App Infiltrate Baru
-
Upload
nurul-huda -
Category
Documents
-
view
265 -
download
1
Transcript of App Infiltrate Baru
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Apendisitis infiltrat merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh
lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular.1
Periapendisitis infiltrate sering terjadi pada usia tertentu dengan range 22-30 tahun. Pada wanita dan laki-
laki insidensinya sama kecuali pada usia pubertas dan usia 25tahun wanita lebih banyak dari laki-laki dengan
perbandingan 3 : 2. Angka kematian berkisar 2-6%, 19 %kematian jika terjadi pada wanitahamil, dan pada amak
usia kurang dari 2 tahun meningkat hingga 20%.2,3
Morbiditas meningkat dengan bertambahnya usia, keterlambatan diagnosis, bila apendiks
tidak diangkat yang dapat menimbulkan serangan berulang. Sedangkan mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis
akut tidak pecah dan 5% jika pecah. Keterlambatan dalam mendiagnosis juga berpengaruh pada angka mortalitas
jika terjadi komplikasi.4
Komplikasi utamanya menurut Junaidi ; 1982 adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan
lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinu.
Apendektomi direncanakan pada apendisitis infiltrate tanpa pus yang sudah ditenangkan. Dimana sekitar
6-8 minggu sebelumnya diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Pada anak
kecil, wanita hamil , dan usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses
dianjurkan drainase saja dan apendektomi setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau
gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan pembatalan tindakan bedah.1 Menurut sumber lain mengatakan bila massa apendiks dengan
proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan,
karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan
sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana
tanpa perforasi.2
Pencegahan pada apendisitis infiltrat dapat dilakukan dengan cara menurunkan resiko obstruksi atau
peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara tuntas pada penderita apendisitisakut. Pola
eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat terjadi karena tidak adekuatnya diet serat, diet tinggi
serat. Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap
gejala dan tanda apendisitis dan apendisitis infiltrat meminimalkan resikoterjadinya gangren, perforasi, dan
peritonitis.1
I.2 Ruang lingkup
Pada kesempatan ini penulis berusaha membahas mengenai apendisitis infiltrate dan penanganannya.
Hal-hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi anatomi apendiks, definisi,insidensi, patofiologi, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penanganannya.
.I.3 Tujuan penulisan
Referat ini disusun untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik ilmu bedah dan diharapkan
dapatmenambah pengetahuan penulis juga sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya
kalanganmedis agar dapat membuat diagnosa, membuat perencanaan perioperatif appendektomi,
mampumengevaluasi tindakan yang telah dilakukan pada pasien post operatif appendektomi.
I.4 Teknik pengumpulan data
Dalam penyusunan referat ini , penulis menggunakan metode pengumpulan data secara tidak langsung
melalui study kepustakaan, yaitu dari buku-buku referensi dan pustaka elektronik yangberkaitan dengan tema
referat ini serta pengarahan dari narasumber yang berwenang serta ahli di bidangnya.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
II.1 AnatomiAppendiks merupakan organ berbentuk tabung. Pada orang dewasa panjang dariapendiks
sekitar 10 cm, diameter terluar bervariasi antara 3 sampai 8 mm dan diameter dalamlumennya
berukuran antara 1 sampai 3 mm, dan berpangkal pada sekum. Lumen appendikssempit dibagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk kerucut dengan
pangkal yang lebar dan menyempit ke bagian ujungnya. Bagian ujung dariappendiks dapat
berlokasi dimana saja pada kuadran kanan bawah dari abdomen atau pelvis.Basis dari
appendisitis dapat ditemukan dengan menelusuri taenia coli yang berjalan longitudinaldan
berkonfluensi pada caecum.
Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri ileocolica. Arteri
initerletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke mesoapendiks dekat dari basis
appendiks.Percabangan arteri kecil terbentuk pada titik tersebut dan meneruskan diri sebagai
arteri caecal.Perdarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral.Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, appendiks akan
mengalami gangren.
Suplai darah ileum terminalis, caecum, dan appendiks
Pengaliran aliran limfatik dari appendiks menuju nodus limfatikus yang terletak sepanjangperjalanan
arteri ileocolica. Inervasi dari appendiks berasal dari elemen simpatis pleksus mesentericsuperior (T10-L1), oleh
karena itu nyeri visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus. Serabutafferentnya berasal dari elemen
parasimpatis nervus vagus.
Gambaran histologis dari appendiks termasuk diantaranya: pertama, lapisan muskularis yangtidak
tersebar secara merata dan mungkin terdapat defisiensi pada beberapa lokasi. Kedua, submukosa,dimana terdapat
agregasi jaringan limfoid dengan atau tanpa disertai struktur tipikal dari centrumgerminativum. Pembuluh limfe
lebih prominen pada regio dibawah agregasi limfoid. Ketiga, mukosayang menyerupai dari usus besar kecuali
terdapat perbedaan densitas dari folikel limfoid. Kripta padaappendiks memiliki iregularitas baik dari ukuran dan
bentuk, berbeda dengan kripta pada colon yangmemiliki gambaran uniform.
Kompleks neuroendokrin dari appendiks yang terdiri dari sel ganglion, sel Schwann,
seratneural, dan sel-sel neurosekretorik terletak tepat dibawah dari kripta-kripta pada appendiks.
Serotoninmerupakan produk sekretorik utama dan dihubungkan dengan nyeri yang muncul pada appendiks
non-inflamasi. Kompleks ini diduga sebagai sumber dari tumor-tumor karsinoid, dan oleh karenanyaappendiks
dikenal sebagai tempat asal utama tumor-tumor karsinoid.
II.2 Fisiologi
Appendiks tidak memiliki fungsi yang sesuai dengan bentuk anatomisnya sebagai organberongga,
dimana fungsi dari appendiks ini tidak diketahui dengan pasti. Imunoglobulin sekretoar yangdihasilkan oleh
GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terdapat infeksi. Namundemikian, pengangkatan appendiks
tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfedi sini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Mukosa appendiks memiliki kemampuan yang sama dalam memproduksi cairan, musin, danenzim-
enzim proteolitik, Appendiks dapat menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebutnormalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.
II.3 Insidensi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya danterutama
terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkanperempuan
dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengankelompok ras lainnya.
Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.1
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapibeberapa
tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan olehmeningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan padasemua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi padakelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnyasebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi
lelaki lebih tinggi.6
II.4 Etiologi dan faktor resiko
Obstruksi lumen merupakan penyebab paling sering terjadinya appendisitis akut. Fekalit
adalahpenyebab paling sering terjadinya obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringanlimfe,
tumor, sayuran dan biji buah, serta parasit usus yang menyebabkan erosi mukosa seperti
E.histolytica. Frekuensi obstruksi meningkat dengan adanya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada
40%kasus appendisitis akut sederhana, 65% kasus adalah appendisitis gangrenosa tanpa disertai ruptur,
danhampir 90% kasus adalah appendisitis gangrenosa dengan ruptur.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
danpengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Sedangkan serat diperkirakan menurunkanviskositas
dari feses, menurunkan waktu transit di usus, dan melunakkan formasi dari fekalit. Konstipasiakan menaikkan
tekanan intracaecal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks danmeningkatnya pertumbuhan
kuman flora colon.
II.5 Patogenesis
Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop obstruction, dan produksisekresi
normal yang terus menerus dari mukosa appendiks menyebabkan distensi. Normalnya kapasitaslumen appendiks
hanya 0,1 mL. Sekresi sebanyak 0,5 mL meningkatkan tekanan intraluminal menjadi 60cm H2O. Distensi
appendiks menstimulasi saraf visceral afferen sehingga menyebabkan rasa tidak enak,rasa nyeri yang tumpul
dan merata pada mid-abdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik jugadistimulasi sehingga rasa seperti kram
perut sering menyertai. Distensi terus bertambah akibat sekresimukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari
bakteri appendiks yang cepat. Distensi yang besar inibiasanya menimbulkan reflek mual dan muntah. Dengan
meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks,tekanan vena menjadi besar. Kapiler dan venula tertutup,
tapi aliran masuk arteriola tetap sehinggamenghasilkan pembesaran dan kongesti. Proses inflamasi ini akan
mengenai lapisan serosa appendikssampai peritoneum parietalis. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya
perpindahan rasa sakit ke kuadrankanan bawah, dan terjadi dalam 24 ± 48 jam pertama.
Mukosa traktus gastrointestinal, termasuk appendiks, mudah terpengaruh akibat kerusakan
alirandarah. Hal ini mengakibatkan mudah terjadinya
invasi bakteri. Karena pertumbuhan bakteri yangberlebihan dan reaksi inflamsi (edem), dapat menyebabkan
appendiks menjadi semakin edem dan iskemi.Nekrosis dari dinding appendiks dapat menyebabkan translokasi
dari bakteri. Hal ini yang disebutsebagai
appendisitis gangrenosa. Bila tidak ditangani, appendiks yang mengalami gangren tersebutakan pecah (
appendisitis perforasi) dan mengeluarkan isi appendiks ke cavum peritoneal.
.Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup appendiks denganomentum,
usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular yang secara salah dikenaldengan istilah
infiltrat appendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses (appendiceal abses
) yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya mengurai diri secara lambat.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringanparut
yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan
keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika, organ ini dapat meradang akut lagi dandinyatakan
sebagai mengalami eksaserbasi akut (appendicitis kronik eksaserbasi akut).
II.6 Gambaran klinis
Nyeri abdomen adalah gejala utama pada appendisitis akut. Secara klasik, nyeri tersebut tersebar merata
pada epigastrium bawah atau daerah umbilical, nyerinya berat dan menetap, kadang-kadangdisertai dengan rasa
seperti kram perut. Setelah 1 ± 12 jam (rata-rata 4 ± 6 jam) rasa nyeri tersebutdirasakan di perut kanan
bawah. Tetapi pada beberapa pasien, rasa sakit appendisitis mulai di perut kananbawah dan menetap. Variasi
lokasi anatomi menentukan pula variasi dari lokasi rasa nyeri, contohnya,appendiks yang panjang dengan
inflamasi pada ujung tepi di perut kiri bawah menyebabkan rasa nyeri didaerah tersebut; appendiks retrocaecal
dapat menyebabkan rasa seperti sakit pinggang; appendiks pelvismenyebabkan nyeri dearah suprapubik; dan
appendiks retroileal dapat menyebabkan nyeri testikular, yangsering dikira sebagai iritasi dari a. Spermatica dan
ureter.
Anoreksia biasanya sering dialami pada penderita appendisitis. Walaupun muntah ada pada 75%pasien,
tetapi biasanya tidak menetap dan sebagian besar pasien hanya muntah 1 atau 2 kali. Muntahdisebabkan karena
stimulasi neural dan adanya ileus.
Kebanyakan pasien ada riwayat obstipasi sebelum timbulnya nyeri. Tetapi pada sebagian
pasien,terutama anak-anak terjadi diare. Urutan kemunculan gejala
mempunyai perbedaan yang signifikandalam mendiagnosis banding. Lebih dari 95% pasien appendisitis akut,
anoreksia merupakan gejala yangpertama muncul, diikuti dengan nyeri perut, serta muntah (bila ada). Bila
muntah merupakan gejala yangpertama kali dirasakan, diagnosa appendicitis masih harus dipertanyakan.
Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan
tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian
akantimbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi,
seringappendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80 ± 90% appendisitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi.
Pada orang berusia lanjut, gejalanya juga sering samar-samar saja. Tidak
jarang terlambatdidiagnosis. Akibatnya lebih dari ½ penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada pasien-pasien khusus, seperti pasien yang dalam penggunaan imunosupresan, pasien
yangmenerima transplantasi organ, pasien dengan HIV, pasien dengan diabetes melitus, pasien yang
mengidapkanker atau yang sedang menerima kemoterapi, dan pada pasien-pasien yang obesitas, gejala
yangdirasakan hanyalah rasa tidak enak secara umum.
II.7 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan apakah appendiks sudah mengalami
ruptur ketika pasien pertama kali di periksa. Tanda-tanda vital hanya mengalami sedikitperubahan
pada appendicitis tanpa komplikasi. Kenaikan suhu jarang melebihi 1oC (sekitar 37,5 ± 38,5oC) dan nadi
normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda-tanda vital yang bermakna biasanyamengindikasikan adanya
komplikasi atau adanya penyakit lain.
Pasien dengan appendisitis biasanya lebih enak dengan posisi supine (telentang) dengan tungkaiatas
ditarik, karena adanya gerakan meningkatkan rasa nyeri. Apabila diperintahkan untuk bergerak,mereka akan
melakukannya dengan perlahan-lahan dan dengan hati-hati.
Tanda ´klasik´ kuadran kanan bawah muncul bila appendiks terdapat pada posisi anterior. Rasanyeri
terutama pada titik Mc Burney atau sekitar Mc Burney. Hal ini mengindikasikan adanya iritasilokal peritoneum.
Rovsing’s sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika di tekan pada kuadran kiri bawah(daerah
kontralateralnya).Hal ini mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.
Blumberg sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan pada kuadran kiri bawah(daerah
kontralateralnya) dilepaskan.Hal ini mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.
Psoas sign : Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otottersebut. Pasien berbaring pada
sisi kiri, pemeriksa pelan-pelanmengekstensikan paha kanan yang mengakibatkan peregangandari m.
Iliopsoas. Test (+) bila ekstensi menimbulkan rasasakit karena appendiks yang meradang menempel di m.Psoas.
Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya denganmeregangkan m. Obturator internus,
dan melihat apakahappendiks yang meradang kontak dengan muskulus tersebut.Pasien dalam posisi telentang,
paha kanan dalam posisi fleksilalu dilakukan rotasi interna secara pasif.
Dunphy’s sign : Adanya rasa nyeri yang tajam pada kuadran kanan bawah bilasengaja dibatukkan (cough
sign).
Cutaneus hiperestesi sering menyertai. Dipersarafi oleh n. Spinalis bagian kanan dari Th
10, 11,dan 12. Tahanan muskuler dinding abdomen berjalan sesuai dengan proses inflamasinya. Adanya
defansmuskular ini menunjukkan rangsangan peritoneum parietale. Variasi posisi anatomik
dari appendiksmenyebabkan gejala yang berbeda pula. Pada appendiks retrocaecal, rasa nyeri pada abdomen
anterior jarang, dan pasien lebih banyak mengeluhkan rasa nyeri pada pinggang kanan sampai
ke belakang. Padaappendiks letak pelvik, tanda-tanda pada abdomen bisa tidak ada sama sekali dan bisa tidak
terdiagnosis
bila Rectal Touche (RT) tidak dilakukan. Rectal touche juga untuk membedakan ada atau tidaknya suatumassa.
Hubungan Patofisiologi dengan Manifestasi Klinik
Kelainan Patologi Gejala dan TandaPeradangan awal Kurang enak ulu hati, mungkin kolik
Appendicitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah (rangsanganotonomik)Radang di seluruh ketebalan dinding Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,mual, dan muntah
Appendicitis komplit / radang peritoneumparietal appendiks
Rangsangan peritoneum lokal (somatik),nyeri pada gerak aktif dan pasif, defansmuskular local
Radang jaringan yang menempel pada appendiks Genitalia interna, ureter, m. Psoas, vesicaurinaria, rectum
Appendicitis gangrenosa Demam, takikardi, leukositosis
Perforasi Nyeri dan defans muskular seluruh perut
Pebandingan :
Tidak berhasil Berhasil Abses
Sda + demam tinggi, dehidrasi, syok,toksik
Massa perut kanan bawah, keadaan umumberangsur membaik
Demam remiten, KU toksik, keluhan dantanda setempat Sumber : Sjamsuhidajat, 1997
II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Pada laboratorium darah terdapat leukositosis ringan (10.000 ± 18.000 / mm3) yang didominasi >75% oleh sel
polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the left) pada 90% pasien. Hal ini biasanyaterdapat pada
pasien dengan akut appendicitis dan appendicitis tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000 / mm3
meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan / tanpa abses.
Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendicitis adalah C-reaktif protein. CRPmerupakan
reaktan fase akut terhadap infeksi bakteri yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulaimeningkat pada 6 -12 jam
setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarangdigunakan karena tidak spesifik.
Spesifisitasnya hanya mencapai 50 - 87% dan hasil dari CRP tidak dapatmembedakan tipe dari infeksi bakteri.
Pemeriksaan urinalisa sering dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan keluhan nyeri perut.Hal ini
dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya infeksi saluran kemih (ISK).
RADIOLOGI
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnose banding. Pada appendicitis akut
dapat terlihat abnormal ´gas pattern´ dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalit dapat
mendukungdiagnosa. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level, peningkatandensitas jaringan lunak pada
kuadran kanan bawah, perubahan bayanganpsoas line, dan free
air (jarang) bila terjadi perforasi. Pemeriksaan inimungkin berguna pada pasien dengan gejala dan tanda-tanda
yang tidak khas.Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atauharus dikerjakan
dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut.
Ultrasonografi
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis appendicitis. Tekniknya tidak mahal,dapat
dilakukan dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasienyang
sedang hamil karena tidak menggunakan paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasisebagai
´blind end ,́ tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendicitis akutadalah adanya
Noncompressible appendiks sebesar 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanyaappendicolith,
interupsi pada kontinuitas jaringan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal.
Sensitivitas sonografi dalam mendiagnosis appendicitis sebesar 55 ± 96% dan spesifisitas 85
± 98%. False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada pasien yang obese hasilnyabisa
tidak akurat. Sedangkan false (-) didapat pada appendiks letak retrocaecal dan appendiks
yangmembesar. Hal ini tergantung kemahiran operator.
Gambaran transverse graded compression yang menunjukkan inflamasi akut dari appendiks. Adanya gambaran target like appearance karena penebalan dari dinding appendiks dan cairan pada sekelilingnya.
Computed Tomography
CT-scan sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi pada abdomendan
adanya gejala tidak khas untuk appendicitis. Appendiks normal akan terlihat sebagai struktur tubular tipis pada
kuadran kanan bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagaikalsifikasi
homogenus berbentuk cincin, dan terlihat pada 25% populasi.
Gambaran sagital graded compression yang menunjukkan
inflamasi akut dari appendiks. Struktur tubular noncompressible,
kurangnya gerakan peristaltik, diameter >6mm, dan adanya cairan periappendiceal.
Appendicitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-scan apabila didapatkan appendiks yangabnormal
dengan inflamasi pada periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi ataumenebal dan
membesar > 5 ± 7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah abses, kumpulan
cairan, edem, dan phlegmon. Inflamsi periappendiceal atau edem terlihat sebagaiperkaburan dari lemak
mesenterium (´dirty fat ´), penebalan fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran
kanan bawah. CT-scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami penanganan gejala klinis yang telat
(48 ± 72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses.
Fekalit dapat dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalit bukan patognomonik adanya
appendicitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang disebabkan penebalan dari caecum. Tingkat
sensitivitas 92 - 97%, spesifisitas 85 ± 94%, keakuratan 90- 98%, positive predictive value 75 -95%,
negative predictive value 95 - 99%. Kerugiannya mahal, menggunakan radiasi, dan tidak dapatdigunakan saat
hamil.
Barium Enema
Pemeriksaan tambahan lain yang berguna adalah barium enema. Pemeriksaan ini dikatakan positif bila
menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi dari caecum. Hal ini menunjukkanadanya
inflamasi pericaecal. False negative (partial filling)didapatkan pada 10% kasus. Barium enemaini sudah
tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita appendicitis akut.
Dalam rangka meningkatkan tingkat akurasi dari diagnosis apendisitis, maka telah disusunsebuah system
penilaian yang dibuat berdasarkan penelitian secara retrospektif oleh Alvarado. Sistem penilaian ini meliputi
gejala-gejala (nyeri yang berpindah dari periumbilikal ke perut kanan bawah, mualdan penurunan nafsu makan),
tanda-tanda (nyeri tekan pada perut kanan bawah, nyeri lepas, dan demam),dan pemeriksaan laboratorium
(leukositosis dan pergeseran ke kiri).
Gambaran pelebaran appendiks dengan penebalanpada
dindingnya, tidak terisi dengan kontras.
Alvarado Score:
Appendicitis point pain : 2
Lekositosis : 2
Vomitus : 1
Anorexia : 1
Rebound Tendeness Fenomen : 1
Degree of Celcius (.>37,5) : 1
Observation of hemogram : 1
Abdominal migrate pain : 1 +
Total : 10
Dinyatakan appendisitis akut bila skor > 7 poin
(De Jong 2005)
II.9 DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.Inflamasi
dari diverticulum Meckel’s jarang ditemukan, namun penyakit ini memiliki pathogenesis danperjalanan penyakit
yang menyerupai appendicitis.
Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih dominan, perludipertimbangkan
gastroenteritis sebagai diagnosis banding, terutama apabila gejala-gejala gastrointestinaltersebut mendahului gejala
nyeri perut, namun nyeri perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas.Hiperperistaltik lebih sering ditemukan.
Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkanapendisitis akut.
Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau batu ginjal kanan). Adanya riwayat kolik dari
pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria seringditemukan.
Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritissering disertai
dengan demam tinggi, menggigil, nyeri costovertebral di sebelah kanan dan piuria.
Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma dengan perforasike dalam
sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala nyeri yang akut disertai tanda-tandaperangsangan
peritoneum. Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi apendisitis sekunder akibatobstruksi lumen sekum oleh
karena karsinoma. Limfoma pada ileum terminal juga dapat memberikangejala-gejala yang menyerupai
appendicitis. Secara umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapatditemukan tinja dengan test guaiac yang
positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan kronisdari pola defekasi.
Pada wanita usia muda , penyebab dari nyeri perut kanan bawah termasuk yang telahdisebutkan diatas
dan ditambah dengan kelainan-kelainan seperti: rupture dari kista maupun folikel ovarii,torsio ovarii, kehamilan
ektopik, juga salpingitis akut. Pada wanita usia premenopause, endometriosismerupakan salah satu penyebab dari
nyeri perut bawah kronik, yang pada keadaan akut seringmenyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat
berbagai kelainan ginekologis yang dapat menyerupaiapendisitis maka perlu ditanyakan riwayat ginekologis
pasien dan pola siklus menstruasinya.
II.10 PENATALAKSANAAN
Indikasi Operasi
Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan yang mendukung,hal
tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi), kecuali pada kasus-kasus tertentuseperti halnya
pada keadaan dimana masa akut telah dilewati namun muncul komplikasi denganterbentuknya abses. Pada
beberapa kasus dapat digunakan antibiotic sebagai terapi tunggal untuk mengurangi massa abses tersebut.
Bila massa abses telah terbentuk di ekitar apendiks maka basis darisekum akan sulit untuk ditemukan, selain itu
tindakan operatif secara aman akan sulit untuk dikerjakan.
Persiapan pre-operasi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis sudah dapat ditegakkandan
manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus dipantau dengan ketat menggunakanindicator klinis
seperti nadi, tekanan darah, dan jumlah pengeluaran urine.
Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan cephalosporine generasi 2 secaratunggal atau
dikombinasikan dengan antibiotic spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob(e.coli) dan anaerob
(bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic bukan untuk memberantas
apendisitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan komplikasi, antibioticumumnya diberikan untuk
mengurangi insidens infeksi dari luka dan peritoneum bagian dalam setelahoperasi dan melindungi terhadap
kemungkinan terjadinya bakteremia.
Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa pembentukan abses maupunbakteremia, maka
pemberian antibiotic ditujukan untuk mengobati komplikasi tersebut. Terdapat beragampendapat tentang
pemberian antibiotic profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa:
1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang dapat timbuloleh
karena luka pada kasus non-komplikata
2. Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotic adalah sesaat sebelum pembedahan atau padasaat
pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang optimal pada saat akan dilakukan incise
3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis tunggal. Penambahandosis
setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan resiko infeksi lebih lanjut.
Pertimbangan Operatif
Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan secaratradisional
(terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai penelitian yangmembandingkan antara pendekatan
secara terbuka maupun dengan laparoskopi. Berdasarkan informasiterkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus
apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan secaralaparoskopik dapat mengurangi nyeri, kebutuhan untuk
dirawat dan juga menurunkan insidens infeksipada luka setelah operasi. Pasien juga dapat kembali bekerja lebih
awal.
Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan gambaran inflamasi. Halpenting
yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi apendiks sampai ke basis, yaitu padapertemuan taenia di
dinding sekum. Kegagalan dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nyadapat mengingkatkan resiko
terjadinya apendisitis rekuren. Mengingat bahwa terdapat beberapa laporanterjadinya appendicitis rekuren, maka
penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnyaapendisitis rekuren meski terdapat riwayat
operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata. Apabila diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh
karena adanya inflamasi ataupun pembentukan abses,sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam
kavum peritoneum. Tindakan ini bermanfaat untuk mengalirkan materi fekal maupun pus keluar sehingga
mencegah tertimbunnya materi-materi tersebutkedalam kavum peritoneum.
Pasca Operasi
Kasus-kasus apendisitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan makan segera setelahmereka merasa
mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-48 jam. Pemberian antibiotic dan dekompresidengan
nasogastric tube pasca operasi tidak rutin dikerjakan pada pasien apendisitis tanpa komplikasi.Pada kasus-
kasus yang disertai dengan peritonitis, pemberian antibiotic diberikan hingga 5-7 hari setelahoperasi.
II.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupunperforasi
pada appendiks yang telah mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri darikumpulan apendiks,
sekum dan lekuk usus halus
.Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat
diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasijarang
terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kananbawah
dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, danleukositosis semakin jelas.
Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadisejak pasien pertama kali datang,
diagnosis dapat ditegakan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asalperforasi.
Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium(setengah duduk),
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang,pemberian antibiotik spektrum luas
dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasilkultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan
penanganan syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderungmengelembung
ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin,gentamisin, metronidazol
atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, danapendektomi dapat dilakukan 6-12
minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segeradilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang
menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasipositif juga perlu dilakukan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yangletal. Hal ini
harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelahterjadi perforasi
apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominallain.
Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahFakultas
Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Umum Kodya Semarang 21
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yangletal. Hal ini harus kita
curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelahterjadi perforasi apendik. Pada
kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominallain.
Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
II.12 PROGNOSIS
Sebagian besar pasien apendisitis sembuh dengan mudah melalui terapi operatif, namunkomplikasi dapat
muncul apabila terjadi keterlambatan dalam penatalaksanaan atau bila sudah terjadiperitonitis. Waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan sangat bergantung pada usia, kondisi fisik,komplikasi, dan keadaan-keadaan
lainnya, termasuk konsumsi alcohol, namun biasanya untuk penyembuhan memerlukan waktu sekitar 10 dan 28
hari. Pada anak-anak (usia kurang lebih 10 tahun),penyembuhan memerlukan waktu sekitar tiga minggu.
Peritonitis yang mengancam nyawa merupakan alasan mengapa apendisitis akut memerlukanevaluasi
dan penatalaksanaan secara cepat. Apendisitis tipikal memberikan respon yang sangat baik dengan apendektomi,
dan terkadang dapat sembuh dengan spontan. Apabila apendisitis sembuh denganspontan, masih merupakan
kontroversi mengenai perlu tidaknya tindakan apendektomi elektif untuk mencegah apendisitis rekuren.
Apendisitis atipikal (dihubungkan dengan apendisitis supuratif) lebih sulit untuk didiagnosis danlebih
cenderung untuk terjadi komplikasi meskipun telah dilakukan operasi secara dini. Pada keduakeadaan diatas
diagnosis secara tepat dan apendektomi memberikan hasil yang baik, dan penyembuhanpenuh terjadi antara dua
sampai empat minggu. Mortalitas dan komplikasi berat umumnya jarang ditemui,namun dapat terjadi apabila
peritonitis berlanjut dan tidak mendapat terapi. Terdapat pula topicpembahasan yang sering mendapat perhatian
mengenai massa apendikular, yaitu terbentuknya suatumassa yang terdiri dari omentum dan usus yang saling
melekat, hal ini terjadi apabila apendiks tidak segera dipindahkan dengan segera selama terjadinya infeksi. Selama
masa ini, tindakan apendektomi akansangat beresiko kecuali bila didapatkan pembentukan pus yang dibuktikan
dengan adanya demam dantoksisitas atau dengan USG.
Stump appendicitis, merupakan suatu komplikasi yang jarang ditemui, yaitu terjadinya inflamasipada sisa
apendiks yang tertinggal setelah apendektomi yang tidak komplit.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Appendicitis inflitrat sebenarnya adalah istilah yang salah, seharusnya disebut dengan
massaperiappendikular. Massa appendiks ini terjadi bila appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupioleh
pendindingan oleh omentum dan / atau lekuk usus. Umumnya massa appendiks terbentuk pada harike-4
sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa appendiks lebih seringdijumpai pada
pasien berumur > 5 tahun karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik danomentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.
GEJALA DAN TANDA
Gejala klinisnya sama dengan gejala appendicitis ditambah dengan terabanya massa pada kuadrankanan
bawah.
TERAPI
Pada massa periappendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaranpus
ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,disarankan
massa periappendikular yang masih mobile
di operasi segera untuk mencegah penyulittersebut. Disamping itu, operasi masih mudah.Pada massa
periappendikular yang terfiksir dan pendindingan sempurna, dirawat dulu dan diberiantibiotik. Hal-hal yang perlu
diperhatikan antara lain :
Suhu tubuh
Ukuran massa
Luasnya peritonitis
Leukosit
Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikular hilang, dan leukosit normal, penderita bolehpulang dan
appendektomi elektif dapat dikerjakan 2 ± 3 bulan kemudian agar perdarahan akibatperlengketan dapat ditekan
sekecil mungkin (interval appendektomi)
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2
2. Addis DG, Shaffer N, Fowler BS,et al :The epidemiology of appendicitis aappendectomy
inUnited States.Am J Epidemiol 132:910,1990
3. Flum DR, Morris A, Koepsell T,et al: Has misdiagnosis of appendicitis decreased over
time? Apopulation-based analysis.JAMA286:1748,2001
4. Harken. H Alden, Moore. E,Ernest.,2009. Aberanathy’s Surgical Edisi 6;188