refarat psikiatri

22
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang I.1. Gangguan Mental Organik Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler,intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia. Depresi) Dari sejarahnya, bidang neurologi telah dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan Psikiatri dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut fungsional. Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik dan fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut “Gangguan Mental Organik” dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak, disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh. PPDGJ III membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan Gangguan Mental Organik. Sindrom Otak 1

Transcript of refarat psikiatri

Page 1: refarat psikiatri

BAB IPENDAHULUAN

I. Latar Belakang

I.1. Gangguan Mental Organik

Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler,intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia. Depresi) Dari sejarahnya, bidang neurologi telah dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan Psikiatri dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut fungsional. Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik dan fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut “Gangguan Mental Organik” dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain

Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak, disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh. PPDGJ III membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan Gangguan Mental Organik. Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan sindrom (gejala) psikologik atau perilaku tanpa kaitan dengan etiologi. Gangguan Mental Organik dipakai untuk Sindrom Otak Organik yang etiolognnya (diduga) jelas Sindrom Otak Organik dikatakan akut atau menahun berdasarkan dapat atau tidak dapat kembalinya (reversibilitas) gangguan jaringan otak atau Sindrom Otak Organik itu dan akan berdasarkan penyebabnya, permulaan gejala atau lamanya penyakit yang menyebabkannya. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah kesadaran yang menurun (delirium )dan sesudahnya terdapat amnesia, pada Sindrom Otak Organik menahun (kronik) ialah demensia.

1

Page 2: refarat psikiatri

I.2.PERBANDINGAN PENGGOLONGAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL ORGANIK

Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut :1. Demensia pada penyakit Alzheimer

1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini 1.2 Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat. 1.3 Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran. 1.4 Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).

2. Demensia Vaskular 2.1 Demensia Vaskular onset akut. 2.2 Demensia multi-infark 2.3 Demensia Vaskular subkortikal. 2.4 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal 2.5 Demensia Vaskular lainnya 2.6 Demensia Vaskular YTT

3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK) 3.1 Demensia pada penyakit Pick. 3.2 Demensia pada penyakit Creutzfeldt – Jakob. 3.3 Demensia pada penyakit huntington. 3.4 Demensia pada penyakit Parkinson. 3.5 Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV). 3.6 Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK

4. Demensia YTT. 5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya 6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya

6.1 Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia 6.2 Delirium, bertumpang tindih dengan demensia 6.3 Delirium lainya. 6.4 DeliriumYTT.

7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik. 7.1 Halusinosis organik. 7.2 Gangguan katatonik organik. 7.3 Gangguan waham organik (lir-skizofrenia) 7.4 Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.

7.4.1 Gangguan manik organik. 7.4.2 Gangguan bipolar organik. 7.4.3 Gangguan depresif organik. 7.4.4 Gangguan afektif organik campuran.

2

Page 3: refarat psikiatri

7.5 Gangguan anxietas organik 7.6 Gangguan disosiatif organik. 7.7 Gangguan astenik organik. 7.8 Gangguan kopnitif ringan. 7.9 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik lain YDT. 7.10 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik YTT.

8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak 8.1 Gangguan keperibadian organik 8.2 Sindrom pasca-ensefalitis 8.3 Sindrom pasca-kontusio 8.4 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak lainnya. 8.5 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak YTT.

9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT

Menurut Maramis, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut: 1. Demensia dan Delirium 2. Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala. 3. Aterosklerosis otak 4. Demensia senilis 5. Demensia presenilis. 6. Demensia paralitika. 7. Sindrom otak organik karena epilepsi. 8. Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan intoksikasi. 9. Sindrom otak organik karena tumor intra kranial.

Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut: 1. Delirium

1.1 Delirium karena kondisi medis umum. 1.2 Delirium akibat zat. 1.3 Delirium yang tidak ditentukan (YTT)

2. Demensia. 2.1 Demensia tipe Alzheimer. 2.2 Demensia vaskular. 2.3 Demensia karena kondisi umum.

2.3.1 Demensia karena penyakit HIV.

3

Page 4: refarat psikiatri

2.3.2 Demensia karena penyakit trauma kepala. 2.3.3 Demensia karena penyakit Parkinson. 2.3.4 Demensia karena penyakit Huntington. 2.3.5 Demensia karena penyakit Pick 2.3.6 Demensia karena penyakit Creutzfeldt – Jakob

2.4 Demensia menetap akibat zat 2.5 Demensia karena penyebab multipel 2.6 Demensia yang tidak ditentukan (YTT)

3. Gangguan amnestik 3.1 Gangguan amnestik karena kondisi medis umum. 3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat 3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )

4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.

I.3. MASALAH NARKOBAMasalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya

(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.

Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun.

Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40% penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku. Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat berhubungan.

4

Page 5: refarat psikiatri

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. GANGGUAN MENTAL ORGANIK DELIRIUM (F09)

Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urine merupakan gejala neurologis yang umum. Biasanya, delirium mempunyai onset yang mendadak (bebrapa jam atau hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, dan perbaikan yang cepat jika factor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi, masing-masing dari ciri karakteristikk tersebut dapat bervariasi pada pasien individual. Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium diketahui mempunyai banyak sebab, semuanya menyebabkan pola gejala yang sama yang berhubungan dengan tingkat kesadaran pasien dan gangguan kognitif. Sebagian besar penyebab delirium terletak di luar system saraf pusat- sebagian contoh, gagal ginjal atau hati.

Delirium adalah gangguan yang umum. Usia lanjut adalah factor risiko untuk perkembangan delirium. Kira-kira 30 sampai 40 persen pasien rawat di rumah sakit yang berusia lebih dari 65 tahun mempunyai suatu episode delirium. Faktor predisposisi lainnya untuk perkembangan delirium adalah usia muda, cedera otak yang telah ada sebelumnya, riwayat delirium, ketergantungan alcohol, diabetes, kanker, gangguan sensoris dan malnutrisi. Adanya delirium merupakan tanda prognostic yang buruk.

2.1.1. Penyebab DeliriumPenyebab utama dari delirium adalah penyakit sistem saraf pusat dan intoksikasi

maupun putus dari agen farmakologis atau toksik. Neurotransmitter utama yang dihipotesiskan berperan pada delirium adalah asetilkolin, dan daerah neuroanatomis utama adalah formasio retikularis. Beberapa jenis penelitian telah melaporkan bahwa berbagai factor yang menginduksi delirium menyebabkan penurunan aktifitas asetilkolin di otak. Juga, satu penyebab delirium yang paling sering adalah toksisitas dari banyak sekali medikasi yang diresepkan yang mempunyai aktivitas kolinergik. Formasi retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian dan kesadaran, dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental dorsalis, yang keluar dari formasi retikularis mesensefalik ke tektum dan thalamus. Mekanisme patologi lain telah diajukan untuk delirium. Khususnya, delirium yang berhubungan dengan putus alcohol telah dihubungkan dengan hiperaktivitas lokus sereleus dan neuron nonadrenergiknya. Neurotransmiter lain yang berperan adalah serotonin dan glutamate.

5

Page 6: refarat psikiatri

Penyebab Delirium: Penyakit intrakranial

1. Epilepsi atau keadaan pasca kejang 2. Trauma otak (terutama gegar otak) 3. Infeksi (meningitis.ensetalitis). 4. Neoplasma. 5. Gangguan vaskular

Penyebab ekstrakranial 1. Obat-obatan (di telan atau putus),

Obat antikolinergik, Antikonvulsan, Obat antihipertensi, Obat antiparkinson. Obat antipsikotik, Cimetidine, Klonidine. Disulfiram, Insulin, Opiat, Fensiklidine, Fenitoin, Ranitidin, Sedatif(termasuk alkohol) dan hipnotik, Steroid.

2. Racun Karbon monoksida, Logam berat dan racun industri lain.

3. Disfungsi endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi) Hipofisis, Pankreas, Adrenal, Paratiroid, tiroid

4. Penyakit organ nonendokrin.Hati (ensefalopati hepatik), Ginjal dan saluran kemih (ensefalopati uremik), Paru-paru (narkosis karbon dioksida, hipoksia), Sistem kardiovaskular (gagal jantung, aritmia, hipotensi).

5. Penyakit defisiensi (defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau asam folat) 6. Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis. 7. Ketidakseimbangan elektrolit dengan penyebab apapun 8. Keadaan pasca operatif 9. Trauma (kepala atau seluruh tubuh) 10. Karbohidrat: hipoglikemi.

2.2. HUBUNGAN NARKOBA DAN GANGGUAN MENTAL

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.

Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga golongan :

6

Page 7: refarat psikiatri

1. Golongan Depresan (Downer) Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

2. Golongan Stimulan(Upper) Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain

3. Golongan Halusinogen Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.

2.2.1. Cara kerja narkobaNarkoba bekerja pada dinding sel saraf pada susunan saraf pusat. Narkoba

paling cepat diserap melalui paru. Pada umumnya, narkoba mempunyai onset yang cepat. narkoba dimetabolisme di hati dan dieksresikan melalui ginjal dan paru, sebagian dalam bentuk utuh. narkoba bekerja pada sistem dopaminergik dan GABAnergik. Toleransi terhadap narkoba terjadi dengan cepat. Menyebabkan ketergantungan psikis secara jelas sedangkan ketergantungan fisik tidak jelas.

Afinitas terhadap lemak sangat tinggi sehingga banyak terdapat pada otak, medula spinalis dan hati karena jaringan tersebut mengandung banyak lemak.

2.2.2. Pengaruh narkoba terhadap penggunaNarkoba mempunyai sifat menghambat aktivitas susunan saraf pusat ssperti

sedatif hipnotik dan alkohol. Pengaruh penggunaan narkoba terhadap pengguna sulit diuraikan secara umum karena terdapat berbagai jenis narkoba.Namun demikian, terdapat gejala umum, seperti pada gejala intoksikasi akut.

Intoksikasi akut narkoba ditandai dengan adanya euforia, perasaan melayang, iritasi pada mata, melihat objek manjadi ganda (double vision), suara berdenging di telinga, berbangkis, hidung basah, batuk, disekitar mulut berbekas (rash), mual, muntah, diare, kehilangan nafsu makan, nyeri di dada, gangguan koordinasi motorik (bicara cadel, jalan sempoyongan), letargi, hiporefleksi, gangguan irama jantung, nyeri otot dan

7

Page 8: refarat psikiatri

sendi, halusinasi, ilusi, waham, daya nilai realitas terganggu, mudah tersinggung, impulsif, kesadaran berkabut dan perilaku aneh (bizare).

Kematian secara mendadak disebabkan oleh aritmia jantung atau laringospasme. Kematian pada penggunaan narkoba bisa disebabkan oleh hambatan pada sistem pernapasan. Kematian dapat juga disebabkan karena hiperpireksia.

Akhirnya, kematian bisa disebakan oleh kecelakaan akibat adanya ilusi, halusinasi atau waham.

2.2.3. Konsekuensi penggunaan narkobaPenggunaan narkoba berkaitan dengan sejumlah besar efek samping dan efek

psikososial.

Efek akutkeracunan narkoba menghasilkan sindrom mirip dengan keracunan alkohol,

terdiri dari pusing, inkoordinasi, bicara cadel, euforia, lesu, memperlambat refleks, memperlambat pemikiran dan gerakan, tremor, penglihatan kabur, pingsan atau koma, kelemahan otot umum, dan gerakan mata yang involunter (APA , 2000).

Efek neurologis dan kognitifStudi pada pekerja yang pekerjaannya terekspos narkoba menjadi dasar untuk

diketahui tentang hubungan narkoba dengan deficit fungsi kognitif. Morrow dan rekan (1997) menemukan gangguan memori dan belajar yang signifikan pada pelukis dibanding dengan sampel control, membuktikan bahwa pasien dengan masalah gangguan kognitif akibat narkoba lebih lambat untuk diselesaikan. (Morrow, Steinhauer, dan Condray, 1996; 1998). Pajanan tunggal menyebabkan keracunan narkoba dapat menghasilkan masalah memori jangka panjang dan gangguan kecepatan pengolahan informasi (Stollery, 1996). Temuan penting mengingat bahwa penyalahgunaan narkoba ditandai dengan paparan neurotoksin di tingkat yang jauh lebih tinggi daripada yang biasanya terjadi dalam pajanan pekerjaan (Bowen, Wiley, dan Balster, 1996). Penelitian sebelumnya hasil pada penggunaan rekreasi narkoba tercatat mirip dengan temuan hasil pada pajanan narkoba pada pekerja yaitu memiliki deficit pada ingatan, perhatian, dan pengambilan keputusan dibandingkan dengan kontrol dan pengguna polydrug (Hormes, Filley, dan Rosenberg, 1986; Korman, Trimboli, dan Semler, 1980). Tenebein dan Pillay (1993) menemukan aktivitas otak berkurang dalam menanggapi peristiwa visual dan auditori yang merupakan penanda adanya disfungsi neurologis pada 8 dari 15 pengguna narkoba berusia 9 hingga 17 tahun, walaupun yang lebih muda tidak memiliki bukti klinis dari abnormalitas neurologi.

Penelitian selanjutnya telah diungkapkan bahwa keracunan narkoba berulang dapat menyebabkan gangguan neurologis, termasuk Parkinsonisme, gangguan kognisi karena degradasi sel-sel otak (ensefalopati) atau hilangnya sel-sel otak (cerebral atrofi),

8

Page 9: refarat psikiatri

dan hilangnya kekuatan otot dan koordinasi karena kerusakan otak kecil (serebelum ataksia) (misalnya, Finch dan Lobo, 2005; Gautschi, Cadosch, dan Zellweger, 2007).Hasil Imaging study pada pelaku narkoba terdapat penipisan corpus callosum (ikatan dari serabut saraf ke hemisfer serebri) dan lesi pada white matter yang memfasilitasi komunikasi antara sel-sel otak (Finch dan Lobo, 2005; Gautschi, Cadosch, dan Zellweger, 2007 ). Pengurangan daerah dalam aliran darah otak yang diamati dengan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) terdapat setelah 1 tahun penggunaan narkoba (Okada et al, 1999;.. Yamanouchi et al, 1998). Kelainan radiologis lain yang ditemukan pada pengguna narkoba meliputi wilayah berkurang kekuatan sinyal MRI (hypointensities) di thalamus dan ganglia basal (Lubman, Yücel, dan Lawrence, 2008) dan serapan ireguler obat-obatan radiolabeled di single-photon computed tomography emisi (SPECT) studi (Küçük et al., 2000).

Lubman dan rekan (2008) meninjau studi klinis dan neuroimaging terbaru pelaku narkoba kronis, mendokumentasikan defisit kognitif yang signifikan, kelainan struktural di daerah otak tertentu (misalnya, periventrikular, subkortikal, dan putih materi), dan mengurangi perfusi otak dan aliran darah.

Gambar 1. Atrofi otak

Hewan percobaan telah membantu untuk mempelajari efek biobehavioral akut dan kronis dari narkoba. Bowen dan McDonald (2009) melaporkan bahwa tikus terkena konsentrasi tinggi toluena (3.600 dan 6.000 bagian per juta) selama 30 menit per hari untuk 40 hari (sama dengan jumlah pelaku kronis menghirup) menunjukkan defisit motorik yang bertahan lama pada tes waiting for reward. Hasil ini menyiratkan adanya kerusakan otak jangka panjang, mungkin akibat kerusakan cerebellar atau hilangnya sel kortikal.

9

Page 10: refarat psikiatri

Efek pada Organ Lain Selain OtakSemakin terbukti bahwa narkoba dapat menyebabkan masalah kesehatan kronis

yang mempengaruhi beberapa sistem organ (Gambar 2). Penelitian pada hewan, laporan kasus, dan investigasi klinis kecil telah membuktikan terdapatnya efek narkoba pada hati, jantung, dan toksisitas ginjal, demineralisasi tulang, penekanan sumsum tulang, dan mengurangi kekebalan (responsivitas sel-T) ( Karmakar dan Roxburgh, 2008; Takaki et al., 2008). Plasma berkurang dan tingkat selenium dan seng pada sel darah merah juga berkurang, berpotensi merusak fungsi kekebalan dan meningkatkan risiko untuk penyakit menular (Zaidi et al., 2007).

Narkoba juga dapat menyebabkan neuropati perifer menyebabkan rasa sakit kronis dan kerusakan saraf optik yang menurunkan visus (Twardowschy dkk., 2008). Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkoba dikaitkan dengan disfungsi paru serius.

2.2.4. Gejala Klinis1. Perubahan Fisik

Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat digolongkan sebagai berikut : - Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga - Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal. - Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus menerus,diare,rasa sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang, kesadaran menurun. - Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik)

2. Perubahan Sikap dan Perilaku - Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering membolos,

pemalas, kurang bertanggung jawab. - Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau

tempat kerja. - Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu

lebih dulu - Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan

anggota keluarga lain dirumah.

10

Page 11: refarat psikiatri

- Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian menghilang

- Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.

- Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga,tertutup dan penuh rahasia.

2.2.5. Tahapan terapi

Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut: 1. Fase penilaian ( assesment phase ), sering disebut dengan fase penilaian awal ( initial

intake ). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat diperoleh dari anggota keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang menanggung biaya. Termasuk yang perlu dinilai adalah : a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala – gejala putus

obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya penggunaan, efek subjektif dari semua jenis zat yang digunakan.

b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya gangguan komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala intoksikasi atau withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga pemeriksaan psikologik dan neuro – psikologi

c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk karakteristik berikut: setting terapi, kontekstual ( volintary, non – voluntary ), modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan terhadap program terapi, lamanya ( singkat 3 bulanan, sedang 1 tahun dan hasil dengan program jangka panjang, berikut dengan jenis zat yang digunakan, level fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasi terapi lainnya

d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio – ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya gangguan penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor – faktor dalam keluarga yang mengkontribusi berkembang atau penggunaan zat terus menerus, penyesuaian sekolah dan vokasional, hubunggan dengan kelompok sebaya, problema finansial dan hukum, pengaruh lingkungan kehidupan sekarang terhadap kemampuannya untuk mematuhi terapi agar tetap abstinensia di komunitasnya, karakteristik lingkungan pasien ketika menggunakan zat ( dimana, dengan siapa, berapa kali/ banyak, bagaimana cara penggunaan. ).

11

Page 12: refarat psikiatri

e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis – jenis NAPZA yang disalahgunakan, pemerisaan – pemeriksaan laboratorium lainnya terhadap kelainan – kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan zat akut atau menahun.

f. Skrining penyakit – penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering diketemukan pada pasien / klien ketergantungan zat ( seperti HIV, tuberkulosis, hepatitis ).

2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi : a. Rawat inap dan rawat jalan b. Intensive out – patient treatment c. Terapi simptomatik d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification e. Detoksifikasi dengan menggunakan : kodein dan ibuprofen, klonidin dan

naltrexon, buprenorfin, metadon

3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekankan kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau menggunakan program terapi subtitusi ( seperti antagonis – naltrexon, agonis metadon, atau partial agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang dari jangka waktu tersebut,umumnya memiliki relaps rate yang tinggi.

12

Page 13: refarat psikiatri

BAB IIIPENUTUP

3.1. KESIMPULANGangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu

patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler,intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia. Depresi)

Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urine merupakan gejala neurologis yang umum.

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA

Terapi pada gangguan akibat penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dibagi menjadi 3 fase: 1. Fase penilaian

2. Fase terapi detoksifikasi

3. Fase terapi lanjutan

13

Page 14: refarat psikiatri

DAFTAR PUSTAKA

1.Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilak Psikiatri Klinis, Edisi ketujuh, Jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 2010. hal 481-570.

2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.

3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2008. hal 189-192.

4. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, Editor Dr, Rusdi Maslim. Jakarta 2003. hal 3-43.

5. Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University Press, Surabaya 1992. hal 179-211.

6. Kaplan. H. I, Sadock B.J. Phsychiatry Text Book.

1.Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Substance Related Disorders. Introduction and Overview. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry 9th edition, Lippingcott Williams & Wilkins, 2002, h. 380.

2. Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Substance Related Disorders. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry 9th edition, Lippingcott Williams & Wilkins, 2002, h. 380-435.

3. Allen K.M. Clinical Care of the Addicted Client, Review Article on: American Psychiatriy Journal, 2010 October 20.

4. Maslim Rusdi, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PDGJ-III, PT. Nuh Jaya, 2001, h. 34-43.

5. The Indonesian Florence Nightingale Foundation, Kiat Penanggulangan dan Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Dalam: www.ifnf.org/NAPZA/ <diakses pada Selasa, 27 September 2011>

6. Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto J. Substance Related Disorders in Teenagers. PMC Journal, 2007 May-Jun;73(3):353-8.

7. Tom, Kus, Tedi. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar , Bandung :Yayasan Al-Ghifari,2009, h.20-57.

8. Morgan, Segi PraktisPsikiatri, Jakarta; Bina rupa aksara,2001, h. 110-145.

9. Stuart Sundeen, Principles and Practice of Psychiatric Nursing, St Louis: Mosby Year Book, 2001. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada Selasa, 27 September 2011>

10. Smith, CM.,Community Health Nursing; Theory and Practice .Philadelphia: W.B. Saunders Company. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada Selasa, 27 September 2011>

14

Page 15: refarat psikiatri

11. Warninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation in Substance Related disorders, Review Article on: British Psychiatry Journal, 2009 July 7.

1. Joewana S. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.

Edisi 2. EGC: Jakarta. 2004.2. Howard MO, Bowen SE, Garland EL, Perron BE, Vaughn MG.

Inhalant useand inhalant use disorders in the united states. Addiction science &

clinicalpractice. July 2011. 18-31. Downloaded from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3188822/3. Drug free Australia. Inhalan abuse. Downloaded from:www.drugfree.org.au/fileadmin/Media/Reference/ Inhalant Abuse.pdf4. Palo Alto Medical Foundation. Inhalants (Gases, Glues and

Aerosols).Available from : http://www.pamf.org/teen/risk/drugs/inhalants/

15