Post on 11-Dec-2015
description
BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2015
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
PENANGANAN ANESTESI PADA KASUS BEDAH EMERGENSI
OLEH :
Ulfiani Hidayah
110 209 0092
PEMBIMBING:
dr. Fendy Dwi Martoyono, SpAn
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
1
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :
Nama : Ulfiani Hidayah
NIM : 110 209 0092
Judul Lapsus : Penanganan Anestesi Pada Kasus Bedah Emergensi
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniterann klinik pada bagian
Anestesiologi Fakultas Universitas Muslim Indonesia.
Makassar, Agustus 2015
Pembimbing
dr. Fendy Dwi Martoyono, SpAn
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS...................................................................................................1
I. IDENTITAS PASIEN.............................................................................................1
II. KEADAAN UMUM..............................................................................................1
III. ANAMNESIS.......................................................................................................1
IV. PEMERIKSAAN FISIK......................................................................................3
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM .................................................................4
VI. KESIMPULAN ...................................................................................................4
VII. TINDAKAN ANESTESI ...................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................5
A. ANESTESI UMUM ..............................................................................................7
B. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI ............................................5
C. TEKNIK ANESTESI BEDAH DARURAT .........................................................9
BAB III KESIMPULAN .......................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................31
3
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn.T
Umur : 38 tahun
Berat : 50 kg
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Pampang 2
No. CM : 124237
Tanggal Masuk RS : 07 Agustus 2015 pukul 23.20
Tanggal Operasi : 08 Agustus 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Perut kembung
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan mengeluhkan perut kembung yang disertai nyeri
+/- 2 minggu SMRS. Awalnya pasien juga sempat buang air besar yang
disertai lendir dan darah selama 4 hari. Pasien juga tidak dapat kentut serta
mengeluhkan nyeri apabila perut ditekan. Pusing (-), Demam (-), mual (-),
muntah (-), penurunan kesadaran (-), buang air kecil normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi disangkal
Riwayat asma atau sesak nafas disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat Hipertensi disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
1
III. PEMERIKSAAN FISIK
B1 : RR 20 x/I, Rh -/-, Wh -/-
B2 : TD 120/80 mmHg, HR 96 x/I regular
B3 : GCS 15 E4M6V5, pupil isokor
B4 : Urin kesan lancer
B5 : Peristaltik (+) kesan meningkat
B6 : edema (-).
IV. A. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. HB : 11,1 g/dl
b. WBC : 6,4 x103
c. RBC : 3,89 x103
d. HCT : 34,0 %
e. PT : 14,9 detik
f. INR : 1,25
g. APTT : 44,8 detik
h. UREUM/CREATININ : 19/0,7
i. SGOT/SGPT : 36/26
j. Na/K/Cl :140/4,5/105
k. Gol. Darah : O
l. HBsAg : non reaktif
B. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Foto poto polos Abdomen Tiga posisi :
Tampak pelebaran usus dan air fluid level.
Kesan : ileus obstruksi
V. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta laboratorium, maka:
Diagnosa pre-operatif : Ileus Obstruktif
Status operatif : ASA PS II E
2
VI. TINDAKAN ANESTESI
Keadaan pre-operarif : Pasien Laki-laki, 38 tahun dengan diagnosa Ileus
Obstruktif. Keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, kooperatif, tensi 120/ 80 mmHg, nadi 96
x/ menit, pernapasan 20x/i, suhu 36,9 0C
Jenis Anestesi : anestesi umum, semi closed, general endotracheal
anestesi dengan ETT oral no: 7 respirasi kontrol.
Persiapan praanestesi :
Persiapan khusus : pemasangan pipa nasogastrik sebagai upaya
pengosongan lambung dan dihisap secara berkala.
Premedikasi yang diberikan : ± 5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi,
diberikan premedikasi berupa ranitidine 50 mg,
ketorolac 30 mg, ondancentron 4 mg,
dexamethasone 10 mg, fentanyl 100 mg.
Anestesi yang diberikan :
1. Induksi anestesi ( jam 14.00)
Preoksigenai dengan O2 100% 8 lpm selama 3 menit kemudian
dilanjutkan dengan induksi digunakan propofol 80 mg. Setelah itu
pasien diberi O2 murni selama ± 1 menit, disusul pemberian
atracurium 30 mg dan lidocain 60 mg, setelah terjadi relaksasi
kemudian dilakukan intubasi melalui oral dengan ETT no. 7, lalu
kembangkan cuff. Setelah di cek pengembangan paru dan suara nafas
paru kanan dan kiri sama, ETT di fiksasi dan dihubungkan dengan
sistem mesin anestesi. Pernafasan pasien dibantu sampai terjadi nafas
spontan.
3
2. Maintenance
Untuk mempertahankan status anestesi digunakan kombinasi O2 3 lpm
dan inhalasi Isoflurance 1-1,5 vol %.
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi
senantiasa di kontrol setiap 5 menit. Tekanan darah sistolik berkisar
antara 94-120 mmHg, dan 47-80 mmHg untuk diastolik, nadi berkisar
antara 80-95 x/ menit.
3. Intra Op
RL di berikan sebagai cairan sekuetrasi 400 cc/jam = 100 tpm
Isofluran ditutup diakhir operasi sesaat sebelum jahit kulit terakhir.
Keadaan post operasi : Operasi selesai dalam waktu 100 menit, perdarahan
600 cc. Ekstubasi dilakukan bila pasien sudah sadar, bernafas spontan
adekuat dan jalan nafas bersih. Waspadai terhadap kemungkinan terjadinya
regurgitasi atau muntah pasca ekstubasi. RL diberikan sebagai cairan
maintenance 21 tpm.
Ruang Rumatan
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan diobsevasi
- Airway : Clear
- Breathing : Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
- Circulation : TD 110/70 mmHg, HR 88 x/i
- VAS : 2/10
Bila pasien tenang dan Aldrette Score ≥ 8 tanpa nilai nol, dapat dipindah ke
bangsal.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI UMUM
Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Analgesia adalah
pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
pasien. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi
yang ideal terdiri dari : (1)
1. Hipnotik
2. Analgesia
3. Relaksasi otot
Indikasi anestesi umum : (1)
1. Infant dan anak usia muda
2. Dewasa yang memilih anestesi umum
3. Pembedahannya luas/ekstensif
4. Penderita sakit mental
5. Pembedahan lama
6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
7. Riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi lokal
B. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI
Persiapan pra bedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Dokter spesialis anestesiologi
seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar dapat
mempersiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan baik.(2)
5
1. Anamnesis
Dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau keluarga pasien
(alloanamnesis). Yang harus diperhatikan pada anamnesis :(1)
1. Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, BB, TB, dll).
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi.
Tanyakan pada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu, berapa
kali dan selang waktunya (apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah), penyakit
serius yang pernah dialami, juga mengenai malaria, gangguan hati,
hemoglobinopati, penyakit kardiovaskuler atau sistem pernafasan.
Sehubungan dengan keadaan pasien sekarang, perlu juga ditanyakan
toleransi terhadap olahraga, batuk, sesak napas, wheezing, sakit dada, sakit
kepala, dan pingsan.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi (potensiasi, sinergis, antagonis, dll).
Obat-obatan yang berhubungan secara nyata dengan anestesi adalah obat
diabetik, anti koagulan, antibiotik, kortikosteroid dan anti hipertensi, dimana
dua obat terakhir harus diteruskan selama anestesi dan operasi, tetapi obat-
obat lainnya harus dimodifikasi seperlunya.
4. Riwayat alergi.
Catatlah bila ada keterangan mengenai reaksi alergi terhadap obat, juga
apakah pasien atau keluarganya pernah mengalami reaksi penolakan
terhadap obat anestesi pada masa yang lalu.
5. Kebiasan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti :
1. Merokok : perokok berat ( > 20 batang/hari ) dapat mempersulit
induksi anestesi karena merangsang batuk-batuk, sekresi jalan nafas
yang banyak atau memicu atelektasis dan pneumonia pasca bedah..
2. Alkohol : pencandu alkohol umunya resisten terhadap obat-obat
anestesi khususnya golongan barbiturate.
6
3. Meminum obat-obat penenang atau narkotik
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang harus di lakukan adalah pemeriksaan tinggi, berat,
suhu badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, ikterus, sianosis,
dehidrasi, malnutrisi, edema, tekanan darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi
pernafasan, apakah pasien sesak atau kesakitan. (3)
1. Breath (B1) : jalan nafas, pola nafas, suara nafas, dan suara nafas tambahan.(3)
2. Perhatikan jalan nafas bagian atas dan pikirkan bagaimana
penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah tersumbat,
apkah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai
gigi palsu atau mempunyai rahang yang kecil, yang akan mempersulit
laringoskopi. Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher,
apakah pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas
bagian atas. (3)
3. Blood (B2) : tekanan darah, perfusi, sara jantung, suara tambahan, kelainan
anatomis dan fungsi jantung.(3)
4. Periksalah apakah pasien menderita penyakit jantung atau pernafasan,
khususnya untuk penyakit katup jantung (selama operasi dibutuhkan
antibiotik sebagai profilaksis), hipertensi (lihat fundus optik) dan kegagalan
jantung kiri atau kanan dengan peningkatan tekanan vena, adanya edema
pada sacral dan pergelangan kaki, pembesaran hepar atau krepitasi pada
basal paru. Lihatlah bentuk dada dan aktifitas otot pernafasan untuk mencari
adanya obstruksi jalan nafas akut atau kronis atau kegagalan pernafasan.
Rabalah trakea apakah tertarik oleh karena fibrosis, kolaps sebagian atau
seluruh paru, atau pneumotoraks. Lakukan perkusi pada dinding dada, bila
terdengar redup kemungkinan kolaps paru atau efusi. Dengarkan apakah ada
wheezing atau ronchi yang menandakan adanya obstruksi bronkus umum
atau setempat.(3)
7
5. Brain (B3) : GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat atau perifer, rangsang
cahaya, pupil.(3)
6. Bladder (B4) : Produksi urin.(3)
7. Bowel (B5) : makan atau minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik,
gangguan lambung, gangguan metabolik, massa, kehamilan.(3)
8. Bone (B6) : patah tulang, kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskuler.(3)
3. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa pendarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thorax. (1)
4. Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesi, karena dampak samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. Status fisik
pasien digolongkan menjadi 6, yaitu :(1)
1. ASA 1 : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia
2. ASA 2 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik ringan atau sedang
3. ASA 3 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, aktivitas lebih
terbatas
4. ASA 4 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan
setiap saat
5. ASA 5 : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
8
6. ASA 6 : Pasien dengan mati batang otak yang organnya akan digunakan
untuk tujuan donor
7. Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan ”E”
Teknik anestesi umum dapat dibagi menjadi 2 :(4)
1. Nafas spontan
2. Nafas Terkendali
Teknik-teknik tersebut dapat menggunakan alat berupa :(4)
1. Sungkup muka
2. Intubasi
3. LMA (laryngeral mask airway)
4. COPA (cuffed oro pharyngeal airway)
5. LSA (laryngeal seal airway)
C. TEKNIK ANESTESI BEDAH DARURAT
Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus
emergency antara lain : keterbatasan waktu untuk mengevaluasi pra anesthesia
yang lengkap, pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah, lambung sering
berisi cairan dan makanan, sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering
buruk, menderita cedera ganda/multiple, kelainan yang harus dibedah kadang-
kadang belum diketahui dengan jelas (diagnosa belum tegak), riwayat sebelum
sakit tak dapat diketahui, komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati
dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering
menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan
dengan bedah elektif (sekitar 8x lebih besar).(5)
Perbedaan-perbedaan pokok dari anestesi untuk pembedahan elektif dengan
anestesi untuk pembedahan darurat adalah :(6)
1. Bahaya aspirasi dari lambung yang penuh (meningkat 4,5x pada bedah
darurat ).
9
2. Gangguan-gangguan pernafasan, hemodinamik dan kesadaran yang tidak
selalu dapat diperbaiki sampai optimal
3. Terbatasnya waktu persiapan untuk mencari data penyerta dan perbaikan
fungsi tubuh. Penundaan pembedahan akan membahayakan jiwa atau
menyebabkan kehilangan anggota badan.
Adanya lambung penuh karena faktor-faktor yang memperlambat
pengosongan lambung umumnya terdapat pada situasi emergensi seperti nyeri,
sedasi, cemas, syok, persalinan. Problem medis lain yang memperlambat
pengosongan lambung adalah diabetes, obesitas, hiatal hernia. dan baru saja
dilakukan dialisa. Masalah lain adalah pasien mungkin sedang dalam intoksikasi
obat atau alkohol, mengalami cedera kepala dan riwayat ingesti yang tidak
diketahui.(7)
Pada pasien kasus gawat darurat yang disebabkan oleh trauma seperti pada
kecelakaan lalu lintas hipoksia sering terjadi dan penyebab hipoksia umumnya
adalah cedera jalan nafas atas dan muka, cedera kardiotorasik, syok, aspirasi paru,
cedera kepala, cedera luka bakar pada saluran nafas dan smoke inhalasi, sepsis,
overload cairan, emboli paru. Pasien mungkin juga sedang mengalami instabilitas
hemodinamik, atau cedera di berbagai tempat (multiple injury). Hipoksia pada
trauma pada umumnya disebabkan oleh obstruksi jalan napas, apneu, cidera
thorax, dan status sirkulasi yang buruk. Oksigen supplemental harus diberikan,
dan intervensi jalan napas definitif diambil jika terdapat kecurigaan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat.(8)
Banyak bedah gawat darurat yang masih dapat ditangguhkan
pembedahannya selama 1 jam atau lebih untuk persiapan yang lebih
baik/optimalisasi keadaan umum, kecuali pada keadaan-keadaan ini :(5)
1. Kegawatan janin
2. Perdarahan yang tidak terkendalikan
3. Gangguan pernafasan yang sangat berat
4. Cardiac arrest
5. Emboli arterial
10
Faktor utama agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses
adalah kesiapan dalam menangani kejadian akut dan berat. Perencanaan anestesi
yang baik, optimalisasi kondisi dan resusitasi yang sesuai diperlukan untuk
kondisi durante dan post operasi yang memuaskan.(5)
1. Persiapan
Tindakan dokter untuk mengurangi rasa takut dan gelisah pasien adalah
sangat penting tetapi seringkali dilupakan pada situasi darurat, padahal hal
tersebut sering kali ditemukan pada bedah darurat. Penjelasan tentang tindakan
yang akan dilakukan sedikit banyak mampu membuat pasien menjadi lebih
tenang. Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai seringkali perlu
dilakukan, karena terkadang pasien juga menderita penyakit lain yang belum
terkontrol dengan baik seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, maupun
diabetes.(7)
Kesiapan untuk operasi bedah darurat juga meliputi persiapan kamar bedah
dan alat-alat anestesi yang siap pakai misalnya mesin anestesi dan alat untuk
ventilasi, oksigensi, intubasi, dan pelengkap lainnnya, monitor, set untuk infus
dan transfusi serta cairan, obat-obatan baik obat resusitasi maupun anestesi,
defibrilator. (7)
2. Penilaian Pasien
Evaluasi prabedah dilakukan segera sebelum pembedahan dan kadang-
kadang saat pasien didorong ke meja operasi. Penilaian harus mengikuti prinsip
triage yaitu Airway control and cervical spine control, oksigenasi dan ventilasi,
pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk pengendalian aritmia jantung dan
perdarahan, evaluasi problem medis dan cedera lain, serta harus dilakukan
observasi dan monitoring terus menerus sampai menjelang operasi.(8)
Tindakan sedini mungkin memperbaiki ventilasi/ oksigenasi (kalau perlu
dengan intubasi dan ventilasi kendali) dan gangguan sirkulasi pasien bedah
darurat sangatlah vital karena tindakan ini akan menentukan prognosa pasien. (8)
11
Trauma sering menyebabkan hipoksemia yang tidak langsung berhubungan
dengan kelainan yang harus dibedah secara darurat misalnya trauma kepala, dada
muka, leher, syok, sepsis dan sebagainya. Resusitasi pada trauma meliputi 2 fase,
yaitu kontrol perdarahan dan perawatan luka.(8)
Evaluasi awal harus meliputi tiga komponen,yaitu penilaian cepat, survey
primer dan survey sekunder : (8)
Penilaian cepat : fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan
harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal atau kritis.
Evaluasi segera dilakukan waktu penderita datang (primary survey) dalam
waktu 2-5 menit, yaitu menilai : (8)
A : Airway = jalan nafas
B : Breathing = pernafasan
C : Circulation = sirkulasi
D : Disability = kecacatan
E : Exposure = paparan (Morgan, 2006)
atau ada juga pembagian primary survey yang lain, yaitu : (8)
B — 1 : Breath = pernafasan
B — 2 : Bleed = hemodinamik
B — 3 : Brain = otak dan kesadaran
Peranan dokter anestesi dalam fase ini jelas tidak dapat dielakkan lagi,
karena ketrampilannya dalam bidang support nafas dan sirkulasi menjadi tumpuan
keselamatan penderita. (8)
Stabilisasi fungsi pernafasan meliputi : terapi oksigen, nafas buatan, punksi
pneumotoraks, intubasi endotrakheal atau krikotirotomi . Sedangkan indikasi
mutlak untuk dilakukannya intubasi segera antara lain GCS kurang dari 9,
ancaman shock, obstruksi jalan napas, pasien yang gelisah dan membutuhkan
sedasi, trauma dada dengan hipoventilasi, hipoksia, dan henti jantung. Life
support diberikan tanpa menunggu pemeriksaan tambahan yang lain. (8)
Selain ketidakstabilan dalam ABC, juga terdapat kriteria kemungkinan
terjadinya ketidakstabilan tulang belakang di leher, antara lain :(9)
12
a. Nyeri leher
b. Nyeri gerak leher yang sangat berat
c. Tanda dan gejala neurologis
d. Intoksikasi
e. Hilangnya kesadaran
Jika terdapat salah satu tanda di atas, cedera cervikal perlu kita pikirkan,
sehingga penatalaksanaan kita juga harus sesuai dengan cedera cervikal. (9)
Bila dalam penilaian awal ternyata pasien stabil, lalu kita dapat masuk pada
penilaian berikutnya terhadap pasien tersebut melalui penilaian lanjutan
(secondary survey) : (9)
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan
perhatian khusus, misalnya : alergi, mual muntah, gatal-gatal atau sesak nafas
pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan baik.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem
organ tubuh pasien. Termasuk didalamnya pemeriksaan terhadap tempat untuk
regional anestesi (bila digunakan regional anestesi)
3. Pemeriksaan Penunjang (sesuai indikasi) :(9)
a. Pemeriksaan EKG
Selain untuk mengetahui tentang keadaan / penyakit jantung dapat pula
mengetahui adanya pengaruh fungsi paru terhadap jantung, maupun kelainan
elektrolit.
b. Pemeriksaan Radiologis
Meliputi foto rontgen, USG dan CT-scan (bila perlu). Pemeriksaan
tersebut selain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa juga dapat sebagai
pertimbangan adakah kemungkinan penyulit intubasi ataupun penyulit anestesi
13
c. Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan darah rutin, gula darah, serta pemeriksaan
laboratorium lain sesuai indikasi
d. Tes Faal Paru
Tanpa alat : walaupun sederhana tapi dapat memberikan informasi
mengenai fungsi pernafasan dan berguna sebagai penilaian kelayakan operasi,
seperti kemampuan naik tangga sambil bicara tanpa sesak nafas. Snider match test
: kemampuan menahan nafas selama 30 detik.
Memakai spirometer
3. Evaluasi Pasien
Evaluasi meliputi system kardiovaskuler dengan memantau nadi frekuensi,
irama, dan kualitas isi nadi tekanan darah, pengisian vena central dan perifer,
pengisian kapiler. Bila mungkin memasang kateter vena sentral (vena cava
superior) untuk mengikuti perubahan tekanan darah dengan terapi pemberian
cairan infus. Rekam EKG untuk menilai adanya aritmia jantung.(7)
Sistem neurologis yang dinilai pertama adalah kesadaran. Bila pasien berada
dalam koma sebaiknya segera di intubasi agar jalan nafasnya bebas dan sekaligus
untuk mencegah aspirasi isi lambung kedalam paru. Gangguan pernafasan segera
dapat ditolong dengan mengendalikan jalan nafas. Cairan sekret dalam trakea juga
segera dapat dihisap.(9)
Bila ada dugaan fraktur tulang belakang harus berhati-hati pada tindakan
transport, mengangkat pasien agar tidak menjadi lebih parah dan menekan
medulla spinalis sehingga gangguan neurologis menjadi lebih berat. Kita harus
menggunakan tehnik jaw trust untuk mengamankan airway, sedangkan ekstensi
maupun manipulasi leher lainnya sebaiknya dihindari. Tehnik stailisasi pada
cedera leher dengan tehnik in line stabilisation. (9)
Pada evaluasi pasien ini didapat dari pemeriksaan fisik yang bermakna yaitu
adanya distensi abdomen yaitu disebabkan oleh ileus obstruktif curiga penyebab
tumor.
14
I. Lambung penuh
Aspirasi isi lambung ketika induksi anestesi atau ketika akan sadar
kembali harus dicegah. Waktu pengosongan akan memanjang oleh makanan
berlemak tinggi (8—10 jam), gangguan emosionil, dan obat narkotik. Interval
waktu antara makan terakhir dengan mulainya sakit tersebut timbul sangat penting
sebab lambung akan berhenti bekerja disaat timbul nyeri.
Hiperventilasi atau gangguan pernafasan, menyebabkan pasien menelan
udara sehingga perut menjadi kembung, hal tersebut memudahkan terjadinya
regurgitasi atau muntah. Sekalipun telah dipasang nasogastric tube, pengosongan
lambung secara sempurna melalui NGT tidak terjamin.
Wanita dalam proses partus harus dianggap mengalami lambung penuh.
Partus, rasa nyeri dan takut memperpanjang waktu pengosongan lambung. Partus
yang lama menyebabkan jumlah cairan lambung bertambah. Isi perut terdorong ke
arah kepala, menekan sfingter kardia dan menyebabkan regurgitasi atau muntah.
Pasien dalam keadaan koma atau setengah sadar, mudah mengalami
aspirasi. Bila akan melakukan tindakan menguras lambung, maka jalan pernafasan
harus diamankan terlebih dahulu dengan endotrakeal tube yang ber-cuff.
Sekalipun ada reflek batuk, hal ini tidak mampu menjamin perlindungan terhadap
aspirasi. Posisi kepala juga tidak boleh dinaikan (head up) karena dapat
menyebabkan gravitational gradien dari faring ke paru.
Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lambung penuh dan aspirasi
selama anestesi, antara lain :
1. Induksi inhalasi dengan kepala diekstensikan ke belakang dan penderita
dimiringkan. Cara ini sudah kuno tapi merupakan metode yang baik untuk dicoba
dan masih berguna, terutama jika penderita dalam keadaan mendekati ajal. Cara
ini banyak digunakan sebelum dikenalnya relaksan otot, tetapi meningkatkan
bahaya regurgitasi pasif.
15
2. Intubasi secara sadar dibawah anestesi lokal. Cara ini dahulu banyak
digunakan di Amerika Serikat, tetapi menjadi tidak nyaman bagi penderita yang
tidak ditolong oleh seorang pakar.
3. Induksi cepat secara berurutan, metode yang hampir secara universal
dipraktikkan di Inggris. Praoksigenasi, induksi intravena, relaksasi dengan
suksametonium, intubasi. Induksi berurutan cepat, sekarang kadang-kadang
disertai dengan penekanan krikotiroid (perasat Selick) untuk menghalangi
terbukanya esofagus.
Beratnya efek dari aspirasi isi lambung ditentukan oleh :
1. pH cairan (makin asam makin berat pneumoninya)
2. volume cairan
3. partikel-partikel dari cairan aspirasi
Tatalaksana aspirasi isi lambung :
1. Head down pasien
2. Segera intubasi, dihisap bersih dan ventilasi positif.
3. Bronkhi dibilas dengan larutan garam steril, 3 - 5 cc dan diventilasi,
selanjutnya dihisap ulang sampai bersih.
4. Antibiotika berspektrum luas
5. Bila terdapat spasme bronkhial. Beri hidrokortison 1 gr I.V; Aminofilin 240 mg
dilarutkan dengan 250 cc 5% D/W diberikan pelan secara intravena dan segera
dihentikan bila timbul aritmia atau hipotensi.
6. Foto rontgen toraks segera dilakukan apabila dicurigai adanya aspirasi. Diulang
6 - 8 jam kemudian bila yang hasil foto rontgen yang pertama negatif. Hal
tersebut perlu dilakukan karena ada kemungkinan terdapat delayed aspirasi dan
terjadinya akut pneumonia.
II. Hipotensi
16
Hipotensi adalah penurunan 30 - 35% dari MAP normal. Sebab-sebab
hipotensi :
1. Hipovolemia
2. Shock kardiogenik
3. Shock neurogenik
4. Sepsis
5. Hipofungsi atau kegagalan adrenal
6. Kelainan metabolik (misalnya koma diabetikum).
Sebagian besar penderita bedah darurat mengalami gangguan
hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss. Secara umum kehilangan darah
10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir tanpa perubahan-perubahan
yang serius (EBV dewasa 75 cc/kg BB), anak < 2 th (80 cc/kg BB). Kehilangan >
10% memerlukan penggantian berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah
dengan Ringer Laktat adalah sampai Kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28%
atau Hemoglobin ± 8 gr%. Jumlah cairan masuk harus 2- 4 x jumlah perdarahan.
Cara ini bukan untuk menggantikan transfusi darah, tetapi untuk :
1. Tindakan sementara, sebelum darah datang.
2. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih
memadai.
3. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya
pemberian transfusi perlahan-lahan/postoperatif setelah penderita sadar,
agar observasi lebih baik jikalau terjadi reaksi transfusi)
Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang
terjadi pada waktu perdarahan/shock. Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat
diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita. Jumlah darah yang
hilang dapat diperkirakan sebagai berikut. :
1. preshock : kehilangan s/d 10%
17
2. shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik,
perfusi dingin, basah, pucat.
3. Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70
mmHg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.
4. Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : Tekanan Darah sampai tak
terukur, nadi sampai tak teraba
Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat
dengan pedoman berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya
tanda-tanda intersisial yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung,
selaput lendir kering. Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya
tanda-tanda plasma yaitu : takhikardia, oli-guria, hipotensi,shock.
Sedangkan kehilangan darah pada patah tulang tertutup dapat diestimasi
sebagai berikut :
1. Fraktur dari telapak kaki dengan sedikit bengkak 250-500 ml.
2. Fraktur bagian bawah dari kaki dengan sedikit bengkak 500 - 1000 ml.
3. Fraktur tungkai femur 500 - 2000 ml.
4. Fraktur persendian patella sampai 2000 ml.
5. Fraktur antebrakhii 500 - 750 ml.
6. Fraktur humerus dan bahu sampai 2000 ml.
Cara terapi dan monitoring
1. Apabila defisit berat berikan 20 ml/kg Ringer Laktat atau 0,9% NaCl cepat.
Jika setelah itu shock belum dapat diatasi, ulangi lagi. Tujuan tindakan pertama
ini adalah memulihkan volume darah/plasma dan mengatasi shock.
2. Berikutnya dalam 8 jam Pertama 50% dari defisit yang diperhitungkan
diberikan. 16 jam berikutnya diberikan sisa 50% dari defisit. Setelah shock dapat
diatasi, cairan maintenance dapat diberikan bersama-sama dengan terapi defisit.
18
Cairan maintenance : dewasa 2 cc/kg BB/jam dengan Natrium 2 – 4 mEq/kg
BB/24 jam; sisanya sebagai larutan dextrosa.
3. Jika produksi urine sudah ada, kalau perlu dapat diberikan Kalium 1 – 2
mEq/kg dalam 24 - 36 jam.
4. Evaluasi keadaan penderita secara berkala tiap 4-6 jam.
5. Sebagai tanda bahwa sirkulasi dan perfusi sudah baik adalah telapak tangan
atau kaki hangat, merah dan kering (sebagai kebalikannya pada waktu defisit
dingin, kelabu dan lembab).
6. Bila dapat dipasang CVP kateter, maka dilakukan fluid challenge. sampai
hemodinamik terbaik dengan CVP yang optimal. Cara ini sangat bermanfaat pada
kasus-kasus sulit (tua, sakit jantung dan sebagainya).
Untuk mengetahui perkembangan terapi perlu dilakukan monitoring, antara lain :
1. Tekanan darah dengan cuff biasa atau lebih tepat dengan arterial line dengan
pembacaan langsung dari transduser. Arterial line ini sangat berguna untuk
mengukur tekanan darah secara terus menerus, dan mendapatkan analisa gas arteri
untuk evaluasi status pulmoner. Biasanya dilakukan pemasangan pada arteri
radialis dan brakhialis. Sebelum kanulasi dari arteria radialis atau ulnaris, harus
dilakukan dahulu Allen test Untuk meyakinkan apakah arteri jalur lain masih
mampu mengkompensasi, jikalau arteri yang dilakukan kanulasi mengalami
trombosis. Arterial line dapat dijaga supaya terus terbuka dengan pembilasan
berkala dengan larutan 1 unit heparin per cc.
2. CVC : untuk mendiagnosis overload jantung kanan, juga dapat digunakan
sebagai alternatif pemberian cairan. Kateter ini mengukur CVP, tekanan arteri
pulmoner, tekanan pulmonary wedge (ukuran dari fungsi jantung kiri). Dengan
sedikit modifikasi dapat juga digunakan untuk mengukur cardiac output.
19
3. ECG
4. Temperatur : Hipotermia dan hipertermia dapat menyebabkan masalah-masalah
intraoperatif yang serius. Ukur suhu sentral di esofagus, rektal atau membrana
timpani.
5. Kateter vesika urinaria. Output urine menunjukkan keadaan hidrasi dan derajat
aliran darah melalui ginjal. Mempertahankan aliran urine sebanyak 0,5 - 1
ml/kgBB/jam akan mengurangi kemungkinan terjadinya gagal ginjal akut pada
pascabedah. Ginjal membutuhkan minimal tekanan 80 torr untuk
mempertahankan derajat aliran ini.
III. Gagal Nafas
Sebab-sebab mekanik dan masalah pernafasan :
1. Jalan pernafasan bagian atas
(a). Trauma yang mengenai jaringan lunak dan jaringan tulang dari muka dapat
menyebabkan obstruksi mekanis dari pernafasan. Bila ada keraguan pada
kemampuan mempertahankan airway sewaktu diinduksi, maka pasien tersebut
harus diintubasi dalam kondisi sadar.
(b). Fraktur dari bagian tengah muka berbahaya karena terdapat kemungkinan
fraktur ethmoidalis. Sedapat mungkin dihindari intubasi nasal, sebab tube nasal
mampu menyebarkan infeksi ke dalam otak. Juga terdapat kemungkinan
masuknya NGT melalui fraktur ethmoidalis ke dalam jaringan otak.
(c). Kanul penghisap sangat penting terutama ketika dilakukan intubasi pada
pasien dengan trauma fasial ataupun intra-oral.
(d). Trauma pada muka terkadang berhubungan dengan trauma pada laring
(e). Aspirasi korpus alienum. Pada pasien dewasa yang kooperatif, untuk
melakukan bronkhoskopi cukup dengan anestesia topikal saja, karena lebih mudah
melakukan inspeksi airway serta mengurangi risiko pendorongan corpus alienum
masuk lebih dalam ke trakheobronkhial. Selain itu perlu diberikan oksigenisasi
20
yang cukup tinggi, apabila korpus alienum tadi menyumbat bagian bronkhus besar
untuk menjaga kecukupan oksigenasi.
Obstruksi jalan napas sering disebabkan oleh laserasi, sekresi, benda asing,
fraktur, atau sumbatan jaringan pada pasien yang tidak sadar. Intrervensi awal
meliputi oksigen supplemental, chin lift, head tilt dengan jaw thrust, pembersihan
orofaring dan pamasangan jalan napas oral atau nasal. Ventilasi harus dibantu jika
diperlukan dengan menggunakan ambu bag serta imobilisasi spinal cervical.
Sianosis kadang sulit untuk dideteksi pada pasien yang anemis,
hipovolemik dan pasien yang berpigmen kulit gelap. Pulse oxymetri sering
diperlukan untuk menilai oksigenasi dan analisis gas darah arterial harus segera
dilakukan jika terdapat kecurigaan gangguan gas darah.
Bila diperlukan anestesi umum, harus disiapkan beberapa ukuran
endotrakheal tube. Biasanya dibutuhkan juga ukuran yang lebih kecil.
2. Thoraks dan isinya.
(a). Trakhea yang sobek, kontusio pulmonum dan pneumothoraks adalah keadaan
emergency yang berhubungan dengan trauma tumpul terhadap thoraks atau
trauma tembus tajam
—Endotrakheal Tube harus dimasukkan melalui sobekan trakhea kemudian cuff
dikembangkan untuk mengamankan jalan nafas.
—Bila kontusionya berat maka tube seperti Robert Shaw atau Carlens diperlukan
untuk mengisolasi paru yang rusak, mencegah masuknya benda asing ke dalam
paru yang sehat, atau untuk mengempiskan paru sewaktu proses perbaikan.
(b). Pneumothoraks.
Dengan auskultasi, x-ray thoraks, inspeksi gerakan pernafasan dan
adanya/bertambahnya emfisema subkutan, keluhan sesak nafas dan sianosis dari
pasien dapat digunakan sebagai diagnosa prabedah.
Sedangkan pada intraoperatif bila didapatkan nadi yang kecil, takiaritmia,
hipoksia, compliance paru yang berkurang dan kemudian bertambahnya emfisema
21
subkutan; semua ini menunjukkan kemungkinan adanya pneumothoraks. Perlu
dilakukan monitoring dengan stetoskop yang ditempelkan di kiri-kanan thoraks
selama operasi.
IV. CNS (Central Nervous System)
a. Medula spinalis
Pasien dengan trauma akut berupa kompresi medula spinalis di bagian
leher membutuhkan posisi yang sangat stabil. Leher harus distabilisasi dengan
penunjang leher (neck collar) untuk menghindari paralisis permanen.
Apabila pasien kooperatif, minta kepada pasien untuk menggerakkan
kepala dan lehernya sampai posisi pasien merasa tidak nyaman. Hal ini akan
memberikan informasi pada ahli anestesi sampai posisi mana yang diperbolehkan
dalam menggerakan leher pasien, bila pasien sudah ditidurkan. Perubahan posisi
pasien dengan kemungkinan kerusakan medula spinalis harus dilakukan secara
perlahan, hati-hati dan dilakukan oleh cukup orang supaya lancar dan dapat
mencegah terjadinya tekanan yang tidak perlu terhadap medula spinalis.
Suksinilkolin harus dihindari karena penggunaannya dapat menyebabkan
fasikulasi.
Bila terdapat tekanan ICP meninggi, maka obat-obat depolarizer
(suksinilkolin) hanya boleh dipakai apabila didahului dengan sedikit obat non
depolarizing
b. Penyakit dan trauma intrakranial.
Perhatian utama pada hal ini adalah menghindari bertambahnya ICP. ICP
dapat meningkat oleh :
(a). Posisi kurang tepat dari pasien
Obstruksi dari venous return akan meninggikan tekanan CSF.
(b). Fasikulasi oleh obat depolarisasi.
(c). Hiperkapnia oleh karena vasodilatasi serebral.
22
(d). Penggunaan N2O
(e). Pasien mengejan atau bergerak sebelum kranium terbuka.
(f). Hidrasi yang berlebihan.
V. Kelainan Asam Basa
Kelainan asam basa yang paling banyak dialami pada pasien bedah darurat
adalah asidemia dengan etiologi metabolik maupun respirasi. Asidosis respiratorik
sering terjadi pada keadaan hipoventilasi yang ditandai dengan penurunan
kesadaran, atelaktasis, pneumothorax dan kontusio pulmoner. Penempatan
ventilasi mekanik atau bantuan jalan napas definitive dengan cukupnya ventilasi
semenit akan memperbaiki kejadian asidosis respiratorik.
Asidosis metabolic (pH<7,35, HCO3<21 mEq) sering disebabkan oleh
curah jantung yang rendah akibat hipovolemia dan perdarahan. Pengecualian
antara lain kontusi jantung, tamponade atau pneumothorax tekan yang dapat
mengakibatkan penurunan curah jantung dengan volume intravaskuler yang
realatif normal. Pertimbangan lain diantaranya asidosis laktat alkoholik atau
ketoasidosis, ketoasidosis diabetic, dan cidera termal akibat karbonmonoksida.
Untuk membedakan ketiga etiologi tersebut dibutuhkan pemeriksaan laktat serum,
kadar keton urin, glucose darah, dan monitoring volume intravaskuler. Keparahan
dari asidemia dapat dinilai dari pemeriksaan gas darah arterial, bikarbonat serium,
dan defisit basa. Pada defisit basa -10mEq, efek kardiovaskuler menjadi bukti,
termasuk disritmia, penurunan kontraktilitas jantung, peningkatan resistensi
vaskuler pulmoner, hipotensi dan resistensi dari katekolamin eksogen. Kadar -14
mEq atau lebih mengindikasikan hipovolemi yang parah. Tingginya kadar laktat
serum meyakinkan adanya aktivitas anaerobik dan asam laktat, namun, nilai ini
dapat membaik secara perlahan setelah dilakukannya koreksi pH.
Terapi definitif untuk asidosis metabolic membutuhkan koreksi dari
etiologi yang mendasarinya. Langkah awal meliputi penatalaksanaan hypoxemia,
ekspansi volume intravaskuler, memperbaiki kapasitas pengangkutan oksigen, dan
memaksimalisasi kerja jantung.
23
Terdapat perdebatan pendapat menganai penggunaan natrium bikarbonat
pada kasus asidosis metabolik yang parah. Pendekatan tradisional adalah
pemberian natrium bikarabonat jika pH menurun di bawah 7,2. Hal ini didasarkan
pada konsep bahwa alkalinisasi akan memperbaiki hemodinamik sistemik, dan
akan merespon katekolamin. Hanya ada sedikit data yang mendukung penggunaan
natrium bikarbonat ini untuk mengatasi asidosis laktat, dan tidak ada penelitian
yang menunjukkan adanya perbaikan hasil. Pada penelitian dengan model
binatang, natrium bikarbonat dapat sementara meningkatkan tekanan darah
sistemik dan pH, namun pH intraseluler tidak dapat diperbaiki.
Asidemia bahkan dapat memburuk dangan perubahan enzimatik pada
natrium bikarbonat, dan meningkatkankan kadar PaCO2. Ventilasi mekanis dan
aliran darah pulmoner yang adekuat sangatlah penting untuk mengatasi
peningkatan PaCO2 ini dan natrium bikarbonat harus digunakan dengan hati-hati
pada pasien yang tidak mendapatkan bantuan ventilasi. Pergeseran ke kiri pada
kurva disosiasi oksihemoglobin yang menurunkan distribusi oksigen jaringan
merupakan kerugian dari natrium bikarbonat, dan dapat memperburuk
hipoksemia. Hipernatremia, yang disebabkan oleh keadaan hiperosmoolar, serta
hiperkalemia, merupakan faktor berbahaya lain dari pemberian natrium
bikarbonat.
Meskipun data pendukung yang tersedia sedikit, natrium bikarbonat masih
secara luas digunakan sebagai penanganan sementara sebelum etiologi yang
mendasari dapat dipastikan. Pengukuran defisit basa tubuh total ((berat badan/kg
x 0,3 x (24-HCO3)):2) dapat menjadi panduan terapi. Setengah dari defisit ini
dikoreksi di awal dan diikuti oleh pengukuran gas darah ulangan.
24
4. Premedikasi
Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah emergensi disebabkan
karena tidak adanya waktu atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan tetapi,
premedikasi tetap diberikan jika pasien tidak sakit kritis, operasi tidak betul-betul
emergensi, dan pasien memerlukan dukungan psikologis. Hal ini sering
terlupakan oleh personil yang bekeja di kamar bedah emergensi. Dokter anestesi
dapat memberikan keterangan kepada pasien dengan hati-hati, perlahan dan
tenang kenapa dan bagaimana proses anestesi akan dilakukan.(9)
Pemberian obat untuk menaikkan PH gaster, menurunkan volume gaster,
meningkatkan tonus sphincter gastroesofageal digunakan sebagai usaha untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi cairan gaster. Obat yang diberikan
antara lain antasid, anticholinergik, H2 reseptor antagonis, dan metoclopramid.
Obat tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tertentu, tapi tidak 100%
efektif, jadi tetap diperlukan tindakan untuk mencegah regurgitasi dan aspirasi
selama induksi anestesi. (9)
Obat Keuntungan Kerugian
Antasid Menetralkan pH gaster Acid-rebound, milk alkali syndrome,
menurunkan fosfor.
Antikholinergik Meningkatkan motilitas
GIT, mengurangi
sekresi airway
Meningkatkan sekresi lambung,
menyebabkan mual
H2-reseptor
blocker
Menurunkan produksi
cairan lambung :
menurunkan volume
gaster, meningkatkan
pH gaster.
Tidak menurunkan
tonus sphincter
gastroesofageal
Tidak mempengaruhi volume atau pH isi
gaster
Efeknya baru ada bila diberikan 60-90
menit bila diberikan peroral atau IM
Cimetidin dapat menyebabkan aritmia
jantung bila diberikan intravena
Dapat menimbulkan bronkhopasme pada
pasien asthma
25
Metoclopramid Menurunkan volume
gaster
Meningkatkan tonus
sphincter
gastroosophageal
Tidak meningkatkan pH gaster
Dapat menimbulkan sedasi dan gejala
ekstrapiramidal
5. Intubasi
Semua pasien emergensi harus dianggap memiliki lambung yang terisi
penuh dan harus dilakukan penekanan krikoid selama dilakukan intubasi trakea
dan ventilasi. Setelah dilakukan preoksigenasi dan hiperventilasi dengan
menggunakan masker secara adekuat, efek yang merugikan dari intubasi terhadap
TIK diredam dengan sebelumnya diberikan tiopental 2-4 mg/kg, atau propofol
1.5-3.0 mg/kg.(9)
Induksi cepat (RSI) dengan menggunakan ketamin atau etomidate disertai
suksinilkolin sebagai pelumpuh otot, sering dilakukan pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil. Pemberian dengan tehnik titrasi (incremental
dose) dengan loading cairan sebelumnya mungkin dibutuhkan untuk
meminimalisir efek samping kardiovaskuler. (9)
Ketamin dan etomidate dapat diterima jika digunakan dengan
sesuai.Ketamin dapat memelihara tekanan darah melalui stimulasi simpatis
indirek namun dapat mengakibatkan hipotensi paradoksikal pada pasien hipertensi
kronik dengan deplesi katekolamin.(7)
Etomidate memiliki stabilitas kardiovaskuler yang lebih besar dari semua
agen induksi sekunder dan efeknya yang kecil pada sistem saraf simpatis serta
refleks otonom. Induksi menghasilkan penurunan yang minimal pada kecepatan
denyut jantung, tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik. (7)
Suksinilkolin (1-1,5 mg/kg) adalah relaksan otot pilihan untuk
menghasilkan paralisis otot dengan onset cepat yang dibutuhkan untuk
laringoskopi dan intubasi. Onsetnya kurang dari 60 detik dan durasi aksinya hanya
5-10 menit pada sebagian besar kasus. Rocouronium (1-1,5 mg/kg) merupakan
26
alternatif relaksan otot nondepolarisasi yang lebih baik dibandingkan dengan
suksinilkolin dalam hal keamanannya. Rocuronium mampu menghasilkan kondisi
intubasi dalam 60-90 detik, namun memiliki durasi aksi yang hampir sama dengan
vecuronium (digunakan secara hati-hati pada pasien dengan difficult airway).(7)
Pada keadaan seperti nyeri, syok, trauma, kehamilan dapat memperlambat
pengosongan lambung sehingga tindakan anestesi sering menghadapi bahaya
aspirasi dan regurgitasi. Intubasi endotrakea dalam keadaan pasien sadar dengan
anelgesi topical (setempat) adalah tehnik untuk mencegah bahaya aspirasi pada
kasus trauma berat pada muka, leher, perdarahan usus.(8)
Intubasi sadar dilakukan bila tindakan intubasi diprediksi akan mengalami
kegagalan. Intubasi sadar sulit dilakukan pada anak, serta merupakan kontra
indikasi relatif pada trauma mata terbuka, trauma kepala atau abdomen terbuka
karena dapat merangsang reflek batuk dan mengejan. (8)
Tehnik Rapid Sequence Induction
Teknik melakukan RSI berbeda dari induksi yang rutin dilakukan, yaitu
1. Pasien selalu dilakukan preoksigenasi sebelum dilakukan induksi. 4 kali
tarikan nafas maksimal dari oksigen sudah cukup untuk denitrogenasi paru
normal. Pasien dengan penyakit paru memerlukan 3-5 menit preoksigenasi.
2. Prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi mungkin
mencegah peningkatan tekanan intraabdomen yang berhubungan dengan
fasikulasi yang disebabkan oleh suksinilkolin. Tahap ini sering ditinggalkan,
meski tahap ini dapat menurunkan tonus spingter oesophagus bagian bawah. Jika
recorunium dipilih untuk relaksasi, dosis priming kecil (0,1 mg/kgbb) diberikan 2-
3 menit sebelum induksi mungkin mempercepat onset obat.
3. Blade yang besar dan tube endotracheal disiapkan sebelumnya. Sebaiknya
dimulai dengan memakai stilet dan nomor tube endotracheal satu sampai setengah
nomor dibawah biasanya, untuk memeaksimalkan kemudahan melakukan
intubasi.
27
4. Asisten melakukan penekanan ringan diatas kartilago krikoid sesaat setelah
induksi (Sellick’s Manuver). Karena kartilago krikoid terbentuk cincin yang tidak
putus dan tidak kempes, tekanan diatas menekan jaringan dibawahnya.
Oesophagus menjadi kolaps, dan secra pasif regurgitasi cairan lambung tidak
dapat mencapai hipofaring. Tekanan pada krikoid yang berlebihan (lebih keras
daripada yang ditoleransi orang pada umumnya) dapat menyebabkan ruptur
dinding oesophagus posterior.
5. Tidak ada pemberian tes dosis dari tiopental. Dosis induksi diberikan secara
bolus. Seharusnya dosis ini dimodifikasi bila ada indikasi bahwa sistem
kardiovaskular pasien tidak stabil. Agen RSI lain dapat menggantikan thiopental.
(seperti propofol, ketamin)
6. Suksinilkolin (1,5 mg/kgbb) atau rocuronium (0,9 -1,2 mg/kgbb) dapat
diberikan segera setelah tiopenthal, walaupun pasien belum hilang kesadarannya.
7. Pasien tidak dilakukan ventilasi positif, untuk menghindari pengisian udara
perut dimana hal ini dapat meningkatkan risiko regurgitasi. Setelah reflek spontan
pasien berhenti atau respon otot terhadap rangsang hilang, pasien segera mulai di
intubasi. Penekanan pada cricoid dipertahankan sampai cuff tube endotracheal
sudah dikembangkan dan posisi tube sudah pasti. Modifikasi dari RSI klasik
memperbolehkan ventilasi yang gentle selama tekanan krikoid dipertahankan.
8. Bila intubasi mengalami kesulitan, tekanan pada krikoid dipertahankan
sampai dan pasien diventilasi secara gentle dengan oksigen sampai usaha intubasi
berikutnya dapat dilakukan. Tekanan yang diberikan tidak lebih dari 25 cm H2O.
Bila intubasi tetap tidak berhasil, ventilasi pasien harus dispontankan kembali dan
dilakukan intubasi sadar.
9. Setelah selesai pembedahan, pasien harus diekstubasi setelah reflek-reflek
jalan napas kembali dan kesadaran sudah pulih.
Crash induction
Crash induction dilakukan pada pasien dengan curiga lambung penuh.
Tatacaranya tidak jauh berbeda dengan RSI, yaitu :
28
i. Posisi Trendelenburg dalam, sehingga isi lambung akan turun ke faring, bukan ke
paru-paru.
ii. Oksigenasi minimal 5 menit
iii. Tubokurarin 3 mg atau pankuronium 1 mg disuntikkan secara intravena
untuk mencegah fasikulasi yang menaikkan tekanan intragastrik dan
menimbulkan regurgitasi.
iv. Obat induksi anestesi disuntikkan dengan cepat, diikuti oleh suksinilkolin
(bila tidak ada kontra indikasi).
v. Jangan diventilasi, dan pembantu harus menekan trakhea secara keras
terhadap esofagus segera setelah pasien tidur.
vi. Segera setelah otot lemas maka tube endoktrakheal harus dimasukkan ke
dalam, dan balonnya segera ditiup.
vii. Syarat penting bahwa alat pengisap disiapkan setiap saat
BAB III
29
KESIMPULAN
Insiden bedah darurat meningkat dari tahun ke tahun. Diagnosa dini
diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Pelaksanaan pembedahan darurat
memerlukan penanganan khusus dalam bidang anestesi karena terdapat perbedaan
mencolok untuk persiapan pre operasi darurat dengan elektif. Penanganan awal
dimulai dari primary survey (Airway, Breathing,Circulation,Disability, Exposure)
hingga secondary survey yang juga meliputi penanganan pada komplikasi
kegawat daruratan trauma abdomen yaitu berupa perforasi, perdarahan, syok dan
juga peningkatan resiko regurgitasi lambung pada kasus pembedahan darurat.(1)
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan
kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik terhadap pasien dan faktor-faktor
pembedahan. Sehingga dapat dipertimbangkan pemakaian tehnik anestesi tersebut
menurut indikasi karena pada pembedahan darurat, pemakaian anestesi umum
memberikan risiko lebih besar dari pada anestesi lokal dan risiko anestesi spinal
tidak lebih kecil daripada anestesi umum.(1)
DAFTAR PUSTAKA
30
1. Mangku G, Senapathi TGA. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Wiryana IM,
Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG, editors. Jakarta: Indeks Jakarta; 2010.
2. Fagraeus L. anestesi. In: Oswari J, editor. Buku Ajar Bedah. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran RGC; 2005. p. 134-44.
3. Muttaqin A. Pemeriksaan Fisik. In: Nurachmach E, editor. Pengantar
Asuhan Keperwatan dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Jakarta:
Salemba Medika; 2009. p. 123-4.
4. Latief S. Petunjuk praktis Anestesiologi. Suryadi K, Dahlan M, editors.
Jakarta: FKUI; 2002.
5. Imarengiaye C. Anaethetic Heart Of Surgical Emergencies. Journal of
Postgraduate Medicine. 2005:40-5.
6. Landreau, B., et al. 2009. Pulmonary aspiration: epidemiology and risk
factors. Ann Fr Anesth Reanim. 2009 Mar ;28(3). Pp:206-10
7. Miller, RD., 2000. Anesthesia, 5 th. Ed. Churchill Livingston. New York.
USA
8. Barash, PG., et al. 2001. Clinical Anesthesia 4th Ed. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers. Philladelphia. USA
9. Morgan, GE., et al. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. The McGraw-Hill
Companies, Inc. USA
31