REFERAT ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Post on 13-Feb-2016

200 views 23 download

description

refrat ensefalopati diabetikum

Transcript of REFERAT ENSEFALOPATI HEPATIKUM

Clinical Science Session

ENSEFALOPATI DIABETIKUM

oleh:

Putri Anindita 1010312078

M. Iqbal Andreas 1010313079

Ikhsan Nurul Huda 1110311027

Rizki Ismi Arsyad 1110313014

Preseptor :

Dr. Raveinal, Sp.PD-KAI, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan

karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Ensefalopati

Hepatikum”. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai

Rhinosinusitis dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di

bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen

pembimbing Dr. Raveinal, Sp.PD-KAI, FINASIM yang telah meluangkan waktu untuk

membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini. Penulis

menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu

penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dan saran demi perbaikan

dimasa yang akan datang. Semoga referat ini dapat berguna bagi pihak yang

membutuhkan.

Padang, 27 April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................11.2 Rumusan Masalah..................................................................................................21.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................21.4 Manfaat Penulisan..................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi .......................................................................................................32.2 Epidemiologi................................................................................................32.3 Klasifikasi....................................................................................................42.4 Patofisiologi.................................................................................................42.5 Manifestasi Klinik........................................................................................82.6 Tatalaksana..................................................................................................10

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan..................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisiologi ensefalopati hepatik........................................................5

Gambar 2.2 Metabolisme amonia oleh berbagai organ dalam tubuh........................7

Gambar 2.3 Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven.......................9

Gambar 2.4 Alur diagnosis ............................................................................................10

Gambar 2.5 Faktor presipitasi EH overt secara berurutan berdasarkan frekuensi....11

Gambar 2.6 Jalur amonia yang diinduksi oleh LOLA……………………………..15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan

fungsiotak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.

Ensefalopatiyang terjadi sejak dini dapat menyebabkan gangguan

perkembangan neurologis.Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami

kemunduran dalam fungsi kognitif umum, prestasi akademis, fungsi

neuropsikologik dan kebiasan. Skor intelegensipasien yang mengalami

ensefalopati juga rendah jika dibandingkan anak seusianyaDari segi prestasi

akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk membaca,mengeja dan

aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat menjadihiperaktif maupun

autis.1

Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti,

penelitiandilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang

dilakukan diLondon, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik

iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%.2

Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka

yang lebihtinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.3

Diperkirakan berkisar30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan

naik menjadi 60% padanegara berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik

iskemik intrapartum.4

Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati

hepatik.Hepatik ensefalopati yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati

hepatik murni dan ensefalopati hepatik minimal. Ensefalopati hepatik murni

terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-50% pada pasien

shunting transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal

biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi

portal non sirosis. Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar

20-84%pada pasien sirosis

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai rhinosinusitis dengan komplikasinya

meliputi anatomi, fisiologi, dan histologi sinus paranasal, definisi, etiologi,

klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi

ensefalopati hepatikum.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah unutk memahami mengenai anatomi,

fisiologi, dan histologi sinus paranasal, definisi, etiologi, klasifikasi,

patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi ensefalopati

hepatikum.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke

berbagai literatur.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati

hepatik semakin besar. Hal ini memicu pesatnya perkembangan

pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan dalam

diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tata

laksana, serta pencegah- an enefalopati hepatik menjadi dasar

penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, ter- masuk

Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan

ensefalopati hepatik yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati

Indonesia (PPHI) pada tahun 2014.1

2.1 Definisi

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang

dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam

manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku,

gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan

pada otak yang mendasarinya.2

2.2 Epidemiologi

Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui

dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan

terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis.3 Data dari Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar

63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH

stadium 2-4 sebesar 14,9%.5 Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun

berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati.6

2.3 Klasifikasi

EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang

mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan

pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan

sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang

berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling

sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.7,8 Klasifikasi

EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan EH

overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan

adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi

eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi,9,11

sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam

waktu singkat dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH

persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang kian

memberat).2,9-11

2.4 Patofisiologi

Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien

gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif

dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan varises

esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia,

hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan

narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-

lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan EH

pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal

berupa pecahnya varises esofagus.8

Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam

peredaran darah yang melewati sawar darah otak.7 Amonia merupakan

molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya

EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.7,12 Beberapa studi lain

juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1

berikut:

Gambar 1. Patofisiologi ensefalopati hepatik12

Seperti yang digambarkan pada gambar 2, amonia diproduksi oleh

berbagai organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan

aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob,

Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium.12 Enzim urease bakteri akan

memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan

oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme

glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia.12,13 Pada

individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis,

amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal

juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka

memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan

amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.12 Ginjal berperan dalam

produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-

basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang

merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang

berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium

(NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi

oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium

dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi

glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion amonium

dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.

G

Gambar 2. Metabolisme amonia oleh berbagai organ dalam tubuh14

Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses

detoksifikasi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati

periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-

Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan

digabungkan kembali menjadi glutamin.8,12 Pada keadaan sirosis, penurunan

massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya detoksifikasi

amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang membawa darah

yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.15

Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas

amonia. Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak untuk amonia pada

pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang

berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase

glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema

serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan

pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres

oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular

yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi

selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga

menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang

bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi

sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.16

2.5 Manifestasi Klinis

Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi

neurologis dan psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH

memperlihatkan gangguan pada tes psikometrik terkait dengan atensi, memori

jangka pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan berjalannya penyakit,

pasien EH mulai memper- lihatkan perubahan tingkah laku dan kepribadian,

seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi

motorik yang nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan.

Pasien dapat memperlihatkan dis- orientasi waktu dan ruang yang progresif,

tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan agitasi atau

somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.17

Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel

1). Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk

dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti pada tabel 1.

Tabel 3. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven18

menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT ),

NCT-A dan NCT-B, maupun Critical Flicker Frequency (CFF) merupakan

pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT,

CFF masih sulit untuk dilakukan secara merata di Indonesia. Oleh karena itu,

para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta

keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola

tidur, penurunan aktivitas sehari-hari pasien hingga tanda-tanda seperti

asteriksis, klonus maupun penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan

radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi

(EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain

pada otak. Elektroensefalografi akan me- nunjukkan perlambatan (penurunan

frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH.2,8

Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti

EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat

menjadi parameter keparahan pasien dengan EH.18 Pemeriksaan kadar amonia

darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan

ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3

menunjukkan alur diagnosis pasien dengan kecurigaan EH.

Gambar 4. Alur diagnosis

2.6 Tatalaksana

Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar

penatalaksanaan EH adalah: identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH,

pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan perburukan kondisi pasien, dan

penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.

2.6.1 Tatalaksana Faktor Presipitasi

Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti

dehidrasi, infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna.

Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor tersebut berperan

penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu

dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum

luas diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering,

baik pada saluran cerna maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-

obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi EH. Ligasi

sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu

dilakukan dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna,

terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah

satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang

adekuat.12,19 Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin

menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat diidentifikasi pada hampir

semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara aktif dan

ditatalaksana segera saat ditemukan. Tabel 2 memperlihatkan pembagian faktor

presipitasi dengan EH yang ditimbulkan.

Tabel 5 Faktor presipitasi EH overt secara berurutan berdasarkan

frekuensi17

2.6.1 Tatalaksana Farmakologis

Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan

dalam tatalaksana EH. Be- berapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia

dilakukan dengan penggunaan laktulosa, anti- biotik, L-Ornithine L-Aspartate,

probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya.

- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)

Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.7 Sifatnya

yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan

menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin.12,18,20 Selain itu,

laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang diguna- kan

sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan

menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam

laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi

perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya

ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.

Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih

baik dalam mengurangi amo- nia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik.12

Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah

berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri

pada pasien dengan EH minimal.

Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat

diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah

menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara

berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor

presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.18

- Antibiotik

Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan

pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai

salah satu faktor presipitasi EH.7,12,18 Selain itu, anti- biotik juga memiliki efek

anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.12 Antibiotik yang

menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara

minimal.13,23 Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan

3-6 bulan.12,21 Rifaximin dipilih mengganti- kan antibiotik yang telah digunakan

pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole,

paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping

yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya.12

- L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)

LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja

sebagai substrat yang berper- an dalam perubahan amonia menjadi urea dan

glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga

menurunkan amonia di dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi edema

serebri pada pasien dengan EH.

LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan

kadar amonia dengan me- rangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate

dapat ditransaminase dengan α-ketoglutarate menjadi glutamat, melalui

ornithine aminotrasnferase (OAT ) dan aspartate aminotransferase (AAT ),

berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk

menstimulasi glutamine syn- thetase, sehingga membentuk glutamin dan

mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin dapat dimetabolisme

dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia

kembali.

Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari

pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status

mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan

LOLA diperkirakan hanya sementara.18 Beberapa penelitian RCT (Kirchets dkk,

1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari

secara intravena da- pat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada.22,23

Studi metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013) menunjukkan

manfaat LOLA pada pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH

dengan menurunkan konsentrasi amonia serum.24,25

Gambar 6. Jalur amonia yang diinduksi oleh LOLA

- Probiotik

Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis

hidup yang bermanfaat un- tuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neu-

rotoksik telah lama dipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia

juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi

salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH

dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan

meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri baik.26,27

Liu, et al., melakukan studi terhadap feses pasien EH minimal

dan menemukan pembe- rian suplementasi sinbiotik (serat dan probiotik)

berhubungan dengan menurunnya jumlah bakteri patogenik Escherichia coli,

Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan peningkatan pada Lactobacillus

penghasil nonurease.28 Penelitian metaanalisis dari 9 laporan penelitian

menunjukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai manfaat pada

pasien EH.29 Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan

dalam penggunaan probiotik pada tatalaksana dan prevesi sekunder EH overt.30

Terapi Potensial lainnya

Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain

ammonia scavenger, activated char- coal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP).

Ammonia scavenger (natrium benzoat, natrium fenilasetat, natrium

fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi

penuh. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunakan pada pasien

dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia, namun belum disetujui untuk

digunakan pada pasien EH. Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil,

diantaranya amonia, lipopolisakarida dan sitokin. AST-120, karbon berben- tuk

sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien dengan EH. Pada pilot

study terlihat bah- wa AST-120 memiliki efikasi yang sama dengan laktulosa

namun dengan efek samping yang lebih sedikit.12 L-Ornithinge Phenylacetate

(OP) bekerja menurunkan kadar amonia dengan berfungsi seba- gai substrat

pebentukan glutamin dari amonia pada otot rangka.8

BAB 3

PENUTUP

Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering

dijumpai pada pasien dengan sirosis hati. EH terbagi menjadi tiga tipe

terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan

dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B

berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan

intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan

hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan

gangguan fungsi hati. Tatalaksana optimal EH akan memperpanjang survival

dan memperbaiki kualitas hidup pasien sirosis. Prinsip tatalaksana EH adalah

mengidentifikasi dan mengatasi pencetus serta terapi medikamentosa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA,

et al. Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di

Indonesia 2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014.

2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT.

Hepatic encephalopathy—Definition, nomenclature, diagnosis, and

quantification: Final report of the Working Party at the 11th World

Congresses of Gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology.

2002;35(3):716-21.

3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop

WC, et al. The prognostic significance of subclinical hepatic

encephalopathy. Am J Gastroenterol. 2000;95(8):2029-34.

4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik

Minimal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei -

Agustus 2009: KO- PAPDI; 2009.

5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi

Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.

6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy:

Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol

Hepatol. 2010;6(7):1-16.

7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An

overview. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63.

8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with

cirrhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605.

9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of

Minimal Hepatic Encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004;19(3-4):253-

67.

10. Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF,

Schalm SW. Screening of subclinical hepatic encephalopathy. J

Hepatol. 2000;32(5):748-53.

11. Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The

diagnosis of subclinical hepatic encephalopathy in patients with

cirrhosis using neu- ropsychological tests and automated

electroencephalogram analysis. Hepatology. 1996;24(3):556-60.

12. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and

management of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol.

2011;7(4):222-33.

13. Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et

al. Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple

pathophysiological features. World J Hepatol. 2012;4(3):50-65.

14. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver

Dis. 2008;28(1):70-80.

15. Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on interorgan

trafficking of ammonia: implications for the treatment of hepatic

encephalopa- thy. J Gastroenterol Hepatol. 2004;19:S219-223.

16. Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in

the mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis.

2009;24(1):103-17.

17. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al.

Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline

by the European Association for the Study of the Liver and the

American As- sociation for the Study of Liver Diseases. J Hepatol

(2014), http://dx.doi. org/10.1016/j.hep.2014.05.042

18. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic

en- cephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7.

19. Córdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepa-

tol.54(5):1030-40.

20. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al.

Recent advances in the diagnosis and treatment of hepatic

encephalopathy. Gas- troenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13.

21. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy.

Int J Hepatol. 2011;2011.

22. Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M, Gortelmeyer R, et

al. Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-aspartate infusions in patients

with cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a placebo-

controlled, double-blind study. Hepatology. 1997;25(6):1351-60.

23. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-

ornithine- L-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy.

Journal of the College of Physicians and Surgenons--Pakistan:JCPSP.

2008;18(11):684-7.

24. Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P. l-Ornithine-l-aspartate in

the management of hepatic encephalopathy: A meta-analysis. J

Gastroen- terol Hepatol. 2009;24(1):9-14.

25. Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate for hepatic

en cephalopathy in patients with cirrhosis: A meta-analysis of

randomized controlled trials. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):783-

92.

26. Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med

Hypothesses 2003;61:307-13.

27. Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics,

prebiotics and probiotics in the treatment for hepatic encephalopathy.

Med Hypoth- eses 2005;64:64-8.

28. 28. Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora:

Effect on minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis.

Hepatology 2004;39:1441-9.

29. Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the effects of

gut flora modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on

minimal hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther.

2011;33(6):662-71.

30. Sharma V, Garg S, S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J.

2013;17(4):62-7.