Post on 09-Jul-2016
description
Referat
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
GANGGUAN SOMATOFORM
Oleh
Annisa Ramlis, S.Ked
Annisa Ul Hasanah, S.Ked
Elsavina Rizky, S.Ked
Rizqina Putri, S.Ked
Pembimbing:
dr. Andriza, SpKJ
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT JIWA TAMPAN
PEKANBARU
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala, karena
atas rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Somatoform.” Penulis menyusun referat
ini untuk memahami etiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan sebagai salah satu
syarat dalam menempuh ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada dokter pembimbing di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru dr. Andriza, Sp.KJ atas
saran dan bimbingannya dalam menyempurnakan penulisan referat ini.
Penulis sadar pembuatan referat ini memiliki kekurangan. Saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan
semoga referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Pekanbaru, Juni 2015
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hampir sebagian besar pasien datang ke pusat pelayanan primer dengan
keluhan fisik. Namun demikian, sekitar 40% dari pasien yang datang
menunjukkan keluhan utama yang tidak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang serta tidak berespon dengan terapi yang
diberikan.1 Hal ini biasa disebut dengan gangguan somatoform. Gangguan
somatoform yaitu gangguan yang mencakup interaksi antara tubuh dan pikiran,
dimana pasien mengeluhkan adanya keluhan fisik namun tidak bisa dijelaskan
pada pemeriksaan fisik maupun penunjang.2
Ciri utama gangguan somatoform ini adalah adanya keluhan-keluhan fisik
yang berulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medis, meskipun
sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan dijelaskan bahwa tidak ditemukan
kelainan yang mendasari keluhannya.3 Keluhan yang berhubungan dengan sistem
pencernaan merupakan keluhan terbanyak yang ditemui pada pasien dengan
somatoform pada pelayanan primer yaitu sekitar 18,3%, lalu diikuti dengan
keluhan sistem respiratorik (16,1%), sistem kardiovaskuler (14,3%), sistem
muskuloskeletal (12,5%), sistem serebrovaskuler (9,5%), dan sisanya bidang
dermatologi (5,5%).4
Kesalahan yang sering terjadi adalah kebanyakan dokter lebih terfokus
kepada faktor fisik dan lupa bahwa penyakit seseorang tidak hanya dari segi
medis fisik saja tetapi juga bisa dari keadaan psikologis yang dipengaruhi oleh
3
faktor lingkungan. Hal ini menyebabkan penanganan pasien tidak menyentuh sisi
kejiwaan sehingga gangguan somatoform jarang terdiagnosis pada pelayanan
primer.5 Padahal berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012,
gangguan somatoform merupakan kompetensi 4A yang berarti setiap lulusan
dokter harus mampu membuat diagnosis klinis dan melakukan
penatalaksanaannya secara mandiri dan sampai tuntas.6
Agar tidak menghabis waktu, tenaga dan biaya yang banyak untuk
pemeriksaan dan terapi yang nantinya tidak memberikan hasil yang maksimal
maka diperlukan pemahaman yang baik tentang bagaimana cara mendiagnosis
pasien dengan gangguan somatoform dan tatalaksana yang dapat dilakukan. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk menarik judul diagnosis dan tatalaksana
gangguan somatoform.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Memahami cara mendiagnosis dan tatalaksana yang harus diberikan pada
pasien dengan gangguan somatoform.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran
khususnya di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa.
3. Memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit
Jiwa Tampan Pekanbaru.
4
1.3 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu
pada beberapa literatur.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Gangguan Somatoform
Somatoform berasal dari bahasa Yunani, yaitu soma yang berarti tubuh.
Gangguan somatoform merupakan gangguan yang memiliki tanda serta gejala
yang berhubungan dengan tubuh, disertai dengan permintaan pemeriksaan medis,
meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan sudah dijelaskan dokter
bahwa tidak ada kelainan apa-apa pada tubuh pasien. Selain itu, juga terlihat
adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), yaitu saat pasien kesal karena
tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya berasal
dari fisiknya dan dibutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.7
2.2 Etiologi Gangguan Somatoform
Diagnostic and Statistical Manual of Disorders (DSM-IV-TR)
mengelompokkan Gangguan Somatoform menjadi gangguan somatisasi,
gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, gangguan nyeri,
gangguan somatoform yang tidak terinci dan gangguan somatoform yang tidak
tergolongkan.8 Berikut adalah etiologi dari setiap bagian dari gangguan
somatoform tersebut:
1. Gangguan somatisasi
Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak keluhan fisik yang mengenai
banyak sistem organ.8 Etiologi dari gangguan somatisasi adalah:
6
a. Faktor Psikososial
Secara psikososial, penyebab gangguan ini merupakan bentuk komunikasi
sosial yang bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan
emosi, atau menyimbolkan perasaan.2
b. Faktor Biologis dan Genetik
Gangguan somatisasi dapat memiliki komponen genetik. Gejala
somatisasi menurun di dalam keluarga dan terjadi pada 10-20% kerabat
perempuan derajat pertama pasien dengan gangguan somatisasi.8
2. Gangguan Konversi
Gangguan konversi ditandai dengan adanya satu atau dua keluhan
neurologis dengan etiologi sebagai berikut:8
a. Faktor Psikoanalitik
Menurut teori ini, gangguan konversi terjadi sebagai akibat oleh depresi
konflik intrapsikis yang tidak didasari dan konversi ansietas menjadi
suatu gejala fisik. Gejala gangguan konversi juga memungkinkan pasien
menyampaikan bahwa mereka butuh perhatian dan perlakuan khusus.8
b. Teori Pembelajaran
Gejala konversi dilihat sebagai bagian dari perilaku yang dipelajari saat
masa kanak-kanak dan dikedepankan sebagai cara beradaptasi dengan
situasi yang tidak mungkin.8
c. Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya gangguan komunikasi
antar hemisfer pada gangguan konversi karena adanya hipometabolisme
7
di daerah hemisfer dominan dan hipermetabolisme di hemisfer
nondominan.2
3. Hipokondriasis
Hipokondriasis ditandai dengan lebih sedikit fokus gejala daripada
keyakinan pasien bahwa mereka memiliki suatu penyakit spesifik. Hipokondriasis
disebabkan oleh faktor-faktor berikut:8
a. Pasien dengan hipokondriasis memperkuat sensasi somatiknya; mereka
memiliki ambang yang lebih rendah dan toleransi yang lebih rendah
terhadap ketidaknyamanan fisik.8
b. Gejala hipokondriasis dipandang sebagai pelarian yang memungkinkan
pasien menghindari kewajiban yang tidak menyenangkan, menunda
tantangan yang tidak diinginkan, dan dibebaskan dari tugas dan
kewajiban.8
c. Hipokondriasis merupakan bentuk varian dari gangguan jiwa lain
diantaranya yang paling sering adalah gangguan ansietas dan depresif
secara bersamaan.8
d. Pemikiran psikodinamik yaitu keinginan agresif dan permusuhan terhadap
orang lain dirubah menjadi keluhan fisik.8
4. Gangguan dismorfik tubuh
Penyebab pasti gangguan dismorfik tubuh tidak diketahui, namun terdapat
komorbiditas yang tinggi dengan gangguan depresif, riwayat keluarga dengan
gangguan mood dan gangguan obsesif-kompulsif yang lebih tinggi dari perkiraan.8
5. Gangguan nyeri
8
a. Faktor Psikodinamis
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuh namun tanpa penyebab
fisik yang dapat diidentifikasikan mungkin mengekspresikan konflik
intrapsikis secara simbolik melalui tubuh.2
b. Faktor Perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan
dan diberi hukuman. Sebagai contoh keluhan akan semakin parah jika
dicemaskan dan diberi perhatian.2
c. Faktor Interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai manipulasi untuk
memperoleh keuntungan hubungan interpersonal. Keuntungan sekunder
merupakan hal terpenting dari pasien dengan gangguan nyeri.2
d. Faktor Biologis
Beberapa pasien yang menderita gangguan nyeri dan tidak gangguan
mental lainnya karena abnormalitas struktur limbik dan sensorik atau
kimiawi yang menjadi faktor predisposisi untuk mengalami nyeri.2
2.3 Klasifikasi dan Diagnosis
F.45 Gangguan Somatoform
Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi:7
F.45.0 gangguan somatisasi
F.45.1 gangguan somatoform tak terperinci
F.45.2 gangguan hipokondriasis
F.45.3 disfungsi otonomik somatoform
9
F.45.4 gangguan nyeri somatoform menetap
F.45.5 gangguan somatoform lainnya
F.45.6 gangguan somatoform YTT
Berdasarkan DSM-IV, ada tujuh kelompok gangguan somatoform, lima
diantaranya sama dengan klasifikasi awal dari PPDGJ ditambah dengan gangguan
konversi, dan gangguan dismorfik tubuh. Pada bagian psikiatri, gangguan yang
sering ditemukan di klinik adalah gangguan somatisasi dan hipokondriasis.
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial:
Aksis I : Gangguan somatoform, somatisasi
Aksis II : Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III : Tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV : Masalah dengan keluarga
Aksis V : GAF Scale 51-60: gejala sedang, disabilitas sedang
2.4 Pedoman Diagnostik Gangguan Somatoform
Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-
kali terbukti hasilnya negatif dari kelainan yang menjadi dasar keluhan.
a. F45.0 Gangguan Somatisasi
10
Pedoman Diagnostik
Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:7
1) Ada banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak da-
pat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun.
2) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari bebarapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhannya.
3) Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluha-keluhannya dan dampak dari perilakunya
b. F45.1 Gangguan Somatoform Tak Terinci
Pedoman Diagnostik:7
1) Keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi, dan menetap, akan tetapi
gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak
terpenuhi.
2) Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum, akan
tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.
c. F45.2 Gangguan Hipokondrik
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:7
1) Keyakinan yg menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yg
serius yg melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yg beru-
lang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yg memadai, ataupun
adanya preokupasi yg menetap kemungkinan deformitas atau perubahan
bentuk penampakan fisiknya ( tidak sampai waham);
11
2) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yg me-
landasi keluhan.
d. F45.3 Disfungsi Otonomik Somatoform
Pedoman diagnostik
Diagnosis pasti, memerlukan semua hal berikut:7
1) Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat,
tremor, muka panas/”flushing”, yg menetap dan mengganggu;
2) Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau orgab tertentu (gejala
tidak khas);
3) Preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan
adanya gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau
organ tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan berulang,
maupun penjelasan dari para dokter;
4) Tidak terbukti adanya gangguan yg cukup berarti para struktur/fungsi dari
sistem atau organ yg dimaksud.
e. F45.4 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap
Pedoman diagnostik7
1) Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak da-
pat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya
gangguan fisik.
2) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau
problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.
12
3) Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal
maupun medis, untuk yang bersangkutan.
f. F45.8 Gangguan Somatoform lainnya
Pedoman diagnostik7
1) Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom,
dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini
sangat berbeda dengan gangguan Somatisasi (F45.0) dan Gangguan So-
matoform Tak Terinci (F45.1) yang menunjukkan keluhan yang banyak
dan berganti-ganti
2) Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
3) Gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:
a) “globus hystericus” (perasaan ada benjolan di kerongkongan yg
menyebabkan disfagia) dan bentuk disfagia lainnya.
b) Tortikolis psikogenik, dan gangguan gerakan spasmodik lainnya (ke-
cuali sindrom Tourette);
c) Pruritus psikogenik;
d) Dismenore psikogenik;
e) “teeth grinding”
g. F45.8 Gangguan Somatoform YTT7
13
2.5 Tatalaksana Gangguan Somatoform
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial yang digunakan untuk
terapi gangguan somatoform ini adalah : 2
1. Pengobatan yang konsisten ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal reguler dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke
masalah.
Penatalaksanaan gangguan somatoform dibagi menjadi :
1. Psikoterapi
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok dapat membantu
pasien mengatasi gejala-gejala, mengekspresikan emosi yang mendasari dan
mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya. Pada
pasien dengan hipokondriasis sangat bermanfaat karena dapat memberikan
dukungan sosial dan interaksi sosial sehingga dapat menurunkan kecemasan. Cara
yang dilakukan dapat berupa : 2
a. Berfokus menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder (ke-
untungan sekunder), memperbaiki kemampuan mengatasi stres dan
memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai ke-
sehatan atau penampilan seseorang.
b. Mengurangi pemikiran dan sifat pesimis pasien.
c. Terapi kognitif behavioral yaitu membantu pasien untuk mengatasi
stres atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif ( teknik behav-
ioral ), dan menyemangati pasien untuk mengevaluasi keyakinan
mereka dengan bukti yang jelas ( terapi kognitif ).
14
d. Pemeriksaan fisik yang terjadwal dan teratur dapat membantu mene-
nangkan pasien, bahwa dokternya tidak meninggalkannya dan
keluhannya ditangani secara serius. Namun, prosedur invasif dilakukan
hanya apabila ditemukan bukti objektif untuk dilakukan tindakan terse-
but.
2. Farmakoterapi
Farmakoterapi diberikan apabila gejala mengarah pada gangguan cemas
atau depresi sehingga prinsip pengobatan menggunakan obat-obatan yang
ditujukan untuk mengurangi rasa cemas dan depresi. Pengawasan ketat terhadap
pemberian obat harus dilakukan karena pasien dengan gangguan somatisasi
cenderung menggunakan obat yang berganti-ganti dan tidak rasional. 8,10,11
Pada hipokondriasis dapat diberikan anti cemas khususnya golongan
benzodiazepin seperti Clobazam yang dapat mengatasi sindroma cemas yang
meliputi : 8,9,10
a. Adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistis terhadap dua
atau lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman yang menyebabkan seseo-
rang tidak mampu istirahat dengan tenang.
b. Paling sedikit enam dari gejala yang yang termasuk ketegangan motorik,
hiperaktivitas otonomik, kewaspadaan berlebihan dan pengungkapan yang
berkurang.
c. Hendaya dalam kehidupan sehari-hari seperti penurunan kemampuan bek-
erja, hubungan sosial, dan melakukan kegiatan yang rutin.
15
Obat ini bekerja dengan bereaksi dengan reseptor benzodiazepin sehingga
dapat meningkatkan GABA-ergik yang keudian dapat mengurangi hiperaktivitas
dari sistem limbik sistem saraf pusat. 8,9,10
Selain itu anti depresan seperti fluoxetin untuk mengatasi depresi relatif
salah satu atau beberapa neurotransmitter aninergik pada celah sinaps neuron di
sistem saraf pusat khususnya di sistem limbik. Defisiensi ini dapat diakibatkan
oleh penekanan aktivitas neurotransmiter oleh obat anticemas. Dengan demikian
pemberian keduanya diharapkan dapat menyeimbangkan aktivitas sistem limbik
pasien. 8,9,10
Pada pasien dengan gangguan nyeri antidepresan trisiklik dan penghambat
ambilan serotonin spesifik ( SSRI ) adalah obat yang paling efektif. Keberhasilan
SSRI mendukung hipotesis bahwa serotonin mempunyai peranan penting dalam
patofisiologi terjadinya gangguan ini. Amfetamin yang mempunyai efek analgesik
dapat bermanfaat pada beberapa pasien, khususnya bila digunakan sebagai
tambahan bersama SSRI, namun dosisnya harus dipantau.2
16
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Gangguan somatoform adalah gangguan yang mencakup interaksi antara
tubuh dan pikiran, dimana pasien mengeluhkan adanya keluhan fisik
namun tidak bisa dijelaskan pada pemeriksaan fisik maupun penunjang.
2. Gangguan somatoform menurut PPDGJ dibagi menjadi gangguan
somatisasi, gangguan smatoform tak terinci, gangguan hipokondrik,
disfungsi otonomik somatoform, gangguan nyeri somatoform menetap,
gangguan somatoform lainnya, dan gangguan somatoform YTT.
3. Ciri utama gangguan somatoform adalah adanya keluhan-keluhan fisik
yang berulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medis,
meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan dijelaskan
bahwa tidak ditemukan kelainan yang mendasari keluhannya
4. Penatalaksanaan gangguan somatoform dibagi menjadi psikoterapi dan
farmakoterapi.
3.2 Saran
1. Perlunya pemahaman untuk membedakan gangguan somatoform dengan
gangguan fisik lainnya.
2. Perlunya pengetahuan untuk membedakan masing-maing penggolongan
gangguan somatoform.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. McCarron RM, Xiong GL, Bourgeois JA. Lippincott’s Primary Care
Psychiatry. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2009; 135-
2. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia: 2010; 265-280.
3. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa:Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmaja: 2001.
4. Hidayat D, Ingkiriwang E, Andri, Asnawi E, Widya RS, Susanto DH.
Penggunaan Metode Dua Menit (M2M) dalam Menentukan Prevalensi
Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia: 2010.
5. Andri. Konsep Biopsikososial pada keluhan Psikosomatik. J Indonesia
Medical Association: 2011.
6. Konsil kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia: 2012.
7. Depkes. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
III. Jakarta: 1993.
8. Sadock BJ, Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis Kaplan & Sadock.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC:2010.
9. Xiong G.L, Bougeois J.A, Chang C.H, Liu D., Hilty D.M Hypochondriasis:
Common Presentasions and Treatment Strategies in Primary Care and Spe-
ciality Settings. Therapy. 2007; 4(3); 323-38
10. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ke-3.
2007. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta
18