Post on 03-Mar-2019
PENDAHULUAN
Sinusitis adalah peradangan pada jaringan
yang melapisi rongga sinus baik disertai dengan
atau tanpa infeksi. Sinusitis dapat disebabkan oleh
infeksi virus, bakteri, parasit dan jamur. Salah satu
penyebab sinusitis adalah infeksi jamur. Infeksi
jamur pada sinus paranasal jarang terjadi dan
umumnya terjadi pada individu dengan defisiensi
sistem imun. Insiden sinusitis jamur pada saat ini
telah meningkat pada populasi imunokompeten.1-4
Insiden sinusitis jamur mempunyai
angka yang bervariasi di seluruh dunia. Penelitian
Grigoriu et al., di Eropa mendapatkan 81 kasus
infeksi yang disebabkan jamur pada 600 kasus
rinosinusitis kronis maksila. Penelitian lainnya oleh
Chakrabarti et al., di Asia 50 kasus (42 % )
rinosinusitis disebabkan infeksi jamur. Penelitian
See Goh et al. di Malaysia memaparkan 16
kasus infeksi jamur pada 30 penderita sinusitis
kronis maksila. Infeksi jamur sinus sfenoid lebih
jarang terjadi hanya sekitar 2,5% dari seluruh
infeksi sinus, infeksi ini terjadi disebabkan oleh
anatomi dan penurunan aliran udara daerah sinus
sfenoid.1,5-7
Infeksi sinus sfenoid oleh jamur jarang
terdiagnosis, karena mempunyai gejala yang tidak
khas (kadang tanpa gejala) dan mempunyai gejala
yang menyerupai infeksi sinusitis kronis oleh
bakteri atau lainya. Gejala klinis infeksi jamur di
sinus sfenoid seperti sakit kepala, nyeri retro-orbital,
diplopia, dan kebutaan. Infeksi sinus oleh karena
jamur dapat diklasifikasikan yaitu sinusitis jamur
ekstramukosa (non invasif) dan invasif.8-10
Diagnosis sinusitis sfenoid jamur
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang. Terapi diberikan untuk mengurangi
inflamasi pada rongga sinus, membantu drainase,
dan menurunkan tekanan pada sinus sebagai
penyebab nyeri sinus.11,12 Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional (BSEF) adalah teknik operasi pada sinus
paranasal dengan menggunakan endoskop yang
bertujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan
“mucociliary clearance” dalam sinus.2,3,4 Makalah
ini melaporkan kasus sinusitis sfenoid jamur pada
penderita wanita usia 45 tahun yang dilakukan
bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF).
LAPORAN KASUS
Seorang wanita (Ny. N) berusia 45 tahun
datang ke Unit Rawat Jalan (URJ) T.H.T.K.L.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo
Surabaya pada tanggal 23 September 2015.
Penderita dirujuk dari RSUD di Papua dengan nyeri
kepala hebat.
Anamnesis didapatkan nyeri kepala sejak
tiga bulan yang lalu. Nyeri kepala awalnya ringan
dan membaik dengan pemberian obat anti nyeri
sejak satu tahun yang lalu. Pada tiga bulan terakhir
keluhan nyeri kepala tidak membaik dengan
pemberian obat anti nyeri. Nyeri kepala disertai rasa
mual, rasa pusing berputar, dan kepala terasa seperti
berat. Keluhan telinga, hidung, dan tenggorok tidak
didapatkan. Riwayat penyakit dahulu terdapat
bersin setiap pagi disertai nyeri kepala. Hipertensi
dan diabetes melitus disangkal. Penderita
sebelumnya berkonsultasi dan mendapat terapi di
URJ Neurologi Dr. Soetomo Surabaya, nyeri kepala
tidak berkurang dan dilakukan computedtomography scan (CT scan). Berdasarkan hasil CTscan penderita didapatkan perselubungan pada
sinus sfenoid kanan dan dirujuk ke poli T.H.T.K.L.
RSUD Dr. Soetomo.
Pemeriksaan rinoskopi anterior tidak
tampak sekret pada kavum nasi kiri dan kanan,
kedua konka inferior dalam batas normal, tidak
didapatkan massa. CT scan sinus paranasal (21
50
SINUSITIS SFENOID JAMUR
(Laporan Kasus)
Indah Asmara Gustarini, Irwan Kristyono
Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Jurnal THT - KL Vol.9, No.2, Mei - Agustus 2016, hlm. 50 - 55
September 2015) menunjukkan perselubungan
sinus sfenoid kanan, ekspansi ke dinding antar-
sfenoidal dengan diagnosis banding granuloma dan
tumor (Gambar 1).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang, maka penderita didiagnosis sinusitis
sfenoid kanan, pasien direncanakan menjalani
operasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional
(BSEF) dengan pendekatan sfenoidektomi untuk
membuka drainase dan ventilasi sinus sfenoid
kanan.
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional
(BSEF) dilakukan dengan anestesi umum di
Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD dr.
Soetomo Surabaya pada tanggal 2 Oktober 2015.
Pada saat operasi didapatkan mukosa yang menutup
ostium sinus sfenoid kanan,
dilakukan konkotomi parsial pada
konka media kanan agar lapangan
operasi terlihat jelas dan
mempermudah evaluasi sinus
sfenoid kanan dengan
nasoendoskopi, membuka mukosa
yang menutupi ostium sinus
sfenoid kanan, ostium lalu
diperlebar.
Pada saat ostium sinus
sfenoid telah lebar, didapatkan
bentukan massa berwarna coklat,
tebal, dan sedikit pus pada sinus
sfenoid kanan dan diputuskan untuk
diekstraksi sampai bersih (Gambar
2). Massa di dalam sinus sfenoid
kanan diambil dan dikultur untuk
pemeriksaan mikrobiologi.
Terapi pasca operasi
diberikan ceftriaxon 2 x 1 gram
intra vena, ranitidin 2 x 50
miligram intra vena, ketorolac 3 x
10 miligram intra vena, dan
metoclopramide 3 x 10 miligram
intra vena.
Hari pertama pasca
operasi didapatkan keluhan nyeri
kepala berkurang, tidak tampak
perdarahan baik dari anterior
maupun posterior kavum nasi, tidak tampak tampon
yang jatuh ke orofaring, terapi medikamentosa
dilanjutkan.
Hari kedua pasca operasi, keluhan nyeri
minimal dan tidak didapatkan perdarahan, terapi
sama seperti hari pertama. Hari ketiga dilakukan
nasoendoskopi di URJ THTKL dan evaluasi
sebelum penderita keluar rumah sakit.
Hasil evaluasi nasoendoskopi didapatkan
sinus sfenoid kanan tampak debris jamur, ostium
sinus sfenoid tampak lebar, terdapat sedikit bekuan
darah, lalu penderita diberikan terapi cuci hidung
larutan garam fisiologis 5 x 100 cc. Penderita
kontrol ke poli T.H.T.K.L satu minggu setelah
keluar rumah sakit.
Kontrol pertama pada tanggal 9 Oktober
2015, keluhan nyeri kepala berkurang, sedikit nyeri
51
Gambar 1. CT scan kepala leher potongan aksial
dan sagital di RSUD Dr.Soetomo Surabaya,
tampak perselubungan di sinus sfenoid kanan.
Gambar 2. Gambaran tonjolan mukosa yang menutup
ostium sinus sfenoid kanan (A).
Tampak massa di dalam sinus sfenoid kanan (B).
Sinusitis Sfenoid (Indah Asmara Gustarini, Irwan Kristyono)
pada bekas operasi dan penderita menyerahkan
hasil mikrobiologi. Hasil patologi anatomi pada
pengecatan gram ditemukan bentukan kuman
batang gram negatif dan KOH positif di daerah
mukosa dengan gambaran spora dan hifa jamur.
Pada rinoskopi anterior pada kavum nasi kanan
tampak krusta. Hasil endoskopi hidung kanan tidak
tanpak sekret pada cavum nasi kanan dan ostium
sinus sfenoid tampak lebar tidak didapatkan sisa
debris pada sinus sfenoid kanan. Penderita
diberikan terapi cuci hidung larutan garam fisiologis
2 x 100 cc, kontrol 3 minggu.
Kontrol kedua pada tanggal 11 Oktober
2015, tidak didapatkan keluhan nyeri kepala dan
keluhan lain. Rinoskopi anterior pada kavum nasi
kanan tidak tampak sekret. Hasil endoskopi hidung
tidak tampak sekret dan ostium sinus sfenoid
tampak lebar, penderita menyerahkan hasil kultur
jamur dan didapatkan spesies Candida Zelanoides
pada sinus sfenoid kanan. Penderita dinyatakan
sembuh dan kontrol jika terdapat keluhan. Pasien
diikuti selama 2 bulan, tidak didapatkan sakit
kepala.
PEMBAHASAN
Sinusitis adalah inflamasi pada sinus
paranasal yang sebabkan oleh infeksi. Jamur adalah
merupakan salah satu jenis mikroorganisme yang
dapat menyebabkan infeksi pada sinus paranasal.
Infeksi jamur pada sinus paranasal diantaranya
adalah pemakaian obat yang tidak rasional seperti
penggunaan antibiotika dan steriod yang
berkepanjangan, gangguan ventilasi sinus dan
lingkungan yang lembab.1-3 Jenis jamur yang
paling sering menyebabkan sinusitis jamur
adalah Aspergillus.9,13,14
Klasifikasi sinusitis jamur dibagi menjadi
invasif dan non-invasif. Bola jamur dan allergic
fungal sinusitis termasuk dalam sinusitis jamur non-
invasif. Sinusitis invasif mencakup sinusitis jamur
invasif kronis dan penyakit invasif fulminan yang
terjadi pada pasien imunosupresi. Sinusitis jamur
invasif kronis dibagi menjadi granulomatus dan non
granulomatus (Tabel 1).1,12 Pada laporan kasus ini
ditemukan penderita dengan sinusitis sfenoid jamur
non-invasif.
Sinusitis sfenoid jamur jarang ditemui,
Wyllie pada tahun 1973 melaporkan lesi pada sinus
sfenoid sebanyak 45 pasien. Pada tahun 2000,
Çakmak menyatakan 15 kasus yang dilaporkan lesi
pada sinus sfenoid dari 182 kasus. Erkan (2014)
menyebutkan sinusitis jamur pada sinus maksila 7
kasus dan pada sinus sfenoid 2 kasus. Pada tahun
1997 Yiotakis et al., menyatakan penyakit jamur
pada sfenoid sangat jarang. Pada makalah ini, hanya
ditemukan 1 kasus di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
murni adanya sinusitis sfenoid jamur yang
dilaporkan.5,8 Aspergilus adalah organisme yang
paling sering ditemukan pada infeksi jamur tipe ini.
Pada penderita ini didapatkan biakan jamur Candida
Zelanoides dan berbeda dengan literatur yang
ditemukan.1-4
Pada laporan kasus ini penderita berjenis
kelamin perempuan. Sebuah jurnal di Turki
melaporkan kasus yang sama dengan penderita
berjenis kelamin perempuan begitu juga pada
penelitian Deshazo et al., dan Yiotakis et al. (1997).
Al-Bhlal (1996) dan Klossek (1997) menemukan
satu penderita pria pada penelitian yang telah
dilakukannya. Perbandingan penderita pada kasus
ini antara pria dan wanita sama menurut Shah
(2014), tetapi menurut Prateek (2013) perbandingan
pria dibanding wanita adalah 2:1.4,6-7,14
Sinusitis sfenoid jamur pada kasus ini
penderita berusia 45 tahun, hal ini sama pada
Yiotakis et al. (1997) yang menyatakan bahwa
kasus ini sering didapatkan pada pertengahan usia.
Shah (2014) menyatakan usia yang sering antara
25-60 tahun, Klossek (1997) menyatakan 60-70
tahun, Prateek et al.(2013) 2-81 tahun dan Erkan
(2014) menyatakan 35-78 tahun.1,4,5,7
52
Tabel 1. Pembagian Klasifikasi Sinusitis Jamur1
Sinusitis jamur ekstramukosa (non invasif)
Mikosis sinus superfisial
Misetoma (Fungal ball) Sinusitis alergi jamur
Sinusitis jamur invasif
Sinusitis jamur kronis invasif (indolen)
Sinusitis jamur akut invasif (fulminan)
Sinusitis jamur invasif granulomatosus
Jurnal THT - KL Vol.9, No.2, Mei - Agustus 2016, hlm. 50 - 55
Nyeri kepala adalah gejala yang khas
dalam sinusitis sfenoid jamur pada daerah retro-
orbital (Yiotakis et al.). Hal ini disebabkan
persarafan dari sinus sfenoid, melalui kedua saraf
kranial kelima dan serat aferen melalui ganglion
sphenopalatina. Diplopia adalah gejala sekunder
karena kelumpuhan saraf optik. Pada penderita ini
didapatkan gejala nyeri kepala daerah retro-orbital
tanpa ada keluhan yang lain. Durasi gejala antara 1-
35 bulan (Shah, 2014). Gejala ini sama pada semua
literatur yang ditemukan. Balasubramanian (2013)
menyatakan gejala sinus sfenoid karena jamur yaitu
pandangan kabur, ptosis, penurunan penglihatan,
dan keluar darah dari hidung bahkan sampai
kehilangan kesadaran.10
Faktor penyebab meningkatnya insiden
infeksi jamur yaitu tingginya penggunaan
antibiotika, obat topikal hidung, penderita diabetes
melitus, penurunan sistem imun karena penggunaan
radiasi atau kemoterapi, AIDS dan penggunaan
steroid yang berkepanjangan. Pada pasien ini tidak
didapatkan riwayat penyakit penyerta dan
pemakaian obat topikal. Namun pasien hanya
mengeluhkan bersin setiap pagi disertai nyeri kepala
yang berkurang hanya dengan penggunaan obat
analgetik.1,9
Meskipun hampir selalu normal,
pemeriksaan endoskopi rongga hidung penting.
Kadang adanya sekresi purulen di reses
sphenoethmoidal (Chopra, 2016). Yiotakis et almelaporkan 2 kasus yang mengidentifikasi dinding
anterior sinus sfenoid yang tipis. Pada pasien ini,
pemeriksaan endoskopik terdapat tonjolan mukosa
di ostium sinus sfenoid kanan.1
Diagnosis radiologi memainkan peran
penting dalam mengidentifikasi daerah yang
abnormal. CT scan sinus paranasal menunjukkan
adanya ketidaknormalan pada daerah sinus
paranasal, orbital atau intrakranial. Pada pasien ini,
CT scan sinus paranasal menunjukkan
perselubungan sinus sfenoid kanan, ekspansi ke
dinding antar-sfenoidal dengan diagnosis banding
granuloma dan tumor. Yiotakis et al. melaporkan
penderita sinus sfenoid jamur pada penelitianya
jarang terjadi invasi ke tulang. Pada hasil patologi
anatomi pasien ini didapatkan bentukan spora dan
hifa jamur di mukosa sinus sfenoid kanan.1,2
Pada tahun 2000, Çakmak melaporkan
182 kasus sinus sfenoid jamur, sebagian besar
dilakukan pembedahan melalui pendekatan trans-
septal.5 Perkembangan endoskopi secara signifikan
mengurangi waktu operasi dan meminimalisir
perdarahan intraoperatif, morbiditas, dan waktu
rawat inap. Pembedahan sinus sfenoid terdiri dari
bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF)
pendekatan sfenoidektomi dan sfenoidektomi
eksternal. Pada kasus ini dilakukan pendekatan
endoskopik transnasal. BSEF pendekatan
sfenoidektomi dilakukan untuk pengambilan massa
pada sinus sfenoid serta memastikan ventilasi pada
sinus sfenoid. BSEF merupakan tehnik terbaik
untuk penatalaksanaan sinusitis jamur sampai
dengan saat ini. BSEF lebih konservatif dengan
morbiditas yang rendah apabila dibandingkan
dengan tehnik operasi yang lain.1,2,17
Konsep dari teknik BSEF adalah didasari
pada perubahan yang reversibel pada fungsi
mukosiliar dan patologi mukosa dengan cara
memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di
daerah sinus sfenoid dan untuk memulihkan
fisiologi dari ventilasi serta drainase sinus paranasal
di daerah sfenoid, karena meskipun kelainan di
daerah sinus sfenoid sangat minimal dapat
mengganggu ventilasi sinus dan mucociliaryclearance.17
Perawatan paska operasi sangat penting,
dimana pembersihan paska operasi dilakukan untuk
membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan
fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak
dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan
fibrotik, sinekia, dan osteitis. Beberapa penulis
menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi
dilakukan seawal mungkin, tampon hidung dibuka
3 hari setelah operasi. Setelah itu hidung
dibersihkan dengan larutan salin.11
Terapi medikamentosa paska operasi
berupa antibiotik dapat diberikan 1 minggu atau
lebih. Pemberian steroid topikal sangat berguna,
diberikan 4-5 kali sehari. Talbot et al. pada
penelitiannya dengan menggunakan larutan garam
hipertonik (NaCI 0,9 % pH 7,6) lebih dapat
memperbaiki transportasi mukosiliar dibanding
penggunaan larutan garam fisiologis. Gosepath etal. melakukan penelitian tentang pengaruh larutan
53
Sinusitis Sfenoid (Indah Asmara Gustarini, Irwan Kristyono)
topikal antibiotik (ofloxacin), antiseptik (betadin,
H202), dan anti jamur (amphotericin B,
itraconazole, clotrimazole) terhadap frekuensi
denyut silia. Peningkatan konsentrasi ofloxacin
sampai 50% dan konsentrasi itraconazole dari
0,25% menjadi 1% dapat menurunkan aktivitas
silia. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemakaian
obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur
khususnya pada konsentrasi tinggi dapat merusak
fungsi pembersih mukosiliar.1,11
Pada kasus aspergillosis sinus sfenoid,
beberapa peneliti menggunakan amfoterisin B,
sedangkan yang lain hanya menggunakan
itrakonazol.1,8 Pada penderita sinusitis sfenoid jamur
ini tidak menggunakan terapi amfoterisin atau
itrakenazol, penderita dilakukan BSEF, pemberian
cuci hidung larutan garam fisiologis. Pasien diikuti
selama 2 bulan dengan menanyakan keluhan utama
seperti nyeri kepala. Paska BSEF dan terapi
tambahan, keluhan pasien berkurang dan memberi
hasil yang baik.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus sinusitis sfenoid
kanan jamur non invasif pada penderita perempuan
dewasa dan dilakukan terapi BSEF dengan hasil
baik.
54
Jurnal THT - KL Vol.9, No.2, Mei - Agustus 2016, hlm. 50 - 55
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditya C. Sinusitis jamur. 2014. Available
from:
https://translate.google.com/translate?hl=en&s
l=id&u=http://dokumen.tips/documents/refera
t-sinusitis-jamurpdf.html&prev=search
Accessed November 30, 2015.
2. Trtz A, dagli M, Akmansu H, Han O, Arslan
B, Eryilmaz A. Isolated fungal sinusitis of the
sphenoid sinus. Turk J Med Sci 2009; 39: 453-
6.
3. Dhong HJ, Lanza DC. Fungal rhinosinusitis.
In : Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ,
eds. Diseases of the sinuses diagnosis and
management. London : BC Decker; 2001. p.
184-99.
4. Al Bhlal LA. Fungal infection of the nasal
cavity and paranasal sinuses review of 26
cases. Annals of Saudi Medicine 1996; 16:
615-21.
5. Erkan. Our approach to cases with fungus balls
of the paranasal sinuses. J Med Updates 2014;
4: 25-8.
6. DeShazo RD, O’Brien M, Chapin K, Soto-
Aguilar M, Swain R, Lyons M, et al. Criteria
for the diagnosis of sinus mycetoma. J allergy
Clin Immunol 1997: 476-85.
7. Prateek S, Banerjee G, Gupta P, Singh M, Goel
MM, Verma V. Fungal rhinosinusitis: A
prospective study in a University hospital of
Uttar Pradesh. Indian J Med Microbiol 2013;
31: 266-9.
8. Yiotakis, Psarommatis, Seggas, Ferekidis,
Adamopoulos. Isolated sphenoid sinus
aspergillomas. Rhinology 1997; 35: 136-9.
9. Gondim J, Quidute AR, Maciel M, Carneiro
A, Tavares C, Fontenele E, et al. Cushing’s
disease and sphenoidal aspergilloma. Acta
radiologica 2003; 44: 685-7.
10. Zanchin G, Rossi P, Licandro AM, Fortunato
M, Maggioni F. Clusterlike headache. A Case
of Sphenoidal Aspergilloma. Headache 1995;
35: 494-7.
11. Chakrabarti A, Sharma SC. Paranasal sinus
mycoses. Indian J Chest Dis Allied Sci 2000;
42: 293-304.
12. Metson RB, Mardon S. Nasal irrigation: a key
to healthier sinuses. In : Metson RB, Mardon
S, eds. Healing your sinuses. New york : Mc
Graw-Hill; 2005. p. 65-74.
13. Chakrabarti A, Das A, Panda NK. Overview
of fungal rhinosinusitis. Indian journal of
otolaryngology and head and neck surgery
2004; 56: 251-8.
14. DeShazo RD, O’Brien M, Chapin K, Swain
R. Fungal sinusitis. The new england journal
of medicine 1997; 337: 254-9.
15. Dong Hoon Lee, Tae Mi Yoon, Joon Kyoo
Lee, Young Eun Joo, Kyung Hwa Park, Sang
Chul Lim. Invasive fungal sinusitis of the
sphenoid Sinus. Clinical and experimental
otorhinolaryngology 2014; 7: 181-7.
16. Lewis D, Busaba NY. Surgical management.
In : Brook I, ed. Sinusitis from microbiology
to management. Washington: Taylor and
Francis; 2006. p. 233-66.
17. Hun Jung Dhong, Donald C. Fungal
Rhinosinusitis. In : David W, William E,
Zinreich J, eds. Diseases of the sinuses
diagnosis and management. London: B. C.
Decker; 2001. p. 184-99.
55
Sinusitis Sfenoid (Indah Asmara Gustarini, Irwan Kristyono)