Babad Arya Wang Bang

download Babad Arya Wang Bang

of 29

Transcript of Babad Arya Wang Bang

BABAD ARYA WANG BANG http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com Diceritakan Arya Wang Bang adalah , seorang keturunan brahmana. Pada zaman dahulu ada seorang pengawal turun ke Bali mendampingi Dalem Kresna Kapakisan. Beliau kemudian menguasai wilayah Tabanan. Beliau bernama Kyayi Ngurah Kenceng. Beliau beristrikan putri Pangeran Bendesa Tumbak Bayuh, dan mempunyai dua orang anak laki-laki. 1. Si Arya Rangong 2. Si Arya Ruju Bandesa. Adapun beliau Arya Rangong amat iri hati terhadap adiknya. Kematian adiknya seakan-akan dicari-cari. Namun dia tidak berhasil karena amat besar cinta kasih para dewa terhadap Arya Ruju Bandesa. Ada lagi tipu muslihat Si Arya Rangong yaitu ada pohon beringin yang sangat besar dan tinggi, tempat persemayaman Jro Gede dari Nusa Kambangan. Pohon beringin itu sangat angker, berada di Puri Buahan. Si Arya Ruju Bandesa disuruh memangkas pohon beringin itu oleh kakaknya. Dia tidak menolak dan segera memangkas pohon beringin itu. Semua orang terpesona menyaksikan Si Arya Ruju Bandesa memangkas pohon beringin karena sama sekali tidak tertimpa bencana. Setelah itu, beliau bergelar Arya Notor Waringin, ia amat dicintai rakyat, bakti terhadap dewa, tidak henti-hentinya memuja Tuhan, dalam menciptakan kesejahteraan negeri. Demikian seterusnya, sebuah candi pun telah didirikan oleh Arya Notor Waringin. Namun kakaknya Arya Rangong masih saja merasa iri hati kepadanya. Tiba-tiba dia minggat dari istana, berjalan menyusup ke tengah hutan, sambil memuji kebesaran Tuhan guna mendapatkan kekosongan. Tidak dikisahkan dalam perjalanannya, tiba-tiba dia telah sampai di pinggir sebuah danau dekat Desa Panarajon. Di sana dia bertemu dengan Pangeran Bandesa Tambyak. Mereka berdua saling memperkenalkan diri. Alangkah bahagianya Pangeran Bandesa Tambyak dapat bertemu dengan seseorang yang berbudi luhur. Entah berapa lamanya Kyayi Notor Waringin berada di Desa Panarajon, bermain-main di tepi danau. Tiba-tiba Paduka Batara muncul di tengah danau. Mereka berdua segera menyembah, tidak berselang lama, akhirnya mereka berdua dipanggil untuk datang dan duduk di hadapan Paduka Batara. Mereka menyembah dengan hati yang suci bersih. Setelah selesai memuja, mereka disuruh naik ke puncak bukit. Mereka tidak menolak perintah Paduka Batara. Pada saat mereka berdua tiba di puncak bukit, mendampingi Paduka Batara, Kyayi Notor Waringin dianugerahi sebuah sumpit. Dia dipersilakan melihat daerah-daerah melalui lubang sumpit itu. Adapun daerah yang berhak dikuasainya, dari timur, barat, utara, dan selatan. Daerah-daerah itu nampak terang. Tetapi di arah barat laut terlihat sebuah desa yang gelap. Menurut Batara, konon daerah itu akan dikuasai oleh Ki Ngurah Arya Notor Waringin.

Demikian anugerah Batara kepadanya. Beliau Arya Notor Waringin kemudian menguasai daerah

Badung, didampingi oleh teman dekatnya yang bernama Bandesa Tambyak. Setelah itu, Pangeran Bendesa Tambyak di anugerahi oleh temannya: "Wahai Bandesa Tambyak, betapa besarnya cinta kasihmu terhadap diriku, baik pada saat suka maupun duka, sejak dulu sampai sekarang. Saat ini engkau dan aku berada di daerah Badung atas restu Paduka sejak dulu sampai kelak, tidak dapat dipisahkan, kita sehidup semati, demikian sampai kelak seluruh sanak keluarga dan keturunan Bandesa Tambyak tidak dikenai hukuman. Tidak dijatuhi hukuman mati, jika engkau mendapat hukuman mati, hal itu dapat dibayar dengan uang. Jika engkau didenda dengan uang, itu dapat diampuni. Harta milikmu tidak dapat dirampas. Jika engkau bersalah, engkau akan diusir dan terampuni". Demikian anugerah raja Badung kepada Pangeran Tambyak. Entah berapa lamanya, Sri Anglurah Notor Waringin menjadi raja Badung, didampingi oleh abdi setianya yaitu Pangeran Tambyak, betapa sejahteranya negeri Badung. Tidak ada musuh yang berani menandingi baginda. Semakin hari semakin besar restu dan anugerah Batara kepada baginda. Beliau berhasil membunuh burung gagak siluman, sehingga dia diangkat sebagai menteri oleh Dalem, memimpin para menteri. Entah berapa lamanya Kyayi Notor Waringin memerintah negeri Badung, timbullah niat buruk Ki Bandesa Tambyak, dengan mengadakan huru-hara di istana. Karena itu dia disuruh menguasai desa-desa berikut penduduknya di daerah Bukit Pecatu. Ada pula yang diusir ke Sumerta, dan ada yang ke Desa Pahang. Semua keturunannya hidup tenteram. Tidak akan dikisahkan lebih jauh perihal Sri Anglurah Notor Waringin yang berkuasa di negeri Badung. Putra-putranya silih berganti, turun-temurun menjadi raja. Ada yang bertahta di Puri Tambangan, ada yang bertahta di Puri Denpasar, dan ada bertahta di Puri Kesiman. Adapun Pangeran Bandesa Tambyak yang berada di Desa Pahang, kemudian mengungsi ke Desa Timbul Sukawati beserta istri, anak-anaknya dan Gusti Grenceng serta I Gusti Brasan. Entah berapa lamanya mereka berada di Sukawati, lalu mereka berpindah lagi, karena kekalahannya melawan Cokorda Karang. Gusti Brasan sudah lebih dulu kembali ke Badung bersama-sama Gusti Grenceng. Adapun Ki Bandesa Tambyak yang masih tertinggal di Sukawati menyamar menjadi Pangeran Pahang. Dia pun masih dikejar-kejar oleh I Dewa Nataran, karena itu ia lari untuk bersembunyi ke pinggir sungai Wos. Setelah itu dia lari ke arah barat menuju Desa Mantring. Hujan dan angin ribut menyelimuti daerah di sekitar desa itu. Karenanya orang-orang yang mengejarnya kembali pulang. Di sana Pangeran Pahang menangis tersedu-sedu, katanya: "Oh Tuhanku, Dewa dari semua Dewa, beserta Paduka Batara Sang Hyang Siwa Raditya, dan leluhurku yang berada di Desa Panarajon, dan Paduka Batara Dalem di Desa Pahang, lindungilah hamba dari kematian dan kejaran musuh".

Tiga empat kali, ia memuja Paduka Batara, Tiba-tiba dari pohon beringin itu muncul sinar, dan I Buta Panji Landung menampakkan diri, amat kasihan melihat Ki Bandesa Tambyak menangis di sisi tempat tidurnya: " Wahai Bandesa Tambyak, aku menganugerahimu, agar engkau menemukan keselamatan". Ki Tambyak menjawab: " Oh Tuhanku, siapa gerangan yang masih menaruh belas kasihan terhadapku?" "Wahai Tambyak, aku adalah Buta Panji Landung, Dewa dari semua Dewa di pohon beringin ini. Wahai Tambyak, semoga engkau menemukan keselamatan, panjang umur, sanak keluarga dan keturunanmu mendapatkan kesejahteraan, dicintai oleh masyarakat, oleh semua mahluk, tidak tertimpa mara bahaya". "Sujud hamba kehadapan Batara abdi Paduka Batara tidak akan meninggalkan desa ini, supaya ada yang menyembah Paduka Batara di sini, sanak keluarga dan keturunan hamba turun-temurun tidak akan lupa menyembah Paduka Batara" "Wahai Bandesa Tambyak, janganlah engkau lupa akan janjimu". Demikianlah anugerah Setelah itu beliau menggaib lagi. Karena itulah jalan itu dinamakan Rurung Panji. Tidak dikisahkan lagi keadaan Ki Tambyak, sekarang akan diceritakan Sri Agung Karang bertahta di daerah Tapesan. Negerinya amat Sejahtera, tidak jauh berbeda dengan kakaknya yang bertahta di Peliatan. Tidak diceritakan lagi Ida Dewa Agung Karang, kini akan diceritakan Ki Bandesa Tambyak yang menetap di Desa Celuk Mantring, sama-sama memiliki tempat tinggal. Setelah itu beliau memindahkan leluhurnya dari Desa Pahang, diwujudkan dalam bentuk Area Batara Siwa Raditya, dijadikan tempat persemayaman Batara Panji Landung yang berada di Madyasari. Demikian cerita Ki Bandesa Tambyak yang berada di Celuk Mantring. Sudah tersurat dalam lontar (prasasti)

SEJARAH PEMECUTAN Puri Agung Pemecutan yang lama dibangun pada tahun 1686 pada abad ke 16 dan berlokasi Jl. Thamrin di sebelah Barat Puri Agung Pemecutan yang sekarang dengan batas batas sebagai berikut batas selatan jl. Gunung Batur, batas barat Jl. Gunung Merapi dan batas Utara Jl. Gunung Semeru, membentang dari Hotel Intan Sari sampai pertokoan Lokitasari wisata.

Puri Agung berbahan dasar bangunan batu merah bercampur dengan batu paras dan beratap ijuk. Tembok puri setinggi 3 meter, tebalnya mencapai 50 cm mempunyai kesan kokoh dan di bencingah di ujung selatan berdiri bale kulkul yang keberadaanya masih utuh hingga saat ini, karena tidak ikut terbakar pada waktu peristiwa Puputan Badung tahun 1906 M. Pintu Masuk ke Puri Pemecutan Luas areal Puri secara keseluruhan di pusatnya saja, panjang 250 m lebar 175 m atau seluas kurang lebih 4,2 Hektar belum termasuk perluasan ke barat, ke utara , ke timur dan selatan Puri Tanjung Pemecutan. Perluasan tersebut sebagai tempat tinggal putra putra kerajaan. Disebelah barat Puri terdapat gudang senjata bedil dan meriam sehingga tempat tersebut dinamakan Pemedilan. Disebelah Timur puri berdiri Jero Ukiran dan Jero Kanginan yang sekarang menjadi Puri Agung Pemecutan yang baru. Wilayah kekuasaan Puri Agung Pemecutan : Batas wilayah Utara - Desa Lemintang Batas Wilayah Selatan - Desa Plase Kuta Batas Wilayah Timur - Desa Sumerta Batas Wilayah Barat - Sebelah Timur Tukad Mati.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari P.L Van Bloemen Waanders seorang kontoler Belanda yang meneliti tentang kerajaan kerajaan yang ada di wilayah Badung diperoleh keterangan bahwa ada 4 pusat kekuasaan di Badung yaitu : Puri Tegal Arya Tegeh Kuri putra Arya Kenceng Puri Agung Gelogor Puri Alang Badung Suci (Peken Badung) Keturunan Kiyai Anglurah Jambe Merik

Puri Agung Pemecutan Bale Kukul yang keberadaannya masih ada hingga saat ini tidak ikut terbakar dalam perang puputan Badung 1906 Dari keempat nama tersebut, Puri Pemecutan paling akhir berdirinya, namun dalam perkembangannya Puri Pemecutan kemudian muncul sebagai pemegang kekuasaan di seluruh wilayah Badung dan menurunkan raja-raja di wilayah Badung. PEMERINTAHAN SETELAH EKSPEDISI MAJAPAHIT DI BALI Sejarah keberadaan Puri Agung Pemecutan berkaitan dengan ekspedisi Majapahit ke Bali tahun aka 1256 (sastining Bhuta manon janma) atau 1334 Masehi untuk menaklukan kerajaan Bedulu dibawah pimpinan Panglima Arya Damar/ Adityawarman. Dalam lontar Purana Bali Dwipa dinyatakan bahwa Arya kenceng adalah anak dari Arya Damar, sebab Arya Damar ketika menyerang Bali bukan pemuda lagi, diperkirakan usia beliau pada waktu diperkirakan 45 tahun. Hal yang sama juga dinyatakan dalam Kitab Usana Jawa yang menyatakan Arya Damar Kenceng Pwa sira yang artinya dalam diri Arya Kenceng terdapat darah daging Arya Damar. Dan hal ini hanya dimungkinkan kalau Arya Kenceng adalah anak kandung Arya Damar yang berhak menerima kedudukan di dalam pemerintahan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan sebagai ahli waris Arya Damar. PEMERINTAHAN ARYA KENCENG/ ANGLURAH TABANAN I/ RAJA TABANAN I Arya Kenceng , beliau adalah penguasa daerah Tabanan, berkedudukan di desa Pucangan atau Buwahan. Satu uraian sejarah yang menguatkan dugaan bahwa Arya Kenceng adalah Anak Arya Damar dinyatakan dalam buku sejarah berjudul Pulau Bali Dalam masa Masa yang Lampau tentang adanya suatu tradisi untuk memberikan suatu jabatan atau kedudukan tertentu dalam pemerintahan kepada anak anaknya untuk menggantikan kedudukan orang tuanya, setelah orang tuanya meninggal atau karena jasa jasa orang tuanya. Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir di Gelgel Tahun 1380 1460. yang menjadi menteri menteri adalah anak anak dari para Arya yang datang ke Bali pada ekspedisi Majapahit untuk menggantikan kedudukan orang tuanya.

Pura Buahan Tabanan

Kebon

Tingguh

Tempat Arya Kenceng di Buahan Tabanan

Pemujaan

Kiyai Madhyattara/ Made Kaler menurunkan Pragusti Subamia Kiyai Nyoman Pascima / Nyoman Dawuh menurunkan pragusti Jambe (Pamregan) Kiyai Ketut Wetaning Pangkung menurunkan pragusti Lodrurung, Ksimpar dan Serampingan Kiyai Nyoman Ancak menurunkan pragusti Ancak dan Angligan Kiyai Ketut Lebah tidak memberikan keturunan karena kesua anaknya perempuan. Istri ketiga (Putri bendesa Pucangan) lahir 1 orang putra (menetap di Badung):

Tiga orang saudara dari Kiyayi Pucangan Tabanan yaitu Kyayi Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, Kyayi Ketut Lebah, atas perintah Dalem agar menetap di Badung sebagai pendamping Raja Badung. SANG ARYA KETUT NOTOR WANDIRA/ ARYA NOTOR WARINGIN Setelah dewasa Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Pucangan meninggalkan pesraman dan mengabdi Ke Puri Tabanan yaitu Nararya Ngurah Tabanan / Sirarya Ngurah langwang yang diangkat menjadi Raja Tabanan ke III. Di puri Tabanan beliau tidak diberikan kedudukan yang wajar, beliau hanya diberi tugas sebagai tukang kurung ayam istana. Begitupun untuk tempat tinggal beliau tidak diberikan tempat tinggal di Puri sehingga pada malam hari beliau tidur dirumah-rumah penduduk, pasar ataupun balai banjar. Pada suatu malam rakyat Tabanan dibuat kaget karena melihat adanya cahaya yang terang benderang namun setelah didekati ternyata berasal dari cahaya ubun kepala Sang Arya Ketut Notor Wandira yang sedang tidur. Berita tersebut akhirnya terdengar oleh Raja Tabanan, dalam hati beliau sangat murung mendengar kesaktian Sang Arya Ketut Notor Wandira tersebut dan khawatir sewaktu waktu akan merebut tahta kerajaan Tabanan, maka dicarilah jalan untuk menyingkirkan beliau. Di bencingah Puri Tabanan tumbuh pohon beringin yang sangat besar dan sangat angker dimana sebelumnya 10 orang yang diberi tugas untuk memotong pohon beringin tersebut telah tewas dalam menjalankan tugasnya. Timbulah muslihat dari Raja Tabanan bahwa untuk melaksankan tugas berat tersebut akan diserahkan kepada Sang Arya Ketut Notor Wandira. Maka dipanggilah adiknya untuk menghadap dan minta kesanggupan adiknya untuk melaksanakan tugas tersebut. Arya Ketut Notor Wandira menerima tugas tersebut dan minta waktu beberapa hari untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka sebelum melaksankan tugas tersebut beliau kemudian

ngaturang pakeling di temat tersebut dan selanjutnya bertapa semedi di Pura Batukaru Tabanan mohon keselamatan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Karena ketekunannya oleh Bethara di Pura Batukaru beliau mendapat anugrah senjata sakti berupa kapak yang bernama I Cekle. Maka pagi pagi sekali Arya Ketut Notor Wandira sudah berada di bencingah Puri Tabanan untuk mulai melaksanakan tugas memotong pohon beringin tersebut. Beliau naik sampai ke puncak pohon beringin dan mulai memotong dahan pohon tersebut satu persatu sampai yang tersisa hanya batangnya saja. Diatas pohon tersebut Arya Ketut Notor Wandira bertolak pinggang dan menari nari. Rakyat Tabanan beserta Raja sangat heran dan kagum atas kesaktian Arya Ketut Notor Wandira sehingga mulai saat itu Arya Ketut Notor Wandira diberi gelar Arya Notor Waringin oleh Raja Tabanan karena keberhasilannya memotong pohon beringin yang angker tersebut. Setelah dewasa Arya Notor Wandira / Arya Notor Waringin mengambil istri dari desa Buwahan yaitu Ni Gusti Ayu Pucangan dan berputra 2 orang yaitu Pada saat bertahta, Kyayi Nyoman Tegeh, pernah dikirim bertempur oleh Dalem , bersama Kyayi Ngurah Telabah di Kuta, dan Kyayi Ngurah Tabanan, menyerang I Kebo Mundar di Sasak. Kyayi Telabah melarikan diri karena dikalahkan oleh Kebo Mundar, kemudian digantikan oleh Kyayi Anglurah Tabanan dan Badung, hingga Ki Kebo Mundar takut dan takluk. Dalem menghukum Kyayi Telabah, dengan menyerahkan rakyat kekuasaannya kepada Raja Badung. Namun Kyayi Telabah tidak mentaati, maka timbul bentrokan antara Badung dengan Kuta. Seorang utusan melaporkan bahwa Kyai Wayan Tegeh putra tertua Gusti Ngurah Tegeh Kuri terlibat perkelahian dengan Kiyai Plasa di Mergaya Abiantimbul. Perkelahian tersebut sudah dari sejak pagi, karena sama sama kebal dan sakti maka tidak seorangpun keluar sebagai pemenang, akhirnya perkelahian dihentikan karena hari sudah menjelang malam. Kyai Nyoman Tegeh memberikan nasehat kepada kakaknya Kyai Wayan Tegeh Kuri, bila besok kembali berhadapan dengan Kiyai Plasa maka Kiyai Wayan Tegeh jangan sekali kali mandi di sungai Kuta sebab air sungai tersebut dapat menghilangkan kekebalan. Dan sesuai dengan yang sudah dijanjikan esok harinya perang tanding kembali di mulai, Kiyai Plasa nampak dibantu oleh Kyai Petiles dari Pekambingan. Perang tanding menjadi tidak seimbang satu melawan dua sehingga menyebabkan Kyai Wayan Tegeh kehabisan nafas dan dihinggapi rasa haus yang tak tertahankan. Beliau kemudian terjun ke sungai Kuta, membasahi tubuhnya untuk menghilangkan rasa lelah dan haus, beliau lupa akan pesan adiknya yang melarangnya untuk mandi di sungai kuta selama perang tanding berlangsung. Setelah matahari condong ke Barat perang tanding di mulai lagi dengan serunya, kedua belah pihak berusaha saling menjatuhkan lawannya. Tiba tiba dalam satu kesempatan Kiyai Plasa berhasil menghunus keris langsung ke perut Kyai Wayan Tegeh. Karena sudah hilang

kekabalannya maka keris tersebut langsung menancap di perut Kyai Wayan Tegeh sehingga beliau terpelanting dan mengembuskan nafasnya yang terakhir. Perang tanding dihentikan dan kemenangan berada di pihak Raja Plasa. Berita kematian Kyai Wayan Tegeh, menimbulkan kemarahan dari Kyai Nyoman Tegeh dan berjanji akan menuntut balas atas kematian kakaknya. Kyai Nyoman tegeh kemudian mengambil keris sakti untuk menandingi Kyai Plasa. Singkat cerita ditengah jalan beliau dihadang oleh Kiyai Plasa dan Kiyai petiles yang sudah siap berperang dengan keris terhunus. Kiyayi Nyoman Tegeh menghadapi kedua musuhnya dengan tenang dan waspada. Pergulatan dimulai saling tindih dan tusuk untuk mengadu kekabalan. Dan pada suatu kesempatan yang baik Kyai Nyoman Tegeh berhasil menusuk perut Kiyai Plasa sehingga menghembuskan napasnya terakhir. Kiyayi Petiles kemudian ganti menghadapi Kiyai Nyoman Tegeh, namun seperti Kiyai Plasa yang telah tewas, nasib Kiyai Petilespun sama, dadanya tertikam oleh keris Kiyai Nyoman Tegeh sehingga terkapar tak berdaya. Namun sebelum Kiyai Petiles menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau menyatakan tunduk kepada Kerajaan Badung dan semua daerah yang menjadi kekuasaannya diserahkan kepada Kerajaan Badung. Karena kekalahan tersebut maka semua keluarga Kiyai Petiles diturunkan wangsanya menjadi rakyat biasa.

Peristiwa Pertempuran di Puri Pemecutan dalam Puputan Badung 1906 Setelah kekalahan Kiyai Petiles maka seluruh rakyatnya menyatakan tunduk kepada Kerajaan Badung. Kyayi Jambe Pule mempunyai putra yang bernama Kiyai Anglurah Pemedilan dan Anak Agung Istri Jambe. Kedua anak beliau lahir di Pemedilan di rumah Ki Tanjung Gunung (sebelah utara

Pura Tambangan Badung) Nararya Gde Raka mendirikan Puri Pemecutan Setelah mendapat anugrah dari Dalem Waturenggong untuk menjalankan pemerintahan di Badung, maka beliau mulai memperluas wilayah kerajaan Badung. Puri Sumerta berhasil ditaklukkan terbukti salah satu Pura Khayangan di Sumerta setiap hari purnama kedasa selalu datang hadir ke Pura Tambangan Badung sebagai prasanak pura Kerajaan Badung. Beliau diberi gelar Kiyai Jambe Pole, Pole berasal dari kata polih yang artinya mendapatkan kekuasaan. Dan untuk melaksanakan pemerintahan, beliau mendapat panjak (rakyat) sebanyak 500 orang dari Gusti Ngurah Tegeh Kuri dan dinobatkan menjadi Raja I di Puri Agung Pemecutan. Karena beliau mendapat anugrah dari Bhatari danu Batur berupa senjata sakti Pecut dan Tulupan maka Kerajaan yang beliau dirikan diberi nama Puri Pemecutan. Beliau sebagai cikal bakal pendiri Puri kerajaan Badung yang mengambil nama dari suku kata Pecut sebagai rasa hormat dan sujud bakti atas anugrah yang beliau terima dari Sang pencipta berupa senjata Pecut Sakti. ANUGRAH RAJA BADUNG UNTUK KI TAMBYAK seperti yang telah diceritakan diatas bahwa Ki Tambyak sangat berjasa mengiringi Kiyayi Jambe Pule dari sejak di pura Ulun Danu sampai beliau menjadi Raja di Badung, maka untuk membalas budi kepada Ki Tambyak/ Ki Handagala maka Raja Badung mengeluarkan amanat bahwa Ki Tambyak dan Keturunannya tidak boleh dihukum mati sebesar apapun kesalahannya dan amanat ini berlaku seterusnya bagi Raja selanjutnya yang berkuasa di wilayah Badung. ARYA DAMAR Sejarah Puri Pemecutan berkaitan erat dengan keberadaan Arya Damar yang datang sebagai panglima perang pasukan Majapahit pada waktu ekspedisi Majapahit ke Bali pada tahun 1343 M bersama dengan Patih Gajah Mada. Arya Damar merupakan leluhur dari Kerajaan Tabanan dan Kerajaan-Kerajaan di Denpasar

Sejarah Arya Damar Adityawarman/ Arya Damar yang bergelar Udayadityawarman Prataparakramarajendra Mauliwarmadewa, adalah seorang panglima Majapahit abad ke-14 yang kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit untuk wilayah Sumatera. Dikatakan bahwa Arya Damar menjadi raja di Palembang, sebab penulis babad Jawa menganggap Palembang yang dulunya pusat Sriwijaya, mengacu pada Melayu atau Sumatera. Sebenarnya Arya Damar alias Adityawarman bukan menjadi raja di Palembang melainkan di Hulu Batang Hari Jambi, tepatnya di Kerajaan Darmasraya yang merupakan kerajaan kakeknya yaitu Prabu Mauliwarmadewa yang merupakan ayah dari Dara Jingga ibu dari Adityawarman. Adityawarman adalah pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat pada tahun 1347, dan ia adalah seorang panglima Kerajaan Majapahit yang berdarah Melayu. Ia adalah anak dari Adwaya Brahman seorang kerabat Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari yang memangku jabatan sebagai Menteri Hino yaitu jabatan tertinggi setelah Raja pada masa pemerintahan Kerajaan Singhasari. Dalam beberapa babad di Jawa dan Bali, Adityawarman juga dikenal dengan nama Arya Damar dan merupakan sepupu sedarah dari pihak ibu dengan raja Majapahit kedua, yaitu Sri Jayanagara atau Raden Kala Gemet. Nama Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya kurang lebih ialah "Yang berperisai matahari" (adhitya: matahari, varman: perisai). Adityawarman dibesarkan di lingkungan istana Majapahit, yang kemudian membuatnya memainkan peranan penting dalam politik dan ekspansi Majapahit. Hal ini antara lain terlihat bahwa setelah dewasa, ia diangkat menjadi Wrddhamantri atau menteri senior, bergelar "Arrya Dewaraja Pu Aditya".

Adanya prasasti pada Candi Jago di Malang (bertarikh 1265 Saka atau 1343 M), yang menyebutkan bahwa Adityawarman menempatkan arca Majur (salah satu sosok bodhisattya) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha di Bumi Jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya.

Asal-usul Adityawarman Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275 dibawah pimpinan Mahesa Anabrang , Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa dua orang putri dari Prabu Sri Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa yaitu Dara Jingga dan Dara Petak dari kerajaam Damasraya. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah runtuh dan telah muncul kerajaan baru sebagai penerus kerajaan Singhasari yaitu kerajaan Majapahit. Raden Wijaya yang bergelar Sri Rajasa Jayawardhana adalah raja Majapahit pada waktu itu sehingga kedua putri tersebut diserahkan kepada Raden Wijaya. Oleh Raden Wijaya, Dara Petak kemudian diambil sebagai selir dengan gelar Indreswari. Dari perkawinan tersebut lahir Jayanegara yang menjadi Raja Majapahit ke dua. Sedangkan Dara Jingga kemudian menikah dengan Adwaya Brahman seorang kerabat Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari yang memangku jabatan sebagai Menteri Hino yaitu jabatan tertinggi setelah Raja pada masa pemerintahan Kerajaan Singhasari. Dari pernikahan tersebut lahir putra yang bernama Adityawarman . Nama kecil Adityawarman yaitu Tuhan Janaka atau Aji Mantrolot. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman. Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat disimpulkan kalau Dara Jingga dan juga Dara Petak adalah putri dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri raja Malayu bernama Putri Reno Mandi. Adityawarman lahir tepatnya di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Setelah dewasa Adityawarman kembali ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasana keraton Majapahit. Kesempatan yang didapatkan karena Adityawarnan masih bersaudara sepupu dengan Jayanegara yang merupakan Raja Majapahit pada waktu itu. Mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.

Adityawarman dididik ilmu perang dan ilmu kertatanegaraan oleh Majapahit sehingga di keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Adityawarman mempunyai kedudukan yang setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih Gajah Mada. Karena itu Adityawarman adalah salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman sebagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta. Setelah Bali berhasil ditundukkan, Adityawarman akhirnya kembali ke Majapahit dan atas jasajasanya oleh Ratu Tribuana Wijaya Tunggadewi pada tahun 1347 Adityawarnan diangkat sebagai wakil (uparaja) Kerajaan Majapahit di Sumatra untuk menanamkan pengaruh Majapahit di Sumatra. Adityawarman memutuskan pergi ke Sumatra karena dengan lahir dan semakin dewasanya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman untuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat. Pada sisi lain, kedatangan Adityawarman ke Darmasraya selain menemui kakeknya, juga mempunyai tugas khusus yaitu merebut kembali daerah Lada Sungai Kuntu dan Sungai Kampar. Dahulu sesudah Pamalayu menurut ceritanya, daerah kaya ini tunduk pada kekuasaan Singosari. Setelah Kerajaan Singosari runtuh dan Majapahit belum lagi begitu kuat, daerahdaerah Kuntu / Kampar tersebut dapat direbut oleh Kesultanan Aru-Barumun yang telah memeluk agama Islam. Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama : Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa dan bergelar Maharaja Diraja Adityawarman dididik dan dibesarkan di Majapahit dan pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, sehingga paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini dibuktikan pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.

Istana Pagaruyung Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Pemerintahan Adityawarman Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya. Adityawarman Penganut Budha Tantrayana Adityawarman adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kontribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Budha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Terbukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo. Adityawarman diperkirakan penganut yang taat dari agama sinkretis Buddha Tantrayana dan Hindu Siwa, sebagaimana yang banyak dianut oleh para bangsawan Singhasari dan Majapahit. Ia diperlambangkan dengan Arca Bhairawa Amoghapasa. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung, Adityawarman banyak mendirikan biaro (bahasa Minang, artinya Vihara) dan Candi sebagai tempat pemujaan Dewa Yang Agung. Sampai sekarang, masih dikenal nama tempat Parhyangan yang kemudian berubah tutur menjadi Pariangan, yaitu di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat

Arca Bhairawa memegang mangkuk dan belati Arca Bhairawa Museum Nasional di Jakarta ditemukan di kawasan persawahan di tepi sungai di Padang Roco, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Arca Bhairawa dengan tinggi hampir 3 meter ini merupakan jenis arca Tantrayana. Arca Bhairawa tidak dalam kondisi utuh lagi, terutama sandarannya. Arca ini tidak banyak dijumpai di Jawa, karena berasal dari Sumatera. Sebelum ditemukan hanya sebagian saja dari arca ini yang menyeruak dari dalam tanah. Masyarakat setempat tidak menyadari bahwa itu merupakan bagian dari arca sehingga memanfaatkannya sebagai batu asah dan untuk menumbuk padi. Hal ini dapat dilihat pada kaki sebelah kirinya yang halus dan sisi dasar sebelah kiri arca yang berlubang. Arca Bhairawa tangannya ada yang dua dan ada yang empat. Namun arca di sini hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat, maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang bisa dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru/ ksetra. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual Matsya atau Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah untuk upacara minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana atau kendaraan Syiwa dalam perwujudan sebagai Syiwa Bhairawa adalah serigala karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala merupakan hewan pemakan mayat. Walaupun banyak di Sumatera, beberapa ditemukan juga di Jawa Timur dan Bali. Bhairawa merupakan Dewa Siwa dalam salah satu aspek perwujudannya. Bhairawa digambarkan bersifat ganas, memiliki taring, dan sangat besar seperti raksasa. Bhairawa yang berkategori ugra (ganas).

Siwa berdiri di atas mayat bayi korban dan tengkorak Arca ini berdiri di atas mayat dengan singgasana dari tengkorak kepala. Arca Siwa Bhairawa ini konon merupakan arca perwujudan Raja Adithyawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat pada tahun 1347. Nama Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya kurang lebih ialah Yang berperisai matahari (adhitya: matahari, varman: perisai). Di dekat Istano Basa, Batusangkar, ada sekelompok batu prasasti yang menceritakan tidak saja sejarah Minang, tapi sepenggal sejarah Nusantara secara utuh. Dari buku panduan disebutkan bahwa batu-batu prasasti yang disebut Prasasti Adityawarman itu menghubungkan Nusantara secara keseluruhan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit. Bukit Siguntang Bukit Siguntang dikeramatkan sejak jaman Sriwijaya Kemasyhuran Bukit Siguntang tidak hanya berkutat di Palembang, tetapi menyebar hingga ke seluruh Sumatera, Malaysia, dan Singapura. Kawasan perbukitan di Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, Sumatera Selatan, itu menjadi cikal bakal pertumbuhan Kerajaan Melayu. Hingga kini Bukit Siguntang merupakan cikal bakal Kerajaan Malaka. Bukit Siguntang pernah menjadi pusat Kerajaan Palembang yang dipimpin Parameswara, adipati di bawah Kerajaan Majapahit.Sekitar tahun 1511, Parameswara memisahkan diri dari Majapahit dan merantau ke Malaka. Di sana dia sempat bentrok dengan pasukan Portugis yang hendak menjajah Nusantara. Adipati itu menikah dengan putri penguasa Malaka, menjadi raja, dan menurunkan raja-raja Melayu yang berkuasa di Malaysia, Singapura, dan Sumatera. Sekitar tahun 1554 muncul Kerajaan Palembang yang dirintis Ki Gede Ing Suro, seorang pelarian Kerajaan Pajang, Jawa Tengah. Kerajaan ini juga mengeramatkan Bukit Siguntang dengan mengubur jenazah Panglima Bagus Sekuning dan Panglima Bagus Karang. Situs Bukit Siguntang di Kelurahan Bukit Lama, Ilir Barat I, Palembang, tidak dilengkapi teks yang menjelaskan sejarah kompleks itu. Kondisi itu membuat sejarah keberadaan bukit yang dikenal pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Palembang itu kabur dan pengunjung

kebingungan. Situs Bukit Siguntang merupakan kawasan perbukitan yang memiliki tujuh makam tokoh yang terkenal dalam cerita tutur rakyat. Ketujuh makam itu adalah Makam Raja Sigentar Alam, Panglima Tuan Djundjungan, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Pangeran Raja Batu Api, Panglima Bagus Sekuning, dan makam Panglima Bagus Karang. Makam-makam itu berbentuk bangunan makam dari tembok atau batu yang berada dalam rumah. Pada makam itu hanya diberi keterangan nama tokoh yang terkubur, tanpa satu teks yang menjelaskan siapa tokoh itu, riwayat hidupnya, dan perannya dalam sejarah Palembang. Sebagian besar pengunjung yang mendatangi situs kebingungan. Apalagi, beberapa juru kunci menceritakan versi sejarah yang berbeda-beda. Kedua tokoh itu berjasa memimpin pasukan kerajaan saat menundukkan pasukan Kasultanan Banten yang menyerang Palembang. Sultan Banten, Sultan Hasanuddin, tewas dalam pertempuran sengit itu. Tetapi, ada juga versi sejarah yang menyebutkan, makam Bagus Sekuning yang sebenarnya justru ada di kawasan Bagus Kuning, di Plaju, Palembang. Jauh sebelum itu, Bukit Siguntang menjadi pusat keagamaan pada masa Kerajaan Sriwijaya yang berkembang sampai abad ke-14. Sejumlah peninggalan dari kerajaan yang didirikan Dapunta Hyang Srijayanasa itu ditemukan di sini. Ada kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di kaki bukit, ada arca Buhda Amarawati, dan prasasti Bukit Siguntang yang menjadi bukti penting keberadaan Sriwijaya. "Jadi, Bukit Siguntang itu memang kawasan yang dikeramatkan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, pemerintahan perwakilan Majapahit, dan Kerajaan Palembang. Sampai sekarang pun bukit itu masih dikeramatkan dengan diziarahi banyak pengunjung," Sosok Adityawarman dari penerawangan beberapa sumber yang telah didatangi beliau dalam mimpinya, menyatakan bahwa Adityawarman berperawakan tinggi besar, berpakain serba hitam dan rambut panjang serta dikiri kanannya terselip pedang dengan ukuran panjang dan pendek. Dalam kaitannya dengan Adityawarman , Bukit siguntang diyakini sebagai tempat disimpannya salah satu senjata andalan beliau yaitu pecut yang selalu dibawa dalam setiap pertempuran yang dilaluinya. Pada hari hari tertentu paranormal banyak berdatangan ke daerah tersebut untuk memohon berkah dan berkeinginan memiliki senjata tersebut, namun untuk memilikinya bukan hal yang mudah karena dibutuhkan syarat syarat tertentu dan orang tersebut harus keturunan langsung dari Adityawarman. Adapun senjata pecut tersebut secara kasat mata tidak kelihatan namun bagi orang orang tertentu yang memiliki tingkat ilmu kebatinan yang tinggi pecut tersebut berwarna keemasan dan melingkar ditopang oleh dua buah penyangga. Pecut tersebut terakhir kali di pegang oleh Kyai Jambe Pule yang menjadi raja di Kerajaan Badung dan setelah beliau wafat pecut tersebut kembali lagi keasalnya yaitu Bukit Siguntang.

Penaklukan Bali Nama Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai penguasa bawahan di Palembang yang membantuMajapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343. Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara,

sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama. Di dalam beberapa babad di Jawa dan Bali, Adityawarman juga dikenal dengan nama Arya Damar. Adityawarman turut serta dalam ekspansi Majapahit ke Bali pada tahun 1343 yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada. Dalam catatan Babad Arya Tabanan, disebutkan bahwa Gajah Mada dibantu seorang Ksatria bernama Arya Damar, yang merupakan nama alias Adityawarman. Dari uraian Kitab Purana Bali Dwipa dinyatakan " Perang Arya Dhamar saking kulwan anekani perang lan sutanire anama Arya Kenceng, Arya Dhalancang, arya Tan Wikan (Arya Belog) " yang artinnya bahwa pada waktu Adityawarman ke Bali ikut serta pura beliau yaitu Arya Kenceng Arya Dhalancang Arya Tan Wikan ( Arya Belog ) Arya Damar diperkirakan lahir tahun 1294 M dan pada waktu ekspedisi Majapahit ke Bali tahun 1343 beliau diperkirakan berusia 50 tahunan sehingga sudah sewajarnya mempunyai putra yang sudah menginjak dewasa dan ikut serta berperang membantu ayahnya. Kerajaan Bedahulu adalah kerajaan kuno yang berdiri sejak abad ke-8 sampai abad ke-14 di pulau Bali, dan diperintah oleh raja-raja keturunan wangsa Warmadewa. Ketika menyerang Bali, Raja Bali yang menguasai saat itu adalah seorang Bhairawis penganut ajaran Tantrayana. Untuk mengalahkan Raja Bali itu, maka Adityawarman juga menganut Bhairawis untuk mengimbangkan kekuatan. Kembali ke sejarah Arya Damar dalam ekspedisi Majapahit Ke Bali, Setelah Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali maka terjadilah ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1334 dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima perang Arya Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai Banyuwangi, tentara Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat peperangan. Dari Hasil perundingan tersebut diputuskan untuk menyerang bali dari 3 arah yang berbeda sebagai berikut : Dari Arah Timur Penyerangan Bali dari arah timur akan dipimpin oleh Patih Gajah Mada bersama dengan para patih keturunan Mpu Witadarma, Krian Pemacekan, Ki Gajah Para, Krian getas akan mendarat di Toya Anyar Dari Arah Utara Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Damar bersama dengan Arya Sentong dan Arya Kutawaringin akan mendarat di Ularan. Dari Arah Selatan Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Kenceng bersama dengan Arya Belog (Tan Wikan) Arya Pengalasan dan Arya Kanuruhan akan mendarat di pantai Kuta Kedatangan prajurit Majapahit tersebut membuat Pulau Bali bagaikan bergetar, rakyat Bali menjadi panik dan melaporkan hal tersebut kepada pangeran Sri Madatama yang merupakan putra mahkota kerajaan Bali serta kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah mendengar laporan tersebut, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengutus putranya

pangeran Sri Madatama untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Setelah memastikan kebenaran berita tersebut Krian Pasung Grigis beserta para patih lainnya segera punggawa menyiapkan pasukannya masing masing dengan membagi pasukan menjadi 3 sesuai arah pengepungan pasukan dari Majapahit. pertahanan di wilayah Utara dijaga oleh Ki Pasung Grigis, Si Buwan dan Krian Girikmana. Pertahanan di wilayah Barat dijaga oleh Sri Madatama, Ki Tambyak, Ki Walumgsingkat dan Ki Gudug Basur. Pertahanan di wilayah Timur dijaga oleh Ki Tunjung Tutur, Kom Kopang dan Ki Tunjung Biru. Pertempuran di Bali bagian utara tidak kalah serunya. Daerah Ularan dipertahankan oleh Ki Girikmana diserang oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Panglima Arya Damar. Terjadi pertempuran antara kedua pimpinan pasukan yaitu Arya Damar dengan Si Girikmana. Kedua pasukan yang tadinya bertempur menghentikan pertempuran untuk menyaksikan perang tanding ke dua tokoh tersebut. Dalam perang tanding yang berlangsung sangat seru tersebut masing masing menunjukkan kesaktiannya untuk secepatnya melumpuhkan musuhnya, sampai akhirnya Si Girikmana tidak mampu menandingi kesaktian Arya Damar sehingga gugur dalam pertempuran sebagai kesatria sejati. Gugur pula dari pihak kerajaan Bali Krian Jembrana sebagai prajurit yuda. Pasukan Majapahit di wilayah Selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng menggempur habis habisan, tiada henti hentinya mengurung pasukan musuh dari segala arah. Pasukan Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak mulai terdesak dan banyak yang mati terluka. Dalam keadaan terdesak Ki Tambyak berhasil mengalahkan Kyai Lurah Belambangan. Tubuhnya dilemparkan oleh Ki Tambyak sehingga terpelanting ke tempat yang agak jauh. Kyai Lurah Belambangan menghembuskan napasnya yang terakhir, gugur sebagai prawira yuda yang gagah berani. Melihat kawan seperjuangannya gugur, Arya Balancang, Arya Sentong, Arya Wangbang dan Kyai Banyuwangi maju bersamaan untuk mengimbangi kekuatan musuh. Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat teguh dan sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit. Untuk menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki Tabyak. Dalam pertempuran satu lawan satu tersebut masing masing pihak berusaha saling mengalahkan. Karena hebatnya perang tanding tersebut prajurit dari kedua belah pihak sampai menghentikan pertempuran untuk menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling mengalahkan. Namun demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan Ki Tambyak sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya. Dengan gugurnya Ki Tambyak pertahanan Bali di wilayah selatan menjadi lemah karena hanya menyisakan Ki Gudug Basur. Dalam Pertempuran tersebut Ki Gudug basur diserang dari segala arah oleh para Arya dari Majapahit. Namun I Gudug basur ternyata mempunyai ilmu yang sangat

tinggi yaitu teguh, kebal oleh senjata apapun sehingga para Arya mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Namun demikian walaupun tubuhnya tidak dapat terluka apabila terus menerus digempur dari segala arah lama kelamaan Ki Gudig Basur kehabisan tenaga dan sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan dari Majapahit. Dengan Gugurnya Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak maka daerah Seseh, Tralangu, Padang Sambian, Kedonganan, Benua, jimbaran, Kuta, Mimba, Suwung, Sesetan, Tuban, Renon, Batankendal, Sanur, Tanjungbungkah, Kaba Kaba, Kapal, Tanah barak, Camagi, Munggu, Parerenan, Dukuh, Kemoning, Pandak, Kelahan, Pancoran, Babahan, Keliting, Cengkik dan Kerambitan dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Kenceng. Sisa sisa langkar Bedahulu yang masih tersisa setelah mengalami kekalahan dalam pertempuran menyelamatkan diri dan mengungsi ke daerah Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serahi, Sukawana, Panarajon, Kintamani, Pludu, Manikliu, dan ada pula yang mengungsi ke daerah timur seperti Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Got, Garbawana, Lokasarana, Garinten, Sekul Kuning, Puhan, Hulakan, Sibetan, Asti, Watuwayang, Kadampai, Bantas, Turamben, Crutcut, Datah, Watidawa, Kutabayem Kemenangan Pasukan Majapahit di wilayah selatan yang dipimpin oleh Arya Kenceng melengkapi kemenangan pasukan Majapahit yang terlebih dahulu berhasil mengusai wilayah Utara dan Timur Pulau Bali sehingga praktis semua daerah pesisir Bali dapat dikuasai. Sekarang tinggallah Krian Pasung Grigis yang bertahan di desa Tengkulak di wilayah Bali Bagian Tengah. Pertempuran yang terjadi berakhir dengan kekalahan Bedahulu, dan patih Bedahulu Kebo Iwa gugur sementara raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten pergi mengasingkan diri. Setelah Bali berhasil ditaklukan, Arya Damar kembali ke Majapahit. Sebagian kerabat Arya Damar ada yang menetap di Bali, dan di kemudian hari salah seorang keturunan dariArya Damar mendirikan Puri Denpasar dan Puri Pemecutan di Denpasar. Dija dapat dijelaskan, kiranya penulis bersedia. Demikian pemintaan saya, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Babad Arya Kenceng Tegehkuri Bag 1 Sejarah adalah guru Agung yang mampu membimbing kita ke arah kemajuan. Apalagi sejarah dari leluhur yang sukses dalam hidupnya. Demikian yang dicatat oleh sejarah Putra Dalem Bali, Tegehkuri Arya Kenceng berhasil mendirikan kerajaan Badung dan menjadi raja pertama, bukan karena keturunan namun karena usaha dan jering payahnya sendiri.

Pura Dalem Puri - Linggih Ida Bethari Dewi Danuh Semangat ini patut menjadi suri teladan bagi warih Beliau (keturunan Beliau) pun baik bagi siapapun yang terinspirasi untuk membaca dan menemukan manfaat di dalamnya. Terimakasih banyak kami ucapkan pada Sesepuh kami yang telah dengan susah payah menyelesaikan Babad ini. Babab ini kami dapatkan di Pura Dalem Arya Tegehkuri Di Benculuk pada tanggal 14 Mei 2005, yang kebetulan sama isinya dengan isi Babad Keluarga yang selalu dibacakan setiap hari suci Karena keturunan Tegehkuri Arya Kenceng bertebaran di seluruh Bali, semenjak terjadi perebutan atas Ni Gusti Ayu Mimba antara Perjaka putra Kyi Pucangan dengan Agung Mengwi sekitar tahun 1750, para keturunan Tegehkuri menyebar dan nyineb ke seluruh Bali, untuk tetap mengingat leluhur dan menjadikannya suri teladan, para keturuannya kemudian menuliskan sejarah perjalanan, hal ini memungkinkan timbulnya beberapa babad, oleh karenanya kalo ada kekurangan di dalam Babad ini mohon sudikiranya mereka yang mengetahuinya melengkapi sehingga semua keturunan Arya Kenceng Tegeh Kuri mengerti sajarah yang sesungguhnya. Pura Kawitan Tegeh Kuri - Tempat pemujaan Ida Bethara Ring Toh Langkir (Gunung Agung) Marilah kita baca penuturan dari para sesepuh yang termuat dalam buku Babad yang disebar pada karya agung pemacekan agung Pura Dalem Benculuk 14 Maret 2005. Om Avignam Astu Nama Sidem Sembah sujud hamba kehadapan Ida Sanghyang Parama Kawi dan para leluhur (dewata-dewati), yang telah menganugrahkan ketentraman sehingga terwujud tujuan hamba untuk menerbitkan tentang sejarah Arya Kenceng Tegeh Kori, agar segala kesalahan dan kekeliruan hamba diampuni, sehingga tidak kena Upadrawa (kutukan) beliau yang telah suci. Dikisahkan dalam sejarah Pulau Bali pada akhir abad ke XIV berdirilah di sebelah barat sungai Ayung pada hulu daerah utara desa Tonjaya (sekarang desa Tonja) sebuah kerajaan yang sangat megah.

Bila diperhatikan menurut pandangan kemegahan dan pengaturan puri maupun wibawa kerajaan ini, semuanya mencerminkan gaya keagungan ksatriaan Majapahit. Tata letak dan tata cipta bangunan-bangunannya yang sedemikian serasi, tata perhiasan dan dekorasi maupun tata pertamanannya keseluruhan sangat menarik dan mengesankan serta menimbulkan khayalan seolah-olah berada di dunia yang lain, di dunia pedewataan dengan istana-istana yang serba mewah dan serba gemerlapan. Dengan sepintas pandang para pengamat akan cepat mendapat kesan bahwa yang bersemayam dalam istana ini ada pertalian dengan para ratu dan para ksatria di majapahit. Balai bengongnya yang sengaja di dekorasi dan dilengkapi sangat mewahnya membuat penonton tak jemu-jemunya memandang. Menara (balai) kulkul yang berdiri di sudut lainnya tidak kalah indahnya. Di samping keindahan puri ini ada lagi sesuatu kelebihan yang patut dicatat melebihi keadaan puri-puri lainnya, yaitu puri disebelah hulunga diapit dengan dua pura yang besar dan tidak kalah megahnya dengan puri itu sendiri. Tatanan puri tersebut tidak terdapat pada puri-puri di kerajaan lain. Selain dua pura tersebut, pura-pura kahyangan tiga dan pura-pura umum maupun kawitan sangat mendapat perhatian dari kerajaan. Sebuah dari para parahyangan yang mengapit huluan puri terletak di timur laut puri di pinggir sungai Ayung. Parahyangan ini mencerminkan pemujaan pada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), seru sekalian alam, dalam manifestasinya di puja sebagai Bhatara Toh Langkir di Puncak Gunung Agung. Yang sebuah lagi berdiri di sebelah barat daya puri, Parahyangan tersebut mencerminkan pemujaan kehadapan Bhatara di gunung Batur. Parahyangan ini lazim disebut Pura Dalem Arya Tegeh Kuri Benculuk. Pura ini berdiri sebagai pengemong puri, raja dan rakyatnya. Ibu kota kerajaan disebut Benculuk, melambangkan nama dari pada masa kanak-kanak pernah dididik, diasuh, dipelihara, dibesarkan dan mendapat kasih sayang, yaitu di desa Buahan. Buahan=Jambe=Pucangan=Benculuk=Peji, dsb. Sang Prabu bergelar Sira Arya Kenceng Tegehkuri itu suatu pertanda seorang Putra Dalem yang diberikan kepada Sira Arya Kenceng sebagai putra angkat beliau. Negaranya disebut negara Badung dalam lingkungan kekuasaan Sri Aji Dalem Samprangan ataupun Gelgel (Sri Kresna Kepakisan) maupun para turunan Dalem Gelgel. Sejarah kisah asal-usul Sang Prabu bersumber pada sejarah para leluhur para ksatria dan para ratu Majapahit di Jawa yang kisahnya di tuturkan berikut ini: Alkisah, maka tersebutlah dalam sejarah, Maha Prabu Airlangga yang bertahta di Kediri-Panjalu pada tahun 1010 sampai tahun 1042 Baginda Maha Prabu Airlangga mempunyai tiga orang putra: Putri Baginda bernama Dyah Kili Suci atau Endang Suci disebut pula Rara Kapucangan. Putri Kili Suci yang lahir dari permaisuri baginda tidak bersedia menjadi putra mahkota menggantikan baginda ayahnya, karena beliau tidak menginginkan kekuasaan dan kewibawaan, tidak ingin bersuami dan menjalankan kehidupan orang biasa, melainkan beliau ingin menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa di dalam hutan. Tekad dan keputusan Putri Kili Suci ini membawa akibat bahwa kerajaan Daha-Panjalu kemudian terbagi menjadi dua buah kerajaan masing-masing dipinpin oleh putra-putra Maharaja Airlangga yang lahir bukan dari permaisuri raja. Putra laki-laki baginda itu bernama Jayabaya

dinobatkan menjadi raja kerajaan Daha bertahta di Kediri Penjalu dan menurunkan para ksatria Kediri Daha, antara lain Sri Dandang Gendis dan terakhir Jayakatwang. Adapun Jayasaba dinobatkan di Jenggala bertahta di Kahuripan. Baginda Sri Jayasaba inilah menurunkan para ksatria Kahuripan, setelah beberapa keturunan tersebut berkembang, termasuk enam orang bersaudara yang mejadi awal dari tokoh yang akan diceritakan dalam sejarah selanjutnya. Enam ksatria bersaudara dimaksud ialah: Rahadian Cakradara adalah seorang yang sangat cerdas baik budibahasanya, memiliki keahlian yang utama, pradnyan, cakap, sulaksana, paham akan tatwa-tatwa, teguh imannya, gagah berani dan tangkas dalam perang. Beliau itulah terpilih menjadi suami Baginda Maharaja Dewi Bhrawilwatikta III dalam swayambara. Sesudahnya dilangsungkan pernikahan pada tahun 1329, baginda bergelar Sri Karta Wardana. Beliau adalah ayahanda Baginda Maharaja Hayam Wuruk yang termasyur, memerintah dari tahun 1334 (bayi) sampai 1350-1389 (Hayam Wuruk dinobatkan raja sejak lahir diwakili ibundanya yang bertahta mulai tahun 1329-1334. Adik Baginda banyak mempunyai nama, antara lain: Sira Arya Damar, Sira Arya Teja, Rahadian Dilah, Kyai Nala. Dalam bidang pemerintahan di Kerajaan Majapahit, beliau berpangkat Diaksa. Kata-kata beliau sangat bertuah, gagah berani sebagai kesari. Beliau kemudian ditempatkan sebagai Prabu (Adhipati) di Palembang (Kerajaan Sriwijaya). Setelah kembali dari tugasnya turut menaklukkan Patih Pasung Grigis, mengikuti Maha Patih Gajah Mada ke Bali tahun 1343. Pada penyerbuan ke Bali Patih Gajah Mada turun di Tianyar dengan pasukannya. Sri Arya Damar, disertai adiknya Sira Arya Kutawaringin, dengan pasukannya turun dari Ularan (di Bali Utara). Adik Baginda yang kedua (nomor tiga bersaudara) bernama Sira Arya Kenceng. Beliau termasyur dalam pemikiran dan pertimbangannya (wirarasan), gagah berani sebagai wiagra. Turut dalam penyerbuan ke Bali membantu Maha Patih Gajah Mada menaklukkan Patih Pasung Grigis pada tahun 1343. Beliau disertai dua orang adik-adik beliau Sira Arya Sentong dan Sira Arya Belog, mendarat di Kuta. Adik Baginda yang ketiga bernama Sira Arya Kutawaringin Adik Beliau yang keempat bernama Sira Arya Sentong. Adik Beliau yang paling bungsu bernama Sira Arya Tan Wikan alias Arya Belog. Para kesatria yang lima orang ini menjadi Bahudanda para Maharaja Dewi Bhra Wilwatikta III di Majapahit(bersambung)

SEJARAH ARYA DAMAR (I) Oktober 29, 2009 Pada Prasasti Arya Kenuruhan maring Bali Dwipa disebutkan : Sira Arya Damar Sire Juge Mebiseka Aditya Warman (Reji 1984: 1/X55). Artinya : Beliau Arya Damar juga Beliau bernama Aditya Warman. Dijelaskan dalam Babad Keluarga Arya Damar di Sunantaya pada lembar 7a disebutkan: Wijahandikanira Sang Prabu, ring Sang Arya Damar, maring sira yayi Arya Damar Arya Kenceng. Kakasihan nira Jumeneng Patih Ingsun Ring Bangsul, Sira Juga Yayi Sadede

Singgih Ingsun dan seterusnya. Artinya :Sabda Sang Prabu (Tribuwana Tungga Dewi) kepada Sang Arya Damar, adikku Sang Arya Damar yang saya cintai ditemani Arya Kenceng menjadi Pepatih saya di Bali. Adikku juga sekeluarga dengan saya. Juga pada lembaran Pertama disebutkan : Iki Peling ira Sang Nata Saking Wilatikta Kedaton iraring alastrikring arin nira Sang Arya Damar, akadaton ring Tulembang Jumeneng ikang rat, maring ikang Ratu ring Sunantara, Anggawula ring Wilatikta, hana putran ira ratu anom : AnomAnom prawiraika, angrakseng Sunantara, tan lian, Sang Ra Arya Damar, agenu abawa rasa ring Patih Gadjah Mada (X34 : 1.3). Artinya : Inilah Perintah/sabda Raja yang berstana di Majapahit (Alas Trik) kepada adiknya Sang Arya Damar yang menjadi Raja berstana di Palembang (Sumatra) tetapi mengabdi di Majapahit, ada putra beliau (Sang Arya Damar) yang masih muda-muda (Arya Ngurah Barak, Arya Ngurah Gading, Arya Ngurah Yasa) beliau-beliau itu amat perkasa dan yang berkedudukan di Sunantara/Sumantaya Penebel (Sunantyaya sekarang) yang memegang kekuasaan tidak ada lain dari yang terhormat SANG ARYA DAMAR. Raja pertama Majapahit (Raden Wijaya) Kertharajasa Jaya Wardana, beliau kawin dengan empat orang wanita. Diantaranya Putri Kertha Negara Raja Singosari yang bernama : Tribuwana dan Raja Patni. Pada tahun 1293 mengambil 2 Istri lagi yaitu Putri Melayu yang bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Diceritakan, Dara Jingga melarikan diri (karena difitnah) dalam keadaan mengandung, dan diambil oleh salah satu dari keluarga Raja Mauliwarmadewa yang bergelar Bethara Siwa di Melayu (dalam Pararaton Dara jingga Alaki Dewa). Sembilan bulan kemudian Dara Jingga melahirkan seorang bayi laki-laki dan pada saat bayi itu lahir, ada sinar yang menyala di ubun-ubunnya sehingga bayi tersebut diberi nama ARYA DILAH / Arya Damar pada tahun 1294. Dia merupakan keturunan Sri Muliwarman Raja di Sumatra (X77 : 84). Pada usianya ke-14 (tahun 1308), ia datang menemui Ayahnya Raden Wijaya. Kedatangannya tidak diakui sebagai anaknya sebelum mampu melaksanakan ujian dari Raden Wijaya, antara lain yaitu menumpas para pepatih yang berkuasa di Palembang (Sumatra). Atas keampuhan dari keris yang bernama Sanghyang Tiga Sakti yang diberikan oleh Ibunya sehingga mampu melaksanakan ujian dari Raden Wijaya. Maka Arya Dilah diakui sebagai anaknya dan namanyapun diganti dengan ARYA DAMAR. Karena jasanya maka ARYA DAMAR diangkat menjadi Raja di Palembang di bawah kekuasaan Majapahit. Pada tahun 1308, Arya Damar kemudian dikawinkan dengan putri Cukim dari degeri Cina yang disaksikan oleh rakyatnya di Sumatra dan wakil dari Majapahit yaitu Patih Bagah, Patih Waham, Patih Demung Kalungsur dan diberikan mas kawin berupa Porcelin (Piring Kuno dari Cina) dan lainnya yang sampai sekarang masih disakralkan oleh keluarga Arya Damar di Sunantaya. Mengenai kelahirannya, Arya Damar lahir pada tahun 1294 Masehi yang seumuran dengan kelahiran sepupunya yaitu Raja Jaya Negara, dimana hanya tempat kelahirannya yang berbeda dimana Raja Jaya Negara lahir di Majapahit. Perkawinan Arya Damar dengan Putri Cukim melahirkan Putra antara lain : ARYA NGURAH BARAK (Ratu Bhatra di Wayan) ARYA NGURAH GADING (Ratu Bhatra di Made) ARYA NGURAH YASA (Ratu Layang Petak)

Tiga Putera Sang Arya Damar disebut : Ngurah Barak, Ngurah Gading dan Ngurah Yasa (Rajapurana / X3:9) Raden Wijaya mengkat (wafat) tahun 1309, maka Putranya Kala Gemet di angkat menjadi Raja Majapahit bergelar Sri Jaya Negara mulai tahun 1309 1328. Selama Jaya Negara memerintah, banyak kehilangan daerah kekuasaannya antara lain BALI, BLAMBANGAN dan BANYUWANGI. Selanjutnya, yang memiliki hak yang kuat untuk naik tahta Majapahit adalah GAYATRI (Raja Patni). Tetapi Gayatri telah menjadi Pertapa sehinnga diwakili oleh Putrinya yaitu Tribhuwana Tungga Dewi Jaya Wisnu Wardani yang telah bersuamikan Raden Cakra Dara (Krta Wardana), putranya adalah Hayam Wuruk. Dinyatakan dalam Prasasti Manjusri bahwa Arya Damar (Adityawarman) adalah turunan Raja Patni (dijadikan anak angkat) melalui alur ayahanda Raden Wijaya dipersaudarakan dengan anak Raja Patni (Tribhuwana Tungga Dewi dan Dyah Wyat Srirajadewi) karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Maka dari itulah Arya Damar mempunyai kedudukan tinggi di Majapahit.

Sabdopalon telah kembali ?? (Cerita babad tentang runtuhnya Kerajaan Majapahit) Peninggalan budaya pada Jaman Majapahit di Nusantara sekarang ini dapat dilihat situsnya di Mojokerto. Di sana ada Situs Majapahit tetapi karena bahan bakunya dari batu bata, maka tidak bisa bertahan lama, kini tampak telah aus dimakan waktu/keropos, runtuh. Berbeda dengan peninggalan Candi-candi Majapahit yang lain di mana bahannya terbuat dari batu andesit, hingga kini masih utuh. Yang menarik untuk diperhatikan dan dipelajari adalah bagaimana Agama Buddha yang demikian besar di Jaman Majapahit akhirnya mengalami kemunduran hingga lenyap tidak dikenal sama sekali, yang tersisa tinggal berupa kepingan-kepingan sejarah. Hal yang patut dicatat bahwa suatu agama akan berkembang menjadi besar bila didukung oleh beberapa syarat, sekurang-kurangnya ada lima, yaitu: Kalau menjadi agama negara; sehingga kegiatan keagamaan maju pesat karena sepenuhnya didukung oleh raja. Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan lain-lain, dibangun karena sepenuhnya didukung oleh raja. Ditangani oleh kaum profesional agama (ulama); artinya sebagai ahli pelaku agama (ulama), waktu sepenuhnya

tercurah, berpikir, berucap, dan bertindak untuk kemajuan agamanya. Tingkat kemakmuran masyarakat mendukung; Tingkat kerelaan umat; jika dari kemakmuran dan kerelaan cukup, pengadaan sarana dan prasarana demi kegiatan pengembangan keagamaan semua dengan mudah terwujud. Tingkat keimanan umat cukup mantap; artinya tidak mudah terpengaruh atau pindah agama Agama Buddha pada Jaman Majapahit menjadi besar karena lima hal tersebut di atas terpenuhi. Raja, pejabat tinggi negara, dan rakyatnya menganut cara berpikir Buddhis, beragama Buddha. Akan tetapi ketika yang terjadi sebaliknya, petinggi-petinggi negara beralih agama, para profesional (ulama) agama menyimpang dari haluannya, tingkat kesejahteraan rakyat tidak mendukung, keimanan goyah, maka lambat laun agama akan ditinggalkan. Begitu pula Agama Buddha pada jaman pasca Majapahit menjadi merosot tajam, lenyap hilang. Agama Buddha di Indonesia sekarang dalam kondisi baik dan aman, karena sah dan dilindungi undang-undang, akan tetapi karena belum ditangani oleh kaum profesional (ulama) sepenuhnya, maka masih tersendat-sendat, sering ngadat. Selama ini lembaga-lembaga, organisasi agama masih ditangani oleh pemimpin-pemimpin yang belum sepenuhnya profesional agama, sehingga perhatian dan pencurahan energi, serta pemikirannya masih harus dibagi dua dengan tanggung jawab kebutuhan keluarga atau profesi lain yang menjadi kendala. Hal lain yang menjadi sebab Agama Buddha menurun adalah Raja ke-5 pada Jaman Majapahit yaitu Raja Brawijaya V mempunyai anak laki-laki hasil pernikahannya dengan Putri Campa (China), di mana sejak kecil anak tersebut yang diberi nama Raden Babah Patah dididik oleh Raja Ariyodamar di Palembang,

Sumatera, yang telah beragama lain. Jadi Raden Patah diajar agama lain bukan Agama Buddha yang telah dianut di negeri itu, sampai Raden Patah menjadi besar dan kembali ke negeri Tanah Jawa di Kerajaan Majapahit. Oleh Brawijaya diterima dan diberikan wilayah kekuasaan untuk dibuka menjadi kerajaan baru. Tempat tersebut oleh Raden Patah dibangun bersama dengan guru-guru spiritualnya yakni para wali, jadilah Kerajaan Demak Bintoro, di Jawa Tengah. Akhirnya demi kepentingan tertentu guru-guru spiritualnya mendesak Raden Patah sebagai Raja Demak Bintoro, untuk segera mereformasi Majapahit berganti agama baru. Meskipun berkali-kali Raden Patah menunda-nunda permintaan gurunya, akan tetapi karena didesak dan didesak terus, akhirnya Raden Patah menurut juga. Oleh karena Brawijaya tidak mendidik Raden Patah untuk mempelajari Agama Buddha, akibatnya Raden Patah tidak menganut Agama Buddha, malah bermaksud mengganti agama yang dianut Brawijaya, orangtuanya. Sampai suatu ketika Majapahit didatangi PANSUS tentara dari Demak, untuk tujuan mereformasi Majapahit. Prabu Brawijaya sebagai orangtua tentu berpikir panjang, apakah dia harus berperang berhadapan dengan anak, sedangkan sebagai orangtua rela kurang makan minum, kurang tidur, asal anak bahagia orangtua sudah cukup puas. Maka meskipun negeri kerajaan dalam keadaan didesak bahaya, daripada perang dengan anak, Prabu Brawijaya memilih pergi meninggalkan kerajaan; lewat pintu belakang beliau meninggalkan Kerajaan Majapahit menuju Blambangan. Jadi Kerajaan Majapahit ketika itu bukan diambil alih dengan peperangan atau perundingan, tetapi tepatnya ditinggal pergi oleh rajanya. Raja Demak berhasil mengambil alih istana Kerajaan Majapahit, tetapi misinya dianggap belum sukses karena Prabu Brawijaya belum pindah agama baru. Akhirnya diputuskan untuk mengirim Raden Sahid Sunan Kalijaga menyusul Prabu Brawijaya ke Blambangan, di ujung timur Pulau Jawa. Tujuannya membujuk dan merayu, serta memohon agar Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit dan berganti agama. Pembicaraan ini berlangsung berhari-hari sampai akhirnya Prabu Brawijaya

menyanggupi untuk kembali ke Majapahit. Tetapi beliau mengatakan bahwa: "Saya mau kembali ke Majapahit bukan untuk kekuasaan sebagai Raja Majapahit, tetapi demi anak." Sudah jelas dikudeta, tetapi Prabu Brawijaya tetap tidak pupus rasa sayang pada anaknya. Walaupun demikian misi para wali guru spiritual Raden Patah belum tercapai, maka berhari-hari terus diadakan dialog. Karena alotnya sampai suatu ketika dialog diambil alih oleh kedua penasehat spiritual Prabu Brawijaya yaitu Sabdopalon dan Noyoginggong (nama yang sudah diistilahkan, yang dimaksud adalah bhikkhu). Akhirnya Sabdopalon, Noyoginggong, dan Sunan Kalijaga berdebat seru mengadu ilmu dan kesaktian. Di mana untuk membuktikan misi baru ini hebat, Raden Said mengambil air untuk mencuci muka, begitu tersentuh tangan, air tersebut berubah menjadi berbau wangi. Untuk menandai kejadian ajaib ini, maka di tempat itu diberi nama Banyuwangi. Akhirnya disepakati rombongan meninggalkan Blambangan menuju Majapahit. Dalam perjalanan ke Majapahit rombongan berhenti di suatu tempat peristirahatan (villa). Di tempat itu diteruskan lagi diskusi yang belum usai. Sabdopalon dan Noyoginggong menerima keajaiban air wangi tidak tinggal diam, tetapi ingin menguji air wangi tersebut sampai kapan bertahan. Air wangi yang dibawa dalam bumbung (tabung) dari Blambangan, oleh Sabdopalon dan Noyoginggong dibuka tutupnya, ternyata air yang semula berbau wangi itu sekarang berubah menjadi berbau basin (busuk) dan banger. Prabu Brawijaya berkata: "Saya sudah tua, semuanya demi anak. Permintaan saya, meskipun Majapahit sudah berganti pemerintahan tetapi jangan sampai dinodai tetesan darah. Saya sanggup berganti agama tetapi saya mempunyai permintaan, kalau saya meninggal jangan ditulis di sini makam Brawijaya, cukup diberi tanda 'di sini peristirahatan si putra bulan [trowulan]." Begitu Prabu Brawijaya memberi disposisi, kedua penasehat spiritualnya berkata: "Brawijaya, saya tidak akan mengikuti perjalananmu lagi, saya akan tidur saja, dan saya tidak akan bangun sebelum Agama Buddha kembali. Dan ingatlah keharuman

air wangi nanti akan bertahan selama 500 tahun dan 4 jaman." Usai berkata demikian Sabdopalon dan Noyoginggong "moksa" (menghilang). Mendengar kata-kata itu Brawijaya menangis tetapi semuanya sudah terlambat. Untuk memberi saksi harumnya air wangi menjadi berbau basin dan banger, tempat itu diberi nama Jember. Dihitung-hitung perjalanan dari Banyuwangi sampai Jember selama 4 hari dan 5 malam. Artinya keharuman itu nanti bertahan selama 500 tahun dan 4 jaman.