1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Miastenia gravis merupakan istilah yang direkomendasikan oleh Friedrich
Jolly (1895). Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menyebabkan kelemahan otot. Hal tersebut dikarenakan
terdapatnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular,
yang dapat disertai kelelahan saat beraktivitas dan dapat membaik saat
beristirahat.(1) Miastenia gravis menyebabkan kelumpuhan otot akibat
ketidakmampuan neuromuskular junction untuk menghantarkan sinyal dari sel
saraf ke sel otot, hal ini dikarenakan didalam tubuh penderita akan terlihat
antibodi yang menyerang Acetylcholine-Gated Transport Protein. Pada penderita
miastenia gravis terbentuk antibodi yang melawan saluran ion teraktivasi
asetilkolin dari dirinya sendiri. Jika reseptor terganggu, maka akan menyebabkan
defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan sel otot terganggu yang
akibatnya adalah kelemahan otot. Akibat penyakit tersebut penderita dapat
meninggal akibat paralisis otot pernafasan.(2)
Penyebab pasti antibodi yang menghambat saluran neuromuskular belum
diketahui secara pasti, namun pada sebagian besar penderita dikarenakan
kerusakan kelenjar timus. Miastenia gravis juga dapat disertai patologi timus
( hiperplasia, atrofi atau tumor timoma).(3)
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang dengan prevalensi
1/10.000. Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok usia.(3)
1
2
1.2 TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
definisi, sejarah, epidemiologi, anatomi dan fisisologi neuromuskular,
etiopatogenesis, gejala klinis, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi
dan prognosis dari miastenia.
1.3 MANFAAT PENULISAN
1. Melalui tulisan ini penulis mendapat pengetahuan dan bahan
pembelajaran tentang penyakit miastenia gravis.
2. Sebagai salah satu syarat dalam kegiatan kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Penyakit Saraf.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA MIASTENIA GRAVIS
2.1 DEFINISI
Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menyebabkan kelemahan otot hal ini dikarenakan
terdapatnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular.
Dapat disertai patologi timus (hiperplasia, atrofi atau tumor timoma). (1,3) Dalam
bahasa latin myasthenia adalah kelemahan otot dan gravis adalah berat dan serius.
Miastenia gravis dapat menyebabkan kelemahan otot tertentu terutama yang
dipersarafi oleh inti motorik yaitu mata, mengunyah, menelan, wajah, lidah.
Miastenia gravis menyebabkan kelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan kehilangan
kekuatan pada saat beraktivitas dan membaik setelah istirahat.(4)
2.2 SEJARAH
Thomas Willis tahun (1672), pertama kali menggambarkan penyakit dari
misatenia gravis, dijelaskan ada banyak kasus jarang lainnya selama tahun
tersebut. Wilks (1877) untuk pertama kali menggambarkan dan mencatat bahwa
medula bebas dari penyakit, yang berbeda dengan jenis lain dari kelumpuhan
bulbar. Erb (1878) menyatakan karakteristik penyakit kelumpuhan bulbar tanpa
adanya lesi. Selama beberapa tahun setelah itu, gangguan disebut sebagai sindrom
Erb-Goldflam. Jolly (1895) adalah orang pertama yang menggunakan nama
miastenia gravis, dimana ia menambahkan istilah pseudoparalytica untuk
menunjukkan kekurangan dari perubahan struktural pada autopsi. Campbell dan
Bramwell (1900) dan Oppenheim (1901) mengumpulkaan dan menganalisis 60
kasus miastenia gravis dan merealisasikan konsep klinis dari penyakit. Simpso,
Nastuk, dan teman-teman sekerjanya (1960) mengemukakan bahwa mekanisme
autoimun yang terjadi pada miastenia gravis. Terakhir pada tahun (1973), sifat
dasar dari miastenia gravis diteguhkan melalui serangkaian penelitian oleh Patrick
dan Lindstrom.(5)
3
4
2.3 EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang jarang ditemukan.
Penyakit ini bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa
menular. Kasus miastenia gravis adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi pertahun.
Kasus miastenia gravis dengan usia <40 tahun, 70% nya adalah wanita. Yang >40
tahun, 60% nya adalah pria, oleh karena itu miastenia gravis sering menyerang
wanita muda dan pria tua. Usia yang paling umum terserang adalah usia 20-30
tahun dan 70-80 tahun pada pria. Pada pasien yang mengalami misatenia gravis
akibat karena memiliki timoma, tidak ada batas antara usia dan jenis kelamin.(4)
Menurut James F. Howard, Jr.M.D, Miastenia gravis di Amerika Serikat
diperkirakan sekitar 20/100.000 populasi, kira-kira 53.000 dan 60.000 kasus.(6)
Menurut Ginsberg penyakit miastenia gravis adalah penyakit yang jarang
ditemukan dengan insidensi per tahun kira-kira 0,4/100.000, tetapi karena banyak
pasien yang mengalami penyakit ini dalam jangka waktu lama, maka prevalensi
mencapai 1/10.000 dan penyakit ini dapat meyerang semua kelompok usia.(3)
2.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI NEUROMUSCULAR JUNCTION
Gambar 2.1 Anatomi Neuromuscular Junction. Dikutip dari Howard JF. Myasthenia Gravis a Manual for tha Health Care Provider. 1st ed. United States of America: Myasthenia Gravis Foundation of America
5
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan
merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-plate. Ujung-
ujung saraf membuat sambungan yang disebut neuromuscular junction (NMJ).
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik ( membran otot),
dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk NMJ. Bagian terminal dari
saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut bulb, yang diantara
celah-celah yang terdapat disepanjang serat saraf. Pada bagian terminal pre sinaps
terdapat vesikel yang mengandung asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam
sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorbsi ke dalam sejumlah
vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal
suatu lempeng akhir motorik.(6,7)
Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi
dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini mempunyai
tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran
saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya kedalam celah sinaps. Asetilkolin yang
dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin
pada membran post sinaps.(6,7)
Ikatan antara Ach dan AchR akan mengakibatkan terbukanya gerbang
Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+.
Influx Na+ anak mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post
sinaps. Jika depolarisasi ini mencapai ambang tertentu (firing level), maka akan
terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan di
propagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel
eksitabel, yang akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.(6,7)
Asetilkolin (Ach) yang masih tertempel pada AchR kemudian akan
dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah
yang cukup banyak pada celah sinaptik. Asetilkolin (Ach) akan dipecah menjadi
kolin dan asam laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk kedalam membran
pre sinaptik untuk membentuk Ach kembali. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk
dapat mencegah terjadinya aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi
terus-menerus.(6,7)
6
Gambar. 2.2 Fisiologi Neuromuscular Junction. Dikutip dari Sherwood L.
Sususnan Saraf Tepi: Divisi Eferen. Fisiologi Manusia. 6th ed. Jakarta: EGC;
2011.
Keterangan (8):
1. Potensial aksi di neuron motorik merambat ke terminal akson (Terminal
Button)
2. Terbentuknya potensial aksi di terminal button memicu pembukaan
saluran Ca2+ bergerbang voltase dan masuknya Ca2+ kedalam terminal
button.
3. Ca2+ memicu pelepasan asetilkolin melalui eksositosis sebagian vesikel.
4. Asetilkolin berdifusi melintasi ruang yang memisahkan sel saraf dan sel
otot lalu berikatan dengan reseptor spesifiknya di motor end plate
membran sel otot.
5. Peningkatan ini menyebabkna terbukanya saluran kation yang kemudian
menyebabkan perpindahan Na+ masuk ke dalam sel otot dalam jumlah
yang lebih besar daripada perpindahan K+ keluar sel.
6. Hasilnya adalah potensial end-plate. Terjadi aliran arus lokal antara end-
plate yang mengalami depolarisasi dan membran sekitar.
7
7. Aliran arus lokal ini membuka saluran Na+ berpintu tegangan di membran
sekitar.
8. Na+ masuk kedalam sel dan menurunkan potensial ke ambang memicu
potensial aksi yang kemudian merambat keseluruh serat otot.
9. Asetilkolin kemudian diuraikan oleh asetilkolinesterase, suatu enzim yang
terletah di membran motor end-plate dan mengakhiri respons sel otot.
2.5 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyebab pasti antibodi yang menghambat saluran neuromuscular belum
diketahui secara pasti. Faktor yang dominan dalam patofisiologi miastenia gravis
adalah mekanisme imunologi. Antibodi pada reseptor asetikolin nikotinik
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien miastenia gravis. Dalam kasus
miastenia gravis terjadi penurunan jumlah asetilkolin reseptor (AchR), hal ini
menyebabkan asetilkolin (Ach) di lepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju post sinaptik. Pengurangan jumlah AchR
dipercaya disebabkan oleh proses autoimun didalam tubuh yang memproduksi
anti- AchR bodies, yang dapat memblok reseptor asetikolin (AchR) dan merusak
membran pos sinaptik, hal ini telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita miastenia gravis.(6,7)
Meskipun mekanisme hilangnya toleransi imunologi terhadap reseptor
asetilkolin belum dipastikan, namun penemuan baru menunjukkan sel T yang
diproduksi oleh kelenjar timus memiliki peranan penting pada patofisiologinya.
Hal ini ditunjukkan pada penderita miastenia gravis ditemukkan abnormalitas
pada kelenjar timus. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia, atrofi atau
tumor timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.(6,7)
Asetilkolin reseptor (AchR) terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha,
dan masing-masin 1 beta, gamma dan delta. Subunit-subunit ini tersusun
membentuk lingkaran yang siap mengikat Ach. Imunoglobulin G (IgG)
dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunologi utama pada subunit alfa. Subunit alfa
merupakan binding site dari reseptor asetikolin. Ikatan antibodi reseptor asetikolin
pada reseptor asetikolin menyebabkan terhalangnya transmisi neuromuskular
8
melalui berbagai cara antara lain melalui ikatan silang reseptor asetikolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuskular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk inersi reseptor-reseptor asetikolin yang baru disintesis.
Gambar. 2.3 Patofisiologi Neuromuscular junction pada Miastenia Gravis.
Dikutip dari Rohkamm R. Neurological Syndromes. Color Atlas of Neurology.
New York: George Thieme Verlag; 2004.
2.5 GEJALA KLINIS
Gambaran klinis miastenia gravis adalah melemahnya otot tubuh, namun
tidak merusak otot jantung dan saluran pencernaan, awal dalam perjalanananya,
miastenia gravis mempengaruhi otot-otot yang mengontrol pergerakan mata dan
kelopak mata, menyebabkan kelemahan mata. Akibatnya, kelumpuhan parsial
gerakan mata (opthalmoparesis), pengelihatan ganda (diplopia) dan kelopak mata
ptosis, hal tersebut merupakan gejala pertama dari miatenia gravis.(4,5)
Kelemahan dan kelelahan pada leher dan rahang juga dapat terjadi pada awal
kejadian miastenia gravis, kelemahan dari otot dapat membuat sulit untuk
berbicara, mengunyah, dan menelan. Kelemahan bulbar juga sering memberikan
tanda berbicara tidak jelas, hal ini juga sering menyebabkan tersedak dan makan
tidak menyenangkan dan melelahkan.(4)
9
Miastenia gravis secara umum, dapat menyebabkan kelemahan menyebar
secara berurutan dari wajah dan leher dengan tungkai atas dan anggota tubuh
bagian bawah, sehingga sangat sulit untuk mengangkat lengan di atas kepala,
bangkit dari posisi duduk, berjalan jauh, naik tangga dan memegang benda berat.(4)
Dalam beberapa kasus tertentu, kelemahan dapat menyebar ke otot-otot
dada yang mengontrol pernafasan.
Gejala klinis Miastenia Gravis menurut Ginsberg L, yaitu(3) :
1. Ptosis fatig
2. Diplopia dengan keterbatasan gerak mata
3. Kelemahan wajah :- Ekspresi miastenik
- Kelemahan saat menutup mata.
4. Gejala dan tanda “bulbar” :
- Disfagia (Dengan regurgitasi nasal cairan).
- Disartria (Suara hidung)
5. Keterlibatan otot-otot pernafasan ( Gejala bulbar dan pernafasan akut yang
disebabkan oleh miastenia)
6. Kelemahan otot leher dan ekstremitas gerak, memburuk pada sore/malam
hari setelah berolahraga (Fatig abilitas).
2.6 KLASIFIKASI
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut (6):
Klasifikasi Gejala
Kelas 1 Adanya kelemahan otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
Kelas 2 Adanya kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas 2a Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Kelas 2b Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas IIa.
Kelas 3 Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan tingkat sedang.
Kelas 3a Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
10
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
Kelas 3b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
Kelas 4 Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
Kelas 4a Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
Kelas 4b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita mcnggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas 5 Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tarnpak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot terlihat agak menurun
2.7 DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan utnuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul mengenai
proksimal dari tubuh serta simetris di kedua gerak kanan dan kiri. Walaupun
dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks masih dalam batas normal.(9)
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic
sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis
selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.(9)
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, pendertia miastenia gravis akan mengalami kesulitan mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering
terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-
11
otot rahang pada miastenia gravis yang menyebabkan penderita sulit untuk
menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan.
Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan saat fleksi
dan ekstensi dari leher.(6,9)
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi
ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali
mengalami kelemahan. Otot tricep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot
biceps. Pada ekstremitas bawah sering kali terjadi kelemahan melakukan
dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari
kaki dan saat melakukan fleksi panggul.(9)
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan
yang dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu
keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan
otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan
otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida
sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang
ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan.(9)
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan
tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Serta
biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi.(9)
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
nervus IX dan X yaitu fungsi motorik, dengan cara penderita ditugaskan untuk
menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa
suaranya bertambah lemah dan tidak ada sama sekali (afonia).
12
Setelah itu, penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara
terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita
menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.
Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak
tampak lagi.
Gambar 2.5 Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot
esktraokular. Dikutip dari Howard JF. Myasthenia Gravis a Manual for tha Health
Care Provider. 1st ed. United States of America: Myasthenia Gravis Foundation of
America; 2008.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa
tes antara lain (6,9):
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride). Edrophonium (antikolinesterase
kerja singkat yang secara sementara mempertahankan asetikolin dengan
melakukan blok pada metabolismenya), secara intravena akan
menyebabkan perbaikan klinis yang cepat dan sementara. Tes ini
sebaiknya dilakukan secara ‘tersamar ganda’ dan disiapkan peralatan
resusitasi dan atropin jika terjadi efek muskarinik akibat kelebihan
asetikolin. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena,
bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang
13
memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak
mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula
atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin, Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam
kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet).
Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-
gejala miastenik tidak bertambah berat. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus,
dan lain-lain akan bertambah berat.
4. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi Tes ini menunjukkan hasil positif
pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40
tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang penting pada penderita
miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat
menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
5. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodi. Hampir 50% penderita
miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia
gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
6. Anti-asetilkolin reseptor antibodi, hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat
hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien timoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibody.
7. Elektrodiagnostik, Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan
defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik:
14
- Single-fiber Electromyography (SFEMG), SFEMG mendeteksi adanya
defek transmisi pada serat neuromuskular berupa peningkatan titer dan
fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber,
yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.
Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi
dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
- Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita miastenia gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS
terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
8. CT scan mediastinum anterior untuk melihat pembesaran timus.
2.8 PENATALAKSANAAN
Terapi imunomodulasi dan antikolinesterase meurpakan terapi utama pada
miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan untuk miastenia gravis
yang ringan. Sedangkan pasien dengan miastenia gravis generalisata perlu
ditambahkan terapi imunomodulasi secara rutin. Pengobatan ini dapat
memulihkan kekuatan otot dengan onset yang lambat namun memiliki durasi
lebih lama sehingga dapat mencegah kekambuhan.(3,6,9)
Pada kondisi miastenia yang akut dan butuh pertolongan, dapat diberikan
intervensi berupa Plasma Exchange. Dasar terapi dengan Plasma Exchange (PE)
adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah
turunnya titer antibodi. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki
atau sedang mengalami masa kritis. Dosis 55 ml/kg/hr selama 5 hari. Biasanya
perbaikan terjadi setelah pemberian ke-3 dan menetap hingga 2-4 minggu. Terapi
ini diindikasikan untuk pretimektomi, krisis miastenik, kelemahan yang cepat dan
progresivitas gejala.(6,9)
Selain Plasma Exchange, terapi yang dapat dilakukan adalah pemberian
Intravenous Immunoglobulin (IVIG) yang merupakan IgG. Mekanisme kerja dari
IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi
respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis,
15
karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua
terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai
terapi. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai
sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari
terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam
pertama. (3,6,9)
Untuk terapi jangka panjang miastenia kronis antara lain:
1. Antikolinesterase, misalnya piridostigmin (3-Dimethylcarbamoyloxy-1-
methylpyridium bromide), merupakan antikolinesterase yang mempunyai
durasi yang lebih panjang, piridostigmin merupakan senyawa yang
menghambat aktivitas kolinesterase dengan membuat asetilkolin untuk
tinggal pada persimpangan neuromuskular lebih lama dari biasanya
sehingga lebih banyak penerima yang bisa diaktifkan, hal ini dapat
memperbaiki gejala miastenia gravis. Efek sampingnya adalah mual,
muntah,hipersalivasi, nyeri abdomen, dan diare. Dosis dewasa 30-60 mg
setiap 4-8 jam, anak 6-12 tahun 1 mg/kg BB setiap 4-6 jam, anak < 6
tahun 30 mg.
2. Kortikosteroid, misalnya prednisolon, Kortikosteroid diperkirakan
memiliki efek aktivasi sel T Helper dan pada proliferasi sel B. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala
klinis yang sangat mengganggu. Dosis maksimal penggunaan
kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya. Kortikosteroid diperlukan untuk penyakit yang sedang
hingga berat yang tidak responsif terhadap terapi lain. Biasanya
kortikostreoid diberikan dalam regimen selang sehari. Steroid harus
ditingkatkan bertahap dari dosis rendah dan disesuaikan dengan
16
perburukan gejala. Jika telah tercapai keadaan terkontrol, dosis dapat
diturunkan bertahap sesuai gejala.
3. Imunosupresi, misalnya dengan azathioprine, azathioprine biasanya
digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relative terkontrol
tetapi menggunakan kortikosteroid dalam dosis tinggi. Azathioprine dapat
dikonversi menjadi merkaptopurin yang berefek pada penghambatan
sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine digunakan secara
oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kg BB/ hari. Obat ini ditoleransi
dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit daripada obat imunosupresif lainnya.
4. Cyclosporine, Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine.Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis.Cyclosporine berpengaruh pada produksi
dan pelepasan interleukin-2 dari sel T- helper. Supresi terhadap aktivasi sel
T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat
menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
5. Timektomi jika terdapat timoma, Telah banyak dilakukan penelitian
tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang
bertanggung jawab terhadap kejadian miastenia gravis. Timektomi telah
digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun
1940 dan untuk pengobatan timoma dengan atau tanpa miastenia gravis
sejak awal tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah
tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis
obat yang harus dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya
besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya
bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif
adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan
adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Secara umum,
kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun
17
setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang
permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).
2.11 Komplikasi Miastenia Gravis
Miastenia gravis dapat menyebabkan komplikasi tertentu yang umumnya
dapat dikontrol. Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain.
1. Krisis miastenia.
Kondisi ini terjadi ketika otot-otot sistem pernafasan menjadi terlalu lemah
untuk berfungsi. Penderita harus segera dibawa kerumah sakit terdekat
untuk mendapatkan alat bantu pernafasan. Komplikasi ini juga sering
terjadi ketika penderita miastenia gravis mengalami infeksi yang parah.
2. Gangguan dan kondisi autoimun lain
Pengidap penyakit miastesnia gravis juga memiliki kecenderungan untuk
mengidap kondisi-kondisi lain yang meliputi gangguan kelenjar tiroid
(hipertiroid atau hipotiroid) atau kondisi autoimun (lupus atau reumatoid
artritis).
Penyakit miastenia gravis tidak dapat dicegah karena bersifat autoimun.
Tetapi terdapat beberapa langkah sederhana bagi penderita miastenia gravis agar
terhindar dari kekambuhan gejala. Misalnya berhenti beraktivitas sebelum
kelelahan, menjaga kebersihan guna mencegah infeksi, menangani infeksi yang
dialami secara seksama, menghindari suhu tubuh yang terlalu dingin atau panas,
serta menangani stres dengan efektif.
18
2.12 Prognosis Miastenia Gravis
Prognosis kesembuhan pasien miastenia gravis sangat bervariasi. Dengan
pengobatan dan penanganan yang baik dan terpadu, penderita miastenia gravis
dapat menjalani kehidupan secara normal dan tingkat kesembuhan yang tinggi.
Beberapa kasus miastenia gravis dapat remisi yang baik dan kelemahan otot dapat
hilang sehingga pengobatan dapat diberhentikan. Sekitar 50% pasien dengan
timektomi dapat remisi yang baik dan stabil dalam waktu yang lama. Dalam
beberapa kasus kelemahan parah pada miastenia gravis kelas 5 dapat
menyebabkan kegagalan nafas dan membutuhkan perawatan medis darurat.(10)
19
BAB 3
KESIMPULAN
1. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
2. Mekanisme imunologi memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis, dimana mekanisme pasti tentang hilangnya
toleransi imunologi terhadap reseptor asetilkolin pada miastenia gravis
belum sepenuhnya dimengerti.
3. Adapun gejala klinis pada miastenia gravis meliputi ptosis fatig, diplopia
dengan dengan keterbatasan gerak, kelemahan wajah meliputi ekspresi
miastenik dan kelemahan saat menutup mata, gejala dan tanda bulbar,
keterlibatan otot-otot pernafasan (gejala bulbar dan pernafasan akut yang
disebabkan oleh miastenia dan merupakan keadaan darurat, kelemahan
otot leher dan ekstremitas gerak yang memburuk pada saat beraktivitas.
4. Klasifikasi miastenia gravis dibagi atas kelas 1-5 dan Miastenia gravis
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan beberapa tes seperti tes
tensilon, Uji Prostigmin, kinin.
5. Pengobatan miastenia gravis dapat diberikan antikolinesterase,
kortikosteroid, imunosupresi dan pembedahan timektomi dengan
prognosis mendapat remisi yang baik.
18
20
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Swierzewski SJ. Myasthenia Gravis Overview, Types, Incidence and
Prevalence [Internet]. HealthCommunities. 2015. Available from:
www.HealthCommunities.com
2. Hall JE. Excitation of Skeletal Muscle: Neuromuscular Transmission and
Excitation-Contraction Coupling. Guyton and Hall Textbook of Medical
Physiology. 13th ed. United States of America: Elsevier; 2011.
3. Ginsberg L. Saraf dan Otot. In: Safitri, Amalia. Astikawati R, editor.
Neurologi. 8th ed. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2007. p. 156–8.
4. Myastenia Gravis. www.mgindonesia.org. 2012.
5. Ropper, Allan H. BrowN RH. Myasthenia Gravis and Related Disorders Of
The Neuromuscular Junction. Principle of Neurology. 8th ed. United States
of America: McGraw-Hill; 2005. p. 1250–62.
6. Howard JF. Myasthenia Gravis a Manual for tha Health Care Provider. 1st
ed. United States of America: Myasthenia Gravis Foundation of America;
2008.
7. Hughes BW, Ph D, Luisa M, Casillas M De, Kaminski HJ.
Pathophysiology of Myasthenia Gravis. 2004;24(1):21–30.
8. Sherwood L. Sususnan Saraf Tepi: Divisi Eferen. Fisiologi Manusia. 6th
ed. Jakarta: EGC; 2011. p. 257–70.
9. Arie, A.A Gde Agung. Adnyana MO, Widyadharma IPE. Diagnosis dan
tata laksana miastenia gravis. :1–23.
10. Dewanto, George. Sumono, Wj. Riyanto, Budi. Turana Y. Infeksi Sususnan
Saraf Pusat dan Gangguan Imunologis. Diagnosis dan Tata laksana
Penyakit Saraf. 1st ed. Jakarta: EGC; 2009. p. 62–4.
19
21
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan.....................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Definisi Miastenia gravis..........................................................................3
2.2 Sejarah Miastenia Gravis..........................................................................3
2.3 Epidemiologi Miastenia Gravis...............................................................4
2.4 Etiologi Miastenia Gravis........................Error! Bookmark not defined.
2.5 Gejala Klinis Miastenia Gravis.................................................................7
2.6 Anatomi dan Patofisiologi Neuromuscular Junction.................................4
2.7 Patofisiologi Miastenia Gravis..................................................................7
2.8 Klasifikasi Miastenia Gravis.....................................................................7
2.9 Diagnosis Miastenia Gravis.......................................................................7
2.10 Penatalaksanaaan Miastenia Gravis.........................................................7
2.11 Komplikasi Miastenia Gravis...................................................................7
2.12 Prognosis Miastenia Gravis.......................................................................7
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................7
BAB 4 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................7