Post on 28-Nov-2015
description
Hidung Tersumbat, Gatal, Sering Bersin, dengan Sekret Encer
Lydia Margaretha
10-2010-136
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat. Email: margaretha.lydia@yahoo.com
Pendahuluan
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori). Mukosa
pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Alergi hidung adalah keadaan atopi yang paling sering dijumpai, menyerang 20% dari
populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain,
alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah, terutama pada negara-
negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika akan mengalami hidung
tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang
cepat.
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar
dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi
mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang
serupa.
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin,
keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE.
1
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yang profesional dan optimal.1
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan :
- Apakah ada bersin-bersin terutama pada pagi hari terutama bila kontak dengan debu?
- Apakah ada sekret encer keluar dari hidung?
- Apakah ada hidung tersumbat?
- Apakah ada hidung dan mata yang gatal?
- Apakah ada dalam keluarga yang mengalami hal serupa?
- Apakah ada riwayat atopi (asma, dll)?
- Apakah baru pertama kali terjadi?
WORKING DIAGNOSIS
Rhinitis Allergika
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar
dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi
mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang
serupa.2
Gambaran histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan
pembesaran sel Goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.2
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi, serangan dapat terjadi terus menerus-persisten
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang irreversible, yaitu
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.2
Etiologi2
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi menjadi :
1. Allergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya tungau
debu rumah (D. pteronyssinus, D. farina, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit
binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass), serta jamur (Aspergillus,
Alternaria).
2. Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Allergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
4. Allergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari :
1. Respon Primer, terjadi eliminasi dan fagositosis antigen, reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila antigen tidak dapat dihilangkan, maka berlanjut menjadi
respon sekunder.
2. Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan sistem humoral,
sistem selular saja atau bisa membangkitkan kedua sistem terebut, jika antigen berhasil
dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga
mekanisme sistem tersebut maka berlanjut ke respon tersier
3. Respon Tersier, reaksi imunologik yang tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini bersifat
sementara atau menetap, tergantung daya eliminasi antigen oleh tubuh.
3
Klasifikasi2,3
Berdasarkan waktunya Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi:
1. Rinitis alergi musiman (Hay Fever, seasonal, polinosis)
Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar
rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya,
debu dan polusi udara atau asap, serta spora jamur. Gejala klinis yang tampak ialah mata
merah disertai lakrimasi dan gejala pada hidung.
2. Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial)
Disebabkan bukan karena musim tertentu ( serangan yang terjadi sepanjang masa (tahunan))
diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu
rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat. Allergen yang sering pada
dewasa dan anak adalah allergen ingestan dan biasanya disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan ini lebih ringan
dibandingkan golongan musiman, tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih
sering ditemukan.
Pemeriksaan Fisik4
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid, dan
adanya secret yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior akan tampak hipertrofi.
Gejala yang spesfik pada anak akan tampak bayangan gelap di bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain
dari itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan.
Gejala ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung lama-kelamaan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (fasies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appereance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tounge).
4
Pemeriksaan Penunjang2
- Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
- Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila pasien juga
menderita asma bronchial atau urtikaria.
- Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna, dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Assay Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
- Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri.
- Skin test dengan test eliminasi dan provokasi (Challenge test). Setelah berpantang
selama 5 hari, pasien diberikan makanan yang dicurigai dan diamati reaksinya. Pada
test eliminasi, jenis makanan yang dicurigai dihilangkan dari menu sampai suatu
ketika gejala menghilang.
Patofisiologi2,3
Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan pada mukosa
hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu individu
yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E.
Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil,
basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi fase lambat
terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang, gatal, dan
vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan hiperresponsivitas
hidung terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan.
Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Histamine bekerja
langsung pada reseptor histamine selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang
berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui saraf otonom, histamin menimbulkan gejala
bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan
5
gejala beringus encer dan edema local reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca
pajanan allergen.
Kurang lebih 50% Rhinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I fase
lambat, gejala Gejala rhinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya
penciuman, dan hiperreaktivitas lebih diperankan ooleh eosinofil.
Manifestasi Klinis2,3
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin
lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya
bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika
berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
5. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang
terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya bersin
adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika
bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala
rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak. Hidung
tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata.
Komplikasi2
1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media efusi. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media efusi yang sering
residif dan terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
3. Sinusitis paranasal
6
Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan
adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase.
Penatalaksanaan2,3
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
2. Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat
Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak
berhasil diatasi oleh obat lain
3. Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas
4. Penggunaan Imunoterapi.
Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-
jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di bawah ini
1. Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas
anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi
generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin,
sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio
efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta
bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat
generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik.
Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta
tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.
2. Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok
reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal
7
bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek
samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.
3. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat
ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat
setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik
pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping
setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung
dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi
hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang
menonjol.
4. Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,
prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi
dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian
kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik
mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis
alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat
intranasal dan inhalasi.
5. Kromon lokal (‘local chromones’)
Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya
belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal
kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat
keamanannya baik. Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast
8
dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan
sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.
6. Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan
membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan
oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
7. Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)
juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi
kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama
seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah
usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis
toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
8. Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus
(rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan
tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis
alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.
9. Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor
CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
9
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
Pencegahan
Ø Potonglah rumput di halaman rumah sesering mungkin.
Ø Bersihkan rumah terutama kamar dengan rutin.
Ø Rumah harus ada aliran udara yang baik dan kering.
Ø Hindari allergen dalam rumah (hewan peliharaan, kerpet berbulu, dll)
Ø Gunakan masker jika bepergian dalam lingkungan yang penuh debu, polusi, angin, dll.
Oleh karena orang dewasa menghabiskan 1/3 waktu mereka dan anak-anak
menghabiskan ½ dari waktu mereka di kamar tidur, maka penting agar tidak ada alergen di
kamar tidur. Jangan gunakan kasur, bantal dan guling yang diisi dengan kapuk.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Rhinitis simpleks3,4
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia.
Sering disebut juga sebagai selesma, common cold, flu. Penyebabnya ialah beberapa jenis
virus dan yang paling sering ialah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus
Coxsackie, dan virus ECHO.
Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya
kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit
menahun,dll).
Pada stadium prodormal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering, dan gatal dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang. Hidung
tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai demam, dan nyeri kepala. Mukosa hidung
tampak merah dan membengkak. Bila terjadi infeksi sekunder bakteri, ingus menjadi
mukopurulen.
10
Tidak ada terapi spesifik, selain istirahat, pemberian obat-obat simptomatis, seperti
analgesic, antipiretik, dan obat dekongestan. Antibiotic diberikan jika hanya terdapat infeksi
dekunder oleh bakteri.
Rhinitis bakterialis2,5
Rhinitis bakterialis biasanya disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae,
tuberkulosa, dan Treponema pallidum (sifilis).
Rhinitis difteri dapat terjadi primer, maupun sekunder dari tenggorok. Gejala rhinitis
difteri akut ialah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis otot pernafasan. Pada hidung, ingus
mungkin tercampur darah, mungkin juga ditemukan pseudomembran putih yang mudah
berdarah, dan ada krusta coklat di nares anterior dan rongga hidung. Jika menjadi kronik
biasanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi masih dapat menular.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan bakteri dari secret hidung. Terapi dpaat
diberikan ADS, penisilin lokal dan im.
Rhinitis tuberkulosa merupakan kejadian tuberkulosa ekstra pulmoner. Tuberculosis
pada hidung berbentuk noduler, atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan
mengakibatkan perforasi. Terdapat secret mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan
hidung tersumbat. Diagnosis dengan ditemukannya BTA pada secret hidung. Pada
histopatologis ditemukan sel Langhans dan limfositosis. Terapi dengan antituberkulosis dan
obat cuci hidung.
Rhinitis sifilis primer dan sekunder ialah gejala rhinitis akut, seperti adanya bercak,
pada mukosa. Rhinitis tersier dapat ditemukan ulkus atau gumma, yang terutama mengenai
septum nasi dan dapat membuat perforasi septum. Terdapat secret mukopurulen yang bau
dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis dengan
pemeriksaan mikrobiologik dan biopsy. Terapi diberikan penisilin dan obat cuci hidung.
Rhinitis jamur2,3,5
Dapat terjadi dengan sinusitis dan bersifat invasive atau non invasive. Rhinitis jamur
non invasive berupa rinolit yang sebenarnya adalah gumpalan jamur (fungus ball). Biasanya
tidak sampai terjadi destruksi tulang dan kartilago. Untuk terapi pada rinolit dengan
mengangkat seluruh gumpalan jamur. Pada pemeriksaan hidung didapat secret mukopurulen,
11
adanya ulkus atau perforasi pada septum disertai jaringan nekrotik berwarna kehitaman
(black eschar).
Sedangkan pada invasive ditandai dengan adanya hifa jamur pada lamina propria. Jika
terjadi invasi jamus pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau hidung
pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan sediaan langsung maupun kultur jamur,
misalnya Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium, dan Mucor. Terapi pada invasive
dengan mengeradikasikan agen penyebabnya dengan antijamur oral dan topikal. Cuci hidung
dan pembersihan hidung untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi dapat diolesi
gentian violet. Kadang juga dilakukan debridement seluruh jaringan nekrotik dan yang tidak
sehat. Jika jaringan nekrotik luas maka diperlukan tindakan rekonstruksi untuk mengatasi
destruksi.
Rhinitis vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktifitas parasimpatis. Rhinitis vasomotor
disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non
spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. Rhinitis vasomotor
ialah keadaan yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal
(kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, beta blocker,
aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan).2
Rhinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit
untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang
banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.3,5
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,
seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan
sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan
oleh individu tersebut.2,5
Adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem saraf
otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung, vasodilatasi
12
dan edema pembuluh darah mukosa hidung, hidung tersumbat dan rinore. Pemicunya seperti
alcohol, perubahan temperatur / kelembaban, parfum, hair spray ataupun pewangi ruangan,
asap rokok atau polusi, faktor psikis seperti stress dan ansietas, penyakit-penyakit endokrin,
serta obat-obatan seperti anti hipertensi dan kontrasepsi oral.5
Gejala yang dijumpai pada rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan
rhinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus
atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian
dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin
tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rhinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di
hidung dan mata.2-5
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor dibedakan dalam dua
golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners/sneezers). Oleh
karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan
yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.2-5
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa
hidung, konkha hipertropi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi
dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konkha dapat licin atau berbenjol. Pada
rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore,
sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Test kulit (skintest) biasanya
negatif, demikian pula IgE spesifik biasanya tidak meningkat 2,3
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :2
1. Menghindari penyebab / pencetus.
2. Pengobatan konservatif (Farmakoterapi) :
Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung
tersumbat.
13
Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin
dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya
digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan.
Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone.
3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal)
Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.
vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada
pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka
kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi, seperti
sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimal, neuralgia atau anetesia infraorbita dan palatum.
Dapat juga dilakukan blocking ganglion sfenopalatina.2,3
KESIMPULAN
Rhinitis alergika dapat (allergic rhinitis) terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita
bereaksi berlebihan terhadap partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem
kekebalan tubuh kita menyerang partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala seperti
bersin-bersin dan hidung meler. Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya partikel-
partikel itu dapat menyebabkan suatu reaksi alergi.
Gejala yang mempunyai rhinitis alergika, biasanya mempunyai gejala selama
beberapa tahun (kronik). Atau mungkin mempunyai gejala sepanjang tahun, atau hanya pada
saat-saat tertentu saja. Dengan berjalannya waktu, alergen mungkin menjadi tidak begitu
mempengaruhi, dan gejala-gejala yang ada mungkin menjadi tidak separah sebelumnya.
Tetapi dapat juga mengalami komplikasi seperti sinusitis ataupun infeksi telinga.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Soegondo S. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2005.h.35-7.
2. Mangunkusumo. E, Rifki N. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2006.h.119-27.
3. Becker W, et al. Ear, nose, and throat diseases. Edisi ke-2. New York: Thieme.2003.h.73-8.
4. Bickley, Linn S. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.h.2003.339-43.
5. Efiaty AS, Nurbati I, Jenny B, Ratna DR. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2011.h.128-40.
15