Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

42
BAB I PENDAHULUAN Do not resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan. DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak akan menerima RJP pada saat cardiac arrest. 10 Tujuan pelayanan kegawat-daruratan kardiovaskuler atau RJP adalah untuk mempertahankan hidup serta mengembalikan penderita dari kematian klinis. Belakangan ini tim kesehatan ataupun tim medis terutama dokter masih sering mengalami dilema dalam kode etik kedokteran. Dimana dokter dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit apakah harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah DNR. Misalnya jika tiba-tiba pasien mengalami henti jantung dan sebagai dokter, membiarkan pasien mati karena permintaan DNR dari pasien maupun keluarga. Tetapi apabila dilakukan RJP, dokter akan dianggap tidak menghormati keputusan pasien/keluarga dan dapat dituntut. Di satu pihak dokter tidak berhak untuk mengakhiri kehidupan, tugas utama ialah untuk menyembuhkan dan memperjuangkan kehidupan. Di lain pihak dokter memiliki kewajiban untuk menolong pasien yang menderita dan karena itu tidak boleh mengabaikan permintaan pasien atau keluarga. Hal ini akan berhadapan dengan masalah etik, apakah akan 1

description

Referat

Transcript of Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

Page 1: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

BAB I

PENDAHULUAN

Do not resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya

Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi

permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan. DNR secara umum

berarti bahwa pasien tidak akan menerima RJP pada saat cardiac arrest.10 Tujuan

pelayanan kegawat-daruratan kardiovaskuler atau RJP adalah untuk mempertahankan

hidup serta mengembalikan penderita dari kematian klinis.

Belakangan ini tim kesehatan ataupun tim medis terutama dokter masih sering

mengalami dilema dalam kode etik kedokteran. Dimana dokter dihadapkan oleh suatu

pilihan yang sulit apakah harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko

atau tidak terhadap keselamatan pasien. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah

DNR. Misalnya jika tiba-tiba pasien mengalami henti jantung dan sebagai dokter,

membiarkan pasien mati karena permintaan DNR dari pasien maupun keluarga. Tetapi

apabila dilakukan RJP, dokter akan dianggap tidak menghormati keputusan pasien/keluarga

dan dapat dituntut. Di satu pihak dokter tidak berhak untuk mengakhiri kehidupan, tugas

utama ialah untuk menyembuhkan dan memperjuangkan kehidupan. Di lain pihak dokter

memiliki kewajiban untuk menolong pasien yang menderita dan karena itu tidak boleh

mengabaikan permintaan pasien atau keluarga. Hal ini akan berhadapan dengan masalah

etik, apakah akan mengikuti sebuah perintah, “jangan dilakukan resusitasi ataupun tidak?”.

Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya juga harus

dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence, non maleficence,

autonomy dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prioritas prinsip-prinsip

tersebut dapat bervariasi antara kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Serikat sebagian

besar penekanan pada otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan pada penyedia

layanan kesehatan otonomi yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila

timbul masalah. Sedangkan di Asia keputusan kelompok masyarakat juga ikut mendominasi

keputusan yang diambil.

1

Page 2: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

Untuk itu pada referat berikut akan dibahas mengenai aspek etika serta medikolegal

mengenai permintaan Do not resuscitate (DNR) dari pasien maupun keluarga yang terjadi di

Indonesia dan negara lain sebagai pembanding.

2

Page 3: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bioetika

Etika kedokteran

Bioetik atau dikenal juga dengan istilah bioetika berasal dari kata bios yang memiliki

arti kehidupan dan ethos yang berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetik merupakan

studi interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi

dan juga ilmu kedokteran. ( Hanafiah, 2009 )

Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi kedokteran dalam

hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya serta

merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan medis

ditinjau dari segi norma - norma / nilai - nilai moral. ( Ismantoro, )

Saat ini, Bioetik tidak hanya membicarakan segala hal yang berkaitan dengan bidang

medis (seperti: abortus, eutanasia, teknologi reproduksi buatan, dan rekayasa genetik), tetap

juga membahas masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan

masyarakat, moralitas, lingkungan kerja, hak pasien, dsb. ( Hanafiah, 2009 )

Prinsip dasar bioetik

Di dalam kaidah dasar bioetik terkandung prinsip-prinsip dasar bioetik yang harus

selalu diperhatikan. Empat prinsip etik (beneficence, non-maleficence, auotonomy, dan

justice)  dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prinsip etik ini dapat bervariasi antara satu

kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya. ( Sachrowardi, 2011 )

Di Indonesia sendiri, ada 4 prinsip berkaitan dengan bioetik yang harus selalu

dipegang oleh seorang dokter. Keempat prinsip tersebut adalah:

a. Beneficence

Beneficence adalah prinsip bioetik dimana seorang dokter melakukan suatu tindakan

untuk kepentingan pasiennya dalam usaha untuk membantu mencegah atau menghilangkan

3

Page 4: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

bahaya atau hanya sekedar mengobati masalah-masalah sederhana yang dialami pasien.

( Pantilat, 2008 )

Lebih khusus, beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik,

menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam

kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa

seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang lebih bayak dampak baiknya

daripada buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi.

b. Non-maleficence

Non-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak melakukan suatu

perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan

yang paling kecil resikonya. “Do no harm” merupakan point penting dalam prinsip non-

maleficence. Prinsip ini dapat diterapkan pada kasus-kasus yang bersifat gawat atau darurat. (

Hanafiah, 2009 )

c. Autonomy

Dalam prinsip ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia,

terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara

logis dan membuat keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus

dihormati secara etik, dan di sebagain besar  negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu

diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah

dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis. ( Sachrowardi, 2011 )

Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu tindakan medis secara tertulis. Informed

consent menyaratkan bahwa pasien harus terlebih dahulu menerima dan memahami informasi

yang akurat tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang diusulkan, resiko, dan juga

manfaat dari tindakan medis tersebut ( Sachrowardi, 2011 ).

d. Justice

Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam bioetik. Justice

adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakukan yang adil untuk

semua pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan

tingkat ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb.

Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis dengan adil agar ada

kesamaan dalam perlakuan kepada pasien ( Sachrowardi, 2011 ). Contoh dari justice

4

Page 5: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang

untuk merawat orang tersebut.

Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal

dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dar seberapa penting masalah yang

sedang dihadapi oleh pasien ( ECC Guideline, 2010 ). Dengan mempertimbangkan berbagai

aspek dari pasien, diharapkan seorang dokter dapat berlaku adil.

Etika Klinik

Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan

pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen,Siegler dan

Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essensial dalam

pelayanan klinik, yaitu :

1. Medical indication

semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien

dan mengobatinya. Penilaian aspek medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama

menggunakan kaidah beneficence dan non-maleficence.

2. Patient preferrences

memperhatikan nilai (value) dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan

diterimnya, yang berarti cerminan kaidah autonomi.

3. Quality of life

merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau

meningkatkan kualitas hidup insani.

4. Contextual features

Pertanyaan etik seputar non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti factor

keluarga, ekonomi, agam, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.

2.2 Etika Pada Akhir Kehidupan

Persoalan yang dihadapi para professional kesehatan pada akhir kehidupan tidak kalah

pelik dibanding dengan persoalan di awal kehidupan. Persoalan dapat berupa masalah

sederhana seperti “bolehkah kita menghentikan terapi cairan dan nutrisi pada pasien ?”

hingga ke persoalan yang lebih rumit seperti, “seberapa jauh peran keluarga dalam membuat

keputusan medis terhadap pasien ?”, “apa sikap dokter bila pasien meminta terapi minimal?”

5

Page 6: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

yang kemudian dihubungkan dengan isu tentang letting die naturally, physician assisted

suicide, physician assisted death, euthanasia, masalah futility dan brain death.

Tindakan medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini dipertimbangkan

untuk tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut

dihentikan. Pertimbangan ini sebenarnya bukan pertimbangan baru, melainkan pertimbangan

yang telah ada pada jaman Hippocrates, yang dikenal sebagai anjuran “ to refuse to threat

those who are overmastered by their disease, realizing that in such cases medicine is

powerless”. Namun demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-

sia haruslah diambil dengan melalui pertimbangan yang ketat.

Sebagai contoh adalah tindakan CPR, yang pada mulanya hanya ditujukan untuk henti

jantung yang akut dan reversible, namun dalam prakteknya CPR diterapkan pada setiap kasus

henti jantung di rumah sakit, seolah-olah menjadi prosedur baku. Bahkan keluarga pasien

masih dapat menuntut dokter apabila tidak melakukan CPR, meskipun sebenarnya oleh

dokter telah dipertimbangkan futilitasnya.

Berkaitan dengan itu Asosiasi Dokter Amerika (AMA) memutuskan bahwa dokter tidak

memiliki kewajiban untuk memperoleh consent DNR (do not resuscitable) bila CPR dinilai

sudah merupakan toindakan sia-sia.

2.3 Hak dan Kewajiban Dokter-Pasien

1. Kewajiban Dokter

Kewajiban dokter dapat dibedakan dalam tiga kelompok,yaitu (periksa .Fred Ameln,1991:56-

57)

a. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan(health

care);

b. Kewajiban yang berhubungan dengan hak pasien, meliputi:

1) Hak atas informasi;

2) Hak memberikan persetujuan;

3) Hak memilih dokter;

4) Hak memilih sarana kesehatan(RS);

5) Hak atas rahasia kedokteran;

6) Hak menolak pengobatan /perawatan;

7) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu;

8) Hak untuk menghentikan pengobatan;

6

Page 7: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

9) Hak atas “second opinion”(pendapat kedua);

10) Hak melihat rekam medis.

c. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi kedokteran dan kewajiban yang

timbul dari standar profesi kedokteran.

2. Hak Dokter

Hak dokter meliputi antara lain ,sebagai berikut:(periksa.Fred Ameln,1991:64-66)

a. Hak untuk bekerja menurut standarmedik;

b. Hak menolak pelaksanaan tindakan medik,karena secara profesional tidak

dapat dipertanggungjawabkannya;

c. Hak melakukan tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak baik;

d. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien ;

e. Hak atas privacy dokter;

f. Hak atas informasi pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap

dokter;

g. Hak atas balas jasa;

h. Hak atas pemberian penjelasan yang lengkap oleh pasien tentang penyakitnya;

i. Hak membela diri;

j. Hak memilih pasien;

k. Hak menolak memberi keterangan tantang pasien di pengadilan.

B. Hak dan Kewajiban pasien

1. Hak Pasien

Menurut H.j.j. Leenen,hak pasien yang bersifat umum dapat dirinci sebagai

berikut:

(Periksa Prasetyo Hadi Purwandoko dan Suranto,1991:66-67)

a. Hak atas perawatan dan pengurusan perawatan;

b. Hak menolak cara perawatan tertentu;

c. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit;

d. Hak atas informasi;

e. Hak menolak cara perawatan tanpa ijin;

f. Hak atas rasa aman dan tidak diganggu (“privacy”);

g. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan ;

7

Page 8: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

h. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan.

Sedangkan menurut keputusan hukum kesehatan ,kewajiban pasien dirinci

sebagai berikut :(Periksa. Fred Ameln,1991: 40-41)

a. Hak atas informasi ;

b. Hak memberikan persetujuan ;

c. Hak memilih dokter;

d. Hak memilih sarana kesehatan (RS);

e. Hak atas rahasia kedokteran ;

f. Hak menolak pengobatan /perawatan;

g. Hak menolak suatu tindakan medis tertentu;

h. Hak untuk menghentikan pengobatan ;

i. Hak atas “second opinion “(pendapat kedua);

j. Hak melihat rekam medis.

Hak butir a dan b tersebut dinamakan “informed Consent”.

Dari hak-hak pasien tersebut dimuka ,ada dua hak yang sangat

penting ,sebagai dasar atau tumpuan hukum kedokteran ,yaitu hak menentukan

nasib sendiri dan hak atas informasi.

2. Kewajiban Pasien

Selain mempunyai hak pasien juga mempunyai kewajiban. Suatu kewajiban

moral pasien ialah memelihara kesehatannya . Kewajiban pasien ini merupakan

hak bagi dokter /rumah sakit . Kewajiban pasien menurut hukum dapat dirinci

sebagai berikut : (Lihat Soerjono Soekanto,1989:162-163)dan Fred

Ameln,1991 :53-54)

a. Kewajiban memberikan informasi secara lengkap kepada dokter / tenaga

kesehatan tentang penyakitnya;

b. Kewajiban melaksanakan nasehat-nasehat yang diberikan oleh dokter /

tenaga kesehatan (mentaati petunjuk dan instruksi dokter);

c. Kewajiban menghormati kerahasiaan diri dan dokter/ tenaga kesehatan

wajib menyimpan rahasia kedokteran;

d. Kewajiban memberikan ganti rugi bila tindakannya (pasien) merugikan

pihak lain ;

8

Page 9: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

e. Kewajiban berterus terang bila timbul masalah (dalam hubungannya dengan

tenaga kesehatan);

f. Kewajiban mentaati aturan rumah sakit ;

g. Kewajiban memberikan imbalan jasa kepada dokter/ tenaga profesional yang

telah diberikan oleh dokter/tenaga kesehatan;

h. Kewajiban melunaskan biaya rumah sakit.

Dari penjelasan dimuka ,jelaslah bahwa akibat transaksi terapeutik dokter

pasien ialah lahirlah hak dan kewajiban masing- masing pihak (dokter-pasien ).

Salah satu syarat agar transaksi terapeutik itu sah menurut hukum ialah adanya

persetujuan ,yaitu persetujuan untuk dirawat dengan menggunakan cara

/teknik/terapi tertentu yang sudah disepakati bersama berdasarkan informasi yang

lengkap dan akurat tentang penyakit yang dideritanya tentang kemungkinan

akibat yang bisa timbul,yang akhirnya berdasarkan informasi tersebut

menentukan sendiri sikap terhadap salah satu dari sekian banyak cara

/teknik/terapi yang diinformasikan kepadanya.

Dalam transaksi terapeutik upaya penyembuhan merupakan perjanjian

yang sifatnya memberikan bantuan pertolongan . Dengan demikian merupakan

upaya yang hasilnya belum pasti . Dan yang penting ialah bahwa bantuan

pertolongan itu harus dengan hati-hati dan penuh ketegangan (“medzorg on

inspanning”). Upaya penyembuhan hanyalah satu “inspanningsverbintenis”,satu

perjanjian mengupayakan penyembuhan yang harus dilakukan dengan hati-hati

dan penuh ketegangan .Akibatnya bila upaya penyembuhan gagal,maka kesalahan

tidak hanya ditimpahkan kepada dokter saja,karena sejak semula upaya yang

berupa terapi itu dicari bersama –sama dan disepakati bersama dalam memilih

yang paling tepat ,jadi kegagalan merupakan konsekuensi bersama antara Dokter

–Pasien (Periksa. Hermien Hadiati Koeswadji,1984: 31-33 dan Fred

Ameln,1991:42).

Informed Consent sebagai persetujuan sepihak dari pasien tidak mungkin

diberikan bila tidak didasarkan atas informasi tentang penyakit dan upaya

penyembuhan yang lengkap ,jelas,serta tindakan –tindakan apa yang dapat

dilakukan , serta kemungkinan- kemungkinan apa saja yang dapat terjadi.

Informed Consent inilah yang dijadikan dasar bagi pasien untuk akhirnya

memutuskan secara mandiri atau tidak ada tindakan terapeutik yang akan diambil.

9

Page 10: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

Kedudukan Informed consent yang demikian itu harus dicatat dan direkam dalam

Rekam Medik /Kesehatan (RM/K), yang dalam kepustakaan disebut “medical

record” Dengan demikian persetujuan merupakan dasar bagi pembenaran

dilakukannya salahsatu tindakan terapeutik tertentu karena persetujuan baik

tertulis maupun diam-diam mempunyai arti diatas hukum ,sebab dalam perjanjian

peresetujuan merupakan syarat bagi berlakunya persetujuan .

Dalam transaksi terapeutik , para pihak dalam perjanjian itu bukan hanya

dokter-pasien saja secara pribadi. Sebab pasien /penderita akan berusaha

mendatangi baik dokter sebagai orang perseorangan maupun orang dalam bentuk

badan hukum(rumah sakit ,yayasan,atau lembaga lain ).Sehingga dapat dibedakan

antara kelompok pasien yang memang secara nyata mengadakan perjanjian dan

kelompok pasien yang tanpa mengadakan suatu perjanjian . Pembedaan ini

memperjelas hubungan yang dapat ditimbulkan secara langsung dari adanya

perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam

perjanjian . Hal ini penting dalam kaitannya bila terjadi kesalahan yang

disengaja ,yang dapat diselesaikan secara langsung oleh pihak yang dirugikan

kepada pihak yang menyebabkan kesalahan tadi. Pentingnya hal tersebut,karena

dalam hukum ada pihak –pihak yang tidak mampu bertindak dalam perjanjian

(seperti : anak dibawah umur,orang yang cacat jiwanya),sehingga mereka tidak

mampu bertindak secara mandiri sebagai pihak dalam perjanjian. Disamping itu

dari pihak dokter pun ,dalam perjanjian dapat terjadi pada seorang perawat yang

tidak mempunyai kewenangan bertindak tetapi menjalankan tugasnya karena

perintah dokter atau rumah sakit . Perjanjian dengan rumah sakit akan

mempunyai efek yang berbeda.Lebih- lebih bila dalam penanganan pelayanan

kesehatan tersebut pihak yang dimaksud berupa tim.

Sedangkan syarat lainnya agar transaksi terapeutik itu sah menurut hukum ,

harus memenuhi syarat sahnya perjanjian , sebagaimana dapat dilihat dalam pasal

1320 KUH Perdata (BW), yaitu antara lain : adanya kata sepakat para pihak, para

pihak mampu untuk bertindak , isi perjanjian jelas , dan apa yang diperjanjikan

tidak boleh bertentangan dengan undang – undang maupun hukum yang berlaku

pada saat perjanjian itu dibuat (Periksa syarat umum perjanjian di dalam 1320

KUH Perdata /BW). Disamping itu ,isi dan pelaksanaan perjanjian pada

hakekatnya berisikan hal-hal :tidak bertentangan dengan kepatutan , berdasarkan

10

Page 11: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

etikad baik, dan mencakup kepentingan para pihak. Kepatutan dan etikad baik itu

dikaitkan dengan tolak ukur yang berlaku dalam masyarakat setempat.

2.4 Do not resuscitate (DNR)

2.4.1 Definisi

DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan  tenaga medis

untuk tidak melakukan RJP. Hal ini berarti bahwa dokter,  perawat, dan tenaga emergensi

medis tidak akan melakukan usaha RJP emergensi bila pernapasan maupun jantung pasien

berhenti.

2.4.2 Sejarah DNR

Perintah DNR sudah dipergunakan selama kurang lebih dua decade, argumen untuk

penggunaan DNR meliputi peningkatan otonomi pasien, menghindari intervensi medis yang

sia-sia, dan biaya rawat inap. ICU merupakan pengaturan dimana pasien dapat dikenakan

intervensi medis yang mahal, menyakitkan, dan tidak manusiawi, terutama pada prektek yang

terkait dengan jantung paru. Sejumlah penelitian telah menunjukan bahwa dalam situasi

klinis tertentu, cpr hampir selalu sia-sia. Tugas dokter adalh untuk mengkomunikasikan

pengetahuannyatentang kedua kemungkinan apa yang terjadi, dan hasil yang bisa dicapai dari

rjp kepadda pasien dan keluarga pasien dan kemudian untuk membantu pasien atau keluarga

pasien dalam mambuat keputusan tentang resusitasi. Kunci untuk proses ini addalah tindakan

di awal, komunikasi efektif antara dokter, pasien dan keluarga pasien.

Awalnya digambarkan pada tahun 1960, penekanan pada dada di dekat jantung

diterapkan pada pasien yang mengalami kardio pulmonal arrest. Singkat kata, pasien yang

dilakukan usaha CPR banyak yang sekarat. Literature menunjukan bahwa resusitasi diyakini

menjadi sia-sia atau non beneficial, staf rumah sakit mengupayakan resusitasi palsu atau tidak

mengaktifkan “tim kode” sama sekali, beberapa lembaga bahkan mengembangkan cara

rahasia untuk mengidentifikasi orang – orang yang tidak akan memenuhi syarat untuk upaya

resusitasi. Ke khawatiran yang timbul mengenai dokumentasi yang tidak memadai,

akuntabilitas dokter, dan fakta bahwa pasien dan keluarga mereka sering dikecualikan dari

proses pengambilan keputusan. Tuduhan paternalism dan pengambilan keputusan rahasia

11

Page 12: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

yang dibuat, dan kekhawatiran yang timbul mengenai erosi kepercayaan antara petugas

kesehatan dan masyarakat.

Itu tidak sampai pertengahan 1970 an bahwa keputusan untuk tidak resusitasi di

sahkan. Di Amerika Serikat, American Medical Association pertama di rekomendasikan

bahwa keputusan untuk mengobarkan resusitasi secara resmi didokumentasikan dan

dikomunikasikan. Selain itu juga ditekankan bahwa CPR dimaksudkan untuk pencegahan

kematian (tiba-tiba/ terminal), eksplisit dnr kebijakan segera diikuti, dan hak pasien untuk

menentukan nasib sendiri dipromosikan. Pada akar dari perdebatan, diasumsikan bahwa

pasien akan selalu memilih resusitasi, dan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan

itu diperlukan persetujuan eksplisit mereka. Kritikus mempertanyakan pendekatan semacam

itu dan berpendapat bahwa CPR tidak pernah dimaksudkan dalam segala situasi, oleh karena

itu CPR hanya ditawarkan kepada mereka yang secara medis diindikasikan. Namun, tahun

1983, komisi presiden untuk studi masalah etis di kedokteran tidak setuju, upaya resusitasi

yang dilakukan dihampir semua kasus, dan pasien dianggap telah melakukan persetujuan

implisit untuk CPR dengan demikian, CPR menjadi standar perawatan, dan semua pasien

“kode penuh” kecuali jelas didokumentasikan sebaliknya. Perintah DNR kemudian di

terapkan disemua lingkungan rumah sakit.

2.4.3 Indikasi dan kontraindikasi medis untuk DNR

Keputusan untuk menulis perintah DNR harus didasarkan pada dua pertimbangan

penting. Yang pertama adalah penilaian bahwa RJP akan sangat tidak mungkin untuk berhasil

dalam memulihkan irama jantung kembali ke normal. Kedua didasarkan pada preferensi

pasien, Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pasien atau pengganti. Preferensi pasien

seringkali mencerminkan penilaian mereka sendiri terhadap kualitas hidup sendiri. Kedua

aspek harus dinilai dalam setiap keputusan untuk menulis perintah DNR.

Semua orang yang menderita henti kardiorespirasi tak terduga harus dilakukan RJP,

kecuali:

A. Pasien memiliki perintah DNR.

B. Ada bukti yang meyakinkan bahwa pasien sudah mati, seperti rigor mortis,

pemenggalan kepala, atau sianosis

12

Page 13: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

C. Tidak ada manfaat fisiologis yang dapat diharapkan karena fungsi vital telah

memburuk meskipun telah diberikan terapi maksimal untuk kondisi seperti syok

kardiogenik.

2.4.3.1 Permintaan DNR sepihak

Hal ini didapatkan dari persetujuan dari pasien atau wali pasien untuk tidak dilakukan

RJP. Namun, ahli etika medis memberikan beberapa pertanyaan, apakah pernah secara etis

dapat diterima oleh seorang dokter untuk membuat keputusan sepihak, yaitu keputusan untuk

tidak melakukan resusitasi tanpa persetujuan dari pasien atau wali pasien, bahkan mungkin

dalam menghadapi keberatan dari pasien atau pengganti. Mereka yang mendukung keputusan

sepihak berpendapat bahwa penilaian medis untuk tidak melakukan RJP bukan indikasi

medis ketika akan probabilistic yang sia-sia. Dalam kasus seperti itu, mereka berpendapat,

tidak harus ditawarkan sebagai pilihan klinis yang wajar. Mereka yang menolak keputusan

sepihak mempertahankan bahwa pasien harus selalu memiliki hak untuk menolak atau

memilih RJP, Karena keputusan tentang tujuan pengobatan, dan kemungkinan diterima untuk

mencapai tujuan tersebut adalah pertimbangan nilai yang hanya dapat dibuat oleh pasien

tersebut. Tergantung pada tujuan bahkan kesempatan terkecil untuk kesuksesan resusitasi

kepada pasien. para kritikus juga mencatat bahwa ada kekurangan kesepakatan tentang apa

yang dimaksud dengan "sia-sia" dan bahwa dokter tidak konsisten dalam aplikasi mereka

dalam konsep kesia-siaan. Akhirnya, mereka juga memperingatkan bahwa keputusan sepihak

terbuka bagi minoritas biasa terhadap resiko ras dan pasien lain yang mungkin mengalami

diskriminasi.

2.4.4 Dokumentasi permintaan DNR

Dokter harus jelas menulis dan menandatangani perintah DNR dalam grafik pasien.

Catatan kemajuan harus mencakup fakta-fakta medis dan pendapat yang mendasari tatanan

dan ringkasan dari diskusi dengan pasien, konsultan, staf, dan keluarga. Status permintaan

harus diubah jika diperlukan karena kondisi pasien. Semua orang yang terlibat dengan

perawatan pasien harus diberitahu tentang permintaan DNR dan dasar pemikirannya. Karena

penelitian telah menunjukkan bahwa DNR berarti hal yang berbeda untuk praktisi yang

berbeda, dokter menulis permintaan harus berhati-hati untuk mendokumentasikan persyaratan

spesifik dari permintaan. Keputusan untuk menahan atau menarik intervensi selain DNR

13

Page 14: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

harus dicatat dengan penulisan perintah khusus bukan menggunakan urutan DNR untuk

menutupi berbagai keputusan. Penulisan permintaan DNR seharusnya tidak memiliki

bantalan langsung pada setiap pengobatan selain RJP. Dokter harus ingat bahwa banyak

pasien untuk permintaan DNR bertahan untuk menunggu surat persetujuan permintaan pasien

dikeluarkan dari rumah sakit. Jika pasien diterima kembali, Permintaan DNR yang ada di

grafik pasien dari pengakuan sebelumnya harus ditinjau bersama pasien dan pengganti dan

dalam indikasi medis yang jelas.

Jika perintah DNR belum ditulis, pasien dianggap menjadi "kode penuh". umum,

petugas rumah dan perawat yang ingin mengetahui kode status pasien sakit parah atau dengan

pengganti, terutama jika pengakuan pasien yang tiba-tiba dan tak terduga. jika pasien untuk

siapa kode status belum ditentukan menderita serangan jantung, upaya pernafasan yang wajar

harus berlaku, kecuali dalam sebuah contoh dari kesia-siaan fisiologis yang jelas.

Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien maupun di

catatan yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan, atau untuk pasien di

rumah. Perintah DNR di rumah sakit memberitahukan kepada staf medis untuk tidak

berusaha menghidupkan pasien kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya terjadi

di rumah, maka perintah DNR berarti bahwa staf medis dan tenaga emergensi tidak boleh

melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien ke rumah sakit untuk CPR.

2.4.5 Portabilitas DNR

Pasien untuk permintaan DNR telah ditulis di rumah sakit mungkin debit dengan

harapan bahwa mereka akan segera mati. Dan pasien ingin mati di rumah sendiri daripada di

rumah sakit. Anggota keluarga terkadang memanggil bantuan darurat jika pasien mengalami

kondisi krisis di rumah. Di Amerika Serikat, paramedis yang datang ke rumah pasien untuk

memberikan resusitasi biasanya tidak menanyakan perihal adanya advance directive yang

dimiliki pasien, dan kemudian memberikan resusitasi tanda mempertimbangkan keinginan

pasien. Seiring dengan perkembangan waktu, dikembangkanlah cara-cara untuk melindungi

pilihan individual pasien yang sudah dibuat sebelumnya, yakni untuk tidak menerima

resusitasi. Metode ini disebut sebagai portable DNR. Metode ini berupa benda-benda yang

sudah dibentuk secara standar seperti gelang, kalung ataupun kartu yang dapat disimpan pada

dompet pasien untuk menandakan bahwa pasien memiliki permintaan tertentu yang berkaitan

dengan aspek medis terhadap dirinya. Bagi pasien yang memiliki benda-benda yang seperti

14

Page 15: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

yang tersebut diatas, maka petugas paramedic yang dtaang tidak diperkenankan melakukan

RJP jika diperlukan, meskipun perawatan dan pengobatan lainnya dapat dilakukan.

2.4.6 Tipe permintaan DNR

Keberagaman pasien, penyakit, dan pengobatan membuat perintah DNR harus

dilakukan penyesuaian sewaktu-waktu. Beberapa contoh pelayanan DNR yang biasa

dilakukan:

DNR pada perawatan

Jenis perintah DNR tipe ini dilakukan langsung ketika pasien melakukan

permintaan. Meliputi pelayanan kesehatan sebelum dan setelah terjadinya henti

jantung ataupun henti paru, termasuk tidak diberikannya obat-obatan resusitasi

pada saat akan terjadi henti jantung atau henti paru. Permintaan ini biasanya

diminta oleh pasien dengan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, harapan hidup

yang kecil, kemungkinan bertahan dari RJP yang sedikit, dan keinginan untuk

membiarkan terjadinya kematian secara alami tanpa diberikan intervensi.

DNR pada henti kardiorespirasi

Jenis DNR ini diberlakukan ketika pasien mengalami henti jantung atau henti

paru. Obat-obat resusitasi masih diberikan pada saat sebelum terjadinya henti

jantung ataupun henti paru, namun tidak saat kedua kondisi ini telah terjadi pada

pasien. Tipe DNR ini adalah DNR yang paling sering ditemui sebagai permintaan

oleh pasien dan ditemukan pada rekam medis pasien.

DNR spesifik

Tipe DNR spesifik adalah tipe DNR yang jelas menyebutkan permintaan dari

pasien. Tindakan resusitasi apa yang tidak diinginkan pasien, waktu yang

bagaimana tidak dilakukan lagi resusitasi, terangkum dalam permintaan DNR tipe

ini. Permintaan DNR ini biasanya tidak bersifat portable dan hanya bisa dilakukan

pada rumah sakit yang memang menjadi tempat pasien biasa mendapatkan

pelayanan medis.

2.4.7 Kriteria Pasien Kompeten dan tidak kompeten mengambil keputusan DNR

Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil keputusan,

telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten,

15

Page 16: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh

pengadilan, atau oleh surrogate decision-maker.

Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan diskusi perihal

DNR dengan pasien/walinya:

a. Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau CPR hanya

menunda proses kematian yang alami

b. Pasien tidak sadar secara permanen

c. Pasien berada pada kondisi terminal

d. Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding

keuntungan jika resusitasi dilakukan

Berikut merupakan kriteria bagi pasien yang dianggap kompeten dan tidak kompeten

dalam memberikan perintah DNR serta pihak lain yang dapat mengambil keputusan (pada

pasien yang tidak kompeten) ;

a. Kriteria pasien kompeten

1. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa yang telah berusia lebih dari 18 tahun,

yang memikili kapasitas yang adekuat untuk membuat keputusan dan memiliki

kesadaran untuk menanggung resiko dari keputusan yang dibuat.

2. Pasien yang kompeten telah dengan sadar membuat keputusan untuk melakukan DNR

setelah mendengarkan penjelasan tentang segala hal yang berhubungan dengan

tindakan tersebut dan konsekuensinya. Jika terdapat keraguan, maka pasien dapat

berkonsultasi dengan komite etik rumah sakit.

3. Jika pasien memang kompeten untuk mengambil keputusan tersebut maka persetujuan

keluarga, petugas medis, atau pengambilan keputusan lainnya tidak dibutuhkan untuk

mensahkan keputusan. Adanya ketidaksetujuan dari keluarga tidak bisa membatalkan

keputusan yang diambi9l oleh pasien yang kompeten.

b. Kriteria pasien tidak kompeten

1. Seorang pasien yang tidak kompeten adalah pasien yang berusia dibawah 18 tahun,

dan atau memiliki retardasi mental sehingga tidak dapat memutuskan atau

mempertanggungjawabkan keoutusan yang diambil seputar DNR.

16

Page 17: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

2. Ketika menangani pasien yang tidak berkompeten, seorang dokter perlu memikirkan

keputusan medis seperti apa yang sekiranya tidak akan efektif jika diberikan untuk

mengantisipasi adanya keinginan pasien membuat pernyataan DNR.

3. Pada pasien yang tidak kompeten, yang lebih penting untuk dipikirkan oleh seorang

dokter adalah bahwa tindakan permintaan DNR tidak dapat disetujui oleh dokter yang

merawat. Dikarenakan hal tersebut, dokter harus berdiskusi dengan keluarga pasien

untuk mengambil keputusan yang menyangkut keinginan pasien.

4. Jika pasien mengikuti suatu asuransi, maka dokter yang merawat harus mengikuti

keputusan yang sudah dimiliki oleh asuransi tempat pasien ikut. Dokter yang merawat

perlu mendiskusikan keaadaan pasien dengan dokter perusahaan yang dimiliki oleh

pihak asuransi pasien.

5. Jika pasien memiliki pelindung yang ditunjuk, dokter harus mengikuti keputusan yang

diambil oleh pelindung pasien. Dokter harus mendiskusikan keadaanpasien dengan

pelindung yang memiliki otoritas terhadap perawatan medis pasien. Dokumen yang

berhubungan dengan hubungan pasien dan pelindung harus disertakan dlaam rekam

medis pasien.

6. Seorang dokter tidak dibenarkan secara etik untuk mempertahankan atau mengambil

keputusan terhadap intervensi yang menyangkut pilihan hidup pasien. Jika pandangan

dokter secara medis berbeda dengan pihak pasien maka keluarga, wali yang ditunjuk,

ataupun pelindung pasien berhak mencari pandangan lain tentang keadaan pasien

pada dokter lainnya. Jika hal ini terjadi, maka dokter yang merawat pasien harus

memberikan tanggung jawab merawat pasien pada dokter yang dipercaya oleh

keluarga untuk merawat pasien.

c. Wali/Pengampu dari Pengambil Keputusan (Surrogate Decision Makers)

Ketika seorang pasien telah kehilangan kapasitas untuk membuat keputusan medis, maka

saudara dekat atau teman- nya dapat menjadi wali/pengampu dalam membuat keputusan

pengganti bagi pasien. Banyak Negara mempunyai hukum yang menunjuk wali/pengampu

pengganti hukum pembuat keputusan melalui kuasa hukum perawatan kesehatan untuk waktu

yang lama (durable power of attorney for health care). Adapun urutan prioritas pembuat

keputusan untuk wali yang ditunjuk adalah sebagai berikut: (1) pasangannya, (2) anak

dewasa, (3) orang tua, (4) saudara kandung, (5) orang yang dipilih pasien sebagai wali

pengganti apabila pasien nanti dalam keadaan inkapasitas dan (6) perawat kesehatan yang

17

Page 18: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

profesional yang ditunjuk oleh hukum. Pengganti atau wali/ pengampu harus membuat

keputusan yang sesuai dengan keinginan pasien pada saat pasien tidak mempunyai kapa- sitas

dalam mengambil keputusan. Jika keinginan pasien tidak diketahui maka keputusan yang

diambil harus berdasarkan kepentingan yang terbaik untuk pasien.1

Anak-anak harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan pada tingkat yang sesuai

dengan kedewasaan dan sebaiknya ditanya tentang persetujuan perawatan kesehatan pasien

ketika dia mampu melakukannya. Di banyak negara berapa usia yang pantas untuk diminta

mengambil keputusan ini berbeda-beda. Jika terdapat konflik antara or- ang tua dan anak

dalam mengambil keputusan maka setiap upaya harus dilakukan untuk menyelesaikan

konflik.

2.4.8 Advance Directive

Advance directive atau petunjuk perawatan mendatang adalah suatu dokumen sah

secara hukum, yang ditulis sebelum pasien menderita penyakit yang bersifat incapacitating,

pernyataan ekspresi dari pikiran pasien, tentang kepeduliannya terhadap keinginan, atau

preferensi pada akhir kehidupan. Petunjuk ini meleluasakan pasien untuk menyatakan

preferensinya mengenai perawatan medis. Terdiri dari dua jenis dokumen yaitu:

Living will

Living Will atau surat wasiat yang menginstruksikan dokter yang merawat pasien

tersebut untuk tidak memberikan pengobatan untuk memperpanjang hidup jika

pasien menderita penyakit yang bersifat terminal condition atau permanently

unconscious. Dalam surat wasiat ini juga harus dituliskan apabila pasien tidak

menginginkan perawatan seperti pemberian makanan atau minuman melalui alat

bantuan.

Durable Power of Attorney for Health care.

Durable Power of Attorney for Health Care atau surat kuasa tanpa waktu tertentu

untuk perawatan kesehatan adalah dokumen yang memberikan wewenang pada

orang yang pasien tunjuk untuk bertindak sebagai wakil pasien untuk membuat

keputusan medis bagi pasien jika dirinya menjadi tidak mampu melakukannya

sendiri. pasien dapat menyertakan petunjuk tentang perawatan apa yang

diinginkan atau tidak diinginkan, berapa lama pasien ingin mencoba pengobatan

yang memungkinkan kesembuhan dalam dokumen ini.

18

Page 19: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

Adapun urutan prioritas pembuat keputusan untuk wali yang ditunjuk adalah sebagai

berikut:

(1) pasangannya, (2) anak dewasa, (3) orang tua, (4) saudara kandung, (5) orang yang dipilih

pasien sebagai wali pengganti apabila pasien nanti dalam keadaan inkapasitas dan (6) perawat

kesehatan yang profesional yang ditunjuk oleh hukum. Pengganti atau wali/pengampu harus

membuat keputusan yang sesuai dengan keinginan pasien pada saat pasien tidak mempunyai

kapasitas dalam mengambil keputusan. Jika keinginan pasien tidak diketahui maka keputusan

yang diambil harus berdasarkan kepentingan yang terbaik untuk pasien.

Dokumen-dokumen ini dapat diubah sewaktu-waktu isinya atas sekehendak pasien.

Perbedaan dari kedua jenis dokumen ini adalah, surat wasiat berlaku apabila pasien sudah

tidak memiliki harapan untuk hidup, sedangkan surat kuasa tanpa waktu tertentu untuk

perawatan kesehatan berlaku bilamana pasien menjadi tidak mampu untuk membuat

keputusan – misalnya, sewaktu operasi, atau bahkan bila pasien dalam keadaan tidak sadar

sementara. Dokumen-dokumen ini dapat dicabut atau dibatalkan oleh pasien secara lisan atau

tertulis setiap saat. Beberapa hal yang memepengaruhi dokumen-dokumen ini seperti

perceraian yang membuat perwalian pengambilan hak keputusan medis menjadi berakhir jika

yang menjadi wali adalah pasangan dari pasien dan pasien belum mencantumkan nama

alternative di dalam dokumen milik pasien. Salinan dari dokumen-dokumen ini dimiliki oleh

dokter, rumah sakit, keluarga dan orang yang dipilih oeh pasien unutk menjadi walinya dalam

mengambil keputusan medis, atau disimpan pada tempat perawatan jangka panjang, misalnya

panti jompo.

Belakangan ini, suatu prosedur dimana pasien dapat menolak tindakan ke dalam suatu

pernyataan resmi disebut sebagai Advance Decision to Refuse Treatment (ADRT). Syarat hak

pengajuan ADRT kepada dokter dan pekerja kesehatan lain umumnya sama syaratnya dengan

syarat pasien yang kompeten dalam permintaan DNR. Pembuat ADRT harus benar-benar

memahami implikasi dari ADRT ketika dibuat. Salah satu kunci pembuatan keputusan adalah

memastikan kevalidan ADRT.

Pembuatan ADRT dapat dalam bentuk formulir dan dapat juga dalam tulisan sendiri, dan

sebaiknya:

1. pernyataan yang ditulis akan lebih valid dan jelas, namun tetap valid jika dibuat

secara lisan dan direkam kedalam catatan

2. berikan rincian pembuat termasuk nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat,

19

Page 20: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

dan identifikasi lainnya yang diperlukan

3. termasuk nama dan alamat dokter

4. termasuk sebuah pernyataan bahwa ADRT sebaiknya digunakan jika orang tidak

memiliki kapasitas untuk menetapkan keputusan tindakan

5. tentukan dengan spesifik perawatan yang ditolak dan keadaan-keadaan dimana ADRT

akan berlaku

6. tulis tanggal (dan tanggal untuk peninjauan). Hal ini berguna untuk kepentingan anda

untuk meninjau ADRT secara teratur

7. tanda tangan pembuat ( atau tanda tangan seseorang yang telah dimintai pembuat atas

nama dan kehadiran mereka)

8. tanda tangan saksi, nama, dan rincian kontak yang bisa dihubungi, ditandatangani

dihadapan pembuat.

Penolakan perawatan oleh pasien dapat pula hingga penolakan pada perawatan petahanan

hidup (Refusal of Life Sustaining Treatment), yang termasuk dalam perawatan pertahanan

hidup ialah:

Cardio-pulmonary resuscitation : digunakan untuk 'memulai ulang' kerja jantung dan

pernapasan dan melibatkan tekanan kearah bawah secara teratur di atas dada bersama

tindakan napas buatan lewat mulut pasien atau tindakan pemberian oksigen.

Ventilasi: ini untuk menyediakan bantuan pernapasan dan melibatkan pemberian

oksigen atau lewat mesin ventilator yang mengalihkan fungsi pernapasan pasien.

Nutrisi dan hidrasi: ini adalah cara pemberian makanan maupun minuman lewat jalur

selain dari mulut. Tindakan ini melibatkan sebuah pipa atau tube terpasang langsung

menghubungi lambung lewat hidung atau dengan cara pemberian nutrisi dan hidrasi

lewat drip.

Sangat penting bagi pasien untuk mendiskusikan implikasi seputar penolakan perawatan

yang bersifat mempertahankan hidup dengan para pekerja kesehatan profesional ketika

keputusan mungkin berubah dengan keadaan.

Jika ADRT digabungkan dengan Penolakan Perawatan Pertahanan Hidup, maka dalam

pengajuannya mesti:

dalam tulisan (jika pasien tak dapat menulis, seseorang harus menuliskan untuk

pasien)

20

Page 21: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

ditandatangani oleh pembuat (pasien) (jika pasien tak dapat menandatangani, ia dapat

menunjuk langsung seseorang atas nama mereka)

ditandatangani di depan saksi. Saksi harus juga menandatangani di depan pembuat.

Harus ada pernyataan jelas bahwa ADRT tersebut berlaku untuk pengobatan tertentu

'bahkan jika kehidupan berada dalam resiko'.

Harus dicatat bahwa ADRT dalam bentuk lisan atau verbal tidak termasuk pengajuan

Penolakan Perawatan Pertahanan Hidup. ADRT dapat saja ditarik kembali sewaktu-waktu

oleh pasien (kecuali jika ADRT mengenai penolakan perawatan yang bersifat pertahanan

hidup). Jika hal ini terjadi dokter harus membuat pernyataan tertulis dan membiarkan orang-

orang yang terlibat dalam rencana perawatan tahu. Jika ADRT ditarik kembali, segala salinan

dari dokumen asli harus ditandai 'tidak aktif lagi'. Tanggal pembatalan dan siapa yang

membatalkan ADRT harus dicantumkan(1)

Pasien kemudian dapat menjalani pengobatan secara paliatif dengan tujuan meringankan

beban pasien, apalagi untuk kondisi kesehatannya yang tidak mungkin dilakukan. Tindakan

yang ada hanya untuk menghilangkan nyeri atau keluhan yang meresahkan lain, serta

perbaikan dalam bidang psikologis, sosial, dan spiritual. Tujuannya untuk mencapai kualitas

hidup maksimal bagi pasien dan keluarganya; yang diberikan pasien menjelang akhir

hayatnya(2)

Segala tindakan yang dilakukan harus dibawah standar prosedur operasional layanan

medis di rumah sakit yang berlaku saat ini. Rumah sakit juga harus memastikan pelayanan

medis dapat terselenggara dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan dan adanya

kepastian bahwa para profesional medis patuh pada peraturan dan prosedur baku(3)

Seperti informed consent, ADRT dibuat atas dasar menghormati otonomi dari pasien.

Disini pasien dinilai layak memutuskan untuk dirinya sendiri karena sadar, berpendidikan

cukup tinggi, dan sudah dewasa (usia 62 tahun). ADRT dapat disertai atau tidak disertai oleh

penolakan perawatan penunjang hidup (Refusal of Life Sustaining Treatment).

ADRT belum secara diatur oleh hukum yang sekarang terdapat di Indonesia. Namun

aspek hukum yang terkait ialah Pasal 52 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran dimana tertuliskan hak-hak pasien yang salah satunya tertulis dalam huruf d ialah

“menolak tindakan medis”.

Dengan adanya ADRT maka dokter mempunyai bukti yang dapat membebaskanya

dari ancaman Pasal 531 KUHP yang bertuliskan: “Barang siapa ketika menyaksikan bahwa

21

Page 22: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan

padanya, tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika

kemudian orang itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling

banyak tiga ratus rupiah.”.

Bila seorang dokter mengabaikan prinsip otonomi dan mengabaikan ADRT yang

telah dibuat oleh pasien, maka hal tersebut merupakan suatu pelanggaran etiko profesi

kedokteran. MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) akan menyidangkan kasus

dugaan pelanggaran etik tersebut dan memutuskan sanksi berdasarkan bukti-bukti yang ada.

2.4.9 Do not resuscitation (DNR) dan Allow Natural Death (AND)

Venneman et al, berpendapat bahwa Do not resuscitation adalah bermasalah dan

harus diganti dengan membiarkan mati wajar atau Allow Natural Death (AND),10 akan tetapi

beberapa penulis mengatakan bahwa Do not resuscitation (DNR) sama dengan Allow Natural

Death (AND).

Beberapa studi menyimpulkan bahwa 85% dari tenaga kesehatan umumnya

mendukung perubahan DNR ke AND. RJP telah disetujui oleh American Heart Association

tahun 1974 dan sejak itu, semakin banyak rumah sakit dan asosiasi medis profesional telah

mengadopsi pedoman untuk DNR orders. DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak akan

menerima RJP pada saat cardiac arrest.10 Namun istilah DNR dianggap lebih negatif karena

mengandung kata “do not” sehingga seringkali mempengaruhi keputusan pasien maupun

keluarga serta orang terdekat. Sehingga bagi beberapa tenaga medis di berbagai Negara

seperti Razak Dosani, Kepala Intensive Care Unit (ICU) Lee Memorial Hospital's dalam

sebuah artikel mengatakan lebih nyaman untuk menggunakan terminologi “Allow Natural

Death” sehingga pasien yang secara emosional bukan secara klinis terlibat dalamnya dapat

membantu pasien maupun keluarga dalam pembuatan keputusan.

2.4.10 Aspek Etika DNR

a. Beneficence

Beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik, menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang lebih banyak dampak baiknya daripada buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi. Jarang sekali pasien bertahan

22

Page 23: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irrevers- ible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia. Sehingga pada pasien terminal yang meminta DNR, dimana kemungkinan bertahan hidup sangat rendah, dengan melakukan tindakan RJP tidak membawa dampak serta keuntungan dalam penyembuhan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan DNR tidak bertentangan dengan prinsip etik beneficence.

b. Non-maleficence

Non-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak melakukan suatu

perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan

yang paling kecil resikonya. “Do no harm” merupakan point penting dalam prinsip non-

maleficence.

c. Autonomy

Dalam prinsip ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia,

terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara

logis dan membuat keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus

dihormati secara etik, dan di sebagain besar  negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu

diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah

dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis.

d. Justice

Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam bioetik. Justice

adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakukan yang adil untuk

semua pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan

tingkat ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb.

Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis dengan adil agar ada

kesamaan dalam perlakuan kepada pasien ( Sachrowardi, 2011 ). Contoh dari justice

misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang

untuk merawat orang tersebut.

Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal

dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dar seberapa penting masalah yang

23

Page 24: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

sedang dihadapi oleh pasien ( ECC Guideline, 2010 ). Dengan mempertimbangkan berbagai

aspek dari pasien, diharapkan seorang dokter dapat berlaku adil.

2.4.11 Aspek Medikolegal DNR

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran

Pasal 52 UU RI Nomor 29 Tahun 2004

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. menolak tindakan medis; dan

e. mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 29 Tahun 2004

Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Pasal 53 UU RI Nomor 29 Tahun 2004

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai

kewajiban :

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Pasal 50 UU RI Nomor 29 Tahun 2004

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan

standar profesi dan standar prosedur operasional;

24

Page 25: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur

operasional;

c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;

d. dan menerima imbalan jasa.

Pasal 51 UU RI Nomor 29 Tahun 2004

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

kewajiban:

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau

kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan

atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga

setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin

ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau

kedokteran gigi.

2. Pasal 531 KUHP

Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi

maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya

menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang

itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak

tiga ratus rupiah.

3. Persetujuan Tindakan Medik

Pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

a. Persetujuan tindakan medik/ informed consent adalah persetujuan yang diberikan

oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik

yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut;

b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa

diagnostik atau terapeutik;

c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi

keutuhan jaringan tubuh;

25

Page 26: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

d. Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter ggi/dokter gigi spesialis

yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek perorangan/bersama.

Pasal 2. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat

persetujuan.

(2) Persetujuan dapat diberikan secara tulisan maupun lisan

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat

informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta

resiko yang dapat ditimbulkannya.

(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan

serta kondisi dan situasi pasien.

Pasal 13. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari

pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat

izin prakteknya.

2.5 Contoh Kasus

Berikut merupakan contoh kasus permintaan Do not resuscitate (DNR) di Indonesia serta di

luar Indonesia;

1. Indonesia

Pasien laki-laki umur 32 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien tersebut

menderita cedera kepala berat (GCS = 8). Keadaan umum : lemah, koma. TD = 90/60 mmHg,

N= 110 x/ i, P= 30 x/i. Setelah dilakukan penanganan awal, pembebasan jalan nafas,

oksigenasi, dan resusitasi cairan. Saya lakukan pemeriksaan lanjutan di daerah dada,

didapatkan pengembangan dada tidak simetris kiri kanan, dada kiri lebih lambat, pemeriksaan

perkusi didapatkan dada kiri hipersonor, dan di dukung dengan hasil foto thoraks untuk

didiagnosa Pneumothoraks paru kiri, saya konsul ke spesialis bedah (sesuai prosedur rs)

maka di adviskan untuk segera dilakukan thorakotomi untuk mengeluarkan udara dari rongga

pleura, setelah informed consent dengan menjelaskan prosedur, alasan dilakukan, komplikasi

selama tindakan dan setelah tindakan, keluarga pasien menyetujui dan tanda tangan informed

consent, Setelah itu pasien kami observasi di ICU (sesuai instruksi dokter spesialis), pasien

26

Page 27: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

masih tidak sadar sampai subuh, sekitar pukul 04.30 wita pasien tidak bernafas, nadi tidak

teraba, kami informed consent untuk melakukan RJP atau pijat jantung. Namun pihak

keluarga pasrah dan menolak dilakukan RJP, saat itu alasan keluarga agar pasien pergi

dengan tenang. Saat itu sudah kami jelaskan alasan dilakukan, akhirnya keluarga pasien

menandatangani surat penolakan tindakan, pasien tidak lama meninggal.

2.

BAB III

SARAN DAN KESIMPULAN

27

Page 28: Referat Etikomedikolegal Dnr Revisi 1

28