EFEKTIVITAS REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH ...

251
EFEKTIVITAS REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH DAN MANFAATNYA TERHADAP KEMASLAHATAN RAKYAT (Studi Implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah) Disertasi Doktor Pengkajian Islam Konsentrasi Syariah Oleh : MASYHAR SA’ADI NIM: 31161200000124 Promotor: Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, M.A. Prof. Dr. Muhammad Bin Said Konsentrasi/Peminatan Hukum Islam (Syariah) Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2021

Transcript of EFEKTIVITAS REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH ...

EFEKTIVITAS REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH

DAN MANFAATNYA TERHADAP KEMASLAHATAN RAKYAT

(Studi Implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018

Tentang Lembaga Keuangan Syariah)

Disertasi Doktor Pengkajian Islam

Konsentrasi Syariah

Oleh :

MASYHAR SA’ADI

NIM: 31161200000124

Promotor:

Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, M.A.

Prof. Dr. Muhammad Bin Said

Konsentrasi/Peminatan Hukum Islam (Syariah)

Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2021

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan karunianya sehingga penulisan disertasi dengan judul “EFEKTIVITAS

REGULASI WAJIB BANK SYARIAH DI ACEH DAN MANFAATNYA

TERHADAP KEMASLAHATAN RAKYAT (Studi Implementasi Qanun Aceh

Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS))” dapat

terselesaikan. Shalawat dan salam dihaturkan kepada yang mulia Nabi agung

Muhammad SAW yang telah menuntun manusia dari zaman zalim kepada akhlak

yang mulia untuk dapat hidup dalam peradaban dan berkemajuan.

Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis berhutang budi kepada banyak

pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung. Kepada

mereka, penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya, semoga Allah memberikan balasan yang sebesar-besarnya dan

menghitungnya sebagai amal saleh di Akhirat kelak.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya disampaikan

kepada yang terhormat Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, M.A. dan Prof. Dr.

Muhammad Bin Said, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan

arahan dalam penulisan disertasi ini. Ucapan Terima Kasih yang sebesar-besarnya

Kami Ucapkan Kepada, Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, L.c., M.A

selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Prof. Dr. Phil Asep Saepudin

Jahar, MA., Dr. Hamka Hasan, Lc. MA, selaku Direktur dan wakil Direktur

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih yang

sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Didin Saepudin, MA

selaku Ketua Prodi Doktor yang selalu meluangkan waktu untuk verifikasi

perkembangan disertasi. Terima kasih yang setinggi-tingginya juga penulis

sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Koesmawan, M.Sc., MBA, DBA., Prof. Dr.

Muhammad Amin Summa, S.H.,M.M., Dr. Riris Aishah Prasetyowati, S.E.,M.M.,

Dr. JM Muslimin, MAg, Dr. Asmawi, MA, Dr. Kamarusdiana, M.A., MA., Dr.

Mesraini, M.Ag.,serta seluruh dosen Sekolah Pascasarjan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah menyajikan berbagai mata kuliah selama penulis menempuh

studi dan juga telah memberikan masukan dan kritikan selama penulis menempuh

berbagai ujian dalam penyelesaian disertasi ini, mulai dari ujian proposal, WIP I

dan WIP II, ujian Komprehensif tulis dan lisan, Ujian Pendahuluan dan Ujian

Promosi.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian penulisan

disertasi ini seperti petugas perpustakaan Pascasarjana dan Pusat perpustakaan

UIN Jakarta, Sekolah Tinggi Hukum Militer dan seluruh pengurus serta segenap

karyawan staff Sekretariat SPs UIN Jakarta; Mas Arif, Mas Adam, Mas Adeb,

Mba Farah, Mba Ema, Kang Toni dll yang selalu memberikan pelayanan dengan

cepat untuk mahasiswa SPs UIN Jakarta, Serta teman-teman yang banyak

memberikan bantuan moral dan material dalam diskusi bersama yang sering

dilakukan Mayjen TNI Dr.Agus Dhani Mandaladikari, S.H., M.Hum, MBA.,

iii

Dr.Abdul Hakim Wahid, M.A, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Ucapan terimakasih yang sebesar besarnya dan teristimewa penulis

sampaikan kepada orang tua penulis atas segala, do’a yang tiada henti dan

dukungan untuk penulis sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik,

Semoga Allah meridoi dan melimpahkan berkahnya kepada mereka dan menerima

segala amal baiknya.

Dan penghargaan yang penulis sayangi isteri tercinta dr. Cut Srijuita,

SpPD, Finasim, serta Ananda Gharza Fahma Adzkiya, Ihtada Naqibunnas, Kanzal

Makarim, Azzahra Salsabila Hakima serta adinda Eny Khumaiya, S.E. beserta

suami. Dukungan dan bantuan mereka membuat penulisan disertasi ini dapat

terselesaikan dengan lancar. Kepada mereka itulah, disertasi ini dipersembahkan.

Jakarta, September 2021

Penulis,

Masyhar Sa’adi

x

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengelaborasi dan mendeskripsikan efektivitas

regulasi Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah, dalam

rangka mengkaji implementasi Hukum ekonomi Islam pada Bank Syariah dan

untuk mengeksplorasi dan membuktikan manfaat penerapan wajib bank syariah

terhadap kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Metodologi disertasi ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi dengan desain

penelitian studi kasus deskriptif. Sumber data primernya adalah hasil observasi

dan wawancara kepada nasabah aktif bank Syariah dan pegawai perbankan

Syariah di Aceh yang berkaitan dengan pemberlakuan Qanun Aceh No. 11 tahun

2018 tentang lembaga keuangan syariah. Sedangkan sumber data sekunder adalah

buku-buku referensi dan jurnal nasional maupun internasional yang relevan

dengan penelitian ini. Hasil Penelitian ini membuktikan bahwa efektivitas dengan

indikator yang terdiri dari; Hukumnya itu sendiri atau perundang-undangan yang

berlaku, penegak hukumnya, sarana dan fasilitas yang mendukung penerapan

hukum, masyarakat dengan hukum yang diberlakukan, dan budaya hukum

masyarakat. Serta penggunaan tingkat keterukuran efektivitas pada: Ringkas dan

mudah dipahami, mudah dilaksanakan, dan mengakomodir keragaman. Dari

kelima indikator tersebut, empat indikator telah memenuhi kriteria ukuran

efektivitas, kecuali sarana dan fasilitas pendukung penerapan hukum Qanun. Hasil

penelitian pada indikator manfaat pelaksanaan regulasi wajib bank Syariah di

Aceh dapat membawa maslahat bagi rakyat; berupa kesejahteraan, kebahagiaan,

keuntungan, kemudahan dan keringanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

sebagian masyarakat Aceh sudah merasakan manfaatnya dari Bank Syariah yang

menerapkan Regulasi Wajib Bank Syariah, sementara sebagian masyarakat

lainnya belum sepenuhnya merasakan manfaat tersebut. Penelitian dalam disertasi

ini tidak sependapat dengan M.B Hooker (2008) yang menyatakan bahwa terdapat

banyak kendala dan hambatan dalam proses legislasi syariat Islam di Aceh, karena

ketentuan hukum yang ingin diterapkan tidak sesuai dengan sistem hukum

nasional, sehingga Pemerintah Pusat harus menambah keluasan otonomi secara

khusus bagi Aceh, yakni dalam bidang hukum Islam untuk melegislasi qanun

syariat. Penelitian ini juga tidak sependapat dengan kesimpulan Harold Crouch

dalam karyanya (2002) yang mengatakan bahwa rentetan sejarah kegagalan partai

Islam dalam upaya menerapkan syariat Islam membuat peluang untuk penerapan

syariat Islam di Indonesia sama sekali tidak ada. Pendapat Crouch hanya

mengatakan kalau penerapan syariat Islam harus dalam arti mendirikan negara

Islam.

Kata Kunci: Qanun, Aceh, Bank Syariah, Efektivitas, Manfaat

xi

امللخص رقم القانون رقم. قانون آتشيه فعالية ووصف توضيح هو الدراسة هذه من 2018لسنة 11الغرض

البنوك يف اإلسالمي االقتصادي القانون تطبيق مراجعة هبدف ، اإلسالمية املالية املؤسسات بشأن مية اإللزامية لرفاهية الناس ومنافعهم. تستخدم اإلسالمية واستكشاف وإثبات فوائد تطبيق الصريفة اإلسال

مصادر احلالة. لدراسة وصفي تصميم حبث مع ظاهرية طريقة مع نوعيا هنجا األطروحة هذه منهجية البياانت األولية هي نتائج املالحظات واملقابالت مع العمالء النشطني للبنوك اإلسالمية وموظفي الصريفة

بشأن املؤسسات املالية 2018لسنة 11قة بتنفيذ قانون آتشيه رقم. قانون رقم اإلسالمية يف آتشيه املتعلاإلسالمية. يف حني أن مصادر البياانت الثانوية هي كتب مرجعية وجمالت وطنية ودولية ذات صلة هبذا التشريعات أو نفسه القانون ؛ من تتكون املؤشرات مع الفعالية أن تثبت الدراسة هذه نتائج البحث.

ملعمول هبا ، وإنفاذ القانون ، واملرافق والتسهيالت اليت تدعم تطبيق القانون ، واجملتمع مع القانون املعمول اموجز يف: للقياس القابلة الفعالية مستوايت استخدام إىل ابإلضافة للمجتمع. القانونية والثقافة ، به

التنوع. من بني املؤش التنفيذ ، واستيعاب الفهم ، وسهل أربعة مؤشرات وسهل رات اخلمسة ، استوفت حول البحث نتائج القانون. قانون لتطبيق الداعمة واملرافق املرافق ابستثناء ، الفاعلية قياس معايري مؤشرات فوائد تطبيق اللوائح اإللزامية للمصارف اإلسالمية يف آتشيه ميكن أن تعود ابلنفع على الناس ؛

نتائج هذه الدراسة إىل أن بعض سكان آتشيه قد يف شكل رفاهية وسعادة وربح وسهولة وراحة. تشري البعض يشعر مل بينما ، اإللزامية الشريعة مصرف للوائح اإلسالمية البنوك تطبيق بفوائد ابلفعل شعروا

( الذي ينص 2008) MB Hookerاآلخر هبذه الفوائد متاما. ال يتفق البحث يف هذه الرسالة مع العديد من ا والعقبات يف عملية تشريع الشريعة اإلسالمية يف آتشيه ، ألن األحكام على وجود لعقبات

أنه جيب على احلكومة املركزية الوطين ، لذلك القانوين النظام تتوافق مع القانونية اليت سيتم تطبيقها ال سالمية لتشريع زايدة اتساع نطاق احلكم الذايت على وجه التحديد. آلتشيه ، وحتديدا يف جمال الشريعة اإل

( الذي يقول إن 2002قوانني الشريعة. ال تتفق هذه الدراسة أيضا مع استنتاج هارولد كراوتش يف عمله )السلسلة التارخيية إلخفاقات األحزاب اإلسالمية يف حماولة لتطبيق الشريعة اإلسالمية جتعل الفرصة لتطبيق

ول رأي كراوتش فقط أن تطبيق الشريعة اإلسالمية جيب الشريعة اإلسالمية يف إندونيسيا منعدمة متاما. يق أن يكون مبعىن إقامة دولة إسالمية.

والفوائد ،الفعالية ، القانون، أجيه، البنوك الشريعة الكلمات الدالة:

xii

Abstract

The purpose of this study is to elaborate and describe the effectiveness of the

Aceh Qanun no. 11 of 2018 concerning Islamic financial institutions, in order to

review the implementation of Islamic economic law in Islamic banks and to

explore and prove the benefits of implementing mandatory Islamic banking for the

welfare and benefit of the people. The methodology of this dissertation uses a

qualitative approach with a phenomenological method with a descriptive case

study research design. The primary data sources are the results of observations

and interviews with active customers of Islamic banks and employees of Islamic

banking in Aceh related to the implementation of Aceh Qanun No. 11 of 2018

concerning Islamic financial institutions. While the secondary data sources are

reference books and national and international journals that are relevant to this

research. The results of this study prove that the effectiveness with indicators

consisting of; The law itself or the applicable legislation, law enforcement,

facilities and facilities that support the application of the law, the community

with the applicable law, and the legal culture of the community. As well as the

use of measurable levels of effectiveness in: Concise and easy to understand, easy

to implement, and accommodate diversity. Of the five indicators, four indicators

have met the criteria for measuring effectiveness, except for supporting facilities

and facilities for the implementation of the Qanun law. The results of the research

on indicators of the benefits of implementing mandatory regulations for Islamic

banks in Aceh can bring benefits to the people; in the form of welfare, happiness,

profit, ease and relief. The results of this study indicate that some Acehnese have

already felt the benefits of Islamic banks implementing the Sharia Bank

Mandatory Regulations, while some other people have not fully felt these

benefits. The research in this dissertation does not agree with MB Hooker (2008)

which states that there are many obstacles and obstacles in the Islamic law

legislation process in Aceh, because the legal provisions to be applied are not in

accordance with the national legal system, so that the Central Government must

increase the breadth of autonomy specifically. for Aceh, namely in the field of

Islamic law to legislate sharia qanuns. This study also disagrees with the

conclusion of Harold Crouch in his work (2002) which says that the historical

series of failures of Islamic parties in an effort to implement Islamic law makes

the opportunity for the application of Islamic law in Indonesia completely non-

existent. Crouch's opinion only says that the application of Islamic law must be in

the sense of establishing an Islamic state.

Key Words: Qanun, Aceh, Islamic Banks, Effectiveness, Benefits

xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin.

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

h{ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sh = ش

s{ = ص

d{ = ض

t} = ط

z{ = ظ

ع = ‘

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

Ketentuan alih vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan

dengan h}araka>t dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin

Keterangan

<a اa dengan garis di

atas

<i يi dengan garis di

atas

<u وu dengan garis di

atas

xiv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................... ii

Pernyataan Bebas Plagiarisme ........................................................................... iv

Lembar Pengecekan Plagiarisme Pernyataan Perbaikan Setelah Ujian

Promosi Doktor.................................................................................................... v

Persetujuan Pembimbing .................................................................................. vi

Persetujuan Penguji ............................................................................................ viii

Lembar Pengesahan............................................................................................ ix

Abstrak…………………………………………………………………………..x

Translitrasi………………………………………………………………………xiii

Daftar Isi………………………………………………………………………...xiv

Daftar Tabel……………………………………………………………………..xvi

Daftar Grafik……………………………………………………………………xvii

Daftar Bagan……………………………………………………………………xviii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Permasalahan Penelitian……………………………………………… 9

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 10

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian ................................................... 11

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................................... 12

F. Metode Penelitian ............................................................................... 18

G. Sistematika penulisan ......................................................................... 20

BAB II PEMBERLAKUAN SYARIAT ISLAM DAN KEMASLAHATAN

UMAT .................................................................................................. 23

A. Syariat Islam di Aceh ........................................................................... 23

B. Efektivitas Penerapan Hukum ............................................................ 29

C. Hukum Bunga Bank Menurut Syariat Islam ....................................... 38

D. Maslahat Sebagai Tujuan Pemberlakuan Syariat ................................ 50

BAB III KOTA BANDA ACEH DAN LEMBAGA PERBANKANNYA ....... 57

A. Profil Kota Banda Aceh ...................................................................... 57

B. Lembaga Perbankan yang Beroperasi di Banda Aceh ......................... 65

BAB IV EFEKTIVITAS PELAKSANAAN QANUN TENTANG

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH ..................................................... 71

A. Faktor Peraturan Perundang-undangan ................................................ 71

xv

B. Faktor Penegak Hukum dalam Penerapan Qanun Aceh ....................... 88

C. Faktor Sarana Pendukung Penerapan Qanun ...................................... 110

D. Faktor Masyarakat Aceh dan Budayanya ........................................... 114

BAB V MANFAAT PENERAPAN WAJIB BANK SYARIAH TERHADAP

KEMASLAHATAN .................................................................................. 135

A. Posisi Perbankan Syariah dalam Perekonomian .................................. 135

B. Prinsip-prinsip Perbankan Syariah ...................................................... 146

C. Implementasi Prinsip Syariah pada Bank Syariah di Aceh ................. 155

D. Maslahat Penerapan Wajib Bank Syariat pada Masyarakat Aceh ...... 179

BAB VI PENUTUP .................................................................................. 195

A. Kesimpulan ......................................................................................... 195

B. Saran / Rekomendasi ........................................................................... 195

Daftar Pustaka .................................................................................................. 197

Indeks ................................................................................................................ 211

Glosarium .......................................................................................................... 217

Biodata Penulis ................................................................................................. 221

Lampiran

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ............................................................................................................... 59

Tabel 2 ............................................................................................................... 61

Tabel 3 ............................................................................................................... 64

Tabel 4 ............................................................................................................... 65

Tabel 5 ............................................................................................................... 66

Tabel 6 ............................................................................................................... 66

Tabel 7 ............................................................................................................... 67

Tabel 8 ............................................................................................................... 68

Tabel 9 ............................................................................................................... 78

Tabel 10 ............................................................................................................. 85

Tabel 11 ............................................................................................................. 130

Tabel 12 ............................................................................................................. 130

Tabel 13 ............................................................................................................. 131

Tabel 14 ............................................................................................................. 131

Tabel 15 ............................................................................................................ 132

Tabel 16 ............................................................................................................ 164

Tabel 17 ............................................................................................................ 165

Tabel 18 ............................................................................................................. 166

Tabel 19 ............................................................................................................ 168

Tabel 20 ............................................................................................................ 169

Tabel 21 ............................................................................................................ 169

Tabel 22 ............................................................................................................ 175

Tabel 23 ............................................................................................................ 186

Tabel 24 ............................................................................................................ 186

Tabel 25 ............................................................................................................ 187

Tabel 26 ............................................................................................................ 187

Tabel 27 ............................................................................................................ 188

Tabel 28 ............................................................................................................ 189

Tabel 29 ............................................................................................................ 189

Tabel 30 ............................................................................................................ 190

Tabel 31 ............................................................................................................ 191

Tabel 32 ............................................................................................................ 191

Tabel 33 ............................................................................................................ 192

Tabel 34 ............................................................................................................ 192

Tabel 35 ............................................................................................................ 193

Tabel 36 ............................................................................................................ 193

Tabel 37 ............................................................................................................ 194

xvii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 .............................................................................................................. 126

Grafik 2 .............................................................................................................. 127

Grafik 3 .............................................................................................................. 128

Grafik 4 .............................................................................................................. 128

Grafik 5 .............................................................................................................. 129

Grafik 6 .............................................................................................................. 129

Grafik 7 .............................................................................................................. 130

xviii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 .............................................................................................................. 38

Bagan 2 .............................................................................................................. 55

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era Reformasi yang mulai terjadi pada tahun 1998 telah menjadi salah satu

penguat dalam semangat penegakan syariah dalam pemerintahan Indonesia.1

Sebagian masyarakat muslim2 menganggap bahwa hukum yang saat ini diterapkan

adalah warisan penjajah Belanda yang sudah tidak relevan lagi untuk menangani

perkembangan dan perubahan zaman, dan mereka menganggap hukum Islam sebagai

satu-satunya alternatif.3 Dengan adanya penguat semangat itu, menyulut munculnya

berbagai tuntutan untuk menerapkan syariat Islam yang terus bergulir dari tahun

1999 sampai tahun 2009.4 Reformasi yang telah membawa perubahan mendasar

dalam tatanan pemerintahan, salah satunya membuahkan bentuk pemerintahan

daerah yang memiliki otonomi,5 dan turut memengaruhi munculnya gagasan

pemberlakuan syariat Islam secara formal.6 Atas dasar tersebut, maka banyak daerah

berlomba untuk menjadikan Islam sebagai dasar hukum dalam kehidupan

bermasyarakat, seperti munculnya PERDA tentang larangan menjual minuman

keras, PERDA Pencegahan Maksiat, PERDA tentang Prostitusi dan pemberantasan

maksiat,7 dan masih banyak lagi yang lainnya.

Pasca reformasi 1998 yang membuahkan amandemen atau perubahan Undang-

undang Dasar 1945, terjadi perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat di

Jakarta dengan Pemerintah-pemerintah Daerah, berupa perubahan sistem

pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi bentuk desentralistik.8 Hal ini

1 Mark E. Cammack And R. Michael Feener, “The Islamic Legal System In Indonesia”

, Pacific Rim Law & Policy Journal, Vol. 21 No. 1, 17; Wasisto Raharjo Jati, “Permasalahan

Implementasi Perda Syariah Dalam Otonomi Daerah” , al-Manahi>j, Vol. VII No. 2, Juli 2013,

305-318. 2 Ma. Theresa R. Milallos, “Muslim veil as politics: political autonomy, women and

Syariah Islam in Aceh” http://link.springer.com /article/10.1007/s11562-007-0028-

5/fulltext.html. (Tanggal akses: 28 Feb 2015). 3 Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius

2007), 36. 4 Marzuki Wahid, Agama dan Kontestasi Ruang Publik: Islamisme, Konflik dan

Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), iii. 5 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari

Indonesia Hingga Nigeria, (Ciputat: Pustaka Alvabet 2004), 59. 6 Sukron Kamil dan Chaidaer S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM: Dampak

Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim (Jakarta:

CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 108. 7 Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya,... 38-42. 8 Muhammad Alim, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”,

Jurnal Hukum No.1 Vol. 17 Januari 2007, 120; Abdul Gani Isa, “Paradigma Syariat Islam

Dalam Rangka Otonomi Khusus: Studi Kajian di Provinsi Aceh”, Media Syariah, Vol. XIV

Januari – Juni 2012, 1 – 2 .

2

memberikan harapan besar bagi Provinsi Aceh untuk menerapkan syariat Islam.

Selain itu, ditambah pula dengan adanya dukungan Undang-undang yang

memberikan hak Istimewa kepada Aceh, yaitu UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh.9 Undang-undang tersebut

mengakomodasi kepentingan dan keinginan tokoh masyarakat Aceh10 dalam bidang

agama dan adat istiadat serta memberikan tempat untuk ulama agar dapat berperan

pada tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.11

Pada tahun 2001, pemerintah RI menerbitkan Undang-undang No. 18 tentang

Provinsi Aceh yang mengatur lebih jauh tentang Otonomi Khusus (OTSUS) dengan

sebutan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan pembentukan beberapa

lembaga seperti mahkamah syariah, qanun, lembaga daerah, zakat, kepolisian

syariah, kepemimpinan adat dan lain-lain. Dengan adanya legalitas dari pemerintah

Pusat untuk menerapkan syariat Islam, Pemerintah Provinsi Aceh meresponsnya

dengan mengeluarkan beberapa peraturan daerah (Perda) dalam rangka terlaksananya

syariat Islam. Dari perda-perda tersebut, kemudian dikembangkan menjadi

peraturan-peraturan daerah yang menyangkut tata laksana syariat Islam yang pada

tataran berikutnya melahirkan Qanun Aceh,12 yang mengatur berbagai macam aturan

seperti hukum keluarga (pernikahan dan waris), ekonomi, jina>yah (hukum pidana)

dan hukum diya>ni (ibadah dan akhlak).13

Setelah Undang-undang Otonomi Khusus bagi Aceh disahkan pada tahun

2001, kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menerbitkan serangkaian

qanun atau peraturan daerah (istilah yang digunakan untuk memberi ciri khas bagi

semua peraturan daerah yang disahkan di Aceh), yang mengatur tentang pelaksanaan

syariat Islam. Ada 5 qanun yang disahkan antara tahun 2002-2004 yang berisi

tentang hukum pidana atas pelanggaran syariah, yakni: 1) Qanun No. 11 Tahun 2002

tentang Penerapan Syariah Dalam Aspek Kepercayaan (akidah), Ritual (ibadah), dan

Penyebaran (syiar) Islam yang meliputi persyaratan busana islami, 2) Qanun Nomor

12 Tahun 2003 tentang pelarangan Konsumsi dan Menjual Minuman yang

mengandung alkohol (khamar), 3) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang pelarangan

9 Hasnil Basri Siregar, “Lessons Learned From The Implementation Of Islamic

Shari’ah Criminal Law In Aceh, Indonesia” , Journal of Law and Religion, Vol. 24, No. 1 (2008/2009), pp. 143-176,145. http://www.jstor.org/page/info/about/policies/terms.jsp

(diakses pada tanggal 6 Mar 2014 ). 10 Asma Uddin, "Religious Freedom Implications of Sharia Implementation in Aceh,

Indonesia,"..., 627; Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, “The Application Of Islamic Law In

Indonesia:..., 137. 11 Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum”,

Legitimasi, Vol.1 No.2 Januari – Juni 2012, 155. 12 Syamsul Bahri, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Sebagai Bagian dari Wilayah

NKRI”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2 Mei 2012. 13 Sukran Kamil dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap

Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non Muslim, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2007),

xviii.

3

judi (maisir); 4) Qanun No. 14 Tahun 2003 melarang “perbuatan bersunyi-sunyian”

(khalwat)14 dan 5) Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pembayaran Zakat.

Aturan-aturan tersebut mencakup sejumlah ketentuan yang membedakannya

dari hukum pidana yang diterapkan di tempat lain di Indonesia kecuali perjudian,

tidak ada tindak pidana semacam ini yang dilarang di luar Aceh. Tanggung jawab

penegakan qanun terletak pada Kepolisian Nasional dan pasukan polisi khusus

syariah yang hanya terdapat di Aceh atau yang dikenal sebagai Wilayatul Hisbah

(WH). Semua qanun mengatur penalti yang meliputi denda, hukuman penjara dan

cambuk, inilah sebuah bentuk penghukuman yang tidak dikenal di sebagian besar

daerah di Indonesia.15

Kewenangan pelaksanaan syariat Islam yang diberikan oleh Pemerintah

Republik Indonesia kepada Pemerintah Provinsi Aceh adalah syariat dalam arti yang

luas, yakni semua tuntunan Islam sebagai pedoman dalam berbagai bidang

kehidupan, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-undang

nomor 44 Tahun 1999. Arti syariat semacam inilah yang selanjutnya ditetapkan

dalam qanun-qanun Aceh.16 Namun, dalam praktiknya, syariat Islam itu mencakup

banyak bidang yang luas dan masih terjadi perbedaan pendapat tentangnya.17

Definisi syariat Islam dalam makna yang luas sebagaimana dimaksudkan dalam

beberapa qanun di Aceh tersebut mengandung makna bahwa seluruh bidang syariat

Islam yang sangat luas cakupannya akan diatur dalam sebuah qanun atau dalam

artian Pemerintah Aceh akan mengurusi seluruh bidang syariat Islam. Langkah

semacam ini mirip dengan pemikiran ‘Ali Jarishah yang menyatakan bahwa seorang

penguasa dalam Islam, itu harus mengurus seluruh aspek ajaran Islam.18 Upaya

14 Asma Uddin, "Religious Freedom Implications of Sharia ..., 632. 15Qanun No. 14/2003 tentang “perbuatan bersunyi-sunyian” mengizinkan

pemberlakuan hukuman cambuk antara 3-9 kali, dan/atau denda antara Rp 2,5-10 juta. Pasal

22(1). 16 Lihat Pasal 1 ayat 6 Perda No. 5 Tahun 2000; Pasal 1 ayat 1 Qanun No. 10 Tahun

2002; dan Pasal 1 ayat 6 Qanun No. 11 Tahun 2002.

17 Dalam Pasal 1 ayat (6), Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaksanaan syariat Islam mencakup 13 (tiga belas)

bidang, yakni: akidah, ibadah, muamalah, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah atau

amar makruf dan nahi munkar, Baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam,

qad}a’, jina>ya>t, muna>ka>ha>t, dan mawa>ri>s. Dalam penjelasan umum Qanun No. 11 Tahun 2002

tentang Pelaksanaan Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam dijelaskan bahwa syariat secara

umum mencakup bidang: akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sementara bidang-bidang

syariat Islam dalam Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu: al-Ahwa>l al-Shakhs}iyyah, mu’a>malah, dan jina>yat. Meskipun

dalam penjelasan umum, poin keempat disebutkan bahwa bidang hukum yang menjadi

kompetensi Mahkamah Syariyyah sebagai Peradilan Islam tersebut hanya merupakan

pembagian secara garis besar saja dan bagian rincinya akan diatur dalam qanun tersendiri,

namun pemilihan bidang syariat Islam tersebut terlihat masih kurang konsisten dalam

klasifikasinya. 18 Ali Jarishah menjelaskan bahwa ajaran Islam mencakup 4 (empat) bidang, yaitu: 1)

akidah, 2) akhlak, 3) sha’a>ir (syiar-syiar), dan 4) al-Ahkam al-Amaliyah . Keempat bidang

tersebut harus ditegakkan oleh penguasa dan hal inilah yang menjadi pondasi berdirinya

4

pembuatan qanun di Aceh tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa tanpa adanya

sanksi, pelaksanaan syariat tidak akan ditaati oleh masyarakat, dan pelaksanaannya

akan sulit untuk ditegakkan. Sanksi pertama adalah sanksi di akhirat yang akan

diterima seseorang setelah ia mati, dan sanksi kedua adalah sanksi duniawi yang

dapat diterapkan melalui jalan kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Dari sini diketahui bahwa penegakan hukum membutuhkan peran negara, karena

hukum tidak akan punya arti tanpa penegakkan, dan kemampuan untuk

menegakkannya membutuhkan kekuasaan.19

Pengaturan syariat yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh meliputi seluruh

bidang, termasuk akidah dan syiar Islam yang diatur dalam Qanun nomor 11 Tahun

2002. Dalam qanun ini diatur berbagai aspek, mulai dari bentuknya sampai dengan

sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Pengaturan bidang-bidang syariat dalam qanun Aceh tersebut merupakan bentuk campur tangan pemerintah terhadap bidang

keagamaan,20 hal ini didasarkan pada pandangan bahwa syariat Islam dalam qanun Aceh merupakan tuntunan ajaran Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan,

seperti yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat (6) Perda No. 5 Tahun 2000, Pasal 11

Tahun 2002.21

Selain pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat

Provinsi Aceh, telah juga dilakukan perubahan peraturan di tingkat Pemerintah Pusat

terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur kedudukan dan

kewenangan berbagai lembaga penegak hukum di Aceh, seperti Undang-undang No.

2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-

Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan dan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di

dalam undang-undang yang disebut terakhir ini terdapat penetapan kedudukan dan

bangunan Islam. lihat dalam ‘Ali Jarishah, Ushul al-Syariyah Madmunuha wa Khasisuha, Cet.

I, (Kairo: Da>r Gharib, 1979), 36-60. Pemikiran yang sama juga disampaikan oleh al-Bayati,

yang menjelaskan bahwa di antara tugas kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi atau

membuat hukum, di mana ketentuan hukum yang dihasilkan itu meliputi seluruh bidang

hukum syara’ yang terbagi dalam bidang ibadah, mu’a>malah, dan u>qu>bat. Bidang mu’a>malat

dan u>qu>bat ini, mencakup semua bidang yang termasuk dalam Qanun ‘Am (hukum umum)

dan Qanun Khas (hukum privat) dengan segala bentuk cabang-cabangnya. Lihat dalam Munir

Hamid al-Bayati, al-Dawlah al-Qanuniyyah Muqarranah (Baghdad al-Da>r al-Arabiyyah,

1979), 238-239. 19 Campur tangan negara yang terwujud dalam bentuk peraturan tertulis merupakan

salah satu sumber qanun (al-Mas}a>dir al-Rasmiyyah). Sumber ini sifatnya mengikat dan

memaksa, sedangkan sumber qanun yang lain adalah sumber-sumber material (al-Mas}a>dir al-Ma>ddiyah atau al-maqdu>’iyyah), sumber-sumber kesejarahan (al-Mas}a>dir al-Ta>ri>khiyyah) dan sumber yang berupa pemahaman (al-Mas}a>dir al-Tafsi>riyyah), lihat dalam ‘Abd al-Hamid

Mutawalli, al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka Mas}dar al-Asa>siy li al-Dustu>r Cet. III,

(Iskandariyyah: al-Ma’a>rif, 1990), 19-20. 20 Sampai saat ini bidang-bidang syariat Islam yang sudah diatur dalam qanun Aceh

adalah bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam, masalah minuman khamar dan sejenisnya,

masalah maisir (perjudian), dan masalah khalwat atau mesum. 21 Dengan terbitnya undang-undang No. 18 Tahun 2001, maka seluruh Perda yang ada

termasuk Perda Nomor 5 ini disebut dengan qanun.

5

fungsi lembaga yang disebut dengan Wilayatul hisbah (WH) sebagai lembaga

pengawas pelaksanaan syariat dan melakukan penegakan hukum atas qanun-qanun

syariat. Di masa depan, lembaga ini diproyeksikan akan ditingkatkan perannya

sebagai pelaksana fungsi penyidikan pada kasus-kasus pelanggaran qanun, dan

menggantikan tugas kepolisian.22

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Aceh sangat menginginkan kembali

hadirnya kejayaan “Tanah Rentjong” di masa lalu yang pada Kerajaan Samudera

Pasai di abad ke-14. Kesultanan Pasai atau Samudera Pasai adalah kerajaan Islam

pertama di Nusantara yang kaya dan makmur dan disegani oleh penjajah barat

maupun negara-negara wilayah Asia Tenggara. Masa kejayaan Samudera Pasai

sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara dengan julukan “Serambi Mekkah”

inilah yang kemudian menjadi model bagi masyarakat Aceh untuk diwujudkan

kembali kejayaan Aceh di masa sekarang melalui penegakan syariat Islam dalam

segala aspek kehidupan masyarakat.23 Karena itu, sebagai upaya untuk pelaksanaan

syariah secara kafah, pada tahun 2018 Pemerintah Aceh menerbitkan qanun tentang

lembaga keuangan syariah, sebagai sarana Implementasi syariah bidang ekonomi.

Qanun terbaru tersebut mewajibkan seluruh lembaga keuangan untuk

menerapkan sistem syariah pada tahun 2020. Semua lembaga keuangan di Provinsi

Aceh mulai dari perbankan, asuransi, pasar modal, lesing, koperasi, hingga BUMG

yang memakai sistem konvensional harus berubah menggunakan sistem syariah agar

seluruh kegiatan perekonomian di Aceh berjalan sesuai syariah. Selain itu, Bank

syariah tersebut diharapkan dapat membantu penyaluran modal ke badan usaha di

desa-desa untuk membantu membebaskan masyarakat dari rentenir.24 Berhubungan

dengan regulasi tersebut, maka saat ini beberapa bank konvensional yang beroperasi

di Aceh sedang bersiap mengalihkan asetnya menjadi unit usaha syariah atau kepada

anak usaha yang merupakan bank umum syariah. Sebagian Bank memberikan pilihan

kepada pegawainya untuk tetap bertahan dan mengikuti migrasi atau pindah ke

cabang lain yang berada di luar Aceh.

Hal semacam ini, tentunya merupakan suatu masalah yang memerlukan

pertimbangan dari berbagai aspek. Karena pengalihan aset itu tentunya memerlukan

migrasi yang mencakup dana simpanan dan pinjaman, termasuk perubahan gaji

pegawai bank yang ikut memengaruhi kesejahteraan hidup para pegawai. Kesulitan

tersebut di antaranya berkaitan migrasi pinjaman dari sistem yang disebut bunga

menjadi sistem bagi hasil.25 Permasalahan lainnya adalah karena banyak pula bank

22 Natangsa Surbakti, “Pidana Cambuk dalam Perspektif Keadilan Hukum dan Hak

Asasi Manusia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 (2010):

456-474, 461. 23Marzuki Alie, Implementasi Hukum Islam dan Kebijakan Lokal di Aceh

http://www.marzukialie.com/?show=tulisan&id=67 (Tanggal akses: 12 November 2014). 24https://www.merdeka.com/uang/semua-bank-di-aceh-wajib-syariah- mulai2020.

Html;https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190906202247-78-428298/ perbankan-di-

aceh-wajib-berstatus-syariah-mulai-2020 25https://finance.detik.com/moneter/d-4715523/wajib-syariah-mulai-2020-bagai-

mana -nasib-bank-konvensional-di-Aceh

6

yang beroperasi di Aceh dan tidak memiliki anak usaha yang berbasis syariah, hal ini

tentunya berbeda dengan bank-bank yang telah memiliki anak usaha syariah seperti

Bank Mandiri, BNI, BRI dan lainnya. Namun, Qanun tersebut memberikan batas

waktu hingga akhir Desember 2021 bagi bank-bank yang beroperasi di Aceh untuk

mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan proses konversi yang harus

dijalani.

Nasabah pun tak punya pilihan lain, mereka harus mengonversi rekening yang

mereka miliki menjadi rekening berbasis syariah. Persoalannya adalah adanya

kemungkinan nasabah yang tidak mau menjadi nasabah Bank Syariah, dan pilihan

tersebut juga perlu dihargai. Karena itu diperlukan solusi bagi mereka atas pilihan

tersebut, salah satunya dengan memindahkan rekening tersebut ke cabang lain di luar

Aceh yang tentunya akan cukup merepotkan bagi nasabah. Terlebih lagi jika nasabah

tersebut tidak menerima solusi itu, maka tidak ada cara lain kecuali menutup

rekening tersebut. Sebetulnya penutupan rekening ini tidak akan menimbulkan

problem jika yang ditutup adalah rekening simpanan, tetapi jika rekening milik

nasabah adalah rekening pinjaman, maka nasabah tersebut harus melunasi hutangnya

sebelum batas akhir waktu yang telah disepakati, dan hal ini tentu akan

memberatkan. Untuk itu proses konversi yang melibatkan masyarakat luas ini perlu

dilakukan dengan persiapan yang matang agar tidak merugikan berbagai pihak,26

karena tujuan utama dari pemberlakuan qanun No. 11 tahun 2018 tersebut adalah

untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.27

Wacana Ekonomi Islam itu muncul, di mana dunia ekonomi global sedang

memutarkan surplus dolar melalui lembaga perbankan. Saat simpanan di bank

dihukumi haram karena simpanan itu menghasilkan bunga bank (bank interest), dan

bunga bank disamakan dengan riba. Karena wacana ekonomi Islam yang berkembang

selalu berkisar mengenai riba yang diartikan sebagai bunga bank, dan definisi

ekonomi Islam lebih diarahkan kepada sistem ekonomi yang bebas riba (non-ribawi economic system).28 Sistem perdagangan dan industri dalam Islam mensyaratkan

halal, mekanisme perdagangan itu sendiri tidak memakai cara-cara tertentu yang

mengakibatkan kerugian secara tidak fair pada salah satu atau kedua belah pihak,

sehingga, bisnis Islami itu tidak semata-mata tergantung pada kehendak pasar.29

Pengejawantahan fikih bidang muamalah, atau secara lebih khusus dalam

bidang ekonomi syariah di Indonesia, mulai muncul dan berkembang pada tahun

1990-an, yakni setelah pengesahan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang

perbankan.. Di antara isi kandungan dalam undang-undang tersebut adalah

membenarkan bank konvensional dengan beroperasi melalui sistem bagi hasil (profit-sharing). Dengan demikian, praktik keuangan syariah di Indonesia memerlukan

26 https://www.kompasiana.com/irwanrinaldi/5dfd4e32d541df235b50d052/semua-

bank-di-aceh-harus-dikonversi-jadi-bank-syariah?page=3 27 Lihat pasal 5 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 28 M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius, (Jakarta:

Mizan,2011), 146. 29 Agus Triyanta, Hukum Ekonomi Islam, dari politik hukum ekonomi Islam sampai

pranata ekonomi syariah. (Yogyakarta:FH UII Press, 2012), 149.

7

panduan hukum untuk mengawasi pelaku ekonomi yang sesuai dengan ketentuan

syariah,30 karena berdasarkan penelitian masih ada lembaga keuangan dengan label

syariah, tetapi masih memberlakukan sistem bunga atau profit interest, yang dapat

dikategorikan sebagai tidak taat syariah, karena teori utama dalam operasional Bank

syariah adalah profit and loss sharing.31

Hukum Islam bermula dari dua sumber pokok, yakni wahyu dan akal. Identitas

ganda dalam hukum Islam ini tercermin dalam dua istilah yang sudah sangat popular

di kalangan para ulama, yakni syariah dan fikih. Syariah memuat hukum-hukum yang

jelas mengenai hal-hal fundamental dalam Islam. Perintah-perintahnya berkaitan

dengan yang dihalalkan dan yang diharamkan (al-halal wa al- haram) yang

seluruhnya bersifat definitif (qat’i), dan aturan-aturan hukum mengenai sejumlah

aspek transaksi sipil/perdata (muamalah). Namun syariah pada umumnya bersifat

fleksibel mengakomodir berbagai bentuk transaksi, hukum kriminalitas (dengan

pengecualian terhadap hukuman yang telah ditentukan dalam Islam/hudud),

kebijakan dan konstitusi pemerintahan, kebijakan fiskal, pajak, dan persoalan-

persoalan perekonomian.32

Materi hukum Islam dapat menjadi muatan dalam proses legislasi melalui

mekanisme positivisasi. Positivisme hukum Islam dalam pembangunan hukum

nasional memiliki dua bentuk yaitu: Pertama: hukum Islam tidak bisa diberlakukan

dalam lingkup nasional karena kondisi pluralistis bangsa Indonesia, namun, hukum

Islam dapat menjadi salah satu sumber nilai dalam penyusunan hukum nasional.

Kedua; Hukum Islam dapat menjadi hukum positif yang berlaku bagi semua warga

melalui proses legislasi yang sah seperti bidang muamalah atau hukum privat.33 Studi

hukum Islam itu lebih dari sekedar studi fikih dan usul fikih, melainkan mencakup

tiga wilayah kajian yang luas meliputi filsafat hukum, hukum Islam normatif dan

hukum Islam empiris yang ketiga-tiganya harus di kaji secara seimbang, dan

ketimpangan atas salah satunya merupakan bentuk tantangan itu sendiri.34

Dalam pandangan tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sekedar

trustee (pemegang amanah). Karena itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah

dalam segala aktivitasnya, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah yang

harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat teologis (Uluhiyah) dan moral

(khuluqiyah).35 Aspek yang sangat mendasar dalam ajaran Islam yaitu aspek akidah

30 M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI Press,2011), 5. 31 Beng Soon Chong and Ming-Hua Liu, “Islamic banking: Interest-free or interest-

based?” Pacific-Basin Finance Journal 17 (2009) 125–144. 32 Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah di Dunia

Islam Kontemporer, (Jakarta:Gramata Publishing, 2011), 85-86. 33 Junaidi, Positivisme hukum Dalam Perspektif pembangunan hukum Nasional

Indonesia di Era Reformasi , Tesis Program Pasca Sarjana UNS Surakarta: Program Pasca

Sarjana UNS,2009)130,Dalam Khotibul Umam, Legislasi fiqih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah Di Indonesia (Jakarta FE. Dan Bisnis UGM, 2011), 29.

34 M. Atho Mudzhar, Tantangan Studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta:

Journal Indo-Islamika volume II, Nomor 1, 2012/1433) 91-103. 35 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prespektif

Maqashid al-Syari’ah, (Jakarta, Kencana , 2014) 8.

8

(tauhid), hukum syariah, dan Akhlak.36 Kegiatan bisnis dan produksi termasuk bisnis

dengan sistem syariah tidak mungkin sepenuhnya dapat dihindari dari sengketa

antara pihak-pihak yang melakukannya. Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut,

para pelaku bisnis dan pakar hukum bisnis mencari bentuk penyelesaian sengketa

yang efektif dan efisien. Konflik yang konkret diselesaikan dengan menerapkan

Norma hukum yang konkret pula.37

Dalam pandangan ekonomi kerakyatan, tokoh yang terkenal sebagai bapak

Ekonomi yang Sesungguhnya adalah Muhammad Hatta, beliau sangat menekankan

arah dan tujuan serta strategi kebijakan pembangunan ekonomi yang hendak

dikembangkannya. Strategi itu diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pokok dan

jaminan sosial, peningkatan daya beli rakyat, pembangunan infrastruktur

perhubungan dan transmigrasi, penataan pertanahan (landreform) dan lingkungan

hidup serta penataan ekspor dan impor.38

Zamir Iqbal mengemukakan, Ukuran aset kecil Lembaga Keuangan Islam

sering dianggap sebagai kendala dalam pertumbuhan lebih lanjut. Melihat faktor

motivasi di balik gelombang konsolidasi di Indonesia pasar keuangan konvensional,

dia berpendapat bahwa lembaga keuangan juga dapat mengambil manfaat dari

konsolidasi dalam beberapa cara. Memperluas skala operasi tidaklah cukup tetapi

penting bahwa lembaga keuangan Islam untuk memperluas cakupan produk dan

layanan mereka untuk dipenuhi tantangan pasar domestik dan internasional.

Peningkatan skala dan ruang lingkup melalui konsolidasi dapat memberikan ambang

batas yang diperlukan oleh lembaga keuangan Islam untuk dibenarkan membangun

infrastruktur yang solid untuk layanan baru di kedua sisi neraca. Selain manfaat

memperluas cakupan, konsolidasi dapat membawa manfaat bagi lembaga keuangan

islam melalui diversifikasi dan melalui peningkatan kualitas manajemen serta

keuntungan efisiensi dari pengambilan risiko, pemantauan dan manajemen yang

bijaksana.39 Hal serupa juga dinyatakan oleh Nor Hayati Ahmad dan Sharul Nizam

Ahmad dalam membicarakan tentang faktor kunci dalam pengembangan manajemen

bank syariah.40

Sirajo Aliyu dan Rosylin Mohd Yusof, mengatakan bahwa Bank Islam

memiliki aset lebih dari US $ 700 miliar dan tumbuh di atas 15% p.a. Perbankan dan

Keuangan Islam (IBF) melibatkan isu etika dan moral yang lebih luas dari sekadar

Transaksi ‘tanpa minat’. Para pendukungnya berpendapat bahwa ini membuatnya

lebih efisien secara ekonomi dari perbankan konvensional dan mempromosikan

36 Ika Yunia Fauzia et.al.,Prinsip dasar ekonomi Islam…....... (Jakarta: Kencana,2014),

8. 37 Sudikno Mertokusumo, Penemuan hukum sebuah pengantar (Yogyakarta: Liberty,

2014) cetakan ke-3 15. Dalam Jaih Mubarok, Akad Mudharabah, (Bandung: Fokusmedia,

2014) 53. 38 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, (Jakarta: Kompas, 2010) 259. 39 Zamir Iqbal, The Impact Of Consolidation On Islamic Financial Services Industry,

Islamic Economic Studies Vol. 15, No. 2, January 2008,79. 40 Nor Hayati Ahmad dan Sharul Nizam Ahmad, “Key Factors Influencing Kredit

Risk of Islamic Bank: A Malaysian Case” JMIFR Volume 1 No. 1 (2004), PP. 65-80.

9

keadilan ekonomi yang lebih besar, sehingga menjadi tujuan dari praktik perbankan

Islam yang benar, sesuai dengan syariat dan ideal. Akan tetapi muncul pertanyaan

bagaimana perbedaannya mereka dari perbankan konvensional? Dalam penelitian

awal telah ditemukan bahwa dalam tiga dekade setelah diperkenalkan, masih ada

perbedaan besar antara cita-cita IBF dan praktiknya, dan masih banyak IBF masih

tetap tidak dapat dibedakan secara fungsional dari perbankan konvensional. Ini

bertentangan dengan klaim oleh pendukung IBF bahwa bank syariah akan dengan

cepat terlihat perbedaannya dari perbankan konvensional. Namun, meski tidak

memberikan alternatif yang konvensional perbankan dan keuangan, IBF benar-benar

memperkuat identitas Islam dengan menyediakan terminologi Islami yang tepat

untuk transaksi keuangan konvensional secara de facto.41 Semua itu sangat penting

karena pemahaman umum masyarakat saat ini, masih menganggap bahwa bank

syariah cenderung memberatkan nasabah yang ingin meminjam modal dibandingkan

dengan bank konvensional.

Berdasarkan kajian terdahulu di atas maka mayoritas penelitian tentang

penerapan syariat Islam adalah pada aspek hukum jinayat, sedangkan penelitian

tentang wajib bank syariah di suatu wilayah khususnya Aceh, masih belum ada yang

melakukannya secara komprehensif. Dengan demikian maka tampak adanya gap

antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu tersebut. Penelitian ini memiliki

kebaruan dalam hal efektivitas implementasi qanun Aceh ditinjau dari aspek

manfaatnya bagi masyarakat.

B. Permasalahan Penelitian

1. Identifikasi Masalah\

Penelitian disertasi ini akan menganalisis tentang keistimewaan Aceh

dalam bidang agama sebagaimana yang telah diamanahkan oleh UU No. 44

Tahun 1999 dan sebagai daerah khusus yang diatur dalam UU No. 11 Tahun

2006,42 dan qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah.

Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah dijelaskan di atas,

permasalahan yang dapat di identifikasi adalah sebagai berikut:

a. Kesiapan dan keseriusan Pemerintah Aceh dalam menerapkan syariat

Islam kepada masyarakatnya;

b. Masih belum ada yang meneliti tentang manfaat wajib Bank syariah

untuk kesejahteraan rakyat Aceh;

c. Diperlukan tindakan yang jelas oleh Pemerintah untuk mengantisipasi

persoalan yang timbul akibat penerapan syariat Islam, khususnya yang

berkaitan dengan ekonomi;

41 Sirajo Aliyu1, Rosylin Mohd Yusof, Profitability and Cost Efficiency of Islamic

Banks: A PanelAnalysis of Some Selected Countries, International Journal of Economics and

Financial Issues | Vol 6 • Issue 4 • 2016, 1736. 42 Mukhlis, “Keistimewaan Dan Kekhususan Aceh Dalam Perspektif Negara Kesatuan

Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 No. 1, 2001, 76.

10

d. Belum jelasnya nasib nasabah bank konvensional yang ditutup atau

bermigrasi ke dalam sistem syariah;

e. Efektivitas penerapan wajib Bank Syariah terhadap kemaslahatan rakyat

perlu untuk diteliti;

f. Masih ada masyarakat yang menganggap bahwa lembaga keuangan yang

berlabel syariah, tidak berbeda dengan yang konvensional, perbedaannya

hanya pada istilah saja, tetapi praktiknya masih sama;

g. Masih ada beberapa lembaga keuangan dengan label syariah yang tidak

taat syariah.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan berbagai permasalahan yang berhasil diidentifikasi di atas,

maka penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan pokok Bagaimana Efektivitas Penerapan Wajib Bank Syariah di Aceh dan Manfaatnya Terhadap Kemaslahatan Rakyat? Masalah pokok ini akan diuraikan dalam beberapa

masalah penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana efektivitas pemberlakuan wajib bank syariah sebagai

implementasi qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan

syariah?

b. Bagaimana implementasi prinsip-prinsip syariah dalam Bank syariah di

Aceh?

c. Bagaimana manfaat penerapan wajib Bank syariah di Aceh untuk

kemaslahatan rakyat?

3. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2020 dan dibatasi pada

masyarakat Kota Banda Aceh. Yang menjadi fokus objek penelitian adalah qanun

No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah yang meliputi: lembaga

perbankan, lembaga non-bank, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, dana

pensiun syariah, modal ventura syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah, anjak

piutang syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah. Namun dalam penelitian

ini, lembaga keuangan syariah yang diteliti, dibatasi hanya pada Bank syariah

yang beroperasi di Aceh. Konsep teori yang digunakan dalam disertasi ini dibatasi

pada teori dan penelitian yang relevan yaitu teori maslahat, teori efektivitas dan

ketentuan hukum ekonomi Islam.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi dan mendeskripsikan

efektivitas pemberlakuan regulasi wajib bank syariah di Aceh dan mengetahui

dampak dari pemberlakuan qanun tersebut, yang secara rinci tergambar dalam

tujuan-tujuan berikut:

11

1. Untuk mengkaji bagaimana Efektivitas pemberlakuan wajib bank

syariah sebagai implementasi qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang

lembaga keuangan syariah;

2. Untuk mengeksplorasi implementasi prinsip-prinsip syariah dalam

Bank syariah di Aceh sebagai bentuk ketaatan pada ketentuan syariah

dalam bidang perbankan;

3. Untuk membuktikan manfaat penerapan wajib bank syariah terhadap

kemaslahatan rakyat.

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

1. Manfaaat Teoritis

Secara teoritis, Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi bahan referensi

bagi pembaca, dan untuk penelitian selanjutnya tentang pelaksanaan wajib Bank

Syariah di Indonesia dalam dalam bingkai hukum Islam dan penerapannya di

masyaralat madani, khususnya di Aceh. Sedangkan bagi Lembaga Pendidikan,

penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian, rekomendasi

dan sumbangan pemikiran dalam melengkapi bahan bacaan atau literatur bidang

hukum ekonomi Syariah, khususnya perbankan Syariah, sehingga dapat

bermanfaat bagi civitas akademika dalam mengembangkan penelitian

perbankkan Syariah

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktisnya adalah diharapkan dapat menjadi masukan bagi

masyarakat dan Pemerintah Aceh khususnya Kota Banda Aceh dalam

menjalankan syariah secara efektif agar cita-cita masyarakat Aceh yang ingin

mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup melalui pengamalan syariah

secara kafah dapat tercapai.

3. Signifilkansi Penelitian

Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, karena penerapan syariat

Islam secara penuh dalam segala bidang kehidupan, masih dipertanyakan

keberhasilannya oleh sebagian sarjana, dan pemberlakuan wajib syariah bagi

semua bank di Aceh, memerlukan sebuah pengujian. Secara garis besar,

penelitian ini memiliki tiga signifikansi, yaitu:

a. Memberikan kontribusi dan masukan dalam bidang Hukum Ekonomi

Islam, khususnya yang berkenaan dengan penerapan hukum ekonomi

Islam di suatu daerah;

b. Mendapatkan gambaran pengelolaan Bank syariah dan migrasi aset

yang baik dari sistem konvensional ke sistem syariah;

c. Mendapatkan data pelaksanaan hukum ekonomi Islam oleh pelaku

ekonomi yang sesuai dengan ketentuan syariah.

12

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Berdasarkan hasil identifikasi ada beberapa hasil kajian terdahulu yang

mempunyai titik singgung dan relevansi dengan fokus penelitian ini pada tataran

implementasi kewajiban Bank Syariah di Aceh. Sistem ekonomi syariah memiliki

prinsip-prinsip dasar yang membedakan dirinya dengan sistem ekonomi lainnya.

Sistem ekonomi yang diilhami oleh pandangan Islam mengenai alam Kehidupan, dan

manusia yang berasaskan akidah (tauhid). Prinsip-prinsip ini merupakan tiang

penyangga yang kokoh dan permanen. Oleh sebab itu, prinsipnya bersifat tetap dan

tidak dapat berubah akibat perubahan ruang dan waktu.43

Kajian yang berkaitan dengan legalisasi hukum ekonomi Islam adalah karya

Michael S. Bennett and Zamir Iqbalb, How socially responsible investing can help bridge the gapbetween Islamic and conventional financial markets.44 Di dalamnya

dikatakan bahwa keuangan Islam bertanggung jawab secara sosial. Dan investasi

(SRI) telah dua kali berkembang dengan paling cepat di bidang keuangan selama dua

dekade terakhir. Selama periode ini, masing-masing tumbuh pada tingkat yang jauh

melebihi dari pasar keuangan secara keseluruhan. Relevansi penelitian ini dengan

disertasi ini adalah pada adanya tanggung jawab sosial dari lembaga keuangan Islam.

Penelitian terdahulu lainnya dapat ditemukan dalam beberapa karya

akademik seperti penelitian yang dilakukan oleh Jazuni dengan judul Legislasi Hukum Islam di Indonesia,45 Citra Aditya Bakti, dan penelitian yang dilakukan oleh

Khotibul Umam dengan judul Legislasi Fiqih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia,46 serta disertasi Atho’ Mudzhar yang

berjudul ”Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thoutht in Indonesia 1975-1988,47 dan Tantangan studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini. 48 Secara umum, penelitian tersebut di atas mengkaji fatwa dari sisi

legalitas syara’ dan faktor politik yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tersebut.

Kajian mereka difokuskan pada pandangan mazhab fiqih, metode dan faktor sosial

yang memengaruhi keluarkannya fatwa, tapi bukan fiqih muamalah, meskipun

demikian, ini memiliki relevansi dengan disertasi ini dalam aspek penerapan hukum.

Penelitian Wahidudin Adam yang berjudul ”Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama

43 Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah…, (Jakarta:

Gramata Publishing, 2011), 55 44 Michael S. Bennett and Zamir Iqbalb, How socially responsible investing can help

bridge the gapbetween Islamic and conventional financial markets, Washington, DC, USA, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 6 No. 3, 2013) .(accessed Juli 23, 2014).

45 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung :Citra aditya Bakti, 2005). 46 Khotibul Umam, Legislasi Fiqih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk

Perbankan Syariah di Indonesia, (yogyakarta :Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, 2011). 47 Muhammad Atho’ Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study

of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988, (Los Angeles, USA: Disertasi Universitas

California, 1990). 48 Muhammad Atho’ Mudzhar, Tantangan studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa

Ini, Jurnal Indo-Islamika, Volume II Nomor 1, 2012/1433 H/ 91, (Jakarta:UIN, 2012).

13

Indonesia (MUI) dalam peraturan perundang-undangan 1975-1997.49 Adam

mengkaji kedudukan dan peran hukum Islam dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan. Sedangkan Fathurrahman Djamil mengkaji masalah metode

atau manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Hukum dan Fiqih Islam.

Sedangkan di antara penelitian terdahulu yang memiliki topik berkaitan

dengan penerapan hukum Islam secara massal adalah Darwish Almoharby, The current world business meltdown: Islamic religion as a regulator.50 Penelitian ini

bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana Islam mengatur proses

dan interaksi di bidang ekonomi dan perdagangan. Islam telah memberikan solusi

untuk masalah etika dan agama Islam mengajarkan tentang moral yang baik dan etika

dalam kehidupan bisnis Adanya ketidakteraturan dalam lingkup kejujuran dan

transparansi (yaitu informasi), dan adanya keserakahan yang tidak terkendali telah

menyebabkan kerusakan moral di urusan bisnis dan industri.

Olatoye, Kareem Adebayo dan Yekini, Abubakri mempertegas bahwa

Kontrak keuangan Islam yang diatur oleh Syariah dapat dipenuhi di Nigeria dan

dengan perluasan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya,

sebaliknya, di Inggris dan Eropa di mana pengadilan pada umumnya tidak menyukai

penerapan hukum Islam. Doktrin tentang hukum kontrak yang benar harus diperluas

ke keuangan Islam dengan menegakkan hukum Islam sebagai undang-undang yang

dipilih oleh para pihak regulator atau sebagai sistem hukum di mana keuangan Islam

Transaksi paling erat kaitannya.51 Samiul Hasan menjelaskan bahwa umat Islam

harus memenuhi kewajiban keagamaan masing-masing dengan menilai, menjunjung

tinggi, dan menerapkan prinsip "kepentingan umum" (Mas}a>lih} al-Mursalah) di semua

transaksi komersial yang tidak menunggu kepentingan nasional dan organisasi.52

Hussam I. Asbeig dan Salina H. Kassim menganalisis, peran bank syariah

dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui saluran pembiayaan bank di

Malaysia. Ukuran bank, likuiditas dan tingkat kapitalisasi dihipotesiskan menjadi

sumber perbedaan cross-sectional antar bank. Hasilnya menunjukkan tidak ada

perbedaan signifikan antar bank, berdasarkan ukuran, kapitalisasi dan tingkat

likuiditas, dan dengan demikian tidak mendukung kehadiran saluran pembiayaan

49 Wahidudin Adam, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam

peraturan perundang-undangan 1975-1997, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta,Disertasi, 2002). 50 Darwish Almoharby, The current world business meltdown: Islamic religion as a

regulator, Jurnal internasional Humanomics Vol. 27 No. 2, 2011 pp. 97-108 q Emerald Group

Publishing Limited 0828-8666 DOI 10.1108/08288661111135108 (Acccessed, Juli 23, 2014). 51 Olatoye, Kareem Adebayo; Yekini, Abubakri. “Choice Of Islamic Law As The

Governing Law In Islamic Finance Contracts: The United Kingdom And Nigerian

Perspectives “IIUM Law Journal; Kuala Lumpur Vol. 25, Iss. 1, (2017): 137-159. 52 Hasan, Samiul. “Business sustainability and the UN Global Compact: A "public

interest" analysis for Muslim majority countries” Intellectual Discourse; Kuala

Lumpur Vol. 23, Iss. 1, (2015): 7-28.

14

bank syariah di Malaysia. Studi ini memberikan pemahaman yang lebih dalam

tentang peran bank syariah dalam transmisi kebijakan moneter.53

Di antara penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan topik ini

dilakukan oleh Tun Arifin Bin Zakaria, yang menjelaskan bahwa Dalam empat

dasawarsa terakhir ini, para ahli hukum Malaysia dan ilmuwan syariah sangat

berkontribusi terhadap bidang keuangan Islam yang cukup untuk menarik pengakuan

dan penerimaan dunia internasional. Hal ini telah mengubah Malaysia menjadi pusat

global yang dinamis untuk layanan keuangan Islam. Kerangka hukum baru baru-baru

ini diperkenalkan diharapkan dapat menekan kembali sifat pragmatis dan tangguh

dari industri keuangan Islam. Oleh karena itu, reformasi kerangka hukum industri

keuangan Islam dibutuhkan dalam dinamika litegasi keuangan Islam, dan menyoroti

penting lembaga peradilan dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya dalam

membentuk masa depan industri. Hukum industri tentu akan mengarah pada

pengembangan produk kompetitif yang tidak hanya sesuai dengan syariah tetapi juga

secara konvensional layak dilakukan.54

Adapun penelitian yang berkaitan dengan Aceh, dilakukan oleh Tim Linsdey,

bersama dengan MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley dalam sebuah buku

dengan judul Sharia Revival in Aceh, mengatakan bahwa fenomena kebangkitan

syariah di Aceh merupakan perubahan yang bersifat radikal, namun perkembangan

dan keberlanjutannya akan sangat ditentukan oleh politik di Jakarta. Pengaruh qanun

terhadap kehidupan masyarakat akan terjadi dalam waktu yang lama, meskipun telah

terjadi perubahan di awal penerapannya, tetapi hal itu masih dalam skala kecil saja.

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh telah meningkatkan otoritas para ulama

sehingga dapat berkompetisi dengan para pemikir sekuler. Ulama Aceh telah

memperoleh keuntungan dari pemberlakuan qanun-qanun, berupa pembentukan

instansi berbasis agama, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).55

Yuni Roslali dalam Disrtasi SPs UIN Jakarta yang berjudul, Formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia “Analisis kasus Penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darusslam” (2009). Menyimpulkan bahwa, pengaruh penerapan

syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam terhadap upaya formalisasi hukum

pidana Islam terhadap sistem hukum perundang-undangan nasional dapat dipahami

sebagai ikut mewarnai produk hukum nasional yang telah dan akan di buat.56 Dalam

penelitian ini dikaji juga tentang pengaruh Hukum Pidana Islam terhadap masyarakat

53 Hussam I. Asbeig and Salina H. Kasim, Monetary Policy Transmission through

the Bank-Financing Channel in Malaysia: Evidence from Bank-Level Data, Journal of

Economic Cooperation and Development, 35, 2 (2014), 121-136 54 Zakaria, Tun Arifin Bin. “ A Judicial Perspective On Islamic Finance Litigation In

Malaysia” IIUM Law Journal; Kuala Lumpur Vol. 21, Iss. 2, (2013): 143-182. 55 Tim Linsdey, dkk, “Sharia Revival in Aceh” dalam R. Michael Feener dan Mark E.

Cammack, Islamic Law In Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions (Cambridge:

Harvard Law School, 2007), 253-254. 56 Yuni Roslaili, formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia: Analisis kasus

penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. ( Disertasi UIN Jakarta

2009), 274.

15

Aceh yang menjelaskan bahwa, kelemahan penerapan syariat Islam di Aceh hampir

meliputi segala aspek yaitu: tataran masyarakat, pimpinan dan pemilihan materi dari

syariat Islam itu sendiri.57Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang meluas

mengenai penerapan syariat Islam di Aceh, sehingga tidak ada kesan bahwa

penerapan syariat Islam di Aceh merupakan hadiah politik dari Jakarta. Penelitian

ini, meskipun dalam hukum pidana, tetapi memiliki relevansi dengan penelitian yang

akan dilakukan, dalam aspek penerapan hukum Islam secara utuh di Aceh.

Dalam karyanya yang berjudul Indonesia Sharia: Defining a National School of Islamic Law, MB. Hooker menyatakan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh

akan menemui banyak hambatan karena tidak sejalan dengan hukum nasional.

Menurut Hooker, proses legislasi syariat yang akan diterapkan seharusnya sejalan

dan konsisten terhadap hukum nasional, sebab dalam kenyataannya, meskipun

pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah diberi wewenang dalam bentuk otonomi

khusus melalui undang-undang, tetapi dalam pelaksanaannya tetaplah harus dalam

bingkai dan lingkup sistem hukum nasional, sehingga qanun-qanun syariat tersebut

harus disesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku secara nasional.58

Penelitian Crisis Group yang berjudul, Syariat Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, (2006) menyimpulkan bahwa meskipun para pejabat syariat di Aceh benar-

benar yakin bahwa penerapan hukum Islam yang ketat akan ikut memfasilitasi tujuan

yang lebih luas seperti upaya perdamaian, rekonsiliasi, dan rekonstruksi, tapi ada

dinamika lain yang juga terjadi. Fokus perbaikan moralitas tak lagi jadi sarana tapi

sudah jadi tujuan itu sendiri. Birokrasi syariat memiliki kepentingan untuk

memperluas kekuasaannya, semangat yang ditunjukkan oleh polisi syariat dalam

menerapkan peraturan ini telah mendorong sebuah proses di mana penduduk saling

melaporkan tentang tetangganya dan main hakim sendiri. Ada persepsi bahwa

perempuan dan kaum miskin telah menjadi target utama dari penegakan hukum Islam

ini, dan belum ada indikasi bahwa penerapan syariat Islam bisa meningkatkan

keadilan bagi sebagian besar rakyat Aceh.59

Kemudian Haedar Nasir dalam disertasi yang berjudul Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia menjelaskan bahwa sejarah Aceh dan

Indonesia telah menempatkan masyarakat Serambi Mekkah ini pada posisi yang

khas, dan kekhasan tersebut tampak lebih nyata dalam bidang agama. syariat Islam

bagi masyarakat Aceh adalah bagian yang tidak terpisahkan dari adat dan budayanya.

Hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat dalam keseharian mereka, diukur

dengan standar ajaran Islam, yang secara spesifik selalu merujuk pada keyakinan

agama, walaupun mungkin dengan pemahaman-pemahaman atau interpretasi yang

masih tidak selalu tepat dan relevan. Nasir memandang bahwa dalam hal itu, terletak

muatan psikologis akan petingnya penerapan syariat Islam untuk masyarakat Aceh,

dan alasan ini juga yang menjadi alasan mengapa penerapan syariat Islam di Aceh

57 Yuni Roslaili, Formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia....., 260. 58 M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law,

(Singapore: ISEAS, 2008), 246. 59 International Crisis Group, Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, Asia Report

N’11 (31 Juli 2006), 2.

16

akan sangat menentukan masa depan Aceh, selain itu, pemberlakuan syariat Islam di

Aceh juga akan menjadi obyek pertaruhan bagi Islam sebagai ajaran, dan umat Islam

sebagai pemeluknya.60

Muhammad Yani, dalam tesisnya yang berjudul Hukum Jinayat di Aceh dalam Persoektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003

mengatakan bahwa implementasi Hukum Jina>ya>t dalam bentuk pencambukan (baik dalam kategori h}udu>d maupun ta‘zi>r) terhadap pelaku tindak pidana khamar, maisir, dan khalwat yang disahkan oleh qanun, berlangsung berdasarkan kasus yang diajukan

oleh masyarakat, dan hasil penyelidikan (opsporing) lembaga wilayatul hisbah,

dan/atau temuan pihak terkait lainnya. Penerapan hukum ini memang kerap

mengundang perdebatan yang disebabkan oleh kompleksitas pemahaman atau

pandangan para pakar Hukum Islam dan HAM. Pelaksanaan ketiga qanun tersebut

didasarkan pada perspektif fik}ih yang masih memerlukan penyesuaian atau tinjauan

lebih lanjut, karena pelaksanaan Hukum Pidana Islam (Jina>ya>h) ini berada dalam

lingkup pelaksanaan Hak Otonomi Khusus bagi Aceh dan perundang-undangan

lainnya yang berlaku di Indonesia.

Berkenaan dengan qanun No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan

syariah, juga telah ada penelitian terdahulu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh

Irhamna Utamy dan Ahmad Hasan Basri dalam artikel yang berjudul “Konsep

Keadilan Pada Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan

Syariah”. Artikel ini fokus pada persoalan prinsip keadilan menggunakan metode

deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan filosofis dan

sosiologis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa prinsip keadilan yang dimaksud

dalam qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 telah sesuai dengan syariat Islam, salah

satunya terlihat dalam pemberlakuan konversi Bank BPD Aceh menjadi Bank Milik

Pemerintah Daerah pada tahun 2015.61 Selain artikel di atas, juga ada karya

Rahmawati dan Khairul Putriana dalam “Tantangan Konversi Bank Konvensional

Menjadi Bank Syariah di Aceh Berdasarkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah No

11 Tahun 2018”. Mereka menjelaskan bahwa penerbitan Qanun Aceh No 11 tahun

2018 merupakan hak khusus bagi Aceh dan telah membawa angin segar bagi

perkembangan industri perbankan syariah di Aceh, sejumlah bank konvensional di

Aceh diwajibkan beralih ke Bank Syaria. Artikel tersebut membahas tentang

prosedur percepatan konversi bank konvensional menjadi bank syariah di Aceh dan

menjelaskan tantangan lembaga perbankan.62

60 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia

(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007); Nurjanah Ismail, ”Syariat Islam dan Keadilan

Gender” First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Asia Rearch Institute National University of Singapore, 2007, 6.

61 Irhamna Utamy dan Ahmad Hasan Basri, “Konsep Keadilan Pada Qanun Aceh

Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah” Al-Mabsu>t Volume 14 No. 1

Maret 2020: 121-132 62 Rahmawati dan Khairul Putriana, “Tantangan Konversi Bank Konvensional

Menjadi Bank Syariah di Aceh Berdasarkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah No 11 Tahun

17

Selanjutnya ada tulisan Yoga Arief Setiawan dan Yeni Salma Barlinti dalam

“Analisis Penggunaan Akta Subrogasi dalam Rangka Implementasi Pasal 2 Qanun

Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah”. Tulisan ini

menyatakan bahwa Implementasi suatu peraturan perundang-undangan memiliki

dampak penyesuaian terhadap beberapa aspek, khususnya berkaitan dengan boleh

atau tidaknya suatu perbuatan hukum dilakukan. Sebab, dengan berlakunya Qanun

Aceh Nomor 11 Tahun 2018 telah menyebabkan suatu lembaga keuangan yang

bersifat konvensional tidak dapat beroperasi di Aceh, kecuali telah dikonversi

menggunakan prinsip syariah. Artikel ini menyimpulkan bahwa pengalihan utang

berdasarkan transaksi non syariah menjadi transaksi syariah tidak dapat dilakukan

dengan skema subrogasi. Subrogasi berdasarkan prinsip syariah untuk konversi

nasabah kredit bank konvensional menjadi nasabah pembiayaan bank syariah dapat

dilakukan dengan merujuk pada Fatwa DSN MUI Nomor 104/DSN-MUI/IX/2016

tentang Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Selain itu, terdapat mekanisme lain

yang dapat mempengaruhi notaris dalam membuat akta dalam rangka konversi

transaksi konvensional menjadi transaksi berdasarkan prinsip syariah.63

Adapun berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang bank ssyariah di

Aceh, ada sebuah artikel yang ditulis oleh Early Ridho Kismawadi dengan judul:

“Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di Konversikannya Bank Konvensional Ke

Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus Di Kota Langsa”. Penelitian ini fokusnya pada

Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok - Pokok Syariat Islam dan Qanun No.

8 tahun 2016 tentang sistem jaminan produk halal yang mengharuskan semua

perbankan yang beroperasi di Aceh untuk menggunakan prinsip syariah. Artikel ini

menyimpulkan bahwa masyarakat Aceh sangat antusias dengan keputusan

pemerintah Aceh untuk mensyari’ahkan seluruh bank yang ada di sana, dan mereka

meminta agar pemberlakuan syariah dalam perbankan ditopang dengan perbaikan

fasilitas untuk memudahkan berbagai kegiatan keuangan masyarakat.64

Selain itu, ada pula penelitian Rahmah Yulianti dalam artikel yang berjudul:

“Pengaruh Minat Masyarakat Aceh terhadap Keputusan Memilih Produk Perbankan

Syariah di Kota Banda Aceh” yang menyimpulkan bahwa motif religius berpengaruh

secara positif terhadap pertimbangan nasabah dalam memutuskan untuk memilih

produk bank syariah, dan semakin baik implementasi bank syariah, maka

menyebabkan nasabah semakin memilih untuk menggunakan produk bank syariah.

Dan kualitas layanan juga menjadi pertimbangan nasabah, karena itu, semakin baik

pelayanan yang dilakukan oleh perbankan syariah, menyebabkan masyarakat

2018” Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, Volume 3, Nomor 2, September 2020:

229-236. 63 Yoga Arief Setiawan, Yeni Salma Barlinti, “Analisis Penggunaan Akta Subrogasi

dalam Rangka Implementasi Pasal 2 Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga

Keuangan Syariah”: 366-388 64 Early Ridho Kismawadi, “Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di Konversikannya

Bank Konvensional Ke Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus di Kota Langsa” Ihtiyath Vol. 2

No. 2 Desember (2018): 136-148.

18

cenderung memilih untuk menggunakan produk bank syariah, dibandingkan bank

konvensional.65

Dari beberapa kajian terdahulu yang telah dipaparkan, maka dapat diketahui

persamaan dan perbedaan yang akan dilakukan penelitian ini dengan yang telah

ditulis sebelumnya. Penelitian ini akan fokus pada efektivitas pelaksanaan qanun dan

juga manfaatnya terhadap masyarakat, ditinjau dari tujuan syariat, yakni

kemaslahatan. Penelitian semacam ini masih belum dilakukan dalam karya-karya

yang telah penulis paparkan sebagai kajian terdahulu yang relevan. Di antara

pentingnya penelitian ini untuk dilakukan, adalah karena penelitian terhadap

penerapan hukum ekonomi Islam secara luas dalam satu wilayah, merupakan hal

yang baru dan sangat penting dilakukan, agar dapat memberi masukan kepada

pelaksana hukum tersebut.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan dari penelitian lapangan (Field Research).

Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode kualitatif, yaitu

suatu metode penelitian yang dihasilkan dari data deskritif yang didapat dari

obyek penelitian.66 Sesuai karakternya, penelitian ini mengharuskan peneliti

untuk menjadi Key of Instrument, dengan melakukan survei langsung ke lapangan

pada masa tertentu yang memadai dan menyatu dengan obyek penelitian dan

obyek lain yang mendukungnya.67 Penelitian ini menggunakan pendekatan

fenomenologi, sebagai salah satu pendekatan dalam sosiologi yang menekankan

pada makna dari suatu kejadian dan interaksi yang dibangun oleh obyek yang

diteliti.68

Sesuai dengan fokus kajian, Penelitian ini juga menggunakan metode

pendekatan yuridis normatif dan empiris. Sebagaimana pendapat Soerjono

Soekanto yang menyatakan: “hukum dalam gambarannya yang lengkap

merupakan gejala dua segi, yaitu segi normatif (das Sollen) dan segi empiris (das Sein)”.69 Pendekatan ini dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti peraturan

perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dan relevansi dengan

65 Rahmah Yulianti, “Pengaruh Minat Masyarakat Aceh terhadap Keputusan Memilih

Produk Perbankan Syariah di Kota Banda Aceh” Jurnal Dinamika Akuntansi Dan Bisnis Vol.

2, No. 1, Maret (2015): 14-28. 66Krahnke, K., Giacalone, R., & Jurkiewicz, C. “Point-Counterpoint: Measuring

Workplace Spirituality” Journal of Organizational Change Management, 16(4), 2003), 396-

405. 67 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV (Yogyakarta: Rake

Sarasin, 2002), 25. 68 Robert C. Bogdam and Bilken Sari Knopp, Qualitive Reseach for Education: An

Introduction to Theori and Methods, 3th Edition (Needham Heights: Viacom Company,

1998), 23. 69 Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, Penerbit

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm.113.

19

permasalahan yang diteliti. Peneliti akan memulai dengan menyusun kerangka

teoritis berdasarkan hasil studi sebelumnya yang memiliki kaitan dengan obyek

penelitian, setelah itu, baru terjun ke lapangan.70

Desain penelitian yang dilakukan dengan metode survei dengan studi

kasus deskriptif, metode ini dipilih, karena dapat dimanfaatkan untuk mengetahui

opini, sikap dan perilaku obyek yang diteliti.71 Hal ini sesuai pendapat Sekaran72

dan Malhotra,73 yang menjelaskan bahwa penelitian survei adalah salah satu yang

paling banyak digunakan dalam pengumpulan data primer, karena dengannya

akan dihasilkan data yang lebih akurat. Untuk mendapatkan data, peneliti

membuat pedoman wawancara yang dirancang sedemikan rupa untuk

menghasilkan data yang dapat menggambarkan berbagai indikator dan variable

penelitian, karena hasilnya merupakan data primer.74 Pedoman wawancara dan

kuesioner yang dibuat, dirancang untuk mengetahui persepsi yang dianggap

sebagai alat yang efektif untuk mencari pendapat dan sikap terhadap

pemberlakuan qanun No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah di

Aceh.75

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari data lapangan

yang terdiri dari hasil wawancara dengan informan sesuai dengan kriteria

informan yang menjadi obyek penelitian. Peneliti telah memilih 50 Informan yang

merupakan nasabah aktif bank syariah, Informan tersebut adalah merupakan

nasabah aktif dengan minimal transaksi 5 kali perminggu, dari total nasabah bank

syariah yang berasal dari berbagai daerah dan dari bermacam-macam pekerjaan

serta pendidikannya, guna mendapatkan gambaran efektivitas regulasi Qanun

Aceh No.11 Tahun 2018 tentang LKS, dan manfaatnya kepada kemaslahatan

hidup mereka. Penulis menanyakan pengalaman, pemikiran dan persepsi mereka

terhadap pemberlakuan wajib bank syariah di Aceh sebagai informasi kunci latar

belakang penelitian.76 Penetapan informan tersebut dilakukan dengan purposive sampling, yakni memilih dengan cara kriteria tertentu agar peneliti bisa

70 Marguerite G. Lodico, Methods in Educational Research From Theory to Practice

(San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 256. 71Ary, D., Jacobs, L. C., & Razavieh, A. Introduction to Research in Education, 7th

Ed. (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006). 72Sekaran, U. Research Methods for Business: A Skill Building Approach, (4th Ed.)

(New York: John Wiley and Sons, Inc. 2006). 73Malhotra, N. K. Marketing Research: An Applied Orientation, (fifth Ed.) (New

Jersey, USA: Prentice-Hall, Pearson Education, Inc. 2007). 74Hussey, J. and Hussey, R. Business Research: A Practical Guide for Undergraduate

and Postgraduate Students, (MacMillan Business, Oxford. 1997). 75Ghauri, P.N. and Gronhaug, K. Research Methods in Business Studies: A Practical

Guide, (Financial Times Prentice Hall, New York, NY.2002), 76 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2006), .

20

mendapatkan informasi secara mendalam untuk mengungkapkan fenomena yang

terjadi.77 Peneliti juga melakukan wawancara dengan 5 (Lima) bank syariah yang

beroperasi di Aceh, yakni: Bank Aceh (IB), Bank Muamalat, Bank BCA Syariah,

May Bank Syariah dan BSI (Bank Syariah Indonesia). Dengan dua kelompok

informan ini, yakni pihak masyarakat dan pihak Bank, diharapkan akan diperoleh

data yang komprehensif dan memenuhi semua variabel penelitian.

Sedangkan Data sekunder bersifat dokumen yang diperoleh dari sumber-

sumber pustaka yang terdiri dari buku, jurnal internasional dan nasional,

Peraturan pemerintah, berita online, data online milik bank, data online

pemerintah Aceh, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian, dan

dikumpulkan dengan cara dokumentasi.

3. Teknik Analisis

Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu analisis yang

dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumus statistika dan matematika.

Dalam analisis ini, untuk efektivitas hukum menggunakan teori Montesquiue,

yaitu: Ringkas dan mudah dimengerti, mudah dilaksanakan, dan mengakomodir

keragaman. Selain itu, penulis juga menggunakan teori Soerjono Soekanto, yaitu:

Isi undang-undangnya, penegak hukumnya, sarana dan fasilitasnya,

masyarakatnya, dan budaya hukum masyarakatnya.

Prosedur analisa data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada

prosedur analisis Milles dan Huberman. Menurut Milles dan Hubetman analisis

data dalam penelitian kualitatif secara umum dimulai sejak pengumpulan data,

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.78

Berdasarkan pada teori ini, maka peneliti akan mengumpulkan data dengan

datang ke Aceh untuk observasi lapangan, bertemu dengan informan dan

melakukan wawancara, kemudian setelah mendapatkan semua data yang

diperlukan, maka akan dilakukan reduksi, diolah dianalisis, dan dibuat

kesimpulan atas data tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Disertasi ini terdiri enam (6) bab, dan masing-masing bab memiliki sub judul.

bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang: latar belakang masalah,

permasalahan yang dirinci dengan identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah,

dan pembatasannya, dilanjutkan dengan tujuan penelitian, dan signifikansi serta

manfaat dari penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan praktis, kajian

terdahulu yang relevan, dan metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian,

sumber data dan teknik pengumpulannya, serta analisis data yang digunakan.

Bab Kedua berisi kerangka teori dan perdebatan akademik mengenai

pemberlakuan syariat Islam dan kemaslahatan umat. Pada bab ini berisi sejumlah

77 R. Krisyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), 78 Matthew B.Milles dan A. Michael Huberman. Qualitative Data Analysis: A

Sourebook of New Methods (Bavery Hills:Sage Publication, 1986), 16.

21

konsep penting yang merupakan konstruksi ilmu dalam studi ini. Seperti konsep

negara dan agama, konsep maslahat, dan teori penerapan hukum Islam. Dalam bab

ini, penulis mencoba memaparkan perdebatan dari para sarjana mengenai konsep

suatu negara, posisi syariat Islam, dan kedudukan syariat Islam di Aceh. Konsep teori

mengenai efektivitas penerapan hukum, yang mengkaji mengenai aspek-aspek yang

mempengaruhi efektivitas suatu undang-undang ditengah-tengah masyarakat yang

meliputi: Peraturan perundang-undangan, penegak hukum, sarana dan fasilitas

penunjang penegakan hukum, masyarakat yang menjadi objek hukum serta budaya

hukum di dalam masyarakat. Dalam bab ini juga dibahas perdebatan para sarjana

mengenai bunga bank dan di akhir pembahasan, dijelaskan konsep maslahat dan

indikatornya

Bab Ketiga merupakan gambaran dari obyek penelitian. Bab ini menganalisis

tentang kondisi kota Banda Aceh, dan lembaga perbankan yang beroperasi di sana,

dengan mengungkap sejumlah langkah yang telah dilakukan oleh pihak bank dalam

mengantisipasi permasalahan yang timbul akibat pemberlakuan qanun Aceh No. 11

tahun 2018.

Bab Keempat merupakan bab inti penelitian yang berisi data dan hasil

analisis implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga

Keuangan Syariah. Pada bab ini di bahas efektivitas penerapan wajib bank syariah

ditinjau dari 5 faktor, isi undang-undangnya, penegak hukumnya, sarana dan

fasilitasnya, masyarakat dan budaya hukumnya.

Bab Kelima juga merupakan bab inti penelitian. Dalam bab ini akan dibahas

mengenai posisi lembaga perbankan dalam perekonomian suatu negara, prinsip-

prinsip syariah dan pentingnya untuk ditaati oleh bank syariah, implementasi prinsip

syariah, sebagai gambaran ketaatan bank terhadap ketentuan syariah, dan di akhiri

dengan penjelasan tentang manfaat penerapan wajib bank syariah terhadap

kemaslahatan rakyat di Aceh yang diukur dengan indikator maslahat yang telah

dipaparkan.

Bab Keenam sebagai bab penutup berisi kesimpulan dari lima bab yang

ditulis sebelumnya. Selain kesimpulan, bab ini juga memberikan rekomendasi berupa

saran yang bisa dijadikan pertimbangan dalam bidang akademik dan praktis bagi

peneliti selanjutnya dan bagi pemerintah Aceh.

23

BAB II

PEMBERLAKUAN SYARIAT ISLAM

DAN KEMASLAHATAN UMAT

A. Syariat Islam di Aceh

Masyarakat Aceh sangat teguh memegang syariat Islam. Berdasarkan sudut

pandang sosio-budaya, tampak bahwa unsur Islam telah menyatu dengan budaya

hidup masyarakat dan mengendalikan kehidupan mereka. Islam telah terbentuk

menjadi identitas bagi masyarakat Aceh sejak masa pertama datang dari Jazirah

Arab.1 Nilai-nilai hukum dan norma adat masyarakat Aceh sudah menyatu dengan

Islam,2 Sehingga B.J Bollan menyimpulkan “Being an Acehnese is equivalent to being a Muslim” (menjadi orang Aceh berati menjadi seorang Muslim).3 Hukum

Islam telah mempengaruhi hukum adat masyarakat Aceh dalam semua aspek

kehidupan, dan dapat dikatakan bahwa hukum adat dan hukum Islam telah melebur

menjadi satu kesatuan hukum. Terdapat sebuah Adagium yang masih terus

dipegang teguh oleh masyarakat Aceh, yaitu: “Adat bak po Teummeurehum, Hukum bak Syah Kuala, Qanun bak Putro Pahang, reusum bak Laksamana”.4 Hal

ini sesungguhnya mengandung makna tentang pembagian kekuasaan dalam

kesultanan Aceh masa lalu, di mana kekuasaan politik dan adat berada di tangan

sultan (Po Teummeurehum), kekuasaan pelaksanaan hukum berada di tangan ulama

(Syiah Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang berada di tangan Putro Pahang,

dan peraturan protokoler (reusam) ada di tangan laksamana (panglima perang

Aceh).5

Arskal Salim menyatakan ada 3 alasan mengapa masyarakat Aceh

menjadikan Islam sebagai identitasnya. Pertama, adanya catatan sejarah bahwa

perkembangan Islam di Indonesia bermula dari Aceh. Kedua, kerajaan Islam

pertama di Indonesia berdiri di Aceh, yang dibuktikan dengan penemuan batu nisan

Raja Samudra Sultan Malikussalih yang tercatat pada tahun 1927. Menurut

Ricklefs, penemuan itu menunjukkan bahwa kerajaan Islam yang pertama di

Indonesia adalah di Aceh. Ketiga, penerapan syariat Islam di Aceh telah melewati

1 Yusni Saby, “Apa Pentingnya Studi Aceh”, dalam buku M. Jakfar Puteh, Sistem

Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012),

xxxi. 2Abidin Nurdin, “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh: Peran Budaya Dalam

Menyelesaikan Konflik Masyarakat”, Analisis Vol. XIII No. 1 Juni 2013, 139. 3 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos

Wacana Ilmu, 2003), 48; Hasnil Basri Siregar, “Lessons Learned from The Implementation

of Islamic Shari’ah Criminal Law In Aceh, Indonesia”, Journal of Law and Religion, Vol.

24, No. 1 (2008/2009), pp. 143-176,147; Nur Jannah Ismail, “Syariat Islam dan Keadilan

Gender”, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies 24 – 27 February

2007, 6-7. 4 Mohd Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk

Indonesia (Bandung: Unpad Press, 2009), 38. 5 Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat di Aceh dan Kelantan (Tangerang

Selatan: LSIP, 2014),70-72.

24

waktu yang sangat panjang dalam sejarah, sehingga menjadi motivasi bagi

masyarakat Aceh untuk menjadikan Islam sebagai identitasnya.6

Dilihat dari sudut pandang tujuan dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh,

tampak ada dua sudut yang berbeda, pertama sisi ke-Indonesiaan, yaitu

pemberlakuan syariat Islam di Aceh bertujuan untuk mencegah agar Aceh tidak

memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sini dapat terlihat

bahwa proses pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukanlah suatu proses yang

terjadi secara alami, tetapi lebih merupakan sebuah kebijakan politik dalam rangka

menjaga keutuhan wilayah negara. Penerapan syariat Islam pada tahap ini bertujuan

untuk mengurangi rasa tidak puas Aceh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah

pusat dan untuk mendatangkan kenyamanan secara psikologis bagi masyarakat

Aceh dalam naungan NKRI.7 Kedua, Keinginan rakyat Aceh, di mana

pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan cita-cita dan hasrat yang sudah

lama diinginkan rakyat Aceh, yang salah satunya menyebabkan pemberontakan

DI/TII yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud Beureueh.8

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut Pemerintah Indonesia melalui

DPR-RI telah mengesahkan UU No. 44 Tahun 19999 yang mengatur pelaksanaan

untuk keistimewaan yang diberikan kepada Aceh pada tahun 1959.10 Setelah itu

disahkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah

6 Arskal Salim,“Shari’a From Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity And

The Right To Self-Determination With Comparative Reference to The Moro Islamic

Liberation”, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No. 92, (2004) Front (Milf), 83;

Javier Gil Pérez, “Lessons of peace in Aceh: administrative decentralization and political

freedom as a strategy of pacification in Aceh”, Icip Working Papers: International Catalan Institute, 2009, 11; Liht Asma Uddin, "Religious Freedom Implications of Sharia

Implementation in Aceh, Indonesia", University of St. Thomas Law Journal: Vol. 7: Iss. 3

(2010), Article 8, 615. 7 Zainun Kamal, Dkk. Islam Negara & Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam

Kontemporer, (Jakarta; Paramadina, 2005), 35-37. 8 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari

Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 21. Lihat juga Geoffrey

Robinson, “Rawan Is As Rawan Does: The Origins Of Disorder In New Order Aceh”,

Indonesia, No. 66 (Oct., 1998), pp. 126-157, 130. http://www.jstor.org/stable/3351450,

(diakses pada tanggal 19 nov 2014). 9 Menurut pasal 3 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 ada empat

bidang keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Aceh, yaitu: (1). Penyelenggaraan

kehidupan beragama; (2). Penyelenggaraan kehidupan adat; (3). Penyelenggaraan

pendidikan, dan(4). Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah. 10 Aceh sebagai Daerah Istimewa sebenarnya telah muncul sejak tahun 1959

berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 yang ditanda

tangani oleh Mr. Hardi. Sebagai daerah otonomi, melalui surat keputusan tersebut, kepada

Aceh diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yaitu: Keagamaan, Peradatan dan

Pendidikan. Namun keistimewaan tersebut terutama hak untuk menjalankan syariat Islam

di Aceh (bidang keagamaan) tidak pernah terealisasikan karena tidak pernah dikeluarkan

peraturan pelaksanaannya. Bahkan ada kesan keistimewaan tersebut dihalangi dan secara

tidak langsung dicabut kembali dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun

1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah.

25

Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam undang-

undang ini, Aceh diberikan Peradilan Syariat Islam yang akan dijalankan oleh

Mahkamah Syariah yang kewenangannya ditetapkan dengan qanun.

Secara formal aplikasi syariat Islam di Aceh telah didukung oleh qanun-

qanun yang bersifat publik, ada empat qanun yang diterapkan kepada masyarakat

Aceh di awal penerapan syariat Islam, yaitu (1) Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang

Pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, (2) Qanun No.

12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar (minuman keras), (3) Qanun No. 13

Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang

Khalwat (perbuatan mesum), dan pada tahun 2018 lahir Qanun No. 11 tentang

lembaga keuangan Islam.

Dalam rangka mewujudkan syariat Islam yang dapat berperan sesuai dengan

yang dicita-citakan, maka penerapan syariat Islam ini memerlukan kesiapan

masyarakat dan adanya penegakan hukum atasnya. Karena itu, dibentuklah

wilayatul hisbah11 sebagai pengawas terhadap pemberlakuan syariat Islam di Aceh

agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Lembaga ini dibentuk

berdasarkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 01 Tahun 2004

dengan susunan organisasi yang terdiri atas Wilayatul Hisbah Provinsi, Wilayatul

Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota, Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamatan, Wilayatul

Hisbah Kemukiman, dan memungkinkan untuk di bentuk di tingkat desa

(Gampong).12

Formalisasi dan legalisasi syariat Islam di Aceh merupakan hasil dari konflik

yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah

Republik Indonesia, dan pemberian otonomi khusus dengan pemberlakuan syariat

Islam ini bertujuan untuk mengakhiri konflik vertikal tersebut.13 Akumulasi

konflik di Aceh memiliki akar politik yang sangat dalam dan merentang panjang

sepanjang sejarah Aceh. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah pusat

dalam merespons dan menyelesaikan konflik Aceh, kebijakan yang dianggap

sebagai solusi bagi Aceh adalah diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).14 UU OTSUS

ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD, yang

mencantumkan empat keistimewaan pokok bagi Aceh; (1) keistimewaan dalam

menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam

bagi pemeluknya; (2) keistimewaan dalam menyelenggarakan pendidikan;

11 Wilayatul Hisbah adalah suatu lembaga yang secara khusus bertugas dalam

pengawasan, pembinaan, dan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan

bidang syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi> munkar. 12 Lihat Pasal 14 ayat (2) Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan

syariat Islam bidang akidah, ibadah dan syi’ar Islam. 13 Husni Mubarok A. Latief, “Disonansi Qanun syariat Islam dalam Bingkai

Konstitusi Indonesia: Aceh Sebagai Studi Kasus”, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS XII), 27080.

14 Meskipun pada tangal 15 Agustus 2005 pihak Pemerintah RI dan Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) telah menandatangani kesepakatan damai di Aceh, tetapi kesepakatan itu

tetap berada dalam konteks UU Otomi Khusus bagi Aceh.

26

(3)keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan adat; dan (4) keistimewaan

menempatkan peran ulama dalam penetapan kebijakan. Berdasarkan kedua undang-

undang pokok soal Aceh itulah, otoritas legislasi Aceh menyusun berbagai qanun

sebagai aturan derivatifnya.15 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Aceh menjadi bertambah dalam

menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam merealisasikan UU yang tidak

terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada Bab XVII Pasal 128-

137 yang memberikan kewenangan bagi Pemerintah Aceh dalam penerapan syariat

di berbagai aspek (termasuk jina>ya>t).16

Sebagai sebuah peraturan daerah yang muncul setelah berlakunya Otonomi

Khusus bagi Aceh, maka qanun-qanun tersebut secara yuridis dipayungi oleh

undang-undang, yakni undang-undang No. 44 tahun 1999, undang-undang No. 18

tahun 2001, dan undang-undang No. 11 tahun 2006.17 Dalam UU No. 44 Tahun

1999, pada Pasal 12 terdapat penjelasan bahwa peraturan perundang-undangan yang

bertentangan dan atau tidak sesuai dengan UU tersebut dinyatakan tidak berlaku.

Selain itu qanun di Aceh juga dilindungi oleh UU Pemerintahan Aceh, pada Pasal

269 dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada pada saat UU

Pemerintah Aceh diundangkan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

undang-undang ini. Untuk mendukung kelangsungan pemberlakuan syariat Islam di

Aceh, maka Pemerintah Aceh telah membentuk lembaga-lembaga penegak syariat

Islam di daerah tersebut seperti, Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar’iyah, Majelis

Adat Aceh dan lembaga-lembaga lainnya.

Dalam perjalanannya penegakan syariat Islam di Aceh tidaklah mudah. Hal

ini karena belum ada suatu negara-pun yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam

penegakan syariat Islam.18 Sementara itu Alyasa’ Abu Bakar mengatakan bahwa

penerapan syariat Islam di Aceh masih trial and error (uji coba), sehingga masih

memerlukan masukan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya.19 Alyasa’

mengakui bahwa masih ada kekhawatiran sebagian kalangan mengenai penerapan

syariat Islam secara formal di Aceh, baik dari sisi aturan maupun pelaksanaannya.

Namun, kekhawatiran semacam ini sebenarnya tidak perlu muncul secara

berlebihan, karena terdapat beberapa prinsip yang menyertai penerapan syariat

Islam. Pertama, Syariat Islam itu dari segi isinya lebih menyentuh aspek Islam

secara luas. Kedua, Syariat Islam yang diberlakukan sesuai dengan konteks budaya

Aceh yang memang sudah melekat dengan ajaran Islam, dan bukan syariat Islam

dalam konteks budaya Arab, sehingga akan lebih mudah diimplementasikan.

Ketiga, Penerapan syariat Islam berlangsung secara bertahap, tidak serta merta

membuat pemaksaan, karena diikuti dengan sosialisasi dan pemberian pemahaman

15 Pasal Pasal 11 UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, Pasal 9 dan 11

UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otsus. 16 Muhammad Yani, Pelaksanaan Hukum Jinayat Di Aceh....,4. 17 Sukron Kamil dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah...,126. 18 Azumardi Azra, Belum ada negara sebagai acuan Syari’at Islam, 183-191; Lihat

Juga Samsul Bahri, “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Wilayah NKRI”, 6. 19 Samsul Bahri, “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Wilayah NKRI”,

Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12 No 2 Mei (2012), 6.

27

ajaran Islam kepada rakyat secara berkelanjutan.20 Sementara itu sebagian sarjana,

dalam kritiknya terhadap formalisasi syariat Islam di Aceh mengatakan bahwa,

penerapan syariat Islam yang konservatif di Aceh mesti jadi pelajaran bagi

pemerintah, agar tidak terulang kegagalan dalam mengatasi konflik sehingga

membiarkan kelompok konservatif mendikte syariat Islam seperti yang terjadi di

Aceh, karena tidak disadari bahwa Islam di Aceh telah dieksploitasi sedemikian

rupa oleh kelompok konservatif dan pemberontak untuk mendapatkan kekuasaan.21

Ketakutan atau fobia terhadap penerapan syariat Islam merupakan sesuatu

yang terlalu dibesar-besarkan. Syariat Islam sama sekali tidak bertujuan untuk

menganiaya manusia, bahkan menurut syariat Islam, binatang dan lingkungan

sekitar tidak boleh dizalimi, karena tujuan syariat Islam adalah untuk memelihara

hak-hak manusia dan memberi mereka perlindungan serta keselamatan. Karena itu,

merasa takut terhadap syariat Islam, apa lagi memusuhinya adalah sikap dan

tindakan yang tidak beralasan. Kekerasan dan penyelewengan hukum memang

pernah terjadi dalam sejarah Islam, tetapi itu juga pernah terjadi dalam agama dan

komunitas mana pun di dunia ini, termasuk Yahudi, Kristen dan Barat. Demikian

juga sebaliknya, sejarah menjadi saksi atas kesuksesan syariat Islam menciptakan

masyarakat yang makmur dan sejahtera serta penegakan hukum yang adil secara

mengagumkan. Titik paling penting yang harus diketahui adalah bahwa syariat

Islam bukanlah sebuah kumpulan peraturan yang baku, statis dan rinci, bukan pula

sebuah petunjuk teknis atau manual yang menjadi pegangan setiap muslim dalam

menjalankan kehidupan di dunia ini, sehingga ia tidak perlu lagi berpikir, apa yang

harus dilakukan dan bagaimana ia harus melakukannya. Syariat Islam adalah

sebuah paradigma moral yang bersandar pada ketundukan kepada Tuhan. Karena

itu penerjemahan syariat Islam dengan hukum Islam sebenarnya dapat dipandang

sebagai sebuah kekeliruan, walaupun telah digunakan secara luas. Istilah hukum

Islam barangkali lebih tepat disamakan dengan fikih, yakni syariat yang telah

ditafsirkan dan dituangkan dalam sebuah undang-undang, sehingga menjadi

realistis dan dapat dipraktikkan. Meskipun aturan-aturan ini telah menjadi hukum

positif, tetapi tetap berdimensi spiritual, yakni, pelaksanaan atau penerapan

hukumnya tetap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengabdian kepada

Tuhan. Hal ini merupakan muatan psikologis dari pentingnya penyerapan syariat

Islam bagi masyarakat Muslim, dan ini juga yang menjadi salah satu alasan

mengapa penerapan syariat Islam di Aceh akan sangat menentukan masa depan

Aceh itu sendiri.22

Berkaitan dengan pemberlakuan syariat Islam dalam negara, Mahfud MD

menjelaskan dalam pengantar buku Syarah Konstitusi Dalam Perspektif Islam yang

ditulis oleh Masdar Farid Mas’udi, bahwa dengan dasar Pancasila dan UUD 1945,

Indonesia merupakan negara yang islami, tetapi bukan negara Islam. Sifat islami

20 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di

Indonesia (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007), 351. 21 Nurohman, “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia”, Arrisalah, Volume 12

Nomor 1, Mei 2012, 87-88. 22 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos

Wacana Ilmu, 2003), 47-48.

28

yang dimaksud oleh Mahfud adalah negara yang secara resmi tidak menggunakan

nama dan simbol-simbol Islam, tetapi substansi hukumnya mengandung nilai-nilai

ajaran Islam, seperti kepemimpinan yang adil, amanah, demokratis, menghormati

hak asasi manusia, pernikahan yang mengikuti syariat, dan lain sebagainya.23 Para

pendiri Bangsa memilih menerapkan syariat Islam secara substantif, di dasarkan

atas argumen bahwa dalam sumber primer ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunah) tidak

ada keharusan bagi umat muslim untuk membentuk negara Islam, yang terpenting

adalah adanya negara yang melindungi dan menjamin kebebasan untuk menjalakan

ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam.24 Selain itu, tokoh-tokoh Islam Indonesia

pada masa lalu telah berjuang melalui jalur konstitusi yang demokratis, dan

menawarkan Islam sebagai dasar negara,25 tetapi hasil kesepakatan yang ditetapkan

melalui proses politik yang demokratis, telah menetapkan Pancasila sebagai dasar

negara.26

Masykuri Abdillah mengatakan bahwa orientasi pelaksanaan syariah terbagi

dalam 3 bentuk. 1) Pelaksanaan syariat secara formal untuk hukum-hukum privat,

seperti hukum keluarga, zakat, haji, wakaf dan perbankan dapat dilaksanakan dalam

negara, 2) Pelaksanaan syariat Islam secara substantif, seperti hukuman mati bagi

tindak pembunuhan dimana secara materi sama hukumannya dengan kisas 3)

Pelaksanaan syariat Islam secara esensial, yaitu apabila pelaksanaan syariat Islam

secara substantif sulit untuk diwujudkan karena konteks kekinian, misalnya

hukuman penjara bagi tindak pidana pencurian. Secara esensi, hukuman tersebut

telah sesuai dengan ruh hukum Islam, dalam hal bahwa pencurian merupakan

kejahatan yang harus diberi sanksi. Pandangan semacam ini menjadikan syariat

Islam sebagai sumber etika moral dalam penetapan hukum nasional dan kebijakan

publik lainnya.27

Sementara itu, dua ormas Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama

(NU) dan Muhammadiyah tidak mendukung adanya pemberlakuan syariat Islam

dalam Negara. Hasim Muzadi menjelaskan bahwa perjuangan untuk menegakkan

syariat Islam di Indonesia tampak tidak realistis, sedangkan yang lebih utama

adalah menerapkan nilai-nilai universal demi kemakmuran rakyat dan bukan

23 Muh. Mahfud MD, “Jiwa Syariat Dalam Konstitusi Kita”, dalam Masdar Farid

Mas’udi, Syarah Konstitusi UU 1945 Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet,

2011), XVII. 24 Dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tentang kebebasan untuk memiliki atau

memeluk agama yang mereka anut atau percayai dan kewajiban memiliki agama yang di

anut dan juga beribadah sesuai agama yang mereka percayai. Hal ini berarti tidak ada ruang

untuk ateisme sebagaimana kebebasan beragama yang ada di Amerika dan negara-negara

Barat lainnya. 25 Martin van Bruinessen, “Islamic state or state Islam? Fifty years of state-Islam

relations in Indonesia”, Ingrid Wessel (ed.), Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts, Hamburg: Abera-Verlag, pp. 19-34, 4.

26 Arif Hidayat, “Formalization Of Sharia Law In Indonesia (A Constitusion

Perspective)”, Proceeding - Kuala Lumpur International Business, Economics And Law Conference Vol. 3. December 2 - 3, 2013, 78.

27 Maskuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan, 2005), 7.

29

mendorong gagasan syariat Islam untuk diterapkan di Indonesia. senada dengan itu,

Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa komitmen persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia harus lebih diutamakan, karena merupakan amanat dari para pendiri

Bangsa.28 Berkaitan dengan pandangan 2 tokoh tersebut, Anis Baswedan

menjelaskan bahwa fokus umat Islam saat ini bukanlah menjadikan Islam sebagai

dasar negara Indonesia, tetapi bagaimana membawa warna Islam ke dalam

kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen, inilah menurutnya yang menjadi

pendekatan syariah yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

B. Efektivitas Penerapan Hukum

Efektivitas pemberlakuan hukum merupakan suatu indikator untuk menilai

penerapan suatu hukum, atau bisa juga dikatakan untuk mengukur keberhasilan dari

target yang telah ditetapkan dalam penerapan suatu hukum.29 Efektivitas berasal

dari kata dasar efektif, artinya: memiliki pengaruh, akibat, membawa hasil atau

berhasil guna. Sedangkan dalam penggunaannya untuk efektivitas hukum, adalah

posisi hukum sebagai kaidah yang merupakan patokan mengenai sikap, tindakan

atau perilaku yang pantas. Achmad Ali mengatakan bahwa ketika ingin mengetahui

sejauh mana efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus dapat mengukur

sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Pada umumnya, faktor

yang banyak menentukan dalam efektivitas suatu hukum adalah profesionalitas,

peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum baik di dalam menjalankan

tugas yang di bebankan kepada mereka, maupun dalam menegakkan ketentuan

perundang-undangan.30 Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa efektivitas

hukum adalah kesesuaian antara apa yang di atur dalam hukum dengan

pelaksanaannya.

Efektif adalah ukuran bagaimana suatu kelompok dapat mencapai

tujuannya.31 Suatu hukum dapat dinyatakan efektif apabila memiliki dampak yang

positif. Pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing atau

mengubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku mereka menjadi sesuai

dengan hukum.32 Dikatakan pula bahwa pengertian efektivitas adalah suatu

keadaan yang mengandung keadaan terjadinya suatu efek yang dikehendaki.33

Penegakan hukum adalah sebuah upaya yang dilakukan dalam proses

memfungsikan ketentuan hukum sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan

bermasyarakat di dalam negara. Dari segi subjeknya, penegakan hukum dapat

28 Nadirsyah Hosen, “Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate”

Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 36, (2005), 426. 29 Bambang Sutiyiso, Aktualisasi Hukum Dalam Era Reformasi (Jakarta: Rajawali

Pers, 2004), 58. 30 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Vol.1 (Jakarta: Kencana,

2010), 375. 31 Soerjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi (Bandung: CV.

Ramadja Karya, 1988), 80. 32 Soerjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, 80. 33 The Liang Gie, Efisiensi Kerja Bagi Pembangunan Negara (Yogyakarta: Gajah

Mada University Press, 1981), 21.

30

dilakukan oleh subjek hukum yang luas dan subjek hukum yang sempit atau

terbatas. Penegakan hukum dalam arti luas melibatkan semua subjek hukum dalam

setiap hubungan hukum, maksudnya adalah siapa saja yang menjalankan aturan

atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri

pada norma atau aturan hukum yang berlaku, maka dia disebut telah menjalankan

atau menegakkan hukum. Sedangkan penegakan hukum dalam arti sempit adalah

penegakan hukum yang diartikan sebagai upaya aparat penegak hukum tertentu

untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu ketentuan hukum dapat berjalan

sebagaimana mestinya.34 Dengan demikian, maka dapat diambil dinyatakan bahwa

yang dimaksud dengan penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan untuk

menjadikan hukum baik dalam arti formal yang sempit maupun material yang luas

sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan masyarakat, baik oleh subjek

hukum maupun oleh penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang untuk

menjamin berfungsinya ketentuan hukum yang berlaku.

Penegakan hukum tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban, hal

ini disebabkan karena hukum selalu identik dengan penegakan peraturan

perundang-undangan. anggapan semacam ini, adalah kurang tepat, karena hukum

itu harus di lihat dalam satu sistem yang menimbulkan interaksi tertentu dalam

berbagai unsur. Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations) namun mencakup bidang yang luas yang meliputi

struktur, lembaga dan prosedur yang mengisinya, serta terkait dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure) masyarakatnya. Lawrence Friedman menjelaskan bahwa unsur-unsur sistem hukum

itu terdiri dari dari 3 aspek, yaitu: struktur hukum (legal structure), substansi

hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).35

Adapun struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif

serta lembaga-lembaga terkait seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, komisi

yudisial dan lain sebagainya. Sedangkan substansi hukum adalah segala yang

berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Dan budaya hukum adalah semua

hal yang berkaitan dengan pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat

mengenai pemikiran, nilai-nilai, dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku,

atau bisa juga dikatakan bahwa budaya hukum adalah iklim dari pemikiran sosial

tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan. Budaya

hukum ini sangat penting, karena tanpa budaya hukum sistem hukum tidak akan

mempunyai kekuatan, bahkan keadaannya dianggap seperti ikan mati yang terkapar

di keranjang, tidak seperti ikan hidup yang berenang di lautan.36

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan masyarakat terhadap

ketentuan hukum, menurut Achmad Ali, C.G. Howard dan R.S. Mumner,

jumlahnya ada 8 (delapan), yaitu:

1) Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi

target aturan hukum. Karena itu, maka pembuat aturan hukum tersebut

34 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/Penegakan

_Hukum.pdf (diakses pada tanggal 5 Oktober 2015). 35 Lawrence Friedman, American Law (London: W.W. Norton & Company, 1984), 6. 36 Donald Black, Behavior of Law (New York: Academic Press, 1976), 2.

31

harus mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan

peraturan tersebut;

2) Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah

dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum tersebut.

Perumusan substansi hukum harus dirancang dengan baik, ditulis dengan

jelas dan mudah dipahami secara pasti, meskipun nantinya tetap akan

membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan

menegakkannya;

3) Aturan yang dibuat bersifat melarang dan tidak mengharuskan,

ketentuan semacam ini, apabila hukum tersebut adalah aturan

perundang-undangan, karena hukum yang bersifat melarang

(prohibitation) lebih mudah untuk dilaksanakan daripada ketentuan

yang sifatnya mengharuskan;

4) Sanksi yang di ancamkan oleh aturan hukum tersebut harus disetarakan

dengan sifat aturan hukum yang di langgar, karena satu sanksi yang

dapat dianggap tepat pada suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat

untuk tujuan lainnya. Berat atau ringannya sanksi yang di ancamkan

dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk

dilaksanakan. Sebab jika sanksi yang ditetapkan terasa terlalu ringan

untuk suatu jenis kejahatan, tentunya akan mengakibatkan warga

masyarakat tidak segan untuk melakukan kejahatan tersebut;

5) Memungkinkan untuk ditegakkan oleh penegak hukum dalam

memprosesnya apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum yang

ditetapkan, karena tindakan yang di atur dan di ancam dengan sanksi

memang suatu tindakan yang konkret, dapat dilihat, dan diamati,

sehingga memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan

(penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penghukuman). Dengan

demikian, maka membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan

sanksi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat gaib atau mistik adalah

mustahil untuk bisa efektif, karena mustahil untuk ditegakkan melalui

proses hukum. Seperti menetapkan sanksi untuk perbuatan yang sering

dikenal dengan sihir atau teluh, karena sulit untuk dibuktikan;

6) Mengandung nilai moral yang dianut oleh masyarakat. Aturan hukum

yang mengandung nilai moral akan jauh lebih efektif daripada aturan

hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang di anut oleh

masyarakat yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut;

7) Mengikuti standar hidup sosio-ekonomi minimal masyarakat, hal ini

disebabkan karena efektivitas hukum dipengaruhi oleh kondisi sosial

dan ekonomi masyarakat. Hukum juga tidak akan bisa efektif jika

keadaan masyarakatnya tidak tenteram karena terjadinya kekacauan

atau peperangan.

8) Sosialisasi kepada seluruh target aturan hukum secara optimal. tidak

boleh ada keyakinan bahwa semua produk hukum telah diketahui oleh

semua penduduk dengan benar atau menganggap bahwa semua warga

masyarakat telah mengetahui semua aturan hukum yang ada, karena

32

tidak mungkin semua warga masyarakat mampu mengetahui keberadaan

suatu hukum dan substansinya, tanpa adanya sosialisasi yang optimal. 37

Penegakan hukum yang baik berhubungan dengan harmonisasi antara nilai-

nilai dengan kaidah-kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. Dalam rangka

untuk mewujudkan harmonisasi tersebut, terdapat tiga hal yang berkaitan dengan

pemberlakuan hukum, yaitu: aspek yuridis, sosiologis dan filosofis. Mengenai

berlakunya hukum secara yuridis, ada beberapa tokoh yang memberikan

pernyataan. Di antaranya Hans Kalsen yang menyatakan bahwa hukum mempunyai

sifat yuridis jika dalam menetapkannya didasarkan atas kaidah atau undang-undang

yang lebih tinggi tingkatannya. Sementara itu, W. Zavenbereng menyatakan bahwa

suatu ketentuan hukum dianggap mempunyai sifat yuridis apabila ketentuannya

terbentuk sesuai kaidah yang telah ditetapkan. sedangkan Logemann berpendapat

bahwa ketentuan hukum bersifat mengikat jika mengandung hubungan keharusan

antara suatu kondisi dan akibatnya. Adapun berlakunya hukum secara sosiologis,

ada dua teori yang menjelaskan hal tersebut, yaitu teori kekuasaan yang pada

pokoknya menyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiologis jika berlakunya

dipaksakan oleh penguasa tanpa memperdulikan apakah masyarakat menerimanya

atau menolaknya. kemudian pengakuan yang berpangkal pada pendirian bahwa

berlakunya hukum di dasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat

atas sistem hukum yang diterapkan. Dan berlakunya hukum secara filosofis adalah

apabila di dalam ketentuan hukum tersebut terdapat kesesuaian dengan apa yang

dicita-citakan oleh hukum sebagai suatu nilai positif yang tertinggi.38 Ketentuan

hukum harus memenuhi ketiga unsur tersebut supaya dapat berfungsi dengan baik.

Sebab, jika hanya memiliki kekuatan yuridis, maka ada kemungkinan hukum

tersebut hanya merupakan kaidah yang mati, jika hanya memiliki sifat sosiologis,

maka hukum tersebut hanya menjadi aturan pemaksa, dan jika hanya memiliki sifat

filosofis, maka hukum tersebut hanya menjadi kaidah yang sekedar menjadi

harapan.39

Penegakan hukum merupakan proses menyerasikan antara apa yang ada di

dalam rumusan sejumlah peraturan terhadap penciptaan, pemeliharaan dan

mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup di masyarakat.40 Keadaan

tersebut dapat di tinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut

Soerjono Soekanto masalah pokok dalam penegakan hukum terletak pada

hukumnya itu sendiri atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, penegak

37 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 376-378; Heru

Muljanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP ) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta (Tesis Univ.

Sebelas Maret Surakarat, 2008), 22. 38 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka

Pembangunan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1983), 34. 39 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka

Pembangunan Indonesia, 35-36. 40 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan

Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 373.

33

hukumnya, yaitu pihak-pihak yang mengawal penerapan hukum, sarana dan

fasilitas yang mendukung penerapan hukum, masyarakat di mana hukum tersebut

diberlakukan dan budaya hukum dalam masyarakatnya.41 Kelima faktor tersebut

saling berkaitan erat karena esensi dari penegakan hukum. Lima faktor ini

merupakan tolak ukur daripada efektivitas pemberlakuan hukum.

Sedangkan Achmad Ali mengatakan bahwa efektivitas suatu perundang-

undangan banyak tergantung pada 4 (empat) faktor, yaitu: 1) Pengetahuan tentang

substansi perundang-undangan, 2) Cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut, 3)

Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam

masyarakat, 4) Proses lahirnya suatu perundang-undangan. Suatu aturan

perundang-undangan tidak boleh di lahirkan secara tergesa-gesa hanya untuk

kepentingan sesaat yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall dengan sweep legislation

(undang-undang sapu) yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan

kebutuhan masyarakat tempat berlakunya hukum.42

Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum

adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur

yang andal, sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Kehandalan dalam kaitannya di sini adalah meliputi keterampilan profesional dan

mempunyai mental yang baik, sebagaimana pendapat J. E. Sahetapy yang

menjelaskan bahwa pada prinsipnya, penegakan hukum harus bisa memberi

manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, yang mengharapkan suatu

keadilan dalam penegakan hukum. Karena itu, keadilan harus diperhatikan dalam

pelaksanaan penegakan hukum, karena sifatnya hukum adalah umum, mengikat

setiap orang dan bersifat menyamaratakan. Sedangkan sifat adil itu subjektif dan

tidak sama rata. Karena sesuatu yang sama rata itu belum tentu adil.43

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah yang berpengaruh terhadap

efektivitas hukum tertulis ditinjau dari faktor aparatnya bergantung pada 4 macam,

yaitu: 1) keterikatan petugas penegak hukum dengan peraturan-peraturan yang

diberlakukan, 2) kebijaksanaan petugas penegak hukum, 3) keteladanan petugas

penegak hukum untuk masyarakatnya, 4) Kesesuaian petugas penegak hukum

dengan bidang-bidang tugasnya, sehingga batas-batas yang menjadi wewenangnya

menjadi jelas. Sedangkan Menurut Daniel S. Lev yang paling menentukan dalam

proses penegakan hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, karena

hukum merupakan alat politik, tempat hukum dalam negara tergantung pada

keseimbangan politik, kekuasaan, ideologi negara, keadaan ekonomi, dan kondisi

sosial masyarakat.44

Faktor ketiga yang menjadi penentu efektivitas hukum adalah sarana atau

fasilitas, peranannya sangat penting dalam penegakan hukum, karena tanpa adanya

41 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 8;

Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 62. 42 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 378-379. 43 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra

Aditya Bakti, 1993), 2. 44 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,

Cet I (Jakarta: LP3S, 1990), 45.

34

sarana atau fasilitas yang mendukungnya, penegak hukum tidak akan mampu

menyerasikan fungsi yang seharusnya dengan fungsi yang ada. Soerjono Soekanto

mengatakan patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari sarana prasarana

adalah pada saat prasarana tersebut betul-betul secara nyata menjadi bagian yang

memberikan kontribusi pada kelancaran tugas aparat penegak hukum di tempat

kerjanya. Yang harus diperhatikan dalam pemenuhan sarana dan prasarana atau

fasilitas adalah pemeliharaan yang baik, penyediaan anggaran untuk pengadaan

sarana atau fasilitas, melengkapi fasilitas yang masih kurang, dan memperbaiki

sarana yang telah rusak. Selain itu, juga diperlukan pemeriksaan fasilitas yang

kurang fungsinya atau mengalami kemunduran fungsi. 45

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dilihat dari sudut tertentu, maka

masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.46 Warga masyarakat

memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, namun disisi lain warga

masyarakat berkewajiban untuk mematuhi hukum selama masyarakat dilibatkan

secara aktif dalam proses perbuatan hukum tersebut, sehingga adanya hukum

dengan segala peraturan di dalamnya dan seperangkat sanksinya diketahui,

dimaknai dan disetujui oleh masyarakat yang menyebabkan hukum di jadikan

sebagai kesenangan hidup. Berdasarkan atas kenyataan ini, ada satu hal yang perlu

di ingat bahwa proses bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak terlepas dari

keberadaan hukum itu sendiri dalam sistem sosial masyarakatnya, dan karena itu,

prosedur penegakan hukum tidak bisa lepas dari faktor-faktor sosial dan budaya di

mana hukum tersebut hendak diberlakukan.47

Menurut Harold J. Laksi warga negara memiliki kewajiban untuk

menegakkan hukum, apabila hukum tersebut dapat memenuhi rasa keadilan.48 Laksi

melanjutkan bahwa berkaitan dengan pemberlakuan hukum, ada 3 bentuk

masyarakat yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1) Masyarakat teratur, karena

diatur dengan tujuan tertentu, 2) Masyarakat teratur yang terjadi dengan sendirinya

disebabkan adanya kepentingan yang sama, 3) Masyarakat yang tidak teratur, yang

terjadi dengan sendirinya tanpa dibentuk.49 Menurut Chambliss dan Seidman dalam

menghadapi hukum, masyarakat terbagi dalam 2 model,50 1) Model masyarakat

yang terbentuk atas dasar kesepakatan akan nilai-nilai (value concensus).

45 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 82. 46 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 45. 47 Fauzie Y. Hasibuan, Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum,

http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-penegakan-hukum -

dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-advokat-indonesia/, 2. (diakses pada

25 September 2015). 48 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan

Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 186. 49 J. B. Daliyo, dkk. Pengantar Ilmu Hukum: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta:

Gramedia, 1989), 13. 50 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 48-52;

Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta:

Kencana Prenadamedia Grup, 2013), 106-112.

35

Masyarakat semacam ini jarang mengenal adanya konflik atau ketegangan di

dalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang

menjadi landasan kehidupan mereka.51 Selain itu, juga tidak ada perbedaan tentang

nilai-nilai yang harus dipertahankan di antara masyarakat. 2) Model masyarakat

konflik, model masyarakat ini berlawanan dengan model masyarakat pertama,

berdirinya masyarakat kedua ini bertumpu suatu hubungan di mana sebagian

warganya mengalami tekanan dari warga yang lainnya. Nilai-nilai yang dianut

dalam masyarakat konflik ini berbeda dengan nilai-nilai dalam masyarakat yang

bertumpu kepada kesepakatan, sehingga akan tercermin dalam pembuatan

hukumnya.

Secara umum, fungsi hukum dalam sebuah masyarakat memiliki 2 tujuan.

Pertama, Sebagai sarana kontrol sosial,52 kedua, Sebagai sarana untuk melakukan

perubahan sosial.53 Proses perubahan masyarakat dengan hukum ini oleh Chambliss

dan Seidman digambarkan dengan efektivitas hukum dalam menanamkan kekuatan

yang menentang unsur-unsur baru dari masyarakat. Perubahan keadaan sosial yang

di kehendaki itu apabila berhasil, maka pada akhirnya akan melembaga sebagai

pola-pola perilaku yang baru di masyarakat.54

Berdasarkan fungsinya, baik sebagai sarana rekayasa sosial ataupun sebagai

sarana kontrol sosial, setiap peraturan diciptakan adalah untuk dijalankan sesuai

dengan tujuan dan makna yang terkandung di dalamnya. Warga masyarakat atau

individu, sebagai pihak yang dituju oleh suatu ketentuan hukum harus

menerimanya dengan lapang dada disertai pengertian pada ketentuan hukum

tersebut. Sebab, meskipun ketentuan hukum sudah baik, didukung oleh penegak

hukum yang bijak, dan sarana atau fasilitas yang memadai, tetapi tidak didukung

oleh kesadaran masyarakatnya, maka hukum akan mengalami banyak hambatan

dalam penerapannya. Selain itu, perlu juga diperhatikan bahwa perilaku setiap

individu itu bermacam-macam karena motif kepentingan yang berbeda-beda, dan

dalam sebuah masyarakat yang pluralistis, penyimpangan yang dilakukan oleh

seorang individu dapat mempengaruhi yang lainnya. Dalam keadaan semacam ini,

maka diperlukan kontrol sosial, dengan mengendalikan perilaku warga masyarakat

51 W.G. Sumner mengungkapkan pandangannya tentang model masyarakat

konsensus dalam hubungannya antara hukum dan masyarakat. Menurut Sumner, masyarakat

semacam ini mengatur diri mereka sendiri melalui folkways dan moral yang mereka miliki,

sedangkan hukum dikembangkan secara bertahap melalui adat istiadat dan perilaku yang

sikapnya umum. Lihat dalam Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, 108.

52Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses perubahan sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang

berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Lawrence Friedman, American Law (London:

W.W. Norton & Company, 1984), 3. 53Hukum sebagai alat mengontrol sosial (law as a tool of social enginering) dengan

upaya control tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban umum. E. Utrecht,

Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), 43. 54Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 119-120.

36

agar tetap sesuai dan mengikuti ketentuan hukum, dengan cara menetapkan sanksi

yang kuat.55

Kesadaran hukum mengacu kepada cara-cara di mana warga masyarakat

memahami hukum dan institusi-institusinya, sehingga pemahaman-pemahaman

tersebut memberikan makna pada pengamalan dan tindakan masyarakat. Menurut

Ewick dan Sylbey kesadaran hukum tergambar dalam tindakan, dan merupakan

persoalan praktik yang perlu dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran

hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku dan bukan hukum sebagai aturan

norma atau asas saja.56 Sedangkan menurut Achmad Ali, kesadaran hukum,

ketaatan hukum dan efektivitas hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan,

namun sering kali orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan

hukum, padahal dua hal itu meskipun sangat erat hubungannya, namun tidak bisa

dianggap sama, kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya

pelaksanaan hukum atau perundang-undangan di dalam masyarakat.57

Faktor penting yang menentukan efektivitas hukum adalah budaya hukum.

Budaya hukum dalam masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal biasanya muncul karena ada dorongan tertentu baik yang

bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya

rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang bergerak untuk melakukan

sesuatu yang bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif biasanya akan

muncul karena adanya rangsangan yang bersifat negatif, seperti perlakuan tidak

adil dan lainnya. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi budaya hukum

biasanya disebabkan karena adanya tekanan dari pihak luar yang mengharuskan

atau bersifat memaksa agar warga masyarakat tunduk kepada hukum.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai

hasil dari karya, rasa, dan cipta masyarakat. Rasa adalah semua unsur yang

merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai warga masyarakat.

Sedangkan cipta adalah kemampuan mental dan kemampuan berpikir dari setiap

individu yang hidup di masyarakat yang kemudian menghasilkan filsafat serta ilmu

pengetahuan, baik dalam bentuk teori murni maupun yang sudah disusun secara

sistematis untuk dapat diamalkan secara langsung dalam kehidupan

bermasyarakat.58 Semantara itu, Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa budaya

hukum adalah adanya tanggapan yang sama dari masyarakat tertentu terhadap

gejala-gejala hukum, dalam bentuk kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan

perilaku hukum. Menurut Hilman, budaya hukum adalah pola perilaku setiap

individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan atau

orientasi yang sama terhadap kehidupan yang dihayati masyarakat bersangkutan.

55Heru Muljanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta, 24-25.

56 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, 298. 57 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, 299. 58 Selo Soemardjan dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, Cet. I (Jakarta:

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), 113.

37

Budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi, melainkan budaya masyarakat

secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan sikap dan perilaku masyarakat.59

Dalam tataran umum, kewajiban warga masyarakat untuk tunduk dan taat

pada hukum, disebabkan oleh adanya sanksi yang menimbulkan rasa takut atau rasa

tidak nyaman, sehingga mereka lebih memilih untuk tunduk pada hukum daripada

melakukan pelanggaran yang dapat menyusahkan mereka. Motivasi ini biasanya

bersifat sementara atau hanya temporer. Berhubungan dengan persoalan efektivitas

hukum, pengenalan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal, namun

juga memerlukan proses pengadilan. Ancaman dan paksaan juga merupakan unsur

yang mutlak harus ada, agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum.

Karena itu, tentunya unsur paksaan ini berkaitan erat dengan efektif atau tidaknya

suatu ketentuan hukum. Apabila suatu aturan hukum tidak efektif, maka salah satu

pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman

dan paksaannya, karena tidak efektifnya suatu hukum disebabkan karena ancaman

atau paksaannya kurang berat, atau mungkin juga karena ancaman paksaan itu

tidak tersampaikan secara benar kepada warga masyarakat yang menjadi target

pemberlakuan hukum tersebut.60

Berbicara tentang efektivitas hukum, berarti membahas tentang kekuatan

kerja suatu ketentuan hukum dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat agar

taat terhadap hukum. Suatu peraturan, dapat menjadi efektif apabila faktor-faktor

yang mempengaruhinya dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif

atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang diberlakukan, dapat

diketahui dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-

undangan akan dianggap efektif jika warga masyarakat telah berperilaku sesuai

dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh suatu peraturan yang diundangkan.

Sementara itu, faktor-faktor yang menghambat efektivitas hukum tidak hanya

disebabkan oleh para penegaknya saja, misalnya polisi, jaksa, hakim, dll. tetapi juga

dipengaruhi oleh budaya hukum dalam suatu masyarakat di mana ketetapan hukum

diberlakukan.61

Secara konseptual, penelitian tentang efektivitas penerapan qanun Aceh No.

11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah ini, tergambar dalam bagan di

bawah ini:

59 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 2010),

51. 60 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif

Watampone, 1998), 186. 61 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan

Hukum (Bandung: CV Ramadja Karya, 1988), 80.

38

Gambar Bagan 1:

Peta Konseptual efektivitas dan Manfaat Wajib Bank syariah

QANUN

TTG LKS

NO. 11/2018

EFEKTIVITAS HUKUM

1. Hukumnya itu sendiri atau

Peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

2. Penegak hukumnya.

3. Sarana dan fasilitas yang

mendukung penerapan

hukum.

4. Masyarakat di mana

hukum tersebut

diberlakukan.

5. Budaya hukum dalam

masyarakatnya

MANFAAT

Wajib Bank Syariah:

dapat menghasilkan

1. Kesejahteraan;

2. Kebahagiaan;

3. Keuntungan;

4. Kemudahan;

5. Keringanan.

Alat Ukur :

1. Ringkas

2. Mudah dilaksanakan

3. Mengakomodasi

keragaman

Sumber: Data olahan sendiri (2021)

Bagan di atas menggambar konsep efektivitas hukum yang dilihat dari 5

aspek, dan melihat manfaatnya dengan 5 kategori. Untuk efektivitas isi undang-

undang, digunakan 3 pengukuran.

C. Hukum Bunga Bank Menurut Syariat Islam

Ada sebuah pertanyaan, mengapa harus bertransaksi dengan perbankan

syariah, jawaban yang paling sederhana adalah karena bank konvensional

memberlakukan sistem bunga yang mengandung riba, sedangkan bank syariah

memberlakukan sistem bagi hasil, sebagai prinsip dasar transaksi perbankan yang

dianut oleh bank syariah sesuai prinsip dasar muamalah dalam syariah Islam. Atas

pandangan haramnya transaksi dengan bank konvensional, maka banyak umat

Islam yang tidak mau bertransaksi dalam bentuk apa pun dengan bank, bahkan

banyak karyawan bank konvensional yang kemudian memilih mengundurkan diri

dari pekerjaannya, karena ingin hidup terbebas dari riba.

39

Berbagai agama mengharamkan riba, dan bunga bank konvensional adalah

riba. Dalam Islam secara jelas al-Quran menetapkan bahwa riba itu haram. Agama

Yahudi juga melarang penganutnya untuk mempraktikkan pengambilan bunga.

Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament

(Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Di dalam agama Kristen,

larangan bunga dinyatakan dalam Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25, Kitab

Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19, dan Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25

ayat 36 – 37. Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi,

serta pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi,

terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga

selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan

hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan

berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga,

tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable). Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan

bunga tidak diperbolehkan, akan tetapi, pada masa Unciaria (88 SM), praktik

tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Berbagai pandangan di kalangan

pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu

pandangan para pendeta awal Kristen (abad I - XII) yang mengharamkan bunga,

pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga

diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang

menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.62

Secara etimologis, kata bunga, sebagaimana disebutkan dalam the American Heritage Dictionary of The English Language didefinisikan sebagai interest in charge for a financial loan, unsually a percentage of the amaount loaned.63 Bunga

adalah sebuah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan

persentase dari uang yang dipinjamkan. Sedangkan menurut Kasmir, bunga adalah

sebuah bentuk balas jasa yang diberikan oleh bank berdasarkan prinsip

konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga bank

juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang

memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (yang

memperoleh pinjaman).64 Menurut Muhammad Syafi’i Antonio menyebut bunga

sebagai suatu tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dalam bentuk

persentase dari uang yang dipinjamkan dengan asumsi selalu untung. Besarnya

persentase berdasarkan pada jumlah uang yang dipinjamkan. Pembayaran bunga

sifatnya tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang

dijalankan oleh nasabah mendapat untung atau mengalami kerugian. Jumlah

pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan usaha nasabah

berlipat.65

62 Ahmad Ifham Solihin, Ini Lho Bank Syariah (Jakarta: Hamdalah, 2008), 7-8 63 Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005),

21. 64 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), 154. 65 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2001), 60.

40

Pendapat lain menyatakan bahwa bunga adalah sejumlah uang yang dibayar

atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut biasanya dinyatakan

dengan satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut paut dengan itu, yang

dinamakan suku bunga.66 Di samping istilah interest terdapat pula istilah usury

(rente) yang memiliki 2 pengertian, yaitu: 1) Jumlah besar yang melebihi suku

bunga yang sah menurut hukum yang dikenakan atas pinjaman uang, 2) Perbuatan

menetapkan bunga yang melebihi suku bunga yang sah. Perbedaan kedua istilah

tersebut hanya terletak pada tingkat uang yang dikenakan pada peminjam, di mana

usury melebihi suku bunga yang sah, sehingga bunga yang diberikan menjadi

sangat tinggi. Atas dasar itu maka ada satu pendapat yang menyatakan bahwa

orang yang mengharamkan bunga itu telah salah dalam memahami antara kata

interest dan usury.

Meski Komisi Fatwa MUI sudah mengharamkan bunga bank, gaji karyawan

yang bekerja di bank konvensional masih dihitung dalam kondisi darurat, sehingga

masih tidak haram. Namun, di kalangan umat Islam ada yang berpendapat bahwa

bunga bank konvensional tidak sepenuhnya haram.

1. Pendapat yang menganggap bahwa bunga bank adalah riba, sehingga

hukumnya haram. Pendapat ini menganggap bahwa bunga dengan segala

jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.

2. Pendapat yang menganggap bahwa bunga bank itu bisa haram, dan bisa

juga tidak. mereka menganggap bahwa bunga untuk keperluan yang bersifat

konsumtif sama dengan riba dan hukumnya haram. Sedangkan bunga untuk

usaha produktif tidak sama dengan riba, maka hukumnya halal. Bunga yang

diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.

Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih

dahulu secara umum.

3. Pendapat yang menganggap juga bahwa bunga bank hukumnya syubhat,

yaitu perkara yang meragukan atau samar-samar, sehingga tidak identik

dengan haram. Majelis Tarjih Muhammadiyah, dalam beberapa kali

sidangnya pada tahun 1968, 1972, 1976 dar 1989, tidak berhasil

menetapkan secara tegas haramnya bunga bank. Hal serupa juga terjadi

pada NU. Walaupun NU menyatakan bahwa bank dengan sistem riba itu

haram tetapi mereka berpandangan bahwa bunga yang diberikan oleh

lembaga perbankan milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya

yang selama ini berlaku adalah termasuk perkara mustabihat.67

Karakteristik yang unik dari syariat Islam dapat diidentifikasi dari dua sisi.

Pertama, syariat Islam bermuara pada wahyu yang memiliki nilai sakral baik dalam

arti wahyu langsung (al-wahy al-matluw) atau wahyu tidak langsung (al-matluw ghair al-matluw) yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Kondisi ini bermakna

bahwa setiap aktivitas kehidupan manusia dan aturan yang dibuat dalam rangka

menerjemahkan wahyu sudah seharusnya mencerminkan nilai-nilai Ilahiyah,

66 Muhammad, Bank Syari,ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman

(Yogyakarta: Ekonisia, 2003), 28. 67 Ahmad Ifham Solihin, Ini Lho Bank Syariah, 5-6

41

sebagai landasan sentral, namun praktis sejarah menunjukkan bahwa syariat ini

sarat dengan nilai-nilai fleksibilitas, inspiratif dan akomodatif ketika berhadapan

dengan pergumulan dan perkembangan kehidupan sosiologis suatu masyarakat.

Ketentuan tentang Riba merupakan hukum yang bersumber dari wahyu yang

langsung, dan dinyatakan dengan jelas, sehingga tidak ada lagi perdebatan apakah

riba itu halal atau haram, karena sudah dijelaskan bahwa hukumnya haram. Namun

yang sering menjadi perdebatan adalah apakah bunga bank itu termasuk riba yang

haram, ataukah tidak termasuk riba, sehingga hukumnya tidak haram.

Di dalam al-Quran pembahasan tentang riba dinyatakan bersama dengan

pembahasan jual beli, dan al-Quran secara tegas menyatakan bahwa jual beli itu

halal, dan riba hukumnya haram. Hal itu disebabkan karena orang Jahiliah

menganggap jual beli dan riba adalah sama. Allah sangat mencela orang-orang

yang makan riba, karena pemakan riba itu merupakan lintah darat yang sangat

berbahaya bagi masyarakat. Selanjutnya dalam ayat berikutnya Allah SWT memuji

orang-orang yang bersedekah, mengeluarkan zakat dan mengerjakan amal saleh

lainnya, sebagaimana juga memuji orang-orang yang melakukan salat, karena hal

ini selain dari mendapat pahala dari Allah, juga merupakan sarana untuk

pemeliharaan harta benda, karena zakat dan sedekah itu dapat mengurangi

keinginan orang-orang yang tak punya untuk mencuri dan merampok harta orang-

orang kaya. Oleh karena itu pada ayat selanjutnya Allah SWT memerintahkan

kaum mukminin untuk menghentikan pekerjaan riba dan sisanya jangan lagi

dipungut, dan pada surat al-Baqarah ayat 279 memberikan ultimatum perang

kepada mereka yang tidak menghentikan riba itu dan hanya diperbolehkan

mengambil kembali pokoknya saja dan jika yang berutang belum dapat

mengembalikan modalnya, maka perlu ditunggu sampai ia mampu membayarnya

tanpa memungut bunga lagi.68 Allah berfirman:

وان

ورسوله

هن الل وا بحرب م

نذأوا ف

عل

فم ت

لان

ف

مون

لظ ت

ول

لمون

ظ ت

ل

مموالك

م رءوس ا

كلم ف

بت ت

Artinya: Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).

Dengan penjelasan tersebut, harusnya orang Islam menjadi mengerti bahwa

segala sesuatu yang diancam dengan perang, adalah hal yang pokok, dan oleh

karena itu pula dalam ayat 281 diperingatkan sekali lagi, bahwa kalaupun belum

ada balasan di dunia ini, pasti nanti di hari akhirat akan dibalas dengan balasan

yang setimpal. Dan untuk menguatkan haramnya riba ini, Allah kembali

mengingatkan orang-orang yang beriman agar menghindari riba. Allah berfirman

dalam surat Ali-Imran ayat 130 sebagai berikut:

لحو فم ت

كعل ل

هوا الل

قات و

ةعف

ض ا م

عاف

ض

ا ا بو وا الر

لكأ ت

وا ل

منذين ا

ها ال ي

ا ي

ن

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Melihat pada semua ayat al-Quran yang membahas tentang riba, selalu

berhubungan dengan masalah hutang piutang, sehingga dapat disimpulkan bahwa

68 Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999),

105-106

42

mayoritas terjadinya riba adalah dalam transaksi hutang piutang, yang merupakan

operasional utama berdirinya perbankan, karena itulah, maka bank selalu identik

dengan riba.

Riba secara bahasa merupakan sebuah isim (nama) yang memiliki makna

bertambah, membesar, menjadi lebih banyak, tumbuh, berkembang dan naik.69 Di

dalam al-Quran penggunaannya dengan berbagai bentuk kata yang seakar dengan

kata riba mengacu kepada makna leksikal seperti yang terdapat pada beberapa kata,

misalnya dalam bentuk kata kerja lampau raba> artinya bertambah dan

berkembang.70 Raba> al-Ma>l artinya harta itu bertambah atau berkembang.71

Kemudian jika asalnya dari kata Al-Rabiyah maka artinya adalah “bukit” atau

bagian dari bumi yang menggunduk, lebih tinggi, atau naik ke atas.72 Jika dibuat

contoh dalam kalimat raba> fula>n al-Rabiyah, artinya orang itu menaiki bukit.

Dalam bentuk lainnya, berasal dari kata Arba> berarti menumbuhkan atau

mengembangkan, seperti dalam contoh perkataan arba> fula>n al-Shai’ orang itu

menambah dan mengembangkan sesuatu.

Untuk menghindari riba dalam hutang piutang ini, Syariat Islam memberikan

alternatif berupa perubahan akad kerja sama yang disebut dengan musyarakah atau

sistem bagi hasil. Hal ini karena persoalan hutang piutang memang suatu hal yang

sulit dihindarkan oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Dengan sistem bagi

hasil ini maka prinsip keadilan akan terimplementasi dalam kehidupan bersama,

dan tidak ada yang dirugikan, sebab orang yang meminjam uang tidak harus selalu

dianggap untung, tetapi ada kalanya dia rugi, sehingga pengembalian hutangnya

berdasarkan hasil keuntungannya dan tidak tetap selamanya. Sedangkan hutang

piutang yang sifatnya bukan untuk modal usaha, maka bank dapat menggunakan

akad murabahah (akad jual beli) di mana pihak bank bisa mengambil keuntungan

dalam bentuk margin dari penjualan barang, dengan mempertimbangkan

keuntungan yang akan diambil dan biaya-biaya yang timbul,73 dan bukan dari sebab

memberikan hutang.

Sistem perbankan konvensional dianggap sebagai sistem yang tidak adil,

karena dalam transaksi simpan pinjam, pemberi pinjaman mengambil tambahan

dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima seorang

peminjam, kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses

peminjaman tersebut. Yang tampak tidak adil di sini adalah seorang peminjam

diwajibkan untuk selalu, dan tidak boleh tidak, harus untung dalam setiap

penggunaan kesempatan tersebut.74

Di kalangan ulama fikih, istilah riba digunakan dalam dua arti sesuai dengan

bentuk katanya berupa kata benda dan kata kerja. Dalam arti kata benda, maka

69 Rafiq Yunus al-Misri, Al-Jami' Fi Ushuli al-Riba, (Damaskus: Dar al-Qalam,

2001), 9. 70 Ibn Mandhu>r, Lisan al-Arab, Juz XIV (Beirut: Dar Sadir, t.t.), 304. 71 Al-Zamaksyari, Asa>s al-Bala>ghah, Juz 1 (Beirut: Maktabah Lubnan, 1995), 219. 72 Al-Maududi, Al-Riba>, (Beirut: dar al-Fikr, t.t.),. 219. 73 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 17. 74 Ahmad Ifham Solihin, Ini Lho Bank Syariah, 7

43

artinya adalah tambahan atau kelebihan yang dihasilkan oleh salah satu pihak.

Sedangkan jika dalam bentuk kata kerja, riba mempunyai arti perbuatan melakukan

riba. Kata riba dalam firman Allah “La> Takulu> al-riba>", bentuknya adalah kata

benda, maka artinya tambahan atas jumlah yang dibayarkan dalam hutang piutang,

dan kelebihan dalam tukar menukar benda yang mengandung riba dalam akad jual

beli. Adapun kata riba dalam firman Allah “wa ah}alla Allahu al-Bai’a wa H}arrama al-Riba>”, bentuknya adalah kata kerja, sehingga mempunyai makna perbuatan

melakukan riba, maksudnya melakukan penambahan atas jumlah yang harus

dibayarkan dalam hutang piutang atau pinjaman atau memberikan kelebihan atas

suatu jumlah yang tidak ada imbalannya dalam tukar menukar benda yang

mengandung riba.75

Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa riba itu adalah kelebihan yang boleh

dituntut oleh salah satu pihak dalam sebuah transaksi timbal balik dan yang tidak

memiliki imbalan yang disyaratkan dalam akad.76 Menurut ulama syafi’iyah

sebagaimana yang terdapat dalam kitab Mughni al-Muhta>j, dinyatakan bahwa riba

adalah transaksi atas suatu obyek tertentu yang tidak diketahui kesamaannya

menurut ukuran Syar’i pada waktu melakukannya, atau dengan menunda

penyerahan salah satu obyeknya.77 Muhammad Abduh berpendapat bahwa

penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada

orang yang meminjam hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh

peminjam dari waktu yang telah ditentukan disebut riba. Adapun menurut

Abdurahman al-Jaziri yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi dengan

penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau

terlambat salah satunya. Secara garis besar, riba dapat diklasifikasikan dalam dua

bentuk, yaitu:

1. Riba hutang piutang (riba al-Diwan) dan sering pula disebut dengan

riba kredit (riba al qard), riba jahiliah dan riba nasi’ah. Riba jenis ini

merupakan tambahan tanpa imbalan atas hutang, yang disyaratkan oleh

pemberi hutang kepada penerima hutang pada saat penutupan akad atau

pada saat penundaan pembayaran hutang. Di kalangan ahli fikih, riba

ini dikenal dengan riba tenggang waktu atau riba nasi’ah. Riba ini

adalah konsep asli riba yang dikenal sepanjang zaman sejak masa

jahiliyah hingga saat ini, dan termasuk ke dalamnya adalah bunga atas

pinjaman yang dikenal dalam lembaga keuangan kontemporer dengan

denda yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran hutang.

2. Riba jual beli (riba al-Bai’). Pengharaman riba jenis ini ditegaskan di

dalam hadis Nabi. Riba jual beli ini ada dua jenis, yaitu:

a. Riba kelebihan (riba al-fad}l), yaitu kelebihan jumlah dari salah satu

pihak dalam jual beli barang tertentu seperti emas, perak, gandum,

jawawut, kurma dan garam.

75 Muhammad Maulana dan EMK Alidar, Model Transaksi Ekonomi Kontemporer

Dalam Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2020), 190. 76 Al-Marginani, al-Hida>yah fi> Sharh} Bidayah al-Mubtadi’, Juz II (Bairut: al-

Maktabah al-Islamiyah, t.t), 61. 77 Al-Sharbini>, Mughni> al-Muhta>j, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 27.

44

b. Riba penangguhan, yaitu jika dalam tukar menukar barang terjadi

penangguhan penyerahan, baik dari kedua pihak maupun dari salah

satunya, meskipun jumlahnya sama. Apabila terjadi penangguhan

dan pihak yang membayar di belakang membayar dengan jumlah

yang lebih besar, maka terjadi riba nasi’ah. Untuk tukar menukar

bentuk benda yang berbeda, seperti dinar dengan dirham

dibolehkan jumlahnya berbeda, karena perbedaan mata uang, tetapi

tidak boleh ada penangguhan dan bila terjadi penangguhan maka

terjadi riba nasa’. Apabila untuk bentuk yang sama terjadi

kelebihan dan terjadi penangguhan berarti telah terjadi riba nasa’

dan riba fad}l sekaligus dan pertemuan riba fad}l dengan riba nasa’

sekaligus ini menjadikannya berubah menjadi riba nasi’ah.78

Terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh para pendukung bunga

dalam rangka melegitimasi institusi perbankan ini. Sebagaimana yang ditulis oleh

Riza Yulistia Fajar dalam skripsinya yang berjudul Riba dan Bunga Bank Dalam

Pandangan Syafi’i Antonio.79 Adapun teori-teori tersebut antara lain adalah:

a. Teori Abstinence. Teori ini menganggap bunga adalah sejumlah uang

yang diberikan kepada seseorang sebagai imabaln karena pemberi

pinjaman telah menahan diri (abstinence) dari keinginannya

memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan

meminjam. Pengorbanan untuk menahan keinginan, sehingga menunda

suatu kepuasan menuntut adanya kompensasi, dan itu adalah bunga.80

b. Teori Produktif-Konsumtif. Teori ini menganggap setiap uang yang

dipinjamkan akan membawa keuntungan bagi orang yang dipinjaminya.

Jadi setiap uang yang dipinjamkan baik pinjaman produktif maupun

bukan, maka pemberi pinjaman berhak untuk menarik sekian persen dari

keuntungan apa yang telah peminjam lakukan atas pinjaman yang telah

diberikan sebagai imbalan sewa uang.81

c. Teori Opportunity Cost. Teori ini beranggapan bahwa bunga adalah

biaya dari tenggang waktu yang diberikan pemilik uang kepada

peminjam, yang seharusnya ia dapat menggunakan uang tersebut untuk

memenuhi kepentingannya.

d. Teori Penurunan Nilai Uang Pada Masa mendatang dan penurunan daya

beli uang yang disebabkan oleh inflasi. Teori ini menganggap bahwa

bunga adalah selisih nilai (agio) yang diperoleh dari barang-barang pada

78 Yusuf Al-Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis Terj.

(Bogor: Al Azhar Press, 2014), 196. 79 Riza Yulistia Fajar, Ribadan Bunga Bank Dalam Pandangan Muhamnyad Syafi"i

Antonio, Skripsi pada Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, 39. 80 Abdul Wahid al-Faizin Nashr Akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali

Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2018), 65; Riza Yulistia

Fajar, Ribadan Bunga Bank Dalam Pandangan Muhamnyad Syafi"i Antonio, 40. 81 Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-

Qur’an, 65; Riza Yulistia Fajar, Ribadan Bunga Bank Dalam Pandangan Muhamnyad

Syafi"i Antonio, 2009, 41.

45

waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu

mendatang yang akan berkurang.82

Teori-teori yang mendukung bunga bank di atas, jika diperhatikan memiliki

banyak kelemahan. Dalam teori Abstinence misalnya, pada kenyataannya pemberi

pinjaman hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia manfaatkan, pemberi

pinjaman hanya akan meminjamkan uang berlebihan dari yang ia perlukan. Dengan

demikian, sebenarnya pemberi pinjaman tidak menahan diri atas apa pun, karena

itu, seharusnya ia tidak berhak menuntut imbalan atas apa yang tidak dilakukannya.

Selain itu, juga tidak ada standar yang dapat dipergunakan untuk mengukur unsur

penundaan konsumsi dari teori bunga abstinence, meskipun ada, bagaimana

menentukan suku bunga yang adil antara kedua belah pihak. Kemudian, pada teori

Produktif-Konsumtif, kelemahan teori ini adalah pada kenyataan bahwa setiap

penggunaan pinjaman, terdapat dua kemungkinan, yaitu untung dan rugi, sehingga

tidak dasar yang kuat dari pemberi pinjaman dana untuk menarik atau meminta

keuntungan secara tetap setiap bulan ataupun setiap tahun. Adapun kelemahan dari

teori opportunity cost adalah karena waktu, tidak dapat dijadikan patokan bagi

peminjam uang untuk memperoleh keuntungan dalam usahanya. Karena

keberhasilan sebuah usaha dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi

perekonomian suatu negara, dan persaingan usaha yang ada, untuk itu, maka tidak

bisa disama ratakan keuntungan dari setiap usaha, bahkan bisa saja, seseorang

dengan kerja kerasnya akan dapat menghasilkan untung yang besar pada suatu

waktu. Sedangkan kelemahan teori nilai uang yang menurun pada masa yang akan

datang adalah kenyataan bahwa banyak orang yang memilih menunda keinginannya

dan tidak membelanjakan seluruh uangnya, sebagai sarana untuk persiapan masa

depan, hal ini disebabkan karena tidak seorang pun yang dapat menduga apa yang

akan terjadi di masa yang akan datang. Hasil yang nyata dari pemanfaatan waktu

tergantung pada jenis usaha, sektor industri, lama usahanya, kondisi pasar,

stabilitas sosial, politik, dan lain sebagainya.83

Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menafsirkan

ayat-ayat riba dan menentukan hukum bunga bank. Secara global terdapat dua

kelompok pendapat, pendapat yang pertama adalah golongan muharrimun (yang

mengharamkan bunga bank), yaitu pendapat Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah al-

Zuhaili. Dan pendapat kedua menyatakan bahwa bunga bank berbeda dengan riba,

yaitu pendapat Rashid Ridho dan Abdullah Saeed, dan pendapat yang menyatakan

bahwa bunga bank sama dengan riba. Faktor yang menyebabkan terjadinya

perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah cara pandang dan pendekatan

yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat riba.

Muhammad Rashid Ridha berpendapat, bahwa riba yang dilarang dalam surat

al-Baqarah 278 adalah riba yang berlipat ganda, sebagaimana yang dimaksud dalam

82 Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-

Qur’an, 65; Riza Yulistia Fajar, Ribadan Bunga Bank Dalam Pandangan Muhamnyad

Syafi"i Antonio, 43. 83Muhammad Maulana dan EMK Alidar, Model Transaksi Ekonomi Kontemporer

Dalam Islam, 196-199; Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-Qur’an, 65-67.

46

surat Ali Imran ayat 130, sesuai dengan kondisi dan sebab diturunkannya ayat

tersebut. Walaupun demikian, illat (sebab) diharamkannya riba adalah karena

adanya unsur penganiayaan sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah itu.84

Sementara itu, Abdullah Saeed melihat bahwa sistem bunga dalam

perbankan konvensional saat ini, dalam praktiknya bukan termasuk dalam jenis

bunga yang menyebabkan ketidakadilan, apalagi sampai pada terjadinya penindasan

dan penganiayaan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman kepada peminjam dana.

Karena itu, bunga bank yang seperti itu, bukan termasuk kategori riba yang

dilarang, karena tidak menimbulkan dampak buruk, yang menjadi tujuan utama

dalam aspek pelarangan riba dalam Islam.85 Lebih jauh Abdullah Saeed

mengatakan, bahwa sistem perbankan konvensional dengan pinjaman berbunganya,

telah memiliki andil yang besar dalam mendorong kemajuan ekonomi dunia, sebab

banyak manfaat yang bisa didapatkan darinya. Bolehnya pinjaman bunga pada bank

konvensional, menurut Abdullah Saeed didasarkan pada beberapa alasan sebagai

berikut:

a. Bunga bank yang ada saat ini tidak menimbulkan terjadinya

ketidakadilan, sebagaimana yang terjadi dalam praktik riba yang ada

pada masa jahiliyah.

b. Bunga bank memiliki manfaat yang besar dalam mendorong tercapainya

kemajuan dalam masyarakat.

c. Transaksi pinjam meminjam dalam sistem perbankan, umumnya

dilakukan secara jelas, terbuka dan dilindungi oleh undang-undang,

sehingga tidak memungkinkan terjadinya penindasan oleh pemberi

pinjaman kepada penerima pinjaman.

d. Pada masa sekarang, seorang yang akan mengajukan suatu pinjaman

kepada bank, telah memperhitungkan dengan teliti, apakah ia akan

mampu mengembalikan modal pinjaman beserta bunganya atau tidak.

Selain didasarkan pada alasan-alasan di atas, persetujuan Abdullah Saeed

terhadap bolehnya bunga bank, ditemukan juga dalam pemikiran-pemikirannya

yang memang lebih condong menyetujui pemikiran-pemikiran beberapa sarjana

modern lainnya yang memperbolehkan pinjaman dengan bunga pada bank

konvensional, seperti pandangan Fazlur Rahman, yang menekankan pada aspek

kontekstual antara situasi pada masa jahiliyah dengan situasi pada saat ini yang

telah berbeda konteks penerapannya.86

Berbeda dengan pendapat di atas, Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa

sebetulnya masalah seputar riba ini, adalah sebuah permasalahan yang telah selesai

pembahasannya sejak seperempat abad yang lalu. Hal itu ia utarakan pada saat

mengisi seminar yang diselenggarakan oleh forum ekonomi Islam di Kairo, Mesir.87

84 Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Juz IV (Beirut: dar al-ma"rifah, t.t). 113-114. 85 Wartoyo “Bunga Bank: Abdullah Saeed Vs Yusuf al-Qardhawi,” La Riba: Jurnal

Ekonomi Islam, No. 1, Vol. IV, Juli (2010), 125. 86 Wartoyo “Bunga Bank: Abdullah Saeed Vs Yusuf Oardhawi,” LA . Riba: Jurnal

Ekonomi Islam, No. 1, Vol. IV, Juli, 2010, 126. 87 Yusuf-Al-Qardhawi, Fawaidu al-Bunuk hiya al-Riba al-Haram, (Kairo: Da>r al-

S}ahwah, 1990), 13

47

al-Qardhawi, menyatakan bahwa Islam secara tegas telah mengharamkan riba dan

secara keras melarangnya. Pengharaman dan pelarangan itu, didasarkan atas nas-

nas yang sudah pasti (qat}’i) baik di dalam al-Quran maupun sunah, yang tidak bisa

lagi ditafsirkan ataupun ditakwilkan berbeda, meskipun dengan alasan ijtihad dan

pembaharuan hukum. Sebab tidak ada ijtihad dalam setiap permasalahan yang telah

terdapat kepastian hukumnya, yang ditetapkan dengan dalil (qat}’i wa thubu>t al-Dila>lah), dan secara ijmak seluruh umat baik dari generasi terdahulu, maupun

generasi belakangan. Al-Qardhawi juga mengatakan bahwa pada prinsipnya, dalam

menyikapi masalah riba ini, Islam tidak berbeda dengan sikap yang diperlihatkan

oleh agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi misalnya, terdapat aturan

yang jelas mengenai riba, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian lama,

“jika temanmu meminta pinjaman, maka penuhilah (berikanlah), jangan menuntut

darinya keuntungan juga manfaat. Kemudian di dalam agama Kristen juga ada

larangan riba, sebagaimana terdapat dalam kitab Injil Lukas dikatakan: “berbuat

baiklah, dan pinjamkanlah dan jangan kalian menunggu untuk (mengambil)

pembayarannya, sehingga (itu) menjadi pahala yang banyak bagi kalian”. Namun

sangat disayangkan karena telah terjadi penyelewengan dalam penafsiran isi dari

kitab perjanjian lama, yang menjadikan kata “temanmu” sebagai sebuah

pengkhususan, yang hanya berlaku bagi orang-orang Yahudi, dan kemudian

dijelaskan dalam kitab Ulangan “Bagi orang-orang asing engkau boleh

meminjamkan dengan riba, tetapi bagi saudaramu (sesama Yahudi) janganlah

engkau pinjamkan dengan riba”.88

Islam telah melarang setiap jalan yang dapat menimbulkan perkembangan

harta melalui jalan riba, sebab Islam telah mengharamkan riba, baik itu sedikit

ataupun banyak, dan begitulah pula yang telah dikecam oleh al-Qur’an terhadap

orang-orang Yahudi yang masih saja mengambil riba, padahal mereka telah

dilarang untuk itu. Hal ini sebagaimana telah dikemukakan dalam beberapa ayat

dalam surat al-Baqarah yang turun pada akhir periode penurunan wahyu, yang

menjelaskan tentang hal tersebut. Untuk mengetahui dan memahami aspek

keharaman dan pelarangan riba ini, cukuplah bagi setiap muslim membaca ayat

tersebut, dan terlihat betapa kerasnya ancaman yang dijanjikan Allah dalam ayat

itu, yang merupakan ayat-ayat muhkamat yang ketentuan hukumnya sudah pasti,

dan tidak membutuhkan interpretasi lebih jauh.

Yusuf al-Qardhawi juga menyatakan bahwa keterangan yang menunjukkan

kezaliman dan keterangan yang menunjukkan jenis tertentu serta keterangan yang

menunjukkan keumuman, maksudnya sudah jelas dan terang, yaitu mengharamkan

seluruh jenis riba. Seandainya pengertian riba masih kabur, niscaya Allah akan

menerangkan kepada mereka. Sedangkan ayat ini tidak lagi mendefinisikan kata

riba, mengingat sudah lazim dikenal secara umum. padahal penjelasan yang datang

lebih akhir dari waktu yang dibutuhkan, tidak dibolehkan dalam kaidah hukum

Islam, sehingga dengan demikian, riba yang dimaksud tidak memerlukan penjelasan

lebih jauh. Mengenai penjelasan riba dalam ungkapan berlipat ganda, sebagaimana

88 Yusuf al-Qardhawi, Al-H}ala>l wa al-H}ara>m fi al-Isla>m, (Beirut: Maktabah al-

Isla>mi>, 1990), 241

48

yang terdapat dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 130, berlipat ganda itu bukanlah

dari syarat pelarangan berbuat riba. Sebagaimana diketahui, bahwa bagi orang yang

ahli dalam bidang bahasa arab, dan memahami retorikanya, mengetahui bahwa sifat

riba yang disebutkan dalam ayat ini adalah dalam konteks menerangkan kondisi

objektif dan sekaligus kecaman terhadapnya, di mana mereka (masyarakat pada

masa itu) telah sampai pada tingkatan ini, dengan mempraktikkan riba yang

berlipat ganda.89

Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa bunga bank termasuk dalam riba.

Baik sedikit maupun banyak. Hal itu karena pekerjaan asli bank adalah meminjam

dan memberikan pinjaman. Misalnya, bank akan memberikan bunga sebesar 4 atau

5, kepada pihak yang memberi pinjaman padanya dan mengambil bunga 9-12 kali

dari pihak yang meminjam darinya. Pernyataan bahwa bank hanya sekedar

perantara antara penyimpan uang dan peminjam lalu mendapatkan upah dari

tugasnya sebagai perantara ini adalah tidak benar. Hal itu karena bank tidak boleh

melakukan kegiatan investasi, ia tidak membagi keuntungan atau kerugian dengan

para nasabah yang menyimpan uang dan tidak pula mendapat keuntungan dan

kerugian dari proyek yang dijalankan oleh peminjam.90 Selain itu, haramnya juga

karena persentase bunga yang telah ditentukan sejak awal, baik bagi nasabah

maupun bagi peminjam. Mudarat bunga terwujud secara jelas, sehingga hukumnya

adalah haram, bunga seperti riba dan dosanya seperti dosa riba.91

Adapun keputusan dan Fatwa-fatwa berbagai lembaga Islam pada tingkat

Internasional maupun nasional menyatakan bahwa bunga adalah riba. Lembaga-

lembaga yang memutuskan haramnya bunga bank tersebut antara lain adalah:

a. Keputusan muktamar II lembaga penelitian Islam al-Azhar, Kairo, pada

bulan Muharam 1385 H/ Mei1965 M.92

b. Keputusan Muktamar Bank Islam II, di Kuwait, pada tahun 1403 H/ Mei

1965.

c. Keputusan Muktamar II Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi

Islam (OKI), di Jeddah, pada 10-16 Rabiul akhir tahun 1406/22-28

Desember 1985.

d. Keputusan sidang IX Dewan Lembaga Fikih Islam, Rabitah Alam al-

Islami, di Makkah, pada 19 Rajab 1406 H/ 1986 M.

e. Fatwa Komite Fatwa al-Azhar, pada 28 Februari 1988.

f. Fatwa Dar al-Ifta’ Mesir pada 20-02-1989.93

g. Keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor 08 Tahun

89 Yusuf al-Qardhawi, Fawa>id al-Bunu>k Hiya al-Riba> al-Hara>m (Kairo: Da>r al-Wafa>,

1990), 40-43. 90 Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillaruhu, ter. Abdul Havvie al-Kattani, dkk,

Judul asli, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 343. 91 Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillaruhu, ter. Abdul Havvie al-Kattani, dkk,

Judul asli, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuhu, 344. 92 Yusuf al-Qardhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba> al-Hara>m (Kairo: Dar al-

S}ahwah wa at-Tauzi', 1990), 29. 93 Yusuf al-Qardhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram (Kairo: Da>r al-

S}ahwah wa at-Tauzi', 1990), 149

49

2006.94

h. Keputusan Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004.95 Keputusan MUI ini

dilandaskan pada fatwa-fatwa internasional di atas.96

Perbedaan pendapat tentang seputar hukum bunga bank di kalangan para

ulama dan cendekiawan muslim sebagaimana yang telah disebutkan di atas tidak

lepas dari adanya faktor-faktor yang melatar belakangi pendapat dan argumentasi

yang telah mereka bangun. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya

perbedaan pendapat di antara kalangan para ulama tersebut adalah cara pandang

atau pendekatan yang mereka pergunakan. Para ulama yang memandang bahwa

bunga bank itu tidaklah haram dan berbeda dengan riba lebih memperhatikan pada

aspek moral sebagai bentuk pelarangan riba dan mengesampingkan aspek legal

formal dari larangan riba sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum Islam.

Argumentasi mereka adalah sebab dilarangnya riba karena menimbulkan

ketidakadilan, sebagaimana dalam al-Quran diungkapkan “La> tadhlimu>na wa La> Tudhlamu>na”.97

Adapun pandangan yang mengatakan bahwa bunga bank itu adalah haram

dan sama dengan riba, lebih menekankan kepada bentuk legal dari riba sebagaimana

diungkapkan dalam hukum Islam dan ditegaskan bahwa pernyataan yang

ditetapkan di dalam al-Quran harus diambil maknanya secara harfiah, tanpa

memperhatikan apa yang dipraktikkan di dalam periode pra Islam. Menurut

pandangan ini, karena al-Quran telah menyatakan bahwa hanya uang pokok yang

diambil, maka tidak ada pilihan kecuali sesuai dengan pernyataan itu.98

Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa para ulama mempunyai

pandangan yang berbeda-beda bahkan cenderung sangat bertolak belakang namun

tidak bisa dipungkiri bahwa argumentasi dari seluruh ulama yang telah dijelaskan

di atas sama-sama rasional. Setelah dilakukan analisis secara mendalam terhadap

beberapa argumen dan pendapat para ulama maka penulis menyimpulkan bahwa

pendapat dari Rashid Ridha dan Abdullah Saeed tidak bisa dijadikan pijakan karena

pendapat tersebut kurang kuat. Pendapat Rashid Ridha yang menyatakan bahwa

riba yang dilarang dalam al-Qur’n hanyalah riba yang berlipat ganda saja tidak

dapat dijadikan pijakan karena pada proses penurunannya lafal berlipat ganda turun

sebelum riba benar-benar diharamkan apa pun bentuk dan jenisnya sama halnya

dengan kasus pelarangan minuman keras yang pada akhirnya al-Quran melarangnya

dengan tegas. Menurut Syeikh Umar bin Abdul Aziz al-Khayyath sebagaimana

yang dikutip oleh Dwi Condro Triono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

ayat 130 surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya

sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus demikian banyak. Ayat

ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum yang mempunyai

94 Himpunan Putusan Tarjih,. 370. 95M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syari’ah (Jakarta: Ul-Press, 2011), 140. 96 Kumpulan fatwa tersebut dapad dilihat dalam Abdel Hamid el Ghazali, Profit

Versus Bank Interest in Economic Analysis and Islamic Law (Jeddah: Islamic Research and

Training Institute and Islamic Development Bank, 1994), 33-55. 97 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,), 73. 98 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, 87.

50

kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu.

Dengan demikian redaksi berlipat-lipat menjadi sifat umum dari riba dalam

terminologi syara’.99

Di dalam kitab al-‘lja>b fi> Baya>ni al-Asba>b terdapat isyarat bahwa ayat ini

turun dalam konteks perang uhud, dan ayat ini menegaskan pelarangan riba secara

tegas.100 Frasa berlipat ganda yang terdapat di dalam ayat tersebut bukan suatu

keterangan kualifikasi hukum, sehingga tidak menimbulkan paham bahwa riba

sedikit atau tidak berlipat ganda hukumnya boleh. Frasa tersebut hanya

menyatakan kebiasaan yang ada pada masa jahiliah, di mana praktik riba itu selalu

berlipat ganda. Selanjutnya pendapat Abdullah Saeed yang mengatakan bahwa

jenis bunga yang ada pada bank konvensional tidaklah mengandung kezaliman dan

penindasan sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliah, pendapat ini juga sangat

lemah karena pada praktiknya di dalam bunga bank terdapat banyak sekali unsur

kezaliman. Hal itu bisa dilihat pada seseorang yang gagal dalam mengelola uang

hasil pinjamannya ke bank. Di samping ia harus mengembalikan pokok modal

tersebut dan dituntut untuk mengembalikan tambahan (bunga) yang telah

disepakati. Hal ini juga sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang

terkandung dalam ajaran Islam yang mengajarkan sistem bagi hasil dan sama sekali

tidak menghendaki tambahan dalam pinjaman.

Berkaitan dengan pendapat Yusuf al-Qardhawi dan Wahbah al-Zuhaili yang

menyatakan bahwa bunga bank itu adalah haram lebih kuat apabila dibandingkan

dengan pendapat Rashid Ridho dan Abdullah Saeed sebagaimana yang telah

dijelaskan bahwa al-Quran tidak pernah memberi batasan dalam masalah riba baik

jumlahnya sedikit ataupun banyak. Menurut al-Qardhawi, al-Quran dan hadis sudah

sangat terang dalam menjelaskan permasalahan riba ini, yang tidak lagi

membutuhkan pemahaman lebih mendalam atau penafsiran berbeda untuk

mengetahui riba seperti apa yang dilarang dalam Islam.

D. Maslahat Sebagai Tujuan Pemberlakuan Syariat

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dalam rangka penegakan hukum

diperlukan adanya kekuasaan, karena itu, maka diperlukan peran negara sebagai

organisasi kekuasaan (machts organisatie) yang akan melaksanakan dan

menegakkan hukum. Saiful Mujani mengutip perkataan Hasan al-Banna yang

menyatakan bahwa sebuah pengakuan tiada Tuhan selain Allah oleh seseorang,

berarti mewajibkan seseorang untuk bergantung pada hukum Allah dalam setiap

aspek kehidupannya, karena itu, mendirikan pemerintahan Tuhan di atas muka

bumi adalah suatu kewajiban dalam urusan politik umat Islam.101

99 Dwi Condro Triono, Ekonomi Islam Madzhab Hamfara: Ekonomi Pasar Syariah

(Yogyakarta: Irtikaz, 2017), 112; Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa

Greace Haque Fawzi, Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta:

Bumi Aksara, 2011), 139. 100 Ibn Hajar al-‘Asqala>ini, al-‘lja>b fi> Baya>ni al-Asba>b J.1 (Kairo: Da>r Ibn al-Jaqzi,

tth), 139. 101 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi

Partai Politik di Indonesia Pasaca Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007), 59.

51

Dalam pandangan Sayyid Qut}ub (1906-1966) Islam adalah suatu sistem yang

mengatur kehidupan secara menyeluruh, dalam pandangannya, syariat Islam

merupakan satu-satunya alternatif terhadap sistem-sistem barat yang harus dipilih

oleh setiap muslim. Negara dan pemerintah Islam menurut Qut}ub terdiri atas tiga

asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara rakyat

dan penguasa.102 Pemerintahan yang tidak mengakui syariat Islam meskipun

dilaksanakan oleh organisasi yang menamakan dirinya Islam atau mempergunakan

label Islam, tidak dapat dikatakan sebagai pemerintahan Islam. Muhammad Rasyid

Ridha (1865-1935) berpandangan bahwa penerapan hukum Islam memerlukan

sebuah pemerintahan Islam, karena hukum merupakan sebuah produk dari

musyawarah antara penguasa dan ulama. Ridha juga menegaskan perlunya

memulihkan kekhalifahan yang murni yang merujuk kepada zaman nabi dan 4

khalifah setelah beliau.103

Ridwan yang mengutip pernyataan Karen Amstrong mengatakan bahwa pada

akhir abad ke-20, agama akan menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan. Hal

yang dianggap mustahil oleh banyak orang pada tahun 1950 sampai tahun 60-an, di

mana kelompok sekuler memiliki anggapan bahwa agama hanyalah takhayul dan

bualan yang bersifat primitif yang tumbuh dan berkembang pada manusia rasional

dan beradab.104 Apa yang menjadi prediksi kaum sekuler itu, saat ini malah terjadi

sebaliknya, prediksi tersebut meleset, di penghujung abat ke-20, di mana manusia

kembali melirik agama sebagai alternatif yang menjanjikan akan kebahagiaan

hidup. Nilai-nilai yang telah diabaikan oleh modernisme dirindukan kembali, agama

telah mendapatkan tempatnya kembali di hati manusia.

Ali> Abdurra>zi>q (1888-1966) menegaskan bahwa Islam tidak menetapkan

terhadap suatu rezim tertentu dan tidak pula mendeklarasikan kepada kaum

muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu,105 tetapi Islam justru memberikan

kebebasan kepada pemeluknya untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan

intelektual, sosial dan tuntutan zaman. Ali> Abdurra>zi>q berpendapat bahwa tidak

ada petunjuk yang jelas baik dalam al-Qur’a>n maupun as-Sunnah tentang ketentuan

suatu bentuk sistem pemerintahan dalam Islam. Hal ini senada dengan pendapat

Muhammad Abu> Zahra> yang mengatakan bahwa pembagian negara kedalam Da>rul Isla>m dan da>rul H}arb tidaklah berdasarkan pada sunah tetapi merupakan hasil

analisis dan ijtihad para ulama.106 Dalam konteks ini Abdurra>zi>q menegaskan

bahwa khilafah bukanlah rezim agama, dan Ia juga tidak memberikan legitimasi

pada sistem demokrasi dan sistem politik lainnya.

102 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di

Indonesia, 71. 103 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran

(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1933), 126-127. 104 Ridwan, Islam dan Negara: Telaah Kritis Terhadap Artikulasi Politik Islam

Dalam Negara (Banda Aceh: LKAS, 2011), 91. 105 Leonard Bidner, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies

(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 131. 106 Muhammad Abu Zahrah, al-‘Alaqat al-Dauliyyah fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Fikr

al-Arabi>, tt), 53.

52

Seorang cendikiawan muslim terkenal dari Mesir yang bernama T}a>ha> Husein

mengatakan bahwa negara yang di dirikan oleh Nabi Muhammad bukanlah negara

teokrasi, sebab banyak perkara-perkara penting yang di hadapkan kepada

Rasulullah dan diputuskan dengan mempertimbangkan atas tradisi dan aspirasi

masyarakat Arab yang tidak bertentangan dengan Islam.107 Dalam persoalan

penyatuan agama dan negara, T}a>ha> berpendapat bahwa hal itu tidak akan bisa,

menurutnya sistem negara dan agama adalah dua hal yang berbeda, kesamaan

agama dan agama tidak akan dapat bergandengan tangan dengan kesamaan politik

dan bukan juga merupakan tiang penopang tegaknya negara, menurutnya negara di

dirikan atas kepentingan praktis yang tidak memperhatikan agama.108

Sedangkan Abdullah Ahmad An-Na’i>m menyatakan bahwa syariat bukanlah

keseluruhan dari Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi dari teks

dasarnya sebagaimana dipahami oleh konteks historis tertentu. Pandangan ini

menolak prinsip penyatuan total dan tuntas antara ajaran Islam atau syariat dengan

realitas kehidupan para pemeluknya, sebagaimana dianut oleh kelompok

fundamentalis Islam dalam gerakan Islam kontemporer.109 An-Na’i>m menyatakan

bahwa aturan-aturan syariat tidak dapat di berlakukan secara formal oleh negara

sebagai hukum dan sebagai kebijakan publik, karena aturan-aturan tersebut adalah

bagian dari syariah, dan negara tidak perlu berusaha untuk menerapkan syariat

Islam secara formal.110

Berbeda dengan pendapat Muhammad An-Na’i>m, Sa’i>d al-Ashma>wi> dengan

tegas menolak pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama

dan negara, dan dia memberikan empat kesimpulan, pertama, bahwa sistem

pemerintahan yang dipraktikkan oleh negara-negara Islam adalah bagian dari

agama, kedua, politik adalah bagian dari agama, sehingga dapat dikatakan bahwa

aktivitas politik adalah aktivitas agama, ketiga, Mendirikan negara Islam yang

memberlakukan syariat Islam dalam negara adalah kewajiban, keempat, dasar atau

asas negara-negara Islam adalah sistem Islam, sistem moral Islam dan budaya

Islam, dan apabila yang dimaksud dengan konsepsi Islam adalah negara agama,

maka bagi al-Ashma>wi>, itu adalah suatu kekeliruan yang besar dalam memahami

Islam, karena al-Qur’an dan hadis tidak membuat ajaran normatif secara tekstual

yang berkaitan dengan sistem politik, sehingga sistem pemerintahan dalam Islam

bersumber bukan bersumber dari kehenak Tuhan, tetapi dari kehendak manusia.111

107 Yuni Roslaili, “Formalisai Hukum Pidana Islam di Indonesia (Analisis Kasus

Penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam” (Disertasi, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2009), 54. 108 John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam and Transition: Muslim

Perspectives, terj. Machnun Husain, Islam dan Pembaharuan (Jakarta: Rajawali Press,

1994), 110. 109 Abdullahi Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syariat: Wacana Kebebasan, Hak

Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Terj. (Yogyakarta: LkiS, 2001),

xxi. 110 Abdullah Ahmad An-Na’im, Islam and The Secular State: Negotiating The

Future of Shari’a (London: Harvard University Press, 2008), 15-17. 111 Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat di Aceh dan Kelantan, 27.

53

Perdebatan pemikiran berkaitan dengan politik, hukum, negara, dan agama

masih terus terjadi di kalangan para sarjana, termasuk di Indonesia. Sebagian

pemikir dan penggiat politik berpendapat bahwa Islam telah mengajarkan secara

lengkap tentang ketentuan hukum yang harus di berlakukan dalam kehidupan

bernegara, sehingga harus diikuti sepenuhnya. Nurcholish Madjid berpendapat

bahwa fundamentalisme Islam lebih berbahaya daripada narkotika, ia

menyampaikan pemikiran tentang bahayanya “organized religion” dan

fundamentalisme agama. Menurut Nurcholis fundamentalisme adalah musuh yang

harus diwaspadai, karena fundamentalisme dalam agama tertentu menyebabkan

munculnya gagasan-gagasan palsu yang bersifat menipu. Saat ini, fundamentalisme

telah menjadi sumber kekacauan dan penyakit mental baru di masyarakat. Akibat-

akibat yang ditimbulkannya jauh lebih buruk dibandingkan dengan masalah-

masalah sosial lainnya yang sudah ada, seperti kecanduan minuman keras dan

penyalahgunaan narkoba.112 Selain Nurcholis, Adian Husaini berpendapat bahwa

pelaksanaan syariat Islam yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya

hipokrisi, karena ketaatan pada syariat yang disebabkan oleh paksaan negara hanya

merupakan sebuah ketaatan yang semu, dan agama pada intinya harus menjadi

wilayah yang otonom dari negara.113

Sedangkan KH. Abdurrahman Wahid secara tegas menyatakan bahwa

feodalisme agama dapat menciptakan keresahan antar umat beragama, karena itu

Gus Dur menentang formalisasi syariat atau menjadikan Islam sebagai hukum

negara. Menurunya, penggunaan masa lampau sebagai acuan, membuat kaum Islam

formalis tidak mampu memandang realitas secara obyektif. Realitas masa kini

dilihat dengan kaca mata masa lalu, sehingga persepsinya mengalami distorsi dan

anakronistis. Kaum Islam formalis disebutnya hanya melihat Islam dari aspek ritual

yang wajib dilaksanakan, dipertahankan, dan bahkan diperjuangkan sampai titik

darah penghabisan, sehingga semua yang berlabel Islam harus menjadi prioritas.

Konsekuensi logis dari sikap ini adalah Islam menjadi sebuah gerakan komunal, sektarian dan feodal yang kehilangan peran vitalnya.114

Berbeda dengan pemikiran Gus Dur, kelompok Islam politik, Islam Formal

dan Islam Eksklusif berpendapat bahwa ajaran Islam sudah mencakup berbagai

bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum internasional, dan

semuanya siap dioperasionalkan sebagai paket yang given yang harus diikuti oleh

setiap pemeluk Islam.115 Pendapat semacam ini dianut oleh kelompok Islam Politik,

Islam Formal atau Islam Eksklusif atas dasar firman Allah QS al-Ma>idah ayat 44

yang berbunyi: “.......Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.

112 Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat: Penerapan Hukum Rajam di

Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global, (Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar 2001), 166. 113 Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat: Penerapan Hukum Rajam di

Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global, 168. 114 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2008), 240. 115 Mahfud MD, “Bernegara dan Berhukum dalam Islam”, xii.

54

Di sisi lain ada penggiat politik muslim yang menganut paham yang lebih

moderat dan akomodatif terhadap realita perbedaan dan pluralitas masyarakat.

Paham ini sering disebut sebagai penganut gerakan Islam Kultural, Islam

Substantif, Islam Inklusif atau Islam Kosmopolit. Mereka berpendapat bahwa

hukum Islam yang harus diperjuangkan pemberlakuannya dalam hidup bernegara

itu bukan norma-norma tekstual atau aspek hukum fik}ihnya, melainkan makna-

makna subtantif atau asas-asasnya. Menurut pendapat ini “barang siapa yang tidak

berhukum dengan prinsip hukum (yakni keadilan) seperti yang diperintahkan Allah, maka orang itu kafir”. Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum Islam

terlebih dalam bentuk fik}ih tidak ada yang bersifat mutlak, sehingga tidak harus

diikuti seperti apa adanya, dan yang lebih penting adalah penerapan prinsip

keadilan.116

Uraian di atas menggambarkan perbedaan pendapat tentang pemberlakuan

syariat dalam sebuah negara, namun semua sepakat bahwa pembentukan negara

bertujuan untuk kemaslahatan rakyat, dan syariat diturunkan oleh Allah juga untuk

kemaslahatan umat manusia. Kerelaan para pendiri bangsa untuk mewajibkan

pelaksanaan syariat dalam dasar negara juga didasarkan atas maslahat, yakni

persatuan dan kesatuan. Untuk itu, penting sekali untuk mengukur maslahat yang

ditimbulkan dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh dalam bidang perbankan.

Berkaitan dengan maslahat, para ulama’ sepakat bahwa syariat Islam yang

dilaksanakan dengan baik akan membawa kepada kemaslahatan. Dan salah satu

prinsip penerapan syariat Islam adalah maslahat.117 Bahkan Imam al-Syatibi

menyatakan bahwa di mana-pun ada maslahat, maka di sana ada syariat Allah. Dari

sini, tampak sekali hubungan erat antara syariat dengan maslahat. al-Ghazali

menjelaskan bahwa maslahat adalah memelihara tujuan hukum Islam, yaitu:

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia. Lima hal tersebut

merupakan kebutuhan primer dalam hidup manusia. Dengan lima hal tersebut,

manusia akan memperoleh kemaslahatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki,

lahir batin, material spiritual, dan dunia akhirat. Oleh sebab itu, maka setiap hal

yang dimaksudkan untuk memelihara lima hal tersebut, dan setiap hal yang

bertujuan untuk menghindarkannya dari bahaya yang mengancamnya, disebut

sebagai maslahat.118

Dilihat dari aspek kualitas dan tingkat kepentingan, para ulama’ membagi

kemaslahatan dalam 3 bentuk sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya, yaitu:

1) D}aruriyyah, ini merupakan kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya

kehidupan dasar manusia, baik yang terkait dengan agama maupun dunia,

dan jika tidak ada, maka hidup manusia akan kehilangan nikmat.119

Maslahat ini adalah semua hal yang menjamin terwujud dan

terpeliharanya maksud dari tujuan syariat. Dalam konsep maqa>s}id al-

116 Mahfud MD, “Bernegara dan Berhukum dalam Islam”, xiii. 117 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep

(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 43. 118 Al-Ghazali, al-Mus}tas}fa> Juz.1 (Bairut: Da>r al-Fikr, tth), 286-287. 119 Muhammad Mustafa Shalabi, Ta’lil al-Ahkam, cet. 2, (Beirut: Dar al-Nahdah al-

Arabiah, 1981), 282.

55

Shari>’ah pemenuhan kebutuhan seseorang harus mengutamakan the basic need terlebih dahulu, karena jika tidak terpenuhi akan membawa

kerusakan pada seseorang, dan setelah kebutuhan ini tercapai, baru boleh

berpindah kepada hajjiyyah dan tah}si>niyyah.120

2) Hajjiyyah, maslahat ini mencakup segala persoalan yang dibutuhkan oleh

manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi,

dan untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup.121

3) Tah}si>niyyah, kemaslahatan ini sifatnya sebagai pelengkap untuk

memelihara sesuatu yang baik, seperti dalam budi pekerti dan keindahan

yang lainnya, sehingga, apabila kemaslahatan tersebut tidak dapat

realisasikan dalam kehidupan, tidak akan berdampak pada munculnya

kesulitan hidup, dan rusaknya tatanan kehidupan manusia.122

Fathurrahman Djamil (2013), menjelaskan bahwa maslahat memiliki 5

indikator, yaitu:

1) Menghasilkan kesejahteraan,

2) Mewujudkan kebahagiaan,

3) Memberikan keuntungan,

4) Memberikan kemudahan,

5) Menyebabkan keringanan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka 5 (lima) indikator di atas akan

digunakan oleh penulis untuk mengukur maslahat yang dihasilkan dari

pemberlakuan syariat Islam di Aceh melalui qanun-qanun yang telah diterbitkan,

dan secara khusus akan difokuskan pada qanun No. 11 tahun 2018 tentang

Lembaga Keuangan Syariah, dengan kerangka konsep gambar bagan di bawah ini:

Gambar Bagan 2 :

5 (lima) indikator maslahat yang di kaitkan dengan Maqosid Al-Syari’ah

Sumber: Data olahan sendiri (2021)

120 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Perspektif Maqa>s}id al-Shari>’ah (Jakarta: Kencana, 2014), 175. 121 Abu Ishaq al-Shatibi, Al-Muwafaqat Fi Usul al-Shari‘ah, cet. 3, (Beirut : Dar al-

Makrifah, 1997), 2: 326. 122 Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 220-

222; Yusuf Hamid al-‘Alim, al-Maqasid al-’Ammah Li al-Shari‘ah al-Islamiyyah, (Riyadh:

al-Dar al-‘Alamiah Li al-Kutub al-Islami, 1994), 164.

Tujuan

Syariah/

Maqasid

al-Syari’ah

1. Menjaga

Agama

2. Menjaga Jiwa

3. Menjaga Akal

4. Menjaga

Keturunan

5. Menjaga Harta

M

A

S

L

A

H

A

T

Kesejahteraan

Kebahagiaan

Keuntungan

Kemudahan

Keringanan

56

Diagram di atas menggambarkan bahwa syariat Islam memiliki 5 tujuan, dan

semua tujuan itu adalah demi kemaslahatan manusia. Maslahat memiliki 5

Indikator, yang merupakan dampak atau manfaat dari penerapan syariat dalam

kehidupan. Masalah perbankan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia pada saat ini, oleh karena itu, perbankan bisa dikategorikan

dalam maslahat yang bersifat daruriyyah, yang harus ada dan sangat penting, untuk

itu, maka harus betul-betul bisa mendatangkan maslahat untuk manusia. Hal ini

sesuai dengan penjelasan Nugroho, Hidayah dan Badawi bahwa perbankan syariah

memiliki 3 prinsip dalam operasionalnya, yaitu:

1. Falah: Terciptanya tatanan masyarakat sipil yang berperadaban dengan

pemenuhan aspek fisik, ilmu dan teknologi, serta realisasi aspek

spiritual-iman yang didukung oleh ekosistem keuangan berbasis syariah.

2. Maslahah: Keberadaan bank syariah adalah untuk memberikan

keuntungan dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat

3. Maqa>sid al-Shari>’ah: Fungsi bank syariah adalah untuk

mengimplementasikan tujuan syariah, yaitu: Menjaga Agama, Menjaga

Jiwa, Menjaga Akal, Menjaga Keturunan, dan Menjaga Harta.123 Bank

syariah, sesuai dengan prinsip, fungsi dan tujuannya telah memenuhi 5

tujuan dari syariat Islam.

Adanya perbankan syariah merupakan salah satu dari tujuan syariat yang 5

itu, khususnya dalam aspek menjaga harta. Meskipun pada hakikatnya semua harta

benda itu milik Allah, namun Islam juga mengakui kepemilikan pribadi. Karena

tabiat manusia sangat tamak terhadap harta benda, maka dia ingin memiliki banyak

harta dengan usaha apa pun, karenanya Islam mengatur persoalan usaha ini dengan

aturan muamalat, agar tidak terjadi benturan antara satu orang dengan lainnya.

Aturan muamalat tersebut mencakup jual beli, sewa menyewa, pegadaian, kerja

sama usaha, dan lain sebagainya. Dalam semua aturan itu, Islam melarang

penipuan, riba, dan mewajibkan kepada orang lain yang merusak harta atau benda

orang lain untuk membayarnya, bahkan jika yang merusaknya adalah anak yang di

bawah umur, ataupun binatang peliharaan.124 Dengan demikian, maka dengan

penerapan syariah dalam bidang perbankan, seseorang telah menjaga hartanya agar

terjaga dari yang haram ataupun syubhat. Hal ini, karena dalam praktik perbankan

konvensional masih terdapat unsur bunga yang dianggap riba, dan dilarang oleh

syariat.

123 Lucky Nugroho, Ahmad Badawi, dan Nurul Hidayah, “Discourses of Sustainable

Finance Implementation in Islamic Bank (Cases Studies in Bank Mandiri Syariah 2018)” Internasional Journal of Finansial Research Vol, 10, No. 6 (2019), 108-117.

124 Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara,

1999), 101.

57

BAB III

KOTA BANDA ACEH

DAN LEMBAGA PERBANKANNYA

A. Profil Kota Banda Aceh

Banda Aceh adalah ibu kota Provinsi Aceh, dahulu Namanya Bandar Aceh

Darussalam yang berkaitan dengan kegemilangan Kerajaan Aceh di masa lalu.

Banda Aceh dibangun oleh Sultan Johan Syah pada tanggal 1 Ramadhan 601

Hijriah atau 22 April 1205 Masehi. Usia Banda Aceh saat ini adalah 813 tahun.

Kota ini merupakan salah satu dari kota Islam Tertua di Indonesia bahkan di Asia

Tenggara. Banda Aceh memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran

Islam di seluruh Nusantara, dan dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah karena

dianggap sebagai pintu masuknya Islam ke Nusantara untuk pertama kalinya. Pada

masa kejayaan Kesultanan Samudra Pasai, Banda Aceh dikenal sebagai kota

regional utama yang juga disebut sebagai kota yang menjadi pusat pendidikan

Islam. Karena itulah maka Banda Aceh banyak dikunjungi oleh para pelajar dari

Timur Tengah, India dan Negara-negara lainnya. Pada masa itu, Bandar Aceh

Darussalam merupakan pusat perdagangan yang menjadi destinasi para pedagang

seluruh dunia seperti Eropa, Turki, India, Arab, dan China.

Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada Sultan Iskandar Muda

menjadi Sultan, yakni pada tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda adalah tokoh

legendaris dalam sejarah Kesultanan Aceh. Penduduk Aceh memiliki ciri khas

secara fisik yang terlihat berbeda dengan rumpun Melayu pada umunya, wajah

mereka mirip dengan keturunan Arab dengan hidung mancung. Hal ini disebabkan

karena pada masa kejayaan Kesultanan Pasai, banyak pelajar dari timur tengah dan

pedagang yang datang, kemudian menetap dan menikah dengan wanita Aceh. Hal

ini pula yang menyebabkan budaya Aceh bercampur dengan budaya masyarakat

dari negara lain yang masih terlihat di sudut-sudut kota Banda Aceh, seperti

budaya Pecinan di Gampong Peunayong dan peninggalan kuburan Turki di

Gampong Bitai.1

Letak Geografis Kota Banda Aceh terletak antara 05016’ 15”- 05036’ 16”

Lintang Utara dan 95° 16’15” - 95022’35” Bujur Timur. Secara administratif Kota

Banda Aceh memiliki batas wilayah sebelah utara dengan selat Malaka, sebelah

selatan dengan Kabupaten Aceh Besar, sebelah timur dengan Kabupaten Aceh

Besar, dan sebelah Barat dengan Samudera Hindia.2

Jumlah penduduk Kota Banda Aceh saat ini adalah 265.111 jiwa, dengan

kepadatan mencapai 43 jiwa/ Ha, dan pertumbuhan penduduk sebanyak 2% setiap

tahunnya. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan cukup berimbang. Penduduk

1 Rusdi Sufi, Irini Dewi Wanti, Seno, dan Djuniat, Sejarah Kotamadya Banda Aceh

(Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1997), 87; Badan Pusat Statistik

Kota Banda Aceh, Laporan Kinerja BPS Kota Banda Aceh 2019 (Aceh: BPS Kota Banda

Aceh, 2018), https://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html (diakses pada 22 Januari 2021) 2 RPI-2JM Bidang Cipta Karya Kota Banda Aceh 2015-2019

58

Kota Banda Aceh didominasi oleh penduduk berusia muda yang mencapai 73 %

dari total seluruh penduduk. Hal ini merupakan salah satu dampak dari fungsi

Banda Aceh sebagai pusat pendidikan di Aceh dan bahkan di Pulau Sumatera,

sehingga banyak pemuda dari daerah lain di Sumatera yang bermigrasi ke Banda

Aceh untuk mencari kerja.3 Berikut gambaran penduduk Banda Aceh sebagaimana

dikutip dari website resmi pemerintah Kota Banda Aceh:

Kota Banda Aceh terdiri dari 10 Kecamatan dan 90 desa atau gampoeng,

dengan rincian: 1) Kecamatan Baiturrahman, dengan 11 desa, yaitu: Ateuk Jawo,

Ateuk Deah Tanoh, Ateuk Pahlawan, Ateuk Munjeng, Neusu Aceh, Seutui,

Sukaramai, Neusu Jaya, Peuniti, Kampung Baru. 2) Kecamatan Meuraxa dengan 16

desa, yaitu: Surien, Aso Nanggroe, Gampong Blang, Lamjabat, Gampong Baro,

Punge Jurong, Lampaseh Aceh, Punge Ujong, Cot Lamkeuweuh, Gampong Pie,

Ulee Lheue, Deah Glumpang, Lambung, Blang Oi, Alue Deah Teungoh, dan Deah

Baro. 3) Kecamatan Lueng Bata dengan 9 desa, yaitu: Lamdom, Cot Masjid,

Bathoh, Lueng Bata, Blang Cut, Lampaloh, Suka Damai, Panteriek,

Lamseupeung. 4) Kecamatan Banda Raya, dengan 10 desa, yaitu: Lam Ara,

Lampeuot, Mibo, Lhong Cut, Lhong raya, Peunyerat, Lamlagang, Geuceu

Komplek, Geuceu Inem, Geuceu Kayee Jato. 5) Kecamatan Kuta Alam dengan 11

desa, yaitu: Peunayong, Laksana, Keuramat, Kuta Alam, Beurawe, Kota Baru,

Bandar baru, Mulia, Lampulo, Lamdingin, Lambaro Skep. 6) Kecamatan Syiah

Kuala, dengan 10 desa, yaitu: Ie Maseng Kaye Adang, Gampong Pineung,

Lamgugob, Kopelma Darussalam, Rukoh, Jeulingke, Tibang, Deah raya, Aleu

Naga, Peurada. 7) Kecamatan Kuta Raja dengan 6 desa, yaitu: Lampaseh Kota,

Merduati, Keudah, Peulanggahan, Gampong Jawa, Gampong Pande. 8) Kecamatan

Jaya Baru dengan 9 desa, yaitu: Ulee Pata, Lamjamee, Lampoh Daya, Emperom,

Geuceu Meunara, Lamteumen Barat, Lamteumen Timur, Bitai, Punge Blang Cut.

9) Kecamatan Ulee Kareng, dengan 9 desa, yaitu: Pango Raya, Pango Deah, Ilie,

Lamteh, Lamglumpang, Ceurih, Ie Masen Ulee Kareng, Doi, Lambhuk.4

Berdasarkan data tersebut, maka menunjukkan luasnya daerah tersebut dan

kecamatan di Banda Aceh masih memerlukan pemekaran.

3 https://bandaacehkota.go.id/p/demografi.html (diakses pada 22 Januari 2021) 4 https://bandaacehkota.go.id/p/kecamatan_gampong.html

59

Masyarakat Kota Banda Aceh mayoritas memeluk agama Islam dan

jumlahnya mencapai 98,2 %, namun di kota ini juga berkembang agama lainnya,

seperti Kristen, Hindu, Budha dan lainnya yang hidup berdampingan dengan

penduduk Muslim secara damai. Jenis Agama yang dianut masyarakat Banda Aceh

beserta persentasenya dapat terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 1:

No Agama Penganut Persentase

1 Islam 222.582 Jiwa 98,2 %

2 Protestan 717 Jiwa 0,32 %

3 Katolik 538 Jiwa 0,24 %

4 Hindu 39 Jiwa 0,02 %

5 Budha 2755 Jiwa 1,22 %

Jumlah 226.631 Jiwa

Jumlah Fasilitas Ibadah pun juga bermacam-macam sesuai agama yang

dianut oleh warganya, dengan rincian sebagai berikut: 1) Masjid: 104 Unit, 2)

Meunasah, 91 Unit, 3) Mushalla, 90 Unit, 4) Gereja, 4 Unit, 5) Kuil, 1 Unit, 6)

Klenteng, 1 Unit.5 Melihat pada data tersebut maka tampak jelas bahwa mayoritas

masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam, karena itu wajar jika mereka

menginginkan agar syariat Islam diberlakukan secara penuh dalam berbagai bidang

kehidupan mereka, dan pelaksanaan nilai-nilai syariat Islam terlihat lebih menonjol

daripada agama-agama lain. Namun kehidupan beragama di antara penduduk

tampak harmonis, dan toleransi antara umat beragama terjaga dengan baik.6

Mata pencaharian sebagian besar penduduk kota Banda Aceh adalah pada

sektor non agraris dan bersifat heterogen. Hal itu disebabkan karena sebagian besar

perkampungan penduduk kota tersebut berada di dalam dan di sekitar pusat-pusat

kegiatan ekonomi, pemerintahan, pariwisata, perhubungan, komunikasi,

transportasi dan lain sebagainya. Pegawai negeri menengah ke bawah merupakan

kelompok mayoritas di Kota Banda Aceh, karena itu Banda Aceh dijuluki sebagai

“kota pegawai”, karena di Kota ini, 40 % mata pencaharian penduduk adalah

pegawai negeri, tentara 10 %, pedagang 20 %, buruh, tukang, nelayan, dan yang

bergerak dalam bidang industri dan jasa sebanyak 10 %, dan pelajar atau

mahasiswa 20 %. Sedangkan mereka yang berpangkat dan mempunyai kedudukan

atau jabatan merupakan kelompok minoritas yang dianggap sebagai golongan elite.

Kelompok elite lain adalah para pengusaha, pedagang besar dan orang-orang yang

sukses dalam usahanya dalam berwiraswasta, seperti pemilik tambak, pemilik

kapal, dan lain-lain yang ikut menentukan nasib ekonomi rakyat kecil. Tingkat

kesejahteraan penduduk berhubungan erat dengan kondisi sosial ekonomi

masyarakat. Kebutuhan bahan makanan berupa hasil pertanian untuk keperluan

5 https://bandaacehkota.go.id/p/agama.html 6 Rusdi Sufi, Irini Dewi Wanti, Seno, dan Djuniat, Sejarah Kotamadya Banda Aceh

(Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1997), 14

60

penduduk didatangkan dari kampung lain atau dari daerah tetangganya yaitu

kabupaten Aceh Besar, kabupaten Pidie, dan kabupaten-kabupaten lainnya di

wilayah Aceh.7

Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan

Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan

dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad

lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang

Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama masuknya

budaya dan agama di Nusantara. Pada abad ke-7 para pedagang India

memperkenalkan agama Hindu dan Budha. Namun peran Aceh menonjol sejalan

dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah ini, yang diperkenalkan

oleh pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9. Menurut catatan

sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan

sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan

Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayat Syah dengan ibukotanya

di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah luas

wilayahnya yang meliputi sebagian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga

ke Semenanjung Malaka.8 Dalam lintasan sejarah Banda Aceh memiliki perjalanan

sejarah yang cukup panjang, bahkan setelah kemerdekaan, Banda Aceh masih

memiliki berbagai dilema, di antaranya terjadi beberapa kali pergantian status,

sebagai ibukota keresidenan, berubah menjadi Ibukota Provinsi Daerah Aceh,

kemudian kembali menjadi Ibukota Keresidenan Aceh yaitu dengan

menggabungkan daerah ini ke dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang dengan

demikian kota Banda Aceh sekaligus merangkap dua fungsi, sebagai ibukota

Provinsi Daerah Istimewa Aceh maupun sebagai ibukota Daerah tingkat II Kota

Madya Banda Aceh.

Selain dikenal sebagai Ibukota Provinsi, kota budaya, kota pendidikan,

Banda Aceh juga dikenal sebagai kota perdagangan. Sebagai kota perdagangan,

Banda Aceh telah memiliki faktor penunjang, di antaranya adalah jalan raya yang

menghubungkan Banda Aceh dengan kota-kota lain, pelabuhan Malahayati, Bandar

Udara Blang Bintang yang sejak awal tahun 1995, telah diganti namanya menjadi

Bandara Sultan Isk~andar Muda. Meskipun Pelabuhan Malahayati dan Bandara

Sultan Iskandar Muda berada di wilayah Kabupaten Aceh besar, namun peranannya

dalam bidang perekonomian dan perdagangan kota Banda Aceh sangat besar.9

Stabilitas pemerintahan dan politik dalam suatu kawasan dapat mendukung

pembangunan yang akan dilaksanakan, karena itu, demi menjaga stabilitas politik

dan pemerintahan, Banda Aceh ingin tetap mempertahankan identitasnya sebagai

Serambi Mekah dan denyut kehidupan yang dapat dirasakan di daerah ini adalah

Agama, budaya dan pendidikan, maka pemerintah pusat memberikan otonomi

7 Rusdi Sufi, Irini Dewi Wanti, Seno, dan Djuniat, Sejarah Kotamadya Banda Aceh

(Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1997), 21. 8 https://acehprov.go.id/halaman/sejarah-provinsi-aceh 9 A. Hasjmy, (et al.) Lima Puluh Tahun Aceh Membangun. (Banda Aceh: MUI

Provinsi Daerah lstimewa Aceh, 1995), 371.

61

khusus kepada Aceh berupa izin penerapan syariat Islam.10 Dilihat dari segi

kehidupan kota Banda Aceh memiliki empat kegiatan utama yaitu sebagai pusat

pemerintahan, perekonomian, ilmu pengetahuan dan kebudayaan kegiatan tersebut

yang mempercepat tumbuh dan berkembangnya kota Banda Aceh dari zaman

Kerajaan Aceh Darussalam hingga masa pemerintahan Republik Indonesia. Sebagai

kota paling ·barat Indonesia keberadaan Banda Aceh patut diperhitungkan bagi

peneliti sejarah bangsa Indonesia.

Saat ini, Aceh memiliki potensi yang besar dalam pengembangan sektor

industri halal. Klaster industri halal yang menjadi unggulan di Aceh adalah

makanan dan minuman halal, serta obyek pariwisata yang ramah untuk umat

Muslim. Industri makanan dan minuman halal ini mendapat dukungan dari besarnya

potensi bahan bakunya, seperti hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan, yang

berkontribusi sebesar 29.6 persen terhadap PDR.11 Data pertumbuhan ekonomi

daerah, inflasi, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan masyarakat Banda

Aceh dapat terlihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2:

Pertumbuhan

Ekonomi Daerah Inflasi

Tingkat

Pengangguran

Tingkat

Kemiskinan

2018 2019 2018 2019 2018 2019 2018 2019

4,61% 4,15% 1,84% 1,69% 6,36% 6,20% 15,68% 15,01%

Dari tabel tersebut, tampak bahwa dari tahun 2018 ke 2019, pertumbuhan

ekonomi Kota Banda Aceh masih belum meningkat secara signifikan, namun inflasi

menurun, tingkat pengangguran dan kemiskinan juga menurun.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator makro untuk melihat

kinerja perekonomian secara riil di suatu wilayah. Laju pertumbuhan ekonomi

dihitung berdasarkan perubahan PDRB atas dasar harga konstan tahun yang

bersangkutan terhadap tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dipandang

sebagai pertambahan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh semua lapangan

usaha kegiatan ekonomi yang ada di suatu wilayah selama kurun waktu setahun.

Berdasarkan harga konstan tahun 2010, nilai PDRB Kota Banda Aceh pada tahun

2017 terlihat meningkat. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya

produksi di sebagian besar bidang usaha yang sudah bebas dari pengaruh inflasi.

Nilai PDRB Kota Banda Aceh atas dasar harga konstan tahun 2017, mencapai

13,94 triliun rupiah. Angka tersebut naik dari 13,53 triliun rupiah pada tahun 2016.

Hal tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2017 terjadi pertumbuhan ekonomi

10 Rusdi Sufi, Irini Dewi Wanti, Seno, dan Djuniat, Sejarah Kotamadya Banda Aceh,

3. 11 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 13.

62

sebesar 3,04 persen, namun hal ini terbilang melambat jika dibandingkan dengan

pertumbuhan ekonomi pada tahun sebelumnya yang mencapai 6,32 persen.12

Pertumbuhan ekonomi selama 2017 melambat dibandingkan tahun

sebelumnya disebabkan sebagian besar tahapan proyek infrastruktur bernilai besar

(Perluasan Mesjid raya Baiturrahman, Pembangunan Fly Over Simpang Surabaya

dan Underpass Beurawe, Pelebaran Jembatan Lamnyong dan Jembatan Krueng Cut

) telah selesai di tahun 2016. Penyelesaian pekerjaan di tahun 2017 tidak sebanyak

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan Konstruksi menjadi

satu-satunya kategori yang mengalami perlambatan hingga - 31,88 persen.13

Selanjutnya, Berdasarkan harga konstan 2010, nilai PDRB Kota Banda Aceh

pada tahun 2018 tampak meningkat. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh

meningkatnya produksi di sebagian besar bidang usaha yang sudah bebas dari

pengaruh inflasi. Nilai PDRB Kota Banda Aceh atas dasar harga konstan 2010,

mencapai 14,56 triliun rupiah. Angka tersebut naik dari 13,93 triliun rupiah pada

tahun 2017. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2018 terjadi

pertumbuhan ekonomi sebesar 4,94 persen, lebih baik apabila dibandingkan dengan

pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 yang mencapai 3,39 persen.14

Sedangkan pada tahun 2019, nilai PDRB Kota Banda Aceh meningkat

berdasarkan harga konstan 2010. Peningkatan tersebut juga dipengaruhi oleh

meningkatnya produksi di sebagian besar bidang usaha yang sudah bebas dari

pengaruh inflasi. Nilai PDRB Kota Banda Aceh atas dasar harga konstan 2010,

mencapai 15,17 triliun rupiah. Angka tersebut naik dari 14,56 triliun rupiah pada

tahun 2018. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2019 terjadi

pertumbuhan ekonomi sebesar 4,18 persen, namun, jika dibandingkan dengan

pertumbuhan ekonomi tahun 2018, yang mencapai 4,49 persen, maka pertumbuhan

ini tergolong melambat.15 Berdasarkan 3 periode catatan pertumbuhan ekonomi,

terlihat bahwa inflasi sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara

signifikan.

Salah satu indikator tingkat kemakmuran penduduk di suatu wilayah, dapat

dilihat dari nilai PDRB per kapita, yang dihasilkan dari pembagian antara nilai

tambah yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan jumlah penduduk.

Karena itu, besar kecilnya jumlah penduduk akan mempengaruhi nilai PDRB per

kapita, sedangkan besar kecilnya nilai PDRB sangat bergantung kepada potensi

sumber daya alam dan faktor-faktor produksi yang terdapat di wilayah tersebut.

PDRB per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDRB per kepala atau

per satu orang penduduk. Nilai PDRB per kapita Kota Banda Aceh atas dasar harga

yang berlaku sejak tahun 2013 hingga 2017 senantiasa mengalami kenaikan. Pada

tahun 2013 PDRB per kapita tercatat sebesar 50,41 juta rupiah, yang secara

nominal, berarti terus mengalami kenaikan hingga tahun 2017 mencapai 64,66 juta

12 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2017, 21 13 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2017, 23 14 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2018, 16 15 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2019, 16.

63

rupiah. Kenaikan angka PDRB per kapita yang cukup tinggi ini disebabkan masih

dipengaruhi oleh faktor inflasi.16

Sedangkan pada tahun 2018, nilai PDRB per kapita Kota Banda Aceh atas

dasar harga yang berlaku sejak tahun 2014 hingga 2018 juga terus mengalami

kenaikan. Pada tahun 2014 PDRB per kapita tercatat sebesar 54,11 juta rupiah,

yang secara nominal terus mengalami kenaikan hingga tahun 2018 mencapai 66,27

juta rupiah. Kenaikan angka PDRB per kapita yang cukup tinggi ini juga

dipengaruhi oleh faktor inflasi.17 Adapun Nilai PDRB per kapita Kota Banda Aceh

atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2015 hingga 2019 terus mengalami

kenaikan. Pada tahun 2015 PDRB per kapita tercatat sebesar 57,90 juta rupiah.

Secara nominal terus mengalami kenaikan hingga tahun 2019 mencapai 68,87 juta

rupiah. Kenaikan angka PDRB per kapita yang cukup tinggi ini masih dipengaruhi

oleh faktor inflasi.18

Berdasarkan pada data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemberian

hak otonomi khusus bagi Aceh untuk menerapkan syariat Islam, telah ikut andil

dalam pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Terlihat bahwa dari tahun ke tahun

terjadi peningkatan pada kemakmuran rakyat Aceh, yang juga didorong oleh

stabilitas kemanan wilayah tersebut.

Persentase penduduk miskin Indonesia per September 2020 adalah 10,19

persen, lebih tinggi 0,97 poin jika dibandingkan dari September 2019 sebesar 9,22

persen. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa, atau

naik 2,76 juta jiwa dari September 2019 yang tercatat sebanyak 24,79 juta jiwa.

Aceh termasuk di dalamnya, namun kenaikannya hanya sebesar 0,44 poin

dibandingkan dengan kenaikan nasional sebesar 9,22 % menjadi 10,19% atau naik

0,93 poin. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini disebabkan karena pandemi

Covid-19 yang memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia dan Aceh

khususnya, di mana pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan akibat berbagai

kendala yang ditimbulkan, mulai dari tidak lancarnya mobilitas ekonomi, sampai

dengan dibatasinya aktivitas masyarakat. Saat ini, persentase penduduk miskin

Aceh pada September 2020 sebesar 15,43 persen. Sedangkan jumlah penduduk

miskin Aceh pada September 2020 sebanyak 833,91 ribu orang, bertambah 19 ribu

orang dibanding Maret 2020 yang sebesar 814, 91 ribu orang. Tingginya Angka

Kemiskinan Aceh Tak Bisa Disamakan dengan Daerah Lain. Isu kemiskinan di

Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kemiskinan di Aceh, meningkat

tajam saat tahun 2000 sampai dengan 2004 karena konflik bersenjata dan tsunami

yang menghancurkan Aceh pada saat itu. Sedangkan Aceh 2019 angka kemiskinan

Aceh 15,01 % tahun 2020 menjadi 15,43% dalam hal ini naik sebesar 0,42%, masih

16 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2017, 25-26 17 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2018, 18 18 Ringkasan Eksekutif Tinjauan Ekonomi Kota Banda Aceh 2019, 20

64

rendah dibandingkan dengan kenaikan secara nasional yang mencapai 0,93 poin.19

Berikut ini data penduduk miskin Aceh menurut Badan Pusat Statistik:

Tabel 3:

Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota

di Provinsi Aceh (ribu), 2015–202020

Kabupaten/Kota 2015 2016 2017 2018 2019 2020

SIMEULUE 18,12 17,93 18,40 18,22 17,67 17,34

ACEH SINGKIL 24,84 25,09 26,27 25,74 25,66 25,43

ACEH SELATAN 29,61 30,68 32,51 32,82 31,06 30,91

ACEH TENGGARA 30,14 29,39 30,84 30,20 28,93 28,98

ACEH TIMUR 63,48 61,63 63,67 61,64 62,79 62,34

ACEH TENGAH 34,26 33,16 34,24 32,31 32,78 32,48

ACEH BARAT 41,36 40,11 40,72 39,56 39,29 39,06

ACEH BESAR 62,27 62,03 62,72 60,08 58,90 59,70

PIDIE 88,22 90,16 92,35 89,53 86,29 86,39

BIREUEN 73,14 70,44 71,54 65,74 63,60 62,42

ACEH UTARA 111,44 115,05 118,74 111,27 107,34 106,41

ACEH BARAT DAYA 25,93 25,73 26,57 25,23 24,36 24,21

GAYO LUES 19,32 19,48 19,91 19,09 18,63 18,42

ACEH TAMIANG 40,38 40,88 42,01 41,21 39,35 38,93

NAGAN RAYA 31,32 30,31 31,06 31,06 29,93 29,99

ACEH JAYA 13,85 13,10 13,23 12,85 12,35 12,11

BENER MERIAH 29,31 29,82 29,99 29,08 28,45 28,38

PIDIE JAYA 31,81 31,94 33,60 31,72 30,97 31,39

BANDA ACEH 19,30 18,80 19,23 19,13 19,42 18,97

SABANG 5,86 5,81 5,98 5,62 5,43 5,27

LANGSA 19,22 18,63 19,20 18,73 18,62 18,65

LHOKSEUMAWE 23,15 23,28 24,40 23,88 23,05 22,69

SUBULUSSALAM 15,25 14,99 15,44 14,78 14,56 14,46

ACEH 851,59 848,44 872,61 839,49 819,44 814,91

Melihat data di atas, penduduk miskin di Kota Banda Aceh berada pada

posisi ketiga terendah setelah Kabupaten Sabang dan Kabupaten Simeulue. Hal ini

19 Admin Diskominfo Aceh, Kamis, 18 Februari 2021,

https://diskominfo.acehprov.go.id/berita/kategori/pemerintah-aceh/peningkatan-angka-

kemiskinan-di-aceh-masih-lebih-baik-dari-rata-rata-nasional 20 https://aceh.bps.go.id/

65

menggambarkan bahwa masyarakat di pusat kota, memiliki kesejahteraan yang

lebih tinggi di bandingkan dengan masyarakat yang berada di daerah pedesaan.

B. Lembaga Perbankan yang Beroperasi di Banda Aceh

Pada saat ini, ada dua jenis perbankan yang beroperasi di Aceh yaitu bank

konvensional dan bank syariah. Perbankan konvensional di Banda Aceh ada 17,

yaitu: 1. Bank Rakyat Indonesia, 2. Kanwil BRI, 3. Bank Mandiri, 4. Bank BNI, 5.

Bank Danamon, 6. Bank Permata, 7. Bank Central Asia, 8. Bank International

Indonesia, 9. Bank Panin, 10. Bank Aceh (Kantor Pusat), 11. Bank Aceh (KPO), 12.

Bank Sinarmas, 13. Bank Tabungan Negara, 14. Bank Tabungan Pensiunan

Nasional, 15. Bank Bukopin, 16. Bank CIMB Niaga, 17. Bank Pundi. Semua

lembaga perbankan tersebut, saat ini sedang menjalani proses migrasi kepada

sistem syariah, dan pada tahun 2021, pada saat penulis melakukan penelitian,

semua bank tersebut telah berubah menjadi bank syariah, sebagai implementasi dari

pelaksanaan qanun Aceh No. 11 tahun 2018.

Sedangkan Perbankan Syariah yang beroperasi di Banda Aceh ada 8, yaitu: 1.

Bank BNI Syariah, 2. Bank Danamon Syariah, 3. PERMATA Bank Syariah, 4.

Bank BII Syariah, 5. BPD Aceh Syariah, 6. Bank Muamalat, 7. Bank BRI Syariah,

8. Bank Syariah Mandiri.21 Semua bank ini tetap beroperasi di Aceh tanpa harus

melakukan konversi, karena sistem yang digunakan telah menggunakan prinsip

syariah. Bank Muamalat, sebagai pelopor bank syariah di Indonesia, masih eksis

dan berkembang di Aceh dan hingga saat ini tetap berdiri sendiri, sedangkan bank

syariah yang berada dalam pengelolaan BUMN, pada saat ini sedang melakukan

proses merger untuk menjadi satu perusahaan yang kemudian diberi nama Bank

Syariah Indonesia (BSI). Berdasarkan data dari badan pusat statistik jumlah bank

yang beroperasi di Banda Aceh tergambar dalam tabel di bawah ini:22

Tabel 4:

Jumlah Bank Kota Banda Aceh

Status Kantor

Uraian Pusat Wilayah Cabang Cabang Pembantu

Bank Umum Konvensional - 1 11 27

Bank Umum Syariah 1 - 13 21

Bank Perkreditan Rakyat 3 1 -

Pada tahun 2019, di Kota Banda Aceh terdapat 4 kantor pusat bank, 2 kantor

wilayah, 24 kantor cabang, dan 48 kantor cabang pembantu. Selain itu, terdapat

384 koperasi yang terdiri dari 3 Koperasi Unit Desa (KUD) dan 381 non KUD.

Tabungan dan Simpanan Berjangka menjadi pilihan masyarakat untuk menyimpan

uang di tahun 2019. Triwulan keempat menjadi periode puncak di mana masyarakat

21 https://bpmkotabandaaceh.wordpress.com/data/alamat-perbankan/ 22 Kota Banda Aceh dalam Angka 2020

66

lebih memilih untuk menyimpan sebagian pendapatannya di bank. Kredit rupiah

dan valuta asing yang disalurkan perbankan Kota Banda Aceh terus mengalami

perkembangan signifikan hingga tahun 2019. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun

sebelumnya, penyaluran kredit konsumsi menjadi jenis tertinggi dibandingkan

kredit modal kerja dan investasi, bahkan bila keduanya digabung. Pada akhir tahun

2019, kredit konsumsi yang disalurkan mencapai 3,95 triliun rupiah. Tidak seperti

kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumsi beranjak meningkat dari

setiap kuartalnya sehingga akhir tahun menjadi posisi tertinggi. Pola yang hampir

mirip juga muncul pada dana simpanan masyarakat dalam bentuk rupiah. Kuartal

keempat menjadi waktu di mana tabungan yang berhasil dikumpulkan dari

masyarakat mencapai puncaknya. Pada akhir kuartal keempat yakni bulan

Desember 2019, dana masyarakat yang tersimpan di bank mencapai 18,60 triliun.23

Berdasarkan pada Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020, terlihat pekembangan lembaga keuangan syariah di Aceh sebagai berikut:24

Tabel 5:

Profil Keuangan BPD Syariah Aceh (Milyar Rupiah)

2015 2016 2017 2018 2019

Total Aset Gross 2.500 18.759 22.612 23.095 25.121

Total Pembiayaan 1.714 12.206 12.847 13.237 14.363

Total DPK 2.089 14.429 18.499 18.390 20.925

Total FDR 82.05% 84.59% 69.44% 71.98% 68.64%

Total NPF 0,18 1.39% 1.38% 1.04% 1.29%

Pangsa Pasar (%) 47% 49%

Tabel 6:

Profil Industri Perbankan Syariah di Aceh (Ribu Miliar Rupiah

2018 2019

Pangsa pasa (%)

Pembiayaan berdasarkan tipe nasabah

53% 55%

Modal kerja (UMKM) 1,183 1,800

Modal kerja (bukan UMKM) 44 324

Investasi UMKM 348 429

Investasi (bukan UMKM) 77 262

Konsumsi 12,441 13,510

NPF berdasarkan tipe nasabah

23 Kota Banda Aceh dalam Angka 2020, 17 24 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020, 28-29.

67

Modal Kerja (UMKM) 106 51

Investasi (UMKM) 33 14

Konsumsi 27 32

Data di atas, menunjukkan bahwa pemberlakuan qanun lembaga keuangan

syariah memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pengembangan usaha

masyarakat kecil dan menengah dari tahun ke tahun.

Sejak terbitnya qanun No. 11 tahun 2018, ditetapkan agar seluruh Bank yang

beroperasi di Aceh untuk mengubah sistemnya sesuai prinsip Syariah, dan saat ini

hampir semua bank telah melakukan migrasi ke dalam sistem syariah. Sebagai

bentuk ketaatan dan pelaksanaan qanun, semua bank telah berusaha melakukan

migrasi dari sistem konvensional menjadi sistem syariah. Dampak dari qanun yang

telah berlaku sejak 4 Januari 2019 itu adalah semua bank konvensional BUMN

yaitu BRI, Mandiri dan BNI yang dulunya beroperasional di Aceh mengalihkan

pelayanannya melalui Bank Syariah anak perusahaan masing-masing yaitu BRI

Syariah, BSM dan BNIS. Untuk itu, maka pada tanggal 1 Februari 2021 telah

dilaksanakan merger tiga bank syariah yang dimiliki BUMN. Latar belakang

penggabungan bank syariah BUMN adalah adanya keinginan dari Menteri BUMN

Erick Thohir untuk meningkatkan core competence seluruh BUMN termasuk sektor

keuangan, maka Kementerian BUMN pun menggabungkan tiga bank syariah yang

dimiliki bank BUMN yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI

Syariah. Tujuan dari merger ini salah satunya adalah agar Indonesia yang

merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki bank

syariah yang besar dan berdaya saing di tingkat global.25

Menurut Ikhwan, sejak penggabungan 3 bank Syariah tersebut, pertumbuhan

aset BSI mengalami perkembangan yang sustain. Dari total 115 Bank Umum per

Desember 2017, BSI yang awalnya menempati posisi ke 9 dari aspek aset dengan

total Rp. 154,3 Triliun, kemudian per Desember 2020 posisi BSI meningkat

menjadi nomor 7. BSI memiliki 11 Regional Office yang tersebar di seluruh

Indonesia, salah satunya yaitu Bank Syariah Indonesia Regional Aceh yang akan

mengambil peran penting dalam kegiatan impor dan ekspor di Provinsi Aceh, baik

dalam layanan maupun pembiayaan serta fasilitas perbankan lainnya.

Bank Syariah Indonesia Regional Aceh saat ini memiliki Outlet yang

tersebar di seluruh Provinsi Aceh, yaitu :

Tabel 7:

No. Fasilitas Pendukung Jumlah

1 Area 3

2 Kantor Cabang 24

3 Kantor Cabang Pembantu 175

25 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh

pada Maret 2021.

68

4 Kantor Fungsional Operasional 2

5 Kantor Kas 2

6 Payment Point 14

Selain itu, Bank Syariah Indonesia Regional Aceh memiliki Resourch

sebagai berikut :

Tabel 8:

No. Resourch Jumlah

1 Pegawai 3.075 Orang

2 Aset Dana Rp.16,78 T

3 Dana Pembiayaan Rp.13,85 T

4 Dana Pihak Ketiga (DPK) Rp.13,55 T

5 Laba Bersih (CM) Rp.440,7 M

6 Return Of Aset (ROA) Rp.2,69 %

7 Nasabah 1,8 Juta

8 E-Channel 666 ATM

9 BSI Smart 11.090

10 EDC 751

11 CRM 8

Melihat pada aset yang di miliki oleh Bank Syariah Indonesia tersebut, dapat

diketahui bahwa keberadaan BSI telah cukup berkembang di Aceh, dan tentunya

telah ikut terlibat dalam laju perekonomian Provinsi Aceh.

Sebagai akibat dari proses migrasi, maka ada nasib nasabah yang perlu

mendapat perhatian secara khusus, dan dalam hubungannya dengan nasib nasabah

ini, langkah yang ditempuh oleh pihak bank adalah menyiapkan petugas untuk

menghubungi nasabah, dan memintanya untuk membuka rekening di Bank Syariah

serta memindahkan dananya ke rekening bank Syariah tersebut, lalu rekening di

Bank konvensionalnya segera ditutup. Sedangkan untuk nasabah pembiayaan,

Petugas Bank konvensional bersama Petugas Bank Syariah menjumpai nasabah

untuk menandatangani akad pembiayaan di bank Syariah (take over) lalu melunasi

pembiayaan di Bank Konvensional dari dana pencairan di Bank Syariah.26

Nasabah juga diberi pilihan untuk migrasi ke rekening Syariah atau tetap

sebagai nasabah konvensional. Namun semaksimal mungkin akan diarahkan ke

rekening Syariah dan portofolio nasabah dipindahkan dari Bank Konvensional ke

Bank Syariah, karena seluruh transaksi di Provinsi Aceh akan berbasis Syariah.

Apabila nasabah tersebut tetap memilih menjadi nasabah konvensional, maka

seluruh transaksi perbankan tidak dapat dilayani di Provinsi Aceh, karena itu, maka

26 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh

pada Maret 2021.

69

pengelolaan rekeningnya dipindahkan ke cabang di luar Aceh. Melihat upaya yang

dilakukan oleh bank tersebut, tampak bahwa tidak ada nasabah yang akan dirugikan

akibat migrasi bank konvensional ke bank syariah, karena pihak bank

mengupayakan segala cara agar hak-hak nasabah tetap diterima.27

Proses migrasi hingga saat ini masih terus berjalan, namun dalam

perjalanannya masih terdapat beberapa kendala pada segmen pendanaan dan

pembiayaan yang belum termigrasi seluruhnya. Di antara kendala yang menjadi

sebab belum dapat dimigrasikannya segmen Pendanaan disebabkan oleh

masyarakat yang belum memahami betul ketentuan qanun Aceh, dan karena

mereka merasa masih membutuhkan dan adanya sifat ketergantungan pada sistem

konvensional, bahkan di antara mereka ada yang ingin memiliki 2 rekening secara

bersamaan (konvensional dan syariah). Adapun kendala pada segmen pembiayaan,

disebabkan karena proses pemindahan portofolio kredit dengan prinsip syariah

hanya dapat dilakukan secara kolektif, sedangkan kenyataannya tidak semua

nasabah melakukan pembayaran secara lancar, dan yang lainnya masih belum

lancar, sehingga diperlukan waktu tunggu agar yang lainnya membayar secara

lancar terlebih dahulu. Dan kendala yang paling utama adalah sulitnya

mendatangkan nasabah ke kantor Bank untuk membuka rekening syariah sebagai

pengganti rekening konvensional.28

Selain itu, terdapat pula kendala berupa nomor handphone nasabah yang

tidak aktif, dan sebagian besar nasabah yang masih membutuhkan rekening di Bank

Konvensional untuk transaksi perbankan yang belum ada di Bank Syariah, seperti

pembelian LPG 3KG, penebusan atau pembelian semen di PT Solusi Bangun

Andalas (SBI), penebusan pupuk di PT PIM, pembayaran iuran BPJS Kesehatan

secara auto debet, dan lain sebagainya.29

Sehubungan dengan nasib pegawai bank akibat dari adanya migrasi ke Bank

Syariah, telah dilakukan tindakan oleh masing-masing Bank Konvensional yang

berada di Aceh yang akan dilakukan migrasi, dengan memberi pilihan kepada

pegawainya untuk dapat menentukan untuk tetap bekerja di Bank Konvensional

atau ikut beralih menjadi pegawai Bank Syariah. Apabila pegawai tersebut memilih

tetap di bank Konvensional, maka pegawai tersebut akan ditugaskan di luar

Provinsi Aceh, karena operasional bank konvensional tidak diizinkan lagi di

Provinsi Aceh, dan jika memilih pindah ke Bank Syariah, maka pegawai tersebut

diberhentikan sebagai pegawai Bank Konvensional dan secara otomatis diterima

pada Bank Syariah dengan grading yang sama.30 Dengan demikian, maka nasib

pegawai bank tidak berubah, karena pihak bank memberi kebebasan pilihan yang

tidak merugikan posisi mereka. Adapun bagi bank Aceh IB yang sudah cukup lama

melakukan migrasi, tidak ada persoalan terkait posisi para pegawainya, dan pihak

27 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh

pada Maret 2021. 28 Alif dan Dedy, Wawancara, Maret 2021. 29 Alif dan Dedy, Wawancara, Maret 2021. 30 Alif dan Dedy, Wawancara, Maret 2021.

70

Bank Aceh IB menyatakan bahwa pemberlakuan wajib bank Syariah telah berjalan

secara efektif.31

Berdasarkan pada tindakan lembaga perbankan yang tetap memperhatikan

nasib nasabah dan pegawainya tersebut, berupa kebijakan dalam penanganan

masalah yang diakibatkan migrasi sistem dari konvensional ke syariah, maka

penulis menyimpulkan bahwa bank-bank syariah yang beroperasi di Aceh akan

dapat tetap eksis, dan berkembang, bahkan akan menjadi semakin besar karena

mendapatkan keberkahan dari penerapan syariat Islam.

31 Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI), Wawancara, September 2021

71

BAB IV

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN QANUN TENTANG

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Sebagaimana telah diungkapkan dalam bab sebelumnya bahwa efektivitas

suatu hukum terletak pada 5 hal pokok yang saling berkaitan dan merupakan tolak

ukur dari efektivitas hukum, yaitu: 1) Hukumnya itu sendiri atau perundang-

undangan yang diberlakukan, 2) Penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang

mengawal pemberlakuan hukum, 3) Sarana dan fasilitas yang mendukung

pemberlakuan hukum, 4) Masyarakat yang akan menerima pemberlakuan hukum,

dan 5) Budaya hukum dalam masyarakatnya.1 Karena itu, dalam bab ini penulis

akan menyampaikan pembahasan hasil penelitian terhadap Kelima faktor tersebut.

A. Faktor Peraturan Perundang-undangan

Secara naluri, manusia mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat

itu dimiliki sejak lahir dan terus berkembang dalam pergaulan hidupnya. Namun,

apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh

orang lain.2 Karena itu, maka manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup

bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat aturan, agar tidak terjadi

pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda

mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan

pedoman untuk berperilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu

pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan. Patokan-patokan

untuk berperilaku pantas tersebut, kemudian dikenal dengan sebutan norma atau

kaidah. Norma atau kaidah tersebut mungkin timbul dari pandangan-pandangan

mengenai apa yang dianggap baik atau dianggap buruk, yang lazimnya disebut

dengan nilai. Terkadang, norma atau kaidah tersebut timbul dari pola perilaku

manusia yang berkesinambungan, sebagai suatu abstraksi dari perilaku berulang-

ulang yang nyata. Norma atau kaidah tersebut, untuk selanjutnya mengatur diri

pribadi manusia, khususnya mengenai bidang-bidang kepercayaan dan kesusilaan.

Norma atau kaidah kepercayaan bertujuan agar manusia mempunyai kehidupan

yang beriman, sedangkan norma atau kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia

mempunyai hati nurani yang bersih. Di samping itu, ada pula norma atau kaidah

yang mengatur pola kehidupan antarpribadi manusia, khususnya mengenai bidang-

bidang kesopanan dan hukum. Norma atau kaidah kesopanan ini bertujuan agar

1Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 8; Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar

Grafika, 2007), 62. 2Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra

Aditya Bakti, 1993), 2.

72

manusia dapat merasakan kesenangan atau kenikmatan di dalam pergaulan hidup

bersama dengan orang lain.3

Adapun norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian di

dalam kehidupan bersama, di mana kedamaian berarti terciptanya keserasian antara

ketertiban dengan ketenteraman, atau terciptanya keserasian antara keterikatan

dengan kebebasan, dan itulah yang menjadi tujuan dari hukum. Dengan demikian,

maka tugas hukum adalah untuk mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum

dengan kesetaraan hukum.4

Pada dasarnya, semua orang dalam masyarakat membutuhkan organisasi dan

aturan-aturan, guna mengatur hubungan antar mereka dan memenuhi hak masing-

masing dari mereka dengan tujuan supaya tatanan hidup mereka tidak kacau,

karena pada hakikatnya manusia diciptakan dengan watak egois serta cinta kepada

materi. Maka watak-watak tersebut masih perlu diluruskan dan dididik, supaya

manusia tidak berlaku zalim terhadap sesama. Sesungguhnya dalam kehidupan

seseorang selalu ada interaksi dengan kehidupan orang lain. Sehingga tidak seorang

pun mampu hidup sendiri Nan berjauhan dengan manusia lainnya. Terlihat dari

adanya saling tolong menolong dan tukar manfaat demi kemaslahatan bersama.

Dan inilah maksud dari ungkapan yang berbunyi “secara tabiat, manusia adalah

makhluk sosial”.5

Sebagai makhluk sosial, manusia perlu bersosialisasi. Terkait hal ini Ibnu

Khaldun mengatakan, “Sesungguhnya perkumpulan manusia adalah perkara yang

penting.” Kemudian ahli hikmah mengistilahkan ini dengan ungkapan “secara

tabiat, manusia adalah makhluk sosial”. Manusia perlu bersosialisasi untuk

mewujudkan kemajuan bersama, karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang

mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara sendirian, ia pasti membutuhkan

bantuan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Dan sesungguhnya manusia

perlu berkumpul demi mendapatkan sandang, pangan, dan memenuhi kebutuhan

lainnya. Apabila mereka berkumpul, maka akan terjalin komunikasi dan pergaulan

di antara mereka.6

Berbeda dengan watak hewan. Kezaliman dan permusuhan menjadi hal yang

biasa terjadi dalam kehidupan mereka. Tak jarang pembunuhan menjadi akhir dari

permusuhan tersebut, yang ditambah dengan tidak adanya figur pemimpin yang

mendamaikan satu dengan yang lain di antara mereka. Kehidupan manusia yang

dimulai sejak benih-benih pertamanya pada zaman Nabi Adam, senantiasa

beriringan dengan apa yang Allah wahyukan kepada para utusan-Nya supaya akidah

mereka bersih dan kehidupan mereka lurus di atas jalan kebenaran. Maka, manusia

3 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 1 4 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 1. 5 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi> (Bairut: Maktabah

Wahbah, 2001), 10-13 6 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13

73

membutuhkan aturan yang mengatur bagaimana seharusnya hubungan antar

mereka, yakni hubungan yang terjalin atas dasar keadilan dan kesetaraan.7

Hasbi As-Shiddiqi menjelaskan bahwa ada kaidah-kaidah umum yang harus

diperhatikan dalam menerapkan hukum, jumlahnya ada 5, yaitu:8

1. Mewujudkan keadilan.

2. Mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,

3. Menetapkan hukum yang berpadanan dengan keadaan darurat. Apa

yang tidak dibolehkan dalam keadaan normal diperbolehkan dalam

keadaan darurat.

4. Pembalasan harus sesuai dengan dosa yang dilakukan.

5. Tiap-tiap manusia memikul dosanya sendiri.

Tentang hukum dan keadilan, Cicero dalam De Legibus sebagaimana

dikutip oleh Tasrif,9 menyatakan bahwa tidak ada satu hal yang lebih penting untuk

dipahami bahwa manusia itu dilahirkan untuk keadilan dan keadilan itu tidak

dilakukan berdasarkan pendapat manusia, tetapi dilakukan oleh alam itu sendiri.

Adil menurut hukum diartikan sebagai apa yang secara tegas diharuskan oleh

pembentuk undang-undang, yang dibuat dengan tujuan kebaikan, keamanan,

perdamaian, dan terwujudnya keadilan bagi seluruh warga masyarakat. Karena itu,

demi tercapainya apa yang diharapkan, maka para pembuat undang-undang harus

merumuskan substansi dari undang-undang, sesuai dengan standar moral dan

kebahagiaan umum yang di dalamnya tercakup seluruh hakikat dan daya keadilan

agar rakyat bersedia menerima dan menaatinya.10

Sebuah masyarakat, tersusun dari sekumpulan keluarga dan kabilah.

Mereka terbentuk berdasarkan asas, di mana asas tersebut menyesuaikan keadaan

lingkungan, standar kehidupan maupun adat istiadat. Seiring perkembangan

kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan di dalamnya, berkembang pula standar

kehidupan serta adat istiadat dan meningkat pula aturan-aturan kehidupan. Hingga

lahirlah karakter paten bagi kehidupan manusia yang menjadi hukum penengah di

antara mereka. Jika populasi masyarakat meningkat, maka pemikiran mereka pun

akan ikut meningkat. Begitu juga aturan hidup mereka pun bertambah banyak.

Kondisi tersebut memungkinkan terwujudnya keamanan dan kenyamanan untuk

mereka. Sementara aturan-aturan yang mereka tetapkan dinamakan dengan undang-

undang atau qanun.11

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh yang diikuti dengan penerbitan qanun-

qanun Aceh, merupakan isu hangat yang masih diperbincangkan secara intensif

oleh berbagai kalangan baik pada skala regional maupun nasional. Kepedulian

7 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-11 8 Hasbi Ash-Shiddiqy, Dinamika dari Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas,

1975), 25-26; Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep

(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 54. 9 Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, (Jakarta: CV Abadin, 1987) 102. 10 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama

(Jakarta: Kencana, 2012), 418-419. 11 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 12-13

74

masyarakat terhadap pelaksanaan syariat Islam tidak hanya berasal dari kalangan

akademis akan tetapi juga kaum praktisi. Pada taraf tertentu kaum awam pun juga

ikut melibatkan diri dalam wacana pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kondisi ini

jelas menunjukkan bahwa syariat Islam merupakan Syariat yang memiliki nilai

karakteristik yang unik dan universal. Nilai universal syariat Islam dimaknai

dengan prinsip-prinsip dasar (Basic principles) ajaran Islam yang dibawa oleh

alquran dan al-Hadits, yang juga merupakan sumber utama syariat Islam. Prinsip

dasar itu terwujud dalam bentuk ajaran pokok akidah, hukum dan etika. Nilai

universal syariat Islam juga bermakna bahwa syariat ini dapat diterapkan dan sesuai

dengan kehidupan sosial masyarakat, tanpa membedakan latak geografis, sosiologis

dan bahkan politis. Nilai universal syariat Islam yang sifatnya normatif ini

barangkali akan berbenturan dengan kehidupan sosiologis masyarakat, jika kita

tidak mampu memahami dan menyelami makna syariat Islam secara proporsional.12

Qanun atau undang-undang, diartikan dengan sekumpulan prinsip, asas, dan

aturan yang diciptakan manusia untuk mengatur semua individu dalam sebuah

masyarakat supaya tercipta kehidupan yang baik dari segi sosial, ekonomi,

terbentuknya kemakmuran masyarakat, serta terpenuhinya hak-hak mereka.

Undang-undang menjadi tolok ukur dalam bermasyarakat yang dapat mengukur

sejauh mana peningkatan yang terjadi di sebuah masyarakat secara real, serta

mampu mengukur sejauh mana kemajuan yang mereka usahakan. Jika masyarakat

mampu mengambil pelajaran dari pengalaman, secara otomatis mereka mampu

membenahi kesalahan dan kekeliruan dalam undang-undang buatan mereka,

sehingga mereka dapat mengadakan perubahan dan pembaruan pada undang-

undang tersebut supaya sinkron dengan kehidupan mereka.13

Secara umum, peranan hukum dalam pembangunan ekonomi Indonesia

memiliki 5 fungsi sebagai berikut:14

1. Hukum sebagai alat untuk perubahan masyarakat (A Tool of Social Engineering)

2. Hukum sebagai alat untuk kontol sosial (A Tool of Social Control ) 3. Hukum sebagai Alat Kontrol Pembangunan

4. Hukum Sebagai Sarana Penegak Keadilan

5. Hukum sebagai Sarana Pendidikan Masyarakat

Pengertian qanun (undang-undang) seperti ini dapat berbeda antara

masyarakat satu dengan lainnya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan adat

istiadat dan kapasitas ilmu yang mereka miliki. Ada undang-undang yang cocok

diterapkan pada masyarakat tertentu, tetapi tidak cocok untuk diterapkan pada

masyarakat lainnya. Terkadang ada yang sesuai untuk zaman tertentu tetapi tidak

sesuai untuk masa-masa sebelumnya ataupun sesudahnya. Oleh sebab itu, jarang

12 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos

Wacana Ilmu, 2003), 182. 13 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13 14 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama

(Jakarta: Kencana, 2012), 405-421.

75

ditemukan adanya sebuah undang-undang buatan yang cocok diterapkan di dua

negara yang memiliki perbedaan lingkungan, adat istiadat maupun jalan

pemikirannya.15

Qanun (undang-undang) yang tidak memikirkan akhlak mulia yang dapat

menggugah hati manusia, mendidik emosional mereka, dan memotivasi mereka

agar selalu menjaga norma serta mematuhi kewajiban-kewajibannya. Sebagaimana

qanun juga tidak memperhatikan sisi akidah yang mengatur hubungan antara

hamba dengan Tuhannya, batasan-batasan di dalamnya, dan menjelaskan asli

ciptaan mereka serta tempat kembali mereka pada hari Kiamat kelak. Secara

umum, undang-undang seperti ini dinamakan oleh sebagian orang dengan undang-

undang atau hukum positif.16

Kata Qanun berasal dari bahasa Yunani yang berarti prinsip, asalnya canon

yang juga berasal dari kata canonical dalam hukum barat. Pemakaian istilah qanun

dalam Islam adalah untuk menerangkan hukum non agama atau hukum buatan

manusia, sedangkan dalam agama Kristen, canon menerangkan hukum agama atau

hukum gereja.17 Kata tersebut kemudian menjadi bahasa serapan dalam Bahasa

Arab yang berarti ukuran segala sesuatu. Ulama salaf tidak menggunakan kata

qanun sebagai sinonim dari syariat ataupun hukum syar’i. Sebagaimana mereka

juga tidak pernah menggunakan istilah sha>ri’ ataupun Musyarri’ (penetap syariat)

untuk menamakan orang yang membuat undang-undang. Namun, kata ini

digunakan oleh ulama-ulama terkini yang terkena pengaruh dari pengkajian

terhadap undang-undang positif, sehingga mereka menamakan unsur-unsur di

dalam undang-undang tersebut dengan istilah-istilah islami. Padahal dalam fikih

Islam sendiri belum pernah ada istilah-istilah tersebut.18

Dalam berbagai literatur hukum Islam, ditemukan istilah-istilah yang

memiliki makna yang berimpitan satu sama lain. Istilah itu antara lain syariat, fikih

dan hukum Islam. Di samping itu, kadang-kadang dalam buku berbahasa Arab

terdapat pula istilah al-fiqh Al-islami atau al-syari’at al-Islamiyah. Pemahaman

yang keliru terhadap istilah-istilah ini akan berakibat fatal dalam pemaknaan

syariat Islam secara sempurna. Istilah syariat mengandung makna thariqat (jalan).19

Al-Shar’u secara bahasa adalah masdar dari kata kerja shara’a, sementara tashri’ ialah masdar dari kata kerja syarra’a (menggunakan syiddah). Adapun kata syariah

secara bahasa berarti “sumber air yang digunakan untuk minum".20 Kemudian

orang-orang Arab menggunakan istilah tersebut untuk mengistilahkan jalan yang

lurus, dikarenakan sumber air adalah jalan kehidupan dan sebab keselamatan bagi

15 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13 16 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13 17 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2005), 312; Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, 145. 18 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13 19 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, 183 20 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep

(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 31

76

jasad manusia. Begitulah halnya jalan yang lurus, ia menunjukkan manusia kepada

jalan kebenaran, menerangi jiwa dan akal mereka.

Penyusun kitab Al-Qa>mus berkata: “Syariat adalah apa saja yang Allah

tetapkan bagi hamba-hamba-Nya.” Dan Ar-Raghib berkata, “Al-Shar’u adalah jalan

yang terang, maka dikatakan “Aku arahkan dia kepada jalan yang terang." Dan kata al-Shar’u adalah masdar, yang kemudian digunakan untuk mengistilahkan suatu

jalan yang ditempuh. Jalan yang ditempuh diistilahkan dengan shar’u dan sha>riah,

yang kemudian dua istilah ini digunakan untuk menamai jalan atau aturan Allah

untuk umat manusia. Sebagian ulama berkata, “Syariah diibaratkan seperti aliran

air, maka barang siapa yang berjalan mengikuti arah aliran air tersebut maka ia

akan puas meminum darinya dan dapat bersuci dengannya. Syariat Islam secara

istilah adalah apa saja yang Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya yang berupa

akidah, ibadah (amaliah), akhlak, muamalah (pergaulan), dan aturan untuk segala

aspek kehidupan, guna mewujudkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.21

Meskipun pada awalnya syariat diartikan dengan agama, namun kemudian

dikhususkan untuk hukum amaliyah yang menyangkut aktivitas manusia secara

praktis, dan tidak termasuk keimanan dan akidah. Pengkhususan itu bertujuan

untuk membedakan antara agama dan syariah, karena pada hakikatnya, agama itu

adalah satu dan universal. Kata syariah dikhususkan untuk hal-hal yang

menyangkut kewajiban, sanksi hukum, perintah dan larangan. Pada tahap

berikutnya kata syariah digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam baik

yang ditetapkan langsung melalui al-Quran dan hadis maupun yang telah tercampur

dengan pemikiran manusia atau hasil ijitihad.22

Melihat pada paparan di atas, maka qanun Aceh adalah seperangkat

peraturan yang disusun dalam rangka mengantarkan rakyat Aceh untuk mencapai

cita-cita dalam kehidupan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di

akhirat, sebagaimana penjelasan dalam qanun tersebut bahwa tujuan utama dari

penetapannya adalah untuk memperkuat implementasi pembangunan ekonomi

syariah di Aceh. Dan secara khusus, ditetapkan pulan 8 tujuan, yaitu: 1)

Mewujudkan perekonomian Aceh yang islami, 2) Menjadi penggerak dan

pendorong pertumbuhan perekonomian Aceh, 3) Menghimpun dan/atau

memberikan dukungan pendanaan serta menjalankan fungsi lembaga keuangan

berdasarkan Prinsip Syariah, 4) Menjalankan fungsi sosial lainnya termasuk

memanfaatkan harta agama untuk kemaslahatan umat berdasarkan Prinsip Syariah,

5) Mendorong peningkatan Pendapatan Asli Aceh, 6) Meningkatkan akses

pendanaan dan usaha bagi masyarakat, 7) Membantu peningkatan pemberdayaan

ekonomi dan produktivitas masyarakat, 8) Membantu peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat.23 Karena sifatnya universal, maka qanun ini

diberlakukan untuk semua orang yang di Aceh, baik yang beragama Islam maupun

non muslim yang melakukan transaksi di wilayah Aceh.24

21 Manna>’ bin Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, 10-13; 22 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, 34. 23 Pasal 5 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 24 Pasal 6 qanun Aceh No. 11 tahun 2018

77

Peraturan dalam qanun itu, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

efektivitas sebuah hukum. Menurut Soerjono Soekanto, suatu ketetapan hukum

akan dapat berjalan dengan baik, apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:25

1. Unsur yuridis, yaitu ditentukan atas dasar kaidah yang lebih tinggi

tingkatannya, dan bersifat mengikat, serta dapat menunjukkan suatu

kondisi yang seharusnya dan akibatnya.

2. Unsur sosiologis, yaitu apabila hukum diberlakukan dengan paksaan dari

penguasa, atau atas dasar masyarakat yang menginginkannya dan

mengakuinya.

3. Unsur filosofis, yaitu apabila hukum tersebut berisi ketentuan yang

dicita-citakan, dan merupakan nilai positif yang tinggi.

Tiga unsur di atas harus ada dalam sebuah ketentuan hukum secara

bersamaan, sebab, Jika hukum hanya terdiri dari kaidah yuridis saja, maka hukum

tersebut akan menjadi kaidah yang mati. kemudian, Jika hukum hanya terdiri dari

unsur sosiologis, maka akan menjadi sebuah aturan yang memaksa. Dan Jika hanya

unsur filosofis, maka akan hanya menjadi sekedar cita-cita belaka.26 Tiga unsur di

atas, tampak dalam pembukaannya yang menyatakan bahwa yang menjadi

pertimbangan dalam penerbitannya adalah untuk mewujudkan ekonomi masyarakat

Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syariat Islam. Dan untuk itu,

diperlukan jasa lembaga keuangan syariah sebagai kebutuhan masyarakat Aceh dan

sebagai salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan ekonomi syariah.

Pertimbangan utamanya adalah bahwa Al-Quran dan As-Sunah adalah dasar utama

agama Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam yang telah menjadi

keyakinan serta pegangan hidup masyarakat Aceh.27 Selain itu, juga tampak dalam

asas yang ditetapkan dalam qanun tersebut yang mencakup 11 asas bagi lembaga

keuangan dengan prinsip syariah, yaitu: 1) keadilan, 2) amanah, 3) persaudaraan, 4)

keuntungan, 5) transparansi, 6) kemandirian, 7) kerja sama, 8) kemudahan, 9)

keterbukaan, 10) keberlanjutan, dan 11) universal.

Dengan didasarkan pada pandangan di atas, maka qanun Aceh No. 11 tahun

2018, telah memenuhi 3 unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis. Unsur yuridis

tampak pada ‘mengingat’ yang menampilkan undang-undang yang lebih tinggi

tingkatannya dan menjadi sandaran atas penerbitan qanun. Unsur sosiologis,

tampak pada isi setiap bab dan pasal dalam qanun itu. Dan unsur filosofis tampak

pada bagian pertimbangan yang menunjukkan adanya cita-cita dari masyarakat

Aceh. Qanun tersebut isinya tidak ada yang bertentangan dengan ideologi negara

dan sesuai dengan konstitusi. Qanun ini juga merupakan kebutuhan dan harapan

masyarakat Aceh secara umum yang telah diperjuangkan sejak lama. Table di

bawah ini menunjukkan substansi qanun No. 11 tahun 2018. Tabel berikut

menggambarkan isi qanun secara keseluruhan:

25 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka

Pembangunan Indonesia, Cet. Ketiga (Jakarta: UI Press, 1983), 34. 26 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka

Pembangunan Indonesia, 35-36. 27 Qanun Aceh no. 11 tahun 2018

78

Tabel 9:

Substansi Muatan Qanun No. 12 Tahun 2003

BAB Isi Bab Pasal

BAB I Ketentuan Umum 1-6

BAB II Jenis, Pendirian, Kepemilikan, dan Perizinan 7 – 12

BAB III Bank Syariah 13 – 20

BAB IV Lembaga Keuangan Non-Bank Syariah 21 – 37

BAB V Kegiatan Usaha Dan Cakupan Wilayah Usaha 38 – 43

BAB VI Dewan Pengawas Syariah, Dewan Syariah Aceh

dan Dewan Syariah Kabupaten/Kota

44 – 49

BAB VII Tanggung Jawab Pemerintah Aceh dan

Pemerintah Kabupaten/Kota

50 – 54

BAB VIII Perlindungan Nasabah, Mitra, Lks, Dan Penjaminan 60 – 63

BAB IX Pembinaan, Pengaturan, Dan Pengawasan 36 – 37

BAB X Sanksi Administratif 64

BAB XI Ketentuan Peralihan 65

BAB XII Ketentuan Penutup 66 – 67

Qanun LKS ini memuat 12 Bab dan 67 Pasal. Qanun ini berisi aturan terkait

pelaksanaan jasa lembaga keuangan Syariah di Provinsi Aceh yang harus

dilaksanakan sesuai dengan Prinsip Syariah. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum

dan etika keislaman dalam kegiatan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan

oleh lembaga yang memiliki wewenang dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Secara umum, Qanun LKS mengatur empat dimensi penting dalam praktik

keuangan Syariah di Aceh yaitu:

1. Lembaga keuangan Syariah (LKS) yang merupakan lembaga yang

melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, sektor keuangan Syariah

non perbankan dan sektor keuangan lainnya yang sesuai dengan prinsip

Syariah yang mencakup pasar modal, asuransi, dana pensiun, modal

ventura, pegadaian, koperasi, lembaga pembiayaan, anjak piutang,

lembaga keuangan mikro, atau lembaga jasa keuangan lainnya yang

pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

2. Pihak-pihak yang terkait yang melakukan aktivitas transaksi atau

menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan Syariah di Aceh seperti

individu, badan usaha, lembaga, dan juga para stakeholders terkait

seperti Pemerintah Aceh, Baitul Mal Aceh.

79

3. Kegiatan usaha LKS dan aktivitas transaksi keuangan Syariah seperti

simpanan, pinjaman, pembiayaan dan investasi yang harus sesuai dengan

ketentuan akad Syariah.28

Selain unsur yang telah disebutkan di atas, Soerjono Soekanto juga

menyampaikan ukuran efektivitas suatu undang-undang ada 4, yaitu:29

1. Undang-undang tersebut harus berisi tentang bidang-bidang kehidupan

tertentu secara sistematis.

Aspek ini telah terlihat dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018. Misalnya,

dalam bab II pasal 7 dijelaskan bahwa jenis LKS yang diatur dalam

qanun ada 3 bentuk, yakni: 1) Bank Syariah, termasuk unit usaha Syariah

dan bank pembiayaan rakyat syariah. 2) Lembaga Keuangan non Bank

yang meliputi: asuransi syariah, pasar modal syariah, dana pensiun

syariah, modal ventura syariah, pegadaian syariah, koperasi pembiayaan

syariah dan sejenisnya, lembaga pembiayaan syariah, anjak piutang

syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dan teknologi finansial

syariah. Sedangkan bentuk ketiga adalah 3) Lembaga keuangan lainnya,

yang meliputi: Lembaga keuangan non formal; dan Lembaga pegadaian

non formal. Namun semua Lembaga keuangan tersebut tidak akan

dianalisis implementasinya, karena penulis hanya fokus pada Lembaga

perbankan.

Kemudian, berkenaan dengan obyek hukum, dalam Bagian Kedua

tentang Pendirian, Pasal 8, dinyatakan bahwa pendirian Lembaga

keuangan Syariah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1)

bentuk badan hukum, yakni Perseroan Terbatas, 2) struktur

kepengurusan dan kepemilikan yang jelas, 3) permodalan yang sesuai

dengan ketentuan undang-undang; dan 4) kegiatan usaha yang sesuai

dengan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Selain itu, terlihat pula Dalam bab 3 tentang Bank Syariah, ditetapkan 3

hal, yakni: tugas, kegiatan usaha dan fungsi bank Syariah. Dalam pasal

tersebut dinyatakan bahwa yang disebut bank Syariah bertugas sebagai

penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat dan pelayanan jasa

keuangan lainnya serta menjalankan fungsi sosial. Bank Syariah juga

ditugaskan untuk mendukung penghimpunan zakat, infak, sedekah dan

wakaf dalam bentuk tunai atas nama BMA atau BMK.30 Adapun kegiatan

usaha yang diperbolehkan meliputi: 1) Menghimpun dana dalam bentuk

simpanan dan investasi dengan akad yang tidak bertentangan dengan

prinsip Syariah, 2) menyalurkan pembiayaan berbasis bagi hasil, jual beli,

sewa beli, jasa, dan pinjaman kebaikan (Qardh Hasan), dan 3)

Memasarkan produk keuangan dari LKS yang diatur sesuai dengan

28 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 39. 29 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 80. 30 Lihat dalam pasal 13 qanun Aceh No. 11 tahun 2018

80

ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, bank Syariah

diwajibkan untuk melaksanakan pengaturan tentang pencapaian rasio

pembiayaan kepada usaha mikro, kecil dan menengah dalam rangka

peningkatan pembangunan perekonomian masyarakat Aceh secara

bertahap dengan ketentuan 30% pada tahun 2020, dan minimal 40 %,

(empat puluh persen) pada tahun 2022. Dalam qanun tersebut juga

dinyatakan agar Pembiayaan yang disalurkan bank Syariah

mengutamakan akad berbasis bagi hasil dan memperhatikan kemampuan

dan kebutuhan nasabah dengan memperhatikan: 1) pengajuan

Pembiayaan dari calon nasabah yang didasarkan pada kebutuhan, 2)

prospek bisnis atau usaha dari calon nasabah yang memenuhi kriteria

kelayakan pembiayaan perbankan; dan 3) besarnya total kewajiban

angsuran nasabah paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari pendapatan resmi.

Akad berbasis bagi hasil sebagaimana dimaksud harus dilakukan secara

bertahap dengan ketentuan 10% pada tahun 2020, dan 20% pada tahun

2022, dan pada tahun 2024 harus sudah mencapai paling sedikit 40 %

(empat puluh persen).31

Selain ketentuan tentang lembaga keuangan, qanun ini juga menegaskan

adanya perlindungan terhadap nasabah, mitra, LKS, dan penjaminan.

Dinyatakan dalam bab 7 pasal 55, bahwa LKS diwajibkan untuk

menyediakan informasi secara terbuka dalam rangka perlindungan

terhadap nasabah. Informasi itu meliputi: hak dan kewajiban LKS dan

nasabah, produk dan persyaratannya, mekanisme Pembiayaan dan

manajemen risikonya, dan tentang penguasaan jaminan/ agunan dan

eksekusinya.32 Kemudian sebagai upaya untuk melindungi mitra, lembaga

keuangan juga diwajibkan menyediakan informasi secara terbuka yang

meliputi: wewenang dan tanggung jawab LKS, produk dan

persyaratannya yang perlu diketahui oleh mitra, dan kemungkinan

timbulnya risiko dari masing-masing produk sehubungan transaksi LKS

dengan pihak mitra. Selain kepada LKS, perlindungan kepada nasabah

dan mitra juga diamanatkan kepada OJK dan pemerintah Aceh melalui

Lembaga penjaminan Pembiayaan daerah.33

2. Undang-undang tersebut berkaitan dengan bidang kehidupan dan disusun

dengan sinkronisasi secara hierarki dan tidak ada pertentangan secara

horizontal.

Qanun ini didasarkan pada qanun-qanun sebelumnya dan undang-undang

yang telah ditetapkan oleh pemerintah Pusat, dengan demikian, secara

hierarki tidak ada pertentangan dan telah sinkron dengan ketentuan

perundang-undangan yang ada.

3. Undang-undang tersebut secara kualitatif dan kuantitatif telah

mencukupi untuk mengatur bidang kehidupan tertentu.

31 Lihat pasal 14 Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 32 Pasal 55 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 33 Pasa 56-59 qanun Aceh No. 11 tahun 2018

81

Aspek ini tampak dalam penjelasan tentang prinsip-prinsip syariah.

Dalam qanun itu dinyatakan bahwa Prinsip Syariah yang dimaksud

adalah prinsip hukum dan etika keislaman dalam kegiatan keuangan

berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki

kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Akad adalah

transaksi tertulis antara LKS dan pihak lain yang memuat adanya hak

dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.

Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada LKS

dalam bentuk titipan, tabungan dan/atau giro, deposito dan/atau yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad penyimpanan dana. Pinjaman

adalah penyediaan dana oleh LKS kepada nasabah yang harus

dikembalikan sesuai dengan Akad pinjaman.

Kemudian dalam hal ketentuan pembiayaan juga terlihat telah memenuhi

secara kualitatif, sebagaimana penjelasan bahwa Pembiayaan adalah

penyediaan dana oleh LKS kepada nasabah yang pokok dan

keuntungannya atau yang dipersamakan dengannya harus dikembalikan

sesuai dengan Akad perjanjian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Investasi adalah modal dalam bentuk dana atau bentuk lainnya yang

dipercayakan oleh nasabah kepada LKS berdasarkan Akad yang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah. Otoritas Jasa Keuangan yang

selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dewan

Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang

bertugas mengawasi, memberi nasehat serta saran kepada manajemen

LKS agar sesuai dengan prinsip syariah. Dewan Syariah Aceh yang

selanjutnya disingkat DSA adalah dewan yang berwenang mengatur dan

mengawasi penerapan Prinsip Syariah pada seluruh transaksi keuangan

yang dilakukan LKS.

4. Penerbitan undang-undang tersebut telah sesuai dengan persyaratan

yuridis yang ada.

Persyaratan yuridis ini tergambar dalam penyusunan qanun tersebut yang

telah melibatkan berbagai pihak, dan telah mendapat persetujuan dari

dewan perwakilan rakyat Aceh. Arah penerapan Syariat Islam dalam

bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh mulai secara

sistematis disusun sejak tahun 2015 di mana Dinas Syariat Islam Provinsi

Aceh melakukan kajian tentang Lembaga Keuangan Syariat di Aceh,

sehingga dapat Menghasilkan Naskah Akademik yang menjadi dasar

penyusunan Rancangan Qanun Lembaga Keuangan Syariah. Selanjutnya,

diskusi intensif dan terbuka dalam bentuk FGD dan diskusi publik

dilakukan untuk penyempurnaan draf rancangan Qanun LKS tersebut.

Pada tahun 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membentuk

pansus pembahasan Rancangan Qanun LKS bersama dengan lembaga

terkait seperti Dinas Syariat Islam, Bank Indonesia, Otoritas Jasa

Keuangan, Praktisi Perbankan dan Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan

Bisnis (FEBI) Universitas Islam Neger Ar-Raniry. Hasil pembahasan

82

yang panjang dan komprehensif akhirnya melahirkan penerbitan Qanun

Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah pada

rapat paripurna DPRA dan diundangkan pada tanggal 4 Januari 2019

dalam Lembaran Daerah Aceh.34

Di dalam qanun itu dinyatakan bahwa lembaga adalah institusi atau

pranata yang di dalamnya terdapat seperangkat norma-norma, nilai-nilai,

dan keyakinan yang bersentuhan dengan berbagai kebutuhan sosial,

ekonomi dan/atau keuangan dilakukan secara berulang dan teratur.

Lembaga Keuangan Syariah yang selanjutnya disingkat LKS adalah

Lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, sektor

keuangan syariah non perbankan dan sektor keuangan lainnya sesuai

dengan prinsip syariah. Sedangkan Bank Syariah adalah bank yang

menja1ankan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan menurut jenisnya

terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

serta unit usaha syariah. Adapun Lembaga Keuangan Non Bank

Syariah adalah lembaga yang bergerak dalam bidang kegiatan pasar

modal, asuransi, dana pensiun, modal ventura, pegadaian, koperasi,

lembaga pembiayaan, anjak piutang, lembaga keuangan mikro dan

lembaga keuangan jasa lainnya yang pelaksanaannya tidak bertentangan

dengan prinsip-prinsip syariah. Dan yang dimaksud dengan Lembaga

Keuangan Lainnya adalah lembaga yang belum mempunyai legalitas

formal.

Sementara itu, Montesquieu menjelaskan dalam bukunya The Spirit of Laws

bahwa undang-undang yang efektif adalah yang memenuhi 3 kriteria, yaitu:

1) Ketentuan dalam perundang-undangan harus ringkas dan mudah di

mengerti, sehingga hukum tersebut akan dapat berarti dan dimengerti

oleh siapa pun yang membacanya.

2) Peraturan undang-undang harus mudah dilaksanakan, karena itu aturan

yang sulit diterapkan dan ketentuan yang tidak diperlukan harus

dihindari, karena akan memperlemah otoritas sistem hukum secara

umum.

3) Suatu perundang-undangan yang mengakomodasi keragaman dan tidak

memaksakan keseragaman, akan lebih efektif untuk dilaksanakan.

Karena keseragaman, akan dirasa menyenangkan secara psikologis,

namun dapat membahayakan efektivitasnya, apalagi jika rumusannya

tidak sesuai dengan harapan orang-orang yang punya kepentingan.35

Dengan melihat pada isi dari ketentuan perundang-undangan yang termuat

dalam qanun ini, maka penulis menyatakan bahwa isi dari semua ketentuan yang

34 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 39. 35 Montesquieu, Dua Puluh Sembilan Tentang Cara Menyusun Undang-Undang

dalam buku: “The Spirit Of Laws” Terj. Khairul Anam, (Bandung: Nusamedia, 2007), 357-

358.

83

ditetapkan, telah memenuhi syarat untuk menjadikan sebuah hukum untuk

dilaksanakan secara efektif. Qanun Aceh ini ringkas, mudah dilaksanakan dan

mudah dimengerti. Misalnya tentang fungsi bank syariah, di dalam qanun

dijelaskan secara mudah dalam Pasal 15 dan 16, bahwa fungsi bank syariah ada 2,

yaitu: 1) menghimpun dan menyalurkan dana dari nasabah dan kegiatan usaha

lainnya sesuai dengan Prinsip Syariah, 2) melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk

menerima dana yang berasal dari zakat dan infak atas nama BMA atau BMK, dan

sedekah, hibah, wakaf uang atau dana sosial untuk kepentingan umat Islam.

Pelaksanaan fungsi sosial tersebut, harus sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dalam pengumpulan dana wakaf uang tersebut LKS wajib

terdaftar sebagai LKS penerima wakaf uang pada BMA. Kemudian, dalam hal

Pembiayaan murah kepada usaha mikro dan pembangunan ekonomi Aceh, Bank

Syariah wajib bekerja sama dengan BMA atau BMK melalui integrasi antara zakat,

infak, sedekah dan wakaf dengan dana sosial lainnya.36

Qanun ini berisi segala ketentuan yang normal, dan sudah mencakup segala

aspek yang dibutuhkan oleh sebuah hukum. Dengan demikian, benarlah apa yang

dinyatakan oleh Rusjdi Ali, bahwa Qanun Aceh dihasilkan melalui proses metode

pilihan hukum dari khazanah pemikiran dan ijtihad para fukaha, dan penemuan

hukum atau ijtihad baru dalam hal-hal yang dibutuhkan masyarakat pada masa kini

dan tidak bertentangan dengan asas hierarki perundang-undangan melalui asas Lex Spesials yang memberi kebebasan kepada wilayah yang diberi Otonomi secara

Khusus. Adapun berkaitan dengan Penyusunan Hukum Material Islam maka

mengacu kepada ketentuan fikih jinayah, seperti kisas dan hudud yang telah ada

nasnya dan kepastian ketentuannya di dalam al-Quran dan hadis, sementara dalam

bidang takzir masih memerlukan kodifikasi hukum, kebijakan dan kearifan para

pembuat hukum untuk menetapkannya.37

Selanjutnya, mengenai berlakunya undang-undang, terdapat beberapa asas

yang bertujuan agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.

Maksudnya agar undang-undang yang dibuat dapat mencapai tujuannya secara

efektif. Asas-asas tersebut adalah:38

1. Undang-undang yang diterbitkan tidak berlaku surut, undang-undang

hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam

undang-undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu

dinyatakan berlaku.

Asas ini telah terpenuhi dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018, di mana

qanun tersebut diberlakukan mulai pada tahun 2019, yakni satu tahun

setelah diundangkan.39

2. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

36 Pasal 15 dan 16 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 37 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, 46. 38 Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1979 39 Lihat dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018 bab xi pasal 65

84

Asas ini telah terpenuhi dalam qanun, di mana pembuatnya adalah

pemerintah provinsi, dan berlaku untuk semua pemerintah kabupaten dan

Kota di seluruh wilayah Aceh.40

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang

yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya, terhadap

peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebutkan

peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula

diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih

luas ataupun lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus

tersebut.

Asas ini tergambar dalam pemberlakuan qanun yang menyeluruh bagi

seluruh penduduk Aceh, baik yang beragama Islam maupun non

muslim.41

4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang

yang berlaku terdahulu. Artinya, undang-undang lain yang lebih dahulu

berlaku di mana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi

apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur

pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan

atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut,

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan

spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui

pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).42

7. pembuat undang-undang tidak sewenang-wenang atau supaya undang-

undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa

syarat tertentu, yakni antara lain:

a. Keterbukaan di dalam proses pembuatan Undang-undang.

b. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-

usul tertentu, melalui cara-cara:

c. Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk

menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang

akan dibuat.

d. Suatu Departemen tertentu, mengundang Organisasi-organisasi

tertentu untuk memberikan masukan bagi suatu rancangan undang-

undang yang sedang disusun.

e. Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat.

f. Pembentukan kelompok-kelompok penasihat yang terdiri dari tokoh-

tokoh atau ahli-ahli terkemuka. ;;43

Qanun ini ditetapkan pada tanggal 4 Januari 2019 dan mulai berlaku satu

tahun setelahnya, yaitu pada tahun 2020, dan bagi seluruh lembaga keuangan yang

beroperasi di Aceh diwajibkan untuk mengikuti ketentuan dalam qanun tersebut

40 Lihat dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018 bab vii tentang tanggung jawab

pemerintah Aceh, dan pemerintah Kabupaten/Kota. 41 Lihat dalam qanun Aceh No. 11 tahun 2018 pasal 6

85

paling lambat 3 tahun sejak qanun itu disahkan, yakni pada tahun 2022.42 Melihat

pada penahapan implementasi qanun ini, penulis melihat adanya waktu yang

ditetapkan, dan meskipun ada sifat paksaan di dalamnya, tetapi masih pada batas

normal yang dapat ditolerir, karena dengan batas waktu yang telah ditetapkan

tersebut, lembaga keuangan memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan

segala hal yang dibutuhkan. Perbankan syariah di provinsi Aceh memiliki potensi

untuk berkembang pesat, karena di dukung oleh penerbitan peraturan daerah atau

Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang pokok-pokok syariat Islam. Dalam pasal 21

poin 1-4 dinyatakan bahwa lembaga keuangan yang akan beroperasi di provinsi

Aceh harus berlandaskan prinsip syariah. Ketentuan ini lalu didukung oleh qanun

No. 8 tahun 2016 tentang sistem jaminan produk halal.43

Sebagai sebuah hukum yang harus ditaati, tentunya dibutuhkan sanksi agar

dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam pasal 64, sanksi yang ditetapkan tersebut,

berupa: 1) denda uang, 2) peringatan tertulis, 3) pembekuan kegiatan usaha, 4)

pemberhentian direksi dan/atau pengurus LKS, 5) pencabutan izin usaha. Bagi

setiap lembaga keuangan dan mitra yang melanggar ketentuan dalam qanun.44

Suatu masalah lain yang erat hubungannya dengan penyelesaian perkara dan sarana

atau fasilitasnya, adalah soal efektivitas dari sanksi negatif yang diancamkan

terhadap peristiwa-peristiwa pidana tertentu. Tujuan sanksi-sanksi tersebut dapat

mempunyai efek yang menakutkan terhadap pelanggar-pelanggar potensial,

maupun yang pernah dijatuhi hukuman karena pernah melanggar (agar tidak

mengulanginya lagi). Dengan demikian diharapkan, bahwa kejahatan akan

berkurang secara semaksimal mungkin Sanksi negatif yang relatif berat atau

diperberat saja, bukan merupakan sarana yang efektif untuk dapat mengendalikan

kejahatan maupun penyimpangan-penyimpangan lainnya Kepastian (certainty) di

dalam penanganan perkara maupun kecepatannya, mempunyai dampak yang lebih

nyata, apabila dibandingkan dengan peningkatan sanksi negatif belaka. Kalau

tingkat kepastian dan kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksi-

sanksi negatif akan mempunyai efek menakuti yang lebih tinggi pula, sehingga

akan dapat mencegah peningkatan kejahatan maupun residivisme.

Tabel 10:

Faktor Efektivitas unsur Perundang-undangan

A. Unsur yang harus dipenuhi Telah

terpenuhi

Belum

terpenuhi

Yuridis V

Sosiologis V

Filosofis V

42 Bab xi pasal 65, 66 dan 67 Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 43 Early Ridho Kismawadi, “Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di Konversikannya

Bank Konvensional Ke Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus di Kota Langsa” Ihtiyath Vol. 2

No. 2 Desember (2018): 136-148. 44 Bab x pasal 64 Qanun Aceh No. 11 tahun 2018

86

B. Ukuran Efektivitas

Sistematis V

Sinkron, Secara Hierarki dan Tidak Ada

Pertentangan secara Horizontal V

Mencukupi V

Sesuai dengan Persyaratan Yuridis V

Ruang Lingkup Perundang-undangan V

Tidak Dilahirkan Secara Tergesa-gesa V

Ringkas dan Mudah Dimengerti, V

C. Kaidah dalam Menerapkan Hukum

Mewujudkan keadilan V

Mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat V

berpadanan dengan keadaan darurat V

Sanksi yang sesuai dengan Kesalahan V

Setiap orang memikul kesalahannya sendiri V

Dengan isinya yang lengkap dan memuat berbagai aspek dari ketentuan

umum hingga ketentuan khusus, serta memuat sanksi atas pelanggaran yang

mungkin terjadi, maka qanun Aceh ini merupakan faktor pendukung untuk

efektivitas pemberlakuan qanun tersebut.

Selain itu, tingkat keberhasilan penerapan qanun ini juga berpeluang akan

lebih maksimal, karena didukung oleh peraturan-peraturan daerah yang berkaitan

dengan sektor ekonomi dan keuangan syariah sebagai berikut:

1. Peraturan Daerah terkait Keuangan Syariah, yaitu: Qanun Aceh No. 8

Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam, Qanun Aceh No. 11

Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, Nomor 9 Tahun 2014

tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah, dan Qanun Aceh Nomor 10

Tahun 2018 tentang Baitul Mal

2. Peraturan Daerah terkait Industri Halal, yaitu: Peraturan Daerah tentang

Konversi Bank Aceh Syariah yang saat ini sedang dalam tahap finalisasi.

3. Peraturan Daerah terkait Makanan/Minuman Halal, yaitu: Qanun Aceh

No. 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, dan Qanun

Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang pokok-pokok Syariat Islam.

4. Peraturan Daerah terkait Fashion Muslim, yaitu: Qanun Prov. NAD No.

11 Tahun 2002 Pasal 13 dan 23 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

87

Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, dan Qanun Aceh No.8 Tahun

2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam.

5. Peraturan Gubernur terkait Pariwisata ramah Muslim, yaitu: Qanun Aceh

No. 8 Tahun 2013 tentang Kepariwisataan.

6. Peraturan Gubernur terkait Pengelolaan Zakat, yaitu: Pergub Nomor 08

tahun 2017 tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat.

7. Peraturan Daerah Lainnya, yaitu: Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2016

tentang Pencabutan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 Tentang

Pembentukan Bank Aceh Syariah, dan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2015

tentang Perubahan Bentuk Hukum Perusahaan Daerah Bank Perkreditan

Rakyat Mustaqim Suka makmur Menjadi Perseroan Terbatas Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah Mustaqim Aceh.45

Menurut Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Aceh bahwa dengan

disahkannya Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan

Syariah akan memberikan peluang yang besar khususnya bagi pengembangan

Koperasi Simpan Pinjam Syariah dan Usaha Simpan Pinjam Syariah dan UMKM

Syariah, dikarenakan amanah dari Qanun tersebut yang mewajibkan seluruh

lembaga keuangan baik bank dan non bank untuk menjalankan usaha sesuai dengan

prinsip dan pengelolaan syariah paling lambat pada Desember 2020. Menurutnya,

Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Aceh terus berupaya dan

berkesinambungan mengembangkan KSPPS/USPPS melalui penambahan jumlah

tenaga DPS dengan program atau kegiatan Sertifikasi Dewan Pengawas Syariah

yang bekerja sama dengan MUI Pusat dan difasilitasi dengan perubahan Anggaran

Dasar Koperasi Konvensional ke Syariah. Untuk UMKM Syariah khususnya di

bidang kuliner halal, dengan memfasilitasi para pelaku UMKM di bidang kuliner

untuk memperoleh sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan

Ulama (MPU) Aceh. Dengan usaha ini, diharapkan Aceh akan menjadi salah satu

destinasi favorit wisata kuliner halal di Indonesia dengan potensi dan

keanekaragaman cita rasa kuliner halal yang menjadi salah satu prioritas

pengembangan di sektor UMKM yang dilakukan oleh Dinas Koperasi Usaha Kecil

dan Menengah Aceh.46

Ditambah lagi, menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Provinsi Aceh efektivitas qanun LKS ini didukung oleh kesadaran masyarakat Aceh

yang mayoritas Muslim, Semua masyarakat Aceh mengonsumsi atau menggunakan

barang dan jasa halal, sehingga Aceh merupakan bagian dari daerah memiliki

pengeluaran barang atau makanan halal (Muslim food expenditure). Sehingga

dengan itu semua, bonus demografi pada 2025-2035, yang berpotensi menghasilkan

masyarakat kelas menengah akan didominasi oleh umat Muslim yang kreatif yang

menjadikan bisnis dan keuangan syariah juga lebih beragam. Dalam kaitannya

45 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 14. 46 Kepala Dinas Koperasi dalam Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan

Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020, 49

88

dengan pengeluaran produk halal, Kantor wilayah Kementerian Agama dan Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh secara tegas mendukung terlaksananya

jaminan produk halal, karena akan menjadi peluang untuk membangkitkan

semangat para pelaku industri untuk menyentuh sektor halal food, sehingga fokus

pengembangan ekonomi syariah di Aceh dapat terus ditingkatkan sesuai degan

sektor usaha yang diinginkan, seperti industri makanan dan minuman, tata busana,

pariwisata, media dan rekreasi, serta farmasi dan kosmetika. Tentunya hal ini akan

memberikan peluang bagi pelaku usaha dalam memilih usaha yang dapat

dikembangkan, dan penegakan syariat Islam di Aceh akan merambah ke berbagai

bidang usaha dan jasa terutama di bidang ekonomi. Sebagai langkah pendukung,

pemerintah berkomitmen untuk menguatkan lembaga keuangan syariah, Industri

Kecil Menengah (IKM) dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) berbasis

produk Syariah. Generasi muda Aceh bangga dan berani menyatakan bahwa Aceh

adalah daerah berbasis Syariah. Hal ini menjadikan tumbuhnya generasi baru yang

membawa perubahan dimasa yang akan datang.47

Sementara itu, menurut Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan

Terpadu Satu Pintu, Provinsi Aceh merupakan provinsi yang secara geografis

sangat strategis, dengan status ekonomi khusus dan penerapan syariat Islam

menjadikan Aceh sebagai wilayah yang ramah terhadap investasi yang merupakan

instrumen peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada pengembangan

pada sektor potensial seperti agro industri, energi dan infrastruktur, pariwisata dan

pengembangan kawasan industri Aceh. Keempat sektor tersebut memiliki fondasi

yang kuat untuk dikembangkan dan tentunya sejalan dengan penerapan Syariat

Islam secara kafah dari berbagai sektor kehidupan masyarakat di provinsi Aceh.

Apalagi jika dikaitkan dengan ketersediaan regulasi yang mendukung investasi

namun tidak mencederai penerapan nilai-nilai syariat Islam, akan menjadikan Aceh

sangat tepat dan cocok menjadi destinasi utama bagi setiap kegiatan investasi

berbasis syariah. Selain itu, Aceh juga telah memiliki Kawasan Industri Aceh dan

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang menjadi magnet dan

peluang bagi investor yang ingin berinvestasi pada kawasan yang memiliki insentif

dan kemudahan termasuk pengurangan pajak dan kemudahan lainnya. Melalui dua

kawasan ini, harapan untuk terlaksananya lokomotif kegiatan berusaha yang dapat

menumbuhkan berbagai sektor turunan dengan nilai tambah yang besar.48

B. Faktor Penegak Hukum dalam Penerapan Qanun Aceh

Faktor kedua yang menentukan efektivitas kinerja hukum adalah faktor

penegak hukum. Untuk itu, maka diperlukan adanya aparat penegak hukum yang

andal agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Keandalan itu adalah

keterampilan profesional, dan mental yang kuat. J. E. Sahetapy yang mengatakan

bahwa keadilan dan kebijakan diperlukan oleh seorang penegak hukum, sebab

47 Kepala Bappeda, dalam Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan

Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020, 49 48 Kepala Dinas Penanaman Modal, dalam Muhammad Quraisy, dkk. Laporan

Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020, 50

89

implementasi penegakan hukum secara adil, tetapi tidak disertai kebenaran, adalah

sebuah kebijakan, dan penegakan hukum secara benar, tetapi tidak disertai

kejujuran adalah sebuah kemunafikan. Karena itu, lembaga penegak hukum harus

dapat menampilkan keadilan dan kebenaran yang dapat dirasakan oleh masyarakat,

sehingga prinsip penegakan hukum yang dapat memberi manfaat atau berdaya guna

(utility) bagi masyarakat dapat terealisasi. Namun, hukum itu tidak identik dengan

keadilan, dan masyarakat menghendaki adanya keadilan. Sifat hukum adalah

umum, mengikat setiap orang dan memandang semua orang dengan status sama di

hadapan hukum. Setiap orang yang melakukan pelanggaran harus mendapatkan

hukuman, tanpa membeda-bedakan siapa pelakunya, sebaliknya sifat keadilan itu

adalah subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang

belum tentu terasa adil bagi orang lain.49

Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa hukum yang baik adalah yang dapat

memenuhi rasa keadilan dan terus berkembang mengikuti nilai-nilai keadilan

manusia. Kesadaran hukum pada masyarakat akan timbul apabila ada kesesuaian

antara keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan keadilan yang ingin

dihasilkan oleh hukum yang diberlakukan. Oleh sebab itu, kepastian hukum

hendaknya harus selalu ditegakkan, karena di dalam kepastian hukum itu,

terkandung nilai keadilan hukum. Kepastian dan keadilan hukum merupakan dua

sisi yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mengisi. Dari pandangan

ini maka muncul dan tercipta hukum positif yang dapat mengayomi kehidupan

masyarakat, dan secara tidak langsung akan tercipta hukum yang berdimensi

keadilan dan kebenaran.

Hukum dan keadilan merupakan dua sisi yang tidak boleh dipisahkan karena

kedua hal ini saling berkaitan. Apabila hukum dilaksanakan dengan baik, maka

keadilan akan terwujud. Apabila keadilan dapat bersatu dengan hukum, maka akan

terwujud ketertiban dan kedamaian serta kebahagiaan dalam kehidupan

bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum harus berperan aktif dalam mewujudkan

keadilan dan harus ditegakkan tanpa memandang bulu dan pilih kasih. Dalam

kaitan ini, diperlukan sikap keteladanan dari penguasa dalam berbuat dan

bertindak, sehingga dengan kesadarannya sendiri akhirnya masyarakat akan

mengikuti teladan tersebut dan patuh kepada hukum. Masyarakat akan tunduk

kepada hukum karena mereka merasa bahwa kepentingannya terlindungi dan

mereka taat kepada hukum karena menganggap bahwa hukum tersebut dapat

mendidik dan membimbing individu menjadi lebih baik dalam mengayomi

masyarakat dan bersikap adil dalam segala tindakan.50

Sebenarnya, sebuah peraturan perundang-undangan telah dimulai penegakan

hukumnya ketika peraturan tersebut dirumuskan oleh badan legislatif. Setiap

ketentuan hukum apa pun bentuknya, pasti akan berpedoman pada nilai-nilai

tertentu yang dianggap baik dan mulia oleh masyarakatnya. Nilai-nilai yang

dianggap baik tersebut sama dalam pandangan siapa pun, karena dalam nilai-nilai

49 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra

Aditya Bakti, 1993), 2. 50 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama

(Jakarta: Kencana, 2012), 420-421.

90

yang mulia itu terdapat dalam hukum alam. Suatu undang-undang yang kurang

baik, akan menjadi salah satu faktor munculnya kejahatan. Namun yang paling

mempengaruhi baik dan tidaknya sebuah undang-undang, adalah pelaksanaannya

yang terkadang tidak konsekuen dan sikap atau perilaku penegak hukumnya.51

Seyogyanya para penegak hukum selalu bertitik tolak pada hukum yang hidup

dengan memerhatikan budaya hukum di tengah-tengah masyarakat agar dapat

memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat

terhadap hukum dalam sebuah sistem hukum yang berlaku. Para penegak hukum

tidak boleh hanya berpedoman pada substansi norma hukum formal yang ada di

dalam undang-undang saja, karena hal itu dapat mencederai rasa keadilan di dalam

masyarakat.

Yang dimaksud dengan aparat penegak hukum di sini, mencakup semua

institusi penegak hukum dan aparat penegaknya. Dalam arti sempit aparat penegak

hukum yang terlibat dalam tegaknya hukum tersebut dimulai dari saksi, polisi,

penasihat hukum, jaksa, hakim dan petugas-petugas sipir lembaga pemasyarakatan,

serta lembaga-lembaga yang secara khusus diberi wewenang dalam penegakan

hukum dalam suatu wilayah. Setiap aparat dan aparatur terkait juga mencakup

pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau peranannya, yakni terkait dengan

kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan

kembali terpidana.52

Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam proses bekerjanya aparat penegak hukum

sering kali dipengaruhi oleh 3 elemen penting, yaitu:

1. Institusi penegak hukum beserta pelbagai perangkat sarana dan

prasarana pendukung serta mekanisme kerja kelembagaannya;

2. Budaya kerja yang berkaitan dengan aparatnya, termasuk mengenai

kesejahteraan aparat;

3. Seperangkat peraturan yang mendukung, baik kinerja kelembagaannya

maupun yang mengatur material hukum yang dijadikan sebagai standar

kerja dalam hukum material dan hukum acara.

Dalam usaha penegakan hukum yang tersistem, diharuskan untuk

memperhatikan 3 aspek tersebut secara bersamaan, sehingga praktik penegakan

hukum dapat berjalan dengan baik dan dapat diwujudkan dengan nyata.53

Efektivitas sebuah hukum tidak cukup hanya melihat hukum sebagai suatu

perangkat norma, kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam

51 J.E. Sahetapy dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam

Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010),

51. 52 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/Penegakan-

Hukum.pdf (diakses pada tanggal 5 Oktober 2015). 53 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/.../Penegakan

_Hukum.pdf

91

masyarakat, tetapi juga harus memerhatikan pada lembaga atau institusinya dan

proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kehidupan nyata.54

Hikmanto Juwanto menyampaikan pendapat yang selaras dengan penjelasan

Jimly di atas, bahwa pelaksanaan penegakan hukum akan menjadi lemah apabila

hukum dijadikan sebagai komoditas politik, dan dilaksanakan secara diskriminatif.

Karena itu, perlu dilakukan pembenahan dalam pelbagai aspek yang mencakup

institusi penegak hukum, kesejahteraan penegak hukum serta memperbaiki

substansi hukum agar sesuai dengan kehidupan masyarakat, karena penegakan

hukum merupakan faktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.55

Sementara itu Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah yang

mempengaruhi efektivitas hukum, bila ditinjau dari faktor aparat penegaknya,

sangat tergantung pada 4 hal, yaitu:

1. Sejauh mana aparat penegak hukum terikat oleh peraturan-peraturan

yang ada,

2. Apa batas yang ditentukan bagi penegak hukum dalam mengambil atau

memberikan kebijakan,

3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh penegak hukum

kepada masyarakat,

4. Sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada

penegak hukum, sehingga memberikan mereka batasan yang tegas

dalam wewenangnya.

Menurut Daniel S. Lev yang paling menentukan dalam proses hukum adalah

konsepsi dan struktur kekuasaan politik, karena hukum sering kali merupakan

sebuah alat politik. Posisi hukum dalam negara tergantung pada keseimbangan

politik, definisi kekuasaan, evolusi ideologi politik, ekonomi, sosial, dan

seterusnya.56 Sedangkan Noet dan Selznick menyatakan bahwa seorang penguasa

atau yang memiliki otoritas dalam penegakan hukum dan dapat mengeluarkan atau

membuat pelbagai aturan sebagai sarana kekuasaannya, harus ingat bahwa

kekuasaan empiris tidak dapat dipaksakan sesuai dengan keinginannya, tetapi harus

dengan menambah kredibilitas para penegak hukumnya, dengan itu, maka aturan-

aturan tersebut akan mendapatkan legitimasi serta menarik kemauan masyarakat

secara sukarela.57 Dengan demikian, maka kredibilitas para penegak hukum

54 Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan,

Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, (Bandung: Alumni, 1999) dalam Fauzie Y. Hasibuan, Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum, 4.

55 Fauzie Y. Hasibuan, Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum,

http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-penegakan-hukum-

dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-advokat-indonesia/,2. (diakses pada

tanggal 25 Januari 2021). 56 Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,

Cet I, (Jakarta: LP3S, 1990), 45. 57 Noet dan Selznick dalam Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna

Dialog Antara Hukum dan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 251-252.

92

merupakan hal yang sangat penting dalam terlaksananya suatu aturan atau undang-

undang.

Cakupan penegak hukum sangat luas sekali, dan yang dimaksudkan dengan

penegak hukum dalam disertasi ini adalah penegak hukum yang secara langsung

berkecimpung di dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement (penegakan hukum) belaka, akan tetapi juga peace maintenance (pemeliharaan perdamaian). Mereka adalah yang bertugas dalam bidang kehakiman,

kejaksaan, kepolisian, pengacara dan pemasyarakatan,58 serta para penegak hukum

yang secara khusus hanya ada di Provinsi Aceh, dan tidak ada di wilayah lainnya.

Dalam sejarah penerapan syariat Islam dikenal paling tidak empat macam

wilayah peradilan Islam, yaitu wilayah al-Hisbah, wilayah al-qadha, wilayah al-maz}a>lim dan ada yang menambahkannya dengan 1 wilayah lagi, yaitu wilayah at-tahkim,. Keempat wilayah ini telah mengambil peran yang cukup penting pada saat

mewujudkan syariat Islam di dalam kehidupan masyarakat.59

Wilayah hisbah adalah suatu lembaga yang bertugas menegakkan amar

makruf apabila jelas-jelas ditinggalkan (zhahara tarkuhu) dan mencegah

kemungkaran apabila jelas-jelas dilakukan (zahara fi’luhu).60 Kewenangan lembaga

ini meliputi hal-hal yang berkenaan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan

sebagian dari tindak pidana ringan yang menghendaki penyelesaian segera. Karena

Tujuan adanya lembaga ini adalah untuk menjaga ketertiban umum serta

memelihara keutamaan moral dan adab dalam masyarakat. Jadi tugas lembaga ini

meliputi amar makruf dan nahi munkar, agar kehidupan masyarakat dapat

berkembang dan lestari, dengan terjaganya ketertiban sosial.61

Wilayah qadha adalah lembaga peradilan yang sesungguhnya yang

berwenang menyelesaikan segala macam sengketa baik perdata maupun pidana.

Khususnya di Indonesia, Peradilan Agama tidak berwenang dalam memutuskan

perkara pidana. Pengadilan Agama hanya berwenang memeriksa dan memutuskan

serta menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam

dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah serta wakaf dan sedekah.62

Wilayah al-mazhalim merupakan lembaga peradilan khusus yang agaknya

mirip dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan lembaga ini menurut al-

Mawardy ada 10 macam,63 yaitu: 1) pengaduan oleh rakyat terhadap penganiayaan

yang dilakukan oleh pejabat/penguasa, 2) kecurangan petugas zakat dan baitul mal,

58 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 19. 59 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 120. 60 Al-Mawardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah (Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-H}alabi>, 1973),

240. 61 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

120-121; Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer (Jakarta: Gramata Publishing, 2011), 137.

62 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

128-129 63 Al-Mawardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 162-168

93

3) pengawasan terhadap perlakuan para pejabat terhadap rakyatnya, 4) pengaduan

para pegawai dan tentara misalnya menyangkut pemotongan dan keterlambatan

gaji, 5) pengaduan oleh rakyat tentang perampasan harta oleh para penguasa atau

orang-orang kuat, 6) pengawasan harta wakaf, 7) melaksanakan putusan lembaga

peradilan yang tidak sanggup dijalankan karena pihak yang kalah adalah orang-

orang besar dan kuat, 8) meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang menyangkut

kepentingan umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh muhtasib (petugas hisbah),

9) menjaga pelaksanaan ibadah yang penting seperti Shalat Jumat, Idul Fitri dan

Haji, 10) mengawasi penyelesaian perkara-perkara yang menjadi sengketa antara

dua pihak agar tetap dijalankan dengan benar. Sedangkan Wilayah tahkim mirip

dengan apa yang disebut arbitrase pada masa sekarang, yaitu apabila dua pihak atau

lebih memilih seseorang yang dianggap mampu dan adil untuk menyelesaikan

sengketa mereka berdasarkan hukum syara'. Berbeda dengan peradilan (qadha’) pada tahkim meskipun kedua pihak bersengketa, tetapi mereka sepakat untuk

memilih seseorang untuk memutuskan persoalan mereka. Kewenangan lembaga

tahkim ini hanya terhadap soal sengketa harta, hukum keluarga dan tidak

dibenarkan menyangkut hukum pidana.64

Sejak lahirnya jaminan atas keistimewaan Provinsi Aceh dalam bidang

agama, pendidikan, adat istiadat serta pemberian peran kepada ulama untuk ikut

serta dalam menetapkan kebijakan daerah melalui Undang-undang Nomor 44

Tahun 1999, kemudian lahir pula Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), maka berdirilah beberapa lembaga yang

bertugas untuk membantu penegakan syariat di Aceh. Lembaga-lembaga itu

adalah: 1) Dinas syariat Islam, 2) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), 3)

Mahkamah Syar’iyah, 4) Wilayatul Hisbah (WH), dan 5) Majelis Adat Aceh

(MAA), dan ditambah dengan kepolisian dan kejaksaan. Di bawah ini, penulis

jelaskan fungsi masing-masing lembaga tersebut:

1. Dinas Syariat Islam

Salah satu lembaga penegak syariah di Aceh adalah Dinas Syariat

Islam (DSI) yaitu perangkat daerah yang bertugas melaksanakan syariat Islam

di lingkungan Pemerintah Daerah Aceh dan posisinya berada di bawah

Gubernur.65 Pembentukan Dinas Syariat Islam ini merupakan tindak lanjut dari

UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah

Istimewa Aceh, dan tujuannya untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan

tugas operasional Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam bidang

64 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

125-127; Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, 127.

65 Adi Hermansyah, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Badan (Corporal Punishment) di Indonesia: Kajian Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam, (Tesis:

Universitas Diponegoro Semarang, 2008), 169.

94

pelaksanaan syariat Islam yang lebih efisien.66 Hal ini untuk mewujudkan visi

syariat Islam yakni mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera dan

bermartabat sebagai hasil dari pelaksanaan syariat Islam secara kafah.

Menciptakan kemaslahatan masyarakat Aceh di dunia dan akhirat dengan

kewajiban memelihara agama, harta, keturunan, akal dan kewajiban

memelihara kehormatan.67 Visi syariat Islam di Aceh kemudian dijelaskan

lebih lanjut dalam rumusan misi sebagai berikut: 1) menyebarluaskan

pelaksanaan syariat Islam; 2) mempersiapkan, mensosialisasikan qanun dan

perundang-undangan pelaksanaan syariat Islam; 3) mempersiapkan dan

membina sumber daya manusia pelaksana dan pengawasan syariat Islam; 4)

membina dan memantapkan kesadaran beragama masyarakat; dan 5)

mewujudkan pengadilan yang jujur, adil, mengayomi, berwibawa serta murah

dan cepat.68

Dinas Syariat Islam memiliki tugas pengawasan terhadap

implementasi syariah dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap

ketentuan-ketentuan dalam qanun syariah.69 Sedangkan wewenangnya dalam

pelaksanaan fungsi pengawasan disebutkan dalam Pasal 4 sebagai berikut:

a) Merencanakan program, melakukan penelitian dan pengembangan

unsur-unsur syariat Islam;

b) Melestarikan nilai-nilai Islam;

c) Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan syariat Islam yang

meliputi bidang-bidang Aqidah, ibadah, mu’a>malat, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar makruf nahi> munkar, baitulmal>l, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qada>, jina>ya>t, munaka>ha>t dan mawaris;

d) Mengawas terhadap pelaksanaan syariat Islam; dan

e) Membina dan mengawasi terhadap Lembaga Pengembangan

Tilawatil Quran (LPTQ);

Visi dan misi utama dibentuknya Dinas Syariat Islam adalah untuk

mewujudkan masyarakat Aceh yang adil dan makmur serta bermartabat dalam

tuntunan syariat Islam secara kafah, dengan menyebarluaskan informasi

tentang syariat Islam, menyiapkan, mensosialisasikan qanun dan peraturan

66 Konsideran peraturan daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 33 Tahun 2001

Tentang Pembentukan Susunan Organsasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi

Daerah Istimewa Aceh, Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 No.

65. 67 Muhammad Ta>hir Ibn ‘A>syur, Ma>qa>sid Asy-Syari>’ah al-Isla>miyyah (Tunisia: Da>r

as-Sala>m, 2006), 79. 68 Taslim H.M. Yasin, Pluralisme Agama di Wilayah Syari’at, dalam Syamsul Rijal,

ed. Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Pelaksanaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas

Syariat Islam Provinsi NAD, 2007), 38. 69 Lihat dalam pasal 3 Peraturan Daerah No. 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh

(NAD).

95

tentang pelaksanaan syariat Islam, menyiapkan dan membina sumber daya

manusia pelaksana dan pengawas pelaksanaan syariat Islam, membina dan

memantapkan kesadaran keislaman umat, pengamalan ibadat serta

menyemarakkan syiar keagamaan dan membantu mewujudkan pengadilan

yang jujur, adil, mengayomi, berwibawa serta mudah, murah dan cepat yang

berlandaskan syariat Islam.70

2. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan salah satu

lembaga yang dibentuk dari penjabaran terhadap UU No. 44 Tahun 1999

Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.71 Dengan terbitnya UU

tersebut, pemerintah Aceh mencoba untuk membangkitkan kembali peran

ulama dalam masyarakat Aceh.72 Dalam Pasal 9 UU No. 44 Tahun 1999

disebutkan bahwa: Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri

atas para ulama dan bersifat independen yang berfungsi dalam memberikan

pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk dalam bidang

pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang

islami.

Keberadaan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) bukan

merupakan suatu badan atau unsur pelaksana pemerintah daerah dan DPRD,

tetapi keberadaannya merupakan mitra sejajar pemerintah daerah dan DPRD.73

Dijelaskan dalam Pasal 3 Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan

Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi

Daerah Istimewa Aceh tentang kedudukan MPU sebagai badan yang

independen dan menjadi mitra sejajar dengan pemerintah daerah dan DPRD,

dan bukan unsur pelaksana dari pemerintah daerah.74

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga

dijelaskan dalam Pasal 1 angka 16 UU No. 11 Tahun 2006 menjelaskan bahwa

MPU adalah majelis yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan

muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.75 MPU

memiliki tugas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4, 5 dan 6 Perda No. 3

70 Dede Hendra Mr, Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar

Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh (Tesis: Fak. Hukum, Univ. Indonesia, 2012), 66. 71 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam Dari

Indonesia Sampai Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 31. 72 Husni Jalil, “Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam Pelaksanaan

Otonomi Khusus Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2

Agustus 2007, 131. 73 Dede Hendra Mr, Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk ..., 92. 74 Munawar Rizki Jailani & Mohammad Taqiuddin bin Mohamad, “Peran Majelis

Permusyawaratan Ulama Aceh Dalam Mengembang Dan Mensosialisasikan Perbankan

Islam Di Aceh” Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan, Vol. 18, No.

2, Desember (2018) 93-108. 75 Lihat Pasal 128 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

96

Tahun 2000, yaitu untuk dapat memberikan masukan, pertimbangan,

bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan daerah

dari aspek syariat Islam, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada

masyarakat. Majelis ini juga ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya

pemerintahan yang jujur, bersih, berwibawa dan islami. di Aceh.76

Keberadaan ulama dalam masyarakat Aceh memiliki status yang

sejajar dengan instansi daerah lainnya. Hal ini menempatkan MPU sebagai

mitra penting pemerintahan daerah. Namun MPU memiliki keterbatasan dalam

pembuatan keputusan meskipun posisinya sejajar, karena fungsi MPU adalah

sebagai pemberi saran, pertimbangan, dan usulan kepada pemerintah daerah,

dan keputusannya tetap berada pada pihak pemerintahan daerah, dan dalam

kenyataannya, meskipun secara yuridis kedudukan MPU adalah mitra yang

sejajar dengan pemerintah daerah dan DPRD, namun dalam praktiknya masih

belum berjalan secara maksimal, dan masih sebatas hanya hubungan

konsultasi.77

Dalam bidang perbankan syariah, tugas MPU adalah untuk membantu

Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dalam mengembangkan dan

mensosialisasikan perbankan syariah kepada masyarakat Aceh seiring dengan

tujuan penerapan Syariat Islam secara penuh. Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Jailani dan Muhammad disimpulkan bahwa MPU telah

berperan dengan baik dalam pengembangan dan sosialisasi perbankan syariah

di Aceh, dengan bukti adanya berbagai upaya yang dilakukan dalam

mendorong pemerintah untuk membuat payung hukum untuk memudahkan

pengembangan perbankan Islam di Aceh yang disebut dengan Qanun Lembaga

Keuangan Syariah. Peran lain yang tampak adalah dalam meminta kepada

pemerintah di Aceh untuk mendirikan bank-bank syariah di seluruh wilayah

Aceh, guna memudahkan akses masyarakat terhadap lembaga perbankan yang

sesuai dengan syariat Islam.78

3. Mahkamah Syar’iyah

Perjuangan rakyat Aceh untuk memiliki Mahkamah Syar’iyah

sebetulnya sudah sejak lama, yakni sejak tahun 1957 yang terbentuk dari hasil

revolusi. Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh, pada awalnya tidak

didasarkan pada surat keputusan pemerintah, tetapi atas dasar musyawarah

untuk menampung keinginan masyarakat Aceh. Perjuangan tersebut

mendapatkan hasilnya setelah terjadi perdamaian antara pemerintah RI dengan

GAM dengan terbitnya Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah Aceh

76 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, 31. 77 Husni Jalil, “Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam Pelaksanaan..., 133. 78 Munawar Rizki Jailani & Mohammad Taqiuddin bin Mohamad, “Peran Majelis

Permusyawaratan Ulama Aceh Dalam Mengembang Dan Mensosialisasikan Perbankan

Islam Di Aceh” Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan, Vol. 18, No.

2, Desember (2018) 93-108.

97

diberi hak untuk membentuk sebuah lembaga peradilan yang bertujuan untuk

menunjang kelangsungan penerapan syariat Islam. Lembaga tersebut adalah

Mahkamah Syar’iyah yang merupakan lembaga resmi Peradilan syariat di

Aceh yang sebelumnya juga telah diisyaratkan dalam undang-undang No. 18

tahun 2001, sebagai jaminan berlakunya keistimewaan daerah Aceh.79 MS ini

adalah lembaga peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama, yang

dibentuk atas dasar ketentuan Pasal 15 ayat 2 dalam Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang tersebut

menjelaskan bahwa peradilan syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

adalah peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama dalam

permasalahan yang berkaitan dengan wewenang peradilan agama dan

merupakan peradilan khusus dalam lingkup peradilan umum dalam

permasalahan yang berkaitan dengan peradilan umum.80

Sebagai lembaga peradilan, mahkamah ini memiliki 2 fungsi dan

wewenang, yaitu sebagai peradilan agama sekaligus peradilan umum,81

meskipun begitu, lembaga ini tetap tidak keluar dari sistem peradilan Nasional

sebagaimana penjelasan dalam Undang-undang Peradilan Agama Pasal 128

ayat 1 bahwa Peradilan syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan bagian dari

sistem peradilan nasional di lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh

mahkamah syar’iyah dan bebas dari pengaruh pihak mana pun.82 Dengan

demikian, maka secara umum, kewenangan mahkamah syar’iyah adalah sama

dengan kewenangan pengadilan agama yang ditambah dengan kewenangan

lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Aceh dalam bidang ibadah

dan syiar Islam yang ditetapkan dalam qanun Aceh.83 Mahkamah Syar’iyah

berwenang dan bertugas untuk memeriksa dan memutuskan semua perkara

yang menjadi wewenangnya dalam tingkat pertama dan banding.84

Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah ini berdasarkan syariat Islam dalam

sistem hukum Nasional dan diatur lebih jauh dengan qanun Aceh.

79 Jaenal Aripin, Himpunan UU Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010), 795; Lihat pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah, yang menjelaskan tentang perubahan

nomenklatur pengadilan agama di Aceh. “Pengadilan agama yang telah ada di Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah”.

80 Zul Akli, “Eksekusi Tindak Pidana Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar’iyah

Lhokseumawe”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2, 145. 81 Efa Laela Fakhriah, Yusriza, “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah Di Aceh

Dihubungkan Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia”, http://pustaka.unpad.ac.id/wp

content/uploads/2014/02/Kewenangan-Mahkamah-Syariyah.pdf; Rifqi Ridlo Phahlevy,

“Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Konteks NKRI Dan HAM”, Rechtsidee, Vol. 1 No. 1

Tahun 2013, 88. 82 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 tentang

Mahkamah Syar’iyah. 83 Jaenal Aripin, Himpunan UU Kekuasaan Kehakiman,767. 84 Muhibuth Thabary, Konsep dan Implementasi Wilayatul Hisbah dalam Penerapan

Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Disertasi, Tahun 2007), 35.

98

Sementara itu, bila terjadi sengketa wewenang antara mahkamah

syar’iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang

Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan terakhir.

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh ini berlaku bagi pemeluk agama

Islam saja dan tidak berlaku bagi warga yang tidak beragama Islam,85

sebagaimana penjelasan pasal 128 ayat 3 undang-undang Nomor 11 Tahun

2006 yang menyatakan bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang untuk

memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi

bidang al-Ahwa>l al-Shakhs}iyyah atau hukum keluarga, mu’a>malah (hukum

perdata), dan jina>yah (hukum pidana) yang sesuai dengan syariat Islam.86

4. Wilayatul Hisbah

Lembaga ini merupakan badan yang berwenang dalam menyampaikan

informasi kepada masyarakat tentang peraturan-peraturan yang sudah

diberlakukan, sehingga masyarakat dapat mematuhi aturan-aturan tersebut dan

dapat menghindari sanksi atau denda atas pelanggaran terhadap peraturan (law enforcement).87 Kata Hisbah ini berasal dari bahasa arab, maknanya menurut

Muhammad Mubarak adalah pengawasan administrasi yang dilaksanakan oleh

pemerintah dengan menugaskan pejabat khusus, pengawasannya dalam bidang

akhlak, agama, dan ekonomi, atau lebih tepatnya dalam berbagai aspek sosial

kemasyarakatan secara umum sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan dan

keutamaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam dan tradisi atau adat

istiadat yang diakui oleh segala tempat dan zaman.88 Sedangkan di dalam

penjelasan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2004, Wilayatul hisbah disebut

sebagai lembaga yang pembantu tugas kepolisian dalam membina,

memberikan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi> munkar,

sekaligus berfungsi sebagai polisi khusus (polsus) dan PPNS.89

Wilayatul Hisbah (WH) adalah suatu lembaga yang mendapatkan

amanat untuk menegakkan hukum (law enforcement) dan pengawasan90

85 Natangsa Surbakti, “Pidana Cambuk dalam Perspektif Keadilan Hukum dan Hak

Asasi Manusia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli

(2010): 456 – 474, 462. 86 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 87 Al Yasa’ Abu Bakar, Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan

Khusus di Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009), 22. 88 Marah Halim, “Eksistensi Wilayatul Hisbah dalam Sistem Pemerintahan Islam”,

Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. X, No. 2, (2011), 67. 89 Al Yasa’ Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005), 358; Pasal 1

Ayat (8) Qanun No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah

Nanggroe Aceh Darussalam. 90 Dina Afrianty, “Sharia Police and The Regulating of morality”, International

Conference on Negotiating Diversity in Indonesia, Singapore Management University

November 5-6, 2012,3.

99

pelaksanaan syariat Islam secara total di Aceh91. Lembaga ini terbentuk

menyusul berlangsungnya penanda tanganan nota perdamaian yang terjadi

antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki telah

melahirkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh.92 Di dalam Pasal 244 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa gubernur, Bupati

atau Walikota dapat membentuk Polisi Pamong Praja (Pol PP) sebagai upaya

untuk menegakkan ketertiban dan ketenteraman umum. Gubernur dan

bupati/Walikota dapat membentuk Polisi Wilayatul Hisbah sebagai usaha

untuk menegakkan qanun syariat, dan menjadi bagian dari Polisi Pamong

Praja.93

Sebetulnya persoalan pengawasan terhadap pelaksanaan syariat Islam

di Aceh telah dijelaskan di dalam Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang

pelaksanaan syariat Islam dalam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, serta

dinyatakan dalam bab VI pasal 14 Ayat 1-5 dengan penjelasan: 1) Untuk

terlaksananya syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan syiar Islam, Pemerintah

provinsi, Kab/kota di Aceh membentuk Wilayatul hisbah yang berwenang

untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan qanun, 2) Wilayatul

Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, pemukiman, kecamatan dan

wilayah atau lingkungan lainnya, 3) Apabila dari hasil pengawasan yang

dilakukan oleh Wilayatul hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 terdapat

alasan yang cukup tentang terjadinya pelanggaran terhadap qanun, maka

pejabat Wilayatul hisbah diberi wewenang untuk menegur atau menasihati

orang yang melanggar, 4) Setelah upaya menegur atau menasihati dilakukan,

tetapi pelaku pelanggaran tetap tidak berubah, maka WH menyerahkan kasus

tersebut kepada pejabat penyidik, 5) Susunan organisasi Kewenangan dan tata

kerja WH diatur dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar

pertimbangan dari MPU.94

Selanjutnya, dalam Keputusan Gubernur Nomor 1 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, dijelaskan

bahwa dalam perannya sebagai penasihat spiritual bagi masyarakat Aceh,

bidang tugasnya adalah untuk: 1) memberitahu masyarakat tentang qanun yang terkait dengan hukum syariah; 2) mengawasi kepatuhan atas hukum

syariah, menegur, memperingatkan dan memberi bimbingan moral kepada

91 Chairul Fahmi, “Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh (Kajian terhadap

UU No. 11 Tahun 2006)”, Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, No. 2, Oktober 2012, 300. 92 Topo Santoso,” Implementation of Islamic Criminal Law in Indonesia: Ta’zi>r

Punishment as A Solution?”, IIUM Law Journal Vol. 19 No. 1, 2011, 141; Saadan Man,

“Transformasi Hukum Islam Komtemporer di Malaysia Melalui Gagasan Fiqh Malaysia”,

Icon-Imad, International Conferece On Islam In Malay Word 2011, 557; Badan Arsip dan

Perpustakaan Pemerintah Aceh,” Sejarah Lahirnya Polisi Wilayatul Hisbah”,

http://arpus.acehprov .go.id/in dex.php/9-uncategorised/121-profil.html. 93 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 94 Muhibbuthabary, “Kelembagaan Wila>yat al-Hisba>h Dalam Konteks Penerapan

Syariat Islam di Aceh”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. 2 No. 2 Mei 2014, 64.

100

mereka yang disangka melanggar hukum syariah,95 3) berusaha menghentikan

tindakan atau perilaku yang dicurigai melanggar hukum syariah, 4) menangani

pelanggaran-pelanggaran melalui proses adat, dan menyerahkan pelanggaran

hukum syariah kepada penyelidik pidana. Di dalam Keputusan Gubernur

tersebut, dinyatakan bahwa susunan organisasi Wilayatul hisbah, terdiri atas:

1)Wilayatul Hisbah Tingkat Provinsi, 2) Wilayatul Hisbah tingkat

Kabupaten/Kota, 3) Wilayatul Hisbah tingkat Kecamatan, 4) Wilayatul

Hisbah tingkat Pemukiman. Selanjutnya, pada tahun 2007, atas dasar Qanun

Aceh Nomor 5, kedudukan WH yang mulanya berada di bawah Dinas Syariah

Islam, berubah secara resmi dan digabungkan dengan Satuan Polisi Pamong

Praja (Satpol PP).96 Di dalam pasal 202 ayat (1) Qanun Nomor 5 tersebut

dijelaskan bahwa satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah adalah

aparat Pemerintah Aceh di bidang penegakan pelaksanaan qanun dan syariat

Islam, ketenteraman, ketertiban umum serta hubungan antar lembaga.97

5. Kepolisian

Kepolisian memiliki tanggung jawab atas penciptaan dan pembinaan

situasi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat, sebagai tugas

pokoknya dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Subroto

Brotodiredja sebagaimana dikutip oleh Abdussalam mengatakan bahwa

keamanan dan ketertiban adalah suatu keadaan terbebas dari kerusakan atau

kehancuran yang menjadi ancaman umum atau perorangan dari masyarakat

dan memberikan rasa aman dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga

muncul kepastian dan perasaan yakin terhadap adanya jaminan dalam segala

kepentingan, yang bisa juga disebut sebagai suatu keadaan tidak adanya

norma-norma hukum yang dilanggar.98

Kepolisian daerah Aceh juga memiliki tanggung jawab terhadap

keberhasilan penerapan syariat Islam di Aceh, hal ini sesuai dengan landasan

yuridis pada qanun Nomor 11 tahun 2004 tentang TUPOKSI kepolisian daerah

95 Hirwan Jack, “Efektivitas Wilayatul Hisbah dalam Pencegahan Aliran Sesat di

Aceh”, http://bkpp.acehprov .go.id/ simp egbrr /Art ikel/Artikel05-02-2015/Wilayatul

Hisbah_Aceh.pdf, 2. (diakses pada 16/03/2021); International Crisis Group, “Syari’at Islam

dan Peradilan Pidana Di Aceh”, http://www.crisisgroup.org /~/media/Files/asia/south-

eastasia/indonesia/Indonesian%20translations/17_indonesians_islamic_law_criminal_justic

e_indonesian_version.pdf (diakses pada 25 Maret 2021). 96 Arskal Salim, “Politics, Criminal Justice and Islamisation in Aceh”, Melborne Law

School, 8. http://www.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/salim_final2_forwebsite wo b l

eed2.pdf (dikases pada tanggal 31 Maret 2021). 97 Qanun Aceh No. 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas,

Lembaga Teknis Daerah dan lembaga Daerah Provinsi Aceh. 98 Soebroto Brotodirejo dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum di Lapangan, Oleh

Polri (Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997), 22.

101

Nanggroe Aceh Darussalam.99 Dalam qanun tersebut dijelaskan bahwa tugas

kepolisian mencakup berbagai bidang preemtif, preventif dan represif non-yustisial, dan represif pro-yustisial sebagai tugas umum polisi Negara dan

penegak syariat Islam di Provinsi Aceh.100

Dalam hal ini, Tugas utama kepolisian negara adalah memelihara

keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana

dijelaskan dalam undang-undang kepolisian,101 Sedangkan untuk yang bertugas

di Aceh, mereka mendapat tugas tambahan sebagai petugas khusus untuk ikut

serta dalam penegakan syariat Islam.102 Tugas tersebut tidak dalam bentuk

yang berbeda dari tugas utama kepolisian, hanya obyeknya saja yang

mendapatkan tambahan, di antaranya: melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap berbagai bentuk tindak pidana (jari>mah) sesuai dengan peraturan

perundang-undangan atau qanun yang berlaku di Aceh.103 Penjelasan terkait

tugas khusus ini terdapat dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum

Acara Jina>ya>t dalam pasal 6-9. Dalam qanun tersebut juga terdapat penjelasan

bahwa penyidik dari kepolisian diberi wewenang untuk menangkap, melarang

meninggalkan tempat, menggeledah dan menyita.104

6. Kejaksaan

Sesuai dengan penjelasan UUD Negara Indonesia, Kejaksaan Republik

Indonesia adalah salah satu dari lembaga yang memiliki fungsi terkait dengan

kekuasaan kehakiman. Kedudukan lembaga ini secara rinci diatur dalam

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.105 Di dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa kejaksaan

adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam

99 Lihat Pasal 21 ayat 1 Bab X Tentang Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh

Darussalam, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah

Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. 100 Lihat Pasal 4 ayat 1 Qanun Aceh No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional

Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. 101 Lihat Bab III Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia. 102 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, 843. 103 Di dalam Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam

Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam, Pasal 15 ayat 1 terdapat penjelasan bahwa

Lembaga Kepolisian Daerah Aceh memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan

terhadap setiap kasus pelanggaran syariat Islam di Aceh. Kemudian, dalam Bab V Pasal 10

dan 11 Qanun Aceh No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah

Nanggroe Aceh Darussalam dijelaskan mengenai wewenang Kepolisian Negara Kesatuan

Republik Indonesia dalam Pasal 16 – 19 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. 104 Lihat pasal 7 ayat 1 hurup (a) Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum

Acara Jinayat. 105 Nurmuklis dan Agus Sanwani, Penerapan Hukum Acara Pidana..., 93.

102

bidang penuntutan serta mempunyai kewenangan lain sesuai ketentuan dalam

undang-undang yang diselenggarakan oleh: 1) Kejaksaan Agung yang

berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya

yang mencakup wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia, 2) Kejaksaan

Tinggi yang berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya yang

mencakup wilayah provinsi, 3) Kejaksaan Negeri yang berkedudukan di

Ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya mencakup wilayah

kabupaten/kota.

Sedangkan dalam bidang pidana, kejaksaan mempunyai 5 tugas pokok

dan wewenang sebagai berikut: 1) melakukan penuntutan, 2) melaksanakan

penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, 3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat, 4)

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-

undang, 5) melengkapi berkas perkara tertentu, dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum perkara tersebut dilimpahkan kepada

pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.106

Dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh kedudukan kejaksaan

sebagai penuntut umum diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2002

tentang pelaksanaan syariat Islam dalam bidang Aqidah, Ibadah, dan syiar Islam. Dalam pasal 16 ayat 1 dijelaskan bahwa pelaksana penuntut umum

adalah jaksa,107 atau pejabat lain yang mendapat wewenang dari qanun untuk

melaksanakan penuntutan dan melaksanakan putusan atau penetapan hakim

mahkamah syar’iyah.108 Adapun wewenang jaksa dalam melakukan fungsinya

sebagai penuntut, di jelaskan dalam Pasal 17 Qanun Aceh Nomor 11 tahun

2002 sebagai berikut:

a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;

b) Mengadakan pra-penuntutan apabila berkas perkara hasil penyidikan

terdapat kekurangan disertai petunjuk penyempurnaannya;

c) Membuat surat dakwaan;

d) Melimpahkan perkara ke mahkamah syar’iyah;

e) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan

waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan,

baik kepada terdakwa maupun kepada saksi agar datang pada hari

sidang yang telah ditentukan;

f) Melakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

berlaku;

106 Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 107 Chairul Fahmi, “Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh (Kajian terhadap

UU No.11 Tahun 2006)” Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, No. 2, Oktober 2012, 30. 108 Pasal 16 ayat (1) Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

pada Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.

103

g) Mengadakan tindakan lain dalam lingkungan tugas dan tanggung

jawab sebagai penuntut umum menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

h) Melaksanakan putusan hakim.

Dalam pasal 18 qanun No. 11 tahun 2002 disebutkan bahwa penuntut

umum dalam melakukan tuntutan perkara atas pelanggaran qanun yang terjadi

dalam wilayah hukumnya. Kemudian dalam pasal 19, disebutkan bahwa

pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam qanun

tersebut harus diperiksa dan diputuskan oleh mahkamah syar’iyah.109

Sementara itu dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara

Jina>ya>t dinyatakan bahwa jaksa diberi wewenang oleh Qanun dalam hukum

acara Jina>ya>t untuk melaksanakan penuntutan serta melaksanakan penetapan

dan putusan hakim mahkamah dengan kewenangan sebagai berikut:110

a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik

atau penyidik pembantu;

b) Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan

penyidikan dari penyidik sesuai dengan peraturan perundang-

undangan;

c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan lanjutan dan

atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh

penyidik;

d) Membuat surat dakwaan;

e) Melimpahkan perkara ke mahkamah;

f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa dan saksi tentang

ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan

surat panggilan untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g) Melakukan penuntutan;

h) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan Qanun No. 7 Tahun

2013 dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya; dan

i) Melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah.111

7. Majelis Adat Aceh (MAA)

Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang religius, masyarakat

Aceh sangat memperhatikan kesesuaian dengan syariat Islam dalam

melaksanakan hukum adat, karena dalam perspektif masyarakat Aceh, adat

harus bersendikan syara’. Selanjutnya berkenaan dengan hukum Islam,

109 Nur Muklis dan Agus Sanwani, Penerapan Hukum Acara Pidana, 95. 110 Lihat Pasal 1 ayat (22) Qanun No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat. 111 Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam, Kompilasi Hukum

Formil dan Materil Tentang Syariat Islam di Aceh, (Subulussalam: Pol PP dan WH Kota

Subulussalam, 2014), 16-17.

104

masyarakat Aceh mengamalkannya sebagaimana pelajaran yang mereka terima

dari guru agama atau ulama.112 Adat istiadat Aceh telah memberikan

sumbangan yang tak ternilai harganya dalam kehidupan sosial dan keagamaan

di masyarakat Aceh, bahkan adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam

perilaku sosial dan agama di provinsi Aceh.113 Hal ini dibuktikan dengan

ungkapan “Hukom Ngon Adat Hanjeut Cre Lagee Zat Ngon Sifeuet” (hukum

adat dan agama tidak boleh dipisahkan, ibarat tidak bisa dipisahkannya antara

zat Allah dan sifat-sifat-Nya). 114

Dari sini dapat dijelaskan bahwa adat dan budaya masyarakat Aceh

tidak lain adalah Islam itu sendiri. Budaya dan Islam di Aceh telah berinteraksi

dan berasimilasi secara harmonis dalam masyarakat sejak zaman dahulu.

Bentuk kongkret harmonisasi adat dan budaya di Aceh tidak hanya sebatas

pada tataran sosial saja, melainkan telah merambah ke bidang-bidang lainnya,

seperti ekonomi, politik dan hukum. Begitulah pentingnya budaya dan adat

bagi masyarakat Aceh, sehingga budaya dan adat tersebut diterapkan dalam

bentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Hal

ini juga tertera dalam kaidah Usul Fikih yang berbunyi: “al- A>datu Muhakkamah” (adat dapat dijadikan sebagai hukum). Hal ini menunjukkan

bahwa Islam tidak membonsai apalagi mengebiri budaya adat setempat, tetapi

Islam memberi ruang yang harmonis supaya adat dapat tumbuh bersama

selama adat dan budaya tersebut tidak menyalahi atau bertentangan dengan

syariat Islam.115

Hukum adat sebagai suatu sistem hukum yang memiliki pola tersendiri

dalam menyelesaikan sengketa, memiliki karakter yang khas dan unik bila

dibandingkan dengan sistem hukum lain.116 Tradisi penyelesaian sengketa

dalam masyarakat hukum adat didasarkan atas filosofi kebersamaan,

pengorbanan, nilai supernatural dan keadilan. Penyelesaian sengketa dalam

masyarakat hukum adat cenderung menggunakan pola adat atau dalam istilah

lain dikenal dengan sistem “kekeluargaan”. Pola semacam ini diterapkan

bukan hanya untuk sengketa perdata saja, tetapi juga dalam persoalan

pidana.117

Di samping adanya lembaga hukum formal yang menangani pelanggaran

syariat Islam, di Aceh juga terdapat lembaga informal yaitu lembaga adat yang

sangat berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat Aceh. Lembaga adat ini

memiliki landasan hukum berupa Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang

112 Hasan Basri,” A. Hasjmy (1914-1998) ..., 55. 113 Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh (Banda Aceh:

Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004), 22. 114 Muhammad Husein, Adat Atjeh (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi

Daerah Istimewa Aceh, 1970), 1. 115 Abidin Nurdin, “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh...,138-140. 116 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan

Hukum Nasional (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 235. 117 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah... 247.

105

Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Aceh no. 10 Tahun

2008 tentang Lembaga Adat. Kedua qanun tersebut di satu sisi menjadi

indikasi keseriusan Pemerintah Aceh dalam usaha untuk menjadikan adat yang

ada di Aceh dapat berlaku kembali dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari pemerintahan Aceh. Di sisi lain, ini juga dapat menjadi sebuah pola

“sentralisasi” yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dalam pluralitas adat yang

ada di berbagai kabupaten di Aceh. Saat ini Aceh memiliki 23 kabupaten/kota

yang setiap kabupaten/kota memiliki perkembangan adat tersendiri. Meskipun

penduduk Aceh secara mayoritas adalah suku Aceh, tetapi masing-masing

daerah memiliki adat yang khas sesuai dengan daerahnya, misalnya

perkembangan adat yang ada di Aceh Tenggara tampak berbeda dengan adat

yang ada di Aceh Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama orang

Aceh.118

Berkaitan dengan penyelenggaraan kehidupan dalam adat istiadat, setiap

daerah diberi wewenang untuk menetapkan berbagai kebijakan sebagai upaya

pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di

wilayahnya yang dijiwai dan harus sesuai dengan syariat Islam. Selanjutnya,

daerah juga diberi hak untuk membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga

adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di provinsi

Aceh, kabupaten/kota, kecamatan, pemukiman dan kelurahan/desa (gampong).

Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian permasalahan, dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan adat pada masing-masing daerah, kabupaten, kota,

kecamatan, mukim dan gampong. Adapun lembaga-lembaga adat di Aceh119

adalah sebagai berikut:

a) Majelis Adat Aceh;

b) Imeum Mukim atau nama lain;

c) Imeum Chik atau nama lain;

d) Keuchik atau nama lain;

e) Tuha Peut atau nama lain;

f) Tuha Lapan atau nama lain;

g) Imeum Meunasah atau nama lain;

h) Keujruen Blang atau nama lain;

i) Panglima Laot atau nama lain;

j) Pawang Glee/uteun atau nama lain;

k) Petua Seuneubok atau nama lain;

l) Haria Peukan atau nam lain; dan

m) Syahbanda atau nama lain.

Dalam pasal 89 ayat 1 Undang-undang No. 11 Tahun 2006 disebutkan

bahwa Lembaga adat memiliki fungsi dan peran sebagai wadah partisipasi

masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Aceh dan

118 Juniarti, “Peran Strategis Peradilan Adat di Aceh Dalam Memberikan Keadilan

Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal”, Anual International Conference Islamic Studies

(AICIS XII), 2452. 119 Pasal 2 ayat (2) Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat Aceh.

106

pemerintahan kabupaten/kota dalam bidang keamanan, ketenteraman,

kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Kemudian, dalam ayat 2 terdapat

penjelasan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat

ditempuh melalui lembaga adat. Selanjutnya dalam pasal 99 dijelaskan pula

bahwa pembinaan kehidupan adat istiadat dilakukan sesuai dengan

perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang dilandaskan kepada

nilai-nilai syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe Aceh.

Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh ini,

dilaksanakan oleh lembaga adat dengan pertimbangan dari wali Nanggroe

Aceh.

Kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh peradilan adat di Aceh

tentunya tidak setara dengan kompetensi yang dimiliki oleh peradilan negara.

Karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, kompetensi

Peradilan Adat di Aceh lebih ditekankan pada aspek umum, dan tidak

membedakan jenis perkara perdata dan pidana.120 Setalah adanya pemberian

peran kepada lembaga adat untuk mewujudkan suatu kesejahteraan bagi

masyarakat Aceh, dan telah ada ketentuan yang mengatur tentang wilayah

lembaga adat dalam pengambilan suatu kebijakan untuk menyelesaikan kasus

yang terjadi dalam masyarakat, maka kebijakan yang dilakukan oleh lembaga

adat tersebut adalah dalam bentuk larangan-larangan kepada warga

masyarakat yang melakukan pelanggaran syariat, dan dalam menyelesaikan

suatu kasus, lembaga adat lebih memilih untuk menyelesaikannya melalui jalur

kekeluargaan.

Sebagai tindaklanjut berlakunya UUPA telah disahkan pula Qanun

Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat.

Qanun tersebut memberikan alternatif untuk mengurangi kesulitan-

kesulitan dalam penyelesaian perkara, yaitu melalui peradilan hukum adat

gampong.121 Penyelesaian semacam ini dalam bahasa sehari-hari disebut

dengan penyelesaian secara adat. Lahirnya qanun tersebut didasarkan pada

pertimbangan bahwa adat dan adat istiadat yang berkembang dalam kehidupan

masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang melahirkan nilai-nilai budaya,

norma adat dan aturan yang sejalan dengan syariat Islam yang merupakan

kekayaan budaya yang perlu dibina, dikembangkan dan dilestarikan. Upaya-

upaya tersebut perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke

generasi berikutnya sehingga dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya

yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari

Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintah Gampong, yang telah

menegaskan bahwa salah satu fungsi gampong adalah penyelesaian

permasalahan hukum dalam hal adanya persengketaan atau perkara-perkara

120 Mahdi, “Eksistensi Peradilan Adat Di Aceh”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika,

Vol. 8, No. 2, (2011), 197. 121 Eka Srimulyani, “Islam, Adat And the State: Matrifocality in Aceh Revisited”, al-

Ja>mi‘ah, Vol. 48, No. 2, 2010 M/1431 H, 334.

107

adat dan adat istiadat di gampong, dimana keuchiek karena jabatannya (ex officio) bertindak selaku ketua majelis hakim persidangan pada tingkat

gampong.

Dalam Qanun No. 9 Tahun 2008 telah diatur secara tegas dalam bab

tersendiri mengenai penyelesaian sengketa dan mekanismenya. Pasal 13 ayat

(1), menegaskan bahwa jenis sengketa atau perselisihan adat dan adat istiadat

adalah meliputi perkara sebagai berikut:

a) Perselisihan dalam rumah tangga;

b) Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan fara>idh;

c) Perselisihan antar warga;

d) Khalwat/meusum;

e) Perselisihan tentang hak milik;

f) Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);

g) Perselisihan harta sehareukat; h) Pencurian ringan;

i) Pencurian ternak peliharaan;

j) Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;

k) Persengketaan di laut;

l) Persengketaan di pasar;

m) Penganiayaan ringan;

n) Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas

adat);

o) Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;

p) Pencemaran lingkungan (skala ringan);

q) Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan

r) Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Dengan melihat pada uraian di atas, diketahui bahwa telah ditentukan

secara tegas 18 bentuk perkara yang bisa diselesaikan melalui peradilan adat.

Sebagaimana umumnya dalam pandangan hukum adat, jenis perkaranya tidak

dibedakan di dalam kelompok bidang hukum publik, administratif maupun

privat, karena dalam hukum adat, semua jenis perkara itu bersifat publik atau

umum.

Jenis sanksi yang bisa dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat

berdasarkan Pasal 16 Qanun No. 9 Tahun 2008 adalah: 1) nasehat, 2) teguran,

3) pernyataan maaf, 4) Sayam,122 5) Diyat, 6) ganti rugi, 7) dikucilkan oleh

masyarakat, 8) dikeluarkan dari masyarakat, 9) pencabutan gelar adat, dan

sanksi lainnya yang sesuai adat setempat. Satu hal yang membedakan sistem

penyelesaian perkara menurut hukum adat di Aceh bila di bandingkan dengan

sistem hukum nasional adalah adanya ketentuan bahwa tanggung

jawab keluarga seseorang yang melanggar hukum, di mana sanksi tersebut

juga dijatuhkan kepada anggota keluarganya. Ketentuan ini telah

122Sayam adalah perdamaian persengketaan atau perselisihan yang mengakibatkan

keluarnya darah dan diformulasikan dalam bentuk ganti rugi berupa penyembelihan hewan

ternak dalam suatu acara adat.

108

mengembangkan pemahaman perlunya tanggung jawab keluarga kepada

anggota keluarganya, sebagaimana juga sudah dipraktikkan dalam sistem

hukum pidana nasional. Berbeda dengan sebelumnya, yang menempatkan

semua tanggung jawab pidana kepada pribadi yang melanggar hukum saja,

sebagai tanggung jawab atas segala kesalahan atau kejahatan yang

dilakukannya, dan tidak kepada keluarganya.

8. Dewan Pengawas Syariah

Lembaga ini dibentuk untuk terlaksananya qanun dengan baik sesuai

dengan tujuan diterbitkannya. Pemerintah Aceh menetapkan agar setiap LKS

wajib membentuk dewan pengawas syariah (DPS) yang diangkat oleh rapat

umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Di dalam

Qanun No. 11 tahun 2018, dinyatakan bahwa tugas mereka adalah sebagai

berikut:

a) Mengawasi lembaga keuangan syariah;

b) Memberi teguran serta saran kepada direksi atau pengurus LKS

sesuai dengan Prinsip Syariah.123

Selain dewan pengawas syariah, pemerintah Aceh juga membentuk

dewan syariah untuk kepentingan koordinasi dan pengawasan syariah secara

umum, sebagai perwakilan Dewan Syariah Nasional di tingkat provinsi Aceh

dengan masa jabatan 5 tahun. Anggota DSA ini terdiri dari anggota tetap

dan anggota pleno yang juga mewakili OJK dan Bank Indonesia. Dalam

qanun ini ditetapkan bahwa pembentukan DSA ini paling lambat pada tahun

2019. DSA ini memiliki beberapa wewenang, yaitu: 1) Koordinasi dan

konsolidasi antar DPS pada setiap LKS, 2) Koordinasi dan konsolidasi antara

DSA dengan DSK, 3) Pengawasan terhadap putusan DSN atas produk dan

transaksi LKS di Aceh, 4) Mengatur dan mengawasi LKS lainnya yang belum

memiliki DPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, 5)

Penghubung antara LKS dengan pemerintah, 6) Koordinasi terkait edukasi

keuangan syariah kepada masyarakat, 7) Sertifikasi DPS setelah berkoordinasi

dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Selain di tingkat

Provinsi, dewan syariah ini juga dibentuk di tingkat Kabupaten dan Kota di

seluruh Aceh.124

Dalam rangka pembinaan, pengaturan dan pengawasan, telah ditetapkan

aspek dan bidang yang akan terus dipantau, yaitu:

a) Kesesuaian dengan Prinsip Syariah;

b) Kestabilan sistem keuangan;

c) Kesehatan LKS;

d) Kelancaran sistem pembayaran;

e) Perlindungan nasabah dan Mitra LKS;

123 Lihat bab VI bagian kesatu pasal 44 dan 45 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 124 Pasal 46-49

109

f) Kontribusi sosial kepada masyarakat; dan

g) objek lainnya yang diperlukan, termasuk larangan terhadap suatu

kegiatan seperti:

1) kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah

2) jual beli saham secara langsung di pasar modal

3) kegiatan perasuransian (kecuali sebagai agen pemasaran),

Dengan adanya lembaga-lembaga penegak hukum atau qanun sebagaimana

telah disebutkan di atas, diharapkan semua qanun Aceh dapat terlaksana dengan

baik dan efektif. Memang dalam beberapa penelitian, masih ada yang menyatakan

bahwa beberapa lembaga tersebut masih kurang serius dalam penegakan hukum,

karena beberapa faktor, akan tetapi berkaitan dengan qanun Aceh No. 11 tahun

2018, semua lembaga itu telah mengawalnya dengan baik, terbukti dengan adanya

ketaatan lembaga perbankan yang beroperasi di Aceh untuk mengubah sistem

operasinya ke bentuk syariah, dan saat ini sebagian sedang dalam proses migrasi

dan mengimplementasikan qanun tersebut.

Selain itu, berdasarkan pada Laporan Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020,

dinyatakan bahwa Pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Provinsi Aceh

melaju sangat pesat semenjak lahirnya Qanun Aceh No.11 tahun 2018 tentang

Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Kehadiran Qanun atau peraturan daerah

tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tersebut memperkuat implementasi

pembangunan ekonomi syariah di Aceh dan menambah pendapatan asli daerah di

mana proses konversi Bank BPD Aceh menjadi Bank Aceh Syariah menjadi titik

kulminasinya. Konversi Bank Aceh Syariah yang merupakan proses konversi BPD

pertama di Indonesia mendorong market share aset perbankan Syariah nasional

keluar dari jebakan pasar pada angka 5%. Sementara pada sektor keuangan mikro

Syariah, hampir seluruh lembaga keuangan mikro di Aceh telah meminta penerapan

prinsip Syariah dan ditargetkan pada akhir 2021 seluruh Koperasi konvensional

sudah berkonversi menjadi Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah.125

Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi tidak

boleh lepas dari berbagai hukum, baik kegiatan itu dilakukan oleh badan usaha

maupun sebagai perorangan dalam berbagai skala dan berbagai bentuk kegiatan.

Kegiatan-kegiatan yang dimaksud bisa dalam bentuk produksi barang dan jasa,

perdagangan dan dalam bentuk perantara baik lokal, nasional, dan internasional.

Kegiatan-kegiatan ini mengacu pada dua orientasi hukum berdasarkan dua kegiatan

yaitu secara makro dan mikro. Karena itu, kegiatan ekonomi harus selalu mengacu

kepada dua konsep hukum secara simultan yaitu hukum publik dan hukum privat

atau hukum perdata dagang.126 Dari sini terlihat bahwa salah satu fungsi qanun

adalah sebagai alat untuk kontrol pembangunan.

125 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 13. 126 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, 416.

110

C. Faktor Sarana Pendukung Penerapan Qanun

Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam

penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin

penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang

aktual. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

keuangan yang cukup, dan lain sebagainya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka

mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.127 Sarana dan fasilitas juga

merupakan faktor pendukung untuk terlaksananya qanun secara optimal di tengah

masyarakat. Untuk menunjang efektivitas penerapan qanun, pemerintah Aceh harus

memperhatikan sarana dan fasilitas pendukungnya, agar berbagai ketentuan yang

ada di dalam qanun dapat berjalan secara optimal. Soerjono Soekanto memberikan

langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam upaya pemenuhan sarana pendukung

ini sebagai berikut:

1. Meninjau apakah sarana dan prasarana yang telah ada telah terpelihara

dengan baik;

2. Sarana dan prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan

memperhitungkan angka dan waktu pengadaannya;

3. Sarana dan prasarana yang dianggap masih kurang, perlu segera

dilengkapi;

4. Sarana dan prasarana yang telah rusak harus segera diperbaiki;

5. Sarana dan prasarana yang kurang efektif harus segera dilancarkan

fungsinya;

6. Sarana dan prasarana yang mengalami kemunduran dari sisi fungsinya,

harus ditingkatkan agar menjadi baik kembali.

Sebagai penerbit qanun, pemerintah Aceh sendiri telah menetapkan fungsi

dan tanggung jawabnya untuk menyediakan, melengkapi dan mengadakan

infrastruktur yang dibutuhkan untuk terlaksananya qanun tentang lembaga

keuangan syariah ini. Dinyatakan dalam Bagian Keempat, Peran Pemerintah Aceh,

pada pasal 19, ditetapkan agar Pemerintah Aceh memfasilitasi ketersediaan

infrastruktur dasar Bank Syariah, dan Apabila di Kabupaten/Kota belum ada Bank

Syariah, Pemerintah Aceh dapat memfasilitasi atau membentuk Bank Syariah.

Kemudian, di dalam pasal 20 dinyatakan bahwa dalam rangka memberikan insentif

kepada Bank Syariah yang berkinerja baik, Pemerintah Aceh dapat memberikan

insentif berupa penempatan dana atau bentuk insentif lainnya. Dalam menentukan

jenis dan bentuk insentif, termasuk teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) Pemerintah Aceh berkoordinasi dengan regulator, Dewan Syariah Aceh,

dan pihak terkait lainnya. Pemerintah Aceh, OJK dan DSA dapat melakukan

penilaian bersama-sama dengan kriteria yang disepakati pada tiap semester dalam

rangka menilai kinerja dan peran perbankan syariah di Aceh dan diumumkan pada

akhir tahun berjalan.128

127 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 82. 128 Pasal 19 dan 20 qanun Aceh No. 11 tahun 2018

111

Dari ketentuan pasal di atas, tampak bahwa penyediaan infrastruktur ini

adalah menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh, utamanya dalam mendirikan

bank syariah di tiap kabupaten/kota. Sebab tanpa adanya bank syariah di tiap

wilayah, maka mustahil qanun ini akan terlaksana. Dapat dibayangkan jika

seseorang harus melakukan transaksi perbankan sampai ke luar kota, maka tentunya

akan menyita banyak tenaga dan biaya yang tidak sedikit, sehingga efisiensi waktu

akan menjadi kurang baik.

Berkenaan dengan tersedianya fasilitas ini, penulis menemukan bahwa masih

banyak masyarakat Aceh yang mengeluhkan minimnya sarana dan fasilitas

tersebut. Dalam beberapa wawancara, diperoleh jawaban bahwa masih ada

masyarakat yang enggan bertransaksi dengan bank syariah, disebabkan oleh

kurangnya fasilitas. Misalnya saat penulis menanyakan tentang keringanan,

kemudahan dan keuntungan yang mereka dapatkan sebagai manfaat dari

pemberlakuan qanun tentang LKS, 30% informan menjawab bahwa mereka

mengalami kendala dan kesulitan, dan belum merasakan manfaat dari

pemberlakuan qanun ini karena fasilitasnya masih kurang.129

Kemudian, untuk mendukung terlaksananya qanun, Pemerintah provinsi

dan kabupaten, diberi tanggung jawab untuk mengembangkan lembaga keuangan

agar sesuai dengan Prinsip Syariah, dengan beberapa langkah: 1) Mewajibkan

seluruh transaksi keuangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota

wajib melalui LKS. 2) Melakukan penyertaan modal untuk penguatan LKS, 3)

Memberikan pendampingan kepada LKS yang bermasalah. 4) Ikut serta dalam

pengembangan sumber daya LKS dalam bentuk pendidikan dan pelatihan. 5)

Melakukan inventarisasi LKS yang belum berbadan hukum. Selain daripada itu,

pemerintah Aceh juga wajib memfasilitasi LKS untuk melakukan koordinasi

dengan Pemerintah Pusat terkait dengan berbagai program Pembiayaan, bekerja

sama dengan dayah dan masjid, serta pihak/lembaga lainnya, dan pengembangan

jaringan kerja sama antar LKS.130

Adanya kewajiban dari pemerintah daerah untuk melakukan transaksi dengan

bank syariah, dan menyertakan modal untuk penguatan LKS merupakan bukti

adanya dukungan penuh pemerintah dalam usaha memenuhi kebutuhan sarana dan

prasarana agar qanun LKS ini dapat berjalan secara optimal.

Selanjutnya, sebagai tambahan sarana untuk penerapan prinsip syariah, yang

menetapkan agar bank syariah menyediakan dana untuk zakat, maka Pemerintah

Aceh mendirikan baitul mal wattamwil. Mengenai ketentuan ini terdapat dalam

pasal 15 dan 16. Dalam qanun itu dinyatakan bahwa Baitul Mal Aceh yang

selanjutnya disingkat BMA adalah Lembaga keistimewaan dan kekhususan pada

Pemerintah Aceh yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen yang

diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, infak, harta wakaf,

dan harta keagamaan lainnya. Baitul Mal Kabupaten/Kota yang selanjutnya

disingkat BMK adalah Lembaga keistimewaan dan kekhususan pada Pemerintah

129 Wawancara dengan warga Aceh pada Maret 2021 130 Bab VII pasal 50 s.d 54 qanun Aceh No. 11 tahun 2018

112

Kabupaten/Kota yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen yang

diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, infak, wakaf dan

harta keagamaan lainnya. Dan untuk mendukung kegiatan ini, ditetapkan pulan

agar dalam pengumpulan dana wakaf uang, lembaga keuangan syariah wajib

terdaftar sebagai penerima wakaf uang pada BMA.131 Selanjutnya, dijelaskan dalam

pasal 16, bahwa dalam hal pembiayaan murah kepada usaha mikro dan

pembangunan ekonomi Aceh, Bank Syariah diwajibkan untuk bekerja sama dengan

BMA atau BMK melalui integrasi antara zakat, infak, sedekah dan wakaf dengan

dana sosial lainnya.132

Pendirian BMA dan BMK ini merupakan sarana pendukung terlaksananya

qanun Aceh. Mengingat bahwa aspek mobilisasi dana zakat merupakan satu aspek

penting dalam mengakomodasi kepentingan umat dan kesejahteraan mereka, yang

harus mendapat perhatian serius dari bank syariah. Dana zakat bersumber dari

nasabah dan pendapatan yang diperoleh perusahaan atau bank sendiri sebesar 2,5

persen serta berasal dari masyarakat luas yang memiliki kepedulian sosial ekonomi

terhadap orang lain. Zakat dalam konteks praktik bank syariah, dipahami

sebagaimana lazimnya dalam fikih Islam, yaitu infak, memberikan, mengeluarkan,

atau membelanjakan sebagian dari harta atau benda yang dimiliki seseorang untuk

tujuan kebaikan, pembangunan fasilitas sosial, dan memanfaatkannya untuk

membantu kebutuhan ekonomi kelompok tertentu. 133

Di dalam syariat Islam, zakat merupakan kata yang digunakan untuk

menunjukkan pemberian sedekah, infak, dan untuk zakat sendiri. Zakat berasal dari

akar kata zakiya yang berarti menyucikan. Zakat adalah sedekah wajib yang

dikeluarkan menurut syariat Islam sebagai suatu cara untuk menyucikan karunia

dan rezeki telah Allah berikan dengan cara menafkahkan sebagian dari padanya

untuk membantu orang miskin dan orang yang membutuhkan.134

Al-Quran menjadikan penafkahan (yaitu berderma kepada orang miskin)

Sebagai kewajiban dengan cara membayar zakat. Anjuran memberikan derma

secara sukarela dan dalam setiap situasi dimaksudkan untuk mengurangi

penderitaan dan kesusahan orang lain atau sekelompok orang yang secara ekonomis

masih kekurangan. Selain itu, dalam Al-Quran zakat memiliki fungsi penyucian,

artinya, penafkahan sebagian dari harta, akan memudahkan dalam penyucian rohani

seseorang dan menjadi sebab mendapat rida Allah Swt. yang lebih besar, seperti

digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya:

ه

الللدين فيها ومسكن وعد

هر خ

ن حتها ال

جري من ت

ت ت

ت جن

منمؤ

ن وال مني

مؤ

ال

عظيم الوز

فو ال

ه

لك ذ ب

ك اه

ن الل موان

ن ورض

ت عد

جن ي

فنبة ي

ط

Artinya: Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,

131 Lihat pasal 15 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 132 Lihat pasal 16 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 133 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 87. 134 Abdul Wahid al-Faizin Nashr Akbar, Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali

Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2018), 101.

113

mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung.

ال ون

منمؤ

ال ما

ان ي

سهم فنفنوا موالهم

با وا

دابوا وجاه

يرت م

ل م

ث ورسوله

هوا بالل

منا ذين

ون

دق م الص

ه

ك ى

ول ا

ه سبيل الل

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Dana zakat yang dimobilisasi bank syariah pada hakikatnya menunjukkan

posisi lain dari lembaga tersebut, dalam mewujudkan prinsip keadilan,

produktivitas dan nalar. Prinsip keadilan dalam zakat mengandung arti bahwa zakat

merupakan instrumen yang bisa digunakan sebagai sumbangan wajib yang bisa

dikenakan dalam berbagai jenis pendapatan, seperti hasil bumi dan sebagainya. Hal

ini mengikuti prinsip keadilan yang menyatakan bahwa semakin berkurang jumlah

pekerjaan dan modal, semakin berkurang tingkat pungutan.

Makna prinsip produktivitas dari zakat adalah zakat wajib dibayar setiap

tahun setelah tercapainya nisab harta itu, yaitu surplus minimum tahunan dari nilai

harta benda yang sama nilainya di atas pengeluaran yang diperlukan. Prinsip ini

sesuai dengan apa yang pernah dikemukakan Nabi Muhammad saw. dalam

sabdanya, “Barang siapa memperoleh kekayaan setelah satu tahun, maka berlaku

atasnya zakat”. Ini mengandung makna bahwa nisab berlaku pada zakat jika telah

sampai waktunya dan produktif. Sedangkan prinsip nalar berarti orang yang

diharuskan membayar zakat adalah orang yang berakal dan bertanggung jawab.

Dengan kata lain, orang yang tidak berakal tidak akan dikenakan kewajiban zakat

baginya. Karena itu disimpulkan bahwa zakat hanya diwajibkan pada orang yang

mampu melaksanakan kebijaksanaan saja.135

Keberhasilan dalam mengoptimalkan dana ZISWAF dalam konteks

pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu bukti bahwa ekonomi syariah

lebih komprehensif bila dibandingkan dengan sistem ekonomi yang lain, karena

Islam memberikan ruang yang seimbang bagi altruism (sifat mementingkan

kepentingan orang lain), sekaligus dengan memperhatikan kepentingan pribadi

(egoism) sebagai hasil atas usaha masing-masing individu. Dari sini, tampak jelas

perbedaan sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi yang lain, baik

kapitalisme atau pun sosialisme, yang terlalu ekstrim dalam memisahkan

kepedulian-kedermawanan, moralitas ekonomi, dan pengaturan hak-hak

kepemilikan individu.136

Melihat pada komitmen pemerintah Aceh dalam penerapan lembaga

keuangan berbasis syariah yang diiringi dengan dibentuknya BMA dan BMK untuk

135 Mannan, 1992 136 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020, 48

114

menggerakkan kewajiban zakat, maka qanun ini telah ikut serta dalam membangun

prinsip keadilan, meningkatkan produktivitas dan nalr dalam masyarakat Aceh.

D. Faktor Masyarakat Aceh dan Budayanya

Syariat Islam merupakan tuntutan masyarakat Aceh yang mayoritas

beragama Islam. Bagi masyarakat Aceh lahirnya Undang-undang dan qanun-qanun

syariah tersebut bukanlah hal baru, tetapi secara historis, syariat Islam di bumi

Aceh, sudah dilaksanakan dalam kehidupan nyata sejak beberapa abad yang lalu,

ketika Aceh masih berbentuk kerajaan. Dengan itu benarlah apa yang dikatakan

oleh B.J. Boland bahwa menjadi orang Aceh adalah sama dengan menjadi seorang

Muslim. Sejak masa kesultanan abad ke-17, Aceh telah menjadikan syariat Islam

sebagai landasan bagi undang-undang yang diterapkan untuk masyarakatnya.

Undang-undang itu disusun oleh ulama atas perintah dan hasil kerja sama dengan

pemerintah pada masa itu, sehingga lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab

yang menjadi rujukan para hakim dan aparat penegak hukum. Tercatat dalam

sejarah, para ulama yang berkiprah pada masa itu, seperti Nuruddin Ar-Raniry (w.

1658 M), Syamsuddin As-Sumatrani (w. 1661 M), Abdurrauf Al-Singkili (1615-

1691 M), dan Jalaluddin at-Tarusani, yang menulis kitab Safi>nat al-Hukka>m fi> Takhli>s} Al-Khas}s}a>m (Perahu para hakim dalam menyelesaikan persoalan orang

yang bertikai) atas perintah Sultan Alaiddin Johansyah (1735-1760 M/1147-1174

H). Kitab tersebut berisi aturan-aturan hukum perdata dan pidana serta berbagai

penjelasan tentang ihwal penyelesaian perkara dan pokok-pokok hukum acara di

pengadilan untuk menjadi pegangan para hakim. Selain itu, ada pula kitab Qanun al-Asyi yang berisi hukum-hukum dan kitab ‘Alaqah Al-Dauliyyah dalam huruf

Jawa yang menjadi Undang-undang Kerajaan. Semua itu, menunjukkan peran

syariat Islam di Aceh pada masa lalu yang mampu mengantarkan masyarakat Aceh

membangun peradaban yang diperhitungkan dunia internasional sebagai sebuah

kerajaan yang kuat dan makmur. Jadi secara sosiologis dan historis, syariat Islam

merupakan spirit masyarakat Aceh sejak lama.137

Dalam sejarah tercatat bahwa kesultanan Aceh merupakan salah satu

kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Aceh adalah kekuatan pribumi utama di dalam

menolak ekspansi kolonialisme Belanda dan menjadi bagian paling akhir dari

Indonesia yang ditaklukkan Belanda. Pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda

yang brilian dan perkasa (1607-1637). Aceh memiliki kontrol yang sangat efektif

atas seluruh pelabuhan penting di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Aceh

mendominasi perdagangan di utara dan barat Sumatra, Selat Malaka. Selain itu,

Aceh melakukan kontrol atau paling tidak penguasaan atas bagian-bagian tertentu

Semenanjung Malaya, yakni Pahang, Kedah, dan Perlis. Sejarah panjang Aceh

sebagai sebuah negara independen merupakan sumber kebanggaan mereka yang

mampu memotivasi semangat penolakan yang keras terhadap kekuatan kolonial.

Terkenal dengan ke penganutan yang kuat pada Islam, rakyat Aceh kelihatannya

137 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos

Wacana Ilmu, 2003), 48-49.

115

mengaitkan agama dan patriotisme lebih erat dibandingkan dengan kelompok etnis

lainnya di Indonesia. Keberanian dan keteguhan rakyat Aceh mempunyai pengaruh

sangat besar terhadap perjuangan Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan

mereka dari kekuasaan kolonial. Penolakan rakyat Aceh telah menjadi sebuah daya

dorong yang penting bagi semakin tumbuhnya sentimen kaum nasionalis di

Indonesia. Kekalahan Aceh pada dekade kedua abad ke-20 membuat masyarakat

Indonesia secara keseluruhan menyadari bahwa mereka tidak akan mampu

memperoleh kemerdekaan kecuali jika mempersatukan segenap upaya mereka.138

Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah

adalah sebuah kerajaan yang ditegakkan atas dasar Islam. Dalam Adat Mahkota

Alam, yakni Undang-undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam, yang diciptakan

atas arahan Sultan Iskandar Muda, disebutkan bahwa sumber-sumber hukum yang

digunakan negara adalah al-Quran, Hadis, Ijmak, dan qiyas. Sultan Iskandar Muda

bahkan melakukan perubahan terhadap jenis hukuman tradisional dengan hukuman

yang didasarkan atas syariah/fikih, misalnya penghapusan hukuman mencelupkan

tangan penjahat ke dalam minyak panas dan menggantinya dengan hukuman yang

sesuai ketentuan hukum jinayah.

Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh sudah menjadikan agama Islam sebagai

pedoman dalam kehidupan. Penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam

rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan suasana masyarakat dan

budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat yang lahir dari ijtihad para ulama itu,

kemudian dipraktikkan, dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat. Sejak

abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19. Kesultanan Aceh Darussalam

mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum,

pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari

pemberlakuan syariat Islam sebagai pedoman hidup rakyat dalam segala aspek

kehidupan. Semua itu tercermin dalam ungkapan bijak sebagai berikut:139

Adat bak Poteu Meureuhom (Adat berada di tangan Sultan)

Hukom bak Syiah Kuala (Hukum berada di tangan Ulama)

Oanun bak Putroe Phang (Qanun berada di tangan Putri Pahang)

Reusam bak Laksamana (Reusam berada di tangan Laksamana

Hukom ngon adat (Hukum dengan adat)

Lagee zat ngon sifeuet (Seperti zat dengan sifat)

Ungkapan di atas merupakan cerminan bahwa syariat Islam telah menyatu

dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peran para ulama.

Falsafah tersebut, dalam pandangan masyarakat Aceh dewasa ini masih dapat

diartikulasikan dalam perspektif kontemporer dalam kehidupan bernegara, dan

138 Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:

Perspektif Sosio-Historis” dalam Buku Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003),

139 Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:

Perspektif Sosio-Historis”,

116

mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab. Tatanan

kehidupan yang demikian itu masih mungkin untuk dilestarikan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara saat ini. Dengan demikian, pelaksanaan syariat Islam di

Aceh merupakan refleksi dan kesinambungan proses sejarah masa lalu, di mana

generasi sekarang mendambakan kemapanan hukum Islam pada masa kini seperti

sediakala.

Menurut pengamatan Azyumardi Azra, terjadinya eskalasi gejolak sosial dan

bahkan disebut sebagai politik yang luar biasa di Aceh telah menyebabkan

munculnya kembali perhatian Pemerintah Pusat kepada masyarakat Aceh, yang

kemudian diwujudkan dalam pemberlakuan syariat Islam di Aceh yang mendapat

respons positif dari masyarakat.140 Dalam konteks inilah dapat disimpulkan bahwa

pemberlakuan qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah,

juga akan dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat Aceh. Hal ini tampak dari

hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap warga Aceh, dan mayoritas

jawaban mereka adalah merasa senang dengan adanya pemberlakuan qanun

tersebut. Masyarakat Aceh menganggap bahwa pelaksanaan syariat Islam dalam

segala bidang akan membawa kebaikan dalam kehidupan mereka.

Namun, tentu saja masih ada persoalan lain lagi, yakni masalah penduduk

non-muslim yang ada di Aceh yang pada dasarnya tidak punya kewajiban untuk

melaksanakan syariat Islam, karena syariat Islam pada dasarnya hanya wajib bagi

seorang muslim. Akan tetapi, sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang bergabung

dalam satu komunitas, tentunya mereka harus mau mengikuti ketentuan hukum

yang berlaku. Ditambah lagi, yang menjadi landasan hukum Islam adalah keadilan,

sehingga akan mampu diikuti oleh non muslim. Kecuali ketentuan-ketentuan yang

berkaitan dengan ibadah ritual-formal, maka kepada masing-masing pemeluk

agama diberikan haknya untuk melaksanakan keyakinannya tanpa ada paksaan.

Namun demikian pertanyaan masih tersisa: bagaimana mengenai hukum pidana?

Jawaban terhadap masalah ini sebenarnya sama saja. Syariat yang telah dituangkan

menjadi aturan hukum dalam suatu masyarakat harus dijunjung secara bersama-

sama. Sungguh sangat aneh sekali, jika dua orang pencuri, misalnya atau dua orang

pelaku kejahatan diberikan hukuman yang berbeda hanya karena yang satu Muslim

sedangkan yang lainnya bukan Muslim. Dalam syariat Islam, ini tidak jadi masalah,

sebab materi hukum pidana itu sebenarnya masih diperdebatkan di kalangan sarjana

Muslim. Misalnya dalam ungkapan “potong tangan” yang disebut dalam al-Quran.

Kata qat}a'a yang aslinya dari bahasa Arab bisa saja berarti lain, misalnya diartikan

dengan “memotong jalan”. Kata ini dalam bahasa Indonesia juga memiliki

pengertian ganda, sehingga bisa memunculkan interpretasi yang berbeda pula.

Contoh lainnya adalah berkaitan dengan hukum rajam, yang sebenarnya tidak

pernah disebutkan di dalam al-Quran, sehingga bisa menyebabkan terbukanya pintu

ijtihad baru di kalangan sarjana kontemporer dalam bidang hukum-hukum tersebut.

Berkenaan dengan hukuman bagi pencuri yang tidak dipotong tangannya,

Nabi sendiri pernah mempraktikkannya. Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan

140 Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:

Perspektif Sosio-Historis”,

117

oleh Abu Daud dan al-Nasa’i, bahwa ada seorang yang telah mencuri buah-buahan

dari sebuah kebun dan menyimpannya dalam pakaiannya. Pencuri tersebut

ditangkap oleh pemilik kebun, dibuang bajunya lalu dihadapkan kepada Rasulullah

agar mendapatkan hukuman. Akan tetapi setelah Nabi mengetahui sebab terjadinya

pencurian tersebut, Nabi tidak menghukum pencuri itu, dan malah mengembalikan

bajunya, lalu berkata kepada pemilik kebun: “ia bodoh, mengapa engkau tidak

mengajarinya, ia lapar, mengapa engkau tidak memberinya makan?”141 Kisah ini

memberikan gambaran bahwa penerapan hukum pidana dalam Islam memerhatikan

situasi masyarakat yang akan menerima hukum tersebut sebagai pertimbangannya.

Hukuman bukanlah tujuan utama syariat, tetapi moral dan penegakan keadilan

adalah tujuan utamanya. Dengan semua terlihat bahwa pemberlakuan syariat Islam

sangat manusiawi. Karena itu, sebelum syariat diterapkan perlu didahului dengan

adanya pendidikan pada masyarakat dan pemerataan ekonomi yang berkeadilan

secara maksimal.142

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu,

maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.143 Warga negara

(masyarakat) memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, disisi lain warga

masyarakat juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses

pembuatan hukum tersebut melibatkan masyarakat secara aktif, sehingga adanya

hukum dengan segala peraturan organisasi dan seperangkat sanksinya diketahui,

dimaknai dan disetujui oleh masyarakat, dan hukum dapat dijadikan sebagai suatu

kesenangan dalam hidup. Hasibuan menyatakan bahwa ada satu hal yang harus

diingat berkaitan dengan proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang tidak

pernah terlepas dari keberadaan hukum itu sendiri dalam sistem sosial yang lebih

luas. Menurut Hasibuan, prosedur penegakan hukum tidak akan terlepas dari faktor-

faktor sosial- kultural tempat hukum itu akan diberlakukan.144

Jika masyarakat senang dengan ketentuan hukum yang diberlakukan. Sabian

Utsman mengutip pendapat Harold J. Laksi yang menyatakan bahwa masyarakat

akan ikut serta dengan sendirinya dalam penegakkan suatu hukum, apabila hukum

tersebut dirasa memuaskan rasa keadilan.145 Dalam kaitan pendapat itu, Daliyo

menyatakan bahwa ada 3 bentuk masyarakat yaitu:

1) Masyarakat yang teratur karena diatur dengan tujuan tertentu;

141 Abu Dawud, Sulaiman bin al-Ash’Ath, Sunan Abi Da>wu>d 142 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Ciputat: Logos

Wacana Ilmu, 2003), 56 143 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 45. 144 Fauzie Y. Hasibuan, Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum,

http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-penegakan-hukum-

dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-advokat-indonesia/, 2.(diakse pada

tanggal 25 September 2015). 145 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan

Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 186.

118

2) Masyarakat teratur yang terjadi dengan sendirinya karena persamaan

kepentingan di antara mereka;

3) Masyarakat yang tidak teratur, yang terjadi dengan sendirinya tanpa

dibentuk oleh apa pun.146

Terdapat sebuah pandangan klasik tentang sebuah model masyarakat

konsensus dalam hubungan antara mereka dan hukum. Dalam masyarakat tersebut,

mereka mengatur dirinya sendiri melalui folkways dan moral yang mereka miliki

dan hukum dikembangkan secara bertahap melalui folkways dan mores yang

sikapnya umum.147 Sementara itu, Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Chambliss

dan Seidman yang membuat perbedaan masyarakat dalam 2 model, yaitu:148

1) Model masyarakat yang terbentuk berdasarkan atas kesepakatan pada

nilai-nilai (value concensus). Masyarakat semacam ini, akan sedikit

mengenal adanya konflik-konflik atau ketegangan di dalamnya sebagai

akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi

landasan kehidupan mereka. Pada masyarakat tersebut, tidak ada

perbedaan di antara anggota masyarakatnya tentang apa yang

seharusnya diterima sebagai nilai-nilai yang perlu dipertahankan.

Dalam hubungan ini maka berdirinya masyarakat bertumpu pada

kesepakatan di antara para warganya.

2) Model masyarakat konflik. Model masyarakat ini bertentangan dengan

model yang pertama, berdirinya masyarakat pertama tersebut bertumpu

pada kesepakatan warganya, sedangkan masyarakat kedua ini terbentuk

atas dasar suatu perhubungan di mana sebagian warganya mengalami

tekanan-tekanan oleh warga yang lainnya. Nilai-nilai yang berlaku

dalam masyarakat konflik berbeda dengan nilai-nilai dalam masyarakat

yang bertumpu kepada kesepakatan, sehingga keadaan ini akan

tercermin dalam pembuatan hukumnya. 149

Melihat pada 2 model masyarakat di atas, maka ada 2 fungsi yang dapat di

jalankan oleh hukum di dalam masyarakat. Pertama, sebagai sarana kontrol sosial,

hal itu disebabkan karena hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba

mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.150

Kedua, Hukum sebagai sarana untuk melakukan social engineering, yakni, hukum

146 J.B. Daliyo dkk. Pengantar Ilmu Hukum. Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta:

Gramedia, 1989), 13. 147 Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013), 108. 148 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 48-52.

Lihat juga Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, 106-112.

149 Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,

108. 150 Lihat Lawrence Friedman, American Law (London: W.W. Norton & Company,

1984), 3.

119

sebagai alat pengontrol kehidupan sosial (law as a tool of social enginering) yang

dengan tindakan kontrol tersebut akan dapat menciptakan ketertiban hukum.151

Proses engineering dengan hukum ini oleh Chambliss dan Seidman ini disebut

sebagai efektivitas dalam menanamkan kekuatan yang menentang unsur-unsur baru

di masyarakat untuk terjadinya sebuah perubahan. Perubahan-perubahan yang di

kehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola

tingkah laku yang baru di masyarakat.152

Berkaitan dengan peranan hukum sebagai alat pengendalian sosial, tidaklah

berdiri sendiri dalam masyarakat, tetapi peranan itu dijalankan bersama-sama

dengan pranata-pranata sosial lainnya yang sama-sama menjalankan fungsi

pengendalian sosial. Di sini hukum bersifat pasif, artinya hukum harus

menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada. Dengan hal

tersebut dapat diketahui bahwa hukum bukan satu-satunya alat pengendalian sosial,

hukum hanya salah satu alat kontrol sosial di dalam masyarakat. Peran hukum

sebagai pengendalian sosial merupakan aspek normatif yang berlaku dalam

kehidupan masyarakat, dapat berbentuk larangan-larangan, tuntutan-tuntutan,

pemidanaan, dan bisa juga berupa pemberian ganti rugi. Titik berat dari peranan

hukum di sini adalah pada penetapan tingkah laku mana yang dianggap merupakan

penyimpangan terhadap aturan-aturan hukum dan apa sanksi yang dilakukan oleh

hukum apabila terjadi penyimpangan tersebut. Kontrol sosial menentukan tingkah

laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang, berat ringan

perilaku menyimpang sangat tergantung pada kontrol sosial itu sendiri.153

Agar peranan hukum sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social

control) dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan sosialisasi kepada masyarakat

agar mereka tahu bahwa hukum itu sangat penting dalam mewujudkan ketertiban

dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat. Setelah masyarakat tahu bahwa

hukum itu merupakan rambu-rambu yang harus ditaati bersama demi terwujudnya

kedamaian dan alat untuk menyelesaikan konflik, maka diharapkan masyarakat

patuh kepada hukum dan menghayati hukum dalam kehidupannya. Dalam kaitan

ini, J.S. Roucek154 mengatakan bahwa hukum sebagai mekanisme pengendalian

sosial (mechanisme of social control) ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk

melaksanakan proses yang direncanakan dan juga yang tidak direncanakan dengan

tujuan untuk mendidik dan mengajak agar mematuhi hukum, bukan memaksa

masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai

kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

Sedangkan dalam hubungannya dengan usaha untuk pembaruan masyarakat

melalui konsep law is a tool social engineering telah mengilhami pemikiran

151, Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar,

1962), 43. 152 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 119-120. 153 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama

(Jakarta: Kencana, 2012), 410. 154 Joeph S Roucek, Social Control (London: D van Nostrand Company, 1951), 31.

120

Mochtar Kusumaatmadja untuk dikembangkan di Indonesia. Mochtar

Kusumaatmadja,155 mengatakan bahwa konsep law is a tool of social engineering

ini di Indonesia sudah dilaksanakan dengan asas | “hukum sebagai wahana untuk

melaksanakan pembaruan masyarakat” jauh sebelum konsep ini dirumuskan secara

resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum sehingga rumusan itu merupakan

pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah. Bahkan lewat

budaya bangsa Indonesia, misalnya dirumuskan dengan pepatah-pepatah yang

menggambarkan alam pikiran hukum adat yang telah diakui dan dapat diterima

adanya pembaruan hukum. Konsep inilah yang sejak 1972 dikenal dengan mazhab

UNPAD dan telah dikembangkan melalui GBHN dan tahapan REPELITA yang

berlaku di Indonesia.156

Adanya aturan-aturan hukum dan lembaga-lembaga penegak serta aparat

penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan, tetapi

tidak didukung oleh adanya kesadaran warga masyarakat sebagai seorang individu

dari anggota masyarakat yang memiliki hukum, maka hukum akan mengalami

banyak hambatan dalam penerapannya. Karena perilaku individu berbeda-beda dan

mereka mempunyai kepentingan yang bermacam-macam. Dalam suatu masyarakat

yang plural, penyimpangan yang dilakukan seseorang akan menjadi kebiasaan bagi

yang lainnya. Dalam keadaan semacam itu, maka diperlukan kontrol sosial dengan

mengendalikan tingkah laku warga masyarakat yang plural itu agar tetap konform

dengan norma yang selalu dijalankan berdasarkan kekuatan sanksi yang

ditetapkan.157

Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun

sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan diciptakan untuk dapat

dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya, dan warga

masyarakat sebagai pihak yang dituju oleh suatu aturan hukum, wajib menerimanya

dengan lapang dada dan penuh pengertian pada hukum tersebut.

Kesadaran hukum pada masyarakat, mengacu kepada cara-cara di mana

orang-orang memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-

pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-

orang. Kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan, karena merupakan persoalan

praktik yang perlu dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah

persoalan hukum sebagai perilaku dan bukan hukum sebagai aturan norma atau

asas.158 Achmad Ali mengatakan bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum dan

efektivitas hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan. Namun, sering kali

orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal

155 Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional (Bandung: Bina Cipta, 1970), 12. 156 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, 409. 157 Heru Muljanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta (Tesis Univ. Sebelas Maret Surakarta, 2008), 24-25.

158 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 298.

121

kedua hal itu meskipun sangat erat hubungannya, namun tetap tidak sama persis,

kedua unsur itu memang sangat menentukan efektivitas pelaksanaan hukum dan

perundang-undangan yang diberlakukan di dalam masyarakat.159

Untuk itu, maka pembentukan hukum harus memerhatikan kesadaran hukum

masyarakat agar hukum yang dibentuk itu dapat berlaku aktif. Kesadaran hukum

sering kali diasumsikan, bahwa ketaatan hukum sangat erat dengan hubungannya

dengan kesadaran hukum. Dengan perkataan lain, kesadaran hukum menyangkut

masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam

masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan

ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis, yaitu kesadaran hukum yang tinggi

menimbulkan ketaatan terhadap hukum, sedangkan kesadaran hukum yang lemah

mengakibatkan timbulnya ketidaktaatan terhadap hukum.160

Warga masyarakat rata-rata mempunyai pengharapan, agar penegak hukum

dengan serta merta dapat menanggulangi masalah yang dihadapi tanpa

memperhitungkan apakah penegak hukum itu, baru saja menamatkan

pendidikannya, atau merupakan orang yang sudah berpengalaman. Pengharapan

tersebut tertuju kepada penegak hukum yang mempunyai pangkat terendah sampai

dengan yang tertinggi pangkatnya. Orang-orang yang berhadapan dengan polisi,

misalnya, mereka tidak akan sempat untuk memikirkan tingkat pendidikan yang

telah ditempuh oleh polisi tersebut. Di dalam kehidupan sehari-hari, seorang

anggota polisi langsung terjun ke dalam masyarakat setelah menyelesaikan

pendidikan kepolisiannya, karena itu, dia akan langsung berhadapan dengan

berbagai masalah di masyarakat, yang mungkin pernah dia pelajari pada waktu

mengikuti pendidikan, dan mungkin pula belum pernah sama sekali ia pelajari.

Semua masalah yang dihadapi polisi tersebut ada yang memerlukan penanganan

dengan segera, akan tetapi, ada pula yang memerlukan penanganan di kemudian

hari. Apabila polisi tersebut tidak mampu mencegahnya, maka pandangan

masyarakat terhadapnya akan menjadi buruk, dengan tanpa mempertimbangkan

bahwa polisi tersebut adalah seorang petugas yang baru lulus, atau baru saja

ditempatkan di daerah yang bersangkutan. Hal itu karena warga masyarakat

mempunyai persepsi bahwa setiap Anggota polisi dapat menyelesaikan masalah

atau gangguan yang dialami oleh masyarakat dengan hasil yang sebaik-baiknya.161

Kalau seorang anggota Angkatan Perang harus selalu siap tempur dan

memelihara kemampuan tersebut dengan sebaik-baiknya, maka anggota polisi juga

harus selalu siap menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang merupakan

gangguan terhadap kedamaian. Masalah-masalah tersebut tidak hanya terbatas pada

kejahatan dan pelanggaran belaka, mungkin dia harus menolong orang yang sudah

tua untuk menyeberang jalan raya yang padat dengan kendaraan bermotor, atau dia

harus melerai suami-istri yang sedang bertengkar, atau dia harus menolong orang

yang terluka di dalam kasus tabrak lari, dan lain sebagainya. Alangkah banyaknya

159 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 299. 160 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama

(Jakarta: Kencana, 2012), 421. 161 Sarjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 47

122

tugas polisi, akan tetapi warga masyarakat memang mempunyai harapan demikian.

Warga masyarakat menghendaki polisi-polisi yang senantiasa “siap pakai” untuk

melindungi warga masyarakat terhadap aneka macam gangguan.

Di dalam kehidupan sehari-hari polisi pasti akan menghadapi bermacam-

macam manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing. Di

antara mereka itu ada yang dengan sendirinya taat pada hukum, ada yang pura-pura

menaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula yang

dengan terang-terangan melawannya. Mereka yang sudah taat dengan sendirinya,

harus diberi perangsang agar tetap taat, sehingga dapat dijadikan keteladanan. Dan

masalah yang ada adalah pada mereka yang pura-pura menaati hukum, dan

berusaha mencari-cari kesempatan di mana penegak hukum sedang tidak dalam

keadaan siaga. Masalah berikutnya juga pada penanganan mereka yang tidak peduli

atau tidak mengacuhkan hukum, atau yang secara terang-terangan melanggarnya.

Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan agar warga masyarakat

menaati hukum, akan menghasilkan kepatuhan terhadap hukum. Ada kemungkinan

bahwa kegiatan atau usaha tersebut malah menghasilkan sikap atau tindakan yang

berlawanan dengan tujuannya. Misalnya, jika ketaatan terhadap hukum dilakukan

dengan hanya mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman

apabila hukum dilanggar, maka mungkin warga masyarakat hanya akan taat pada

saat ada petugas saja, dan ketika petugasnya tidak ada, maka mereka kembali

melanggar hukum tersebut. Hal ini, tidak kemudian dapat diartikan bahwa cara

demikian (yakni yang coercive) selalu menghasilkan ketaatan yang semu, tetapi

maksudnya adalah bahwa apabila cara penegakan hukum dilakukan dengan

mengetengahkan sanksi negatif saja yang selalu ditempuh, maka hukum dan

penegak hukum akan dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan, dan bukan

dihormati. Cara lain, yang mungkin lebih baik untuk diterapkan adalah dengan cara

yang lunak (persuasi), dengan tujuan agar warga masyarakat secara mantap

mengetahui dan memahami hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai

yang dianut oleh warga masyarakat. Selain itu, dapat ditempuh pula melalui

penerangan dan penyuluhan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga menimbulkan

suatu penghargaan tertentu terhadap hukum. Cara ini, lazimnya dikenal dengan

sebutan pervasion.

Cara lainnya. yang agaknya menyudutkan warga masyarakat adalah

compulsion. Pada cara ini dengan sengaja diciptakan situasi tertentu, sehingga

warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mematuhi hukum,

Memang, dengan mempergunakan cara ini, tercipta suatu situasi di mana warga

masyarakat agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Karena

masyarakat mengharapkan agar penegak hukum akan dapat melindunginya, maka

dengan sendirinya penegak hukum harus mengenal lingkungan tempat dia bertugas,

dengan sebaik-baiknya. Pengenalan lingkungan dengan sebaik. baiknya tidak

mungkin terjadi, kalau penegak hukum tidak menyatu dengan lingkungan tersebut.

Keadaan akan bertambah buruk lagi, apabila sama sekali tidak ada motivasi untuk

mengenal dan memahami lingkungannya tersebut, karena terlampau berpegang

pada kekuasaan formal atau kekuatan fisik belaka.

123

Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat

majemuk (plural society), terdapat banyak golongan etnik dengan kebudayaan-

kebudayaan khusus. Di samping itu, maka bagian terbesar penduduk Indonesia

tinggal di wilayah pedesaan yang berbeda ciri-cirinya dengan wilayah perkotaan.

Masalah-masalah yang timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih banyak

ditangani dengan cara-cara tradisional, di wilayah perkotaan juga tidak semua

masalah dapat diselesaikan tanpa mempergunakan cara-cara yang tradisional. Dan

untuk dapat mengetahui lingkungannya, seorang penegak hukum harus mengenal

stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada di lingkungan tersebut,

beserta tatanan status atau kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi

sosial pasti ada dasar-dasarnya, seperti kekuasaan, kekayaan dan materi. Dia perlu

mengetahui lambang-lambang, kedudukan yang berlaku dengan segala macam gaya

pergaulannya. Di samping itu akan dapat diketahui faktor-faktor yang

mempengaruhi kekuasaan dan wewenang, beserta penerapannya di dalam

kenyataan. Untuk dapat mengetahui ini semua, penegak hukum dapat melakukan

wawancara dengan berbagai tokoh atau warga masyarakat biasa, maupun dengan

jalan mengadakan pengamatan-pengamatan terlibat maupun tidak terlibat.

Hal lain yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga

sosial yang hidup, serta yang sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga

masyarakat setempat. Lembaga-lembaga sosial tersebut adalah, misal lembaga

pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga penegakan hukum, majelis ulama’ dan

seterusnya. Secara teoritis lembaga-lembaga sosial tersebut mempunyai hubungan

fungsional, sehingga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas

maupun perubahan-perubahan sosial-budaya yang akan atau sedang terjadi.162

Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, maka terbukalah

jalan untuk dapat mengidentifikasikan suatu lingkungan. Pengetahuan serta

pemahaman terhadap nilai-nilai serta norma-norma atau kaidah-kaidah sangat

penting di dalam pekerjaan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi,

atau memiliki potensi besar akan terjadi. Hal tersebut, disebabkan karena dengan

mengetahuinya, akan menyebabkan pengetahuan terhadap kekurangan hukum yang

tertulis, dan selanjutnya dapat diatasi dengan membuat keputusan-keputusan yang

cepat dan tepat.163

Berkaitan dengan Budaya Hukum, Selo Soemardjan dan Soelaeman

Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai hasil dari karya, rasa dan cipta

masyarakat, di dalam rasa termasuk semua unsur yang merupakan hasil ekspresi

dari jiwa manusia yang hidup sebagai warga masyarakat. Selanjutnya cipta

merupakan kemampuan mental dan kemampuan berpikir dari orang-orang yang

hidup bermasyarakat yang menghasilkan falsafah serta ilmu pengetahuan baik yang

berwujud teori murni maupun yang telah di susun untuk langsung diamalkan dalam

kehidupan bermasyarakat.164 Sedangkan Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa

162 Sarjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 49-51 163 Sarjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 82 164 Selo Soemardjan dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, Cet. Pertama

(Jakarta: FE. Univ. Indonesia, 1964), 113.

124

budaya hukum adalah adanya tanggapan yang sama dari masyarakat tertentu

terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan tersebut merupakan kesatuan pandangan

terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum, jadi menurut Hilman, budaya hukum

menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang

menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan yang

dihayati masyarakat bersangkutan. Budaya hukum bukan merupakan budaya

pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai suatu

kesatuan sikap dan perilaku.165

Nilai-nilai sosial dan budaya serta kaidah-kaidah yang terhimpun dalam

lembaga kemasyarakatan pada hakikatnya merupakah rules for the game of life.

Dengan demikian maka lembaga-lembaga kemasyarakatan seyogyanya memenuhi

kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat akan pedoman bagi tingkah lakunya. Maka

lembaga-lembaga kemasyarakatan berisikan nilai-nilai sosial dan budaya serta

kaidah-kaidah yang melembaga dan bahkan menjiwai warga-warga masyarakat.

Namun demikian lembaga-lembaga kemasyarakatan tidaklah identik dengan nilai-

nilai sosial dan budaya, lembaga-lembaga kemasyarakatan sifatnya lebih khusus

dikarenakan adanya kemungkinan bahwa suatu nilai sosial dan budaya tertentu

dapat dikemukakan pada berbagai lembaga kemasyarakatan.166

Sedangkan Esmi Warassih mengomentari peranan budaya dalam penegakan

hukum dengan menjelaskan bahwa peranan budaya hukum dalam penegakan hukum

adalah sangat penting dan sangat sering berhubungan dengan faktor-faktor non

hukum. Menurut Warassih, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai

sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada di antara berbagai faktor

(inter change). Dalam konteks yang demikian titik tolak pemahaman terhadap

hukum tidak sekedar sebagai suatu rumusan hitam atau putih yang ditetapkan

dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai

suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, melalui tingkah laku warga

masyarakat. Artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan-hubungan

hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap

serta pandangan masyarakat yang selanjutnya disebut dengan kultur hukum”.167

Budaya hukum masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat

positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan

yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang

bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya

rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya.

Sedangkan dorongan yang bersifat eksternal adalah karena adanya semacam

tekanan dari luar yang mengharuskan atau yang bersifat memaksa agar warga

masyarakat tunduk kepada hukum.

165 H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung: PT. Alumni,

2010), 51. 166 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka..., 39. 167 Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah Telaah Sosiologis (Semarang: Suryandaru

Utama, 2005), 78.

125

Secara umum, keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan menaati

hukum disebabkan karena adanya sanksi (punishment) yang menimbulkan rasa

takut atau tidak nyaman, sehingga mereka lebih memilih untuk taat pada hukum,

daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya dapat menyusahkan mereka

karena akan terkena sanksi. Motivasi semacam ini biasanya bersifat sementara atau

hanya temporer. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, harus dipahami

bahwa hukum tidak hanya berkaitan dengan unsur paksaan eksternal, namun juga

dengan proses pengadilan. Ancaman dan paksaan pun merupakan unsur yang

mutlak harus ada, agar suatu norma atau aturan dapat dikategorikan sebagai

hukum. Karena itu, maka unsur paksaan ini juga erat kaitannya dengan efektif atau

tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif,

salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman

paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman paksaannya kurang

berat, mungkin juga karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara

memadai kepada warga masyarakat.168

Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja

hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap

hukum, hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut

dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu

peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat,

suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga

masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh

peraturan perundang-undangan tersebut, karena faktor-faktor yang menghambat

efektivitas hukum tidak hanya datang dari para penegaknya saja (polisi, jaksa,

hakim dll.) akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh budaya hukum dalam

masyarakat di mana hukum itu diberlakukan.169

Menurut Sarjono Soekanto, gangguan terhadap penegakan hukum mungkin

terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola

perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi tidak serasian antara nilai-nilai

yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur,

dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh

karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata

berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di

Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk

mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.170

Dalam kaitannya dengan pendidikan masyarakat ini, dalam qanun telah

disebutkan bahwa Bank Syariah wajib berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan

edukasi dan pelatihan kepada pegawai, dan masyarakat Aceh dalam rangka

168 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif

Watampone, 1998), 186. 169 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan

Hukum (Bandung: CV Ramadja Karya, 1988), 80. 170 Sarjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

126

meningkatkan literasi keuangan Syariah. Bank Syariah juga diwajibkan untuk

melakukan penelitian, pengembangan inovasi Akad dan produk serta

implementasinya, dengan tetap memperhatikan kepatuhan syariah, aspek kehati-

hatian dan analisis kelayakan yang memadai. Pelaksanaan pendidikan pada

masyarakat tersebut dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah Aceh dan pihak

terkait lainnya yang memiliki kompetensi di bidang keuangan syariah.171 Dari sini

terlihat ada usaha dari pemerintah sebagai pembuat qanun, dalam mencerdaskan

masyarakat, sehingga implementasi qanun akan menjadi lebih efektif dan dapat

diterima oleh masyarakat dengan baik.

Dalam kaitannya budaya hukum masyarakat Aceh, penulis menemukan

dalam observasi dan wawancara, bahwa masyarakat Aceh memahami syariat Islam

sebagai sebuah kewajiban untuk dilaksanakan secara utuh dan total, hal itu tampak

dari hasil wawancara yang penulis lakukan kepada penduduk Aceh yang tersebar di

beberapa daerah. Dari seratus dua puluh dua warga yang penulis wawancarai,

mayoritas menyatakan bahwa penerapan syariat Islam merupakan sebuah

kewajiban bagi perorangan dan harus ditegakkan oleh Pemerintah.172 Mereka

menyatakan bahwa penerapan syariat dalam berbagai aspek kehidupan, akan dapat

membawa kebaikan, termasuk dalam bidang perbankan. Berikut data yang berhasil

penulis himpun:

a. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib

Dari total 50 orang yang diwawancara, 43 menyatakan setuju, 4 orang tidak

setuju dan hanya 3 orang yang tidak memberikan jawaban pasti. Dengan

demikian maka sebanyak 86% penduduk Aceh menyetujui wajibnya

penerapan syariat Islam. Berikut diagram jawaban itu:

171 Bagian Kedua, Pasal 17 qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang Edukasi

Penelitian, dan Pengembangan Produk

172 Wawancara dengan warga Aceh

0

5

10

15

20

25

30

35

40

setuju tidak setuju tidak tahu

Grafik 1 Pernyataan Masyarakat tentang Wajibnya

Penerapan Syariat Islam di Aceh

127

b. Penerapan syariat Islam wajib bagi pemerintah

Dari total 50 orang yang diwawancara, 37 menyatakan setuju, 9 tidak, dan 4

orang tidak memberikan pernyataan. Apa yang dinyatakan oleh mayoritas

masyarakat Aceh ini sesuai dengan pendapat Umar Chapra yang menyatakan

bahwa untuk mewujudkan sistem perbankan yang Islami, peran positif

negara merupakan suatu hal yang mutlak.173 Dengan demikian, maka

tindakan Pemerintah Aceh yang mengambil peran dalam pemberlakuan bank

syariah ini, sudah benar menurut para ahli ekonomi, karena mendapatkan

dukungan yang kuat dari masyarakatnya. Berikut diagram jawaban

masyarakat Aceh tersebut:

Data di atas, menguatkan pendapat Abdul Manan yang menyatakan bahwa

Peran hukum sebagai alat pengendalian sosial harus melibatkan negara untuk

menjalankannya. Oleh karena itu, peranan eksekutif dan legislatif dalam

membuat aturan hukum sangat penting dan dominan sebab negaralah yang

mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh warganya. Di samping itu,

peranan yudikatif untuk menegakkan hukum agar tercipta ketertiban dan

kedamaian dalam masyarakat juga sangat menentukan, sebab sebaik apa pun

aturan hukum yang dibuat, jika tanpa adanya penegakan hukum yang tegas,

ketertiban dan ketenteraman tidak akan bisa terwujud, apabila dalam

penegakannya (law inforcement) tidak dilakukan dengan tegas tanpa

membeda-bedakan orang. Jadi, terlaksananya hukum sebagai pengendalian

sosial sangat tergantung pada materi hukum yang dibuat oleh kekuasaan (the ruling class) dan juga oleh pelaksana hukumnya.174

c. Penerapan syariat Islam wajib bagi perorangan

173 M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2000), 15; Nur Hidayah, “Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Atas Aspek

Hukum Islam Perbankan Syariah di Indonesia” AL-‘ADALAH Vol. X, No. 1 Januari

(2011), 14. 174 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, 412-

413.

0

10

20

30

40

setuju tidak setuju tidak tahu

Grafik 2 Pernyataan Masyarakat tentang Wajibnya

Penerapan Syariat Oleh Pemerintah

128

Dari total 50 orang yang diwawancara, 40 setuju, 6 tidak, dan 4 orang tidak

menjawab. Dengan demikian, maka pemberlakuan syariat Islam di Aceh akan

menjadi mudah, karena masyarakat telah menyadari bahwa pelaksanaan

syariat merupakan sebuah kewajiban bagi setiap individu. Karena yang

diberlakukan adalah syariat Islam, maka dapat dikatakan bahwa budaya

hukum masyarakat sudah baik, dan akan menyebabkan hukum dapat

diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya:

d. Penerapan syariat Islam akan membawa kebaikan

Dari total 50 orang yang diwawancara, 46 orang setuju, 1 orang tidak, dan 3

orang tidak tahu. Dari sini tampak keyakinan masyarakat Aceh terhadap

agamanya, mereka meyakini bahwa dengan menjalankan syariat Islam dalam

segala bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, yang dalam hal in adalah

pemberlakuan qanun lembaga keuangan syariah, akan membawa kebaikan

pada kehidupan mereka. Berikut grafik jawaban masyarakat tersebut:

e. Penerapan syariat Islam harus menyeluruh dalam segala bidang kehidupan

Dari total 50 orang yang diwawancara, 38 setuju, 9 tidak, dan 3 tidak tahu.

Sesuai dengan jawaban sebelumnya, bahwa mereka penerapan syariat Islam

akan membawa kebaikan bagi kehidupan mereka, maka di sini juga tampak

bahwa mayoritas masyarakat Aceh, menginginkan agar syariat Islam dapat

0

10

20

30

40

setuju tidak setuju tidak tahu

Grafik 3 Pernyataan Masyarakat tentang Wajibnya

Penerapan Syariat bagi perorangan

0

10

20

30

40

setuju tidak setuju tidak tahu

Grafik 4 Pernyataan Masyarakat bahwa Penerapan Syariat

Islam akan membawa Kebaikan

129

diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Berikut diagram yang

menggambarkan jawaban tersebut.

f. Penerapan syariat Islam tidak boleh setengah-setengah

Dari total 50 orang yang diwawancara, 46 setuju, 2 orang tidak setuju, dan 2

orang tidak tahu. Dari jawaban ini, penulis menyimpulkan bahwa otonomi

khusus bagi Aceh, berupa penerapan syariat Islam, memang tuntutan dari

warga masyarakat, dan bukan hanya untuk memenuhi urusan politik semata,

sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian peneliti, bahwa salah satu

kunci gejolak Aceh adalah tuntutan penerapan syariat Islam.175 Berikut

diagram jawaban warga Aceh:

Kesimpulan di atas, juga didukung oleh pernyataan masyarakat Aceh, bahwa

penerapan syariat Islam tidak cukup dalam bidang hukum saja, hal ini

terlihat dari pernyataan masyarakat. Dari total 50 orang yang diwawancara,

40 tidak setuju jika syariat Islam diterapkan hanya dalam bidang hukum saja,

6 orang menyetujuinya dan 4 orang tidak tahu. Berikut diagramnya:

175 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, 418.

0

10

20

30

40

setuju tidak setuju tidak tahu

Grafik 5 Pernyataan Masyarakat bahwa Penerapan Syariat

harus dalam segala bidang kehidupan

0

10

20

30

40

setuju tidak setuju tidak tahu

Grafik 6 Pernyataan Masyarakat bahwa Penerapan Syariat

tidak boleh setengah-setengah

130

Berdasarkan data ini, penulis menyimpulkan bahwa pemberlakuan wajib

bank syariah di Aceh tidak akan mendapatkan banyak kendala. Hal ini disebabkan

oleh budaya masyarakat yang mendukung implementasi regulasi tersebut dari aspek

masyarakat dan budayanya.

Meskipun demikian, ternyata masih ada di antara warga masyarakat yang

belum mengetahui tujuan dari penerapan wajib bank syariah ini. Terbukti masih

ada 30% penduduk yang tidak mengetahui tujuan wajib bank syariah ini, padahal

mereka adalah warga muslim Aceh, dan penelitian ini dilaksanakan pada tahun

kedua pemberlakuan qanun No. 11 tentang lembaga keuangan syariah. Berikut

tabel hasil wawancara mengenai pengetahuan penduduk tentang tujuan penerapan

wajib bank syariah di Aceh:

Tabel 11

Indikator Jumlah Persentase

Mengetahui Tujuan Qanun 35 70%

Tidak Mengetahui Tujuan Qanun 15 30%

50 Informan 100%

Dengan masih kurangnya pengetahuan sebagian masyarakat, maka ketika

peneliti mengajukan pertanyaan tentang persetujuan mereka atas pemberlakuan

qanun ini, jawaban mereka pun juga beragam. Masih ada 30,8 warga Aceh yang

tidak setuju dengan ketentuan qanun ini. Begitu pula kita diberi pertanyaan tentang

kesediaan atau keberatan mereka mengikuti qanun ini, masih terdapat 32,5% warga

yang merasa keberatan dengan pemberlakuan wajib bank syariah ini, dan 34,2% di

antara mereka menyatakan terpaksa mengikuti penerapan wajib Bank Syariah di

Aceh ini. Berikut tabelnya:

Tabel 12

Indikator Jumlah Persentase

Setuju dengan pemberlakuan Qanun 35 70%

Tidak setuju dengan pemberlakuan Qanun 15 30%

50 Informan 100%

0

10

20

30

40

setuju tidak setuju tidak tahu

Grafik 7 Pernyataan Masyarakat bahwa Penerapan Syariat

tidak boleh hanya bidang hukum Jinayat

131

Setelah itu, penulis mencoba untuk menanyakan apakah masyarakat Aceh

merasa keberatan dengan pemberlakuan wajib bank syariah, maka mayoritas

mereka yakni 67,5% menjawab tidak keberatan, dan yang merasa keberatan adalah

32,5% dari warga Aceh. Dari sini terlihat bahwa mayoritas warga Aceh mendukung

penerapan syariah Islam dalam bidang perbankan. Diagram berikut menggambarkan

penerimaan dan keberatan penduduk Aceh terhadap penerapan wajib bank syariah:

Tabel 13

Indikator Jumlah Persentase

Tidak keberatan dengan pemberlakuan Qanun 34 68%

Keberatan dengan pemberlakuan Qanun 16 32%

50 Informan 100%

Karena merasa masih kurang puas, maka peneliti mencoba mengajukan

pertanyaan yang hampir sama, tetapi memiliki tujuan yang berbeda dalam

penekanannya, yaitu, apakah mereka merasa terpaksa dengan adanya wajib bank

syariah, dan yang mengagetkan adalah, ternyata tingkat keterpaksaan penduduk

terhadap ketentuan qanun ini lebih tinggi dari yang keberatan, mereka mencapai

angka 34 persen, sedangkan yang tidak merasa terpaksa, mencapai 66 persen.

Berikut tabelnya:

Tabel 14

Indikator Jumlah Persentase

Tidak terpaksa mengikuti ketentuan Qanun 33 66%

Terpaksa mengikuti ketentuan Qanun 17 34%

50 Informan 100%

Berdasarkan data-data tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

semua warga Aceh menghendaki adanya penerapan wajib bank syariah di Aceh,

sebagian dari mereka masih ada yang tidak mengetahui tujuannya, sehingga merasa

keberatan dan terpaksa dalam mengikuti aturan dalam qanun itu. Akan tetapi

karena jumlah yang menyatakan siap untuk mendukung pemberlakuan qanun ini

lebih banyak, dengan ungkapan tidak terpaksa, dan tidak keberatan, maka jumlah

penduduk yang belum bisa menerima ketentuan qanun ini, tidak akan menghambat

efektivitas implementasi qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang lembaga

keuangan syariah.

Secara garis besar, dilihat dari faktor masyarakat, maka qanun Aceh akan

dapat berjalan dengan baik dan ditaati oleh masyarakat sebagai obyek hukumnya,

karena ketentuan hukum yang ditetapkan merupakan kemauan dari mayoritas

masyarakat. Dan dari faktor budaya hukum, tampak jelas bahwa budaya

masyarakat Aceh adalah budaya Islam yang telah menyatu dengan adat istiadat

atau kehidupan sehari-hari, karena itu, sebab yang ditetapkan adalah sesuai dengan

budaya mereka, maka ketentuan-ketentuan dalam qanun ini akan mendapatkan

dukungan dari faktor budaya hukum masyarakatnya.

132

Menurut CS Bank syariah Indonesia Cabang Aceh, Penerapan wajib Bank

Syariah di Provinsi Aceh sangat efektif dan relevan dengan budaya serta aturan

Qanun yang telah diterapkan. Qanun Aceh No.11 tahun 2018 tentang Lembaga

Keuangan Syariah dilaksanakan dengan seksama oleh bank-bank konvensional di

Aceh dan saat ini masih terus berproses untuk konversi nasabah dan kantor

cabangnya.176

Di sini penulis menyimpulkan bahwa Implementasi Qanun Aceh tentang

LKS akan memberikan dampak positif dalam dua bentuk, yaitu pertama

terlaksananya implementasi Syariat Islam secara lebih luas dalam kehidupan

masyarakat Aceh yang merambah pada dimensi ekonomi dan keuangan. Kedua,

perkembangan ekonomi dan keuangan Syariah akan lebih besar dan semarak di

Indonesia secara umum. Dalam simulasi perhitungan yang dilakukan oleh Bank

Indonesia, proporsi aset perbankan Syariah di Indonesia telah bertambah sekitar Rp

25.76 Triliun sebagai akibat limpahan konversi lembaga keuangan Syariah di Aceh,

sehingga menaikkan pangsa pasar perbankan Syariah secara nasional menjadi 6.10

persen. Dengan demikian, maka total aset perbankan Syariah akan meningkat

menjadi Rp 505.6 triliun, dan total aset perbankan konvensional menjadi turun ke

Rp 7,786.8 triliun.177 Tentunya hal ini adalah sesuatu yang menggembirakan, dalam

upaya membesarkan perekonomian yang berbasis pada prinsip syariah di tanah air.

Berdasarkan data-data yang dipaparkan di atas, maka disimpulkan bahwa

pemberlakuan qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah,

dalam aspek bank syariah, telah berjalan efektif. Gambaran pengukuran efektivitas

dari berbagai aspeknya, tergambar dalam tabel di bawah ini:

Tabel 15

Hasil Pengukuran Tingkat Efektivitas Regulasi Wajib Bank Syariah di Aceh

Indikator Ringkas &

Mudah

Dimengerti

Mudah

Dilaksanakan

Mengakomodasi

Keragaman

Keterangan

(1) (2) (3)

1 Hukum dan

Perundang-

undangan

ada

ada

ada

Memenuhi

ketiga unsur

kriteria,

sehingga

tingkat

efektivitas

sempurna.

2 Penegak

hukumnya

ada

ada

ada

Memenuhi

ketiga unsur

kriteria,

176 Alif dan Dedy, Wawancara, Maret 2021 177 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-

2020 (Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS), 2020), 13.

133

sehingga

tingkat

efektivitas

sempurna.

3 Sarana dan

fasilitas yang

mendukung

pemberlakuan

hukum

ada

belum

ada

Memenuhi

kriteria (2) saja

artinya fasilitas

belum

mendukung

secara

menyeluruh

4 Masyarakat yang

akan menerima

pemberlakuan

hukum

ada

ada

ada

Memenuhi

ketiga unsur

kriteria,

sehingga

tingkat

efektivitas

sempurna.

5 Budaya hukum

dalam

masyarakatnya

ada

ada

ada

Memenuhi

ketiga unsur

kriteria,

sehingga

tingkat

efektivitas

sempurna.

135

BAB V

MANFAAT PENERAPAN WAJIB BANK SYARIAH

TERHADAP KEMASLAHATAN

A. Posisi Perbankan Syariah dalam Perekonomian

Bank menjadi sebuah lembaga yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang.

Dewasa ini, hampir setiap orang memiliki hubungan dengan bank, baik sebagai

penabung, peminjam dana, ataupun yang lainnya. Terlebih lagi saat ini, hampir

semua pegawai baik negeri maupun swasta, menggunakan sistem pembayaran

gajinya melalui transfer bank, sehingga bisa dipastikan bahwa hampir 90%

penduduk Indonesia yang telah bekerja, akan memiliki hubungan dengan bank.

Perbankan merupakan elemen penting dalam pembangunan suatu negara.

Peran perbankan merupakan tolak ukur kemajuan negara. Semakin baik kondisi

perbankan suatu negara, semakin baik pula kondisi perekonomian suatu negara1

Hal itu tergambar dalam pengertian perbankan secara teknis yuridis, yaitu sebagai

badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk

lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.2 Fungsi bank

sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution)

tersebut sangat menentukan terhadap kesuksesan pembangunan ekonomi

masyarakat, karena menjadi perantara penyaluran uang dari yang yang

berkelebihan kepada yang tidak memiliki modal.3 Namun, keberadaan bank dalam

fungsi ini, sangat tergantung oleh adanya kepercayaan masyarakat. Prinsip

kepercayaan menjadi ruh dari kegiatan perbankan dalam sebuah negara.4

Perkembangan ekonomi suatu negara secara keseluruhan tidak bisa

dipisahkan dari perkembangan perbankannya. Industri perbankan yang maju

merupakan sumber pendanaan pembangunan jangka panjang yang stabil.

Perbankan mendukung kegiatan perekonomian melalui pembiayaan kegiatan

1 Nur Mawaddah, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank Syariah”

Jurnal Etikonomi Vol. 14 No. 2 Oktober (2015), 242. 2 Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah (Yogyakarta: Ghara Ilmu, 2021),

34; Pasal |1 Nomor 2 UU No 10 Tahua 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun

1992 tentang Perbankan; Waldi Nopriansyah dan M. Unggul, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2019), 5.

3 Nur Mawaddah, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank Syariah”

Jurnal Etikonomi Vol. 14 No. 2 Oktober (2015), 242; Jaih Mubarak, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokusmedia, 2013), 31.

4 Khotibul Umam, Legislasi Fikih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: BPFE, 2011), 1; Muhammad Maulana dan

EMK Alidar, Model Transaksi Ekonomi Kontemporer Dalam Islam (Banda Aceh: Dinas

Syariat Islam Aceh, 2020), 56; Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Prenamedia Group, 2019), 49.

136

usaha yang dilakukan dalam bentuk pemberian kesempatan kepada masyarakat

untuk mendapatkan modal usaha agar dapat ikut berpartisipasi dalam

pembangunan ekonomi nasional. Dengan demikian, maka perbankan merupakan

unsur yang berperan sangat penting dalam sistem keuangan dan perekonomian

suatu negara. Bank sebagai lokomotif pembangunan ekonomi mempunyai

beberapa tujuan. Metwally mengemukakan bahwa tujuan bank Islam ialah untuk

mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi masyarakat dengan

melaksanakan semua kegiatan perbankan, finansial, komersial, serta investasi

sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.5 Kegiatan dalam praktik bank Islam

merupakan bagian dari Muamalah, yaitu semua akad yang membolehkan manusia

untuk saling bertukar manfaat.6 Tujuan bank syariah adalah untuk memberikan

fasilitas bagi masyarakat untuk mengatasi kekurangan dan pemberdayaan

ekonomi masyarakat berbasis syariah, sehingga setiap produk bank tersebut harus

sesuai dengan tujuan syariah.7

Sebutan bank, asalnya dari Eropa yang berarti meja atau konter.8 Orang

Italia menyebut bank dengan kata “banco” yang arti dasarnya adalah peti, lemari,

atau bangku. Arti dasar ini menjelaskan fungsinya sebagai tempat menyimpan

barang berharga, seperti emas, uang, dan sebagainya. Sementara itu, orang Prancis

menyebutnya dengan “bangue” yang artinya sama dengan banco dalam bahasa

Italia, yaitu: peti atau lemari yang berfungsi untuk menyimpan uang. Menurut The

American Heritage Dictionary, arti kata bank adalah tempat usaha di mana uang

disimpan untuk tujuan komersial atau investasi, yang bisa dipinjamkan atau

ditukar. Sedangkan dalam bahasa Arab, bank disebut dengan kata “mas}raf” yang

berarti tempat pertukaran (exchange), atau penjualan suatu mata uang dengan

mata uang yang lain. Dalam sejarahnya, lembaga keuangan yang disebut dengan

bank berkembang di Florence, Vennice, dan kota-kota besar lainnya di Italia

bagian utara sepanjang abad pertengahan dengan kegiatan utamanya

meminjamkan uang.9

Lembaga perbankan memiliki 3 fungsi utama, yaitu: 1) Menerima simpanan

uang, 2) Meminjamkan uang, dan 3) Memberikan jasa pengiriman uang. Kata

bank merupakan istilah dalam lembaga keuangan yang tidak pernah disebut secara

jelas dalam Al-Quran, namun salah satu fungsi bank itu telah dilakukan sejak

masa Nabi Muhammad saw masih hidup, yaitu fungsi meminjamkan uang. Begitu

pula pada masa dinasti Bani Umayah, hanya satu fungsi bank yang dipraktikkan.

5 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam Terj. (Bandung: Rungkut

Insani, 1995), ; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 79 6 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,

Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),

238 7 Syafaruddin Alwi, Memahami Sistem Perbankan syariah: Berkaca pada Pasar

Umar bin Khattab (Yogyakarta: Bukurepublika, 2013), 7. 8 (Kupper, A dan Kupper, J. 2000), ; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 76. 9 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 77

137

Hingga kemudian pada masa Bani Abbasiyah tiga fungsi perbankan dipraktikkan

secara keseluruhan, hal itu disebabkan di antaranya karena beredarnya banyak

jenis mata uang di masyarakat, yang nilainya berbeda-beda, pada masa tersebut

mulai diperkenalkan uang jenis baru yang disebut dengan fulus yang terbuat dari

tembaga. Sebelumnya uang yang digunakan adalah dinar yang terbuat dari emas

dan dirham yang terbuat dari perak. Pada masa kekuasaan Bani Abasiyah, dikenal

orang-orang yang mempunyai keahlian khusus, seperti naqid (kurir), sarraf (penukar uang), dan jihbiz (penerima titipan) yang berasal dari bahasa Persia yang

berarti penagih pajak. Pada masa itu, praktik perbankan telah berkembang, yang

ditandai dengan beredarnya cek (saq) sebagai media pembayaran.10 Jihbiz mulai

dikenal pada masa pemerintahan Mu’awwiyah, yang ketika itu fungsinya adalah

sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang atau tanah milik

masyarakat.11

Sistem keuangan dan perbankan Islam merupakan bagian dari konsep

tentang ekonomi Islam, yang bertujuan memperkenalkan sistem nilai dan etika

Islam ke dalam lingkungan ekonomi, seperti yang dianjurkan oleh para ulama.

Dasar etika keuangan dan perbankan Islam bukan sekadar sistem transaksi

komersial untuk menghasilkan keuntungan semata, tetapi juga dipandang oleh

banyak kalangan, sebagai sebuah kewajiban beragama. Kemampuan lembaga

keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya bergantung kepada

tingkat kemampuan lembaga itu dalam menghasilkan keuntungan, tetapi juga atas

persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh telah memperhatikan

batasan-batasan aturan agama.12

Berdasarkan hukum Islam, kedudukan dan kegiatan-kegiatan bank atau

lembaga perbankan, masih belum ada pada zaman Rasulullah, karena itu,

perbankan dikategorikan dalam kelompok masalah ijtihadiyah (hal baru yang

membutuhkan ijtihad). Karena itu, maka terdapat perbedaan pendapat tentang

ketentuan hukumnya. Berdasarkan pengkajian ilmiah oleh Majelis Ulama

Sumatera Utara bersama Yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara pada tahun

1985, diputuskan hal-hal sebagai berikut:

1. Perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non bank adalah satu sub

sistem dari sistem ekonomi pada masa modern yang sulit untuk

dihindari.

2. Riba yang sifatnya ad}’a>fan mud}a>’afah (berlipat ganda), hukumnya

haram, berdasarkan teks dari Al-Quran dan sunah Nabi.

10 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 76;

Muhammad Yusuf, “Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Kontemporer Keuangan Dan

Perbankan” Muamalat: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Volume VIII, Nomor 2,

Desember 2016, 159. 11 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama

(Jakarta: Kencana, 2012), 201. 12 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,

Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),

138

3. Pendapat mengenai bunga bank, masih terdapat perbedaan pandangan

dari para ulama, pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah:

a. Mengharamkan bunga bank karena menganggapnya sama dengan

riba.

b. Membolehkan bunga bank karena menganggapnya tidak sama

dengan riba, yang diharamkan oleh syariat Islam.

c. Bunga bank adalah haram, namun, karena belum ada jalan keluar

untuk menghindarkannya, maka diperbolehkan karena dianggap

sebagai suatu situasi darurat.

Pada awal tahun 2004 MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya bunga

bank. Sementara itu, berdasarkan pada hasil keputusan Majelis Tarjih

Muhammadiyah Sidoarjo, dinyatakan bahwa bunga bank yang diberikan oleh

bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk

perkara yang syubhat. Kemudian, berdasarkan hasil keputusan Majelis Tarjih

Muhammadiyah Yogyakarta dalam Muktamar Majelis Tarjih pada tahun 1989

dalam masalah bunga bank menetapkan kesimpulan yang sama, yaitu bahwa

bunga bank adalah syubhat. Pada tahun 2006 Majelis Tarjih Pimpinan Pusat

Muhammadiyah menganggap bahwa bunga bank termasuk dalam kategori haram.

Keputusan tersebut dituangkan dalam rancangan keputusan Majelis Tarjih

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sedangkan dalam Lokakarya Perbankan Islam

yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada tahun 1990

menetapkan prinsip nir bunga dalam bank yang dikemukakan oleh para pemikir

muslim ke dalam tiga kategori. yaitu:

1. Menetapkan bahwa bunga bank adalah haram karena sama dengan riba,

2. Bunga bank hukumnya halal karena tidak sama dengan riba,

3. Bunga Bank termasuk kategori syubhat (du-beous) yang harus dihindari,

tetapi boleh dipraktikkan karena keadaan darurat dan terpaksa).13

Keputusan dalam lokakarya MUI tersebut jika dilihat, hasilnya sama dengan apa

yang diputuskan oleh Majelis Ulama Sumatera Utara pada tahun 1985.

Sejak tahun 1992, kebijakan perbankan di Indonesia menganut sistem ganda

(dual banking system),14 yaitu terselenggaranya dua sistem perbankan

(konvensional dan syariah secara berdampingan) yang pelaksanaannya diatur

dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.15 Berdasarkan

13 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,

Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 14 Hamidah Ramlana, and Mohd Sharrizat Adnan, “The Profitability of Islamic and

Conventional Bank: Case study in Malaysia” International Economics & Business Management Conference, 5th & 6th October 2015: 359-367; Subandi, “Problem Dan

Solusi Pengembangan Perbankan Syariah Kontemporer di Indonesia” Al-Tahrir, Vol. 12,

No. 1 Mei (2012): 1-19 15 Early Ridho Kismawadi, “Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di

Konversikannya Bank Konvensional Ke Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus di Kota

Langsa” Ihtiyath Vol. 2 No. 2 Desember (2018): 136-148.

139

ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang

kemudian diperkuat oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai

Perubahan Atas UU tahun 1992 tentang Perbankan, yang salah satunya

disebabkan kenyataan bahwa banyak bank konvensional yang tidak mampu

bertahan menghadapi krisis moneter, misalnya pada tahun 2008, ketika terjadi

krisis di Amerika, saat itu Indonesia sedang mengembangkan perekonomian sesuai

syariah, dan tidak terkena dampak yang signifikan dari krisis tersebut. Hal itu

terlihat dari penyaluran pembiayaan yang dilakukan pihak perbankan syariah per

Februari 2009 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan

sebesar 33,3% pada Februari 2008 meningkat menjadi 47,3% pada bulan Februari

2009.16 Setelah undang-undang perubahan tersebut, kemudian pemerintah

menerbitkan Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, yang

menjadi dasar yang kuat dalam praktik perbankan syariah di Indonesia.17

Konsep dual system dianut oleh perbankan di Indonesia, didasari atas

beberapa pertimbangan, di antaranya adalah:

1. Untuk mengakomodir sebagian masyarakat yang tidak mau

bertransaksi dengan bank konvensional, karena dianggap haram, dan

dengan tersedianya bank syariah, segmen masyarakat ini akan mau

menyimpan dananya di bank yang secara tidak langsung telah

meningkatkan kontribusi mereka dalam pembangunan negara.

2. Adanya pengalaman bahwa lembaga keuangan yang menerapkan

sistem syariah, terbukti mampu bertahan pada saat krisis ekonomi,

3. Pengembangan sistem perbankan yang memiliki keunggulan tertentu,

4. Dengan berkembangnya bank syariah yang kompetitif, akan dapat

menarik masuknya aliran dana investasi internasional yang

mensyaratkan transaksi menggunakan sistem syariah.18

Perbankan syariah tumbuh dan dikembangkan di Indonesia sebagai untuk

menjadi alternatif bagi praktik perbankan konvensional. Adanya kritik terhadap

praktik bank konvensional oleh konsep perbankan syariah, bukanlah menolak bank

dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan, melainkan disebabkan

karena karakteristiknya yang mengandung unsur riba, judi (maysir), ketidakpastian (gharar), dan batil, yang semuanya dilarang dalam ajaran Islam.

16 Nur Mawaddah, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank

Syariah” Jurnal Etikonomi Vol. 14 No. 2 Oktober (2015), 244; Jaih Mubarak, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokusmedia, 2013), 30.

17 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2007), 33; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta:

Salemba Diniyah, 2019), 77; Mutiara Dwi Sari1, Zakaria Bahari, Zahri Hamat, “History of

Islamic Bank in Indonesia: Issues Behind Its Establishment” International Journal of Finance and Banking Research 2016; 2(5): 178-184

18 Waldi Nopriansyah dan M. Unggul, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, 24-25; Edy Wibowo dan Untung Hendi Widodo, Mengapa Memilih Bank Syariah (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), 34-35.

140

Istilah bank Islam berarti bank melakukan operasi sesuai prinsip Islam atau

prinsip-prinsip syariah.19

Berdasarkan sumber dari catatan Bank Indonesia, sebenarnya perbankan

Islam secara internasional telah mulai dikembangkan pada tahun 1890, yaitu

dengan keberadaan The Barclays bank yang membuka cabang di Mesir, tepatnya

di Kota Kairo, dan pertama kali mendapat kritik tentang bunga bank. Kemudian,

Pada tahun 1900-1930 mulai tersebar adanya pemahaman bahwa bunga bank

adalah riba, karena itu hukumnya haram.20 Selanjutnya, pada tahun 1930-1950,

untuk pertama kalinya ekonomi Islam memberikan alternatif berupa aktivitas

partnership yang sesuai dengan ketentuan Islam. Konsep teoritis mengenai bank

Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan pembentukan

perbankan Islami yang ditandai dengan banyaknya pemikiran-pemikiran sarjana

muslim yang menulis tentang keberadaan bank Islam. tercatat misalnya Anwar

Qureshi (1946), Naeim Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang

lebih rinci mengenai gagasan awal mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama

besar Pakistan, yaitu Abu al-A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad

Hamidullah (1944-1962).

Dalam perkembangannya, awal abad ke-20 merupakan masa kebangkitan

dunia Islam dari tidurnya di tengah pergolakan dunia.21 Kondisi ini membawa

pada kesadaran baru untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam dalam

semua aspek kehidupan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dalam rintisan

lembaga keuangan Islam yang berasaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam.

Rintisan penerapan sistem pembagian untung dan rugi (profit and lost sharing),

sebagai inti bisnis lembaga keuangan Islam, tercatat telah ada sejak tahun 1940-

an, yaitu dalam upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional di

Pakistan dan Malaysia, dan dilanjutkan dengan penawaran model perbankan dan

sistem keuangan Islam pada tahun 1950, sebagai pengganti sistem bunga dengan

konsep twotier mudarabah. Secara kolektif gagasan berdirinya bank Islam di

tingkat Internasional muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia di

Kuala Lumpur, Malaysia pada bulan April 1969, yang diikuti oleh 19 negara.

Konferensi tersebut menghasilkan beberapa hal, yaitu:

19 Haron S. 2001; Lubis, Irsyad, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Medan: USU

Press, 2010), 10; Ida Royani Pasi, “Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Perilaku

Masyarakat Pada Bank Syariah” Jurnal Al-Qasd, Vol. 1 No. 2 Februari 2017, 190. 20 Mutiara Dwi Sari1, Zakaria Bahari, Zahri Hamat, “History of Islamic Bank in

Indonesia: Issues Behind Its Establishment” International Journal of Finance and Banking Research 2016; 2(5): 178-184

21 Muhammad Yusuf, “Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Kontemporer

Keuangan Dan Perbankan” Muamalat: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Volume VIII,

Nomor 2, Desember 2016, 169; Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, 51.

141

1) Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, dan

jika tidak, maka termasuk dalam kategori riba, yang sedikit atau

banyaknya adalah haram hukumnya,

2) Diusulkan untuk membentuk suatu bank Islam yang bersih dari sistem

riba dalam waktu secepat mungkin.

3) Sambil menunggu berdirinya bank Islam, bank-bank yang menerapkan

bunga diperbolehkan beroperasi, namun jika benar-benar dalam

keadaan darurat.22

Sementara itu, setelah diterbitkannya Undang-undang Perbankan Syariah,

Bank Indonesia kemudian melakukan berbagai program pengembangan internal

meliputi pengembangan kompetensi pegawai Bank Indonesia melalui berbagai

pelatihan terkait perbankan syariah, dan pengembangan sistem dan penyusunan

pedoman internal, agar dapat meningkatkan peran tokoh masyarakat dan ahli pada

bidang-bidang terkait, termasuk membentuk Komite Perbankan Syariah (KPS)

untuk membantu Bank Indonesia dalam menafsirkan fatwa yang dikeluarkan oleh

dewan syariah (DSN-MUI) serta membantu dalam mengembangkan bank syariah

di Indonesia.23 Dijelaskan dalam peraturan Bank Indonesia No. 10/32/PBI/2008

tentang tugas komite tersebut, yaitu:

1. Membantu Bank Indonesia dalam menafsirkan fatwa MUI yang terkait

dengan perbankan syariah,

2. Memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam

Peraturan Bank Indonesia, dan

3. Melakukan pengembangan industri perbankan syariah.

Penulis buku Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return, Samuel

L. Hayes, dari Harvard University, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Said,

memberikan komentar yang Sangat positif dan objektif atas keunggulan prinsip-

prinsip bank syariah dan mengkritisi masyarakat Amerika Serikat yang larut

dalam bunga yang mengandung riba. Dia mencatat empat hal pokok yang

dijadikan konsiderasi dalam membangun sistem ekonomi syariah, yaitu:

1. Kontrak (akad) harus adil dan nyata, dan tidak ada hubungan bisnis

yang hierarki.

2. Tidak ada unsur spekulasi, karena itu mirip dengan berjudi.

3. Tidak ada unsur bunga (riba).

4. Pemakluman, artinya: dalam hubungan bisnis Islam tidak dikenal sistem

penalti, jika rekanan bisnis memang benar-benar bangkrut.

22 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,

Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), ;

Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, 51.

23 Khotibul Umam, Legislasi Fikih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia, 2-3; Anonim, Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2010

(Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2009), 16.

142

Hayes melanjutkan penjelasannya bahwa konsep syariah mengajarkan

kebersamaan dalam menyangga usaha, baik dalam membagi keuntungan ataupun

dalam kerugian. Anjuran itu antara lain tertuang dalam 2 (dua) bentuk praktik

sebagai berikut:

1. Transparansi pada saat membuat kontrak (symmetric information),

Penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), dan Amanah (lower preference for opportuniy cost).

2. Keadilan dalam praktiknya, yang dapat diaplikasikan melalui

beberapa instrumen. Muhammad Said mengemukakan tiga instrumen

utama praktik keadilan dalam bank syariah, yaitu zakat, bagi hasil,

dan kesamaan kesempatan dalam memperoleh modal pembiayaan.24

Fungsi utama bank secara umum adalah untuk memudahkan usaha ekspor

dan impor, serta memudahkan seseorang yang ingin melakukan investasi dengan

uang lebih yang dimilikinya. Adapun fungsi Bank Syariah secara garis besar ada

dua sesuai dengan sebutannya sebagai baitul mal wat Tamwil. Tamwil adalah

sebagai badan usaha yang berfungsi dalam 3 hal, yaitu: 1) Manajer Investasi,

yakni: Penghimpunan dana dengan prinsip wadiah, yad dhamanah, giro,

tabungan. Dan prinsip mudarabah, yaitu: tabungan, deposito/investasi, dan

obligasi, kemudian dengan prinsip Ijarah dalam obligasi. 2) Investor, yaitu fungsi

penyaluran dana dengan pola bagi hasil menggunakan akad mudarabah,

musyarakah, dan lain sebagainya. Kemudian dengan pola jual beli menggunakan

akad murabahah, salam, istisna, dan lainnya, lalu dengan pola sewa menggunakan

akad ijarah, dan ijarah wa iqtina. 3) Jasa Perbankan atau jasa keuangan

menggunakan akad wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, qard, rahn, dan lainnya,

juga sebagai jasa non keuangan menggunakan akad wadi’ah yad amanah, dan

terakhir menjadi jasa keagenan menggunakan akad mudarabah muqayyadah.

Sedangkan fungsi mal maksudnya adalah fungsi sosial, yakni menghimpun dana

untuk tujuan kebajikan seperti penghimpunan dan penyaluran zakat, infak dan

sedekah, serta penyaluran qardul hasan.25

Sementara itu, dengan cara yang lebih sistematis M. A. Mannan

menjelaskan fungsi-fungsi bank syariah ke dalam 6 fungsi pokok, yaitu:

1. Membantu pembangunan negara-negara Islam dengan memudahkan

investasi modal untuk tujuan produksi,

2. Meningkatkan investasi swasta asing dengan memakai jaminan peran

dan pinjaman investasi lain yang dilakukan oleh investor swasta,

3. Meningkatkan pertumbuhan perdagangan internasional jangka panjang

yang berimbang dan mempertahankan keseimbangan neraca

pembayaran dengan mendorong investasi internasional untuk

pembangunan sumber daya produksi para nasabah,

24 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 25 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 82; Jaih Mubarak, Hukum Ekonomi

Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokusmedia, 2013), 31.

143

4. Mengatur pinjaman yang dijamin, kaitannya dengan pinjaman

internasional atau melalui saluran lain, yaitu melalui proyek yang lebih

berguna dan mendesak yang dapat memenuhi kebutuhan sesuai skala

prioritas,

5. Memberi saran teknik tentang hal-hal yang sehubungan dengan

pelaksanaan pinjaman kepada para ahli setempat yang memenuhi syarat

dengan teknik khusus.

6. Memberikan jasa dalam penyelesaian sengketa ekonomi di kalangan

negara-negara Islam, seperti yang terjadi dalam kasus persengketaan air

antara India dan Pakistan yang dapat diselesaikan oleh Bank Dunia

pada tahun 1960.26

Setelah diketahui fungsinya, bank syariah juga memiliki ciri khusus yang

membedakannya dari bank konvensional. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1. Beban biaya yang disepakati bersama ketika akad perjanjian

diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, di mana besarnya tidak

ditentukan dan bisa ditawar dalam batas yang wajar. Beban biaya

tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan

kesepakatan dalam kontrak.

2. Menghindari penggunaan persentase dalam melakukan kewajiban

pembayaran karena bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas

perjanjian sudah berakhir.

3. Tidak menerapkan perhitungan berdasarkan pengembalian yang tetap,

tetapi pengembaliannya berubah-ubah sesuai keuntungan (fixed return).

Sebab, penetapan pengembalian atau perolehan untung sejak awal,

dianggap telah mendahului ketentuan Allah SWT, sebab tidak ada yang

mampu menentukan keberhasilan sebuah usaha atau proyek, melainkan

hanya Allah SWT., sehingga ketika jumlah nominal keuntungan telah

ditetapkan sejak perjanjian, sejatinya telah mendahului kehendak Allah.

Sebagai solusinya, bank Islam dapat menerapkan sistem pengembalian

yang didasarkan atas penyetaraan modal untuk jenis kontrak melalui

produk mudarabah dan musyarakah dalam bentuk bagi untung dan rugi

secara bersama (profit and loss sharing).

4. Pengarahan dana milik masyarakat dalam bentuk deposito atau

tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-Wadiah),

sedangkan bagi bank dana tersebut dianggap sebagai titipan yang

diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang

dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah, sehingga

pada penyimpanannya tidak dijanjikan adanya imbalan yang pasti.

5. Bank Islam memperoleh pengawasan ganda, yaitu dari bank sentral dan

pengawasan dari dewan pengawas syariah yang memiliki tugas khusus

mengawasi operasional bank syariah dari berbagai aspeknya

26 M. A. Mannan, 1992

144

6. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak

pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai

fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan

bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap

sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya.27

Dalam praktiknya, bank Islam tetap akan berhubungan dengan bank

konvensional, karena itu, pendapatan yang berasal dari transaksi itu menjadi tidak

halal, namun penghasilan ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial,

melalui santunan terhadap anak yatim dan orang-orang yang terkena musibah.

Perbedaan sekaligus ciri di atas menyiratkan bahwa sebenarnya bank

syariah tidak hanya berperan seperti yang dipraktikkan oleh bank konvensional,

tetapi juga mempunyai tujuan dan ciri-ciri khusus. Berbeda dari bank

konvensional, bank Islam mengover kegiatan pembiayaan dan mendapatkan

labanya dengan sistem bagi untung dan rugi. Sejumlah kegiatan terpenting yang

menjadi tumpuan hidup suatu bank syariah adalah:

1. Penitipan (al-amanah), yaitu sejumlah harta yang disimpan oleh

pemiliknya di bank dengan harapan agar bank menjaganya. Sebagai

gantinya nasabah akan diberikan sejumlah uang tertentu sebagai bunga

atau tidak sama sekali.

2. Tabungan (al-tawfir), yaitu apa yang disimpan oleh para nasabah kecil

di sebuah bank antara satu masa dengan masa lainnya dengan maksud

untuk mengakumulasi sebagian dana agar bisa digunakan pada salah

satu proyek individu, seperti mendirikan rumah atau menyekolahkan

anak. Mereka dapat menarik kembali dana tersebut kapan saja dan

mengambil keuntungan dengan jumlah tertentu, tergantung dari jumlah

dana yang diinvestasikan untuk dikelola bank.

Bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai lembaga bisnis yang

menjalankan fungsi intermediasi dalam bidang ekonomi dan keuangan, serta

mengakumulasi keuntungan, melainkan juga merupakan sebuah organisasi yang

memiliki peran sebagai pengingat bagi individu agar menyisihkan sebagian dari

pendapatan mereka secara sukarela untuk tujuan yang bersifat sosial, sesuai ajaran

agama, yang disebut zakat. Secara historis energi ekonomi dari spektrum zakat

telah terbukti andal untuk dijadikan sebagai instrumen keadilan sosial yang

mampu mengatasi kemiskinan di masyarakat. Zakat juga terbukti memiliki efek

domino dalam kehidupan masyarakat, terutama membebaskan kaum duafa dari

garis kemiskinan, meningkatkan pendapatan dan meningkatkan konsumsi

masyarakat kecil. Bahkan, menurut Yusuf Qardhawi, zakat tidak hanya

berdampak pada peningkatan produksi dan investasi, tetapi juga peningkatan

27 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), ; Abdul

Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama (Jakarta: Kencana,

2012), 210-211; Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia (PT Citra

Aditya Bakti, 2002), 210-211.

145

permintaan dalam bidang tenaga kerja, dan memberantas pengangguran, dan juga

memenuhi prinsip keadilan, produktivitas, dan nalar.28

Beng Soon Chong dan Ming-Hua Liu mengatakan bahwa Perbankan syariah

benar-benar berbeda dengan perbankan konvensional. Secara teori, fitur unik yang

membedakan perbankan syariah dari perbankan konvensional adalah paradigma

pembagian untung dan rugi. Namun, dalam praktiknya, ditemukan bahwa

perbankan syariah tidak jauh berbeda dengan perbankan konvensional dari

perspektif paradigma pembagian untung dan rugi. Di sisi aset perbankan syariah,

kami menemukan bahwa hanya sebagian pembiayaan yang dapat diabaikan yang

didasarkan pada prinsip profit and lost sharing (PLS). Konsisten dengan

pengalaman perbankan syariah di tempat lain, sebagian besar pembiayaan bank

syariah di Malaysia masih didasarkan pada mode non- pembagian untung dan rugi

yang diizinkan berdasarkan hukum Syariah, tetapi mengabaikan semangat

larangan riba. Dari sisi liabilitas, prinsip pembagian untung dan rugi lebih banyak

diadopsi dalam menyusun simpanan syariah. Studi kami, bagaimanapun,

memberikan bukti baru, yang menunjukkan bahwa, dalam praktiknya, simpanan

Islam tidak bebas bunga.29

Ada beberapa kemungkinan alasan untuk adopsi paradigma pembagian

untung dan rugi yang buruk dalam praktiknya. Pertama, tidak seperti perbankan

konvensional, pembiayaan pembagian untung dan rugi menemui masalah pokok–

agen yang parah. Masalah moral hazard yang terkait dengan asimetri informasi

bekas pos, misalnya, sangat signifikan dalam pembiayaan pembagian untung dan

rugi karena pengusaha (peminjam) memiliki insentif untuk kurang

mendeklarasikan atau secara palsu mengurangi laba yang dilaporkan.30 Begitu

pula dalam kasus kontrak mudarabah (bagi hasil), pengusaha memiliki insentif

untuk melakukan proyek berisiko tinggi karena pengusaha benar-benar diberi

pilihan panggilan di mana ia mendapatkan keuntungan di sisi atas tetapi tidak

menanggung kerugian sama sekali pada sisi negatifnya. Pembiayaan pembagian

untung dan rugi, dengan demikian, membutuhkan pemantauan yang lebih mahal.

Kedua, adopsi pembiayaan pembagian untung dan rugi dirugikan oleh kurangnya

hak pengelolaan dan pengendalian.31

Dalam pembiayaan mudarabah (bagi hasil), misalnya, bank menyediakan

semua modal risiko, tetapi pengelolaan dan pengendalian proyek sebagian besar

berada di tangan pengusaha. Kurangnya manajemen dan kontrol, khususnya,

menonjolkan masalah utama - agen yang terkait dengan pembiayaan pembagian

28 Yusuf al-Qard}awi, 2005 29 Beng Soon Chong and Ming-Hua Liu, “Islamic banking: Interest-free or interest-

based?” Pacific-Basin Finance Journal 17 (2009): 125–144, 143-144 30 Paul S. Mills, John R. Presley, Islamic finance: Theory and practice (London:

Macmillan, 1999), 31 Humayon A. Dar, John R. Presley, “Lack of profit loss sharing in Islamic

banking: management and control imbalances” International Journal of Islamic Financial Services 2 (2) 2000,

146

untung dan rugi. Akhirnya, diketahui bahwa adopsi paradigma pembagian untung

dan rugi terkendala oleh persaingan, serta oleh praktik terbaik dari perbankan

konvensional. Agama terlepas dari itu, individu dapat memilih untuk bank dengan

bank syariah dan atau bank konvensional. Dengan demikian, dalam hal praktik

terbaik, praktik perbankan syariah sering kali tidak dapat menyimpang secara

substansial dari perbankan konvensional karena persaingan. Secara khusus,

dikatakan oleh Beng Soon Chong dan Ming Hua-Liu bahwa pengembalian

rekening deposito syariah secara efektif dipatok pada pengembalian deposito

konvensional-perbankan karena alasan kompetitif.32

B. Prinsip-Prinsip Perbankan Syariah

Bank syariah adalah sistem perbankan yang prinsip operasi dan kegiatannya

dilandaskan pada ketentuan sistem, nilai dan etos syariat Islam.33 Para ulama

sepakat bahwa ada 5 prinsip dalam menjalankan aktivitas ekonomi Islam, yaitu:

tauhid (keimanan), khilafah (pengelolaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (saling

membantu) dan maslahat.34

Prinsip perbankan syariah yang paling menonjol adalah pada sistem profit lost sharing yang didasarkan pada kaidah fikih muamalah no return without risk

atau al-Ghunmu bi al-Ghurmi (keuntungan karena tanggung jawab risiko). Di sini,

menunjukkan bahwa keuntungan tidak boleh dituntut tanpa ada kemungkinan

menanggung risiko. Implikasi prinsip ini akan mendukung berbagai kegiatan

investasi dan ekonomi yang akan memberikan dampak pada ekonomi riil

berdasarkan keadilan sebagai investor maupun pengelola.35 Oleh karena itu,

seluruh sistem operasi bank Islam harus berbeda dari bank konvensional yang

beroperasi atas prinsip bunga yang secara ketat dilarang dalam Islam. Dengan

dilarangnya riba, maysir, gharar, dan batil dalam perbankan, maka sebagai

gantinya, bank dapat menerapkan akad-akad tradisional yang ditetapkan oleh

syariat pada praktik perbankan dimaksud.

32 Beng Soon Chong and Ming-Hua Liu, “Islamic banking: Interest-free or interest-

based?” Pacific-Basin Finance Journal 17 (2009): 125–144, 143-144 33 Fuad al-Omar dan Muhammad Abdel Haq, Islamic Banking Theory, Practice and

Challanges (Karachi: Oxford University Press, 1996), 1; Haron dan Azmi, 2009, ; Asma’

Rashidah Idris dkk, “Religious Value as the Main Influencing Factor to Customers

Patronizing Islamic Bank” World Applied Sciences Journal 12 (Special Issue on Bolstering

Economic Sustainability): 08-13, (2011), 8 34 M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI Press, 2011), 140.;

Nur Ahmad Fadhil Lubis, “Financial Activism Among Indonesian Muslims” dalam

Virginia Hooker dan Amin Saikal, et al. Islamic Perspectives on The Millenium (Singapore:

ISEAS Publications, 2004), 97. 35 Muhammad al-Zarqa’, Sharh} al-Qawa>ide al-Fiqhiyyah (Damaskus: Da>r al-

Qalam, 1989), 437; M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, 140.

147

Bunga uang oleh sebagian besar sarjana Muslim ditempatkan sejajar dengan

riba yang dikenal dalam fikih Islam.36 Riba memberikan peluang kepada segelintir

orang untuk menumpuk kekayaan di atas penderitaan orang lain (the missery of others). Pengertian riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan) dalam

pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan berkembang,

Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau

menjadi modal secara batil dan bertentangan dengan prinsip muamalah dalam

Islam. Menurut syara’, riba adalah tambahan terhadap modal. Dalam syariat Islam

riba diartikan sebagai tambahan dengan kriteria tertentu. Pendapat lain

menyebutkan bahwa riba adalah kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu

dari dua orang yang bertransaksi. Menurut Ibnu Qayyim, riba dikategorikan

menjadi dua bagian, yaitu Riba Jali (jelas) dan Riba Khafiy (samar). Riba Jali

adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan mudarat yang besar. Riba

yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa

jahiliyah. Riba Khafi diharamkan untuk menutup terjadinya riba jali (wa al-Khafi> h}ara>mun li annahu dhari>atun ila> al-Jali>). Riba inilah yang menjadi problem yang

sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat dalam menentukan apakah

bunga bank itu sama dengan riba yang dilarang dalam agama Islam, dengan kata

lain, apakah bunga bank itu haram, halal atau mutasha>biha>t.37

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai bunga

bank bahwa bunga bank diklasifikasikan haram karena sama dengan riba, dan

diklasifikasikan halal karena tidak sama dengan riba dan ada yang

membolehkannya karena keadaan darurat, atau karena ada kepentingan yang

mendesak dan harus dilakukan karena belum ada jasa lain yang dapat

memfasilitasinya, tetapi dengan tetap mendasarkan adanya maslahat. Jika

dikategorikan dalam Riba Jahiliy dan Riba Khafiy, maka bunga bank itu termasuk

kategori Riba Khafiy yang diperbolehkan karena adanya maslahat.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, maka untuk menjaga

kehidupan dari kemungkinan memakan atau menggunakan uang haram, maka jika

sudah tersedia bank Islam seharusnya umat Muslim menggunakan jasa bank Islam,

karena operasional bank Islam bebas bunga. Operasional bank Islam menggunakan

sistem bagi hasil dan di dalam kelembagaan bank Islam terdapat Dewan Pengawas

Islam yang terus mengontrol operasional bank Islam sesuai dengan prinsip Islam.

Adapun akad-akad tradisional Islam atau yang lazimnya dikenal dengan

akad berdasarkan prinsip syariah menurut Syafi’i Antonio terdiri dari prinsip-

prinsip sebagai berikut:

1. Titipan atau simpanan (depository),

36 Saeed, 1996 37 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,

Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),

244

148

2. Bagi hasil (profit sharing). Sistem bagi hasil merupakan instrumen

pertama yang merupakan kebalikan dari instrumen bunga yang banyak

disoroti sebagai bentuk ketidakadilan atau penindasan dalam praktik

ekonomi di perbankan konvensional.38

3. Sewa-menyewa (operating lease and financial lease), dan

4. Jasa (fee-based service) yaitu al-wakalah, al-kafalah, al-hiwalah, ar-rahn, dan al-qardh.39

Semua akad yang telah disebutkan di atas, sesuai karakteristiknya dapat

diterapkan dalam operasional perbankan syariah dalam menghimpun (funding),

dan menyalurkan dana (financing), serta dalam bidang jasa (service).

Dalam transaksinya, perbankan syariah tidak akan terlepas dari proses

transaksi yang dalam istilah fikih muamalahnya disebut dengan aqad, kata

jamaknya al-uqud. Ada beberapa asas al-uqud yang harus dilindungi dan dijamin

dalam wadah Undang-undang Perbankan Syariah. Asas-asas tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Asas ridha>’iyyah (rela sama rela), Yang dimaksud asas ridha>’iyyah ialah

bahwa transaksi ekonomi Islam dalam bentuk apa pun yang dilakukan

perbankan dengan pihak lain terutama nasabah harus didasarkan atas

prinsip rela sama rela yang hakiki. Asas ini didasarkan pada sejumlah

ayat Al-Quran dan Hadis, terutama surah an-Nisa’ ayat 29. Atas dasar

asas ‘an tarad}in, maka semua bentuk transaksi yang mengandung unsur

paksaan (ikrah) harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum. Itulah

sebabnya mengapa Islam mengharamkan bentuk transaksi ekonomi apa

pun yang mengandung unsur kebathilan.

2. Asas manfaat, Maksudnya adalah bahwa akad yang dilakukan oleh bank

dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (objek) yang bermanfaat bagi

kedua belah pihak. Itulah sebabnya Islam mengharamkan akad yang

berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudarat / mafsadat (merusak).

3. Asas keadilan, Di mana para pihak yang bertransaksi (bank dan

nasabah) harus berlaku dan diperlakukan adil dalam konteks pengertian

yang luas dan konkret. Hal ini didasarkan pada sejumlah ayat Al-Quran

yang menjunjung tinggi keadilan dan anti kezaliman, termasuk

pengertian kezaliman dalam bentuk riba seperti yang tersurat dalam

QS. al-Hadid ayat 25.

4. Asas saling menguntungkan, Setiap akad yang dilakukan oleh para

pihak harus bersifat memberi keuntungan bagi mereka. Itulah sebabnya

Islam pun mengharamkan transaksi yang mengandung unsur gharar

38 Siddiqi, Riba, Bank Interest and The Rationale of Its Prohibitation (Islamic

Research and Training Institute, 2004); Chapra, (1997), dan Saeed, (1996) 39 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema

Insani Press, 2007), 83.

149

(penipuan) karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan

pihak yang lain.40

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Perbankan, yang dimaksud

dengan bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau

bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Dalam UU Perbankan tidak dijelaskan pengertian bank syariah. Operasional bank

dengan prinsip syariah dalam UU Perbankan tercantum dalam pengertian bank

umum dan bank perkreditan rakyat. Kemudian, dalam Pasal 1 Angka 3 UU

Perbankan, disebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan

kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang

dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Demikian pula

dengan bank perkreditan rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 4

Undang-undang Perbankan dapat melaksanakan kegiatan usahanya baik secara

konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.

Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-undang Perbankan dijelaskan

mengenai pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bahwa pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan atau yang dipersamakan

dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak

lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau

tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Pengertian prinsip syariah dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 Angka 13

Undang-undang Perbankan yang menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah

aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk

penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya

yang dinyatakan sesuai dengan prinsip syariah, antara lain berdasarkan prinsip

penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh

keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip

sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan

kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa al-Iqtina).

Sedangkan menurut M. Syafi’i Antonio, prinsip-prinsip dasar perbankan

syariah ada 5, yang secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

1. Prinsip Titipan atau Simpanan (Depository/Al-Wadi’ah),

Prinsip Titipan atau Simpanan (Depository/AlWadi'ah) dalam tradisi

fikih Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-

wadiah yang diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak

lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan

dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Pihak penerima titipan

dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Bank

40 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah

di Indonesia, 104

150

sebagai penerima titipan dapat memanfaatkan al-Wadiah untuk tujuan

current account (giro) dan saving account (tabungan berjangka).

2. Bagi Hasil (Profit-Sharing),

Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing) dalam perbankan syariah, secara

umum dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu:

a) Al-Musyarakah, yaitu: akad kerja sama antara dua pihak atau lebih

untuk suatu usaha tertentu, dengan masing-masing pihak

memberikan kontribusi dana, dengan kesepakatan bahwa

keuntungan dan risikonya akan ditanggung bersama sesuai dengan

kesepakatan.

b) Al-Mudharabah, yaitu: akad kerja sama usaha antara dua pihak,

yakni pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak

kedua menjadi pengelola usaha. Keuntungan secara mudarabah

dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,

sedangkan apabila mengalami kerugian, maka ditanggung oleh

pihak pemberi modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian

pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan

atau kelalaian pengelola, maka pengelola tersebut harus

bertanggung jawab atas kerugian yang dialami.

c) Al-Muzara’ah, yaitu: kerja sama pengolahan lahan pertanian antara

pemilik lahan dan penggarap. Pemilik lahan memberikan lahan

pertanian untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian

tertentu dalam bentuk persentase dari hasil panen. Al-Muzara’ah

sering kali disamakan dengan mukha>barah. Namun pada muza>ra’ah

benihnya berasal dari pemilik lahan, sedangkan pada mukha>barah

benihnya berasal dari penggarap lahan.

d) Al-Musa>qah, yaitu: bentuk yang lebih sederhana dari muza>ra’ah, di

mana seorang penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman

dan pemeliharaan, sebagai imbalannya penggarap tersebut memiliki

hak atas nisbah (bagian) tertentu dari hasil panen.

3. Jual Beli (Sale and Purchase),

Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase) dalam perbankan syariah ini terbagi

dalam 3 macam, yaitu:

a) Bai’ Al-Murabahah, yaitu: jual beli barang pada harga asal dengan

tambahan keuntungan yang disepakati bersama. Bai’ Al-Murabahah

ini dapat dilakukan dalam pembelian secara pemesanan dan biasa

disebut sebagai murabahah, kepada pemesan pembeli (KPP).

b) Bai’ Al-Salam, yaitu: kontrak pembelian barang yang diserahkan di

kemudian hari, dan pembayarannya dilakukan di muka.

c) Bai’ Al-Istis}na’, yaitu: kontrak penjualan antara pembeli dan

pembuat barang. Di dalam kontrak ini, pembuat barang menerima

pesanan dari pembeli, kemudian pembuat barang tersebut

mengadakannya melalui orang lain untuk membuat atau membeli

151

barang sesuai spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya

kepada pembeli terakhir. Dalam kontrak ini, kedua belah pihak

sepakat atas harga serta sistem pembayarannya, apakah pembayaran

dilakukan di muka, melalui cicilan atau ditangguhkan sampai suatu

waktu pada masa yang akan datang.

4. Sewa (Operasional Lease and Financial Lease)

Prinsip sewa dalam perbankan syariah terkenal dengan sebutan Ijarah,

dan terbagi dalam 2 macam, yaitu:

a) Al-Ijarah, yaitu: akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa,

melalui pembayaran upah sewa, dengan tanpa diikuti pemindahan

kepemilikan atas barang tersebut.

b) Al-Ijarah Al-Muntahia Bi-al-Tamlik (Financial Lease with Purchase Option) Adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa

atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan

barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula

yang membedakannya dengan ijarah biasa (Fee-Based Service).

5. Jasa (Fee-Based Services)

Prinsip jasa dalam perbankan syariah terbagi dalam 5 bentuk akad

sebagai berikut:

a) Al-Wakalah (Deputyship), yaitu: pelimpahan kekuasaan oleh

seseorang kepada orang lain dalam perkara yang bisa diwakilkan.

b) Al-Kafalah (Quaranty), yaitu: jaminan yang diberikan oleh seorang

penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak

kedua atau pihak yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah

juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin

dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai

penjamin.

c) Al-Hawalah, yaitu: pengalihan hutang dari orang yang berhutang

kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam aplikasi

perbankan dapat diterapkan pada factoring atau anjak piutang, post-dated check, dan bill discounting.

d) Ar-Rahn, yaitu: menahan salah satu harta milik orang yang

meminjam dana, sebagai jaminan atas modal yang ia terima. Barang

yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian,

pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil

kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat

dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.

e) Al-Qard} Adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat

ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan

tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, Qardh

dapat dikategorikan dalam akad tathawwu’i atau akad saling

membantu dan bukan transaksi komersial.

152

Dari akad-akad yang dijalankan perbankan syariah, terlihat bahwa

perbankan syariah merupakan lembaga yang sangat unik, karena tidak hanya

menjalankan fungsi perbankan berupa intermediasi antara pemilik dana dan

pengguna dana. Perbankan syariah dapat berkedudukan sebagai penjual dengan

akad-akad jual beli, sebagai pemberi sewa dengan akad-akad ijarah, penerima

gadai, dan sebagai institusi sosial (social charity) dalam fungsinya sebagai baitul

mal sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang perbankan syariah.41

Dalam praktik operasional bank syariah di Indonesia, Dewan Pengawas

Syariah (DPS) mempunyai fungsi penting sebagai lembaga fatwa dalam

menentukan produk dan jasa bank dengan prinsip syariah. Kewenangan tersebut

didasarkan pada Pasal 1 ayat (9) dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor

6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha

Berdasarkan Prinsip Syariah, di mana menyebutkan bahwa Dewan Syariah

Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang

bertugas dan memiliki wewenang untuk menetapkan fatwa tentang produk dan

jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip syariah.

Pengertian Bank Islam (Islamic Bank) secara umum adalah bank yang

pengoperasiannya mendasarkan pada prinsip syariah Islam. Istilah-istilah lain

yang digunakan untuk menyebut entitas Bank Islam selain Bank Islam itu sendiri,

yaitu Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (La riba Bank),

dan Bank Syariah (Shariah Bank). Indonesia secara teknis yuridis menyebut Bank

Islam dengan istilah “Bank Syariah”, yang secara lengkap disebut dengan “Bank

Berdasarkan Prinsip Syariah”.42

Prinsip utama bank syariah terdiri dari larangan atas riba pada semua jenis

transaksi, pelaksanaan aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan (equality), keadilan

(fairness) dan keterbukaan (transparency), pembentukan kemitraan yang saling

menguntungkan, serta keharusan memperoleh keuntungan usaha secara halal.

Bank syariah juga dituntut harus mengeluarkan dan mengadministrasikan zakat

guna membantu mengembangkan lingkungan masyarakatnya.43 Pengertian prinsip

Islam terdapat dalam Pasal 1 butir (13) UUPI yang menyebutkan, prinsip Islam

adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain

untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan

lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Islam, menurut Veithzal Rivai dkk. adalah:

pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, penyertaan modal, jual-beli barang dengan

memperoleh keuntungan, pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa

41 Jaih Mubarak, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung:

Fokusmedia, 2013), 32. 42 Peri Umer Farouk, Sejarah Hukum Perbankan Syariah Indonesia, dikutip dari

latp//www shanaicarn.com/ tanggal akses 19 November 2008. 43 Institut Bankur Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank

Syariah (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001), 23.

153

murni tanpa pilihan, atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas

barang yang disewa dari bank oleh pihak lain.44

Bank konvensional yang dengan sistem bunga memandang dan

memberlakukan bahwa kekayaan yang dimiliki peminjam menjadi jaminan atas

pinjamannya. Apabila terjadi kerugian pada proyek yang didanai maka kekayaan

peminjam modal akan disita menjadi hak milik pemodal (bank). Sementara dalam

bank syariah kelayakan usaha atau proyek yang akan didanai itu menjadi

jaminannya, sehingga keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Berbeda

dengan bank syariah yang dalam menjalankan aktivitasnya, menganut kepada

beberapa prinsip, seperti prinsip keadilan, kesederajatan, dan ketenteraman.

Dengan sistem operasional yang didasarkan atas sistem bagi untung dan rugi,

bank syariah memiliki kekuatan tersendiri yang berbeda dari sistem bank

konvensional. Perbedaan ini tampak jelas bahwa dalam sistem bagi hasil

terkandung dimensi keadilan dan pemerataan.45

Prinsip kesamaan kesempatan karena Permasalahan utama yang sering

menjadi sorotan dalam praktik ekonomi dan perbankan selama ini adalah adanya

ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi yang disebabkan oleh sistem dan struktur

ekonomi yang dikonstruksi oleh orang yang memiliki kekuatan untuk

melanggengkan kekuasaannya. Ketidakadilan struktur dan sistem diyakini sebagai

konsekuensi logis dari ekspansi kapitalisme global yang akarnya bersumber dari

negara-negara kapitalis yang sering membuat keputusan kompetitif yang

membawa konsekuensi bukan hanya terasingnya kelompok yang tidak mampu,

tetapi juga awal dari sebuah proses hegemoni struktur sosial ekonomi.

Pada kenyataannya, permasalahan di atas bisa dicermati dari praktik bank

konvensional yang menerapkan sistem bunga dan memberikan peluang dan

fasilitas bagi orang-orang tertentu. Sikap selektif dalam pemberian fasilitas ini

merupakan hal yang lumrah mengingat lembaga ini hanya merupakan mediasi

antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana.

Namun, ada sisi lain yang juga patut dipertimbangkan, seperti keterampilan

wirausaha yang dimiliki oleh calon nasabah sebagai usahawan, dan usahawan yang

memiliki bakat kewiraswastaan yang tinggi, tetapi memiliki kendala modal dan

keahlian sehingga menghambat perkembangan usahanya.

Untuk mengakomodasi kepentingan para pihak yang memiliki bakat

keterampilan wirausaha dan kendala modal, bank syariah memiliki stok tertentu,

terutama modal yang dihimpun dari dana zakat, infak, dan sedekah, kemudian

dikemas dalam produk pinjaman kebaikan (al-qard al-hasan), yang bisa disalurkan

kepada mereka. Dengan instrumen ini bank syariah telah memberikan peluang

kepada masyarakat untuk menggali kreativitas dan kualitas kerja yang tinggi

dengan memanfaatkan modal yang ada untuk membangun roda ekonominya.

44 Veithzal Rivai, Arifiandy Permata Veithzal, Marissa Greace Haque Fawzi,

Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik, 239. 45 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019),

154

Dengan aplikasi instrumen ini, kelompok ekonomi lemah yang selama ini tidak

tersentuh oleh lembaga keuangan formal akan merasa memiliki kesempatan yang

sama dalam memperoleh modal pembiayaan dari bank syariah.

Dengan pemberian kesempatan yang sama kepada semua nasabah, bank

syariah menempatkan eksistensi dirinya sebagai tonggak utama penyangga nilai-

nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, transparansi, dan pertanggungjawaban: serta

mengedepankan prinsip-prinsip etika syariat Islam dalam aspek transaksi ekonomi

(mua>malah iqtis}a>diyyah).46

Dalam prinsip kesederajatan, Bank syariah akan menempatkan nasabah

penyimpan dana, nasabah pengguna dana, dan bank pada kedudukan yang sama

dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan

yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, dan

bank. Dengan menerapkan sistem bagi hasil, bank syariah mensyaratkan adanya

kemitraan bagi untung dan risiko (sharing the profit and the risk) secara bersama-

sama.

Dalam konsep syariah, diajarkan untuk menyangga suatu usaha secara

bersama-sama, baik dalam membagi keuntungan ataupun dalam menanggung

kerugian. Bentuk anjuran itu dapat dipraktikkan dalam transparansi dalam

membuat kontrak (symmetric information), penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), dan amanah (lower preference for opportuniy cost). Jika ketiga syarat

tersebut dipenuhi maka model transaksi yang terjadi bisa menghasilkan kualitas

yang terbaik (the best solution).

Sedangkan prinsip ketenteraman didasarkan pada ajaran Al-Quran bahwa

semua aktivitas yang dapat dilakukan oleh manusia patut dikerjakan untuk

mendapatkan falah (ketenteraman, kesejahteraan, atau kebahagiaan) untuk

mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Tujuan dan aktivitas ekonomi dalam

perspektif Islam harus diselaraskan dengan tujuan akhir, yaitu mencapai falah.

Prinsip ini Menghubungkan secara langsung prinsip ekonomi dengan nilai moral.47

Sebagai lembaga ekonomi, bank syariah didirikan untuk menciptakan

keseimbangan sosial ekonomi (material dan spiritual) masyarakat agar / mencapai

falah (Karim, 1990 dan Shahul, 2000). Oleh karena itu, semua produk bank

syariah harus mencerminkan pandangan dunia Islam atau sesuai dengan prinsip

dan kaidah muamalah menurut syariat Islam. Menurut Dixon yang dikutip oleh

Muhammad menyatakan bahwa beberapa karakteristik tersebut merupakan

pembeda utama antara bank Islam dengan bank konvensional. Hal ini Setidaknya

dapat disaring sebagai inti dari pernyataannya berikut ini:

perbedaan mendasar antara bank Islam dan bank konvensional adalah, beroperasi pada sistem berbasis ekuitas di mana tingkat pengembalian yang tidak ditentukan tidak dijamin dan didasarkan pada pembiayaan

46 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 47 Siadigi, 1991

155

bunga. Perbedaan mendasar ini berasal dari larangan syariah riba (bunga atau bunga) dan garar (ketidakpastian, risiko atau spekulasi),48

Dengan mengetahui dan memahami karakteristik tersebut, kehadiran P

bank syariah diharapkan bisa melakukan proses transformasi kehidupan Sosial

ekonomi masyarakat (nasabah) ke arah kehidupan yang harmonis, / Seimbang

antara kebutuhan material dan spiritual, sehingga melahirkan | ketenteraman lahir

dan batin.49

Dalam ekonomi Islam, uang dan sistem perbankan memiliki peran penting

sebagaimana dalam perekonomian lainnya, tetapi harus diorganisir dengan baik

dan cara tertentu sehingga selaras dengan semangat Islam dan tujuan syariah

(Maqa>s}id al-Shari>’ah). Menurut Ibn Al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh

Chapra, dikatakan bahwa tujuan Syariah adalah:

Kebijaksanaan dan kesejahteraan sosial manusia di dunia dan akhirat Kesejahteraan terletak dalam keadilan, kasih sayang, kelayakan, dan kebijaksanaan. Apa pun yang bergeser dari keadilan ke penindasan dari kasih sayang ke kebencian, dari kesejahteraan ke kesengsaraan, dan dari kebijaksanaan ke kebodohan tidak ada hubungannya dengan syariah.50

Untuk mengelola usahanya sesuai dengan syariat Islam, bank harus

mengubah sistemnya dengan prinsip bagi hasil yang sesuai dengan tujuan syariah,

merupakan karakteristik utama untuk membedakan bank syariah dari bank

konvensional. Sistem bagi hasil pada sistem ekonomi dan bank syariah diyakini

memenuhi cita rasa dan standar keadilan dalam Islam. Hal ini tercermin dari

ajaran Islam yang menghendaki kerja sama.51

C. Implementasi Prinsip Syariah Pada Bank Syariah Di Aceh

Perkembangan perbankan nasional kontemporer dewasa ini menjadi sorotan

serius dunia internasional. Betapa tidak pasca krisis ekonomi hingga saat ini

perbankan nasional acapkali kalah bersaing dengan perbankan asing yang masuk

ke Indonesia. Gejalanya, konsumen perbankan nasional rata-rata dari kelas

menengah ke bawah. Bahkan kondisi ini pun tidak mampu mengangkat

kesejahteraan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik untuk sekedar keluar dari

jeratan kemiskinan. Terlebih dengan perbankan syariah di Indonesia, yang awal

kehadirannya diharapkan menjadi solusi utama persoalan kemiskinan yang dialami

oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya muslim, justru

juga tidak dapat berbuat banyak dan mendapat istilah silent without empowerment (diam tanpa dapat melakukan penguatan). Memang mengacu pada

data Bank Indonesia, transaksi Unit Bisnis perbankan syariah di Indonesia tahun

48 Dixon (1992) 49 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 50 Cahpra, 1997 51 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019),

156

2008 mengalami peningkatan mencapai Rp. 24 triliun dari equivalen menjadi 1,8

persen. Namun ternyata hal tersebut bersifat semu belaka, karena pada dasarnya

perbankan syariah di Indonesia baru mampu memberikan kontribusi sebesar 2:98,

bila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Kesenjangan besar antara

perbankan syariah dan perbankan konvensional di atas disebabkan oleh 3 masalah

utama yaitu; aspek legalitas, aspek sumber daya manusia, dan aspek strategi

pemasaran yang kurang inovatif. Beberapa strategi untuk menyelesaikan hal

tersebut adalah peningkatan kualitas layanan dan profesionalisme, inovasi produk

yang lebih baik, dan peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas.52

Keberadaan bank Islam di Indonesia dengan sistem rangkap (dual banking system) tidak berubah dari kelesuan tingkat bunga. Pemindahan risiko komersial

dibandingkan dengan risiko reinvestasi dan pembiayaan kembali (refinancing)

dalam situasi perubahan tingkat bunga pasar akan mengancam operasi bank

Islam.53 Pada sisi yang sama konsistensi bank Islam dalam mempraktikkan

prinsip-prinsip syariah masih terlihat lemah. Hal ini disebabkan karena kurangnya

sumber daya manusia yang berkualitas dalam bidang perbankan, sehingga untuk

memenuhi kebutuhannya lembaga keuangan Islam merekrut para pemilik dan

profesional yang telah lama bergerak dalam lembaga keuangan konvensional.

Ketiadaan standardisasi dan penyelarasan antara produk keuangan membuat

lembaga keuangan Islam mengalami kesulitan untuk menerapkan standar yang

sama sesuai syariat, baik di tingkat nasional maupun Internasional.54 Struktur

hukum dan instrumen lembaga keuangan Islam dalam praktiknya perlu

diselaraskan dengan syariat Islam agar berbeda dengan lembaga keuangan

konvensional.55 Instrumen keuangan Islam seperti mudarabah, qard} al-H}asan, dan

sejenisnya yang dipraktikkan saat ini, menurut beberapa ahli, masih belum

memenuhi prinsip-prinsip ekonomi Islam secara penuh.56

Ketaatan pada prinsip syariah ini menjadi hal yang sangat penting untuk

diperhatikan sebagaimana Al Kindiy, pemimpin bank Ritel Emirates Islamic Bank (EIB), menyatakan bahwa sekarang ini produk bank syariah, harus mengandung

52 Subandi, “Problem Dan Solusi Pengembangan Perbankan Syariah Kontemporer

di Indonesia” Al-Tahrir, Vol. 12, No. 1 Mei (2012): 1-19 53 Erwin G. Hutapea dan Rahmatina A. Kasri, Bank Margin Determination: a

Comparison betwee? Islamic and Conventional Banks in Indonesia. International Journal

of Islamic and Middk tastat' Finance and Management, Vol. 3 No. 1, 2010, him. 65-82;

Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 78 54 Heather McKeen-Edwards Ouestions of Interest in Islamic Finance: Exploring

Govemance in? Growing Sector A. Paper Prepared for the International Studies

Conference Chicago, 28 Februari-/ Maret 2007; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 78 55 Shafiel A. Karim, Riba-Free Models Of Money, Banking, And Insurance

Components of The Islam Moral Economy. Thesis. California State University, Fullerton,

2010; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 78 56 Vetorig tynn Zyp, Islamic Finance In The United States: Product Development

And Regulatory, A Thesis, Washinaton. DC, 2009; Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 78.

157

tiga hal; pertama, kepatuhan pada prinsip syariah. Kedua, kualitas layanan yang

baik. Ketiga, inovasi produk yang terus menerus agar dapat menarik minat

nasabah.57 Memang dalam kenyataannya, sebagian besar nasabah yang

bertransaksi dengan bank syariah, tidak semuanya didasarkan atas keyakinan

agama, yang memerintahkan agar ber muamalah sesuai syariat, akan tetapi lebih

banyak didorong pada prinsip melihat pada yang lebih menguntungkan, atau

dirasa lebih ringan pada saat melakukan pinjaman, sebagai konteks pertimbangan

bisnis yang tidak dapat dielakkan.58

Dalam penjabaran misi Pemerintah Aceh nomor 5, dinyatakan akan

meningkatkan kualitas manajemen Lembaga Keuangan Syariah dan melakukan

inovasi dalam implementasi akad atau produk keuangan syariah. Hal itu diyakini

bahwa lembaga keuangan syariah mempunyai peran penting dalam mendukung

perekonomian yang berbasis atas syariat Islam. Namun selama ini ditemukan

kendala yang dirasakan oleh masyarakat, dalam bentuk kekecewaan yang sifatnya

non-teknis, seperti pandangan mengenai belum sesuainya implementasi akad

perbankan syariah dengan prinsip-prinsip syariah. Selain itu juga ada kekecewaan

yang sifatnya teknis, seperti lambatnya pelayanan, dan pegawai yang kurang

kompeten dalam menjelaskan akad-akad syariah, belum baiknya edukasi untuk

membangun pemahaman nasabah, masih kurangnya alternatif akad syariah untuk

mendukung sektor pertanian, dan sebagainya. Kendala-kendala yang muncul ini

telah menciptakan stigma yang menghambat perkembangan perbankan syariah,

terutama perkembangan yang sifatnya dari bawah ke atas (bottom up). Dengan

temuan-temuan ini, maka diperlukan evaluasi secara berkala terhadap kualitas

pengelolaan, layanan, dan jasa keuangan syariah, termasuk memberikan ruang

untuk berinovasi dengan tetap memperhatikan aspek syariah dan aspek maqashid

syariah.59

Usman Kartadijaya menyatakan bahwa perbankan syariah saat ini hanya

menonjolkan aspek bajunya saja, namun prinsip perbankan yang dijalankannya

masih banyak yang jauh dari ketentuan syariah itu sendiri,60 sehingga dalam

kenyataannya, perekonomian umat Islam di Indonesia, sejak berdirinya ban-bank

syariah, seakan-akan berjalan tanpa dorongan perbankan syariah secara

meyakinkan, dan pada akhirnya angka kemiskinan umat Islam di Indonesia

disinyalir justru semakin meningkat. Sesungguhnya, banyak sekali faktor yang

dapat menyebabkan terjadinya kenyataan tersebut, akan tetapi yang paling utama

57 Muhammad Syafi’i Antonio, Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (Jakarta:

BAMUI dan BMI, 2006), 135. 58 Syafaruddin Alwi, Memahami Sistem Perbankan syariah: Berkaca pada Pasar

Umar bin Khattab, 15. 59 Muhammad Quraisy, dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah

2019-2020, 48 60 Usman Kartadijaya, Menyoroti Fenomena Perbankan Syariah di Indonesia

(Bandung: PT.Insan Madani, 2011), 12.

158

menurut Muhammad Antonio Syafi’i dan Abdul Jamal Abbas adalah disebabkan

oleh tiga faktor sebagai berikut:61

1. Aspek Komitmen dari pembuat dan pelaksana kebijakan perbankan

syariah terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dapat dibilang

masih rendah. Hal ini dapat diindikasi dari hampir sebagian besar

perbankan syariah di Indonesia ternyata hanya menggunakan prinsip

syariah, seperti halnya akad mudarabah sebagai ‘kedok’ atau ‘topeng’

belaka dalam pelaksanaan perbankannya, sehingga yang terjadi justru

disinyalir perbankan syariah meraup keuntungan atau bunga yang jauh

lebih besar bila dibandingkan dengan perbankan konvensional,

akibatnya bukannya dapat memberikan nilai kesejahteraan yang lebih

baik bagi masyarakat, tetapi justru sebaliknya malah ikut menambah

kesusahan masyarakat kecil dan menengah.62 Kondisi ini yang juga

menyebabkan upaya pengembangan perbankan syariah di tingkat makro

menjadi cukup lamban, sehingga masyarakat masih lebih condong

untuk menggunakan jasa dan produk perbankan konvensional.

Kemudian, seiring dengan semakin berkibarnya eksistensi perbankan

syariah yang didukung oleh undang-undang, ternyata hingga kini

perilaku perbankan syariah di Indonesia tak ubahnya dengan apa yang

selama ini ditunjukkan oleh perbankan nasional, yakni perilaku bunga

bank ‘berbaju mudarabah’, atau hanya sekedar simbolisme agama

fatamorganis yang membuat eksistensinya saat ini, menjadi bahan

kritikan umat Islam sendiri. Hal ini disinyalir sebagai dampak dari

rendahnya komitmen pelaku perbankan syariah terhadap pelaksanaan

prinsip syariah. Betapa tidak, menurut hasil penelitian, ditemukan

bahwa hampir sebagian besar perbankan syariah di Indonesia

mengambil keuntungan ‘riba’ yang jauh lebih besar dibandingkan

dengan perbankan konvensional. Hal ini berimplikasi pada 2 (dua)

fenomena faktual, yaitu 1) Animo masyarakat Indonesia khususnya

masyarakat muslim yang menggunakan jasa produk perbankan syariah

tidak mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan cenderung

menurun. 2) Citra perbankan syariah yang sedemikian rupa justru turut

menempatkan Islam sebagai agama yang tidak produktif terhadap

masalah perekonomian umat, sekaligus menjadi gugatan atas resolusi

ekonomi Islam terhadap masalah materialisme global.

61 Muhammad Antonio Syafi’i, Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (Jakarta:

BAMUI dan BMI, 2006), 37. Lihat juga dalam Abdul Jamal Abbas, Perbankan Syariah

Kontemporer: Prinsip, Nilai dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bintang Pustaka,

2011), 12; Naelul Azmi, Rahardi Mahardika, “Problematika Sistem Ekonomi Islam di

Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4, No. 1, Februari

(2020): 8-24, 15. 62 Hisyamuddin, Dilema Perbankan Syariah Nasional: Antara Kebutuhan,

Kenyataan dan Keharusan (Bandung: Mitra Abadi Press, 2011), 55.

159

2. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai salah satu masalah dalam

pengembangan perbankan syariah di Indonesia, khususnya menyangkut

keterbatasan SDM yang kompeten dan profesional di bidang perbankan

syariah.63 Memang diketahui bahwa masing-masing institusi bank

syariah telah berusaha meningkatkan sumber daya manusianya melalui

pelatihan-pelatihan, namun pada kenyataannya masih banyak pengamat

dan praktisi perbankan syariah yang merasakan masih sangat kurangnya

kualitas dan kuantitas SDM yang profesional.

3. Aspek Strategi Pemasaran yang Kurang Adaptif dan Responsif dalam

pengembangan perbankan syariah di Indonesia, khususnya yang

menyangkut bagaimana produk-produk perbankan syariah dapat

dipahami dengan baik sekaligus diminati oleh masyarakat pada

umumnya, khususnya umat Islam di negeri ini.64

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar bank syariah

di Indonesia belum menerapkan praktik Good Coporate Governance

(penyelenggaraan perusahaan yang baik), yang dalam implementasinya berbeda

dengan perbankan konvensional. Fokus utama praktik perusahaan yang baik dalam

bank syariah terletak pada sharia compliance (kepatuhan syariah). Sedangkan

prinsip-prinsip transparansi, kejujuran, kehati-hatian, kedisiplinan merupakan

prinsip universal yang juga terdapat dalam aturan perusahaan bank konvensional.

Berdasarkan pada hasil penelitian Idat diketahui bahwa telah terjadi penurunan

kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah.65 Kemudian,

berdasarkan survei dan penelitian mengenai preferensi masyarakat yang dilakukan

oleh Bank Indonesia bekerja sama dengan lembaga penelitian Perguruan Tinggi,

ditemukan adanya keraguan masyarakat terhadap kepatuhan syariah oleh bank

syariah. Keluhan yang sering muncul adalah aspek pemenuhan kepatuhan bank

terhadap prinsip-prinsip syariah (sharia compliance),66 padahal salah satu pilar

paling penting dalam pengembangan bank syariah adalah sharia compliance, dan

Pilar ini adalah pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional,

karena itu, maka, untuk menjamin implementasi prinsip-prinsip syariah pada

lembaga perbankan, dibentuklah pengawas syariah yang diperankan oleh Dewan

63 Naelul Azmi, Rahardi Mahardika, “Problematika Sistem Ekonomi Islam di

Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4, No. 1, Februari

(2020) 8-24. 64 Subandi, “Problem Dan Solusi Pengembangan Perbankan Syariah Kontemporer

di Indonesia” Al-Tahrir, Vol. 12, No. 1 Mei (2012): 1-19 65 Dhani Gunawan Idat, Trend Bank Syariah: Penurunan Terhadap Kepatuhan

Prinsip Syariah (Media Akuntansi, 2002), 30-31. 66 Bank Indonesia, Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank

Syariah di Jawa Barat (Jakarta, Bank Indonesia, 2001).

160

Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank dan dewan pengawas syariah secara

nasional.67

Bank Indonesia menjelaskan bahwa dalam usaha untuk mendorong praktik

perbankan syariah yang kuat dan sehat secara finansial serta selalu mengacu

kepada prinsip-prinsip syariah, maka perbankan syariah diminta agar dapat

melaksanakan prinsip-prinsip good coorporate governance (GCG), dalam bentuk

transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, kebebasan dan kewajaran serta

kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan syariah.68 Penerapan good coorporate governance terbukti di dalam penelitian pada beberapa lembaga keuangan syariah

di dunia muslim, telah dapat meningkatkan reputasi dan kepercayaan masyarakat

kepada bank syariah. Capra menjelaskan bahwa kegagalan dalam penerapan

prinsip syariah akan membuat nasabah berpindah ke bank lain sebesar 85%,69 oleh

sebab itu, maka penerapan good coorporate governance dan penerapan prinsip-

prinsip syariah menjadi keharusan bagi perbankan syariah di Indonesia dalam

upaya memperbaiki reputasi dan kepercayaan masyarakat kepada perbankan

syariah, serta melindungi kepentingan stakeholders dalam rangka mencitrakan

sistem perbankan syariah yang sehat dan kredibel.

Pokok-pokok hasil penelitian Bank Indonesia menyimpulkan bahwa

nasabah yang menggunakan jasa bank syariah, sebagian besar memiliki keinginan

untuk berhenti menjadi nasabah, antara lain disebabkan oleh adanya keraguan

terhadap konsistensi penerapan prinsip syariah pada bank. Kepatuhan dan

kesesuaian bank terhadap prinsip syariah sering kali dipertanyakan oleh para

nasabah, yang secara implisit, hal tersebut menunjukkan bahwa praktik perbankan

syariah selama ini, kurang memperhatikan prinsip-prinsip syariah.70

Dalam mekanisme kepatuhan syariah, terdapat dua konsep yang mendasari

pelaksanaan pengawasan syariah dalam konteks pemenuhan akuntabilitas secara

horizontal dan transendental. Pertama, konsep shariah review yang harus

dilakukan oleh DPS dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan syariah.

Kedua, konsep internal shariah review, dalam hal ini adalah bank Syariah sebagai

salah satu fungsi internal audit. DPS merupakan badan independen yang

ditempatkan oleh dewan syariah nasional yang anggotanya terdiri dari para ahli

67 Rahman El Junusi, “Implementasi Syariah Governance, serta Implikasinya

Terhadap Reputasi dan Kepercayaan Bank Syariah”, Prosiding Annual International

Conference on Islamic Studies (AICIS XII), 1831; Ade Sofyan Mulazid, “Pelaksanaan

Sharia Compliance Pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri, Jakarta)”

MADANIA Vol. 20, No. 1, Juni 2016: 37-54 68 Bank Indonesia, PBI No.11/33/2009 Tentang Pelaksanaan Good Corporate

Governance pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia,

2009). 69 M. Umer Chapra and Ahmed Habib. Corporate Governance in Islamic Financial

Institutions, Occasional Paper No. 6, (Islamic Research and Training Institute/Islamic

Development Bank: Jeddah , 2002), h. 12-13. 70 Rahman El Junusi, “Implementasi Syariah Governance...”,

161

bidang fikih muamalah dan memiliki pengetahuan umum dalam bidang Lembaga

keuangan syariah.71

Kepatuhan syariah memiliki standar internasional yang telah disusun dan

ditetapkan oleh lembaga yang bernama Islamic Financial Service Board (IFSB),

yang menjelaskan bahwa kepatuhan syariah adalah bagian dari tata kelola

lembaga (corporate governance).72 Kepatuhan syariah tersebut harus secara

konsisten dijadikan sebagai kerangka kerja oleh sistem dan keuangan bank syariah

dalam mengalokasikan sumber daya, manajemen, produksi, aktivitas pasar modal

dan distribusi kekayaan.73 Kepatuhan syariah merupakan inti dari integritas dan

kredibilitas bank syariah,74 karena eksistensi bank syariah bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat muslim terhadap pelaksanaan syariat Islam

secara menyeluruh (ka>ffah), termasuk di dalam kegiatan penyaluran dana melalui

bank syariah. Kepercayaan dan keyakinan masyarakat kepada bank syariah harus

didasarkan dan dipertahankan melalui pelaksanaan prinsip-prinsip syariah yang

diadaptasikan dalam aturan operasional institusi bank syariah.75 Sebab, tanpa

adanya kepatuhan terhadap prinsip syariah, masyarakat akan kehilangan

keistimewaan yang mereka cari dari bank syariah, yang akibatnya akan

mempengaruhi keputusan mereka untuk memilih ataupun terus melanjutkan

pemanfaatan jasa yang diberikan oleh bank non syariah. Anshori mengemukakan

bahwa shariah compliance adalah salah satu indikator pengungkapan islami untuk

menjamin kepatuhan bank Islam terhadap prinsip syariah.76

Selain kepatuhan pada syariah, dilihat dari struktur organisasi bank syariah,

unsur yang membedakan dengan bank konvensional adalah adanya keharusan bank

syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS ini bertugas untuk

mengawasi operasional bank dan produk-produk bank syariah agar sesuai dengan

prinsip syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank

syariah sangat khusus jika dibandingkan bank konvensional. DPS harus membuat

pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya

telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam

71 Wulpiah, “Urgensi Penerapan Kepatuhan Syariah Pada Perbankan Syariah

(Telaah Konseptual-Analitis)” Asy-Syar’iyyah: Jurnal Ilmu Syariah dan Perbankan Islan

Vol. 2, No.1, Juni 2017: 100-120, 109 72 Islamic Financial Service Board (IFSB), Guiding Principles on Shariah

Governance Systems for Institutions Offering Islamic Financial Services, December 2009,

3. 73 Adrian Sutedi, Perbakan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2009), h. 145; Lihat: http://digilib.uinsby.ac.id/1558/5/Bab%202.pdf. 74 Haniah Ilhami, “Pertanggungjawaban Dewan pengurus Syariah sebagai Otoritas

Pengawas Kepatuhan Syariah bagi Bank Syariah”, Mimbar Hukum, Volume 21 Nomor 3,

2009, 409-628. 75 Penjelasan Umum Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah; Lihat: Haniah Ilhami, Pertanggungjawaban Dewan pengurus..., 409-628. 76 Ansori. “Pengungkapan Sharia Compliance dan Kepatuhan Bank Syariah” Jurnal

Dinamika Akuntasi, 3, 2, Maret(2001)

162

laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan. Tugas lain DPS adalah

meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya.

Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu

produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).77

Selain DPS, Majelis Ulama Indonesia memiliki Dewan Syariah Nasional

(DSN), fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan

syariah agar sesuai dengan Syariah Islam. Untuk keperluan pengawasan tersebut,

DSN membuat garis panduan produk Syariah yang diambil dari sumber-sumber

hukum Islam. Fungsi lain dari DSN adalah meneliti dan memberi fatwa bagi

produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah.78 Panduan

DSN ini menjadi pedoman bagi DPS untuk melakukan pengawasan terhadap

produk-produk bank. Hal-hal tersebut di atas inilah yang tidak dimiliki oleh

perbankan konvensional sehingga menjadi pembeda dengan bank syariah. Tabel

berikut ini menggambarkan perbedaan antara bank syariah dan bank

konvensional.79

Perbedaan antara bank konvensional dengan bank syariah yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:80

a. Pada bank syariah, penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada

waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.

Sedangkan pada bank konvensional penentuan bunga dibuat pada waktu

akad tanpa memperhatikan terjadinya untung atau rugi,

b. Pada bank syariah, besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah

keuntungan yang diperoleh. Sedangkan pada bank konvensional

besarnya persentase didasarkan atas jumlah uang atau modal yang

dipinjamkan,

c. Pada bank syariah bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang

dijalankan, dan apabila proyek itu tidak mendapatkan keuntungan,

maka kerugian akan ditanggung bersama-sama oleh kedua belah pihak.

Sedangkan pada bank konvensional pembayaran bunga tetap seperti

yang dijanjikan tanpa pertimbangan berhasil atau tidaknya proyek yang

dijalankan nasabah,

77 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Bogor:

Ghalia Indonesia, 2009, 146. 78 M Syafii Antonio, 234; Aldira Maradita, “Karakteristik Good Corporate

Governance Pada Bank Syariah Dan Bank Konvensional” Yuridika : Volume 29 No 2,

Mei-Agustus (2014), 202-203. 79 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), :

Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama (Jakarta:

Kencana, 2012), 213-214. 80 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia (PT Citra Aditya

Bakti, 2002), 14-15; Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2012), 211-212.

163

d. Pada bank syariah, jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan

meningkatnya jumlah keuntungan yang dihasilkan. Sedangkan pada

bank konvensional, jumlah pembiayaan bunga tidak meningkat

sekalipun jumlah keuntungan usaha berlipat,

e. Pada bank syariah, keabsahan keuntungan bagi hasil tidak ada yang

diragukan. Sedangkan pada bank konvensional bergulirnya bunga

merupakan sesuatu yang diragukan halalnya.

Di samping perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional

sebagaimana disebutkan di atas, Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i

Antonio,81 menambahkan beberapa perbedaan lain sebagai berikut:

a. Bank syariah mendasarkan perhitungan pada margin keuntungan dan

bagi hasil, sedangkan pada bank konvensional menggunakan sistem

bunga.

b. Bank syariah tidak hanya berorientasi pada keuntungan (profit), tetapi

juga berorientasi kepada falah oriented. Adapun pada bank

konvensional orientasinya hanyalah keuntungan semata.

c. Bank syariah melakukan hubungan dengan nasabah dalam bentuk

hubungan kemitraan. sedangkan bank konvensional melakukan

hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur dan kreditur

saja.

d. Bank syariah meletakkan penggunaan dana secara riil (users of real funds). sedangkan bank konvensional memosisikan dirinya sebagai

creator of money supply.

e. Bank syariah hanya melakukan investasi dalam bidang yang halal,

sedangkan bank konvensional melakukan investasi dalam bidang yang

belum pasti halal.

f. Dalam melakukan pergerakan dan penyaluran dana, Bank syariah harus

berpedoman pada pendapat atau fatwa Dewan Pengawas Syariah.

sedangkan bank konvensional tidak memiliki dewan sejenis yang

mengawal bank tersebut.

Dalam ketentuan kepatuhan syariah, terdapat 7 indikator yang dapat

digunakan sebagai ukuran secara kualitatif untuk menilai kepatuhan syariah di

dalam lembaga keuangan syariah, yaitu:

1) Akad atau kontrak yang digunakan untuk penyaluran dana sesuai

dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang berlaku;

2) Dana zakat dihitung dan dibayar serta dikelola sesuai dengan aturan dan

prinsip-prinsip syariah;

3) Seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai

dengan standar akuntansi syariah yang berlaku;

4) Lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan syariah;

81 Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagamana

Bank Islam (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1992), 53.

164

5) Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan syariah;

6) Terdapat dewan pengawas syariah sebagai pengarah syariah atas

keseluruhan aktivitas operasional bank syariah;

7) Sumber dana berasal dari sumber dana yang sah dan halal menurut

Syariah.82

Berdasarkan ciri-ciri dan perbedaan antara bank konvensional dengan bank

syariah, maka dapat disimpulkan bahwa perbankan syariah itu dibangun atas 3

prinsip, yaitu: Pertama, al-Ta’awun (saling menolong) sesuai dengan perintah

dalam surat al-Ma’idah ayat kedua, Kedua, al-Ikthifna, sesuai dengan anjuran

dalam Al-Quran surat al-Nisa’ ayat 29, yang memerintahkan agar uang tidak

dibiarkan menganggur, tetapi harus diinvestasikan secara baik agar mendapatkan

keuntungan, dan ketiga, Prinsip al-Hala>l (terbebas dari semua perkara yang telah

dilarang oleh syariat Islam). Prinsip halal ini mencakup dalam halal dalam

memperolehnya, halal dalam mengonsumsinya dan halal dalam

memanfaatkannya.83

Indikator-indikator tersebut di atas merupakan prinsip-prinsip umum yang

menjadi acuan bagi manajemen bank syariah dalam mengoperasikan bank syariah.

Kepatuhan syariah dalam operasional bank syariah dinilai berdasarkan indikator-

indikator tersebut, yaitu apakah operasional bank telah dilaksanakan sesuai

dengan indikator umum kepatuhan syariah. Indikator-indikator di atas juga akan

menjadi acuan penulis dalam menganalisis tingkat kepatuhan bank syariah yang

beroperasi di Aceh, terhadap prinsip-prinsip syariah.

Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana implementasi sistem syariah

pada bank, peneliti melakukan wawancara dengan masyarakat Aceh dan bank

yang beroperasi di sana. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat,

diperoleh data bahwa sebanyak 33% penduduk yakni 40 orang menyatakan bahwa

penerapan Bank syariah di Aceh, sudah sesuai dengan syariat Islam, dan 35 orang

atau 29,2 % menyatakan tidak, sedangkan yang tidak memberi komentar ada 45

orang atau sama dengan 37,5%. Secara dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 16

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Bank Syariah telah sesuai dengan Prinsip Syariah 17 34%

Bank Syariah belum sesuai dengan Prinsip Syariah 15 30%

Tidak mengetahui tentang Prinsip Syariah 18 36%

Jumlah 50 100%

82 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Bogor:

Ghalia Indonesia, 2009, 145. 83 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama

(Jakarta: Kencana, 2012), 213.

165

Berdasarkan tabel di atas, dapat dinyatakan bahwa masih banyak

masyarakat yang belum mengetahui hakikat bank syariah, serta perbedaannya

dengan bank konvensional, karena yang menjawab tidak tahu, masih lebih banyak

dibandingkan dari yang mengetahui kesesuaian sistem perbankan yang beroperasi

di Aceh.

Kemudian, untuk mengukur ketaatan syariah oleh bank, penulis bertanya

kepada masyarakat yang bersedia untuk diwawancara, dengan beberapa indikator,

yaitu:

1) Apakah bank syariah menggunakan sistem bunga, dan dari hasil

wawancara, diperoleh 40% jawaban yang menyatakan bahwa bank

syariah masih menerapkan sistem bunga, 26% menyatakan sudah tidak

menerapkan ‘bunga’, sedangkan 34% warga menyatakan tidak tahu.

Berikut tebelnya:

Tabel 17

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Bank Syariah masih menerapkan sistem

bunga

20 40%

Bank Syariah tidak menggunakan sistem

bunga

13 26%

Tidak mengetahui tentang Prinsip Syariah 17 34%

Jumlah 50 100%

Akan tetapi, penulis tidak langsung percaya pada jawaban masyarakat

tersebut, karena itu, penulis mencoba konfirmasi dengan pihak bank,

dan dalam wawancara yang dilakukan, pihak bank menyatakan bahwa

mereka tidak lagi menerapkan bunga dalam operasionalnya.

Keuntungan bank yang dihasilkan dari pinjaman nasabah disebut

dengan margin dan nisbah .84

2) Apakah bank syariah menggunakan sistem bagi hasil, Berdasarkan

pada wawancara dengan bank syariah di Aceh, diketahui bahwa bank

di sana telah menggunakan sistem bagi hasil. Dalam wawancara yang

penulis lakukan, pihak bank menjawab bahwa penyebutan untuk

keuntungan yang diperoleh dari hasil pinjaman nasabah antara lain

sebagai berikut :

a. Margin, dihasilkan oleh jual-beli dengan akad murabahah

84 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh

pada Maret 2021; Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB,

Wawancara, September 2021

166

b. Bagi Hasil, dihasilkan oleh produk dengan akad musyarakah, atau

fee based income.

c. Ujroh, dihasilkan dari sewa-menyewa yang dihasilkan dengan

akad ijarah.85

Sedangkan jawaban masyarakat atas pertanyaan ini adalah 44%

menyatakan bahwa bank syariah menerapkan sistem bagi hasil, 14%

menyatakan tidak, dan 42% menyatakan tidak tahu. Berdasarkan

jawaban-jawaban ini, maka penulis kembali menyatakan bahwa

masyarakat Aceh masih belum terlalu paham dengan sistem bank

syariah, dan jika dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya, maka

jawaban masyarakat itu tampak kontradiktif, sebab pada pernyataan

sebelumnya, mengatakan bahwa bank masih menerapkan sistem

bunga, tetapi dalam pernyataan berikutnya mengatakan bahwa bank

menerapkan sistem bagi hasil. Berikut tabel jawaban masyarakat Aceh

tentang penerapan sistem bagi hasil bank syariah:

Tabel 18

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Bank Syariah menerapkan sistem bagi

hasil

22 44%

Bank Syariah belum menerapkan sistem

bagi hasil

7 14%

Tidak mengetahui tentang Prinsip

Syariah

21 42%

Jumlah 50 100%

Pandangan penulis di atas, sesuai dengan sebuah penelitian yang

dilakukan pada tahun 2006 tentang ”Strategi Perluasan Pangsa Pasar pada Bank Syariah.” Dengan salah satu komponen data kuesioner

berisi ”exposure Bank Syariah” mendapatkan hasil yang kurang

menggembirakan, karena dari 300 informan, hanya 50 orang yang

mengetahui secara jelas tentang produk-produk bank syariah, dan

hanya 2 orang yang menjadi nasabah bank syariah, serta hanya 5 orang

yang mengetahui dengan jelas manfaat atau kelemahan produk bank

syariah. Karena inti dari promosi adalah mendukung kegiatan strategi

penetrasi pasar dan strategi pengembangan pasar, maka manajemen

menjadi penting untuk dapat mengetahui kebutuhan pasar yang ada

dengan produk yang ada dan sekaligus dapat meningkatkan penjualan

85 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh

pada Maret 2021; Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB,

Wawancara, September 2021

167

di pasar yang baru. Oleh karena Lembaga Keuangan Syariah

merupakan lembaga yang universal, kegiatan promosi harus tersurat

secara jelas menunjukkan bahwa bank syariah tidaklah eksklusif hanya

untuk umat Islam saja, akan tetapi dapat manfaatkan dan

dipergunakan oleh non muslim.

Selama ini banyak orang yang menganggap bahwa ekonomi Islam

dalam hal ini lembaga keuangan syariah hanya diperuntukkan bagi

orang Islam saja. Padahal kenyataannya, lembaga keuangan syariah

merupakan lembaga komersial yang melayani siapa saja dan dapat

dilaksanakan oleh siapa saja, baik muslim maupun non muslim. Sebab

tujuan utama dari ekonomi Islam adalah sebagai alternatif dalam

mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu,

dianggapnya sistem bagi hasil, cenderung tidak pasti sehingga sulit

dijadikan parameter untuk melakukan prediksi usaha ke depan. Justru

yang sebenarnya semua tergantung dari segi pengelolaan yang efektif

dan efisien dengan melibatkan nilai keadilan dan moral. Terkait

mengenai zakat, masyarakat Indonesia menganggap zakat sebagai

kewajiban normatif bukan sebagai kewajiban positif. Mereka

membayar zakat hanya memandang dari tuntutan agama, tidak dari

dampak pemberiannya kepada masyarakat.86

Oleh karena itu, bank syariah tidak boleh mengabaikan ekspektasi

pelanggan mereka dengan berasumsi bahwa mereka diminta untuk

berurusan dengan bank syariah semata-mata berdasarkan kesadaran

agama, lebih tepatnya mereka juga harus mempromosikan kualitas

layanan yang dapat memuaskan pelanggan.87 Masalah lain yang

membutuhkan perhatian adalah perlunya meningkatkan pengetahuan

masyarakat terhadap bank-bank syariah dan produk itu sendiri. Pihak

bank harus mengedukasi masyarakat akan manfaatnya, karakteristik

unik perbankan dan berbagai macam produk keuangan yang

ditawarkan. Wawasan penting yang diidentifikasi pada peringkat

berbagai kriteria seleksi perbankan, menyiratkan perlunya bank

syariah untuk meningkatkan faktor-faktor yang mempengaruhi minat

pelanggan, yang dapat dianggap sebagai keunggulan kompetitif.88

86 Naelul Azmi, Rahardi Mahardika, “Problematika Sistem Ekonomi Islam di

Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4, No. 1, Februari

(2020) 8-24. 87 Syed Akif Hasan, Muhammad Imtiaz Subhani and Ms. Amber Osman,

“Consumer Criteria for the Selection of an Islamic Bank: Evidence from Pakistan”

International Research Journal of Finance and Economics (IRJFE) No. 94, (2012), 4. 88 Asma’ Rashidah Idris dkk, “Religious Value as the Main Influencing Factor to

Customers Patronizing Islamic Bank” World Applied Sciences Journal 12 (Special Issue

on Bolstering Economic Sustainability): 08-13, (2011), 12

168

3) Apakah Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman.

Masyarakat Aceh menyatakan bahwa mereka tidak begitu paham

tentang margin yang diterapkan oleh bank syariah, terbukti dengan

56% dari mereka menyatakan tidak tahu, 36% menjawab bahwa

keuntungan yang diperoleh bank adalah margin, dan 8% menyatakan

tidak menerapkan margin. Karena itu, peneliti lebih percaya kepada

jawaban pihak bank, yang mengatakan bahwa margin atas pinjaman,

diperuntukkan atas pinjaman dengan sistem murabahah. Berikut tabel

jawaban masyarakat Aceh:

Tabel 19

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Keuntungan dari Bank Syariah disebut

margin

4 8%

Bank Syariah menerapkan margin 18 36%

Tidak mengetahui tentang Prinsip

Syariah pada bank

28 56%

Jumlah 50 100%

4) Apakah Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan.

Berkenaan dengan dengan ketaatan bank syariah dalam menghindari

penggunaan bunga, penulis menemukan jawaban yang beragam dari

masyarakat Aceh, 22% menyatakan bahwa bank syariah di Aceh

masih memberikan bunga pada simpanan, dan 26% menyatakan tidak,

sedangkan yang tidak tahu jumlahnya lebih banyak, dan mencapai

52%. Dengan demikian tampa bahwa masyarakat masih banyak yang

belum tahu tentang sistem perbankan syariah.

Sedangkan pada saat peneliti mengonfirmasi kepada pihak bank,

mereka mengatakan bahwa bunga terhadap simpanan nasabah sudah

tidak ada. Memang benar nasabah yang memiliki simpanan di bank

bisa mendapatkan keuntungan tambahan dana karena simpanan

tersebut, dan keuntungan itu terbagi pada 2 macam, yaitu:

a. Bagi hasil, yaitu keuntungan yang dihasilkan oleh produk dengan

akad mudarabah, bentuknya berupa Produk Deposito.

b. Bonus, yaitu keuntungan yang dihasilkan dari produk dengan

akad wadiah (simpanan dana nasabah). Untuk bonus ini, bank

tidak memberikan janji apa-apa.89

89 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh

pada Maret 2021; Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB,

Wawancara, September 2021

169

Berdasarkan pada penjelasan dari pihak bank tersebut, penulis

menyimpulkan bahwa pihak bank telah berupaya untuk menjalankan

prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya, sedangkan adanya

perbedaan jawaban dari masyarakat itu, dapat dinyatakan bahwa

masyarakat Aceh masih belum begitu mengetahui perbedaan sistem

atau prinsip bank syariah dan bank konvensional. Hal itu tegambar

dalam tabel di bawah ini:

Tabel 20

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Bank syariah di Aceh masih memberikan

bunga pada simpanan

11 22%

Bank syariah di Aceh tidak memberikan

bunga pada simpanan

13 26%

Tidak mengetahui tentang Prinsip

Syariah pada bank di Aceh

26 52%

Jumlah 50 100%

5) Apakah Anda paham perbedaan Bank syariah dan Bank Konvensional.

Mayoritas masyarakat Aceh mengatakan bahwa mereka paham

perbedaannya, terbukti dengan 86% menjawab paham, dan hanya 14%

yang menyatakan tidak paham perbedaan bank syariah dan bank

konvensional. Secara detail tampak dalam tebel di bawah ini:

Tabel 21

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Memahami Perbedaan antara Bank

Syariah dan Bank Konvensional

43 86%

Tidak memahami Perbedaan antara Bank

Syariah dan Bank Konvensional

7 14%

Jumlah 50 100%

Selanjutnya penulis mencoba menganalisis ketaatan bank syariah terhadap

prinsip-prinsip syariah sesuai dengan indikator yang telah disebutkan di atas. Hal

ini penting dilakukan karena berdasarkan pokok-pokok hasil penelitian Bank

Indonesia, disimpulkan bahwa nasabah yang menggunakan jasa bank syariah,

sebagian besar memiliki kecenderungan untuk berhenti menjadi nasabah

disebabkan karena keraguan mereka terhadap konsistensi penerapan prinsip-

170

prinsip syariah. Kepatuhan dan kesesuaian bank terhadap prinsip syariah sering

dipertanyakan oleh para nasabah. Sehingga secara implisit menunjukkan bahwa

praktik perbankan syariah selama ini masih kurang memperhatikan prinsip-prinsip

syariah.90

Sebetulnya masyarakat umum, dan para pemangku kepentingan bank

syariah di Indonesia, juga bisa mengetahui dan mengukur serta menilai sejauh

mana operasional bank syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, yaitu melalui

laporan keuangan bank syariah yang senantiasa dipublikasikan secara periodik.91

Dan untuk mendapatkan gambaran secara empiris, peneliti mengadakan

wawancara dengan pihak bank sebagai konfirmasi bagaimana implementasi qanun

tentang lembaga keuangan syariah di sana, dan untuk mendapatkan gambaran

nyata tentang ketaatan bank syariah terhadap ketentuan syariah.

Hasil dari analisis penulis terhadap indikator-indikator prinsip syariah yang

diimplementasikan oleh bank Syariah di Aceh adalah sebagai berikut:

1. Akad atau kontrak yang digunakan untuk penyaluran dana sesuai dengan

prinsip-prinsip dan aturan syariah yang berlaku;

Berkaitan dengan akad, penulis mendapatkan jawaban dari masyarakat

bahwa Dari beberapa orang yang diwawancara, ada 17 orang memiliki hutang

pada Bank Syariah, dengan peruntukan yang berbeda-beda, yaitu: 4 orang

untuk modal usaha, 1 orang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, 8 orang

untuk membeli rumah, 2 orang untuk biaya pendidikan, dan 11 lainnya tidak

menyebutkan peruntukannya secara spesifik.92

Berkenaan dengan jenis transaksi yang digunakan ketika meminjam dana

di Bank, 24 orang menyatakan bahwa murabahah adalah transaksi yang

digunakan, 25 orang menggunakan mudarabah, 1 orang dengan musyarakah,

3 dengan ijarah, 1 dengan hawalah, dan 14 lainnya tidak menyebutkan

transaksi yang mereka gunakan,93 ada kemungkinan karena mereka tidak

membaca dengan detail akad perjanjian yang dibuat bersama dengan Bank.

Selanjutnya, penulis melakukan wawancara dengan pihak bank untuk

mendapatkan informasi tentang berbagai akad yang digunakan oleh bank

syariah tersebut. Dalam penjelasannya, pihak bank menyatakan bahwa

sebagai komitmen untuk menjadi bank syariah, maka bank-bank tersebut

harus betul-betul melaksanakan prinsip-prinsip dan aturan syariah, dan di

antara aspek yang paling utama dan membedakan antara bank syariah dengan

bank konvensional, adalah dari sisi akadnya. Mereka menyatakan bahwa akad

yang mereka gunakan dalam transaksi adalah wadi>ah (titipan) untuk produk

dana dan mudarabah (bagi hasil). Sedangkan Akad yang digunakan oleh bank

90 Rahman El Junusi, “Implementasi Syariah Governance...”, 91 Wulpiah, “Urgensi Penerapan Kepatuhan Syariah” Asy-Syar’iyyah, Vol. 2, No.1,

Juni 2017 92 Wawancara dengan warga Aceh pada Maret 2021 93 Wawancara dengan warga Aceh pada Maret 2021

171

dalam produk pembiayaan adalah murabahah (jual beli) dan musyarakah

(bagi hasil). Secara rinci pihak bank menyebutkan akad-akad lain yang

mereka gunakan sebagai berikut:

a) Wadiah, yaitu: Akad penitipan batang atau uang antara pihak yang

mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan

dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta

keutuhan barang atau uang.

b) Mudharabah, yaitu: Akad kerjasama suatu usaha antara pihak

pertama (malik, shahibul mal, atau bank syariah) yang menyediakan

seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang

bertindak selaku pengelola dana dengan kesepakatan yang

dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya

oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan

yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

c) Musyarakah, yaitu: Akad kerja sama di antara 2 pihak atau lebih

untuk suatu usaha, dan masing-masing pihak memberikan porsi dana

masing-masing.

d) Murabahah, yaitu: Akad pembiayaan suatu barang dengan

menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli

membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang

disepakati.

e) Salam, yaitu: Akad pembiayaan suatu barang dengan cara

pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu

dengan syarat tertentu yang disepakati.

f) Istisna’, yaitu: Akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan

pembuatan barang tertentu yang disepakati antara pemesan atau

pembeli (mustashni') dan penjual atau pembuat (shani').

g) Ijarah, yaitu: Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan

hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan

transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikian

barang itu sendiri.

h) Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik, yaitu: Akad penyediaan dana dalam

rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau

jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan

kepemilikan barang.

i) Qardh, yaitu: Akad pinjaman dana kepada nasabah dengan

ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang

diterimanya pada waktu yang telah disepakati.94

Sedangkan dalam wawancara dengan pihak bank Aceh IB (bank

syariah milik pemerintah Provinsi Aceh/BPD Aceh) dinyatakan bahwa Akad

yang digunakan pada Bank Aceh sejauh ini adalah akad Murabahah,

94 Alif dan Dedy, Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh

pada Maret 2021.

172

Mudharabah, Musyaraqah Mutanaqisah, Ijarah, IMBT, Ijarah Multiguna,

Qardh, Kafalah, Rahn.95 Melihat pada jawaban pihak bank, maka penulis

menyimpulkan bahwa akad atau kontrak yang digunakan untuk penyaluran

dana oleh bank, telah sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang

berlaku.

2. Dana zakat dihitung dan dibayar serta dikelola sesuai dengan aturan dan

prinsip-prinsip syariah;

Berkaitan dengan dana zakat, pihak bank menyatakan bahwa ada

penyisihan dana oleh bank yang diambil dari keuntungan usahanya, dan

disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Tanggung jawab

sosial perusahaan adalah komitmen perusahaan kepada lingkungan dengan

tujuan memberikan nilai tambah kepada semua pemangku kepentingan

termasuk internal perusahaan guna mendukung pertumbuhan perusahaan.

Tujuan implementasi kegiatan CSR adalah: Mewujudkan hubungan yang

harmonis antara perusahaan dan masyarakat Mendukung implementasi

praktik bisnis yang transparan dan bertanggung jawab membangun citra

positif dan menggalang dukungan masyarakat, serta menggali dan

memberdayakan potensi UMKM melalui penyaluran dana kemitraan. Selain

itu juga berpartisipasi dalam program pelestarian lingkungan hidup,

peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, kehidupan

beragama, dan perbaikan sarana umum lainnya.

Sementara itu, dari bank Muamalat menjelaskan bahwa dana sosial itu

dilakukan dan diberikan dalam bentuk:

a. Membayar Zakat perusahaan (dari keuntungan perusahaan) dan zakat

pegawai.

b. Menghimpun dana ZISWAF dari masyarakat, sebagai salah satu fungsi

sosial. Medianya dikembangkan melalui kemudahan fasilitas yang

diberikan oleh Bank Syariah kepada yang membutuhkan.

Berdasarkan jawaban dari pihak bank tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa bank syariah di Aceh telah berusaha menerapkan prinsip syariah dalam

bidang zakat.

3. Seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai

dengan standar akuntansi syariah yang berlaku;

Adapun dalam aspek laporan, pihak bank menyampaikan laporannya

secara wajar, karena diawasi oleh dewan pengawas syariah, dan DPS juga

wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan DPS setiap semester kepada

Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Laporan

keuangan tersebut didasarkan atas prinsip syariah yang dirinci sebagai

berikut:

95 Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB, Wawancara,

September 2021

173

a. Bank Syariah menyampaikan laporan hasil pengawasan penerapan

Prinsip Syariah yang disusun oleh DPS secara semesteran kepada

Bank Indonesia untuk posisi akhir bulan Juni dan bulan Desember.

b. Laporan semester I disampaikan paling lambat akhir bulan Agustus

pada tahun berjalan, sedangkan laporan semester II disampaikan

paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya.

c. Laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah meliputi:

1. Kertas kerja pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru

2. Kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan usaha

3. Risalah rapat pengawasan penerapan Prinsip Syariah

Dalam hal tidak melakukan pengembangan produk dan aktivitas

baru pada periode laporan, Bank Syariah tetap menyampaikan

laporan kertas kerja pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru

Bank Syariah dengan keterangan “NIHIL”.

d. Penyampaian laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah

kepada Bank Indonesia dialamatkan kepada:

1. Departemen Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2,Jakarta

10350, bagi BPRS yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta,

Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi; atau

2. Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia yang

mewilayahi kantor pusat BPRS, bagi BPRS yang kantorpusatnya

berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam

angka

4. Lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan syariah;

Berkenaan dengan Acuan yang digunakan oleh bank dalam

implementasi akad adalah berdasarkan Rukun dan Syarat berdagang secara

Syariah. Adapun rukun tersebut yaitu adanya para pihak (Penjual dan

Pembeli), adanya objek dan adanya ijab-qabul. Sedangkan Syarat berdagang

secara Syariah adalah Para Pihak haruslah cakap hukum, berwenang, dan

tidak ada paksaan. Untuk objek yang diperjual-belikan harus halal dan jelas

(kualitas dan kuantitasnya). Selanjutnya Ijab-Qabul yang dilakukan harus

jelas hak dan kewajibannya. Implementasi akad pada Bank Syariah

diterapkan sesuai dengan produk yang diinginkan oleh nasabah sesuai

Standar Operasional dan Prosedur (SOP).

5. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan syariah;

Pihak bank menyatakan bahwa bisnis yang dijalankan dalam

pengelolaan keuangan dalam rangka untuk menghasilkan keuntungan,

diperoleh Atas dasar akad yang disepakati dan diperjanjikan antar bank dan

nasabah. Keuntungan yang diterima bank adalah berdasarkan margin jual beli

atau bagi hasil dari usaha nasabah. Keuntungan yang diterima nasabah adalah

dari profit bank pada bulan berjalan.

174

Adapun dana yang dimiliki oleh bank, disalurkan kepada sektor

produktif (modal kerja dan investasi) dan sektor konsumtif. Sedangkan

bidang bisnis yang dikembangkan oleh bank syariah di Aceh, meliputi:

a. Pendanaan, termasuk di dalamnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga

dalam bentuk Tabungan, Deposito dan Giro.

b. Pembiayaan. Seluruh pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah

c. Jasa Perbankan, meliputi jasa layanan transaksi perbankan, e-Chanel

(ATM, EDC, Mobile Banking, dan lain sebagainya), Bank Garansi,

Letter of Credit (LC), Safe Deposit Box (SDB), dan jasa perbankan

lainnya.

Berdasarkan pada jawaban tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

bank telah berusaha memenuhi prinsip syariah dalam bisnisnya dan bidang-

bidang yang dibiayai.

6. Terdapat dewan pengawas syariah sebagai pengarah syariah atas keseluruhan

aktivitas operasional bank syariah;

Berkenaan dengan adanya dewan pengawas syariah, Bank Syariah

Indonesia yang penulis wawancarai menyatakan bahwa bank tersebut telah

memiliki dewan pengawas Syariah yang diangkat pada RUPS LB pada

tanggal 15 Desember 2020, dan akan menjabat secara mulai 01 Februari

2021. Tugas utama dewan syariah ini adalah untuk mengawasi kegiatan

usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip

syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Fungsi utama

dewan syariah ini adalah sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi,

pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai

hal-hal yang terkait dengan aspek syariah dan sebagai mediator antara

lembaga keuangan syariah dengan dewan syariah Nasional dalam

mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari

lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari dewan

syariah nasional.

Dewan syariah ini berasal dari unsur Ulama dan Pakar Ekonomi

Syariah, hal ini dilandaskan atas Peraturan Organisasi Majelis Ulama

Indonesia Nomor: 11/Po-MUI/II/2018 Tentang Anggaran Dasar Dan

Anggaran Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,

Pasal 10 tentang Dewan Pengawas Syariah, dan Anggaran Rumah Tangga

DSN MUI Nomor: 11/PO-MUI/II/2018 BAB I Tugas dan Wewenang, Pasal 3

Tugas dan Wewenang DPS. Hal ini juga didasarkan pada Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Perkreditan

Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan Bank Indonesia

No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober tentang Bank Umum yang

melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah yang lalu

dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.7/35/PBI/2005 tanggal 29

September 2005 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha

yang berdasarkan Prinsip Syariah. Dan juga atas dasar Peraturan Bank

175

Indonesia No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari tentang perubahan kegiatan

usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang

melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan

Kantor Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah

oleh Bank Umum Konvensional.

Untuk membuktikannya pihak bank memberikan salinan anggaran

dasar dan anggaran rumah tangga bank syariah yang telah disahkan oleh

notaris, dan penulis menemukan adanya pembentukan dewan syariah dalam

akta notaris tersebut.96 Dengan data ini, maka salah satu prinsip syariah telah

dipenuhi dan dilaksanakan oleh pihak bank.

7. Sumber dana berasal dari sumber dana yang sah dan halal

Pihak bank menyatakan bahwa setelah menggunakan sistem Syariah,

keadaan Bank semakin membaik dan semakin berkah. Hal ini karena pihak bank

berusaha untuk mendapatkan sumber dana yang sah dan halal.

Untuk melihat kesesuaian atau ketaatan bank syariah di Aceh, dengan

prinsip-prinsip syariah, penulis gambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 22

No Prinsip-prinsip Praktik di Bank Syariah Aceh Sesuai Tidak

Sesuai

1 Akad atau kontrak

yang digunakan

Menggunakan akad-akad

yang sesuai dengan prinsip

syariah

V

2 Dana zakat dihitung

dan dibayar serta

dikelola

Menyisihkan dana sosial

untuk pihak internal dan

eksternal

V

3 Seluruh transaksi dan

aktivitas ekonomi

dilaporkan

Pelaporan secara rutin kepada

pihak-pihak yang

berkepentingan

V

4 Lingkungan kerja dan

corporate culture sesuai dengan syariah

Mengikuti SOP yang

ditetapkan V

5 Bisnis dan usaha yang

dibiayai tidak

bertentangan dengan

syariah

Menjalankan bisnis dan usaha

yang sesuai syariah V

6 Terdapat dewan

pengawas syariah

sebagai pengarah

Memiliki dewan pengawas

syariah yang ditetapkan

dalam anggaran dasar dan

V

96 Anggaran dasar dan Anggaran rumah tangga Bank Syariah Indonesia (BSI), 15.

176

syariah anggaran rumah tangga

7 Sumber dana berasal

dari sumber dana yang

sah dan halal

Sumber dana masih beragam,

karena masih dalam proses

konversi dari bank

konvensional. Tetapi bank

terus berusaha untuk

memenuhi prinsip ini.

V

Berdasarkan data dalam tabel di atas, tampak bahwa prinsip-prinsip

syariah telah diimplementasikan oleh bank-bank syariah yang beroperasi di Aceh

secara penuh, meskipun masih ada kekurangan dalam beberapa aspek, tetapi pihak

bank telah berusaha untuk memenuhi aspek tersebut secara optimal.

Pada saat penelitian, penulis menemukan bahwa tidak semua warga Aceh

memiliki rekening di bank syariah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara,

dari 120 orang, hanya 105 orang yang memiliki rekening di Bank Syariah, dengan

rincian, 85 orang pada bank BRI Syariah, 59 di BNI Syariah, 34 pada Bank

Syariah Aceh, 34 pada Bank Mandiri Syariah, 1 orang pada Bank BTPN Syariah,

dan 1 orang pada Bank Muamalat, serta 5 orang pada Bank BCA Syariah.97

Melihat data ini, maka perbankan syariah perlu memperbaiki sistemnya dan

meningkatkan fasilitas dan layanannya agar animo dan kepercayaan masyarakat

menjadi lebih meningkat.

Hal itu dapat dilakukan melalui ketersediaan produk dan standarisasi

produk perbankan syariah, karena selama ini masih banyak bank syariah yang

belum menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah. Standardisasi ini diperlukan

dengan alasan industri perbankan syariah memiliki perbedaan dengan bank

konvensional. Apalagi, produk bank syariah tidak hanya diperuntukkan bagi

nasabah muslim, melainkan juga nasabah non muslim yang tinggal di Aceh.

Kemudian, dari tingkat pemahaman (awareness) produk bank syariah juga perlu

ditingkatkan melalui sosialisasi secara terus menerus. Sebab hingga saat ini, masih

sangat sedikit masyarakat yang tahu tentang produk-produk perbankan syariah

dan istilah-istilah di perbankan syariah. Tercatat hanya sekitar 30% dari sumber

daya yang direkrut, yang mengetahui istilah-istilah perbankan syariah serta

tingkat pemahamannya.98

Sosialisasi ini perlu dilakukan agar masyarakat siap menerima ketentuan

qanun tersebut untuk dilaksanakan. Dengan demikian, akan masyarakat tunduk

pada hukum bukan karena paksaan, tetapi karena mereka mengerti tentang hukum

tersebut yang memang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu

sendiri. Dengan sosialisasi tersebut diharapkan akan terjadi internalisasi hukum ke

97 wawancara 98 Naelul Azmi, Rahardi Mahardika, “Problematika Sistem Ekonomi Islam di

Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4, No. 1, Februari

(2020) 8-24.

177

dalam kehidupan masyarakat dalam artian bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut

telah meresap dalam diri masyarakat. Apabila masyarakat sudah tahu bahwa

hukum yang akan diberlakukan akan membawa ketenteraman dan ketertiban,

maka dengan sendirinya dan secara sadar masyarakat akan taat dan patuh kepada

hukum itu. Sehubungan dengan hal tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan

hukum kepada masyarakat sangat penting untuk dilakukan. Dalam kaitan ini Otje

Salman,99 menjelaskan bahwa ada 4 indikator yang dapat menjadikan hukum

sebagai sarana untuk mendidik masyarakat agar mereka memiliki kesadaran

terhadap hukum, yaitu:

1. Pengetahuan hukum, yaitu pengetahuan seseorang tentang perilaku

tertentu yang diatur di dalam hukum;

2. Pemahaman hukum, hal ini berkaitan erat dengan asumsi bahwa

masyarakat dianggap telah mengetahui isi suatu peraturan apabila

peraturan itu telah diundangkan, namun pada kenyataannya asumsi

ini tidak tepat. Pemahaman hukum merupakan suatu pengertian

terhadap substansi dan tujuan dari suatu peraturan dalam hukum

tertentu dan memahami manfaatnya bagi kehidupan masyarakat;

3. Sikap hukum, yaitu suatu keinginan untuk menerima hukum

disebabkan oleh adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu

yang akan membawa manfaat apabila ditaati,

4. Perilaku hukum, ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam

membantu kesadaran hukum, dari sini dapat dilihat apakah suatu

peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.

Apabila keempat indikator tersebut terpenuhi, maka derajat kesadaran

hukumnya akan tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum

masyarakat terhadap suatu aturan hukum akan menyebabkan warga masyarakat

menaati aturan-aturan hukum yang diberlakukan itu, begitu pula sebaliknya,

apabila derajat kesadaran hukum rendah, maka derajat ketaatan terhadap hukum

juga rendah. Oleh sebab itu, pendidikan hukum masyarakat sangat perlu diadakan

sebelum hukum diberlakukan kepada masyarakat, hal ini sangat dibutuhkan agar

hukum dapat bekerja secara efektif sebagaimana yang diharapkan untuk dapat

mendukung pembangunan nasional.

Temuan juga mengungkapkan bahwa sebagian besar konsumen memilih

Bank syariah karena motif keagamaan. Bank yang beroperasi di bidang syariah

memiliki reputasi yang baik dalam mendapatkan kepercayaan klien mereka

dengan melakukan operasi mereka dengan prinsip-prinsip syariah dan kerahasiaan

Informasi. Manfaat moneter bukanlah faktor penting bagi konsumen dalam riset

ini. Konsumen dapat menerima keuntungan jika motif keagamaan mereka puas.

Bank syariah telah terlihat untuk mengatasi kebutuhan perbankan masyarakat

Muslim dalam pencarian layanan perbankan yang tidak bertentangan dengan

99 Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum (Bandung: Alumni Bandung,

1989), 56-59.

178

prinsip syariah. Oleh karena itu, sangat penting bahwa Lembaga perbankan

syariah berpegang pada prinsip-prinsip dasar kepatuhan syariah, bahkan jika

mereka harus mengorbankan pengembalian moneter.100 Motif keagamaan adalah

faktor terpenting bagi mahasiswa yang memilih bank syariah. Islam institusi

perbankan harus memenuhi prospek konsumennya dengan menerima bahwa

konsumen tidak hanya berurusan dengan bank Islam berdasarkan motif agama

melainkan mereka mempertimbangkan kualitas layanan juga. Juga konsumen

pengetahuan terhadap produk keuangan bank syariah perlu mendapat perhatian.

Bankir harus mendidik masyarakat mengenai berbagai pilihan pembiayaan, laba

dan prinsip Syariah.101

Dalam wawancara yang penulis lakukan kepada CS Bank Muamalat,

dinyatakan bahwa bank tersebut tidak melakukan migrasi, karena sejak awal

sudah menggunakan sistem syariah. Untuk tabungan menggunakan akad

Muamalah yaitu Wadiah Muthlaqah wadamanah, dan Musyarakah. Sedangkan

untuk pembiayaan menggunakan Mudarabah, Wadiah, Musyarakah. Bank

Muamalat sebagai pioner bank syariah yang berdiri sejak tahun 1992, dan mulai

operasional di Aceh sejak tahun 2004. Akad bagi hasil yang digunakan adalah

pembiayaan nisbah, sedangkan margin digunakan untuk masalah pembiayaan.

Dalam bidang permodalan usaha menggunakan Mudarabah, untuk konsumtif

menggunakan Musyarakah, dan murabahah. Dana sosial juga disediakan dan

disebut dengan CSR yang dikelola oleh anak perusahaan namanya Baitul Mal

Muamalat. Dana tersebut diberikan secara beragam program, seperti untuk dana

kesehatan, dana pendidikan, dana kaum duafa. Ada fasilitas pendidikan yang

didirikan berupa sekolah yang di bentuk Baitul mal Muamalat. Dewan pengawas

Syariah (DPS) ada yang di induksi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Tugas

DPS adalah sebagai pengambil kebijakan atas produk-produk yang dipasarkan

melalui proses penggodokan dengan mengeluarkan fatwa halal dan haramnya

program tersebut. Apabila terjadi perbedaan yang tidak dapat disetujui, maka

produk tersebut tidak akan dipasarkan. Mengenai laporan evaluasi berkaitan

pengawasan di ajukan ke DPS kemudian di tindak lanjuti ke DSN, BI dan OJK

100 Lee, K.-h., & Ullah, S. (2011). Customers’ attitude toward Islamic banking in

Pakistan. International

Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, 4(2), 131-145;

Syed Akif Hasan, Muhammad Imtiaz Subhani and Ms. Amber Osman, “Consumer Criteria

for the Selection of an Islamic Bank: Evidence from Pakistan” International Research Journal of Finance and Economics (IRJFE) No. 94, (2012), 5.

101 Asari, F. F., Idris, A. R., Januri, S. S., Jusoff, K., Muhammad Naziman, K. N.,

Muhammad, N., et

al. (2011). Religious Value as the Main Influencing Factor to Customers

Patronizing Islamic Bank.

World Applied Sciences, 12, 8-13; Syed Akif Hasan, Muhammad Imtiaz Subhani

and Ms. Amber Osman, “Consumer Criteria for the Selection of an Islamic Bank:

Evidence from Pakistan” International Research Journal of Finance and Economics (IRJFE) No. 94, (2012), 5.

179

sebagai aturan konstitusi.102 Melihat pada jawaban tersebut, diketahui bahwa

bank syariah telah menerapkan prinsip syariah dalam transaksinya.

Menurut pihak bank Muamalat, efektivitas BANK Syariah akan

mendukung operasional bisnis tumbuh lebih baik. Dalam hal masyarakat bisnis

agak terganggu dengan wajib Bank syariah karena bank sudah biasa dengan Bank

konvensional dan cakupan bank konvensional cukup luas, dan mengenai semua

bank syariah wajib syariah di Aceh, tetap di terapkan, namun masih mendirikan

gerai konvensional sampai batas waktu konversi yang ditentukan. Hingga saat ini,

Bank Syariah stabil secara bisnis, walaupun keuntungannya tidak terlalu besar.

Dan kesimpulannya, bank syariah lebih menguntungkan dan stabil, karena sesuai

dengan akad yang diperjanjikan hasilnya sesuai syariah, apabila ada keuntungan

dibagi secara proporsional.103

D. Maslahat Penerapan Wajib Bank Syariat pada Masyarakat Aceh

Tujuan utama diturunkannya syariat yang dibawa oleh Rasulullah adalah

untuk kemaslahatan hidup manusia, bukan untuk menjadikan sulit dan

memberatkan. Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 185 sebagai

berikut:

عس .... م ال

بك

يريد

يس ول

م ال

بك

ه الل

...... يريد

Artinya: ....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....

Allah juga berfirman dalam surat al-Ma’idah ayat 6 sebagai berikut:

هنعمت وليتم م

رك ه

ليط

ريد ي كن

ل و حرج ن م م

يكعل ليجعل

هالل

يريد ما م ...........

كعلل م

يكعل

رون

كش ت

Artinya: ..... Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.

Dua ayat di atas menjadi argumen para ulama bahwa tujuan syariat Islam

adalah untuk kemudahan hidup manusia, sehingga muncul sebuah kaidah yang

menyatakan “bilamana ditemukan suatu maslahat, maka di sana ada hukum Allah.

Meskipun 2 ayat di atas dilihat dari kandungannya berhubungan dengan bersuci,

tapi tetap dapat dijadikan hujah dalam hukum atau ketentuan syariat lainnya.

Berkaitan dengan kemudahan yang diinginkan oleh syariat, Menurut

Fathurrahman Djamil, Hukum Islam memiliki 5 Prinsip, yaitu:

1. Meniadakan kesulitan dan tidak memberatkan,

102 Syahrina, Wawancara dengan staf Customer Service Bank Muamalat Banda

Aceh, Maret 2021 103 Syahrina, Wawancara dengan staf Customer Service Bank Muamalat Banda

Aceh, Maret 2021

180

Hal ini, sesuai dengan tabiat manusia tidak menyukai beban yang

membatasi kemerdekaannya dan manusia senantiasa memperhatikan

beban hukum dengan sangat hati-hati. Manusia tidak bergerak

mengikuti perintah terkecuali kalau perintah-perintah itu dapat

menawan hatinya, kecuali perintah yang dikerjakan dengan

keterpaksaan. Syariat Islam dapat menarik manusia dengan amat cepat

dan mereka dapat menerimanya dengan penuh ketetapan hati. Hal ini

adalah karena Islam menghadirkan pembicaraannya kepada akal, dan

mendesak manusia bergerak dan berusaha serta memenuhi kehendak

fitrah yang sejahtera. Hukum Islam menjunjung tinggi nilai toleransi,

persamaan, kemerdekaan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah

yang munkar.104 Hukum Islam senantiasa memberikan kemudahan dan

menjauhi kesulitan, semua hukumnya dapat dilaksanakan oleh umat

manusia. Karena itu dalam hukum Islam dikenal istilah rukhshah

(peringanan hukum), d}aru>rah (hukum yang berlaku pada saat

terpaksa).105

2. Menyedikitkan beban,

Hal ini tampak dalam ajaran Nabi yang melarang para sahabat untuk

banyak bertanya tentang hukum yang belum ada, yang nantinya akan

memberatkan mereka sendiri. Nabi Saw justru menganjurkan agar

mereka memetik dari kaidah-kaidah umum. Yang sedikit tersebut,

justru memberikan kelapangan yang luas bagi manusia untuk berijtihad.

Dengan demikian, hukum Islam tidaklah kaku, keras, dan berat bagi

umat manusia. Dugaan-dugaan atau sangkaan-sangkaan tidak boleh

dijadikan dasar penetapan hukum. Islam mengajarkan umatnya agar

bersifat realistis. Pada suatu ketika, Nabi ditanya apakah kewajiban haji

itu tiap tahun, Nabi Saw menjawab: ”kalau pertanyaan itu saya jawab

”ya”, maka akan menjadi kewajiban bagiku: (karena itu), biarkan saja

selama aku meninggalkanmu, sungguh telah rusak beberapa kaum yang

sebelum kamu ini (terlalu) membanyakkan pertanyaan dan perselisihan

mengenai Nabi-Nabi mereka. Dalam syariat yang dibawa oleh Nabi

Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat sebagaimana

yang dipikulkan kepada Bani Israil. Misalnya, mensyariatkan

membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada

pembunuhan baik yang disengaja maupun tidak, tanpa membolehkan

membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan,

membuang atau menggunting kain yang kena najis.106

104 Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta:

Tintamas, 1975), 24. 105 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep

(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 43-44 106 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, 44-46

181

3. Ditetapkan secara bertahap,

Bangsa Arab ketika Islam datang mempunyai tradisi dan kesenangan

yang sukar dihilangkan dalam sekejap mata. Apabila dihilangkan

sekaligus, maka akan menyebabkan timbulnya konflik, kesulitan dan

ketegangan batin.107 Dalam sosiologi, Ibn Khaldun dinyatakan bahwa

"suatu masyarakat akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau

sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila

sesuatu yang baru tersebut, bertentangan dengan tradisi yang ada.108

Masyarakat senantiasa akan memberikan respons apabila timbul sesuatu

di tengah-tengah mereka. Dengan mengingat faktor tradisi dan rasa

tidak senangnya manusia untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari

suatu keadaan kepada keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka,

Al-Quran diturunkan berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi

ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan

cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa

dan lebih mendorong ke arah menaatinya, serta bersiap-siap

meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.109

4. Memperhatikan kemaslahatan manusia,

Hal itu didasarkan atas kenyataan bahwa hubungan sesama manusia

merupakan manifestasi dari hubungan dengan pencipta. Apabila baik

hubungan dengan manusia lain maka baik pula hubungan dengan

penciptanya. Oleh karena itu, hukum Islam sangat menekankan

kemanusiaan. Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum

tidak pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan.

Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok,

yaitu: Pertama, hukum-hukum ditetapkan sesudah masyarakat

membutuhkan hukum-hukum itu, Kedua, hukum-hukum ditetapkan

oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan

menundukkan masyarakat ke bawah ketetapannya, Ketiga, Hukum-

hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.110

Di samping itu, terbentuknya hukum Islam didorong oleh kebutuhan-

kebutuhan praktis, ia juga dicari dari kata hati untuk mengetahui yang

dibolehkan dan yang dilarang. Hakekat kemaslahatan dalam Islam

adalah segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral

107 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1991), 29. 108 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1991), 29. 109 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1991), 29-30; Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, 46-53

110 Hasbi Ash-Shiddiqy, Dinamika dari Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tinta

Mas, 1975), 19.

182

duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan

kolektif. Sesuatu dipandang Islam maslahat apabila memenuhi dua

unsur, yaitu: kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat, serta membawa

kebaikan (T}ayyib) bagi semua aspek secara menyeluruh yang tidak

menimbulkan mudarat dan merugikan pada salah satu aspek. Secara

luas, maslahat ditujukan pada pemenuhan visi kemaslahatan yang

tercakup dalam maqasid (tujuan) syariah yang terdiri dari konsep

perlindungan terhadap keimanan dan ketakwaan (dien), keturunan

(nasl), jiwa dan keselamatan (nafs), harta benda (ma>l) dan rasionalitas

(‘aql). Kelima unsur maslahat tersebut merupakan hak dasar manusia

hingga harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam

maqa>s}id syariah secara terintegrasi.

5. Mewujudkan keadilan yang merata.

Menurut syariat Islam, semua manusia sama. Tidak ada kelebihan

seorang manusia dari yang lain di hadapan hukum. Penguasa tidak

terlindung oleh kekuasaannya ketika ia berbuat kezaliman. Orang kaya

dan orang berpangkat tidak terlindung oleh harta dan pangkat ketika

yang bersangkutan berhadapan dengan pengadilan Allah. Dalam

khutbah haji wada’ yang pengikutnya hampir seluruh orang

berkebangsaan Arab, Rasul bersabda: tidak ada perbedaan antara orang-

orang Arab dengan orang-orang ‘ajam”. Di samping orientasi keadilan,

hukum Islam juga berorientasi pada moralitas. Keadilan dalam Islam

adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan

sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai

posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi berupa

aturan prinsip muamalah yang melarang kegiatan-kegiatan yang pada

akhirnya akan bertentangan dengan keadilan. Larangan-larangan

tersebut adalah aktivitas ekonomi yang mengandung unsur riba (unsur

bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun riba

fadhl), dzalim (segala bentuk aktivitas, yang merugikan diri sendiri,

orang lain maupun lingkungan baik bersifat jangka pendek maupun

jangka panjang), maysir (setiap aktivitas yang mengandung unsur judi

dan sikap untung-untungan), gharar (setiap transaksi yang mengandung

unsur ketidakjelasan akan objek transaksi), dan haram (setiap hal yang

mengandung haram baik dari segi objek maupun aktivitas

operasionalnya).111

Semua prinsip ekonomi Islam di atas menunjukkan bahwa tujuannya adalah

untuk mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat. Maslahat

tersebut memiliki 2 sifat, yaitu:

111 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, 55-

57.

183

1. Maslahat bersifat subjektif, dalam arti setiap individu menjadi penentu

bagi dirinya sendiri dalam menentukan apakah suatu perbuatan

merupakan suatu maslahat bagi dirinya atau bukan. Namun kriteria

maslahat ini ditentukan oleh syariat dan sifatnya mengikat, misalnya

tentang bunga, meskipun itu baik menurut dirinya, tetapi karena syariat

menetapkannya haram, karena disamakan dengan riba, maka penilaian

individu tersebut menjadi gugur.

2. Maslahat orang perorang akan konsisten dengan maslahat orang

banyak. Konsep ini berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu

keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meninggalkan tingkat

kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan

kepuasan atau kesejahteraan orang lain.112

Banyak ahli ekonomi Islam yang menyatakan tujuan dari pendirian Bank

Syariah, di antaranya menyebutkan bahwa tujuannya ada 4, yaitu:

1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat miskin,

2. Meminimalkan kesenjangan sosial ekonomi,

3. Meningkatkan kualitas dan kegiatan usaha dan peningkatan kesempatan

kerja dan pendapatan masyarakat.

4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan

terutama dalam bidang ekonomi keuangan.

Tujuan-tujuan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan

ekonomi umat yang sebagian besar tidak mau berhubungan dengan bank

konvensional karena beranggapan bahwa bunga bank adalah riba.113 Selain 4

tujuan di atas, Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Muhammad mengatakan

tentang 6 tujuan pendirian bank syariah, yaitu:

1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara

Islami, khususnya muamalah yang berhubungan dengan bank agar

terhindar dari praktik riba atau jenis perdagangan lain yang

mengandung unsur gharar (tipuan), di mana jenis usaha itu selain

dilarang dalam Islam juga berdampak negatif terhadap Pertumbuhan

ekonomi umat,

2. Meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka Peluang

usaha yang lebih besar terutama terhadap masyarakat miskin yang lebih

besar dan diarahkan pada kegiatan usaha produktif, menuju terciptanya

kemandirian berusaha (wiraswasta).

112 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Perspektif Maqa>s}id al-Shari>’ah (Jakarta: Kencana, 2014), 163-164; Muhammad Nejatullah

Siddiqi, Kegiatan Ekonomi dalam Islam Terj. Anas Sidik dari judul: The Economic

Enterprise in Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), 15. 113 Mohammad Saif Noman Khan, M. Kabir Hassan & Abdullah Ibneyy Shahid,

“Banking Behavior of Islamic Bank Customers in Bangladesh” Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 160.

184

3. Menciptakan keadilan di bidang ekonomi dengan pemerataan

pendapatan melalui kegiatan investasi agar tidak terjadi kesenjangan

antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan

dana (orang miskin). 114

4. Mengentaskan kemiskinan yang pada umumnya merupakan program

utama dari negara berkembang. Upaya bank Islam dalam mengentaskan

kemiskinan berupa pembinaan nasabah untuk membangun

kebersamaan, pembinaan konsumen, pembinaan modal kerja dan

pembinaan usaha bersama.

5. Menjaga stabilitas ekonomi moneter pemerintah.

6. Menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank-bank

konvensional yang menyebabkan umat Islam berada di bawah

kekuasaannya, sehingga tidak bisa melaksanakan ajaran agama Islam

secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomian.115

Selain 6 tujuan di atas, ada juga yang menyatakan bahwa tujuan utama

Perbankan dan Keuangan Islam secara ringkas ada 3, sebagai berikut:

1. Penghapusan Bunga (Riba) dari semua transaksi keuangan dan

mengganti semua kegiatan bank dan lembaga keuangan agar sesuai

dengan prinsip-prinsip Islam

2. Pencapaian penghasilan atau pendapatan dan kekayaan secara seimbang

3. Promosi pembangunan | ekonomi.116

Berhubungan dengan tujuan implementasi ekonomi Islam dalam perbankan,

pemerintah Aceh menerbitkan qanun No. 11 tentang lembaga keuangan Syariah

dengan 8 tujuan, yaitu:

1. Mewujudkan perekonomian Aceh yang islami ;

2. Menjadi penggerak dan pendorong pertumbuhan perekonomian Aceh;

3. Menghimpun dan atau memberikan dukungan pendanaan serta

menjalankan fungsi lembaga keuangan berdasarkan Prinsip Syariah;

4. Menjalankan fungsi sosial lainnya termasuk memanfaatkan harta agama

untuk kemaslahatan umat berdasarkan Prinsip Syariah;

5. Mendorong peningkatan Pendapatan Asli Aceh ;

6. Meningkatkan akses pendanaan dan usaha bagi masyarakat;

7. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas

masyarakat;

8. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.117

Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka diketahui bahwa semua tujuan

yang disebutkan dalam qanun itu adalah kemaslahatan masyarakat Aceh. Karena

114 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam (Jakarta: Salemba Diniyah, 2019), 115 Sumitro, W.1997 116 Muhammad Said, Hukum Bisnis Islam, 80 117 Lihat pasal 5 Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan

Syariah

185

itu, maslahat menjadi ukuran yang dijadikan penulis untuk mengetahui pengaruh

implementasi qanun bagi kehidupan masyarakat Aceh. Penghubungan maslahat

dengan tujuan-tujuan di atas, didasarkan pada pendapat Sarjono Soekanto yang

menyatakan bahwa untuk melihat pengaruh suatu hukum, maka yang harus dilihat

adalah tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan dalam aturan perundang-

undangan.118

Jika dilihat, maka tujuan qanun tersebut adalah maslahat untuk rakyat

Aceh. Masalahat adalah memberi kebaikan dan keuntungan kepada orang lain dan

masyarakat yang dalam istilah arab disebut Jalb al-Mana>fi’, dan menghindarkan

manusia dari keburukan dan kehancuran yang dalam istilah fikih disebut dengan

Dar’ul Mafa>sid. Tujuan utama maslahat adalah memperoleh kemenangan (fala>h})

atau kebahagiaan di dunia dan di akhirat, dan itulah tujuan utama syariat. Dengan

demikian, maka tujuan penetapan qanun Aceh, telah sesuai dengan Maqa>s}id al-Shari>’ah yang dilaksanakan dalam aktivitas manusia sehari-hari dalam usaha

untuk mencukupi kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder, dan bank syariah

mendukung aktivitas manusia dalam kegiatan bisnis dan transaksi keuangan,

karena itu harus memiliki tujuan yang sama, yang didasarkan atas syariah, yaitu

maslahat untuk umat manusia. Dengan misi ini, bank syariah akan dapat

menciptakan keseimbangan ekonomi dan membantu mengatasi problem

masyarakat dalam bidang kemiskinan, kesulitan mencari pekerjaan dan

permasalahan sosial lainnya.119

Untuk melihat tingkat maslahat yang diperoleh masyarakat Aceh sebagai

dampak atau manfaat dari penerapan wajib bank syariah, maka ada indikator

utama yang digunakan untuk mengukurnya. Menurut Fathurrahman Djamil

(2013), dikatakan bahwa maslahat memiliki 5 Indikator, yaitu: dapat memberikan

keringanan, kemudahan, kesejahteraan, kebahagiaan dan keuntungan.120 Untuk itu,

5 indikator ini menjadi acuan penulis dalam mengukur tingkat maslahat yang

ditimbulkan atau dipengaruhi oleh penerapan wajib bank Syariah di Aceh.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola bank di Aceh, penulis

menemukan bahwa pihak bank merasakan maslahat dari pemberlakuan wajib bank

syariah di Aceh, dalam bentuk berkembangnya usaha yang mereka nyatakan

sebagai bertambahnya berkah. Adapun untuk mendapatkan informasi mengenai

manfaat penerapan qanun Aceh No. 11 tahun 2018, yang dirasakan oleh

masyarakat, peneliti melakukan wawancara kepada penduduk Aceh, dan dari 50

informan yang berhasil di wawancara, 30 orang menyatakan bahwa penerapan

118 Sarjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi (Bandung: CV

Remadja Karya, 2019), 7. 119 Lucky Nugroho, Ahmad Badawi, dan Nurul Hidayah, “Discourses of

Sustainable Finance Implementation in Islamic Bank (Cases Studies in Bank Mandiri

Syariah 2018)” Internasional Journal of Finansial Research Vol, 10, No. 6 (2019), 108-117. 120 Agus Dhani Mandaladikari, Implementasi Nilai-Nilai Syariah dan Kesejahteraan

Masyarakat: Studi Pada Induk Koperasi Angkatan Darat (Cirebon: Nusa Litera Inspirasi,

2020), 247.

186

syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, 9 orang menyatakan

tidak, dan 11 orang tidak menjawab dengan pasti. Berikut datanya dalam bentuk

tabelnya:

Tabel 23

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Wajib Bank Syariah di Aceh akan mendatangkan

masalahat

30 60%

Wajib Bank Syariah di Aceh tidak mendatangkan

masalahat

9 18%

Tidak mengetahui tentang wajib bank syariah di

Aceh

11 22%

Jumlah 50 100%

Berdasarkan dengan data di atas, maka dapat diketahui mayoritas

masyarakat menganggap baik terhadap penerapan qanun dan hanya 17,6% yang

menyatakan bahwa penerapan qanun tidak akan membawa kebaikan atau

maslahat. Selanjutnya, sesuai dengan indikator maslahat yang telah dipaparkan,

maka penulis mengukur tingkat maslahat yang dirasakan oleh penduduk Aceh

menggunakan 5 indikator tersebut sebagai berikut:

1. Keringanan yang diperoleh Masyarakat

Dari 50 informan yang berhasil di wawancara, 37 orang atau 74%

menyatakan bahwa penerapan syariat Islam dalam perbankan akan

menyebabkan adanya keringanan, 8 orang atau hanya 16% menyatakan

tidak, dan 5 orang tidak menjawab dengan pasti. Berikut diagram jawaban

penduduk Aceh tersebut:

Tabel 24

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan

keringanan

37 74%

Wajib Bank Syariah di Aceh tidak

memberikan keringanan

8 16%

Tidak mengetahui tentang keringanan dari

wajib bank syariah di Aceh

5 10%

Jumlah 50 100%

Untuk mendapatkan jawaban yang lebih spesifik dan valid, peneliti

mencoba menggali lebih jauh keringanan macam apa yang diperoleh oleh

187

masyarakat. Dari hasil wawancara diperoleh data: 29 orang menjawab

mendapat keringanan, dengan 17 jawaban keringanan dalam transaksinya, 5

jawaban menyatakan keringanan dengan tidak adanya denda, 17 jawaban

mengatakan keringanan karena tidak adanya bunga, 4 jawaban menjelaskan

bahwa proses dalam peminjaman dana sangat mudah, 5 jawaban

menyatakan karena persyaratannya yang sederhana, 16 jawaban

menyatakan bahwa mereka merasa aman dan tenteram pada saat

bertransaksi dengan bank syariah, dan 20 jawaban yang lain tidak

menjelaskan dengan spesifik.

Selain itu, ada pula yang menjawab bahwa keringanan itu tidak ada,

dengan beberapa alasan, yaitu: 17 jawaban mengatakan rumit aturannya, 11

orang menjawab lama prosesnya, 20 orang menyatakan kurang fasilitasnya,

14 jawaban menganggap susah dalam transaksinya, 12 orang mengatakan

masih kurang sosialisasinya, 4 jawaban mengatakan masih sedikit

peminatnya, dan 26 jawaban yang tidak menyebutkan secara spesifik dan

jelas alasannya, dan secara keseluruhan, yang merasakan mendapatkan

keringanan jumlahnya lebih banyak daripada yang tidak. Jawaban-jawaban

tersebut dapat tergambar lebih jelas dalam tabel di bawah ini:

Tabel 25:

Bentuk-bentuk Keringanan Masyarakat

No. Bentuk Keringanan Jumlah Informan

1 proses mudah 4

2 ringan dalam transaksinya 17

3 tidak adanya denda 5

4 tidak adanya bunga 17

5 Mendapat Keringanan 29

6 persyaratannya yang sederhana 5

7 aman dan tenteram 16

Lain-lain 20

Tabel 26

Bentuk-bentuk yang memberatkan Masyarakat

No. Bentuk yang Memberatkan Jumlah

Informan

1 Rumit Aturannya 17

2 Lama Prosesnya 11

3 Kurang Fasilitasnya 20

188

4 Susah Dalam Transaksinya 14

5 Kurang Sosialisasinya 12

6 Sedikit Peminatnya 4

7 Lain-Lain 26

Berdasarkan hasil jawaban di atas, maka dapat dinyatakan bahwa

kebanyakan masyarakat memang sudah mengetahui apa itu bank syariah,

tetapi mereka tidak mengetahui produk-produk yang ditawarkan bank

syariah sehingga masyarakat yang tidak tahu produk-produk bank syariah

tentunya tidak akan berminat untuk menggunakan jasa bank syariah karena

mereka menganggap bahwa fasilitas penunjang yang diberikan masih kalah

dengan fasilitas yang ditawarkan oleh bank konvensional, kecuali orang

yang mempunyai keinginan kuat menabung pada bank Syariah dikarenakan

menghindari unsur riba. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang

bank Syariah juga akan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai

bank syariah itu sendiri. Dengan kata lain bahwa pandangan masyarakat

terhadap bank syariah tergantung pada pengetahuan mereka. Jika

pengetahuan tentang bank syariah rendah maka dalam memandang bank

syariah pastinya akan rendah pula.121

2. Kemudahan yang diperoleh Masyarakat

Dari 50 informan yang berhasil di wawancara, 33 orang menyatakan

bahwa penerapan syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan

kemudahan, 11 orang menyatakan tidak, dan 6 orang tidak menjawab

dengan pasti

Tabel 27

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan

kemudahan

33 66%

Wajib Bank Syariah di Aceh tidak

memberikan kemudahan

11 22%

Tidak mengetahui tentang kemudahan dari

wajib bank syariah di Aceh

6 12%

Jumlah 50 100%

121 Ida Royani Pasi, “Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Perilaku

Masyarakat Pada Bank Syariah” Jurnal Al-Qasd, Vol. 1 No. 2 Februari (2017), 191.

189

Sementara itu, yang menjawab ada kemudahan ada 40 orang.

Kemudahan itu dalam bentuk usaha mandiri, dan yang menjawab itu ada 4

orang, 14 orang menyatakan kemudahannya dalam proses transaksi, 7

orang menyatakan tidak rumit, 7 jawaban dalam kemudahan

persyaratannya, dan 36 orang dalam kehalalannya, dan 5 jawaban dalam

kecepatan realisasinya, 10 jawaban menentramkan, 6 jawaban

menyenangkan, dan 15 lainnya merasakan kemudahan yang berbeda-beda.

Namun, ada juga yang tidak mau meminjam kepada bank syariah

dengan beberapa alasan, yaitu: 16 orang menjawab rumit, 9 orang

menyatakan susah persyaratannya, 20 orang menyatakan fasilitasnya

kurang, 15 orang menganggap tidak ada perbedaan dengan bank

konvensional, 14 orang menyatakan kurang nyaman, 3 orang menjawab

karena ada risiko yang harus ditanggung, dan 25 orang dengan jawaban

yang berbeda-beda. Tabel berikut menggambarkan perbedaan tersebut:

Tabel 28

No. Bentuk Kemudahan Jumlah

Informan

1 Mendapat Kemudahan 40

2 Usaha Mandiri 4

3 Proses Transaksi 14

4 Tidak Rumit 7

5 Kemudahan Persyaratannya 7

6 Kehalalannya 36

7 Kecepatan Realisasinya 5

8 Menentramkan 10

9 Menyenangkan 6

10 Lain-Lain 15

Tabel 29

Bentuk Kesulitan Masyarakat Aceh

No. Bentuk Kesulitan Jumlah Informan

1 Susah Persyaratannya 9

2 Fasilitasnya Kurang 20

3 Ada Risiko 3

4 Rumit 16

5 Tidak Berbeda Dengan Bank Konvensional 15

190

6 Kurang Nyaman 14

7 Lain-Lain 25

Jika dilihat dengan lebih seksama, maka tampak adanya kontradiksi

dari jawaban masyarakat yang berhasil dikumpulkan, di satu pihak

menyatakan mudah, tapi di pihak lainnya menyatakan sulit. Namun ada

hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu adanya anggapan bahwa

bank syariah, tidak berbeda dengan bank konvensional.

3. Kesejahteraan yang diperoleh Masyarakat

Dari 50 informan yang berhasil di wawancara, 34 orang menyatakan

bahwa penerapan syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan

maslahat dalam bentuk kesejahteraan, 7 orang menyatakan tidak, dan 9

orang tidak menjawab dengan pasti. Berikut diagramnya:

Tabel 30: Indikator Kesejahteraan

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan

kesejahteraan

34 68%

Wajib Bank Syariah di Aceh tidak

memberikan kesejahteraan

7 14%

Tidak mengetahui tentang kesejahteraan

dari wajib bank syariah di Aceh

9 18%

Jumlah 50 100%

Berkaitan dengan kesejahteraan ini, penulis mengambil tolak

ukurnya dari peningkatan perekonomian warga masyarakat. Berdasarkan

hasil wawancara, diperoleh data 22 orang yang menyatakan bahwa

pemberlakuan wajib bank syariah dapat membantu peningkatan

perekonomian mereka melalui perkembangan usahanya, 4 jawaban

menunjukkan bahwa ketentuan hukum ini dapat meningkatkan

penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, 1 jawaban

mengatakan bahwa kualitas pendidikannya meningkat, 19 jawaban

menerangkan adanya kemaslahatan, 15 orang menjelaskan adanya nilai

positif, dan 17 lainnya tidak memberikan jawaban secara spesifik.

Selain itu, ada pula yang menganggap bahwa pemberlakuan qanun

ini tidak memberikan pengaruh apa-apa pada peningkatan perekonomian

mereka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya: 4 jawaban

menyatakan karena susah dalam usahanya, 5 jawaban menyatakan karena

tidak ada kompromi dari pihak bank terhadap nasabahnya, 5 yang lainnya

menyatakan bahwa modal usaha yang berat, 3 orang menjawab karena

191

usahanya tidak lancar, 6 orang mengatakan belum mampu mencukupi

kebutuhan, 1 jawaban karena adanya kredit macet, 4 orang menyatakan

bahwa penghasilannya menurun, dan 35 yang lainnya menjawab berbeda-

beda dengan kurang jelas. Untuk lebih jelasnya penulis gambarkan dalam

tabel berikut:

Tabel 31:

No. Bentuk Kebahagiaan Jumlah

Informan

1 Menjadi Lebih Sejahtera 22

2 perkembangan usahanya 4

3 mencukupi kebutuhan hidup 1

4 kualitas pendidikannya meningkat 19

5 adanya kemaslahatan 15

6 adanya nilai positif 17

7 Lain-lain 22

Tabel 32:

No. Bentuk Kebahagiaan Jumlah Informan

1 Ekonomi Tidak Meningkat 4

2 susah dalam usahanya 5

3 tidak ada kompromi 5

4 modal usaha yang berat 3

5 usahanya tidak lancar 6

6 belum mampu mencukupi kebutuhan 4

7 penghasilannya menurun 35

8 Lain-lain 4

Dari total pernyataan yang disampaikan oleh informan, sebanyak 78

orang merasakan adanya peningkatan kesejahteraan, dan hanya 27 orang

yang menyatakan tidak adanya pengaruh penerapan prinsip syariah dalam

perbankan di Aceh. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa

pemberlakuan qanun ini telah membantu masyarakat dalam peningkatan

kesejahteraan, meskipun belum secara menyeluruh.

4. Kebahagiaan yang diperoleh Masyarakat

Salah satu indikator maslahat adalah dapat memberikan rasa Bahagia.

Berdasarkan pada hasil wawancara terhadap penduduk Aceh, peneliti

menyimpulkan bahwa penerapan wajib bank Syariah dapat menyebabkan

192

munculnya kebahagiaan penduduk. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara

penulis terhadap 50 warga masyarakat, yang menghasilkan 68% penduduk,

yakni 34 orang menyatakan Bahagia atas penerapan wajib bank Syariah, dan

hanya 12% atau 6 orang yang menyatakan tidak, serta ada 20% yaitu 10

orang penduduk yang tidak memberikan jawaban pasti atas pengaruh dari

penerapan wajib bank Syariah di Aceh. Berikut diagramnya:

Tabel 33

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan

kebahagiaan

34 68%

Wajib Bank Syariah di Aceh tidak

memberikan kebahagiaan

6 12%

Tidak mengetahui tentang kebahagiaan

dari wajib bank syariah di Aceh

10 20%

Jumlah 50 100%

Berkaitan dengan rasa bahagia ini, penulis tidak mendapatkan

gambaran pasti bagaimana masyarakat merasakannya, namun dari

banyaknya jumlah informan yang menyatakan bahwa mereka merasa

bahagia, penulis menyimpulkan bahwa penerapan qanun Aceh, memiliki

pengaruh yang cukup signifikan terhadap penduduk Aceh.

5. Keuntungan yang diperoleh Masyarakat

Penulis menyimpulkan bahwa pelaksanaan syariat Islam dalam

perbankan di Aceh, akan membawa keuntungan bagi masyarakat. Hal ini

didasarkan pada hasil wawancara terhadap 50 orang, dan 32 orang atau sama

dengan 64% di antara mereka menyatakan bahwa perbankan Syariah akan

menyebabkan keuntungan bagi mereka, sedangkan yang tidak menyetujui

adanya keuntungan dari implementasi perbankan Syariah hanya 8 orang, atau

16%, dan yang tidak memberikan jawaban dengan pasti ada 10 orang, yakni

20% (dua puluh persen). Berikut tabelnya

Tabel 34

Pernyataan Masyarakat Aceh Jumlah

Informan

Persentase

Wajib Bank Syariah di Aceh memberikan

keuntungan

32 64%

Wajib Bank Syariah di Aceh tidak memberikan

keuntungan

8 16%

193

Tidak mengetahui tentang keuntungan dari

wajib bank syariah di Aceh

10 20%

Jumlah 50 100%

Untuk mengetahui keuntungan apa yang diperoleh nasabah atau

masyarakat, peneliti mencoba mengajukan beberapa pertanyaan secara lebih

spesifik, dan ternyata yang menyatakan mendapatkan keuntungan ada 32

orang menyatakan mendapatkan keuntungan karena mudah transaksinya, 2

orang menjawab karena banyak pelanggannya, 6 jawaban karena kepercayaan

yang tinggi, 19 jawaban karena tidak ada bunganya, 8 jawaban karena

mendapatkan bagian keuntungan, 3 jawaban karena mendapatkan nilai

tambah, 17 jawaban tidak memberikan alasan yang pasti.

Adapun di antara warga masyarakat yang merasa bahwa pemberlakuan

bank syariah tidak mendatangkan keuntungan untuk mereka. Alasannya pun

bermacam-macam, 12 orang mengatakan bahwa administrasinya susah, 8

orang mengatakan karena ada uang jasa (margin), 12 jawaban mengatakan

karena kurang fasilitasnya, 5 jawaban mengatakan bahwa persyaratannya

sulit, dan 2 orang mengatakan prospeknya kurang, dan 23 lainnya

mengatakan jawaban yang kurang jelas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

dalam tabel di bawah ini:

Tabel 35:

No. Bentuk keuntungan Jumlah Informan

1 Mudah Transaksinya 32

2 Banyak Pelanggannya 2

3 Kepercayaan Yang Tinggi 6

4 Tidak Ada Bunganya 19

5 Mendapatkan Bagian Keuntungan 8

6 Mendapatkan Nilai Tambah 3

7 Lain-Lain 17

Tabel 36:

No. Masyarakat yang tidak mendapatkan Keuntungan Jumlah

Informan

1 Administrasinya Susah 12

2 Ada Uang Jasa (Margin) 8

3 Karena Kurang Fasilitasnya 12

4 Persyaratannya Sulit 5

5 Prospeknya Kurang 2

6 Lain-Lain 23

194

Berdasarkan pada temuan-temuan di atas, maka, penulis

menyimpulkan bahwa pemberlakuan wajib bank syariah telah memberikan

pengaruh pada kemaslahatan penduduk Aceh, meskipun belum terlalu

banyak, karena dalam kenyataannya, masih banyak warga Aceh yang belum

merasakan manfaatnya. Berikut tabel hasil pengukuran maslahat wajib bank

syariah di Aceh.

Tabel 37:

Hasil Pengukuran Tingkat Manfaat

Regulasi Wajib Bank Syariah di Aceh

No Indikator Manfaat Terhadap Kemaslahatan Keterangan

1 Kesejahteraan Meningkatkan Kesejahteraan Memenuhi

2 Kebahagiaan Memperoleh Kebahagiaan Memenuhi

3 Keuntungan Mendapatkan Keuntungan Memenuhi

4 Kemudahan Memperoleh Kemudahan Memenuhi

5 Keringanan Mendapatkan keringanan Memenuhi

195

BAB VI

PENUTUP

Dari hasil penelitian tentang "Efektivitas Regulasi Wajib Bank Syariah di

Aceh dan Manfaatnya untuk Kemaslahatan Rakyat: Analisis pada Implementasi

Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang lembaga keuangan Syariah (LKS )" dapat

dibuat simpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

Dalam bab penutup ini penulis akan menyampaikan kesimpulan yang

merupakan jawaban dari 3 rumusan masalah yang telah ditetapkan di Bab 1, yaitu:

Bagaimana Efektivitas penerapan qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang lembaga

keuangan syariah, Bagaimana implementasi prinsip-prinsip syariah dalam Bank

syariah di Aceh, dan Bagaimana manfaat penerapan wajib Bank syariah di Aceh

untuk kemaslahatan rakyat.

Tingkat efektivitas berdasarkan lima indikator pengukuran efektivitas

terdapat empat indikator telah memenuhi kriteria ukuran efektivitas, kecuali sarana

dan fasilitas pendukung penerapan hukum Qanun tidak memenuhi dua kriteria yaitu

ringkas dan mudah, serta mudah dilaksanakan..

Untuk Implementasi prinsip Syariah pada pelaksanaan wajib Bank Syariah

Menemukan bahwa masyarakat Aceh memahami syariat Islam sebagai sebuah

kewajiban secara kafah,termasuk didalamnya larangan riba Mengacu pada Qanun

aceh Nomor 11 Tahun 2018.

Pada manfaat wajib bank Syariah berdasarkan tingkat efektivitas

membuktikan bahwa sebagian masyarakat Aceh sudah merasakan manfaatnya dari

Bank Syariah yang menerapkan Regulasi Wajib Bank Syariah, sementara Sebagian

kecil yang berkaitan sarana dan fasilitas bagi masyarakat Aceh yang menghadapi

masalah kebutuhan tersebut belum sepenuhnya merasakan manfaat wajib Bank

Syariah.

B. Saran dan Rekomendasi

Penelitian ini telah menemukan beberapa masalah yang terjadi di masyarakat

dan menetapkan kesimpulan yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi untuk para

pemangku kepentingan dan para peneliti selanjutnya untuk dapat dilakukan

penelitian lebih mendalam, saran dan rekomendasi dari penulis adalah sebagai

berikut:

1. Untuk pemerintah Aceh, penulis memberikan saran agar meningkatkan

sosialisasi qanun secara menyeluruh kepada masyarakat tentang adanya

ketentuan wajib bank syariah dan tujuan pemberlakuannya, agar

pemahaman masyarakat terhadap qanun ini menjadi lebih komprehensif,

dan dapat menerimanya dengan tanpa paksaan.

196

2. Pemerintah dan bank syariah harus melakukan edukasi terhadap

masyarakat agar mereka memahami maksud dan tujuan serta kelebihan

bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional agar dapat

meningkatkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dengan

prinsip syariah. Penyediaan fasilitas untuk memudahkan transaksi harus

segera diupayakan.

3. Pemerintah Aceh harus mengalokasikan anggaran untuk memenuhi sarana

dan fasilitas yang dibutuhkan untuk pemberlakuan wajib bank syariah

agar menjadi lebih efektif, dan dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat secara luas.

4. Lembaga keuangan syariah yang dimuat dalam qanun Aceh No. 11 tahun

2018, tidak hanya terbatas pada lembaga perbankan saja, di dalamnya

tercakup lembaga lainnya seperti pegadaian, asuransi, dan lain-lain,

karena itu, bagi para peneliti dan akademisi, yang ingin meneliti tentang

implementasi qanun ini, dapat mencurahkan fokus penelitian selanjutnya

pada lembaga keuangan selain perbankan.

197

197

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Nasional dan Internasional:

Afrianty, Dina. “Sharia police and the regulating of morality”, International Conference Negotiating Diversity in Indonesia, Singapore Management

University November 5-6, 2012,3.

Ahmad, Nor Hayati. and Ahmad, Sharul Nizam. “Key Factors Influencing Kredit

Risk of Islamic Bank: A Malaysian Case” JMIFR Volume 1 No. 1 (2004),

PP. 65-80.

Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. “The Application Of Islamic Law In

Indonesia:...,

Alim, Muhammad. “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan

Konstitusi”, Jurnal Hukum No.1 Vol. 17 Januari 2007.

Aliyul, Sirajo. Yusof, Rosylin Moh. Profitability and Cost Efficiency of Islamic Banks: A PanelAnalysis of Some Selected Countries, International Journal

of Economics and Financial Issues | Vol 6 • Issue 4 • 2016, 1736.

Almoharby, Darwish. The current world business meltdown: Islamic religion as a regulator, Jurnal internasional Humanomics Vol. 27 No. 2, 2011 pp. 97-108

q Emerald Group Publishing Limited 0828-8666 DOI

10.1108/08288661111135108 (Acccessed, Juli 23, 2014).

Ansori. “Pengungkapan Sharia Compliance dan Kepatuhan Bank Syariah” Jurnal Dinamika Akuntasi, 3, 2, Maret(2001)

Asari, F. F., Idris, A. R., Januri, S. S., Jusoff, K., Muhammad Naziman, K. N.,

Muhammad, N., et al. (2011). Religious Value as the Main Influencing

Factor to Customers Patronizing Islamic Bank.

Asbeig, Hussam I. and Kasim, Salina H. Monetary Policy Transmission through the Bank-Financing Channel in Malaysia: Evidence from Bank-Level Data,

Journal of Economic Cooperation and Development, 35, 2 (2014), 121-136

Azmi, Naelul. Mahardika,Rahardi “Problematika Sistem Ekonomi Islam di

Indonesia” UTILITY: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Ekonomi Volume 4,

No. 1, Februari (2020): 8-24, 15.

Bahri, Samsul. “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai dari Wilayah NKRI”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12 No 2 Mei 2012.

Bennett, Michael S. and Iqbal, Zamir. How socially responsible investing can help bridge the gapbetween Islamic and conventional financial markets, Washington, DC, USA, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 6 No. 3, 2013.

Bruinessen, Martin van. “Islamic state or state Islam? Fifty years of state-Islam

relations in Indonesia”, Ingrid Wessel (ed.), Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts, Hamburg: Abera-Verlag, pp: 19-34.

Cammack, Mark E. And Feener, R. Michael. “The Islamic Legal System In

Indonesia” , Pacific Rim Law & Policy Journal, Vol. 21 No. 1, 2017.

198

Chapra, M. Umer and Habib, Ahmed. Corporate Governance in Islamic Financial

Institutions, Occasional Paper No. 6, (Islamic Research and Training

Institute/Islamic Development Bank: Jeddah, 2002.

Chong, Beng Soon and Liu,Ming-Hua “Islamic banking: Interest-free or interest-

based?” Pacific-Basin Finance Journal 17 (2009): 125–144.

Dar, Humayon A. And Presley,John R. “Lack of profit loss sharing in Islamic

banking: management and control imbalances” International Journal of Islamic Financial Services 2 (2) 2000

el Ghazali, Abdel Hamid. Profit Versus Bank Interest in Economic Analysis and Islamic Law, Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic

Development Bank, 1994

El Junusi, Rahman. “Implementasi Syariah Governance, serta Implikasinya

Terhadap Reputasi dan Kepercayaan Bank Syariah”, Prosiding Annual

International Conference on Islamic Studies (AICIS XII), 1831;

Fahmi, Chairul. “Revitalisasi Penerapan Hukum Syariat di Aceh (Kajian terhadap

UU No.11 Tahun 2006)”, Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, No. 2, Oktober 2012.

Halim, Marah. “Eksistensi Wilayatul Hisbah Dalam Sistem Pemerintahan Islam”,

Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. X, No. 2, Februari 2011.

Hasan, Samiul. “Business sustainability and the UN Global Compact: A "public

interest" analysis for Muslim majority countries” Intellectual Discourse; Kuala Lumpur Vol. 23, Iss. 1, (2015): 7-28.

Hasan, Syed Akif. Subhani, Muhammad Imtiaz and Osman,Ms. Amber “Consumer

Criteria for the Selection of an Islamic Bank: Evidence from Pakistan”

International Research Journal of Finance and Economics (IRJFE) No. 94,

(2012)

Heather, McKeen-Edwards. Questions of Interest in Islamic Finance: Exploring

Govemance in? Growing Sector A. Paper Prepared for the International

Studies Conference Chicago, 28 Februari-/ Maret 2007;

Hidayah, Nur. “Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Atas Aspek Hukum Islam

Perbankan Syariah di Indonesia” AL-‘ADALAH Vol. X, No. 1 Januari

(2011)

Hidayat, Arif. “Formalization Of Sharia Law In Indonesia (A Constitusion

Perspective)”, Proceeding-Kuala Lumpur International Business, Economics And Law Conference Vol. 3. December 2 - 3, 2013.

Hosen, Nadirsyah. Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate.

Journal of Southeast Asian Studies. 36. (2005).

10.1017/S0022463405000238.

Hutapea, Erwin G. dan Kasri,Rahmatina A. Bank Margin Determination: a

Comparison betwee? Islamic and Conventional Banks in Indonesia.

International Journal of Islamic and Middk tastat Finance and Management, Vol. 3 No. 1, (2010)

Idris, Asma’ Rashidah dkk, “Religious Value as the Main Influencing Factor to

Customers Patronizing Islamic Bank” World Applied Sciences Journal 12

(Special Issue on Bolstering Economic Sustainability): 08-13, (2011)

199

Ilhami, Haniah “Pertanggungjawaban Dewan pengurus Syariah sebagai Otoritas

Pengawas Kepatuhan Syariah bagi Bank Syariah”, Mimbar Hukum,

Volume 21 Nomor 3, (2009)

International Crisis Group, Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh, Asia

Report N’11 , 31 Juli 2006.

Iqbal, Zamir. “The Impact Of Consolidation On Islamic Financial Services

Industry”, Islamic Economic Studies Vol. 15, No. 2, January 2008.

Isa, Abdul Gani. “Paradigma Syariat Islam Dalam Rangka Otonomi Khusus: Studi

Kajian di Provinsi Aceh”, Media Syariah, Vol XIV Januari – Juni 2012.

Islamic Financial Service Board (IFSB), Guiding Principles on Shariah Governance

Systems for Institutions Offering Islamic Financial Services, December

(2009)

Ismail, Nur Jannah. Syariat Islam dan Keadilan Gender” First International

Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Asia Rearch Institute

National University Of Singapore, 2007.

Jack, Hirwan. “Efektivitas Wilayatul Hisbah Dalam Pencegahan Aliran Sesat Di

Aceh”, Error! Hyperlink reference not valid. , 2. (diakses pada tanggal

16/03/2015).

Jailani, Munawar Rizki dan Taqiuddin, Mohammad. “Peran Majelis

Permusyawaratan Ulama Aceh Dalam Mengembang Dan Mensosialisasikan

Perbankan Islam Di Aceh” Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan, Vol. 18, No. 2, Desember (2018) 93-108.

Jalil, Husni. “Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam Pelaksanaan Otonomi

Khusus Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Jurnal Equality, Vol. 12

No. 2 Agustus 2007.

Jati, Wasisto Raharjo. “Permasalahan Implementasi Perda Syariah Dalam Otonomi

Daerah” , al-Manahi>j, Vol. VII No. 2, Juli 2013.

Juniarti, “Peran Strategis Peradilan Adat Di Aceh Dalam Memberikan Keadilan

Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal”, Anual International Conference Islamic Studies (AICIS XII)

Kismawadi, Early Ridho “Persepsi Masyarakat Tentang Akan Di Konversikannya

Bank Konvensional Ke Bank Syariah Di Aceh Studi Kasus di Kota Langsa”

Ihtiyath Vol. 2 No. 2 Desember (2018)

Krahnke, K., Giacalone, R., & Jurkiewicz, C. “Point-Counterpoint: Measuring

Workplace Spirituality” Journal of Organizational Change Management, 16(4), 2003.

Latief, Husni Mubarok A. “Disonansi Qanun syariat Islam dalam Bingkai

Konstitusi Indonesia: Aceh Sebagai Studi Kasus”, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS XII), 27080.

Lee, K.-h., & Ullah, S. Customers’ attitude toward Islamic banking in Pakistan.

Internasional Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and

Management, 4(2), (2011): 131-145.

Linsdey, Tim. MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley, “Sharia Revival in

Aceh” dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (eds.), Islamic Law

200

In Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions, Cambridge: Harvard

Law School, 2007.

Mahdi, “Eksistensi Peradilan Adat Di Aceh”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.

8, No. 2, Desember 2011.

Man, Saadan. “Transformasi Hukum Islam Komtemporari Di Malaysia Melalui

Gagasan Fiqh Malaysia”, Icon-Imad, International Conferece On Islam In Malay Word 2011.

Maradita, Aldira. “Karakteristik Good Corporate Governance Pada Bank Syariah

Dan Bank Konvensional” Yuridika : Volume 29 No 2, Mei-Agustus (2014).

Milallos, Ma. Theresa R. “Muslim veil as politics: political autonomy, women and Syariah Islam in Aceh” Error! Hyperlink reference not valid. (diakses pada

tanggal 28 Feb 2015).

Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum”,

Legitimasi, Vol.1 No.2 Januari – Juni 2012.

Mohammad, Saif Noman Khan, M. Kabir Hassan & Abdullah Ibneyy Shahid,

“Banking Behavior of Islamic Bank Customers in Bangladesh” Journal of Islamic Economics, Banking and Finance,

Mudzhar, M. Atho. Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thoutht in Indonesia 1975-1988, , Los Angeles, USA: Universitas

California, Los Angeles, Disertasi, 1990.

Mudzhar, M. Atho. Tantangan Studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini,

Journal Indo-Islamika volume II, Nomor 1, 2012/1433.

Muhibbuthabry, “Kelembagaan Wila>yat al-Hisba>h Dalam Konteks Penerapan

Syariat Islam di Aceh”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. 2 No. 2 Mei 2014.

Mukhlis, “Keistimewaan Dan Kekhususan Aceh Dalam Perspektif Negara

Kesatuan Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 No. 1, 2001.

Nugroho, Lucky., Badawi, Ahmad dan Hidayah, Nurul. “Discourses of Sustainable

Finance Implementation in Islamic Bank (Cases Studies in Bank Mandiri

Syariah 2018)” Internasional Journal of Finansial Research Vol, 10, No. 6

(2019)

Nurdin, Abidin. “Revitalisasi Kearifan Lokal di Aceh: Peran Budaya Dalam

Menyelesaikan Konflik Masyarakat”, Anlisis, Vol. XIII No. 1 Juni 2013

Nurohman, “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia”, Arrisalah, Volume 12 Nomor

1, Mei 2012.

Olatoye, Kareem Adebayo, Yekini, Abubakri. “Choice Of Islamic Law As The Governing Law In Islamic Finance Contracts: The United Kingdom And

Nigerian Perspectives “IIUM Law Journal; Kuala

Lumpur Vol. 25, Iss. 1, (2017): 137-159.

Pasi, Ida Royani “Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Perilaku Masyarakat

Pada Bank Syariah” Jurnal Al-Qasd, Vol. 1 No. 2 Februari (2017)

Pérez, Javier Gil. “Lessons of peace in Aceh: administrative decentralization and

political freedom as a strategy of pacification in Aceh”, Icip Working Papers: International Catalan Institute, 2009.

Phahlevy, Rifqi Ridlo. “Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Konteks NKRI Dan

HAM”, Rechtsidee, Vol. 1 No. 1 Tahun 2013.

201

Rahmawaty, Anita. “Distribusi Dalam Ekonomi Islam Upaya Pemerataan

Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif” Equilibrium Volume 1, No.1,

Juni 2013, 1-17.

Ramlana, Hamidah and Adnan,Mohd Sharrizat “The Profitability of Islamic and

Conventional Bank: Case study in Malaysia” International Economics & Business Management Conference, 5th & 6th October (2015)

Robinson, Geoffrey. “Rawan Is As Rawan Does: The Origins Of Disorder In New

Order Aceh”, Indonesia, No. 66 (Oct., 1998), pp. 126-157.

http://www.jstor.org/stable/3351450, (diakses pada tanggal 19 nov 2014).

Salim, Arskal. “Shari’a From Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity And

The Right To Self-Determination With Comparative Reference To The

Moro Islamic Liberation”, Indonesia And The Malay World, Vol. 32, No.

92, March 2004.

Salim, Arskal. “Politics, Criminal Justice and Islamisation in Aceh”, Melborne Law School, 8. http://www.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/salim_

final2_forwebsite wob l eed2.pdf (dikases pada tanggal 31 Maret 2015).

Santoso, Topo. ”Implementation Of Islamic Crimal Law In Indonesia: Ta’zi>r,

Punishment as A Solution?” , Iium Law Journal Vol. 19 No. 1, 2011.

Sari, Mutiara Dwi. Bahari,Zakaria. Hamat,Zahri. “History of Islamic Bank in

Indonesia: Issues Behind Its Establishment” International Journal of Finance and Banking Research 2016; 2(5): 178-184

Sekaran, U. Research Methods for Business: A Skill Building Approach, (4th Ed.)

New York: John Wiley and Sons, Inc. 2006.

Siregar, Hasnil Basri. “Lessons Learned From The Implementation Of Islamic

Shari’ah Criminal Law In Aceh, Indonesia” , Journal of Law and Religion, Vol. 24, No. 1 (2008/2009), pp. 143-176.

Srimulyani, Eka. “Islam, Adat And The State: Matrifocality in Aceh Revisited”, al-Ja>mi‘ah, Vol. 48, No. 2, 2010 M/1431.

Subandi, “Problem Dan Solusi Pengembangan Perbankan Syariah Kontemporer di

Indonesia” Al-Tahrir, Vol. 12, No. 1 Mei (2012)

Surbakti, Natangsa. “Pidana Cambuk dalam Perspektif Keadilan Hukum dan Hak

Asasi Manusia di Pr ovinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Jurnal Hukum No.

3 Vol. 17 Juli 2010: 456 – 474.

Uddin, Asma. "Religious Freedom Implications of Sharia Implementation in Aceh,

Indonesia", University of St. Thomas Law Journal: Vol. 7: Iss. 3 (2010). Wulpiah, “Urgensi Penerapan Kepatuhan Syariah Pada Perbankan Syariah (Telaah

Konseptual-Analitis)” Asy-Syar’iyyah: Jurnal Ilmu Syariah dan Perbankan

Islan Vol. 2, No.1, Juni 2017: 100-120

Yazdan, Farahani Gudarzi. dan Masood, Dastan. Analysis of Islamic banks’financing and economic growth:a panel cointegration approach, ( Iran: Emerald Grup, International Journal of Islam dan Timur Tengah Keuangan dan manajemen Vol. 6 Nomor2 2013).(accessed Juli 23, 2014).

202

Yusuf, Muhammad. “Mapping Perkembangan Pemikiran Fiqh Kontemporer

Keuangan Dan Perbankan” Muamalat: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah,

Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016.

Zakaria, Tun Arifin Bin. “ A Judicial Perspective On Islamic Finance Litigation In

Malaysia” IIUM Law Journal; Kuala Lumpur Vol. 21, Iss. 2, (2013).

Buku:

Abbas, Abdul Jamal. Perbankan Syariah Kontemporer: Prinsip, Nilai dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bintang Pustaka, 2011.

Abbas, Anwar. Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Jakarta: Kompas, 2010.

Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Abdillah, Maskuri. Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas, Jakarta: Renaisan, 2005.

Abu Bakar, Al Yasa’. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005.

Abu Bakar, Al Yasa’.Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan Khusus di Aceh, Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009.

Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013.

al-Faizin, Abdul Wahid. Tafsir Ekonomi Kontemporer: Menggali Teori Ekonomi dari Ayat-Ayat Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2018.

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Vol.1, Jakarta: Kencana,

2010.

Ali, Achmad. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta: Yarsif

Watampone, 1998.

Ali, Jainuddin. Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007

al-Omar, Fuad. dan Haq, Muhammad Abdel. Islamic Banking Theory, Practice and Challanges, Karachi: Oxford University Press, 1996.

Alwi, Syafaruddin. Memahami Sistem Perbankan syariah: Berkaca pada Pasar Umar bin Khattab, Yogyakarta: Bukurepublika, 2013.

Amal, Taufik Adnan. dan Panggabean, Samsu Rizal. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria, Ciputat: Pustaka Alvabet 2004.

Anggaran dasar dan Anggaran rumah tangga Bank Syariah Indonesia (BSI)

An-Na’im, Abdullah Ahmad. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a, London: Harvard University Press, 2008.

An-Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonstruksi Syariat: Wacana Kebebasan, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Terj. Yogyakarta: LkiS,

2001.

Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2007

Antonio, Muhammad Syafi’i, Perkembangan Lembaga Keuangan Islam, Jakarta:

BAMUI dan BMI, 2006.

203

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema

Insani Press, 2007.

Aripin, Jaenal. Himpunan UU Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010.

Ary, D., Jacobs, L. C., & Razavieh, A. Introduction to Research in Education, 7th

Ed. Belmont: Thomson Wadsworth, 2006.

Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Bandung: CV Ramadja Karya, 1988.

Azra, Azumardi. “Implementasi Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam:

Perspektif Sosio-Historis” dalam Buku Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003.

Azra, Azumardi. Belum ada negara sebagai acuan Syari’at Islam, h 183-191. Lihat

Juga Samsul Bahri, “Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Sebagai Wilayah

NKRI”.

Bank Indonesia, PBI No.11/33/2009 Tentang Pelaksanaan Good Corporate

Governance pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, Jakarta:

Bank Indonesia, 2009.

Bank Indonesia, Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Jawa Barat, Jakarta, Bank Indonesia, 2001.

Bayati, Munir Hamid. al-Dawlah al-Qanuniyyah Muqarranah, Baghdad al-Dar al-

Arabiyyah, 1979.

Bidner, Leonard. Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies, Chicago: University of Chicago Press, 1998.

Black, Donald. Behavior of Law, New York: Academic Press, 1976.

Bogdam, Robert C. dan Knopp, Bilken Sari. Qualitive Reseach for Education An Introduction to Theori and Methods, Third Edition, Needham

Heights:Viacom Company, 1998.

Brotodirejo, Soebroto. dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997.

Chapra, M. Umer. Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema

Insani Press, 2000.

Daliyo, J.B. dkk. Pengantar Ilmu Hukum. Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta:

Gramedia, 1989.

Dawud, Abu. Sulaiman bin al-Ash’Ath, Sunan Abi Da>wu>d, Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah

di Indonesia, Jakarta: Prenamedia Group, 2019.

Din, Mohd. Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, Bandung: Unpad Press, 2009.

Djamil, Fathurrahman. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, Jakarta:

Sinar Grafika, 2013.

Djamil, Fathurrahman. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

204

Donohue, John J. dan Esposito, John L. Islam and Transition: Muslim Perspectives,

terj. Machnun Husain, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Rajawali Press,

1994.

Fauzia, Ika Yunia, dan Riyadi, Abdul Kadir. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqa>s}id al-Shari>’ah, Jakarta: Kencana, 2014.

Friedman, Lawrence. American Law, London: W.W. Norton & Company, 1984.

Ghauri, P.N. and Gronhaug, K. Research Methods in Business Studies: A Practical Guide, Financial Times Prentice Hall, New York, NY.2002.

Ghazali, al-Mus}tas}fa> Juz.1, Bairut: Da>r al-Fikr, tth.

Gie, The Liang. Efisiensi Kerja Bagi Pembangunan Negara, Yogyakarta: Gajah

Mada University Press, 1981.

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2010.

Hamid Yusuf. al-‘Alim, al-Maqasid al-’Ammah Li al-Shari‘ah al-Islamiyyah,

Riyadh: al-Dar al-‘Alamiah Li al-Kutub al-Islami, 1994.

Hasan, Hasbi. Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah di Dunia Islam Kontemporer, Jakarta:Gramata Publishing, 2011.

Hasan, Hasbi. Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, Jakarta: Gramata Publishing, 2011.

Hisyamuddin, Dilema Perbankan Syariah Nasional: Antara Kebutuhan, Kenyataan dan Keharusan, Bandung: Mitra Abadi Press, 2011.

Hooker, M.B. Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law,

Singapore: ISEAS, 2008.

Husaini, Adian. Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat: Penerapan Hukum Rajam di Indonesia Dalam Tinjauan syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2001.

Husein, Muhammad. Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah

Istimewa Aceh, 1970.

Hussey, J. and Hussey, R. Business Research: A Practical Guide for Undergraduate and Postgraduate Students, MacMillan Business, Oxford. 1997.

Ibn ‘A>syur, Muhammad Ta>hir. Ma>qa>sid Asy-Syari>’ah al-Isla>miyyah, Tunisia: Da>r

as-Sala>m, 2006.

Idat, Dhani Gunawan. Trend Bank Syariah: Penurunan Terhadap Kepatuhan Prinsip Syariah, Jakarta: Media Akuntansi, 2002.

Institut Bankur Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Penerbu Djambatan, 2001.

Jarisyah, Ushul al-Syariyah Madmunuha wa Khasisuha, Cet. I, Kairo: Dar Gharib,

1979

Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung :Citra aditya Bakti, 2005.

Kamal, Zainun. Dkk. Islam Negara & Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta; Paramadina, 2005.

Kamil, Sukran. dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim, Jakarta: SSRC

UIN Jakarta,2007.

Kartadijaya, Usman. Menyoroti Fenomena Perbankan Syariah di Indonesia

Bandung: PT.Insan Madani, 2011.

205

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah

Syar’iyah.

Khamami, Pemberlakuan Hukum Jinayat di Aceh dan Kelantan, Tangerang

Selatan: LSIP, 2014.

Konsideran peraturan daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 33 Tahun 2001

Tentang Pembentukan Susunan Organsasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat

Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Lembaran Daerah Propinsi Daerah

Istimewa Aceh Tahun 2001 No. 65.

Lev, Daniel S. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,

Cet I, Jakarta: LP3S, 1990.

Lodico, Marguerite G. Methods in Educational Research From Theory to Practice, Francisco, Jossey-Bass, 2006.

Lubis, Irsyad, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Medan: USU Press, 2010.

Lubis, Nur Ahmad Fadhil. “Financial Activism Among Indonesian Muslims” dalam

Virginia Hooker dan Amin Saikal, et al. Islamic Perspectives on The

Millenium, Singapore: ISEAS Publications, 2004

Malhotra, N. K. Marketing Research: An Applied Orientation, (fifth Ed.) (New

Jersey, USA: Prentice-Hall, Pearson Education, Inc. 2007.

Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2012.

Mandaladikari, Agus Dhani. Implementasi Nilai-Nilai Syariah dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Pada Induk Koperasi Angkatan Darat, Cirebon: Nusa

Litera Inspirasi, 2020.

Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 2008.

Maulana, Muhammad, dan Alidar, EMK. Model Transaksi Ekonomi Kontemporer Dalam Islam, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2020.

Mawardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-H}alabi>, 1973.

MD, Muh. Mahfud. Jiwa Syariat Dalam Konstitusi Kita, dalam Masdar Farid

Mas’udi, Syarah Konstitusi UU 1945 Dalam Perspektif Islam, Jakarta:

Pustaka Alvabet, 2011.

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan hukum sebuah pengantar (Yogyakarta: Liberty,

2014) cetakan ke-3 dalam Jaih Mubarok, Akad Mudharabah, Bandung:

Fokusmedia, 2014.

Mertokusumo, Sudikno. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra

Aditya Bakti, 1993.

Milles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. Qualitative Data Analysis: A Sourebook of New Methods, Bavery Hills:Sage Publication, 1986.

Mills, Paul S. Presley,John R. Islamic finance: Theory and practice, London:

Macmillan, 1999.

Mubarak, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah, Bandung:

Fokusmedia, 2013.

Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Ciputat: Logos

Wacana Ilmu, 2003.

206

Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Partai Politik di Indonesia Pasaca Orde Baru, Jakarta: Gramedia, 2007.

Mulazid, Ade Sofyan “Pelaksanaan Sharia Compliance Pada Bank Syariah (Studi

Kasus Pada Bank Syariah Mandiri, Jakarta)” MADANIA Vol. 20, No. 1,

Juni (2016)

Muljanto, Heru. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP ) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta, Tesis Univ. Sebelas Maret Surakarat,

2008.

Mutawalli, Abd al-Hamid. al-Syar’iyah al-Islamiyyah ka Masdar Asasiyy li al-Dustur, Cet. III, Iskandariyyah: al-Ma’arif, 1990.

Nafis, M. Cholil. Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI Press, 2011

Nashir, Haedar. Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007.

Noeng, Muhadjir. Metodologi penelitian kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta:Rake

Sarasin, 2002.

Nopriansyah Waldi dan Unggul,M. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2019.

Perda No. 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata

Kerja Dinas Syariat Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah

Qanun No. 10 Tahun 2002

Qanun No. 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat Aceh.

Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam bidang akidah, ibadah

dan syi’ar Islam.

Qanun No. 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe

Aceh Darussalam.

Qanun No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat.

Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam pada Bidang

Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.

Qanun Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah

Nanggroe Aceh Darussalam.

Qanun Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas,

Lembaga Teknis Daerah dan lembaga Daerah Provinsi Aceh.

Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat.

Al-Qardhawi, Yusuf. Fawa>id al-Bunu>k Hiya al-Riba> al-Hara>m, Kairo: Da>r al-Wafa>,

1990.

Al-Qat}t}a>n, Manna>’ bin Khali>l Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>mi>, Bairut: Maktabah

Wahbah, 2001.

Quraisy, Muhammad dkk. Laporan Perkembangan Ekonomi Syariah Daerah 2019-2020, Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Islam (KNEKS),

2020.

207

Rahardjo, M. Dawam. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius, (Jakarta:

Mizan, 2011.

Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980.

Ridwan, Islam dan Negara: Telaah Kritis Terhadap Artikulasi Politik Islam Dalam Negara, Banda Aceh: LKAS, 2011.

Rivai, Veithzal. Veithzal,Arifiandy Permata. Fawzi, Marissa Greace Haque. Islamic Transation Law in Business: dari Teori ke Praktik, Jakarta: Bumi Aksara,

2011.

Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Al-Sabatin, Yusuf. Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Terj.

Bogor: Al Azhar Press, 2014.

Saby, Yusni. Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh, Yogyakarta: Grafindo Litera Media,

2012.

Said, Muhammad. Hukum Bisnis Islam, Jakarta: Salemba Diniyah, 2019.

Salman, Otje. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: Alumni Bandung, 1989

Santoso, Topo. Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Islam dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asy-Syamil, 2000.

Al-Shalabi, Muhammad Mustafa. Ta’lil al-Ahkam, cet. 2, Beirut: Dar al-Nahdah al-

Arabiah, 1981.

Al-Shatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat Fi Usul al-Shari‘ah, cet. 3, Beirut : Dar al-

Makrifah, 1997.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:

UI Press, 1933.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2008

Soekanto, Soerjono.Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: CV.

Ramadja Karya, 1988.

Soekanto, Soerjono.Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, Cet. Ketiga, Jakarta: UI Press, 1983.

Soekanto, Soerjono.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Soekanto, Soerjono.Penegakan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983.

Soekanto, Soerjono.Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, Penerbit

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Soemardjan, Selo. dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, Cet. Pertama,

Jakarta: FE. Univ. Indonesia, 1964.

Subkhan, Imam. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta: Kanisius

2007.

Sufi, Rusdi. dan Wibowo, Agus Budi. Budaya Masyarakat Aceh, Bagian Kedua, Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

2004.

Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, Yogyakarta: Ghara Ilmu, 2021

208

Sutedi, Adrian. Perbakan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2009.

Sutiyiso, Bambang. Aktualisasi Hukum Dalam Era Reformasi, Jakarta: Rajawali

Pers, 2004.

Triyanta, Agus. Hukum Ekonomi Islam, dari politik hukum ekonomi Islam sampai pranata ekonomi syariah. Yogyakarta:FH UII Press, 2012.

Umam, Khotibul. Legislasi Fikih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 2011.

Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah

Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.

Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia.

Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962.

Utsman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan;

Wahid, Marzuki. Agama dan Kontestasi Ruang Publik: Islamisme, Konflik dan Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011.

Yasin, Taslim H.M. Pluralisme Agama di Wilayah Syari’at, dalam Syamsul Rijal,

ed. Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Pelaksanaan Syariat Islam, Banda

Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2007.

Zahrah, Muhammad Abu. al-‘Alaqat al-Dauliyyah fi@ al-Isla>m (Kaherah: Dar al-Fikr

al-Arabi, tt.

Al-Zarqa’, Muhammad. Sharh} al-Qawa>ide al-Fiqhiyyah, Damaskus: Da>r al-Qalam,

1989

Internet:

Alie, Marzuki. Implementasi Hukum Islam dan Kebijakan Lokal di Aceh http://www.marzukialie.com/?show=tulisan&id=67 (diakses pada tanggal

12/11/2014).

Asshiddiqie, Jimly. Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/.../Penegakan

_Hukum.pdf (diakses pada tanggal 5 Oktober 2015). Badan Arsip dan Perpustakaan Pemerintah Aceh, ”Sejarah Lahirnya Polisi

Wilayatul Hisbah”, http://arpus.acehprov .go.id/in dex.php/9-

uncategorised/121-profil.html (diakses pada tanggal 21 Feb 2015).

Fakhriah, Efa Laela, dan Yusriza. “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah Di Aceh

Dihubungkan Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia”,

http://pustaka.unpad.ac.id/wp content/uploads/2014/02/Kewenangan-

Mahkamah-Syariyah.pdf. (diakses pada tanggal 17 Maret 2015).

Farouk, Peri Umer. Sejarah Hukum Perbankan Syariah Indonesia, dikutip dari

latp//www shanaicarn.com/ tanggal akses 19 November 2008.

209

Hasibuan, Fauzie Y. Etika Profesi Perspektif Hukum dan Penegakan Hukum,

http://www.esaunggul.ac.id/epaper/etika-profesi-perspektif-hukum-dan-

penegakan-hukum-dr-h-fauzie-yhasibuan-sh-mh-wakil-ketum-dpp-ikatan-

advokat-indonesia/, 2.(diakse pada tanggal 25 September 2015.

https://bandaacehkota.go.id/p/agama.html

https://bandaacehkota.go.id/p/demografi.html

https://bandaacehkota.go.id/p/kecamatan_gampong.html

https://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html

https://bpmkotabandaaceh.wordpress.com/data/alamat-perbankan/

https://finance.detik.com/moneter/d-4715523/wajib-syariah-mulai-2020-bagai-

mana -nasib-bank-konvensional-di-aceh

https://www.kompasiana.com/irwanrinaldi/5dfd4e32d541df235b50d052/semua-

bank-di-aceh-harus-dikonversi-jadi-bank-syariah?page=3

https://www.merdeka.com/uang/semua-bank-di-aceh-wajib-syariah-mulai-

2020.html; https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190906202247-78-

428298/perbankan-di-aceh-wajib-berstatus-syariah-mulai-2020

Tesis/Disertasi:

Hendra, Dede Mr. Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam Di Provinsi Aceh (Tesis Fak. Hukum, Univ. Indonesia, 2012).

Hermansyah, Adi. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Badan (Corporal Punishment) Di Indonesia: Kajian Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam, (Tesis Universitas Diponegoro Semarang, 2008.

Junaidi, Positivisme hukum Dalam Perspektif pembangunan hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi , Tesis Program Pasca Sarjana UNS Surakarta:

Program Pasca Sarjana UNS,2009.

Karim, Shafie A. Riba-Free Models Of Money, Banking, And Insurance

Components of The Islam Moral Economy. Thesis. California State

University, Fullerton, 2010.

Roslaili, Yuni. formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia: Analisis kasus penerapan Hukum Pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Disertasi

UIN Jakarta 2009.

Al-Thabary, Muhibuth. Konsep dan Implementasi Wilayatul Hisbah dalam penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh:

Disertasi Tidak di terbitkan, Tahun 2007.

Wahidudin Adam, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam peraturan perundang-undangan 1975-1997, Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Disertasi, 2002. Wawancara:

Dedy, dan Alif Wawancara dengan Bank Syariah Indonesia Cabang Banda Aceh

pada Maret 2021.

Farrabi, Kepala Divisi Sumber Daya Insani (DSDI) Bank Aceh IB, Wawancara,

September 2021

Wawancara dengan 50 Masyarakat Aceh pada Maret 2021.

211

A

ACEH, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 59, 66, 67

AD ART, 225

Akad, 8, 82, 83, 129, 139, 143, 146, 156,

169, 175, 176, 177, 180, 183, 199,

211, 225

aktivitas, 8, 40, 53, 65, 78, 81, 144, 150,

156, 158, 165, 169, 178, 179, 180,

187, 190, 199, 226

Al-D}aruriyyah, 225

al-H}asan, 160, 225

Al-Ija>rah, 225

Al-Mas}lah}ah, 225

Al-Qard, 155, 225

Al-Tah}si>niyyah, 225

Al-Wadi’ah, 153, 225

Analisis, 2, 15, 17, 18, 21, 23, 40, 52,

199, 211, 214

Arbitrase, 225

B

BANK, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 139, 184

Benefid oriented, 225

Beroperasi, xi, 67

BLBI, 225

BMN, 225

BMT, 225

Budaya, 23, 31, 37, 51, 54, 73, 93, 107,

118, 127, 128, 208, 212, 214, 215

Bunga Bank, 38, 44, 45, 46, 47, 142

C

corporate culture, 169, 178, 180

D

Dana, 70, 115, 116, 168, 169, 177, 179,

180, 183

Data, 14, 20, 21, 63, 69, 131, 204, 211

Demokrasi, 1, 51, 212, 216, 225

deskriptif, viii, 17

Dinas Syariat, 26, 43, 83, 96, 97, 101,

139, 203, 210, 211, 213, 216

Diyat, 110, 225

DPS, 83, 89, 111, 156, 164, 165, 166,

178, 180, 184

E

EFEKTIVITAS, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 73

Ekonomi, 6, 7, 8, 11, 12, 14, 15, 37, 43,

44, 45, 46, 47, 49, 50, 55, 56, 63, 64,

65, 68, 75, 76, 78, 81, 84, 89, 90, 91,

92, 95, 96, 112, 113, 115, 117, 122,

123, 124, 131, 137, 139, 140, 141,

143, 144, 145, 146, 148, 150, 156,

161, 162, 163, 166, 167, 169, 172,179,

182, 185, 186, 188, 195, 203, 204,

206, 207, 211, 212, 213, 214, 216, 225

F

Faktor, xi, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 46, 73,

74, 86, 87, 88, 91, 94, 113, 117, 120,

124, 125, 127, 128, 129, 139, 143,

199, 212, 215

Fikih, 49, 107, 139, 145, 216, 225

Filantropi, 225

G

Ghirah, 225

Globalisasi, 225

INDEX

212

H

Hadis, 118, 152, 225

Haram, 47, 49, 225

Hukum Islam, i, 5, 7, 8, 12, 13, 17, 23,

41, 57, 75, 77, 101, 130, 133, 185,

186, 187, 203, 207, 209, 211, 212

Hukum Perbankan, xi, 139, 143, 148,

156, 167, 206, 212

I

Ideologi, 225

Ijarah, 146, 155, 177, 225

ILO, 226

Implementasi, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 1, 5,

17, 18, 100, 118, 119, 136, 156, 159,

164, 175, 179, 187, 190, 199, 203,

204, 206, 209, 211, 216

Inflasi, 63, 226

Inkopad, 226

INKOPAL, 226

INKOPAU, 226

Islam, i, ii, iii, viii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,

10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 21,

23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 38, 39, 40,

41, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52,

53, 54, 55, 56, 57, 59, 61, 62, 63, 65,

72, 75, 76, 77, 78, 79, 81, 83, 84, 85,

86, 87, 89, 90, 94, 95, 96, 97, 98, 99,

100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,

107, 108, 109, 112, 115, 116, 117,

118, 119, 120, 130, 131, 132, 133,

135, 136, 137, 139, 140, 141, 142,

143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,

150, 151, 152, 153, 156, 157, 158,

159, 160, 161,162, 163, 165, 166, 167,

168, 169, 172, 182, 183, 184, 185,

186, 187, 188, 189, 191, 193, 194,

196, 199, 203, 204, 205, 206, 207,

208, 209, 210, 211, 212, 213, 214,

215, 216, 225, 227, 228, 229, 232

K

Kafarat, 226

Kapitalis, 44, 214, 226

Kartika Primadana, 227

KBBI, 226

Kebahagiaan, 196, 226

Kejaksaan, 5, 104, 105, 216

KEMASLAHATAN, i, ii, iii, iv, vi, vii,

xi, 23, 139

Kepolisian, 3, 5, 101, 103, 104, 213

Kesejahteraan, 14, 15, 159, 190, 194,

211, 214, 226

Keuntungan, 154, 167, 179, 196

Kontekstual, 226

kontrak, 13, 146, 147, 149, 154, 155,

158, 169, 175, 177, 180, 199, 225

Kontrak, 13, 145, 226

Konvensional, 17, 18, 67, 70, 71, 87, 89,

143, 166, 174, 180, 210, 211, 226

Koperasi, 68, 89, 90, 112, 190, 211, 226,

227, 228

Krahnke, 19, 210

kualitatif, viii, 19, 21, 83, 169, 212

L

Lembaga Perbankan, xi, 67

Lingkungan, 169, 178, 180

Literatur, 226

LKS, i, ii, iii, iv, vi, vii, 80, 81, 82, 83,

84, 85, 87, 90, 111, 112, 114, 136,

199, 226

M

MAA, 96, 106

MABESAD, 226

213

Mafsadat, 226

Mahkamah Syar’iyah, 26, 96, 99, 100,

206, 210, 213

MANFAAT, xi, 139

Maqa>s}id al-Shari>’ah, 56, 159, 188, 190,

206, 226

Masalah, xi, 1, 9, 10, 57, 125, 126, 149,

172

Maslahah mursalah, 226

Maslahat, xi, 51, 55, 57, 184, 188, 226

Masyarakat, xi, 18, 19, 23, 33, 35, 36,

61, 73, 76, 87, 92, 94, 106, 107, 117,

119, 121, 122, 143, 144, 163, 173,

184, 186, 190, 191, 193, 194, 196,

205, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216

Mazhab, 227

Mikro, 227

MPU, 15, 90, 96, 97, 98, 99, 102

Muamalah, 140, 183, 227

Muatan, 80

Mudarabah, 183, 227

Mudharib, 227

Mufakat, 227

Murabahah, 154, 176, 227

Musyarakah, 154, 176, 183, 227

Musyawarah, 227

N

Nasabah, 6, 70, 71, 80, 227

Nash, 227

Nasi’ah, 227

Nonmiliter, 227

O

observasi, viii, 21, 130, 181

OCDC, 227

operasional, 42, 71, 96, 148, 151, 152,

156, 157, 165, 169, 175, 179, 183, 184

P

PEMBERLAKUAN, xi, 23

Penegak Hukum, xi, 91

Penelitian, viii, xi, 9, 10, 11, 12, 13, 16,

17, 18, 19, 20, 129, 200

penulisan, iv, v, xi

Perbankan, xi, 7, 9, 12, 18, 39, 67, 68,

84, 87, 98, 99, 130, 139, 140, 141,

142, 143, 144, 145, 146, 149, 150,

152, 153, 156, 160, 161, 162, 163,

165, 166, 169, 178, 179, 189, 203,

204, 206, 207, 209, 210, 215, 216

Perbankan Syariah, 130, 145, 165, 207,

216

Perekonomian, xi, 139

Perundang-undangan, xi, 73, 88

Posisi, xi, 94, 139

Primkopad, 227

Prinsip-prinsip, xi, 11, 180, 199

Profit oriented, 227

PUSKOPAD, 227

Q

Qira>d, 227

Qisas, 227

Quran, 38, 41, 42, 47, 48, 50, 51, 78, 79,

85, 97, 115, 118, 120, 140, 141, 152,

158, 169, 186, 226, 228

R

RAKYAT, i, ii, iii, iv, vi, vii

REGULASI, i, ii, iii, iv, vi, vii

Rekomendasi, xii, 200

Riba, 41, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 141,

151, 152, 156, 160, 166, 189, 210,

213, 228

Rochdale, 228

RPK, 228

214

Rukhsah, 228

S

S}a>h}ibu al-ma>l, 228

Saran, xii, 200

SHU, 228

Signifikansi, xi, 11

Sistematika, 21

Sistimatika, xi

Sosial, 23, 97, 98, 99, 159, 209, 214,

216, 228, 232

Sosialis, 228

sosiologi hukum, viii

Stakeholder, 228

Substansi, 80

Syar’i, 43, 228

Syariah, i, ii, iii, iv, vi, vii, viii, ix, xi, 1,

2, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 18,

20, 22, 25, 26, 39, 40, 42, 43, 50, 56,

57, 63, 67, 68, 69, 70, 71, 75, 76, 78,

80, 81, 83, 84, 85, 87, 89, 90, 91, 92,

94, 95, 96, 99, 103, 107, 111, 112,

113, 114, 115, 117, 122, 123, 124,

129, 130, 131, 134, 136, 137, 139,

141, 142, 143, 144, 145, 146, 148,

149, 150, 152, 153, 156, 159, 160,

161, 162, 163, 164, 165, 166, 167,

168, 169, 171, 173, 174, 175, 176,

177, 178, 179, 180, 181, 183, 184,

188, 189, 190, 191, 193, 196, 197,

199, 203, 204, 205, 206, 207, 208,

209, 210, 211, 212, 213, 214, 215,

216, 226, 228, 232

SYARIAH, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 73, 139

Syariat Islam, xi, 1, 2, 3, 16, 18, 23, 24,

25, 26, 27, 29, 38, 42, 43, 54, 78, 79,

83, 89, 90, 96, 97, 98, 99, 101, 102,

104, 105, 106, 117, 118, 119, 130,

136, 139, 185, 203, 204, 205, 207,

209, 210, 211, 212, 213, 216

Syirkah, 228

T

Tahun, i, ii, iii, iv, vi, vii, 2, 3, 4, 5, 9,

16, 17, 18, 22, 24, 25, 26, 32, 36, 49,

63, 80, 84, 87, 89, 93, 96, 97, 98, 99,

100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,

107, 108, 109, 110, 124, 136, 139,

143, 165, 199, 206, 210, 212, 213,

216, 232

Top down approach, 228

transaksi, 7, 9, 14, 17, 38, 42, 43, 71, 79,

81, 82, 83, 111, 114, 141, 143, 148,

152, 156, 158, 159, 165, 169, 176,

177, 178, 179, 180, 187, 189, 190,

193, 194, 199, 200, 225

U

UKM, 89, 228, 232

UMKM, 68, 69, 89, 90, 177, 228

UNDP, 228

Unsur, 79, 88

usaha, 5, 6, 39, 40, 42, 45, 57, 64, 69, 78,

81, 84, 85, 87, 89, 90, 93, 102, 107,

112, 114, 115, 116, 123, 125, 129,

139, 140, 146, 147, 153, 154, 156,

157, 158, 164, 166, 167, 168, 169,

172, 175, 176, 178, 179, 180, 181,

183, 188, 189, 190, 191, 193, 194,

195, 200, 225, 228

W

WAJIB, i, ii, iii, iv, vi, vii, xi, 139

wawancara, viii, 20, 21, 114, 119, 126,

130, 134, 169, 170, 171, 175, 176,

181, 183, 191, 192, 193, 194, 195,

196, 199

215

Wilayatul Hisbah, 3, 25, 96, 100, 101,

102, 106, 203, 205, 207, 209, 216

Z

Zakat, 3, 89, 115, 148, 177, 229

217

GLOSARIUM

AD ART : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

Akad : Perjanjian; kontrak

Al-D}aruriyyah : Yang penting; darurat

Al-Hajiyyah : Yang dibutuhkan

Al-Ija>rah : Akad sewa

Al-Mas}lah}ah : Kemaslahatan

Al-Qard} al-

H}asan

: Pemberian pinjaman cuma-cuma

Al-Tah}si>niyyah,

: Yang untuk menambah keindahan

Al-Wadi’ah : Akad titipan

Arbitrase : usaha perantara dl meleraikan sengketa

Benefid oriented,

: Berorientasi pada kemanfaatan

BLBI : Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

BMN : Barang Milik Negara

BMT : Baitul Mal wa Tamwil

Demokrasi : gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan persamaan hak dan

kewajiban serta perlakuan yg sama bagi semua warga negara

Diyat : Hukuman

Ekonomi : ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-

barang serta kekayaan

Fikih : ilmu tentang hukum Islam

Filantropi : cinta kasih; kedermawanan kepada sesama

Ghirah : semangat

Globalisasi : proses masuknya ke ruang lingkup dunia

Hadis : Perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW

Haram : terlarang (oleh agama Islam); tidak halal

Ideologi : kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat

Ijarah : Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau

manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa,

tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah akad penyediaan dana

dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang

atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan

kepemilikan barang.

ILO : International Labour Organization

Inflasi : kemerosotan nilai uang (kertas) krn banyaknya dan cepatnya uang

(kertas) beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang

Inkopad : Induk Koperasi Angkatan Darat

INKOPAL : Induk Koperasi Angkatan Laut

INKOPAU : Induk Koperasi Angkatan Udara

Kafarat : denda yg harus dibayar krn melanggar larangan Allah atau melanggar

janji

Kapitalis : kaum bermodal; orang yg bermodal besar; golongan atau orang yg

218

sangat kaya;

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kebahagiaan : keadaan atau perasaan senang dan tenteram

Kesejahteraan : aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dr segala macam

gangguan)

Kontekstual : Berhubungan dng konteks

Kontrak : Perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dl perdagangan, sewa-

menyewa,

Konvensional : Berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum

Koperasi : Perserikatan yg bertujuan memenuhi keperluan para anggotanya dng

cara menjual barang keperluan sehari-hari dng harga murah (tidak

bermaksud mencari untung);

Literatur : sumber atau refrensi yang digunakan dalam berbagai macam

aktivitas dalam dunia pendidikan ataupun aktivitas lainnya

LKS : Lembaga Keuangan Syariah

MABESAD : Markas Besar Angkatan Darat

Mafsadat : Kerusakan

Maqa>s}id al-Shari>’ah

: Tujuan Syariah

Maslahah mursalah

: Kemaslahatan yang tidak ditemukan dalil yang pasti dalam al-Quran

dan hadis

Maslahat : Kebaikan

Mazhab : haluan atau aliran mengenai hukum fikih yg menjadi ikutan umat

Islam (dikenal empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Hambali,

Maliki, dan Syafii

Mikro : Kecil

Muamalah : hal-hal yg termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb)

Mudarabah : Mudharabah adalah akad atau sistem kerjasama di mana seseorang

menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk dikelola dengan

ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh (dari hasil pengelolaan

tersebut) dibagi antara kedua pihak sesuai dengan nisbah yang

disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh shahib al mal

sepanjang tidak ada kelalaian dari mudharib.

Mudharib : Orang yang mengelola dana kerjasama dengan bagi hasil

Mufakat : Kesepakatan

Murabahah : Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan

menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli

membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang

disepakati.

Musyarakah : serikat dagang; kongsi; perseroan; persekutuan;

Musyawarah : pembahasan bersama dng maksud mencapai keputusan atas

penyelesaian masalah; perundingan;

Nasabah : orang yg biasa berhubungan dng atau menjadi pelanggan bank

Nash : Perkataan atau kalimat dr Alquran atau hadis yg dipakai sbg alasan

atau dasar untuk memutuskan suatu masalah (sbg pegangan dl

hukum syarak

Nasi’ah : berkembang

219

Nonmiliter : Selain militer

OCDC : Overseas Cooperative Development Council

Kartika

Primadana

: Unit simpan pinjam di bawah naungan Inkop Kartika

Primkopad : Primer Koperasi Angkatan Darat

PUSKOPAD : Pusat Koperasi Angkatan Darat

Profit oriented : Berorientasi pada keuntungan

Qanun undang-undang, atau sekumpulan prinsip, asas, dan aturan yang

diciptakan manusia untuk mengatur semua individu dalam sebuah

masyarakat supaya tercipta kehidupan yang baik dari segi sosial,

ekonomi, terbentuknya kemakmuran masyarakat, serta terpenuhinya

hak-hak mereka.

Qira>d : Hutang

Qisas, : Istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan

Quran : kitab suci umat Islam yg berisi firman Allah yg diturunkan kpd Nabi

Muhammad saw. dng perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca,

dipahami, dan diamalkan sbg petunjuk atau pedoman hidup bagi

umat manusia

Riba : Bunga uang; Rente

Rochdale : Nama Koperasi yang Pertama berdiri di Inggris

RPK : Rumah Pangan Kita

Rukhsah : Keringanan

S}a>h}ibu al-ma>l : Pemilik Harta

SHU : orang, golongan, negara yg menganut paham sosialisme

Sosial : berkenaan dng masyarakat

Sosialis : Penganut paham sosialis

Stakeholder : Pemangku kepentingan adalah terjemahan dari kata stakeholder

dapat diartikan sebagai segenap pihak yang terkait dengan isu dan

permasalahan yang sedang diangkat

Syar’i : Sesuai hukum syariat

Syariah : Hukum agama yg menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan

manusia dng Allah Swt., hubungan manusia dng manusia dan alam

sekitar berdasarkan Alquran dan hadis

Top down approach,

: Pendekatan dari atas ke bawah

Syirkah : Suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha

tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana

(atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian

akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan

UKM : Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah

yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih

paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha.

UMKM : Usaha mikro kecil menengah atau adalah istilah umum dalam

khazanah ekonomi yang merujuk kepada usaha ekonomi produktif

yang dimiliki perorangan maupun badan usaha sesuai dengan kriteria

yang ditetapkan oleh Undang-undang No. 20 tahun 2008.

220

UNDP : United Nations Development Programme atau Badan Program

Pembangunan PBB adalah organisasi multilateral yang paling besar

memberi bantuan teknis dan pembangunan di dunia.

Zakat : Salah satu rukun Islam yg mengatur harta yg wajib dikeluarkan kpd

mustahik; Jumlah harta tertentu yg wajib dikeluarkan oleh orang yg

beragama Islam dan diberikan kpd golongan yg berhak menerimanya

(fakir miskin dsb) menurut ketentuan yg telah ditetapkan oleh syarak

221

BIODATA PENULIS

Masyhar Sa’adi, lahir di Rembang pada tanggal 24 Desember

1971. Ia menamatkan sekolah dasar di SDN Kragan l Kecamatan Kragan

Kabupaten Rembang dan lulus pada tahun 1985, setelah itu melanjutkan

ke SMP Negeri Kragan dan lulus tahun 1988, kemudian ke jenjang SLTA

yaitu di SMA Negeri Lasem dan lulus pada tahun 1992, Kemudian

Masyhar Sa’adi Tahun 1993 mengikuti Kuliah di S-1 Fakultas Hukum

UMM Malang Lulus Tahun 1997 dan selama kuliah aktif di UKM di

Resimen Mahasiswa (Menwa) Satuan 812 Macan Kumbang UMM,

Kemudian Pendidikan S-2 ditempuh di Pascasarjana Unsyiah Darussalam-Banda Aceh

Program studi Ilmu Hukum tahun 2006 dan lulus tahun 2011, sedangkan Pendidikan

Militer Mengikuti Pendidikan Perwira Karier Tahun 2001 lulus tahun 2002 menjadi

seorang perwira TNI AD dan berbagai Pendidikan militer yang pernah diikuti diantaranya

dasar kecabangan perwira Hukum Tahun 2002, Diklapa II Kecabangan Hukum Tahun

2012, Kursus Jabatan Hakim Militer (Susjabkimmil) Tahun 2018, sekarang ini sedang

menempuh Pendidikan dan sebagai mahasiswa aktif S3 Pengkajian Islam dengan

Konsentrasi Syariah pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saat ini, penulis adalah salah satu perwira aktif TNI Angkatan Darat berpangkat

Mayor Chk yang sekarang bertugas sebagai Kasirenopsdik Bagmindik STHM Ditkumad

Jakarta, dimana bertugas di STHM sejak Desember sejak tahun 2012 yang sebelumnya

bertugas di Kumdam IM Banda Aceh dari tahun 2002 sampai dengan Desember 2012.

Atas jasa- jasa selama penugasan di TNI Negara Memberikan Penghargaan Satya Lencana

Kesetiaan 8 tahun, 16 tahun, selain tanda jasa kesetiaan juga telah di berikan oleh negara

berupa tanda jasa Satyalencana Dwija Sistha, Kebaktian Sosial dan Dharma Nusa.

NO

INDIKATOR WAWANCARA &TERVIEW

RINGKAS & MUDAH DIMENGERTI (1)

MUDAH DILAKSANAKAn (2)

AKOMODIR KERAGAMAN (3)

Kesimpulan

1 HUKUM & PER –UU ITU SENDIRI

1. Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.

25 Informan Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 5 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib bank Syariah dari ketiga unsur kriteria 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah

2 Sarana & Fasilitas

2. Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.

15 Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 15 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib bank Syariah terutama fasilitas pendukungnya dari ketiga unsur kriteria. 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah

3 Penegak hukumnya

3.Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.

25 Informan Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 5 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib

bank Syariah ketiga unsur kriteria. 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah

HASIL WAWANCARA KEPADA PADA INFORMAN 30 NASABAH AKTIF

PERBANKAN SYARIAH DAN 20 PELAKU PERBANKAN SYARIAH DI ACEH DAN

MANFAATNYA BAGI KEMASLAHATAN RAKYAT

ii

NO INDIKATOR WAWANCARA &TERVIEW

RINGKAS & MUDAH DIMENGERTI (1)

MUDAH DILAKSANAKAn (2)

AKOMODIR KERAGAMAN (3)

Kesimpulan

4 Masyarakat di mana hukum tersebut diberlakukan

4.Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.

25 Informan Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 5 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib

bank Syariah ketiga unsur kriteria. 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah

5 Budaya hukum dalam masyarakatnya

5.Bgmn tanggapan bp/ibu ttg regulasi wajib syariah utk pemberlakuan.

25 Informan Memenuhi ketiga unsur kriteria, sehingga tingkat efektifitas sempurna. 5 Belum merasakan manfaatnya adanya wajib bank Syariah ketiga unsur kriteria. 20 dari pelaku perbankkan sudah memenuhi ketaan dan manfaat perbankan syariah

HASIL WAWANCARA BANK SYARIAH

1. Bagaimana proses migrasi dari bank konvensional ke bank Syariah ?

Untuk nasabah dana : Petugas bank konvensional menghubungi nasabahnya untuk membuka

rekening di Bank Syariah dan memindahkan dananya ke rekening bank Syariah tsb lalu

rekening di Bank konvensionalnya ditutup.

Untuk nasabah pembiayaan: Petugas Bank konvensional bersama Petugas Bank Syariah

menjumpai nasabah untuk menandatangani akad pembiayaan di bank Syariah (take over) lalu

melunasi pembiayaan di Bank Konvensional dari dana pencairan di Bank Syariah

2. Apa kendala yang dihadapi dalam proses migrasi tersebut?

Kendala utama adalah sulit untuk berjumpa/mendatangkan nasabah ke bank untuk

pembukaan rekening.

3. Apakah ada kesulitan/problematika dalam proses migrasi tersebut?

- Menghubungi nasabah karena No.HP tidak aktif

- Nasabah masih membutuhkan rekening di Bank Konvensional untuk transaksi perbankan

karena belum ada di Bank Syariah (seperti pembelian LPG 3KG, penebusan pembelian

semen di PT Solusi Bangun Andalas (SBI), penebusan pupuk di PT PIM, pembayaran iuran

BPJS Kesehatan secara autodebet dll)

4. Bagaimana nasib pegawai dengan adanya migrasi ke Bank Syariah?

Pegawai Bank Konvensional diberi opsi tetap sebagai pegawai Bank Konvensional atau

pindah ke Bank Syariah. Jika tetap ingin di Bank Konvensional maka akan dipindahkan ke

cabang bank di luar propinsi Aceh. Jika memilih ke Bank Syariah maka pegawai tersebut

diberhentikan sebagai pegawai Bank Konvensional dan otomatis diterima di Bank Syariah

dengan grading yang sama.

5. Bagaimana nasib nasabah dengan migrasi ini?

Nasabah diberi opsi rekeningnya tetap di Bank Konvensional atau pindah ke Bank Syariah.

Jika memilih konversi ke Syariah maka dibukakan rekening di bank Syariah dan portfolio

nasabah dipindahkan dari Bank Konvensional ke Bank Syariah, selanjutnya nasabah bisa

terus bertransaksi di Bank Syariah tsb. Jika nasabah memilik tetap menggunakan rekening

Bank Konvensional maka pengelolaan rekeningnya dipindahkan ke cabang di luar Aceh.

6. Apa saja akad/transaski yang digunakan dalam bank ini?

Akad yang digunakan dalam produk dana yaitu : wadiah (titipan) dan mudharabah (bagi

hasil)

Akad yang digunakan dalam produk pembiayaan yaitu : murabahah (jual beli) dan

musyarakah (bagi hasil)

7. Apa acuan bank dalam implementasi akad-akad tersebut?

Standar Operasional dan Prosedur (SOP)

8. Apakah sebutan untuk keuntungan yang diperoleh Bank dari hasil pinjaman nasabah?

Untuk pembiyaan murabahah (jual beli) keuntungan bank disebut margin

Untuk pembiayaan musyarakah keuntungan bank disebut bagi hasil

9. Apakah sebutan untuk keuntungan bagi nasabah dari hasil simpanan di Bank Syariah?

Untuk produk wadiah nasabah mendapatkan bonus

Untuk produk mudharabah nasabah mendapatkan bagi hasil

10. Atas dasar apa keuntungan yang diterima oleh Bank dan nasabah?

Keuntungan yang diterima bank adalah berdasarkan margin jual beli atau bagi hasil dari

usaha nasabah

Keuntungan yang diterima nasabah adalah dari profit bank pada bulan berjalan.

11. Dalam bidang apa saja bank mengembangkan bisnis/usahanya?

Pembiayaan bank disalurkan kepada sector produktif (modal kerja dan investasi) dan sector

konsumtif

12. Apakah ada dana sosial yang disisihkan oleh bank dari hasil keuntungan usaha? Jika ada

kepada siapa dana social itu diberikan?

- Membayar Zakat perusahaan (dari keuntungan perusahaan) dan zakat pegawai.

- Menghimpun dana ziswaf dari masyarakat, sebagai salah satu fungsi sosial, media nya byk

di kembangkan/diberikan kemudahan/difasilitasi oleh Bank Syariah.

13. Apakah bank ini telah membetuk dewan pengawas Syariah? Dari unsur apa dewan pengawas

tersebut, dan bagaimana system kerjanya Bersama dengan bank?

Sudah ada. Dari unsur Ulama dan Pakar Ekonomi Syariah

Peraturan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Po-MUI/II/2018 Tentang Anggaran

Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Pasal

10 tentang Dewan Pengawas Syariah.

Anggaran Rumah Tangga DSN MUI Nomor: 11/PO-MUI/II/2018 BAB I Tugas dan Wewenang,

Pasal 3 Tugas dan Wewenang DPS

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Perkreditan

Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.

Peraturan Bank Indonesia No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober tentang Bank Umum yang

melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah yang lalu di ubah dengan

Peraturan Bank Indonesia No.7/35/PBI/2005 tanggal 29 September 2005 tentang Bank

Umum yang melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah.

Peraturan Bank Indonesia No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari tentang perubahan kegiatan

usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha

berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang melaksanakan kegiatan usaha

berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.

14. Apakah ada pertanggung jawaban kepada Dewan Syariah Nasional (DSN)? Atau laporannya

kepada siapa?

Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas

memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank Syariah agar

sesuai dengan Prinsip Syariah

LAPORAN HASIL PENGAWASAN PENERAPAN PRINSIP SYARIAH A. Bank Syariah menyampaikan laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah yang

disusun oleh DPS secara semesteran kepada Bank Indonesia untuk posisi akhir bulan Juni dan bulan Desember.

B. Laporan semester I disampaikan paling lambat akhir bulan Agustus tahun berjalan,

sedangkan laporan semester II disampaikan paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya.

C. Laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah meliputi:

1. kertas kerja pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru 2. kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan usaha 3. risalah rapat pengawasan penerapan Prinsip Syariah Dalam hal tidak melakukan pengembangan produk dan aktivitas baru pada periode

laporan, Bank Syariah tetap menyampaikan laporan kertas kerja pengawasan terhadap

produk dan aktivitas baru Bank Syariah dengan keterangan “NIHIL”.

D. Penyampaian laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah kepada Bank

Indonesia dialamatkan kepada:

1. Departemen Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2,Jakarta 10350, bagi BPRS yang

berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi;

atau

2. Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPRS,

bagi BPRS yang kantorpusatnya berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud

dalam angka 1.

15. Setelah menggunakan system Syariah, bagimana keadaan bank? Apakah lebih untung atau

menjadi rugi? Apa sebabnya, mohon penjelasannya?

Belum ada study yang menilai hal tsb

16. Bagaimana efektivitas penerapan wajib Bank Syariah ini?

Qanun Aceh No.11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah dilaksanakan dengan

seksama oleh bank-bank konvensional di Aceh dan saat ini masih terus berproses untuk

konversi nasabah dan kantor cabangnya.

1. Bagaimana proses migrasi dari Bank Konvensional ke Bank Syariah? Jawab : Sebagaimana kita ketahui bersama pemerintah Aceh telah memberlakukan QANUN No 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang mengatur bahwa seluruh lembaga keuangan termasuk bank yang beroperasi di Provinsi Aceh wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah dan telah berlaku sejak 4 Januari 2019. Dampak dari Qanun tersebut, maka bank konvensional BUMN yaitu BRI, Mandiri dan BNI yang dulunya beroperasional di Aceh mengalihkan pelayanannya melalui Bank Syariah anak perusahaan masing-masing yaitu BRISyariah, BSM dan BNIS. Pada tanggal 1 Februari 2021 dilaksanakan merger tiga bank syariah yang dimiliki BUMN. Latar belakang penggabungan bank syariah BUMN adalah adanya keinginan dari Menteri BUMN Erick Thohir untuk meningkatkan core competence seluruh BUMN termasuk sector keuangan, maka Kementrian BUMN pun menggabungkan tiga bank syariah yang dimiliki bank BUMN yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah. Tujuan dari merger ini salah satunya adalah Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim dunia punya bank syariah yang besar dan berdaya saing global. Berdasarkan dari penggabungan 3 bank Syariah dimana dalam 4 tahun terakhir, pertumbuhan asset BSI menunjukan perkembangan yang sustain. Dari total 115 Bank Umum per Desember 2017, BSI menempati posisi 9 dari asset dengan total Rp. 154,3 T dan per Desember 2020 posisi BSI meningkat menjadi nomor 7. BSI memiliki 11 Regional Office yg tersebar seluruh Indonesia, salah satunya yaitu Bank Syariah Indonesia Regional Aceh dimana akan mengambil peran penting dalam kegiatan impor dan ekspor di Provinsi Aceh, baik dalam layanan maupun pembiayaan serta fasilitas perbankan lainnya. Bank Syariah Indonesia Regional Aceh saat ini memiliki Outlet yang tersebar di seluruh Provinsi Aceh, yaitu : ✓ 3 Area ✓ 24 Kantor Cabang ✓ 175 Kantor Cabang Pembantu ✓ 2 Kantor Fungsional Operasional ✓ 2 Kantor Kas ✓ 14 Payment Point Bank Syariah Indonesia Regional Aceh memiliki Resourch sebagai berikut : ✓ Pegawai sebanyak 3.075 Orang ✓ Aset senilai Rp.16,78 T ✓ Pembiayaan sebesar Rp.13,85 T ✓ Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp.13,55 T ✓ Laba Bersih (CM) sebesar Rp.440,7 M ✓ Return Of Aset (ROA) sebesar Rp.2,69 % ✓ Nasabah sebanyak 1,8 Juta ✓ E-Channel sebanyak 666 ATM, 11.090 BSI Smart, 751 EDC dan 8 CRM

2. Apa kendala yang dihadapi dalam proses migrasi tersebut? Jawab : Proses migrasi hingga saat ini masih terus berjalan, namun dalam perjalanannya

masih terdapat beberapa kendala. Kendala tersebut berada pada segmen pendanaan

dan pembiayaan yang belum termigrasi seluruhnya. Kendala belum dapat

dimigrasikan segmen Pendanaan diakibatkan oleh masyarakat belum paham

kewajiban qanun, dan merasa masih butuh dan ketergantungan dengan konvensional,

dan menginginkan mempunyai dua rekening (konvensional dan syariah).

Sementara kendala pada segmen pembiayaan terjadi karena pemindahan portofolio

kredit ke syariah baru dapaat dilakukan hanya yg berkolektibiltas 1 (lancar),

sedangkan lainnya masih harus diselesaikan hingga lancar terlebih dahulu, baru

kemudian dapat dipindahkan

3. Apakah ada kesulitan/problematika dalam proses migrasi tersebut? Jawab : Dalam proses migrasi, terdapat beberapa kendala atau kesulitan yang diakibatkan oleh kurangnya pemahaman nasabah tentang bank Syariah dan masih adanya kepentingan nasabah untuk transaksi menggunakan rekening konvensional dalam menjalankan usahanya. Namun kendala tersebut dapat dihadapi dan terus berupaya untuk melakukan migrasi.

4. Bagaimana nasib pegawai dengan adanya migrasi ke Bank Syariah? Jawab : Masing-masing Bank Konvensional yang berada di Aceh yang akan dilakukan migrasi, memberi pilihan kepada pegawainya untuk dapat menentukan tetap di Bank Konvensional atau ikut beralih menjadi pegawai Bank Syariah. Apabila pegawai tersebut memilih tetap di bank Konvensional, maka pegawai tersebut akan ditugaskan di luar Provinsi Aceh, karena operasional bank konvensional tidak diizinkan lagi di Provinsi Aceh.

5. Bagaiman nasib nasabah dengan migrasi ini? Jawab : Nasabah juga diberi pilihan untuk migrasi ke rekening Syariah atau tetap sebagai nasabah konvensional. Namun semaksimal mungkin akan diarahkan ke rekening Syariah, karena seluruh transaksi di Provinsi Aceh akan berbasis Syariah. Apabila nasabah tersebut tetap memilih menjadi nasabah konvensional, maka seluruh transaksi perbankan tidak dapat dilayani di Provinsi Aceh.

6. Apa saja akad/transaksi yang digunakan dalam Bank ini? Jawab : Akad yang digunakan pada Bank Syariah Indonesia antara lain sebagai berikut : a. Wadiah Akad penitipan batang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang. b. Mudharabah Akad kerjasama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua ('amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. c. Musyarakah Akad kerjasama diantara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana masing-masing. d. Murabahah

Akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. e. Salam Akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. f. Istisna' Akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni') dan penjual atau pembuat (shani'). g. Ijarah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikian barang itu sendiri. h. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. i. Qardh Akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.

7. Apa acuan bank dalam implementasi akad-akad tersebut? Jawab : Acuan bank dalam implementasi akad berdasarkan Rukun dan Syarat berdagang secara Syariah. Adapun rukun tersebut yaitu adanya para pihak (Penjual dan Pembeli), adanya objek dan adanya ijab-qabul. Sedangkan Syarat berdagang secara Syariah adalah Para Pihak haruslah cakap hukum, berwenang, dan tidak ada paksaan. Untuk objek yang diuperjual-belikan harus halal dan jelas (kualitas dan kuantitasnya). Selanjutnya Ijab-Qabul yang dilakukan harus jelas hak dan kewajibannya. Implementasi akad pada Bank Syariah diterapkan sesuai dengan produk yang diinginkan oleh nasabah.

8. Apakah sebutan untuk keuntungan yang diperoleh Bank dari hasil pinjaman nasabah? Jawab : Sebutan untuk keuntungan yang diperoleh dari hasil pinjaman nasabah antara lain sebagai berikut : a. Margin, dihasilkan oleh jual-beli dengan akad murabahah b. Bagi Hasil, dihasilkan oleh produk dengan akad musyarakah c. Ujroh, dihasilkan dari sewa-menyewa yang dihasilkan dengan akad ijarah

9. Apakah sebutan keuntungan bagi nasabah dari hasil simpanan di Bank Syariah? Jawab: Sebutan untuk keuntungan yang diperoleh dari hasil simpanan nasabah antara lain sebagai berikut : a. Bagi hasil, dihasilkan oleh produk dengan akad mudharabah (Produk Deposito)

b. Bonus (tidak dijanjikan) dihasilkan oleh produk dengan akad wadiah

10. Atas dasar apa keuntungan yang diterima oleh Bank dan Nasabah? Jawab : Atas dasar akad yang diperjanjikan dan disepakati antar bank dan nasabah

11. Dalam bidang apa saja bank mengembangkan bisnis/usahanya? Jawab : Bidang pengembangan bisnis bank Syariah meliputi : a. Pendanaan, termasuk didalamnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (Tabungan,

Deposito dan Giro) b. Pembiyaan, seluruh pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah c. Jasa Perbankan, meliputi jasa layanan transaksi perbankan, e-Chanel (ATM,

EDC, Mobile Banking, dll), Bank Garansi, Letter of Credit (LC), Safe Deposit Box (SDB), dan jasa perbankan lainnya.

12. Apakah ada dana sosial yang disisihkan oleh bank dari hasil keuntungan usaha?

Jika ada, kepada siapa dana sosial itu diberikan? Jawab : Ada, dana sosial yang disisihkan oleh bank dari hasil keuntungan usaha disebut sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) Tanggung jawab Sosial Perusahaan adalah komitmen perusahaan kepada lingkungan dengan tujuan memberikan nilai tambah kepada semua pemangku kepentingan termasuk internal perusahaan guna mendukung pertumbuhan perusahaan Tujuan implementasi kegiatan CSR adalah:

1. Mewujudkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat 2. Mendukung implementasi praktik bisnis yang transparan dan bertanggung jawab 3. Membangun citra positif dan menggalang dukungan masyarakat 4. Menggali dan memberdayakan potensi UMKM melalui penyaluran dana kemitraan 5. Berpartisipasi pada program pelestarian lingkungan hidup, peningkatan kualitas

pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, kehidupan beragama, dan perbaikan sarana umum lainnya.

13. Apakah bank ini telah membentuk dewan pengawas Syariah? Dari unsur apa dewan pengawas tersebut dan bagaimana system kerjanya Bersama dengan Bank? Jawab : Sudah, Bank Syariah Indonesia sudah memiliki dewan pengawas Syariah yang diangkat pada RUPS LB tanggal 15 Desember 2020 dan efektif menjabat pada 01 Februari 2021. Tugas utama Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syari`ah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syari`ah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Fungsi utama Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syari`ah dan pimpinan kantor cabang syari`ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari`ah dan sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan Dewan Syariah Nasional dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari Dewan Syariah Nasional

14. Apakah ada pertanggung jawaban kepada Dewan Syariah Nasional (DSN)? Atau laporannya kepada siapa? Jawab : Ada, DPS wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan DPS setiap semester kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

15. Setelah menggunakan system Syariah, bagaimana keadaan bank? Apakah lebih untung atau menjadi rugi? Apa sebabnya, mohon penjelasannya Jawab : Setelah menggunakan system Syariah, Keadaan Bank semakin membaik dan semakin berkah.

16. Bagaimana efektivitas penerapan wajib Bank Syariah Ini? Jawab : Penerapan wajib Bank Syariah di Provinsi Aceh sangat efektif dan relevan dengan budaya serta aturan Qanun yang telah diterapkan

Pedoman Wawancara Penelitian

Manfaat dan Problem Bank Aceh Syariah tanggal 8 September 2021

Mohon kesediaannya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

A. Data Diri

1. Nama : Azhari / HP.085220119327

2. Pekerjaan : PNS/ESDM

3. Pendidikan Terakhir : S-1 ITB

4. Tempat tinggal : Lampineng - Banda Aceh.

1. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: ini merupakan hal yang bagus, mendukung Prinsip syariah

2. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Pemerintah, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Pemerintah , wajib menjadi contoh dalam penerapan Syariah dan

penegakannya.

3. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Perorangan, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Efektif untuk semua kalangan

4. Penerapan Syariat Islam akan membawa kebaikan, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Dengan adanya syariat islam akan membawa kebaikan bagi semua.

5. Penerapan Syariat Islam harus dalam segala bidang, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaaban: Syariat Islam di segala bidang , dalam NKRI.

6. Penerapan Syariat Islam tidak boleh setengah-setengah, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Secara penuh dan menyeluruh.

7. Penerapan Syariat Islam cukup dalam bidang hukum saja, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Segala bidang merata, dan dirasakan manfaatnya. 8. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, Bagaimana

pendapat anda ? Jawaban: Penerpan Syariat akan membawa kebaikan Bagi masyarakat dan pemerintah.

9. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan meringankan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Syariat islam dalam perbankan akan membawa keringanan , membeli rumah daam pinkjam modal.

10. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan memudahkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: memudahkan dalam meningkatakan tarap kehidupan. 11. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan mensejahterakan, Bagaimana pendapat anda? Jawaban:ya, perbankan syariat dapat mensejahterakan dalam kehidupan sehari-hari.

12. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, akan memberikan tempat pada Keluaraga dan masyarakat. 13. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan menguntungkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya menguntungkan, dengan di bantu dengan adanya modal untuk beli rumah. 14. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh sudah sesuai syariat Islam ?

Jawaban: Sudah sesuai syariat Islam baik dalam teori dan praktek sehari-hari. 15. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh tidak menerapkan sistem bunga ?

Jawaban: tidak menerapkan bunga, namun sistemnya disesuai dengan akad masing-masing. 16. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menerapkan sistem bagi hasil ?

Jawaban: ya , sistem bagi hasil di terapkan , dalam setiap transaksi . 17. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman ?

Jawaban: margin diterapakan dengan mengambil uang jasa. 18. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan ?

Jawaban: tidak memberikan Bunga , pada jual beli memberikan margin. 19. Apakah Anda memiliki rekening di Bank Syariah? Jika Ya, Tuliskan nama Bank tersebut: Jawaban: Bank Aceh Syariah , BSI

20. Apakah Anda memiliki hutang di Bank Syariah, pakai akad apa ? Jawaban: dengan akad Murabahah (Jual beli)

21. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau Kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Dengan diberikan pinjaman untuk membeli rumah. 22. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keringanan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? Jawaban: Keringan dengan tidak menerapkan Bunga, hanya dengan margin lebih kecil. 23. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Secara Pribadi memberikan keuntungan,terpenuhinya kredit modal untuk membeli rumah 24. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Memberikan kemudahan dan fasilitas dalam berusaha 25. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, Perekonomian saya meningkat, berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Meningkatkan kemudahan, dalam membeli rumah , dengan di kasih pinjaman modal untuk membelinya, meningkatkann perekonomian.

-------------00000----------

Pedoman Wawancara Penelitian

Manfaat dan Problem Bank Aceh Syariah tanggal 8 September 2021

Mohon kesediaannya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

A. Data Diri

1. Nama : Ferdi Ferbian (Usia 41)/ HP. 08126993154

2. Pekerjaan : wiraswata (Kontraktor)

3. Pendidikan Terakhir : Sarjana Teknik Sipil Unsyiah

4. Tempat tinggal :Lamtemen Timur- Banda Aceh.

1. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Setuju dengan prinsip Syariah

2. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Pemerintah, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Harus , dalam bingkai NKRI

3. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Perorangan, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: setuju dengan syariat islam bagi perorangan, karena dengan kesadaran dan

pemahan syariah akan tercapai Kemaslahatan.

4. Penerapan Syariat Islam akan membawa kebaikan, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Dengan adanya syariat islam jelas akan membawa kebaikan.

Akan nihil pelanggaran hukum.

5. Penerapan Syariat Islam harus dalam segala bidang, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaaban: Syariat Islam akan lebih baik di segala bidang , tentunya dengan pengetahun

yang cerdas.

6. Penerapan Syariat Islam tidak boleh setengah-setengah, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Jelas bahwa syariat Islam harus dilaksanakan secara kafah, dan tidak

memandang sebelah mata, dengan itikad yang baik dan di niatkan untuk ibadah hanya semata ridho kepada Allah SWT.

7. Penerapan Syariat Islam cukup dalam bidang hukum saja, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Syariat islam diterapkan di segala bidang 8. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, Bagaimana

pendapat anda ? Jawaban: Penerpan Syariat akan mendatangkan maslahat , manfaat yang berguna dalam ekonomi umat.

9. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan meringankan, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Syariat islam dalam perbankan akan membawa keringanan , dan memudahan dalam mencari rizqi dan pendapatan

10. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan memudahkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Ya Ada memudahkan, sesuai peraturan pemerintah daerah. 11. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan mensejahterakan, Bagaimana pendapat anda? Jawaban:ya, perbankan syariat dapat mensejahterakan 12. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, akan memberikan tempat pada masyarakat. 13. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan menguntungkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya menguntungkan, dengan di bantu dengan adanya modal kerja. 14. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh sudah sesuai syariat Islam ?

Jawaban: Sudah sesuai syariat Islam baik dalam teori dan praktek sehari-hari. 15. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh tidak menerapkan sistem bunga ?

Jawaban: tidak menerapkan bunga, namun sistemnya disesuai dengan akad masing-masing. 16. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menerapkan sistem bagi hasil ?

Jawaban: ya , sistem bagi hasil di terapkan , dalam setiap transaksi .

17. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman ?

Jawaban: margin diterapakan dengan mengambil uang jasa.

18. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan ?

Jawaban: tidak memberikan Bunga , pada simpanan memberikan bagi hasil. 19. Apakah Anda memiliki rekening di Bank Syariah? Jika Ya, Tuliskan nama Bank tersebut: Jawaban: Bank Aceh Syariah

20. Apakah Anda memiliki hutang di Bank Syariah, pakai akad apa ? Jawaban: dengan akad Musyaraqah Mutanaqisah, Mudharabah

21. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau Kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban:Dengan dibeikan jaminan , finansial teller (kafalah) 22. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keringanan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? Jawaban: Keringan dari APBA dan jumlah APBK

23. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Secara Pribadi memberikan keuntungan, terganggunya kredit modal kerja

24. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Memberikan kemudahan dan fasilitas dalam berusaha 25. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, Perekonomian saya meningkat, berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Meningkatkan kemudahan, kerjaan urusan tanah , meningkat menjadi CV dan PT

-------------00000----------

Pedoman Wawancara Penelitian

Manfaat dan Problem Bank Aceh Syariah tanggal 8 September 2021

Mohon kesediaannya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

A. Data Diri

1. Nama : Hafidzah / HP.083562068055

2. Pekerjaan : PNS

3. Pendidikan Terakhir : D4 Bidan

4. Tempat tinggal : Ulee Kareng - Banda Aceh.

1. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Lebih Bagus dengan prinsip Syariah

2. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Pemerintah, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Pemerintah , sekaligus Masyarakat berperan juga.

3. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Perorangan, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Menerima , sesuai dengan agama

4. Penerapan Syariat Islam akan membawa kebaikan, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaban: Dengan adanya syariat islam akan membawa kebaikan bagi semua komponen

masyarakat bangsa dan negara .

5. Penerapan Syariat Islam harus dalam segala bidang, Bagaimana pendapat anda ?

Jawaaban: Syariat Islam akan lebih baik di segala bidang , secara menyeluruh.

6. Penerapan Syariat Islam tidak boleh setengah-setengah, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: harus dijalankan sepenuhnya akan lebih bagus.

7. Penerapan Syariat Islam cukup dalam bidang hukum saja, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Segala bidang merata, lebih bagus. 8. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, Bagaimana

pendapat anda ? Jawaban: Penerpan Syariat akan membawa kebaikan Bagi masyarakat dan pemerintah.

9. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan meringankan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: Syariat islam dalam perbankan akan membawa keringanan , dalam bekerja.

10. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan memudahkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: memudahkan dalam meningkatakan tarap kehidupan. 11. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan mensejahterakan, Bagaimana pendapat anda? Jawaban:ya, perbankan syariat dapat mensejahterakan dalam kehidupan sehari-hari.

12. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, akan memberikan tempat pada Keluaraga dan masyarakat. 13. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan menguntungkan, Bagaimana pendapat anda ? Jawaban: ya menguntungkan, dengan di bantu dengan adanya modal untuk beli rumah. 14. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh sudah sesuai syariat Islam ?

Jawaban: Sudah sesuai syariat Islam baik dalam teori dan praktek sehari-hari. 15. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh tidak menerapkan sistem bunga ?

Jawaban: tidak menerapkan bunga, namun sistemnya disesuai dengan akad masing-masing. 16. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menerapkan sistem bagi hasil ?

Jawaban: ya , sistem bagi hasil di terapkan , dalam setiap transaksi .

17. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman ?

Jawaban: margin diterapakan dengan mengambil uang jasa.

18. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan ?

Jawaban: tidak memberikan Bunga , pada simpanan memberikan bagi hasil. 19. Apakah Anda memiliki rekening di Bank Syariah? Jika Ya, Tuliskan nama Bank tersebut: Jawaban: Bank Aceh Syariah

20. Apakah Anda memiliki hutang di Bank Syariah, pakai akad apa ? Jawaban: dengan akad Murabahah (Jual beli)

21. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau Kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Dengan diberikan pinjaman untuk membeli rumah. 22. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keringanan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? Jawaban: Keringan dengan tidak menerapkan Bungan, hanya dengan margin 23. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Secara Pribadi memberikan keuntungan,terpenuhinya kredit modal kerja 24. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Memberikan kemudahan dan fasilitas dalam berusaha 25. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, Perekonomian saya meningkat, berikan contohnya atau kalau tidak apa sebabnya ? Jawaban: Meningkatkan kemudahan, dalam membeli rumah , dengan di kasih pinjaman modal untuk membelinya

-------------00000----------

Pedoman Wawancara Penelitian

Manfaat dan Problem Bank Syariah di Aceh

Mohon kesediaannya untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

A. Data Diri

1. Nama : …………………………………………………………………………………..

2. Pekerjaan : …………………………………………………………………………………..

3. Pendidikan Terakhir : …………………………………………………………………………………..

4. Tempat tinggal : …………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………..

………………………………………………………………………………….. 1. Penerapan Syariat Islam merupakan hal yang wajib, Bagaimana pendapat anda ? 2. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Pemerintah, Bagaimana pendapat anda ?

3. Penerapan Syariat Islam wajib bagi Perorangan, Bagaimana pendapat anda ?

4. Penerapan Syariat Islam akan membawa kebaikan, Bagaimana pendapat anda ?

5.Penerapan Syariat Islam harus dalam segala bidang, Bagaimana pendapat anda ?

6. Penerapan Syariat Islam tidak boleh setengah-setengah, Bagaimana pendapat anda ? 7. Penerapan Syariat Islam cukup dalam bidang hukum saja, Bagaimana pendapat anda ?

8.Penerapan Syariat Islam dalam perbankan akan mendatangkan maslahat, Bagaimana pendapat anda ?

9. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan meringankan, Bagaimana pendapat anda ? 10. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan memudahkan, Bagaimana pendapat anda ? 11. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan mensejahterakan, Bagaimana pendapat anda ? 12. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan membahagiakan, Bagaimana pendapat anda ? 13. Penerapan Syariat Islam dalam perbankan menguntungkan, Bagaimana pendapat anda ? 14. Apakah Penrapan Bank Syariah di Aceh sudah sesuai syariat Islam ?

15. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh tidak menerapkan sistem bunga ?

16. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menerapkan sistem bagi hasil ?

17. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh menetapkan margin dalam pinjaman ?

18. Apakah Penerapan Bank Syariah di Aceh memberikan bunga pada simpanan ?

19. Apakah Anda memiliki rekening di Bank Syariah? Jika Ya, Tuliskan nama Bank tersebut: 20. Apakah Anda memiliki hutang di Bank Syariah, pakai akad apa ? 21. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, mendapatkan kemudahan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? 22. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keringanan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? 23. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? 24. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, saya mendapatkan keuntungan, berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ? 25. Dengan pemberlakuan Bank Syariah, Perekonomian saya meningkat, berikan contohnya atau kalua tidak apa sebabnya ?

-------------00000----------