Referat Jiwa Fixed

29
JOURNAL READING Prediksi dan Pencegahan Skizofrenia: Apa Yang Telah Dicapai dan Bagaimana Langkah Selanjutnya? Disusun Oleh : SOFINA KUSNADI M. IBRAHIM PRIBADI RESCHITA ADITYANTI DIAN KARTIKASARI

Transcript of Referat Jiwa Fixed

Page 1: Referat Jiwa Fixed

JOURNAL READING

Prediksi dan Pencegahan Skizofrenia: Apa Yang

Telah Dicapai dan Bagaimana Langkah

Selanjutnya?

Disusun Oleh :

SOFINA KUSNADI

M. IBRAHIM PRIBADI

RESCHITA ADITYANTI

DIAN KARTIKASARI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS JIWA DAERAH SURAKARTA

SURAKARTA

2012

Page 2: Referat Jiwa Fixed

Prediksi dan Pencegahan Skizofrenia: Apa Yang

Telah Dicapai dan Bagaimana Langkah

Selanjutnya?

Joachim Klosterkötter1, Frauke Schultze-Lutter2, Andreas Bechdolf1,3, Stephan Ruhrmann1

1Department of Psychiatry and Psychotherapy, University of Cologne, Kerpener Strasse 62, 50924 Cologne, Germany; 2University Hospital of Child and

Adolescent Psychiatry, Research Department, Bern, Switzerland; 3Department of Psychiatry, University of Melbourne, Australia

Abstrak

Dalam ilmu kedokteran modern, berbagai upaya dilakukan untuk dapat

menemukan cara memprediksi dan mencegah berbagai penyakit. Konsep ilmu

kedokteran modern ini tepat jika diterapkan pada gangguan mental. Penelitian

terkini tentang indikator neurobiologi dan psikososial untuk risiko

berkembangnya skizofrenia ternyata tidak memberikan kekuatan prediktif yang

cukup baik untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa pada pasien yang berisiko

mengalaminya tetapi tidak menunjukkan gejala. Namun, jika dasar prediktif dan

gejala-gejala pre-psikotik risiko tinggi psikosis berkembang menjadi gejala

prodormal dalam jangka waktu 5 tahun, kemungkinan berkembangnya gangguan

jiwa dapat diprediksi dengan akurat. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan

bahwa strategi pencegahan berupa cognitive behavioral therapy dan pemberian

antipsikotik atipikal dosis rendah pada pasien dengan gejala-gejala prodormal

awal dapat bermanfaat. Tugas yang penting untuk masa mendatang adalah

meningkatkan kekuatan prediktif melalui penilaian dan stratifikasi berbagai faktor

risiko, dengan pengembangan strategi pencegahan terbaru, serta berfokus pada

etiologi gangguan mental. Selain itu, pendekatan prediksi dan pencegahan

gangguan jiwa dapat mengambil manfaat dari dimasukannya gejala-gejala risiko

pada kriteria diagnosis DSM-5.

Kata kunci : Skizofrenia, faktor risiko, proses awal penyakit, gejala utama, gejala

risiko tinggi, staging risiko, pencegahan beragam

Page 3: Referat Jiwa Fixed

Pergeseran paradigma klinis ke paradigma molekuler menimbulkan

perubahan cara pandang medis. Prediksi, pencegahan, dan personalisasi menjadi

kata kunci pada pendekatan ini. Sama halnya dengan disiplin ilmu kedokteran

lainnya, psikiatri juga memperluas fokusnya dari diagnosis dan terapi menjadi

deteksi dan estimasi perkembangan faktor risiko penyakit, prediksi terjadinya

onset, serta strategi untuk mencegah manifestasi gejala (1-4).

Meskipun pengobatan skizofrenia mengalami banyak kemajuan dalam

beberapa dekade terakhir ini, banyak pasien yang penyakitnya berkembang

menjadi kronis (5-6). Hal inilah yang menyebabkan skizofrenia menjadi penyebab

disabilitas yang permanen pada individu berumur di bawah 40 tahun di Jerman (7)

dan berada pada peringkat kedelapan penyebab disabilitas seseorang dalam

melakukan kegiatan sehari-hari/ disability adjusted life years (DALYs) pada

individu berumur 15-34 tahun di seluruh dunia (8), meskipun prevalensinya

rendah. Selain itu, skizofrenia memberikan beban sosial baik secara langsung

maupun tidak langsung (9) serta menjadi beban yang besar bagi pasien dan

keluarganya (8,10).

Saat ini semakin jelas bahwa skizofrenia merupakan gangguan yang

kompleks dengan hereditas poligenik dan patogenesisnya sangat dipengaruhi oleh

interaksi antar gen maupun interaksi antara gen dengan lingkungan. Saat ini sudah

diakui adanya hubungan skizofrenia dengan variasi gen pengkode dysbidin dan

neuregulin-1, di lokus gen G72 dan DAOA (D-amino acid oksidase activator).

Sama halnya dengan penyakit-penyakit kompleks lainnya, saat ini penelitian

skizofrenia berfokus pada karakterisasi predisposisi poligenik dan menganalisis

pengaruhnya terhadap perkembangan fenotip (11). Metode penelitian yang

dilakukan berupa teknik molekular genetik melaui analisis proteome pada

komponen biologi sel, neurofisiologi, gambaran struktural dan fungsional otak,

serta neuropsikologi. Dengan metode-metode ini, beberapa indikator yang

menunjukkan peningkatan risiko skizofrenia dapat diidentifikasi. Akan tetapi,

faktor-faktor risiko neurobiologi yang saat ini kita kenal tidak cukup optimal

untuk mengembangkan dan menerapkan upaya pencegahan selektif dengan target

berupa pasien-pasien yang asimptomatik. Untuk faktor-faktor risiko

Page 4: Referat Jiwa Fixed

neuropsikologi, hal ini menjadi sangat jelas dalam penelitian berskala besar yang

dilakukan oleh North American Prodrome Longitudinal Study (NAPLS) untuk

meningkatkan multivariasi dengan mengintegrasikan variabel-variabel

neurokognitif (12).

Ada beberapa faktor risiko lingkungan pada skizofrenia yang sudah

banyak diketahui, seperti komplikasi kehamilan atau persalinan, tumbuh di kota

besar, IQ yang rendah tetapi normal, dan konsumsi obat-obatan. Namun, dengan

nilai odds rasio sekitar 2, masing-masing faktor risiko ini hanya menyebabkan

peningkatan ringan pada risiko penyakit (13). Oleh karena itu, faktor-faktor risiko

yang saat ini diketahui, baik berdiri sendiri atau secara bersamaan, tidak dapat

digunakan dalam memprediksi mencegah, tanpa adanya pengetahuan yang

komprehensif dan holistik tentang dasar dan hubungan antar gen, serta hubungan

antara gen dengan lingkungan.

Berdasarkan situasi ini, bisa diasumsikan bahwa usaha prediksi dan

pencegahan penyakit ini masih belum matang dan masih diperlukan penelitian

etiologi lebih lanjut. Akan tetapi terdapat cara pandang yang berbeda, yang

muncul dari hasil penelitian di lembaga-lembaga pusat identifikasi awal dan

pencegahan penyakit di Meulborne, Australia dan di Cologne, Jerman pada

pertengahan tahun 1990-an, kemudian disusul oleh lembaga-lembaga penelitian

lainnya. Cara pandang yang berbeda ini berasal dari penelitian retrospektif tentang

psikosis tahap awal, dimana gangguan patofisiologi selama masa perkembangan

otak dapat menyebabkan berbagai kelainan mulai dari gangguan perilaku awal

hingga gejala risiko psikopatologis dini yang jelas dan gejala-gejala

psikopatologis risiko tinggi/ ultra high risk (UHR). Munculnya gangguan perilaku

maupun gejala-gejala UHR ini bergantung pada kombinasi stressor dan daya

tahan seseorang. Penelitian tentang episode pertama dari psikosis/ first episode

psychosis (FEP) menunjukkan bahwa kemunculan 70-80% kasus gangguan jiwa

didahului oleh adanya fase prodromal yang bertahan selama kurang lebih 5-6

tahun. Bahkan pada sistem pelayanan kesehatan yang sudah maju pun, gejala-

gejala positif psikosis membutuhkan kira-kira 1 tahun mulai dari kemunculan

Page 5: Referat Jiwa Fixed

gejala positif psikotik pada manifestasi pertamanya hingga dimulainya

pengobatan yang adekuat (14,15).

Periode dimana FEP tidak ditangani/ duration of untreated psychosis

(DUP) dapat menyebabkan keterlambatan atau remisi yang tidak sempurna dari

gejala-gejala yang ada, masa pengobatan yang lebih lama, risiko relaps yang lebih

tinggi, kepuasan terhadap terapi yang lebih rendah, beban pada keluarga lebih

besar, emosi terekspresikan yang lebih tinggi, peningkatan risiko depresi dan

keinginan bunuh diri, dampak negatif yang lebih besar pada pekerjaan atau

pendidikan, peningkatan penyalagunaan obat dan perilaku kejahatan, serta

peningkatan biaya pengobatan yang signifikan (16).

Berbagai korelasi tersebut telah dibuktikan dalam suatu penelitian meta-

analysis (17), dengan koefisien penelitian yang berkisar antara 0,285 hingga 0,434

(95% CI). Korelasi ini tidak hanya menjadi alasan kuat perlunya pengobatan pada

FEP sedini mungkin, tetapi juga menjadi alasan perlunya penanganan yang

sistematik untuk menurunkan insidensi psikosis melalui tindakan pencegahan

yang sesuai indikasi.

Prediksi Skizofrenia dengan Kriteria Gejala-Gejala Yang Utama

Dua penelitian penting yang menganalisis tentang tahap awal hingga tahap

konversi ke FEP menunjukkan bahwa gejala-gejala yang paling awal dan paling

sering muncul, dimana sebagian besar mendominasi selama masa prodromal,

ternyata tidak spesifik dan tidak bisa dibedakan dengan gangguan mood,

dorongan emosional, kontak, dan konsentrasi dari episode depresi. Kedua

penelitian tersebut adalah Age-Beginning-Course (ABC) yang merupakan sebuah

studi retrospektif dan metode optimisasi (14), dan Cologne Early Recognition

(CER) yang merupakan suatu penelitian prospektif jangka panjang dengan masa

pemantauan (follow-up) selama 10 tahun (18). Penelitian ini juga menemukan

adanya gangguan kognitif pada proses berpikir, pembicaraan, dan persepsi yang

kemudian disebut sebagai gejala-gejala utama, dimana dijumpai pada seperempat

Page 6: Referat Jiwa Fixed

pasien. Gejala-gejala utama ini memiliki spesifitas dan kekuatan prediksi yang

tinggi dengan derajat positif palsu yang rendah (19-21).

Gejala-gejala utama pertama kali digunakan dalam Bonn Scale for

Assessment of Basic Symtoms (BSABS). Terdapat bentuk yang lebih sederhana

dari skala ini untuk pasien dewasa dan anak-anak, yaitu Schizophrenia Proneness

Instrument, Adult Version (SPI-A) dan Schizophrenia Proness Instrument, Child

and Youth Version (SPI-CY), yang dikembangkan dari analisis-analisis

dimensional (22-24). BSABS hanya dapat digunakan untuk menilai kondisi pasien

pada saat itu saja, sedangkan SPI-A dan SPI-CY dapat digunakan untuk menilai

derajat gangguan berdasarkan frekuensi kemunculan gejala dalam 3 bulan

terakhir.

Dalam studi CER, sebanyak 385 pasien yang diduga berada dalam masa

prodromal dari skizofrenia dipantau selama rata-rata 9,6 (±7,6) tahun. Sebanyak

20% kasus dengan kriteria awal positif (1 dari 66 gejala utama) mengalami

perkembangan menjadi skizofrenia setelah 12 bulan, sebanyak 17% setelah 24

bulan, sebanyak 13% setelah 36 bulan, dan sebanyak 70% setelah 4,5 tahun. Jadi,

hanya 30% pasien yang tidak berkembang menjadi skizofrenia. Ada atau tidaknya

sekurang-kurangnya satu dari gejala utama dapat memprediksi secara tepat

kemungkinan transisi menjadi skizofrenia pada 78.1% dari keseluruhan kasus.

Berdasarkan analisis lebih lanjut, dua kriteria gejala yang secara parsial saling

bertumpang tindih untuk menetukan at risk mental states (ARMS) untuk psikosis,

terutama skizofrenia dikembangkan dan ditampilkan dalam tabel 1.

Tabel 1. Definisi status mental yang berisiko terkena psikosis atas dasar gejala

utama dan keakuratan prediksi pada penelitian Cologne Early Recognition (CER).

Kriteria Keakuratan prediksi

Gejala utama persepsi dan kognisi/

cognitive-perceptive basic symptoms

(COPER)

Paling sedikit terdapat 1 dari 10 gejala

utama dengan skor SPI-A/SPI-CY > 3

Sensitivitas = 0,87

Spesifitas = 0,54

Nilai prediksi positif = 0,65

Nilai prediksi negatif = 0,82

Likelihood ratio positif = 1,9

Page 7: Referat Jiwa Fixed

selama kurun waktu 3 bulan dan onset awal

> 12 bulan yang lalu, yaitu: thought

interference, thought perseveration, thought

pressure, thought blockages, gangguan

pemahaman bahasa, penurunan kemampuan

untuk membedakan ide dan persepsi, fantasi

dan memori nyata, ideas of reference ,ang

tidak stabil, derealisasi, halusinasi visual

(selain kasus mata kabur dan terlalu peka

cahaya), halusinasi auditorik (selain kasus

terlalu peka suara)

Likelihood ratio negatif = 0,24

Odds ratio = 7.86

Positif palsu = 23.1 %

Negatif palsu = 6.3 %

Gangguan kognisi/ cognitive disturbance

(COGDIS)

Paling sedikit 2 dari 9 gejala utama dengan

skor SPI-A/SPI-CY >3selama kurun waktu

3 bulan, yaitu: ketidakmampuan

membedakan perhatian, thought

interference, thought pressure, thought

blockages, gangguan pemahaman bahasa,

ideas of reference yang tidak stabil

gangguan mengungkapkan dengan bahasa

lisan, gangguan dalam berpikir abstrak,

pemusatan perhatian pada detil objek yang

dilihat

Sensitivitas = 0,67

Spesifitas = 0,83

Nilai prediksi positif = 0,79

Nilai prediksi negatif = 0,72

Likelihood ratio positif = 3.94

Likelihood ratio negatif = 0.40

Odds ratio = 9,91

Positif palsu = 8,8 %

Negatif palsu = 16,3 %

Kriteria yang pertama, yang terdiri dari 10 gejala utama kognisi dan

persepsi/ cognitive-perceptive basic symptoms yang disingkat menjadi COPER,

didasarkan pada penemuan mengenai keakuratan prediksi dari gejala-gejala utama

pada individu (18, 25). Kriteria yang kedua berdasar pada analisis ulang pada data

yang sama, dimana dikelompokkan menjadi 9 gejala kognitif utama yang

dianggap paling prediktif. Kelompok ini disebut dengan “cognitive disturbances”

(COGDIS). Menurut studi CER, COGDIS lebih konservatif dibanding dengan

COPER dalam hal tingkat keakuratan prediksi secara umum. Perkiraan transisi

Page 8: Referat Jiwa Fixed

berdasar pemantauan dalam 10 tahun didapatkan 65% pada COPER dan 79%

pada COGDIS, dengan transisi yang sebagian besar terjadi dalam 3 tahun

pertama.

Menurut studi prospektif kedua (26) yang dilakukan dengan SPI-A dan

pemantauan yang sistematik dalam 24 bulan, sebanyak 38% dari 146 subjek

penelitian mengalami perkembangan gangguan jiwa menjadi psikosis nyata,

khususnya skizofenia, dalam rata-rata 12.3 (±10.4) bulan (1-48; median=9)

berdasarkan COPER. Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan hasil positif pada

penelitian CER. Oleh karenanya dapat disimpulkan kembali bahwa COGDIS

lebih spesifik tetapi kurang sensitif.

Sebagai konsekuensi dari penemuan-penemuan ini, gejala-gejala utama

yang dapat digunakan untuk memprediksi, digunakan sebagai kriteria untuk

penilaian risiko mengenai pengenalan awal adanya psikosis pada penelitian

internasional. Jaringan penelitian mengenai skizofrenia di Jerman menggunakan

gejala-gejala ini dikombinasikan dengan standar risiko deteriosasi fungsional dan

biologi, dalam menentukan adanya “early at-risk of psychosis state” (ERPS),

dengan menggunaka penilaian risiko secara klinis (Gambar 1).

Page 9: Referat Jiwa Fixed

Kriteria Gejala Utama :

1 dari 10 gangguan kognitif-persepsi beberapa kali seminggu dalam 3 bulan terakhir :Thought interferenceThought perseverationThought pressureThought blockagesGangguan bicara reseptifPenurunan kemampuan untuk membedakanantara ide / persepsi, fantasi / kenangan nyataUnstable idea of referenceDerealisasiGangguan persepsi visual (tidak termasukhipersensitif terhadap cahaya atau penglihatan kabur)Gangguan persepsi akustik(tidak termasuk hipersensitif terhadap suara)

dan /atauKeadaan Fungsional - Kriteria Biologi:

Penurunan skor fungsi penilaian global minimal 30 poin,setidaknya satu bulan dalam satu tahun ditambah dengan diagnosa relatif pertama kalinya penyakitskizofrenia atau spektrum skizofreniadan / atau komplikasi obstetri

Gejala Positif Ringan ( Attenuated Positive Symptoms (APS) ):

Adanya > 1 dari gejala berikut, beberapa kali dalam seminggu untuk > 1 minggu:Isi pikir yang tidak biasa / delusiKecurigaan / persecutory ideaKebesaranGangguan persepsi / halusinasiKomunikasi yang tidak teraturPerilaku atau penampilan aneh

dan / atau

Gejala Psikotik Intermiten yang Singkat dan Terbatas ( Brief Limited Intermittent Psychotic Symptoms (BLIPS) ):

Adanya > 1 gejala berikut, gejala hilang spontan dalam waktu 7 hari:HalusinasiDelusiGangguan pikiran formal

Fokus pada intervensi Psikologis

Fokus pada intervensi Farmakologis

Indikasi Pencegahan

Kriteria Transisi :Adanya > 1 gejala psikosis lebih dari seminggu

Pengobatan

Faktor resiko awalStatus Psikosis

Faktor resiko akhir Status Psikosis

Psikosis awal

Gambar 1. Kondisi prodormal awal dan akhir : pendekatan klinis

Page 10: Referat Jiwa Fixed

Prediksi Skizofrenia Menggunakan Kriteria Risiko Tinggi/ Ultra High Risk

(UHR)

Gejala-gejala positif yang khas pada skizofrenia, seperti delusi, halusinasi,

atau gangguan berpikir, terkadang muncul pertama kali dalam waktu sementara

selama fase prodromal. Adanya gejala-gejala ini menunjukkan prediksi yang valid

akan adanya konversi ke episode psikosis pertama (FEP), khususnya dalam waktu

singkat. Gejala-gejala yang harus diwaspadai ini digunakan dalam kriteria ultra

high risk (UHR) (27, 28). Meskipun ada perbedaan-perbedaan diantara beberapa

penelitian, kriteria ini secara umum terdiri dari elemen-elemen alternatif yang

meliputi gejala positif/ attenuated positive symptoms (APS), gejala psikotik

sementara yang terbatas/ brief limited intermitten psychotic symptoms (BLIPS),

atau kombinasi dari satu atau lebih faktor risiko (selalu melibatkan risiko genetik)

dan penurunan fungsional dalam periode waktu tertentu.

Untuk memastikan kriteria UHR, kelompok peneliti Melbourne

mengembangkan instrumen yang spesifik, yaitu Comprehensive Assessment of at

Risk Mental States (CAARMS) (29). Berdasarkan difinisi yang ditetapkan oleh

para peneliti Australia tentang kriteria UHR, dikembangkanlah the Structured

Interview for Prodromal syndromes (SIPS), the Scale for Prodromal Syndromes

(SOPS), dan the Criteria of Prodromal Syndromes (COPS) (30,31). UHR yang

berbeda juga dikembangkan oleh the Hillside Recognition and Prevention (RAP)

di New York dan pada studi Basel Fürherkennung von Psychosen (FEPSY).

Hingga saat ini telah ada sedikitnya 15 penelitian prediksi menggunakan

kriteria UHR, dimana beberapa diantaranya menggunakan sampel dalam jumlah

besar (34-41). Tingkat transisi dalam 12 bulan menuju FEP berdasarkan berbagai

penelitian terdapat sekitar 13-50%. Variasi yang besar juga diamati dengan masa

observasi yang berbeda pada pusat penelitian yang sama (34,35). Insidensi

tahunan dari segala bentuk psikosis di populasi umum hanya sekitar 0,034% (42).

Walaupun dalam tingkat konversi yang rendah masih dapat mengindikasikan

adanya peningkatan yang dramatis dalam risiko relatif suatu penyakit, paling tidak

dalam bantuan pencarian sampel di pusat-pusat yang khusus. Tabel 2

Page 11: Referat Jiwa Fixed

menggambarkan pengukuran keakuratan prediksi yang telah dilakukan sejauh ini,

dengan sekurang-kurangnya 5 penelitian yang mempresentasikan analisis faktor-

faktor yang dapat memprediksi sampel-sampel yang masuk dalam kriteria

berisiko. Sebagai hasilnya, di dalam jaringan penelitian tentang skizofrenia di

Jerman, pendekatan dengan UHR dikombinasikan dengan pendekatan gejala-

gejala utama dan diterapkan dalam bentuk yang dimodifikasi sebagai ketentuan

“late at-risk of psychosis state” (LRSPS) (Gambar 1). Model penentuan tingkatan

secara klinis (staging) ini sangat mendukung diagnosis, yang juga menunjukkan

adanya rangkaian perkembangan progresif FEP dari gejala-gejala prodromal yang

tidak spesifik menjadi gejala-gejala utama yang dapat diprediksi, kemudian

menjadi APS, BLIPS, sampai menculnya gejala-gejala psikotik yang jelas.

Pencegahan Skizofrenia dengan Suatu Strategi Pencegahan Yang Beragam

Upaya pencegahan yang bersifat menyeluruh maupu selektif ditujukan

untuk kelompok populasi sehat maupun kelompok karier yang masih sehat (43).

Pencegahan yang sesuai indikasi ditujukan pada individu dengan gejala-gejala

utama dan gejala-gejala UHR. Bahkan pada stadium awal saat individu tersebut

mulai mencari pertolongan dan pemecahan masalahnya di pusat diagnostik dini

dan pencegahan penyakit, mereka harus dikategorikan sebagai individu sakit dan

membutuhkan pengobatan. Lagipula, kemunduran yang nantinya akan dialami

oleh pasien skizofrenia, seringkali muncul pada awal stadium prodromal, bahkan

sebelum terjadi perubahan menjadi FEP (14, 15). Gangguan klinis dan psikososial

tersebut mendorong dilakukannya intervensi dengan EPRS dan LPRS sebagai

pencegahan utama, untuk mencapai 3 tujuan, yaitu: a) perbaikan dari gejala

prodromal atau gangguan yang sekarang dialami, b) menghindari atau

menghambat perkembangan gangguan psikososial, c) mencegah atau setidaknya

menghambat atau meredam timbulnya psikosis.

Lima penelitian internasional mengenai langkah-langkah intervensi

tersebut telah berupaya mencari tahu sejauh mana ketiga capaian itu dapat diraih

(tabel 3). Langkah-langkah pencegahan itu menggunakan terapi perilaku dan

Page 12: Referat Jiwa Fixed

kognitif/ cognitive behavioral therapy (CBT), sesuai kebutuhan individu yang

berisiko, atau antipsikotik atipikal, seperti risperidon, olanzapin, dan amisulprid.

Penelitian tersebut merupakan penelitian dengan metode randomisasi kontrol,

tetapi terdapat kekurangan pada teknik blind sampel pada kedua intervensi CBT.

Saat ini, kekurangan dari metodologi penelitian tersebut dan metodologi

penelitian lainnya adalah kesimpulan yang terlalu terbatas atau sedikit, sehingga

mendorong dibentuknya kelompok penelitian baru yang mengoptimalkan

penelitian tentang langkah-langkah intervensi tersebut. Sebagai contoh, protokol

penelitian yang sedang berlangsung saat ini tentang upaya pencegahan pada

kelompok paralel memasukkan analisis komparatif yang cermat serta uji

superioritas dan inferioritas dari terapi psikologis dan farmakologis dalam

pelaksanaan penelitiannya (52).

Penentuan tingkat (staging) risiko penyakit yang kemudian menunjukkan

dimensi temporal, diaplikasikan untuk pertama kalinya di dua penelitian yang

dilakukan oleh German Research Network pada kasus skizofrenia. Salah satu

penelitian tersebut tidak menggunakan ERPS dan hanya menggunakan CBT

sebagai langkah pencegahan. Penelitian yang satunya menggunakan LRPS dan

hanya menggunakan obat amisulprid. Jika perkembangan gejala semakin

meningkat seiring perjalanan waktu di awal fase prodromal, seperti yang

ditunjukkan gambar 1, sangat penting bagi peneliti terutama sebagai alasan etik

untuk fokus pada intervensi psikologi menggunakan ERPS, yang paling bisa

ditoleransi dan diterima. Segera setelah gejala psikotik transien muncul, sebagai

penghambatnya, dapat segera diberikan antipsikotik yang mudah ditoleransi tubuh

dengan efek samping minimal. Strategi pencegahan yang beragam tersebut, saat

ini telah diterapkan di pusat diagnostik dini Jerman, dan mulai merambah ke

negara-negara lain.

Pilihan terapi farmakologis yang lain, misalnya aripiprazol, telah diuji

cobakan pada penelitian terkontrol yang diberikan pada pasien saat fase UHR.

Efek pencegahan yang bisa dicapai saat ini sedang dianalisis. Antidepresan

digunakan pada penelitaian nonrandomized dengan sampel remaja dengan kriteria

inklusi berupa didapatkannya APS, tetapi karena alasan metodologi, penelitian

Page 13: Referat Jiwa Fixed

tersebut tidak membuahkan kesimpulan mengenai perbedaan efek pencegahan

pada obat-obat tersebut (54).

Tugas di Masa yang Akan Datang

Suatu evaluasi kritis atas capaian-capaian penelitian yang didapatkan

selama kurun waktu 15 tahun ini melalui usaha yang berkesinambungan tentang

perkembangan diagnostik dini dan pencegahan gangguan psikosis, terutama

skizofrenaia cukup membuahkan hasil. Walaupun demikian, pencapaian yang

sudah sejauh itu masih memerlukan evaluasi lagi, terutama pada penemuan cara

prediksi dan pencegahan yang lebih modern lagi. Sekali saja gejala utama dan

gejala UHR sudah tampak, proses patofisiologi yang mendasari timbulnya

penyakit mungkin sudah mengalami progresi. Untuk penyakit yang kompleks

dengan onset lama dan mempunyai faktor predisposisi, identifikasi faktor risiko

dan pencegahan atas faktor risiko tersebut mungkin sudah terlambat untuk

dilakukan. Pengurangan insidensi mungkin bisa dicapai dengan langkah-langkah

pencegahan yang menyeluruh maupun selektif. Oleh karena itu, prediksi

berdasarkan gejala diiringi upaya pencegahnya harus lebih dikembangkan ke arah

upaya pencegahan selektif atas individu berisiko yang tidak menunjukkan gejala.

Di masa mendatang, dibutuhkan usaha untuk: a) perkembangan dalam penilaian

rsisiko dengan melihat faktor risiko biologis, b) nilai estimasi risiko yang lebih

akurat per individu, c) memasukkan kriteria subpsikotik pada sistem diagnostik

seperti yang ditemukan pada kriteria individu dengan risiko, d) aplikasi dari

strategi pencegahan yang lebih berkaitan dengan etiologi penyakit.

Page 14: Referat Jiwa Fixed

Penilaian Risiko

Apabila fase prodromal inisial bertahan selama kurang lebih 5 tahun, maka

sebagian besar periode follow-up yang ditunjukkan pada tabel 2 tidak dapat

memenuhi atau tidak sesuai dengan tingkat transisi nyata dari gangguan jiwa.

Banyak perubahan yang tidak terklasifikasikan sebagai perubahan, dan oleh

karenanya kekuatan prediktif dari gejala-gejala yang berisiko mengarah kepada

gangguan jiwa dapat jadi kurang diperhatikan (12). Oleh karena itu, tugas pertama

dan paling penting di masa yang akan datang adalah untuk mengadakan penelitian

berskala besar dengan periode follow-up yang panjang yang meliputi keseluruhan

durasi fase prodormal inisial seperti pada studi CER (18).

Penilaian risiko juga dapat dicapai melalui inklusi biomarker, seperti pada

contoh dari beberapa penelitian terbaru mengenai prediksi demensia Alzheimer

yang dilakukan dengan penilaian terhadap sindroma gangguan kognitif ringan/

mild cognitive impairment (MCI) syndrome (55). Kondisi ini mengindikasikan

suatu risiko demensia Alzheimer dengan tingkat konversi yang dapat

diperbandingkan dengan gejala-gejala risiko FEPS. Namun, jika pada pasien MCI

secara simultan didapatkan hasil pencitraan yang jelas dan marker biokimiawi,

kekuatan prediktifnya meningkat secara signifikan. Penilaian risiko dapat

dilakukan pada FEPS dengan mengamati perubahan morfologis otak, selain itu

juga mengamati gangguan dalam kecepatan pemrosesan dan memori verbal, yang

mana berubungan dengan dengan gejala risiko psikosis, serta lebih sering

ditemukan dan lebih berat pada kasus-kasus yang mengarah ke transisi menuju

skizofrenia dan psikosis lainnya (12,56-60). Hanya penelitian baru berskala besar

dengan periode observasi yang cukup panjanglah yang dapat memperjelas apakah

penilaian risiko dapat dicapai dengan menggunakan biomarker. Kesuksesan

strategi ini bergantung pada kemajuan penelitian pada faktor risiko biologis dan

lingkungan dan interaksinya, seperti yang dijelaskan oleh European Network of

national schizophrenia networks studying Gene-Environment Interactions (EU-

GEI) study (61).

Page 15: Referat Jiwa Fixed

Stratifikasi Risiko

Dalam ranah disiplin medis lain seperti onkologi atau pneumologi, suatu

prosedur model risiko yang disusun dengan baik, yang tidak menyebabkan

hilangnya sensitivitas, menggunakan indeks prognosis/ prognosis indices (PI)

untuk menentukan staging klinis multivariat dengan cara stratifikasi risiko. Pada

penelitian European Prediction of Psychosis (EPOS), pendekatan ini digunakan

dalam penelitian mengenai prediksi psikosis untuk pertama kalinya (41). Suatu

model klinis dikembangkan berdasarkan persamaan regresi Cox yang meliputi

enam variabel (skor positif SIPS, skor pemikiran aneh SIPS, skor gangguan tidur

SIPS, gangguan personal skizotipal SIPS, nilai Global Assessment of Functioning

(GAF) tertinggi dalam setahun terakhir, dan berapa tahun yang ditempuh untuk

pendidikan). Berdasarkan skor regresi individual, diusulkanlah suatu PI

multivariat untuk menstratifikasi lebih lanjut risiko transisi menuju psikosis ke

dalam empat kelas risiko, dimana masing-masing kelas risikonya menggambarkan

risiko relatif yang meningkat signifikan dibanding populasi umum, yang

meningkat di tiap kelasnya.

Model empat kelas ini diperdebatkan apakah dapat meningkatkan prediksi

psikosis secara signifikan serta apakah dapat mendiferensiasi risiko individual

berkaitan dengan tingkat keparahannya (derajatnya) dan waktu. Suatu estimasi

risiko yang lebih bersifat individual atau staging klinis terhadap risiko, jika

berhasil didapatkan di penelitian di masa yang akan datang, akan dapat

meningkatkan pengembangan kriteria inklusi berdasarkan risiko untuk penelitian

lanjutan dengan teknik randomisasi yang bersifat preventif. Pada aplikasi

pendekatan ini untuk pertama kalinya pada EPOS, hanya variabel klinis dan

demografik saja yang dipertimbangkan. Hal yang perlu dieksplorasi lebih lanjut

adalah apakah model multilevel yang meliputi neurokognitif, neurobiologi,

sosiobiografis, atau variabel lingkungan dapat meningkatkan akurasi prediktif di

masa yang akan datang. Selain itu, penelitian lebih lanjut harus memeriksa apakah

model tersebut juga dapat diaplikasikan untuk memprediksi psikosis dalam

kerangka waktu yang berbeda.

Page 16: Referat Jiwa Fixed

Pengenalan status mental berisiko/ at risk mental state (ARMS) dalam

diagnosis gangguan jiwa

Revisi DSM yang saat ini sedang berjalan telah memicu perdebatan

mengenai inklusi suatu gejala risiko psikosis dengan tujuan untuk memfasilitasi

upaya pencegahannya (62). Beberapa peneliti awalnya tidak menyetujui proyek

ini dan memberikan perhatian akan adanya kerugian aplikasi ARMS sebagai

kriteria diagnosis. Mereka menekankan bahwa tingginya tingkat prediksi positif

palsu dalam klinik spesialis (60-70%) dapat meningkat hingga 90% pada klinik

pasien rawat jalan. Kritik ini benar adanya dan harus mendapatkan perhatian

sebelum memutuskan apakah akan memasukkan ARMS dalam revisi selanjutnya

pada sistem diagnosis DSM. Meskipun demikian, debat yang selama ini terjadi

secara khusus berfokus pada validitas prediktif dari kriteria risiko / at risk criteria,

dan oleh karenanya mengesampingkan temuan utama yang meliputi: individu

yang memenuhi kriteria risiko bisa saja sudah mengalami gangguan mental dan

fungsional multipel di saat mereka baru mencari pertolongan. Selain itu, pada

individu tersebut juga bisa didapatkan defisit fisiologis dan kognitif beragam

selain perubahan morfologi dan fungsi serebral. Oleh karenanya, mayoritas

individu berisiko yang mencari pertolongan medis yang juga memenuhi kriteria

umum DSM-IV untuk gangguan mental (misal gejala perilaku dan psikologis

klinis signifikan yang berhubungan dengna disabilitas atau stress berat) dan

dianggap sakit, misalnya orang yang membutuhkan bantuan dan perlu diberi

penanganan medis. Dengan memiliki pertimbangan ini, merupakan alasan yang

baik untuk memasukkan suatu profil klinis ke dalam sistem diagnosis seperti

digambarkan dalam kriteria risiko, bukan sebagai suatu gejala risiko prodromal

untuk onset psikosis yang pertama, tetapi sebagai gangguan tersendiri. Di samping

mempermudah akses terhadap layanan medis standar, pengenalan diagnosis

independen dapat memberikan manfaat dalam mencegah stigmatisasi yang dapat

diakibatkan status mental seseorang yang dikaitkan dengan label negatif dan

mengancam lingkungan. Meskipun peningkatan risiko psikosis dapat berlanjut

menjadi karakteristik diagnosis, fokus psikologis dan medis dapat bergeser dari

Page 17: Referat Jiwa Fixed

outcome yang belum jelas di masa mendatang menjadi psikopatologi dan

kebutuhan. Pada kondisi pengetahuan demikian, kriteria DSM-5 dapat menjadi

kerangka yang tepat untuk diinklusikannya gejala-gejala ini. Dorongan yang kuat

untuk perencanaan dan implementasi dari penelitian internasional dan nasional

generasi baru dapat dipacu dengan inklusi kriteria ini dalam DSM-5 dan

selanjutnya juga di ICD-11.

Strategi Preventif Berorientasi Etiologi

Suatu pendekatan preventif yang baru didasarkan pada konsep

neuroproteksi (63,64) dan penelitian yang menunjukkan adanya kehilangan

progresif dari volume gray matter sebelum onset psikosis (56, 58, 60). Diantara

berbagai substansi dengan kandungan neuroprotektif, penelitian menunjukkan

kandungan tersebut terdapat pada asam lemak omega 3 dosis tinggi, glisin, dan

litium dosis rendah. Tingkat transisi 12 minggu secara signifikan lebih rendah

pada kelompok orang dewasa dengan UHR yang diberi terapi asam lemak omega

3 dibanding kelompok yang diberi plasebo (65), dan efek ini bertahan hingga

follow-up 6 bulan. Koagonis reseptor glisin dan N-methyl-d-aspartate dievaluasi

pada 10 pasien dengan percobaan awal, dan terjadi perbaikan signifikan pada

berbagai domain psikopatologi pasien (66). Pada suatu penelitian pembuktian

konsep terbuka, waktu relaksasi T2 hippocampus ditemukan berkurang secara

signifikan pada kelompok penderita UHR yang diterapi litium dosis rendah

dibandingkan dengan kelompok serupa yang mendapatkan terapi suportif standar.

Hal ini menunjukkan adanya proteksi terhadap mikrostruktur hippocampus (58,

67). Ini merupakan penelitian pertama yang menyediakan data pencitraan

mengenai efek neuroprotektif pada individu yang berisiko. Efek preventif nyata

dari asam lemak omega 3 saat ini sedang dalam proses peninjauan lanjutan pada

penelitian North-American, European, Australian Prodrome (NEURAPRO)

dengan sampel berukuran besar.

Page 18: Referat Jiwa Fixed

Kesimpulan

Skizofrenia merupakan gangguan mental pertama dimana program

prediksi dan preventif dari pengobatan medis modern diaplikasikan. Hasil yang

didapatkan dari berbagai penelitian menjanjikan dan menguatkan harapan bahwa

pada tahun-tahun mendatang akan didapatkan strategi preventif yang secara

spesifik ditujukan untuk risiko sakit yang bersifat individual. Untuk mencapai

penurunan insidensi, penilaian risiko yang berorientasi pada gejala harus

diperkaya dengan dasar faktor risiko neurobiologi dan psikososial, dan tindakan

preventif yang diindikasikan harus dikembangkan lebih lanjut ke arah preventif

selektif. Hal ini membutuhkan pelaksanaan penelitian dengan sampel besar untuk

prediksi dan preventif, dengan periode observasi yang secara signifikan lebih

panjang. Pada penelitian tersebut, kombinasi menjanjikan dari indikator risiko,

yang dipilih untuk memaksimalkan nilai prediktif harus dievaluasi. Intervensi

psikologis dan farmakologis harus dinilai secara jangka panjang. Selain itu,

strategi preventif yang berorientasi etiologi pun harus diuji. Untuk dapat

merencanakan dan melaksanakan penelitian tersebut, memasukkan status mental

sub-psikotik ke dalam revisi selanjutnya dari sistem diagnosis yang akan datang

akan sangat bermanfaat.

Page 19: Referat Jiwa Fixed