Referat Dan Preskas Jiwa
description
Transcript of Referat Dan Preskas Jiwa
Referat dan Presentasi Kasus
SKIZOFRENIA PARANOID
Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik SeniorBagian / SMF Ilmu Kedokteran Keluarga (Family Medicine)
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaBanda Aceh
Disusun Oleh :
Evi Syahrinawati0707101010074
BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KELUARGA( FAMILY MEDICINE)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALABANDA ACEH
2013
1
KATA PENGANTAR
Puji Dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “ SKIZOFRENIA PARANOID” yang akan diajukan penulis untuk
melengkapi tugas-tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik senior (KKS) di bagian
Kedokteran Keluarga (Family Medicine).
Shalawat beserta salam marilah selalu kita sanjung sajikan kepada baginda nabi
besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh dengan
kegelapan kea lam yang terang benderang seperti saat ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pembimbing penulis yang telah memberikan waktu dan
kesempatannya untuk membimbing dalam proses penulisan hingga mempresentasikan
kasus ini, sehingga dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian presentasi
kasus ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan itu,
penulis mengaharapkan kritik dan saran demi perbaikan presentasi kasus ini. Semoga
presentasi kasus ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Banda Aceh, Januari 2012
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Kesehatan adalah suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari penyakit,
cacat, kelemahan tapi benar-benar merupakan kondisi positif dan kesejahteraan
fisik, mental dan sosial yang memungkinkan untuk hidup produtif. Manusia
adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam memenuhi
kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, individu dituntut untuk lebih
meningkatkan kinerjanya agar segala kebutuhannya dapat terpenuhi tingkat sosial
di masyarakat lebih tinggi. Hal ini merupakan dambaan setiap manusia ( Dep Kes
RI. 2000 ).
Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara
dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap
sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidak mampuan serta invalisasi baik secara
individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak
produktif dan tidak efisien. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah
satu empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan indrustri
keempat kesehatan utama tersbut adalah penyakait degeneratif, kanker, gangguan
jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak di anggap sebagai
gangguan jiwa yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara
individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak
produktif dan tidak efisien (Yosep, 2007).
Skizofrenia merupakan psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas terbesar, pasien tidak mempunyai realitas, sehingga
pemikiran dan perilakunya abnormal di Rumkital Dr. Ramelan PAV VI A terdapat
16 klien (100%) dan ada 4 klien yang mengalami gangguan Skizofrenia Paranoid
(25%) . Di Indonesia, sekitar 1% – 2% dari total jumlah penduduk mengalami
skizofrenia yaitu mencapai 3 per 1000 penduduk, prevalensi 1,44 per 1000
3
penduduk di perkotaan dan 4,6 per 1000 penduduk di pedesaan berarti jumlah
penyandang skizofrenia 600.000 orang produktif.
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia adalah
gangguan jiwa skizofrenia. Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya
retak atau pecah (spilit), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian
seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofernia adalah orang yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splittingof of personality).
Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya
waham kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan
Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada
mania, pada skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis, 2005). Kriteria
waktunya berdasarkan pada teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi
klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah.
Waham menurut Maramis (1998), Keliat (1998) dan Ramdi (2000)
menyatakan bahwa itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak
sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang
kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat
diubah-ubah. Mayer-Gross dalam Maramis (1998) membagi waham dalam 2
kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham primer timbul secara tidak logis,
tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham sekunder biasanya logis
kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk menerangkan gejala-
gejala skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah satunya adalah
waham kebesaran Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American
Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk
dunia menderita skizofrenia. 75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada
usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena
tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari
keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri.
Istilah skizofrenia sering disalahpahami berarti bahwa orang-orang yang
terkena dampak memiliki "kepribadian ganda". Meskipun beberapa orang
didiagnosis dengan skizofrenia mungkin mendengar suara-suara dan mungkin
4
mengalami suara sebagai kepribadian yang berbeda, skizofrenia tidak melibatkan
orang berubah antara kepribadian ganda yang berbeda. Kebingungan muncul
sebagian karena makna istilah skizofrenia Bleuler itu (secara harfiah "split" atau
"pikiran hancur"). Penyalahgunaan dikenal pertama istilah berarti "kepribadian
yang terbelah" adalah dalam sebuah artikel oleh penyair TS Eliot pada tahun
1933.
Pada paruh pertama abad kedua puluh skizofrenia dianggap cacat keturunan,
dan penderita tunduk pada eugenika di banyak negara. Ratusan ribu orang
disterilkan, dengan atau tanpa persetujuan - mayoritas di Nazi Jerman, Amerika
Serikat, dan negara-negara Skandinavia. Seiring dengan orang lain berlabel
"mental layak", banyak didiagnosis dengan skizofrenia dibunuh dalam program
"Aksi T4" Nazi.
Pada awal 1970-an, kriteria diagnostik untuk skizofrenia adalah subyek dari
sejumlah kontroversi yang akhirnya mengarah pada kriteria operasional digunakan
saat ini. Ini menjadi jelas setelah studi AS-Inggris 1971 Diagnostik bahwa
skizofrenia didiagnosis ke tingkat yang jauh lebih besar di Amerika daripada di
Eropa. Hal ini sebagian karena kriteria diagnostik longgar di AS, yang
menggunakan DSM-II manual, kontras dengan Eropa dan ICD-9 nya. 1972 studi
david Rosenhan, yang dipublikasikan dalam jurnal Science di bawah judul yang
waras Pada di tempat gila, menyimpulkan bahwa diagnosis skizofrenia di
Amerika Serikat sering subyektif dan tidak dapat diandalkan. Ini adalah beberapa
faktor dalam memimpin ke revisi tidak hanya dari diagnosis skizofrenia, tapi
revisi dari manual DSM keseluruhan, sehingga dalam publikasi DSM-III pada
tahun 1980. Sejak 1970-an lebih dari 40 kriteria diagnostik untuk skizofrenia telah
diusulkan dan dievaluasi.
Di Uni Soviet diagnosis skizofrenia juga telah digunakan untuk tujuan
politik. Soviet Andrei Snezhnevsky psikiater terkemuka dibuat dan dipromosikan
klasifikasi sub-tambahan lamban berkembang skizofrenia. Diagnosis ini
digunakan untuk mendiskreditkan dan cepat memenjarakan para pembangkang
politik sementara pengeluaran dengan percobaan berpotensi memalukan. Praktek
itu terkena Barat oleh sejumlah pembangkang Soviet, dan pada tahun 1977 World
Psychiatric Association mengutuk praktek Soviet di Kongres Dunia Keenam
5
Psikiatri. Daripada mempertahankan teorinya bahwa bentuk laten skizofrenia
disebabkan pembangkang untuk menentang rezim, Snezhnevsky memutuskan
semua kontak dengan Barat pada tahun 1980 dengan mengundurkan diri posisi
kehormatan di luar negeri.
Stigma sosial telah diidentifikasi sebagai suatu hambatan yang besar dalam
pemulihan pasien dengan skizofrenia. Dalam sampel, besar wakil dari sebuah
studi tahun 1999, 12,8% orang Amerika percaya bahwa individu dengan
skizofrenia adalah "sangat mungkin" untuk melakukan sesuatu kekerasan terhadap
orang lain, dan 48,1% mengatakan bahwa mereka "agak mungkin". Lebih dari
74% mengatakan bahwa orang dengan skizofrenia yang baik "tidak sangat
mampu" atau "tidak mampu sama sekali" untuk membuat keputusan tentang
pengobatan mereka, dan 70,2% mengatakan hal yang sama dari keputusan
manajemen uang. Persepsi individu dengan psikosis sebagai kekerasan memiliki
lebih dari dua kali lipat dalam prevalensi sejak tahun 1950, menurut salah satu
meta-analisis.
Skizofrenia didiagnosis berdasarkan gejala profil. Berkorelasi Syaraf tidak
memberikan kriteria cukup berguna. Diagnosa didasarkan pada yang dilaporkan
sendiri pengalaman orang tersebut, dan kelainan pada perilaku yang dilaporkan
oleh anggota keluarga, teman atau rekan kerja, diikuti dengan penilaian klinis oleh
seorang psikiater, pekerja sosial, psikolog klinis atau profesional kesehatan mental
lainnya. Penilaian kejiwaan mencakup riwayat psikiatri dan beberapa bentuk
pemeriksaan status mental.
Tapi review lain tidak menyarankan koneksi apapun. Sebuah tinjauan
literatur Yunani dan Romawi kuno menunjukkan bahwa meskipun psikosis
digambarkan, ada tidak memperhitungkan kondisi memenuhi kriteria untuk
skizofrenia. Psikotik keyakinan aneh dan perilaku yang mirip dengan beberapa
gejala skizofrenia dilaporkan dalam literatur medis dan psikologis Arab selama
Abad Pertengahan. Dalam The Canon of Medicine, misalnya, Ibnu Sina
menggambarkan sebuah kondisi yang agak menyerupai gejala-gejala skizofrenia
yang disebut Junun Mufrit (kegilaan yang parah), yang dibedakan dari bentuk-
bentuk lain dari kegilaan (Junun) seperti mania, rabies dan psikosis manic
depressive. Namun, tidak ada kondisi yang menyerupai skizofrenia dilaporkan
6
dalam Bedah Imperial Şerafeddin Sabuncuoğlu, sebuah buku medis utama Islam
abad ke-15. Mengingat bukti-bukti historis yang terbatas, skizofrenia (lazim
seperti sekarang ini) mungkin merupakan fenomena modern, atau alternatif itu
mungkin telah dikaburkan dalam tulisan-tulisan sejarah oleh konsep-konsep
terkait seperti melankolis atau mania.
Sebuah laporan kasus rinci pada 1797 tentang James Tilly Matthews, dan
rekening oleh Phillipe Pinel diterbitkan pada 1809, sering dianggap sebagai kasus
awal skizofrenia dalam literatur medis dan psikiatris. Skizofrenia pertama kali
digambarkan sebagai sindrom yang berbeda yang mempengaruhi remaja dan
dewasa muda oleh Benedict Morel pada tahun 1853, disebut démence précoce
(harfiah 'demensia dini'). Istilah demensia digunakan praecox pada tahun 1891
oleh Arnold Pilih dalam sebuah laporan kasus gangguan psikotik. Pada tahun
1893 Emil Kraepelin memperkenalkan perbedaan baru yang luas dalam klasifikasi
gangguan mental antara dementia praecox dan gangguan suasana hati (disebut
depresi manik dan termasuk unipolar dan bipolar depresi). Kraepelin percaya
bahwa dementia praecox merupakan penyakit otak, dan khususnya suatu bentuk
demensia, dibedakan dari bentuk-bentuk lain dari demensia, seperti penyakit
Alzheimer, yang biasanya terjadi di kemudian hari. Klasifikasi Kraepelin
perlahan-lahan mendapatkan penerimaan. Ada keberatan dengan penggunaan dari
"demensia" istilah meskipun kasus pemulihan, dan beberapa pembelaan diagnosa
diganti seperti kegilaan remaja.
Skizofrenia kata - yang diterjemahkan secara kasar sebagai "membelah
pikiran" dan berasal dari akar Yunani schizein (σχίζειν, "untuk split") dan phrēn,
phren-(φρήν, φρεν-, "pikiran") - diciptakan oleh Eugen Bleuler pada tahun 1908
dan dimaksudkan untuk menggambarkan pemisahan fungsi antara kepribadian,
berpikir, memori, dan persepsi. Bleuler menggambarkan gejala utama sebagai 4
A: rata Mempengaruhi, Autisme, gangguan Asosiasi ide dan Ambivalensi. Bleuler
menyadari bahwa penyakit itu bukan demensia karena beberapa pasien membaik
daripada memburuk dan karenanya mengusulkan istilah skizofrenia sebagai
gantinya.
7
BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl.Teratai Daun Malahayati Lampulo
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Agama : Islam
Suku : Aceh
Pendidikan : SD
Tanggal Pemeriksaan : 6 Februari 2013
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara alloanamnesis dan
autoanamnesis.
Alloanamnesis dilakukan:
Pada tanggal 7 Februari 2013 dengan Ny. A (Kakak pasien), 52 tahun,
bertempat tinggal di Lampulo, tingkat pendidikan SD, pekerjaan ibu
rumah tangga, dan tinggal serumah dengan pasien
Autoanamnesis pada tanggal 6 Februari 2013
A. Keluhan Utama
Pasien marah-marah tanpa sebab yang jelas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Alloanamnesa
Menurut keluarga, pasien marah-marah tanpa sebab yang
jelas 2 minggu yang lalu. Pasien marah dengan berteriak-teriak tanpa
didahului pemicu masalah. Pasien merupakan anak kedua dari
8
orangtua tunggal karena ayah pasien telas meninggal dunia 7 tahun
yang lalu.
Sekitar 2 hari sebelum ke puskesmas pasien membuat
keributan di warung kopi. Pasien ditemukan oleh keluarga sedang
berjalan di tepi jalan sambil mengamuk. Menurut keluarga, pasien
seperti orang kerasukan, bicara tidak jelas dan sangat tidak suka
melihat tetangganya yang berjenis kelamin laki-laki, pasien mengaku
setiap lelaki didunia ini seperti akan memukulnya.
Kurang lebih 3 bulan sebelum ke puskesmas, pasien telah
menunjukkan perubahan perilaku. Pasien sering marah-marah, bicara
sendiri, dan mengatakan hal-hal aneh. Hal ini dialami pasien sejak
pulang melaut. Kemudian pasien dibawa ke rumah seorang dukun
untuk diobati secara alternatif. Selama pasien di obati didukun
tersebut pasien mengalami perbaikan, pasien sudah semangat bekerja
dan mau melaut lagi. Namun sejak ditinggalkan istrinya pulang
kampong pasien mulai berubah.
2. Autoanamnesa
Sewaktu pasien diwawancarai di puskesmas pasien
bersikap nonkooperatif dan gelisah saat duduk, namun pasien tidak
difiksasi. Pasien berbicara bahasa Indonesia, kadang bahasa Aceh
dan bahasa yang tidak jelas. Pasien menjawab dengan volume suara
yang cukup, intonasi jelas, dan artikulasi jelas, pasien dapat
menyebutkan identitas sesuai identitas yang tercantum di status
pasien. Ketika ditanya bagaimana perasaan pasien hari itu, pasien
mengeluhkan bahwa dia merasa pusing.
Pasien mengatakan bahwa dirinya merasa aman saat berada
di puskesmas, karena tidak ada yang mengejar. Pasien mengatakan
bahwa selama ini sering dikejar oleh tentara Israel dan Palestina.
Pasien juga mengatakan bahwa orang-orang di puskesmas baik-baik
dan tidak ada yang mengejar dirinya.
9
Pasien mengaku sering mendengar bisikan-bisikan yang
mengatakan “jihad..jihad..jihad..”. Menurut pasien yang menyuruh
berjihad adalah seorang tengku. ketika ditanyai dimana orang yang
menyuruhnya jihad tersebut, pasien menjawab bahwa yang
menyuruhnya sedang tidak berada disini. Selama ini pasien dan
orang yang menyuruhnya jihad berkomunikasi lewat batin. Pasien
menganggap bahwa tengku tersebut adalah guru pasien. Pasien
mengatakan lambang jihad adalah segitiga hijau, sedang lambang
setan adalah angka 666.
Pasien mengatakan bahwa dirinya adalah peramal, dia bisa
meramal apa saja, dan juga bisa berkomunikasi dengan jin. Saat
ditanya bagaimana cara pasien berkomunikasi dengan jin, pasien
berbicara bahasa yang tidak dapat dimengerti. Saat ditanya apa
artinnya, pasien tidak dapat menjawabnya.
Pasien mengaku ingin menikah lagi dan punya anak.
Menurut pasien wanita yang cantik adalah wanita yang putih. Wanita
yang cantik pasti memiliki hati yang baik. Pasien ingat yang
membawanya ke puskesmas adalah keluarganya. Menurut pasien ia
dibawa ke puskesmas karena kepalanya pusing.
Selama pemeriksaan pasien menanggapi dengan ekspresi
tumpul, banyak bicara, dan kadang tidak sesuai realita. Pasien selalu
menjawab ketika diberi pertanyaan.
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
1. Gangguan psikiatri : disangkal
2. Gangguan medis
- Riwayat asma : disangkal.
- Riwayat jatuh : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal.
- Riwayat diabetes melitus : disangkal.
- Riwayat kejang : disangkal.
3. Kondisi medik
10
- Riwayat penyalahgunaan zat : (-)
- Riwayat merokok : (+)
- Riwayat alkohol : (-)
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien dilahirkan saat usia ibunya 29 tahun. Selama kehamilan
tidak ada kelainan, lahir cukup bulan, secara normal, langsung
menangis saat lahir dan ditolong oleh bidan.
2. Riwayat Masa Anak Awal (0-3 tahun)
Pasien mendapat ASI sampai usia 3 bulan. Pasien diasuh oleh
ibu dan ayahnya. Pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai
usia.
3. Riwayat Masa Anak Pertengahan (4-11 tahun)
Pasien tumbuh seperti anak-anak lain. pasien memiliki atak
dan perilaku yang baik.
4. Riwayat Masa Anak Akhir (pubertas sampai remaja)
Pada masa ini pasien tidak sekolah lagi. Pasien sering pergi
kelaut ikut kapal mencari ikan. Pasien kadang-kadang marah namun
masih dapat mengendalikan diri. Pasien banyak bergaul dengan
teman-temannya.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat pekerjaan
Anak buah kapal ikan
b. Riwayat perkawinan
Menikah.
c. Riwayat agama
Pasien adalah seorang pemeluk agama Islam namun tidak rajin
beribadah.
d. Riwayat aktivitas sosial
Aktivitas pasien bersifat normal selama di rumah dan
dilingkungan
11
e. Situasi hidup sekarang
Pasien tinggal dengan ibu dan kakaknya, istrinya sudah pulang
ke daerah asalnya dan tidak ingin kembali lagi.
f. Riwayat psikoseksual
Pasien tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang seks dari
kedua orangtuanya. Pasien sudah berpisah dengan istrinya.
E. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak kedua.
F. Pohon Keluarga
Keterangan Gambar:
: tanda gambar untuk jenis kelamin perempuan
: tanda gambar untuk jenis kelamin laki-laki.
: tanda gambar untuk jenis kelamin laki-laki yang
meninggal
Dunia
: blok hitam menunjukkan memiliki gangguan jiwa
: tinggal dalam satu rumah
III. STATUS MENTAL
A. Gambaran Umum
1. Penampilan
12
Seorang laki-laki, 40 tahun tampak sesuai umurnya, rambut pendek
warna hitam, kulit warna cokelat sawo matang, memakai baju kaos
billabong, perawatan diri cukup.
2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Pasien dapat duduk dengan tenang dan menjawab pertanyaan saat
diwawancarai
3. Sikap Terhadap Pemeriksa
Kooperatif. Saat ditanya, pasien bersedia untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan.
B. Kesadaran
1. Kuantitatif : compos mentis, GCS E4V5M6
2. Kualitatif : berubah
C. Pembicaraan
Jawaban spontan, intonasi jelas, artikulasi jelas, volume cukup.
Menjawab denga bahasa Indonesia, kadang bahasa Jawa, dan kadang
disertai neologisme.
D. Alam Perasaan
1. Mood : disforik
2. Afek : tumpul
3. Keserasian : tidak serasi (inappropriate)
E. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi :.auditorik (pasien sering mendengar bisikan dari
seorang laki-laki)
visual (pasien sering melihat sosok tentara)
2. Ilusi : (-)
3. Depersonalisasi : Tidak didapatkan
4. Derealisasi : Tidak didapatkan
F. Proses Pikir
13
1. Arus Pikir :
a. Kontinuitas : tidak relevan
b. Produktivitas : normal
c. Hendaya berbahasa : logorrhea, neologisme
2. Isi Pikir : waham kejar (+)
waham bizarre (+)
3. Bentuk : nonrealistik
G. Kesadaran dan Kognisi
1. Orientasi
a. Orang : baik, pasien dapat mengenali keluarganya
b. Tempat : baik, pasien merasa di rumah sakit
c. Waktu : baik, pasien mengetahui waktu saat dilakukan
………………pemeriksaan
d. Situasi : baik, pasien dapat mengenali kondisi sekitar saat
……………... pemeriksaan.
2. Daya Ingat :
a. Jangka panjang : buruk, pasien tidak dapat mengingat dimana dia
sekolah dulu.
b. Jangka sedang : menurun, pasien tidak ingat apa yang dilakukan
sebelum masuk RSJ
c. Jangka pendek : baik, pasien dapat mengingat apa yang dimakan
untuk sarapan
3. Daya Konsentrasi dan Perhatian
a. Konsentrasi : berkurang
b. Perhatian : menurun
4. Kemampuan Abstrak
Pasien dapat membedakan dan menggambarkan perbedaan antara
apel dan jeruk.
5. Kemampuan Menolong Diri Sendiri
Baik. Pasien dapat makan, mandi, dan minum tanpa bantuan orang
lain.
14
H. Tilikan
Derajat I, pasien menyangkal bahwa dirinya sakit jiwa.
I. Taraf Dapat Dipercaya
Secara keseluruhan informasi di atas dapat dipercaya.
J. Pengendalian Impuls
Pasien dapat mengendalikan impuls dengan baik dan tidak menunjukkan
agresivitas.
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
Pemeriksaan fisik
A. Status interna :
1. Keadaan Umum: baik, kesan status gizi normoweight.
2. Tanda vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 86 x/menit
Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
3. Kepala : mesochepal, rambut hitam
4. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
5. Thoraks :
Pulmo :.suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), suara
..tambahan (-/-)
Cor : .bunyi jantung I, II normal, reguler, bising (-)
6. Abdomen : supel, bising usus (+) normal, timpani, hepar dan
lien
tidak teraba membesar
Kesan : Pemeriksaan status interna dalam batas normal
B. Status Neurologi
1. Fungsi kesadaran : GCS E4V5M6
15
2. Fungsi luhur : baik
3. Fungsi kognitif : baik
4. Fungsi sensorik : baik
N N
N N
5. Fungsi motorik : baik
Kontraksi otot Tonus otot
+5 +5 N N
+5 +5 N N
Reflek fisiologis Reflek patologis
+2 +2 - -
+2 +2 - -
6. Nervus cranialis : N III, VII, XII dalam batas normal.
Kesan : Pemeriksaan status neurologi dalam batas normal
V. FORMULASI DIAGNOSTIK
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan pola perilaku dan
psikologis yang secara klinis bermakna dan menimbulkan suatu penderitaan
(distress) dan hendaya (disability) dalam melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari yang biasa dan fungsi pekerjaan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pasien ini menderita gangguan jiwa.
Diagnosis Axis I
Pada status mental didapatkan bentuk pikir non realistik sehingga pasien
tergolong psikotik. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan
yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada pasien ini. Pada pasien
juga tidak didapatkan adanya kejang ataupun trauma kepala yang berat
sehingga sehingga diagnosis gangguan mental organik dapat disingkirkan.
Dari anamnesis tidak didapatkan riwayat penggunaan zat-zat adiktif dan
psikoaktif sebelumnya sehingga diagnosis gangguan mental dan perilaku
akibat zat psikoaktif (F10-F19) juga dapat disingkirkan.
Pada status mentalis didapatkan gangguan persepsi yaitu halusinasi
auditorik, gangguan proses pikir berupa waham kejar dan waham bizarre
16
yang menetap sehingga pasien masuk golongan psikotik. Dengan
mempertimbangkan onset pasien lebih dari 1 bulan, penurunan realita yang
terganggu dan gejala tersebut menimbulkan perubahan perilaku pribadi
secara keseluruhan maka pasien memenuhi kriteria skizofrenia. Perubahan
perilaku saat remaja dimana pasien sering marah dan pernah dirawat di RSJ
Surakarta maka diagnosis banding bisa skizofrenia hebefrenik.
Berdasarkan data-data yang telah disebutkan diatas, maka sesuai dengan
kriteria PPGDJ III diusulkan diagnosis axis 1 pasien ini dengan: F.20.0 yaitu
skizofrenia paranoid
Diagnosis axis II
Pada pemeriksaan tidak didapatkan adanya suatu gangguan
perkembangan mental yang terhenti an tidak lengkap, pasien memiliki
intelegensia yang baik sehingga Retradasi mental (F.70-79) dapat
disingkirkan.
Pasien masih mudah marah jika keinginan tidak dipenuhi. Kepribadian
pasien membutuh kan wawancara tingkat lanjut, sehingga pasien ini masih
belum ada diagnosis
Diagnosis axis III
Berdasarkan hasil pemeriksaan status interna, neurologis, dan
pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan kelainan.
Diagnosis axis IV
Masalah ekonomi dan keluarga. Pasien pengangguran hanya bergantung
pada ibunya. Masalah kurangnya kasih sayang dari istri pasien.
Diagnosis axis V
Skala GAF saat ini adalah 50-41 karena pasien memiliki gejala berat dan
disabilitas berat.
V. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
17
Axis I : F.20.0 Skizofrenia Paranoid
DD F.20.1 Skizofrenia Hebefrenik
Axis II : Belum ada diagnosis
Axis III : Tidak ada diagnosa
Axis IV : Masalah ekonomi dan keluarga
Axis V : GAF saat ini 50-41
VI. DAFTAR MASALAH
1. Organobiologik : tidak ada kelainan
2. Psikologik
a. Gangguan Pembicaraan
b. Gangguan Alam Perasaan (mood dan afek )
c. Gangguan Persepsi (halusinasi auditorik, visual, ilusi)
d. Gangguan Proses Pikir (bentuk pikir, arus pikir, isi pikir)
e. Gangguan tilikan diri
VII. RENCANA PENGOBATAN LENGKAP
A. Psikofarmaka
Halloperidol 3 x 5mg
Clorpromazine (CPZ) 1x100 mg
Trihexilphenidine (THP) 3x2 mg
B. Psikoterapi
1. Pengenalan terhadap penyakitnya, manfaat pengobatan, cara
pengobatan, efek samping pengobatan.
2. Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur dan rajin kontrol
setelah pulang dari perawatan.
3. Membantu pasien untuk menerima realita dan menghadapinya.
4. Membantu pasien agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari
secara bertahap.
5. Menambah kegiatan dengan ketrampilan yang dimiliki.
C. Psikoedukasi
18
Kepada keluarga :
1. Memberikan pengertian kepada keluarga pasien tentang gangguan yang
dialami pasien.
2. Menyarankan kepada keluarga pasien agar memberikan
suasana/lingkungan yang kondusif bagi penyembuhan dan pemeliharaan
pasien.
3. Menyarankan kepada keluarga agar lebih berpartisipasi dalam pengobatan
pasien yaitu membawa pasien kontrol secara teratur
VIII.PROGNOSIS
Prognosis : ad vitam : ad bonam
ad sanam : dubia ad malam
ad fungsionam: dubia ad malam
19
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 KONSEP SKIZOFRENIA
3.1.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok,
yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi,
kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala
negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau
isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak
bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan
dorongan kehendak atau inisiatif
3.1.2 Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar
hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi
dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-
25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun.
Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar
di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).
Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat,
terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan
nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku
menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang
20
terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri
(Kazadi, 2008).
Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia
prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan
perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa
ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,
perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas.
Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur
36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih
banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila
dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).
3.1.3 Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
3.1.3.1 Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi
saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan
salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua
menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut
quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin
disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di
seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai
berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan
semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand
& Barlow, 2007).
21
3.1.3.2 Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron
berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia
berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-
bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap
dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang
berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain
seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan
(Durand, 2007).
3.1.3.3 Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama
semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-
anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic
mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang
memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab
skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga
pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan
kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak
memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak
terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan
anjuran yang dibutuhkannya.
3.1.4 Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi
beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan
keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).
22
Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia,
walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala
skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa
akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa
hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa
cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif
terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita
mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot,
kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara
klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian
pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk
sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala
klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu
nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku
aneh (Buchanan, 2005).
3.1.5 Tipe-tipe Skizofrenia
Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,
1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan
DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe
skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang
dominan yaitu (Davison, 2006) :
3.1.5.1 Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi
auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih
terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau
keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan,
keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi
ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
3.1.5.2 Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
23
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah
laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat
disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.
Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada
berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
3.1.5.3 Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang
berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain
(echopraxia).
3.1.5.4 Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator
skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion),
emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi
yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme
seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan
ketakutan.
3.1.5.5 Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia
tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-
keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak
sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri
secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
3.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan
terapi psikososial.
3.1.6.1 Terapi Biologis
24
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi
dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan
bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-
gejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan
fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut
obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan,
tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat
tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi
penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak
relevan (Durand, 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy
(ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah
menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan.
ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa,
termasuk skizofrenia.
Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin
memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi
sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih
dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien.
Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan
mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot
yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935,
dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses
operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan
batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut
Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,
khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-
25
an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan
kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
3.1.6.2 Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton
dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah
diberikan pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa
gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai
pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian
yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi
ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan
sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi
saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta
diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi,
sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan
berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-
ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.
Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan
jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga
diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon
(Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga
sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya
mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi
secara individual.
26
3.2 KEKAMBUHAN KEMBALI (RELAPS)
Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif
merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan
atau lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu
antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan
jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006).
Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien
skizofrenia adalah hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien
karena adanya kekambuhan yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri
atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat
terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu
rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik
dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand, 2007).
Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun
bentuk subtipe penyakitnya. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien
skizofrenia yang hidup bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan,
permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan.
Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan, seperti hal
yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang
penting dalam proses pengobatan pasien dengan skizofrenia.
Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan
kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan
keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit,
kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan.
Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai
kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup
signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan
bahaya bagi pasien dan keluarganya, yakni seringkali mengakibatkan perawatan
kembali/rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan.
27
3.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN
MINUM OBAT
Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada
skizofrenia adalah ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada pasien
skizofrenia adalah pemberian antipsikosis. Obat tersebut akan bekerja bila dipakai
dengan benar tetapi banyak dijumpai pasien skizofrenia tidak menggunakan obat
mereka secara rutin. Kira-kira 7% orang-orang yang diberi resep obat-obat
antipsikotik menolak memakainya (Hoge, 1990).
Penelitian tentang prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian
besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sebuah
studi follow-up sebagai contoh menemukan bahwa selama kurun waktu dua tahun,
tiga diantara empat pasien yang diteliti menolak memakai obat antipsikotiknya
selama paling tidak seminggu (Durand, 2007).
Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan
adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya
pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan
sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit,
mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang
mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien.
Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui
seluk beluk pengobatan serta kegunaannya.
Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian obat akan
mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien
akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan
mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun
berbagai faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan, antara lain :
3.3.1 Penyakit
Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada
ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk
bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh
adanya kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada
pasien lain. Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia
28
telah menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung
menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan
kesembuhan kondisi. Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan
dan terapi dihentikan sebelum waktunya, ia akan lebih memperhatikan
menggunakan obatnya dengan benar. Beberapa studi menunjukkan adanya suatu
korelasi antara keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat dianggap
bahwa pasien ini akan patuh dengan regimen terapi mereka. Hubungan antara
tingkat ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat
lebih baik, serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan
memotivasi kepatuhan pada kebanyakan pasien.
Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang
kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan
keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah
penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit
penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka
mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi
maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh.
Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal
tentang penyakitnya termasuk pengobatan. Sikap pasien terhadap pengobatan juga
perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika
memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada
pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik
bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif.
3.3.2. Regimen Terapi
3.3.2.1. Terapi Multi Obat
Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan
pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis
tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan
penampilan (misalnya, ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat
berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.
29
3.3.2.2. Frekuensi Pemberian
Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan
lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan
terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan
lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat demikian.
Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga perlu
diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar
mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu
regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan.
3.3.2.3. Durasi dan Terapi
Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih
besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko
yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang
mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak
berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan.
Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada
intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi
instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk
bila menggunakan obat, dan diskusi kelompok.
3.3.2.4. Efek Merugikan
Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan
menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini
tidak merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi
adalah mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk
meminimalkan efek merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat
ditiadakan dan manfaat yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan
terhadap risiko.
Penurunan mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah
yang hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka
tidak patuh dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu
menyebabkan disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk
ketidakpatuhan oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi.
30
Bahkan, suatu peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi
pada beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi.
3.3.2.5. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda
Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien
tidak mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana
manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu
obat digunakan berbasis profilaksis. Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik
setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama
menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien
tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama terapi
antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini
meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien wajib diberi
nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
3.3.2.6. Harga Obat
Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang
relatif tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi
instruksi penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh
beberapa pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang
dalam kasus lain obat digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau
penghentian penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.
3.3.2.7. Pemberian/Konsumsi Obat
Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada
instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah
disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang
tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL
sampai 9mL. Ketidakakurasian penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat
cair dipersulit oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur
dengan sendok teh. Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum
diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur bagi
pasien, sempril oral atau alat penetes yang telah dikalibrasi untuk penggunaan
cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan
apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi
31
serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah
obat yang dimaksudkan.
3.3.2.8. Rasa Obat
Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan
cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar
rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi
untuk daya tarik serta pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah
pemberian obat kepada pasien.
3.3.3 Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan
Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker,
serta mutu dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan
pasien adalah penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap
kesakitannya dan regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah
dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati
bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi seorang dokter yang
merka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima informasi
dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka.
Berbagai faktor berikut adalah di antara faktor yang dapat mempengaruhi
kepatuhan secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada
lingkup dan mutu interaksi dengan pasien.
3.3.3.1. Menunggu Dokter atau Apoteker
Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan
untuk bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya,
kejengkelan dapat berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap
instruksi yang diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari
pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan
dokternya yang benar-benar patuh, sedangkan yang menunggu dalam 30 menit,
67% dari pasien tersebut benar-benar patuh.
3.3.3.2. Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatan
Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku
pelayan kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah
32
sakit mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter.
Walaupun uraian demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang
mengabdi dan terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup
terbukti menunjukkan suatu masalah yang signifikan.
Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga
pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan
tentang teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang
terbatas pada tingkat, masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan.
Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter
penulis resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau
sama sekali tidak jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat
mempengaruhi bagaimana itu diterima, dimengerti, dan diingat. Pasien mengingat
dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan; instruksi yang perlu
penekanan adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit instruksi
diberikan, semakin besar bagian yang diingat. Jadi suatu pesan tidak saja harus
jelas dinyatakan, tetapi juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian
rupa sehingga memungkinkan pasien yang mengikuti dan memproses informasi
secara sempurna.
3.3.3.3. Gagal Mengerti Pentingnya Terapi
Alasan utama untuk tidak patuh adalah bahwa pentingnya terapi obat dan
akibat yang mungkin, jika obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi yang tidak
mengesankan pasien. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan
mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat.
Oleh karena itu, mereka menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan
kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak
memenuhi pengharapan, mereka lebih cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian
yang lebih besar diperlukan untuk memberi edukasi pada pasien tentang
kondisinya, dan manfaat serta keterbatasan dari terapi obat, akan berkontribusi
pada pengertian yang lebih baik dari pihak pasien tentang pentingnya
menggunakan obat dengan cara yang dimaksudkan.
3.3.3.4. Pengertian yang Buruk Pada Instruksi
33
Berbagai investigasi telah menguraikan masalah dari jenis ini. Dari suatu
studi pada sekitar 6000 resep, 4% dari resep itu terdapat instruksi pasien ditulis
“Sesuai Petunjuk”. Akibat yang mungkin dari salah pengertian dapat serius.
Misalnya, seorang pasien menggunakan tiga kali dua kapsul fenitoin (100mg)
sehari, daripada seharusnya tiga kali satu kapsul sehari seperti instruksi dokter.
Pada pasien skizofrenia yang menggunakan obat antipsikotik haloperidol 2,5
mg/hari dan fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari.
Alasan untuk penggunaan instruksi oleh beberapa dokter “Gunakan sesuai
petunjuk” telah diteliti. Walaupun penggunaan penandaan ini diadakan dalam
situasi yang terseleksi dipertahankan, kemungkinan untuk membingungkan dan
mengakibatkan kesulitan, dibuktikan dalam penelitian serta menyimpulkan bahwa
perlu membuat instruksi penggunaan obat sespesifik mungkin. Bahkan, apabila
petunjuk kepada pasien sudah lebih spesifik dari “ sesuai petunjuk” kebingungan
masih dapat terjadi.
3.3.3.5. Pasien takut bertanya
Pasien sering ragu bertanya kepada tim pelaku pelayan kesehatan untuk
menjelaskan kondisi kesehatan mereka atau pengobatan yang diajukan. Keragu-
raguan ini dapat dihubungkan pada ketakutan dianggap bodoh, perbedaan status
sosial, dan bahasa atau tidak didorong oleh pelaku pelayan kesehatan tersebut.
Interaksi pasien dengan pelaku pelayan kesehatan yang lebih berhasil dapat
didorong dengan meningkatkan kepekaan pada pihak pelaku pelayan kesehatan.
3.3.3.6. Ketidakcukupan waktu konsultasi
Profesional pelayan kesehatan kebanyakan bersifat kurang berinteraksi
dengan pasien karena tekanan pekerjaan. Dalam beberapa bagian rumah sakit,
waktu atau praktik sibuk, waktu konsultasi sangat terbatas dan ini jelas menjadi
sautu masalah. Jika seorang pasien diberi hanya satu atau dua menit untuk waktu
konsultasi, dapat terjadi hal yang lebih buruk. Biaya yang dikeluarkan pasien
tinggi, berkenaan dengan waktu, transport dan pengeluaran untuk obat. Hal ini
dapat meningkatkan ketidakpatuhan pasien terhadap instruksi karena mereka
merasa bahwa profesional pelayan kesehatan tidak ada perhatian pada
penyembuhan penyakit mereka. Untuk itu pentingnya rumah sakit agar
mempertimbangkan untuk memperpanjang waktu konsultasi bagi pasien.
34
Profesional pelayan kesehatan harus didorong untuk mengerti bahwa komunikasi
yang efektif dengan pasien bukanlah suatu ideal yang tidak realistik, tetapi
merupakan suatu aspek inti dari keberhasilan praktik klinik.
3.3.3.7. Kesediaan Informasi Tercetak
Ketaatan pada pengobatan mungkin meningkat, dengan tersedianya
informasi tercetak dalam bahasa yang sederhana. Di beberapa negara maju, semua
IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) harus mempunyai lembaran informasi
untuk pasien, tersedia untuk setiap obat. Instruksi sederhana untuk obat yang
paling banyak digunakan dan obat yang paling banyak disalahgunakan dapat
dicetak pada kertas murah.
35
BAB IV
PENJELASAN
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik,fisik, dan sosial budaya.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karekteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunt). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasa tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
Pedoman Diagnostik
Harus ada sedikitnya satu atau dua gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas)
a. “Thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitas berbeda ; atau“Thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil kelua oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal) ; atau
“Thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
b. “Delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan dai luar; atau“Delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
“Delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya atau pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar
“Delusion of percepsion” = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasa bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik :
36
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya bisa mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide belebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativism, mutisme, dan stupor;
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, respon emosional yang menumpul dan tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku peribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Skizofrenia Paranoid :
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Sebagai tambahan : halusinasi dan/ waham harus menonjol
37
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol;
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas;
d. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relative tidak nyata, tidak menonjol.
38
BAB V
KESIMPULAN
Skizofrenia merupakan psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas terbesar, pasien tidak mempunyai realitas, sehingga
pemikiran dan perilakunya abnormal.
Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah
(spilit), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang
menderita gangguan jiwa Skizofernia adalah orang yang mengalami keretakan
jiwa atau keretakan kepribadian (splittingof of personality).
Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya
waham kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan
Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada
mania, pada skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis, 2005). Kriteria
waktunya berdasarkan pada teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi
klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karekteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunt). Kesadaran yang jernih (clear consciousness)
dan kemampuan intelektual biasa tetap terpelihara, walaupun kemunduran
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
39
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Iman Setiadi. 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien.
Jakarta : Refika Aditya
Chandra,LS. 2008. Kenali Gejala Dini Skizofrenia demi Penyembuhannya.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/31/humaniora/1230010.htm.
diakses pada tanggal 8 Februari 2013.
Danardi Sosrosumiharjo. 2007. Kesehatan Jiwa Masyarakat, Kesehatan Jiwa
Bangsa. http://masdanang.co.cc/?p=27 diakses pada tanggal 8 Februari 2013
Dorland. 2007. Ilustrated Medical Dictionary Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC
Indarini D. 2009. Hubungan antara Bentuk Dukungan Keluarga dengan Periode
Kekambuhan Penderita Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Prof.Soeroyo
Magelang. Skripsi. Program Sarjana. Jakarta. FKM UI
Gunadi, Paul. 2008. Gangguan Skizofrenia.
http://www.telaga.org/audio/gangguan_skizofrenia. diakses pada tanggal 8
Februari 2013
Iyus Yosep. 2008. Penyuluhan Kesehatan Jiwa dan Bahaya Napza di Desa Legok
Kidul Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang.
http://www.google.co.id/search?q=gangguan+jiwa&hl=id&start=10&sa=N.
diakses pada tanggal 8 Februari 2013
Kaplan and Shaddock. 2002. Sinopsis Psikiatri Edisi 7. Jakarta: Binarupa Aksara
Maramis, WF. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
Maslim Rusdi. 2001. Diagnosa Gangguan Jiwa; Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III.
40