Post on 15-Feb-2015
description
Refarat
Kejang Pada Neonatus
Danio J Bunda
Bagian-SMF Ilmu Kesehatan Anak
FAkultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
RSUD Prof. DR. Dr. W.Z. Johannes
PENDAHULUAN
Sulitnya mengenal bangkitan kejang pada bayi baru lahir (BBL), menyebabkan angka
kejadian sesungguhnya sulit diketahui.1Angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-
1.2 setiap 1000 BBL pertahun2, sedangkan kepustakaan lain menyebubkan 1-5% bayi pada bulan
pertama mengalami kejang. Insidens meningkat pada bayi kurang bulan (BKB) sebesar 57-132
dibandingkan bayi cukup bulan (BCB) sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Kepustakaan
lain menyebutkan insidensi 20% pada BKB dan 1.4% pada BCB. Sekitar 70-80% BBL secara
klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografi masih mengalami kejang. Pada neonatus
kurang bulan, 70% kejang disebabkan oleh perdarahan intraventrikular.3Insidensi kejadian dini
(terjadi kurang dari 48 jam setelah lahir) pada bayi aterm telah diajukan sebagai indikator dari
kualitas perwatan perinatal karena penyebab tersering pada kelompok bayi ini adalah
ensefalopati iskemikhipoksik(EIH).1
Manifestasi klinis kejang sangat bervariasi bahkan sering sulit dibedakan dari gerakan
normal bayi itu sendiri. Oleh karena itu diagnosis yang cepat dan terapi tepat merupakan hal
yang penting, karena pengenalan kondisi yang terlambat meskipun tertangani akan dapat
meninggalkan kejadian berulang pada sistem saraf. Spasme pada tetanus neonatorum hampir
mirip dengan kejang, tetapi kedua hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya
berbeda.1,4
DEFENISI
Kejang pada BBL secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik yang
terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari.1,3 Menurut kepustakaan lain kejang adalah
episode kehilangan kesadaran yang berhubungan dengan kegiatan motorik atau sistem otonom
abnormal.5
1
PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lonjatan muatan listrik yang berlebihan dan berirama pada otak atau
gangguan depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang.6Depolarisasi pada saraf
terjadi akibat masuknya natrium dan repolarisasi terjadi karena keluarnya kalium melalui
membrane sel. Untuk mempertahankan potensial membrandibutuhkan energi yang berasal dari
ATP dan tergantung pada mekanismepompa yaitu keluarnya natriumdan masuknya kalium.1
Depolarisasi yang berlebihan dapat disebabkan oleh beberapa hal:
1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan mekanisme pompa natrium
dan kalium. Hipoksemia dan hipoglikemia dapat mengakibatkan penurunan produksi
energi yang tajam.
2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmiter dapat mengakibatkan kecepatan
depolarisasi yang berlebihan.
3. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksibisi neurotransmiter dapat mengakibatkan
kecepatan depolarisasi yang berlebihan.
Perubahan fisiologikimia darah yang terjadi selama kejang berupa penurunankadar
glukosa otak yang tajam dibanding glukosa darah yang tetap normal atau meningkat, disertai
peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi pada otak tidak dapat
mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen dan aliran darah otak juga
meningkat untuk memenuhi kebutuhan glukosa dan oksigen. Laktat terakumulasi selama kejang
dan pH arteri sangat menurun. Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik.
Efek dramatis jangka pendek ini diikuti oleh perubahan struktur sel dan hubungan sinaps.1
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi dan fisiologi
pada masa perinatal sebagai berikut:1
Susunan anatomi saraf pusat perinatal:
- Susunan dendrit dan remifikasi yang masih dalam proses pertumbuhan
- Sinaptogenesis belum sempurna
- Meilinisasi pada sistem eferen di kortikal belum lengkap
Keadaan fisiologi perinatal
- Sinaps exitatori berkembang mendahului inhibisi
2
- Neuron kortikal dan hipokampus masih imatur
- Inhibisi kejang oleh sistem subtansi nigra belum berkembang.
Teori lain mengatakan bahwa penyebab kejang lainnya pada neonatusadalah adanya glutamat
yang menduduki reseptor dari kalsium dan kalium. Mekanisme tersebut masih belum dapat
dijelaskan lebih terperinci.2
ETIOLOGI
Kejang pada BBL dapat terjadi karena kelainan primer di SSP melalui proses intrakranial
atau sekunder karena masalah sistemik atau metabolik.1
EIH merupakan penyebab kejang tersering (60-65%)pada BBL, biasanya terjadi dalam
waktu 24 jam pertama, sering dimulai 12 jam pertama dan dapat terjadi pada BCB maupun BKB
terutama bayi dengan asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik.
Kasus EIH disertai kejang, 20% akan mengalami infark serebral. Manifestasi klinis ensefalopati
hipoksik iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium yaitu; ringan, sedang dan berat. Manifestasi
kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.1
Trauma saat lahir dapat menyebabkan kejang pada BBL karena komplikasi dari trauma
adalah perdarahan intrakranial. Trauma yang akan dibahas adalah trauma pada proses
kelahiran.Perdarahan intrakranial seperti perdarahan interventrikel adalah penyebab kejang
tersering pada bayi preterm. Scher menemukan 45% bayi pretermkhususnya dibawah 30 minggu
umur kehamilan yang mengalami kejang disebabkan oleh perdarahan matriks germinal atau
intraventrikel. Kejang yang disebabkan oleh perdarahan intrakranial biasanya muncul dalam 72
jam. Gejala yang biasa muncul adalah apnu, fontanella yang menonjol, hipertonus dan kejang.3,8
Salah satu gangguan metabolik sebagai penyebab kejang adalah hipoglikemik. Bayi
dengan glukosa darah <45mg/dL disebut hipoglikemia. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan
berulang dapat mengakibatkan dampakyang menetap pada SSP.BBLyang mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya hipoglikemia adalah bayi kecil untuk masa kehamilan, bayi besar masa
kehamilan dan bayi dengan ibu yang menderita DM.Hipoglikemik atau kadar glukosa dibawah
35 atau 40mg/dL dapat menjadi penyebab dasar dari kejang BBL dan gejala klinis lainnya seperti
apnu, letargi dan jitterness. Kejang karena hipoglikemik ini sering dihubungkan dengan
3
penyebab kejang lain. Hanya sekitar 3% yang benar-benar disebabkan oleh hipoglikemik. Faktor
yang paling kritis pada hipoglikemia yang berhubungan dengan gejala neurologik adalah masa
atau durasi terjadinya hipoglikemia dan jumlah waktu yang terbuang sebelum dimulainya
terapi.1,3,9
Gangguan metabolik penyebab kejang lainnya adalah hipokalsemia atau
hipomagnesemia. Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia terjadi pada hari pertama dan
kedua. Lebih sering didapatkan pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sering
dihubungkan dengan keadaan asfiksiaserta bayi dari ibu dengan DM. Kejadian kejang lambat
(setelah hari ke 2 setelah lahir) akibat hipokalsemia pada BCB yang mendapat susu formula yang
mengandung rasio fosfat dengan magnesium kurang optimal. Setengah dari bayi pada penelitian
Brown dkk mengalami hipokalsemia.Defenisi hipokalsemia adalah kadar kalsium <7,5mg/dL
(1.87mmol/L), keadaan ini biasanya disertai dengan kadar fosfat >3mg/dL (0.95mmol/L), seperti
hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas atau kesulitan
persalinan dan asfiksia. 1,9,10
Mekanime terjadinya hipokalsemia dan hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada
bayi BBLR disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang belum berhenti
harus dipikirkan adanya hipomagnesemia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi
bersama-sama dengan hipokalsemia dan perlu diterapi agar agar memberikan respon yang baik
untuk menghentikan kejang.
Hiponatremia dan hipernatremia, kadar natrium yang sangat tinggi, sangat rendah atau
yang mengalani perubahanyang sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndron
of Inappropiate Anti-Diuretic Hormon (SIADH), syndrome Barter atau dehidrasi berat dapat
menyebabkan kejang.SIADH berhubungan dengan keadaan sekunder dari meningitis atau
perdarahan intrakranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang berlebihan atau asupan cairan
yang mengandung natrium yang rendah, hiponatreia dapat terjadi akibat minum air, infus
intravena yang berlebihan.1
Kejang yang disebabkan oleh gangguan metaboliklainnya adalah kernikterus
atauensefalopati bilirubin. Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang
disertai peningkatan serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan kerusakan otak
4
pada BCB apabila melebihi 20mg/dL. Pada bayi prematur yang sakit, kadar 10mg/dL sudah
berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar
bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang sakit
dengan sindrom disstres pernafasan dan asidosis memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya
kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan reflek menghisap
yang lemah. Pada hari kedua tampak demam, rigiditas dan posisi opistotonus. Selanjutnya
gambaran klinisbulan pertama menunjukkan tonus otot meningkatprogresif.1
Kejang juga disebabkan oleh infeksi. Infeksi terjadi padasekitar 5-10% dari seluruh
peyebab kejang BBL.Bakteri, virus maupun konggenital dapat menyebabkan kejang pada BBL,
biasanya terjadi setelah minggu pertama kehidupan. Infeksi TORCH selama kehamilan dapat
menyebabkan ensefalopati dan kemungkinan gangguan otak yang lebih berat. Penyebab infeksi
lainnya adalah entrovirus dan parvovirus. Jika kejang disebabkan oleh infeksi rubella,
toxoplasmosis dan cytomegalovirus maka gejala yang muncul adalah mikrosefali, jaundice,
hepatosplenomegali. Bakteri penyebab kejang adalah bakteri yang menginfeksi setelah bayi
dilahirkan. Bakteri tersebut antara lain E. colli, Group B Streptococcus, Listeria
Monocytogenesdan mycoplasma. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan abses otak dan
menimbulkan gejala yang berulang.3
Kejang yang berhubungan dengan obat berhubungan dengan mekanisme putus obat.
Kecanduan ibu pada methadone sering dikaitkan dengan kejang BBL karena efek putus obat dari
kecanduan heroin. Bayi yang lahir dariibu yang ketagihan dengan obat narkotik selama hamil,
dalam 24 jam pertama dilahirkan terdapat gejala gelisah, jitterness dan kadang-kadang terdapat
kejang. Kejang tersebutdapat menetap untuk beberapa bulan. Kelainan elektrografis terdapat
pada 50% BBL yang terpapar kokain menetap hingga 1 tahun. 3
Kejang juga dapat disebabkan karena agen anastesi lokal atau blok pada ibu yang masuk
dalam sirkulasi janin. Keadaan ini dapat terjadi akibat anatesi blok paraservikal, pudendal atau
epidural serta anestasi lokal pada episiotomy yang tidak tepat.1Kita curigai intoksikasi bila
ditemukan pupil tetap dilatasi saat pemeriksaan reflekpupil dan gerakan mata terfiksasi pada
reflek okulosefalik (reflek doll’s eye menghilang). Bayi yang baru lahir menunjukkan skor
APGAR yang rendah, hipotonia dan hipoventilasi. Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama
5
kelahiran. Prognosisnya baik bila diberikan pengobatan suportif yang memadai danakan
membaik setelah 24-48 jam.1
Penyebab kejang lainnya yang jarang terjadi adalah gangguan perkembangan otak.
Kelainan otak yang sering ditemukan adalah disgenesis korteks serebri suatu keadaan yang dapat
disertai keadaan lain seperti dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus. Kelainan migrasi sel saraf
seperti linsensefali dapat menyebabkan kejang pada BBL.Kelainan bawaan lainnya adalah
sindrom genetik seperti sindrom Zellweger dan sindrom Smih-Lemi-Opitz. Pemeriksaan patologi
anatomi menunjukkan kelainan perkembangan otak seperti mikroglia, pakigiria dan heteropia.1
Kejang pada BBL ada yang belum diketahui penyebabnya yaitu kejang familial jinak
yang diturunkan secara autosomal dominan karena adanya mutasi pada kromoson 20q13.3 dan
8q.24. Kejang terjadi antara hari kedua dan hari kelima belas sesudah lahir dan 80% di mulai
pada hari ke 2 dan 3 sesudah lahir. Kejang biasanya klonik, sering berulang sampai beberapa
puluh kali perhari tetapi berhenti secara spontan setelah beberapa lama, biasanya serangan
kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada keadaan kejang bayi tampak normal. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga ada yang mengalami kejang. Kelainan EEG yang
spesifik berupa gelombang datar yang diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat
dihentikan dengan obat-obatan biasa dan prognosisnya baik.1,3,8,9
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat yang
berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang, pemeriksaan fisis serta
pemeriksaan penunjang.1,3
Pada anamnesis ditanyakan riwayat kejang dalam keluarga atau anak sebelumnya pernah
kejang, riwayat kehamilan seperti tanda-tanda infeksi TORCH, preeklamsi, gawat janin,
pemakaian obat dan narkotika, imunisasi anti tetanus.Ditanyakan pula riwayat persalinan
asfiksia, episode hipoksik, trauma persalinan, ketuban pecah dini dan teknik anastesi. Pada
riwayat pascanatal ditanyakan keadaan pasien setelah lahir, warna kuning pada kulit dan waktu
muncul kuning, perwatan tali pusar yang steril, faktor pemicu kejang seperti suara yang ribut dan
gerakan abnormal yang terjadi pada pasien.1
6
Manifestasi klinik, pada BBL sangat berbeda dengan kejang padaanak yang lebih besar
bahkan BKB berbeda dengan BCK. Perbedaan ini karena perbedaan susunan neuroanatomik,
fisiologis dan biokimia pada berbagai tahap perkembangan otak berlainan. Meskipun komponen
korteks BBL relatif lengkap tetapi sinaps aksodendrit masih kurang dan demielinisasi sel otak
belum sempurna terutama antara kedua hemisfer. Kejang pada BBL biasanya fokal atau agak
sulit untuk dinilai. Sering juga timbul kejang klonik yang berpindah-pindah, kejang pada
ekstremitas hemilateral atau kejang primitif subkortikal (apnea, gerakan mengunyah, gerak mata
abnormal, perubahan tonus ototperiodik). Kejang tonik klonik/grand mal jarang terjadi pada
BBL.1,3,4,8-11
Berdasarkan tipenya, kejang pada neonatus dibagi menjadi subtle, tonik, klonik, maupun
mioklonik. Subtlemerupakan gerakan tersering (50% ) dari semua kejang pada BBL. Gerakan
berupa gerakan mengunyah, produksi saliva berlebih, apnea, berkedip, nistagmus,gerakan
mengayuh atau mendayung. Kejang klonik fokal berupa gerakan bergetar 1 atau 2 ekstremitas
pada sisi unilateral, pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4 kali/detik, sedangkan pada kejang
klonik multifokal, walaupun terjadi pola gerakan yang sama namun lokasi kejangnya berbeda,
dimana pada multifokal terdapat lebih dari 1 fokus atau migrasi gerakan yang secara acak
berpindah dari ekstremitas satu ke ekstremitas lainnya. Kejang klonik merupakan petunjuk dari
lesi fokal yang mendasari seperti infark korteks, dapat juga disebabkan gangguan metabolik.
Klonik fokal terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral
dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekwensi 1-4
kali perdetik. Klonik multifokal terdapat lebih dari satu fakus gerakan yang kemudian secara
acak pindah ke ekstremitas lainnya. Kejang tipe ini sering terjadi pada BCB dengan berat lebih
2.500 gr. Tipe lain yaitu kejang tonik fokal yang ditandai dengan postur badan atau ekstremitas
yang asimetris dan menetap atau kaku tanpa adanya gerakan matayang abnormal, sedangkan
pada kejang tonik umum terjadi ekstensi dari badan dan ekstremitas yang menyerupai
dekortikasi. Kejang tonik sering terjadi pada bayi BBLR, BKB dan bayi dengan perdarahan
intraventrikular. Kejang mioklonik merupakan jingkatan setempat atau menyeluruh tungkai atau
badan berupa gerakan fleksi seketika seluruh tubuh terutama otot-otot fleksor distal. Gerakan
pada kejang tipe ini tidak berirama. Sering ditemukan pada BKB dan BCB saat sedang tidur.1,3,4,8-
11
7
Beberapa gerakan yang menyerupai kejang pada bayi adalah apnu, yaitu pernafasan yang
tidak teratur, diselingi dengan henti nafas 3-6 detik dan sering diikuti dengan hipernea selama
10-15 detik. Pernafasan ini disebabkan oleh belum sempurnanya sistem penafasan di batang otak
dan berhubungan dengan derajat prematuritas. Gerakan selanjutnya adalah jitterness, adalah
fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan harusdibedakan dengan kejang. Pada
penelitian jitternes lebih sering terjadi pada bayi dengan ibu yang menggunakan marijuana, dapat
pula merupakan tanda dari adanya abstinesia. Gerakannya berupa tremor simetris dengan
frekwensi yang cepat 5-6kali perdetik. Jitterness tidak termasuk wajah, merupakan akibat dari
sensitifitas terhadap stimulus dan akan mereda jikaanggota gerak ditahan. Tidak ditemukan
adanya perubahan dari sitem saraf otonom. Gerakan yang menyerupai kejang lainnya adalah
hiperepleksia, merupakan kelainan yang ditandai dengan hipertoni. Respon kejut ini dapat
terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada tinggi. Hiperepleksia
kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya disebut dengan sindrom stiff baby.
Meskipun gambaran EEG normal, spasme tonik dapat berbahaya dan terapi sangat dibutuhkan.
Terapi dengan klobazam0.05-0.2mh/kgBB/hari atau klobazam dosis rendah 0.23-0.3mg/kg/hari
biasanya memberikan hasil dengan tanda perbaikan dan serangan biasanya akan menghilang
pada usia 2 tahun. Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada reseptor inhibitor glisin subunit alfa
dan telah dipetakan dalam kromosom 5; kelainan ini dapat diturunkan secara autosomal dominan
meskipun pada beberapa bentuk berupa autosomal resesif. Hiperepleksia dapat menyebabkan
diagnosis kejang yang keliru. Gerakan terakhir adalah spasme pada tetanus neonatorum hampir
mirip dengan kejang tetapi kedua hal tersebut harus dibedakan karena penanganan keduanya
berbeda. 1
Pemeriksaan fisik harus dilakukan lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan
neurologis, dilakukan secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan neurologi pada fase
tenang (tidak terjadi kejang) tidak ditemukan kelainan, namun demikian bergantung penyakit
yang mendasarinya. Sehingga pada BBL yang mengalami kejang perlu pemeriksaan fisis
lengkap.
1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi, bila mungkin melihat sendiri kejang yang
terjadi.
8
2. BBL yang mengalami kejang biasanya letargi dan tampak sakit. Kesadaran yang tiba-tiba
menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan berhentinya pernafasan, kejang tonik posisi
deserebrasi, reflek pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat quadrisep flaksid, dicurigai
terjadinya perdarahan intraventrikular.
3. Pantau perubahan tanda vital denyut jantung dan pernafasan. Dicari adanya sianosis dan
kelainan jantung atau pernafasan perlu dicurigai adanya gangguan perfusi kejaringan
khususnya keotak yang mengakibatkan iskemik otak.
4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kelainan berupa fraktur, depresi atau moulding yang
berlebihan karena trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan membonjol menunjukkan
adanya peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh perdarahan subaraknoid
atau subdural serta kemungkinan meningitis. Luka bekas tusukan jarum pada kepala atau
fontanela anterior karena kesalahan penyuntikan anastesi lokal pada ibu. Penimbunan
cairan subdural atau kelainan bawaan seperti hidrosefalus dapat dicurigai dengan
pemeriksaan transiluminasi positif dan pengukuran lingkar kepala
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atausubhialoid
yang merupakan manifestasi patognomonik untuk hematoma subdural. Korionretinitis
dapat terjadi pada toksoplasmosis, infeksi citomegalo virus dan rubella.
6. Pemeriksaan tali pusar, apakah ada infeksi, berbau busuk atau aplikasi dengan bahan
tidak steril pada kasus yang dicurigai spasme atau tetanus neonatorum.
9
Skema penangan kejang3
10
Gambar 1. Skema Penanganan Kejang Pada Neonatus4
PENATALAKSAAN
11
Penatalaksanaan kejang pada BBL meliputi stabilisasi keadaan umum bayi,
menghentikan kejang, identifikasi etiologi dan pengobatan faktor etiologi secara suportif,
mencegah kajang yang berulang. Penatalaksanaanawal kejang adalah pengawasan jalan nafas
dengan cara bersihkan jalan nafas dan berikan oksigen. Pasang jalur infus intravena dan
bericarian dengan dosis rumatan. Bila kadar glukosa kurang dari 45mg/dL tangani hipoglikemia
sebelum melanjutkan manajemen kejang untuk menghilangkan hipoglikemia sebagai penyebab
kejang. Bila dalam keadaan kejang atau bayi kejang dalam beberapa jam terakhir, beri injeksi
fenobarbital 20mg/kgBB secara IV diberikan pelan dalam waktu 5 menit. Bila jalur IV belum
dapat terpasang berikan fenobarbital 20mg/kg dosis tunggal secara IM. Dalam menggunaan
fenitoin, obat tersebut dicampur kedalam 15mL garam fisiologis dan berikan dengan kecepatan
0.5ml/menit selama 30 menit, fenitoin hanya dapat dicampur dengan NaCl, jika dengan bahan
lain akan menyebabkan kristalisasi.1,3,5,6,9-11
Jika dengan pemberian fenobarbital kejang masih terjadi dapat diberikan diazepam
0.5mg/kgBB intravena. Dalam pemberian diazepam harus hati-hati karena diazepam
menghambat pengikatan bilirubin dalam darah dan jika diazepam berefek depresi sistem
pernafasan. Karena efek diazepam yang singkat maka jika kejang terus berulang dapat di drip.
Selanjutnya kejang diterapi secara kausaltif. Pemberian terapi yang sesuai dengan
pengobatan dilakukan setelah mengetahui penyebab utama dari kejang. Jika kejang disebabkan
oleh hipoxia dapat diterapi dengan terapi oksigen untuk mengoreksi asidosis metabolik. Jika
penyebab kejang adalah hipoglikemik dan telah dipastikan dengan hasil laboratorium, pemberian
glukosa 10% 2-4ml/kg secara bolus intravena. Jika kejang disebabkan oleh hipokalsemia dapat
diberikan 100-200mg/kg kalsium glukonat intravena secara pelan sambil dimonitoring denyut
jantung. Jika kejang disebabkan oleh hipomagnesemia maka diberikan 0.2mEq/kg magnesium
sulfat intravena setiap 6 jam sampai keadaan membaik dan gejala menghilang. Jika kejang
disebabkan oleh hiponatremia diberikan larutan salin 3%. Jika kejang disebabkan oleh
hipernatremia dapat cairan tanpa natrium untuk meningkatkan volume cairan. Hiperkalemia
dapat diberikan cairan tanpa kalium 20mL/kg/hari atau diberikan furosemid 1-2mg/kg/kali setiap
12 jam. Dapat juga diberikan fosfat 30-40 mg/kg/hari melalui oral. Jika kejang disebabkan oleh
kekurangan piridoksin maka diberikan 50-100mg melalui intravena sambil dimonitoring
perubahan EEG. Jika kejang disebabkan oleh infeksi dan sepsis dapat diberikan antibiotik
12
intravena dan jika infeksi oleh virus maka diberikan anti virus seperti asiklovir. Jika kejang
disebabkan oleh perdarahan subdural maka terapi pilihan adalah pembedahan.10,11
Jika dengan terapi simtomatik dan kausaltif kejang tidak dapat diatasi dapat dipikirkan
keadaan yang sangat jarang yaitu gangguan metabolisme piridoxin. Terapi yang diberikan untuk
gangguan metabolisme piridoxin adalah piridoxin 25-50mg intravena dengan memonitoring
EEG selama pengobatan.
Teknik pengobatan lain bisa dimulai dengan pemberian piridoxin, jika dalam 2-3 menit
tidak ada perubahan dapat dilanjutkan dengan infuse MgSO4 kemudian Ca Glukonas sambil
dimonitoring denyut jantung bayi.
OBAT ANTIKEJANG
Obat anti kejang benzodiazepin meningkatkan injibisi GABA-mediated melalui transport
GABA-A. Benzodiazepin adalah antikonvulsan yang efektif pada anak-anak dan dewasa namun
kurang berperan padaBBL karena GABA bersifak eksitatorik. Benzodiazepim mempunyai profil
yang baik.1
Anti kejang rumatan fenobarbital adalah pilihan pertama dengan dosis 20mg/kg/kali
selama 10 sampai 15 menit diberikan intravena. Jika kejang belum membaik dapat ditambahkan
cara bertahap 5mg/kgBB intravena sampai dosis maksmal 40mg/kgBB/hari.
Jika kejang terus berlanjut dan tidak mendapat perbaikan dengan pemberian fenobarbital
dapat dipikirkan untuk pemberian fenitoin 15-20mg/kgBB sebagai terapi lini kedua. Dijalankan
dengan dosis 0.5mg/kg/menit, diberikan secara intervena dan saat pemberian anti kejang lini
kedua tersebut sebaiknya dipikirkan untuk penggunaan obat anti kejang golongan barbiturat.
Midiazolam larut dalam air, bekerja cepat dan terbukti efektif untuk terapi status
epileptikus pada populasi anak. Telah dievaluasi perbanding midiazolam dengan lidokain
sebagai terapi lini kedua ada bayi dengan kejangyang gagal merespon dengan
fenobarbital.Kejang dimonitor dengan menggunakan EEG secara berkelanjutan. Dosis
pemberian midiazolam 0.05-0.15mg/kgBB secara intravena.
Diazepam mempunyai efek antikonvulsan hanya bersifat sementara. Ketidakstabilan
kardioreseptor dapat terjadi jika obat ini digunakan bersama dengan fenobarbital dan metabolik
13
utamanya yang memiliki waktu paruh panjang. Karena alasan inilah diazepam bukan menjadi
pilihan terbaik dari golongan benzodiazepine untuk digunakan pada BBL.
Bayi dapat dipulangkan dengan meberikan fenobarbital dosis rumatan. Dilakukankontrol
dengan EEG 1 bulan kemudian dan sesaat sebelum keluar rumah sakit.
Obat anti kejang harus dihentikan 2 minggu setelah kejang berhenti. Penghentian obat
anti kejang sebaiknya dilakukan ketika bayi dalam unit perawatan neonatus dan sebaiknya
diturunkan secara bertahap.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit kejang pada BBL antara lain pemeriksaan
laboratorium untuk mengecek gula darah, elektrolit, ammonia/BUN, laktat. Pemeriksaan darah
rutin seperti hemoglobin, hematokrit, trobosit, leukosit dan hitng jenis leukosit. Pemeriksaan
analisis gas darah, analisis cairan serebrospinal, kulturkuman dan kadar bilirubin total atau direk
dan indirek. Pemeriksaan EEG dapat berupa gangguan kontinuitas, amplitudo atau frekwensi,
asimetris asinkron interhemifernis; bentuk gelombang abnormal. Gangguan dari fase tidur;
aktivitas kejang mungkin dapat dijumpai. Pemeriksaan cairan serebrospinal untuk melihat
adanya infeksi di sistem saraf pusat. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pencitraan seperti
USG, CT-scan cranial dan MRI yang dilakukan berdasarkan indikasi.1,6
PROGNOSIS
Kejang pada BBL dapat mengakibatkan kematian atau jika hidup dapat menderita gejala
sisa.1 Penelitian lain ditemukan 50% BKB yang mengalami kejang akan meninggal dan 40%
BKB yang mengalami kejang akan meninggal. Pada penelitian yang lebih baru ditemukan 20%
dari BKB dan BCB yang mengalami kejang akan meninggal dunia. Gejala sisa dari kejang pada
BBL adalah gangguan motorik dan retardasi mental.3
Pemberian terapi anti kejang, kausatif dan piridoxin tidak memberikan perbaikan pada
kondisi bayi pada kejang yang disebabkan EIH kemudian tidak ada perbaikan maka bayi tersebut
sudah dekat kearah kematian.3
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Sarosa GI. Kejang dan Spasme. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usma A,
editors. Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-1. 2008. hal. 226-50
2. Silverstein FS, Jensen FE. Neonatal Seizures. Anal of Neurology. 2007;62:1-9. Agustus 2007
3. Scher MS. Seizures in neonates. Dalam : Martin RJ, Fanaroff AA, Wals MC, penyunting.
Neonatal-Perinatal Medicine. Philadelphia: Mosby; 2006.
4. Program QMaNCG. Neonatal seizures. Queensland Maternity and Neonatal Clinical
Guideline. 2011. hal:1-18
5. Indrasanto, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmi R, Kaban RKM,penyunting. Paket Pelatihan
Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komperhensif. 2008. Hal: 275-9.
6. Lowenstein DH. Seizures and Epilepsy. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al., penyunting. Harrison's Priciples of Internal
Medicine. 17 ed. USA: McGraw-Hill; 2008
7. Karl CK, Kuban, Filiano J. Neonatal Seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, editors.
Manual of Neontal Care. Philadelphia: Lippincot; 1998. hal: 493-05
8. Sankar MJ, Agarwal R, Aggarwal R, Deorari AK, Paul VK. Seizures in the Newborn.
AIIMS- NICU protocols. 2007. hal:21.
9. Golden WC. Seizure Activity. Dalam: Gomella TL, penyunting. Neonatology Management,
Procedures, On-Call Problem, Diseases and Drugs.USA: McGraw-Hill; 2004. hal:220-5
10. Riviello JJ. General Concepts in Seizure Management. Dalam: Burg FD, Ingelfinger JR,
Polin RA, Gershon AA, penyunting. Current Pediatric Therapy. edisi ke-18. Philadelphia:
Elsevier; 2006.
11. Stack CG, Dobbs P, penyunting. ESSENTIALS OF PAEDIATRIC INTENSIVE CARE.
Cambridge: Greenwich Medical Media Limited; 2004. p. 50-60.
15