Post on 02-Feb-2016
description
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDISITIS
I. ANATOMI APPENDIKS
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia
itu. Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoappendiks penggantungnya. 1
Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan
caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi
appendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal 65.28% baik
intraperitoneal maupun retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di
belakng caecum. Selain itu juga terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01%
(appendiks menggantung ke arah pelvic minor), subcaecal ( dibawah caecum)
2,26% retroileal (dibelakang usus halus) 0,4%, retrokolika, dan pre-ileal. 1
Persarafan simpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
1
apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Perdarahan apendiks berasal dari
arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
ganggren. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli
berjalan ke vena mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.1
Appendiks memiliki topografi yaitu pangkal appendiks terletak pada titik
Mc.Burney.
Garis Monroe : Garis antara umbilicus dengan SIAS dekstra
Titik Mc Burney :1/3 bagian dari SIAS dekstra pada garis Monroe
Titik Lanz : 1/6 bagian dari SIAS dekstra pada garis antara SIAS
dekstra dan SIAS sinistra
Garis Munro :Pertemuan antara garis Monroe dengan garis
parasagital dari pertengahan SIAS dekstra dengan
simfisis
2
II. FISIOLOGI APPENDIKS
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis
appendisitis. 1
Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir
ini, appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif
mensekresikan Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT),
imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu
mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi
enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali
jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.1
III. APPENDISITIS
A. Definisi Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks
vermiformis,dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling
sering. Appendisitis adalah peradangan appendiks yang mengenai semua
lapisan dinding organ tersebut . Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah
usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan dimasyarakat kurang tepat,
karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah s e k u m . Sampai saat
ini belum diketahui secara pasti apa fungsi appendiks sebenarnya. Namun
demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah kesehatan. 1,2
B. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran
mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.Penelitian Collin (1990) di
3
Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi.
Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%,
fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%. Kebiasaan diet rendah
serat juga berpengaruh terhadap timbulnya apendisitis. Diet rendah serat
dapat menyebabkan konstipasi yang dapat meningkatkan tekanan intrasekal.
Akibatnya, terjadi sumbatan fungsional pada apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora kolon. Hal ini akan mempermudah terjadinya apendisitis.1
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks,
diantaranya : 2
1) Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasia jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing.
2) Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Berbagai spesies
bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli
Viridans
streptococci
Pesudomonas
aeruginosa
Bacteroides fragilis
Peptostreptococcus micros
Bilophila species
Lactobacillus species
4
Enterococcus
3) Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon biasa sehingga
mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif
yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek merubah
suasan flora usus dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang
merupakan permulaan dari proses inflamasi. Pemberian laksatif
pada penderita apendisitis akan merangsang peristaltik dan
merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.
4) Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi
yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis
C. Klasifikasi Appendisitis 3
1) Appendisitis akut
a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen
appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang
mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus,
mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada appendisitis cataral
terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema,
dan tidak ada eksudat serosa.
5
b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemik dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian
tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman. Apada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi
dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2) Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat
erat satu dengan yang lainnya. Umumnya massa apendiks terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum.
Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun
atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan
6
omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses
radang.
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendicitis yang
dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks
dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh
dengan membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan
omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa appendikular.
Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengakibatkan perforasi. Jika tidak tebentuk abses, appendicitis akan
sembuh dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
3) Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.
4) Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan
pus masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.
5) Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang
yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis
baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Secara histologi, dinding appendiks
7
menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat
infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis
propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
D. Patofisiologi
Peradangan pada appendiks berawal di mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam. Obstruksi pada
bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal
appendiks, sehingga mukus yang terbentuk secara terus menerus akan
terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminal
meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi
peningkatan jumlah kuman didalam lumen appendiks. Selanjutnya terjadi
gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem. Kondisi ini memudahkan
invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkan
ulserasi mukosa appendiks maka terjadi keaaan yang disebut appendisitis
fokal.3
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen
pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan
meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang
akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-
samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium.3
8
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix menyebabkan kongesti
vaskular. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri
yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan
peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang
khas ke RLQ.3
Obstruksi yang terus menerus menyebabkan tekanan intraluminer semakin
tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Keadaan ini
akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemia, dan invasi bakteri
semakin berat sehingga terjadi pnumpukan nanah pada dinding appendiks
atau disebut dengan Appendisitis Akut Supuratif. Pada keadaan yang lebih
lanjut, dimana tekanan intraluminer semakin tinggi, udem menjadi lebih
hebat, terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadi
gangren. Gangren biasanya di tengah-tengah appendiks dan berbentuk
ellipsoid, keadaan ini disebut Appendisitis Gangrenosa. Bila tekanan terus
meningkat, maka akan terjadi perforasi yang mengakibatkan cairan mukosa
appendiks akan tercurah ke rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal.
Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk
massa periapendikular. Apabila terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu
rongga yang berisi nanah di sekitar appendiks disebut Abses
Periapendikular. 3
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan serangan berulang di perut
kanan bawah disebut dengan Appendisitis Rekurens. Pada suatu ketika
organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi
akut. 3
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih
panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
9
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah. 3
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks,
omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam
cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat
(bedrest). 3
10
E. Diagnosis
1) Anamnesis
a. Nyeri abdomen
Nyeri perut kanan bawah persisten dan tidak menghilang dengan
perubahan posisi. Nyeri semakin hebat ketika dilakukan
penekanan pada dinding abdomen, batuk, mengedan.1
b. Anoreksia
c. Mual dan muntah
Mual dan muntah terjadi setelah nyeri abdomen. Bila muntah
terjadi sebelum nyeri abdomen, hal ini lebih mengarah pada
diagnosis gastroenteritis. Namun, pada pasien dengan apendiks
retrosekal, terutama yang mengenai permukaan posterior kolon
kanan, inflamasi apendiks akan mengiritasi duodenum
disekitarnya. Akibatnya, mual dan muntah akan terjadi sebelum
nyeri abdomen kanan bawah. 4
d. Demam
Demam biasanya ringan dengan rentang suhu sekitar 37,5-38,50 C.
Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi
e. Diare atau konstipasi
Diare atau konstipasi terjadi pada 18% kasus. Pada apendiks yang
terletak pada rongga pelvis, inflamasi apendiks dapat memberikan
stimulasi iritatif pada rektum sehingga peristaltik meningkat dan
pengosongan rektum menjadi lebih cepat dan berulang. Pasien
akan mengeluh terjadinya diare.1,4
11
Bila apendiks menempel ke vesika urinaria, dapat terjadi
peningkatan frekuensi berkemih akibat rangsangan pada dindingnya.
Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awal hanya
sering rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak dapat menjelaskan
rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini, diagnosis apendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi. Pada orang berusia lanjut, gejalanya
juga sering sama-samar sehingga sering terlambat didiagnosis. Pada
kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri abdomen, mual, dan
muntah. Hal yang perlu diperhatikan adalah pada kehamilan trimester
pertama sering terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum
dengan apendiks terdorong ke arah kraniolatereal sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah namun lebih terasa pada regio lumbal
kanan. 1
2) Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
Amati gestur pasien saat melakukan pemeriksaan fisik. Pasien biasanya
cenderung berbaring diam ditempat pemeriksaan, memfleksikan
pinggang serta menekuk lututnya untuk mengurangi pergerakan dan
menghindari nyeri yang semakin berat. 4
b. Pemeriksaan Abdomen
i. Inspeksi
Sering tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi
Penonjolan abdomen kanan bawah dapat dilihat pada massa atau
abses periapendikuler.
ii. Auskultasi
Peristaltik usus sering ditemukan dalam batas normal.
12
Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata.
iii. Palpasi
Nyeri terbatas pada regio iliaka kanan, dapat disertai nyeri lepas.
Defans muskular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietal.
Pada apendisitis restrosekal atau retroileal diperlukan palpasi
dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
iv. Perkusi
Terdapat nyeri ketok.
c. Pemeriksaan Tanda Apendisitis
Rovsing’s Sign
Bila abdomen kiri bawah ditekan, maka akan terasa nyeri pada
abdomen kanan bawah.1
Blumberg Sign
Disebut juga nyeri lepas kontralateral. Pemeriksa menekan pada
abdomen kiri bawah lalu melepaskannya. Pemeriksaan dikatakan
positif bila saat dilepaskan pasien merasa nyeri pada abdomen kanan
bawah. 1
Psoas Sign
Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
13
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel di m.psoas mayor, tindakan ini akan menimbulkan nyeri.1
Obturator Sign
Posisi pasien telentang dengan sendi lutut dan sendi panggul fleksi.
Lalu, lakukan gerakan eksorotasi dan endorotasi pada sendi panggul.
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang
meradang berkontak dengan m.obturator intrenus. Gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi telentang akan
menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.1
d. Pemeriksaan Rektal
Terdapat nyeri tekan pada daerah jam 9-12. Bila terdapat abses, teraba
massa yang menekan rektum. Pada apendisitis pelvika, tanda perut
sering meragukan. Maka, kunci diagnosis adalah nyeri terbatas saat
dilakukan pemeriksaan colok dubur. 1
3) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah : jumlah total leukosit didapatkan meningkat pada kebanyakan
kasus apendisitis akut. Namun, jumlah leukosit dapat meningkat
pada keadaan akut abdomen lainnya. Peningkatan neutrofil atau
batang tanpa peningkatan jumlah total leukosit dapat mendukung
diagnosis apendisitis. Bila jumlah total leukosit lebih dari 15.000
sel/μL, cenderung terjadi perforasi. 4
14
b. Urinalisis : dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit tanpa
bakteri bila apendiks berada dekat dengan ureter kanan atau vesika
urinaria. Urinalisis sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan apendisitis. 5
2. Rontgen Abdomen
Rontgen abdomen jarang bernilai kecuali terlihat fekalit opak pada 5%
pasien pada kuadran kanan bawah terutama pada anak-anak. Akibatnya,
rontgen abdomen tidak rutin digunakan kecuali terdapat kondisi lain
seperti obstruksi intestinal. 5
3. USG Abdomen
Temuan positif apendisitis melalui USG adalah terdapat struktur tubular
yang tidak terkompresi ≥ 6 mm pada kuadran kanan bawah. Temuan
tambahan lainnya termasuk apendikolit, cairan di lumen apendiks, nyeri
fokal pada apendiks yang inflamasi (titik McBurney), dan diameter
transversal ≥ 6 mm. Pada pasien dengan apendisitis perforata,
ditemukan phlegmon periapendikal atau formasi abses. USG abdomen
telah terbukti bernilai dalam mendiagnosis apendisitis dengan
sensitivitas, spesifitas, dan akurasi paling tidak 90-95%. USG juga
berguna dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti kista ovarium,
kehamilan ektopik, abses tubo-ovarian, dan adenitis mesenterik.4,5
4. CT Scan
CT scan memiliki tingkat akurasi 97% dalam mendiagnosis apendisitis.
Hasil CT scan yang indikatif apendisitis adalah penebalan apendiks,
15
terdapat garis lemak disekitar apendiks, atau penebalan dinding sekal.
Hasil yang mengarah terjadi perforasi adalah terdapat udara
periapendikal/perisekal, abses, dan cairan bebas yang luas.4
5. Apendikografi
Pemeriksaan apendikografi tidak mempunyai peran diagnosis dalam
kasus appendisitis. Kontra indikasi dari pemeriksaan ini pada pasien
dengan peritonitis dan curiga perforasi. Nonfilling appendiks
merupakan tanda nonspesifik karena appendiks yang tidak terisi kontras
dapat terjadi pada ±10-20% pada orang normal. Keuntungan dari
pemeriksaan ini dapat untuk menegakkan diagnosis penyakit lain yang
menyerupai apendisistis. Kerugian pemeriksaan ini adalah tingginya
hasil nondiagnostik, eksposi radiasi, sensitivitas yang tidak tinggi,
pemeriksaan ini tidak cocok untuk pasien gawat darurat. Pemeriksaan
apendikografi sekarang jarang dilakukan dalam kasus appendisitis pada
era sonografi dan CT scan. Temuan appendikografi pada appendisitis:
Non filling appendiks
Irregularitas nodularitas dari appendiks yang memberikan
gambaran edema mukosa yang disebabkan oleh karena inflamasi
akut
Efek massa pada sekum serta usus halus yang berdekatan.
Gambaran pengisian penuh dengan kontras pada appendiks, appendiks
normal. :
16
ALVARADO SCORE
Pada anamnesa ditemukan gejala-gejala apendisitis, pada pemeriksaan
fisik didapatkan hasil positif untuk apendisitis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang seksama akan dapat mengeksklusi diagnosis banding seperti gastroenteritis,
infeksi saluran kemih, kehamilan ektopik, kista ovarium, abses tubo-ovarian, dan
adenitis mesenterik. Selain itu, pemeriksaan penunjang yang dilakukan juga
menunjang ke arah apendisitis.
Pada tahun 1986, Alvarado menjelaskan sistem skoring untuk
mendiagnosis apendisitis yang disebut skor Alvarado. Parameter skor Alvarado
terdiri dari 3 gejala, 3 tanda klinis, dan 2 hasil pemeriksaan laboratorium dengan
nilai total berjumlah 10. Pada tahun 1994, Kalan menghilangkan salah 1
parameter hasil pemeriksaan laboratorium (shift to the left) sehingga
menghasilkan modifikasi skor Alvarado. 6
PARAMETER SKOR
GEJALA Migrasi nyeri ke fossa iliaka kanan 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
TANDA Nyeri abdomen kuadran kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam 1
LABORATORIUM Leukositosis 2
TOTAL SKOR 9
Keterangan :
17
Skor 1-4 : kemungkinan bukan apendisitis
Skor 5-6 : kemungkinan apendisitis
Skor 7-9 : apendisitis akut
Penggunaan modifikasi skor Alvarado dapat meningkatkan akurasi
apendisitis akut dan mengurangi apendektomi negatif dan komplikasi.
Berdasarkan hasil salah satu studi tentang modifikasi skor Alvarado, tingkat
sensitivitasnya mencapai 94,1% dan spesifisitasnya 90,4%. 7
F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding apendisitis antara lain :1
1. Gastroenteritis
Gejala mual, muntah, dan diare pada gastroenteritis terjadi lebih dahulu
sebelum nyeri abdomen. Nyeri abdomen lebih ringan dan difus.
Hiperperistaltik sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang
menonjol dibandingkan apendisistis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika
Limfadenitis mesenterika biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis yang ditandai dengan nyeri abdomen, terutama disebelah
kanan yang disertai mual, dan nyeri tekan abdomen yang samar.1
3. Kehamilan Ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat menstruasi dengan keluhan yang
tidak menentu. Bila terdapat ruptur tuba atau abortus pada kehamilan
ektopik dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus pada
daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan
vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan pada cavum Douglas serta pada
kuldosentesis didapatkan darah.
4. Kelainan Ovulasi
Ruptur folikel de Graaf (mittelschmerz) terjadi pada pertengahan siklus
menstruasi dan akan menghasilkan nyeri yang lebih difus dan biasanya
tidak seberat apendisitis. Sedangkan, ruptur kista korpus luteum secara
18
klinis sama dengan rupturnya folikel de Graaf namun terjadi pada saat
menstruasi.7
5. Infeksi Panggul
Salpingitis akut sebelah kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut.
Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan, gejala urinaria,
serta riwayat infeksi panggul sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri abdomen bagian bawah yang lebih difus, nyeri gerak
servikal, sekret vagina, dan hasil urinalisa yang positif.
6. Kista Ovarium Terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intesnitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan abdomen, colok vaginal, atau colok
rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan dengan USG dapat
menentukan diagnosis.
7. Endometriasis Eksterna
Endometriosis diluar rahim akan memberikan keluhan nyeri pada lokasi
endometriosis berada dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan keluar.
8. Urolitiasis Pielum/Ureter Kanan
Terdapat riwayat nyeri kolik dari pinggang ke abdomen yang menjalar ke
inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Foto abdomen polos atau
urografi intravena dapat meyakinkan penyakit tersebut. Pada pielonefritis
sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral
kanan, dan piuria.
9. Penyakit saluran cerna lainnya seperti divertikulum Meckel, perforasi
tukak lambung atau duodenum, kolesistisis akut, pankreatitis, obstruksi
usus bawah, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, mukokel
apendiks.
G. Komplikasi 1
Massa Periapendikular
19
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa/mikroperforasi dibungkus oleh
omentum atau usus halus. Massa yang masih bebas (mobile) sebaiknya
segera dioperasi untuk mencegah perforasi. Apendektomi dilakukan pada
infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya,
pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob
dan anaerob.
Perforasi
Adanya fekalit, faktor usia (anak kecil atau orang tua), dan keterlambatan
diagnosis merupakan faktor penting terjadinya perforasi. Tingginya
insiden perforasi pada orang tua disebabkan gejalanya yang samar,
keterlambatan berobat, penyempitan lumen apendiks, dan arteriosklerosis.
Sedangkan tingginya insiden perforasi pada anak disebabkan oleh dinding
apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga diagnosis
terlambat, dan omentum anak belum berkembang.
Peritonitis
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri yang semakin hebat pada seluruh lapang
abdomen, abdomen menjadi tegang, dan kembung. Peristaltik usus dapat
berkurang bahkan sampai menghilang akibat ileus paralitik.
Infertilitas
Terjadi peningkatan insidensi infertilitas pada wanita yang mengalami
perforasi apendiks yang mengakibatkan obstruksi tuba falopi dan adhesi.
H. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
appendiktomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar
20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Pada
apendisitis akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi apendiktomi
cito. 8,9
20
Terapi Non-Operatif
Pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk appendisitis akut
bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi operasi (misalnya untuk
pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memiliki resiko tinggi untuk
dilakukan operasi.
Rujuk ke dokter spesialis bedah
Terapi Operatif
Terapi definitif untuk apendisitis adalah apendektomi. Indikasi
Appendiktomi:1,8
Appendisitis akut
Appendisitis kronik
Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
Apendisitis perforata
Terdapat beberapa jenis apendektomi yang dapat digunakan :
1. Apendektomi Terbuka
Apendektomi terbuka dilakukan dengan menginsisi abdomen untuk
mengambil apendiks yang meradang. Terdapat beberapa jenis insisi
yang dapat digunakan pada apendektomi misalnya insisi McBurney,
Lanz, dan pararektus. Insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Insisi ini dilakukan pada batas lateral otot rektus kanan pada titik
tengah antara umbilikus dan spina iliaka anterior superior.8
Insisi McBurney
2. Apendektomi Laparoskopi
21
Apendektomi ini dilakukan dengan menggunakan menempatkan
laparoskopi pada 3 lokasi yaitu 10 mm camera port pada umbilikus dan
5 mm ports pada fossa iliaka kanan dan kuadran hipokondria kanan.12
Menurut Society of American Gastrointestinal and Endoscopic
Surgeons (SAGES), kondisi yang cocok untuk dilakukan apendektomi
laparoskopi adalah apendisitis tanpa komplikasi, apendisitis pada anak,
dan suspek apendisitis pada wanita hamil 8
Lokasi Apendektomi Laparoskopi
Apedektomi harus dilengkapi dengan pemberian antibiotik.
Antibiotik yang digunakan harus dapat bekerja untuk bakteri Gram
positif dan negatif. Jenis antibiotik yang banyak digunakan adalah
sefalosporin generasi ketiga. Durasi pemberian bergantung pada
stadium apendisitis saat diagnosis, temuan intraoperatif atau evaluasi
pasca operasi. Berdasarkan beberapa studi, antibiotik profilaksis
diberikan sebelum apendektomi.
Berdasarkan pengalaman klinis terbaru, pada pasien apendisitis
perforasi dengan gejala minimal dan abses terlokalisasi segera diberikan
antibiotik intravena dan dipasang drainase perkutaneus dengan bantuan
CT scan untuk menunjukkan lokasi abses. Bila gejala berkurang,
leukosit dan demam kembali ke kisaran normal, terapi diubah dengan
memberikan antibiotik oral dan pasien dipulangkan. Apendektomi
dilakukan 4-8 minggu kemudian. Hal ini disebut interval apendektomi
dan dilakukan untuk mencegah serangan apendisitis berikutnya. 8
Perawatan Pasca Bedah
22
Pada hari operasi penderita diberikan infus menurut kebutuhan
sehari kurang lebih 2 – 3 liter cairan Ringer Laktat dan Dekstrosa. Pada
appendisitis tanpa perforasi : antibiotik diberikan hanya 1 x 24 jam. Pada
appendisitis dengan perforasi : antibiotik diberikan hingga jika gejala
klinis infeksi reda dan laboratorium normal. Mobilisasi secepatnya setelah
penderita sadar dengan menggerakkan kaki miring ke kiri dan ke kanan
bergantian dan duduk. Penderita boleh berjalan pada hari pertama pasca
operasi. Pemberian makan peroral di mulai dengan memberikan minum
sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktifitas usus yaitu
adanya flatus dan bising usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas
penderita tidak kembung maka pemberian makanan peroral dimulai.
Jahitan diangkat pada hari kelima sampai hari ke tujuh pasca bedah
I. Prognosis Appendisitis
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika
pecah pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau
aspirasi. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi
dan dengan antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan
perforasi dan usia tua. 9,10
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong W , Sjamsuhidayat R. Appendiks Vermiformis dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. EGC, Jakarta. 2005 : 639 – 646
2. Brodsky, Jason A. 2013.Appendicitis [Online]. Available from URL http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/appendicitis/
3. Craig, S., Incesu, L., and Taylor, Caroline, R. 2013. Appendicitis. [Online] Available from URL http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#aw2aab6b2b5
4. Minkes, Robert K., Alder, Adam C. 2013. Pediatric Appendicitis. [Online] Available from http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview
5. Gearhart, Susan L. and Silen, William. 2010. Acute Appendicitis and Peritonitis in Harrison’s Gastroenterology and Hepatology. New York : McGraw-Hill
6. Shah, Syed W.A., Khan, Chaudhry A., Malik, Sikandar A., Waqas, A., and Bhutta, Irtiza A.2011.Accuracy of Modified Alvarado Score in Diagnosis of Acute Appendicitis in Adults. Pakistan Armed Forces Medical Journal. Available from http://www.pafmj.org/showdetails.php?id=498&t=o
7. Kanumba, Emmanuel, S., Mabula, Joseph B., Rambau, P., and Chalya, Phillipo L. 2011.Modified Alvarado Scoring System as a Diagnostic Tool for Acute Appendicitis at Bugando Medical Centre, Mwanza, Tanzania. BMC Surgery.11 (4), pp : 1-5
8. Switzer, Noah J., Gill, Richdeep S., and Karmali, Shahzeer. 2012. The Evolution of Appendectomy : From Open to Laparoscopic to Single Incision. Diakses pada tanggal 16 Juli 2014. [Online] Tersedia pada http://www.hindawi.com/journals/scientifica/2012/895469/
9. Brunton, Laurence L., Chabner, Bruce A., and Knollman, BC. 2011. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics.12th edition. China : McGraw-Hill
24
10. Shresta, R., Ranabhat, SR., and Tiwari M. 2012. Histopathologic Analysis of Appendectomy Specimens.Journal of Pathology of Nepal.(2), pp : 215-219.
25