Post on 24-Jun-2015
MAKALAH SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH
MASALAH-MASALAH IDENTITAS DALAM GLOBALISASI
HOMOGENISASI IDENTITAS:
Tinjauan Kritis terhadap Masuknya Nilai-Nilai
Demokrasi Liberal ke dalam
Kehidupan Masyarakat China
Mita Yesyca 0806465560
Romarga A. Waworuntu 0806352416
Umi Yanti F. Silalahi 0806318630
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2010
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Globalisasi berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari suatu negara sampai seorang individu.
Pengaruh tersebut tidak melulu dalam bidang ekonomi, sebuah penegasan jika selama ini dampak globalisasi
lebih sering dilihat dari sudut pandang ekonomi. Menurut Francis Fukuyama, globalisasi adalah isu yang lebih
besar dari ekonomi.1 Diskusi-diskusi tentang globalisasi menggambarkannya sebagai fenomena di mana dunia
menjadi semakin saling terkait dan terpadu, tunduk pada proses homogen dan seragam. Dalam globalisasi,
tidak semua kegiatan berlangsung secara global tentunya tapi, strategically crucial activities and economic
factors are networked around a globalized system of inputs and outputs.2 Kenyataannya, banyak orang merasa
dunia menjadi semakin sempit akibat globalisasi. Masyarakat di berbagai negara pun mengakui kemunculan
ikon-ikon global seperti Michael Jackson hingga Lady Gaga, atau produk-produk yang mendunia seperti Nike
atau Mc Donalds. Hal-hal tersebut merupakan bukti sederhana adanya kesadaran global.
Masyarakat yang tak luput dari pengaruh globalisasi adalah masyarakat China. Fenomena yang
menarik adalah ketika kita menganalisa masyarakat China, karena pada dasarnya memiliki karakteristik dan
sejarah yang unik terkait dengan geopolitik dan geo ekonomi karena secara geopolitik, secara geografi China
adalah salah satu negara yang berideologi komunis dimana Barat atau Amerika Serikat membangun
kebijakan containment policy atau politik pembendungan pada masa Perang Dingin. Sehingga saat ini China
dikelilingi oleh negara-negara liberal dan bercirikan pembangunan ekonomi kepitalistik seperti Jepang, Korea
Selatan dan Taiwan. Sedangkan secara geoekonomi, posisi China yang dikelilingi oleh negara kapitalistik Asia
Timur ini membuat posisi China dalam kacamata ekonomi, mau tidak mau harus turut serta dalam
perkembangan regional dimana sedang berlangsung proses globalisasi ekonomi. Makalah ini setidaknya akan
menunjukkan bagaimanakah negara yang masih mempertahankan sistem masyarakat sosialisme, mau tidak
mau juga harus berkompromi dengan nilai-nilai liberal yang diperkenalkan oleh agen globalisasi yaitu
misalnya perusahaan multinasional dan media. Pengaruh ini tentu saja akan membawa banyak perubahan
dalam sistem sosial, ekonomi dan politik.
Berangkat dari sejarah, Mao Zedong pernah memberlakukan Revolusi Budaya di China pada tahun
1966-1976 dan berupaya mengubah cara pandang masyarakat China akan masa kerajaan yang feodal. Dua
puluh tahun setelah teror itu berakhir, masyarakat China mulai mencari identitas mereka sekaligus memulihkan
diri setelah tragedi Tiananmen yang terjadi pada 1989.3 Slogan ‘better socialist weeds than capitalist flowers’
1Hirotsugu Aida, Perspective from the Media, diakses dari http://global.tokyofoundation.org/en/report/article/r0711/view, pada 10 September 2010.2 M. Castells, Information technology and global capitalism dalam W. Hutton and A. Giddens. (eds.) On The Edge. Living with global capitalism, (London: Vintage, 2001), hlm. 523 Hannah Beech, Let One Hundred Cultures Bloom, diakses dari http://www.time.com/time/asia/features/china_cul_rev/opener.html, pada 10 September 2010.
1
pun secara perlahan tapi pasti mulai memudar dalam benak masyarakat China. Bagaimana prosesnya sehingga
masyarakat China memiliki identitas baru tersebut merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Terutama
karena China memiliki karakteristik unik dalam menyikapi globalisasi. China, negara yang dahulu merupakan
negara tertutup dan komunis, kini menjadi ‘lebih liberal’ namun masih tetap enggan untuk mengidentifikasikan
dirinya sebagai negara liberal.
Francis Fukuyama, dalam artikelnya The End of History, mengatakan bahwa berakhirnya Perang
Dingin dengan kemenangan paham liberal oleh negara-negara Barat mungkin menandai berakhirnya evolusi
sosial budaya manusia. Fukuyama telah mengatakan bahwa paham liberal demokrasi akan menjadi pilihan
negara-negara di dunia, termasuk China yang saat itu memulai penerapan dekolektivitas di bidang pertanian—
suatu hal yang mustahil dilakukan oleh negara komunis. What we may be witnessing is not just the end of
the Cold War, or the passing of a particular period of post-war history, but the end of history as such: that is,
the end point of mankind's ideological evolution and the universalization of Western liberal democracy as the
final form of human government.4
Artikel tersebut ditulis pada tahun 1989 dan Fukuyama mengatakan bahwa saat itu China masih tidak
bisa digambarkan dengan cara apapun sebagai demokrasi liberal.5 Lebih dari puluh tahun setelah itu, China
yang kini memiliki sistem ekonomi pasar bebas telah mengalami banyak perubahan. Bukan hanya dari
pemerintah yang menerapkan sistem ekonomi terbuka, melainkan juga dari dalam masyarakatnya sendiri yang
mulai menunjukkan nilai-nilai demokrasi liberal. China sudah mengalami transformasi yang ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi double-digit, pertarungan ideologi, konflik sosial, dan krisis politik sejak 1978, ketika
Deng Xiaoping membuka pasar China.6 Munculnya kapitalisme mengawali munculnya demokrasi; dan
memang beberapa diskusi menyimpulkan bahwa menurut sejarah, pasar bebas tidak hanya prasyarat, tetapi
pada akhirnya akan memastikan transisi menuju demokrasi, seperti yang terjadi di China. Nilai-nilai liberal
demokrasi banyak dikenalkan melalui sistem pasar bebas. Di sini penulis melihat bahwa hak kepemilikan dan
hak untuk mendirikan badan usaha adalah contoh-contoh cikal bakal demokrasi.
1.2 Rumusan Masalah
Globalisasi mendorong munculnya nilai-nilai liberal demokrasi di China. Fakta tersebut mendorong
penulis untuk membahas penerimaan nilai-nilai baru yang muncul akibat globalisasi dalam dua layer sistem
negara dan individu masyarakat China. Penulis melihat ada tiga aspek yang dapat dilihat lebih fokus untuk
mengkaji perubahan-perubahan nilai yang terjadi pada masyarakat China: politik, ekonomi, dan sosial budaya
di China. Penulis berusaha menjawab pertanyaan bagaimana kontribusi globalisasi terhadap proses
homogenisasi identitas masyarakat China dewasa ini dengan meninjau pada aspek politik, ekonomi, dan
sosial budaya? Dimulai dari kerangka konsep yang digunakan untuk memahami kasus homogenisasi identitas
4 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: The Free Press, 1992).5 Francis Fukuyama, The End of History, dalam The National Interest, Summer, 1989, diakses dari http://www.wesjones.com/eoh.htm#title, pada 10 September 2010.6 Haiqing Yu, Media and Cultural Transformation i n China, (New York: Routledge, 2009), hlm. 1.
2
di China akibat globalisasi, selanjutnya pembahasan lebih spesifik akan melihat kekhasan kondisi masyarakat
China setelah globalisasi.
1.3 Kerangka Konsep
Thomas L. Friedman dalam bukunya “The World is Flat” mengkategorikan globalisasi dalam tiga
pembabakan: globalization 1.0, globalization 2.0, globalization 3.0.7 Pada tahapan globalisasi pertama,
globalisasi cenderung berorientasi negara. Tahap ini berlangsung kurang lebih sejak tahun 1492, ditandai
dengan pelayaran Columbus yang membuka jalur perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru, hingga
sekitar tahun 1800. Tahap kedua berorientasi perusahaan, dan bertahan sejak sekitar tahun 1800 hingga 2000-
an. Tahap ketiga lebih berorientasi pada individual yang gejalanya mulai dapat dilihat sejak tahun 2000-an.
Fenomena globalisasi seperti yang terjadi sekarang mengarah kepada globalisasi nilai-nilai kapitalisme
liberal dan materialistis modern.8 Fenomena ini mengacu pada nilai-nilai ekonomi karena sistem ekonomi
merupakan sistem yang mendominasi sistem-sistem sosial lainnya, dimana nilai-nilai materialistis dan
konsumerisme menyebar ke masyarakat melalui media massa. Namun di sisi lain, globalisasi juga bukan
sekedar fenomena ekonomi, seperti yang diutarakan oleh Friedman.9 Globalisasi turut membawa dampak yang
lebih luas, mendalam, dan kompleks, seperti dalam perkembangan komunikasi dan berbagai inovasi lainnya.
Fenomena globalisasi menyebabkan berbagai fenomena lainnya, seperti homogenisasi. Menurut
Francis Fukuyama, homogenisasi identitas mengacu pada nilai-nilai liberal, seperti demokrasi dan liberal,
dimana umat manusia berjalan menuju pola yang sama, yakni menuju demokrasi liberal modern dan
kapitalisme yang digerakkan oleh teknologi.10 Fukuyama percaya bahwa sistem demokrasi liberal merupakan
bentuk terakhir dari sejarah umat manusia yang merupakan konklusi terbaik dalam mengatasi permasalahan
internasional.11 Demokrasi liberal menurut Fukuyama mengarah ke sistem pemilihan umum (pemilu), seperti
misalkan terdapatnya multipartai dalam pemilu, serta mengacu pada jaminan hukum terhadap hak-hak individu
masyarakat.12 Dengan kata lain, pengertian demokrasi liberal menurut Fukuyama juga turut mengacu pada hak-
hak individu, seperti kebebasan media, kebebasan beragama, kebebasan membentuk kelompok politik, dan
terutama kebebasan untuk berpartisipasi dalam sistem politik.
7 Thomas L. Friedman, The World is Flat, (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2007), hlm. 10.8 Yi Wang, “Globalization Enhances Cultural Identity”, dalam Intercultural Communication Studies XVI: 1 2007, hlm. 849 Thomas L. Friedman, Op. Cit., hlm. 48210 “Chapter 2: Modernization, Westernization, and Democratization”, diakses dari http://www.dflorig.com/CHAP2.html, pada 15 September 2010, pk 10.50.11 Joel Achenbach, The Clash, diakses dari http://www.washingtonpost.com/ac2/wp-dyn/A34207-2001Dec12?language=printer, pada 15 September 2010, pk 07.45.12 Brian Lamb, The End of History and the Last Man by Francis Fukuyama, diakses dari http://www.booknotes.org/Transcript/?ProgramID=1088, pada 15 September 2010, pk 8.30.
3
BAB II
Pembahasan
2.1 Kontribusi Globalisasi dalam Homogenisasi Identitas China
Globalisasi membuat masyarakat dunia menjadi semakin tanpa batas. Hal ini berkaitan erat dengan
perkembangan teknologi, komunikasi dan transportasi. Globalisasi menimbulkan fenomena
kesalingtergantungan antarmasyarakat dunia, dimana kesalingtergantungan ini didasari kesadaran masyarakat
bahwa masyarakat dunia memerlukan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal inilah yang
difasilitasi oleh globalisasi, dimana batasan antar masyarakat dunia menjadi semakin kabur karena
keterbukaan.
Dalam masa pemerintahan Perdana Menteri China Deng Xiaoping, arus modal, barang, informasi,
serta teknologi lintas batas di China mengalami peningkatan.13 Para pemimpin China menganggap bahwa
terbukanya akses bagi penanaman modal asing merupakan jalan untuk memperluas pembaharuan pasar dan
pertumbuhan ekonomi negara.14 Relasi ekonomi dengan dunia luar menjadi kekuatan penting dalam
mendorong pertumbuhan perekonomian China.
Masyarakat China pada dasarnya menganut prinsip komunis. Namun, fenomena globalisasi menjadi
jendela bagi masuknya nilai-nilai global ke China, termasuk nilai-nilai liberalisme. Fukuyama berargumen
bahwa kurang lebih sejak 1970-an, paham Marxis-Leninis makin tidak populer digunakan sebagai sistem
ekonomi.15 Peran negara dalam sektor pertanian berkurang, seperti hanya dalam hal pemungutan pajak.
Peningkatan sektor produksi serta disediakannya insentif bagi petani menunjukkan keberhasilan sektor agraria
China, dimana kesuksesan ini memengaruhi pemerintah China untuk melebarkan pembaharuan ke bidang-
bidang lain dalam ekonomi.
Keterbukaan China ini apabila dilihat dari regulasi pemerintah dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan
Perdana Menteri Deng Xiaoping yang memulai era terbukanya China.16 Kebijakan ini kemudian membuka
pintu perekonomian dan mengarah kepada kebebasan pasar. Namun, seperti yang diutarakan oleh Friedman
sebelumnya, globalisasi tersebut kemudian berkembang melampaui permasalahan-permasalahan menyangkut
negara dan pasar. Globalisasi kemudian mulai memberikan perhatian kepada individu. Dengan pengertian ini,
paham-paham liberal yang dapat dilihat berkembang di China meluas bukan hanya meliputi aspek paham
liberal yang memengaruhi negara ataupun liberal kapitalis pasar, namun juga mencapai ke pembahasan
individu masyarakat China. Dalam subbab selanjutnya, penulis akan menjelaskan sejauh mana proses
13 Yong Deng dan Thomas G. Moore, China View Globalization: Toward a New Great-Power Politics, dalam Washington Quarterly 27: 3, hlm. 119.14 Chinese Citizens’ Attitudes towards Globalization: A Survey Study of Media Influence, diakses dari http://www.allacademic.com//meta/p_mla_apa_research_citation/2/3/0/9/7/pages230974/p230974-1.php, pada 15 September 2010, pk 01.30.15 Francis Fukuyama, “The End of History” (1989), diakses dari http://www.wesjones.com/eoh.htm, pada 15 September 2010, pk 01.00.16 How Chinese Thinks, hal. 12.
4
homogenisasi identitas demokrasi liberal berlaku di China, yakni sejauh mana demokrasi liberal telah
terpenetrasi dalam kehidupan masyarakat China, menyangkut aspek ekonomi, politik, serta sosial-budaya.
2.2 Homogenisasi Identitas Masyarakat China
2.2.1 Pengaruh di Bidang Ekonomi
Sekarang ini yang menjadi pembahasan paling akurat adalah China sebagai entitas ekonomi yang pesat
berkembang. Perkembangan ini membuat negara-negara maju heran karena negara ini yang sebelumnya
memiliki intensitas penduduk miskin terbesar. China membuat negara-negara maju khawatir dan takut,
contohnya negara Amerika, Jepang, Eropa, dll. Mereka menghawatirkan di masa yang akan datang China akan
menguasai pasar global dan menggantikan Amerika yang selama ini menjadi negara hegemon dan sebagai
penguasa pasar global. Perkembangan China itu sendiri terutama dalam bidang infrastruktur perekonomiannya
yang semakin maju bahkan sekarang China sudah menjadi ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah AS, dan
Jepang dengan PDB yang tinggi sekitar US$4,9 triliun.17 Ini disumbang sebagian besar oleh perdagangan
sektor teknologi informasi dan komputer. Saat ini China ini termasuk yang ditakuti dan disegani oleh AS
karena negara ini juga merupakan pemborong utama perusahaan-perusahaan AS yang diambang kebangkrutan
karena krisis ekonomi.
Pertanyaannya adalah mengapa kita perlu menganalisis daya acceptance dari masyarakat China akan
budaya Barat dari aspek ekonomi industri? Seperti yang sebelumnya sudah dibahas dalam kerangka konsep
Francis Fukuyama mengimpose liberal-demokrasi sebagai paham yang menjadi puncak peradaban manusia.
Liberal demokrasi mengandung 2 unsur utama, yaitu hak kebebasan untuk pemilihan umum dan hak-hak
pribadi. Hak-hak pribadi ini salah satunya mengandung hak kepemilikan modal atau kapitalis. Pembangunan
ekonomi di China tidak lepas dari luasnya pintu bagi para pemilik modal (kapitalis) untuk mengembangkan
modalnya masing-masing. Kapital lokal bahkan kapital asing menjamur di China seiring open door policy
selepas Mao berkuasa.
Dalam makalah ini penulis akan menyoroti pengaruh MNCs dan industri asing sebagai hal yang
dominan dan paling mencolok mempengaruhi ekonomi masyarakat di China. Multinational corporations
(MNC) adalah sebuah perusahaan yang mempunyai pusat operasi pada satu negara dan mempunyai serta
mengoperasikan perusahaan-perusahaan lainnya di negara lain. Perusahaan-perusahaan lainnya ini dinamakan
subsidiaries. MNC berbeda dengan perusahaan lainnya baik dari segi ukuran hingga kemampuannya
mempengaruhi politik, ekonomi, dan sosial suatu negara yang besar.18 MNC mempunyai struktur yang
berubah-ubah dari jaman sebelum perang dunia kedua hingga periode sekarang ini. Struktur MNC sekarang ini
adalah integrasi distribusi, saling bergantungnya sumber daya alam, dan kemampuan mengoperasikannya
dalam pasar yang berbeda. Secara umum, MNC memilih untuk memiliki semua kepemilikan dari cabang-
cabang perusahaannya karena full ownership berarti maksimum kontrol. Untuk mendapatkan full ownership
17 Gross Domestic Product 2009, diakses dari http://siteresources.worldbank.org/DATASTATISTICS/Resources/GDP.pdf, pada 15 September 2010.18 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations Frameworks for Understanding, (United States of America: Georgia Institute of Technology, 1997).
5
ini, MNC harus sering menginvestasikan banyak uangnya kepada negara-negara dimana cabangnya berada.
Uang yang diinvestasikan ini dinamakan foreign direct investment. Pemerintah China membiarkan para
pemilik modal masuk seluas-luasnya ke negeri itu. Tidak lupa juga investor asing. Contohnya kota Shenzhen,
kota nelayan yang menjadi kota metropolitan hasil kebijakan Dao Xiaoping, berkembang menjadi kota
industri. Populasi penduduknya tumbuh cepat menjadi sekitar 8,5 juta jiwa saat ini dari yang sebelum tahun
1979 hanya berjumlah ratusan ribuan.19
Tetapi terkadang juga mereka harus berbagi saham kepemilikan kepada perusahaan swasta lainnya
ataupun dengan pemerintah di negara tersebut. Hal ini dinamakan joint venture. China adalah salah satu negara
yang menerapkan sistem ini. Pemerintah China yang sangat kooperatif mengundang dan mengadakan inovasi
perdagangan berupa joint venture dan agreement of lisencesing memanfaatkan ini untuk menjadi ajang
peningkatan ekonomi mereka. Penulis juga melihat upaya yang dilakukan pemerintah yaitu mengundang dan
menyambut baik MNC menjual dan membuat risetnya di China, yang notabene biaya produksinya jauh lebih
murah (upah buruh murah dan tersedia banyak, bahan dasar produksi banyak dan murah) menjadi kesempatan
bagi China untuk komparasi kemajuan ekonomi pula. Salah satu diantaranya dengan membuat kembali barang
yang sama dengan harga jual yang lebih murah dan kompetitif. China melihat adanya suatu kebutuhan dari
masyarakat yang tidak berdaya beli produk MNC asli yang sangat mahal. China membuat tiruannya dalam
jumlah banyak sehingga pasar yang tidak menjadi target MNC pun dijangkau oleh produksi China.
Tidak dipungkiri bahwa di Shenzhen, kota industri terkemuka China, terkenal dengan pusat pembuatan
barang palsu. Kalau tidak paham, sulit membedakan mana bolpoin Mont Blanc asli dan palsu. Begitu pula sulit
membedakan mana Rolex asli atau palsu.20 Namun, cerdiknya pemerintah China yang memang sudah sejak
5000 tahun lalu dikenal sebagai pusat inovasi teknologi dengan memperkenalkan serbuk mesiu, kompas, dan
teknologi lain yang kemudian dikembangkan oleh negara Barat sebagai teknologi yang lebih maju. Sekarang
China tampaknya sangat berniat merebut peran sejarah yang terdahulu pernah dimilikinya. China begitu
agresif mengembangkan aneka teknologi, dari yang sederhana hingga yang paling canggih yaitu mengirim
astronot ke luar angkasa selama lima hari.21
MNC biasanya membuat komponen barang di banyak tempat berbeda. Banyak barang yang dilabel
dengan nama “buatan Amerika” ataupun “buatan China”, padahal barang-barang tersebut dibuat di lebih dari
satu negara. Contohnya adalah kerjasama antara Chrysler Corporation dengan Mitsubishi Motors, dan Exxon
dengan Mobil. Walaupun kelihatan tidak terlalu penting dimana tempat sebuah produk diproduksi, namun
kenyataannya adalah produksi menciptakan pekerjaan bagi pekerja, keuntungan bagi perusahaan, dan kekuatan
ekonomi bagi suatu negara.
19 Heru Margianto, Ke Shenzhen, Menawarlah dengan "Kejam", diakses dari http://travel.kompas.com/read/2010/08/18/10171071/Ke.Shenzhen..Menawarlah.dengan..quot.Kejam.quot., pada 11 September 2010.20 Ibid.21 Heru Margianto, Huawei, Keajaiban China, diakses dari http://tekno.kompas.com/read/2010/08/20/09394051/Huawei..Keajaiban.China pada 11 September 2010.
6
Selain itu, sebuah MNC mempunyai peran penting dalam kemampuannya untuk menyamakan selera
pembeli, dan untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, MNC menerapkan system sentralisasi
pengambilan keputusan. Hal ini terjadi pula di China yaitu proses homogenisasi selera pasar dari MNC karena
pintarnya mereka menangkap kebutuhan. Dampak yang seharusnya adalah China sebagai host country akan
kehilangan kontrol terhadap kehidupan politik, ekonomi dan tujuan sosialnya. Akan tetapi tidak terjadi di
China sayangnya, kontrol pemerintah tetap berjalan tanpa membatasi MNC mengembangkan usahanya. Maria
Pangestu bahkan pernah menyampaikan pendapatnya bahwa China itu kompleks. Seperti pada kutipan ini:
”The New China was more accurately described ‘authoritarian capitalism’...So China has become a kind of
global oddity—a nation with a robust economy and rapidly modernizing but still under authoritarian political
controls that forbid democratic elections, an independent judiciary or even serious public discussion of public
affairs.”22
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa China memang liberal di aspek ekonomi dan seiring
perkembangannya terus menerus berupaya meningkatkan daya saingnya dengan perusahaan asing. Akan tetapi
apakah dengan melihat aspek ekonomi yang seperti ini mimpi dari Fukuyama telah tercapai? Penulis
menganalisis bahwa tercapai atau tidaknya liberal seperti yang menjadi argumen kuat dari Fukuyama tidak
serta merta terinput di China. Masyarakat China yang ulet, rajin, inovatif, dan juga pemerintah yang peka
terhadap kesempatan yang ada membuat suatu hal yang khusus dan anomali dalam prinsip liberal mainstream.
Entah dalam proses menuju mainstream yaitu liberalisasi dan deregulasi (yang jelas-jelas akan mustahil
melihat kontrol negara yang di satu sisi menyebalkan tetapi di sisi lain menciptakan trust bagi MNC yang
datang akan kestabilan politik hasil redaman pemerintah), atau pun memang sebagai anomali China
berkebutuhan khusus untuk menjadi model negara yang kuat ekonominya meskipun tidak liberal-demokrasi.
Dari sini bisa dilihat tendensi teori Fukuyama tidak kompatibel di semua kasus bahwa masyarakat liberal-
demokrasilah yang menjadi syarat negara tersebut menjadi maju dan berada pada puncak kejayaan.
2.2.1.1 Shenzhen Sebelum Liberalisasi
Shenzhen merupakan sebuah kota yang terletak di wilayah selatan provinsi Guangdong, Cina. Lokasi
Shenzhen berdekatan dengan Pearl River Delta dan Hong Kong. Secara geografis, lokasi Shenzhen ini
memberikan kota ini keuntungan dalam segi pertumbuhan ekonomi. Awalnya kota ini bernama Baoan County,
namun pada tahun 1979, Baoan County berganti nama menjadi Shenzhen.
Tigapuluh tahun lalu Deng Xiaoping merancang kota Shenzhen yang semula merupakan kota nelayan
yang bersebelahan dengan Hong Kong, menjadi zona ekonomi Cina yang pertama.23 Sejak itu, Shenzhen
menjadi salah satu kota penting bagi Cina dan menarik perhatian karena pertumbuhan ekonominya yang pesat.
22 James F. Scotton dan William A. Hatchten, “New Media for a New China”, (UK: Blackwell Publishing, 2010), hlm. 23.23 Frank Ching, “China says yes to democracy, eventually”, diakses dari http://www.theglobeandmail.com/news/opinions/china-says-yes-to-democracy-eventually/article1698968/, pada 9 September 2010, pk 20.00.
7
Awalnya, Shenzhen dimaksudkan menjadi daerah untuk menangkar pengaruh kapitalisme dari dataran
Cina.24
Fenomena yang terjadi di Shenzhen ini bermula dari kebijakan “open door” Cina yang diajukan oleh
tokoh reformis Perdana Menteri Deng Xiaoping, yaitu untuk menjadikan Shenzhen sebagai salah satu Zona
Ekonomi Khusus.25 Dengan kebijakan ini, Shenzhen menjadi kota yang terbuka terhadap investasi asing serta
sistem ekonomi pasar. Seperti pula yang dikatakan oleh Deng Xiaoping, status Zona Ekonomi Khusus menjadi
“jendela” bagi Shenzhen dalam hal arus teknologi, manajemen, pengetahuan, serta kebijakan luar negeri.
2.2.1.2 Liberalisasi Shenzhen
Masyarakat Cina secara keseleuruhan telah mengalami perubahan pesat menjadi masyarakat industri
yang berorientasi pasar. Setiap aspek dalam budaya Cina, seperti bahasa, sistem politik, model produksi,
hukum, militer, pendidikan, arsitektur, hingga adat, nilai, struktur keluarga, hiburan, bahkan pakaian dan
makanan, telah mengalami perubahan besar.26
Salah satu penanda liberalisasi di Shenzhen ialah masuknya investasi asing. Sumber investasi di
Shenzhen didominasi oleh negara-negara di Asia. Pada tahun 1990, Shenzhen menempati urutan pertama
dalam hal investasi asing langsung terbesar di Cina, menggungguli daerah-daerah lain, seperti Shanghai dan
Beijing, dengan angka sebesar US$ 349,200.27
Institut Observasi Kontemporer (ICO) merupakan organisasi nonpemerintah yang berasal dari
Shenzhen dan dibentuk pada tahun 2001, yang fokus pada isu hak buruh. Organisasi ini bukan sekedar
melakukan oenelitian, namun juga berusaha mengenalkan hak azasi manusia kepada ratusan pabrik serta lebih
dari 200.000 pekerja di Cina.28
Liberalisasi yang dialami oleh Shenzhen juga berkembang pada masalah lain, yaitu migrasi. Pendatang
dari berbagai penjuru negeri Cina bermigrasi ke Shenzhen demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.29
Dengan munculnya banyak MNCs Barat yang berbondong-bondong ke China (khususnya ke Shenzhen)
membuat suatu kebutuhan akan jumlah pekerja yang besar dan hal ini dilihat menarik dan sangat pas bagi
orang-orang masyarakat usia pekerja yang, entah merasa tidak cukup puas dengan penghasilan maupun dengan
cara tradisional dari masyarakat agrikultur. Akhirnya apa yang masyarakat tradisional junjung tinggi pun, yaitu
24 Carlo Ratti, “Instant City (Shenzhen, China)”, diakses dari senseable.mit.edu/papers/pdf/2003_Ratti_Aspenia.pdf, pada 10 September 2010, pk 14.50.25 Ibid.26 Wu Mei dan Guo Zhenzhi, “Globalization, National Culture, and the Search for Identity: A Chinese Dilemma”, diakses dari http://archive.waccglobal.org/wacc/publications/media_development/2006_1/globalization_national_culture_and_the_search_for_identity_a_chinese_dilemma, pada 9 September 2010, pk 22.30.27 “The effects of globalization on the urban system in China” diakses dari http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu11ee/uu11ee0s.htm, pada 9 September 2010, pk 22.00.28 Rose Tang, “The Winds of Change”, diakses dari http://www.hartford-hwp.com/archives/55/689.html”, pada 9 September 2010, pk 21.00.29 Heru Margianto, “Huawei Keajaiban China”, Loc. Cit.
8
sebuah communalism (budaya kolektif dan bersama-sama satu keluarga) berubah menjadi budaya migrasi ke
kota-kota moderen yang memiliki kesempatan berkerja di perusahaan asing, yang dilihat lebih menjanjikan.30
Perilaku liberal yang muncul pada sebagian besar individu yang ada di Kota Shenzhen yang sekarang
ini menunjukkan bahwa adanya pergeseran dari sifat masyarakat tradisional nelayan terdahulu (agricultural
society) menjadi masyarakat industri yang cenderung individualis. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya usia
pekerja yang berbondong-bondong datang ke Shenzhen dan menetap sendirian di sana, biasanya tinggal dalam
apartemen-apartemen yang sudah memadai di Shenzhen, untuk mencari nafkah sedangkan masyarakat yang
berusia tua tinggal di kota/desa di luar Shenzhen.31 Shenzhen disulap menjadi kota yang ekslusif hanya bagi
para masyarakat usia produktif yang mampu berkompetisi untuk memiliki gaya hidup pekerja yang terhisap
arus kapitalis.
Melihat fakta yang terjadi di Shenzhen terbukti sudah bahwa memang perilaku individu di kota-kota
industri metropolitan di China sudah menunjukkan diterimanya liberalisme dalam pola hidup masyarakat.
Perilaku liberalisme yang muncul ini dipengaruhi oleh masuknya perusahaan-perusahaan asing yang melihat
potensi low cost production di China dan dukungan dari pemerintah China untuk investasi menyebabkan suatu
kebutuhan besar akan kebutuhan pekerja. Masyarakat Shenzhen yang sekarang adalah masyarakat yang
berubah dari masyarakat yang berpola tradisional, menjunjung kolektifitas keluarga di atas kepentingan apa
pun, menjadi masyarakat yang berperilaku liberal, yaitu mampu berkompetisi dan individualis demi
kepentingan ekonomi masing-masing.
2.2.2 Pengaruh di Bidang Politik
Salah satu indikasi demokrasi liberal seperti yang diyakini oleh Fukuyama ialah kebebasan pers, yang
merupakan salah satu bagian dari kebebasan individu. Media China memberikan akses luas terhadap informasi
dan hiburan, sekaligus seringkali mengkritisi kontrol pemerintah China terhadap perkembangan dan arus
informasi.32 Terlepas dari upaya pemerintah untuk mengontrol media China, tak dapat dipungkiri bahwa media
modern ini telah membentuk opini publik China.33 Media China tetap menunjukkan suatu perkembangan
positif, meski amat dikontrol oleh pemerintah.
Media di China juga seringkali digunakan sebagai media periklanan. Media periklanan tersebut menjadi
semacam perpanjangan tangan kapitalis, dimana media menjadi sarana promosi produk kepada masyarakat.
Bahasan mengenai media periklanan erat kaitannya dengan pembahasan penulis sebelumnya mengenai
ekonomi kapitalis. Produk yang ditawarkan oleh pasar tersebut ditawarkan ke masyarakat dalam bentuk paket
yang menarik melalui media periklanan, sehingga masyarakat tertarik untuk membeli. Di tahun 2008, China
memiliki 250 juta pengguna internet, 350 juta telepon selular, 300 juta blog, serta penulis blog dengan jumlah
30 Heru Margianto, “Ke Shenzhen, Menawarlah dengan "Kejam" “, Loc. Cit.31 Heru Margianto, “Ke Shenzhen, Tina Membangun Harapan”, Kompas.Com 18 agustus 2010 diakses dari http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/08/18/10002435/Ke.Shenzhen..Tina.Membangun.Harapan pada 14 September 2010 pukul 17.1632 Ibid.33 James F. Scotton dan William A. Hatchten, Op. Cit., hlm. 23.
9
tak terhitung yang membangun jaringan komunikasi “all to all”.34 Di antara media-media populer yang
berkembang di China, televisi (TV) merupakan salah satunya. Penelitian Dobson di tahun 2005
memperlihatkan bahwa televisi merupakan media iklan yang paling dominan bagi masyarakat China, karena
China memiliki 1,17 milyar penonton TV, dimana rata-rata masing-masing penonton menghabiskan tiga jam
untuk menonton di depan televisi.35 Pemasukan dari periklanan TV memegang 23,64% dari total penerimaan
dari periklanan China di 2003, sedangkan surat kabar 22,53%.36 Media televisi di China memiliki suatu
karakteristik penting yang membedakannya dengan yang lain, yaitu bahwa media TV tersebut merupakan
milik pemerintah dan berada di bawah kontrol pemerintah.37 Televisi Sentral China (CCTV) mengungguli
media lain dalam hal pendapatan periklanan. Hal ini dikarenakan saluran ini merupakan perpanjangan mulut
pemerintah dan konglomerat yang berkuasa. Pemerintah China sendiri sangat mendorong pertumbuhan media
lokal China, dimana media tersebut dipandang membawa keuntungan ekonomis bagi China.
Perkembangan media modern yang paling dinamis dapat dilihat dari internet. Pengguna internet di
China menunjukkan tanda-tanda peningkatan dari segi kuantitas, kira-kira 111 juta orang go online setiap
harinya, dan jumlah ini sendiri terus mengalami peningkatan.38 Menurut Timothy Cheek, media internet di
China menunjukkan tanda-tanda perubahahan ke arah yang lebih demokratis.39 Meskipun pemerintah telah
melakukan pengeblokan terhadap sejumlah website internasional, namun praktik liberal dan demokrasi itu
sendiri mulai nampak di media internet China. Misalkan apabila melihat kasus Wikipedia di China, situs
referensi ini sempat menimbulkan perdebatan ketika seseorang mengepos esai “China-centrism”.40 Meski
muncul perdebatan, namun para kontributor setuju pada unsur netralitas Wikipedia, meliputi objektivitas
dalam isi artikel, kesetaraan bagi pengguna, dan pentingnya konsensus.
Menurut Liu Xiaobo, salah seorang kaum intelektual yang turut berpartisipasi dalam demonstrasi
Tiananmen mengatakan bahwa e-mail dan transfer dokumen elektronik memungkinkan dan memudahkan
penyusunan petisi dan pemublikasian artikel.41 Artikel-artikel tersebut hanya dapat diterbitkan di luar China,
dan pemerintah China sendiri cenderung membiarkan hal ini asalkan tidak menimbulkan kekacauan di dalam
negeri. Peran kritis media dapat dilihat dalam kasus yang terjadi tahun 2007 42, dimana beberapa penulis blog
mengekspos pejabat polisi yang korupsi yang membiarkan pemilik tambang baja dan batu bara untuk menculik
dan memperbudak pekerja anak di provinsi Shanxi. Skandal ini kemudian diliput oleh stasiun tv lokal dan
menjadi nasional serta internasional skandal.
Selain media-media lokal, beberapa media asing juga masuk ke China. Semenjak China bergabung
dengan WTO di tahun 2001, pemerintah China telah secara bertahap membuka pasar media domestiknya. 43
34 Ibid., hal. 3.35 Jing Wang, Brand New China: Advertising, Media, and Commercial Culture (Cambridge: Harvard University Press, 2008), hal. 27.36 Ibid.37 Ibid., hal. 247.38 Ibid., hal. 120.39 Timothy Cheek, Living with Reform: China since 1989, (Nova Scotia: Fernwood Publishing, 2006), hal. 119-120.40 Ibid., hal. 120.41 Ibid.42 James F. Scotton dan William A. Hatchten, Op. Cit., hlm. 3.43 Xu Minghua, Globalization, Foreign media and Local response in China, hlm. 2.
10
Ditandai dengan masuknya tiga saluran televisi asing pada tahun tersebut. Terdapat setidaknya tigapuluhan
saluran kabel asing yang diizinkan untuk siaran di China, termasuk CNN, HBO, MTV Mandarin, Channel V,
dan Discovery).44 Pada Oktober 2004, Badan Administrasi Radio Film dan Televisi Negara mengeluarkan
kebijakan untuk mengatur media asing di China melalui format yang lebih beragam. 45 Menurut Xu Minghua,
hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pengaturan televisi di China mulai berubah dimana terdapat unsur
pasar media terbuka yang mengarah kepada kapitalisme di China. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan
bahwa China menjadi lebih terbuka terhadap penanaman modal asing. Dan meskipun peraturan yang
diterapkan oleh pemerintah ini ketat, investor asing tetap tertarik untuk masuk karena menganggap pasar China
sebagai pasar yang potensial. Lokalisasi menjadi hal penting dalam adaptasi media asing agar masyarakat
China akan lebih tertarik untuk menikmati media-media tersebut.
Perkembangan media asing di China bukan hanya menunjukkan adanya kecenderungan kapitalisme,
yakni dengan makin terbukanya China terhadap modal asing, namun juga terhadap aspek konsumerisme.
Pilihan media hiburan yang ditawarkan yang makin beragam, yang dimana di dalamnya juga mengandung
media periklanan membuat masyarakat China bukan hanya ke arah kapitalisme, namun juga kepada
konsumerisme. Di satu sisi, kapitalis ini membuka peluang juga bagi para pencari kerja, terkait dengan
lokalisasi media asing.
Melihat perkembangan media di China, meskipun dikontrol dan dibatasi oleh pemerintah, media
berusaha untuk mendapatkan kebebasan yang lebih luas. Media di China memimpin upaya pembaharuan,
dimana media seperti blog internet dan telepon selular berusaha mendorong institusi politik dan sosial ke arah
perubahan dan keterbukaan.46 Upaya pemerintah China dalam mengontrol semua media termasuk internet dan
telepon selular terdengar nyaris mustahil.47 Media internet telah menjadi alat efektif untuk mobilisasi massa
dan mengatur pergerakkan sosial dalam civil society di China.48 Para penulis blog yang kebanyakan merupakan
generasi muda suka untuk menantang otoritas pemerintah, seperti dengan “go under the firewall”. Namun
demikian, perkembangan media China modern memperlihatkan pembaharuan positif, yakni bahwa meskipun
pemerintah masih amat mengontrol kebebasan media, masyarakat dan media tersebut itu sendiri telah memiliki
kesadaran untuk berusaha memiliki kebebasan pers yang lebih luas. Masyarakat Cina modern sadar akan
pentingnya media sebagai sarana komunikasi dan pertukaran informasi, sehingga kesadaran dan tuntutan akan
kebebasan pers lebih berkembang. Sedangkan apabila penulis melihat dari pola masyarakat individu dalam
media, media menjadi alat bagi kapitalis untuk mencari keuntungan, terutama dari media hiburan dan
periklanan, dan bagi masyarakat pada umumnya untuk mencari hiburan dan informasi.
Berkaca dari argumen Fukuyama mengenai homogenisasi nilai-nilai demokrasi liberal, apabila hal ini
dilihat dari kasus China, terutama aspek media, penulis melihat bahwa pemerintah belum mendukung penuh
kebebasan pers. Kontrol ketat pemerintah dalam akses media internet, yakni dengan kebijakan sensor, serta
44 Jing Wang, Op. Cit., hlm. 25145 Xu Minghua, Op.Cit., hlm. 246 James F. Scotton dan William A. Hatchten, Op.Cit., hlm. 347 Ibid.48 Zixue Tai, The Internet in China, (New York: Routledge, 2006), hlm. 286
11
sejumlah pembatasan di media lainnya, mengindikasikan situasi pemerintah China yang belum demokrasi
liberal. Di sisi lain, penulis melihat bahwa masyarakat China sudah sadar dan siap akan perubahan itu sendiri.
Terutama dalam hal media, masyarakat menginginkan kebebasan dalam akses informasi. Media itu sendiri
menjadi sarana demokrasi masyarakat, dimana bukan saja media digunakan untuk mengakses informasi,
namun media juga digunakan sebagai sarana komunikasi. Media menjadi sarana untuk memajukan (empower)
masyarakat dan meningkatkan kesadaran (awareness) akan nilai-nilai liberal dan demokrasi.
2.3 Pengaruh di Bidang Sosial-Budaya
Masyarakat China tradisional, sangat berbeda dari masyarakat China sekarang. Membahas tentang
masyarakat China tradisional tidak lepas dari sejarah pendidikan filsafat Konfusianisme. Ajaran
Konfusianisme memberikan banyak pengaruh kepada masyarakat China baik secara sosial maupun politik.
Pengaruh secara sosial adalah terbukanya kesempatan kepada orang-orang yang tergolong struktur sosial
terendah seperti petani untuk masuk dalam struktur sosial yang lebih tinggi seperti kelompok birokrat melalui
sebuah sistem ujian negara. Hal ini tidak hanya mengingkatkan status sosial namun juga status ekonomi.
Sementara itu pengaruh dalam bidang politik adalah ajaran Konfusianisme tentang kesetiaan terhadap negara
dan raja. Filsafat Konfusianisme yang menerangkan tentang kesetiaan terhadap negara dan raja inilah yang
kemudian digunakan oleh kelompok komunis untuk menanamkan ideologi komunisme atas nama pembelaan
terhadap negara. Di masa tradisional, terjadi simbiosis mutualisme antara kerajaan, birokrasi dan tuan tanah di
China. Ketergantungan kepada kerajaan yang terlalu berlebihan inilah yang mengakibatkan proses modernisasi
berjalan lambat dan berbasis pada sektor pertanian karena tanah menjadi satu komoditas dan sumber daya yang
paling utama dan menentukan dalam kekuasaan ekonomi dan politik. Sementara itu kerajaan sendiri
mengambil untung dengan meletakkan basis kekuasaannya pada kelompok tuan tanah untuk mendukung
legetimasi kekuasaan yang dimilikinya. Selain itu, sistem upeti juga menjadi faktor yang mendukung simbiosis
mutualisme antara birokrasi dan tuan tanah. Para penguasa lokal atau birokrat mempertahankan kekuasaan
mereka dengan mengakui superioritas kaisar China dengan memberikan hadiah serta persembahan sebagai rasa
hormat. Untuk memberikan hadiah tersebut para birokrat membutuhkan dukungan dari tuan tanah yang
memiliki modal sosial berupa tanah.
Masyarakat China dahulu tidak memiliki pemahaman akan hak individu, ajaran Konfusianisme tidak
mengizinkan seseorang untuk mencari keuntungan pribadi, sehingga yang terpikirkan oleh masyarakat adalah
kepentingan umum atau negara saja. Namun kini, masyarakat China telah berubah. Salah satu bukti kesadaran
global di tingkat individu akibat terjadinya globalisasi yang dilihat penulis adalah kesadaran akan Hak Asasi
Manusia.
Sistem ekonomi terbuka yang menjanjikan peningkatan tingkat ekonomi dengan nilai-nilai
produktifitasnya tidaklah luput dari masalah. Karena dari situ pula masyarakat China mengenal nilai hak asasi
manusia, khususnya dalam hal ini adalah hak para pekerja. Ekonomi yang liberal mengajarkan adanya hak
yang dimiliki setiap individu untuk bekerja dan mendapat penghidupan yang layak. Dengan sistem ekonomi
terbuka yang memberikan kebebasan berekspresi, memilih sendiri lahan kerjanya, hal ini mendorong semakin
12
tingginya kesadaran akan kondisi individu di China. Apalagi, pemerintah China tidak lagi represif atas
pekerjaan rakyatnya, sehingga masyarakat pun mulai belajar akan hak-hak apa saja yang layak diterima oleh
individu yang bekerja. Bukti adanya kesadaran itu adalah munculnya kasus pekerja di China. Pekerja atau
buruh di China dilarang untuk membentuk serikat buruh independen, karena pemerintah berpendapat bahwa
Serikat Pekerja China cukup melindungi hak-hak pekerja. Pembatasan aktivitas buruh ini—dengan sanksi
hukum tentunya—digabungkan dengan perselisihan yang semakin tegang di mana para buruh memprotes tidak
mendapatkan upah lebih realistis untuk ganti rugi telah berkontribusi terhadap peningkatan jumlah buruh yang
turun ke jalan dan ke pengadilan untuk menekan klaim lembur paksa dan tidak terkompensasi, pelanggaran
majikan peraturan upah minimum, upah pensiun yang belum dibayar, dan lingkungan kerja yang berbahaya
dan tidak sehat. Pekerja yang mencari ganti rugi melalui aksi mogok sering menjadi sasaran serangan oleh
preman berpakaian preman yang muncul untuk beroperasi atas perintah majikan. Pada bulan Juli 2007
sekelompok preman bersenjata dengan sekop, kapak, dan pipa baja menyerang sebuah kelompok pekerja di
Heyuan (Guangdong), yang memprotes tidak dibayar selama empat bulan. Mereka menyerang satu pekerja
sampai mati.49
Menurut Xin Chunying, seorang akademisi yang meneliti perkembangan isu Hak Asasi Manusia di
China, kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka berasal dari pengalaman mereka sendiri, bukan dari
standar universal. Ketika berdirinya RRC, kata-kata "hak warga negara" dan "hak rakyat" lebih dikenal dengan
tujuan membuat lebih eksplisit sifat sosialis dari negara China. Pada 1970-an, istilah "hak asasi manusia"
muncul kembali sehubungan dengan tragedi yang dipublikasikan berkaitan dengan Revolusi Kebudayaan,
seperti kematian Liu Shaoqi dan penganiayaan Deng Xiaoping. Masyarakat China mulai menyadari bahwa
mereka membutuhkan sesuatu yang dapat melindungi mereka terhadap perlakuan sewenang-wenang.50 Tetapi
saat itu, mereka tidak membandingkan pengalaman mereka tentang hak asasi manusia dengan standar-standar
hak asasi manusia internasional. Tertutup dari dunia luar, tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk
memahami standar internasional.
Namun demikian, ketika Deng Xiaoping berkuasa dan menerapkan kebijakan ekonomi "pintu terbuka"
pada akhir tahun 1980, ide-ide hak asasi manusia dan pengetahuan akan gerakan hak asasi manusia
internasional tersampaikan hingga ke masyarakat China pedesaan. Meskipun demikian, diskusi tentang hak
asasi manusia di China masih saja terbatas dan bertujuan membenarkan kebijakan negara. Wacana tentang hak
asasi manusia yang lebih besar kemudian dipicu oleh insiden di Tiananmen Square pada tahun 1989. Dunia
luar tiba-tiba berfokus dan memberi tekanan pada rezim China. Sebagai tanggapan, pemerintah menerbitkan
kertas putih (white paper) Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Ini merupakan upaya pemerintah untuk
menafsirkan hukum China dalam hal hak asasi manusia. Kertas putih adalah ekspresi dari pandangan
pemerintah hak asasi manusia, yang menempatkan prioritas yang tinggi pada hak atas penghidupan yang layak
dan pembangunan ekonomi sebagai prakondisi untuk penikmatan penuh hak asasi manusia. China masih
49 Human Rights Watch, Summary of China Rights Development, diakses dari http://china.hrw.org/press/review/summary_of_china_rights_developments, pada 16 September 2010.50 Xin Chunying, International Human Rights and Asian Commitment, diakses dari http://www.cceia.org/resources/publications/dialogue/1_03/articles/515.html, pada 16 September 2010.
13
cenderung reaktif dalam menangani isu hak asasi manusia ini. Dengan diterbitkannya kertas putih hak asasi
manusia, untuk pertama kalinya hak asasi manusia dipandang sebagai sesuatu yang sama bagi semua
orang. Dari titik ini, China telah mampu berkomunikasi dengan negara-negara lain tentang hak asasi manusia,
seperti yang terlihat dalam partisipasi aktif di Rapat Regional Asia tentang Hak Asasi Manusia di Bangkok,
sesi persiapan untuk Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia tahun 1993.
Apa yang masyarakat China pelajari dari pengalaman mereka kemudian berinteraksi dengan tekanan
internasional yang keras atas insiden Tiananmen membentuk sebuah pemahaman hak asasi manusia bagi
masyarakat China. Pengenaan standar universal hak asasi manusia melalui kertas putih di tahun 1991 tidak
akan dengan sendirinya mengubah lanskap politik China. Hingga saat ini, penulis melihat bahwa masyarakat
China masih belajar mempertajam kesadaran mereka akan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pesatnya
pertumbuhan ekonomi China dan perkembangan teknologi juga menyebabkan akses yang lebih besar terhadap
informasi tentang hak asasi manusia yang akan memberikan jalan untuk pandangan hak asasi manusia agar
terus berkembang di China.
BAB III
Kesimpulan
14
Setelah membahas ketiga aspek yang menjadi media tendensi pengaruh globalisasi yang menyebabkan
homogenisasi di China. Penulis melihat bahwa secara ekonomi China cenderung mengikuti kaidah-kaidah
liberal dengan segala kebijakan open door policy-nya, perluasan investasi asing, dan memaksimalkan sektor
industri di kota-kota yang dulunya terbelakang sekarang telah disulap menjadi kota metropolitan. Dengan
catatan bahwa peran pemerintah sebagai motivator terciptanya investasi asing yang mulus dan menjanjikan
tidak dapat dipandang sebelah mata. Pemerintah China tetap dapat memainkan perannya dengan baik sebagai
pengontrol pasar sekaligus sebagai pelumas dengan keleluasaan penanaman modal dan efek trust, cheap
labour, low cost of massive production.
Lain halnya dalam aspek media, meskipun cipratan nilai dan budaya asing yang terkandung dalam
siaran televisi, iklan komersial, internet, dsb., nilai liberal-demokrasi yang dianut tetap dirasa oleh penulis
masih kurang. Hal ini tampak dari begitu ketat dan tegasnya pemerintah sebagai pengontrol akses media massa
akan isu atau hal sensitif (dengan standar sensitifitas subjektif pemerintah) yang dirasa pemerintah akan
mengacaukan kestabilan sosial. Jika disangkutpautkan dengan istilah aspek ekonomi sebelumnya soal trust
dari investor asing untuk menanamkan modal di China bisa jadi kestabilan domestik bagaimanapun caranya
(dengan mengekang media sekalipun) menjadi pertimbangan besar bagi pemerintah. Layaknya istilah –random
source- bagi pemerintah China slogan “Biarlah perut rakyat kenyang dulu, barulah bicara soal politik” dengan
kata lain mengusahakan ekonomi yang makmur setinggi-tingginya dulu, barulah mulai mengulas politik China.
Tampaknya agak paradoks memang reserves China sudah melampaui negara Superpower, Amerika Serikat,
tetapi masih mendeclare dirinya sebagai negara berkembang.
Pada mulanya memang kesadaran China akan prinsip hak asasi manusia masih diragukan karena
persepsi bahwa sistem pemerintahan yang otoritarian cenderung dianggap memiliki standar nomor dua soal
HAM dibanding negara yang mengaku demokratis. Seiring dengan perjalanan globalisasi yang tidak dapat
dibendung akibat akumulasi faktor kebebasan ekonomi dan investasi asing yang diiringi juga media asing dan
lokal yang mulai berani (walaupun hanya secara halus menyampaikannya) menunjukkan nilai-nilai kesadaran
akan HAM berstandar internasional.
Homogenisasi akibat globalisasi di China setelah membahas ketiga aspek ini adalah interpretasi dan
penerimaan masyarakat China akan nilai liberal-demokrasi yang di-impose oleh bangsa Eropa-Amerika
menjadi suatu pola yang unik dan kasuistis. Pendapat Fukuyama mengenai liberal-demokrasi sebagai puncak
dari peradaban manusia tidak terlalu terbukti di China. Penulis melihat bahwa China menganut liberal secara
ekonomi tetapi di aspek lain masih belum demokratis. Penulis dengan mempertimbangkan ketiga aspek ini
hasil yang didapat dari upaya homogenisasi liberal-demokrasi adalah kapitalis-otoritarian. Akan tetapi,
mungkin ini belum berakhir.
DAFTAR PUSTAKA
15
Castells, M. “Information Technology and Global Capitalism” dalam W. Hutton and A. Giddens.
(eds.). On The Edge. Living with global capitalism. London: Vintage, 2001.
Cheek, Timothy. Living with Reform: China since 1989. Nova Scotia: Fernwood Publishing, 2006.
Friedman, Thomas L. The World is Flat. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2007.
Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. New York: The Free Press, 1992.
Fukuyama, Francis. The End of History. The National Interest. Summer, 1989.
Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity, 1990.
Haiqing Yu. Media and Cultural Transformation in China. New York: Routledge, 2009.
Hofstede, G. Cultures and Organizations. London: Harper Collins, 1994.
Jing Wang. Brand New China: Advertising, Media, and Commercial Culture. Cambridge: Harvard
University Press, 2008.
Ma, Laurence J. C. And Fulong Wu. Restructuring the Chinese City: Changing society, economy and
space. New York: Routledge, 2005.
Papp, Daniel S. Contemporary International Relations Frameworks for Understanding. United States
of America: Georgia Institute of Technology, 1997.
Scotton, James F. dan William A. Hatchten. New Media for a New China. UK: Blackwell Publishing,
2010.
Tang, Jie and Anthony Ward. The Changing Face of Chinese Management. New York: Routledge,
2003.
Xu Minghua. Globalization, Foreign media and Local response in China.
Yi Wang, “Globalization Enhances Cultural Identity”, dalam Intercultural Communication Studies
XVI: 1 2007.
Yong Deng dan Thomas G. Moore. China View Globalization: Toward a New Great-Power Politics.
dalam Washington Quarterly 27: 3.
Zixue Tai. The Internet in China. New York: Routledge, 2006.
Internet:
senseable.mit.edu/papers/pdf/2003_Ratti_Aspenia.pdf
http://archive.waccglobal.org/wacc/publications/media_development/2006_1/
globalization_national_culture_and_the_search_for_identity_a_chinese_dilemma
http://www.booknotes.org/Transcript/?ProgramID=1088
http://china.hrw.org/press/review/summary_of_china_rights_developments
http://global.tokyofoundation.org/en/report/article/r0711/view
http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/08/18/10002435/Ke.Shenzhen..Tina.Membangun.Harapan
http://siteresources.worldbank.org/DATASTATISTICS/Resources/GDP.pdf
http://tekno.kompas.com/read/2010/08/20/09394051/Huawei..Keajaiban.China16
http://travel.kompas.com/read/2010/08/18/10171071/Ke.Shenzhen..Menawarlah.dengan..quot.Kejam.quot.
http://www.allacademic.com//meta/p_mla_apa_research_citation/2/3/0/9/7/pages230974/p230974-1.php
http://www.cceia.org/resources/publications/dialogue/1_03/articles/515.html
http://www.dflorig.com/CHAP2.html
http://www.hartford-hwp.com/archives/55/689.html
http://www.theglobeandmail.com/news/opinions/china-says-yes-to-democracy-eventually/article1698968/
http://www.time.com/time/asia/features/china_cul_rev/opener.html
http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu11ee/uu11ee0s.htm
http://www.washingtonpost.com/ac2/wp-dyn/A34207-2001Dec12?language=printer
http://www.wesjones.com/eoh.htm
17