Lapsus Anestesi Dewi

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laparaskopi adalah suatu proses inspeksi bagian dalam rongga perut dengan menggunakan endoskop melalui akses yang minimal. Untuk mendapatkan lapang pandang yang baik dalam rongga perut diperlukan pneumoperitoneum, yaitu insuflasi rongga peritoneum dengan gas CO 2 . Prosedur ini ditambah dengan posisi pasien yang seringkali ekstrim, membawa dampak fisiologik yang bermakna. Pengetahuan dan pemahaman mengenai hal ini sangat penting untuk manajemen anestesi yang baik. Tindakan laparoskopi sudah dikenal sejak pertengahan 1950an ketika ahli ginekologi memperkenalkan teknik yang aman untuk mendiagnosis nyeri panggul. Awal 1980an, tindakan ini mulai dilakukan pada prosedur kolesistektomi dan terus berkembang dengan pesat. Sekarang laparoskopi telah dilakukan untuk bedah vaskular (bypass aortomesenterika), bedah urologi dengan komplikasi (nefrektomi pada malformasi arteriovena renal besar), prostatektomi radikal, pankreatomi distal dan reseksi hepar, bahkan telah dilakukan pada anak-anak. 1

description

good

Transcript of Lapsus Anestesi Dewi

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangLaparaskopi adalah suatu proses inspeksi bagian dalam rongga perut dengan menggunakan endoskop melalui akses yang minimal. Untuk mendapatkan lapang pandang yang baik dalam rongga perut diperlukan pneumoperitoneum, yaitu insuflasi rongga peritoneum dengan gas CO2. Prosedur ini ditambah dengan posisi pasien yang seringkali ekstrim, membawa dampak fisiologik yang bermakna. Pengetahuan dan pemahaman mengenai hal ini sangat penting untuk manajemen anestesi yang baik.Tindakan laparoskopi sudah dikenal sejak pertengahan 1950an ketika ahli ginekologi memperkenalkan teknik yang aman untuk mendiagnosis nyeri panggul. Awal 1980an, tindakan ini mulai dilakukan pada prosedur kolesistektomi dan terus berkembang dengan pesat. Sekarang laparoskopi telah dilakukan untuk bedah vaskular (bypass aortomesenterika), bedah urologi dengan komplikasi (nefrektomi pada malformasi arteriovena renal besar), prostatektomi radikal, pankreatomi distal dan reseksi hepar, bahkan telah dilakukan pada anak-anak.Penggunaan teknik laparoskopi telah sangat maju dan dapat diterapkan untuk banyak prosedur. Saat ini laparoskopi telah menjadi prosedur operasi tersering bagi pasien rawat jalan. Pembedahan laparoskopi disukai karena minimally invasive dan dihubungkan dengan penyembuhan luka yang lebih cepat. Meski demikian pada pasien dengan kondisi buruk tindakan laparoskopi mungkin sulit untuk dilakukan karena perubahan-perubahan fisiologik di atas. Anestesi harus dilakukan secara berhati-hati dan disesuaikan dengan jenis operasi dan kondisi pasien.

BAB IILAPORAN KASUS2.1. IDENTITAS PASIENNama : Ny. JSUmur : 55 tahunJenis kelamin: PerempuanNo. RM: 05-44-04Alamat : PassoPekerjaan: PNSGol. Darah: BBerat badan : 59 kgTinggi badan: 155 cmTanggal MRS: 17 Februari 2015Tanggal Masuk ICU: -Tanggal Keluar ICU: -Agama : Kristen ProtestanSuku/Bangsa: IndonesiaStatus Pernikahan: MenikahBangsal/Kamar : Cendrawasih2.2. EVALUASI PRE-ANESTESI1). Anamnesis (Autoanamnesis-18 Februari 2015) Keluhan utamaNyeri perut kanan.

Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke UGD RSUD dr M. Haulussy Ambon pada tanggal 17 Februari 2015 dengan keluhan nyeri perut kanan. Keluhan ini sudah dirasakan selama 2 minggu dan dirasakan memberat sejak sehari SMRS. Nyeri dirasakan seperti diremas-remas dan hilang timbul. Nyeri juga dirasakan menjalar hingga ke pinggang kanan. Keluhan timbul jika paien sedang melakukan kerja berat. Pasien juga mengeluh mual dan muntah 1x berisi cairan bercampur makanan. Pasien tidak ada gangguan buang air besar dan kecil. Riwayat Penyakit DahuluPasien sudah mengalami keluhan yang sama sejak Tahun 1986 namun pasien tidak pernah berobat. Riwayat hipertensi, DM, dan asma tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga-

Riwayat Operasi & Anestesi-

Riwayat Alergi- Riwayat Obat-Obatan- Kebiasaan Sosial-2). Pemeriksaan Fisik Status Gizi: Cukup. Keadaan Psikis: Baik.B1 :A: bebas; B: spontan; RR: 20x/m reguler; Inspeksi: pergerakan dada simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka; Mallampati 1, T1: penonjolan gigi atas (-), gigi palsu (-), gigi goyang (-); T2: lidah besar (-); T3: trismus (-); T4: hipertrofi tonsil (-); T5: torticolis (-), T6: jarak antara tiroid dengan simfisis mandibula 3 jari; T7: deviasi trakea (-).

B2 :Akral hangat, kering, merah; TD: 96/69 mmHg; N: 69x/m reguler, kuat angkat; Suhu: 36,7C; S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

B3 :Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

B4 :BAK kateter (+) 100cc, urin warna kuning (+).

B5 :Inspeksi: sikatriks (-), Palpasi: NT(+) regio hipokondrium dextra, Auskultasi: BU (+).

B6 :Fraktur (-), oedem (-).

3). Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (16 Februari 2015):Hb: 13,2 g/DlHt: 39,1%WBC: 3,33 ribu/uLTrombosit: 256 ribu/uLBT/CT: 2/10Glukosa Sewaktu: 103 mg/dLSGOT/PT: 71/58 uLAlbumin: 3,3 gr/dL4). Diagnosis PS ASA II

5). Planning Pro Laparaskopi Kolesistektomi. Puasa 8 jam sebelum operasi. Injeksi Ranitidin 50 mg/IV. Injeksi Ondancetron 4 mg/2 ml/IV. Injeksi Ceftriaxon 1 gr/IV.

2.3. INTRA-OPERATIF (18 Februari 2015) Diagnosa Pra Bedah: Kolelitiasis + Kolesistitis Akut. Indikasi Bedah: Batu Empedu. Jenis Pembedahan: Laparaskopi Kolesistektomi. Jenis Anestesi: Regional Anestesi & General Anestesi-Intubasi. Posisi: Supine. Lama Anestesi:12.55 WIT-Selesai. Lama Operasi: 13.05 WIT-16.00 WIT. Tindakan Anestesi Regional dengan Spinal Anestesi:1. Pasien diposisikan lateral dekubitus.2. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.3. Menentukan tempat tusukan di L3-L4.4. Dimasukkan anestetik lokal Bupivacain 20 mg.5. Dipastikan blok sensorik dan motorik sudah tercapai.

Tindakan Anestesi Umum dengan Intubasi:1. Pasien diposisikan pada posisi supine.2. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.3. Obat Midazolam dosis 2 mcg diberikan intravena untuk tujuan premedikasi.4. Obat berikut diberikan secara intravena: a) Fentanil 5 mgb) Propofol 150 mg 5. Pasien diberi oksigen 100% 2 liter sungkup.6. Dipastikan apakah airway pasien paten.7. Dimasukkan muscle relaxant Atracurium 25 mg intravena dan diberi bantuan napas dengan ventilasi mekanik.8. Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk dilakukan intubasi ETT.9. Dilakukan intubasi ETT, dilakukan ventilasi dengan oksigenasi.10. Cuff dikembangkan, lalu cek suara napas pada semua lapangan paru dan lambung dengan stetoskop, dipastikan suara napas dan dada mengembang secara simetris. ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator.11. Maintenance dengan dengan inhalasi oksigen 2 lpm, N2O 3 lpm, dan sevoflurane MAC 1%.12. Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-tanda komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan napas, nyeri).13. Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, napas spontan dan ada refleks-refleks jalan napas atas, dan dapat menuruti perintah sederhana.

Keseimbangan Cairan:1. Cairan masukPre-Operatif: RL 1000 ccDurante-Operatif: RL 1500 cc

2. Cairan keluar:Perdarahan: Produksi urin: PO 100cc

2.4. POST-OPERATIF Pasien masuk ruang pemulihan (Recovery Room) pukul 16.05 WIT. Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-). Pemeriksaan Fisik:B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 20 x/m, Rh (-), Wh (-).B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 76 x/m, TD: 145/98 mmHg, S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-). B3: Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.B4: BAK kateter (+), urin warna kuning (+).B5: BU (+).B6: Mobilitas (+), edema (-). Terapi: 1. Awasi TTV, Head Up 30.2. Bedrest 24 jam post operasi, boleh mika/miki.3. Post operatif pain dengan Ketorolac 30 mg dan Tramadol 100 gr.4. Terapi lain sesuai TS Bedah.

BAB IIIPEMBAHASAN3.1. Pre-OperatifSebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre-operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan dioperasi, menentukan jenis operasi yang akan digunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre-operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.Evaluasi pre-operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang efektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam informed consent.History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien.Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.ASA PS I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.ASA PS II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.ASA PS III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.ASA PS IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan terapi intensif, dengan limitasi seriius pada aktivitas sehari-hari.ASA PS V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa pembedaha.ASA PS VI : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan.Hal penting lainnya pada kunjungan pre-operasi adalah informed consent. Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan pre-operasi bukan hanya untuk mengumpulkan informasi yang penting dan informed consent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen obat premedikasi.Pada pasien ini, dari history taking tidak didapatkan riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan, dan tidak mengkonsumsi obat-obatan rutin. Tidak didapatkan riwayat operasi sebelumnya, tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus, dan asma. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien digolongkan dalam kategori Malampati 1. Dari hasil laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/PT. Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 2.

3.1.1. Masukan OralRefleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. 3.1.2. Terapi CairanTerapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Pada pasien ini, telah diberikan cairan maintenance sebanyak 1000cc cairan RL sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 55kg dimana kebutuhan cairan maintenance adalah 90cc/jam dan pasien ini dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi. tetapi kenyataannya pasien puasa selama 10 jam. Jadi defisit cairan pasien ini secara total adalah 900cc.3.1.3. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:a. Meredakan kecemasan dan ketakutan.b. Memperlancar induksi anestesi.c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.d. Meminimalkan jumlah obat anestesi.e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.f. Menciptakan amnesia.g. Mengurangi isi cairan lambung.Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondancetron 10 mg, inj. Ranitidine 50 mg, inj. Ceftriaxon 2.5 mg. Ondancetron dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV. Ceftriaxon diberikan untuk antibiotik profilaksis.

3.2. Durante-Operatif3.2.1. Pemakaian Obat AnestesiPada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol. Mekanisme induksi general anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol bisa mempotensiasi Nondepolarizing Neuromuscular Blocking Agents (NMBA) yang juga digunakan pada kasus ini (atracurium). Penggunaan propofol bersamaan dengan fentanyl dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang digunakan adalah fentanyl. Beberapa klinisi memberikan midazolam (pada kasus ini diberikan untuk premedikasi) dengan jumlah kecil (misal 30g/kg) sebelum induksi dengan propofol, karena mereka percaya bahwa kombinasi tersebut mempunyai efek sinergis (onset lebih cepat dan kebutuhan dosis total menjadi turun). Propofol Induction IV 12.5 mg/kgMaintenance infusion IV 50200 g/kg/minSedation infusion IV 25100 g/kg/minFentanyl Intraoperative anesthesia IV 2150 g/kgPostoperative analgesia IV 0.51.5 g/kgPada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu dipertahankan kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah sevoflurane. Sevoflurane tidak memiliki kontraindikasi khusus. Sevofluran juga dapat mempotensiasi NMBA (pada pasien ini dipakai atracurium).Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses intubasi lebih mudah dilakukan. Secara teoritis, pemberian 1015% dosis intubasi muscle relaxant 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis akan cepat mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan. Penggunaan priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi segera setelah 60 detik bila menggunakan rocuronium dan 90 detik menggunakan agen intermediate-acting nondepolarizers seperti atracurium. Setelah intubasi, paralisis otot mungkin perlu diteruskan untuk memfasilitasi operasi misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi atau untuk kebutuhan mengontrol ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai dengan intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan dengan monitor menggunakan nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah 45 menit pemberian atracurium yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehingga intubasi masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi terkontrol).Drug ED95 for Adductor Pollicis During N2/O2 Anesthesia (mg/kg)Intubation Dose (mg/kg) Onset of Action for Intubating Dose (min) Duration of Intubating Dose (min) Maintenance Dosing by Boluses (mg/kg) Maintenance Dosing by Infusion ( g/kg/min)Atracurium 0.2 0.5 2.53.0 3045 0.1 5123.2.2. Terapi Cairan Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.3.3. Post-OperatifPulih dari anestesi umum atau analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau, unit perawatan pasca anestesi (RR, Recovery Room). Idealnya bangun dari anestesia secara bertahap, tanpa keluhan. Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil, dan kadang-kadang perdarahan. Pada pasien ini, tidak dijumpai hal-hal tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah selama di recovery room sehingga tidak diberikan obat-obatan tambahan.

6