Referat bang guruh revisi 1

35
BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala adalah salah satu masalah neurologi yang tampaknya kian meningkat seiring dengan perkembangan kota-kota yang semakin banyak dan semakin sibuk. Perkembangan kendaraan dan keberadaan jalan tidak seimbang, banyaknya dibangun gedung-gedung dengan tingkat yang tinggi juga memberikan kontribusi yang cukup terhadap perkembangan kasus ini. Akibat perubahan pola kesibukan masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memberikan dampak yang besar pula (Soebroto, 2009). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi 1

Transcript of Referat bang guruh revisi 1

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah salah satu masalah neurologi yang tampaknya kian

meningkat seiring dengan perkembangan kota-kota yang semakin banyak dan

semakin sibuk. Perkembangan kendaraan dan keberadaan jalan tidak seimbang,

banyaknya dibangun gedung-gedung dengan tingkat yang tinggi juga memberikan

kontribusi yang cukup terhadap perkembangan kasus ini. Akibat perubahan pola

kesibukan masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memberikan

dampak yang besar pula (Soebroto, 2009).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama

pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas,

selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,

penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan

dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum

serta neorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi

kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Cedera kepala adalah suatu gangguan

traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam

substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Safrizal, 2013).

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan

mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di

rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala

ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah

cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok

usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-

53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya

disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Data epidemiologi di

Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto

1

Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-

20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%

akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal

(Irwana, 2009).

Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin

bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita

cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau sesuai dengan

harapan kita. Angka kejadian cedera kepala (58%) laki-laki lebih banyak

dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi

dikalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan

masih rendah disamping penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang

terlambat (Arsani, 2012).

Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian pada 40-50%

pasien trauma kepala dan menyebabkan kecatatan jangka panjang. Sistem respon

emergensi yang cepat, tepat dan terorganisasi dengan baik dengan mentransfer pasien

cedera kepala dengan segera ke pusat penanganan trauma terdekat dapat menurunkan

morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Subaiya dkk., 2012).

Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang

memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara

konservatif. Salah satu penanganan bedah cedera kepala terbanyak adalah burr hole.

Metode evakuasi ini merupakan metode bedah yang paling sedikit invasif (Ishfaq

dkk., 2009). Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya

pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal,

kontrol pendarahan dan mencegah perdarahan ulang. Prognosa pasien cedera kepala

akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat (Japardi, 2004).

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Kepala

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung

atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,

fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri,

serta mengakibatkan gangguan neurologis (Irwana, 2009).

2.1.1. Klasifikasi Cedera Kepala

A. Berdasarkan mekanisme (Irwana, 2009)

1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor,

jatuh, atau pukulan benda tumpul.

2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda

tumpul.

B. Berdasarkan beratnya (Astrand dan Romner, 2012).

1. Ringan (GCS 14-15)

2. Sedang (GCS 9-13)

3. Berat (GCS 3-8)

C. Berdasarkan morfologi (Astrand dan Romner, 2012).

1. Fraktura tengkorak

a. Kalvaria

i. Linear atau stelata

ii. Depressed atau nondepressed

iii. Terbuka atau tertutup

b. Dasar tengkorak

i. Dengan atau tanpa kebocoran CNS

ii. Dengan atau tanpa paresis N VII

3

2. Lesi intrakranial

a. Fokal

i. Epidural

ii. Subdural

iii. Intraserebral

b. Difusa

i. Komosio ringan

ii. Komosio klasik

3. Cedera aksonal difusa

2.1.2. Prognosis Cedera Kepala

Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan

secara tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa faktor yakni (Japardi,

2004):

a. Prolong hipoksia dan hipotensi

b. Herniasi otak

c. Komplikasi-komplikasi sistemik

Pada salah satu studi prospektif dengan CT Scan didapat hasil (Japardi, 2004):

a. Pada cedera kepala berat : 30% CT Scan normal dan 70% abnormal

b. Pada cedera kepala ringan yang pemah mengaJami pingsan: 18% CT Scan

abnormal

c. 5% diantaranya memerlukan tindakan operasi.

d. Pada cedera kepala sedang: 40% CT Scan abnormal dan 8% memerlukan

tindakan operasi.

Dari bank data traumatic center ditemukan pada studi 275 pasien dengan

hematoma supratentorial didapat: 58% SDH, 26% ICH dan 16% EDH.

4

2.1.3. Tindakan Operasi Cedera Kepala

Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis

tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan

dan mencegah perdarahan ulang. lndikasi operasi pada cedera kepala harus

mempertimbangkan hal dibawah ini (Japardi, 2004):

1. Status neurologis

2. Status radiologis

3. Pengukuran tekanan intrakranial

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial (Japardi, 2004):

1. Massa hematoma kira-kira 40 cc

2. Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

3. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah

dengan GCS 8 atau kurang.

4. Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau

pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.

Hematoma akut ekstradural dan subdural adalah dua keadaan yang dapat

mengambil manfaat dari burr hole. Riwayat trauma dan diagnosis klinis yang jelas

sangat penting sebelum melakukan prosedur (Tausy dkk., 2008).

1. Hematoma ekstradural akut

Tanda-tanda klasik terdiri dari:

a. Kehilangan kesadaran diikuti lusid interval, dengan perburukan yang cepat

b. Perdarahan arteri meningea medial dengan peningkatan cepat tekanan

intrakranial

c. Muncul hemiparesis di sisi yang berlawanan dengan dilatasi pupil pada sisi

yang sama dengan daerah yang terkena dampak, dengan kerusakan yang cepat.

2. Hematoma subdural akut

Hematoma subdural akut, adalah darah yang membeku dalam ruang subdural

disertai memar parah pada otak yang terkena, terjadi dari robeknya vena yang

5

menjembatani antara korteks dan dura. Penanganannya adalah pembedahan dan

setiap usaha harus dibuat untuk melakukan burr hole dekompresi. Diagnosis dapat

ditegakkan berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan. Membuat burr hole

melalui tengkorak untuk mengevakuasi hematoma biasanya adalah tindakan darurat

dalam usaha menyelamatkan jiwa.

2.2. Burr Hole

Burr hole adalah suatu tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala

yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan intrakranial, sebelum

tindakan definitif kraniotomi dilakukan. Suatu pembedahan dengan membuat

lubang ke dalam tengkorak dengan cara mengebor, sehingga duramater terlihat,

memiliki tujuan untuk mengobati masalah kesehatan terkait peninggian tekanan

intrakranial. Pada era modern seperti sekarang ini, biasanya hanya digunakan

untuk mengobati hematoma epidural dan subdural. Prosedur ini pertama kali

dilakukan pada bulan Januari tahun 1980 (Darwin, 1994).

2.2.1. Burr Hole Eksplorasi

Ketersediaan alat CT scan telah membatasi kebutuhan kraniotomi

diagnostik secara luas. Burr hole eksplorasi adalah membuat lubang di beberapa

bagian kranium untuk mengeluarkan bekuan darah di bawah kranium dimana

fasilitas CT scan tidak tersedia. Burr hole eksplorasi dipertimbangkan pada

pasien dengan midriasis yang disebabkan oleh kelainan di otak, pada pasien

cedera kepala dengan hematom dan untuk mengekslusikan lesi massa

kontralateral pada pasien dengan perkembangan edema otak berat tiba-tiba

secara intraoperatif. Burr hole eksploratif ditempatkan di bagian pupil yang

midriasis, apabila tidak ada midriasis, burr hole pertama diletakkan di lokasi

fraktur kranium. Burr hole harus dilakukan dengan segera karena golden period

epidural hematom adalah (Tjandra dkk., 2005).

6

Pasien dalam keadaan berbaring, kepala dicukur total, diletakkan bantal

berbentuk donat di bawah kepala atau sebuah bantal berbentuk tapal kuda secara

tepat, sehingga memungkinkan untuk merubah posisi kepala selama prosedur

dan mencapai sisi kepala kontra lateral. Lokasi burr hole disesuaikan dengan

gejala neurologis (contoh reaktivitas pupil/ diameter, kelemahan tungkai,

lateralisasi ekstremitas). Apabila tidak terdapat bekuan darah epidura, dura

dibuka untuk mengeksplorasi bekuan darah subdural. Setelah epidural hematom

atau subdural hematom didiagnosis, burr hole diperbesar sehingga

memungkinkan hematom untuk diaspirasi untuk dekompresi sementara sebelum

prosedur kraniotomi dilakukan (Farquharson dan Moran, 2005).

Gambar 2.1 Lokasi Burr Hole EksplorasiSumber: http://www.pediatricneurosciences.com/

Menurut Natarajan dkk., dari 110 pasien yang mengalami cedera kepala

berat dan dilakukan burr hole eksplorasi, 61 pasien dinyatakan burr eksplorasi

positif sementara 49 pasien dinyatakan negatif. Hasil penelusuran post mortem

7

ditemukan hanya sedikit bekuan darah yang tersisa. Penelitian tersebut

mengindikasikan burr hole eksplorasi diagnostik merupakan metode yang

sensitif untuk mendeteksi masa intrakranial di tempat-tempat dimana fasilitas

CT scan tidak tersedia (Oestern Dkk., 2011).

Burr hole eksploratif belum dikatakan negatif sebelum seluruh sisi kepala

di borr. Apabila dipastikan eksplorasi negatif di satu sisi, maka burr-hole

dilakukan di sisi kontralateral. Pada hematomaa yang besar dapat terlihat bekuan

darah di ketiga sisi burr hole. Akhirnya, setelah eksplorasi dari kedua hemisfer

dinyatakan negatif, pasien diletakkan dalam posisi telungkup dan 2 burr hole

tambahan dilakukan di tulang oksipital. Keenam lubang tersebut cukup untuk

mengurangi tekanan intrakranial. Ketika tidak ada hematom atau massa yang

dievakuasi, patologi yang paling sering mendasari adalah edema otak akibat

konkusi otak. Selanjutnya, pemeriksaan CT scan dilakukan secepat mungkin dan

pasien dirujuk ke tempat yang lebih lengkap. Suatu keputusan yang sulit harus

dibuat ketika tidak terdapatnya fasilitas pencitraan apakah akan mengeksplorasi

sisi kontralateral atau ipsilateral (Tjandra dkk., 2005).

Ada beberapa tanda yang membantu dokter bedah untuk melakukan burr

hole eksplorasi (Oestern dkk., 2011):

a. Eksplorasi sisi pupil yang berdilatasi

b. Hemiparesis atau hemiplegia mengindikasikan kompresi kontralateral

c. Hematoma biasanya merembes ke kulit kepala, hal ini disebabkan derah

yang mengalir melalui celah-celah fraktur ke dalam jaringan lunak.

2.2.2. Indikasi Burr Hole

Indikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak

memungkinkan dan didapat (Fatigba dkk., 2013):

a. Dilatasi pupil ipsilateral

b. Hemiparese kontralateral

8

c. Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.

Tujuan tindakan burr hole (Eriktapan, 2009):

a. Mengetahui ada tidaknya perdarahan intrakranial

b. Mengurangi tekanan intrakranial

c. Mengetahui ukuran serta posisi letak perdarahan sebelum tindakan definitif

kraniotomi dilakukan.

2.2.3 Resiko Tindakan Burr Hole

Burr hole salah satunya pada hematoma subdural adalah prosedur umum

untuk ahli bedah. Risiko Burr hole dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) yang

berkaitan dengan daerah operasi, dan 2) yang berkaitan dengan risiko anestesi

(Weigel, dkk., 2003).

1. Risiko yang berkaitan dengan daerah operasi:

a. Tindakan Bedah: Pasien ditempatkan dalam posisi terlentang (pada

punggung). Terdapat resiko, tidak terjadinya penyembuhan kulit kepala pasca

bedah. Meskipun sangat jarang, bisa terjadi cedera atau robeknya kulit kepala

karena pemakaian klem Mayfield.

b. Cedera otak: Operasi yang menyebabkan paparan (exposure) terhadap

permukaan otak. Terdapat kemungkinan terjadi cedera otak. Jika demikian, ini

bisa mengakibatkan kelemahan, kejang, stroke, lumpuh, koma atau kematian.

Ada kemungkinan masih terdapat cairan sisa atau darah, yang suatu saat akan

membutuhkan operasi lanjutan. Jika cairan di sekitar otak terbagi-bagi dalam

kantong-kantong yang dipisahkan oleh membran, maka operasi cenderung

tidak dapat mengeluarkan semua cairan, dan malah hanya akan mengeluarkan

sebagian kecil saja. Hal tersebut juga akan membutuhkan operasi lanjutan.

Operasi kraniotomi kemungkinan besar akan mampu mengangkat selaput dan

hematom.

9

c. Risiko Umum: Termasuk penyulit yang umum ditemui seperti, pendarahan,

infeksi, stroke, kelumpuhan, koma dan kematian. Sayatan pada bagian kepala

bawah umumnya sembuh dengan baik, namun sayatan tersebut bisa saja nyeri,

atau sembuh dengan tidak sempurna, seperti muncul keloid. Ada juga

kemungkinan bahwa operasi tidak dapat meringankan gejala, yang mana

operasi tersebut memang bertujuan untuk meringankan gejala. Keluhan yang

merupakan suatu indikasi sebuah operasi dilakukan, bisa saja kambuh dan

membutuhkan operasi lanjutan di kemudian hari. Selain itu, meskipun setiap

upaya dilakukan untuk melindungi semua area tubuh dari tekanan terhadap

saraf, kulit dan tulang, namun cedera terhadap daerah-daerah ini tetap dapat

terjadi, terutama pada kasus-kasus operasi yang lama.

d. Risiko Anestesi: trombosis di tungkai, serangan jantung, efek samping obat

bius, reaksi alergi terhadap obat bius, dan reaksi transfusi darah, jika

diberikan.

2.2.4 Peralatan Burr Hole

Peralatan bedahnya standar (pisau, self-retainer, swab, bor, hock tajam dan

tumpul dan pisau cadangan). Jika memungkinkan, diatermi bipolar harus disiapkan.

Bor genggam (bor Hudson-Brace atau yang bertenaga udara) harus memiliki

perforator yang spesifik (misalnya mata bor kopling perforator (26-1221, Codman,

Johnson dan Johnson, Chicago, USA)). Semua peralatan harus disimpan bersama-

sama dan siap untuk digunakan di instalasi gawat darurat atau ruang operasi. Hal

yang penting pada saat persiapan adalah memeriksa mata bor cocok dengan bor

(Wilson dkk., 2012).

10

Gambar 2.2 Peralatan bedah sarafSumber: www.primary-surgery.org

2.2.5 Persiapan Pra Operasi (WHO, 2009).

a. Inform concern.

b. Cegah hipotensi, hipoksia.

c. Periksa CT scan, foto skedel, foto thoraks dan servikal.

d. Dua jalur infus line menggunakan blood set.

e. Periksa analisis gas darah, elektrolit dan darah rutin serta cross match

f. Pasang kateter

g. Antibiotik profilaksis sebelum operasi dimulai.

h. ETT yang adekuat.

i. lindungi kedua mata dari cairan, udara kering dan tekanan.

2.2.6. Teknik Operasi

1. Burr hole eksplorasi (Fatigba dkk., 2013).

a. Tentukan areanya : di sisi pupil yang dilatasi, kontralateral hemiparese.

11

b. Burr hole I : di temporal walaupun frakturya di lokasi yang berbeda. Bila positif

lanjutkan dengan kraniotomi. Bila berhasil lakukan langkah burr hole

selanjutnya.

c. Burr hole II : di frontal

d. Burr hole III : di parietal, bila berhasil dilakukan disisi sebaliknya.

e. Ada yang menambahkan burr hole IV di fossa posterior

f. Insisi linier dan bila perlu dilanjutkan dengan bentuk tanda tapal kuda

g. Bila duramater tampak tegang dan kebiruan tapi pembekuan darah (clotting)

belum ditemukan sebaiknya dilakukan lebih dahulu burr hole bilateral baru

mengintip duramater karena sering subdural tersebut hanya tipis.

2. Burr hole pada epidural hematom (Bullock dkk., 2006):

a. Lokasi: 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di occipital, fossa

posterior dan parietal

b. bila ada lesi campuran (hipodens dan hiperdens) curigai adanya gangguan

pembekuan darah.

c. teknik:

i. Insisi bentuk question mark atau tapal kuda

ii. Burr hole I di daerah yang paling banyak bekuan darah (clothing) biasanya

di lobus temporal, bila perlu dilanjutkan dulu kraniektomi kecil dan evakuasi

clothing untuk mengurangi tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk

mengevakuasi massa.

iii. Bila duramater tegang kebiruan lakukan pengintipan dura

iv. Kemudian duramater dijahit dan dilakukan jahit gantung dura

3. Tindakan pada subdural hematom (Bullock dkk., 2006):

a. lokasi paling sering di temporal dan parietal

b. insisi bentuk tapal kuda atau tanda tanya

c. Kraniotomi sevisual mungkin dan bila ada clothing kecil dan tidak jelas

terlihat sebaiknya ditinggalkan.

d. duramater dibuka dan dievakuasi clothingnya.

12

e. duramater dijahit waterproof, bila pembengkakan tidak dapat dikontrol,

biarkan terbuka dan tulang tidak dipasang dan langsung diflap.

4. Intraserebral hematom (Bullock dkk., 2006):

a. lokasi: 80% -90% di temporal dan frontal

b. kraniotomi secara prinsip sama dengan perdarahan intrakranial lainnya

c. perdarahan dirawat dengan bipolar

d. durameter dijahit dan ditutup waterproof.

5. Hematoma fossa posterior (Bullock dkk., 2006):

a. 80% -100% pasien EDH fossa posterior disertai fraktur os occipitalis

b. bila ada EDH supra dan infra tentorial, 30% disertai hidrocefalus

c. insisi kulit linier/stick golf di para median atau midline

d. konservatif bila perdarahan minimal dan stabil terutama bila ada fraktur di atas

sinus.

Prosedur Burr hole (Wilson dkk., 2011)

1. Cukur dan posisikan tengkorak, daerah temporal terletak di atas antara telinga

dan batas eksternal orbital, di sisi yang dicurigai terjadinya fraktur.

2. Suntikkan anestesi lokal ke kulit kepala, dan membuat sayatan 3 cm melalui

kulit dan fasia temporal. Pisahkan otot temporalis dan insisi periosteum.

3. Kontrol perdarahan dengan retraktor atau kauter listrik. Epinefrin pada anestesi

lokal juga akan membantu mengontrol perdarahan superfisial.

4. Buat burr hole dengan ukuran 2 cm di atas dan di balik jalur orbital tulang

frontal. Menggunakan bor, mulai membuat lubang melalui lapisan luar dan

dalam tengkorak. Gunakan sedikit tekanan saat memotong lapisan dalam untuk

menghindari penetrasi tembus ke otak. Berganti ke burr hole kerucut atau

silindris untuk berhati-hati dalam memperbesar pembukaan.

13

Gambar 2.3 (A) dan (B) penandaan lokasi dan kontrol perdarahan dengan klemSumber: www.neurologyindia.com

5. . Bila perlu perbesar pembukaan dengan ronguer:

a. Kontrol pendarahan dari cabang anterior dari arteri meningeal medial

menggunakan kauter atau ligasi

b. Kontrol perdarahan vena dengan sepotong otot dihancurkan atau spons

gelatin

c. Kontrol perdarahan dengan bone wax

Gambar 2.4 dan 2.5 Lokasi insisi dan lubang burr holeSumber: http://www.sjtrem.com

14

Gambar 2.6 Alat Hudson Brace dan mata borSumber: http://www.rbmedical.co.uk

6. Cuci hematoma ekstradural dengan jarum suntik. Jika hematoma ekstradural

tidak ditemukan , cari hematoma subdural . Jika ada, mempertimbangkan

membuka dura untuk melepaskannya atau menutup secara situasional untuk

perawatan di rumah sakit rujukan. Jika tidak ada hematoma ditemukan.

Gambar 2.7 Lokasi melakukan burr holeSumber: http://www.rcsed.ac.uk

15

7. Tutup kulit kepala dalam dua lapisan . Jika ada kebocoran cairan dural , tidak

menggunakan saluran tetapi menutup luka secara ketat untuk mencegah infeksi

sekunder .

2.2.7. Rawatan Pasca operasi

Monitor keadaan neurologis dan tanda-tanda vital. Biasanya terdapat nyeri

yang relatif ringan terkait dengan burr hole. Perlu obat analgetik untuk setiap rasa

sakit yang terkait dengan insisi. Segera setelah waktunya cabut benang (5-7 hari),

pasien kembali ke RS. Tahap ini tidak berarti istirahat, tetapi kegiatan atletik selama

periode ini tidak dianjurkan untuk memberikan kesempatan luka insisi sembuh total.

Hindari semua jenis kegiatan yang memungkinkan terjadinya resiko hantaman

terhadap kepala (WHO, 2009).

Pasien diperbolehkan melanjutkan aktivitas harian selama tubuh masih

sanggup, namun hindari aktifitas yang terlalu ekstrem. Misalnya, berjalan

diperbolehkan, namun hindari berlari-lari terlalu kencang. Pasien harus berpikiran

positif. Pasien tidak diperbolehkan mengemudi sampai diizinkan oleh dokter bedah.

Pasien diperbolehkan mandi setelah pulang ke rumah atau ketika

diinstruksikan. Tutup sayatan dengan bungkus plastik sebelum mandi dan lepaskan

sesudah mandi. Pasien diperbolehkan mandi tanpa menutup luka insisi satu minggu

setelah benang dicabut. Kegiatan seksual diijinkan (WHO, 2009).

Jika pasien mengalami pembengkakan, kemerahan atau terbukanya insisi, atau

jika ada cairan bening mengalir dari sana, atau mengalami demam, leher kaku atau

kedinginan, segera hubungi dokter. Jika pasien mengalami kejang atau penurunan

kesadaran, segera kembali ke rumah sakit (WHO, 2009).

2.2.7 Prognosis (Habibi dkk., 2012).

1. EDH: bila cepat dioperasi mortalitas kurang dari 10%

2. SDH:

16

a. Serlig dkk., operasi dalam 4 jam pertama mortalitas 30%, operasi setelah 4

jam mortalitas 90%

b. Hasselberger dkk.,: pasien koma kurang dari 2 jam mortalitas 47%, pasien

koma lebih dari 2 jam mortalitas 80%

3. ICH: mortalitas 27% -50%

2.3 Burr Hole Emergensi

Pada dasarnya, dokter non-ahli bedah dapat melakukan evakuasi burr hole

darurat pada hematoma intrakranial dalam kondisi tertentu seperti ketika tenaga

spesialis bedah saraf tidak tersedia. Meluasnya hematoma intrakranial dengan cepat

terkait dengan dilatasi pupil dapat secara cepat menjadi fatal. Dilatasi pupil yang

terjadi dengan bukti pencitraan yang sesuai dan ditemukan hematoma intrakranial

dianggap sebagai sebuah indikasi untuk melakukan burr hole darurat (Wilson dkk.,

2011).

Hematoma ekstra-aksial (ekstradural/subdural) menurut definisi adalah

hematom yang berada di luar otak dan bukan cedera otak primer. Keterlambatan

dalam menghilangkan kompresi otak oleh bekuan darah dapat menyebabkan cedera

otak dan kematian. Penanganan yang ideal dilakukan langsung oleh spesialis bedah

saraf. Namun di banyak daerah di dunia, dokter bedah saraf ini tidak selalu tersedia

dan risiko keterlambatan terkait dengan rujukan sekunder harus diimbangi dengan

risiko dari prosedur yang dilakukan oleh dokter non-spesialis. Pada sebuah pusat

bedah saraf di Inggris, median waktu lamanya rujukan transfer adalah 5,25 jam untuk

pasien dengan hematoma ekstradural dan 6 jam untuk hematoma subdural. Waktu

rujuk yang begitu lama dari seorang pasien dengan dilatasi pupil menetap/melebar

menyebabkan prognosis yang buruk. Merujuk pasien seperti ini dapat disamakan

dengan merujuk/ mengirim pasien dengan penyakit kritis lainnya namun patologinya

reversibel seperti tension pneumotoraks (Wilson dkk., 2011).

Ada banyak laporan mengenai dokter/tenaga medis non-spesialis berhasil

melakukan burr hole darurat. Burr hole darurat tersebut sering dilakukan dengan bor-

17

bor peralatan rumah tangga dan alat-alat darurat lainnya yang bila dilakukan dengan

sukses, telah menarik perhatian media. Meskipun telah ada kemajuan teknis yang

signifikan dalam keselamatan pengerjaan prosedur burr hole ini sejak zaman burr

hole “eksplorasi”, telah terjadi penurunan jumlah ahli bedah yang memiliki

pengalaman maupun yang bersedia untuk melakukan prosedur burr hole ini.

Sejumlah dokter bedah umum yang bekerja di daerah terpencil di Australia lebih

percaya diri dalam melakukan prosedur bedah saraf sederhana bahkan meskipun

mereka mungkin tidak memiliki pelatihan yang lebih maju daripada ahli bedah umum

yang bekerja lebih dekat dengan pusat-pusat bedah saraf. Hal ini mungkin malah

berakibat dikuasainya penanganan yang lebih optimal di daerah terpencil. Dengan

pelatihan dan keterampilan yang memadai, burr hole drainase pada hematom

ekstradural akut dapat dilakukan oleh non-ahli bedah saraf. Meskipun demikian,

harus ditekankan bahwa prosedur ini hanya dapat dilakukan jika tidak mungkin untuk

mengirim pasien ke pusat pelayanan yang lebih sesuai pada waktu yang tepat dan

bahwa prosedur ini harus tidak menunda rujukan. Penelitian sebelumnya telah

menunjukkan bahwa upaya tindakan yang dilakukan oleh personil terlatih dan tidak

terlatih dapat mengakibatkan keterlambatan pengiriman pasien dan mengakibatkan

prognosis yang lebih buruk. Hal ini tidak boleh terjadi (Bullock dkk., 2006).

Para peneliti menerangkan pendekatan yang sederhana tentang penempatan

burr hole. Pertimbangan yang penting di sini adalah bahwa burr hole harus

ditargetkan lokasi tindakannya (bukan eksplorasi), dan dilakukan dengan

menggunakan alat yang benar (dan khususnya sebuah bor penembus dengan

mekanisme kopling), dan seharusnya tidak terlalu menunda untuk merujuk pasien

yang biasanya masih memerlukan kraniotomi darurat (Bullock dkk., 2006).

Prosedur burr hole telah menjadi domain tunggal ahli bedah saraf terutama

karena mereka dapat menangani komplikasi bedah. Dengan demikian, non-ahli bedah

saraf tidak lagi akrab dengan teknik ini. Ini menciptakan kevakuman terapi untuk

pasien yang jauh dari perawatan spesialis yang memenuhi kriteria untuk

dilakukan drainase burr hole yang mendesak (Wilson dkk., 2011).

18

Gambar 2.8 Mata bor dengan metode koplingSumber: http://www.sjtrem.com

Inti dari kemampuan non-ahli bedah saraf untuk berhasil melakukan tindakan

burr hole adalah mata bor kopling. Ini memungkinkan bor untuk tidak menembus

lapisan dalam tengkorak sehingga risiko “ kejeblos / plunging “ dapat diminimalkan

membuat prosedur ini jauh lebih aman. Jika hematoma masih ada, pasien harus

diusahakan dirujuk dengan cara aman dan jangan ditunda-tunda ke pusat bedah saraf.

Di daerah-daerah terpencil di Australia, ketika prosedur bedah saraf tersebut

dilakukan oleh non-ahli bedah saraf, hasil yang didapat, bisa ditoleransi atau diterima.

Bahkan dalam situasi yang kurang terpencil, non-ahli bedah saraf di rumah sakit

umum kabupaten di Inggris melakukan kraniotomi darurat (Wilson dkk., 2011).

Selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa intervensi bedah bermanfaat

dalam pengelolaan trauma kepala ketika kumpulan darah ekstra-aksial dapat

diangkat. Di masa depan, ketersediaan alat infra-red/ultrasound atau mobile CT scan

yang dekat dari lokasi manapun, dapat berarti bahwa kumpulan darah ekstra-aksial

dapat dideteksi bahkan di lokasi terpencil sekalipun. Namun hal ini tidak akan

19

bermanfaat kecuali waktu untuk intervensi bedah pada tekanan intrakranial

meningkat juga dipersingkat (Wilson dkk., 2011).

Sebelum melakukan burr hole emergensi, harus dipertimbangkan untuk

menghindari intervensi yang tidak perlu. Namun, ketika dihadapkan dengan situasi di

mana angka kematian mendekati 100%, sebuah teknik sederhana, menggunakan

peralatan yang benar bisa menjadi usaha penyelamatan jiwa yang aman dan sempurna

bahkan di tangan non-spesialis (Bullock dkk., 2006).

2.3.1 Indikasi dan Kontraindikasi Burr Hole Emergensi (Wilson dkk., 2011)

Indikasi Kraniostomi “ Burr Hole “ Emergensi:

Pasien dengan penurunan GCS (<8) dengan gambaran pencitraan

menunjukkan hematoma ekstra dural yang menyebabkan pergeseran garis tengah dan

pupil yang tidak sama ketika intervensi bedah saraf yang tepat waktu tidak mungkin

dilakukan. Upaya harus selalu dilakukan untuk membahas gambaran pencitraan

radiologis dan keperluan dari prosedur tindakan ini dengan

ahli bedah saraf.

Kontraindikasi

a. GCS > 8

b. Tidak ada pencitraan radiologis (Kecurigaan klinis sangat tinggi (misalnya

fraktur yang teraba dengan pupil ipsilateral menetap), sementara pasien berada di

daerah yang jauh dari ketersedian pencitraan CT scan dapat menjadi

pengecualian untuk hal ini. Di masa depan perangkat seperti Infrascanner

(sebuah perangkat portabel genggam yang dirancang untuk mendeteksi

hematoma ekstra-aksial dengan menggunakan sinar infra-merah dekat) dapat saja

mengurangi kebutuhan akan pencitraan CT scan formal dalam keadaan darurat.

Namun saat ini, CT scan harus selalu dilakukan, terutama jika seorang non-ahli

bedah saraf sedang mempertimbangkan akan melakukan prosedur burr hole.

c. Sarana intervensi bedah saraf tersedia dalam rentang waktu yang memungkinkan.

20

BAB III

KESIMPULAN

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung

atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,

fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri,

serta mengakibatkan gangguan neurologis. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih

baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Burr hole adalah suatu

tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala yang bertujuan untuk mengetahui

ada tidaknya perdarahan intrakranial, sebelum tindakan definitif kraniotomi

dilakukan. Hematoma akut ekstradural dan subdural adalah dua keadaan yang dapat

mengambil manfaat dari burr hole. Riwayat trauma dan diagnosis klinis yang jelas

sangat penting sebelum melakukan prosedur.

Pada dasarnya, dokter non-ahli bedah dapat melakukan evakuasi burr hole

darurat pada hematoma intrakranial dalam kondisi tertentu seperti ketika tenaga

spesialis bedah saraf tidak tersedia. Dengan pelatihan dan keterampilan yang

memadai, burr hole drainase pada hematom ekstradural akut dapat dilakukan oleh

non-ahli bedah saraf. Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa prosedur ini

hanya dapat dilakukan jika tidak mungkin untuk mengirim pasien ke pusat pelayanan

yang lebih sesuai pada waktu yang tepat dan bahwa prosedur ini harus tidak menunda

rujukan. Penanganan yang cepat dan tepat akan menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas. Time is brain.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Soebroto SW. 2009. Penerapan Ergo-Safety untuk Meningkatkan

Produktivitas Kerja Industri Nasional. Institut Teknologi Sepuluh November:

Surabaya.

2. Safrizal. 2013. Hubungan Nilai Oxygen Delivery dengan Outcome Rawatan

Pasien Cedera Kepala Sedang. Universitas Andalas:Padang.

3. Irwana O.2009. Cedera Kepala. Universitas Riau: Pekanbaru.

4. Arsani. 2012. Cedera Kepala. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

5. Subaiya S, Roberts I, Komolafe E.2012. Predicting Intracranial Hemorrhage

After Traumatic Brain Injury in Low and Middle-Income Countries: A

Prognostic Model Based on a Large Multi-Center, International Cohort. BMC

Emergency Medicine 12:17:1-7.

6. Ishfaq A, Ahmed I, Bhatti. 2009. Effect of Head Positioning on Outcome

After Burr Hole Craniostomy for Chronic Subdural Haematoma. Journal of

The College of Physicians and Surgeons Pakistan 19:8:492-495.

7. Japardi I.2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif. Universitas

Sumatera Utara: Medan.

8. Astrand R, Romner B.2012. Classification of Head Injury. Springer: Berlin.

9. Darwin M.1994.A Possible Origin for The Burr Hole Drainage Phenomenon.

Diperoleh dari: http://www.cryonet.org/cgi-bin/dsp.cgi?msg=2631 (diakses:

3/10/2013).

10. Fatigba HO, Allode AS, Solde KM. 2013. The Exploratory Burr Hole:

Indication and Result at One Departemental Hospital of Benin. ISBN

Surgery 4:13:46-57.

11. Adewumi D, Colohan A. 2007. Decompressive Craniectomy: Surgical

Indication, Clinical Consideration, and Rationale. Neurosurgery 13:5:89-94.

22

12. Eriktapan. 2009. Burr Hole Diagnostik Pada Epidural Hematom dan Subdural

Hematom. Diperoleh: http:// bedahumum. wordpress.com/tag/burr- holes-

diagnostik/ (Diakses: 3/10/13).

13. Weigel R, Schimedek P, Krauss J. 2003. Outcome of Contemporary Surgery

for Chronic Subdural Haematoma: Evidence Based Review. J Neurolsurg

Psychiatry 74:937-943.

14. Wilson MH, Wise D, Davies G, Lockey D. 2011. Emergency Burr Hole: How

to do it. Scandinavian Journals of Trauma 20:24:78-86.

15. World Health Organization. 2009. Guidelines for Safe Surgery. World Health

Organization: Geneva.

16. Habibi Z, Meybodi AT, Mirsadeghi. 2011. Burr-Hole Drainage for Treatment

of Acute Epidural Hematoma in Coagulopathic Patients. Neurotrauma

29:11:67-78.

17. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar. 2006. Surgical Management of Traumatic

Brain Injury. Neurosurgery 58:52: 142-82.

18. Oestern, Jorg H, Trentz. 2011. Head, Thoracic, Abdominal, and Vascular

Injuries. Springer: Berlin.

19. Tjandra J, Clunie GJ, Kaye AH. 2005. Textbook of Surgery. Willey-

Blackwell: London.

20. Farquharson M, Moran B. 2005. Farquharson’s Textbook of Operative

General Surgery. Hodder Arnold: London.

23