceh adalah sama dengan menjadi seorang
Muslim. Sejak masa kesultanan abad ke-17, Aceh telah menjadikan syariat Islam
sebagai landasan bagi undang-undang yang diterapkan untuk masyarakatnya.
Undang-undang itu disusun oleh ulama atas perintah dan hasil kerja sama dengan
pemerintah pada masa itu, sehingga lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab
yang menjadi rujukan para hakim dan aparat penegak hukum. Tercatat dalam
sejarah, para ulama yang berkiprah pada masa itu, seperti Nuruddin Ar-Raniry (w.
1658 M), Syamsuddin As-Sumatrani (w. 1661 M), Abdurrauf Al-Singkili (1615-
1691 M), dan Jalaluddin at-Tarusani, yang menulis kitab Safi>nat al-Hukka>m fi> Takhli>s} Al-Khas}s}a>m (Perahu para hakim dalam menyelesaikan persoalan orang
yang bertikai) atas perintah Sultan Alaiddin Johansyah (1735-1760 M/1147-1174
H). Kitab tersebut berisi aturan-aturan hukum perdata dan pidana serta berbagai
penjelasan tentang ihwal penyelesaian perkara dan pokok-pokok hukum acara di
pengadilan untuk menjadi pegangan para hakim. Selain itu, ada pula kitab Qanun al-Asyi yang berisi hukum-hukum dan kitab ‘Alaqah Al-Dauliyyah dalam huruf
Jawa yang menjadi Undang-undang Kerajaan. Semua itu, menunjukkan peran
syariat Islam di Aceh pada masa lalu yang mampu mengantarkan masyarakat Aceh
membangun peradaban yang diperhitungkan dunia internasional sebagai sebuah
kerajaan yang kuat dan makmur. Jadi secara sosiologis dan historis, syariat Islam
merupakan spirit masyarakat Aceh sejak lama.137
Dalam sejarah tercatat bahwa kesultanan Aceh merupakan salah satu
kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Aceh adalah kekuatan pribumi utama di dalam
menolak ekspansi kolonialisme Belanda dan menjadi bagian paling akhir dari
Indonesia yang ditaklukkan Belanda. Pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda
yang brilian dan perkasa (1607-1637). Aceh memiliki kontrol yang sangat efektif
atas seluruh pelabuhan penting di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Aceh
mendominasi perdagangan di utara dan barat Sumatra, Selat Malaka. Selain itu,
Aceh melakukan kontrol atau paling tidak penguasaan atas bagian-bagian tertentu
Semenanjung Malaya, yakni Pahang, Kedah, dan Perlis. Sejarah panjang Aceh
sebagai sebuah negara independen merupakan sumber kebanggaan mereka yang
mampu memotivasi semangat penolakan yang keras terhadap kekuatan kolonial.
Terkenal dengan ke penganutan yang kuat pada Islam, rakyat Aceh kelihatannya
137 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003), 48-49.
115
mengaitkan agama dan patriotisme lebih erat dibandingkan dengan kelompok etnis
lainnya di Indonesia. Keberanian dan keteguhan rakyat Aceh mempunyai pengaruh
sangat besar terhadap perjuangan Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan
mereka dari kekuasaan kolonial. Penolakan rakyat Aceh telah menjadi sebuah daya
dorong yang penting bagi semakin tumbuhnya sentimen kaum nasionalis di
Indonesia. Kekalahan Aceh pada dekade kedua abad ke-20 membuat masyarakat
Indonesia secara keseluruhan menyadari bahwa mereka tidak akan mampu
memperoleh kemerdekaan kecuali jika mempersatukan segenap upaya mereka.138
Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah
adalah sebuah kerajaan yang ditegakkan atas dasar Islam. Dalam Adat Mahkota
Alam, yakni Undang-undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam, yang diciptakan
atas arahan Sultan Iskandar Muda, disebutkan bahwa sumber-sumber hukum yang
digunakan negara adalah al-Quran, Hadis, Ijmak, dan qiyas. Sultan Iskandar Muda
bahkan melakukan perubahan terhadap jenis hukuman tradisional dengan hukuman
yang didasarkan atas syariah/fikih, misalnya penghapusan hukuman mencelupkan
tangan penjahat ke dalam minyak panas dan menggantinya dengan hukuman yang
sesuai ketentuan hukum jinayah.
Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh sudah menjadikan agama Islam sebagai
pedoman dalam kehidupan. Penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam
rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan suasana masyarakat dan
budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat yang lahir dari ijtihad para ulama itu,
kemudian dipraktikkan, dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat. Sejak
abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19. Kesultanan Aceh Darussalam
mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum,
pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari
pemberlakuan syariat Islam sebagai pedoman hidup rakyat dalam segala aspek
kehidupan. Semua itu tercermin dalam ungkapan bijak sebagai berikut:139
Adat bak Poteu Meureuhom (Adat berada di tangan Sultan)
Hukom bak Syiah Kuala (Hukum berada di tangan Ulama)
Oanun bak Putroe Phang (Qanun berada di tangan Putri Pahang)
Reusam bak Laksamana (Reusam berada di tangan Laksamana
Hukom ngon adat (Hukum dengan adat)
Lagee zat ngon sifeuet (Seperti zat dengan sifat)
Ungkapan di atas merupakan cerminan bahwa syariat Islam telah menyatu
dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peran para ulama.
Falsafah tersebut, dalam pandangan masyarakat Aceh dewasa ini masih dapat
diartikulasikan dalam perspektif kontemporer dalam kehidupan bernegara, dan
138 Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:
Perspektif Sosio-Historis” dalam Buku Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003),
139 Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:
Perspektif Sosio-Historis”,
116
mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab. Tatanan
kehidupan yang demikian itu masih mungkin untuk dilestarikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara saat ini. Dengan demikian, pelaksanaan syariat Islam di
Aceh merupakan refleksi dan kesinambungan proses sejarah masa lalu, di mana
generasi sekarang mendambakan kemapanan hukum Islam pada masa kini seperti
sediakala.
Menurut pengamatan Azyumardi Azra, terjadinya eskalasi gejolak sosial dan
bahkan disebut sebagai politik yang luar biasa di Aceh telah menyebabkan
munculnya kembali perhatian Pemerintah Pusat kepada masyarakat Aceh, yang
kemudian diwujudkan dalam pemberlakuan syariat Islam di Aceh yang mendapat
respons positif dari masyarakat.140 Dalam konteks inilah dapat disimpulkan bahwa
pemberlakuan qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah,
juga akan dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat Aceh. Hal ini tampak dari
hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap warga Aceh, dan mayoritas
jawaban mereka adalah merasa senang dengan adanya pemberlakuan qanun
tersebut. Masyarakat Aceh menganggap bahwa pelaksanaan syariat Islam dalam
segala bidang akan membawa kebaikan dalam kehidupan mereka.
Namun, tentu saja masih ada persoalan lain lagi, yakni masalah penduduk
non-muslim yang ada di Aceh yang pada dasarnya tidak punya kewajiban untuk
melaksanakan syariat Islam, karena syariat Islam pada dasarnya hanya wajib bagi
seorang muslim. Akan tetapi, sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang bergabung
dalam satu komunitas, tentunya mereka harus mau mengikuti ketentuan hukum
yang berlaku. Ditambah lagi, yang menjadi landasan hukum Islam adalah keadilan,
sehingga akan mampu diikuti oleh non muslim. Kecuali ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan ibadah ritual-formal, maka kepada masing-masing pemeluk
agama diberikan haknya untuk melaksanakan keyakinannya tanpa ada paksaan.
Namun demikian pertanyaan masih tersisa: bagaimana mengenai hukum pidana?
Jawaban terhadap masalah ini sebenarnya sama saja. Syariat yang telah dituangkan
menjadi aturan hukum dalam suatu masyarakat harus dijunjung secara bersama-
sama. Sungguh sangat aneh sekali, jika dua orang pencuri, misalnya atau dua orang
pelaku kejahatan diberikan hukuman yang berbeda hanya karena yang satu Muslim
sedangkan yang lainnya bukan Muslim. Dalam syariat Islam, ini tidak jadi masalah,
sebab materi hukum pidana itu sebenarnya masih diperdebatkan di kalangan sarjana
Muslim. Misalnya dalam ungkapan “potong tangan” yang disebut dalam al-Quran.
Kata qat}a'a yang aslinya dari bahasa Arab bisa saja berarti lain, misalnya diartikan
dengan “memotong jalan”. Kata ini dalam bahasa Indonesia juga memiliki
pengertian ganda, sehingga bisa memunculkan interpretasi yang berbeda pula.
Contoh lainnya adalah berkaitan dengan hukum rajam, yang sebenarnya tidak
pernah disebutkan di dalam al-Quran, sehingga bisa menyebabkan terbukanya pintu
ijtihad baru di kalangan sarjana kontemporer dalam bidang hukum-hukum tersebut.
Berkenaan dengan hukuman bagi pencuri yang tidak dipotong tangannya,
Nabi sendiri pernah mempraktikkannya. Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan
140 Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:
Perspektif Sosio-Historis”,
117
oleh Abu Daud dan al-Nasa’i, bahwa ada seorang yang telah mencuri buah-buahan
dari sebuah kebun dan menyimpannya dalam pakaiannya. Pencuri tersebut
ditangkap oleh pemilik kebun, dibuang bajunya lalu dihadapkan kepada Rasulullah
agar mendapatkan hukuman. Akan tetapi setelah Nabi mengetahui sebab terjadinya
pencurian tersebut, Nabi tidak menghukum pencuri itu, dan malah mengembalikan
bajunya, lalu berkata kepada pemilik kebun: “ia bodoh, mengapa engkau tidak
mengajarinya, ia lapar, mengapa engkau tidak memberinya makan?”141 Kisah ini
memberikan gambaran bahwa penerapan hukum pidana dalam Islam memerhatikan
situasi masyarakat yang akan menerima hukum tersebut sebagai pertimbangannya.
Hukuman bukanlah tujuan utama syariat, tetapi moral dan penegakan keadilan
adalah tujuan utamanya. Dengan semua terlihat bahwa pemberlakuan syariat Islam
sangat manusiawi. Karena itu, sebelum syariat diterapkan perlu didahului dengan
adanya pendidikan pada masyarakat dan pemerataan ekonomi yang berkeadilan
secara maksimal.142
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu,
maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.143 Warga negara
(masyarakat) memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, disisi lain warga
masyarakat juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses
pembuatan hukum tersebut melibatkan masyarakat secara aktif, sehingga adanya
hukum dengan segala peraturan organisasi dan seperangkat sanksinya diketahui,
dimaknai dan disetujui oleh masyarakat, dan hukum dapat dijadikan sebagai suatu
kesenangan dalam hidup. Hasibuan menyatakan bahwa ada satu hal yang harus
diingat berkaitan dengan proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang tidak
pernah terlepas dari keberadaan hukum itu sendiri dalam sistem sosial yang lebih
luas. Menurut Hasibuan, prosedur penegakan hukum tidak akan terlepas dari faktor-
faktor sosial- kultural tempat hukum itu akan diberlakukan.144
Jika masyarakat senang dengan ketentuan hukum yang diberlakukan. Sabian
Utsman mengutip pendapat Harold J. Laksi yang menyatakan bahwa masyarakat
akan ikut serta dengan sendirinya dalam penegakkan suatu hukum, apabila hukum
tersebut dirasa memuaskan rasa keadilan.145 Dalam kaitan pendapat itu, Daliyo
menyatakan bahwa ada 3 bentuk masyarakat yaitu:
1) Masyarakat yang teratur karena diatur dengan tujuan tertentu;
141 Abu Dawud, Sulaiman bin al-Ash’Ath, Sunan Abi Da>wu>d 142 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003), 56 143 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 45. 144 Fauzie Y. Hasibuan, Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum,
http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-penegakan-hukum-
dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-advokat-indonesia/, 2.(diakse pada
tanggal 25 September 2015). 145 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan
Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 186.
118
2) Masyarakat teratur yang terjadi dengan sendirinya karena persamaan
kepentingan di antara mereka;
3) Masyarakat yang tidak teratur, yang terjadi dengan sendirinya tanpa
dibentuk oleh apa pun.146
Terdapat sebuah pandangan klasik tentang sebuah model masyarakat
konsensus dalam hubungan antara mereka dan hukum. Dalam masyarakat tersebut,
mereka mengatur dirinya sendiri melalui folkways dan moral yang mereka miliki
dan hukum dikembangkan secara bertahap melalui folkways dan mores yang
sikapnya umum.147 Sementara itu, Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Chambliss
dan Seidman yang membuat perbedaan masyarakat dalam 2 model, yaitu:148
1) Model masyarakat yang terbentuk berdasarkan atas kesepakatan pada
nilai-nilai (value concensus). Masyarakat semacam ini, akan sedikit
mengenal adanya konflik-konflik atau ketegangan di dalamnya sebagai
akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi
landasan kehidupan mereka. Pada masyarakat tersebut, tidak ada
perbedaan di antara anggota masyarakatnya tentang apa yang
seharusnya diterima sebagai nilai-nilai yang perlu dipertahankan.
Dalam hubungan ini maka berdirinya masyarakat bertumpu pada
kesepakatan di antara para warganya.
2) Model masyarakat konflik. Model masyarakat ini bertentangan dengan
model yang pertama, berdirinya masyarakat pertama tersebut bertumpu
pada kesepakatan warganya, sedangkan masyarakat kedua ini terbentuk
atas dasar suatu perhubungan di mana sebagian warganya mengalami
tekanan-tekanan oleh warga yang lainnya. Nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat konflik berbeda dengan nilai-nilai dalam masyarakat
yang bertumpu kepada kesepakatan, sehingga keadaan ini akan
tercermin dalam pembuatan hukumnya. 149
Melihat pada 2 model masyarakat di atas, maka ada 2 fungsi yang dapat di
jalankan oleh hukum di dalam masyarakat. Pertama, sebagai sarana kontrol sosial,
hal itu disebabkan karena hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba
mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.150
Kedua, Hukum sebagai sarana untuk melakukan social engineering, yakni, hukum
146 J.B. Daliyo dkk. Pengantar Ilmu Hukum. Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta:
Gramedia, 1989), 13. 147 Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013), 108. 148 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 48-52.
Lihat juga Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, 106-112.
149 Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,
108. 150 Lihat Lawrence Friedman, American Law (London: W.W. Norton & Company,
1984), 3.
119
sebagai alat pengontrol kehidupan sosial (law as a tool of social enginering) yang
dengan tindakan kontrol tersebut akan dapat menciptakan ketertiban hukum.151
Proses engineering dengan hukum ini oleh Chambliss dan Seidman ini disebut
sebagai efektivitas dalam menanamkan kekuatan yang menentang unsur-unsur baru
di masyarakat untuk terjadinya sebuah perubahan. Perubahan-perubahan yang di
kehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola
tingkah laku yang baru di masyarakat.152
Berkaitan dengan peranan hukum sebagai alat pengendalian sosial, tidaklah
berdiri sendiri dalam masyarakat, tetapi peranan itu dijalankan bersama-sama
dengan pranata-pranata sosial lainnya yang sama-sama menjalankan fungsi
pengendalian sosial. Di sini hukum bersifat pasif, artinya hukum harus
menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada. Dengan hal
tersebut dapat diketahui bahwa hukum bukan satu-satunya alat pengendalian sosial,
hukum hanya salah satu alat kontrol sosial di dalam masyarakat. Peran hukum
sebagai pengendalian sosial merupakan aspek normatif yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat, dapat berbentuk larangan-larangan, tuntutan-tuntutan,
pemidanaan, dan bisa juga berupa pemberian ganti rugi. Titik berat dari peranan
hukum di sini adalah pada penetapan tingkah laku mana yang dianggap merupakan
penyimpangan terhadap aturan-aturan hukum dan apa sanksi yang dilakukan oleh
hukum apabila terjadi penyimpangan tersebut. Kontrol sosial menentukan tingkah
laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang, berat ringan
perilaku menyimpang sangat tergantung pada kontrol sosial itu sendiri.153
Agar peranan hukum sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social
control) dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan sosialisasi kepada masyarakat
agar mereka tahu bahwa hukum itu sangat penting dalam mewujudkan ketertiban
dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat. Setelah masyarakat tahu bahwa
hukum itu merupakan rambu-rambu yang harus ditaati bersama demi terwujudnya
kedamaian dan alat untuk menyelesaikan konflik, maka diharapkan masyarakat
patuh kepada hukum dan menghayati hukum dalam kehidupannya. Dalam kaitan
ini, J.S. Roucek154 mengatakan bahwa hukum sebagai mekanisme pengendalian
sosial (mechanisme of social control) ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk
melaksanakan proses yang direncanakan dan juga yang tidak direncanakan dengan
tujuan untuk mendidik dan mengajak agar mematuhi hukum, bukan memaksa
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai
kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan dalam hubungannya dengan usaha untuk pembaruan masyarakat
melalui konsep law is a tool social engineering telah mengilhami pemikiran
151, Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar,
1962), 43. 152 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 119-120. 153 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 410. 154 Joeph S Roucek, Social Control (London: D van Nostrand Company, 1951), 31.
120
Mochtar Kusumaatmadja untuk dikembangkan di Indonesia. Mochtar
Kusumaatmadja,155 mengatakan bahwa konsep law is a tool of social engineering
ini di Indonesia sudah dilaksanakan dengan asas | “hukum sebagai wahana untuk
melaksanakan pembaruan masyarakat” jauh sebelum konsep ini dirumuskan secara
resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum sehingga rumusan itu merupakan
pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah. Bahkan lewat
budaya bangsa Indonesia, misalnya dirumuskan dengan pepatah-pepatah yang
menggambarkan alam pikiran hukum adat yang telah diakui dan dapat diterima
adanya pembaruan hukum. Konsep inilah yang sejak 1972 dikenal dengan mazhab
UNPAD dan telah dikembangkan melalui GBHN dan tahapan REPELITA yang
berlaku di Indonesia.156
Adanya aturan-aturan hukum dan lembaga-lembaga penegak serta aparat
penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan, tetapi
tidak didukung oleh adanya kesadaran warga masyarakat sebagai seorang individu
dari anggota masyarakat yang memiliki hukum, maka hukum akan mengalami
banyak hambatan dalam penerapannya. Karena perilaku individu berbeda-beda dan
mereka mempunyai kepentingan yang bermacam-macam. Dalam suatu masyarakat
yang plural, penyimpangan yang dilakukan seseorang akan menjadi kebiasaan bagi
yang lainnya. Dalam keadaan semacam itu, maka diperlukan kontrol sosial dengan
mengendalikan tingkah laku warga masyarakat yang plural itu agar tetap konform
dengan norma yang selalu dijalankan berdasarkan kekuatan sanksi yang
ditetapkan.157
Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun
sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan diciptakan untuk dapat
dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya, dan warga
masyarakat sebagai pihak yang dituju oleh suatu aturan hukum, wajib menerimanya
dengan lapang dada dan penuh pengertian pada hukum tersebut.
Kesadaran hukum pada masyarakat, mengacu kepada cara-cara di mana
orang-orang memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-
pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-
orang. Kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan, karena merupakan persoalan
praktik yang perlu dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah
persoalan hukum sebagai perilaku dan bukan hukum sebagai aturan norma atau
asas.158 Achmad Ali mengatakan bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum dan
efektivitas hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan. Namun, sering kali
orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal
155 Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional (Bandung: Bina Cipta, 1970), 12. 156 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, 409. 157 Heru Muljanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta (Tesis Univ. Sebelas Maret Surakarta, 2008), 24-25.
158 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 298.
121
kedua hal itu meskipun sangat erat hubungannya, namun tetap tidak sama persis,
kedua unsur itu memang sangat menentukan efektivitas pelaksanaan hukum dan
perundang-undangan yang diberlakukan di dalam masyarakat.159
Untuk itu, maka pembentukan hukum harus memerhatikan kesadaran hukum
masyarakat agar hukum yang dibentuk itu dapat berlaku aktif. Kesadaran hukum
sering kali diasumsikan, bahwa ketaatan hukum sangat erat dengan hubungannya
dengan kesadaran hukum. Dengan perkataan lain, kesadaran hukum menyangkut
masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam
masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan
ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis, yaitu kesadaran hukum yang tinggi
menimbulkan ketaatan terhadap hukum, sedangkan kesadaran hukum yang lemah
mengakibatkan timbulnya ketidaktaatan terhadap hukum.160
Warga masyarakat rata-rata mempunyai pengharapan, agar penegak hukum
dengan serta merta dapat menanggulangi masalah yang dihadapi tanpa
memperhitungkan apakah penegak hukum itu, baru saja menamatkan
pendidikannya, atau merupakan orang yang sudah berpengalaman. Pengharapan
tersebut tertuju kepada penegak hukum yang mempunyai pangkat terendah sampai
dengan yang tertinggi pangkatnya. Orang-orang yang berhadapan dengan polisi,
misalnya, mereka tidak akan sempat untuk memikirkan tingkat pendidikan yang
telah ditempuh oleh polisi tersebut. Di dalam kehidupan sehari-hari, seorang
anggota polisi langsung terjun ke dalam masyarakat setelah menyelesaikan
pendidikan kepolisiannya, karena itu, dia akan langsung berhadapan dengan
berbagai masalah di masyarakat, yang mungkin pernah dia pelajari pada waktu
mengikuti pendidikan, dan mungkin pula belum pernah sama sekali ia pelajari.
Semua masalah yang dihadapi polisi tersebut ada yang memerlukan penanganan
dengan segera, akan tetapi, ada pula yang memerlukan penanganan di kemudian
hari. Apabila polisi tersebut tidak mampu mencegahnya, maka pandangan
masyarakat terhadapnya akan menjadi buruk, dengan tanpa mempertimbangkan
bahwa polisi tersebut adalah seorang petugas yang baru lulus, atau baru saja
ditempatkan di daerah yang bersangkutan. Hal itu karena warga masyarakat
mempunyai persepsi bahwa setiap Anggota polisi dapat menyelesaikan masalah
atau gangguan yang dialami oleh masyarakat dengan hasil yang sebaik-baiknya.161
Kalau seorang anggota Angkatan Perang harus selalu siap tempur dan
memelihara kemampuan tersebut dengan sebaik-baiknya, maka anggota polisi juga
harus selalu siap menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang merupakan
gangguan terhadap kedamaian. Masalah-masalah tersebut tidak hanya terbatas pada
kejahatan dan pelanggaran belaka, mungkin dia harus menolong orang yang sudah
tua untuk menyeberang jalan raya yang padat dengan kendaraan bermotor, atau dia
harus melerai suami-istri yang sedang bertengkar, atau dia harus menolong orang
yang terluka di dalam kasus tabrak lari, dan lain sebagainya. Alangkah banyaknya
159 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 299. 160 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 421. 161 Sarjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 47
122
tugas polisi, akan tetapi warga masyarakat memang mempunyai harapan demikian.
Warga masyarakat menghendaki polisi-polisi yang senantiasa “siap pakai” untuk
melindungi warga masyarakat terhadap aneka macam gangguan.
Di dalam kehidupan sehari-hari polisi pasti akan menghadapi bermacam-
macam manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing. Di
antara mereka itu ada yang dengan sendirinya taat pada hukum, ada yang pura-pura
menaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula yang
dengan terang-terangan melawannya. Mereka yang sudah taat dengan sendirinya,
harus diberi perangsang agar tetap taat, sehingga dapat dijadikan keteladanan. Dan
masalah yang ada adalah pada mereka yang pura-pura menaati hukum, dan
berusaha mencari-cari kesempatan di mana penegak hukum sedang tidak dalam
keadaan siaga. Masalah berikutnya juga pada penanganan mereka yang tidak peduli
atau tidak mengacuhkan hukum, atau yang secara terang-terangan melanggarnya.
Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan agar warga masyarakat
menaati hukum, akan menghasilkan kepatuhan terhadap hukum. Ada kemungkinan
bahwa kegiatan atau usaha tersebut malah menghasilkan sikap atau tindakan yang
berlawanan dengan tujuannya. Misalnya, jika ketaatan terhadap hukum dilakukan
dengan hanya mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman
apabila hukum dilanggar, maka mungkin warga masyarakat hanya akan taat pada
saat ada petugas saja, dan ketika petugasnya tidak ada, maka mereka kembali
melanggar hukum tersebut. Hal ini, tidak kemudian dapat diartikan bahwa cara
demikian (yakni yang coercive) selalu menghasilkan ketaatan yang semu, tetapi
maksudnya adalah bahwa apabila cara penegakan hukum dilakukan dengan
mengetengahkan sanksi negatif saja yang selalu ditempuh, maka hukum dan
penegak hukum akan dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan, dan bukan
dihormati. Cara lain, yang mungkin lebih baik untuk diterapkan adalah dengan cara
yang lunak (persuasi), dengan tujuan agar warga masyarakat secara mantap
mengetahui dan memahami hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai
yang dianut oleh warga masyarakat. Selain itu, dapat ditempuh pula melalui
penerangan dan penyuluhan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga menimbulkan
suatu penghargaan tertentu terhadap hukum. Cara ini, lazimnya dikenal dengan
sebutan pervasion.
Cara lainnya. yang agaknya menyudutkan warga masyarakat adalah
compulsion. Pada cara ini dengan sengaja diciptakan situasi tertentu, sehingga
warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mematuhi hukum,
Memang, dengan mempergunakan cara ini, tercipta suatu situasi di mana warga
masyarakat agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Karena
masyarakat mengharapkan agar penegak hukum akan dapat melindunginya, maka
dengan sendirinya penegak hukum harus mengenal lingkungan tempat dia bertugas,
dengan sebaik-baiknya. Pengenalan lingkungan dengan sebaik. baiknya tidak
mungkin terjadi, kalau penegak hukum tidak menyatu dengan lingkungan tersebut.
Keadaan akan bertambah buruk lagi, apabila sama sekali tidak ada motivasi untuk
mengenal dan memahami lingkungannya tersebut, karena terlampau berpegang
pada kekuasaan formal atau kekuatan fisik belaka.
123
Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat
majemuk (plural society), terdapat banyak golongan etnik dengan kebudayaan-
kebudayaan khusus. Di samping itu, maka bagian terbesar penduduk Indonesia
tinggal di wilayah pedesaan yang berbeda ciri-cirinya dengan wilayah perkotaan.
Masalah-masalah yang timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih banyak
ditangani dengan cara-cara tradisional, di wilayah perkotaan juga tidak semua
masalah dapat diselesaikan tanpa mempergunakan cara-cara yang tradisional. Dan
untuk dapat mengetahui lingkungannya, seorang penegak hukum harus mengenal
stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada di lingkungan tersebut,
beserta tatanan status atau kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi
sosial pasti ada dasar-dasarnya, seperti kekuasaan, kekayaan dan materi. Dia perlu
mengetahui lambang-lambang, kedudukan yang berlaku dengan segala macam gaya
pergaulannya. Di samping itu akan dapat diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kekuasaan dan wewenang, beserta penerapannya di dalam
kenyataan. Untuk dapat mengetahui ini semua, penegak hukum dapat melakukan
wawancara dengan berbagai tokoh atau warga masyarakat biasa, maupun dengan
jalan mengadakan pengamatan-pengamatan terlibat maupun tidak terlibat.
Hal lain yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga
sosial yang hidup, serta yang sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga
masyarakat setempat. Lembaga-lembaga sosial tersebut adalah, misal lembaga
pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga penegakan hukum, majelis ulama’ dan
seterusnya. Secara teoritis lembaga-lembaga sosial tersebut mempunyai hubungan
fungsional, sehingga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas
maupun perubahan-perubahan sosial-budaya yang akan atau sedang terjadi.162
Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, maka terbukalah
jalan untuk dapat mengidentifikasikan suatu lingkungan. Pengetahuan serta
pemahaman terhadap nilai-nilai serta norma-norma atau kaidah-kaidah sangat
penting di dalam pekerjaan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi,
atau memiliki potensi besar akan terjadi. Hal tersebut, disebabkan karena dengan
mengetahuinya, akan menyebabkan pengetahuan terhadap kekurangan hukum yang
tertulis, dan selanjutnya dapat diatasi dengan membuat keputusan-keputusan yang
cepat dan tepat.163
Berkaitan dengan Budaya Hukum, Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai hasil dari karya, rasa dan cipta
masyarakat, di dalam rasa termasuk semua unsur yang merupakan hasil ekspresi
dari jiwa manusia yang hidup sebagai warga masyarakat. Selanjutnya cipta
merupakan kemampuan mental dan kemampuan berpikir dari orang-orang yang
hidup bermasyarakat yang menghasilkan falsafah serta ilmu pengetahuan baik yang
berwujud teori murni maupun yang telah di susun untuk langsung diamalkan dalam
kehidupan bermasyarakat.164 Sedangkan Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa
162 Sarjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 49-51 163 Sarjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 82 164 Selo Soemardjan dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, Cet. Pertama
(Jakarta: FE. Univ. Indonesia, 1964), 113.
124
budaya hukum adalah adanya tanggapan yang sama dari masyarakat tertentu
terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan tersebut merupakan kesatuan pandangan
terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum, jadi menurut Hilman, budaya hukum
menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang
menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan yang
dihayati masyarakat bersangkutan. Budaya hukum bukan merupakan budaya
pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai suatu
kesatuan sikap dan perilaku.165
Nilai-nilai sosial dan budaya serta kaidah-kaidah yang terhimpun dalam
lembaga kemasyarakatan pada hakikatnya merupakah rules for the game of life.
Dengan demikian maka lembaga-lembaga kemasyarakatan seyogyanya memenuhi
kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat akan pedoman bagi tingkah lakunya. Maka
lembaga-lembaga kemasyarakatan berisikan nilai-nilai sosial dan budaya serta
kaidah-kaidah yang melembaga dan bahkan menjiwai warga-warga masyarakat.
Namun demikian lembaga-lembaga kemasyarakatan tidaklah identik dengan nilai-
nilai sosial dan budaya, lembaga-lembaga kemasyarakatan sifatnya lebih khusus
dikarenakan adanya kemungkinan bahwa suatu nilai sosial dan budaya tertentu
dapat dikemukakan pada berbagai lembaga kemasyarakatan.166
Sedangkan Esmi Warassih mengomentari peranan budaya dalam penegakan
hukum dengan menjelaskan bahwa peranan budaya hukum dalam penegakan hukum
adalah sangat penting dan sangat sering berhubungan dengan faktor-faktor non
hukum. Menurut Warassih, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada di antara berbagai faktor
(inter change). Dalam konteks yang demikian titik tolak pemahaman terhadap
hukum tidak sekedar sebagai suatu rumusan hitam atau putih yang ditetapkan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai
suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, melalui tingkah laku warga
masyarakat. Artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan-hubungan
hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap
serta pandangan masyarakat yang selanjutnya disebut dengan kultur hukum”.167
Budaya hukum masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat
positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan
yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang
bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya
rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya.
Sedangkan dorongan yang bersifat eksternal adalah karena adanya semacam
tekanan dari luar yang mengharuskan atau yang bersifat memaksa agar warga
masyarakat tunduk kepada hukum.
165 H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung: PT. Alumni,
2010), 51. 166 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka..., 39. 167 Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah Telaah Sosiologis (Semarang: Suryandaru
Utama, 2005), 78.
125
Secara umum, keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan menaati
hukum disebabkan karena adanya sanksi (punishment) yang menimbulkan rasa
takut atau tidak nyaman, sehingga mereka lebih memilih untuk taat pada hukum,
daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya dapat menyusahkan mereka
karena akan terkena sanksi. Motivasi semacam ini biasanya bersifat sementara atau
hanya temporer. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, harus dipahami
bahwa hukum tidak hanya berkaitan dengan unsur paksaan eksternal, namun juga
dengan proses pengadilan. Ancaman dan paksaan pun merupakan unsur yang
mutlak harus ada, agar suatu norma atau aturan dapat dikategorikan sebagai
hukum. Karena itu, maka unsur paksaan ini juga erat kaitannya dengan efektif atau
tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif,
salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman
paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman paksaannya kurang
berat, mungkin juga karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara
memadai kepada warga masyarakat.168
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja
hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap
hukum, hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut
dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat,
suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga
masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh
peraturan perundang-undangan tersebut, karena faktor-faktor yang menghambat
efektivitas hukum tidak hanya datang dari para penegaknya saja (polisi, jaksa,
hakim dll.) akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh budaya hukum dalam
masyarakat di mana hukum itu diberlakukan.169
Menurut Sarjono Soekanto, gangguan terhadap penegakan hukum mungkin
terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola
perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi tidak serasian antara nilai-nilai
yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur,
dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh
karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata
berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di
Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk
mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.170
Dalam kaitannya dengan pendidikan masyarakat ini, dalam qanun telah
disebutkan bahwa Bank Syariah wajib berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
edukasi dan pelatihan kepada pegawai, dan masyarakat Aceh dalam rangka
168 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif
Watampone, 1998), 186. 169 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum (Bandung: CV Ramadja Karya, 1988), 80. 170 Sarjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
126
meningkatkan literasi keuangan Syariah. Bank Syariah juga diwajibkan untuk
melakukan penelitian, pengembangan inovasi Akad dan produk serta
implementasinya, dengan tetap memperhatikan kepatuhan syariah, aspek kehati-
hatian dan analisis kelayakan yang memadai. Pelaksanaan pendidikan pada
masyarakat tersebut dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah Aceh dan pihak
terkait lainnya yang memiliki kompetensi di bidang keuangan syariah.171 Dari sini
terlihat ada usaha dari pemerintah sebagai pembuat qanun, dalam mencerdaskan
masyarakat, sehingga implementasi qanun akan menjadi lebih efektif dan dapat
diterima oleh masyarakat dengan baik.
Dalam kaitannya budaya hukum masyarakat Aceh, penulis menemukan
dalam observasi dan wawancara, bahwa masyarakat Aceh memahami syariat Islam
sebagai sebuah kewajiban untuk dilaksanakan secara utuh dan total, hal itu tampak
dari hasil wawancara yang penulis lakukan kepada penduduk Aceh yang tersebar di
beberapa daerah. Dari seratus dua puluh dua warga yang penulis wawancarai,
mayoritas menyatakan bahwa penerapan syariat Islam merupakan sebuah
kewajiban bagi perorangan dan harus ditegakkan oleh Pemerintah.172 Mereka
menyatakan bahwa penerapan syariat dalam berbagai aspek kehidupan, akan dapat
membawa kebaikan, termasuk dalam bidang perbankan. Berikut data yang berhasil
penulis himpun:
a. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib
Dari total 50 orang yang diwawancara, 43 menyatakan setuju, 4 orang tidak
setuju dan hanya 3 orang yang tidak memberikan jawaban pasti. Dengan
demikian maka sebanyak 86% penduduk Aceh menyetujui wajibnya
penerapan syariat Islam. Berikut diagram jawaban itu:
171 Bagian Kedua, Pasal 17 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang Edukasi
Penelitian, dan Pengembangan Produk
172 Wawancara dengan warga Aceh
0
5
10
15
20
25
30
35
40
setuju tidak setuju tidak tahu
Grafik 1 Pernyataan Masyarakat tentang Wajibnya
Penerapan Syariat Islam di Aceh
127
b. Penerapan syariat Islam wajib bagi pemerintah
Dari total 50 orang yang diwawancara, 37 menyatakan setuju, 9 tidak, dan 4
orang tidak memberikan pernyataan. Apa yang dinyatakan oleh mayoritas
masyarakat Aceh ini sesuai dengan pendapat Umar Chapra yang menyatakan
bahwa untuk mewujudkan sistem perbankan yang Islami, peran positif
negara merupakan suatu hal yang mutlak.173 Dengan demikian, maka
tindakan Pemerintah Aceh yang mengambil peran dalam pemberlakuan bank
syariah ini, sudah benar menurut para ahli ekonomi, karena mendapatkan
dukungan yang kuat dari masyarakatnya. Berikut diagram jawaban
masyarakat Aceh tersebut:
Data di atas, menguatkan pendapat Abdul Manan yang menyatakan bahwa
Peran hukum sebagai alat pengendalian sosial harus melibatkan negara untuk
menjalankannya. Oleh karena itu, peranan eksekutif dan legislatif dalam
membuat aturan hukum sangat penting dan dominan sebab negaralah yang
mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh warganya. Di samping itu,
peranan yudikatif untuk menegakkan hukum agar tercipta ketertiban dan
kedamaian dalam masyarakat juga sangat menentukan, sebab sebaik apa pun
aturan hukum yang dibuat, jika tanpa adanya penegakan hukum yang tegas,
ketertiban dan ketenteraman tidak akan bisa terwujud, apabila dalam
penegakannya (law inforcement) tidak dilakukan dengan tegas tanpa
membeda-bedakan orang. Jadi, terlaksananya hukum sebagai pengendalian
sosial sangat tergantung pada materi hukum yang dibuat oleh kekuasaan (the ruling class) dan juga oleh pelaksana hukumnya.174
c. Penerapan syariat Islam wajib bagi perorangan
173 M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), 15; Nur Hidayah, “Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Atas Aspek
Hukum Islam Perbankan Syariah di Indonesia” AL-‘ADALAH Vol. X, No. 1 Januari
(2011), 14. 174 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, 412-
413.
0
10
20
30
40
setuju tidak setuju tidak tahu
Grafik 2 Pernyataan Masyarakat tentang Wajibnya
Penerapan Syariat Oleh Pemerintah
128
Dari total 50 orang yang diwawancara, 40 setuju, 6 tidak, dan 4 orang tidak
menjawab. Dengan demikian, maka pemberlakuan syariat Islam di Aceh akan
menjadi mudah, karena masyarakat telah menyadari bahwa pelaksanaan
syariat merupakan sebuah kewajiban bagi setiap individu. Karena yang
diberlakukan adalah syariat Islam, maka dapat dikatakan bahwa budaya
hukum masyarakat sudah baik, dan akan menyebabkan hukum dapat
diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya:
d. Penerapan syariat Islam akan membawa kebaikan
Dari total 50 orang yang diwawancara, 46 orang setuju, 1 orang tidak, dan 3
orang tidak tahu. Dari sini tampak keyakinan masyarakat Aceh terhadap
agamanya, mereka meyakini bahwa dengan menjalankan syariat Islam dalam
segala bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, yang dalam hal in adalah
pemberlakuan qanun lembaga keuangan syariah, akan membawa kebaikan
pada kehidupan mereka. Berikut grafik jawaban masyarakat tersebut:
e. Penerapan syariat Islam harus menyeluruh dalam segala bidang kehidupan
Dari total 50 orang yang diwawancara, 38 setuju, 9 tidak, dan 3 tidak tahu.
Sesuai dengan jawaban sebelumnya, bahwa mereka penerapan syariat Islam
akan membawa kebaikan bagi kehidupan mereka, maka di sini juga tampak
bahwa mayoritas masyarakat Aceh, menginginkan agar syariat Islam dapat
0
10
20
30
40
setuju tidak setuju tidak tahu
Grafik 3 Pernyataan Masyarakat tentang Wajibnya
Penerapan Syariat bagi perorangan
0
10
20
30
40
setuju tidak setuju tidak tahu
Grafik 4 Pernyataan Masyarakat bahwa Penerapan Syariat
Islam akan membawa Kebaikan
129
diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Berikut diagram yang
menggambarkan jawaban tersebut.
f. Penerapan syariat Islam tidak boleh setengah-setengah
Dari total 50 orang yang diwawancara, 46 setuju, 2 orang tidak setuju, dan 2
orang tidak tahu. Dari jawaban ini, penulis menyimpulkan bahwa otonomi
khusus bagi Aceh, berupa penerapan syariat Islam, memang tuntutan dari
warga masyarakat, dan bukan hanya untuk memenuhi urusan politik semata,
sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian peneliti, bahwa salah satu
kunci gejolak Aceh adalah tuntutan penerapan syariat Islam.175 Berikut
diagram jawaban warga Aceh:
Kesimpulan di atas, juga didukung oleh pernyataan masyarakat Aceh, bahwa
penerapan syariat Islam tidak cukup dalam bidang hukum saja, hal ini
terlihat dari pernyataan masyarakat. Dari total 50 orang yang diwawancara,
40 tidak setuju jika syariat Islam diterapkan hanya dalam bidang hukum saja,
6 orang menyetujuinya dan 4 orang tidak tahu. Berikut diagramnya:
175 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, 418.
0
10
20
30
40
setuju tidak setuju tidak tahu
Grafik 5 Pernyataan Masyarakat bahwa Penerapan Syariat
harus dalam segala bidang kehidupan
0
10
20
30
40
setuju tidak setuju tidak tahu
Grafik 6 Pernyataan Masyarakat bahwa Penerapan Syariat
tidak boleh setengah-setengah
130
Berdasarkan data ini, penulis menyimpulkan bahwa pemberlakuan wajib
bank syariah di Aceh tidak akan mendapatkan banyak kendala. Hal ini disebabkan
oleh budaya masyarakat yang mendukung implementasi regulasi tersebut dari aspek
masyarakat dan budayanya.
Meskipun demikian, ternyata masih ada di antara warga masyarakat yang
belum mengetahui tujuan dari penerapan wajib bank syariah ini. Terbukti masih
ada 30% penduduk yang tidak mengetahui tujuan wajib bank syariah ini, padahal
mereka adalah warga muslim Aceh, dan penelitian ini dilaksanakan pada tahun
kedua pemberlakuan qanun No. 11 tentang lembaga keuangan syariah. Berikut
tabel hasil wawancara mengenai pengetahuan penduduk tentang tujuan penerapan
wajib bank syariah di Aceh:
Tabel 11
Indikator Jumlah Persentase
Mengetahui Tujuan Qanun 35 70%
Tidak Mengetahui Tujuan Qanun 15 30%
50 Informan 100%
Dengan masih kurangnya pengetahuan sebagian masyarakat, maka ketika
peneliti mengajukan pertanyaan tentang persetujuan mereka atas pemberlakuan
qanun ini, jawaban mereka pun juga beragam. Masih ada 30,8 warga Aceh yang
tidak setuju dengan ketentuan qanun ini. Begitu pula kita diberi pertanyaan tentang
kesediaan atau keberatan mereka mengikuti qanun ini, masih terdapat 32,5% warga
yang merasa keberatan dengan pemberlakuan wajib bank syariah ini, dan 34,2% di
antara mereka menyatakan terpaksa mengikuti penerapan wajib Bank Syariah di
Aceh ini. Berikut tabelnya:
Tabel 12
Indikator Jumlah Persentase
Setuju dengan pemberlakuan Qanun 35 70%
Tidak setuju dengan pemberlakuan Qanun 15 30%
50 Informan 100%
0
10
20
30
40
setuju tidak setuju tidak tahu
Grafik 7 Pernyataan Masyarakat bahwa Penerapan Syariat
tidak boleh hanya bidang hukum Jinayat
131
Setelah itu, penulis mencoba untuk menanyakan apakah masyarakat Aceh
merasa keberatan dengan pemberlakuan wajib bank syariah, maka mayoritas
mereka yakni 67,5% menjawab tidak keberatan, dan yang merasa keberatan adalah
32,5% dari warga Aceh. Dari sini terlihat bahwa mayoritas warga Aceh mendukung
penerapan syariah Islam dalam bidang perbankan. Diagram berikut menggambarkan
penerimaan dan keberatan penduduk Aceh terhadap penerapan wajib bank syariah:
Tabel 13
Indikator Jumlah Persentase
Tidak keberatan dengan pemberlakuan Qanun 34 68%
Keberatan dengan pemberlakuan Qanun 16 32%
50 Informan 100%
Karena merasa masih kurang puas, maka peneliti mencoba mengajukan
pertanyaan yang hampir sama, tetapi memiliki tujuan yang berbeda dalam
penekanannya, yaitu, apakah mereka merasa terpaksa dengan adanya wajib bank
syariah, dan yang mengagetkan adalah, ternyata tingkat keterpaksaan penduduk
terhadap ketentuan qanun ini lebih tinggi dari yang keberatan, mereka mencapai
angka 34 persen, sedangkan yang tidak merasa terpaksa, mencapai 66 persen.
Berikut tabelnya:
Tabel 14
Indikator Jumlah Persentase
Tidak terpaksa mengikuti ketentuan Qanun 33 66%
Terpaksa mengikuti ketentuan Qanun 17 34%
50 Informan 100%
Berdasarkan data-data tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
semua warga Aceh menghendaki adanya penerapan wajib bank syariah di Aceh,
sebagian dari mereka masih ada yang tidak mengetahui tujuannya, sehingga merasa
keberatan dan terpaksa dalam mengikuti aturan dalam qanun itu. Akan tetapi
karena jumlah yang menyatakan siap untuk mendukung pemberlakuan qanun ini
lebih banyak, dengan ungkapan tidak terpaksa, dan tidak keberatan, maka jumlah
penduduk yang belum bisa menerima ketentuan qanun ini, tidak akan menghambat
efektivitas implementasi qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang lembaga
keuangan syariah.
Secara garis besar, dilihat dari faktor masyarakat, maka qanun Aceh akan
dapat berjalan dengan baik dan ditaati oleh masyarakat sebagai obyek hukumnya,
karena ketentuan hukum yang ditetapkan merupakan kemauan dari mayoritas
masyarakat. Dan dari faktor budaya hukum, tampak jelas bahwa budaya
masyarakat Aceh adalah budaya Islam yang telah menyatu dengan adat istiadat
atau kehidupan sehari-hari, karena itu, sebab yang ditetapkan adalah sesuai dengan
budaya mereka, maka ketentuan-ketentuan dalam qanun ini akan mendapatkan
dukungan dari faktor budaya hukum masyarakatnya.
132
Menurut CS Bank syariah Indonesia Cabang Aceh, Penerapan wajib Bank
Syariah di Provinsi Aceh sangat efektif dan relevan dengan budaya serta aturan
Qanun yang telah diterapkan. Qanun Aceh No.11 tahun 2018 tentang Lembaga
Keuangan Syariah dilaksanakan dengan seksama oleh bank-bank konvensional di
Aceh dan saat ini masih terus berproses untuk konversi nasabah dan kantor
cabangnya.176
Di sini penulis menyimpulkan bahwa Implementasi Qanun Aceh tentang
LKS akan memberikan dampak positif dalam dua bentuk, yaitu pertama
terlaksananya implementasi Syariat Islam secara lebih luas dalam kehidupan
masyarakat Aceh yang merambah pada dimensi ekonomi dan keuangan. Kedua,
perkembangan ekonomi dan keuangan Syariah akan lebih besar dan semarak di
Indonesia secara umum. Dalam simulasi perhitungan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, proporsi aset perbankan Syariah di Indonesia telah bertambah sekitar Rp
25.76 Triliun sebagai akibat limpahan konversi lembaga keuangan Syariah di Aceh,
sehingga menaikkan pangsa pasar perbankan Syariah secara nasional menjadi 6.10
persen. Dengan demikian, maka total aset perbankan Syariah akan meningkat
menjadi Rp 505.6 triliun, dan total aset perbankan konvensional menjadi turun ke
Rp 7,786.8 triliun.177 Tentunya hal ini adalah sesuatu yang menggembirakan, dalam
upaya membesarkan perekonomian yang berbasis pada prinsip syariah di tanah air.
Berdasarkan data-data yang dipaparkan di atas, maka disimpulkan bahwa
pemberlakuan qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah,
dalam aspek bank syariah, telah berjalan efektif. Gambaran pengukuran efektivitas
dari berbagai aspeknya, tergambar dalam tabel di bawah ini:
Tabel 15
Hasil Pengukuran Tingkat Efektivitas Regulasi Wajib Bank Syariah di Aceh
Indikator Ringkas &
Mudah
Dimengerti
Mudah
Dilaksanakan
Mengakomodasi
Keragaman
Keterangan
(1) (2) (3)
1 Hukum dan
Perundang-
undangan
ada
ada
ada
Memenuhi
ketiga unsur
kriteria,
sehingga
tingkat
efektivitas
sempurna.
2 Penegak
hukumnya
ada
ada
ada
Memenuhi
ketiga unsur
kriteria,
176 Alif dan Dedy, Wawancara, Maret 2021 177 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-
2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 13.
133
sehingga
tingkat
efektivitas
sempurna.
3 Sarana dan
fasilitas yang
mendukung
pemberlakuan
hukum
ada
belum
ada
Memenuhi
kriteria (2) saja
artinya fasilitas
belum
mendukung
secara
menyeluruh
4 Masyarakat yang
akan menerima
pemberlakuan
hukum
ada
ada
ada
Memenuhi
ketiga unsur
kriteria,
sehingga
tingkat
efektivitas
sempurna.
5 Budaya hukum
dalam
masyarakatnya
ada
ada
ada
Memenuhi
ketiga unsur
kriteria,
sehingga
tingkat
efektivitas
sempurna.
135
BAB V
MANFAAT PENERAPAN WAJIB BANK SYARIAH
TERHADAP KEMASLAHATAN
A. Posisi Perbankan Syariah dalam Perekonomian
Bank menjadi sebuah lembaga yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang.
Dewasa ini, hampir setiap orang memiliki hubungan dengan bank, baik sebagai
penabung, peminjam dana, ataupun yang lainnya. Terlebih lagi saat ini, hampir
semua pegawai baik negeri maupun swasta, menggunakan sistem pembayaran
gajinya melalui transfer bank, sehingga bisa dipastikan bahwa hampir 90%
penduduk Indonesia yang telah bekerja, akan memiliki hubungan dengan bank.
Perbankan merupakan elemen penting dalam pembangunan suatu negara.
Peran perbankan merupakan tolak ukur kemajuan negara. Semakin baik kondisi
perbankan suatu negara, semakin baik pula kondisi perekonomian suatu negara1
Hal itu tergambar dalam pengertian perbankan secara teknis yuridis, yaitu sebagai
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk
lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.2 Fungsi bank
sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution)
tersebut sangat menentukan terhadap kesuksesan pembangunan ekonomi
masyarakat, karena menjadi perantara penyaluran uang dari yang yang
berkelebihan kepada yang tidak memiliki modal.3 Namun, keberadaan bank dalam
fungsi ini, sangat tergantung oleh adanya kepercayaan masyarakat. Prinsip
kepercayaan menjadi ruh dari kegiatan perbankan dalam sebuah negara.4
Perkembangan ekonomi suatu negara secara keseluruhan tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan perbankannya. Industri perbankan yang maju
merupakan sumber pendanaan pembangunan jangka panjang yang stabil.
Perbankan mendukung kegiatan perekonomian melalui pembiayaan kegiatan
1 Nur Mawaddah, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank Syariah”
Jurnal Etikonomi Vol. 14 No. 2 Oktober (2015), 242. 2 Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah (Yogyakarta: Ghara Ilmu, 2021),
34; Pasal |1 Nomor 2 UU No 10 Tahua 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan; Waldi Nopriansyah dan M. Unggul, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2019), 5.
3 Nur Mawaddah, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank Syariah”
Jurnal Etikonomi Vol. 14 No. 2 Oktober (2015), 242; Jaih Mubarak, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokusmedia, 2013), 31.
4 Khotibul Umam, Legislasi Fikih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: BPFE, 2011), 1; Muhammad Maulana dan
EMK Alidar, Model Transaksi Ekonomi Kontemporer Dalam Islam (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Aceh, 2020), 56; Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Prenamedia Group, 2019), 49.
136
usaha yang dilakukan dalam bentuk pemberian kesempatan kepada masyarakat
untuk mendapatkan modal usaha agar dapat ikut berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi nasional. Dengan demikian, maka perbankan merupakan
unsur yang berperan sangat penting dalam sistem keuangan dan perekonomian
suatu negara. Bank sebagai lokomotif pembangunan ekonomi mempunyai
beberapa tujuan. Metwally mengemukakan bahwa tujuan bank Islam ialah untuk
mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi masyarakat dengan
melaksanakan semua kegiatan perbankan, finansial, komersial, serta investasi
sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.5 Kegiatan dalam praktik bank Islam
merupakan bagian dari Muamalah, yaitu semua akad yang membolehkan manusia
untuk saling bertukar manfaat.6 Tujuan bank syariah adalah untuk memberikan
fasilitas bagi masyarakat untuk mengatasi kekurangan dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat berbasis syariah, sehingga setiap produk bank tersebut harus
sesuai dengan tujuan syariah.7
Sebutan bank, asalnya dari Eropa yang berarti meja atau konter.8 Orang
Italia menyebut bank dengan kata “banco” yang arti dasarnya adalah peti, lemari,
atau bangku. Arti dasar ini menjelaskan fungsinya sebagai tempat menyimpan
barang berharga, seperti emas, uang, dan sebagainya. Sementara itu, orang Prancis
menyebutnya dengan “bangue” yang artinya sama dengan banco dalam bahasa
Italia, yaitu: peti atau lemari yang berfungsi untuk menyimpan uang. Menurut The
American Heritage Dictionary, arti kata bank adalah tempat usaha di mana uang
disimpan untuk tujuan komersial atau investasi, yang bisa dipinjamkan atau
ditukar. Sedangkan dalam bahasa Arab, bank disebut dengan kata “mas}raf” yang
berarti tempat pertukaran (exchange), atau penjualan suatu mata uang dengan
mata uang yang lain. Dalam sejarahnya, lembaga keuangan yang disebut dengan
bank berkembang di Florence, Vennice, dan kota-kota besar lainnya di Italia
bagian utara sepanjang abad pertengahan dengan kegiatan utamanya
meminjamkan uang.9
Lembaga perbankan memiliki 3 fungsi utama, yaitu: 1) Menerima simpanan
uang, 2) Meminjamkan uang, dan 3) Memberikan jasa pengiriman uang. Kata
bank merupakan istilah dalam lembaga keuangan yang tidak pernah disebut secara
jelas dalam Al-Quran, namun salah satu fungsi bank itu telah dilakukan sejak
masa Nabi Muhammad saw masih hidup, yaitu fungsi meminjamkan uang. Begitu
pula pada masa dinasti Bani Umayah, hanya satu fungsi bank yang dipraktikkan.
5 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam Terj. (Bandung: Rungkut
Insani, 1995), ; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 79 6 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,
Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
238 7 Syafaruddin Alwi, Memahami Sistem Perbankan syariah: Berkaca pada Pasar
Umar bin Khattab (Yogyakarta: Bukurepublika, 2013), 7. 8 (Kupper, A dan Kupper, J. 2000), ; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 76. 9 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 77
137
Hingga kemudian pada masa Bani Abbasiyah tiga fungsi perbankan dipraktikkan
secara keseluruhan, hal itu disebabkan di antaranya karena beredarnya banyak
jenis mata uang di masyarakat, yang nilainya berbeda-beda, pada masa tersebut
mulai diperkenalkan uang jenis baru yang disebut dengan fulus yang terbuat dari
tembaga. Sebelumnya uang yang digunakan adalah dinar yang terbuat dari emas
dan dirham yang terbuat dari perak. Pada masa kekuasaan Bani Abasiyah, dikenal
orang-orang yang mempunyai keahlian khusus, seperti naqid (kurir), sarraf (penukar uang), dan jihbiz (penerima titipan) yang berasal dari bahasa Persia yang
berarti penagih pajak. Pada masa itu, praktik perbankan telah berkembang, yang
ditandai dengan beredarnya cek (saq) sebagai media pembayaran.10 Jihbiz mulai
dikenal pada masa pemerintahan Mu’awwiyah, yang ketika itu fungsinya adalah
sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang atau tanah milik
masyarakat.11
Sistem keuangan dan perbankan Islam merupakan bagian dari konsep
tentang ekonomi Islam, yang bertujuan memperkenalkan sistem nilai dan etika
Islam ke dalam lingkungan ekonomi, seperti yang dianjurkan oleh para ulama.
Dasar etika keuangan dan perbankan Islam bukan sekadar sistem transaksi
komersial untuk menghasilkan keuntungan semata, tetapi juga dipandang oleh
banyak kalangan, sebagai sebuah kewajiban beragama. Kemampuan lembaga
keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya bergantung kepada
tingkat kemampuan lembaga itu dalam menghasilkan keuntungan, tetapi juga atas
persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh telah memperhatikan
batasan-batasan aturan agama.12
Berdasarkan hukum Islam, kedudukan dan kegiatan-kegiatan bank atau
lembaga perbankan, masih belum ada pada zaman Rasulullah, karena itu,
perbankan dikategorikan dalam kelompok masalah ijtihadiyah (hal baru yang
membutuhkan ijtihad). Karena itu, maka terdapat perbedaan pendapat tentang
ketentuan hukumnya. Berdasarkan pengkajian ilmiah oleh Majelis Ulama
Sumatera Utara bersama Yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara pada tahun
1985, diputuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non bank adalah satu sub
sistem dari sistem ekonomi pada masa modern yang sulit untuk
dihindari.
2. Riba yang sifatnya ad}’a>fan mud}a>’afah (berlipat ganda), hukumnya
haram, berdasarkan teks dari Al-Quran dan sunah Nabi.
10 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 76;
Muhammad Yusuf, “Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Kontemporer Keuangan Dan
Perbankan” Muamalat: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Volume VIII, Nomor 2,
Desember 2016, 159. 11 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 201. 12 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,
Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
138
3. Pendapat mengenai bunga bank, masih terdapat perbedaan pandangan
dari para ulama, pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah:
a. Mengharamkan bunga bank karena menganggapnya sama dengan
riba.
b. Membolehkan bunga bank karena menganggapnya tidak sama
dengan riba, yang diharamkan oleh syariat Islam.
c. Bunga bank adalah haram, namun, karena belum ada jalan keluar
untuk menghindarkannya, maka diperbolehkan karena dianggap
sebagai suatu situasi darurat.
Pada awal tahun 2004 MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya bunga
bank. Sementara itu, berdasarkan pada hasil keputusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah Sidoarjo, dinyatakan bahwa bunga bank yang diberikan oleh
bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk
perkara yang syubhat. Kemudian, berdasarkan hasil keputusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah Yogyakarta dalam Muktamar Majelis Tarjih pada tahun 1989
dalam masalah bunga bank menetapkan kesimpulan yang sama, yaitu bahwa
bunga bank adalah syubhat. Pada tahun 2006 Majelis Tarjih Pimpinan Pusat
Muhammadiyah menganggap bahwa bunga bank termasuk dalam kategori haram.
Keputusan tersebut dituangkan dalam rancangan keputusan Majelis Tarjih
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sedangkan dalam Lokakarya Perbankan Islam
yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada tahun 1990
menetapkan prinsip nir bunga dalam bank yang dikemukakan oleh para pemikir
muslim ke dalam tiga kategori. yaitu:
1. Menetapkan bahwa bunga bank adalah haram karena sama dengan riba,
2. Bunga bank hukumnya halal karena tidak sama dengan riba,
3. Bunga Bank termasuk kategori syubhat (du-beous) yang harus dihindari,
tetapi boleh dipraktikkan karena keadaan darurat dan terpaksa).13
Keputusan dalam lokakarya MUI tersebut jika dilihat, hasilnya sama dengan apa
yang diputuskan oleh Majelis Ulama Sumatera Utara pada tahun 1985.
Sejak tahun 1992, kebijakan perbankan di Indonesia menganut sistem ganda
(dual banking system),14 yaitu terselenggaranya dua sistem perbankan
(konvensional dan syariah secara berdampingan) yang pelaksanaannya diatur
dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.15 Berdasarkan
13 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,
Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 14 Hamidah Ramlana, and Mohd Sharrizat Adnan, “The Profitability of Islamic and
Conventional Bank: Case study in Malaysia” International Economics & Business Management Conference, 5th & 6th October 2015: 359-367; Subandi, “Problem Dan
Solusi Pengembangan Perbankan Syariah Kontemporer di Indonesia” Al-Tahrir, Vol. 12,
No. 1 Mei (2012): 1-19 15 Early Ridho Kismawadi, “Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di
Konversikannya Bank Konvensional Ke Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus di Kota
Langsa” Ihtiyath Vol. 2 No. 2 Desember (2018): 136-148.
139
ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
kemudian diperkuat oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai
Perubahan Atas UU tahun 1992 tentang Perbankan, yang salah satunya
disebabkan kenyataan bahwa banyak bank konvensional yang tidak mampu
bertahan menghadapi krisis moneter, misalnya pada tahun 2008, ketika terjadi
krisis di Amerika, saat itu Indonesia sedang mengembangkan perekonomian sesuai
syariah, dan tidak terkena dampak yang signifikan dari krisis tersebut. Hal itu
terlihat dari penyaluran pembiayaan yang dilakukan pihak perbankan syariah per
Februari 2009 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan
sebesar 33,3% pada Februari 2008 meningkat menjadi 47,3% pada bulan Februari
2009.16 Setelah undang-undang perubahan tersebut, kemudian pemerintah
menerbitkan Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, yang
menjadi dasar yang kuat dalam praktik perbankan syariah di Indonesia.17
Konsep dual system dianut oleh perbankan di Indonesia, didasari atas
beberapa pertimbangan, di antaranya adalah:
1. Untuk mengakomodir sebagian masyarakat yang tidak mau
bertransaksi dengan bank konvensional, karena dianggap haram, dan
dengan tersedianya bank syariah, segmen masyarakat ini akan mau
menyimpan dananya di bank yang secara tidak langsung telah
meningkatkan kontribusi mereka dalam pembangunan negara.
2. Adanya pengalaman bahwa lembaga keuangan yang menerapkan
sistem syariah, terbukti mampu bertahan pada saat krisis ekonomi,
3. Pengembangan sistem perbankan yang memiliki keunggulan tertentu,
4. Dengan berkembangnya bank syariah yang kompetitif, akan dapat
menarik masuknya aliran dana investasi internasional yang
mensyaratkan transaksi menggunakan sistem syariah.18
Perbankan syariah tumbuh dan dikembangkan di Indonesia sebagai untuk
menjadi alternatif bagi praktik perbankan konvensional. Adanya kritik terhadap
praktik bank konvensional oleh konsep perbankan syariah, bukanlah menolak bank
dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan, melainkan disebabkan
karena karakteristiknya yang mengandung unsur riba, judi (maysir), ketidakpastian (gharar), dan batil, yang semuanya dilarang dalam ajaran Islam.
16 Nur Mawaddah, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank
Syariah” Jurnal Etikonomi Vol. 14 No. 2 Oktober (2015), 244; Jaih Mubarak, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokusmedia, 2013), 30.
17 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2007), 33; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2019), 77; Mutiara Dwi Sari1, Zakaria Bahari, Zahri Hamat, “History of
Islamic Bank in Indonesia: Issues Behind Its Establishment” International Journal of Finance and Banking Research 2016; 2(5): 178-184
18 Waldi Nopriansyah dan M. Unggul, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, 24-25; Edy Wibowo dan Untung Hendi Widodo, Mengapa Memilih Bank Syariah (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), 34-35.
140
Istilah bank Islam berarti bank melakukan operasi sesuai prinsip Islam atau
prinsip-prinsip syariah.19
Berdasarkan sumber dari catatan Bank Indonesia, sebenarnya perbankan
Islam secara internasional telah mulai dikembangkan pada tahun 1890, yaitu
dengan keberadaan The Barclays bank yang membuka cabang di Mesir, tepatnya
di Kota Kairo, dan pertama kali mendapat kritik tentang bunga bank. Kemudian,
Pada tahun 1900-1930 mulai tersebar adanya pemahaman bahwa bunga bank
adalah riba, karena itu hukumnya haram.20 Selanjutnya, pada tahun 1930-1950,
untuk pertama kalinya ekonomi Islam memberikan alternatif berupa aktivitas
partnership yang sesuai dengan ketentuan Islam. Konsep teoritis mengenai bank
Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan pembentukan
perbankan Islami yang ditandai dengan banyaknya pemikiran-pemikiran sarjana
muslim yang menulis tentang keberadaan bank Islam. tercatat misalnya Anwar
Qureshi (1946), Naeim Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang
lebih rinci mengenai gagasan awal mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama
besar Pakistan, yaitu Abu al-A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad
Hamidullah (1944-1962).
Dalam perkembangannya, awal abad ke-20 merupakan masa kebangkitan
dunia Islam dari tidurnya di tengah pergolakan dunia.21 Kondisi ini membawa
pada kesadaran baru untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam dalam
semua aspek kehidupan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dalam rintisan
lembaga keuangan Islam yang berasaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam.
Rintisan penerapan sistem pembagian untung dan rugi (profit and lost sharing),
sebagai inti bisnis lembaga keuangan Islam, tercatat telah ada sejak tahun 1940-
an, yaitu dalam upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional di
Pakistan dan Malaysia, dan dilanjutkan dengan penawaran model perbankan dan
sistem keuangan Islam pada tahun 1950, sebagai pengganti sistem bunga dengan
konsep twotier mudarabah. Secara kolektif gagasan berdirinya bank Islam di
tingkat Internasional muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia di
Kuala Lumpur, Malaysia pada bulan April 1969, yang diikuti oleh 19 negara.
Konferensi tersebut menghasilkan beberapa hal, yaitu:
19 Haron S. 2001; Lubis, Irsyad, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Medan: USU
Press, 2010), 10; Ida Royani Pasi, “Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Perilaku
Masyarakat Pada Bank Syariah” Jurnal Al-Qasd, Vol. 1 No. 2 Februari 2017, 190. 20 Mutiara Dwi Sari1, Zakaria Bahari, Zahri Hamat, “History of Islamic Bank in
Indonesia: Issues Behind Its Establishment” International Journal of Finance and Banking Research 2016; 2(5): 178-184
21 Muhammad Yusuf, “Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Kontemporer
Keuangan Dan Perbankan” Muamalat: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Volume VIII,
Nomor 2, Desember 2016, 169; Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, 51.
141
1) Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, dan
jika tidak, maka termasuk dalam kategori riba, yang sedikit atau
banyaknya adalah haram hukumnya,
2) Diusulkan untuk membentuk suatu bank Islam yang bersih dari sistem
riba dalam waktu secepat mungkin.
3) Sambil menunggu berdirinya bank Islam, bank-bank yang menerapkan
bunga diperbolehkan beroperasi, namun jika benar-benar dalam
keadaan darurat.22
Sementara itu, setelah diterbitkannya Undang-undang Perbankan Syariah,
Bank Indonesia kemudian melakukan berbagai program pengembangan internal
meliputi pengembangan kompetensi pegawai Bank Indonesia melalui berbagai
pelatihan terkait perbankan syariah, dan pengembangan sistem dan penyusunan
pedoman internal, agar dapat meningkatkan peran tokoh masyarakat dan ahli pada
bidang-bidang terkait, termasuk membentuk Komite Perbankan Syariah (KPS)
untuk membantu Bank Indonesia dalam menafsirkan fatwa yang dikeluarkan oleh
dewan syariah (DSN-MUI) serta membantu dalam mengembangkan bank syariah
di Indonesia.23 Dijelaskan dalam peraturan Bank Indonesia No. 10/32/PBI/2008
tentang tugas komite tersebut, yaitu:
1. Membantu Bank Indonesia dalam menafsirkan fatwa MUI yang terkait
dengan perbankan syariah,
2. Memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam
Peraturan Bank Indonesia, dan
3. Melakukan pengembangan industri perbankan syariah.
Penulis buku Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return, Samuel
L. Hayes, dari Harvard University, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Said,
memberikan komentar yang Sangat positif dan objektif atas keunggulan prinsip-
prinsip bank syariah dan mengkritisi masyarakat Amerika Serikat yang larut
dalam bunga yang mengandung riba. Dia mencatat empat hal pokok yang
dijadikan konsiderasi dalam membangun sistem ekonomi syariah, yaitu:
1. Kontrak (akad) harus adil dan nyata, dan tidak ada hubungan bisnis
yang hierarki.
2. Tidak ada unsur spekulasi, karena itu mirip dengan berjudi.
3. Tidak ada unsur bunga (riba).
4. Pemakluman, artinya: dalam hubungan bisnis Islam tidak dikenal sistem
penalti, jika rekanan bisnis memang benar-benar bangkrut.
22 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,
Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), ;
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, 51.
23 Khotibul Umam, Legislasi Fikih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia, 2-3; Anonim, Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2010
(Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2009), 16.
142
Hayes melanjutkan penjelasannya bahwa konsep syariah mengajarkan
kebersamaan dalam menyangga usaha, baik dalam membagi keuntungan ataupun
dalam kerugian. Anjuran itu antara lain tertuang dalam 2 (dua) bentuk praktik
sebagai berikut:
1. Transparansi pada saat membuat kontrak (symmetric information),
Penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), dan Amanah (lower preference for opportuniy cost).
2. Keadilan dalam praktiknya, yang dapat diaplikasikan melalui
beberapa instrumen. Muhammad Said mengemukakan tiga instrumen
utama praktik keadilan dalam bank syariah, yaitu zakat, bagi hasil,
dan kesamaan kesempatan dalam memperoleh modal pembiayaan.24
Fungsi utama bank secara umum adalah untuk memudahkan usaha ekspor
dan impor, serta memudahkan seseorang yang ingin melakukan investasi dengan
uang lebih yang dimilikinya. Adapun fungsi Bank Syariah secara garis besar ada
dua sesuai dengan sebutannya sebagai baitul mal wat Tamwil. Tamwil adalah
sebagai badan usaha yang berfungsi dalam 3 hal, yaitu: 1) Manajer Investasi,
yakni: Penghimpunan dana dengan prinsip wadiah, yad dhamanah, giro,
tabungan. Dan prinsip mudarabah, yaitu: tabungan, deposito/investasi, dan
obligasi, kemudian dengan prinsip Ijarah dalam obligasi. 2) Investor, yaitu fungsi
penyaluran dana dengan pola bagi hasil menggunakan akad mudarabah,
musyarakah, dan lain sebagainya. Kemudian dengan pola jual beli menggunakan
akad murabahah, salam, istisna, dan lainnya, lalu dengan pola sewa menggunakan
akad ijarah, dan ijarah wa iqtina. 3) Jasa Perbankan atau jasa keuangan
menggunakan akad wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, qard, rahn, dan lainnya,
juga sebagai jasa non keuangan menggunakan akad wadi’ah yad amanah, dan
terakhir menjadi jasa keagenan menggunakan akad mudarabah muqayyadah.
Sedangkan fungsi mal maksudnya adalah fungsi sosial, yakni menghimpun dana
untuk tujuan kebajikan seperti penghimpunan dan penyaluran zakat, infak dan
sedekah, serta penyaluran qardul hasan.25
Sementara itu, dengan cara yang lebih sistematis M. A. Mannan
menjelaskan fungsi-fungsi bank syariah ke dalam 6 fungsi pokok, yaitu:
1. Membantu pembangunan negara-negara Islam dengan memudahkan
investasi modal untuk tujuan produksi,
2. Meningkatkan investasi swasta asing dengan memakai jaminan peran
dan pinjaman investasi lain yang dilakukan oleh investor swasta,
3. Meningkatkan pertumbuhan perdagangan internasional jangka panjang
yang berimbang dan mempertahankan keseimbangan neraca
pembayaran dengan mendorong investasi internasional untuk
pembangunan sumber daya produksi para nasabah,
24 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 25 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 82; Jaih Mubarak, Hukum Ekonomi
Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokusmedia, 2013), 31.
143
4. Mengatur pinjaman yang dijamin, kaitannya dengan pinjaman
internasional atau melalui saluran lain, yaitu melalui proyek yang lebih
berguna dan mendesak yang dapat memenuhi kebutuhan sesuai skala
prioritas,
5. Memberi saran teknik tentang hal-hal yang sehubungan dengan
pelaksanaan pinjaman kepada para ahli setempat yang memenuhi syarat
dengan teknik khusus.
6. Memberikan jasa dalam penyelesaian sengketa ekonomi di kalangan
negara-negara Islam, seperti yang terjadi dalam kasus persengketaan air
antara India dan Pakistan yang dapat diselesaikan oleh Bank Dunia
pada tahun 1960.26
Setelah diketahui fungsinya, bank syariah juga memiliki ciri khusus yang
membedakannya dari bank konvensional. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Beban biaya yang disepakati bersama ketika akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, di mana besarnya tidak
ditentukan dan bisa ditawar dalam batas yang wajar. Beban biaya
tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan
kesepakatan dalam kontrak.
2. Menghindari penggunaan persentase dalam melakukan kewajiban
pembayaran karena bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas
perjanjian sudah berakhir.
3. Tidak menerapkan perhitungan berdasarkan pengembalian yang tetap,
tetapi pengembaliannya berubah-ubah sesuai keuntungan (fixed return).
Sebab, penetapan pengembalian atau perolehan untung sejak awal,
dianggap telah mendahului ketentuan Allah SWT, sebab tidak ada yang
mampu menentukan keberhasilan sebuah usaha atau proyek, melainkan
hanya Allah SWT., sehingga ketika jumlah nominal keuntungan telah
ditetapkan sejak perjanjian, sejatinya telah mendahului kehendak Allah.
Sebagai solusinya, bank Islam dapat menerapkan sistem pengembalian
yang didasarkan atas penyetaraan modal untuk jenis kontrak melalui
produk mudarabah dan musyarakah dalam bentuk bagi untung dan rugi
secara bersama (profit and loss sharing).
4. Pengarahan dana milik masyarakat dalam bentuk deposito atau
tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-Wadiah),
sedangkan bagi bank dana tersebut dianggap sebagai titipan yang
diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang
dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah, sehingga
pada penyimpanannya tidak dijanjikan adanya imbalan yang pasti.
5. Bank Islam memperoleh pengawasan ganda, yaitu dari bank sentral dan
pengawasan dari dewan pengawas syariah yang memiliki tugas khusus
mengawasi operasional bank syariah dari berbagai aspeknya
26 M. A. Mannan, 1992
144
6. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak
pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai
fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan
bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap
sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya.27
Dalam praktiknya, bank Islam tetap akan berhubungan dengan bank
konvensional, karena itu, pendapatan yang berasal dari transaksi itu menjadi tidak
halal, namun penghasilan ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial,
melalui santunan terhadap anak yatim dan orang-orang yang terkena musibah.
Perbedaan sekaligus ciri di atas menyiratkan bahwa sebenarnya bank
syariah tidak hanya berperan seperti yang dipraktikkan oleh bank konvensional,
tetapi juga mempunyai tujuan dan ciri-ciri khusus. Berbeda dari bank
konvensional, bank Islam mengover kegiatan pembiayaan dan mendapatkan
labanya dengan sistem bagi untung dan rugi. Sejumlah kegiatan terpenting yang
menjadi tumpuan hidup suatu bank syariah adalah:
1. Penitipan (al-amanah), yaitu sejumlah harta yang disimpan oleh
pemiliknya di bank dengan harapan agar bank menjaganya. Sebagai
gantinya nasabah akan diberikan sejumlah uang tertentu sebagai bunga
atau tidak sama sekali.
2. Tabungan (al-tawfir), yaitu apa yang disimpan oleh para nasabah kecil
di sebuah bank antara satu masa dengan masa lainnya dengan maksud
untuk mengakumulasi sebagian dana agar bisa digunakan pada salah
satu proyek individu, seperti mendirikan rumah atau menyekolahkan
anak. Mereka dapat menarik kembali dana tersebut kapan saja dan
mengambil keuntungan dengan jumlah tertentu, tergantung dari jumlah
dana yang diinvestasikan untuk dikelola bank.
Bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai lembaga bisnis yang
menjalankan fungsi intermediasi dalam bidang ekonomi dan keuangan, serta
mengakumulasi keuntungan, melainkan juga merupakan sebuah organisasi yang
memiliki peran sebagai pengingat bagi individu agar menyisihkan sebagian dari
pendapatan mereka secara sukarela untuk tujuan yang bersifat sosial, sesuai ajaran
agama, yang disebut zakat. Secara historis energi ekonomi dari spektrum zakat
telah terbukti andal untuk dijadikan sebagai instrumen keadilan sosial yang
mampu mengatasi kemiskinan di masyarakat. Zakat juga terbukti memiliki efek
domino dalam kehidupan masyarakat, terutama membebaskan kaum duafa dari
garis kemiskinan, meningkatkan pendapatan dan meningkatkan konsumsi
masyarakat kecil. Bahkan, menurut Yusuf Qardhawi, zakat tidak hanya
berdampak pada peningkatan produksi dan investasi, tetapi juga peningkatan
27 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), ; Abdul
Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama (Jakarta: Kencana,
2012), 210-211; Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia (PT Citra
Aditya Bakti, 2002), 210-211.
145
permintaan dalam bidang tenaga kerja, dan memberantas pengangguran, dan juga
memenuhi prinsip keadilan, produktivitas, dan nalar.28
Beng Soon Chong dan Ming-Hua Liu mengatakan bahwa Perbankan syariah
benar-benar berbeda dengan perbankan konvensional. Secara teori, fitur unik yang
membedakan perbankan syariah dari perbankan konvensional adalah paradigma
pembagian untung dan rugi. Namun, dalam praktiknya, ditemukan bahwa
perbankan syariah tidak jauh berbeda dengan perbankan konvensional dari
perspektif paradigma pembagian untung dan rugi. Di sisi aset perbankan syariah,
kami menemukan bahwa hanya sebagian pembiayaan yang dapat diabaikan yang
didasarkan pada prinsip profit and lost sharing (PLS). Konsisten dengan
pengalaman perbankan syariah di tempat lain, sebagian besar pembiayaan bank
syariah di Malaysia masih didasarkan pada mode non- pembagian untung dan rugi
yang diizinkan berdasarkan hukum Syariah, tetapi mengabaikan semangat
larangan riba. Dari sisi liabilitas, prinsip pembagian untung dan rugi lebih banyak
diadopsi dalam menyusun simpanan syariah. Studi kami, bagaimanapun,
memberikan bukti baru, yang menunjukkan bahwa, dalam praktiknya, simpanan
Islam tidak bebas bunga.29
Ada beberapa kemungkinan alasan untuk adopsi paradigma pembagian
untung dan rugi yang buruk dalam praktiknya. Pertama, tidak seperti perbankan
konvensional, pembiayaan pembagian untung dan rugi menemui masalah pokok–
agen yang parah. Masalah moral hazard yang terkait dengan asimetri informasi
bekas pos, misalnya, sangat signifikan dalam pembiayaan pembagian untung dan
rugi karena pengusaha (peminjam) memiliki insentif untuk kurang
mendeklarasikan atau secara palsu mengurangi laba yang dilaporkan.30 Begitu
pula dalam kasus kontrak mudarabah (bagi hasil), pengusaha memiliki insentif
untuk melakukan proyek berisiko tinggi karena pengusaha benar-benar diberi
pilihan panggilan di mana ia mendapatkan keuntungan di sisi atas tetapi tidak
menanggung kerugian sama sekali pada sisi negatifnya. Pembiayaan pembagian
untung dan rugi, dengan demikian, membutuhkan pemantauan yang lebih mahal.
Kedua, adopsi pembiayaan pembagian untung dan rugi dirugikan oleh kurangnya
hak pengelolaan dan pengendalian.31
Dalam pembiayaan mudarabah (bagi hasil), misalnya, bank menyediakan
semua modal risiko, tetapi pengelolaan dan pengendalian proyek sebagian besar
berada di tangan pengusaha. Kurangnya manajemen dan kontrol, khususnya,
menonjolkan masalah utama - agen yang terkait dengan pembiayaan pembagian
28 Yusuf al-Qard}awi, 2005 29 Beng Soon Chong and Ming-Hua Liu, “Islamic banking: Interest-free or interest-
based?” Pacific-Basin Finance Journal 17 (2009): 125–144, 143-144 30 Paul S. Mills, John R. Presley, Islamic finance: Theory and practice (London:
Macmillan, 1999), 31 Humayon A. Dar, John R. Presley, “Lack of profit loss sharing in Islamic
banking: management and control imbalances” International Journal of Islamic Financial Services 2 (2) 2000,
146
untung dan rugi. Akhirnya, diketahui bahwa adopsi paradigma pembagian untung
dan rugi terkendala oleh persaingan, serta oleh praktik terbaik dari perbankan
konvensional. Agama terlepas dari itu, individu dapat memilih untuk bank dengan
bank syariah dan atau bank konvensional. Dengan demikian, dalam hal praktik
terbaik, praktik perbankan syariah sering kali tidak dapat menyimpang secara
substansial dari perbankan konvensional karena persaingan. Secara khusus,
dikatakan oleh Beng Soon Chong dan Ming Hua-Liu bahwa pengembalian
rekening deposito syariah secara efektif dipatok pada pengembalian deposito
konvensional-perbankan karena alasan kompetitif.32
B. Prinsip-Prinsip Perbankan Syariah
Bank syariah adalah sistem perbankan yang prinsip operasi dan kegiatannya
dilandaskan pada ketentuan sistem, nilai dan etos syariat Islam.33 Para ulama
sepakat bahwa ada 5 prinsip dalam menjalankan aktivitas ekonomi Islam, yaitu:
tauhid (keimanan), khilafah (pengelolaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (saling
membantu) dan maslahat.34
Prinsip perbankan syariah yang paling menonjol adalah pada sistem profit lost sharing yang didasarkan pada kaidah fikih muamalah no return without risk
atau al-Ghunmu bi al-Ghurmi (keuntungan karena tanggung jawab risiko). Di sini,
menunjukkan bahwa keuntungan tidak boleh dituntut tanpa ada kemungkinan
menanggung risiko. Implikasi prinsip ini akan mendukung berbagai kegiatan
investasi dan ekonomi yang akan memberikan dampak pada ekonomi riil
berdasarkan keadilan sebagai investor maupun pengelola.35 Oleh karena itu,
seluruh sistem operasi bank Islam harus berbeda dari bank konvensional yang
beroperasi atas prinsip bunga yang secara ketat dilarang dalam Islam. Dengan
dilarangnya riba, maysir, gharar, dan batil dalam perbankan, maka sebagai
gantinya, bank dapat menerapkan akad-akad tradisional yang ditetapkan oleh
syariat pada praktik perbankan dimaksud.
32 Beng Soon Chong and Ming-Hua Liu, “Islamic banking: Interest-free or interest-
based?” Pacific-Basin Finance Journal 17 (2009): 125–144, 143-144 33 Fuad al-Omar dan Muhammad Abdel Haq, Islamic Banking Theory, Practice and
Challanges (Karachi: Oxford University Press, 1996), 1; Haron dan Azmi, 2009, ; Asma’
Rashidah Idris dkk, “Religious Value as the Main Influencing Factor to Customers
Patronizing Islamic Bank” World Applied Sciences Journal 12 (Special Issue on Bolstering
Economic Sustainability): 08-13, (2011), 8 34 M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI Press, 2011), 140.;
Nur Ahmad Fadhil Lubis, “Financial Activism Among Indonesian Muslims” dalam
Virginia Hooker dan Amin Saikal, et al. Islamic Perspectives on The Millenium (Singapore:
ISEAS Publications, 2004), 97. 35 Muhammad al-Zarqa’, Sharh} al-Qawa>ide al-Fiqhiyyah (Damaskus: Da>r al-
Qalam, 1989), 437; M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, 140.
147
Bunga uang oleh sebagian besar sarjana Muslim ditempatkan sejajar dengan
riba yang dikenal dalam fikih Islam.36 Riba memberikan peluang kepada segelintir
orang untuk menumpuk kekayaan di atas penderitaan orang lain (the missery of others). Pengertian riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan) dalam
pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan berkembang,
Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
menjadi modal secara batil dan bertentangan dengan prinsip muamalah dalam
Islam. Menurut syara’, riba adalah tambahan terhadap modal. Dalam syariat Islam
riba diartikan sebagai tambahan dengan kriteria tertentu. Pendapat lain
menyebutkan bahwa riba adalah kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu
dari dua orang yang bertransaksi. Menurut Ibnu Qayyim, riba dikategorikan
menjadi dua bagian, yaitu Riba Jali (jelas) dan Riba Khafiy (samar). Riba Jali
adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan mudarat yang besar. Riba
yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa
jahiliyah. Riba Khafi diharamkan untuk menutup terjadinya riba jali (wa al-Khafi> h}ara>mun li annahu dhari>atun ila> al-Jali>). Riba inilah yang menjadi problem yang
sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat dalam menentukan apakah
bunga bank itu sama dengan riba yang dilarang dalam agama Islam, dengan kata
lain, apakah bunga bank itu haram, halal atau mutasha>biha>t.37
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai bunga
bank bahwa bunga bank diklasifikasikan haram karena sama dengan riba, dan
diklasifikasikan halal karena tidak sama dengan riba dan ada yang
membolehkannya karena keadaan darurat, atau karena ada kepentingan yang
mendesak dan harus dilakukan karena belum ada jasa lain yang dapat
memfasilitasinya, tetapi dengan tetap mendasarkan adanya maslahat. Jika
dikategorikan dalam Riba Jahiliy dan Riba Khafiy, maka bunga bank itu termasuk
kategori Riba Khafiy yang diperbolehkan karena adanya maslahat.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, maka untuk menjaga
kehidupan dari kemungkinan memakan atau menggunakan uang haram, maka jika
sudah tersedia bank Islam seharusnya umat Muslim menggunakan jasa bank Islam,
karena operasional bank Islam bebas bunga. Operasional bank Islam menggunakan
sistem bagi hasil dan di dalam kelembagaan bank Islam terdapat Dewan Pengawas
Islam yang terus mengontrol operasional bank Islam sesuai dengan prinsip Islam.
Adapun akad-akad tradisional Islam atau yang lazimnya dikenal dengan
akad berdasarkan prinsip syariah menurut Syafi’i Antonio terdiri dari prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1. Titipan atau simpanan (depository),
36 Saeed, 1996 37 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,
Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
244
148
2. Bagi hasil (profit sharing). Sistem bagi hasil merupakan instrumen
pertama yang merupakan kebalikan dari instrumen bunga yang banyak
disoroti sebagai bentuk ketidakadilan atau penindasan dalam praktik
ekonomi di perbankan konvensional.38
3. Sewa-menyewa (operating lease and financial lease), dan
4. Jasa (fee-based service) yaitu al-wakalah, al-kafalah, al-hiwalah, ar-rahn, dan al-qardh.39
Semua akad yang telah disebutkan di atas, sesuai karakteristiknya dapat
diterapkan dalam operasional perbankan syariah dalam menghimpun (funding),
dan menyalurkan dana (financing), serta dalam bidang jasa (service).
Dalam transaksinya, perbankan syariah tidak akan terlepas dari proses
transaksi yang dalam istilah fikih muamalahnya disebut dengan aqad, kata
jamaknya al-uqud. Ada beberapa asas al-uqud yang harus dilindungi dan dijamin
dalam wadah Undang-undang Perbankan Syariah. Asas-asas tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Asas ridha>’iyyah (rela sama rela), Yang dimaksud asas ridha>’iyyah ialah
bahwa transaksi ekonomi Islam dalam bentuk apa pun yang dilakukan
perbankan dengan pihak lain terutama nasabah harus didasarkan atas
prinsip rela sama rela yang hakiki. Asas ini didasarkan pada sejumlah
ayat Al-Quran dan Hadis, terutama surah an-Nisa’ ayat 29. Atas dasar
asas ‘an tarad}in, maka semua bentuk transaksi yang mengandung unsur
paksaan (ikrah) harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum. Itulah
sebabnya mengapa Islam mengharamkan bentuk transaksi ekonomi apa
pun yang mengandung unsur kebathilan.
2. Asas manfaat, Maksudnya adalah bahwa akad yang dilakukan oleh bank
dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (objek) yang bermanfaat bagi
kedua belah pihak. Itulah sebabnya Islam mengharamkan akad yang
berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudarat / mafsadat (merusak).
3. Asas keadilan, Di mana para pihak yang bertransaksi (bank dan
nasabah) harus berlaku dan diperlakukan adil dalam konteks pengertian
yang luas dan konkret. Hal ini didasarkan pada sejumlah ayat Al-Quran
yang menjunjung tinggi keadilan dan anti kezaliman, termasuk
pengertian kezaliman dalam bentuk riba seperti yang tersurat dalam
QS. al-Hadid ayat 25.
4. Asas saling menguntungkan, Setiap akad yang dilakukan oleh para
pihak harus bersifat memberi keuntungan bagi mereka. Itulah sebabnya
Islam pun mengharamkan transaksi yang mengandung unsur gharar
38 Siddiqi, Riba, Bank Interest and The Rationale of Its Prohibitation (Islamic
Research and Training Institute, 2004); Chapra, (1997), dan Saeed, (1996) 39 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema
Insani Press, 2007), 83.
149
(penipuan) karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan
pihak yang lain.40
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Perbankan, yang dimaksud
dengan bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dalam UU Perbankan tidak dijelaskan pengertian bank syariah. Operasional bank
dengan prinsip syariah dalam UU Perbankan tercantum dalam pengertian bank
umum dan bank perkreditan rakyat. Kemudian, dalam Pasal 1 Angka 3 UU
Perbankan, disebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Demikian pula
dengan bank perkreditan rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 4
Undang-undang Perbankan dapat melaksanakan kegiatan usahanya baik secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-undang Perbankan dijelaskan
mengenai pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bahwa pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan atau yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Pengertian prinsip syariah dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 Angka 13
Undang-undang Perbankan yang menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan prinsip syariah, antara lain berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip
sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa al-Iqtina).
Sedangkan menurut M. Syafi’i Antonio, prinsip-prinsip dasar perbankan
syariah ada 5, yang secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
1. Prinsip Titipan atau Simpanan (Depository/Al-Wadi’ah),
Prinsip Titipan atau Simpanan (Depository/AlWadi'ah) dalam tradisi
fikih Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-
wadiah yang diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Pihak penerima titipan
dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Bank
40 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di Indonesia, 104
150
sebagai penerima titipan dapat memanfaatkan al-Wadiah untuk tujuan
current account (giro) dan saving account (tabungan berjangka).
2. Bagi Hasil (Profit-Sharing),
Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing) dalam perbankan syariah, secara
umum dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu:
a) Al-Musyarakah, yaitu: akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, dengan masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana, dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risikonya akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
b) Al-Mudharabah, yaitu: akad kerja sama usaha antara dua pihak,
yakni pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak
kedua menjadi pengelola usaha. Keuntungan secara mudarabah
dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila mengalami kerugian, maka ditanggung oleh
pihak pemberi modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan
atau kelalaian pengelola, maka pengelola tersebut harus
bertanggung jawab atas kerugian yang dialami.
c) Al-Muzara’ah, yaitu: kerja sama pengolahan lahan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap. Pemilik lahan memberikan lahan
pertanian untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian
tertentu dalam bentuk persentase dari hasil panen. Al-Muzara’ah
sering kali disamakan dengan mukha>barah. Namun pada muza>ra’ah
benihnya berasal dari pemilik lahan, sedangkan pada mukha>barah
benihnya berasal dari penggarap lahan.
d) Al-Musa>qah, yaitu: bentuk yang lebih sederhana dari muza>ra’ah, di
mana seorang penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman
dan pemeliharaan, sebagai imbalannya penggarap tersebut memiliki
hak atas nisbah (bagian) tertentu dari hasil panen.
3. Jual Beli (Sale and Purchase),
Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase) dalam perbankan syariah ini terbagi
dalam 3 macam, yaitu:
a) Bai’ Al-Murabahah, yaitu: jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati bersama. Bai’ Al-Murabahah
ini dapat dilakukan dalam pembelian secara pemesanan dan biasa
disebut sebagai murabahah, kepada pemesan pembeli (KPP).
b) Bai’ Al-Salam, yaitu: kontrak pembelian barang yang diserahkan di
kemudian hari, dan pembayarannya dilakukan di muka.
c) Bai’ Al-Istis}na’, yaitu: kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Di dalam kontrak ini, pembuat barang menerima
pesanan dari pembeli, kemudian pembuat barang tersebut
mengadakannya melalui orang lain untuk membuat atau membeli
151
barang sesuai spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya
kepada pembeli terakhir. Dalam kontrak ini, kedua belah pihak
sepakat atas harga serta sistem pembayarannya, apakah pembayaran
dilakukan di muka, melalui cicilan atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang.
4. Sewa (Operasional Lease and Financial Lease)
Prinsip sewa dalam perbankan syariah terkenal dengan sebutan Ijarah,
dan terbagi dalam 2 macam, yaitu:
a) Al-Ijarah, yaitu: akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa, dengan tanpa diikuti pemindahan
kepemilikan atas barang tersebut.
b) Al-Ijarah Al-Muntahia Bi-al-Tamlik (Financial Lease with Purchase Option) Adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa
atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan
barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula
yang membedakannya dengan ijarah biasa (Fee-Based Service).
5. Jasa (Fee-Based Services)
Prinsip jasa dalam perbankan syariah terbagi dalam 5 bentuk akad
sebagai berikut:
a) Al-Wakalah (Deputyship), yaitu: pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang kepada orang lain dalam perkara yang bisa diwakilkan.
b) Al-Kafalah (Quaranty), yaitu: jaminan yang diberikan oleh seorang
penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua atau pihak yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah
juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai
penjamin.
c) Al-Hawalah, yaitu: pengalihan hutang dari orang yang berhutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam aplikasi
perbankan dapat diterapkan pada factoring atau anjak piutang, post-dated check, dan bill discounting.
d) Ar-Rahn, yaitu: menahan salah satu harta milik orang yang
meminjam dana, sebagai jaminan atas modal yang ia terima. Barang
yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian,
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
e) Al-Qard} Adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan
tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, Qardh
dapat dikategorikan dalam akad tathawwu’i atau akad saling
membantu dan bukan transaksi komersial.
152
Dari akad-akad yang dijalankan perbankan syariah, terlihat bahwa
perbankan syariah merupakan lembaga yang sangat unik, karena tidak hanya
menjalankan fungsi perbankan berupa intermediasi antara pemilik dana dan
pengguna dana. Perbankan syariah dapat berkedudukan sebagai penjual dengan
akad-akad jual beli, sebagai pemberi sewa dengan akad-akad ijarah, penerima
gadai, dan sebagai institusi sosial (social charity) dalam fungsinya sebagai baitul
mal sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang perbankan syariah.41
Dalam praktik operasional bank syariah di Indonesia, Dewan Pengawas
Syariah (DPS) mempunyai fungsi penting sebagai lembaga fatwa dalam
menentukan produk dan jasa bank dengan prinsip syariah. Kewenangan tersebut
didasarkan pada Pasal 1 ayat (9) dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, di mana menyebutkan bahwa Dewan Syariah
Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang
bertugas dan memiliki wewenang untuk menetapkan fatwa tentang produk dan
jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
Pengertian Bank Islam (Islamic Bank) secara umum adalah bank yang
pengoperasiannya mendasarkan pada prinsip syariah Islam. Istilah-istilah lain
yang digunakan untuk menyebut entitas Bank Islam selain Bank Islam itu sendiri,
yaitu Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (La riba Bank),
dan Bank Syariah (Shariah Bank). Indonesia secara teknis yuridis menyebut Bank
Islam dengan istilah “Bank Syariah”, yang secara lengkap disebut dengan “Bank
Berdasarkan Prinsip Syariah”.42
Prinsip utama bank syariah terdiri dari larangan atas riba pada semua jenis
transaksi, pelaksanaan aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan (equality), keadilan
(fairness) dan keterbukaan (transparency), pembentukan kemitraan yang saling
menguntungkan, serta keharusan memperoleh keuntungan usaha secara halal.
Bank syariah juga dituntut harus mengeluarkan dan mengadministrasikan zakat
guna membantu mengembangkan lingkungan masyarakatnya.43 Pengertian prinsip
Islam terdapat dalam Pasal 1 butir (13) UUPI yang menyebutkan, prinsip Islam
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Islam, menurut Veithzal Rivai dkk. adalah:
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, penyertaan modal, jual-beli barang dengan
memperoleh keuntungan, pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
41 Jaih Mubarak, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung:
Fokusmedia, 2013), 32. 42 Peri Umer Farouk, Sejarah Hukum Perbankan Syariah Indonesia, dikutip dari
latp//www shanaicarn.com/ tanggal akses 19 November 2008. 43 Institut Bankur Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank
Syariah (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001), 23.
153
murni tanpa pilihan, atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari bank oleh pihak lain.44
Bank konvensional yang dengan sistem bunga memandang dan
memberlakukan bahwa kekayaan yang dimiliki peminjam menjadi jaminan atas
pinjamannya. Apabila terjadi kerugian pada proyek yang didanai maka kekayaan
peminjam modal akan disita menjadi hak milik pemodal (bank). Sementara dalam
bank syariah kelayakan usaha atau proyek yang akan didanai itu menjadi
jaminannya, sehingga keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Berbeda
dengan bank syariah yang dalam menjalankan aktivitasnya, menganut kepada
beberapa prinsip, seperti prinsip keadilan, kesederajatan, dan ketenteraman.
Dengan sistem operasional yang didasarkan atas sistem bagi untung dan rugi,
bank syariah memiliki kekuatan tersendiri yang berbeda dari sistem bank
konvensional. Perbedaan ini tampak jelas bahwa dalam sistem bagi hasil
terkandung dimensi keadilan dan pemerataan.45
Prinsip kesamaan kesempatan karena Permasalahan utama yang sering
menjadi sorotan dalam praktik ekonomi dan perbankan selama ini adalah adanya
ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi yang disebabkan oleh sistem dan struktur
ekonomi yang dikonstruksi oleh orang yang memiliki kekuatan untuk
melanggengkan kekuasaannya. Ketidakadilan struktur dan sistem diyakini sebagai
konsekuensi logis dari ekspansi kapitalisme global yang akarnya bersumber dari
negara-negara kapitalis yang sering membuat keputusan kompetitif yang
membawa konsekuensi bukan hanya terasingnya kelompok yang tidak mampu,
tetapi juga awal dari sebuah proses hegemoni struktur sosial ekonomi.
Pada kenyataannya, permasalahan di atas bisa dicermati dari praktik bank
konvensional yang menerapkan sistem bunga dan memberikan peluang dan
fasilitas bagi orang-orang tertentu. Sikap selektif dalam pemberian fasilitas ini
merupakan hal yang lumrah mengingat lembaga ini hanya merupakan mediasi
antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana.
Namun, ada sisi lain yang juga patut dipertimbangkan, seperti keterampilan
wirausaha yang dimiliki oleh calon nasabah sebagai usahawan, dan usahawan yang
memiliki bakat kewiraswastaan yang tinggi, tetapi memiliki kendala modal dan
keahlian sehingga menghambat perkembangan usahanya.
Untuk mengakomodasi kepentingan para pihak yang memiliki bakat
keterampilan wirausaha dan kendala modal, bank syariah memiliki stok tertentu,
terutama modal yang dihimpun dari dana zakat, infak, dan sedekah, kemudian
dikemas dalam produk pinjaman kebaikan (al-qard al-hasan), yang bisa disalurkan
kepada mereka. Dengan instrumen ini bank syariah telah memberikan peluang
kepada masyarakat untuk menggali kreativitas dan kualitas kerja yang tinggi
dengan memanfaatkan modal yang ada untuk membangun roda ekonominya.
44 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,
Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik, 239. 45 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019),
154
Dengan aplikasi instrumen ini, kelompok ekonomi lemah yang selama ini tidak
tersentuh oleh lembaga keuangan formal akan merasa memiliki kesempatan yang
sama dalam memperoleh modal pembiayaan dari bank syariah.
Dengan pemberian kesempatan yang sama kepada semua nasabah, bank
syariah menempatkan eksistensi dirinya sebagai tonggak utama penyangga nilai-
nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, transparansi, dan pertanggungjawaban: serta
mengedepankan prinsip-prinsip etika syariat Islam dalam aspek transaksi ekonomi
(mua>malah iqtis}a>diyyah).46
Dalam prinsip kesederajatan, Bank syariah akan menempatkan nasabah
penyimpan dana, nasabah pengguna dana, dan bank pada kedudukan yang sama
dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan
yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, dan
bank. Dengan menerapkan sistem bagi hasil, bank syariah mensyaratkan adanya
kemitraan bagi untung dan risiko (sharing the profit and the risk) secara bersama-
sama.
Dalam konsep syariah, diajarkan untuk menyangga suatu usaha secara
bersama-sama, baik dalam membagi keuntungan ataupun dalam menanggung
kerugian. Bentuk anjuran itu dapat dipraktikkan dalam transparansi dalam
membuat kontrak (symmetric information), penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), dan amanah (lower preference for opportuniy cost). Jika ketiga syarat
tersebut dipenuhi maka model transaksi yang terjadi bisa menghasilkan kualitas
yang terbaik (the best solution).
Sedangkan prinsip ketenteraman didasarkan pada ajaran Al-Quran bahwa
semua aktivitas yang dapat dilakukan oleh manusia patut dikerjakan untuk
mendapatkan falah (ketenteraman, kesejahteraan, atau kebahagiaan) untuk
mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Tujuan dan aktivitas ekonomi dalam
perspektif Islam harus diselaraskan dengan tujuan akhir, yaitu mencapai falah.
Prinsip ini Menghubungkan secara langsung prinsip ekonomi dengan nilai moral.47
Sebagai lembaga ekonomi, bank syariah didirikan untuk menciptakan
keseimbangan sosial ekonomi (material dan spiritual) masyarakat agar / mencapai
falah (Karim, 1990 dan Shahul, 2000). Oleh karena itu, semua produk bank
syariah harus mencerminkan pandangan dunia Islam atau sesuai dengan prinsip
dan kaidah muamalah menurut syariat Islam. Menurut Dixon yang dikutip oleh
Muhammad menyatakan bahwa beberapa karakteristik tersebut merupakan
pembeda utama antara bank Islam dengan bank konvensional. Hal ini Setidaknya
dapat disaring sebagai inti dari pernyataannya berikut ini:
perbedaan mendasar antara bank Islam dan bank konvensional adalah, beroperasi pada sistem berbasis ekuitas di mana tingkat pengembalian yang tidak ditentukan tidak dijamin dan didasarkan pada pembiayaan
46 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 47 Siadigi, 1991
155
bunga. Perbedaan mendasar ini berasal dari larangan syariah riba (bunga atau bunga) dan garar (ketidakpastian, risiko atau spekulasi),48
Dengan mengetahui dan memahami karakteristik tersebut, kehadiran P
bank syariah diharapkan bisa melakukan proses transformasi kehidupan Sosial
ekonomi masyarakat (nasabah) ke arah kehidupan yang harmonis, / Seimbang
antara kebutuhan material dan spiritual, sehingga melahirkan | ketenteraman lahir
dan batin.49
Dalam ekonomi Islam, uang dan sistem perbankan memiliki peran penting
sebagaimana dalam perekonomian lainnya, tetapi harus diorganisir dengan baik
dan cara tertentu sehingga selaras dengan semangat Islam dan tujuan syariah
(Maqa>s}id al-Shari>’ah). Menurut Ibn Al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh
Chapra, dikatakan bahwa tujuan Syariah adalah:
Kebijaksanaan dan kesejahteraan sosial manusia di dunia dan akhirat Kesejahteraan terletak dalam keadilan, kasih sayang, kelayakan, dan kebijaksanaan. Apa pun yang bergeser dari keadilan ke penindasan dari kasih sayang ke kebencian, dari kesejahteraan ke kesengsaraan, dan dari kebijaksanaan ke kebodohan tidak ada hubungannya dengan syariah.50
Untuk mengelola usahanya sesuai dengan syariat Islam, bank harus
mengubah sistemnya dengan prinsip bagi hasil yang sesuai dengan tujuan syariah,
merupakan karakteristik utama untuk membedakan bank syariah dari bank
konvensional. Sistem bagi hasil pada sistem ekonomi dan bank syariah diyakini
memenuhi cita rasa dan standar keadilan dalam Islam. Hal ini tercermin dari
ajaran Islam yang menghendaki kerja sama.51
C. Implementasi Prinsip Syariah Pada Bank Syariah Di Aceh
Perkembangan perbankan nasional kontemporer dewasa ini menjadi sorotan
serius dunia internasional. Betapa tidak pasca krisis ekonomi hingga saat ini
perbankan nasional acapkali kalah bersaing dengan perbankan asing yang masuk
ke Indonesia. Gejalanya, konsumen perbankan nasional rata-rata dari kelas
menengah ke bawah. Bahkan kondisi ini pun tidak mampu mengangkat
kesejahteraan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik untuk sekedar keluar dari
jeratan kemiskinan. Terlebih dengan perbankan syariah di Indonesia, yang awal
kehadirannya diharapkan menjadi solusi utama persoalan kemiskinan yang dialami
oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya muslim, justru
juga tidak dapat berbuat banyak dan mendapat istilah silent without empowerment (diam tanpa dapat melakukan penguatan). Memang mengacu pada
data Bank Indonesia, transaksi Unit Bisnis perbankan syariah di Indonesia tahun
48 Dixon (1992) 49 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 50 Cahpra, 1997 51 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019),
156
2008 mengalami peningkatan mencapai Rp. 24 triliun dari equivalen menjadi 1,8
persen. Namun ternyata hal tersebut bersifat semu belaka, karena pada dasarnya
perbankan syariah di Indonesia baru mampu memberikan kontribusi sebesar 2:98,
bila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Kesenjangan besar antara
perbankan syariah dan perbankan konvensional di atas disebabkan oleh 3 masalah
utama yaitu; aspek legalitas, aspek sumber daya manusia, dan aspek strategi
pemasaran yang kurang inovatif. Beberapa strategi untuk menyelesaikan hal
tersebut adalah peningkatan kualitas layanan dan profesionalisme, inovasi produk
yang lebih baik, dan peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas.52
Keberadaan bank Islam di Indonesia dengan sistem rangkap (dual banking system) tidak berubah dari kelesuan tingkat bunga. Pemindahan risiko komersial
dibandingkan dengan risiko reinvestasi dan pembiayaan kembali (refinancing)
dalam situasi perubahan tingkat bunga pasar akan mengancam operasi bank
Islam.53 Pada sisi yang sama konsistensi bank Islam dalam mempraktikkan
prinsip-prinsip syariah masih terlihat lemah. Hal ini disebabkan karena kurangnya
sumber daya manusia yang berkualitas dalam bidang perbankan, sehingga untuk
memenuhi kebutuhannya lembaga keuangan Islam merekrut para pemilik dan
profesional yang telah lama bergerak dalam lembaga keuangan konvensional.
Ketiadaan standardisasi dan penyelarasan antara produk keuangan membuat
lembaga keuangan Islam mengalami kesulitan untuk menerapkan standar yang
sama sesuai syariat, baik di tingkat nasional maupun Internasional.54 Struktur
hukum dan instrumen lembaga keuangan Islam dalam praktiknya perlu
diselaraskan dengan syariat Islam agar berbeda dengan lembaga keuangan
konvensional.55 Instrumen keuangan Islam seperti mudarabah, qard} al-H}asan, dan
sejenisnya yang dipraktikkan saat ini, menurut beberapa ahli, masih belum
memenuhi prinsip-prinsip ekonomi Islam secara penuh.56
Ketaatan pada prinsip syariah ini menjadi hal yang sangat penting untuk
diperhatikan sebagaimana Al Kindiy, pemimpin bank Ritel Emirates Islamic Bank (EIB), menyatakan bahwa sekarang ini produk bank syariah, harus mengandung
52 Subandi, “Problem Dan Solusi Pengembangan Perbankan Syariah Kontemporer
di Indonesia” Al-Tahrir, Vol. 12, No. 1 Mei (2012): 1-19 53 Erwin G. Hutapea dan Rahmatina A. Kasri, Bank Margin Determination: a
Comparison betwee? Islamic and Conventional Banks in Indonesia. International Journal
of Islamic and Middk tastat' Finance and Management, Vol. 3 No. 1, 2010, him. 65-82;
Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 78 54 Heather McKeen-Edwards Ouestions of Interest in Islamic Finance: Exploring
Govemance in? Growing Sector A. Paper Prepared for the International Studies
Conference Chicago, 28 Februari-/ Maret 2007; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 78 55 Shafiel A. Karim, Riba-Free Models Of Money, Banking, And Insurance
Components of The Islam Moral Economy. Thesis. California State University, Fullerton,
2010; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 78 56 Vetorig tynn Zyp, Islamic Finance In The United States: Product Development
And Regulatory, A Thesis, Washinaton. DC, 2009; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 78.
157
tiga hal; pertama, kepatuhan pada prinsip syariah. Kedua, kualitas layanan yang
baik. Ketiga, inovasi produk yang terus menerus agar dapat menarik minat
nasabah.57 Memang dalam kenyataannya, sebagian besar nasabah yang
bertransaksi dengan bank syariah, tidak semuanya didasarkan atas keyakinan
agama, yang memerintahkan agar ber muamalah sesuai syariat, akan tetapi lebih
banyak didorong pada prinsip melihat pada yang lebih menguntungkan, atau
dirasa lebih ringan pada saat melakukan pinjaman, sebagai konteks pertimbangan
bisnis yang tidak dapat dielakkan.58
Dalam penjabaran misi Pemerintah Aceh nomor 5, dinyatakan akan
meningkatkan kualitas manajemen Lembaga Keuangan Syariah dan melakukan
inovasi dalam implementasi akad atau produk keuangan syariah. Hal itu diyakini
bahwa lembaga keuangan syariah mempunyai peran penting dalam mendukung
perekonomian yang berbasis atas syariat Islam. Namun selama ini ditemukan
kendala yang dirasakan oleh masyarakat, dalam bentuk kekecewaan yang sifatnya
non-teknis, seperti pandangan mengenai belum sesuainya implementasi akad
perbankan syariah dengan prinsip-prinsip syariah. Selain itu juga ada kekecewaan
yang sifatnya teknis, seperti lambatnya pelayanan, dan pegawai yang kurang
kompeten dalam menjelaskan akad-akad syariah, belum baiknya edukasi untuk
membangun pemahaman nasabah, masih kurangnya alternatif akad syariah untuk
mendukung sektor pertanian, dan sebagainya. Kendala-kendala yang muncul ini
telah menciptakan stigma yang menghambat perkembangan perbankan syariah,
terutama perkembangan yang sifatnya dari bawah ke atas (bottom up). Dengan
temuan-temuan ini, maka diperlukan evaluasi secara berkala terhadap kualitas
pengelolaan, layanan, dan jasa keuangan syariah, termasuk memberikan ruang
untuk berinovasi dengan tetap memperhatikan aspek syariah dan aspek maqashid
syariah.59
Usman Kartadijaya menyatakan bahwa perbankan syariah saat ini hanya
menonjolkan aspek bajunya saja, namun prinsip perbankan yang dijalankannya
masih banyak yang jauh dari ketentuan syariah itu sendiri,60 sehingga dalam
kenyataannya, perekonomian umat Islam di Indonesia, sejak berdirinya ban-bank
syariah, seakan-akan berjalan tanpa dorongan perbankan syariah secara
meyakinkan, dan pada akhirnya angka kemiskinan umat Islam di Indonesia
disinyalir justru semakin meningkat. Sesungguhnya, banyak sekali faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya kenyataan tersebut, akan tetapi yang paling utama
57 Muhammad Syafi’i Antonio, Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (Jakarta:
BAMUI dan BMI, 2006), 135. 58 Syafaruddin Alwi, Memahami Sistem Perbankan syariah: Berkaca pada Pasar
Umar bin Khattab, 15. 59 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah
2019-2020, 48 60 Usman Kartadijaya, Menyoroti Fenomena Perbankan Syariah di Indonesia
(Bandung: PT.Insan Madani, 2011), 12.
158
menurut Muhammad Antonio Syafi’i dan Abdul Jamal Abbas adalah disebabkan
oleh tiga faktor sebagai berikut:61
1. Aspek Komitmen dari pembuat dan pelaksana kebijakan perbankan
syariah terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dapat dibilang
masih rendah. Hal ini dapat diindikasi dari hampir sebagian besar
perbankan syariah di Indonesia ternyata hanya menggunakan prinsip
syariah, seperti halnya akad mudarabah sebagai ‘kedok’ atau ‘topeng’
belaka dalam pelaksanaan perbankannya, sehingga yang terjadi justru
disinyalir perbankan syariah meraup keuntungan atau bunga yang jauh
lebih besar bila dibandingkan dengan perbankan konvensional,
akibatnya bukannya dapat memberikan nilai kesejahteraan yang lebih
baik bagi masyarakat, tetapi justru sebaliknya malah ikut menambah
kesusahan masyarakat kecil dan menengah.62 Kondisi ini yang juga
menyebabkan upaya pengembangan perbankan syariah di tingkat makro
menjadi cukup lamban, sehingga masyarakat masih lebih condong
untuk menggunakan jasa dan produk perbankan konvensional.
Kemudian, seiring dengan semakin berkibarnya eksistensi perbankan
syariah yang didukung oleh undang-undang, ternyata hingga kini
perilaku perbankan syariah di Indonesia tak ubahnya dengan apa yang
selama ini ditunjukkan oleh perbankan nasional, yakni perilaku bunga
bank ‘berbaju mudarabah’, atau hanya sekedar simbolisme agama
fatamorganis yang membuat eksistensinya saat ini, menjadi bahan
kritikan umat Islam sendiri. Hal ini disinyalir sebagai dampak dari
rendahnya komitmen pelaku perbankan syariah terhadap pelaksanaan
prinsip syariah. Betapa tidak, menurut hasil penelitian, ditemukan
bahwa hampir sebagian besar perbankan syariah di Indonesia
mengambil keuntungan ‘riba’ yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan perbankan konvensional. Hal ini berimplikasi pada 2 (dua)
fenomena faktual, yaitu 1) Animo masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat muslim yang menggunakan jasa produk perbankan syariah
tidak mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan cenderung
menurun. 2) Citra perbankan syariah yang sedemikian rupa justru turut
menempatkan Islam sebagai agama yang tidak produktif terhadap
masalah perekonomian umat, sekaligus menjadi gugatan atas resolusi
ekonomi Islam terhadap masalah materialisme global.
61 Muhammad Antonio Syafi’i, Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (Jakarta:
BAMUI dan BMI, 2006), 37. Lihat juga dalam Abdul Jamal Abbas, Perbankan Syariah
Kontemporer: Prinsip, Nilai dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bintang Pustaka,
2011), 12; Naelul Azmi, Rahardi Mahardika, “Problematika Sistem Ekonomi Islam di
Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4, No. 1, Februari
(2020): 8-24, 15. 62 Hisyamuddin, Dilema Perbankan Syariah Nasional: Antara Kebutuhan,
Kenyataan dan Keharusan (Bandung: Mitra Abadi Press, 2011), 55.
159
2. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai salah satu masalah dalam
pengembangan perbankan syariah di Indonesia, khususnya menyangkut
keterbatasan SDM yang kompeten dan profesional di bidang perbankan
syariah.63 Memang diketahui bahwa masing-masing institusi bank
syariah telah berusaha meningkatkan sumber daya manusianya melalui
pelatihan-pelatihan, namun pada kenyataannya masih banyak pengamat
dan praktisi perbankan syariah yang merasakan masih sangat kurangnya
kualitas dan kuantitas SDM yang profesional.
3. Aspek Strategi Pemasaran yang Kurang Adaptif dan Responsif dalam
pengembangan perbankan syariah di Indonesia, khususnya yang
menyangkut bagaimana produk-produk perbankan syariah dapat
dipahami dengan baik sekaligus diminati oleh masyarakat pada
umumnya, khususnya umat Islam di negeri ini.64
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar bank syariah
di Indonesia belum menerapkan praktik Good Coporate Governance
(penyelenggaraan perusahaan yang baik), yang dalam implementasinya berbeda
dengan perbankan konvensional. Fokus utama praktik perusahaan yang baik dalam
bank syariah terletak pada sharia compliance (kepatuhan syariah). Sedangkan
prinsip-prinsip transparansi, kejujuran, kehati-hatian, kedisiplinan merupakan
prinsip universal yang juga terdapat dalam aturan perusahaan bank konvensional.
Berdasarkan pada hasil penelitian Idat diketahui bahwa telah terjadi penurunan
kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah.65 Kemudian,
berdasarkan survei dan penelitian mengenai preferensi masyarakat yang dilakukan
oleh Bank Indonesia bekerja sama dengan lembaga penelitian Perguruan Tinggi,
ditemukan adanya keraguan masyarakat terhadap kepatuhan syariah oleh bank
syariah. Keluhan yang sering muncul adalah aspek pemenuhan kepatuhan bank
terhadap prinsip-prinsip syariah (sharia compliance),66 padahal salah satu pilar
paling penting dalam pengembangan bank syariah adalah sharia compliance, dan
Pilar ini adalah pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional,
karena itu, maka, untuk menjamin implementasi prinsip-prinsip syariah pada
lembaga perbankan, dibentuklah pengawas syariah yang diperankan oleh Dewan
63 Naelul Azmi, Rahardi Mahardika, “Problematika Sistem Ekonomi Islam di
Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4, No. 1, Februari
(2020) 8-24. 64 Subandi, “Problem Dan Solusi Pengembangan Perbankan Syariah Kontemporer
di Indonesia” Al-Tahrir, Vol. 12, No. 1 Mei (2012): 1-19 65 Dhani Gunawan Idat, Trend Bank Syariah: Penurunan Terhadap Kepatuhan
Prinsip Syariah (Media Akuntansi, 2002), 30-31. 66 Bank Indonesia, Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank
Syariah di Jawa Barat (Jakarta, Bank Indonesia, 2001).
160
Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank dan dewan pengawas syariah secara
nasional.67
Bank Indonesia menjelaskan bahwa dalam usaha untuk mendorong praktik
perbankan syariah yang kuat dan sehat secara finansial serta selalu mengacu
kepada prinsip-prinsip syariah, maka perbankan syariah diminta agar dapat
melaksanakan prinsip-prinsip good coorporate governance (GCG), dalam bentuk
transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, kebebasan dan kewajaran serta
kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan syariah.68 Penerapan good coorporate governance terbukti di dalam penelitian pada beberapa lembaga keuangan syariah
di dunia muslim, telah dapat meningkatkan reputasi dan kepercayaan masyarakat
kepada bank syariah. Capra menjelaskan bahwa kegagalan dalam penerapan
prinsip syariah akan membuat nasabah berpindah ke bank lain sebesar 85%,69 oleh
sebab itu, maka penerapan good coorporate governance dan penerapan prinsip-
prinsip syariah menjadi keharusan bagi perbankan syariah di Indonesia dalam
upaya memperbaiki reputasi dan kepercayaan masyarakat kepada perbankan
syariah, serta melindungi kepentingan stakeholders dalam rangka mencitrakan
sistem perbankan syariah yang sehat dan kredibel.
Pokok-pokok hasil penelitian Bank Indonesia menyimpulkan bahwa
nasabah yang menggunakan jasa bank syariah, sebagian besar memiliki keinginan
untuk berhenti menjadi nasabah, antara lain disebabkan oleh adanya keraguan
terhadap konsistensi penerapan prinsip syariah pada bank. Kepatuhan dan
kesesuaian bank terhadap prinsip syariah sering kali dipertanyakan oleh para
nasabah, yang secara implisit, hal tersebut menunjukkan bahwa praktik perbankan
syariah selama ini, kurang memperhatikan prinsip-prinsip syariah.70
Dalam mekanisme kepatuhan syariah, terdapat dua konsep yang mendasari
pelaksanaan pengawasan syariah dalam konteks pemenuhan akuntabilitas secara
horizontal dan transendental. Pertama, konsep shariah review yang harus
dilakukan oleh DPS dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan syariah.
Kedua, konsep internal shariah review, dalam hal ini adalah bank Syariah sebagai
salah satu fungsi internal audit. DPS merupakan badan independen yang
ditempatkan oleh dewan syariah nasional yang anggotanya terdiri dari para ahli
67 Rahman El Junusi, “Implementasi Syariah Governance, serta Implikasinya
Terhadap Reputasi dan Kepercayaan Bank Syariah”, Prosiding Annual International
Conference on Islamic Studies (AICIS XII), 1831; Ade Sofyan Mulazid, “Pelaksanaan
Sharia Compliance Pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri, Jakarta)”
MADANIA Vol. 20, No. 1, Juni 2016: 37-54 68 Bank Indonesia, PBI No.11/33/2009 Tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia,
2009). 69 M. Umer Chapra and Ahmed Habib. Corporate Governance in Islamic Financial
Institutions, Occasional Paper No. 6, (Islamic Research and Training Institute/Islamic
Development Bank: Jeddah , 2002), h. 12-13. 70 Rahman El Junusi, “Implementasi Syariah Governance...”,
161
bidang fikih muamalah dan memiliki pengetahuan umum dalam bidang Lembaga
keuangan syariah.71
Kepatuhan syariah memiliki standar internasional yang telah disusun dan
ditetapkan oleh lembaga yang bernama Islamic Financial Service Board (IFSB),
yang menjelaskan bahwa kepatuhan syariah adalah bagian dari tata kelola
lembaga (corporate governance).72 Kepatuhan syariah tersebut harus secara
konsisten dijadikan sebagai kerangka kerja oleh sistem dan keuangan bank syariah
dalam mengalokasikan sumber daya, manajemen, produksi, aktivitas pasar modal
dan distribusi kekayaan.73 Kepatuhan syariah merupakan inti dari integritas dan
kredibilitas bank syariah,74 karena eksistensi bank syariah bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat muslim terhadap pelaksanaan syariat Islam
secara menyeluruh (ka>ffah), termasuk di dalam kegiatan penyaluran dana melalui
bank syariah. Kepercayaan dan keyakinan masyarakat kepada bank syariah harus
didasarkan dan dipertahankan melalui pelaksanaan prinsip-prinsip syariah yang
diadaptasikan dalam aturan operasional institusi bank syariah.75 Sebab, tanpa
adanya kepatuhan terhadap prinsip syariah, masyarakat akan kehilangan
keistimewaan yang mereka cari dari bank syariah, yang akibatnya akan
mempengaruhi keputusan mereka untuk memilih ataupun terus melanjutkan
pemanfaatan jasa yang diberikan oleh bank non syariah. Anshori mengemukakan
bahwa shariah compliance adalah salah satu indikator pengungkapan islami untuk
menjamin kepatuhan bank Islam terhadap prinsip syariah.76
Selain kepatuhan pada syariah, dilihat dari struktur organisasi bank syariah,
unsur yang membedakan dengan bank konvensional adalah adanya keharusan bank
syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS ini bertugas untuk
mengawasi operasional bank dan produk-produk bank syariah agar sesuai dengan
prinsip syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank
syariah sangat khusus jika dibandingkan bank konvensional. DPS harus membuat
pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya
telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam
71 Wulpiah, “Urgensi Penerapan Kepatuhan Syariah Pada Perbankan Syariah
(Telaah Konseptual-Analitis)” Asy-Syar’iyyah: Jurnal Ilmu Syariah dan Perbankan Islan
Vol. 2, No.1, Juni 2017: 100-120, 109 72 Islamic Financial Service Board (IFSB), Guiding Principles on Shariah
Governance Systems for Institutions Offering Islamic Financial Services, December 2009,
3. 73 Adrian Sutedi, Perbakan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2009), h. 145; Lihat: http://digilib.uinsby.ac.id/1558/5/Bab%202.pdf. 74 Haniah Ilhami, “Pertanggungjawaban Dewan pengurus Syariah sebagai Otoritas
Pengawas Kepatuhan Syariah bagi Bank Syariah”, Mimbar Hukum, Volume 21 Nomor 3,
2009, 409-628. 75 Penjelasan Umum Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah; Lihat: Haniah Ilhami, Pertanggungjawaban Dewan pengurus..., 409-628. 76 Ansori. “Pengungkapan Sharia Compliance dan Kepatuhan Bank Syariah” Jurnal
Dinamika Akuntasi, 3, 2, Maret(2001)
162
laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan. Tugas lain DPS adalah
meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya.
Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu
produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).77
Selain DPS, Majelis Ulama Indonesia memiliki Dewan Syariah Nasional
(DSN), fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan
syariah agar sesuai dengan Syariah Islam. Untuk keperluan pengawasan tersebut,
DSN membuat garis panduan produk Syariah yang diambil dari sumber-sumber
hukum Islam. Fungsi lain dari DSN adalah meneliti dan memberi fatwa bagi
produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah.78 Panduan
DSN ini menjadi pedoman bagi DPS untuk melakukan pengawasan terhadap
produk-produk bank. Hal-hal tersebut di atas inilah yang tidak dimiliki oleh
perbankan konvensional sehingga menjadi pembeda dengan bank syariah. Tabel
berikut ini menggambarkan perbedaan antara bank syariah dan bank
konvensional.79
Perbedaan antara bank konvensional dengan bank syariah yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:80
a. Pada bank syariah, penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada
waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
Sedangkan pada bank konvensional penentuan bunga dibuat pada waktu
akad tanpa memperhatikan terjadinya untung atau rugi,
b. Pada bank syariah, besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperoleh. Sedangkan pada bank konvensional
besarnya persentase didasarkan atas jumlah uang atau modal yang
dipinjamkan,
c. Pada bank syariah bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang
dijalankan, dan apabila proyek itu tidak mendapatkan keuntungan,
maka kerugian akan ditanggung bersama-sama oleh kedua belah pihak.
Sedangkan pada bank konvensional pembayaran bunga tetap seperti
yang dijanjikan tanpa pertimbangan berhasil atau tidaknya proyek yang
dijalankan nasabah,
77 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009, 146. 78 M Syafii Antonio, 234; Aldira Maradita, “Karakteristik Good Corporate
Governance Pada Bank Syariah Dan Bank Konvensional” Yuridika : Volume 29 No 2,
Mei-Agustus (2014), 202-203. 79 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), :
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama (Jakarta:
Kencana, 2012), 213-214. 80 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia (PT Citra Aditya
Bakti, 2002), 14-15; Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2012), 211-212.
163
d. Pada bank syariah, jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan
meningkatnya jumlah keuntungan yang dihasilkan. Sedangkan pada
bank konvensional, jumlah pembiayaan bunga tidak meningkat
sekalipun jumlah keuntungan usaha berlipat,
e. Pada bank syariah, keabsahan keuntungan bagi hasil tidak ada yang
diragukan. Sedangkan pada bank konvensional bergulirnya bunga
merupakan sesuatu yang diragukan halalnya.
Di samping perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional
sebagaimana disebutkan di atas, Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i
Antonio,81 menambahkan beberapa perbedaan lain sebagai berikut:
a. Bank syariah mendasarkan perhitungan pada margin keuntungan dan
bagi hasil, sedangkan pada bank konvensional menggunakan sistem
bunga.
b. Bank syariah tidak hanya berorientasi pada keuntungan (profit), tetapi
juga berorientasi kepada falah oriented. Adapun pada bank
konvensional orientasinya hanyalah keuntungan semata.
c. Bank syariah melakukan hubungan dengan nasabah dalam bentuk
hubungan kemitraan. sedangkan bank konvensional melakukan
hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur dan kreditur
saja.
d. Bank syariah meletakkan penggunaan dana secara riil (users of real funds). sedangkan bank konvensional memosisikan dirinya sebagai
creator of money supply.
e. Bank syariah hanya melakukan investasi dalam bidang yang halal,
sedangkan bank konvensional melakukan investasi dalam bidang yang
belum pasti halal.
f. Dalam melakukan pergerakan dan penyaluran dana, Bank syariah harus
berpedoman pada pendapat atau fatwa Dewan Pengawas Syariah.
sedangkan bank konvensional tidak memiliki dewan sejenis yang
mengawal bank tersebut.
Dalam ketentuan kepatuhan syariah, terdapat 7 indikator yang dapat
digunakan sebagai ukuran secara kualitatif untuk menilai kepatuhan syariah di
dalam lembaga keuangan syariah, yaitu:
1) Akad atau kontrak yang digunakan untuk penyaluran dana sesuai
dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang berlaku;
2) Dana zakat dihitung dan dibayar serta dikelola sesuai dengan aturan dan
prinsip-prinsip syariah;
3) Seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai
dengan standar akuntansi syariah yang berlaku;
4) Lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan syariah;
81 Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagamana
Bank Islam (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1992), 53.
164
5) Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan syariah;
6) Terdapat dewan pengawas syariah sebagai pengarah syariah atas
keseluruhan aktivitas operasional bank syariah;
7) Sumber dana berasal dari sumber dana yang sah dan halal menurut
Syariah.82
Berdasarkan ciri-ciri dan perbedaan antara bank konvensional dengan bank
syariah, maka dapat disimpulkan bahwa perbankan syariah itu dibangun atas 3
prinsip, yaitu: Pertama, al-Ta’awun (saling menolong) sesuai dengan perintah
dalam surat al-Ma’idah ayat kedua, Kedua, al-Ikthifna, sesuai dengan anjuran
dalam Al-Quran surat al-Nisa’ ayat 29, yang memerintahkan agar uang tidak
dibiarkan menganggur, tetapi harus diinvestasikan secara baik agar mendapatkan
keuntungan, dan ketiga, Prinsip al-Hala>l (terbebas dari semua perkara yang telah
dilarang oleh syariat Islam). Prinsip halal ini mencakup dalam halal dalam
memperolehnya, halal dalam mengonsumsinya dan halal dalam
memanfaatkannya.83
Indikator-indikator tersebut di atas merupakan prinsip-prinsip umum yang
menjadi acuan bagi manajemen bank syariah dalam mengoperasikan bank syariah.
Kepatuhan syariah dalam operasional bank syariah dinilai berdasarkan indikator-
indikator tersebut, yaitu apakah operasional bank telah dilaksanakan sesuai
dengan indikator umum kepatuhan syariah. Indikator-indikator di atas juga akan
menjadi acuan penulis dalam menganalisis tingkat kepatuhan bank syariah yang
beroperasi di Aceh, terhadap prinsip-prinsip syariah.
Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana implementasi sistem syariah
pada bank, peneliti melakukan wawancara dengan masyarakat Aceh dan bank
yang beroperasi di sana. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat,
diperoleh data bahwa sebanyak 33% penduduk yakni 40 orang menyatakan bahwa
penerapan Bank syariah di Aceh, sudah sesuai dengan syariat Islam, dan 35 orang
atau 29,2 % menyatakan tidak, sedangkan yang tidak memberi komentar ada 45
orang atau sama dengan 37,5%. Secara dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 16
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Bank Syariah telah sesuai dengan Prinsip Syariah 17 34%
Bank Syariah belum sesuai dengan Prinsip Syariah 15 30%
Tidak mengetahui tentang Prinsip Syariah 18 36%
Jumlah 50 100%
82 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009, 145. 83 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 213.
165
Berdasarkan tabel di atas, dapat dinyatakan bahwa masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui hakikat bank syariah, serta perbedaannya
dengan bank konvensional, karena yang menjawab tidak tahu, masih lebih banyak
dibandingkan dari yang mengetahui kesesuaian sistem perbankan yang beroperasi
di Aceh.
Kemudian, untuk mengukur ketaatan syariah oleh bank, penulis bertanya
kepada masyarakat yang bersedia untuk diwawancara, dengan beberapa indikator,
yaitu:
1) Apakah bank syariah menggunakan sistem bunga, dan dari hasil
wawancara, diperoleh 40% jawaban yang menyatakan bahwa bank
syariah masih menerapkan sistem bunga, 26% menyatakan sudah tidak
menerapkan ‘bunga’, sedangkan 34% warga menyatakan tidak tahu.
Berikut tebelnya:
Tabel 17
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Bank Syariah masih menerapkan sistem
bunga
20 40%
Bank Syariah tidak menggunakan sistem
bunga
13 26%
Tidak mengetahui tentang Prinsip Syariah 17 34%
Jumlah 50 100%
Akan tetapi, penulis tidak langsung percaya pada jawaban masyarakat
tersebut, karena itu, penulis mencoba konfirmasi dengan pihak bank,
dan dalam wawancara yang dilakukan, pihak bank menyatakan bahwa
mereka tidak lagi menerapkan bunga dalam operasionalnya.
Keuntungan bank yang dihasilkan dari pinjaman nasabah disebut
dengan margin dan nisbah .84
2) Apakah bank syariah menggunakan sistem bagi hasil, Berdasarkan
pada wawancara dengan bank syariah di Aceh, diketahui bahwa bank
di sana telah menggunakan sistem bagi hasil. Dalam wawancara yang
penulis lakukan, pihak bank menjawab bahwa penyebutan untuk
keuntungan yang diperoleh dari hasil pinjaman nasabah antara lain
sebagai berikut :
a. Margin, dihasilkan oleh jual-beli dengan akad murabahah
84 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh
pada Maret 2021; Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB,
Wawancara, September 2021
166
b. Bagi Hasil, dihasilkan oleh produk dengan akad musyarakah, atau
fee based income.
c. Ujroh, dihasilkan dari sewa-menyewa yang dihasilkan dengan
akad ijarah.85
Sedangkan jawaban masyarakat atas pertanyaan ini adalah 44%
menyatakan bahwa bank syariah menerapkan sistem bagi hasil, 14%
menyatakan tidak, dan 42% menyatakan tidak tahu. Berdasarkan
jawaban-jawaban ini, maka penulis kembali menyatakan bahwa
masyarakat Aceh masih belum terlalu paham dengan sistem bank
syariah, dan jika dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya, maka
jawaban masyarakat itu tampak kontradiktif, sebab pada pernyataan
sebelumnya, mengatakan bahwa bank masih menerapkan sistem
bunga, tetapi dalam pernyataan berikutnya mengatakan bahwa bank
menerapkan sistem bagi hasil. Berikut tabel jawaban masyarakat Aceh
tentang penerapan sistem bagi hasil bank syariah:
Tabel 18
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Bank Syariah menerapkan sistem bagi
hasil
22 44%
Bank Syariah belum menerapkan sistem
bagi hasil
7 14%
Tidak mengetahui tentang Prinsip
Syariah
21 42%
Jumlah 50 100%
Pandangan penulis di atas, sesuai dengan sebuah penelitian yang
dilakukan pada tahun 2006 tentang ”Strategi Perluasan Pangsa Pasar pada Bank Syariah.” Dengan salah satu komponen data kuesioner
berisi ”exposure Bank Syariah” mendapatkan hasil yang kurang
menggembirakan, karena dari 300 informan, hanya 50 orang yang
mengetahui secara jelas tentang produk-produk bank syariah, dan
hanya 2 orang yang menjadi nasabah bank syariah, serta hanya 5 orang
yang mengetahui dengan jelas manfaat atau kelemahan produk bank
syariah. Karena inti dari promosi adalah mendukung kegiatan strategi
penetrasi pasar dan strategi pengembangan pasar, maka manajemen
menjadi penting untuk dapat mengetahui kebutuhan pasar yang ada
dengan produk yang ada dan sekaligus dapat meningkatkan penjualan
85 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh
pada Maret 2021; Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB,
Wawancara, September 2021
167
di pasar yang baru. Oleh karena Lembaga Keuangan Syariah
merupakan lembaga yang universal, kegiatan promosi harus tersurat
secara jelas menunjukkan bahwa bank syariah tidaklah eksklusif hanya
untuk umat Islam saja, akan tetapi dapat manfaatkan dan
dipergunakan oleh non muslim.
Selama ini banyak orang yang menganggap bahwa ekonomi Islam
dalam hal ini lembaga keuangan syariah hanya diperuntukkan bagi
orang Islam saja. Padahal kenyataannya, lembaga keuangan syariah
merupakan lembaga komersial yang melayani siapa saja dan dapat
dilaksanakan oleh siapa saja, baik muslim maupun non muslim. Sebab
tujuan utama dari ekonomi Islam adalah sebagai alternatif dalam
mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu,
dianggapnya sistem bagi hasil, cenderung tidak pasti sehingga sulit
dijadikan parameter untuk melakukan prediksi usaha ke depan. Justru
yang sebenarnya semua tergantung dari segi pengelolaan yang efektif
dan efisien dengan melibatkan nilai keadilan dan moral. Terkait
mengenai zakat, masyarakat Indonesia menganggap zakat sebagai
kewajiban normatif bukan sebagai kewajiban positif. Mereka
membayar zakat hanya memandang dari tuntutan agama, tidak dari
dampak pemberiannya kepada masyarakat.86
Oleh karena itu, bank syariah tidak boleh mengabaikan ekspektasi
pelanggan mereka dengan berasumsi bahwa mereka diminta untuk
berurusan dengan bank syariah semata-mata berdasarkan kesadaran
agama, lebih tepatnya mereka juga harus mempromosikan kualitas
layanan yang dapat memuaskan pelanggan.87 Masalah lain yang
membutuhkan perhatian adalah perlunya meningkatkan pengetahuan
masyarakat terhadap bank-bank syariah dan produk itu sendiri. Pihak
bank harus mengedukasi masyarakat akan manfaatnya, karakteristik
unik perbankan dan berbagai macam produk keuangan yang
ditawarkan. Wawasan penting yang diidentifikasi pada peringkat
berbagai kriteria seleksi perbankan, menyiratkan perlunya bank
syariah untuk meningkatkan faktor-faktor yang mempengaruhi minat
pelanggan, yang dapat dianggap sebagai keunggulan kompetitif.88
86 Naelul Azmi, Rahardi Mahardika, “Problematika Sistem Ekonomi Islam di
Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4, No. 1, Februari
(2020) 8-24. 87 Syed Akif Hasan, Muhammad Imtiaz Subhani and Ms. Amber Osman,
“Consumer Criteria for the Selection of an Islamic Bank: Evidence from Pakistan”
International Research Journal of Finance and Economics (IRJFE) No. 94, (2012), 4. 88 Asma’ Rashidah Idris dkk, “Religious Value as the Main Influencing Factor to
Customers Patronizing Islamic Bank” World Applied Sciences Journal 12 (Special Issue
on Bolstering Economic Sustainability): 08-13, (2011), 12
168
3) Apakah Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman.
Masyarakat Aceh menyatakan bahwa mereka tidak begitu paham
tentang margin yang diterapkan oleh bank syariah, terbukti dengan
56% dari mereka menyatakan tidak tahu, 36% menjawab bahwa
keuntungan yang diperoleh bank adalah margin, dan 8% menyatakan
tidak menerapkan margin. Karena itu, peneliti lebih percaya kepada
jawaban pihak bank, yang mengatakan bahwa margin atas pinjaman,
diperuntukkan atas pinjaman dengan sistem murabahah. Berikut tabel
jawaban masyarakat Aceh:
Tabel 19
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Keuntungan dari Bank Syariah disebut
margin
4 8%
Bank Syariah menerapkan margin 18 36%
Tidak mengetahui tentang Prinsip
Syariah pada bank
28 56%
Jumlah 50 100%
4) Apakah Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan.
Berkenaan dengan dengan ketaatan bank syariah dalam menghindari
penggunaan bunga, penulis menemukan jawaban yang beragam dari
masyarakat Aceh, 22% menyatakan bahwa bank syariah di Aceh
masih memberikan bunga pada simpanan, dan 26% menyatakan tidak,
sedangkan yang tidak tahu jumlahnya lebih banyak, dan mencapai
52%. Dengan demikian tampa bahwa masyarakat masih banyak yang
belum tahu tentang sistem perbankan syariah.
Sedangkan pada saat peneliti mengonfirmasi kepada pihak bank,
mereka mengatakan bahwa bunga terhadap simpanan nasabah sudah
tidak ada. Memang benar nasabah yang memiliki simpanan di bank
bisa mendapatkan keuntungan tambahan dana karena simpanan
tersebut, dan keuntungan itu terbagi pada 2 macam, yaitu:
a. Bagi hasil, yaitu keuntungan yang dihasilkan oleh produk dengan
akad mudarabah, bentuknya berupa Produk Deposito.
b. Bonus, yaitu keuntungan yang dihasilkan dari produk dengan
akad wadiah (simpanan dana nasabah). Untuk bonus ini, bank
tidak memberikan janji apa-apa.89
89 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh
pada Maret 2021; Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB,
Wawancara, September 2021
169
Berdasarkan pada penjelasan dari pihak bank tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa pihak bank telah berupaya untuk menjalankan
prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya, sedangkan adanya
perbedaan jawaban dari masyarakat itu, dapat dinyatakan bahwa
masyarakat Aceh masih belum begitu mengetahui perbedaan sistem
atau prinsip bank syariah dan bank konvensional. Hal itu tegambar
dalam tabel di bawah ini:
Tabel 20
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Bank syariah di Aceh masih memberikan
bunga pada simpanan
11 22%
Bank syariah di Aceh tidak memberikan
bunga pada simpanan
13 26%
Tidak mengetahui tentang Prinsip
Syariah pada bank di Aceh
26 52%
Jumlah 50 100%
5) Apakah Anda paham perbedaan Bank syariah dan Bank Konvensional.
Mayoritas masyarakat Aceh mengatakan bahwa mereka paham
perbedaannya, terbukti dengan 86% menjawab paham, dan hanya 14%
yang menyatakan tidak paham perbedaan bank syariah dan bank
konvensional. Secara detail tampak dalam tebel di bawah ini:
Tabel 21
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Memahami Perbedaan antara Bank
Syariah dan Bank Konvensional
43 86%
Tidak memahami Perbedaan antara Bank
Syariah dan Bank Konvensional
7 14%
Jumlah 50 100%
Selanjutnya penulis mencoba menganalisis ketaatan bank syariah terhadap
prinsip-prinsip syariah sesuai dengan indikator yang telah disebutkan di atas. Hal
ini penting dilakukan karena berdasarkan pokok-pokok hasil penelitian Bank
Indonesia, disimpulkan bahwa nasabah yang menggunakan jasa bank syariah,
sebagian besar memiliki kecenderungan untuk berhenti menjadi nasabah
disebabkan karena keraguan mereka terhadap konsistensi penerapan prinsip-
170
prinsip syariah. Kepatuhan dan kesesuaian bank terhadap prinsip syariah sering
dipertanyakan oleh para nasabah. Sehingga secara implisit menunjukkan bahwa
praktik perbankan syariah selama ini masih kurang memperhatikan prinsip-prinsip
syariah.90
Sebetulnya masyarakat umum, dan para pemangku kepentingan bank
syariah di Indonesia, juga bisa mengetahui dan mengukur serta menilai sejauh
mana operasional bank syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, yaitu melalui
laporan keuangan bank syariah yang senantiasa dipublikasikan secara periodik.91
Dan untuk mendapatkan gambaran secara empiris, peneliti mengadakan
wawancara dengan pihak bank sebagai konfirmasi bagaimana implementasi qanun
tentang lembaga keuangan syariah di sana, dan untuk mendapatkan gambaran
nyata tentang ketaatan bank syariah terhadap ketentuan syariah.
Hasil dari analisis penulis terhadap indikator-indikator prinsip syariah yang
diimplementasikan oleh bank Syariah di Aceh adalah sebagai berikut:
1. Akad atau kontrak yang digunakan untuk penyaluran dana sesuai dengan
prinsip-prinsip dan aturan syariah yang berlaku;
Berkaitan dengan akad, penulis mendapatkan jawaban dari masyarakat
bahwa Dari beberapa orang yang diwawancara, ada 17 orang memiliki hutang
pada Bank Syariah, dengan peruntukan yang berbeda-beda, yaitu: 4 orang
untuk modal usaha, 1 orang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, 8 orang
untuk membeli rumah, 2 orang untuk biaya pendidikan, dan 11 lainnya tidak
menyebutkan peruntukannya secara spesifik.92
Berkenaan dengan jenis transaksi yang digunakan ketika meminjam dana
di Bank, 24 orang menyatakan bahwa murabahah adalah transaksi yang
digunakan, 25 orang menggunakan mudarabah, 1 orang dengan musyarakah,
3 dengan ijarah, 1 dengan hawalah, dan 14 lainnya tidak menyebutkan
transaksi yang mereka gunakan,93 ada kemungkinan karena mereka tidak
membaca dengan detail akad perjanjian yang dibuat bersama dengan Bank.
Selanjutnya, penulis melakukan wawancara dengan pihak bank untuk
mendapatkan informasi tentang berbagai akad yang digunakan oleh bank
syariah tersebut. Dalam penjelasannya, pihak bank menyatakan bahwa
sebagai komitmen untuk menjadi bank syariah, maka bank-bank tersebut
harus betul-betul melaksanakan prinsip-prinsip dan aturan syariah, dan di
antara aspek yang paling utama dan membedakan antara bank syariah dengan
bank konvensional, adalah dari sisi akadnya. Mereka menyatakan bahwa akad
yang mereka gunakan dalam transaksi adalah wadi>ah (titipan) untuk produk
dana dan mudarabah (bagi hasil). Sedangkan Akad yang digunakan oleh bank
90 Rahman El Junusi, “Implementasi Syariah Governance...”, 91 Wulpiah, “Urgensi Penerapan Kepatuhan Syariah” Asy-Syar’iyyah, Vol. 2, No.1,
Juni 2017 92 Wawancara dengan warga Aceh pada Maret 2021 93 Wawancara dengan warga Aceh pada Maret 2021
171
dalam produk pembiayaan adalah murabahah (jual beli) dan musyarakah
(bagi hasil). Secara rinci pihak bank menyebutkan akad-akad lain yang
mereka gunakan sebagai berikut:
a) Wadiah, yaitu: Akad penitipan batang atau uang antara pihak yang
mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta
keutuhan barang atau uang.
b) Mudharabah, yaitu: Akad kerjasama suatu usaha antara pihak
pertama (malik, shahibul mal, atau bank syariah) yang menyediakan
seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang
bertindak selaku pengelola dana dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya
oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan
yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
c) Musyarakah, yaitu: Akad kerja sama di antara 2 pihak atau lebih
untuk suatu usaha, dan masing-masing pihak memberikan porsi dana
masing-masing.
d) Murabahah, yaitu: Akad pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang
disepakati.
e) Salam, yaitu: Akad pembiayaan suatu barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu
dengan syarat tertentu yang disepakati.
f) Istisna’, yaitu: Akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu yang disepakati antara pemesan atau
pembeli (mustashni') dan penjual atau pembuat (shani').
g) Ijarah, yaitu: Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan
hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan
transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikian
barang itu sendiri.
h) Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik, yaitu: Akad penyediaan dana dalam
rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau
jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang.
i) Qardh, yaitu: Akad pinjaman dana kepada nasabah dengan
ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang
diterimanya pada waktu yang telah disepakati.94
Sedangkan dalam wawancara dengan pihak bank Aceh IB (bank
syariah milik pemerintah Provinsi Aceh/BPD Aceh) dinyatakan bahwa Akad
yang digunakan pada Bank Aceh sejauh ini adalah akad Murabahah,
94 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh
pada Maret 2021.
172
Mudharabah, Musyaraqah Mutanaqisah, Ijarah, IMBT, Ijarah Multiguna,
Qardh, Kafalah, Rahn.95 Melihat pada jawaban pihak bank, maka penulis
menyimpulkan bahwa akad atau kontrak yang digunakan untuk penyaluran
dana oleh bank, telah sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang
berlaku.
2. Dana zakat dihitung dan dibayar serta dikelola sesuai dengan aturan dan
prinsip-prinsip syariah;
Berkaitan dengan dana zakat, pihak bank menyatakan bahwa ada
penyisihan dana oleh bank yang diambil dari keuntungan usahanya, dan
disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Tanggung jawab
sosial perusahaan adalah komitmen perusahaan kepada lingkungan dengan
tujuan memberikan nilai tambah kepada semua pemangku kepentingan
termasuk internal perusahaan guna mendukung pertumbuhan perusahaan.
Tujuan implementasi kegiatan CSR adalah: Mewujudkan hubungan yang
harmonis antara perusahaan dan masyarakat Mendukung implementasi
praktik bisnis yang transparan dan bertanggung jawab membangun citra
positif dan menggalang dukungan masyarakat, serta menggali dan
memberdayakan potensi UMKM melalui penyaluran dana kemitraan. Selain
itu juga berpartisipasi dalam program pelestarian lingkungan hidup,
peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, kehidupan
beragama, dan perbaikan sarana umum lainnya.
Sementara itu, dari bank Muamalat menjelaskan bahwa dana sosial itu
dilakukan dan diberikan dalam bentuk:
a. Membayar Zakat perusahaan (dari keuntungan perusahaan) dan zakat
pegawai.
b. Menghimpun dana ZISWAF dari masyarakat, sebagai salah satu fungsi
sosial. Medianya dikembangkan melalui kemudahan fasilitas yang
diberikan oleh Bank Syariah kepada yang membutuhkan.
Berdasarkan jawaban dari pihak bank tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa bank syariah di Aceh telah berusaha menerapkan prinsip syariah dalam
bidang zakat.
3. Seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai
dengan standar akuntansi syariah yang berlaku;
Adapun dalam aspek laporan, pihak bank menyampaikan laporannya
secara wajar, karena diawasi oleh dewan pengawas syariah, dan DPS juga
wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan DPS setiap semester kepada
Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Laporan
keuangan tersebut didasarkan atas prinsip syariah yang dirinci sebagai
berikut:
95 Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB, Wawancara,
September 2021
173
a. Bank Syariah menyampaikan laporan hasil pengawasan penerapan
Prinsip Syariah yang disusun oleh DPS secara semesteran kepada
Bank Indonesia untuk posisi akhir bulan Juni dan bulan Desember.
b. Laporan semester I disampaikan paling lambat akhir bulan Agustus
pada tahun berjalan, sedangkan laporan semester II disampaikan
paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya.
c. Laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah meliputi:
1. Kertas kerja pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru
2. Kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan usaha
3. Risalah rapat pengawasan penerapan Prinsip Syariah
Dalam hal tidak melakukan pengembangan produk dan aktivitas
baru pada periode laporan, Bank Syariah tetap menyampaikan
laporan kertas kerja pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru
Bank Syariah dengan keterangan “NIHIL”.
d. Penyampaian laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah
kepada Bank Indonesia dialamatkan kepada:
1. Departemen Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2,Jakarta
10350, bagi BPRS yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta,
Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi; atau
2. Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia yang
mewilayahi kantor pusat BPRS, bagi BPRS yang kantorpusatnya
berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam
angka
4. Lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan syariah;
Berkenaan dengan Acuan yang digunakan oleh bank dalam
implementasi akad adalah berdasarkan Rukun dan Syarat berdagang secara
Syariah. Adapun rukun tersebut yaitu adanya para pihak (Penjual dan
Pembeli), adanya objek dan adanya ijab-qabul. Sedangkan Syarat berdagang
secara Syariah adalah Para Pihak haruslah cakap hukum, berwenang, dan
tidak ada paksaan. Untuk objek yang diperjual-belikan harus halal dan jelas
(kualitas dan kuantitasnya). Selanjutnya Ijab-Qabul yang dilakukan harus
jelas hak dan kewajibannya. Implementasi akad pada Bank Syariah
diterapkan sesuai dengan produk yang diinginkan oleh nasabah sesuai
Standar Operasional dan Prosedur (SOP).
5. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan syariah;
Pihak bank menyatakan bahwa bisnis yang dijalankan dalam
pengelolaan keuangan dalam rangka untuk menghasilkan keuntungan,
diperoleh Atas dasar akad yang disepakati dan diperjanjikan antar bank dan
nasabah. Keuntungan yang diterima bank adalah berdasarkan margin jual beli
atau bagi hasil dari usaha nasabah. Keuntungan yang diterima nasabah adalah
dari profit bank pada bulan berjalan.
174
Adapun dana yang dimiliki oleh bank, disalurkan kepada sektor
produktif (modal kerja dan investasi) dan sektor konsumtif. Sedangkan
bidang bisnis yang dikembangkan oleh bank syariah di Aceh, meliputi:
a. Pendanaan, termasuk di dalamnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga
dalam bentuk Tabungan, Deposito dan Giro.
b. Pembiayaan. Seluruh pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah
c. Jasa Perbankan, meliputi jasa layanan transaksi perbankan, e-Chanel
(ATM, EDC, Mobile Banking, dan lain sebagainya), Bank Garansi,
Letter of Credit (LC), Safe Deposit Box (SDB), dan jasa perbankan
lainnya.
Berdasarkan pada jawaban tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
bank telah berusaha memenuhi prinsip syariah dalam bisnisnya dan bidang-
bidang yang dibiayai.
6. Terdapat dewan pengawas syariah sebagai pengarah syariah atas keseluruhan
aktivitas operasional bank syariah;
Berkenaan dengan adanya dewan pengawas syariah, Bank Syariah
Indonesia yang penulis wawancarai menyatakan bahwa bank tersebut telah
memiliki dewan pengawas Syariah yang diangkat pada RUPS LB pada
tanggal 15 Desember 2020, dan akan menjabat secara mulai 01 Februari
2021. Tugas utama dewan syariah ini adalah untuk mengawasi kegiatan
usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip
syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Fungsi utama
dewan syariah ini adalah sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi,
pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai
hal-hal yang terkait dengan aspek syariah dan sebagai mediator antara
lembaga keuangan syariah dengan dewan syariah Nasional dalam
mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari
lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari dewan
syariah nasional.
Dewan syariah ini berasal dari unsur Ulama dan Pakar Ekonomi
Syariah, hal ini dilandaskan atas Peraturan Organisasi Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 11/Po-MUI/II/2018 Tentang Anggaran Dasar Dan
Anggaran Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,
Pasal 10 tentang Dewan Pengawas Syariah, dan Anggaran Rumah Tangga
DSN MUI Nomor: 11/PO-MUI/II/2018 BAB I Tugas dan Wewenang, Pasal 3
Tugas dan Wewenang DPS. Hal ini juga didasarkan pada Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Perkreditan
Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan Bank Indonesia
No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober tentang Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah yang lalu
dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.7/35/PBI/2005 tanggal 29
September 2005 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
yang berdasarkan Prinsip Syariah. Dan juga atas dasar Peraturan Bank
175
Indonesia No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari tentang perubahan kegiatan
usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan
Kantor Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
oleh Bank Umum Konvensional.
Untuk membuktikannya pihak bank memberikan salinan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga bank syariah yang telah disahkan oleh
notaris, dan penulis menemukan adanya pembentukan dewan syariah dalam
akta notaris tersebut.96 Dengan data ini, maka salah satu prinsip syariah telah
dipenuhi dan dilaksanakan oleh pihak bank.
7. Sumber dana berasal dari sumber dana yang sah dan halal
Pihak bank menyatakan bahwa setelah menggunakan sistem Syariah,
keadaan Bank semakin membaik dan semakin berkah. Hal ini karena pihak bank
berusaha untuk mendapatkan sumber dana yang sah dan halal.
Untuk melihat kesesuaian atau ketaatan bank syariah di Aceh, dengan
prinsip-prinsip syariah, penulis gambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 22
No Prinsip-prinsip Praktik di Bank Syariah Aceh Sesuai Tidak
Sesuai
1 Akad atau kontrak
yang digunakan
Menggunakan akad-akad
yang sesuai dengan prinsip
syariah
V
2 Dana zakat dihitung
dan dibayar serta
dikelola
Menyisihkan dana sosial
untuk pihak internal dan
eksternal
V
3 Seluruh transaksi dan
aktivitas ekonomi
dilaporkan
Pelaporan secara rutin kepada
pihak-pihak yang
berkepentingan
V
4 Lingkungan kerja dan
corporate culture sesuai dengan syariah
Mengikuti SOP yang
ditetapkan V
5 Bisnis dan usaha yang
dibiayai tidak
bertentangan dengan
syariah
Menjalankan bisnis dan usaha
yang sesuai syariah V
6 Terdapat dewan
pengawas syariah
sebagai pengarah
Memiliki dewan pengawas
syariah yang ditetapkan
dalam anggaran dasar dan
V
96 Anggaran dasar dan Anggaran rumah tangga Bank Syariah Indonesia (BSI), 15.
176
syariah anggaran rumah tangga
7 Sumber dana berasal
dari sumber dana yang
sah dan halal
Sumber dana masih beragam,
karena masih dalam proses
konversi dari bank
konvensional. Tetapi bank
terus berusaha untuk
memenuhi prinsip ini.
V
Berdasarkan data dalam tabel di atas, tampak bahwa prinsip-prinsip
syariah telah diimplementasikan oleh bank-bank syariah yang beroperasi di Aceh
secara penuh, meskipun masih ada kekurangan dalam beberapa aspek, tetapi pihak
bank telah berusaha untuk memenuhi aspek tersebut secara optimal.
Pada saat penelitian, penulis menemukan bahwa tidak semua warga Aceh
memiliki rekening di bank syariah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara,
dari 120 orang, hanya 105 orang yang memiliki rekening di Bank Syariah, dengan
rincian, 85 orang pada bank BRI Syariah, 59 di BNI Syariah, 34 pada Bank
Syariah Aceh, 34 pada Bank Mandiri Syariah, 1 orang pada Bank BTPN Syariah,
dan 1 orang pada Bank Muamalat, serta 5 orang pada Bank BCA Syariah.97
Melihat data ini, maka perbankan syariah perlu memperbaiki sistemnya dan
meningkatkan fasilitas dan layanannya agar animo dan kepercayaan masyarakat
menjadi lebih meningkat.
Hal itu dapat dilakukan melalui ketersediaan produk dan standarisasi
produk perbankan syariah, karena selama ini masih banyak bank syariah yang
belum menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah. Standardisasi ini diperlukan
dengan alasan industri perbankan syariah memiliki perbedaan dengan bank
konvensional. Apalagi, produk bank syariah tidak hanya diperuntukkan bagi
nasabah muslim, melainkan juga nasabah non muslim yang tinggal di Aceh.
Kemudian, dari tingkat pemahaman (awareness) produk bank syariah juga perlu
ditingkatkan melalui sosialisasi secara terus menerus. Sebab hingga saat ini, masih
sangat sedikit masyarakat yang tahu tentang produk-produk perbankan syariah
dan istilah-istilah di perbankan syariah. Tercatat hanya sekitar 30% dari sumber
daya yang direkrut, yang mengetahui istilah-istilah perbankan syariah serta
tingkat pemahamannya.98
Sosialisasi ini perlu dilakukan agar masyarakat siap menerima ketentuan
qanun tersebut untuk dilaksanakan. Dengan demikian, akan masyarakat tunduk
pada hukum bukan karena paksaan, tetapi karena mereka mengerti tentang hukum
tersebut yang memang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu
sendiri. Dengan sosialisasi tersebut diharapkan akan terjadi internalisasi hukum ke
97 wawancara 98 Naelul Azmi, Rahardi Mahardika, “Problematika Sistem Ekonomi Islam di
Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4, No. 1, Februari
(2020) 8-24.
177
dalam kehidupan masyarakat dalam artian bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut
telah meresap dalam diri masyarakat. Apabila masyarakat sudah tahu bahwa
hukum yang akan diberlakukan akan membawa ketenteraman dan ketertiban,
maka dengan sendirinya dan secara sadar masyarakat akan taat dan patuh kepada
hukum itu. Sehubungan dengan hal tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan
hukum kepada masyarakat sangat penting untuk dilakukan. Dalam kaitan ini Otje
Salman,99 menjelaskan bahwa ada 4 indikator yang dapat menjadikan hukum
sebagai sarana untuk mendidik masyarakat agar mereka memiliki kesadaran
terhadap hukum, yaitu:
1. Pengetahuan hukum, yaitu pengetahuan seseorang tentang perilaku
tertentu yang diatur di dalam hukum;
2. Pemahaman hukum, hal ini berkaitan erat dengan asumsi bahwa
masyarakat dianggap telah mengetahui isi suatu peraturan apabila
peraturan itu telah diundangkan, namun pada kenyataannya asumsi
ini tidak tepat. Pemahaman hukum merupakan suatu pengertian
terhadap substansi dan tujuan dari suatu peraturan dalam hukum
tertentu dan memahami manfaatnya bagi kehidupan masyarakat;
3. Sikap hukum, yaitu suatu keinginan untuk menerima hukum
disebabkan oleh adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu
yang akan membawa manfaat apabila ditaati,
4. Perilaku hukum, ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
membantu kesadaran hukum, dari sini dapat dilihat apakah suatu
peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.
Apabila keempat indikator tersebut terpenuhi, maka derajat kesadaran
hukumnya akan tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum
masyarakat terhadap suatu aturan hukum akan menyebabkan warga masyarakat
menaati aturan-aturan hukum yang diberlakukan itu, begitu pula sebaliknya,
apabila derajat kesadaran hukum rendah, maka derajat ketaatan terhadap hukum
juga rendah. Oleh sebab itu, pendidikan hukum masyarakat sangat perlu diadakan
sebelum hukum diberlakukan kepada masyarakat, hal ini sangat dibutuhkan agar
hukum dapat bekerja secara efektif sebagaimana yang diharapkan untuk dapat
mendukung pembangunan nasional.
Temuan juga mengungkapkan bahwa sebagian besar konsumen memilih
Bank syariah karena motif keagamaan. Bank yang beroperasi di bidang syariah
memiliki reputasi yang baik dalam mendapatkan kepercayaan klien mereka
dengan melakukan operasi mereka dengan prinsip-prinsip syariah dan kerahasiaan
Informasi. Manfaat moneter bukanlah faktor penting bagi konsumen dalam riset
ini. Konsumen dapat menerima keuntungan jika motif keagamaan mereka puas.
Bank syariah telah terlihat untuk mengatasi kebutuhan perbankan masyarakat
Muslim dalam pencarian layanan perbankan yang tidak bertentangan dengan
99 Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum (Bandung: Alumni Bandung,
1989), 56-59.
178
prinsip syariah. Oleh karena itu, sangat penting bahwa Lembaga perbankan
syariah berpegang pada prinsip-prinsip dasar kepatuhan syariah, bahkan jika
mereka harus mengorbankan pengembalian moneter.100 Motif keagamaan adalah
faktor terpenting bagi mahasiswa yang memilih bank syariah. Islam institusi
perbankan harus memenuhi prospek konsumennya dengan menerima bahwa
konsumen tidak hanya berurusan dengan bank Islam berdasarkan motif agama
melainkan mereka mempertimbangkan kualitas layanan juga. Juga konsumen
pengetahuan terhadap produk keuangan bank syariah perlu mendapat perhatian.
Bankir harus mendidik masyarakat mengenai berbagai pilihan pembiayaan, laba
dan prinsip Syariah.101
Dalam wawancara yang penulis lakukan kepada CS Bank Muamalat,
dinyatakan bahwa bank tersebut tidak melakukan migrasi, karena sejak awal
sudah menggunakan sistem syariah. Untuk tabungan menggunakan akad
Muamalah yaitu Wadiah Muthlaqah wadamanah, dan Musyarakah. Sedangkan
untuk pembiayaan menggunakan Mudarabah, Wadiah, Musyarakah. Bank
Muamalat sebagai pioner bank syariah yang berdiri sejak tahun 1992, dan mulai
operasional di Aceh sejak tahun 2004. Akad bagi hasil yang digunakan adalah
pembiayaan nisbah, sedangkan margin digunakan untuk masalah pembiayaan.
Dalam bidang permodalan usaha menggunakan Mudarabah, untuk konsumtif
menggunakan Musyarakah, dan murabahah. Dana sosial juga disediakan dan
disebut dengan CSR yang dikelola oleh anak perusahaan namanya Baitul Mal
Muamalat. Dana tersebut diberikan secara beragam program, seperti untuk dana
kesehatan, dana pendidikan, dana kaum duafa. Ada fasilitas pendidikan yang
didirikan berupa sekolah yang di bentuk Baitul mal Muamalat. Dewan pengawas
Syariah (DPS) ada yang di induksi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Tugas
DPS adalah sebagai pengambil kebijakan atas produk-produk yang dipasarkan
melalui proses penggodokan dengan mengeluarkan fatwa halal dan haramnya
program tersebut. Apabila terjadi perbedaan yang tidak dapat disetujui, maka
produk tersebut tidak akan dipasarkan. Mengenai laporan evaluasi berkaitan
pengawasan di ajukan ke DPS kemudian di tindak lanjuti ke DSN, BI dan OJK
100 Lee, K.-h., & Ullah, S. (2011). Customers’ attitude toward Islamic banking in
Pakistan. International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, 4(2), 131-145;
Syed Akif Hasan, Muhammad Imtiaz Subhani and Ms. Amber Osman, “Consumer Criteria
for the Selection of an Islamic Bank: Evidence from Pakistan” International Research Journal of Finance and Economics (IRJFE) No. 94, (2012), 5.
101 Asari, F. F., Idris, A. R., Januri, S. S., Jusoff, K., Muhammad Naziman, K. N.,
Muhammad, N., et
al. (2011). Religious Value as the Main Influencing Factor to Customers
Patronizing Islamic Bank.
World Applied Sciences, 12, 8-13; Syed Akif Hasan, Muhammad Imtiaz Subhani
and Ms. Amber Osman, “Consumer Criteria for the Selection of an Islamic Bank:
Evidence from Pakistan” International Research Journal of Finance and Economics (IRJFE) No. 94, (2012), 5.
179
sebagai aturan konstitusi.102 Melihat pada jawaban tersebut, diketahui bahwa
bank syariah telah menerapkan prinsip syariah dalam transaksinya.
Menurut pihak bank Muamalat, efektivitas BANK Syariah akan
mendukung operasional bisnis tumbuh lebih baik. Dalam hal masyarakat bisnis
agak terganggu dengan wajib Bank syariah karena bank sudah biasa dengan Bank
konvensional dan cakupan bank konvensional cukup luas, dan mengenai semua
bank syariah wajib syariah di Aceh, tetap di terapkan, namun masih mendirikan
gerai konvensional sampai batas waktu konversi yang ditentukan. Hingga saat ini,
Bank Syariah stabil secara bisnis, walaupun keuntungannya tidak terlalu besar.
Dan kesimpulannya, bank syariah lebih menguntungkan dan stabil, karena sesuai
dengan akad yang diperjanjikan hasilnya sesuai syariah, apabila ada keuntungan
dibagi secara proporsional.103
D. Maslahat Penerapan Wajib Bank Syariat pada Masyarakat Aceh
Tujuan utama diturunkannya syariat yang dibawa oleh Rasulullah adalah
untuk kemaslahatan hidup manusia, bukan untuk menjadikan sulit dan
memberatkan. Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 185 sebagai
berikut:
عس .... م ال
بك
يريد
يس ول
م ال
بك
ه الل
...... يريد
Artinya: ....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....
Allah juga berfirman dalam surat al-Ma’idah ayat 6 sebagai berikut:
هنعمت وليتم م
رك ه
ليط
ريد ي كن
ل و حرج ن م م
يكعل ليجعل
هالل
يريد ما م ...........
كعلل م
يكعل
رون
كش ت
Artinya: ..... Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.
Dua ayat di atas menjadi argumen para ulama bahwa tujuan syariat Islam
adalah untuk kemudahan hidup manusia, sehingga muncul sebuah kaidah yang
menyatakan “bilamana ditemukan suatu maslahat, maka di sana ada hukum Allah.
Meskipun 2 ayat di atas dilihat dari kandungannya berhubungan dengan bersuci,
tapi tetap dapat dijadikan hujah dalam hukum atau ketentuan syariat lainnya.
Berkaitan dengan kemudahan yang diinginkan oleh syariat, Menurut
Fathurrahman Djamil, Hukum Islam memiliki 5 Prinsip, yaitu:
1. Meniadakan kesulitan dan tidak memberatkan,
102 Syahrina, Wawancara dengan staf Customer Service Bank Muamalat Banda
Aceh, Maret 2021 103 Syahrina, Wawancara dengan staf Customer Service Bank Muamalat Banda
Aceh, Maret 2021
180
Hal ini, sesuai dengan tabiat manusia tidak menyukai beban yang
membatasi kemerdekaannya dan manusia senantiasa memperhatikan
beban hukum dengan sangat hati-hati. Manusia tidak bergerak
mengikuti perintah terkecuali kalau perintah-perintah itu dapat
menawan hatinya, kecuali perintah yang dikerjakan dengan
keterpaksaan. Syariat Islam dapat menarik manusia dengan amat cepat
dan mereka dapat menerimanya dengan penuh ketetapan hati. Hal ini
adalah karena Islam menghadirkan pembicaraannya kepada akal, dan
mendesak manusia bergerak dan berusaha serta memenuhi kehendak
fitrah yang sejahtera. Hukum Islam menjunjung tinggi nilai toleransi,
persamaan, kemerdekaan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
yang munkar.104 Hukum Islam senantiasa memberikan kemudahan dan
menjauhi kesulitan, semua hukumnya dapat dilaksanakan oleh umat
manusia. Karena itu dalam hukum Islam dikenal istilah rukhshah
(peringanan hukum), d}aru>rah (hukum yang berlaku pada saat
terpaksa).105
2. Menyedikitkan beban,
Hal ini tampak dalam ajaran Nabi yang melarang para sahabat untuk
banyak bertanya tentang hukum yang belum ada, yang nantinya akan
memberatkan mereka sendiri. Nabi Saw justru menganjurkan agar
mereka memetik dari kaidah-kaidah umum. Yang sedikit tersebut,
justru memberikan kelapangan yang luas bagi manusia untuk berijtihad.
Dengan demikian, hukum Islam tidaklah kaku, keras, dan berat bagi
umat manusia. Dugaan-dugaan atau sangkaan-sangkaan tidak boleh
dijadikan dasar penetapan hukum. Islam mengajarkan umatnya agar
bersifat realistis. Pada suatu ketika, Nabi ditanya apakah kewajiban haji
itu tiap tahun, Nabi Saw menjawab: ”kalau pertanyaan itu saya jawab
”ya”, maka akan menjadi kewajiban bagiku: (karena itu), biarkan saja
selama aku meninggalkanmu, sungguh telah rusak beberapa kaum yang
sebelum kamu ini (terlalu) membanyakkan pertanyaan dan perselisihan
mengenai Nabi-Nabi mereka. Dalam syariat yang dibawa oleh Nabi
Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat sebagaimana
yang dipikulkan kepada Bani Israil. Misalnya, mensyariatkan
membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada
pembunuhan baik yang disengaja maupun tidak, tanpa membolehkan
membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan,
membuang atau menggunting kain yang kena najis.106
104 Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta:
Tintamas, 1975), 24. 105 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 43-44 106 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, 44-46
181
3. Ditetapkan secara bertahap,
Bangsa Arab ketika Islam datang mempunyai tradisi dan kesenangan
yang sukar dihilangkan dalam sekejap mata. Apabila dihilangkan
sekaligus, maka akan menyebabkan timbulnya konflik, kesulitan dan
ketegangan batin.107 Dalam sosiologi, Ibn Khaldun dinyatakan bahwa
"suatu masyarakat akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau
sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila
sesuatu yang baru tersebut, bertentangan dengan tradisi yang ada.108
Masyarakat senantiasa akan memberikan respons apabila timbul sesuatu
di tengah-tengah mereka. Dengan mengingat faktor tradisi dan rasa
tidak senangnya manusia untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari
suatu keadaan kepada keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka,
Al-Quran diturunkan berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi
ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan
cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa
dan lebih mendorong ke arah menaatinya, serta bersiap-siap
meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.109
4. Memperhatikan kemaslahatan manusia,
Hal itu didasarkan atas kenyataan bahwa hubungan sesama manusia
merupakan manifestasi dari hubungan dengan pencipta. Apabila baik
hubungan dengan manusia lain maka baik pula hubungan dengan
penciptanya. Oleh karena itu, hukum Islam sangat menekankan
kemanusiaan. Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum
tidak pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan.
Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok,
yaitu: Pertama, hukum-hukum ditetapkan sesudah masyarakat
membutuhkan hukum-hukum itu, Kedua, hukum-hukum ditetapkan
oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan
menundukkan masyarakat ke bawah ketetapannya, Ketiga, Hukum-
hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.110
Di samping itu, terbentuknya hukum Islam didorong oleh kebutuhan-
kebutuhan praktis, ia juga dicari dari kata hati untuk mengetahui yang
dibolehkan dan yang dilarang. Hakekat kemaslahatan dalam Islam
adalah segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral
107 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), 29. 108 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), 29. 109 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), 29-30; Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, 46-53
110 Hasbi Ash-Shiddiqy, Dinamika dari Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tinta
Mas, 1975), 19.
182
duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan
kolektif. Sesuatu dipandang Islam maslahat apabila memenuhi dua
unsur, yaitu: kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat, serta membawa
kebaikan (T}ayyib) bagi semua aspek secara menyeluruh yang tidak
menimbulkan mudarat dan merugikan pada salah satu aspek. Secara
luas, maslahat ditujukan pada pemenuhan visi kemaslahatan yang
tercakup dalam maqasid (tujuan) syariah yang terdiri dari konsep
perlindungan terhadap keimanan dan ketakwaan (dien), keturunan
(nasl), jiwa dan keselamatan (nafs), harta benda (ma>l) dan rasionalitas
(‘aql). Kelima unsur maslahat tersebut merupakan hak dasar manusia
hingga harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam
maqa>s}id syariah secara terintegrasi.
5. Mewujudkan keadilan yang merata.
Menurut syariat Islam, semua manusia sama. Tidak ada kelebihan
seorang manusia dari yang lain di hadapan hukum. Penguasa tidak
terlindung oleh kekuasaannya ketika ia berbuat kezaliman. Orang kaya
dan orang berpangkat tidak terlindung oleh harta dan pangkat ketika
yang bersangkutan berhadapan dengan pengadilan Allah. Dalam
khutbah haji wada’ yang pengikutnya hampir seluruh orang
berkebangsaan Arab, Rasul bersabda: tidak ada perbedaan antara orang-
orang Arab dengan orang-orang ‘ajam”. Di samping orientasi keadilan,
hukum Islam juga berorientasi pada moralitas. Keadilan dalam Islam
adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan
sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai
posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi berupa
aturan prinsip muamalah yang melarang kegiatan-kegiatan yang pada
akhirnya akan bertentangan dengan keadilan. Larangan-larangan
tersebut adalah aktivitas ekonomi yang mengandung unsur riba (unsur
bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun riba
fadhl), dzalim (segala bentuk aktivitas, yang merugikan diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan baik bersifat jangka pendek maupun
jangka panjang), maysir (setiap aktivitas yang mengandung unsur judi
dan sikap untung-untungan), gharar (setiap transaksi yang mengandung
unsur ketidakjelasan akan objek transaksi), dan haram (setiap hal yang
mengandung haram baik dari segi objek maupun aktivitas
operasionalnya).111
Semua prinsip ekonomi Islam di atas menunjukkan bahwa tujuannya adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat. Maslahat
tersebut memiliki 2 sifat, yaitu:
111 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, 55-
57.
183
1. Maslahat bersifat subjektif, dalam arti setiap individu menjadi penentu
bagi dirinya sendiri dalam menentukan apakah suatu perbuatan
merupakan suatu maslahat bagi dirinya atau bukan. Namun kriteria
maslahat ini ditentukan oleh syariat dan sifatnya mengikat, misalnya
tentang bunga, meskipun itu baik menurut dirinya, tetapi karena syariat
menetapkannya haram, karena disamakan dengan riba, maka penilaian
individu tersebut menjadi gugur.
2. Maslahat orang perorang akan konsisten dengan maslahat orang
banyak. Konsep ini berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu
keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meninggalkan tingkat
kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan
kepuasan atau kesejahteraan orang lain.112
Banyak ahli ekonomi Islam yang menyatakan tujuan dari pendirian Bank
Syariah, di antaranya menyebutkan bahwa tujuannya ada 4, yaitu:
1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat miskin,
2. Meminimalkan kesenjangan sosial ekonomi,
3. Meningkatkan kualitas dan kegiatan usaha dan peningkatan kesempatan
kerja dan pendapatan masyarakat.
4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan
terutama dalam bidang ekonomi keuangan.
Tujuan-tujuan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan
ekonomi umat yang sebagian besar tidak mau berhubungan dengan bank
konvensional karena beranggapan bahwa bunga bank adalah riba.113 Selain 4
tujuan di atas, Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Muhammad mengatakan
tentang 6 tujuan pendirian bank syariah, yaitu:
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara
Islami, khususnya muamalah yang berhubungan dengan bank agar
terhindar dari praktik riba atau jenis perdagangan lain yang
mengandung unsur gharar (tipuan), di mana jenis usaha itu selain
dilarang dalam Islam juga berdampak negatif terhadap Pertumbuhan
ekonomi umat,
2. Meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka Peluang
usaha yang lebih besar terutama terhadap masyarakat miskin yang lebih
besar dan diarahkan pada kegiatan usaha produktif, menuju terciptanya
kemandirian berusaha (wiraswasta).
112 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Perspektif Maqa>s}id al-Shari>’ah (Jakarta: Kencana, 2014), 163-164; Muhammad Nejatullah
Siddiqi, Kegiatan Ekonomi dalam Islam Terj. Anas Sidik dari judul: The Economic
Enterprise in Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), 15. 113 Mohammad Saif Noman Khan, M. Kabir Hassan & Abdullah Ibneyy Shahid,
“Banking Behavior of Islamic Bank Customers in Bangladesh” Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 160.
184
3. Menciptakan keadilan di bidang ekonomi dengan pemerataan
pendapatan melalui kegiatan investasi agar tidak terjadi kesenjangan
antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan
dana (orang miskin). 114
4. Mengentaskan kemiskinan yang pada umumnya merupakan program
utama dari negara berkembang. Upaya bank Islam dalam mengentaskan
kemiskinan berupa pembinaan nasabah untuk membangun
kebersamaan, pembinaan konsumen, pembinaan modal kerja dan
pembinaan usaha bersama.
5. Menjaga stabilitas ekonomi moneter pemerintah.
6. Menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank-bank
konvensional yang menyebabkan umat Islam berada di bawah
kekuasaannya, sehingga tidak bisa melaksanakan ajaran agama Islam
secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomian.115
Selain 6 tujuan di atas, ada juga yang menyatakan bahwa tujuan utama
Perbankan dan Keuangan Islam secara ringkas ada 3, sebagai berikut:
1. Penghapusan Bunga (Riba) dari semua transaksi keuangan dan
mengganti semua kegiatan bank dan lembaga keuangan agar sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam
2. Pencapaian penghasilan atau pendapatan dan kekayaan secara seimbang
3. Promosi pembangunan | ekonomi.116
Berhubungan dengan tujuan implementasi ekonomi Islam dalam perbankan,
pemerintah Aceh menerbitkan qanun No. 11 tentang lembaga keuangan Syariah
dengan 8 tujuan, yaitu:
1. Mewujudkan perekonomian Aceh yang islami ;
2. Menjadi penggerak dan pendorong pertumbuhan perekonomian Aceh;
3. Menghimpun dan atau memberikan dukungan pendanaan serta
menjalankan fungsi lembaga keuangan berdasarkan Prinsip Syariah;
4. Menjalankan fungsi sosial lainnya termasuk memanfaatkan harta agama
untuk kemaslahatan umat berdasarkan Prinsip Syariah;
5. Mendorong peningkatan Pendapatan Asli Aceh ;
6. Meningkatkan akses pendanaan dan usaha bagi masyarakat;
7. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas
masyarakat;
8. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.117
Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka diketahui bahwa semua tujuan
yang disebutkan dalam qanun itu adalah kemaslahatan masyarakat Aceh. Karena
114 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 115 Sumitro, W.1997 116 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 80 117 Lihat pasal 5 Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan
Syariah
185
itu, maslahat menjadi ukuran yang dijadikan penulis untuk mengetahui pengaruh
implementasi qanun bagi kehidupan masyarakat Aceh. Penghubungan maslahat
dengan tujuan-tujuan di atas, didasarkan pada pendapat Sarjono Soekanto yang
menyatakan bahwa untuk melihat pengaruh suatu hukum, maka yang harus dilihat
adalah tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan dalam aturan perundang-
undangan.118
Jika dilihat, maka tujuan qanun tersebut adalah maslahat untuk rakyat
Aceh. Masalahat adalah memberi kebaikan dan keuntungan kepada orang lain dan
masyarakat yang dalam istilah arab disebut Jalb al-Mana>fi’, dan menghindarkan
manusia dari keburukan dan kehancuran yang dalam istilah fikih disebut dengan
Dar’ul Mafa>sid. Tujuan utama maslahat adalah memperoleh kemenangan (fala>h})
atau kebahagiaan di dunia dan di akhirat, dan itulah tujuan utama syariat. Dengan
demikian, maka tujuan penetapan qanun Aceh, telah sesuai dengan Maqa>s}id al-Shari>’ah yang dilaksanakan dalam aktivitas manusia sehari-hari dalam usaha
untuk mencukupi kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder, dan bank syariah
mendukung aktivitas manusia dalam kegiatan bisnis dan transaksi keuangan,
karena itu harus memiliki tujuan yang sama, yang didasarkan atas syariah, yaitu
maslahat untuk umat manusia. Dengan misi ini, bank syariah akan dapat
menciptakan keseimbangan ekonomi dan membantu mengatasi problem
masyarakat dalam bidang kemiskinan, kesulitan mencari pekerjaan dan
permasalahan sosial lainnya.119
Untuk melihat tingkat maslahat yang diperoleh masyarakat Aceh sebagai
dampak atau manfaat dari penerapan wajib bank syariah, maka ada indikator
utama yang digunakan untuk mengukurnya. Menurut Fathurrahman Djamil
(2013), dikatakan bahwa maslahat memiliki 5 Indikator, yaitu: dapat memberikan
keringanan, kemudahan, kesejahteraan, kebahagiaan dan keuntungan.120 Untuk itu,
5 indikator ini menjadi acuan penulis dalam mengukur tingkat maslahat yang
ditimbulkan atau dipengaruhi oleh penerapan wajib bank Syariah di Aceh.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola bank di Aceh, penulis
menemukan bahwa pihak bank merasakan maslahat dari pemberlakuan wajib bank
syariah di Aceh, dalam bentuk berkembangnya usaha yang mereka nyatakan
sebagai bertambahnya berkah. Adapun untuk mendapatkan informasi mengenai
manfaat penerapan qanun Aceh No. 11 tahun 2018, yang dirasakan oleh
masyarakat, peneliti melakukan wawancara kepada penduduk Aceh, dan dari 50
informan yang berhasil di wawancara, 30 orang menyatakan bahwa penerapan
118 Sarjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi (Bandung: CV
Remadja Karya, 2019), 7. 119 Lucky Nugroho, Ahmad Badawi, dan Nurul Hidayah, “Discourses of
Sustainable Finance Implementation in Islamic Bank (Cases Studies in Bank Mandiri
Syariah 2018)” Internasional Journal of Finansial Research Vol, 10, No. 6 (2019), 108-117. 120 Agus Dhani Mandaladikari, Implementasi Nilai-Nilai Syariah dan Kesejahteraan
Masyarakat: Studi Pada Induk Koperasi Angkatan Darat (Cirebon: Nusa Litera Inspirasi,
2020), 247.
186
syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, 9 orang menyatakan
tidak, dan 11 orang tidak menjawab dengan pasti. Berikut datanya dalam bentuk
tabelnya:
Tabel 23
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Wajib Bank Syariah di Aceh akan mendatangkan
masalahat
30 60%
Wajib Bank Syariah di Aceh tidak mendatangkan
masalahat
9 18%
Tidak mengetahui tentang wajib bank syariah di
Aceh
11 22%
Jumlah 50 100%
Berdasarkan dengan data di atas, maka dapat diketahui mayoritas
masyarakat menganggap baik terhadap penerapan qanun dan hanya 17,6% yang
menyatakan bahwa penerapan qanun tidak akan membawa kebaikan atau
maslahat. Selanjutnya, sesuai dengan indikator maslahat yang telah dipaparkan,
maka penulis mengukur tingkat maslahat yang dirasakan oleh penduduk Aceh
menggunakan 5 indikator tersebut sebagai berikut:
1. Keringanan yang diperoleh Masyarakat
Dari 50 informan yang berhasil di wawancara, 37 orang atau 74%
menyatakan bahwa penerapan syariat Islam dalam perbankan akan
menyebabkan adanya keringanan, 8 orang atau hanya 16% menyatakan
tidak, dan 5 orang tidak menjawab dengan pasti. Berikut diagram jawaban
penduduk Aceh tersebut:
Tabel 24
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan
keringanan
37 74%
Wajib Bank Syariah di Aceh tidak
memberikan keringanan
8 16%
Tidak mengetahui tentang keringanan dari
wajib bank syariah di Aceh
5 10%
Jumlah 50 100%
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih spesifik dan valid, peneliti
mencoba menggali lebih jauh keringanan macam apa yang diperoleh oleh
187
masyarakat. Dari hasil wawancara diperoleh data: 29 orang menjawab
mendapat keringanan, dengan 17 jawaban keringanan dalam transaksinya, 5
jawaban menyatakan keringanan dengan tidak adanya denda, 17 jawaban
mengatakan keringanan karena tidak adanya bunga, 4 jawaban menjelaskan
bahwa proses dalam peminjaman dana sangat mudah, 5 jawaban
menyatakan karena persyaratannya yang sederhana, 16 jawaban
menyatakan bahwa mereka merasa aman dan tenteram pada saat
bertransaksi dengan bank syariah, dan 20 jawaban yang lain tidak
menjelaskan dengan spesifik.
Selain itu, ada pula yang menjawab bahwa keringanan itu tidak ada,
dengan beberapa alasan, yaitu: 17 jawaban mengatakan rumit aturannya, 11
orang menjawab lama prosesnya, 20 orang menyatakan kurang fasilitasnya,
14 jawaban menganggap susah dalam transaksinya, 12 orang mengatakan
masih kurang sosialisasinya, 4 jawaban mengatakan masih sedikit
peminatnya, dan 26 jawaban yang tidak menyebutkan secara spesifik dan
jelas alasannya, dan secara keseluruhan, yang merasakan mendapatkan
keringanan jumlahnya lebih banyak daripada yang tidak. Jawaban-jawaban
tersebut dapat tergambar lebih jelas dalam tabel di bawah ini:
Tabel 25:
Bentuk-bentuk Keringanan Masyarakat
No. Bentuk Keringanan Jumlah Informan
1 proses mudah 4
2 ringan dalam transaksinya 17
3 tidak adanya denda 5
4 tidak adanya bunga 17
5 Mendapat Keringanan 29
6 persyaratannya yang sederhana 5
7 aman dan tenteram 16
Lain-lain 20
Tabel 26
Bentuk-bentuk yang memberatkan Masyarakat
No. Bentuk yang Memberatkan Jumlah
Informan
1 Rumit Aturannya 17
2 Lama Prosesnya 11
3 Kurang Fasilitasnya 20
188
4 Susah Dalam Transaksinya 14
5 Kurang Sosialisasinya 12
6 Sedikit Peminatnya 4
7 Lain-Lain 26
Berdasarkan hasil jawaban di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
kebanyakan masyarakat memang sudah mengetahui apa itu bank syariah,
tetapi mereka tidak mengetahui produk-produk yang ditawarkan bank
syariah sehingga masyarakat yang tidak tahu produk-produk bank syariah
tentunya tidak akan berminat untuk menggunakan jasa bank syariah karena
mereka menganggap bahwa fasilitas penunjang yang diberikan masih kalah
dengan fasilitas yang ditawarkan oleh bank konvensional, kecuali orang
yang mempunyai keinginan kuat menabung pada bank Syariah dikarenakan
menghindari unsur riba. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang
bank Syariah juga akan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
bank syariah itu sendiri. Dengan kata lain bahwa pandangan masyarakat
terhadap bank syariah tergantung pada pengetahuan mereka. Jika
pengetahuan tentang bank syariah rendah maka dalam memandang bank
syariah pastinya akan rendah pula.121
2. Kemudahan yang diperoleh Masyarakat
Dari 50 informan yang berhasil di wawancara, 33 orang menyatakan
bahwa penerapan syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan
kemudahan, 11 orang menyatakan tidak, dan 6 orang tidak menjawab
dengan pasti
Tabel 27
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan
kemudahan
33 66%
Wajib Bank Syariah di Aceh tidak
memberikan kemudahan
11 22%
Tidak mengetahui tentang kemudahan dari
wajib bank syariah di Aceh
6 12%
Jumlah 50 100%
121 Ida Royani Pasi, “Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Perilaku
Masyarakat Pada Bank Syariah” Jurnal Al-Qasd, Vol. 1 No. 2 Februari (2017), 191.
189
Sementara itu, yang menjawab ada kemudahan ada 40 orang.
Kemudahan itu dalam bentuk usaha mandiri, dan yang menjawab itu ada 4
orang, 14 orang menyatakan kemudahannya dalam proses transaksi, 7
orang menyatakan tidak rumit, 7 jawaban dalam kemudahan
persyaratannya, dan 36 orang dalam kehalalannya, dan 5 jawaban dalam
kecepatan realisasinya, 10 jawaban menentramkan, 6 jawaban
menyenangkan, dan 15 lainnya merasakan kemudahan yang berbeda-beda.
Namun, ada juga yang tidak mau meminjam kepada bank syariah
dengan beberapa alasan, yaitu: 16 orang menjawab rumit, 9 orang
menyatakan susah persyaratannya, 20 orang menyatakan fasilitasnya
kurang, 15 orang menganggap tidak ada perbedaan dengan bank
konvensional, 14 orang menyatakan kurang nyaman, 3 orang menjawab
karena ada risiko yang harus ditanggung, dan 25 orang dengan jawaban
yang berbeda-beda. Tabel berikut menggambarkan perbedaan tersebut:
Tabel 28
No. Bentuk Kemudahan Jumlah
Informan
1 Mendapat Kemudahan 40
2 Usaha Mandiri 4
3 Proses Transaksi 14
4 Tidak Rumit 7
5 Kemudahan Persyaratannya 7
6 Kehalalannya 36
7 Kecepatan Realisasinya 5
8 Menentramkan 10
9 Menyenangkan 6
10 Lain-Lain 15
Tabel 29
Bentuk Kesulitan Masyarakat Aceh
No. Bentuk Kesulitan Jumlah Informan
1 Susah Persyaratannya 9
2 Fasilitasnya Kurang 20
3 Ada Risiko 3
4 Rumit 16
5 Tidak Berbeda Dengan Bank Konvensional 15
190
6 Kurang Nyaman 14
7 Lain-Lain 25
Jika dilihat dengan lebih seksama, maka tampak adanya kontradiksi
dari jawaban masyarakat yang berhasil dikumpulkan, di satu pihak
menyatakan mudah, tapi di pihak lainnya menyatakan sulit. Namun ada
hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu adanya anggapan bahwa
bank syariah, tidak berbeda dengan bank konvensional.
3. Kesejahteraan yang diperoleh Masyarakat
Dari 50 informan yang berhasil di wawancara, 34 orang menyatakan
bahwa penerapan syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan
maslahat dalam bentuk kesejahteraan, 7 orang menyatakan tidak, dan 9
orang tidak menjawab dengan pasti. Berikut diagramnya:
Tabel 30: Indikator Kesejahteraan
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan
kesejahteraan
34 68%
Wajib Bank Syariah di Aceh tidak
memberikan kesejahteraan
7 14%
Tidak mengetahui tentang kesejahteraan
dari wajib bank syariah di Aceh
9 18%
Jumlah 50 100%
Berkaitan dengan kesejahteraan ini, penulis mengambil tolak
ukurnya dari peningkatan perekonomian warga masyarakat. Berdasarkan
hasil wawancara, diperoleh data 22 orang yang menyatakan bahwa
pemberlakuan wajib bank syariah dapat membantu peningkatan
perekonomian mereka melalui perkembangan usahanya, 4 jawaban
menunjukkan bahwa ketentuan hukum ini dapat meningkatkan
penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, 1 jawaban
mengatakan bahwa kualitas pendidikannya meningkat, 19 jawaban
menerangkan adanya kemaslahatan, 15 orang menjelaskan adanya nilai
positif, dan 17 lainnya tidak memberikan jawaban secara spesifik.
Selain itu, ada pula yang menganggap bahwa pemberlakuan qanun
ini tidak memberikan pengaruh apa-apa pada peningkatan perekonomian
mereka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya: 4 jawaban
menyatakan karena susah dalam usahanya, 5 jawaban menyatakan karena
tidak ada kompromi dari pihak bank terhadap nasabahnya, 5 yang lainnya
menyatakan bahwa modal usaha yang berat, 3 orang menjawab karena
191
usahanya tidak lancar, 6 orang mengatakan belum mampu mencukupi
kebutuhan, 1 jawaban karena adanya kredit macet, 4 orang menyatakan
bahwa penghasilannya menurun, dan 35 yang lainnya menjawab berbeda-
beda dengan kurang jelas. Untuk lebih jelasnya penulis gambarkan dalam
tabel berikut:
Tabel 31:
No. Bentuk Kebahagiaan Jumlah
Informan
1 Menjadi Lebih Sejahtera 22
2 perkembangan usahanya 4
3 mencukupi kebutuhan hidup 1
4 kualitas pendidikannya meningkat 19
5 adanya kemaslahatan 15
6 adanya nilai positif 17
7 Lain-lain 22
Tabel 32:
No. Bentuk Kebahagiaan Jumlah Informan
1 Ekonomi Tidak Meningkat 4
2 susah dalam usahanya 5
3 tidak ada kompromi 5
4 modal usaha yang berat 3
5 usahanya tidak lancar 6
6 belum mampu mencukupi kebutuhan 4
7 penghasilannya menurun 35
8 Lain-lain 4
Dari total pernyataan yang disampaikan oleh informan, sebanyak 78
orang merasakan adanya peningkatan kesejahteraan, dan hanya 27 orang
yang menyatakan tidak adanya pengaruh penerapan prinsip syariah dalam
perbankan di Aceh. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberlakuan qanun ini telah membantu masyarakat dalam peningkatan
kesejahteraan, meskipun belum secara menyeluruh.
4. Kebahagiaan yang diperoleh Masyarakat
Salah satu indikator maslahat adalah dapat memberikan rasa Bahagia.
Berdasarkan pada hasil wawancara terhadap penduduk Aceh, peneliti
menyimpulkan bahwa penerapan wajib bank Syariah dapat menyebabkan
192
munculnya kebahagiaan penduduk. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara
penulis terhadap 50 warga masyarakat, yang menghasilkan 68% penduduk,
yakni 34 orang menyatakan Bahagia atas penerapan wajib bank Syariah, dan
hanya 12% atau 6 orang yang menyatakan tidak, serta ada 20% yaitu 10
orang penduduk yang tidak memberikan jawaban pasti atas pengaruh dari
penerapan wajib bank Syariah di Aceh. Berikut diagramnya:
Tabel 33
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan
kebahagiaan
34 68%
Wajib Bank Syariah di Aceh tidak
memberikan kebahagiaan
6 12%
Tidak mengetahui tentang kebahagiaan
dari wajib bank syariah di Aceh
10 20%
Jumlah 50 100%
Berkaitan dengan rasa bahagia ini, penulis tidak mendapatkan
gambaran pasti bagaimana masyarakat merasakannya, namun dari
banyaknya jumlah informan yang menyatakan bahwa mereka merasa
bahagia, penulis menyimpulkan bahwa penerapan qanun Aceh, memiliki
pengaruh yang cukup signifikan terhadap penduduk Aceh.
5. Keuntungan yang diperoleh Masyarakat
Penulis menyimpulkan bahwa pelaksanaan syariat Islam dalam
perbankan di Aceh, akan membawa keuntungan bagi masyarakat. Hal ini
didasarkan pada hasil wawancara terhadap 50 orang, dan 32 orang atau sama
dengan 64% di antara mereka menyatakan bahwa perbankan Syariah akan
menyebabkan keuntungan bagi mereka, sedangkan yang tidak menyetujui
adanya keuntungan dari implementasi perbankan Syariah hanya 8 orang, atau
16%, dan yang tidak memberikan jawaban dengan pasti ada 10 orang, yakni
20% (dua puluh persen). Berikut tabelnya
Tabel 34
Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah
Informan
Persentase
Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan
keuntungan
32 64%
Wajib Bank Syariah di Aceh tidak memberikan
keuntungan
8 16%
193
Tidak mengetahui tentang keuntungan dari
wajib bank syariah di Aceh
10 20%
Jumlah 50 100%
Untuk mengetahui keuntungan apa yang diperoleh nasabah atau
masyarakat, peneliti mencoba mengajukan beberapa pertanyaan secara lebih
spesifik, dan ternyata yang menyatakan mendapatkan keuntungan ada 32
orang menyatakan mendapatkan keuntungan karena mudah transaksinya, 2
orang menjawab karena banyak pelanggannya, 6 jawaban karena kepercayaan
yang tinggi, 19 jawaban karena tidak ada bunganya, 8 jawaban karena
mendapatkan bagian keuntungan, 3 jawaban karena mendapatkan nilai
tambah, 17 jawaban tidak memberikan alasan yang pasti.
Adapun di antara warga masyarakat yang merasa bahwa pemberlakuan
bank syariah tidak mendatangkan keuntungan untuk mereka. Alasannya pun
bermacam-macam, 12 orang mengatakan bahwa administrasinya susah, 8
orang mengatakan karena ada uang jasa (margin), 12 jawaban mengatakan
karena kurang fasilitasnya, 5 jawaban mengatakan bahwa persyaratannya
sulit, dan 2 orang mengatakan prospeknya kurang, dan 23 lainnya
mengatakan jawaban yang kurang jelas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dalam tabel di bawah ini:
Tabel 35:
No. Bentuk keuntungan Jumlah Informan
1 Mudah Transaksinya 32
2 Banyak Pelanggannya 2
3 Kepercayaan Yang Tinggi 6
4 Tidak Ada Bunganya 19
5 Mendapatkan Bagian Keuntungan 8
6 Mendapatkan Nilai Tambah 3
7 Lain-Lain 17
Tabel 36:
No. Masyarakat yang tidak mendapatkan Keuntungan Jumlah
Informan
1 Administrasinya Susah 12
2 Ada Uang Jasa (Margin) 8
3 Karena Kurang Fasilitasnya 12
4 Persyaratannya Sulit 5
5 Prospeknya Kurang 2
6 Lain-Lain 23
194
Berdasarkan pada temuan-temuan di atas, maka, penulis
menyimpulkan bahwa pemberlakuan wajib bank syariah telah memberikan
pengaruh pada kemaslahatan penduduk Aceh, meskipun belum terlalu
banyak, karena dalam kenyataannya, masih banyak warga Aceh yang belum
merasakan manfaatnya. Berikut tabel hasil pengukuran maslahat wajib bank
syariah di Aceh.
Tabel 37:
Hasil Pengukuran Tingkat Manfaat
Regulasi Wajib Bank Syariah di Aceh
No Indikator Manfaat Terhadap Kemaslahatan Keterangan
1 Kesejahteraan Meningkatkan Kesejahteraan Memenuhi
2 Kebahagiaan Memperoleh Kebahagiaan Memenuhi
3 Keuntungan Mendapatkan Keuntungan Memenuhi
4 Kemudahan Memperoleh Kemudahan Memenuhi
5 Keringanan Mendapatkan keringanan Memenuhi
195
BAB VI
PENUTUP
Dari hasil penelitian tentang "Efektivitas Regulasi Wajib Bank Syariah di
Aceh dan Manfaatnya untuk Kemaslahatan Rakyat: Analisis pada Implementasi
Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang lembaga keuangan Syariah (LKS )" dapat
dibuat simpulan dan saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Dalam bab penutup ini penulis akan menyampaikan kesimpulan yang
merupakan jawaban dari 3 rumusan masalah yang telah ditetapkan di Bab 1, yaitu:
Bagaimana Efektivitas penerapan qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga
keuangan syariah, Bagaimana implementasi prinsip-prinsip syariah dalam Bank
syariah di Aceh, dan Bagaimana manfaat penerapan wajib Bank syariah di Aceh
untuk kemaslahatan rakyat.
Tingkat efektivitas berdasarkan lima indikator pengukuran efektivitas
terdapat empat indikator telah memenuhi kriteria ukuran efektivitas, kecuali sarana
dan fasilitas pendukung penerapan hukum Qanun tidak memenuhi dua kriteria yaitu
ringkas dan mudah, serta mudah dilaksanakan..
Untuk Implementasi prinsip Syariah pada pelaksanaan wajib Bank Syariah
Menemukan bahwa masyarakat Aceh memahami syariat Islam sebagai sebuah
kewajiban secara kafah,termasuk didalamnya larangan riba Mengacu pada Qanun
aceh Nomor 11 Tahun 2018.
Pada manfaat wajib bank Syariah berdasarkan tingkat efektivitas
membuktikan bahwa sebagian masyarakat Aceh sudah merasakan manfaatnya dari
Bank Syariah yang menerapkan Regulasi Wajib Bank Syariah, sementara Sebagian
kecil yang berkaitan sarana dan fasilitas bagi masyarakat Aceh yang menghadapi
masalah kebutuhan tersebut belum sepenuhnya merasakan manfaat wajib Bank
Syariah.
B. Saran dan Rekomendasi
Penelitian ini telah menemukan beberapa masalah yang terjadi di masyarakat
dan menetapkan kesimpulan yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi untuk para
pemangku kepentingan dan para peneliti selanjutnya untuk dapat dilakukan
penelitian lebih mendalam, saran dan rekomendasi dari penulis adalah sebagai
berikut:
1. Untuk pemerintah Aceh, penulis memberikan saran agar meningkatkan
sosialisasi qanun secara menyeluruh kepada masyarakat tentang adanya
ketentuan wajib bank syariah dan tujuan pemberlakuannya, agar
pemahaman masyarakat terhadap qanun ini menjadi lebih komprehensif,
dan dapat menerimanya dengan tanpa paksaan.
196
2. Pemerintah dan bank syariah harus melakukan edukasi terhadap
masyarakat agar mereka memahami maksud dan tujuan serta kelebihan
bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional agar dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dengan
prinsip syariah. Penyediaan fasilitas untuk memudahkan transaksi harus
segera diupayakan.
3. Pemerintah Aceh harus mengalokasikan anggaran untuk memenuhi sarana
dan fasilitas yang dibutuhkan untuk pemberlakuan wajib bank syariah
agar menjadi lebih efektif, dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara luas.
4. Lembaga keuangan syariah yang dimuat dalam qanun Aceh No. 11 tahun
2018, tidak hanya terbatas pada lembaga perbankan saja, di dalamnya
tercakup lembaga lainnya seperti pegadaian, asuransi, dan lain-lain,
karena itu, bagi para peneliti dan akademisi, yang ingin meneliti tentang
implementasi qanun ini, dapat mencurahkan fokus penelitian selanjutnya
pada lembaga keuangan selain perbankan.
197
197
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Nasional dan Internasional:
Afrianty, Dina. “Sharia police and the regulating of morality”, International Conference Negotiating Diversity in Indonesia, Singapore Management
University November 5-6, 2012,3.
Ahmad, Nor Hayati. and Ahmad, Sharul Nizam. “Key Factors Influencing Kredit
Risk of Islamic Bank: A Malaysian Case” JMIFR Volume 1 No. 1 (2004),
PP. 65-80.
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. “The Application Of Islamic Law In
Indonesia:...,
Alim, Muhammad. “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan
Konstitusi”, Jurnal Hukum No.1 Vol. 17 Januari 2007.
Aliyul, Sirajo. Yusof, Rosylin Moh. Profitability and Cost Efficiency of Islamic Banks: A PanelAnalysis of Some Selected Countries, International Journal
of Economics and Financial Issues | Vol 6 • Issue 4 • 2016, 1736.
Almoharby, Darwish. The current world business meltdown: Islamic religion as a regulator, Jurnal internasional Humanomics Vol. 27 No. 2, 2011 pp. 97-108
q Emerald Group Publishing Limited 0828-8666 DOI
10.1108/08288661111135108 (Acccessed, Juli 23, 2014).
Ansori. “Pengungkapan Sharia Compliance dan Kepatuhan Bank Syariah” Jurnal Dinamika Akuntasi, 3, 2, Maret(2001)
Asari, F. F., Idris, A. R., Januri, S. S., Jusoff, K., Muhammad Naziman, K. N.,
Muhammad, N., et al. (2011). Religious Value as the Main Influencing
Factor to Customers Patronizing Islamic Bank.
Asbeig, Hussam I. and Kasim, Salina H. Monetary Policy Transmission through the Bank-Financing Channel in Malaysia: Evidence from Bank-Level Data,
Journal of Economic Cooperation and Development, 35, 2 (2014), 121-136
Azmi, Naelul. Mahardika,Rahardi “Problematika Sistem Ekonomi Islam di
Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4,
No. 1, Februari (2020): 8-24, 15.
Bahri, Samsul. “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai dari Wilayah NKRI”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12 No 2 Mei 2012.
Bennett, Michael S. and Iqbal, Zamir. How socially responsible investing can help bridge the gapbetween Islamic and conventional financial markets, Washington, DC, USA, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 6 No. 3, 2013.
Bruinessen, Martin van. “Islamic state or state Islam? Fifty years of state-Islam
relations in Indonesia”, Ingrid Wessel (ed.), Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts, Hamburg: Abera-Verlag, pp: 19-34.
Cammack, Mark E. And Feener, R. Michael. “The Islamic Legal System In
Indonesia” , Pacific Rim Law & Policy Journal, Vol. 21 No. 1, 2017.
198
Chapra, M. Umer and Habib, Ahmed. Corporate Governance in Islamic Financial
Institutions, Occasional Paper No. 6, (Islamic Research and Training
Institute/Islamic Development Bank: Jeddah, 2002.
Chong, Beng Soon and Liu,Ming-Hua “Islamic banking: Interest-free or interest-
based?” Pacific-Basin Finance Journal 17 (2009): 125–144.
Dar, Humayon A. And Presley,John R. “Lack of profit loss sharing in Islamic
banking: management and control imbalances” International Journal of Islamic Financial Services 2 (2) 2000
el Ghazali, Abdel Hamid. Profit Versus Bank Interest in Economic Analysis and Islamic Law, Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic
Development Bank, 1994
El Junusi, Rahman. “Implementasi Syariah Governance, serta Implikasinya
Terhadap Reputasi dan Kepercayaan Bank Syariah”, Prosiding Annual
International Conference on Islamic Studies (AICIS XII), 1831;
Fahmi, Chairul. “Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh (Kajian terhadap
UU No.11 Tahun 2006)”, Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, No. 2, Oktober 2012.
Halim, Marah. “Eksistensi Wilayatul Hisbah Dalam Sistem Pemerintahan Islam”,
Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. X, No. 2, Februari 2011.
Hasan, Samiul. “Business sustainability and the UN Global Compact: A "public
interest" analysis for Muslim majority countries” Intellectual Discourse; Kuala Lumpur Vol. 23, Iss. 1, (2015): 7-28.
Hasan, Syed Akif. Subhani, Muhammad Imtiaz and Osman,Ms. Amber “Consumer
Criteria for the Selection of an Islamic Bank: Evidence from Pakistan”
International Research Journal of Finance and Economics (IRJFE) No. 94,
(2012)
Heather, McKeen-Edwards. Questions of Interest in Islamic Finance: Exploring
Govemance in? Growing Sector A. Paper Prepared for the International
Studies Conference Chicago, 28 Februari-/ Maret 2007;
Hidayah, Nur. “Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Atas Aspek Hukum Islam
Perbankan Syariah di Indonesia” AL-‘ADALAH Vol. X, No. 1 Januari
(2011)
Hidayat, Arif. “Formalization Of Sharia Law In Indonesia (A Constitusion
Perspective)”, Proceeding-Kuala Lumpur International Business, Economics And Law Conference Vol. 3. December 2 - 3, 2013.
Hosen, Nadirsyah. Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate.
Journal of Southeast Asian Studies. 36. (2005).
10.1017/S0022463405000238.
Hutapea, Erwin G. dan Kasri,Rahmatina A. Bank Margin Determination: a
Comparison betwee? Islamic and Conventional Banks in Indonesia.
International Journal of Islamic and Middk tastat Finance and Management, Vol. 3 No. 1, (2010)
Idris, Asma’ Rashidah dkk, “Religious Value as the Main Influencing Factor to
Customers Patronizing Islamic Bank” World Applied Sciences Journal 12
(Special Issue on Bolstering Economic Sustainability): 08-13, (2011)
199
Ilhami, Haniah “Pertanggungjawaban Dewan pengurus Syariah sebagai Otoritas
Pengawas Kepatuhan Syariah bagi Bank Syariah”, Mimbar Hukum,
Volume 21 Nomor 3, (2009)
International Crisis Group, Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, Asia
Report N’11 , 31 Juli 2006.
Iqbal, Zamir. “The Impact Of Consolidation On Islamic Financial Services
Industry”, Islamic Economic Studies Vol. 15, No. 2, January 2008.
Isa, Abdul Gani. “Paradigma Syariat Islam Dalam Rangka Otonomi Khusus: Studi
Kajian di Provinsi Aceh”, Media Syariah, Vol XIV Januari – Juni 2012.
Islamic Financial Service Board (IFSB), Guiding Principles on Shariah Governance
Systems for Institutions Offering Islamic Financial Services, December
(2009)
Ismail, Nur Jannah. Syariat Islam dan Keadilan Gender” First International
Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Asia Rearch Institute
National University Of Singapore, 2007.
Jack, Hirwan. “Efektivitas Wilayatul Hisbah Dalam Pencegahan Aliran Sesat Di
Aceh”, Error! Hyperlink reference not valid. , 2. (diakses pada tanggal
16/03/2015).
Jailani, Munawar Rizki dan Taqiuddin, Mohammad. “Peran Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh Dalam Mengembang Dan Mensosialisasikan
Perbankan Islam Di Aceh” Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan, Vol. 18, No. 2, Desember (2018) 93-108.
Jalil, Husni. “Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam Pelaksanaan Otonomi
Khusus Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Jurnal Equality, Vol. 12
No. 2 Agustus 2007.
Jati, Wasisto Raharjo. “Permasalahan Implementasi Perda Syariah Dalam Otonomi
Daerah” , al-Manahi>j, Vol. VII No. 2, Juli 2013.
Juniarti, “Peran Strategis Peradilan Adat Di Aceh Dalam Memberikan Keadilan
Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal”, Anual International Conference Islamic Studies (AICIS XII)
Kismawadi, Early Ridho “Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di Konversikannya
Bank Konvensional Ke Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus di Kota Langsa”
Ihtiyath Vol. 2 No. 2 Desember (2018)
Krahnke, K., Giacalone, R., & Jurkiewicz, C. “Point-Counterpoint: Measuring
Workplace Spirituality” Journal of Organizational Change Management, 16(4), 2003.
Latief, Husni Mubarok A. “Disonansi Qanun syariat Islam dalam Bingkai
Konstitusi Indonesia: Aceh Sebagai Studi Kasus”, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS XII), 27080.
Lee, K.-h., & Ullah, S. Customers’ attitude toward Islamic banking in Pakistan.
Internasional Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and
Management, 4(2), (2011): 131-145.
Linsdey, Tim. MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley, “Sharia Revival in
Aceh” dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (eds.), Islamic Law
200
In Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions, Cambridge: Harvard
Law School, 2007.
Mahdi, “Eksistensi Peradilan Adat Di Aceh”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.
8, No. 2, Desember 2011.
Man, Saadan. “Transformasi Hukum Islam Komtemporari Di Malaysia Melalui
Gagasan Fiqh Malaysia”, Icon-Imad, International Conferece On Islam In Malay Word 2011.
Maradita, Aldira. “Karakteristik Good Corporate Governance Pada Bank Syariah
Dan Bank Konvensional” Yuridika : Volume 29 No 2, Mei-Agustus (2014).
Milallos, Ma. Theresa R. “Muslim veil as politics: political autonomy, women and Syariah Islam in Aceh” Error! Hyperlink reference not valid. (diakses pada
tanggal 28 Feb 2015).
Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum”,
Legitimasi, Vol.1 No.2 Januari – Juni 2012.
Mohammad, Saif Noman Khan, M. Kabir Hassan & Abdullah Ibneyy Shahid,
“Banking Behavior of Islamic Bank Customers in Bangladesh” Journal of Islamic Economics, Banking and Finance,
Mudzhar, M. Atho. Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thoutht in Indonesia 1975-1988, , Los Angeles, USA: Universitas
California, Los Angeles, Disertasi, 1990.
Mudzhar, M. Atho. Tantangan Studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini,
Journal Indo-Islamika volume II, Nomor 1, 2012/1433.
Muhibbuthabry, “Kelembagaan Wila>yat al-Hisba>h Dalam Konteks Penerapan
Syariat Islam di Aceh”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. 2 No. 2 Mei 2014.
Mukhlis, “Keistimewaan Dan Kekhususan Aceh Dalam Perspektif Negara
Kesatuan Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 No. 1, 2001.
Nugroho, Lucky., Badawi, Ahmad dan Hidayah, Nurul. “Discourses of Sustainable
Finance Implementation in Islamic Bank (Cases Studies in Bank Mandiri
Syariah 2018)” Internasional Journal of Finansial Research Vol, 10, No. 6
(2019)
Nurdin, Abidin. “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh: Peran Budaya Dalam
Menyelesaikan Konflik Masyarakat”, Anlisis, Vol. XIII No. 1 Juni 2013
Nurohman, “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia”, Arrisalah, Volume 12 Nomor
1, Mei 2012.
Olatoye, Kareem Adebayo, Yekini, Abubakri. “Choice Of Islamic Law As The Governing Law In Islamic Finance Contracts: The United Kingdom And
Nigerian Perspectives “IIUM Law Journal; Kuala
Lumpur Vol. 25, Iss. 1, (2017): 137-159.
Pasi, Ida Royani “Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Perilaku Masyarakat
Pada Bank Syariah” Jurnal Al-Qasd, Vol. 1 No. 2 Februari (2017)
Pérez, Javier Gil. “Lessons of peace in Aceh: administrative decentralization and
political freedom as a strategy of pacification in Aceh”, Icip Working Papers: International Catalan Institute, 2009.
Phahlevy, Rifqi Ridlo. “Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Konteks NKRI Dan
HAM”, Rechtsidee, Vol. 1 No. 1 Tahun 2013.
201
Rahmawaty, Anita. “Distribusi Dalam Ekonomi Islam Upaya Pemerataan
Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif” Equilibrium Volume 1, No.1,
Juni 2013, 1-17.
Ramlana, Hamidah and Adnan,Mohd Sharrizat “The Profitability of Islamic and
Conventional Bank: Case study in Malaysia” International Economics & Business Management Conference, 5th & 6th October (2015)
Robinson, Geoffrey. “Rawan Is As Rawan Does: The Origins Of Disorder In New
Order Aceh”, Indonesia, No. 66 (Oct., 1998), pp. 126-157.
http://www.jstor.org/stable/3351450, (diakses pada tanggal 19 nov 2014).
Salim, Arskal. “Shari’a From Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity And
The Right To Self-Determination With Comparative Reference To The
Moro Islamic Liberation”, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No.
92, March 2004.
Salim, Arskal. “Politics, Criminal Justice and Islamisation in Aceh”, Melborne Law School, 8. http://www.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/salim_
final2_forwebsite wob l eed2.pdf (dikases pada tanggal 31 Maret 2015).
Santoso, Topo. ”Implementation Of Islamic Crimal Law In Indonesia: Ta’zi>r,
Punishment as A Solution?” , Iium Law Journal Vol. 19 No. 1, 2011.
Sari, Mutiara Dwi. Bahari,Zakaria. Hamat,Zahri. “History of Islamic Bank in
Indonesia: Issues Behind Its Establishment” International Journal of Finance and Banking Research 2016; 2(5): 178-184
Sekaran, U. Research Methods for Business: A Skill Building Approach, (4th Ed.)
New York: John Wiley and Sons, Inc. 2006.
Siregar, Hasnil Basri. “Lessons Learned From The Implementation Of Islamic
Shari’ah Criminal Law In Aceh, Indonesia” , Journal of Law and Religion, Vol. 24, No. 1 (2008/2009), pp. 143-176.
Srimulyani, Eka. “Islam, Adat And The State: Matrifocality in Aceh Revisited”, al-Ja>mi‘ah, Vol. 48, No. 2, 2010 M/1431.
Subandi, “Problem Dan Solusi Pengembangan Perbankan Syariah Kontemporer di
Indonesia” Al-Tahrir, Vol. 12, No. 1 Mei (2012)
Surbakti, Natangsa. “Pidana Cambuk dalam Perspektif Keadilan Hukum dan Hak
Asasi Manusia di Pr ovinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Jurnal Hukum No.
3 Vol. 17 Juli 2010: 456 – 474.
Uddin, Asma. "Religious Freedom Implications of Sharia Implementation in Aceh,
Indonesia", University of St. Thomas Law Journal: Vol. 7: Iss. 3 (2010). Wulpiah, “Urgensi Penerapan Kepatuhan Syariah Pada Perbankan Syariah (Telaah
Konseptual-Analitis)” Asy-Syar’iyyah: Jurnal Ilmu Syariah dan Perbankan
Islan Vol. 2, No.1, Juni 2017: 100-120
Yazdan, Farahani Gudarzi. dan Masood, Dastan. Analysis of Islamic banks’financing and economic growth:a panel cointegration approach, ( Iran: Emerald Grup, International Journal of Islam dan Timur Tengah Keuangan dan manajemen Vol. 6 Nomor2 2013).(accessed Juli 23, 2014).
202
Yusuf, Muhammad. “Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Kontemporer
Keuangan Dan Perbankan” Muamalat: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah,
Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016.
Zakaria, Tun Arifin Bin. “ A Judicial Perspective On Islamic Finance Litigation In
Malaysia” IIUM Law Journal; Kuala Lumpur Vol. 21, Iss. 2, (2013).
Buku:
Abbas, Abdul Jamal. Perbankan Syariah Kontemporer: Prinsip, Nilai dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bintang Pustaka, 2011.
Abbas, Anwar. Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Jakarta: Kompas, 2010.
Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Abdillah, Maskuri. Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas, Jakarta: Renaisan, 2005.
Abu Bakar, Al Yasa’. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005.
Abu Bakar, Al Yasa’.Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan Khusus di Aceh, Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009.
Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013.
al-Faizin, Abdul Wahid. Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2018.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Vol.1, Jakarta: Kencana,
2010.
Ali, Achmad. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta: Yarsif
Watampone, 1998.
Ali, Jainuddin. Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
al-Omar, Fuad. dan Haq, Muhammad Abdel. Islamic Banking Theory, Practice and Challanges, Karachi: Oxford University Press, 1996.
Alwi, Syafaruddin. Memahami Sistem Perbankan syariah: Berkaca pada Pasar Umar bin Khattab, Yogyakarta: Bukurepublika, 2013.
Amal, Taufik Adnan. dan Panggabean, Samsu Rizal. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria, Ciputat: Pustaka Alvabet 2004.
Anggaran dasar dan Anggaran rumah tangga Bank Syariah Indonesia (BSI)
An-Na’im, Abdullah Ahmad. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a, London: Harvard University Press, 2008.
An-Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonstruksi Syariat: Wacana Kebebasan, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Terj. Yogyakarta: LkiS,
2001.
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007
Antonio, Muhammad Syafi’i, Perkembangan Lembaga Keuangan Islam, Jakarta:
BAMUI dan BMI, 2006.
203
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, 2007.
Aripin, Jaenal. Himpunan UU Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
Ary, D., Jacobs, L. C., & Razavieh, A. Introduction to Research in Education, 7th
Ed. Belmont: Thomson Wadsworth, 2006.
Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Bandung: CV Ramadja Karya, 1988.
Azra, Azumardi. “Implementasi Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:
Perspektif Sosio-Historis” dalam Buku Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003.
Azra, Azumardi. Belum ada negara sebagai acuan Syari’at Islam, h 183-191. Lihat
Juga Samsul Bahri, “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Wilayah
NKRI”.
Bank Indonesia, PBI No.11/33/2009 Tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, Jakarta:
Bank Indonesia, 2009.
Bank Indonesia, Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Jawa Barat, Jakarta, Bank Indonesia, 2001.
Bayati, Munir Hamid. al-Dawlah al-Qanuniyyah Muqarranah, Baghdad al-Dar al-
Arabiyyah, 1979.
Bidner, Leonard. Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies, Chicago: University of Chicago Press, 1998.
Black, Donald. Behavior of Law, New York: Academic Press, 1976.
Bogdam, Robert C. dan Knopp, Bilken Sari. Qualitive Reseach for Education An Introduction to Theori and Methods, Third Edition, Needham
Heights:Viacom Company, 1998.
Brotodirejo, Soebroto. dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997.
Chapra, M. Umer. Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000.
Daliyo, J.B. dkk. Pengantar Ilmu Hukum. Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta:
Gramedia, 1989.
Dawud, Abu. Sulaiman bin al-Ash’Ath, Sunan Abi Da>wu>d, Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di Indonesia, Jakarta: Prenamedia Group, 2019.
Din, Mohd. Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, Bandung: Unpad Press, 2009.
Djamil, Fathurrahman. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, Jakarta:
Sinar Grafika, 2013.
Djamil, Fathurrahman. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
204
Donohue, John J. dan Esposito, John L. Islam and Transition: Muslim Perspectives,
terj. Machnun Husain, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Rajawali Press,
1994.
Fauzia, Ika Yunia, dan Riyadi, Abdul Kadir. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqa>s}id al-Shari>’ah, Jakarta: Kencana, 2014.
Friedman, Lawrence. American Law, London: W.W. Norton & Company, 1984.
Ghauri, P.N. and Gronhaug, K. Research Methods in Business Studies: A Practical Guide, Financial Times Prentice Hall, New York, NY.2002.
Ghazali, al-Mus}tas}fa> Juz.1, Bairut: Da>r al-Fikr, tth.
Gie, The Liang. Efisiensi Kerja Bagi Pembangunan Negara, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1981.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2010.
Hamid Yusuf. al-‘Alim, al-Maqasid al-’Ammah Li al-Shari‘ah al-Islamiyyah,
Riyadh: al-Dar al-‘Alamiah Li al-Kutub al-Islami, 1994.
Hasan, Hasbi. Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah di Dunia Islam Kontemporer, Jakarta:Gramata Publishing, 2011.
Hasan, Hasbi. Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, Jakarta: Gramata Publishing, 2011.
Hisyamuddin, Dilema Perbankan Syariah Nasional: Antara Kebutuhan, Kenyataan dan Keharusan, Bandung: Mitra Abadi Press, 2011.
Hooker, M.B. Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law,
Singapore: ISEAS, 2008.
Husaini, Adian. Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat: Penerapan Hukum Rajam di Indonesia Dalam Tinjauan syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2001.
Husein, Muhammad. Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, 1970.
Hussey, J. and Hussey, R. Business Research: A Practical Guide for Undergraduate and Postgraduate Students, MacMillan Business, Oxford. 1997.
Ibn ‘A>syur, Muhammad Ta>hir. Ma>qa>sid Asy-Syari>’ah al-Isla>miyyah, Tunisia: Da>r
as-Sala>m, 2006.
Idat, Dhani Gunawan. Trend Bank Syariah: Penurunan Terhadap Kepatuhan Prinsip Syariah, Jakarta: Media Akuntansi, 2002.
Institut Bankur Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Penerbu Djambatan, 2001.
Jarisyah, Ushul al-Syariyah Madmunuha wa Khasisuha, Cet. I, Kairo: Dar Gharib,
1979
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung :Citra aditya Bakti, 2005.
Kamal, Zainun. Dkk. Islam Negara & Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta; Paramadina, 2005.
Kamil, Sukran. dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim, Jakarta: SSRC
UIN Jakarta,2007.
Kartadijaya, Usman. Menyoroti Fenomena Perbankan Syariah di Indonesia
Bandung: PT.Insan Madani, 2011.
205
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah
Syar’iyah.
Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat di Aceh dan Kelantan, Tangerang
Selatan: LSIP, 2014.
Konsideran peraturan daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 33 Tahun 2001
Tentang Pembentukan Susunan Organsasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat
Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Lembaran Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh Tahun 2001 No. 65.
Lev, Daniel S. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Cet I, Jakarta: LP3S, 1990.
Lodico, Marguerite G. Methods in Educational Research From Theory to Practice, Francisco, Jossey-Bass, 2006.
Lubis, Irsyad, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Medan: USU Press, 2010.
Lubis, Nur Ahmad Fadhil. “Financial Activism Among Indonesian Muslims” dalam
Virginia Hooker dan Amin Saikal, et al. Islamic Perspectives on The
Millenium, Singapore: ISEAS Publications, 2004
Malhotra, N. K. Marketing Research: An Applied Orientation, (fifth Ed.) (New
Jersey, USA: Prentice-Hall, Pearson Education, Inc. 2007.
Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2012.
Mandaladikari, Agus Dhani. Implementasi Nilai-Nilai Syariah dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Pada Induk Koperasi Angkatan Darat, Cirebon: Nusa
Litera Inspirasi, 2020.
Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008.
Maulana, Muhammad, dan Alidar, EMK. Model Transaksi Ekonomi Kontemporer Dalam Islam, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2020.
Mawardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-H}alabi>, 1973.
MD, Muh. Mahfud. Jiwa Syariat Dalam Konstitusi Kita, dalam Masdar Farid
Mas’udi, Syarah Konstitusi UU 1945 Dalam Perspektif Islam, Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2011.
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan hukum sebuah pengantar (Yogyakarta: Liberty,
2014) cetakan ke-3 dalam Jaih Mubarok, Akad Mudharabah, Bandung:
Fokusmedia, 2014.
Mertokusumo, Sudikno. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993.
Milles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. Qualitative Data Analysis: A Sourebook of New Methods, Bavery Hills:Sage Publication, 1986.
Mills, Paul S. Presley,John R. Islamic finance: Theory and practice, London:
Macmillan, 1999.
Mubarak, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah, Bandung:
Fokusmedia, 2013.
Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003.
206
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Partai Politik di Indonesia Pasaca Orde Baru, Jakarta: Gramedia, 2007.
Mulazid, Ade Sofyan “Pelaksanaan Sharia Compliance Pada Bank Syariah (Studi
Kasus Pada Bank Syariah Mandiri, Jakarta)” MADANIA Vol. 20, No. 1,
Juni (2016)
Muljanto, Heru. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP ) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta, Tesis Univ. Sebelas Maret Surakarat,
2008.
Mutawalli, Abd al-Hamid. al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka Masdar Asasiyy li al-Dustur, Cet. III, Iskandariyyah: al-Ma’arif, 1990.
Nafis, M. Cholil. Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI Press, 2011
Nashir, Haedar. Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007.
Noeng, Muhadjir. Metodologi penelitian kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta:Rake
Sarasin, 2002.
Nopriansyah Waldi dan Unggul,M. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2019.
Perda No. 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata
Kerja Dinas Syariat Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah
Qanun No. 10 Tahun 2002
Qanun No. 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat Aceh.
Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam bidang akidah, ibadah
dan syi’ar Islam.
Qanun No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe
Aceh Darussalam.
Qanun No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat.
Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam pada Bidang
Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
Qanun Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam.
Qanun Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas,
Lembaga Teknis Daerah dan lembaga Daerah Provinsi Aceh.
Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat.
Al-Qardhawi, Yusuf. Fawa>id al-Bunu>k Hiya al-Riba> al-Hara>m, Kairo: Da>r al-Wafa>,
1990.
Al-Qat}t}a>n, Manna>’ bin Khali>l Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, Bairut: Maktabah
Wahbah, 2001.
Quraisy, Muhammad dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020, Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS),
2020.
207
Rahardjo, M. Dawam. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius, (Jakarta:
Mizan, 2011.
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980.
Ridwan, Islam dan Negara: Telaah Kritis Terhadap Artikulasi Politik Islam Dalam Negara, Banda Aceh: LKAS, 2011.
Rivai, Veithzal. Veithzal,Arifiandy Permata. Fawzi, Marissa Greace Haque. Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik, Jakarta: Bumi Aksara,
2011.
Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Al-Sabatin, Yusuf. Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Terj.
Bogor: Al Azhar Press, 2014.
Saby, Yusni. Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh, Yogyakarta: Grafindo Litera Media,
2012.
Said, Muhammad. Hukum Bisnis Islam, Jakarta: Salemba Diniyah, 2019.
Salman, Otje. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: Alumni Bandung, 1989
Santoso, Topo. Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Islam dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asy-Syamil, 2000.
Al-Shalabi, Muhammad Mustafa. Ta’lil al-Ahkam, cet. 2, Beirut: Dar al-Nahdah al-
Arabiah, 1981.
Al-Shatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat Fi Usul al-Shari‘ah, cet. 3, Beirut : Dar al-
Makrifah, 1997.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:
UI Press, 1933.
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008
Soekanto, Soerjono.Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: CV.
Ramadja Karya, 1988.
Soekanto, Soerjono.Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, Cet. Ketiga, Jakarta: UI Press, 1983.
Soekanto, Soerjono.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Soekanto, Soerjono.Penegakan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983.
Soekanto, Soerjono.Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, Penerbit
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Soemardjan, Selo. dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, Cet. Pertama,
Jakarta: FE. Univ. Indonesia, 1964.
Subkhan, Imam. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta: Kanisius
2007.
Sufi, Rusdi. dan Wibowo, Agus Budi. Budaya Masyarakat Aceh, Bagian Kedua, Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
2004.
Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, Yogyakarta: Ghara Ilmu, 2021
208
Sutedi, Adrian. Perbakan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2009.
Sutiyiso, Bambang. Aktualisasi Hukum Dalam Era Reformasi, Jakarta: Rajawali
Pers, 2004.
Triyanta, Agus. Hukum Ekonomi Islam, dari politik hukum ekonomi Islam sampai pranata ekonomi syariah. Yogyakarta:FH UII Press, 2012.
Umam, Khotibul. Legislasi Fikih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 2011.
Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia.
Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962.
Utsman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan;
Wahid, Marzuki. Agama dan Kontestasi Ruang Publik: Islamisme, Konflik dan Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011.
Yasin, Taslim H.M. Pluralisme Agama di Wilayah Syari’at, dalam Syamsul Rijal,
ed. Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Pelaksanaan Syariat Islam, Banda
Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2007.
Zahrah, Muhammad Abu. al-‘Alaqat al-Dauliyyah fi@ al-Isla>m (Kaherah: Dar al-Fikr
al-Arabi, tt.
Al-Zarqa’, Muhammad. Sharh} al-Qawa>ide al-Fiqhiyyah, Damaskus: Da>r al-Qalam,
1989
Internet:
Alie, Marzuki. Implementasi Hukum Islam dan Kebijakan Lokal di Aceh http://www.marzukialie.com/?show=tulisan&id=67 (diakses pada tanggal
12/11/2014).
Asshiddiqie, Jimly. Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/.../Penegakan
_Hukum.pdf (diakses pada tanggal 5 Oktober 2015). Badan Arsip dan Perpustakaan Pemerintah Aceh, ”Sejarah Lahirnya Polisi
Wilayatul Hisbah”, http://arpus.acehprov .go.id/in dex.php/9-
uncategorised/121-profil.html (diakses pada tanggal 21 Feb 2015).
Fakhriah, Efa Laela, dan Yusriza. “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah Di Aceh
Dihubungkan Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia”,
http://pustaka.unpad.ac.id/wp content/uploads/2014/02/Kewenangan-
Mahkamah-Syariyah.pdf. (diakses pada tanggal 17 Maret 2015).
Farouk, Peri Umer. Sejarah Hukum Perbankan Syariah Indonesia, dikutip dari
latp//www shanaicarn.com/ tanggal akses 19 November 2008.
209
Hasibuan, Fauzie Y. Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum,
http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-
penegakan-hukum-dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-
advokat-indonesia/, 2.(diakse pada tanggal 25 September 2015.
https://bandaacehkota.go.id/p/agama.html
https://bandaacehkota.go.id/p/demografi.html
https://bandaacehkota.go.id/p/kecamatan_gampong.html
https://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html
https://bpmkotabandaaceh.wordpress.com/data/alamat-perbankan/
https://finance.detik.com/moneter/d-4715523/wajib-syariah-mulai-2020-bagai-
mana -nasib-bank-konvensional-di-aceh
https://www.kompasiana.com/irwanrinaldi/5dfd4e32d541df235b50d052/semua-
bank-di-aceh-harus-dikonversi-jadi-bank-syariah?page=3
https://www.merdeka.com/uang/semua-bank-di-aceh-wajib-syariah-mulai-
2020.html; https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190906202247-78-
428298/perbankan-di-aceh-wajib-berstatus-syariah-mulai-2020
Tesis/Disertasi:
Hendra, Dede Mr. Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh (Tesis Fak. Hukum, Univ. Indonesia, 2012).
Hermansyah, Adi. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Badan (Corporal Punishment) Di Indonesia: Kajian Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam, (Tesis Universitas Diponegoro Semarang, 2008.
Junaidi, Positivisme hukum Dalam Perspektif pembangunan hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi , Tesis Program Pasca Sarjana UNS Surakarta:
Program Pasca Sarjana UNS,2009.
Karim, Shafie A. Riba-Free Models Of Money, Banking, And Insurance
Components of The Islam Moral Economy. Thesis. California State
University, Fullerton, 2010.
Roslaili, Yuni. formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia: Analisis kasus penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Disertasi
UIN Jakarta 2009.
Al-Thabary, Muhibuth. Konsep dan Implementasi Wilayatul Hisbah dalam penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh:
Disertasi Tidak di terbitkan, Tahun 2007.
Wahidudin Adam, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam peraturan perundang-undangan 1975-1997, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Disertasi, 2002. Wawancara:
Dedy, dan Alif Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh
pada Maret 2021.
Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB, Wawancara,
September 2021
Wawancara dengan 50 Masyarakat Aceh pada Maret 2021.
211
A
ACEH, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 59, 66, 67
AD ART, 225
Akad, 8, 82, 83, 129, 139, 143, 146, 156,
169, 175, 176, 177, 180, 183, 199,
211, 225
aktivitas, 8, 40, 53, 65, 78, 81, 144, 150,
156, 158, 165, 169, 178, 179, 180,
187, 190, 199, 226
Al-D}aruriyyah, 225
al-H}asan, 160, 225
Al-Ija>rah, 225
Al-Mas}lah}ah, 225
Al-Qard, 155, 225
Al-Tah}si>niyyah, 225
Al-Wadi’ah, 153, 225
Analisis, 2, 15, 17, 18, 21, 23, 40, 52,
199, 211, 214
Arbitrase, 225
B
BANK, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 139, 184
Benefid oriented, 225
Beroperasi, xi, 67
BLBI, 225
BMN, 225
BMT, 225
Budaya, 23, 31, 37, 51, 54, 73, 93, 107,
118, 127, 128, 208, 212, 214, 215
Bunga Bank, 38, 44, 45, 46, 47, 142
C
corporate culture, 169, 178, 180
D
Dana, 70, 115, 116, 168, 169, 177, 179,
180, 183
Data, 14, 20, 21, 63, 69, 131, 204, 211
Demokrasi, 1, 51, 212, 216, 225
deskriptif, viii, 17
Dinas Syariat, 26, 43, 83, 96, 97, 101,
139, 203, 210, 211, 213, 216
Diyat, 110, 225
DPS, 83, 89, 111, 156, 164, 165, 166,
178, 180, 184
E
EFEKTIVITAS, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 73
Ekonomi, 6, 7, 8, 11, 12, 14, 15, 37, 43,
44, 45, 46, 47, 49, 50, 55, 56, 63, 64,
65, 68, 75, 76, 78, 81, 84, 89, 90, 91,
92, 95, 96, 112, 113, 115, 117, 122,
123, 124, 131, 137, 139, 140, 141,
143, 144, 145, 146, 148, 150, 156,
161, 162, 163, 166, 167, 169, 172,179,
182, 185, 186, 188, 195, 203, 204,
206, 207, 211, 212, 213, 214, 216, 225
F
Faktor, xi, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 46, 73,
74, 86, 87, 88, 91, 94, 113, 117, 120,
124, 125, 127, 128, 129, 139, 143,
199, 212, 215
Fikih, 49, 107, 139, 145, 216, 225
Filantropi, 225
G
Ghirah, 225
Globalisasi, 225
INDEX
212
H
Hadis, 118, 152, 225
Haram, 47, 49, 225
Hukum Islam, i, 5, 7, 8, 12, 13, 17, 23,
41, 57, 75, 77, 101, 130, 133, 185,
186, 187, 203, 207, 209, 211, 212
Hukum Perbankan, xi, 139, 143, 148,
156, 167, 206, 212
I
Ideologi, 225
Ijarah, 146, 155, 177, 225
ILO, 226
Implementasi, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 1, 5,
17, 18, 100, 118, 119, 136, 156, 159,
164, 175, 179, 187, 190, 199, 203,
204, 206, 209, 211, 216
Inflasi, 63, 226
Inkopad, 226
INKOPAL, 226
INKOPAU, 226
Islam, i, ii, iii, viii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 21,
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 38, 39, 40,
41, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52,
53, 54, 55, 56, 57, 59, 61, 62, 63, 65,
72, 75, 76, 77, 78, 79, 81, 83, 84, 85,
86, 87, 89, 90, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,
107, 108, 109, 112, 115, 116, 117,
118, 119, 120, 130, 131, 132, 133,
135, 136, 137, 139, 140, 141, 142,
143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,
150, 151, 152, 153, 156, 157, 158,
159, 160, 161,162, 163, 165, 166, 167,
168, 169, 172, 182, 183, 184, 185,
186, 187, 188, 189, 191, 193, 194,
196, 199, 203, 204, 205, 206, 207,
208, 209, 210, 211, 212, 213, 214,
215, 216, 225, 227, 228, 229, 232
K
Kafarat, 226
Kapitalis, 44, 214, 226
Kartika Primadana, 227
KBBI, 226
Kebahagiaan, 196, 226
Kejaksaan, 5, 104, 105, 216
KEMASLAHATAN, i, ii, iii, iv, vi, vii,
xi, 23, 139
Kepolisian, 3, 5, 101, 103, 104, 213
Kesejahteraan, 14, 15, 159, 190, 194,
211, 214, 226
Keuntungan, 154, 167, 179, 196
Kontekstual, 226
kontrak, 13, 146, 147, 149, 154, 155,
158, 169, 175, 177, 180, 199, 225
Kontrak, 13, 145, 226
Konvensional, 17, 18, 67, 70, 71, 87, 89,
143, 166, 174, 180, 210, 211, 226
Koperasi, 68, 89, 90, 112, 190, 211, 226,
227, 228
Krahnke, 19, 210
kualitatif, viii, 19, 21, 83, 169, 212
L
Lembaga Perbankan, xi, 67
Lingkungan, 169, 178, 180
Literatur, 226
LKS, i, ii, iii, iv, vi, vii, 80, 81, 82, 83,
84, 85, 87, 90, 111, 112, 114, 136,
199, 226
M
MAA, 96, 106
MABESAD, 226
213
Mafsadat, 226
Mahkamah Syar’iyah, 26, 96, 99, 100,
206, 210, 213
MANFAAT, xi, 139
Maqa>s}id al-Shari>’ah, 56, 159, 188, 190,
206, 226
Masalah, xi, 1, 9, 10, 57, 125, 126, 149,
172
Maslahah mursalah, 226
Maslahat, xi, 51, 55, 57, 184, 188, 226
Masyarakat, xi, 18, 19, 23, 33, 35, 36,
61, 73, 76, 87, 92, 94, 106, 107, 117,
119, 121, 122, 143, 144, 163, 173,
184, 186, 190, 191, 193, 194, 196,
205, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216
Mazhab, 227
Mikro, 227
MPU, 15, 90, 96, 97, 98, 99, 102
Muamalah, 140, 183, 227
Muatan, 80
Mudarabah, 183, 227
Mudharib, 227
Mufakat, 227
Murabahah, 154, 176, 227
Musyarakah, 154, 176, 183, 227
Musyawarah, 227
N
Nasabah, 6, 70, 71, 80, 227
Nash, 227
Nasi’ah, 227
Nonmiliter, 227
O
observasi, viii, 21, 130, 181
OCDC, 227
operasional, 42, 71, 96, 148, 151, 152,
156, 157, 165, 169, 175, 179, 183, 184
P
PEMBERLAKUAN, xi, 23
Penegak Hukum, xi, 91
Penelitian, viii, xi, 9, 10, 11, 12, 13, 16,
17, 18, 19, 20, 129, 200
penulisan, iv, v, xi
Perbankan, xi, 7, 9, 12, 18, 39, 67, 68,
84, 87, 98, 99, 130, 139, 140, 141,
142, 143, 144, 145, 146, 149, 150,
152, 153, 156, 160, 161, 162, 163,
165, 166, 169, 178, 179, 189, 203,
204, 206, 207, 209, 210, 215, 216
Perbankan Syariah, 130, 145, 165, 207,
216
Perekonomian, xi, 139
Perundang-undangan, xi, 73, 88
Posisi, xi, 94, 139
Primkopad, 227
Prinsip-prinsip, xi, 11, 180, 199
Profit oriented, 227
PUSKOPAD, 227
Q
Qira>d, 227
Qisas, 227
Quran, 38, 41, 42, 47, 48, 50, 51, 78, 79,
85, 97, 115, 118, 120, 140, 141, 152,
158, 169, 186, 226, 228
R
RAKYAT, i, ii, iii, iv, vi, vii
REGULASI, i, ii, iii, iv, vi, vii
Rekomendasi, xii, 200
Riba, 41, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 141,
151, 152, 156, 160, 166, 189, 210,
213, 228
Rochdale, 228
RPK, 228
214
Rukhsah, 228
S
S}a>h}ibu al-ma>l, 228
Saran, xii, 200
SHU, 228
Signifikansi, xi, 11
Sistematika, 21
Sistimatika, xi
Sosial, 23, 97, 98, 99, 159, 209, 214,
216, 228, 232
Sosialis, 228
sosiologi hukum, viii
Stakeholder, 228
Substansi, 80
Syar’i, 43, 228
Syariah, i, ii, iii, iv, vi, vii, viii, ix, xi, 1,
2, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 18,
20, 22, 25, 26, 39, 40, 42, 43, 50, 56,
57, 63, 67, 68, 69, 70, 71, 75, 76, 78,
80, 81, 83, 84, 85, 87, 89, 90, 91, 92,
94, 95, 96, 99, 103, 107, 111, 112,
113, 114, 115, 117, 122, 123, 124,
129, 130, 131, 134, 136, 137, 139,
141, 142, 143, 144, 145, 146, 148,
149, 150, 152, 153, 156, 159, 160,
161, 162, 163, 164, 165, 166, 167,
168, 169, 171, 173, 174, 175, 176,
177, 178, 179, 180, 181, 183, 184,
188, 189, 190, 191, 193, 196, 197,
199, 203, 204, 205, 206, 207, 208,
209, 210, 211, 212, 213, 214, 215,
216, 226, 228, 232
SYARIAH, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 73, 139
Syariat Islam, xi, 1, 2, 3, 16, 18, 23, 24,
25, 26, 27, 29, 38, 42, 43, 54, 78, 79,
83, 89, 90, 96, 97, 98, 99, 101, 102,
104, 105, 106, 117, 118, 119, 130,
136, 139, 185, 203, 204, 205, 207,
209, 210, 211, 212, 213, 216
Syirkah, 228
T
Tahun, i, ii, iii, iv, vi, vii, 2, 3, 4, 5, 9,
16, 17, 18, 22, 24, 25, 26, 32, 36, 49,
63, 80, 84, 87, 89, 93, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,
107, 108, 109, 110, 124, 136, 139,
143, 165, 199, 206, 210, 212, 213,
216, 232
Top down approach, 228
transaksi, 7, 9, 14, 17, 38, 42, 43, 71, 79,
81, 82, 83, 111, 114, 141, 143, 148,
152, 156, 158, 159, 165, 169, 176,
177, 178, 179, 180, 187, 189, 190,
193, 194, 199, 200, 225
U
UKM, 89, 228, 232
UMKM, 68, 69, 89, 90, 177, 228
UNDP, 228
Unsur, 79, 88
usaha, 5, 6, 39, 40, 42, 45, 57, 64, 69, 78,
81, 84, 85, 87, 89, 90, 93, 102, 107,
112, 114, 115, 116, 123, 125, 129,
139, 140, 146, 147, 153, 154, 156,
157, 158, 164, 166, 167, 168, 169,
172, 175, 176, 178, 179, 180, 181,
183, 188, 189, 190, 191, 193, 194,
195, 200, 225, 228
W
WAJIB, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 139
wawancara, viii, 20, 21, 114, 119, 126,
130, 134, 169, 170, 171, 175, 176,
181, 183, 191, 192, 193, 194, 195,
196, 199
215
Wilayatul Hisbah, 3, 25, 96, 100, 101,
102, 106, 203, 205, 207, 209, 216
Z
Zakat, 3, 89, 115, 148, 177, 229
217
GLOSARIUM
AD ART : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Akad : Perjanjian; kontrak
Al-D}aruriyyah : Yang penting; darurat
Al-Hajiyyah : Yang dibutuhkan
Al-Ija>rah : Akad sewa
Al-Mas}lah}ah : Kemaslahatan
Al-Qard} al-
H}asan
: Pemberian pinjaman cuma-cuma
Al-Tah}si>niyyah,
: Yang untuk menambah keindahan
Al-Wadi’ah : Akad titipan
Arbitrase : usaha perantara dl meleraikan sengketa
Benefid oriented,
: Berorientasi pada kemanfaatan
BLBI : Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
BMN : Barang Milik Negara
BMT : Baitul Mal wa Tamwil
Demokrasi : gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan persamaan hak dan
kewajiban serta perlakuan yg sama bagi semua warga negara
Diyat : Hukuman
Ekonomi : ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-
barang serta kekayaan
Fikih : ilmu tentang hukum Islam
Filantropi : cinta kasih; kedermawanan kepada sesama
Ghirah : semangat
Globalisasi : proses masuknya ke ruang lingkup dunia
Hadis : Perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW
Haram : terlarang (oleh agama Islam); tidak halal
Ideologi : kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat
Ijarah : Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau
manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah akad penyediaan dana
dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang
atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang.
ILO : International Labour Organization
Inflasi : kemerosotan nilai uang (kertas) krn banyaknya dan cepatnya uang
(kertas) beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang
Inkopad : Induk Koperasi Angkatan Darat
INKOPAL : Induk Koperasi Angkatan Laut
INKOPAU : Induk Koperasi Angkatan Udara
Kafarat : denda yg harus dibayar krn melanggar larangan Allah atau melanggar
janji
Kapitalis : kaum bermodal; orang yg bermodal besar; golongan atau orang yg
218
sangat kaya;
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kebahagiaan : keadaan atau perasaan senang dan tenteram
Kesejahteraan : aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dr segala macam
gangguan)
Kontekstual : Berhubungan dng konteks
Kontrak : Perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dl perdagangan, sewa-
menyewa,
Konvensional : Berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum
Koperasi : Perserikatan yg bertujuan memenuhi keperluan para anggotanya dng
cara menjual barang keperluan sehari-hari dng harga murah (tidak
bermaksud mencari untung);
Literatur : sumber atau refrensi yang digunakan dalam berbagai macam
aktivitas dalam dunia pendidikan ataupun aktivitas lainnya
LKS : Lembaga Keuangan Syariah
MABESAD : Markas Besar Angkatan Darat
Mafsadat : Kerusakan
Maqa>s}id al-Shari>’ah
: Tujuan Syariah
Maslahah mursalah
: Kemaslahatan yang tidak ditemukan dalil yang pasti dalam al-Quran
dan hadis
Maslahat : Kebaikan
Mazhab : haluan atau aliran mengenai hukum fikih yg menjadi ikutan umat
Islam (dikenal empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Hambali,
Maliki, dan Syafii
Mikro : Kecil
Muamalah : hal-hal yg termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb)
Mudarabah : Mudharabah adalah akad atau sistem kerjasama di mana seseorang
menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk dikelola dengan
ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh (dari hasil pengelolaan
tersebut) dibagi antara kedua pihak sesuai dengan nisbah yang
disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh shahib al mal
sepanjang tidak ada kelalaian dari mudharib.
Mudharib : Orang yang mengelola dana kerjasama dengan bagi hasil
Mufakat : Kesepakatan
Murabahah : Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang
disepakati.
Musyarakah : serikat dagang; kongsi; perseroan; persekutuan;
Musyawarah : pembahasan bersama dng maksud mencapai keputusan atas
penyelesaian masalah; perundingan;
Nasabah : orang yg biasa berhubungan dng atau menjadi pelanggan bank
Nash : Perkataan atau kalimat dr Alquran atau hadis yg dipakai sbg alasan
atau dasar untuk memutuskan suatu masalah (sbg pegangan dl
hukum syarak
Nasi’ah : berkembang
219
Nonmiliter : Selain militer
OCDC : Overseas Cooperative Development Council
Kartika
Primadana
: Unit simpan pinjam di bawah naungan Inkop Kartika
Primkopad : Primer Koperasi Angkatan Darat
PUSKOPAD : Pusat Koperasi Angkatan Darat
Profit oriented : Berorientasi pada keuntungan
Qanun undang-undang, atau sekumpulan prinsip, asas, dan aturan yang
diciptakan manusia untuk mengatur semua individu dalam sebuah
masyarakat supaya tercipta kehidupan yang baik dari segi sosial,
ekonomi, terbentuknya kemakmuran masyarakat, serta terpenuhinya
hak-hak mereka.
Qira>d : Hutang
Qisas, : Istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan
Quran : kitab suci umat Islam yg berisi firman Allah yg diturunkan kpd Nabi
Muhammad saw. dng perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca,
dipahami, dan diamalkan sbg petunjuk atau pedoman hidup bagi
umat manusia
Riba : Bunga uang; Rente
Rochdale : Nama Koperasi yang Pertama berdiri di Inggris
RPK : Rumah Pangan Kita
Rukhsah : Keringanan
S}a>h}ibu al-ma>l : Pemilik Harta
SHU : orang, golongan, negara yg menganut paham sosialisme
Sosial : berkenaan dng masyarakat
Sosialis : Penganut paham sosialis
Stakeholder : Pemangku kepentingan adalah terjemahan dari kata stakeholder
dapat diartikan sebagai segenap pihak yang terkait dengan isu dan
permasalahan yang sedang diangkat
Syar’i : Sesuai hukum syariat
Syariah : Hukum agama yg menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan
manusia dng Allah Swt., hubungan manusia dng manusia dan alam
sekitar berdasarkan Alquran dan hadis
Top down approach,
: Pendekatan dari atas ke bawah
Syirkah : Suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha
tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan
UKM : Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah
yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih
paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.
UMKM : Usaha mikro kecil menengah atau adalah istilah umum dalam
khazanah ekonomi yang merujuk kepada usaha ekonomi produktif
yang dimiliki perorangan maupun badan usaha sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan oleh Undang-undang No. 20 tahun 2008.
220
UNDP : United Nations Development Programme atau Badan Program
Pembangunan PBB adalah organisasi multilateral yang paling besar
memberi bantuan teknis dan pembangunan di dunia.
Zakat : Salah satu rukun Islam yg mengatur harta yg wajib dikeluarkan kpd
mustahik; Jumlah harta tertentu yg wajib dikeluarkan oleh orang yg
beragama Islam dan diberikan kpd golongan yg berhak menerimanya
(fakir miskin dsb) menurut ketentuan yg telah ditetapkan oleh syarak
221
BIODATA PENULIS
Masyhar Sa’adi, lahir di Rembang pada tanggal 24 Desember
1971. Ia menamatkan sekolah dasar di SDN Kragan l Kecamatan Kragan
Kabupaten Rembang dan lulus pada tahun 1985, setelah itu melanjutkan
ke SMP Negeri Kragan dan lulus tahun 1988, kemudian ke jenjang SLTA
yaitu di SMA Negeri Lasem dan lulus pada tahun 1992, Kemudian
Masyhar Sa’adi Tahun 1993 mengikuti Kuliah di S-1 Fakultas Hukum
UMM Malang Lulus Tahun 1997 dan selama kuliah aktif di UKM di
Resimen Mahasiswa (Menwa) Satuan 812 Macan Kumbang UMM,
Kemudian Pendidikan S-2 ditempuh di Pascasarjana Unsyiah Darussalam-Banda Aceh
Program studi Ilmu Hukum tahun 2006 dan lulus tahun 2011, sedangkan Pendidikan
Militer Mengikuti Pendidikan Perwira Karier Tahun 2001 lulus tahun 2002 menjadi
seorang perwira TNI AD dan berbagai Pendidikan militer yang pernah diikuti diantaranya
dasar kecabangan perwira Hukum Tahun 2002, Diklapa II Kecabangan Hukum Tahun
2012, Kursus Jabatan Hakim Militer (Susjabkimmil) Tahun 2018, sekarang ini sedang
menempuh Pendidikan dan sebagai mahasiswa aktif S3 Pengkajian Islam dengan
Konsentrasi Syariah pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saat ini, penulis adalah salah satu perwira aktif TNI Angkatan Darat berpangkat
Mayor Chk yang sekarang bertugas sebagai Kasirenopsdik Bagmindik STHM Ditkumad
Jakarta, dimana bertugas di STHM sejak Desember sejak tahun 2012 yang sebelumnya
bertugas di Kumdam IM Banda Aceh dari tahun 2002 sampai dengan Desember 2012.
Atas jasa- jasa selama penugasan di TNI Negara Memberikan Penghargaan Satya Lencana
Kesetiaan 8 tahun, 16 tahun, selain tanda jasa kesetiaan juga telah di berikan oleh negara
berupa tanda jasa Satyalencana Dwija Sistha, Kebaktian Sosial dan Dharma Nusa.
NO
INDIKATOR WAWANCARA &TERVIEW
RINGKAS & MUDAH DIMENGERTI (1)
MUDAH DILAKSANAKAn (2)
AKOMODIR KERAGAMAN (3)
Kesimpulan
1 HUKUM & PER –UU ITU SENDIRI
1. Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.
25 Informan Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 5 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib bank Syariah dari ketiga unsur kriteria 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah
2 Sarana & Fasilitas
2. Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.
15 Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 15 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib bank Syariah terutama fasilitas pendukungnya dari ketiga unsur kriteria. 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah
3 Penegak hukumnya
3.Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.
25 Informan Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 5 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib
bank Syariah ketiga unsur kriteria. 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah
HASIL WAWANCARA KEPADA PADA INFORMAN 30 NASABAH AKTIF
PERBANKAN SYARIAH DAN 20 PELAKU PERBANKAN SYARIAH DI ACEH DAN
MANFAATNYA BAGI KEMASLAHATAN RAKYAT
ii
NO INDIKATOR WAWANCARA &TERVIEW
RINGKAS & MUDAH DIMENGERTI (1)
MUDAH DILAKSANAKAn (2)
AKOMODIR KERAGAMAN (3)
Kesimpulan
4 Masyarakat di mana hukum tersebut diberlakukan
4.Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.
25 Informan Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 5 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib
bank Syariah ketiga unsur kriteria. 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah
5 Budaya hukum dalam masyarakatnya
5.Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.
25 Informan Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 5 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib bank Syariah ketiga unsur kriteria. 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah
HASIL WAWANCARA BANK SYARIAH
1. Bagaimana proses migrasi dari bank konvensional ke bank Syariah ?
Untuk nasabah dana : Petugas bank konvensional menghubungi nasabahnya untuk membuka
rekening di Bank Syariah dan memindahkan dananya ke rekening bank Syariah tsb lalu
rekening di Bank konvensionalnya ditutup.
Untuk nasabah pembiayaan: Petugas Bank konvensional bersama Petugas Bank Syariah
menjumpai nasabah untuk menandatangani akad pembiayaan di bank Syariah (take over) lalu
melunasi pembiayaan di Bank Konvensional dari dana pencairan di Bank Syariah
2. Apa kendala yang dihadapi dalam proses migrasi tersebut?
Kendala utama adalah sulit untuk berjumpa/mendatangkan nasabah ke bank untuk
pembukaan rekening.
3. Apakah ada kesulitan/problematika dalam proses migrasi tersebut?
- Menghubungi nasabah karena No.HP tidak aktif
- Nasabah masih membutuhkan rekening di Bank Konvensional untuk transaksi perbankan
karena belum ada di Bank Syariah (seperti pembelian LPG 3KG, penebusan pembelian
semen di PT Solusi Bangun Andalas (SBI), penebusan pupuk di PT PIM, pembayaran iuran
BPJS Kesehatan secara autodebet dll)
4. Bagaimana nasib pegawai dengan adanya migrasi ke Bank Syariah?
Pegawai Bank Konvensional diberi opsi tetap sebagai pegawai Bank Konvensional atau
pindah ke Bank Syariah. Jika tetap ingin di Bank Konvensional maka akan dipindahkan ke
cabang bank di luar propinsi Aceh. Jika memilih ke Bank Syariah maka pegawai tersebut
diberhentikan sebagai pegawai Bank Konvensional dan otomatis diterima di Bank Syariah
dengan grading yang sama.
5. Bagaimana nasib nasabah dengan migrasi ini?
Nasabah diberi opsi rekeningnya tetap di Bank Konvensional atau pindah ke Bank Syariah.
Jika memilih konversi ke Syariah maka dibukakan rekening di bank Syariah dan portfolio
nasabah dipindahkan dari Bank Konvensional ke Bank Syariah, selanjutnya nasabah bisa
terus bertransaksi di Bank Syariah tsb. Jika nasabah memilik tetap menggunakan rekening
Bank Konvensional maka pengelolaan rekeningnya dipindahkan ke cabang di luar Aceh.
6. Apa saja akad/transaski yang digunakan dalam bank ini?
Akad yang digunakan dalam produk dana yaitu : wadiah (titipan) dan mudharabah (bagi
hasil)
Akad yang digunakan dalam produk pembiayaan yaitu : murabahah (jual beli) dan
musyarakah (bagi hasil)
7. Apa acuan bank dalam implementasi akad-akad tersebut?
Standar Operasional dan Prosedur (SOP)
8. Apakah sebutan untuk keuntungan yang diperoleh Bank dari hasil pinjaman nasabah?
Untuk pembiyaan murabahah (jual beli) keuntungan bank disebut margin
Untuk pembiayaan musyarakah keuntungan bank disebut bagi hasil
9. Apakah sebutan untuk keuntungan bagi nasabah dari hasil simpanan di Bank Syariah?
Untuk produk wadiah nasabah mendapatkan bonus
Untuk produk mudharabah nasabah mendapatkan bagi hasil
10. Atas dasar apa keuntungan yang diterima oleh Bank dan nasabah?
Keuntungan yang diterima bank adalah berdasarkan margin jual beli atau bagi hasil dari
usaha nasabah
Keuntungan yang diterima nasabah adalah dari profit bank pada bulan berjalan.
11. Dalam bidang apa saja bank mengembangkan bisnis/usahanya?
Pembiayaan bank disalurkan kepada sector produktif (modal kerja dan investasi) dan sector
konsumtif
12. Apakah ada dana sosial yang disisihkan oleh bank dari hasil keuntungan usaha? Jika ada
kepada siapa dana social itu diberikan?
- Membayar Zakat perusahaan (dari keuntungan perusahaan) dan zakat pegawai.
- Menghimpun dana ziswaf dari masyarakat, sebagai salah satu fungsi sosial, media nya byk
di kembangkan/diberikan kemudahan/difasilitasi oleh Bank Syariah.
13. Apakah bank ini telah membetuk dewan pengawas Syariah? Dari unsur apa dewan pengawas
tersebut, dan bagaimana system kerjanya Bersama dengan bank?
Sudah ada. Dari unsur Ulama dan Pakar Ekonomi Syariah
Peraturan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Po-MUI/II/2018 Tentang Anggaran
Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Pasal
10 tentang Dewan Pengawas Syariah.
Anggaran Rumah Tangga DSN MUI Nomor: 11/PO-MUI/II/2018 BAB I Tugas dan Wewenang,
Pasal 3 Tugas dan Wewenang DPS
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Perkreditan
Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.
Peraturan Bank Indonesia No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober tentang Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah yang lalu di ubah dengan
Peraturan Bank Indonesia No.7/35/PBI/2005 tanggal 29 September 2005 tentang Bank
Umum yang melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah.
Peraturan Bank Indonesia No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari tentang perubahan kegiatan
usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.
14. Apakah ada pertanggung jawaban kepada Dewan Syariah Nasional (DSN)? Atau laporannya
kepada siapa?
Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank Syariah agar
sesuai dengan Prinsip Syariah
LAPORAN HASIL PENGAWASAN PENERAPAN PRINSIP SYARIAH A. Bank Syariah menyampaikan laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah yang
disusun oleh DPS secara semesteran kepada Bank Indonesia untuk posisi akhir bulan Juni dan bulan Desember.
B. Laporan semester I disampaikan paling lambat akhir bulan Agustus tahun berjalan,
sedangkan laporan semester II disampaikan paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya.
C. Laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah meliputi:
1. kertas kerja pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru 2. kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan usaha 3. risalah rapat pengawasan penerapan Prinsip Syariah Dalam hal tidak melakukan pengembangan produk dan aktivitas baru pada periode
laporan, Bank Syariah tetap menyampaikan laporan kertas kerja pengawasan terhadap
produk dan aktivitas baru Bank Syariah dengan keterangan “NIHIL”.
D. Penyampaian laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah kepada Bank
Indonesia dialamatkan kepada:
1. Departemen Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2,Jakarta 10350, bagi BPRS yang
berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi;
atau
2. Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPRS,
bagi BPRS yang kantorpusatnya berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud
dalam angka 1.
15. Setelah menggunakan system Syariah, bagimana keadaan bank? Apakah lebih untung atau
menjadi rugi? Apa sebabnya, mohon penjelasannya?
Belum ada study yang menilai hal tsb
16. Bagaimana efektivitas penerapan wajib Bank Syariah ini?
Qanun Aceh No.11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah dilaksanakan dengan
seksama oleh bank-bank konvensional di Aceh dan saat ini masih terus berproses untuk
konversi nasabah dan kantor cabangnya.
1. Bagaimana proses migrasi dari Bank Konvensional ke Bank Syariah? Jawab : Sebagaimana kita ketahui bersama pemerintah Aceh telah memberlakukan QANUN No 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang mengatur bahwa seluruh lembaga keuangan termasuk bank yang beroperasi di Provinsi Aceh wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah dan telah berlaku sejak 4 Januari 2019. Dampak dari Qanun tersebut, maka bank konvensional BUMN yaitu BRI, Mandiri dan BNI yang dulunya beroperasional di Aceh mengalihkan pelayanannya melalui Bank Syariah anak perusahaan masing-masing yaitu BRISyariah, BSM dan BNIS. Pada tanggal 1 Februari 2021 dilaksanakan merger tiga bank syariah yang dimiliki BUMN. Latar belakang penggabungan bank syariah BUMN adalah adanya keinginan dari Menteri BUMN Erick Thohir untuk meningkatkan core competence seluruh BUMN termasuk sector keuangan, maka Kementrian BUMN pun menggabungkan tiga bank syariah yang dimiliki bank BUMN yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah. Tujuan dari merger ini salah satunya adalah Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim dunia punya bank syariah yang besar dan berdaya saing global. Berdasarkan dari penggabungan 3 bank Syariah dimana dalam 4 tahun terakhir, pertumbuhan asset BSI menunjukan perkembangan yang sustain. Dari total 115 Bank Umum per Desember 2017, BSI menempati posisi 9 dari asset dengan total Rp. 154,3 T dan per Desember 2020 posisi BSI meningkat menjadi nomor 7. BSI memiliki 11 Regional Office yg tersebar seluruh Indonesia, salah satunya yaitu Bank Syariah Indonesia Regional Aceh dimana akan mengambil peran penting dalam kegiatan impor dan ekspor di Provinsi Aceh, baik dalam layanan maupun pembiayaan serta fasilitas perbankan lainnya. Bank Syariah Indonesia Regional Aceh saat ini memiliki Outlet yang tersebar di seluruh Provinsi Aceh, yaitu : ✓ 3 Area ✓ 24 Kantor Cabang ✓ 175 Kantor Cabang Pembantu ✓ 2 Kantor Fungsional Operasional ✓ 2 Kantor Kas ✓ 14 Payment Point Bank Syariah Indonesia Regional Aceh memiliki Resourch sebagai berikut : ✓ Pegawai sebanyak 3.075 Orang ✓ Aset senilai Rp.16,78 T ✓ Pembiayaan sebesar Rp.13,85 T ✓ Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp.13,55 T ✓ Laba Bersih (CM) sebesar Rp.440,7 M ✓ Return Of Aset (ROA) sebesar Rp.2,69 % ✓ Nasabah sebanyak 1,8 Juta ✓ E-Channel sebanyak 666 ATM, 11.090 BSI Smart, 751 EDC dan 8 CRM
2. Apa kendala yang dihadapi dalam proses migrasi tersebut? Jawab : Proses migrasi hingga saat ini masih terus berjalan, namun dalam perjalanannya
masih terdapat beberapa kendala. Kendala tersebut berada pada segmen pendanaan
dan pembiayaan yang belum termigrasi seluruhnya. Kendala belum dapat
dimigrasikan segmen Pendanaan diakibatkan oleh masyarakat belum paham
kewajiban qanun, dan merasa masih butuh dan ketergantungan dengan konvensional,
dan menginginkan mempunyai dua rekening (konvensional dan syariah).
Sementara kendala pada segmen pembiayaan terjadi karena pemindahan portofolio
kredit ke syariah baru dapaat dilakukan hanya yg berkolektibiltas 1 (lancar),
sedangkan lainnya masih harus diselesaikan hingga lancar terlebih dahulu, baru
kemudian dapat dipindahkan
3. Apakah ada kesulitan/problematika dalam proses migrasi tersebut? Jawab : Dalam proses migrasi, terdapat beberapa kendala atau kesulitan yang diakibatkan oleh kurangnya pemahaman nasabah tentang bank Syariah dan masih adanya kepentingan nasabah untuk transaksi menggunakan rekening konvensional dalam menjalankan usahanya. Namun kendala tersebut dapat dihadapi dan terus berupaya untuk melakukan migrasi.
4. Bagaimana nasib pegawai dengan adanya migrasi ke Bank Syariah? Jawab : Masing-masing Bank Konvensional yang berada di Aceh yang akan dilakukan migrasi, memberi pilihan kepada pegawainya untuk dapat menentukan tetap di Bank Konvensional atau ikut beralih menjadi pegawai Bank Syariah. Apabila pegawai tersebut memilih tetap di bank Konvensional, maka pegawai tersebut akan ditugaskan di luar Provinsi Aceh, karena operasional bank konvensional tidak diizinkan lagi di Provinsi Aceh.
5. Bagaiman nasib nasabah dengan migrasi ini? Jawab : Nasabah juga diberi pilihan untuk migrasi ke rekening Syariah atau tetap sebagai nasabah konvensional. Namun semaksimal mungkin akan diarahkan ke rekening Syariah, karena seluruh transaksi di Provinsi Aceh akan berbasis Syariah. Apabila nasabah tersebut tetap memilih menjadi nasabah konvensional, maka seluruh transaksi perbankan tidak dapat dilayani di Provinsi Aceh.
6. Apa saja akad/transaksi yang digunakan dalam Bank ini? Jawab : Akad yang digunakan pada Bank Syariah Indonesia antara lain sebagai berikut : a. Wadiah Akad penitipan batang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang. b. Mudharabah Akad kerjasama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua ('amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. c. Musyarakah Akad kerjasama diantara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana masing-masing. d. Murabahah
Akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. e. Salam Akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. f. Istisna' Akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni') dan penjual atau pembuat (shani'). g. Ijarah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikian barang itu sendiri. h. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. i. Qardh Akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
7. Apa acuan bank dalam implementasi akad-akad tersebut? Jawab : Acuan bank dalam implementasi akad berdasarkan Rukun dan Syarat berdagang secara Syariah. Adapun rukun tersebut yaitu adanya para pihak (Penjual dan Pembeli), adanya objek dan adanya ijab-qabul. Sedangkan Syarat berdagang secara Syariah adalah Para Pihak haruslah cakap hukum, berwenang, dan tidak ada paksaan. Untuk objek yang diuperjual-belikan harus halal dan jelas (kualitas dan kuantitasnya). Selanjutnya Ijab-Qabul yang dilakukan harus jelas hak dan kewajibannya. Implementasi akad pada Bank Syariah diterapkan sesuai dengan produk yang diinginkan oleh nasabah.
8. Apakah sebutan untuk keuntungan yang diperoleh Bank dari hasil pinjaman nasabah? Jawab : Sebutan untuk keuntungan yang diperoleh dari hasil pinjaman nasabah antara lain sebagai berikut : a. Margin, dihasilkan oleh jual-beli dengan akad murabahah b. Bagi Hasil, dihasilkan oleh produk dengan akad musyarakah c. Ujroh, dihasilkan dari sewa-menyewa yang dihasilkan dengan akad ijarah
9. Apakah sebutan keuntungan bagi nasabah dari hasil simpanan di Bank Syariah? Jawab: Sebutan untuk keuntungan yang diperoleh dari hasil simpanan nasabah antara lain sebagai berikut : a. Bagi hasil, dihasilkan oleh produk dengan akad mudharabah (Produk Deposito)
b. Bonus (tidak dijanjikan) dihasilkan oleh produk dengan akad wadiah
10. Atas dasar apa keuntungan yang diterima oleh Bank dan Nasabah? Jawab : Atas dasar akad yang diperjanjikan dan disepakati antar bank dan nasabah
11. Dalam bidang apa saja bank mengembangkan bisnis/usahanya? Jawab : Bidang pengembangan bisnis bank Syariah meliputi : a. Pendanaan, termasuk didalamnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (Tabungan,
Deposito dan Giro) b. Pembiyaan, seluruh pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah c. Jasa Perbankan, meliputi jasa layanan transaksi perbankan, e-Chanel (ATM,
EDC, Mobile Banking, dll), Bank Garansi, Letter of Credit (LC), Safe Deposit Box (SDB), dan jasa perbankan lainnya.
12. Apakah ada dana sosial yang disisihkan oleh bank dari hasil keuntungan usaha?
Jika ada, kepada siapa dana sosial itu diberikan? Jawab : Ada, dana sosial yang disisihkan oleh bank dari hasil keuntungan usaha disebut sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) Tanggung jawab Sosial Perusahaan adalah komitmen perusahaan kepada lingkungan dengan tujuan memberikan nilai tambah kepada semua pemangku kepentingan termasuk internal perusahaan guna mendukung pertumbuhan perusahaan Tujuan implementasi kegiatan CSR adalah:
1. Mewujudkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat 2. Mendukung implementasi praktik bisnis yang transparan dan bertanggung jawab 3. Membangun citra positif dan menggalang dukungan masyarakat 4. Menggali dan memberdayakan potensi UMKM melalui penyaluran dana kemitraan 5. Berpartisipasi pada program pelestarian lingkungan hidup, peningkatan kualitas
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, kehidupan beragama, dan perbaikan sarana umum lainnya.
13. Apakah bank ini telah membentuk dewan pengawas Syariah? Dari unsur apa dewan pengawas tersebut dan bagaimana system kerjanya Bersama dengan Bank? Jawab : Sudah, Bank Syariah Indonesia sudah memiliki dewan pengawas Syariah yang diangkat pada RUPS LB tanggal 15 Desember 2020 dan efektif menjabat pada 01 Februari 2021. Tugas utama Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syari`ah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syari`ah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Fungsi utama Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syari`ah dan pimpinan kantor cabang syari`ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari`ah dan sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan Dewan Syariah Nasional dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari Dewan Syariah Nasional
14. Apakah ada pertanggung jawaban kepada Dewan Syariah Nasional (DSN)? Atau laporannya kepada siapa? Jawab : Ada, DPS wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan DPS setiap semester kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
15. Setelah menggunakan system Syariah, bagaimana keadaan bank? Apakah lebih untung atau menjadi rugi? Apa sebabnya, mohon penjelasannya Jawab : Setelah menggunakan system Syariah, Keadaan Bank semakin membaik dan semakin berkah.
16. Bagaimana efektivitas penerapan wajib Bank Syariah Ini? Jawab : Penerapan wajib Bank Syariah di Provinsi Aceh sangat efektif dan relevan dengan budaya serta aturan Qanun yang telah diterapkan
Pedoman Wawancara Penelitian
Manfaat dan Problem Bank Aceh Syariah tanggal 8 September 2021
Mohon kesediaannya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
A. Data Diri
1. Nama : Azhari / HP.085220119327
2. Pekerjaan : PNS/ESDM
3. Pendidikan Terakhir : S-1 ITB
4. Tempat tinggal : Lampineng - Banda Aceh.
1. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: ini merupakan hal yang bagus, mendukung Prinsip syariah
2. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Pemerintah, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Pemerintah , wajib menjadi contoh dalam penerapan Syariah dan
penegakannya.
3. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Perorangan, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Efektif untuk semua kalangan
4. Penerapan Syariat Islam akan membawa kebaikan, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Dengan adanya syariat islam akan membawa kebaikan bagi semua.
5. Penerapan Syariat Islam harus dalam segala bidang, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaaban: Syariat Islam di segala bidang , dalam NKRI.
6. Penerapan Syariat Islam tidak boleh setengah-setengah, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Secara penuh dan menyeluruh.
7. Penerapan Syariat Islam cukup dalam bidang hukum saja, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Segala bidang merata, dan dirasakan manfaatnya. 8. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, Bagaimana
pendapat anda ? Jawaban: Penerpan Syariat akan membawa kebaikan Bagi masyarakat dan pemerintah.
9. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan meringankan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Syariat islam dalam perbankan akan membawa keringanan , membeli rumah daam pinkjam modal.
10. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan memudahkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: memudahkan dalam meningkatakan tarap kehidupan. 11. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan mensejahterakan, Bagaimana pendapat anda? Jawaban:ya, perbankan syariat dapat mensejahterakan dalam kehidupan sehari-hari.
12. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, akan memberikan tempat pada Keluaraga dan masyarakat. 13. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan menguntungkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya menguntungkan, dengan di bantu dengan adanya modal untuk beli rumah. 14. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh sudah sesuai syariat Islam ?
Jawaban: Sudah sesuai syariat Islam baik dalam teori dan praktek sehari-hari. 15. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh tidak menerapkan sistem bunga ?
Jawaban: tidak menerapkan bunga, namun sistemnya disesuai dengan akad masing-masing. 16. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menerapkan sistem bagi hasil ?
Jawaban: ya , sistem bagi hasil di terapkan , dalam setiap transaksi . 17. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman ?
Jawaban: margin diterapakan dengan mengambil uang jasa. 18. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan ?
Jawaban: tidak memberikan Bunga , pada jual beli memberikan margin. 19. Apakah Anda memiliki rekening di Bank Syariah? Jika Ya, Tuliskan nama Bank tersebut: Jawaban: Bank Aceh Syariah , BSI
20. Apakah Anda memiliki hutang di Bank Syariah, pakai akad apa ? Jawaban: dengan akad Murabahah (Jual beli)
21. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau Kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Dengan diberikan pinjaman untuk membeli rumah. 22. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keringanan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? Jawaban: Keringan dengan tidak menerapkan Bunga, hanya dengan margin lebih kecil. 23. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Secara Pribadi memberikan keuntungan,terpenuhinya kredit modal untuk membeli rumah 24. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Memberikan kemudahan dan fasilitas dalam berusaha 25. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, Perekonomian saya meningkat, berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Meningkatkan kemudahan, dalam membeli rumah , dengan di kasih pinjaman modal untuk membelinya, meningkatkann perekonomian.
-------------00000----------
Pedoman Wawancara Penelitian
Manfaat dan Problem Bank Aceh Syariah tanggal 8 September 2021
Mohon kesediaannya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
A. Data Diri
1. Nama : Ferdi Ferbian (Usia 41)/ HP. 08126993154
2. Pekerjaan : wiraswata (Kontraktor)
3. Pendidikan Terakhir : Sarjana Teknik Sipil Unsyiah
4. Tempat tinggal :Lamtemen Timur- Banda Aceh.
1. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Setuju dengan prinsip Syariah
2. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Pemerintah, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Harus , dalam bingkai NKRI
3. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Perorangan, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: setuju dengan syariat islam bagi perorangan, karena dengan kesadaran dan
pemahan syariah akan tercapai Kemaslahatan.
4. Penerapan Syariat Islam akan membawa kebaikan, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Dengan adanya syariat islam jelas akan membawa kebaikan.
Akan nihil pelanggaran hukum.
5. Penerapan Syariat Islam harus dalam segala bidang, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaaban: Syariat Islam akan lebih baik di segala bidang , tentunya dengan pengetahun
yang cerdas.
6. Penerapan Syariat Islam tidak boleh setengah-setengah, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Jelas bahwa syariat Islam harus dilaksanakan secara kafah, dan tidak
memandang sebelah mata, dengan itikad yang baik dan di niatkan untuk ibadah hanya semata ridho kepada Allah SWT.
7. Penerapan Syariat Islam cukup dalam bidang hukum saja, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Syariat islam diterapkan di segala bidang 8. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, Bagaimana
pendapat anda ? Jawaban: Penerpan Syariat akan mendatangkan maslahat , manfaat yang berguna dalam ekonomi umat.
9. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan meringankan, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Syariat islam dalam perbankan akan membawa keringanan , dan memudahan dalam mencari rizqi dan pendapatan
10. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan memudahkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Ya Ada memudahkan, sesuai peraturan pemerintah daerah. 11. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan mensejahterakan, Bagaimana pendapat anda? Jawaban:ya, perbankan syariat dapat mensejahterakan 12. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, akan memberikan tempat pada masyarakat. 13. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan menguntungkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya menguntungkan, dengan di bantu dengan adanya modal kerja. 14. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh sudah sesuai syariat Islam ?
Jawaban: Sudah sesuai syariat Islam baik dalam teori dan praktek sehari-hari. 15. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh tidak menerapkan sistem bunga ?
Jawaban: tidak menerapkan bunga, namun sistemnya disesuai dengan akad masing-masing. 16. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menerapkan sistem bagi hasil ?
Jawaban: ya , sistem bagi hasil di terapkan , dalam setiap transaksi .
17. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman ?
Jawaban: margin diterapakan dengan mengambil uang jasa.
18. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan ?
Jawaban: tidak memberikan Bunga , pada simpanan memberikan bagi hasil. 19. Apakah Anda memiliki rekening di Bank Syariah? Jika Ya, Tuliskan nama Bank tersebut: Jawaban: Bank Aceh Syariah
20. Apakah Anda memiliki hutang di Bank Syariah, pakai akad apa ? Jawaban: dengan akad Musyaraqah Mutanaqisah, Mudharabah
21. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau Kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban:Dengan dibeikan jaminan , finansial teller (kafalah) 22. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keringanan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? Jawaban: Keringan dari APBA dan jumlah APBK
23. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Secara Pribadi memberikan keuntungan, terganggunya kredit modal kerja
24. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Memberikan kemudahan dan fasilitas dalam berusaha 25. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, Perekonomian saya meningkat, berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Meningkatkan kemudahan, kerjaan urusan tanah , meningkat menjadi CV dan PT
-------------00000----------
Pedoman Wawancara Penelitian
Manfaat dan Problem Bank Aceh Syariah tanggal 8 September 2021
Mohon kesediaannya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
A. Data Diri
1. Nama : Hafidzah / HP.083562068055
2. Pekerjaan : PNS
3. Pendidikan Terakhir : D4 Bidan
4. Tempat tinggal : Ulee Kareng - Banda Aceh.
1. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Lebih Bagus dengan prinsip Syariah
2. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Pemerintah, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Pemerintah , sekaligus Masyarakat berperan juga.
3. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Perorangan, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Menerima , sesuai dengan agama
4. Penerapan Syariat Islam akan membawa kebaikan, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaban: Dengan adanya syariat islam akan membawa kebaikan bagi semua komponen
masyarakat bangsa dan negara .
5. Penerapan Syariat Islam harus dalam segala bidang, Bagaimana pendapat anda ?
Jawaaban: Syariat Islam akan lebih baik di segala bidang , secara menyeluruh.
6. Penerapan Syariat Islam tidak boleh setengah-setengah, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: harus dijalankan sepenuhnya akan lebih bagus.
7. Penerapan Syariat Islam cukup dalam bidang hukum saja, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Segala bidang merata, lebih bagus. 8. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, Bagaimana
pendapat anda ? Jawaban: Penerpan Syariat akan membawa kebaikan Bagi masyarakat dan pemerintah.
9. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan meringankan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Syariat islam dalam perbankan akan membawa keringanan , dalam bekerja.
10. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan memudahkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: memudahkan dalam meningkatakan tarap kehidupan. 11. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan mensejahterakan, Bagaimana pendapat anda? Jawaban:ya, perbankan syariat dapat mensejahterakan dalam kehidupan sehari-hari.
12. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, akan memberikan tempat pada Keluaraga dan masyarakat. 13. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan menguntungkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya menguntungkan, dengan di bantu dengan adanya modal untuk beli rumah. 14. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh sudah sesuai syariat Islam ?
Jawaban: Sudah sesuai syariat Islam baik dalam teori dan praktek sehari-hari. 15. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh tidak menerapkan sistem bunga ?
Jawaban: tidak menerapkan bunga, namun sistemnya disesuai dengan akad masing-masing. 16. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menerapkan sistem bagi hasil ?
Jawaban: ya , sistem bagi hasil di terapkan , dalam setiap transaksi .
17. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman ?
Jawaban: margin diterapakan dengan mengambil uang jasa.
18. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan ?
Jawaban: tidak memberikan Bunga , pada simpanan memberikan bagi hasil. 19. Apakah Anda memiliki rekening di Bank Syariah? Jika Ya, Tuliskan nama Bank tersebut: Jawaban: Bank Aceh Syariah
20. Apakah Anda memiliki hutang di Bank Syariah, pakai akad apa ? Jawaban: dengan akad Murabahah (Jual beli)
21. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau Kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Dengan diberikan pinjaman untuk membeli rumah. 22. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keringanan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? Jawaban: Keringan dengan tidak menerapkan Bungan, hanya dengan margin 23. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Secara Pribadi memberikan keuntungan,terpenuhinya kredit modal kerja 24. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Memberikan kemudahan dan fasilitas dalam berusaha 25. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, Perekonomian saya meningkat, berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Meningkatkan kemudahan, dalam membeli rumah , dengan di kasih pinjaman modal untuk membelinya
-------------00000----------
Pedoman Wawancara Penelitian
Manfaat dan Problem Bank Syariah di Aceh
Mohon kesediaannya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
A. Data Diri
1. Nama : …………………………………………………………………………………..
2. Pekerjaan : …………………………………………………………………………………..
3. Pendidikan Terakhir : …………………………………………………………………………………..
4. Tempat tinggal : …………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………….. 1. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib, Bagaimana pendapat anda ? 2. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Pemerintah, Bagaimana pendapat anda ?
3. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Perorangan, Bagaimana pendapat anda ?
4. Penerapan Syariat Islam akan membawa kebaikan, Bagaimana pendapat anda ?
5.Penerapan Syariat Islam harus dalam segala bidang, Bagaimana pendapat anda ?
6. Penerapan Syariat Islam tidak boleh setengah-setengah, Bagaimana pendapat anda ? 7. Penerapan Syariat Islam cukup dalam bidang hukum saja, Bagaimana pendapat anda ?
8.Penerapan Syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, Bagaimana pendapat anda ?
9. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan meringankan, Bagaimana pendapat anda ? 10. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan memudahkan, Bagaimana pendapat anda ? 11. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan mensejahterakan, Bagaimana pendapat anda ? 12. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, Bagaimana pendapat anda ? 13. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan menguntungkan, Bagaimana pendapat anda ? 14. Apakah Penrapan Bank Syariah di Aceh sudah sesuai syariat Islam ?
15. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh tidak menerapkan sistem bunga ?
16. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menerapkan sistem bagi hasil ?
17. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman ?
18. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan ?
19. Apakah Anda memiliki rekening di Bank Syariah? Jika Ya, Tuliskan nama Bank tersebut: 20. Apakah Anda memiliki hutang di Bank Syariah, pakai akad apa ? 21. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? 22. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keringanan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? 23. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? 24. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan, berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? 25. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, Perekonomian saya meningkat, berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ?
-------------00000----------