BAB II SELEBGRAM SEBAGAI WAJIB PAJAK A. Jenis-Jenis ...

31
BAB II SELEBGRAM SEBAGAI WAJIB PAJAK A. Jenis-Jenis Pungutan Pajak Segala kepentingan masyarakat tidak dapat dipenuhi tanpa pajak. Pajak dan masyarakat diibaratkan sebagai dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keputusan negara memungut pajak melalui undang-undang merupakan bagian dari cara mengontrol perilaku individual guna kepentingan bersama (kolektif). 1 Salah satu elemen yang sangat signifikan sebagai bagian dari upaya memungut pajak ialah jenis atau klasifikasi pajak yang berlaku. Di Indonesia ada beberapa jenis pajak yang berlaku saat ini antara lain: 1. Berdasarkan cara pemungutannya: Pembagian menurut administrasi yuridis terdiri atas pajak langsung dan pajak tidak langsung, di mana kedua jenis tersebut dibagi lagi kedalam dua segi lain, yaitu dari segi yuridis dan segi ekonomis. a) Dari segi yuridis jenis pajak dapat dikelompokkan dalam: 1). Pajak Langsung, yaitu pajak yang dipungut secara berkala oleh kohir (daftar piutang pajak). Pajak ini dikenakan terhadap wajib pajak yang sudah ditentukan lebih dahulu. Contoh: pajak tidak langsung adalah Pajak Penghasilan serta Pajak Bumi dan Bangunan. 1 Shidarta dkk, Aspek Hukum Ekonomi dan Bisnis, Prenadamedia Group, Jakarta, 2018, hal. 224.

Transcript of BAB II SELEBGRAM SEBAGAI WAJIB PAJAK A. Jenis-Jenis ...

BAB II

SELEBGRAM SEBAGAI WAJIB PAJAK

A. Jenis-Jenis Pungutan Pajak

Segala kepentingan masyarakat tidak dapat dipenuhi tanpa pajak. Pajak

dan masyarakat diibaratkan sebagai dua mata uang yang tidak dapat

dipisahkan. Keputusan negara memungut pajak melalui undang-undang

merupakan bagian dari cara mengontrol perilaku individual guna kepentingan

bersama (kolektif).1 Salah satu elemen yang sangat signifikan sebagai bagian

dari upaya memungut pajak ialah jenis atau klasifikasi pajak yang berlaku. Di

Indonesia ada beberapa jenis pajak yang berlaku saat ini antara lain:

1. Berdasarkan cara pemungutannya:

Pembagian menurut administrasi yuridis terdiri atas pajak langsung

dan pajak tidak langsung, di mana kedua jenis tersebut dibagi lagi

kedalam dua segi lain, yaitu dari segi yuridis dan segi ekonomis.

a) Dari segi yuridis jenis pajak dapat dikelompokkan dalam:

1). Pajak Langsung, yaitu pajak yang dipungut secara berkala

oleh kohir (daftar piutang pajak). Pajak ini dikenakan

terhadap wajib pajak yang sudah ditentukan lebih dahulu.

Contoh: pajak tidak langsung adalah Pajak Penghasilan serta

Pajak Bumi dan Bangunan.

1 Shidarta dkk, Aspek Hukum Ekonomi dan Bisnis, Prenadamedia Group, Jakarta, 2018,

hal. 224.

21

2). Pajak Tidak Langsung, dipungut karena ada peristiwa atau

perbuatan, jadi bukan secara berkala seperti halnya pajak

langsung. Di samping itu pemikul beban pajak juga belum

diketahui terlebih dahulu tidak seperti pada pajak langsung.

Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bea Materai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah.2

b). Dari segi ekonomis: dikatakan sebagai pajak langsung apabila

beban pajak tidak dapat dilimpahkan pada pihak lain, contohnya

Pajak Penghasilan. Sedangkan pajak tidak langsung merupakan

jenis beban pajak di mana pihak wajib pajak dapat mengalihkan

beban pajaknya kepada orang lain. Contohnya: Pajak Pertambahan

Nilai.

2. Jenis Pajak Berdasarkan Sifat

a).Pajak Subjektif : Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan

keadaan pribadi Wajib Pajak/keadaan subjeknya. Contohnya: Pajak

Penghasilan.

b).Pajak Objektif : Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan

objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa,

tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak)

maupun tempat tinggal. Contohnya yaitu Pajak Pertambahan Nilai,

2 Soemarso S.R, op.cit., hal. 16.

22

Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Bumi dan

Bangunan.3

3. Pembagian berdasarkan lembaga pemungutannya (kewenangan

memungut) yang terdiri dari :

a). Pajak Pusat atau Pajak Negara: Adalah pajak yang wewenang

pemungutnya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaanya

dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal

Pajak. Pajak Pusat yang berlaku saat ini adalah :

1) Pajak Penghasilan, yang diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983;

2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang

Mewah yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 42 Tahun 2009 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1983;

3) Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan dan

Pertambangan, yang diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal

Pajak Nomor PER-02/PJ/2015 Tentang Tata Cara Penerbitan

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi Dan

Bangunan Untuk Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan,

Sektor Pertambangan Dan Sektor Lainnya, untuk Pajak Bumi

3 Triska Rahayu dkk, “Tinjauan Atas Pelaksanaan Pemungutan, Penyetoran, Dan

Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) Pada Pt. Mainest Gaya Kreatif”, JURNAL Ekonomi &

Bisnis Terapan, No. 1, Februari 2019, hal. 2.

23

dan Bangunan secara umum diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 ; dan

4) Bea Materai yang diatur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2020.

b). Pajak Daerah : Adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada

pada pemerintah daerah yang pelaksanaanya dilaksanakan oleh

Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Daerah diatur dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

dan Retribusi Daerah, terdiri dari lima (5) jenis Pajak Daerah

Provinsi dan sebelas (11) Pajak Daerah Kabupaten atau Kota.

1) Pajak Daerah Provinsi meliputi : (Pajak Kendaraan Bermotor;

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar

Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok);

serta

2). Pajak Daerah Kabupaten atau Kota, meliputi (Pajak Hotel;

Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak

Penerangan Jalan; Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet;

Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dan Pajak

Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan).4

Pengelompokan jenis pajak merupakan bagian utama supaya setiap

wajib pajak dapat lebih dahulu memahami kualifikasi seperti apa pajak yang

4 Direktorat Jenderal Pajak Lebih Dekat Dengan Pajak, Jakarta 2013, hal. 4-6.

24

harus disematkan yang pada akhirnya berdampak bagi tingkat kesadaran

antara hak maupun kewajiban dari masyarakat ataupun pemerintah (fiskus).

B. Sistem Pemungutan Pajak Di Indonesia

Menurut Purwono “Pemungutan pajak diperlukan penetapan tentang

sistem, cara, asas, dan syarat pemungutan pajak yang disepakati bersama antar

rakyat selaku pemegang pajak melalui perwakilannya diparlemen dan

pemerintah selaku pemungut pajak (fiskus)”5. Guna menjawab asumsi

Purwono, Alex Radian menyatakan “Reformasi perpajakan pada dasarnya

merupakan perbaikan (improvement) menuju keadaan perpajakan yang lebih

baik.” Reformasi menuntut perubahan menuju paradigma baru yang dianggap

ideal, karena adanya perubahan kehidupan disegala bidang termasuk politik,

ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, reformasi perpajakan sebagai bagian dari

kebijakan publik sebetulnya paling kurang meliputi dua aspek: (1) formulasi

kebijakan dalam bentuk peraturan, dan (2) pelaksanaan dari peraturan itu

sendiri.6

Pada awalnya sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem

government/ official assessment, yaitu setiap tahun pemerintah (dalam hal ini

DJP) akan menerbitkan pajak terhadap wajib pajak. Dengan demikian, wajib

pajak baru terutang pajak setelah ditetapkan pajaknya. Keadaan tersebut

menjadi sangat tidak efektif mengingat jumlah wajib pajak yang semakin

bertambah sementara aparat pajak jumlahnya terbatas. Permasalahan ini

5 Henry Purwono, Dasar-dasar Perpajakan & Akuntansi Pajak. Erlangga, Jakarta, 2009,

hal. 15. 6 Liberti Pandiangan, Moderenisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan, PT. Elex

Media Komputindo, Jakarta, 2008, hal. XV.

25

mengakibatkan banyak keluhan wajib pajak yang menunggu besarnya

ketetapan pajak terutang pada tahun pajak terdahulu karena perlu ditetapkan.

Kemudian pada tahun 1983 Pemerintah bersama dengan Dewan

Perwakilan Rakyat melakukan reformasi undang-undang perpajakan dengan

mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan lima (5) paket

undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih muda dipelajari dan

dipraktikan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam masalah pemungutan

pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan

yang semula official assessment diubah menjadi self assessment.7 Sejak tahun

1984 berdasarkan UU KUP yang telah berlaku maka, sistem perpajakan telah

berganti menjadi self assessment, yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan

penuh untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar pajak terutang

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sistem

dan mekanisme self assessment system pada gilirannya akan menjadi ciri dan

corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa pungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian

kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan

bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan

untuk pembiayaan negara dan pembagunan nasional;

2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai

pencerminan kewajiban dibidang perpajakan berada pada anggota

masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat

7 Imron Rizki A, “Self Assesment Sistem Sebagai Dasar Pungutan Pajak Di Indonesia

(Analisa Hukum Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan)”, Jurnal Al-‘Adl, No.2,

Juli 2018, hal. 80.

26

perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan

pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan

kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan ketentuan yang

digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan; dan

3. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan dapat

melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung,

memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terutang (self

assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi

perpajakan diharapakan dapat dilaksanakan dengan rapih, terkendali,

sederhana dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.8

Dasar reformasi pajak yang ditandai dengan berlakunya self assessment

system dinilai sebagai salah satu langkah yang strategis. Langkah ini kemudian

dituangkan dalam amanat UU KUP pasal 12 yang menyatakan bahwa:

1. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak

menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

2. Jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan (SPT) yang

disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang

terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar,

Direktur Jendral Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.

Walaupun berlakunya prinsip self assessment system sebagai wujud

peran pengendalian dari wajib pajak tetapi tidak menutup kemungkinan DJP

memiliki kewenangan yang secara subtantsial untuk melakukan tindakan

pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak apabila diketahui wajib pajak tidak

8 Chairul Lutfi, op.cit., hal. 4-6.

27

benar dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Objek ketidak-benaran

perpajakan tentunya didapatkan berdasarkan data yang diperoleh DJP. Peran

DJP kemudian terdapat dalam pasal 35A UU KUP yang pada penjelasannya

menyatakan, dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban

perpajakan sebagai konsekuensi penerapan system self assessment, data dan

informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi

pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh DJP.

Lebih lanjut pokok kewenagan DJP terhadap pengelolaan data dan informasi

dari wajib pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan

Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan. Starategi data dan informasi

wajib pajak yang menjadi tanggung jawab DJP diharapkan mampu

memberikan perlindungan dan kerahasiaan guna menciptakan iklim

perpajakan yang berintegritas.

Komposisi sistem pemungutan pajak yang berlaku, tidak lepas dari sistem

pendahulunya oleh karenanya di Indonesia sendiri secara umum pernah

berlaku sistem pemungutan pajak berupa :

1. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang

memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan

besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak;

2. Self Assessment System adalah wajib pajak diberi kepercayaan untuk

menghitung, melaporkan, dan membayar sendiri berapa pajak terutang

dalam satu tahun pajak; dan

3. With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada pihak ke 3 (tiga), (bukan fiskus dan bukan

28

wajib pajak yang bersangkutan). Untuk menentukan besarnya pajak

yang terutang oleh wajib pajak.

Setelah memahami sistem pemungutan pajak yang berlaku tentu, syarat

pemungutan pajak juga tidak kala penting pasalnya memiliki kaitan yang

sangat erat karena itu, menurut Mardiasmo syarat pemungutan pajak terdiri

dari:

1. Pemungutan pajak harus adil sesuai dengan tujuan yaitu mencapai

keadilan serta pelaksanaan pemungutan harus adil:

2. Pemungutan harus berdasarkan undang undang

3. Tidak menganggu perekonomian (syarat ekonomis);

4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial): dan

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana sehingga dapat

memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban

perpajakan.9

C. Subjek Pajak dan Objek Pajak

Pengertian subjek pajak menurut Erly Suandy adalah “Siapa yang

dikenakan pajak.”10

Bisa ditarik konstruksi pemaknaan dari Erly Suandy

bahwa subjek pajak bisa dimaknai secara lebih luas dan tidak memiliki

batasan tentang kategori subjek pajak itu sendiri. Oleh pemahaman demikian

tidak bisa dipungkiri masing-masing subjek pajak bergantung dari jenis pajak

yang dialamatkan. Jika pengertian subjek pajak dan objek pajak belum dapat

9 Angelia Maylinda Wahyu Anitasari, “Analisis Penerapan Self Assessment System Pajak

Hiburan Di Kota Blitar (Studi Pada Dinas Pendapatan Kota Blitar), No 1. 2016, hal. 3-4. 10

Institut Ilmu Sosial dan Manajemen Stiami, Implementasi Kebijakan PP No. 46 Tahun

2013 Dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cileungsi

Tahun 2014 Sampai 2016, Jakarta 2017, hal. 15.

29

diartikan secara umum, maka untuk mendapatkan pengetian dari subjek pajak

dan objek pajak mesti diarahkan sesuai dengan pengelompokan pajak yakni,

sebagai berikut:

1. Subjek Pajak dan Objek Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak

atas penghasilan yang diterima atau diperoleh subjek pajak,11

baik yang

berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai

untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang

bersangkutan sedangkan yang dimaksud dengan subjek pajak penghasilan

adalah segala sesuatu yang dinilai memiliki potensi penghasilan dan

menjadi sasaran dikenakan pajak. Pajak Penghasilan sendiri diatur secara

yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008

Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh)

Subjek Pajak Penghasilan berdasarkan hukum Indonesia terdapat

dalam UU PPh yang secara spesifik merujuk pada pasal (2) :

1. Yang menjadi subjek pajak adalah:

a. 1. orang pribadi;

2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

yang berhak;

b. badan; dan

c. bentuk usaha tetap.

1a. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan

perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

2. Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan

subjek pajak luar negeri.

3. Subjek pajak dalam negeri adalah:

11

Jumaiyah dan ADV Wahidullah, Pajak Penghasilan (Teori, Kasus dan Praktik), Lautan

Pustaka, Yogyakarta, 2020, hal. 29.

30

a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh

tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang

pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan

mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,

kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi

kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat

atau Pemerintah Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional

negara; dan

b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

yang berhak.

4. Subjek pajak luar negeri adalah:

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang

pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus

delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,

dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan

b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang

pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus

delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,

dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari

Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang

pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang

berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat

berupa:

(a) tempat kedudukan manajemen; (b) cabang perusahaan; (c) kantor

perwakilan; (d). gedung kantor; (e) pabrik; (f) bengkel; (g) gudang;

(h) ruang untuk promosi dan penjualan; (i) pertambangan dan

penggalian sumber alam; (j) wilayah kerja pertambangan minyak

dan gas bumi; (k) perikanan, peternakan, pertanian,

perkebunan,atau kehutanan; (l). proyek konstruksi, instalasi, atau

31

proyek perakitan; (m) pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh

pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam

puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;(n) orang atau

badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;

(o) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang

menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan

(p) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang

dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi

elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan

ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang

sebenarnya.

Selain penyematan subjek pajak penghasilan sebagaimana

diamanatkan pada UU PPh Pasal 2, ada pula subjek pajak yang tidak dapat

dikenakan pajak, ini dapat dilihat pada UU PPh pasal 3.

Uregensi objek pajak penghasilan juga berkaitan erat dengan subjek

pajak pengahasilan, sebab merupakan pokok yang tidak dapat dilepas

pisahkan. Dalam UU KUP pasal 4 ayat (1) secara khusus memuat objek

pajak penghasilan, yakni:

(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik

yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat

dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak

yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,

termasuk:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa

yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,

honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan

dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-

undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta

termasuk:

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,

persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau

penyertaan modal;

32

2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,

sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan,

dan badan lainnya;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,

pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau

reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan,

atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan

keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,

koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan

kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan

usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara

pihak-pihak yang bersangkutan; dan

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau

seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,

atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan

sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen

dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian

sisa hasil usaha koperasi;

h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan

jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;

m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n. premi asuransi;

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya

yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau

pekerjaan bebas;

p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak;

q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara

perpajakan; dan

s. surplus Bank Indonesia.

33

Untuk menentukan pemungutan pajak bagi objek pajak penghasilan,

UU PPh juga memberikan batasan-batasan pada objek pajak, terutama

yang bukan termasuk objek pajak atau lebih tepatnya dikecualikan. Objek

pajak ini tertera dalam ketentuan UU PPh Pasal 4 ayat (3). Sementara itu

untuk Pasal 4 ayat (2) merupakan objek pajak penghasilan yang bersifat

final.

2. Subjek Pajak dan Objek Pajak Pertambahan Nilai Dan Jasa dan Pajak

Penjualan Atas Barang Mewah

Pajak Pertambahan Nilai Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang

Mewah (selanjutnya disebut PPN dan PPnBM) merupakan jenis pajak

bersifat objektif dan pajak tidak langsung, karena itu PPN dan PPnBM

adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau

jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang

mendapat status Pengusaha Kena Pajak.12

PPN dan PPnBM sendiri diatur

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009

Tentang Pajak Pertambahan Nilai Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah (selanjutnya disebut UUPPN dan PPnBM).

Subjek Pajak PPN dan PPnBM dibedakan menjadi dua yakni

pengusaha kena pajak dan pengusaha non kena pajak, untuk pengusaha

kena pajak secara spesifik diatur dalam pasal 1 angka (15) UU PPN dan

PPnBM yang menyebutkan bahwa “Pengusaha Kena Pajak adalah

pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

12

Wikipedia. (2021, Maret 02). Pajak_pertambahan_nilai. Maret 08, 2021.

https://id.wikipedia.org/wiki/.

34

penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-

undang ini.”

Sedangkan pengusaha Non Kena Pajak sebagai subjek pajak ialah yang

melakukan kegiatan bukanlah berstatus Pengusaha Kena Pajak, dalam hal

ini:

1) Impor Bukan Kena Pajak;

2) Pemanfaatan Bukan Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah

pabean di dalam daerah pabean;

3) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam

daerah pabean; dan

4) Melakukan kegiatan membangun sendiri.

Ketetapan dua subjek pajak yang secara umum disebutkan, terdapat

pula secara khusus subjek pajak bagi pengusaha dengan golongan kecil

yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

197/PMK.03/2013 dengan menetapkan batasan pengusaha untuk dapat

dikategorikan sebagai pengusaha kecil.

Sebagai bagian vital dalam subjek pajak, objek pajak dari PPN

dirumuskan dalam pasal 4 ayat (1) dan pasal 16 (CD). Objek pajak

menurut pasal 4 ayat (1) adalah:

Pasal 4 ayat (1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang

dilakukan oleh Pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang

dilakukan oleh Pengusaha;

35

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah

Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam

Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena

Pajak; dan

h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

Sedangkan Untuk objek PPN berdasarkan pasal 16C ditujukan pada

kegiatan membangun sendiri kegiatan tersebut kemudian diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri. Sementara dalam

pasal 16 (D) menyebutkan bahwasanya:

“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena

Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk

diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan

aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

Kedudukan objek pajak bagi PPnBM tertuang juga dalam rumusan

pasal 5 ayat (1) dan (2) UU PPN dan PPnBM, dengan bunyi:

1. Disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah terhadap:

a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang

dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut

di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau

pekerjaannya; dan

b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.”

2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali

pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang

Kena Pajak yang tergolong mewah.”

36

Sama halnya dengan PPh, pada PPN dan PPnBM juga memiliki

batasan objek pajak yang dikecualikan, sebagaimana terdapat dalam pasal

4A UU PPN dan PPnBM .

3. Subjek Pajak dan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan

S- Aji Suryo menyatakan bahwa “Pajak Bumi dan Bangunan adalah,

pajak yang dikenakan atau dibebankan atas bumi dan bangunan.”13

Pajak

Bumi dan Bangunan (selanjutnya disebut PBB) diatur dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 kemudian (selanjutnya

disebut UU PBB). Subjek pajak PBB menurut pada pasal 4 ayat (1) UU

PBB, adalah:

“Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara

nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas

bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas

bangunan.”

Pengelompokan objek pajak PBB, juga secara umum diakomodir

dalam pasal Pasal 2 ayat (1) UU PBB, bahwa “Yang menjadi obyek pajak

adalah bumi dan/atau bangunan.” Sementara dalam ayat (2) menyebutkan

“Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur

oleh Menteri Keuangan.” Berdasarkan pasal 2 ayat (2), maka ketentuan

lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 186/PMK.03/2019 Tentang Klasifikasi Objek Pajak Dan Tata Cara

Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan. Tak bisa

dipungkuri tidak semua objek PBB mesti dikenai pajak, melainkan batasan

pengeculain ini diberikan berdasarkan pasal 3 ayat (1)

13

Elfina Okto Posmaida Damanik dan Eva Sriwiyant, “Perpajakan”, Insan Cendikiawan

Mandiri, Sumatera Barat, 2020, hal. 105.

37

4. Subjek Pajak dan Objek Pajak Bea Meterai

Bea Materi adalah Pajak yang dikenakan atas dokumen, merujuk

pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10

Tahun 2020 Tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UU Bea Materai).

Subjek Pajak Bea Meterai tercantum dalam pasal 19 ayat (1), bahwa:

“Pihak yang terutang yang tidak atau kurang membayar Bea Meterai

yang terutang, diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara

perpajakan.”

Sementara, objek pajak bea meteria, terdapat pasal 3 ayat (1) dan (2)

yang menyebutkan :

1. Bea Meterai dikenakan atas:

a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai

suatu kejadian yang bersifat perdata; dan

b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

2. Dokumen yang bersifat perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a, meliputi:

a. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat

lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;

b. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;

c. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;

d. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun; pe

e. dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi

kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

f. dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah

lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;

g. dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal

lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:

1. menyebutkan penerimaan uang; atau

2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya

telah dilunasi atau diperhitungkan; dan

h. dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sama seperti jenis pajak pada umumnya UU Bea Meterai secara

konkret memberikan pengecualian terhadap objek pajak bea meterai yang

38

tidak perlu dikenakan pemungutan pajak, sebagaimana diamanatkan dalam

pasal 7 UU Bea Meterai.

Pengenaan subjek pajak dan objek pajak terhadap setiap kategori

pajak bertujuan untuk meningkatkan pemahaman guna mendapatkan

kesadaran wajib pajak. Selain itu, terdapat upaya untuk mengoptimalkan

secara struktural kewenagaan dan kewajiban berdarakan jenis pemungutan

pajak yag ada dalam rangka menciptakan kesejahteraan umum.

D. Wajib Pajak Selebgram

Isilah selebgram merupakan akronim dari kata selebriti (disingkat seleb)

dan instagram (disingkat gram), untuk selebriti sendiri menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah orang yang terkenal atau masyur (biasanya tentang

artis), sementara instagram adalah aplikasi berbagi foto dan video yang

memungkinkan pengguna membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial,

termasuk milik Instagram sendiri. Sehingga, dapat dipahami bahwa selebgram

adalah mereka yang terkenal melalui media sosial.14

Tolak ukur seseorang

dikategorikan sebagai selebgram ialah memiliki banyak followers¸ memiliki

banyak like dan/atau comment pada konten yang diunggah, menerima

endorsement, dan tampil dikolom pencarian (explore).

Tentang ketenaran selebgram jika berdasarkan defenisi di atas maka

aktivitas Endorsment merupakan sasaran yang prinsipil terhadap selebgram.

Endorsement berasal dari kata endorse yang jika diterjemahkan secara sempit

adalah mendukung atau memberi saran terhadap sesuatu. Sonwalkar dkk

14

KBBI. selebriti. April 11, 2021. https://kbbi.web.id/selebriti.

39

menyebutkan bahwa “Endorsement adalah sebuah bentuk komunikasi dimana

seorang celebrity bertindak sebagai juru bicara dari sebuah produk atau merek

tertentu”15

untuk itu celebrity merupakan subjek dalam melakukan

endorsement yang dimaksud.

Profesi selebgram yang melakukan aktivitas endormenst memiliki

keistimewaan bagi pengusaha toko yang berbasis online sebab, keberhasilan

terhadap pemasaran produk atau jasanya dipandang sebagai faktor yang

mendasar selain itu, kemunculan aktivitas endorsement melalui selebgram

bukan hanya memberi dampak positif bagi pelaku usaha online melainkan

selebgram juga memperoleh keuntungan. Salah satu keuntungan seorang

selebgram dalam menjalankan jasanya untuk mempromosikan suatu produk

dari toko online adalah mendapatkan imbalan berupa uang.

Pada umumnya uang yang didapatkan oleh selebgram sebagai bagian

dari aktivitas endorsement secara langsung dapat dikatakan sebagai

penghasilan, pernyataan ini seperti yang dikemukan oleh McCaffery dalam

bukunya yang berjudul Income Tax Law: Exploring the Capital-Labor Divide

menyebutkan bahwa :

“Utamanya, suatu penghasilan berasal dari pekerjaan, modal, atau

kombinasi keduanya. Selain itu, penghasilan juga dapat diperoleh dari

kegiatan usaha atau dikenal dengan istilah business income. Namun, tidak

tertutup kemungkinan pula suatu penghasilan diperoleh selain dari pekerjaan,

15

Mia Rahmawati dan Suci Putri Lestari, “Pengaruh Penggunaan Selebgram (Celebrity

Endorser Instagram) Terhadap Minat Beli Konsumen Secara Online Pada Media Instagram”.

Jurnal Ekonomi Perjuangan, No. 2. Februari 2021, hal. 144.

40

modal, ataupun kegiatan usaha. Untuk penghasilan yang terakhir ini sering

disebut dengan istilah penghasilan lain-lain.”16

Memahami maksud penghasilan dari selebgram serta jika dihubungkan

dengan konsep perpajakan di Indonesia maka, jenis pajak yang diberikan bagi

selebgram ialah Pajak Penghasilan yang didasarkan pada objek pajak yakni

penghasilan itu sendiri. Sebagai lembaga pemungut pajak di pusat DJP

Kementerian Keuangan harus jeli terhadap fenomena selebgram, kejelian yang

dimaksud ialah dapat melakukan pemungutan pajak bagi selebgram, akan

tetapi sebelum dibebankan pajak bagi selebgram pemerintah pula mesti

memastikan entitas wajib pajak bagi selebgram walaupun secara keuntungan

merupakan golongan pajak penghasilan. Wajib Pajak sendiri seperti yang telah

diulas pada latar belakang yakni

“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,

pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban

perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.”

Definisi ini merujuk pada pasal 1 angka (2) UU KUP. Dari pengertian

wajib pajak dapat kita ketahui ada dua kelompok utama wajib pajak, yakni (1)

orang pribadi; dan (2) Badan. Selain itu, syarat subjektif dan objektif sebagai

wajib pajak secara tegas tertulis dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP dimana

dalam penjelasan pasal ini memberikan interprestasi bahwa, persyaratan

subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek

pajak dalam UU PPh 1984 dan perubahannya sedangkan, persyaratan objektif

adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh

16 Darussalam. (2020, Februari 17). apa-saja-yang-menjadi-objek-pajak-penghasilan-

18981. Maret 21, 2021. https://news.ddtc.co.id/.

41

penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan

sesuai dengan ketentuan UU PPh 1984 dan perubahannya. Tentu, UU PPh

penafsiran dari kedua syarat ini. Karena itu dalam pasal 2 dan pasal 4 UU PPh

masing-masing memberikan uraian sebagai turunan dari ketemtuan UU KUP

bagi subjek dan objek pajak penghasilan

Berdasarkan syarat subjektif dan objektif maka, status selebgram

berdasarkan syarat subjektif termasuk subjek pajak Orang Pribadi

berlandasakan pasal 2 ayat (1) huruf a UU PPh. Sebagai subjek pajak orng

pribadi bagi selebgram dapat ditentukan karena, selebgram ketika melakukan

aktivitas endorsement sebagai pekerja lepas atau indiviu yang bekerja

sehingga, tidak terikat pada perusahaan tertentu atau pihak lainnya, bersamaan

dengan subjek pajak orang pribadi selebgram pula yang oleh aktivitasnya

bertempat tinggal di Indonesia atau di luar Indonesia.

Pada dasarnya syarat objek pajak penghasilan sudah dideskripsikan pada

pasal 4 UU PPh yang pokok pemajakan atas penghasilan dalam pengertian

yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan

ekonomis yang diterima dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk

konsumsi atau menambah kekayaan, sehubungan dengan itu seorang

selebgram dalam menjalankan jasanya untuk mempromosikan suatu produk

dari toko online ini akan mendapatkan imbalan berupa uang, memang secara

eksplisit uang tidak dicantumkan pada objek pajak penghasilan tetapi, salah

satu objek dari penghasilan yakni upah berupa uang inilah yang dikatakan

sebagai penghasilan karena terjadi adanya penambahan kemampuan ekonomis

42

yang diperoleh selebgram, baik itu sumbernya dari Indonesia ataupun negara

lain, selain uang yang menjadi objek pajak penghasilan adapula hadiah yang

tak sedikit didapati oleh selebgram dalam melakukan aktivitas endorsment

sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat (1) huruf b yakni “Hadiah dari

undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.” Hadiah ini juga

merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per- 11/PJ/2015

Tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan, yang

dalam pada Pasal 1 angka (3) menyebutkan bahwa:

“Hadiah sehubungan dengan kegiatan adalah hadiah dengan nama dan

dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan kegiatan yang

dilakukan oleh penerima hadiah.”

Berkaitan dengan syarat subjektif dan objektif yang merupakan unsur

penting dari wajib pajak, serta mendudukan posisi selebgram dalam

perpajakan di Indonesia oleh karena itu, selebgram dirasa telah memenuhi

kedua persyaratan tersebut sehingga, dapat dikategorikan sebagai wajib pajak.

Secara mendasar penghasilan yang diperoleh dari selebgram lewat

aktivitas endorsement sama dengan penghasilan lainnya, akan tetapi yang

membedahkan hanyalah media yang dipergunakan untuk memperoleh

penghasilan. Kendati demikian penghasilan oleh selebgram tersebut bersifat

tidak tetap dan dilakukan lewat media daring, namun tetap dapat dikenakan

pajak penghasilan berdasarkan subjek maupun objek pajak penghasilan.

Sebelumnya pemerintah lewat otoritas DJP pernah memberi ruang sendiri agar

selebgram dipungut pajaknya. Seperti pada tahun 2015 DJP mengeluarkan

Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2015 tentang

43

Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Transaksi E-

Commerce yang membahas transaksi elektronik untuk menimbulkan

kewajiban PPh yang meliputi online marketplace, classified ads, daily deals

dan online retail. Akan tetapi ketentuan tersebut dirasa tidak berkenan bagi

selebgram yang wadanya ialah media sosial yang merupakan basis awal

terhadap aktivitas endorsement atau dengan kata lain aturan tersebut tidak

memberi ruang spesifik bagi media sosial sehingga pemungutan pajak tanpa

sadar tidak diatur dalam surat edaran tersebut sebagai rujukannya. Selain itu,

pada prinsipnya surat edaran tidak terlalu mengikat sama seperti ketentuan

peraturan yang lain sehingga, kewajiban terhadap selebgram untuk membayar

pajak masih tetap diabaikan .

Tahun 2018, kembali pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas

Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik peraturan ini mengatur tata

cara dan prosedur perpajakan sehingga diharapkan dapat memberikan

kemudahan administrasi yang dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan para

pelaku e-commerce namun, aturan tersebut kemudian dicabut dengan dalil

dilakukan koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif antar

kementerian/lembaga agar pengaturan tepat sasaran, adil, efisien serta tetap

mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi global.

Terhadap peraturan yang kemudian dinyatakan tidak berlaku bukan

berarti membuat selebgram tidak dikenai pajak penghasilan melainkan,

ketentuan pokok materiil yakni UU PPh justru memberi tempat yang luas

44

terhap pengenaan pajak bagi selebgram untuk dikatakan sebagai wajib pajak

penghasilan. Kedudukan selebgram sebagai wajib pajak berdasarkan syarat

yang ada, selanjutnya yang oleh kewajiban perpajakannya, selebgram dalam

melakukan aktivitas endorsement harusnya memenuhi unsur kewajiban wajib

pajak, setidaknya ada empat kewajiban wajib pajak yang mesti dicermati oleh

wajib pajak selebgram, yakni: (1) Kewajiban Wajib Pajak selebgram

mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau

disingkat NPWP; (2) Kewajiban Wajib Pajak selebgram melakukan

pembayaran, pemotongan/pemungutan; (3) Kewajiban Wajib Pajak selebgram

untuk memperoleh pengukuhan Penghasilan Kena Pajak; dan (4) Kewajiban

Wajib Pajak selebgram untuk memberikan informasi data dan dokumen yang

akurat. Berikut ini ulasan kewajiban terhadap wajib pajak selebgram, yakni:

1. Kewajiban Wajib Pajak selebgram mendaftarkan diri untuk mendapatkan

Nomor Pokok Wajib Pajak

Sebagai Wajib pajak orang pribadi selebgram diharuskan memiliki

Nomor Pokok Wajib Pajak (selanjutnya disebut NPWP) sebagaimana yang

ditetapkaan dalam pasal 1 angka (6) UU KUP. Tujuan dari NPWP adalah

sebagai tanda indentitas diri atau administrasi dalam melaksanakan hak

dan kewajiban wajib pajak. Akan tetapi, jika selebgram belum

mendaftrakan diri untuk mendapatkan NPWP maka, Peraturan Direktur

Jenderal Pajak Nomor PER- 01/ PJ/ 2019 Tentang Tata Cara Pemberian

Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam Rangka Ekstensifikasi, memberi arah

baru berupa pengawasan oleh DJP bagi wajib pajak termasuk selebgram

45

yang syarat subjektif dan objektif telah terpenuhi supaya tetap dikoordinir

untuk memiliki NPWP.

Legitimasi NPWP bagi selebgram bukan tanpa alasan, pasalnya

mekanisme self assessment system memberi kontribusi bagi selebgram

untuk memiliki NPWP, apalagi selebgram yang melakukan aktivitas lewat

digitalisasi telah diberikan kemudahan untuk mengurus NPWP berbasis

online lewat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-24/PJ/2009

tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Perubahan Data Wajib Pajak atau

Pengusaha Kena Pajak yang akurasi pengurusannya melalui sistem e-

Registration.

2. Kewajiban Wajib Pajak selebgram melakukan pembayaran,

pemotongan/pemungutan.

Sejak diberlakukannya prinsip self assessment system sebagai

langkah dari reformasi pajak maka, fungsi pajak regulerend merupakan

porsi pemungutan pajak bagi selebgram kepada pemerintah yakni DJP.

Dalam melakukan pembayaran pajak oleh selebgram terdapat dua

mekanisme yang sebetulnya diberlakukan bagi selebgram, mekanisme ini

dapat ditepakan dalam dua norma pasal yakni pembayaran pajak

berdasarkan pasal 21 dan 23 UU PPh.

Pada pasal 21 UU PPh diberlakukan bagi selebgram apabila seorang

selebgram dalam melakukan aktivitas endorsment berupa barang atau jasa,

kemudian selesai melakukan aktivitas tersebut, selebgram yang

46

bersangkutan mendapatkan upah atau imbalan berupa uang yang menjadi

sasaran objek pajak dari pihak pemberi jasa dan langsung memberikannya

kepada selebgram. Penghasilan yang didapatkan secara langsung oleh

selebgram itulah yang akan dikenakan pajak penghasilan, sehingga

selebgram berkewajiban melaporkan penghasilan pada Surat

Pemberitahuan Tahunan (selanjtnya disebut SPT) diakhir tahun,

sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-

02/ PJ/ 2019 Tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan dana

Pengelolaan Surat Pemberitahuan. Berkenan dengan pasal 21 yang

diberlakukan, maka golongan pajak bagi selebgram ialah pajak tidak final,

yang memiliki pengertian pajak yang tidak secara langsung dikenakan saat

menerima penghasilan tertentu, melainkan diakumulasikan penghasilannya

selama 1 (satu) tahun. Walaupun, kegiatan endorsement bukanlah

pekerjaan yang memberikan penghasilan yang tetap sebab penghasilan

selebgram hanya didapatkan saat pihak yang ingin mempromosikan jasa

atau barangnya mempergunakan selebgram sehingga berdampak bagi

ketidakpastian penghasilan. Meski demikian, penghasilan tersebut menjadi

Objek PPh Pasal 21 yang merupakan penghasilan tidak teratur yang

sifatnya tidak tetap.

Sementara penerapan pasal 23 UU PPh sangat berpengaruh juga bagi

selebgram ketika melakukan aktivitas endorsement dimana, pasal 23

47

menerpakan sistem Withholding Tax.17

Sistem ini mengutamakan

kewajiaban pembayaran pajak oleh pihak ketiga, hubungannya dengan

selebgram adalah dalam melakukan aktivitas endorsement dipastikan

selebgram memilki management yang fungsinya sebagai penegah atau

perantara terhadap aktivitas selebgram, oleh karena itu ketika pemberi jasa

membayar kepada pihak selebgram, maka managemet itulah yang akan

menerima pembayaran. Tanpa disadari beban kewajiban perpajakan

terletak pada pihak ketiga dari selebgram yaitu manageme. Terhadap pasal

penghasilan ini dikenakan norma pajak bersifat final merujuk pada

ketentuan pasal 23. Pajak bersifat final adalah pajak penghasilan yang

langsung dikenakan saat menerima objek atau sumber penghasilan.

3. Kewajiban Wajib Pajak selebgram untuk memperoleh pengukuhan

Penghasilan Kena Pajak

Pengukuhan selebgram sebagai wajib pajak berdasarkan ketentuan

UU PPh serta memposisikan rumusan pengenaan pajak bagi selebgram

merupakan tahapan yang substansial, akan tetapi salah satu kunci lainnya

ialah bahwa tidak semua selebgram yang oleh aktivitas endorsment

langsung dikenakan norma PPh, sebaliknya menurut pajak penghasilan

ada beberapa dasar pengenaan pajak termasuk selebgram dari segi

penghasilan, artinya pengahsilan yang didapti oleh selebgram mesti

melampaui Penghasilan Tidak Kena Pajak atau (selanjutnya disebut

PTKP) yang dicantumkan dalam pasal 7 ayat (1) UU PPh. Seyogyanya,

17

Dian Arianti. (2015). pph-final-dan-pph-tidak-final.html>. Maret, 21, 2021.

<http://ichakanya.blogspot.com/2015/09/.

48

tarif pajak penghasilan yang dikenakan pada selebgram bergantung pada

penghasilan yang diperoleh selama satu (1) tahun pajak. Adapun tarif

pajak penghasilan menurut ketentuan UU PPh terfokuskan dalam pasal 17

ayat (1) bagi orang pribadi dalam negeri untuk Pengahasilan Kena Pajak

atau (selanjutnya disebut PKP), ialah: (1) 5 % bagi PKP Rp50.000.000,00;

(2) 15% bagi PKP di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan

Rp250.000.000,00; (3) 25% bagi PKP di atas Rp 250.000.000,00 sampai

dengan Rp500.000.000,00; dan (4) 30 % bagi PKP diatas

Rp500.000.000,00.

Sebagai turunan dari ketentuan UU PPh tentang PKP, Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak

Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh

Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yang mana

menurut Pasal 2 Peraturan ini, wajib pajak dalam negeri yang memiliki

peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final

dalam jangka waktu tertentu. Wajib pajak yang dimaksud ialah orang

pribadi dan badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau

perseroaan terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan

peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat puluh

delapan miliar) dalam satu tahun pajak. Peredaraan bruto berdasarkan

pasal 3 ayat (1) tentang tarif penghasilan bersifat final dalam peraturan ini

kemudian diatur lebih lanjut oleh Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Nomor Per- 17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

49

Pengaruh PTKP pada hakikatnya memberikan manfaat bagi

pengenaan PPh, artinya selebgram dalam melaksanakan aktivitas

endorsement melalui wadah instagram kemudian memperoleh pendapatan

atau pengahsilan akan tetapi, ternyata pengahasilan yang diterima oleh

selebgram masih dibawah PTKP yang semestinya maka, secara langsung

tidak dapat dikenakan pajak PPh, sebaliknya jika PTKP telah memenuhi

sebagaimana diatur dalalm peraturan materiil, secara langsung kewajiban

akan dikenakan pemungutan pajak PPh.

4. Kewajiban Wajib Pajak selebgram untuk memberikan informasi data dan

dokumen yang akurat

Arah dan tujuan dari prinsip self assessment system dengan segala

hak dan kewajiban yang dimiliki oleh wajib pajak guna membayar pajak,

sebetulnya sudah sangat tertata. Akan tetapi, guna memberikan kepastian

terhadap perkembangan selebgram dalam membayar pajak sudah

sepatutnya pemerintah melakui regulasi memberikan kewajiban bagi

selebgram untuk memberikan informasi dan data yang kredibel dan akurat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2012 Tentang

Pemberian Dan Penghimpunan Data Dan Informasi Yang Berkaitan

Dengan Perpajakan adalah konstruksi yang sangat strategis guna

memberikan kewajiban bagi wajib pajak selebgram untuk setiap

perkembangan penghasilan dan pendapatan mesti diokupansi dengan data

sehingga pergerakan kewajiban pajak oleh selebgram dapat terus digenjot

sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang ada.

50

Secara keseluruhan, DJP sejatinya membutuhkan data dan informasi

terkait kegiatan yang dilakukan oleh selebgram. Hal ini penting karena

dengan sistem self-assessment, hanya datalah yang dapat memvalidasi

penghitungan dan pelaporan pajak oleh wajib pajak selebgram. Apabila

data transaksi pembayaran dengan jumlah tertentu dapat dihimpun oleh

DJP, maka akan semakin banyak selebgram yang dapat patuh dengan

kewajiban perpajakannya. Namun, dalam pelaksanaannya, diperlukan

banyak komunikasi ke berbagai pihak yang terlibat juga harus melihat

kondisi perkembangan dari kegiatan ekonomi selebgram yang terkini.