MENGUJI HAKIM PENGADILAN PAJAK

29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara historis negara hukum pada awalnya merupakan negara dengan tugas pokok pemerintah hanya berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat belaka (nachtwaker-staat). Oleh karena peran negara tersbut dianggap tidak adil, maka konsep negara hukum kemudian mengalami pergeseran menjadi negara kesejahteraan (welfarestaat). Dengan konsep negara kesejahteraan pemerintah diberikan kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Untuk melaksanakan konsep ini kepada pemerintah diberikan kewenangan untuk ikut campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat. Untuk menjaga agar kewenangan pemerintah yang semakin besar tersebut tidak menimbulkan kesewenang- wenangan dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. FJ. Stahl mengusulkan agar suatu negara hukum selain adanya perlindungan terhadap HAM, Pemisahaan kekuasaan dan pemerintah berdasarkan peraturan- peraturan hukum. Dia juga mengusulkan agar dibentuk peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara). Dengan adanya peradilan TUN setiap keputusan maupun tindakan pemerintah akan terawasi

Transcript of MENGUJI HAKIM PENGADILAN PAJAK

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara historis negara hukum pada awalnya

merupakan negara dengan tugas pokok pemerintah hanya

berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat

belaka (nachtwaker-staat). Oleh karena peran negara

tersbut dianggap tidak adil, maka konsep negara

hukum kemudian mengalami pergeseran menjadi negara

kesejahteraan (welfarestaat). Dengan konsep negara

kesejahteraan pemerintah diberikan kewajiban untuk

mewujudkan kesejahteraan umum. Untuk melaksanakan

konsep ini kepada pemerintah diberikan kewenangan

untuk ikut campur tangan dalam segala lapangan

kehidupan masyarakat.

Untuk menjaga agar kewenangan pemerintah yang

semakin besar tersebut tidak menimbulkan kesewenang-

wenangan dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat.

FJ. Stahl mengusulkan agar suatu negara hukum selain

adanya perlindungan terhadap HAM, Pemisahaan

kekuasaan dan pemerintah berdasarkan peraturan-

peraturan hukum. Dia juga mengusulkan agar dibentuk

peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha

Negara). Dengan adanya peradilan TUN setiap

keputusan maupun tindakan pemerintah akan terawasi

2

oleh adanya peradilan TUN, sehingga dapat mencegah

kesewenang-wenangan pemerintah dalam menjalankan

tugasnya.

Sebagai konsekwensi dari dianutnya prinsip

negara hukum yang ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 1

ayat (3) amandemen ke tiga bahwa “negara Indonesia

adalah negara hukum,”1 hal itu berarti prinsip-

prinsip negara hukum harus menjadi bagian terpenting

wajib mendapatkan posisi yang kuat dalam

penerapannya. Salah satu bagian terpenting dalam

ciri negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman

yang merdeka dan mandiri dalam memainkan perannya di

bidang penegakan hukum dan keadilan. Penekanan

terhadap adanya lembaga yudikatif yang merdeka dan

mendiri menjadi suatu ukuran terhadap pelaksaan

prinsip negara hukum. Suatu negara hukum baru dapat

dikatakan sebagai negara hukum apabila negara

tersebut memberikan jaminan terhadap setiap

kekuasaan yudisial yang merdeka dan mandiri dari

campur tangan kekuasaan–kekuasaan ekstra yudisial.

Dengan lahirnya UU Nomor 4 Tahun 2004

Tentang Kehakiman menjadikan suatu babak awal

perjalanan kehakiman di Indonesia menuju peradilan

yang bebas dan tidak memihak yang hanya berwenang

untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan di

1 Disahkan 10 November 2001.

3

masyarakat. Serta seluruh peradilan Indonesia

berada dalam satu komando MA sebagai peradilan

tertinggi negara yang memberikan pengawasan

keorganisasian dan financial terhadap peradilan-

peradilan yang berada dibawanya.

Sesuai dengan amanat UU kehakiman tahun 2004

yang telah dirubah dengan UU Nomor 48 Tahun 2009,

Indonesia hanya ada empat yang telah dirubah dengan

(empat) pengadilan yang berada di bawa kekuasaan

MA, yaitu peradilan umum, peradilan agama,

peradilan militer, dan peradilan TUN. Terhadap

peradilan-peradilan khusus, berada pada keempat

lingkungan peradilan diatas, sehingga tidak ada

pengadilan khusus yang keluar dari ketentuan

tersebut.

Pengadilan pajak merupakan salah satu unsur

pengadilan yang diberikan kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang

perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak

dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan

Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak

berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan

penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak

dengan Surat Paksa.

4

Namun keberadaan pengadilan pajak menjadi

perdebatan setelah muncul beberapa kasus tindak

pidana perpajakan yang hampir mereka-mereka yang

didakwa selalu diputus bebas. Persolan tersebut

muncul karena pengadilan pajak sendiri tidak sejalan

dengan UU Kehakiman tahun 2004 yang diubah oleh

undang-undang nomor 48 Tahun 2009 yang hanya

mengakui pengadilan umum, agama, militer dan PTUN

dan prinsip negara hukum yang salah satunya

menempatkan lembaga kehakiman sebagai lembaga yang

independen dan tanpa campur tangan dari kekutan mana

pun selain kekuasaan kehakiman itu sendiri.Kondisi

yang bertolak belakang dengan ketentuan diatas

kemudian muncul dengan diberlakukannya Undang-undang

Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Pada

Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang

Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Pengadilan Pajak

adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan

kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak

yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.” Dari

ketentuan ini jelas terlihat bahwa pengadilan pajak

bukan merupakan pengadilan khusus yang berada dalam

lingkungan 4 (empat) pengadilan diatas sebagaimana

yang diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 27 ayat

(1) yang mengatur bahwa “pengadilan khusus hanya

5

dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan

yang berada di bawa MA.” Dengan demikian pengadilan

pajak merupakan peradilan yang kedudukanya sama

dengan empat peradilan lainnya.

Undang-undang Pengadilan Pajak ini

menempatkan wewenang Mahkamah Agung hanya terbatas

pada melaksanakan pembinaan teknis yudisial semata,

seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-

undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak

yang menyebutkan bahwa “Pembinaan teknis peradilan

bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah

Agung.” Dan ayat (2) Pembinaan organisasi,

administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak

dilakukan oleh Departemen (kementerian) Keuangan.”

Ini jelas sebuah kondisi yang bukan hanya

bertentangan secara materil dengan Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

namun juga UUD 1945 Pasal 24 hasil amandemen ke-tiga

dan terlebih lagi kondisi ini telah mencederai

prinsip negara hukum (the rule of law) yang menghendaki

agar yang menjadikan panglima dalam bernegara adalah

hukum, bukan politik atau ekonomi, dan untuk

menjalankan hukum mencapai cita-cita yang ideal,

maka dalam negara hukum modern menempatkan posisi

kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara yang

merdeka dan mandiri. Kondisi inilah yang mendorong

6

penulis untuk menulis makalah dengan judul

“KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK SEBAGAI KEKUASAAN YANG

MERDEKA BERDASARKAN UU NO. 14 TAHUN 2002 TENTANG

PENGADILAN PAJAK.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan kepada latar belakang tersebut

diatas, maka pokok persoalan dalam makalah ini

adalah :

1. Bagaimana kedudukan pengadilan pajak dalam sistem

peradilan Indonesia ?

2. Bagaimana kemerdekaan hakim Pengadilan Pajak

berdasarkan UU No. 14 tahun 2002 ?

7

BAB II

NEGARA HUKUM DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

A. Prinsip Negara Hukum

Secara konseptual, asas negara hukum (Rechtsstaat

atau Rule of Law) terkait erat dengan watak hukum

modern yang bersifat rasional yang menghendaki suatu

penyelenggaraan negara yang semata-mata didasarkan

pada rasionalitas hukum yang objektif. negara tidak

mengabdi pada suatu kehendak subjektif dari penguasa

negara – atau negara kekuasaan (Machtsstaat),

melainkan tunduk semata-mata pada aturan hukum yang

bersifat objektif.2

Dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara

hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey

dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl,

konsep negara Hukum yang disebutnya dengan istilah

“rechtsstaa” itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

2 Aidul Fitriciada Azhari, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bert-anggung Jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan,Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas MuhammadiyahSurakarta, (dimuat dalam Majalah Jurisprudence, hlm. 94), dalamhttp://eprints.ums.ac.id/350/1/ 6._AIDUL_FITICIADA.pdf.(diakses 19 April 2013).

8

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

4. Peradilan Tata Usaha Negara.3

Perumusan ciri-ciri negara Hukum yang dilakukan

oleh F.J. Stahl kemudian ditinjau ulang oleh

International Commision of Jurist pada Konferensi yang

diselenggarakan di Bangkok tahun 1965, yang

memberikan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain

menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula

menentukan cara prosedural untuk memperoleh

perlindungan atas hak-hak yang dijamin ;

2. Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

3. Pemilihan Umum yang bebas ;

4. Kebebasan menyatakan pendapat ;

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;

6. Pendidikan Kewarganegaraan.4

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga

ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang

disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu :

1. Supermasi absolut ada pada hukum, bukan pada

tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa

(supremacy of law).

3 Jimly Asshiddiiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Makalah dalam:http://jimly.com/makalah/ namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, hlm. 2. (Diakses 05 Mei 2013).4 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 10.

9

2. Berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality

before the law), dimana semua orang harus tunduk kepada

hukum, dan tidak seorang pun yang berada di atas

hukum (above the law).

3. Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi

negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, hukum

yang berdasarkan konstitusi harus melarang setiap

pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat

(the based on individual rights).5

Menurut Jimly Asshiddiqie, ke-empat prinsip

“rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Julius Stahl

tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan

dengan ketiga prinsip “Rule of Law” yang dikembangkan

oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara

hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The

International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip negara

hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan

bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of

judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan

mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.6

Namun demikian, terlepas dari perkembangan

pengertian tersebut di atas, konsepsi tentang negara

hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum telah

menegaskan bahwa negara hukum mengemukakan empat

unsur “rechtsstaat,” dimana unsurnya yang keempat adalah5 Munir Fuady, Ibid, hlm. 3-4.6 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 3.

10

adanya peradilan Tata Usaha Negara (administratieve

rechtspraak) dan ditambahkan lagi “The International

Commission of Jurist” badan judikatif harus bebas dan

tidak memihak sebagai ciri pokok negara hukum. Dari

unsur-unsur pokok negara hukum tersebut ditambahkan

lagi satu unsur oleh Jimily Asshiddiqie yaitu

Mahkamah Konstitusi (constitutional court) sebagai lembaga

pengadilan Tata Negara. Oleh karena itu dia

mengatakan Pengadilan Administrasi Negara

dikembangkan pada abad ke-19 sedangkan Mahkamah

Konstitusi sebagai lembaga tersendiri disamping

Mahkamah Agung dikembangkan atas jasa Hans Kelsen

pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama kali di

Austria pada tahun 1920.

B. Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem Peradilan Indonesia

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak

(independent and impartial judiciary). peradilan bebas dan

tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap

negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya,

hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga,

baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun

kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan

dan kebenaran. Tidak diperkenankan adanya intervensi

kedalam proses pengambilan putusan keadilan oleh

hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan

eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan

11

masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan

tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun

juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.

Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses

pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat

terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan

menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-

nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah

masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai

“mulut” keadilan undang-undang atau peraturan

perundang-undangan, melainkan juga “mulut” keadilan

yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di

tengah-tengah masyarakat.

Ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan

melalui doktrin “Trias Politika” sebagaimana

diketengahkan oleh Emmanuel Kant maupun Montesquieu

dan dikembangkan oleh John Locke melalui ajaran

“Separation of Power” yaitu :

“There can no be liberty when the legislative and executive power

are jointed in the same persons or body of lords because it to be

feared that the monarch or body will make tyrannical laws to be

administered in tyrannical way. Nor is there any liberty if the

judicial power is not separated from the legislative and executive

power.”7

7 http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=5284&kat=5, (diakses 11 April 2013).

12

Menurut Hamilton, independensi yudisial

diperlukan karena di antara ketiga cabang kekuasaan,

lembaga peradilan adalah “the least dangerous to the political

rights of the constitution”. Lembaga peradilan tidak memiliki

pengaruh baik kekuasaan (sword) maupun keuangan (purse)

bila dibandingkan dengan kekuasaan eksekutif dan

legislatif. Kekuasaan kehakiman hanya memiliki

kekuatan dalam bentuk putusan semata (judgment).

Sementara Lubet menyebutkan, bahwa independensi

yudisial mengandung nilai-nilai dasar: fairness,

impartiality, dan good faith. hakim yang independen akan

memberikan kesempatan yang sama dan terbuka kepada

setiap pihak untuk di dengar tanpa mengaitkannya

dengan identitas atau kedudukan sosial pihak-pihak

tersebut. Seorang hakim yang independen memutuskan

berdasarkan kejujuran (good faith), berdasarkan hukum

sebagaimana yang diketahuinya, tanpa menghiraukan

akibat yang bersifat personal, politis atau pun

finansial. Sementara Jhon Ferejohn mengaitkan

kemerdekaan yudisial dengan tiga nilai dasar yaitu:8

1. Kemerdekaan yudisial merupakan kondisi yang

diperlukan untuk memelihara negara hukum.

2. Dalam suatu pemerintahan konstitusional, hanya

hukum yang secara konstitusional memiliki

legitimasi yang harus ditegakkan dan pengadilan

8 Aidul FA, Lo.cit, hlm. 98.

13

harus memiliki kemampuan untuk melakukan tugas

dalam memutuskan hukuman tersebut.

3. Dalam negara demokrasi, pengadilan harus memiliki

otonom yang kuat dalam menolak godaan untuk

memberikan penghormatan terlalu banyak pada

pemegang kekuasaan ekonomi atau politik.

Kemerdekaan hakim yang didasarkan pada

kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dijamin

dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar

1945 amandemen ketiga mengaturnya dalam pasal di

bawa ini; “Pasal 24 ayat (1) kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakan hukum dan keadilan, ayat (2) kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada dibawanya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Ketentuan UUD 1945 diatas kemudian

diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun

2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir atas

Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman. Pasal 1

mengatur bahwa, “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

14

1. Sistem Peradilan Indonesia

sesuai dengan bunyi Pasal 10 ayat (2) UU

Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung

sebagai supreme court yang menjalankan kekuasaan atas

badan-badan peradilan yang berada di bawanya, yaitu

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan

peradilan tata usaha negara. Artinya kekuasaan

peradilan di negara hukum Indonesia hanya ada 4

(empat) sistem peradilan yang di komandani oleh

Mahkamah Agung sebagai puncak sistem peradilan di

Indonesia.

Dengan beralihnya struktur organisasi

peradilan di Indonesia ke dalam satu kekuasaan yaitu

Mahkamah Agung sebagai perwujudan pengadopsian

prinsip negara hukum dalam rangka memberikan

kemerdekaan kepada penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman, dan untuk hal itu maka ditegaskan dalam

Pasal 13 ayat (1) UU Kehakiman, bahwa organisasi,

administrasi dan financial Mahkamah Agung dan 4

(empat) badan peradilan yang berada di bawanya,

seluruhnya berada di bawa kendali kekuasaan Mahkamah

Agung.

Mengenai hal pembentukan peradilan khusus,

ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehakiman,

15

bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam

salah satu lingkungan peradilan yang pengaturannya

diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, maka

penempatan atau posisi pengadilan khusus

dilaksanakan oleh 4 (empat) peradilan yang langsung

berada di bawa kekuasaan Mahkamah Agung. Peradilan

khusus yang kita kenal selama ini terdiri dari;

Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga

dan Pengadilan Hubungan Industrial, yang berada di

lingkungan peradilan umum.

2. Pengadilan Pajak

Pengadilan pajak adalah badan peradilan

yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia

bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari

keadilan terhadap sengketa pajak. Pengadilan pajak

merupakan salah satu wadah yang dibuat untuk

memberikan kesempatan kepada Warga Negara untuk

melaksanakan pembelaan serta penyelesaian dalam

setiap permasalahan yang berkaitan dengan

perpajakan.

Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah

sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara

wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan

Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu

16

termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan

berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat

paksa Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota

negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan

di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di

tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan

Pajak.

Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tetang

Pengadilan pajak, pembinaan serta pengawasan umum

terhadap hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh

Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi,

administrasi, dan keuangan ditanggulangi oleh

Kementrian Keuangan. Selain itu, ada juga penjelasan

dalam pasal 9A ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun

2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain

itu, dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 , secara tegas

dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan

putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan

tata usaha negara.

17

Mengenai putusan pengadilan pajak diatur

dalam Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 77 ayat (1) UU No.

14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa putusan

pengadilan pajak merupakan putusan pertama dan

terakhir dalam memeriksa dan memutuskan sengketa

pajak. Dengan demikian, putusannya memiliki kekuatan

hukum tetap sehingga tidak dapat diajukan banding

maupun kasasi. Upaya hukum yang bisa dilakukan

hanyalah peninjauan kembali yang sifatnya luar

biasa.

Ini sangat tidak sejalan dengan prinsip

penegakan hukum di indonesia yang dilakukan secara

berjenjang dari pengadilan tingkat pertama, tingkat

banding, dan tingkat kasasi. Sementara peninjauan

kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang hanya

dapat dilakukan terhadap putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap. Hal ini menjunjukan tidak

ada prinsip persamaan di depan hukum dan keadilan

yang menjadi cita-cita hukum yang harus ditegakan.

18

BAB III

KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN

INDONESIA

A. Kedudukan Pengadilan Pajak

Sebagai negara hukum, peran lembaga peradilan

adalah mutlak diperlukan. Sebab dengan adanya

lembaga peradilan akan dapat mewadahi dan

mengimplementasikan berbagai persoalan hukum kedalam

bentuk yang kongkrit. Dengan begitu, interaksi di

dalam peradilan itu akan terjadi proses-proses hukum

sebagai salah satu wujud legitimasi atau pengabsahan

atas berbagai perilaku baik dalam hubungan individu

maupun dalam hubungan kelompok sosial masyarakat.9

Lembaga peradilan memainkan peranan penting

dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia. Hal ini

karena lembaga peradilan satu-satunya institusi

formal yang diberikan mandat untuk mengelola segala

permasalahan hukum dari setiap warga negara yang

9 Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang-Education,Yogyakarta, hlm.19.

19

mengalami kesulitan dalam mencari keadilan. Lembaga

peradilan sering pula dipandang sebagai cermin atau

simbol penegakan hukum, dan bahkan di negara-negara

Anglo-Saxon termasuk Amerika Serikat pengadilan

sering di asosiasikan dengan hukum itu sendiri.10

Amandemen UUD 1945 secara tegas menyatakan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka, dan untuk menjamin kemerdekaan peradilan

dalam menegakan hukum dan keadilan segalah campur

tangan dari pemerintah kemudian ditiadakan. Mahkamah

Agung kemudian ditetapkan sebagai peradilan

tertinggi negara yang membina dan mengawasi aspek

teknis yudisial, organisasi, administrasi dan

finansial dari empat peradilan dan peradilan-

peradilan khusus yang berada dalam lingkungan ke-

empat peradilan tersebut. Oleh karena pengadilan

pajak belum sepenuhnya berpuncak kepada Mahkamah

Agung, maka kedudukan pengadilan pajak belum dapat

dinayatkan sebagai peradilan yang melaksanakan

fungsi kehakiman di bidang pemeriksaan dan pemutusan

sengketa perpajakan. Keberadaan Pengadilan Pajak

masih menyerupai Institut Pertimbangan Pajak (IPP),

Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dan Badan

Penyelesaian Sengketa Perpajakan (BPSP), ketiga

badan tersebut berada langsung dalam lingkungan10 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Indonesia, Kompas,

Jakarta, hlm. 209.

20

Kementerian Keuangan dan kedudukannya hanya ada di

Jakarta dan putusannya langsung memiliki kekuatan

hukum tetap, meskipun untuk putusan Pengadilan Pajak

dapat dilakukan upaya peninjuan kembali kepada

Mahkamah Agung, namun dalam aspek penerapan sistem

peradilan yang lainnya dilaksanakan oleh Kementerian

Keuangan.

Bahkan dapat dikatakan bahwa Pengadilan pajak

menjadi penghalang dalam melaksanakan reformasi di

bidang yudisial sesuai dengan amanat Undang-undang

Nomor 35 Tahun 1999 yang menghendaki agar dalam

jangka waktu 5 (lima) tahun seluruh peradilan, hakim

serta pegawai negeri sipil pada peradilan-peradilan

tersebut dialihkan menjadi pegawai negeri sipil pada

Mahkamah Agung. Tujuan reformasi di bidang yudisial

adalah dalam rangka membangun kembali kekuatan

kekuasaan kehakiman menuju pada kekuasaan yang

berada dibawa satu atap agar terjamin kekuasaan

kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dan

mandiri.

Secara nyata pembentukan Pengadilan Pajak

tidak memperhatikan ketentuan Undang-undang Nomor 35

Tahun 1999 yang menegaskan agar seluruh peradilan

yang melekat pada kementerian-kementrian agar

dialihakan menjadi di bawa Mahkamah Agung.11 Undang-11 Pengalihan seluruh kewenangan yudikatif kepada Mahkamah Agung

pertama kali dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun

21

undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang perubahan Atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disahkan

pemerintah pada 31 Agustus 1999, sementara

Pengadilan Pajak tepat pada tanggal 12 April 2002.

Artinya genderang reformasi peradilan sudah

diterikan sebelum Pengadilan Pajak lahir. Dengan

demikian sejak dari awal secara konstitusional

kedudukan pengadilan pajak tidak memiliki keabsahan

untuk menjalankan fungsi kehakiman.

B. Sistem Peradilan Pada Pengadilan Pajak

Pengadilan pajak di Indonesia yang merupakan

peradilan pertama dan terakhir, artinya putusan

pengadilan pajak merupakan putusan yang final dan

mengikat dan dapat segera dilaksanakan. Karena

sebagai peradilan pertama dan terakhir yang

putusannya langsung mempunyai kekuatan hukum tetap,

maka tidak dapat diajukan banding kepada pengadilan

tinggi dan kasasi kepada Mahkamah Agung, karena

memang Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor

14 Tahun 2002 tidak mengakui adanya pengadilan

tinggi pajak (pengadilan banding). Upaya hukum yang

tersedia bagi wajib pajak adalah upaya hukum luar

biasa yaitu mengajukan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung. Kondisi ini yang dinilai belum

1999 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang disahkan pada31 Agustus 1999.

22

memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi wajib

pajak, dan terkesan bahwa pengadilan pajak merupakan

lembaga peradilan yang eksklusif. Dinyatakan

demikian karena hal-hal sebagai berikut :

1. Hanya di pengadilan pajak, wajib pajak tidak dapat

melakukan upaya hukum biasa seperti yang selama

ini diterapkan disemua pengadilan, wajib pajak

hanya dapat melakukan upaya hukum luar biasa.

2. Pengadilan pajak menyatuh dengan Kantor Kementrian

Keuangan sebagai pengendali organisasi,

administrasi, dan finansial.

3. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai peradilan

tertinggi/peradilan kasasi hanya diberikan

kewenangan membina teknis yudisial semata.

Karena hal-hal tersebut diatas, maka

kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan

Indonesia belum dapat dinyatakan sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dari

campur tangan pihak-pihak ekstra yudisial

sebagaimana yang di amanatkan dalam Pasal 24 UUD

1945 amandemen ketiga. Pengadilan Pajak yang berada

di bawa langsung kekuasaan eksekutif dapat menjadi

indikator bahwa eksistensinya merupakan lembaga

peradilan yang berfungsi melindungi dan membenarkan

tindakan-tindakan pemerintah khususnya Dirjen Pajak,

Dirjen Bea dan Cukai, Dinas Pendapatan Provinsi,

23

Kabupaten maupun Kota. Kondisi ini menjadi suatu

fakta yang menunjukan bahwa eksistensi peradilan

pajak belum dapat memberikan keadilan dan kepastian

hukum bagi masyarakat.

Keadaan ini menjadi suatu dilema bagi

pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum (the rule of law)

di Indonesia. Perubahan terhadap Pasal 24 dan

penambahan Pasal-pasal berikutnya yang masih

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menjadi langkah

awal pembangunan peradilan menuju peradilan satu

atap. Kekuasaan kehakiman yang sebelumnya berada di

bawa kekuasaan eksekutif dialihkan kepada Mahkamah

Agung sebagai pengadilan tertinggi yang berkuasa

atas empat peradilan dibawanya, yaitu, lingkungan

peradilan umum (negeri), lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer dan lingkungan

peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi. Serta dalam menjalankan kekuasaan

kehakiman Mahkamah Agung memegang kendali

organisasi, administrasi, dan keuangan empat

peradilan yang berada dibawanya termasuk pula

pengadilan-pengadilan khusus yang berada dalam

lingkungan keempat peradilan tersebut. Begitupula

Mahkamah Konstitusi mengendalikan sendiri

organisasi, administrasi dan keuangannya. Dengan

demikian kekuasaan kehakiman saat ini adalah

24

kekuasaan negara yang merdeka dan mandiri. Merdeka

artinya tanpa campur tangan dari pihak-pihak ekstra

yudisial dan mandiri dalam membangun organisasi dan

administrasi serta keuangan untuk menyelenggarakan

peradilan gunakan menegakan hukum dan keadilan.

C. Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus Dalam

Lingkungan Peradilan TUN

Pasal 24 UUD 1945 amandemen ketiga juga

berimplikasi terhadap keberadaan peradilan-peradilan

yang berada dibawa kekuasaan Mahkamah Agung. Pasal

ini hanya mengakui bahwa di Indonesia hanya terdapat

empat lingkungan peradilan yang semuanya berpuncak

kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian tidak ada

lagi lingkungan peradilan kelima dalam kekuasaan

kehakiman Indonesia, namun bukan berarti tidak

menutup kemungkinan dibentuknya peradilan-peradilan

tertentu yang membidangi penanganan masalah-masalah

tertentu. Hal ini diamanatkan dalam Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman. Dalam Pasal 1 ayat (8) jo Pasal 27 ayat

(1) menegaskan bahwa peradilan tertentu atau

peradilan khusus hanya dapat di bentuk dalam salah

satu dari keempat lingkungan peradilan yang berada

dibawa Mahkamah Agung. Pasal ini mengandung

pengertian bahwa dengan demikian pelaksaan peradilan

25

di Indonesia dilaksanakan secara bertingkat, dari

peradilan tingkat pertama, peradilan tinggi/banding,

dan peradilan agung/kasasi. Dan berarti peradilan-

peradilan yang tidak berdasarkan pada ketentuan

diatas dapat dikatakan bukan merupakan peradilan dan

bukan pelaksana kekuasaan kehakiman.

Pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus

yang berada di lingkungan peradilan Tata Usaha

Negara karena berwenang melakukan pengujian terhadap

terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Namun

jika memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang

Nomor 14 Tahun 2002 yang tidak menyebutkan bahwa

pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus dalam

lingkungan PTUN. Hal ini karena pengadilan pajak

merupakan pengadilan pertama dan terakhir, putusan

pengadilan pajak langsung mempunyai kekuatan hukum

tetap, dan terhadap putusan pengadilan pajak

tersebut hanya dapat dilakukan upaya hukum luar

biasa yaitu Peninjauan Kembali kepada Mahkamah

Agung. Dengan demikian, jika mengikuti ketentuan

dalam Undang-undang Pengadilan Pajak yang sampai

dengan saat ini masih berlaku, Pengadilan Pajak

merupakan pengadilan kelima dalam sistem peradilan

Indonesia, dan itu berarti Indonesia memiliki dua

Pengadilan Tata Usaha Negara, yang satu melaksanakan

kontrol yudikatif terhadap jalannya penyelenggaraan

26

pemerintahan secara umum dan pengadilan pajak khusus

mengontrol badan atau pejabat Tata Usaha Negara

dalam bidang perpajakan.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengadilan pajak berdasarkan UU No. 14 tahun 2002

tentang pengadilan pajak berada dibawah kendali

dua lembaga negara yaitu eksekutif oleh

kementerian keuangan dengan tugas mengendalikan

organisasi, administrasi dan finansial, dan

yudikatif oleh Mahkamah Agung dengan tugas hanya

sebatas pengendalian aspek yudisial semata.

2. Oleh karena pengadilan pajak masih berada di bawah

kendali kekuasaan eksekutif dalam organisasi,

administrasi dan finansial, maka kekuasaan

kehakiman pada pengadilan pajak belum merupakan

kekuasaan yang benar- benar merdeka dari pengaruh

kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif.

B. Saran

Diperlukan adanya perubahan kedudukan

pengadilan pajak untuk mempertegas kedudukan

27

kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagai kekuasaan

yang merdeka dengan mengadakan peninjauan ulang (uji

materil) UU No. 14 tahun 2002 tentang pengadilan

pajak oleh Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang

Education, Yogyakarta.

Fuadi, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Moderen (Rechtstaat),

PT. Refika Aditma, Bandung.

28

Mardiasmo, 2009, Perpajakan Edisi Revisi, CV. Andi Offcet,

Yogyakarta.

Tutik, Titik Triwulan, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha

Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher,

Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Sebelum danSetelah Amandemen.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999Tentang Perubahan Atas Undang-undang RepublikIndonesia Nomor 14 Tahun 1970 TentangKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004Tentang Kekuasaan Kehakiman Sebagaimana YangTelah di Ubah Dengan Undang-undang RepublikIndonesia Nomor 48 Tahun 2009.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985Tentang Mahkamah Agung Sebagaimana TelahMengalami Perubahan Pertama Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2003 dan Perubahan KeduaDengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor3 Tahun 2009.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004Tentang Komisi Yudisial.

29

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 TentangPeradilan Tata Usaha Negara.

Undang-undang Republik Indonesi Nomor 14 Tahun 2002Tentang Pengadilan Pajak.