1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara historis negara hukum pada awalnya
merupakan negara dengan tugas pokok pemerintah hanya
berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
belaka (nachtwaker-staat). Oleh karena peran negara
tersbut dianggap tidak adil, maka konsep negara
hukum kemudian mengalami pergeseran menjadi negara
kesejahteraan (welfarestaat). Dengan konsep negara
kesejahteraan pemerintah diberikan kewajiban untuk
mewujudkan kesejahteraan umum. Untuk melaksanakan
konsep ini kepada pemerintah diberikan kewenangan
untuk ikut campur tangan dalam segala lapangan
kehidupan masyarakat.
Untuk menjaga agar kewenangan pemerintah yang
semakin besar tersebut tidak menimbulkan kesewenang-
wenangan dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat.
FJ. Stahl mengusulkan agar suatu negara hukum selain
adanya perlindungan terhadap HAM, Pemisahaan
kekuasaan dan pemerintah berdasarkan peraturan-
peraturan hukum. Dia juga mengusulkan agar dibentuk
peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha
Negara). Dengan adanya peradilan TUN setiap
keputusan maupun tindakan pemerintah akan terawasi
2
oleh adanya peradilan TUN, sehingga dapat mencegah
kesewenang-wenangan pemerintah dalam menjalankan
tugasnya.
Sebagai konsekwensi dari dianutnya prinsip
negara hukum yang ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 1
ayat (3) amandemen ke tiga bahwa “negara Indonesia
adalah negara hukum,”1 hal itu berarti prinsip-
prinsip negara hukum harus menjadi bagian terpenting
wajib mendapatkan posisi yang kuat dalam
penerapannya. Salah satu bagian terpenting dalam
ciri negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan mandiri dalam memainkan perannya di
bidang penegakan hukum dan keadilan. Penekanan
terhadap adanya lembaga yudikatif yang merdeka dan
mendiri menjadi suatu ukuran terhadap pelaksaan
prinsip negara hukum. Suatu negara hukum baru dapat
dikatakan sebagai negara hukum apabila negara
tersebut memberikan jaminan terhadap setiap
kekuasaan yudisial yang merdeka dan mandiri dari
campur tangan kekuasaan–kekuasaan ekstra yudisial.
Dengan lahirnya UU Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kehakiman menjadikan suatu babak awal
perjalanan kehakiman di Indonesia menuju peradilan
yang bebas dan tidak memihak yang hanya berwenang
untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan di
1 Disahkan 10 November 2001.
3
masyarakat. Serta seluruh peradilan Indonesia
berada dalam satu komando MA sebagai peradilan
tertinggi negara yang memberikan pengawasan
keorganisasian dan financial terhadap peradilan-
peradilan yang berada dibawanya.
Sesuai dengan amanat UU kehakiman tahun 2004
yang telah dirubah dengan UU Nomor 48 Tahun 2009,
Indonesia hanya ada empat yang telah dirubah dengan
(empat) pengadilan yang berada di bawa kekuasaan
MA, yaitu peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan TUN. Terhadap
peradilan-peradilan khusus, berada pada keempat
lingkungan peradilan diatas, sehingga tidak ada
pengadilan khusus yang keluar dari ketentuan
tersebut.
Pengadilan pajak merupakan salah satu unsur
pengadilan yang diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan
Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak
berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan
penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
4
Namun keberadaan pengadilan pajak menjadi
perdebatan setelah muncul beberapa kasus tindak
pidana perpajakan yang hampir mereka-mereka yang
didakwa selalu diputus bebas. Persolan tersebut
muncul karena pengadilan pajak sendiri tidak sejalan
dengan UU Kehakiman tahun 2004 yang diubah oleh
undang-undang nomor 48 Tahun 2009 yang hanya
mengakui pengadilan umum, agama, militer dan PTUN
dan prinsip negara hukum yang salah satunya
menempatkan lembaga kehakiman sebagai lembaga yang
independen dan tanpa campur tangan dari kekutan mana
pun selain kekuasaan kehakiman itu sendiri.Kondisi
yang bertolak belakang dengan ketentuan diatas
kemudian muncul dengan diberlakukannya Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Pada
Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.” Dari
ketentuan ini jelas terlihat bahwa pengadilan pajak
bukan merupakan pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan 4 (empat) pengadilan diatas sebagaimana
yang diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 27 ayat
(1) yang mengatur bahwa “pengadilan khusus hanya
5
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
yang berada di bawa MA.” Dengan demikian pengadilan
pajak merupakan peradilan yang kedudukanya sama
dengan empat peradilan lainnya.
Undang-undang Pengadilan Pajak ini
menempatkan wewenang Mahkamah Agung hanya terbatas
pada melaksanakan pembinaan teknis yudisial semata,
seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
yang menyebutkan bahwa “Pembinaan teknis peradilan
bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah
Agung.” Dan ayat (2) Pembinaan organisasi,
administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Departemen (kementerian) Keuangan.”
Ini jelas sebuah kondisi yang bukan hanya
bertentangan secara materil dengan Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
namun juga UUD 1945 Pasal 24 hasil amandemen ke-tiga
dan terlebih lagi kondisi ini telah mencederai
prinsip negara hukum (the rule of law) yang menghendaki
agar yang menjadikan panglima dalam bernegara adalah
hukum, bukan politik atau ekonomi, dan untuk
menjalankan hukum mencapai cita-cita yang ideal,
maka dalam negara hukum modern menempatkan posisi
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara yang
merdeka dan mandiri. Kondisi inilah yang mendorong
6
penulis untuk menulis makalah dengan judul
“KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK SEBAGAI KEKUASAAN YANG
MERDEKA BERDASARKAN UU NO. 14 TAHUN 2002 TENTANG
PENGADILAN PAJAK.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan kepada latar belakang tersebut
diatas, maka pokok persoalan dalam makalah ini
adalah :
1. Bagaimana kedudukan pengadilan pajak dalam sistem
peradilan Indonesia ?
2. Bagaimana kemerdekaan hakim Pengadilan Pajak
berdasarkan UU No. 14 tahun 2002 ?
7
BAB II
NEGARA HUKUM DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Prinsip Negara Hukum
Secara konseptual, asas negara hukum (Rechtsstaat
atau Rule of Law) terkait erat dengan watak hukum
modern yang bersifat rasional yang menghendaki suatu
penyelenggaraan negara yang semata-mata didasarkan
pada rasionalitas hukum yang objektif. negara tidak
mengabdi pada suatu kehendak subjektif dari penguasa
negara – atau negara kekuasaan (Machtsstaat),
melainkan tunduk semata-mata pada aturan hukum yang
bersifat objektif.2
Dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara
hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey
dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl,
konsep negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
“rechtsstaa” itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
2 Aidul Fitriciada Azhari, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bert-anggung Jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan,Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas MuhammadiyahSurakarta, (dimuat dalam Majalah Jurisprudence, hlm. 94), dalamhttp://eprints.ums.ac.id/350/1/ 6._AIDUL_FITICIADA.pdf.(diakses 19 April 2013).
8
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan Tata Usaha Negara.3
Perumusan ciri-ciri negara Hukum yang dilakukan
oleh F.J. Stahl kemudian ditinjau ulang oleh
International Commision of Jurist pada Konferensi yang
diselenggarakan di Bangkok tahun 1965, yang
memberikan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain
menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula
menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin ;
2. Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan Umum yang bebas ;
4. Kebebasan menyatakan pendapat ;
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan Kewarganegaraan.4
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga
ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu :
1. Supermasi absolut ada pada hukum, bukan pada
tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa
(supremacy of law).
3 Jimly Asshiddiiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Makalah dalam:http://jimly.com/makalah/ namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, hlm. 2. (Diakses 05 Mei 2013).4 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 10.
9
2. Berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality
before the law), dimana semua orang harus tunduk kepada
hukum, dan tidak seorang pun yang berada di atas
hukum (above the law).
3. Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi
negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, hukum
yang berdasarkan konstitusi harus melarang setiap
pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat
(the based on individual rights).5
Menurut Jimly Asshiddiqie, ke-empat prinsip
“rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Julius Stahl
tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan
dengan ketiga prinsip “Rule of Law” yang dikembangkan
oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara
hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The
International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip negara
hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan
bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of
judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan
mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.6
Namun demikian, terlepas dari perkembangan
pengertian tersebut di atas, konsepsi tentang negara
hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum telah
menegaskan bahwa negara hukum mengemukakan empat
unsur “rechtsstaat,” dimana unsurnya yang keempat adalah5 Munir Fuady, Ibid, hlm. 3-4.6 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 3.
10
adanya peradilan Tata Usaha Negara (administratieve
rechtspraak) dan ditambahkan lagi “The International
Commission of Jurist” badan judikatif harus bebas dan
tidak memihak sebagai ciri pokok negara hukum. Dari
unsur-unsur pokok negara hukum tersebut ditambahkan
lagi satu unsur oleh Jimily Asshiddiqie yaitu
Mahkamah Konstitusi (constitutional court) sebagai lembaga
pengadilan Tata Negara. Oleh karena itu dia
mengatakan Pengadilan Administrasi Negara
dikembangkan pada abad ke-19 sedangkan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga tersendiri disamping
Mahkamah Agung dikembangkan atas jasa Hans Kelsen
pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama kali di
Austria pada tahun 1920.
B. Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem Peradilan Indonesia
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak
(independent and impartial judiciary). peradilan bebas dan
tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap
negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya,
hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga,
baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan
dan kebenaran. Tidak diperkenankan adanya intervensi
kedalam proses pengambilan putusan keadilan oleh
hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan
eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan
11
masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan
tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun
juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.
Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses
pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat
terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan
menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-
nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai
“mulut” keadilan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan, melainkan juga “mulut” keadilan
yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di
tengah-tengah masyarakat.
Ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan
melalui doktrin “Trias Politika” sebagaimana
diketengahkan oleh Emmanuel Kant maupun Montesquieu
dan dikembangkan oleh John Locke melalui ajaran
“Separation of Power” yaitu :
“There can no be liberty when the legislative and executive power
are jointed in the same persons or body of lords because it to be
feared that the monarch or body will make tyrannical laws to be
administered in tyrannical way. Nor is there any liberty if the
judicial power is not separated from the legislative and executive
power.”7
7 http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=5284&kat=5, (diakses 11 April 2013).
12
Menurut Hamilton, independensi yudisial
diperlukan karena di antara ketiga cabang kekuasaan,
lembaga peradilan adalah “the least dangerous to the political
rights of the constitution”. Lembaga peradilan tidak memiliki
pengaruh baik kekuasaan (sword) maupun keuangan (purse)
bila dibandingkan dengan kekuasaan eksekutif dan
legislatif. Kekuasaan kehakiman hanya memiliki
kekuatan dalam bentuk putusan semata (judgment).
Sementara Lubet menyebutkan, bahwa independensi
yudisial mengandung nilai-nilai dasar: fairness,
impartiality, dan good faith. hakim yang independen akan
memberikan kesempatan yang sama dan terbuka kepada
setiap pihak untuk di dengar tanpa mengaitkannya
dengan identitas atau kedudukan sosial pihak-pihak
tersebut. Seorang hakim yang independen memutuskan
berdasarkan kejujuran (good faith), berdasarkan hukum
sebagaimana yang diketahuinya, tanpa menghiraukan
akibat yang bersifat personal, politis atau pun
finansial. Sementara Jhon Ferejohn mengaitkan
kemerdekaan yudisial dengan tiga nilai dasar yaitu:8
1. Kemerdekaan yudisial merupakan kondisi yang
diperlukan untuk memelihara negara hukum.
2. Dalam suatu pemerintahan konstitusional, hanya
hukum yang secara konstitusional memiliki
legitimasi yang harus ditegakkan dan pengadilan
8 Aidul FA, Lo.cit, hlm. 98.
13
harus memiliki kemampuan untuk melakukan tugas
dalam memutuskan hukuman tersebut.
3. Dalam negara demokrasi, pengadilan harus memiliki
otonom yang kuat dalam menolak godaan untuk
memberikan penghormatan terlalu banyak pada
pemegang kekuasaan ekonomi atau politik.
Kemerdekaan hakim yang didasarkan pada
kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dijamin
dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar
1945 amandemen ketiga mengaturnya dalam pasal di
bawa ini; “Pasal 24 ayat (1) kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan, ayat (2) kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawanya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Ketentuan UUD 1945 diatas kemudian
diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir atas
Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman. Pasal 1
mengatur bahwa, “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
14
1. Sistem Peradilan Indonesia
sesuai dengan bunyi Pasal 10 ayat (2) UU
Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung
sebagai supreme court yang menjalankan kekuasaan atas
badan-badan peradilan yang berada di bawanya, yaitu
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara. Artinya kekuasaan
peradilan di negara hukum Indonesia hanya ada 4
(empat) sistem peradilan yang di komandani oleh
Mahkamah Agung sebagai puncak sistem peradilan di
Indonesia.
Dengan beralihnya struktur organisasi
peradilan di Indonesia ke dalam satu kekuasaan yaitu
Mahkamah Agung sebagai perwujudan pengadopsian
prinsip negara hukum dalam rangka memberikan
kemerdekaan kepada penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, dan untuk hal itu maka ditegaskan dalam
Pasal 13 ayat (1) UU Kehakiman, bahwa organisasi,
administrasi dan financial Mahkamah Agung dan 4
(empat) badan peradilan yang berada di bawanya,
seluruhnya berada di bawa kendali kekuasaan Mahkamah
Agung.
Mengenai hal pembentukan peradilan khusus,
ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehakiman,
15
bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam
salah satu lingkungan peradilan yang pengaturannya
diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, maka
penempatan atau posisi pengadilan khusus
dilaksanakan oleh 4 (empat) peradilan yang langsung
berada di bawa kekuasaan Mahkamah Agung. Peradilan
khusus yang kita kenal selama ini terdiri dari;
Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga
dan Pengadilan Hubungan Industrial, yang berada di
lingkungan peradilan umum.
2. Pengadilan Pajak
Pengadilan pajak adalah badan peradilan
yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia
bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari
keadilan terhadap sengketa pajak. Pengadilan pajak
merupakan salah satu wadah yang dibuat untuk
memberikan kesempatan kepada Warga Negara untuk
melaksanakan pembelaan serta penyelesaian dalam
setiap permasalahan yang berkaitan dengan
perpajakan.
Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah
sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara
wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan
Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu
16
termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat
paksa Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota
negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan
di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di
tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan
Pajak.
Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tetang
Pengadilan pajak, pembinaan serta pengawasan umum
terhadap hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi,
administrasi, dan keuangan ditanggulangi oleh
Kementrian Keuangan. Selain itu, ada juga penjelasan
dalam pasal 9A ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain
itu, dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 , secara tegas
dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan
putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan
tata usaha negara.
17
Mengenai putusan pengadilan pajak diatur
dalam Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 77 ayat (1) UU No.
14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa putusan
pengadilan pajak merupakan putusan pertama dan
terakhir dalam memeriksa dan memutuskan sengketa
pajak. Dengan demikian, putusannya memiliki kekuatan
hukum tetap sehingga tidak dapat diajukan banding
maupun kasasi. Upaya hukum yang bisa dilakukan
hanyalah peninjauan kembali yang sifatnya luar
biasa.
Ini sangat tidak sejalan dengan prinsip
penegakan hukum di indonesia yang dilakukan secara
berjenjang dari pengadilan tingkat pertama, tingkat
banding, dan tingkat kasasi. Sementara peninjauan
kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang hanya
dapat dilakukan terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Hal ini menjunjukan tidak
ada prinsip persamaan di depan hukum dan keadilan
yang menjadi cita-cita hukum yang harus ditegakan.
18
BAB III
KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN
INDONESIA
A. Kedudukan Pengadilan Pajak
Sebagai negara hukum, peran lembaga peradilan
adalah mutlak diperlukan. Sebab dengan adanya
lembaga peradilan akan dapat mewadahi dan
mengimplementasikan berbagai persoalan hukum kedalam
bentuk yang kongkrit. Dengan begitu, interaksi di
dalam peradilan itu akan terjadi proses-proses hukum
sebagai salah satu wujud legitimasi atau pengabsahan
atas berbagai perilaku baik dalam hubungan individu
maupun dalam hubungan kelompok sosial masyarakat.9
Lembaga peradilan memainkan peranan penting
dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia. Hal ini
karena lembaga peradilan satu-satunya institusi
formal yang diberikan mandat untuk mengelola segala
permasalahan hukum dari setiap warga negara yang
9 Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang-Education,Yogyakarta, hlm.19.
19
mengalami kesulitan dalam mencari keadilan. Lembaga
peradilan sering pula dipandang sebagai cermin atau
simbol penegakan hukum, dan bahkan di negara-negara
Anglo-Saxon termasuk Amerika Serikat pengadilan
sering di asosiasikan dengan hukum itu sendiri.10
Amandemen UUD 1945 secara tegas menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka, dan untuk menjamin kemerdekaan peradilan
dalam menegakan hukum dan keadilan segalah campur
tangan dari pemerintah kemudian ditiadakan. Mahkamah
Agung kemudian ditetapkan sebagai peradilan
tertinggi negara yang membina dan mengawasi aspek
teknis yudisial, organisasi, administrasi dan
finansial dari empat peradilan dan peradilan-
peradilan khusus yang berada dalam lingkungan ke-
empat peradilan tersebut. Oleh karena pengadilan
pajak belum sepenuhnya berpuncak kepada Mahkamah
Agung, maka kedudukan pengadilan pajak belum dapat
dinayatkan sebagai peradilan yang melaksanakan
fungsi kehakiman di bidang pemeriksaan dan pemutusan
sengketa perpajakan. Keberadaan Pengadilan Pajak
masih menyerupai Institut Pertimbangan Pajak (IPP),
Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dan Badan
Penyelesaian Sengketa Perpajakan (BPSP), ketiga
badan tersebut berada langsung dalam lingkungan10 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Indonesia, Kompas,
Jakarta, hlm. 209.
20
Kementerian Keuangan dan kedudukannya hanya ada di
Jakarta dan putusannya langsung memiliki kekuatan
hukum tetap, meskipun untuk putusan Pengadilan Pajak
dapat dilakukan upaya peninjuan kembali kepada
Mahkamah Agung, namun dalam aspek penerapan sistem
peradilan yang lainnya dilaksanakan oleh Kementerian
Keuangan.
Bahkan dapat dikatakan bahwa Pengadilan pajak
menjadi penghalang dalam melaksanakan reformasi di
bidang yudisial sesuai dengan amanat Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 yang menghendaki agar dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun seluruh peradilan, hakim
serta pegawai negeri sipil pada peradilan-peradilan
tersebut dialihkan menjadi pegawai negeri sipil pada
Mahkamah Agung. Tujuan reformasi di bidang yudisial
adalah dalam rangka membangun kembali kekuatan
kekuasaan kehakiman menuju pada kekuasaan yang
berada dibawa satu atap agar terjamin kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dan
mandiri.
Secara nyata pembentukan Pengadilan Pajak
tidak memperhatikan ketentuan Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 yang menegaskan agar seluruh peradilan
yang melekat pada kementerian-kementrian agar
dialihakan menjadi di bawa Mahkamah Agung.11 Undang-11 Pengalihan seluruh kewenangan yudikatif kepada Mahkamah Agung
pertama kali dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun
21
undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang perubahan Atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disahkan
pemerintah pada 31 Agustus 1999, sementara
Pengadilan Pajak tepat pada tanggal 12 April 2002.
Artinya genderang reformasi peradilan sudah
diterikan sebelum Pengadilan Pajak lahir. Dengan
demikian sejak dari awal secara konstitusional
kedudukan pengadilan pajak tidak memiliki keabsahan
untuk menjalankan fungsi kehakiman.
B. Sistem Peradilan Pada Pengadilan Pajak
Pengadilan pajak di Indonesia yang merupakan
peradilan pertama dan terakhir, artinya putusan
pengadilan pajak merupakan putusan yang final dan
mengikat dan dapat segera dilaksanakan. Karena
sebagai peradilan pertama dan terakhir yang
putusannya langsung mempunyai kekuatan hukum tetap,
maka tidak dapat diajukan banding kepada pengadilan
tinggi dan kasasi kepada Mahkamah Agung, karena
memang Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor
14 Tahun 2002 tidak mengakui adanya pengadilan
tinggi pajak (pengadilan banding). Upaya hukum yang
tersedia bagi wajib pajak adalah upaya hukum luar
biasa yaitu mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung. Kondisi ini yang dinilai belum
1999 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang disahkan pada31 Agustus 1999.
22
memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi wajib
pajak, dan terkesan bahwa pengadilan pajak merupakan
lembaga peradilan yang eksklusif. Dinyatakan
demikian karena hal-hal sebagai berikut :
1. Hanya di pengadilan pajak, wajib pajak tidak dapat
melakukan upaya hukum biasa seperti yang selama
ini diterapkan disemua pengadilan, wajib pajak
hanya dapat melakukan upaya hukum luar biasa.
2. Pengadilan pajak menyatuh dengan Kantor Kementrian
Keuangan sebagai pengendali organisasi,
administrasi, dan finansial.
3. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai peradilan
tertinggi/peradilan kasasi hanya diberikan
kewenangan membina teknis yudisial semata.
Karena hal-hal tersebut diatas, maka
kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan
Indonesia belum dapat dinyatakan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dari
campur tangan pihak-pihak ekstra yudisial
sebagaimana yang di amanatkan dalam Pasal 24 UUD
1945 amandemen ketiga. Pengadilan Pajak yang berada
di bawa langsung kekuasaan eksekutif dapat menjadi
indikator bahwa eksistensinya merupakan lembaga
peradilan yang berfungsi melindungi dan membenarkan
tindakan-tindakan pemerintah khususnya Dirjen Pajak,
Dirjen Bea dan Cukai, Dinas Pendapatan Provinsi,
23
Kabupaten maupun Kota. Kondisi ini menjadi suatu
fakta yang menunjukan bahwa eksistensi peradilan
pajak belum dapat memberikan keadilan dan kepastian
hukum bagi masyarakat.
Keadaan ini menjadi suatu dilema bagi
pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum (the rule of law)
di Indonesia. Perubahan terhadap Pasal 24 dan
penambahan Pasal-pasal berikutnya yang masih
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menjadi langkah
awal pembangunan peradilan menuju peradilan satu
atap. Kekuasaan kehakiman yang sebelumnya berada di
bawa kekuasaan eksekutif dialihkan kepada Mahkamah
Agung sebagai pengadilan tertinggi yang berkuasa
atas empat peradilan dibawanya, yaitu, lingkungan
peradilan umum (negeri), lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer dan lingkungan
peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Serta dalam menjalankan kekuasaan
kehakiman Mahkamah Agung memegang kendali
organisasi, administrasi, dan keuangan empat
peradilan yang berada dibawanya termasuk pula
pengadilan-pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan keempat peradilan tersebut. Begitupula
Mahkamah Konstitusi mengendalikan sendiri
organisasi, administrasi dan keuangannya. Dengan
demikian kekuasaan kehakiman saat ini adalah
24
kekuasaan negara yang merdeka dan mandiri. Merdeka
artinya tanpa campur tangan dari pihak-pihak ekstra
yudisial dan mandiri dalam membangun organisasi dan
administrasi serta keuangan untuk menyelenggarakan
peradilan gunakan menegakan hukum dan keadilan.
C. Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus Dalam
Lingkungan Peradilan TUN
Pasal 24 UUD 1945 amandemen ketiga juga
berimplikasi terhadap keberadaan peradilan-peradilan
yang berada dibawa kekuasaan Mahkamah Agung. Pasal
ini hanya mengakui bahwa di Indonesia hanya terdapat
empat lingkungan peradilan yang semuanya berpuncak
kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian tidak ada
lagi lingkungan peradilan kelima dalam kekuasaan
kehakiman Indonesia, namun bukan berarti tidak
menutup kemungkinan dibentuknya peradilan-peradilan
tertentu yang membidangi penanganan masalah-masalah
tertentu. Hal ini diamanatkan dalam Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Dalam Pasal 1 ayat (8) jo Pasal 27 ayat
(1) menegaskan bahwa peradilan tertentu atau
peradilan khusus hanya dapat di bentuk dalam salah
satu dari keempat lingkungan peradilan yang berada
dibawa Mahkamah Agung. Pasal ini mengandung
pengertian bahwa dengan demikian pelaksaan peradilan
25
di Indonesia dilaksanakan secara bertingkat, dari
peradilan tingkat pertama, peradilan tinggi/banding,
dan peradilan agung/kasasi. Dan berarti peradilan-
peradilan yang tidak berdasarkan pada ketentuan
diatas dapat dikatakan bukan merupakan peradilan dan
bukan pelaksana kekuasaan kehakiman.
Pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus
yang berada di lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara karena berwenang melakukan pengujian terhadap
terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Namun
jika memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2002 yang tidak menyebutkan bahwa
pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan PTUN. Hal ini karena pengadilan pajak
merupakan pengadilan pertama dan terakhir, putusan
pengadilan pajak langsung mempunyai kekuatan hukum
tetap, dan terhadap putusan pengadilan pajak
tersebut hanya dapat dilakukan upaya hukum luar
biasa yaitu Peninjauan Kembali kepada Mahkamah
Agung. Dengan demikian, jika mengikuti ketentuan
dalam Undang-undang Pengadilan Pajak yang sampai
dengan saat ini masih berlaku, Pengadilan Pajak
merupakan pengadilan kelima dalam sistem peradilan
Indonesia, dan itu berarti Indonesia memiliki dua
Pengadilan Tata Usaha Negara, yang satu melaksanakan
kontrol yudikatif terhadap jalannya penyelenggaraan
26
pemerintahan secara umum dan pengadilan pajak khusus
mengontrol badan atau pejabat Tata Usaha Negara
dalam bidang perpajakan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengadilan pajak berdasarkan UU No. 14 tahun 2002
tentang pengadilan pajak berada dibawah kendali
dua lembaga negara yaitu eksekutif oleh
kementerian keuangan dengan tugas mengendalikan
organisasi, administrasi dan finansial, dan
yudikatif oleh Mahkamah Agung dengan tugas hanya
sebatas pengendalian aspek yudisial semata.
2. Oleh karena pengadilan pajak masih berada di bawah
kendali kekuasaan eksekutif dalam organisasi,
administrasi dan finansial, maka kekuasaan
kehakiman pada pengadilan pajak belum merupakan
kekuasaan yang benar- benar merdeka dari pengaruh
kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif.
B. Saran
Diperlukan adanya perubahan kedudukan
pengadilan pajak untuk mempertegas kedudukan
27
kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagai kekuasaan
yang merdeka dengan mengadakan peninjauan ulang (uji
materil) UU No. 14 tahun 2002 tentang pengadilan
pajak oleh Mahkamah Konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang
Education, Yogyakarta.
Fuadi, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Moderen (Rechtstaat),
PT. Refika Aditma, Bandung.
28
Mardiasmo, 2009, Perpajakan Edisi Revisi, CV. Andi Offcet,
Yogyakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha
Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher,
Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Sebelum danSetelah Amandemen.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999Tentang Perubahan Atas Undang-undang RepublikIndonesia Nomor 14 Tahun 1970 TentangKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004Tentang Kekuasaan Kehakiman Sebagaimana YangTelah di Ubah Dengan Undang-undang RepublikIndonesia Nomor 48 Tahun 2009.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985Tentang Mahkamah Agung Sebagaimana TelahMengalami Perubahan Pertama Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2003 dan Perubahan KeduaDengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor3 Tahun 2009.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004Tentang Komisi Yudisial.
Top Related