REFERAT REVISI

32
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Miastenia gravis merupakan istilah yang direkomendasikan oleh Friedrich Jolly (1895). Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang menyebabkan kelemahan otot. Hal tersebut dikarenakan terdapatnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular, yang dapat disertai kelelahan saat beraktivitas dan dapat membaik saat beristirahat. (1) Miastenia gravis menyebabkan kelumpuhan otot akibat ketidakmampuan neuromuskular junction untuk menghantarkan sinyal dari sel saraf ke sel otot, hal ini dikarenakan didalam tubuh penderita akan terlihat antibodi yang menyerang Acetylcholine-Gated Transport Protein. Pada penderita miastenia gravis terbentuk antibodi yang melawan saluran ion teraktivasi asetilkolin dari dirinya sendiri. Jika reseptor terganggu, maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan sel otot terganggu yang akibatnya adalah kelemahan otot. Akibat penyakit tersebut penderita dapat meninggal akibat paralisis otot pernafasan. (2) Penyebab pasti antibodi yang menghambat saluran neuromuskular belum diketahui secara pasti, namun pada sebagian besar penderita dikarenakan kerusakan kelenjar

description

referat revisi

Transcript of REFERAT REVISI

Page 1: REFERAT REVISI

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Miastenia gravis merupakan istilah yang direkomendasikan oleh Friedrich

Jolly (1895). Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun kronis dari transmisi

neuromuskular yang menyebabkan kelemahan otot. Hal tersebut dikarenakan

terdapatnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular,

yang dapat disertai kelelahan saat beraktivitas dan dapat membaik saat

beristirahat.(1) Miastenia gravis menyebabkan kelumpuhan otot akibat

ketidakmampuan neuromuskular junction untuk menghantarkan sinyal dari sel

saraf ke sel otot, hal ini dikarenakan didalam tubuh penderita akan terlihat

antibodi yang menyerang Acetylcholine-Gated Transport Protein. Pada penderita

miastenia gravis terbentuk antibodi yang melawan saluran ion teraktivasi

asetilkolin dari dirinya sendiri. Jika reseptor terganggu, maka akan menyebabkan

defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan sel otot terganggu yang

akibatnya adalah kelemahan otot. Akibat penyakit tersebut penderita dapat

meninggal akibat paralisis otot pernafasan.(2)

Penyebab pasti antibodi yang menghambat saluran neuromuskular belum

diketahui secara pasti, namun pada sebagian besar penderita dikarenakan

kerusakan kelenjar timus. Miastenia gravis juga dapat disertai patologi timus

( hiperplasia, atrofi atau tumor timoma).(3)

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang dengan prevalensi

1/10.000. Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok usia.(3)

1

Page 2: REFERAT REVISI

2

1.2 TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai

definisi, sejarah, epidemiologi, anatomi dan fisisologi neuromuskular,

etiopatogenesis, gejala klinis, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi

dan prognosis dari miastenia.

1.3 MANFAAT PENULISAN

1. Melalui tulisan ini penulis mendapat pengetahuan dan bahan

pembelajaran tentang penyakit miastenia gravis.

2. Sebagai salah satu syarat dalam kegiatan kepaniteraan klinik di bagian

Ilmu Penyakit Saraf.

Page 3: REFERAT REVISI

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA MIASTENIA GRAVIS

2.1 DEFINISI

Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun kronis dari transmisi

neuromuskular yang menyebabkan kelemahan otot hal ini dikarenakan

terdapatnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular.

Dapat disertai patologi timus (hiperplasia, atrofi atau tumor timoma). (1,3) Dalam

bahasa latin myasthenia adalah kelemahan otot dan gravis adalah berat dan serius.

Miastenia gravis dapat menyebabkan kelemahan otot tertentu terutama yang

dipersarafi oleh inti motorik yaitu mata, mengunyah, menelan, wajah, lidah.

Miastenia gravis menyebabkan kelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan kehilangan

kekuatan pada saat beraktivitas dan membaik setelah istirahat.(4)

2.2 SEJARAH

Thomas Willis tahun (1672), pertama kali menggambarkan penyakit dari

misatenia gravis, dijelaskan ada banyak kasus jarang lainnya selama tahun

tersebut. Wilks (1877) untuk pertama kali menggambarkan dan mencatat bahwa

medula bebas dari penyakit, yang berbeda dengan jenis lain dari kelumpuhan

bulbar. Erb (1878) menyatakan karakteristik penyakit kelumpuhan bulbar tanpa

adanya lesi. Selama beberapa tahun setelah itu, gangguan disebut sebagai sindrom

Erb-Goldflam. Jolly (1895) adalah orang pertama yang menggunakan nama

miastenia gravis, dimana ia menambahkan istilah pseudoparalytica untuk

menunjukkan kekurangan dari perubahan struktural pada autopsi. Campbell dan

Bramwell (1900) dan Oppenheim (1901) mengumpulkaan dan menganalisis 60

kasus miastenia gravis dan merealisasikan konsep klinis dari penyakit. Simpso,

Nastuk, dan teman-teman sekerjanya (1960) mengemukakan bahwa mekanisme

autoimun yang terjadi pada miastenia gravis. Terakhir pada tahun (1973), sifat

dasar dari miastenia gravis diteguhkan melalui serangkaian penelitian oleh Patrick

dan Lindstrom.(5)

3

Page 4: REFERAT REVISI

4

2.3 EPIDEMIOLOGI

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang jarang ditemukan.

Penyakit ini bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa

menular. Kasus miastenia gravis adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi pertahun.

Kasus miastenia gravis dengan usia <40 tahun, 70% nya adalah wanita. Yang >40

tahun, 60% nya adalah pria, oleh karena itu miastenia gravis sering menyerang

wanita muda dan pria tua. Usia yang paling umum terserang adalah usia 20-30

tahun dan 70-80 tahun pada pria. Pada pasien yang mengalami misatenia gravis

akibat karena memiliki timoma, tidak ada batas antara usia dan jenis kelamin.(4)

Menurut James F. Howard, Jr.M.D, Miastenia gravis di Amerika Serikat

diperkirakan sekitar 20/100.000 populasi, kira-kira 53.000 dan 60.000 kasus.(6)

Menurut Ginsberg penyakit miastenia gravis adalah penyakit yang jarang

ditemukan dengan insidensi per tahun kira-kira 0,4/100.000, tetapi karena banyak

pasien yang mengalami penyakit ini dalam jangka waktu lama, maka prevalensi

mencapai 1/10.000 dan penyakit ini dapat meyerang semua kelompok usia.(3)

2.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI NEUROMUSCULAR JUNCTION

Gambar 2.1 Anatomi Neuromuscular Junction. Dikutip dari Howard JF. Myasthenia Gravis a Manual for tha Health Care Provider. 1st ed. United States of America: Myasthenia Gravis Foundation of America

Page 5: REFERAT REVISI

5

Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan

merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-plate. Ujung-

ujung saraf membuat sambungan yang disebut neuromuscular junction (NMJ).

Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik ( membran otot),

dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk NMJ. Bagian terminal dari

saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut bulb, yang diantara

celah-celah yang terdapat disepanjang serat saraf. Pada bagian terminal pre sinaps

terdapat vesikel yang mengandung asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam

sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorbsi ke dalam sejumlah

vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal

suatu lempeng akhir motorik.(6,7)

Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi

dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini mempunyai

tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran

saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya kedalam celah sinaps. Asetilkolin yang

dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin

pada membran post sinaps.(6,7)

Ikatan antara Ach dan AchR akan mengakibatkan terbukanya gerbang

Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+.

Influx Na+ anak mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post

sinaps. Jika depolarisasi ini mencapai ambang tertentu (firing level), maka akan

terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan di

propagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel

eksitabel, yang akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.(6,7)

Asetilkolin (Ach) yang masih tertempel pada AchR kemudian akan

dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah

yang cukup banyak pada celah sinaptik. Asetilkolin (Ach) akan dipecah menjadi

kolin dan asam laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk kedalam membran

pre sinaptik untuk membentuk Ach kembali. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk

dapat mencegah terjadinya aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi

terus-menerus.(6,7)

Page 6: REFERAT REVISI

6

Gambar. 2.2 Fisiologi Neuromuscular Junction. Dikutip dari Sherwood L.

Sususnan Saraf Tepi: Divisi Eferen. Fisiologi Manusia. 6th ed. Jakarta: EGC;

2011.

Keterangan (8):

1. Potensial aksi di neuron motorik merambat ke terminal akson (Terminal

Button)

2. Terbentuknya potensial aksi di terminal button memicu pembukaan

saluran Ca2+ bergerbang voltase dan masuknya Ca2+ kedalam terminal

button.

3. Ca2+ memicu pelepasan asetilkolin melalui eksositosis sebagian vesikel.

4. Asetilkolin berdifusi melintasi ruang yang memisahkan sel saraf dan sel

otot lalu berikatan dengan reseptor spesifiknya di motor end plate

membran sel otot.

5. Peningkatan ini menyebabkna terbukanya saluran kation yang kemudian

menyebabkan perpindahan Na+ masuk ke dalam sel otot dalam jumlah

yang lebih besar daripada perpindahan K+ keluar sel.

6. Hasilnya adalah potensial end-plate. Terjadi aliran arus lokal antara end-

plate yang mengalami depolarisasi dan membran sekitar.

Page 7: REFERAT REVISI

7

7. Aliran arus lokal ini membuka saluran Na+ berpintu tegangan di membran

sekitar.

8. Na+ masuk kedalam sel dan menurunkan potensial ke ambang memicu

potensial aksi yang kemudian merambat keseluruh serat otot.

9. Asetilkolin kemudian diuraikan oleh asetilkolinesterase, suatu enzim yang

terletah di membran motor end-plate dan mengakhiri respons sel otot.

2.5 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Penyebab pasti antibodi yang menghambat saluran neuromuscular belum

diketahui secara pasti. Faktor yang dominan dalam patofisiologi miastenia gravis

adalah mekanisme imunologi. Antibodi pada reseptor asetikolin nikotinik

merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien miastenia gravis. Dalam kasus

miastenia gravis terjadi penurunan jumlah asetilkolin reseptor (AchR), hal ini

menyebabkan asetilkolin (Ach) di lepaskan dalam jumlah normal tidak dapat

mengantarkan potensial aksi menuju post sinaptik. Pengurangan jumlah AchR

dipercaya disebabkan oleh proses autoimun didalam tubuh yang memproduksi

anti- AchR bodies, yang dapat memblok reseptor asetikolin (AchR) dan merusak

membran pos sinaptik, hal ini telah dideteksi pada serum 90% pasien yang

menderita miastenia gravis.(6,7)

Meskipun mekanisme hilangnya toleransi imunologi terhadap reseptor

asetilkolin belum dipastikan, namun penemuan baru menunjukkan sel T yang

diproduksi oleh kelenjar timus memiliki peranan penting pada patofisiologinya.

Hal ini ditunjukkan pada penderita miastenia gravis ditemukkan abnormalitas

pada kelenjar timus. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia, atrofi atau

tumor timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.(6,7)

Asetilkolin reseptor (AchR) terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha,

dan masing-masin 1 beta, gamma dan delta. Subunit-subunit ini tersusun

membentuk lingkaran yang siap mengikat Ach. Imunoglobulin G (IgG)

dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda dimana satu antibodi secara

langsung melawan area imunologi utama pada subunit alfa. Subunit alfa

merupakan binding site dari reseptor asetikolin. Ikatan antibodi reseptor asetikolin

pada reseptor asetikolin menyebabkan terhalangnya transmisi neuromuskular

Page 8: REFERAT REVISI

8

melalui berbagai cara antara lain melalui ikatan silang reseptor asetikolin terhadap

antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada

neuromuskular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada

membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat

digunakan untuk inersi reseptor-reseptor asetikolin yang baru disintesis.

Gambar. 2.3 Patofisiologi Neuromuscular junction pada Miastenia Gravis.

Dikutip dari Rohkamm R. Neurological Syndromes. Color Atlas of Neurology.

New York: George Thieme Verlag; 2004.

2.5 GEJALA KLINIS

Gambaran klinis miastenia gravis adalah melemahnya otot tubuh, namun

tidak merusak otot jantung dan saluran pencernaan, awal dalam perjalanananya,

miastenia gravis mempengaruhi otot-otot yang mengontrol pergerakan mata dan

kelopak mata, menyebabkan kelemahan mata. Akibatnya, kelumpuhan parsial

gerakan mata (opthalmoparesis), pengelihatan ganda (diplopia) dan kelopak mata

ptosis, hal tersebut merupakan gejala pertama dari miatenia gravis.(4,5)

Kelemahan dan kelelahan pada leher dan rahang juga dapat terjadi pada awal

kejadian miastenia gravis, kelemahan dari otot dapat membuat sulit untuk

berbicara, mengunyah, dan menelan. Kelemahan bulbar juga sering memberikan

tanda berbicara tidak jelas, hal ini juga sering menyebabkan tersedak dan makan

tidak menyenangkan dan melelahkan.(4)

Page 9: REFERAT REVISI

9

Miastenia gravis secara umum, dapat menyebabkan kelemahan menyebar

secara berurutan dari wajah dan leher dengan tungkai atas dan anggota tubuh

bagian bawah, sehingga sangat sulit untuk mengangkat lengan di atas kepala,

bangkit dari posisi duduk, berjalan jauh, naik tangga dan memegang benda berat.(4)

Dalam beberapa kasus tertentu, kelemahan dapat menyebar ke otot-otot

dada yang mengontrol pernafasan.

Gejala klinis Miastenia Gravis menurut Ginsberg L, yaitu(3) :

1. Ptosis fatig

2. Diplopia dengan keterbatasan gerak mata

3. Kelemahan wajah :- Ekspresi miastenik

- Kelemahan saat menutup mata.

4. Gejala dan tanda “bulbar” :

- Disfagia (Dengan regurgitasi nasal cairan).

- Disartria (Suara hidung)

5. Keterlibatan otot-otot pernafasan ( Gejala bulbar dan pernafasan akut yang

disebabkan oleh miastenia)

6. Kelemahan otot leher dan ekstremitas gerak, memburuk pada sore/malam

hari setelah berolahraga (Fatig abilitas).

2.6 KLASIFIKASI

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia

gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut (6):

Klasifikasi Gejala

Kelas 1 Adanya kelemahan otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

Kelas 2 Adanya kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Kelas 2a Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

Kelas 2b Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas IIa.

Kelas 3 Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan tingkat sedang.

Kelas 3a Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

Page 10: REFERAT REVISI

10

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

Kelas 3b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat

Kelas 4 Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

Kelas 4a Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

Kelas 4b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita mcnggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas 5 Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tarnpak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot terlihat agak menurun

2.7 DIAGNOSIS

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan utnuk menegakkan

diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul mengenai

proksimal dari tubuh serta simetris di kedua gerak kanan dan kiri. Walaupun

dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks masih dalam batas normal.(9)

Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic

sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis

selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.(9)

Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang

menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)

serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain

itu, pendertia miastenia gravis akan mengalami kesulitan mengunyah serta

menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan

penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering

terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-

Page 11: REFERAT REVISI

11

otot rahang pada miastenia gravis yang menyebabkan penderita sulit untuk

menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan.

Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan saat fleksi

dan ekstensi dari leher.(6,9)

Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan

dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi

ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali

mengalami kelemahan. Otot tricep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot

biceps. Pada ekstremitas bawah sering kali terjadi kelemahan melakukan

dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari

kaki dan saat melakukan fleksi panggul.(9)

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan

yang dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu

keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan

otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan

otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida

sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang

ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat

diperlukan.(9)

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan

tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Serta

biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini

merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.

Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan

terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan

terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada

mata yang melakukan abduksi.(9)

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan

nervus IX dan X yaitu fungsi motorik, dengan cara penderita ditugaskan untuk

menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa

suaranya bertambah lemah dan tidak ada sama sekali (afonia).

Page 12: REFERAT REVISI

12

Setelah itu, penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara

terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita

menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.

Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak

tampak lagi.

Gambar 2.5 Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot

esktraokular. Dikutip dari Howard JF. Myasthenia Gravis a Manual for tha Health

Care Provider. 1st ed. United States of America: Myasthenia Gravis Foundation of

America; 2008.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa

tes antara lain (6,9):

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride). Edrophonium (antikolinesterase

kerja singkat yang secara sementara mempertahankan asetikolin dengan

melakukan blok pada metabolismenya), secara intravena akan

menyebabkan perbaikan klinis yang cepat dan sementara. Tes ini

sebaiknya dilakukan secara ‘tersamar ganda’ dan disiapkan peralatan

resusitasi dan atropin jika terjadi efek muskarinik akibat kelebihan

asetikolin. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena,

bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon

secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus

memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang

Page 13: REFERAT REVISI

13

memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh

miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak

mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena

efektivitas tensilon sangat singkat.

2. Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg

prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula

atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia

gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau

kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

3. Uji Kinin, Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam

kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet).

Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-

gejala miastenik tidak bertambah berat. Bila kelemahan itu benar

disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus,

dan lain-lain akan bertambah berat.

4. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi Tes ini menunjukkan hasil positif

pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40

tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang penting pada penderita

miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat

menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.

5. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodi. Hampir 50% penderita

miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia

gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

6. Anti-asetilkolin reseptor antibodi, hasil dari pemeriksaan ini dapat

digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat

hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis

generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni

menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada

pasien timoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-

AChR antibody.

7. Elektrodiagnostik, Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan

defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik:

Page 14: REFERAT REVISI

14

- Single-fiber Electromyography (SFEMG), SFEMG mendeteksi adanya

defek transmisi pada serat neuromuskular berupa peningkatan titer dan

fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber,

yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.

Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada

interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada

motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi

dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).

- Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita miastenia gravis

terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS

terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

8. CT scan mediastinum anterior untuk melihat pembesaran timus.

2.8 PENATALAKSANAAN

Terapi imunomodulasi dan antikolinesterase meurpakan terapi utama pada

miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan untuk miastenia gravis

yang ringan. Sedangkan pasien dengan miastenia gravis generalisata perlu

ditambahkan terapi imunomodulasi secara rutin. Pengobatan ini dapat

memulihkan kekuatan otot dengan onset yang lambat namun memiliki durasi

lebih lama sehingga dapat mencegah kekambuhan.(3,6,9)

Pada kondisi miastenia yang akut dan butuh pertolongan, dapat diberikan

intervensi berupa Plasma Exchange. Dasar terapi dengan Plasma Exchange (PE)

adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah

turunnya titer antibodi. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki

atau sedang mengalami masa kritis. Dosis 55 ml/kg/hr selama 5 hari. Biasanya

perbaikan terjadi setelah pemberian ke-3 dan menetap hingga 2-4 minggu. Terapi

ini diindikasikan untuk pretimektomi, krisis miastenik, kelemahan yang cepat dan

progresivitas gejala.(6,9)

Selain Plasma Exchange, terapi yang dapat dilakukan adalah pemberian

Intravenous Immunoglobulin (IVIG) yang merupakan IgG. Mekanisme kerja dari

IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi

respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis,

Page 15: REFERAT REVISI

15

karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.

IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua

terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.

Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai

terapi. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,

dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki

keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai

sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari

terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome seperti demam,

menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam

pertama. (3,6,9)

Untuk terapi jangka panjang miastenia kronis antara lain:

1. Antikolinesterase, misalnya piridostigmin (3-Dimethylcarbamoyloxy-1-

methylpyridium bromide), merupakan antikolinesterase yang mempunyai

durasi yang lebih panjang, piridostigmin merupakan senyawa yang

menghambat aktivitas kolinesterase dengan membuat asetilkolin untuk

tinggal pada persimpangan neuromuskular lebih lama dari biasanya

sehingga lebih banyak penerima yang bisa diaktifkan, hal ini dapat

memperbaiki gejala miastenia gravis. Efek sampingnya adalah mual,

muntah,hipersalivasi, nyeri abdomen, dan diare. Dosis dewasa 30-60 mg

setiap 4-8 jam, anak 6-12 tahun 1 mg/kg BB setiap 4-6 jam, anak < 6

tahun 30 mg.

2. Kortikosteroid, misalnya prednisolon, Kortikosteroid diperkirakan

memiliki efek aktivasi sel T Helper dan pada proliferasi sel B. Pasien yang

berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan titer

antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala

klinis yang sangat mengganggu. Dosis maksimal penggunaan

kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada

pemberiannya. Kortikosteroid diperlukan untuk penyakit yang sedang

hingga berat yang tidak responsif terhadap terapi lain. Biasanya

kortikostreoid diberikan dalam regimen selang sehari. Steroid harus

ditingkatkan bertahap dari dosis rendah dan disesuaikan dengan

Page 16: REFERAT REVISI

16

perburukan gejala. Jika telah tercapai keadaan terkontrol, dosis dapat

diturunkan bertahap sesuai gejala.

3. Imunosupresi, misalnya dengan azathioprine, azathioprine biasanya

digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relative terkontrol

tetapi menggunakan kortikosteroid dalam dosis tinggi. Azathioprine dapat

dikonversi menjadi merkaptopurin yang berefek pada penghambatan

sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine digunakan secara

oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kg BB/ hari. Obat ini ditoleransi

dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang

lebih sedikit daripada obat imunosupresif lainnya.

4. Cyclosporine, Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan

azathioprine.Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari

terbagi dalam dua atau tiga dosis.Cyclosporine berpengaruh pada produksi

dan pelepasan interleukin-2 dari sel T- helper. Supresi terhadap aktivasi sel

T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat

menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

5. Timektomi jika terdapat timoma, Telah banyak dilakukan penelitian

tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.

Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang

bertanggung jawab terhadap kejadian miastenia gravis. Timektomi telah

digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun

1940 dan untuk pengobatan timoma dengan atau tanpa miastenia gravis

sejak awal tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah

tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis

obat yang harus dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya

besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%

tergantung dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya

bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif

adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan

adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Secara umum,

kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun

Page 17: REFERAT REVISI

17

setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang

permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).

2.11 Komplikasi Miastenia Gravis

Miastenia gravis dapat menyebabkan komplikasi tertentu yang umumnya

dapat dikontrol. Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain.

1. Krisis miastenia.

Kondisi ini terjadi ketika otot-otot sistem pernafasan menjadi terlalu lemah

untuk berfungsi. Penderita harus segera dibawa kerumah sakit terdekat

untuk mendapatkan alat bantu pernafasan. Komplikasi ini juga sering

terjadi ketika penderita miastenia gravis mengalami infeksi yang parah.

2. Gangguan dan kondisi autoimun lain

Pengidap penyakit miastesnia gravis juga memiliki kecenderungan untuk

mengidap kondisi-kondisi lain yang meliputi gangguan kelenjar tiroid

(hipertiroid atau hipotiroid) atau kondisi autoimun (lupus atau reumatoid

artritis).

Penyakit miastenia gravis tidak dapat dicegah karena bersifat autoimun.

Tetapi terdapat beberapa langkah sederhana bagi penderita miastenia gravis agar

terhindar dari kekambuhan gejala. Misalnya berhenti beraktivitas sebelum

kelelahan, menjaga kebersihan guna mencegah infeksi, menangani infeksi yang

dialami secara seksama, menghindari suhu tubuh yang terlalu dingin atau panas,

serta menangani stres dengan efektif.

Page 18: REFERAT REVISI

18

2.12 Prognosis Miastenia Gravis

Prognosis kesembuhan pasien miastenia gravis sangat bervariasi. Dengan

pengobatan dan penanganan yang baik dan terpadu, penderita miastenia gravis

dapat menjalani kehidupan secara normal dan tingkat kesembuhan yang tinggi.

Beberapa kasus miastenia gravis dapat remisi yang baik dan kelemahan otot dapat

hilang sehingga pengobatan dapat diberhentikan. Sekitar 50% pasien dengan

timektomi dapat remisi yang baik dan stabil dalam waktu yang lama. Dalam

beberapa kasus kelemahan parah pada miastenia gravis kelas 5 dapat

menyebabkan kegagalan nafas dan membutuhkan perawatan medis darurat.(10)

Page 19: REFERAT REVISI

19

BAB 3

KESIMPULAN

1. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan

secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.

2. Mekanisme imunologi memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis, dimana mekanisme pasti tentang hilangnya

toleransi imunologi terhadap reseptor asetilkolin pada miastenia gravis

belum sepenuhnya dimengerti.

3. Adapun gejala klinis pada miastenia gravis meliputi ptosis fatig, diplopia

dengan dengan keterbatasan gerak, kelemahan wajah meliputi ekspresi

miastenik dan kelemahan saat menutup mata, gejala dan tanda bulbar,

keterlibatan otot-otot pernafasan (gejala bulbar dan pernafasan akut yang

disebabkan oleh miastenia dan merupakan keadaan darurat, kelemahan

otot leher dan ekstremitas gerak yang memburuk pada saat beraktivitas.

4. Klasifikasi miastenia gravis dibagi atas kelas 1-5 dan Miastenia gravis

dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan beberapa tes seperti tes

tensilon, Uji Prostigmin, kinin.

5. Pengobatan miastenia gravis dapat diberikan antikolinesterase,

kortikosteroid, imunosupresi dan pembedahan timektomi dengan

prognosis mendapat remisi yang baik.

18

Page 20: REFERAT REVISI

20

BAB 4

DAFTAR PUSTAKA

1. Swierzewski SJ. Myasthenia Gravis Overview, Types, Incidence and

Prevalence [Internet]. HealthCommunities. 2015. Available from:

www.HealthCommunities.com

2. Hall JE. Excitation of Skeletal Muscle: Neuromuscular Transmission and

Excitation-Contraction Coupling. Guyton and Hall Textbook of Medical

Physiology. 13th ed. United States of America: Elsevier; 2011.

3. Ginsberg L. Saraf dan Otot. In: Safitri, Amalia. Astikawati R, editor.

Neurologi. 8th ed. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2007. p. 156–8.

4. Myastenia Gravis. www.mgindonesia.org. 2012.

5. Ropper, Allan H. BrowN RH. Myasthenia Gravis and Related Disorders Of

The Neuromuscular Junction. Principle of Neurology. 8th ed. United States

of America: McGraw-Hill; 2005. p. 1250–62.

6. Howard JF. Myasthenia Gravis a Manual for tha Health Care Provider. 1st

ed. United States of America: Myasthenia Gravis Foundation of America;

2008.

7. Hughes BW, Ph D, Luisa M, Casillas M De, Kaminski HJ.

Pathophysiology of Myasthenia Gravis. 2004;24(1):21–30.

8. Sherwood L. Sususnan Saraf Tepi: Divisi Eferen. Fisiologi Manusia. 6th

ed. Jakarta: EGC; 2011. p. 257–70.

9. Arie, A.A Gde Agung. Adnyana MO, Widyadharma IPE. Diagnosis dan

tata laksana miastenia gravis. :1–23.

10. Dewanto, George. Sumono, Wj. Riyanto, Budi. Turana Y. Infeksi Sususnan

Saraf Pusat dan Gangguan Imunologis. Diagnosis dan Tata laksana

Penyakit Saraf. 1st ed. Jakarta: EGC; 2009. p. 62–4.

19

Page 21: REFERAT REVISI

21

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................2

1.3 Manfaat Penulisan.....................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3

2.1 Definisi Miastenia gravis..........................................................................3

2.2 Sejarah Miastenia Gravis..........................................................................3

2.3 Epidemiologi Miastenia Gravis...............................................................4

2.4 Etiologi Miastenia Gravis........................Error! Bookmark not defined.

2.5 Gejala Klinis Miastenia Gravis.................................................................7

2.6 Anatomi dan Patofisiologi Neuromuscular Junction.................................4

2.7 Patofisiologi Miastenia Gravis..................................................................7

2.8 Klasifikasi Miastenia Gravis.....................................................................7

2.9 Diagnosis Miastenia Gravis.......................................................................7

2.10 Penatalaksanaaan Miastenia Gravis.........................................................7

2.11 Komplikasi Miastenia Gravis...................................................................7

2.12 Prognosis Miastenia Gravis.......................................................................7

BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................7

BAB 4 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................7