Lapsus Anestesi Fix

44
I TEKNIK ANESTESI TIVA 1.1 Anestesi Intravena Anestesi intravena (TIVA) merupakan teknik anastesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat anastesi intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap. 1.2Kelebihan TIVA 1. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya. 2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien 3. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus. 1.3 Indikasi Pemberian TIVA TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai : 1. Obat induksi anastesi umum 2. Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat 3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat 4. Obat tambahan anastesi regional 5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP 1

Transcript of Lapsus Anestesi Fix

Page 1: Lapsus Anestesi Fix

I

TEKNIK ANESTESI TIVA

1.1 Anestesi Intravena

Anestesi intravena (TIVA) merupakan teknik anastesi umum dengan hanya

menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk

ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat anastesi

intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias

anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap.

1.2Kelebihan TIVA

1. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat

dalam pemakaiannya.

2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien

3. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus.

1.3 Indikasi Pemberian TIVA

TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai :

1. Obat induksi anastesi umum

2. Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat

3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat

4. Obat tambahan anastesi regional

5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP

1.4 Cara pemberian TIVA

1. Suntikan tunggal, untuk operasi singkat

Contoh : cabut gigi

2. Suntikan berulang sesuai dengan kebutuhan

Contoh : kuretase

3. Diteteskan lewat infuse dengan tujuan menambah kekuatan anestesi

1

Page 2: Lapsus Anestesi Fix

1.5 Jenis-jenis Anastesi Intravena

1. GOLONGAN BARBITURAT

Pentothal/ Thiopenthal Sodium/ Penthio Barbital/ Thiopenton

Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis, bersifat basa, berbau belerang,

larut dalam air dan alcohol.Penggunaannya sebagai obat induksi, suplementasi dari

anastesi regional, antikonvulsan, pengurangan dari peningkatan TIK, proteksi

serebral.Metabolismenya di hepar dan di ekskresi lewat ginjal.

Onset : 20-30 detik

Durasi : 20-30 menit

Dosis :

Induksi iv : 305 mg/Kg BB, anak 5-6 mg/Kg BB, bayi 7-8 mg/kg BB

Suplementasi anastesi : iv 0,5-1 mg/kg BB

Induksi rectal : 25 mg/ kg BB

Antikonvulsan : iv 1-4 mg/kg BB

Efek samping obat:

Sistem kardiovaskuler

- Depresi otot jantung

- Vasodilatasi perifer

- Turunnya curah jantung

Sistem pernapasan, menyebabkan depresi saluran pernapasan konsentrasi

otak mencapai puncak apnea

Dapat menembus barier plasenta dan sedikit terdapat dalam ASI

Sedikit mengurangi aliran darah ke hepar

Meningkatkan sekresi ADH (efek hilang setelah pemberian dihentikan)

Pemulihan kesadaran pada orang tua lebih lama dibandingkan pada dewasa

muda

Menyebabkan mual, muntah, dan salivasi

Menyebabkan trombophlebitis, nekrosis, dan gangren

2

Page 3: Lapsus Anestesi Fix

Kontraindikasi :

Alergi barbiturat

Status ashmatikus

Porphyria

Pericarditis constriktiva

Tidak adanya vena yang digunakan untuk menyuntik

Syok

Anak usia < 4 th (depresi saluran pernapasan)

2. GOLONGAN BENZODIAZEPIN

Obat ini dapat dipakai sebagai trasqualiser, hipnotik, maupun sedative.Selain itu obat

ini mempunyai efek antikonvulsi dan efek amnesia.

Obat-obat pada golongan ini sering digunakan sebagai :

a. Obat induksi

b. Hipnotik pada balance anastesi

c. Untuk tindakan kardioversi

d. Antikonvulsi

e. Sebagai sedasi pada anastesi regional, local atau tindakan diagnostic

f. Mengurangi halusinasi pada pemakaian ketamin

g. Untuk premedikasi

a. Diazepam

Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organic (propilen

glikol dan sodium benzoate).Karena itu obat ini bersifat asam dan menimbulkan

rasa sakit ketika disuntikan, trombhosis, phlebitis apabila disuntikan pada vena

kecil.Obat ini dimetabolisme di hepar dan diekskresikan melalui ginjal.

Obat ini dapat menurunkan tekanan darah arteri.Karena itu, obat ini digunakan

untuk induksi dan supplement pada pasien dengan gangguan jantung berat.

3

Page 4: Lapsus Anestesi Fix

Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia, sedative, obat

induksi, relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan penarikan alcohol akut

dan serangan panic.

Awitan aksi : iv< 2 menit, rectal < 10 menit,

oral 15 menit-1 jam

Lama aksi : iv 15 menit- 1 jam, PO 2-6 jam

Dosis :

Premedikasi : iv/im/po/rectal 2-10 mg

Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg BB

Induksi : iv 0,3-0,6 mg/kg

Antikonvulsan : iv 0,05-0,2 mg/kg BB setiap 5-10 menit dosis maksimal 30

mg, PO/rectal 2-10 mg 2-4 kali sehari

Efek samping obat :

Menyebabkan bradikardi dan hipotensi

Depresi pernapasan

Mengantuk, ataksia, kebingungan, depresi,

Inkontinensia

Ruam kulit

DVT, phlebitis pada tempat suntikan

b. Midazolam

Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan anteretrogad

amnesia. Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,5-3x diazepam.

Obat ini menembus plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai APGAR kurang

dari 7 pada neonatus.

Dosis :

Premedikasi : im 2,5-10 mg, Po 20-40 mg

Sedasi : iv 0,5-5 mg

Induksi : iv 50-350 µg/kg

Efek samping obat :

4

Page 5: Lapsus Anestesi Fix

Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature, hipotensi

Bronkospasme, laringospasme, apnea, hipoventilasi

Euphoria, agitasi, hiperaktivitas

Salvasi, muntah, rasa asam

Ruam, pruritus, hangat atau dingin pada tempat suntikan

3. PROPOFOL

Merupakan cairan emulsi isotonic yang berwarna putih.Emulsi ini terdiri dari gliserol,

phospatid dari telur, sodium hidroksida, minyak kedelai dan air. Obat ini sangat larut

dalam lemak sehingga dapat dengan mudah menembus blood brain barier dan

didistribusikan di otak. Propofol dimetabolisme di hepar dan ekskresikan lewat ginjal.

Penggunaanya untuk obat induksi, pemeliharaan anastesi, pengobatan mual muntah

dari kemoterapi

Dosis :

Sedasi : bolus, iv, 5-50 mg

Induksi : iv 2-2,5 mg/kg

Pemeliharaan : bolus iv 25-50 mg, infuse 100-200 µg/kg/menit, antiemetic iv

10 mg

Pada ibu hamil, propofol dapat menembus plasenta dan menyebabakan depresi janin.

Pada sistem kardiovaskuler, obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan sedikit

menurunkan nadi. Obat ini tidak memiliki efek vagolitik, sehingga pemberiannya bisa

menyebabkan asystole. Oleh karena itu, sebelum diberikan propofol seharusnya

pasien diberikan obat-obatan antikolinergik. Pada pasien epilepsi, obat ini dapat

menyebabkan kejang.

4. KETAMIN

Obat ini mempunyai efek trias anastesi sekaligus. Pemberiannya menyebabkan pasien

mengalami katalepsi, analgesic kuat, dan amnesia, akan tetapi efek sedasinya ringan.

Pemberian ketamin dapat menyebakan mimpi buruk.

5

Page 6: Lapsus Anestesi Fix

Dosis

Sedasi dan analgesia : iv 0,5-1 mg/kg BB, im/rectal 2,5-5 mg/kg BB, Po 5-6

mg/kg BB

Induksi : iv 1-2,5 mg/kg BB, im/ rectal 5-10 mg/kg BB

Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, kerana itu pemberian ketamin berbahaya

bagi orang-orang dengan tekanan intracranial yang tinggi. Pada kardiovaskuler,

ketamin meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan curah jantung.Dosis tinggi

menyebabkan depresi napas.

Kontraindikasi :

Hipertensi tak terkontrol

Hipertroid

Eklampsia/ pre eklampsia

Gagal jantung

Unstable angina

Infark miokard

Aneurisma intracranial, thoraks dan abdomen

TIK tinggi

Perdarahan intraserebral

TIO tinggi

Trauma mata terbuka

5. OPIOID

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dalam dosis

tinggi.Opioid tidak mengganggu kardiovaskulet, sehingga banyak digunakan untuk

induks pada pasien jantung.

a. Morfin

Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan nyeri yang

berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan kegagalan

ventrikel kiri dan edema paru.

Dosis :

6

Page 7: Lapsus Anestesi Fix

Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg

setiap 4 jam

Induksi : iv 1 mg/kg

Awitan aksi : iv< 1 menit, im 1-5 menit

Lama aksi : 2-7 jam

Efek samping obat :

Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia

Bronkospasme, laringospasme

Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia

Retensi urin, spasme ureter

Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah, penundaan

pengosongan lambung

Miosis

b. Petidin

Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi

sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif

morfin sulfat, untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea karena

acute pulmonary edema dan acute left ventricular failure.

Dosis

Oral/ IM,/SK :

Dewasa :

Dosis lazim 50–150 mg setiap 3-4 jam jika perlu,

Injeksi intravena lambat : dewasa 15–35 mg/jam.

Anak-anak oral/IM/SK : 1.1–1.8 mg/kg setiap 3–4 jam jika perlu.

Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 – 100 mg IM/SK

Petidin dimetabolisme terutama di hati

Kontraindikasi

7

Page 8: Lapsus Anestesi Fix

Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14 hari

sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernapasan yang parah,

sianosis, hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit kepala, kejang)

Hipersensitivitas.

Pasien dengan gagal ginjal lanjut

Efek samping obat

Depresi pernapasan,

Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi, rasa

mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan, kejang,

Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,

Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,

Reproduksi, ekskresi &endokrin : retensi urin, oliguria.

Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia, tremor

otot, pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau disorintasi,

halusinasi.

Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit

Peringatan !!!

Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan memperlama

kerja & efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada depresi sistem saraf

pusat yg parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang,

cedera kepala, tumor otak, asma bronchial

c. Fentanil

Digunakan sebagai analgesic dan anastesia

Dosis :

Analgesik : iv/im 25-100 µg

Induksi : iv 5-40 µg/ kg BB

Suplemen anastesi : iv 2-20 µg/kg BB

Anastetik tunggal : iv 50-150 µg/ kg BB

Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit

8

Page 9: Lapsus Anestesi Fix

Lama aksi : iv 30-60 menit, im 1-2 jam

Efek samping obat :

Bradikardi, hipotensi

Depresi saluran pernapasan, apnea

Pusing, penglihatan kabur, kejang

Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat

Miosis

Berikut contoh penggunaan teknik TIVA :

I. PROPOFOLTIVA:

1. Premed : Pethidine 25 mg/lV atau Fentanyl 5O ug/lV

2. Induksi

Dewasa = dosis 1.5 - 2.5 mg/kg BB/IV

Anak = dosis lebih fanggi

Manula = dosis diturunkan s/d 25 - 50%

3. Maintenance:

Dosis 6-12 mg/kg BB/lv — > Rata-rata = 8 mg/kg BB/jam atau Dosis 100 - 300 u/kg

BB/mnt/IV (kombinasi dengan short acting opioid) Dosis sedasi = 25-100 ug/kg/mnt

(rata-rata = 100 m/jam) dosis Px tertentu dapat ditambahkan opioid atau midazolam

II. PENTHOTAL TIVA.

1. Premed:

Pethidine : 25 mg/IV (dosis 0.5 mg/kg BB/IV)

Fentanyl: 1 - 2 u/kg BB/TV

2. Induksi:

Dosis Penthotal =3-5 mg/kg BB/IV

Maintanance : 1 mg/kgBB D.

9

Page 10: Lapsus Anestesi Fix

III KETAMIN TIVA

Efek ketamin pada Air Way:

1. Kekakuan otot dan gerakan tidak beraturan (bila terjadi pada otot rahang — >

gangguan pada Air Way / Obstruksi)

2. Hipersalivasi

3. Mual / Muntah

4. Pemberian cepat —> henti napas

Pada induksi dengan ketamin reflex muntah masih (+) ~> hati-hati waktu itubasi

Premed:

,- SA (untuk melawan Hipersekresi)

- Benzodiasephine (untuk melawan Emergency Delirium )

Induksi:

- Ketamin (Dosis 1-2 mg/kg BB/IV)—1 pelan (> 60 dtk)

Maintenance:

- Bolus = Ketamin dengan dosis % doss induksi. Diberikan tiap : 7 -10 menit

- Drips Ketamin dengan dosis : 2-4 mg/kg BB/jam

- Stiringe Pump Ketamin : 2-4 mg/kg BB/Jam

10

Page 11: Lapsus Anestesi Fix

II

ASMA

1. Definisi Asma:

Menurut GINA ( Global Initiative for Asthma), Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan epioden wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan.1

Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka hal ini menyebabkan munculnya serangan batuk, mengi, keluarnya dahak, sesak napas, dan rasa tidak enak di dada terutama pada malam atau pagi hari. Asma merupaka suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Hal tersebut menyebabkan penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.2

2. Patofisiologi Asma

Patofisiologi asma melibatkan pelepasa mediator ke jalan napas dan mungkin juga karena adanya aktivitas yang berlebihan yang melibatkan sistem saraf parasimpatis. Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun spesifik dan non spesifik oleh daya degranulasi sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen berikatan dengan IgE di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi, bronkokonstriksi merupakan hasil dari pelepasan histamine, bradikinin, leukotrien, platelet activating factor, prostaglandin (PG), PGES, PGF2 alfa, dan PGD2, dan faktor netrofil eosinofil kemotaktik. Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limfosit subtype CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor ( GM-CSF), Th 1 terutama memproduksi IL-2, IF-γ dan TNF-β. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 tersebut bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat maupun cell mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu proses yang melibatkan molekul MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+. 3

11

Page 12: Lapsus Anestesi Fix

Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor, saluran napas ini seakan-seakan merupakan persarafan β-adrenergik yang tidak kompeten dan banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional terdapat hambatan parsial pada reseptor β-adrenergik pada penderita asma yang khas ini. Penyebab utama saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamine, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf post ganglionik. Kontrasksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hyperplasia dan hipertrofi kronis otot polos, vaskulaer dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada dinding saluran respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi secret yang banyak, kental dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler. 4

Sistem saraf parasimpatis memainkan peranan penting dalam menjaga tonus normal bronkial. Aktifasi reflex vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP).5

Selama serangan terjadi bonkokonstriksi, edema mukosa, dan sekresi yang akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer. Laju ekspirasi menurun melampaui FVC tetapi pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru rendah.

Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis ke kanan, dan RBBB) menunjukkan obstruksi jalan napas berat.

Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaanya. Asma diklasifikasikan atas asma saat serangan (akut) atau tanpa serangan.

3. Pembagian ASMA

12

Page 13: Lapsus Anestesi Fix

A. Asma di Luar Serangan

Pada orang dewasa asma diluar serangan terdiri dari:

1. Intermiten

2. Persisten ringan

3. Persisten sedang

4. Persisten berat

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Fungsi Paru

Intermiten,

Mingguan

Gejala <1x/minggu

Tanpa gejala diluar serangan

Serangan singkat

Fungsi paru asimptomatik dan normal diluar serangan

≤2 kali sebulan VEP1 atau APE≥80%

Persisten Ringan,

Mingguan

Gejala > 1x/minggu tapi <1x/hari

Serangan dapat mengganggu aktivitas tidur

>2 kali seminggu VEP1 atau APE≥ 80% normal

Persisten Sedang,

Harian

Gejala harian

Menggunakan obat setiap hari

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

Serangan 2x/minggu, bisa berhari-hari

>sekali seminggu VEP1 atau APE >60% tetapi ≤80% normal

Persisten Berat,

Kontinu

Gejala terus menerus

Aktivitas fisik terbatas

Sering serangan

Sering VEP1 atau APE <80% normal

13

Page 14: Lapsus Anestesi Fix

B. Asma Saat Serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringan serangan. GINA membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji faal paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). 3

III

PENANGANAN ANESTESI PADA PASIEN ASMA

A. Evaluasi Perioperatif

14

Page 15: Lapsus Anestesi Fix

Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan serangan asma, baik intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan faal paru, analisan gas darah, dan foto rontgen thorax.4

1. Riwayat penyakit

Meliputi lama penyakitnya, frekuensi serangan, lama serangan atau berat serangan, faktor-faktor yang mempengaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan, obat, minuman), riwayat serangan terakhir, beratnya dan pengobatannya.1 Bila baru-baru ini menderita infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi elektifnya sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.6

2. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan naps yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi memanjang. Palpasi didapatkan takikardi, perkusi didapatkan hipersonor, auskultasi didapatkan wheezing.7

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada asma, eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid, dapat juga untuk membedakan serangan asma dengan bronkitis kronis. Pada pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinofil, juga ditemukan adanya Kristal Charcot Leyden, spiral Churschman dan mungkin juga miselium Aspergilus fumigates.7

4. Rontgen Thorax

Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma mendatar karena adanya hiperinflasi, jantung tampak mengecil dan lapang paru hiperlusen.7

5. Pemeriksaan Faal Paru (Spirometri)

Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volume ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih

15

Page 16: Lapsus Anestesi Fix

dari 3 liter dan lebih dari 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus PEFR adalah lebih dari 200L/menit( pada laki-laki dewasa muda lebih dari 500 L/menit). Nilai PEFR kurang dari 200L/menit pada pria dan kurang dari 150L/menit menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50% menunjukkan asma sedang sampai berat. Bila nilai PEFR <120 l/menit atau FEV1 1 liter menunjukkan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat yang menjalani operasi berdampak pada sistem respirasi. Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap risiko komplikasi paru postoperative dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan.5

Keadaan klinik %FEV/FVC

Normal 80-100

Asma ringan 75-79

Asma sedang 50-74

Asma berat 35-49

Status asmatikus <35

6. Analisa Gas Darah

Pemeriksaan gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma yang berat. Pada keadaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan risiko komplikasi paru-paru.1

7. Fisioterapi Dada

Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas. Indikasi fisioterapi dada bisa akut atau bisa sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk dilakukan fisioterapi adalah pada pasien-pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang batuknya sangat lemah.6

B. Pengelolaan Perioperatif

16

Page 17: Lapsus Anestesi Fix

Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi yang terkumpul dan proses inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan pemberian bronkodilator misalnya adalah emfisema, tumor.6

Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator yang berisi β-adrenergik agonis, teofilin dan kortikosteroid.5 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.7

1. Manajemen Asma

Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut:

a. Simpatomimetik atau agen β-agonis, menyebabkan bronkodilatasi melalui cAMP yang memediasi relaksasi otot polos. Obat-obat ini juga menghambat histamine dan neurotransmitter kolinergik.

1. Selektif β-adrenergik, umumnya diberikan secara inhalasi dan sampai saat ini merupakan preparat yang paling efektif. Misalnya Albuterol (Ventolin) 2 puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5ml/2ml salin setiap 4-6 jam. Salmeterol 2 puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5ml/2ml salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan beta bloker hendaknya menggunakan yang tidak menimbulkan spasme bronkus seperti atenolol, metoprolol atau esmolol.6

2. Campuran β1 dan β2 adrenergik termasuk epinefrin (Adrenalin), isoproterenol dan isoetharin. Efek samping takikardi dan aritmogenik membahayakan pada penderita penyakit jantung.

3. Terbutaline sulfat pemberiannya 0,25mg SC, dapat diulangi 15 menit, tetapi tidak lebih dari 0,5mg dalam 4 jam.

b. Xantin (Teofilin)

1. Teofilin

Efek dari teofilin sama dengan golongan simpatomimetik, tapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat. Teofilin sebagai bronkodilator memiliki 2 mekanisme aksi utama, yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan menekan stimulant yang terdapat pada jalan napas. Mekanisme aksi yang utama belum diketahui dengan pasti. Diduga efek bronkodilatasi disebabkan adanya inhibisi 2 isoenzim yaitu fosfodiesterase (PDE III) dan PDE IV. Sedangkan efek selain bronkodilatasi berhubungan dengan aktivitas molecular yang lain. Teofilin juga dapat meningkatkan kontraksi otot

17

Page 18: Lapsus Anestesi Fix

diafragma dengan cara peningkatan uptake Ca melalui adenosine-mediated channel.

2. Aminofilin

Pada serangan asma akut reversible berat yang berhubungan dengan bronchitis kronis dan emfisema digunakan aminofilin. Bentuk pemberian adalah injeksi iv dengan kemasan 1 ampul dosis tunggal. Cara pemberiannya :

a) Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis awal 6mg/kgBB dalam Dextrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit

b) Bila pasien telah medapat aminofilin (< 4 jam), dosis diberikan separuhnya.

c) Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20mcg/ml

d) Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam

c. Kortikosteroid

Sering digunakan pada pasien yang tidak respon terhadap terapi antagonis β2. Terutama bentuk parenteral yang digunakan untuk terapi serangan asma berat. Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan edema mukosa, stabilisasi membrane sel mast dan anti inflamasi.

Kortikosteroid yang diberikan jangka panjang dapat menimbulkan efek samping oleh karena itu dianjurkan pemberian melalui inhalasi digunakan dengan dosis maksimal 2000mcg, sangat efektif dalam mengendalikan gejala asma dan mengendalikan eksaserbasi. Bila pemberian secara inhalasi belum bisa mengontrol asma maka dianjurkan pemberian parenteral dengan Hidrokortison 12mg/kgBB atau 100mg IV/8jam dan Metilprednisolon 40-80 mg IV / 4-6 jam atau 0,8mg/kgBB.

d. Sodium Cromolyn dan nedokromil adalah preparat inhalasi yang digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui stabilisasi membrane sel mast dan anti inflamasi.

e. Mukolitik

2. Premedikasi8

a) Sedatif (Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi napas. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.

18

Page 19: Lapsus Anestesi Fix

b) Narkotik / Opioid sebagai analgesic dan untuk sedative sebaiknya dipilih yang tidak mempunyai efek pelepasan histamine misalnya fentanil dan sulfentanil10

c) Antikolinergik diberikan jika terdapat sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi. Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflex bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.

d) H2 bloker (cimetidin, ranitidine), secara teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamine, aktivitas H1 yang tanpa hambatan dengan blockade H2 dapat menimbulkan bronkokonstriksi. 5

e) Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau kortikosteroid inhaler, obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (Metilprednisolon 40-80mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Bronkodilator harus diberikan sampai proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama dengan glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-100mg sebelum operasi dan 100 mg/8 jam selama 1-3 hari pasca operasi.5,9

f) Pada penderita asma yang akan dilakukan intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5mg/kgBB atau Fentanyl 2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT. Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halotan/enfluran pada stadium dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter. 9,10

5. Penanganan Anestesi Intraoperatif

Pemahaman terhadap suatu masalah patofisiologi yang mendasar lebih penting daripada pilihan anestesi khusus atau obat. Pilihan teknik bisa regional anastesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan untuk mengendalikan nyeri postoperative.

A. Regional Anestesi

Spinal atau epidural anestesi adalah pilihan pada pembedahan ekstremitas bawah. Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan (intercostal untuk inspirasi dan otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunan FRC, mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokonstriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah (T1-4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi teknik epidural dan

19

Page 20: Lapsus Anestesi Fix

anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hipoksemia dan atelektasis. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general anestesi. Faktor –faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan anestesi regional seperti pasien tidak tahan berbaring lama di meja operasi dalam waktu lama, batuk spontandan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada tahap kritis pembedahan.

B. General Anestesi

Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.

1. Agen Inhalasi

Agen inhalasi anestesi seperti halotan akan menyebabkan bronkodilatasi dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halotan bepengaruh pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi otot polos jalan napas. Namun hati-hati dalam penggunaan pada pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatnya iritasi ringan dijalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi dijalan napas.

2. Obat-obat induksi Intravena

Untuk induksi intravena dapat digunakan obat-obatan yang mempunyai onset kerja cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton, propofol, dan ketamin. Thiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui reseptor µ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan mekanisme umpan balik negative dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat stimulasi yang harus berlanjut. Oleh karena itu blok reseptor µ2 dapat

20

Page 21: Lapsus Anestesi Fix

menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya karena iritan)10. Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos saluran napas. Dari suatu hasil penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol4. Propofol dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi wheezing setelah intubasi dibanding dengan penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan benzodiazepine, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang cepat dan akhir yang cepat pula.4 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek analgesic untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi saliva dan trakeobronkial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogog seperti atropine ataupun gycopyrolate.12Refleks bronkospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian tambahan tiopenton 1-2mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatile selama 5 menit atau diberikan lidokain intravena atau intratrakeal 1-2mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergik (atropine 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.

3. Muscle Relaxant

Faktor lain yang peru dipertimbangkan dalam penggunaan muscle relaxan adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropine 1 mg atau glycopyrolate 0,5mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan muscle relaxn shortacting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamine tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma.

C. Terapi Bronkospasme Intraoperatif

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukkan dengan wheezing, munculnya penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan pipa endotrakeal akibat kekakuan, balon

21

Page 22: Lapsus Anestesi Fix

yang keras, intubasi endobronkial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, edem pulmo atau emboli dan pneumotoraks semua dapat menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta adrenergic agonist baik secara aerosol atau inhaler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas.2Teknik pemberian ini adalah secara matered dose inhaler, berikan 5-10 puffs obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminofilin intravena, terbutalin (0,25mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminofilin preoperative perlu diberikan aminofilin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit, diberikan pemeliharan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah(6-10 napas/menit) ,volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9

Penurunan diameter saluran napasyang disebabkan bronkokonstriksi yang berat dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi bronkospasme. Hal ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arterial tetapi juga menjaga tekanan parsial oksigen dalam alveoli. 10

Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas otot nondepolarisasi perlu direverse dengan anticholine esterase yang tidak memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum pulihnya reflex jalan napas normal untuk mencegah bronkospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/kgBB diberikan intravena atau dengan kontinyu dosis 1-2mg/menit dapat menekan reflex jalan napas. 5

6.Penanganan Postoperatif

Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka sampai pasien mampu menggunakan MDI sendiri dengan benar. 6,11

22

Page 23: Lapsus Anestesi Fix

Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI bila memenuhi criteria berikut:6

1. Frekuensi napas <25 kali /menit

2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih

3. Kapasitas vital > 15 ml/kg

4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi

5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai

6. PEFR ≥150L/menit untuk wanita dan >200L/menit untuk pria

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas wheezing, reversal pemblok neuromuscular nondepolarisasi dengan antikolinesterase tidak menimbulkan bronkospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi risiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri posoperatif adalah hal yang penting untuk menurunkan bronkospasme.12Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan ventilasi alveolar dan FRC. Penurunan ventilasi alveolar disebabkan penurunan volume semenit oleh peningkatan dead space. Penurunan volume semenit pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot, atau penyakit neuromuscular, atau myasthenia gravis, GBS, lesi medulla spinalis servikal, cederan pada nervus phrenicus. Peningkatan dead space terjadi pada emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia.

Adapun kriteria untuk perawatan ICU:

1. Pasien yang memerlukan Ventilatory Support

2. FEV atau PEV<50%

3. PCO2>50 mmHg

4. PO2<50mmHg

5. Pasien nampak bingung dan lemah

6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi cairan dan farmakologis

7. Pasien dengan trauma mayor, multitrauma dan luka bakar apalagi disertai instabilitas hemodinamik

23

Page 24: Lapsus Anestesi Fix

8. Pasien trauma mayor yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery

9. Pasien yang mengalami pembedahan mayor.

IV

DATA PASIEN

24

Page 25: Lapsus Anestesi Fix

2.1 Identitas

Nama :Ny.Siti Aminah

Umur : 26 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat :Jalan Taman Sari, Dringu

Pekerjaan : Swasta (karyawan Eratex)

Tanggal MRS : 4 Juni 2013

2.2 Anamnesa

- Keluhan utama:

Tidak ada( pasien kontrol ke poli ortopedi dan direncanakan untuk lepas wire )

- Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengatakan direncanakan lepas wire setelah dipasang wire 1 bulan yang lalu,

tidak ada pusing, tidak ada mual dan muntah, tidak ada batuk.

- Riwayat Penyakit Dahulu:

- Pasien dipasang wire 1 bulan lalu pada jari ke empat tngan kanan

- Tidak ada riwayat Diabetes Melitus

- Tidak ada riwayat Hipertensi

- Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil, kambuh bila terkena debu, asap, atau pada

saat dingin. Sekarang sudah jarang sekali kambuh setelah mengkonsumsi obat teosal,

dextran forte

25

Page 26: Lapsus Anestesi Fix

- Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama

- Riwayat Alergi:

Pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat Paramex , setiap minum paramex mata bisa

bengkak.

2.3 Pemeriksaan Status Anastesi Pre Operasi

Sujective

Keadaan Umum : Baik

Riwayat Alergi : (+), analgetik

Riwayat Asma : (+)

Riwayat DM : (-)

Riwayat Hipertensi : (-)

Makan/Minum : (+)

Mual/muntah : (-)

BAK : Spontan

Objective

Airway : Jalan Napas Bebas, Malampati 1

Breathing :

RR : 20 x/menit

Ronki : (-)

Wheezing : (-)

26

Page 27: Lapsus Anestesi Fix

Circulation:

Tensi : 120/80 mmhg

Nadi : 86 x/menit

Perfusi : akral merah, hangat

Disability :

Grimace : (-)

GCS : 456

Exposure

Status Generalis

Kepala : bentuk simetris

Mata : Konjunctiva Anemi (-) sclera Icterus (-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

Jantung : Gerakan dada simetri

Paru : retraksi (-), Gerakan dada simetris, sesak (-), Wh (-), Rh (-)

Abdomen : Distensi (-), Defans muskuler (-), nyeri tekan (-)

Extremitas : akral hangat + + Edema - -

+ + - -

Status lokalis :

Manus Dextra : digiti IV manus dextra ditutup kasa, nyeri (+), ROM terbatas,

riwayat pemasangan wire 1 bulan lalu

Assessment

Post op wire digiti IV manus dextra

Planning

27

Page 28: Lapsus Anestesi Fix

- ASA 2 (riwayat Asma dan Alergi analgetik)

- Puasa 8 jam (dari jam 24.00, 4 Juni 2013)

- Lengkapi Informed Consent

- Infus RL 20 tetes/menit

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Haemoglobin 14,6 L: 13-18, P: 12-16 g/dl

Leukosit 10.700 4000-11000 cmm

Hematokrit 42 L: 40-54, P: 35-47

Trombosit 165.000 150000-450000 cmm

Diff Count -/-/7/60/31/2 0-2/0-1/1-2/45-70/35-50/0-2

LED/BBS 34/58 L: 5-10, P: 10-20 /jam

3.5 Physical Status

ASA 2 yaitu pasien dengan gangguan sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan

fungsional (pasien riwayat asma dan alergi analgetik)

3.6 Monitoring Pasien pre op

Terapi Cairan pertama tanggal 4 Juni 2013

Pasien diberikan Inf. RL 500 cc dengan maintenance 20 tpm

Pasien mulai dipuasakan saat pertama kali menerima cairan pukul 24.00 tanggal 4 Juni

2013.

28

Page 29: Lapsus Anestesi Fix

Direncanakan dilakukan operasi aff wire pada tanggal 5 Juni 2013 pagi.

3.7 Anasthaesi pada Tindakan Aff Wire pada pasien Asma

Pasien masuk OK untuk dilakukan aff wire pada tanggal 5 Juni 2013 Pukul 8:30 WIB dengan

General Anastesi Teknik TIVA ( Total Intravenous Anastetic ). Pasien masuk dengan masih

menerima antibiotik profilaksis Novalmycin 2 gram drip dalam NaCL 100cc.

Obat Premedikasi

Dexametason : 1x 5mg i.v

Sediaan 5 mg/ml

Ondancetron : 1 x 4mg i.v

Dosis : 0,01 mg/kgBB (4-8 mg IV), sediaan : 4 mg/2ml

Fentanyl : 1x 0,05mg i.v

Sediaan: 0,05 mg / 2ml

Obat Induksi :

- Propofol 100mg i.v, Dosis 1,5-2,5mg/kgBB i.v

Oksigen : 4 lpm dengan face mask

Planning Post operasi

- Analgesik Post operasi : Injeksi Ketorolac 3 x 30 mg i.v

- Infus RL 20 tpm

-Makan minum bebas

Monitoring 5 Juni 2013, pukul 14.30 WIB

S: Pasien tidak ada keluhan, sesak (-), pusing (-), mual (-), muntah (-).

29

Page 30: Lapsus Anestesi Fix

O: GCS: 456

Tekanan darah : 110/70mmHg

Nadi : 96 kali/menit

RR : 24 kali /menit

Suhu : 36,30C

Status lokalis : digiti IV manus dextra dibebat kasa, nyeri sedikit.

A: Post Aff Wire digiti IV manus dextra

P: RL 20 tpm

Ketorolac 3x30mg iv

Makan dan minum bebas

Daftar Pustaka

1. Karnen B, 1999 : Asma Bronkial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI,

Jakarta, hal :21-39

30

Page 31: Lapsus Anestesi Fix

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan Asma di Indonesia, Penerbit FKUI, Jakarta.

3. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.

4. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asma. From

Bronchoconstriction to airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med, 2000;161:1720-

45

5. Morgan GE, 2006: Anestesi for Patients with Respiratory Disease in Clinical

Anaesthesiologist 3rd edition, page : 571-576

6. Indro Mulyono,2000: Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan Pernapasan

dalam PIB X IDSAI di Bandung, hal: 111-133.

7. Oberoi G, Philip G, 2000: Management of some medical emergency situation, Mc

GrawHill, page :315-318

8. Kevin C and Kenneth E. Shepherd, 2002: Specific concoderation with Pulmonary disease

in clinical anaesthesia procedure of the Massachusetts General Hospital, 6 th edition

Lipincott William & Willkins page : 33-41

9. Mark R. Ezekeil. Pulomnary Disease, Hand Book of Anaesthesiology, Current Clinical

Strategies, 2004-2005 , page: 34-35

10. Gall TJ, 2002, Reactive airway Disease : Anaesthetic Perspective, IARS 2002 Review

Course Lecture, USA

11. William R. Solomon, 2002: Patologi, Konsep Klinis Proses-proses penyakit, hal : 171-

186

12. Epstein L, 1999: Specific Consideration with Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia

Procedure od Massachusetts General Hospital, 6th ed. Lippincot William & Wilkins,

page: 6,33-41,259-261

13. Anaesthesiology. 2012. Unair

31

Page 32: Lapsus Anestesi Fix

14. Wim de Jong. Buku Ajae Imu Bedah ed. 3. 2010. EGC : Jakarta

32