Monitoring pasca anestesi (Makalah Koas Anestesi)
-
Upload
michael-sihombing -
Category
Documents
-
view
317 -
download
15
description
Transcript of Monitoring pasca anestesi (Makalah Koas Anestesi)
MONITORING JANTUNG
TEKANAN DARAH ARTERI
Kontraksi ritmis dari ventrikel kiri, memompa darah ke system vaskuler,
menyebabkan denyut tekanan arteri. Puncak tekanan yang dihasilkan selama kontraksi arteri
disebut tekanan darah sistolik arteri, tekanan yang dihasilkan selama relaksasi diastolik
disebut tekanan darah diastolik arteri. Tekanan nadi adalah perbedaan antara tekanan sistolik
dan diastolik. Waktu rata-rata dari tekanan arteri selama siklus denyut adalah tekanan arteri
rata – rata (MAP). MAP dapat diperkirakan dengan rumus berikut :
(SBP) + 2 (DBP)
MAP = ---------------------
3
Pengukuran tekanan darah arteri sangat dipengaruhi dengan tempat pengukuran. Bila
denyut bergerak ke arah perifer melalui pohon arteri, refleksi gelombang menunjukan bentuk
gelombang tekanan, mengarah pada terciptanya tekanan sistolik dan nadi.
Vasodilatator (misalnya isofluran, notrogliserin) cenderung memperlemah kejadian ini.
Tingkat tempat pengukuran berhubungan dengan jantung akan menggantikan pengukuran
tekanan darah karena efek gravitasi. Pasien dengan penyakit vaskuler perifer yang berat akan
mempunyai perbedaan yang bermakna pada pengukuran tekanan darah antara tangan kanan
dan kiri. Nilai yang tertinggi harus digunakan pada pasien ini.
1. Monitoring Tekanan Darah Arteri secara Non invasif
Indikasi
Anestesi umum atau regional merupakan indikasi absolut untuk pengukuran
tekanan darah arterial. Teknik dan frekuensi dari penentuan tekanan sangat bergantung pada
kondisi pasien dan tipe operasi. Pengukuran dengan auskultasi setiap 3 – 5 menit dinilai
adekuat untuk kebanyakan kasus. Permasalahanseperti kegemukan, akan membuat auskultasi
1
tak dapat dipercaya, bagaimanapun juga pada kasus – kasus tersebut, tehnik doppler atau
oscilometrik mungkin lebih disukai.
Kontraindikasi
Meskipun beberapa metode pengukuran tekanan darah merupakan keharusan, tehnik
yang bergantung pada manset tekanan darah sangat dihindari pada ekstremitas dengan
kelainan vaskuler (misalnya shunt dialisis ) atau dengan jalur intravena.
Teknik dan Komplikasi
A. Palpasi
Tekanan darah sistolik dapat ditentukan dengan (1) lokasi terabanya denyut perifer (2)
memompa manset tekanan darah proksimal samapi aliran terhenti (3) membuka tekanan
manset2 – 3 mmHg tiap denyut nadi (4) mengukur tekanan manset dimana denyut teraba lagi.
Metode ini cenderung untung memperkecil tekanan sistolik, bagaimanapun juga, karena
ketidaksensitifan palpasi dan penundaan antara aliran dibawah manset dan di distal denyutan,
palpasi tidak menunjukan diastolik atau tekanan arteri rata – rata. Peralatan mudah dan
murah.
B. Probe Doppler
Ketika probe Doppler meng-gantikan jari seorang anestesiolog, pengukuran tekanan
darah arteri menjadi cukup sensitif untuk digunakan pada pasien yang gemuk, dan pada
pasien dengan syok.
Efek doppler adalah pergeseran yang nyata pada frekuensi gelombang suara ketika
sumber suara bergerak mendekati pemeriksa. Pantulan gelombang suara yang bergerak
menjauhi objek menyebabkan pergeseran frekuensi yang jelas. Probe dopler mentransmisikan
sinyal ultrasonik yang dipantulkan oleh jaringan dibawahnya. Perbedaan antara frekuensi
yang ditransmisikan dan yang diterima ditunjukan oleh karakteristik suara monitor. Udara
memantulkan ultrasonik, karena itu jelly (yang tidak korosif) harus dioleskan antara probe
dengan kulit. Posisi yang benar dari probe yang harus berada tepat diatas arteri, karena sinyal
2
harus melalui dinding pembuluh darah. Gangguan akibat gerakan probe atau elektrokauter
merupakan proses yang tidak menyenangkan.
Variasi dari teknologi Doppler menggunakan kristal piezoelektrik untuk mendeteksi
gerakan lateral dinding arteri pada saat penutupan dan pembukaan yang intermiten dari
pembuluh darah selama tekanan sistolik dan diastolik.
C. Auskultasi
Pengembangan dari manset tekanan darah menciptakan tekanan antara sistolik dan
tekanan diastolik akan kolaps parsial pada arteri tersebut, memproduksi aliran turbulen dan
karakteristik suara Korotkoff. Suara ini dapat didengar melalui stetoskop yang diletakkan
dibawah atau hanya dibawah- distal sepertiga manset tekanan darah yang dikembangkan.
Tekanan darah sistolik bertepatan dengan mulai terdengarnya suara korotkoff, tekanan
diastolik ditentukan dengan menghilangnya suara korotkoff.
Kadangkala suara korotkoff tak dapat didengar pada rentang sistolik dan diastolik.
Auskulatori gap sering terdapat pada pasien hipertensi dan dapat menyebabkan pengukuran
tekanan darah yang tak akurat.Suara korotkoff kadang sering sulit didengar selama episode
hipotensi atau vasokonstriksi perifer yang nyata.
D. Oscillometri
Pulsasi arteri menyebabkan oscilasi pada tekanan manset. Oscilasi akan melemah bila
manset dipompa melebihi tekanan sistolik. Ketika tekanan manset diturunkan ke tekanan
sistolik, pulsasi diteruskan ke seluruh manset dan oscilasi akan makin meningkat. Maksimal
oscilasi timbul ketika tekanan arteri rata-rata, kemudian oscilasi akan menurun. Karena
beberapa oscilasi ada di atas atau di bawah tekanan darah arteri, manometer aneroid atau
raksa dapat memberikan pengukuran yang besar dan tak dapat dipercaya. Monitor tekanan
darah otomatis secara elektronik mengukur tekanan dimana amplitudo oscilasi berubah.
Monitor oscilometer tidak seharusnya digunakan pada pasien dengan bypass cardio-
pulmonal.
Bagaimanapun juga, kecepatan, ketepatan dan kegunaan alat oscilometer telah banyak
berubah, dan menjadi monitor tekanan darah yang non invasif di Amerika Serikat.
3
Pertimbangan klinis
Pengantaran oksigen yang cukup ke organ vital harus dijaga selama anestesi. Sayangnya
instrumen pada organ perfusi tertentu dan oksigenasi sangat kompleks dan mahal, dan untuk
itu tekanan darah arteri diduga mencerminkan aliran darah organ. Aliran juga tergantung
pada resistensi vaskuler :
Gradient tekanan
Aliran = -------------------------
Resistensi vaskuler
Bila tekanan tinggi dan resistensi juga cukup tinggi, maka aliran dapat rendah.
Akurasi dari pengukuran tekanan darah melibatkan manset tekanan darah tergantung
ukuran manset yang tepat. Kantung manset karet harus meliputi sampai paling separuh
lingkar ekstremitas, dan lebarnya seharusnya 20 – 50% lebih besar dari diameter ekstremitas.
Monitor tekanan darah otomatis menggunakan satu atau kombinasi metode yang dikatakan di
atas, sering digunakan di anestesiologi. Pompa udara manset otomatis mengembangkan
manset pada interval tertentu. Pada kerusakan alat, metode alternatif untuk penentuan tekanan
darah harus segera tersedia.
MONITORING SISTEM RESPIRASI
PULSE OKSIMETRI
Indikasi dan Kontraindikasi
Pulse oksimetri wajib dipasang pada monitoring pasien intra operatif. Khususnya
berguna ketika oksigenasi pasien harus diukur sering karena adanya penyakit paru, prosedur
bedahnya sendiri, atau kebutuhan akan tehnik anestesi yang khusus. Pulse oksimetri juga
membantu dalam monitoring neonatus untuk resiko retinopati. Tidak ada kontraindikasinya.
Teknik dan Komplikasi
Pulse oksimetri mengkombinasikan prinsip oximeter dan plethysmograf untuk
mengukur saturasi oksigen secara non invasif pada darah arteri.sebuah sensor berisi sumber
4
sinar (2 atau 3 light emiting dioda), dan detektor sinar (photodiode) di letakkan pada jari
tangan, jari kaki, cuping telinga dan jaringan perfusi lainnya yang dapat ditransiluminasi.
Oksimetri tergantung pada observasi oksigenasi dan Hb yang menurun dibedakan
absorpsinya dari sinar merah dan infra merah (hukum Lambert-Beer). Khususnya,
oxyhemoglobin (HbO2) menyerap lebih banyak sinar inframerah (960 nm), sementara
deoxyhemoglobin lebih banyak menyerap sinar merah (660 nm) dan tampak biru atau
sianotik pada mata telanjang. Oleh karena itu, perubahan dari absorpsi sinar selama pulsasi
arteri adalah dasar penentuan oksimetri. Rasio absorpsi panjang gelombang merah dan
inframerah dianalisa oleh microprosesor untuk memberikan panjang gelombang saturasi
oksigen (SpO2) pulsasi arteri.
Pulsasi arteri diidentifikasi oleh plethysmograf, menyajikan koreksi terhadap absorpsi
oleh darah vena yang tidak berdenyut dan jaringan. Panas dari sumber sinar atau sensor
tekanan jarang sekali dapat menyebabkan kerusakan jaringan bila monitor tidak dipindahkan
secara periodik. Tidak perlu kalibrasi penggunaan.
Pertimbangan klinis
Selain SpO2, pulse oksimetri juga sebagai indikasi perfusi jaringan dan mengukur
denyut jantung. Karena SpO2 normalnya mendekati 100%, hanya ketidaknormalan nyata
yang dapat dideteksi pada kebanyakan pasien yang dianestesi. Bergantung pada kurva
disosiasi Hb pasien tertentu, saturasi 90% mungkin menandai PaO2 kurang dari 65 mmHg.
Hal ini dibandingkan dengan klinis yang terdapat sianosis, yang butuh 5 gr dari HB
desaturasi dan biasanya berhubungan dengan SpO2 kurang dari 80 %. Pada intubasi
endotrakeal biasanya akan tidak terdeteksi lagi oleh pulse oksimetri akan adanya penyakit
paru dan konsentrasi oksigen inspirasi yang rendah.
Karboksihemoglobin dan HbO2 menyerap sinar pada 660nm, karena itu pulse
oksimetri yang hanya membandingkan 2 panjang gelombang akan menghasilkan banyak
kesalahan pembacaan yang tinggi pada pasien yang menderita keracunan CO.
Methemoglobin mempunyai koefisien absorpsi pada panjang gelombang merah dan
inframerah. Hasil absorpsi 1 : 1 rasionya terkait pada pembacaan saturasi 85 %.
Methemoglobinemia menyebabkan kesalahan saturasi yang rendah dibaca ketika SaO2 justru
lebih besar dari 85 % dan kesalahan saturasi yang tinggi bila sebenarnya SaO2 < 85 %.
Kebanyakan pulse oxymetri didapatkan tidak akurat pada SpO2 yang rendah dan
semuanya menunjukkan penundaan antara perubahan SaO2 dan SpO2.
5
Probe telinga mendeteksi perubahan dalam saturasi lebih cepat daripada probe jari
sebagai akibat waktu sirkulasi paru – telinga yang lebih cepat. Hilangnya sinyal dari
vasokonstriksi perifer dapat disebabkan oleh blok jari dengan cairan anestesi. Penyebab
artifak pada pulse oksimetri lainnya termasuk bantaknya gerakan cahaya sekitar, pewarna
biru metilen, pulsasi vena, perfusi rendah (contohnya curah jantung yang rendah, HB yang
rendah, hipotermia, peningkatan resistensi perifer), posisi sensor yang salah dan kebocoran
sinar dari light emiting diode ke photodiode.
Bagaimanapun juga pulse oksimetri dapat membantu diagnostik cepat dari hipoksia
katastropik, yang dapat terjadi pada intubasi esofageal yang tidak disadari, dan dapat
membantu pengantaran oksigen ke organ vital. Di ruang pemulihan, pulse oksimetri
membantu mengidentifikasi masalah respirasi paska operasi seperti hipoventilasi berat,
spasme bronkus dan atelektasis.
ANALISA END-TIDAL CARBON DIOXIDE
Indikasi dan Kontraindikasi
Penentuan konsentrasi end-tidal CO2 (ETCO2) untuk konfirmasi ventilasi yang
adekuat selama prosedur anestesi. Kontrol ventilator pada meningkatnya tekanan intrakranial
dengan menurunkan PaCO2 mudah dimonitor dengan analisa ETCO2. Penurunan yang cepat
dari ETCO2 merupakan indikator yang cepat untuk emboli udara, komplikasi utama dari
craniotomi duduk. Tidak ada kontraindikasi.
Teknik dan Komplikasi
Kapnografi adalah monitor yang berharga untuk sistem respirasi, jantung dan pernapasan
anestesi. Dua tipe dari kapnograf biasanya digunakan tergantung pada absorpsi sinar
inframerah oleh CO2.
A. Flow-Through
Flow-through (aliran utama) kapnograf mengukur CO2 melewati sebuah adaptor yang
diletakkan pada sirkuit pernapasan. Transmisi sinar infra merah dan konsentrasi CO2
6
ditentukan oleh monitor. Karena permasalahan dengan aliran, model flow-through yang
lebih lama cenderung kembali ke nol selama inspirasi. Karena itu alat tersebut tidak mampu
mendeteksi CO2 inspirasi, yang dapat terjadi pada malfungsi sirkuit pernapasan. Berat sensor
menyebabkan traksi pada ETT dan panas yang dihasilkan dapat membakar kulit. Desain
terbaru mengatasi permasalahan ini.
B. Aspirasi
Aspirasi (aliran samping) kapnograf terus menerus menghisap gas dari sirkuit pernapasan
ke sampel sel dalam monitor. Konsentrasi CO2 ditentukan dengan membandingkan
penyerapan sinar infra merah pada sampel sel dengan sebuah rangan bebas CO2. Aspirasi
kontinyu dari gas anestesi biasanya menggambarkan kebocoran dalam sirkuit pernapasan
yang akan mengkontaminasi kamar operasi kecuali bila dibuang atau dikembalikan ke sistem
pernapasan.
Tingkat aspirasi yang tinggi (250ml/menit) dan sampel tubing dengan dead space rendah
biasanya meningkatkan sensitivitas dan menurunkan waktu lag. Bila volume tidal kecil (pada
pediatrik), bagaimanapun aspirasi yang tinggi dapat memasukkan gas segar dari sirkuit dan
dilusi pengukuran ETCO2.
Aspirasi yang rendah (< 50 ml/menit) dapat menghambat pengukuran ETCO2 dan
mengecilkan hasilnya selama ventilasi pernapasan cepat. Malfungsi katup ekspirasi dideteksi
dengan adanya CO2 dalam gas inspirasi. Meskipun gagal katup inspirasi menyebabkan
terhisapnya kembali CO2, hali ini tidak tampak nyata karena bagian volume inspirasi terbaca
nol saat fase inspirasi.
Unit aspirasi rentan terhadap presipitasi air dalam tube aspirasi dan sampel sel yang dapat
menyebabkan obstruksi dalam selang sampel dan pembacaan yang salah.
Pertimbangan klinis
Gas lain (misalnya nitrogen oksida) juga mengabsorpsi sinar inframerah
menyebabkan efek perluasan tekanan. Untuk meminimalkan kesalahan oleh nitrogen oksida,
macam – macam modifikasi dan filter telah disatukan dalam desain monitor. Kapnograf
secara cepat dan dapat dipercaya dalam mengindikasikan intubasi esofageal – penyebab yang
umum dari anestesi katastropik - tetapi tak dapat dipercaya untuk mendeteksi intubasi
endobronkial. Sementara mungkin ada CO2 dalam lambung dari udara luar yang tertelan (<10
7
mmHg) ini seharusnya dibuang keluar dalam beberapa nafas. Berhenti tiba – tibanya CO2
selama fase ekspirasi dapat mengindikasikan kerusakan sirkuit. Meningkatnya tingkat
metabolik disebabkan oleh hipertermi maligna yang menyebabkan peningkatan yang nyata
dalam ETCO2.
Gradien antara ETCO2 dan PaCO2 (normal 2 – 5 mmHg) menggambarkan ruang mati
alveolar (alveoli yang diventilasi tapi tidak memperfusi). Reduksi apapun terjadi dalam
perfusi paru (misalnya emboli udara, posisi ke kanan, menurunnya curah jantung atau
menurunnya tekanan darah), meingkatnya ruang mati alveolar, dilusi CO2 ekspirasi dan
berkurangnya ETCO2. Kapnograf yang sebenarnya menampilkan bentuk gelombang
konsentrasi CO2 yang menampilkan bermacam – macam keadaan.
MONITORING YANG LAIN
TEMPERATUR
Indikasi
Suhu tubuh pasien yang mengalami anestesi umum seharusnya diawasi. Prosedur
yang sangat singkat (kurang dari 15 menit) mungkin merupakan pengecualian dalam hal ini.
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi walaupun tempat pemeriksaan mungkin tak sesuai bagi
pasien tertentu.
Teknik dan Komplikasi
Selama operasi, suhu biasanya diukur dengan thermistor atau thermocouple.
Thermistor adalah semikonduktor yang resistensinya menurun tanpa ada peringatan.
Thermocouple adalah sirkuit 2 lempeng logam yang digabungkan sehingga perbedaan
potensial dihasilkan bila logam dalam suhu yang berbeda. Probe thermistor dan thermocouple
sekali pakai tersedia untuk monitoring temperatur dari membran timpani, rektum, nasofaring,
esofagus, kandunh kemih dan kulit.
Komplikasi pemeriksaan suhu adalah biasanya berhubungan dengan trauma yang
disebabkan oleh probe.
8
Pertimbangan klinis
Hipotermia biasanya didefinisikan sebagai suhu tubuh kurang dari 360C yang sering
terjadi selama anestesi dan operasi. Hipotermia menurunkan kebutuhan oksigen metabolik
karen itu terbukti protektif bagi iskemia serebral dan kardiak. Hipotermia yang tidak
disengaja mempunyai beberapa efek fisiologik yang merugikan. Bahkan, hipotermi
perioperatif dihubungkan dengan meningkatnya angka kematian
Menggigil paska operasi meningkatkan konsumsi oksigen 5 kali lipat, menurunkan
saturasi oksigen arteri dan berhubungan dengan meningkatnya resiko iskemia miokard dan
angina. Meskipun menggigil paska operasi dapat diterapi secara efektif dengan meperidine 25
mg, pemecahan masalah terbaik adalah dengan pencegahan utama dengan menjaga
normotermia. Insidensi hipotermia perioperasi yang tidak diinginkan meningkat dengan usia
yang ekstrim, operasi abdomen, operasi lama dan suhu ruangan operasi yang dingin.
Suhu inti (suhu darah sentral) biasanya turun 1 – 2 derajat selama jam pertama
anestesi umum (fase I), diikuti dengan penurunan yang bertahap selama 3 – 4 jam berikutnya
(fase II), bahkan mencapai titik tetap atau ekuilibrium (fase III). Redistribusi dari ruang panas
ke ruang hangat (misalnya abdomen, thoraks) ke jaringan yang lebih dingin (tangan, kaki)
dari vasodilatasi akibat anestesi menyebabkan perubahan yang tiba – tiba pada suhu dan
kehilangan panas memberikan kontribusi minor. Namun demikian, kehilangan panas yang
terus menerus terhadap lingkungan nampaknya merupakan penyebab utama atas penolakan
terus menerus yang lebih lambat. Selama kondisi stabil equilibrium, hilangnya panas sama
dengan produksi panas metabolik.
Secara normal hypothalamus mempertahankan suhu tubuh inti dalam range yang
sangat sempit (interthreshold range). Meningkatkan suhu tubuh adalah sebuah fraksi derajat
yang menginduksi keringat dan vasodilatasi, sementara menurunkan suhu memacu
vasokonstriksi dan menggigil. Selama anestesi umum, bagaimanapun juga tubuh tak dapat
mentolerir hipotermia karena anestesi menghambat pengaturan suhu sentral dengan
melibatkan fungsi hypothalamus.
Anestesi spinal dan epidural juga menyebabkan hipotermia dengan menyebabkan
vasodilatasi dan redistribusi panas tubuh yang jarang (fase I). Adanya kerusakan pada
pengaturan suhu dari anestesi regional yang menyebabkan hilangnya panas (fase II)
tampaknya disebabkan oleh gangguan persepsi suhu pada dermatom yang diblok- sebagai
9
kebalikan dari efek obat sentral yang terdapat pada anestesi umum. Baik anestesi umum
maupun regional meningkatkan jangkauan ambang batas, dengan mekanisme yang berbeda.
Penghangatan selama setengah jam sebelumnya dengan selimut hangat secara efektif
mencegah fase I hipotermi dengan menghilangkan gradien suhu sentral-perifer. Metode untuk
meminimalkan fase II dari kehilangan panas termasuk selimut penghangat, gas inspirasi yang
dihangatkan, penghangatan cairan intravena dan meningkatkan suhu ruangan operasi.
Insulator pasif seperti selimut katun hangat atau selimut seperti itu hanya mempunyai sedikit
kegunaan kecuali seluruh tubuh tertutup.
Setiap tempat monitoring mempunyai keuntungan dan kerugian. Membran timpani
secara teori menggambarkan temperatur otak karena suplai darah kanal auditoris adalah arteri
karotis eksterna. Trauma waktu insersi dan sumbatan serumen mengganggu penggunaan rutin
dari probe timpani. Temperatur rektal mempunyai respon yang lambat terhadap perubahan
suhu inti. Probe nasofaring rentan menyebabkan mimisan tetapi secara akurat mengukur suhu
inti bila diletakkan menempel mukosa nasofaring. Thermistor pada kateter arteri pulmonal
juga mengukur suhu inti.
Ada korelasi antar variabel antara suhu aksilaris dengan suhu inti, tergantung perfusi
kulit. Suhu esophagus kadang disatukan dengan stetoskop esophagus, memberikan kombinasi
yang baik antara ekonomis, penampilan dan keamanan. Untuk menghindari mengukur suhu
gas trakea, sensor suhu seharusnya diposisikan di belakang jantung pada sepertiga bawah
esophagus. Yang paling baik karena suara jantung paling jelas terdengar pada tempat ini.
KELUARAN URIN
Indikasi
Kateterisasi kandung kemih adalah satu – satunya metode yang dapat dipercaya untuk
mengawasi keluaran urin. Insersi kateter urin diindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kongesti, gagal ginjal, penyakit hepar lanjut atau syok. Kateterisasi rutin pada beberapa
prosedur bedah seperti operasi jantung, operasi aorta atau renal, craniotomy, operasi abdomen
mayor, atau operasi dengan pergeseran cairan yang banyak terjadi. Operasi yang lama dan
pemberian diuretik selama operasi merupakan indikasi.
Kadangkala, paska operasi kateterisasi kandung kemih diindikasikan untuk pasien
yang sulit mengosongkan kandung kemihnya di ruang pemulihan setelah anestesi umum atau
regional.
10
Kontraindikasi
Kateterisasi kandung kemih seharusnya dilakukan dengan hati – hati pada pasien
dengan resiko tinggi infeksi.
Teknik dan Komplikasi
Kateterisasi kandung kemih biasanya dilakukan oleh personel bedah atau perawat.
Untuk menghindari trauma yang tidak perlu, seorang urolog seharusnya yang memasang
kateter pasien yang diduga mempunyai kelainan anatomi uretra. Kateter foley diinsersikan
kedalam kandung kemih lewat uretra dan dihubungkan dengan kantung pengumpul cairan
yang sekali pakai. Untuk menghindari refluks urin, kantung tersebut harus diletakan di bawah
kandung kemih. Komplikasi dari kateterisasi termasuk trauma uretra dan infeksi saluran
kemih. Dekompresi cepat dari kandung kemih yang distensi dapat menyebabkan hipotensi.
Kateterisasi suprapubis dengan tube plastik yang dimasukan melalui jarum besar adalah
alternatif yang jarang dipakai.
Pertimbangan klinis
Keuntungan tambahan dengan menaruh kateter foley adalah kemampuan untuk
memasukkan thermistor pada ujung kateter jadi kandung kemih atau suhu inti dapat
dimonitor lebih baik. Nilai tambahan dengan penggunaan urometer adalah kemampuan untuk
monitor secara elektronik dan mencatat keluaran urin dan suhu tubuh.
Keluaran urin merupakan gambaran dari perfusi ginjal. Merupakan indikator bagi
ginjal, kardiovaskuler, dan status volume cairan. Keluaran urin yang tidak cukup (oliguria)
kadang didefinisikan sebagai keluaran urin kurang dari 0,5 mL/jam, tetapi sebenarnya
merupakan kemampuan pasien mengkonsentrasikan dan beban osmotik.
STIMULASI SARAF PERIFER
Indikasi
Sensitivitas pasien pada obat neuromuskular blok berbeda – beda, karena itu fungsi
neuromuskular dari semua pasien yang menerima obat neuromuskular blok yang lama kerja
panjang atau sedang harus dimonitor. Sebagai tambahan, stimulasi saraf perifer berguna
dalam menilai paralisis selama induksi rapid sequence atau selama infus kontinyu dari obat
11
lama kerja pendek. Lebih jauh lagi, stimulasi saraf perifer dapat membantu saraf yang
dimaksud untuk diblok oleh anestesi regional dan menentukan jauhnya blokade sensoris.
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi untuk monitoring neuromuskular, meskipun pada beberapa
lokasi mungkin akan menghalangi prosedur bedah.
Teknik dan Komplikasi
Stimulasi saraf perifer menghantarkan frekuensi variabel tertentu dan amplitudo pada
sepasang elektroda baik elektrokardiografik atau jarum subkutan yang diletakkan pada saraf
motorik perifer. Meskipun elektromyograf memberikan pengukuran yang cepat, akurat dan
kuantitatif dari transmisi neuromuskular, observasi visual atau taktil dari kontraksi otot
biasanya tergantung pada praktek klinik.
Stimulasi ulnar dari otot adductor pollicis dan saraf wajah untuk orbicularis oculi
adalah yang paling sering dimonitor. Karena inhibisi reseptor neuromuskuler yang harus
dimonitor, maka stimulasi langsung pada otot harus dihindari dengan meletakkan elektroda
pada daerah saraf dan tidak melebihi otot tersebut. Komplikasi stimulasi saraf terbatas pada
iritasi kulit dan abrasi pada tempat pelekatan elektroda.
Pertimbangan klinis
Derajat blok neuromuskuler dimonitor dengan menggunakan macam – macam pola
dari stimulasi elektrik. Semua stimuli adalah berdurasi 200 µdetik, berpola gelombang
segiempat dan dengan intensitas aliran yang sama. Twitch adalah satu denyutan yang
dihantarkan tiap detik sampai tiap 10 detik (1 – 0,1 Hz). Blok yang meningkat menghasilkan
respon bangkitan yang berkurang pada setiap stimulasi.
Stimulasi Train of Four menandai 4 stimulus 200 µdetik yang berurutan dalam 2
detik (2 Hz). Twitch dalam pola train of four secara berangsur melemah bila terjadi relaksasi.
Rasio respon dari twitch pertama sampai ke empat merupakan indikator yang sensitif untuk
pelemas otot non depolarisasi. Karena sulitnya memperkirakan rasio train of four, lebih
nyaman untuk secara visual mengamati hilangnya twitch secara bergantian, yang mana
karena hal ini juga berhubungan dengan perluasan blok. Hilangnya twitch keempat
12
menggambarkan 75 % blok, ketiga 80% blok, dan kedua 90% blok. Relaksasi klinis biasanya
membutuhkan blok neuromuskuler 75 – 95%.
Tetani pada 50 atau 100 Hz merupakan tes yang sensitif untuk fungsi neuromuskuler.
Kontraksi yang menetap selama 5 detik mengindikasikan tetapi bukan komplit pemulihan
dari blok neuromuskuler. Double burst stimulation (DBS) menggambarkan 2 variasi dari
tetani yang kurang begitu nyeri pada pasien. Pola DBS3,3 terdiri dari 3 gelombang frekuensi
tinggi yang pendek (200 µdetik) dipisahkan oleh interval 20 mdetik (50Hz) diikuti 750mdetik
kemudian oleh 3 gelombang lagi. Double burst lebih sensitif dari pada train of four untuk
evaluasi klinis.
Kelompok otot dibedakan atas sensitivitasnya terhadap obat pelemas otot, karena itu
penggunaan stimulator saraf perifer tidak dapat menggantikan observasi langsung dari otot
(misalnya diafragma) yang harus dilemaskan pada prosedur operasi tertentu. Lebih jauh lagi,
pemulihan fungsi adduktor pollicis tidak benar – benar paralel dengan otot yang dibutuhkan
untuk menjaga jalan nafas.
Otot – otot diafragma, rektus abdominis, adduktor laringeal, dan orbikularis okuli
pulih dari blok nuromuskuler lebih cepat dari adduktor pollicis. Indikator dari pemulihan
yang adekuat lainnya termasuk kemampuan angkat kepala, kemampuan inspirasi -25 cm H 2O
dan genggaman tangan yang kuat. Tegangan Twitch dikurangi oleh hipotermi dari otot yang
dimonitor (6% per derajat Celcius).
STANDAR MONITORING DASAR UNTUK ANESTESI
(Disetujui oleh delegasi ASA pada 21 Oktober 1986 dan terakhir diperbaharui pada
21 Oktober 1998)
Standar ini diaplikasikan pada semua tindakan anestesi meskipun pada keadaan gawat
darurat, pengukuran life support yang sesuai lebih diutamakan. Standa ini dapar dilebihi pada
waktu kapanpun berdasarkan penilaian dari anestesiolog yang bertugas. Hal ini dimaksudkan
untuk membantu kualitas perawatan pasien, tetapi observasinya saja tidak menjamin hasil
spesifik pasien. Standar ini dapat direvisi dari waktu ke waktu, sebagaimana perkembangan
teknologi dan ilmu. Dapat diaplikasikan pada semua anestesi umum, anestesi regional dan
monitoring perawatan. Set standar ini, dialamatkan hanya untuk kepentingan monitoring
dasar anestesia, yang merupakan komponen dari tindakan anestesi. Pada keadaan yang jarang
atau tak biasa; (1) beberapa metode ini dapat secara klinis tak dipakai dan (2) penggunaan
yang tepat dari metode monitoring yang telah dijelaskan dapat gagal untuk mendeteksi.
13
Interupsi singkat dari monitoring yang terus menerus mungkin tak terhindari. Pada keadaan
tertentu, tanggung jawab anestesiolog ditandai dengan sebuah tanda simbol bintang (*)., hal
tersebut direkomendasikan bila hal ini telah dilakukan, seharusnya disertakan alasannya
pada rekam medis pasien. Standar ini tidak dimaksudkan untuk penanganan pasien obstetri
dalam persalinan atau pelaksanaan manajemen nyeri
STANDAR I
Petugas anestesi yang berkualitas harus hadir dalam ruangan selama pelaksanaan
anestesi umum, anestesi regional dan monitoring perawatan anestesi.
Tujuan : Karena perubahan yang cepat dari status pasien selama anestesi, petugas
anestesi yang berkualitas harus terus menerus mengawsi pasien dan memberikan penanganan
anestesi. Pada kejadian yang diketahui bahaya langsung bagi petugas anestesi, beberapa
perubahan untuk monitoring pasien harus dibuat. Pada kejadian gawat darurat membutuhkan
ketidakberadaan sementara orang yang bertanggung jawab untuk anestesi tersebut, keputusan
terbaik dari seorang anestesiolog akan dinilai dalam membandingkan kegawatdaruratan
dengan kondisi pasien yang sedang dianestesi dan pilihan dari orang yang tinggal untuk
bertanggung jawab selama ketidakberadaannya.
STANDAR II
Selama semua anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu pasien harus selalu
terus menerus dievaluasi.
OKSIGENASI
Tujuan : Untuk menjamin konsentrasi oksigen yang adekuat dalam gas inspirasi dan
darah selama semua anestesi.
Metode :
(1). Gas inspirasi; Selama setiap memberi-kan anestesi umum menggunakan mesin anestesi,
konsentrasi oksigen dalam sistem pernapasan pasien harus diukur dengan penganalisa
oksigen dengan penggunaan alarm konsentrasi oksigen rendah.*
(2). Oksigenasi darah; Selama setiap anes-tesi, metode kuantitatif untuk mengukur oksigenasi
seperti pulse oksimetri haris dipakai.* Iluminasi dan pemaparan pasien penting untuk
menilai warna.
VENTILASI
14
Tujuan : Untuk menjamin ventilasi yang adekuat dari pasien selama anestesi.
Metode :
(1) Setiap pasien anestesi umum harus dievaluasi secara kontinyu adekuat atau tidaknya
ventilasi. Tanda klinis yang kualitatif seperti gerakan dada, observasi kantung
cadangan pernapasan dan auskultasi suara nafas sangatlah berguna. Monitoring yang
terus menerus untuk ada tidaknya karbon dioksida harus dilakukan kecuali bila
ketidakvalidan keadaan pasien, prosedur atau peralatan. Monitoring kuantitatif dari
volume gas ekspirasi sangatlah dianjurkan.*
(2) Bila ETT atau laryngeal mask dimasukkan, posisi yang benar harus diverifikasi
dengan penilaian klinik dan identifikasi dari karbon dioksida pada gas ekspirasi.
Analisa karbon dioksida end tidal yang kontinu, digunakan dari waktu ke waktu pada
pemakaian ETT atau laryngeal mask, sampai ekstubasi/ pencabutan atau pemindahan
ke tempat perawatan paska operasi, harus menggunakan metode kuantitatif seperti
kapnografi, kapnometri atau spektroskopi mass.*
(3) Bila ventilasi dikontrol dengan ventilator mekanik, harus digunakan alat yang mampu
mendeteksi putusnya hubungan antar komponen sistem pernapasan. Alat ini harus
diberikan sinyal yang dapat terdengar bila ambang batas alarmnya terlampaui.
(4) Selama anestesi regional dan perawatan anestesi, ventilasi yang cukup harus
dievaluasi, setidaknya dengan observasi kontinyu dari tanda klinis kualitatif.
SIRKULASI
Tujuan : Untuk menjamin fungsi yang adekuat dari sirkulasi pasien selama anestesi.
Metode :
(1). Setiap pasien yang mengalami anestesi harus dipasang EKG kontinyu, ditampilan dari
awal anestesi sampai persiapan untuk meninggalkan lokasi anestesi.*
(2). Setiap pasien yang mengalami anestesi harus diukur tekanan darah dan denyut jantung
setiap paling tidak 5 menit.
(3). Setiap pasien yang mengalami anestesi harus, sebagai tambahan yang di atas, fungsi
sirkulasi harus diawasi oleh setidaknya satu dari berikut : palpasi nadi, auskultasi suara
jantung, monitoring tekanan intra arterial, ultrasound peripheral pulse, atau pulse
plethysmograf atau oksimetri.
SUHU TUBUH
Tujuan : Untuk membantu menjaga suhu tubuh yang cukup selama semua anestesi.
15
Metode : Seluruh pasien mengalami anestesi harus di ukur suhunya bila ada
perubahan klinis pada suhu tubuh yang disengaja, sebagai antisipasi atau diduga.
SKOR ASA
Skor ASA (the American Society of Anesthesiologists) telah digunakan bertahun-
tahun sebagai indikator risiko perioperatif. Panitia ASA pertama kali mengemukakan konsep
skor tersebut pada tahun 1941, sebagai metoda untuk standarisasi status fisik di rekam medis
rumah sakit untuk kajian statistik di bidang anestesia. Hanya serangkaian perubahan kecil
telah dikenakan selama bertahun-tahun dan versi mutakhir dari klasifikasi ini yang
diselesaikan pada tahun 1974 oleh the House of Delegates of the ASA disajikan pada tabel
berikut. pasien diberi skor menurut kebugaran fisik mereka dan hurup E ditambahkan jika
prosedur yang direncanakan bersifat darurat (emergensi).
Klasifikasi ASA dari status fisik
Kelas Status fisik Contoh
I Pasien sehat organik, fisiologik,
psikiatri, biokimia
Pasien bugar dengan hernia
inguinal
II Pasien dengan penyakit sistemik
ringan atau sedang tanpa keterbatasan
fungsional
Hipertensi esensial, diabetes
ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik berat
sehingga aktivitas rutin terbatas
Angina, insufisiensi
pulmoner sedang sampai
berat
IV Pasien dengan penyakit sstemik berat
sehingga tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
Penyakit paru stadium lanjut,
gagal jantung
V Pasien sekarat (moribound) yang
diperkirakan tidak bertahan selama 24
jam dengan atau tanpa operasi
Ruptur aneurisma aorta,
emboli paru massif
16
VI Pasien mati batang otak yang organnya
diambil untuk didonorkan
E Kasus-kasus emergensi diberi
tambahan hurup “E” ke angka.
Gambar 1. Hubungan antara status fisik menurut ASA dengan tingkat mortalitas.
Tren yang didapatkan pada dua studi retrospektif yang berbeda memberikan informasi
tingkat mortalitas sebanding dengan status fisik menurut American Society of
Anesthesiologists' (ASA) meskipun hasil ini didapatkan dari dua praktik yang berbeda.
17
SYOK
Syok didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang tidak adekuat unntuk memenuhi
kebutuhan metabolik sel. Syok disebabkan oleh gangguan satu atau lebih dari tiga komponen
tekanan darah normal:
1. Volume darah rendah.
2. Disfungsi jantung.
3. Perubahan diameter lumen pembuluh darah.
TD= CO x PVR
TD= SV x HR x PVR
Karena Tekanan darah merupakan hasil perkalian antara volume sekuncup (SV),
frekuensi jantung (HR), dan resistensi pembuluh arteri perifer (PVR) maka penyebab syok
dapat diprediksikan sebagai penurunan salah satu komponen di atas. Satu-satunya cara tubuh
dapat mengkompensasi syok—atau bahwa dokter dapat memulihkan syok—adalah dengan
menaikkan SV,HR dan/atau PVR.
MEKANISME SYOK
Ada empat kategori umum syok:
1. Syok Hipovolemik disebabkan oleh berkurangnya volume darah (SV) yang
disebabkan oleh pendarahan atau dehidrasi.
2. Syok Kardiogenik disebabkan oleh penurunan kontraktilitas jantung (SV)
turun, yang biasanya disebabkan oleh infark miokardium (MI) masif.
Gangguan irama juga dapat menyebabkan syok. Dengan menurunnya HR
kondisi bradikardia akan menurunkan CO dan kemungkinan juga TD.
3. Syok distributif disebabkan oleh hilangnya tonus arteri normal (PVR) turun
sehingga darah tidak dapat terdistribusi ke seluruh tubuh (misalnya, sepsis,
anafilaksis, transeksi medulla spinalis, overdosis obat, defisiensi endokrin).
4. Syok obstruktif disebabkan oleh obstruksi sirkulasi sentral. (SV turun;
misalnya, embolus paru masif, tamponade pericardium, pneumotoraks tegang,
tension pneumothorax, atau diseksi aorta torakalis yang menurunkan SV
efektif di sebelah distal tempat diseksi).
18
Syok distributif merupakan kondisi syok yang terjadi karena menurunnya tahanan
vaskular sistemik akibat adanya vasodilatasi. Contoh klasik dari syok distributif
adalah syok septik, akan tetapi, keadaan vasodilatasi akibat faktor lain juga dapat
menimbulkan syok distributif, seperti pacuan panas (heat stroke), anafilaksis, syok
neurogenik, dan systemic inflamatory response syndrome (SIRS). Syok septik
merupakan komplikasi umum yang dijumpai pada praktik medis dan dilaporkan
sebagai penyebab kematian paling sering pada unit perawatan intensif nonkoroner di
Amerika Serikat. Sehubungan dengan fakta ini, seorang klinisi diharapkan memiliki
pengetahuan yang memadai terkait fenomena syok distributif baik dari segi etiologi,
patofisiologi, tatalaksana maupun aspek-aspek terkait lainnya sehingga dalam
praktiknya, dapat diberikan terapi yang tepat mengingat kematian adalah konsekuensi
yang paling ditakutkan terjadi (Fuentes, 2007).
Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena adanya
vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak
memadai untuk perfusi jaringan (Kamus Dorland, 2006). Seperti halnya tipe kolaps
kardiovaskular lainnya, syok distributif juga dikarakterisasi oleh perfusi jaringan yang
inadekuat, dengan manifestasi klinis berupa perubahan kondisi mental, takikardi,
hipotensi, maupun oliguria (Weil, 2007).
Dalam definisi yang lebih kompleks, syok distributif dikaitkan dengan perubahan
resistensi pembuluh darah ataupun akibat perubahan permeabilitasnya, dimana faktor
inilah yang mencetuskan terjadinya hipoperfusi sistemik. Perubahan-perubahan
tersebut langsung mempengaruhi distribusi volume darah yang beredar secara efektif
untuk kebutuhan jaringan tubuh, sehingga sebagai dampaknya akan muncul hipotensi,
diikuti dengan gangguan perfusi jaringan serta hipoksia sel. Meskipun efek hipoksik
dan metabolik akibat hipoperfusi pada mulanya hanya menyebabkan jejas sel secara
reversibel, syok yang terus terjadi pada akhirnya akan mengakibatkan jejas jaringan
secara ireversibel dan dapat berpuncak pada kematian pasien (Robbins dkk, 2007).
Ada berbagai penyebab dari syok distributif. Beberapa di antaranya adalah sepsis,
SIRS, kegagalan tonus vasomotor dan reaksi anafilaksis. Syok septik adalah bentuk
paling umum dari syok distributif dengan angka kematian yang cukup besar. Sama
halnya dengan sepsis, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang
merupakan kondisi inflamasi sistemik, juga menjadi penyebab kematian tersering di
negara barat khususnya Amerika Serikat (Sudoyo et al, 2009). Anafilaksis dan
19
kegagalan tonus vasomotor adalah pencetus lain dari syok distributif. Namun
demikian, semua faktor di atas cukup adekuat untuk memicu berbagai reaksi berantai
dalam tubuh yang bila dibiarkan berlanjut tanpa terapi, akan menimbulkan
konsekuensi yang sifatnya fatal bagi pasien (Duane, 2008).
II.2. Syok Distributif dan Syok Sirkulasi Lainnya
Selain syok distributif, dikenal pula 3 kategori lain dalam syok sirkulasi, di
antaranya syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok obstruktif. Kategori ini dibagi
berdasarkan penyebab munculnya syok, yang lebih jauh melibatkan mekanisme
berbeda (Kanaparthi, 2012). Mekanisme yang paling banyak berperan dalam
munculnya syok meliputi penurunan volume sirkulasi, peningkatan curah jantung
(cardiac output), dan vasodilatasi yang kadang disertai berbagai reaksi lainnya di
dalam tubuh (Weil, 2007).
Syok hipovolemik berarti syok yang disebabkan oleh berkurangnya volume darah
di dalam tubuh (hipovolemia). Pendarahan dan luka bakar adalah penyebab paling
sering dari syok tipe ini. Dalam syok hipovolemik, pendarahan akan menurunkan
tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai akibatnya, menurunkan aliran balik vena,
diikuti penurunan curah jantung di bawah normal hingga timbul syok.
Selain pendarahan, kehilangan plasma dari cairan tubuh seperti pada luka bakar
juga dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan plasma disini, bahkan tanpa
kehilangan sel darah merah, terkadang dapat cukup berat untuk mengurangi volume
darah total secara nyata, sehingga memungkinkan munculnya syok hipovolemik khas
yang seluruhnya hampir serupa dengan syok yang disebabkan oleh pendarahan
(Guyton & Hall, 2008).
20
Gambar 2.1. Patogenesis Syok Hipovolemik
(Duane, 2008)
Syok kardiogenik terjadi apabila jantung gagal berfungsi sebagai pompa untuk
mempertahankan curah jantung yang memadai, sementara untuk syok obstruktif,
patologi yang mendasari adalah adanya obstruksi mekanik baik pada ventrikel kanan
maupun kiri sehingga curah jantung normal secara drastis menurun (Fuentes, 2007).
Gambar 2.2. Patogenesis Syok Kardiogenik (Duane, 2008)
Tanpa mengabaikan konsekuensi fatal yang muncul dari masing-masing tipe syok
di atas, syok distributif mencakup dinamika yang lebih kompleks. Saat di satu sisi
syok dipicu oleh menurunnya curah jantung dan/ atau kelainan jantung yang
menurunkan kemampuan jantung untuk memompa darah, di sisi lain syok distributif
21
dapat terjadi dengan atau tanpa berkurangnya curah jantung, dan bahkan, pada
beberapa kasus curah jantung justru meningkat. Fakta ini terlihat dengan jelas saat
mengkaji kasus sepsis. Namun demikian, dalam syok distributif yang dikaitkan
dengan situasi lain seperti syok anafilaktik, penurunan curah jantung yang drastis juga
ditemukan (Weil, 2007).
II.3. Variasi Syok Distributif
Dalam dunia medis seringkali ditemukan berbagai bentuk dari syok distributif.
Tiap bentuk tersebut pada dasarnya dicetuskan oleh etiologi yang beragam, meskipun
pada akhirnya akan tiba pada kondisi syok yang hampir sama. Hingga saat ini, tipe
syok distributif yang telah diteliti adalah sebagai berikut :
Syok septik dan SIRS
Systemic inflammatory response syndrome (SIRS), adalah suatu keadaan
peradangan nonspesifik yang dapat ditemukan baik pada keadaan infeksi maupun
(Stephen and William, 2007). Singkatnya, SIRS merupakan kondisi inflamasi yang
mempengaruhi seluruh tubuh, dan seringkali respon dari sistem kekebalan tubuh
untuk infeksi. Hanya saja perlu ditekankan bahwa tidak selamanya SIRS
disebabkan oleh agen infeksius (Shulman, 1994).
Sepsis didefinisikan sebagai adanya SIRS pada keadaan infeksi yang menjadi
pemicunya (Sepsis bagian dari SIRS). Sepsis merupakan respon sistemik pejamu
terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah
sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi (Sudoyo et al, 2009).
Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome adalah penyakit multisistemik akut yang dimediasi oleh
toksin, dan dipicu oleh infeksi baik staphylococcus aureus maupun streptococcus
pyogenes (Sharma, 2006).
22
Insufisiensi adrenal
Adalah sekresi yang inadekuat dari adrenokortikosteroid, dapat terjadi sebagai
hasil dari sekresi ACTH yang tidak cukup atau karena kerusakan dari kelenjar
adrenal dapat sebagian atau seluruhnya. Manifestasi yang terjadi dapat
bermacam macam, dapat terjadi tiba tiba dan mengancam jiwa atau dapat juga
berkembang secara bertahap dan perlahan-lahan (Speiser, 2003).
Renjatan Anafilaktik
Anafilaksis merupakan kondisi alergi dengan curah jantung dan tekanan arteri
yang seringkali menurun secara drastis. Reaksi ini terutama disebabkan oleh suatu
reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sangat
sensitif untuk seseorang masuk ke dalam sirkulasi. Lebih lanjut, diketahui bahwa
reaksi yang muncul kemudian disebabkan oleh adanya histamin yang beredar
dalam tubuh. Hal ini dapat dibuktikan melalui percobaan dengan cara
menyuntikkan sejumlah besar histamin secara intravena, sehingga muncullah
tanda-tanda syok histamin yang sifatnya hampir serupa dengan syok anafilaktik
(Guyton dan Hall, 2008).
Heat Stroke
Heat stroke merupakan kasus emergensi yang diakibatkan oleh paparan suhu
tinggi. Ada 2 tipe heat stroke; tipe klasik banyak terjadi pada usia lanjut, pada
penyandang keterbelakangan mental atau usia muda. Terjadi beberapa kali sehari
selama gelombang panas dan orang ini tidak mempunyai kesanggupan untuk
bertahan pada lingkungan dingin dan mempertahankan asupan cairan yang cukup.
Tipe heat stroke kedua terjadi pada saat latihan yang berlebihan pada suhu
lingkungan yang sangat panas dan lembab (Sudoyo et al, 2009).
23
Syok Neurogenik
Syok neurogenik merupakan kondisi syok yang terjadi karena hilangnya kontrol
saraf simpatis terhadap tahanan vaskular sehingga sebagai akibatnya, muncul
dilatasi arteriol dan vena di seluruh tubuh (Duane, 2008).
II.4. Etiologi Syok Distributif
Karena syok biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak adekuat, maka
setiap keadaan yang menurunkan curah jantung jauh di bawah normal akan sangat
mungkin menyebabkan syok (Guyton & Hall, 2008). Namun demikian, faktor
tersebut tidak selamanya berlaku mengingat dalam mekanismenya, syok distributif
mencakup dinamika yang lebih kompleks.
Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau oleh
pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel, karena itu, kondisi-kondisi yang
menempatkan pasien pada resiko-resiko di atas tergolong sebagai etiologi dari syok
distributif itu sendiri (Robbins dkk, 2007).
Tabel 2.1. Etiologi Syok Distributif Berdasarkan Bentuk-Bentuknya
Variasi Syok
Distributif
Etiologi Pencetus
SIRS dan sepsis
Secara umum,
penyebab dari SIRS dapat
dibagi kedalam 2 golongan,
yakni infeksius dan
noninfeksius
Infeksius (sepsis) : Bakteremia,
viremia, fungemia, mycobacteria,
infeksi protozoa, infeksi organ solid,
dll
Non-infeksius (SIRS) : Trauma, luka
bakar masif, luka pasca operasi,
pankreatitis, kanker, overdosis obat,
suntikan sitokin, sindrom aspirasi,
iskemia visceral (Sudoyo et al, 2009)
Toxic shock
syndrome
Staphylococcus aureus
Streptococcus pyogenes (Sharma,
2006).
24
TSS dapat dipicu
oleh eksotoksin/enterotoksin
yang dihasilkan oleh bakteri
Insufisiensi adrenal Autoimun (kurang lebih 70-90 kasus)
Infeksi (TBC, histoplasmosis, HIV,
syphilis)
Keganasan, seperti metastase dari
paru-paru, mamae, carcinoma colon,
melanoma, dan limfoma
Terapi glukokortikoid jangka lama
(mensupresi CRH)
Tumor pituitari/hipotalamus
Penyakit infeksi dan infiltrasi dari
kelenjar pituitari (sarkoid,
histiositosis, TB, dll)
Radiasi pituitari (Corrigan, 2006).
Syok Anafilaksis Obat-obatan :
Khususnya antibiotik seperti
penisilin dan sefalosporin,
Protein Heterolog :
Seperti racun serangga,
makanan, serbuk sari, dan produk
serum darah (Kanaparthi, 2012).
Heat Stroke Suhu tubuh yang meningkat
melebihi suhu kritis, dalam rentang
105o sampai 108oF (Guyton & Hall,
2006).
Syok neurogenik Trauma/cedera ataupun karena
penggunaan zat anestesi pada medula
spinalis di segmen toraks bagian atas
(Cheatham, 2003).
(Data dirangkum kembali dari berbagai sumber)
25
Penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme yang paling mungkin terkait dengan
etiologi tersebut akan dibahas pada sub bab berikutnya. Untuk sementara waktu, perlu
dicatat bahwa akhirnya nanti, semua ini mengakibatkan kurangnya pengiriman zat
makanan ke jaringan-organ kritis, dan juga mengakibatkan kurangnya pembuangan
produk sisa metabolisme sel dari jaringan.
II.5. Patofisiologi
Upaya untuk menjelaskan patofisiologi dari syok telah mencapai perkembangan
yang signifikan setelah beberapa dekade terakhir (Cheatham, 2003). Melalui
serangkaian pengamatan, telah diketahui bahwa semua tipe syok dikarakterisasi oleh
gangguan perfusi, dan karena sifat-sifat khasnya cenderung dapat berubah pada
berbagai derajat keseriusan, mekanisme syok kemudian dibagi lagi menjadi 3 tahapan
utama yaitu :
Tahap awal nonprogresif
Selama tahap ini, mekanisme kompensasi refleks akan diaktifkan dan
perfusi organ vital dipertahankan sehingga pada akhirnya menimbulkan
pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari luar
Tahap progresif
Merupakan tahap yang ditandai hipoperfusi jaringan serta manifestasi awal
dari memburuknya ketidakseimbangan sirkulasi dan metabolik
Tahap ireversibel
Muncul setelah syok telah jauh berkembang sedemikian rupa, yakni ketika
tubuh mengalami jejas sel dan jaringan yang sangat berat sehingga meskipun
semua bentuk terapi yang diketahui dilakukan untuk memperbaiki gangguan
hemodinamika pasien, pada kebanyakan kasus tidak mungkin tertolong lagi
(Guyton & Hall, 2008).
Tahapan di atas paling jelas dikenali pada syok hipovolemik, tetapi lazim pula
untuk bentuk syok lainnya. Namun demikian, meskipun tahapan dari berbagai macam
26
syok pada teorinya sama, di sisi lain mekanisme yang terlibat dapat bervariasi
tergantung pada penyebabnya.
Dalam syok distributif, perfusi jaringan yang inadekuat disebabkan oleh
meningkatnya tahanan vaskular sistemik dengan peningkatan curah jantung sebagai
hasilnya (mekanisme kompensasi). Mula-mula perubahan-perubahan ini
dikarakterisasi oleh dinamika kontraktilitas, dilatasi dari pembuluh darah perifer, serta
dampak dari upaya resususitasi yang dilakukan tubuh.
Sebagai contoh, di stadium awal syok septik terjadi penurunan darah diastol,
melebarnya tekanan pulsasi, akral hangat, dan berbagai efek lain seperti terisinya
kapiler dengan cepat karena vasodilatasi perifer. Tubuh akan berusaha
mengkompensasi kondisi ini dengan meningkatkan curah jantung (cardiac output)
sehingga pada stadium akhir syok septik, kombinasi dari kurangnya kontraktilitas
myokard yang bergabung dengan hilangnya tonus (paralisis) pembuluh darah perifer
akan menginduksi penurunan perfusi organ. Sebagai hasilnya, terjadilah hipoperfusi
dari berbagai organ vital seperti otak, hepar, dan bahkan jantung.
Mengingat dalam syok distributif terdapat berbagai variasi (syok septik,
anafilaksis, neurogenik, TSS, dan SIRS) dan reaksi-reaksi yang terlibat pun berbeda
sesuai dengan kasusnya, maka pembahasan mengenai patogenesis syok distributif
berikut ini akan ditekankan pada bentuknya masing-masing (Kanaparthi, 2012).
1. SIRS dan Sepsis
Sesuai dengan definisinya, SIRS tidak dapat dipisahkan dengan respon
inflamasi dan komponen-komponennya, dimana pada dasarnya reaksi inflamasi itu
sendirilah yang mencetuskan munculnya fenomena ini (Shulman, 1994). Dalam
arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan
untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Namun, walaupun inflamasi
membantu membersihkan infeksi dan bersama-sama dengan proses perbaikan
memungkinkan terjadinya penyembuhan luka, sangatlah penting untuk mengetahui
bahwa baik inflamasi maupun proses perbaikan itu sendiri begitu potensial
menimbulkan bahaya (Robbins dkk, 2007).
Fenomena SIRS pertama kali dijelaskan oleh Dr. William R. Nelson, dari
University of Toronto, saat presentasi dalam pertemuan Mikrosirkulasi Nordik di
27
Geilo, Norwegia pada Februari 1983. Di pertemuan ini, ditetapkan beberapa
variabel yang menjadi parameter SIRS. SIRS ditegakkan apabila 2 atau lebih dari
variabel-variabel berikut ditemukan :
Tabel 2.2.Variabel SIRS
Variabe
l
Nilai Acuan
Suhu < 36 ° C (97 ° F) atau > 38 ° C (100 °
F)
Denyut
jantung
> 90/min
Pernafas
an
> 20/min atau PaCO2 <32 mmHg
(4,3 kPa)
WBC < 4x10 9 / L (< 4000/mm ³), > 12x10 9 / L
( > 12.000 / mm³), atau > 10% stab
(Janotha, 2002)
Suatu reaksi inflamasi yang masif mendasari baik SIRS maupun sepsis, dan
karena respon inflamasi yang mirip pada kedua kasus ini, dipikirkanlah
patofisiologi yang sama. Akibat dari jejas lokal atau infeksi, mediator-mediator
proinflamasi sepertin TNF-α dan IL-1β dilepaskan untuk melawan antigen-antigen
asing dan mempercepat proses penyembuhan luka. Kemudian akan diikuti
pelepasan mediator-mediator anti-inflamasi (IL-4, IL-10 dan IL-13) untuk
meregulasi proses ini.
Kelangsungan hidup bergantung pada tercapainya homeostasis. Bila respon
proinflamasi sistemik yang terjadi sifatnya berat, atau bila respon anti-inflamasi
sebagai kompensasinya tidak adekuat sehingga gagal meregulasi respon
proinflamasi, terjadilah ketidakseimbangan dengan predominan proinflamasi. Pada
keadaan ini didapatkan tanda-tanda SIRS, dan mulai didapat ancaman disfungsi
28
organ. Sebaliknya, jika terjadi predominansi respon anti-inflamasi, dengan akibat
anergi dan imunosupresi, keadaan ini dinamakan compensatory anti-inflammatory
response syndrome atau biasa disingkat CARS (Sudoyo et al, 2009).
Gambar 2.3 Teori Baru MODS
(Sudoyo et al, 2009)
TNF-α dan IL-1β merupakan sitokin peradangan utama yang terdapat pada
imunitas bawaan, yaitu respon primer terhadap rangsang yang membahayakan.
Baik TNF- α maupun IL-1 bekerja pada sel endotel (dan jenis sel lain) untuk
menghasilkan sitokin yang lebih lanjut dan menginduksi molekul adhesi sehingga
dengan demikian meningkatkan respon inflamasi akut lokal serta pembersihan
infeksi/jaringan nekrotik.
Pada inflamasi yang cukup berat, dan oleh karena itu, dengan kadar TNF- α
serta IL-1 yang lebih tinggi, efektor sekunder yang diinduksi oleh sitokin (misalnya
nitrit oksida dan faktor pengaktivasi trombosit) akan menjadi bermakna. Akhirnya,
masih dengan kadar sitokin pro-inflamasi yang cukup tinggi, sindrom syok
distributif akan muncul kemudian, dimana saat ini sitokin dan mediator sekunder
bersama-sama ada dalam kadar yang tinggi sehingga mengakibatkan :
29
- Vasodilatasi sistemik yang nyata di seluruh tubuh, terutama pada jaringan
yang mengalami peradangan
- Kontraktilitas miokard berkurang
- Jejas dan aktivasi endotel yang meluas, menyebabkan perlekatan leukosit
sistemik serta kerusakan kapiler alveolus yang difus dalam paru
- Aktivasi sistem pembekuan, berpuncak pada DIC yakni pembentukan bekuan
darah kecil di daerah yang luas dalam tubuh. Hal ini juga menyebabkan
faktor-faktor pembekuan darah menjadi habis terpakai sehingga timbul
pendarahan di banyak jaringan, terutama pada dinding usus dan traktus
intestinal.
Hipoperfusi yang disebabkan oleh efek gabungan vasodilatasi yang luas,
kegagalan pompa miokardial, dan DIC menyebabkan kegagalan sistem multiorgan
yang mengenai hati, ginjal, dan sistem saraf pusat di antara organ lainnya. Pada
sepsis, bila faktor yang mendasarinya tidak segera dikendalikan, biasanya pasien
akan meninggal (Robbin dkk, 2007).
Namun demikian, harus diingat bahwa tahap dini syok septik kadang tidak
memperlihatkan tanda-tanda kolaps sirkulasi tetapi hanya memperlihatkan tanda-
tanda infeksi bakteri saja. Setelah infeksi bakteri menjadi lebih hebat, sistem
sirkulasi biasanya ikut terlibat baik disebabkan oleh penyebaran infeksi secara
langsung ataupun secara sekunder yang disebabkan oleh toksin bakteri, dengan
akibat hilangnya plasma ke dalam jaringan yang terinfeksi melalui dinding kapiler
darah yang rusak.
Akhirnya pada suatu titik, kerusakan sirkulasi menjadi progresif serupa dengan
yang terjadi pada semua jenis syok lainnya. Ini membuat tahap akhir dari syok
septik biasanya tidak jauh berbeda dengan tahap akhir syok hemoragik, meskipun
faktor-faktor pencetusnya sangat berlainan pada kedua macam syok tersebut
(Guyton dan Hall, 2006).
2. Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome merupakan sindroma klinis yang dikarakterisasi oleh
onset demam tinggi yang acak, hipotensi, ruam difus (ptekie atau makulopapula),
myalgia berat, muntah, diare, nyeri kepala, dan abnormalitas neurologis nonfokal.
30
Hal yang terpenting di sini, adalah tingkat mortalitas dari TSS itu sendiri yang
terbilang cukup tinggi.
TSS pertama kali dideskripsikan pada anak-anak tahun 1978 (Todd, 1978) dan
pada tahun 1980, streptococcus grup A dikenali sebagai penyebabnya (Cone, 1987;
Stevens, 1989). Dikaitkan dengan kasus TSS, streptococcus dan stafilococcus
identik dalam berbagai hal. Kebanyakan kasus diakibatkan oleh toksin yang
diproduksi oleh stafilococcus yang saat ini dikenal dengan sebutan TSS toxin-1
(TSST-1).
Kolonisasi atau infeksi dengan berbagai strain S. aureus dan streptococcus grup
A umumnya diikuti oleh produksi satu atau lebih toksin. Molekul-molekul ini, akan
diabsorbsi secara sistemik sehingga mengakibatkan munculnya manifestasi
sistemik dari TSS, khusunya bagi mereka yang hanya memiliki sedikit antibodi
untuk toksin tersebut. Mediator yang mungkin dihasilkan sebagai respon imun
pejamu adalah interleukin-1 dan TNF. Eksotoksin pirogen menginduksi sintesis
TNF, IL-1, dan juga IL-6 oleh sel mononuklear.
Toxic shock syndrome dikaitkan dengan kemampuan endotoksin streptococcus
grup A dan enterotoksin dari s. aureus yang berperan sebagai super antigen. Kedua
tipe super antigen ini, dapat menstimulasi respon sel T melalui kemampuan mereka
untuk mengikat baik molekul MHC-II dari APC maupun reseptor sel T itu sendiri.
Toksin-toksin ini kemudian mengikat β-chain variable region (V-beta) pada
reseptor sel T dan secara simultan juga mengikat molekul reseptor MHC-II
sehingga setelah melalui serangkaian respon imun, dihasilkanlah proliferasi sel T
dengan efek pada jaringan yang nyata, yakni produksi sitokin dalam jumlah masif
yang sangat-sangat adekuat untuk menimbulkan keadaan syok serta kerusakan
jaringan (Sharma, 2006).
3. Insufisiensi adrenal
Insufisiensi adrenal dibagi menjadi 3 tipe, tergantung dari dimana terjadinya
masalah pada kelenjar hipothalamik pituitary-adrenal dan seberapa cepat turunnya
hormon hormon tersebut (Oelkers, 1996).
- Chronic primary adrenal insufiiciency (Addison disease)
31
Chronic primary adrenal insufiiciency (Addison disease), berhubungan
dengan kerusakan secara lambat dari kelenjar adrenal, dengan defisiensi
kortisol, aldosteron, serta adrenal androgen dan kelebihan dari ACTH
maupun CRH yang berhubungan dengan hilangnya feedback negatif. Kondisi
ini terjadi ketika kelenjar adrenal gagal untuk mengeluarkan hormon dalam
jumlah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, walaupun di lain
pihak ACTH disekresi oleh kelenjar pituitari (Hoffman, 2002).
- Chronic secondary adrenal insufficiency
Adalah penurunan kadar kortisol yang berlebihan, berhubungan dengan
kehilangan fungsi secara lambat dari hypothalamus dan pituitari. Kadar
kortisol dan ACTH keduanya menurun, tetapi kadar aldosteron dan adrenal
androgen biasanya normal karena keduanya diregulasi diluar jalur
hipotalamus hipofise. Insufisiensi adrenal kronis sekunder muncul ketika
steroid eksogen menekan hypothalamus-pituitary-adrenal axis (HPA). Bila
terjadi penurunan dari steroid eksogen ini, tercetuslah suatu krisis adrenal
atau stess yang akan meningkatkan kebutuhan kortisol (Martin, 2006).
- Acute adrenal insufficiency (Adrenal Crisis)
Merupakan Suatu keadaan gawat darurat yang berhubungan dengan
menurun/kurangnya hormon yang relatif serta terjadinya kolaps sistem
kardiovaskuler dengan gejalanya biasa nonspesifik, contohnya muntah dan
nyeri abdomen (Speiser, 2003).. Mekanisme utama yang penting dalam
kejadian krisis adrenal adalah produksi dari kortisol dan adrenal aldosteron
yang sangat sedikit (McPhee, 2003).
Dalam mengkaji fenomena seperti insufisiensi adrenal, tentunya harus diketahui
bahwa korteks adrenal memproduksi 3 hormon steroid yang penting dalam
kelangsungan kerja berbagai sistem organ, yaitu; (1) hormon glukokortikoid
(kortisol), (2) mineralokortikoid (aldosteron) dan (3) androgen. Jika dikaitkan
dengan patogenesis syok distributif, maka mekanisme yang paling mungkin adalah
yang berhubungan langsung dengan produksi aldosteron dalam tubuh.
Aldosteron merupakan mineralokortikoid utama yang disekresi oleh adrenal.
Sedikitnya 90% aktivitas mineralokortikoid yang disekresi oleh adrenokortikal
32
terdapat dalam aldosteron, namun kortisol, yang merupakan glukokortikoid utama
yang disekresi oleh korteks adrenal, juga memiliki sejumlah aktivitas
mineralokortikoid yang bermakna. Aktivitas mineralokortikoid aldosteron adalah
3000 kali lebih besar daripada kortisol, meskipun konsentrasi kortisol plasma
mendekati 2000 kali dari konsentrasi plasma aldosteron.
Dalam sistem sirkulasi, aldosteron meningkatkan absorbsi natrium dan secara
bersamaan meningkatkan sekresi kalium oleh sel epitel tubulus ginjal, terutama sel
prinsipal di sel tubulus kolektivus dan sedikit di tubulus distal juga duktus
koligentes. Oleh karena itu, aldosteron menyebabkan natrium disimpan dalam
cairan ekstrasel sementara meningkatkan ekskresi kalium di dalam urin sehingga
secara otomatis, mempertahankan volume cairan plasma dalam sirkulasi.
Kurangnya sekresi aldosteron sangat menurunkan reabsorbsi natrium di tubulus
ginjal dan akibatnya akan menyebabkan hilangnya banyak ion natrium. Hasil akhir
dari kejadian ini adalah volume cairan ekstrasel yang sangat menurun, yang
kemudian diikuti oleh hiponatremia, hiperkalemia, dan asidosis ringan akibat
gagalnya sekresi ion kalium dan ion hidrogen guna menggantikan ion natrium.
Sewaktu cairan ekstrasel berkurang, volume plasma akan menurun secara drastis,
hematokrit meningkat dengan nyata, curah jantung ikut menurun, dan pasien
beresiko meninggal akibat renjatan/syok (Guyton & Hall, 2006).
4. Reaksi anafilaksis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Reaksi anafilaksis terutama
disebabkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu
antigen yang sangat sensitif untuk seseorang masuk ke dalam sirkulasi. Pada
manusia, reaksi ini diperantarai oleh antibodi Ig-E. Rangkaian kejadiannya dimulai
dengan pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergen). Alergen tersebut
merangsang induksi sel T CD4+ tipe Th2.
Sel CD4+ ini penting dalam patogenesis reaksi anafilaksis karena sitokin yang
disekresikannya menyebabkan produksi IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai
faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil.
Antibodi IgE kemudian berikatan pada sel mast dan basofil, membuat kedua sel
tersebut “dipersenjatai” untuk menimbulkan suatu reaksi yang disebut
hipersensitivitas tipe I.
33
Pajanan ulang terhadap antigen yang sama membuat pertautan-silang pada IgE
yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel dengan berbagai efek
utama (Cheatham, 2003). Salah satu efek utamanya adalah menginduksi pelepasan
histamin oleh sel mast dalam jaringan perikapiler dan basofil dalam darah.
Histamin tersebut kemudian menyebabkan :
- Kenaikan kapasitas vaskular akibat dilatasi vena, sehingga terjadi penurunan
aliran balik vena secara nyata
- Dilatasi arteriol yang mengakibatkan tekanan arteri menjadi sangat menurun
- Sangat meningkatnya permeabilitas kapiler, dengan akibat hilangnya cairan
dan protein ke dalam ruang jaringan secara cepat.
Gambar 2.4. Patofisiologi Syok Anafilaksis
(Duane, 2008)
Hasil akhirnya merupakan suatu penurunan luar biasa pada aliran balik vena
yang diikuti penurunan curah jantung sehingga kadang-kadang, menimbulkan syok
serius yang konsekuensi kematiannya sangat nyata (Silvia & Lorraine, 2006).
34
5. Heat Stroke
Batas suhu udara yang dapat ditahan oleh seseorang hampir sepenuhnya
bergantung pada apakah udara tersebut kering atau basah. Bila udara kering dan
arus konveksi udara cukup mengalir untuk meningkatkan evaporasi yang cepat dari
tubuh, orang tersebut dapat bertahan selama beberapa jam pada suhu udara 130oF.
Sebaliknya, bila udara dilembabkan 100% atau bila tubuh berada dalam air, suhu
tubuh akan mulai meningkat saat lingkungan mengalami peningkatan suhu di atas
94oF. Jika seseorang sedang melakukan aktivitas berat, suhu lingkungan kritis di
atas tempat kecenderungan terjadinya heat stroke dapat serendah 85o sampai 90oF.
Heat stroke, akan dialami seseorang apabila suhu tubuh meningkat melebihi
suhu kritis, dalam rentang 105o sampai 108oF. Gejalanya meliputi pusing, rasa
tidak enak pada perut yang kadang disertai muntah, delirium, bahkan hilang
kesadaran andaikata suhu tubuh tidak segera turun (Guyton & Hall, 2006). Jadi,
heat stroke dapat diartikan sebagai keadaan gawat darurat yang dikarakterisasi oleh
elevasi suhu tubuh yang meningkat di atas 40oC dan disfungsi saraf otonom yang
menimbulkan kejang, delirium, hingga koma (Bouchama dan Knochel, 2002).
Gejala heat stroke diakibatkan oleh gangguan metabolik dan kematian sel.
Kreatin kinase, aspartan aminotransferase (AST) dan enzim serum dehidrogenase
laktat meningkat dan dapat terus meningkat selama 7-10 hari pada keadaan ini.
Rabdomiolisis yang diakibatkan oleh mioglobinuria, dapat menimbulkan gagal
ginjal akut bahkan di sisi lain, waktu pembekuan kadang-kadang memanjang
meskipun DIC jarang terjadi.
Satu poin yang sangat penting untuk dicatat, yakni kondisi-kondisi di atas sering
sekali dieksaserbasi oleh syok sirkulasi, yang dapat memiliki komponen baik syok
hipovolemik (kehilangan plasma melalui evaporasi) maupun syok distributif
(maldistribusi cairan dalam tubuh). Meskipun terdapat peningkatan curah jantung,
hipotensi dapat timbul karena vasodilatasi perifer berat dan penurunan volume.
Tahanan vaskular sistemik akan segera jatuh drastis akibat vasodilatasi sekunder.
Pada temperatur 40oC kontraksi jantung ikut menurun seiring memburuknya
kondisi pasien, sehingga tanpa terapi cairan, hipotensi yang otomatis terjadi dapat
membunuh pasien dalam waktu singkat (Sudoyo et al, 2009).
35
6. Syok Neurogenik
Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya kontrol saraf simpatis terhadap
tahanan vaskular, sehingga sebagai hasilnya, terjadilah vasodilatasi arteriol dan
venula secara besar-besaran di seluruh tubuh (Cheatham dkk, 2003). Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, beberapa etiologi yang mendasari terjadinya syok
neurogenik antara lain adalah penggunaan zat anesthesia maupun cidera pada
medula spinalis yang mekanismenya kurang lebih dapat dijelaskan melalui skema
berikut ini.
Gambar 2.5. Patofisiologi Syok Neurogenik
(Duane, 2008)
Bagian terpenting sistem saraf otonom bagi pengaturan sirkulasi adalah sistem
saraf simpatis. Secara anatomis, serabut-serabut saraf vasomotor simpatis
meninggalkan medula spinalis melalui semua saraf spinal toraks dan melalui satu
atau dua saraf spinal lumbal pertama. Serabut-serabut ini segera masuk ke dalam
rantai simpatis yang berada di tiap sisi korpus vertebra, kemudian menuju sistem
sirkulasi melalui dua jalan utama :
- Melalui saraf simpatis spesifik yang terutama mempersarafi pembuluh darah
organ visera interna dan jantung
36
- Hampir segera memasuki nervus spinalis perifer yang mempersarafi
pembuluh darah perifer
Di sebagian besar jaringan, semua pembuluh darah kecuali kapiler, sfingter
prekapiler, dan sebagian besar metarteriol diinervasi oleh saraf simpatis. Tentunya
inervasi ini memiliki tujuan tersendiri. Sebagai contoh, Inervasi arteri kecil dan
arteriol menyebabkan rangsangan simpatis untuk meningkatkan tahanan aliran
darah dan dengan demikian menurunkan laju aliran darah yang melalui jaringan.
Inervasi pembuluh darah besar, terutama vena, memungkinkan rangsangan
simpatis untuk menurunkan volume pembuluh darah ini. Keadaan tersebut dapat
mendorong darah masuk ke jantung dan dengan demikian berperan penting dalam
pengaturan pompa jantung.
Selain serabut saraf simpatis yang menyuplai pembuluh darah, serabut simpatis
juga pergi secara langsung menuju jantung. Perlu diingat kembali bahwa
rangsangan simpatis jelas meningkatkan aktivitas jantung, meningkatkan frekuensi
jantung, dan menambah kekuatan serta volume pompa jantung.
Hubungan antara saraf simpatis dan sistem sirkulasi yang baru saja dijabarkan
secara singkat, sebenarnya membawa serabut saraf vasokonstriktor dalam jumlah
yang banyak sekali dan hanya sedikit serabut vasodilator. Serabut tersebut pada
dasarnya didistribusikan ke seluruh segmen sirkulasi dan efek vasokonstriktornya
terutama sangat kuat di ginjal, usus, limpa dan kulit tetapi kurang kuat di otot
rangka dan otak.
Dalam keadaan normal, daerah vasokonstriktor di pusat vasomotor terus
menerus mengantarkan sinyal ke serabut saraf vasokonstriktor seluruh tubuh,
menyebabkan serabut ini mengalami cetusan yang lambat dan kontinu dengan
frekuensi sekitar satu setengah sampai dua impuls per detik. Impuls ini,
mempertahankan keadaan kontraksi parsial dalam pembuluh darah yang disebut
tonus vasomotor. Tonus inilah yang mempertahankan tekanan darah dalam batas
normal, sehingga fungsi sirkulasi tetap terjaga untuk kebutuhan jaringan.
Melemahnya tonus vasomotor, secara langsung menimbulkan manifestasi klinis
dari syok neurogenik. Sebagai contoh, trauma pada medula spinalis segmen toraks
bagian atas akan memutuskan perjalanan impuls vasokonstriktor dari pusat
vasomotor ke sistem sirkulasi. Akibatnya, tonus vasomotor di seluruh tubuh pun
menghilang.
37
Efeknya (vasodilatasi), paling jelas terlihat pada vena-vena juga arteri kecil.
Dalam vena kecil yang berdilatasi, darah akan tertahan dan tidak kembali bermuara
ke dalam vena besar. Karena faktor ini, aliran balik vena maupun curah jantung
akan menurun, dan dengan demikian tekanan darah secara otomatis jatuh hingga
nilai yang sangat rendah. Di momen yang bersamaan, dilatasi arteriol
menyebabkan lemahnya tahanan vaskular sistemik yang seharusnya membantu
memudahkan kerja jantung sebagai pompa yang mengalirkan darah ke seluruh
tubuh. Pada saat ini, didapatkanlah tanda-tanda syok neurogenik yang jalur
akhirnya tidak jauh berbeda dengan syok tipe lain.
Konsekuensi akhir dari malperfusi dalam berbagai bentuk syok distributif dapat
berbeda pada tiap pasien, tergantung dari derajat dan durasi hipoperfusi, jumlah
sistem organ yang terkena, serta ada tidaknya disfungsi organ utama. Harap
ditekankan bahwa apapun tipenya, sekali syok terjadi, cenderung memburuk secara
progresif. Sekali syok sirkulasi mencapai suatu keadaan berat yang kritis, tidak peduli
apa penyebabnya, syok itu sendiri akan menyebabkan syok menjadi lebih berat.
Artinya, aliran darah yang tidak adekuat menyebabkan jaringan tubuh mulai
mengalami kerusakan, termasuk jantung dan sistem sirkulasi itu sendiri, seperti
dinding pembuluh darah, sistem vasomotor, dan bagian-bagian sirkulasi lainnya
(Guyton & Hall, 2008).
II.6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis syok distributif bergantung pada gangguan yang ditimbulkan oleh
pencetus, dan hal ini tidak hanya berlaku untuk syok distributif melainkan juga untuk
syok tipe lain. Pada kebanyakan kasus, gambaran klinis dari syok distributif
mencakup tanda-tanda berikut ini:
Perubahan pada status mental, mengacu pada tingkat kesadaran pasien (apatis
ataupun somnolen). Biasanya, tingkat kesadaran dapat bervariasi menurut
progresifitas syok saat itu juga. Seringkali saat syok semakin berat, maka semakin
buruk pula tingkat kesadarannya
38
Frekuensi jantung yang lebih dari 90 kali/menit (perlu dicatat bahwa elevasi pada
frekuensi jantung bukanlah pertanda adanya syok bila pasien sedang dalam terapi
beta-blocker
Hipotensi, dengan tekanan sistol yang kurang dari 90 mmHg atau mengalami
penurunan sebesar 40 mmHg dari standar normalnya
Meningkatnya frekuensi pernafasan hingga melebihi 20 kali/menit (takipnea). Pada
keadaan yang lebih berat, akan terlihat nafas cepat dan dangkal akibat asidosis
Ekstremitas teraba hangat (akral hangat) dengan tekanan pulsasi (tekanan sistol
dikurangi diastol) yang meningkat, khususnya pada tahap awal syok distributif
Hipertermia, jika suhu tubuh > 38,3oC atau 101oF
Hipotermia, dapat pula ditemukan jika temperatur turun hingga di bawah 36oC atau
96,8oF
Hipoksia dan hipoksemia relatif yang dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi
Oliguria, yakni berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata produksi urin dewasa
adalah 60 ml/jam (1/2-1 ml/kgBB/jam)
II.7. Gambaran Klinis Lainnya yang Ditemukan pada Berbagai Variasi Syok
Distributif
Mengidentifikasi etiologi syok, jauh lebih penting dibanding dengan menentukan
kategori syoknya. Gambaran yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, tidak
lain hanyalah manifestasi umum yang ditemukan pada pasien-pasien dengan syok
distributif. Akan diingatkan sekali lagi bahwa etiologi dari syok distributif sangatlah
multifaktorial sehingga tidak jarang seseorang mengalami kesulitan dalam
menentukan faktor pencetusnya. Dan karena nantinya hal ini menentukan terapi yang
harus diberikan, maka mengidentifikasi etiologi sudah selayaknya lebih diutamakan
(Cheatham, 2003).
39
A. Konsekuensi SIRS dan Manifestasinya
Tabel 2.3. Parameter SIRS
Variabel SIRS dan Pembakuan Definisi Sepsis
Sindrom respons inflamasi sistemik
(SIRS : systemic inflammatory response syndrome) respon
tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan
berikut :
- Suhu < 36 ° C (97 ° F) atau > 38 ° C (100 ° F)
- Denyut jantung > 90/min
- Pernafasan > 20/min atau PaCO2 <32 mmHg (4,3 kPa)
- WBC < 4x10 9 / L (< 4000/mm ³), > 12x10 9 / L
- ( > 12.000 / mm³), atau > 10% stab/sel batang
Sepsis
Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan
manifestasi SIRS
Sepsis berat
Sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau
hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan
kesadaran.
Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg dan tidak ditemukan
penyebab hipotensi lainnya.
Renjatan Septik (Septic shock)
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan
resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
(Sudoyo et al, 2009)
40
Tabel 2.3 merangkum berbagai pembakuan definisi dari SIRS dan juga sepsis.
Definisi inilah yang menjadi pegangan berbagai kalangan dalam menegakkan
diagnosa terkait sindroma di atas. Namun demikian, manifestasi klinisnya tidaklah
sesederhana itu. Baik sepsis maupun SIRS merupakan reaksi yang sifatnya sistemik.
Ini berarti bahwa perjalanan kedua sindrom tersebut secara langsung melibatkan
berbagai sistem organ lainnya dengan gambaran klinis berupa konsekuensi yang tidak
dapat diabaikan.
1) Gangguan kardiovaskular
Pada MODS, NO menurunkan resistensi vaskular sistemik, dan bersama TNF-α
serta IL-1β menekan fungsi miokard. Penurunan perfusi akan terjadi di semua
organ. Hilangnya fungsi penyekat dari endotel menyebabkan edema dan
redistribusi cairan. Resusitasi cairan dapat menyebabkan dilatasi miokard. Pada
pasien sepsis indeks kardiak meningkat. Sepertiga pasien sepsis mengalami
disfungsi miokard.
Secara definisi, gagal kardiovaskular dideteksi apabila ditemukan tanda-tanda
sebagai berikut :
HR (heart rate) ≤ 54/menit
MAP (mean arterial pressure) ≤ 49 mmHg
VT (ventricular tachycardia) atau VF (ventricular fibrillation)
pH serum ≤ 7,24 dengan PCO2 ≤ 40 mmHg (Lumb, 1991).
2) Disfungsi respirasi
Disfungsi pulmonar sering terjadi pada pasien SIRS dengan tanda-tanda :
takipnea, hipoksemia (rasio PaO2/F1O2 menurun) dan hiperkarbia. Sepsis/SIRS
dapat berkembang menjadi ALI (acute lung injury) bahkan ARDS (acute
respiratory response syndrome). Enam puluh persen pasien syok septik mengalami
ARDS.
Hipoksemia dan hipoksia pada SIRS dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor
41
oksigen ke jaringan dapat pula terganggu akibat keadaan hipovolemik dan
disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung yang secara langsung
akan menimbulkan efek pada oksigenasi jaringan. Transpor oksigen ke jaringan
juga dipengaruhi oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskular.
Tabel 2.4. Pembakuan Definisi Disfungsi Respirasi Terkait SIRS/MODS
TipeVaria
bel
Acuan
Gagal
respirasi
RR
PaCO2
P(A-
a) O2
≤ 5/menit, atau ≥ 49/menit
≥ 50mmHg
≥ 350 mmHg
Ventilasi mekanik atau
CPAP pada hari ke-4
ARDS PaO2/
FIO2
PCW
P
-
-
-
< 200 mmHg
< 18 mmHg
Infiltrat difus pada foto
rontgen dada
Tidak ada infeksi paru atau
penyebab lain dari distress
pernapasan
Penurunan pulmonary
compliance
Riwayat penyakit yang
menyokong
ALI PaO2/
FIO2
< 300 mmHg (Acuan
lainnya sama dengan acuan pada
ARDS)
(Lumb, 1991)
3) Disfungsi ginjal
42
Ginjal mudah mengalami kerusakan jaringan yang diperantarai oleh leukosit
melalui produksi protease dan ROS. Hipovolemia, cardiac output yang rendah,
obat-obat yang bersifat nefrotoksik, tekanan intra-abdominal yang meningkat, dan
rabdimiolisis berperan dalam disfungsi ginjal. Medula yang lebih aktif dalam
metabolisme relatif lebih parah daripada korteks ginjal dalam menghadapi iskemia.
Berikut adalah manifestasi klinis yang dapat ditemukan :
Diuresis ≤ 479 ml/24 jam atau ≤ 159 ml/8 jam
BUN ≥ 100 mg/dl
Kreatinin serum ≥ 3,5 mg/dl (Lumb, 1991)
4) Disfungsi gastrointestinal
Hipoperfusi splanchnic sering dijumpai pasca trauma, pada sepsis dan syok.
Iskemia mukosa usus meningkatkan permeabilitas dengan akibat terjadi translokasi
bakteri dan mediator-mediator ke dalam sirkulasi sistemik. Fenomena ini
mendukung teori model two-hit dalam patogenesis SIRS/MODS. Terjadi nitrosilasi
dalam sel-sel epitel usus yang juga akan menaikkan permeabilitas usus.
Manifestasi iskemia splanchnic dapat berupa pendarahan stress ulcer, Ileus,
hepatitis iskemik, kolesistitis tanpa batu dan pankreatitis. Hiperglikemia terjadi
sebagai akibat meningkatnya glukoneogenesis dan gangguan bersihan glukosa.
Lipolisis meningkatkan gliserol dan asam lemak bebas dalam plasma serta
menurunkan keton. Pada MODS lanjut terjadi hipertrigliseridimia akibat
menurunnya bersihan trigliserida, dan praterminal terjadi kegagalan
glukoneogenesis, yang menyebabkan hipoglikemia.
Tabel 2.5. Gagal hati dan variabelnya
Variabel Acuan
Bilirubin serum ≥ 6 mg/dl
PT
(prothrombin time)
> 4 s di atas
kontrol
(Samra dan Summers, 1996)
5) Disfungsi neurologis
43
Disfungsi pada SSP menjadi salah satu dari konsekuensi SIRS jika selama
respon inflamasi berlangsung ditemukan skor glasgow coma scale dengan nilai ≤
6 tanpa pemberian bahan yang bersifat sedatif (McKinlay, 2003)
B. Gejala yang Menandai Kemungkinan Adanya Toxic Shock Syndrome
Kemungkinan adanya toxic shock syndrome kadang harus dipertimbangkan pada
tiap orang yang menunjukkan tanda-tanda seperti demam, ruam, hipotensi, gagal
ginjal atau gagal pernafasan dan juga perubahan pada status mental yang terjadi secara
tiba-tiba. Meskipun demam tinggi merupakan pertanda khas untuk TSS, kadang
beberapa pasien justru menunjukkan gejala sebaliknya, yakni hipotermia. Penurunan
tingkat kesadaran terjadi pada 55% pasien dengan TSS. Bahkan beberapa jatuh dalam
keadaan koma dan agitasi. Hampir 50% pasien memiliki tekanan darah normal pada
awalnya, namun kondisi ini segera berubah dalam beberapa jam dimana pasien
mengalami hipotensi yang cukup berat. 80 % pasien menunjukkan manifestasi klinis
dari infeksi jaringan lunak, yang biasanya berkembang progresif menjadi necrotizing
fasciitis atau myositis sedangkan 20% sisanya menderita endophtalmitis, myositis,
perihepatitis, peritonitis, dan miokarditis. Ruam difus yang menyerupai eritema
marginatum terlihat pada hampir 10% pasien. Manifestasi klinis pada kulit karena
infeksi streptokokus mencakup demam scarlet, ptekie atau ruam makulopapular dan
juga deskuamasi.
Staphylococcal toxic shock syndrome kebanyakan muncul pada wanita, khususnya
pada mereka yang menggunakan tampon, TSS terlihat dalam lima hari setelah onset
menstruasinya. Beberapa keadaan klinis seperti luka pasca bedah, lesi cutaneus dan
subcutaneus, abses yang dalam, empyema, abses peritonsiler, sinusitis dan
osteomyelitis telah disinyalir mempresentasikan sindrom serupa.
Tipe infeksi yang sejauh ini telah dilaporkan cukup sering mempresentasikan TSS
adalah pneumonia, bakteremia yang tidak dapat diidentifikasi penyebabnya
(unidentified bacteremia), infeksi pada luka pasca bedah, arthritis septik,
thrombophlebitis, meningitis, infeksi pelvis, dan endophtalmitis. Adapun tanda-tanda
yang sangat umum ditemukan dalam STSS disertai presentasi frekuensinya adalah
sebagai berikut :
Nyeri (44-85%)
44
Muntah (25-26%)
Mual (20 %)
Diare
Gejala-mirip-influenza
Nyeri kepala
Dyspnea (Sharma, 2006)
C. Insufisiensi Adrenal
Gejala klinis yang mendukung suatu diagnosis krisis adrenal adalah sebagai berikut
:
- Syok yang sulit dijelaskan etiologinya biasanya tidak ada pengaruh dengan
- pemberian resusitasi cairan atau vasopresor.
- Hipotermia atau hipertermia
- Yang berhubungan dengan kekurangan kortisol yaitu cepat lelah, lemah badan,
anoreksia, mual mual dan muntah , diare, hipoglikemi, hipotensi, hiponatremi.
- Gejala yang berhubungan dengan kekurangan hormon aldosteron yaitu
hiperkalemia dan hipotensi berat yang menetap
- Manifestasi lain tergantung dari penyebab, mungkin didapatkan panas badan, nyeri
abdomen dan pinggang yang berhubungan dengan perdarahan kelenjar adrenal
(Speiser, 2003).
D. Syok Anafilaktik dan Manifestasi Sistemiknya
Anafilaksis, yang mempresentasikan bentuk lain dari syok distributif, biasanya
menghasilkan sindroma syok segera sesudah paparan agen spesifik. Reaksi kulit
seperti urtikaria, eritema dan gejala obstruksi saluran pernafasan merupakan
manifestasi klinis yang umum dijumpai. Saat anafilaksis dibiarkan berlangsung tanpa
terapi, seringkali terjadi vasodilatasi sistemik yang digambarkan oleh hipotensi
(Cheatham, 2003).
Terdapat dua ciri khas terkait reaksi ini. Ciri khas yang pertama dari anafilaksis
adalah gejala yang timbul beberapa detik sampai beberapa menit setelah pasien
terpajan oleh alergen atau faktor pencetus nonalergen seperti zat kimia atau obat-
45
obatan tertentu. Ciri kedua yaitu anafilaksis merupakan reaksi sistemik, sehingga
melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak
(Sudoyo et al, 2009).
Tabel 2.6. Gejala dan Tanda Anafilaksis Berdasarkan Organ Sasaran
Sistem Gejala dan tanda
Umum
Prodormal Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak
enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum
Pernapasan
Hidung Hidung gatal, bersin dan tersumbat
laring Rasa tercekik, suara serak, sesak nafas, stridor, edema,
spasme
Lidah Edema
Bronkus Batuk, sesak, mengi, spasme
Kardiovaskular Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai
syok, aritmia,.
Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-
tanda infark miokard
Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang-kadang
disertai darah, peristaltik usus meninggi
Kulit Urtikaria dan angioedema di bibir, muka atau ekstremitas
Mata Gatal, lakrimasi
Susunan saraf pusat Gelisah, kejang
(Sudoyo et al, 2009)
E. Temuan Klinis dan Manifestasi Metabolik pada Heat Stroke
46
Dua temuan-hipertermia dan disfungsi saraf otonom-harus ada dalam penegakan
diagnosa heat stroke. Temperatur pencetus mungkin bervariasi mulai dari 40o hingga
47oC. Disfungsi otak seringkali berat namun dapat pula sedang sehingga derajat
kesadaran menurun hingga level tertentu seperti delirium atau bahkan koma
(Easterling, 2000). Kejang bisa saja terjadi. Semua pasien memperlihatkan gejala
kardiovaskular dan pernafasan seperti takikardi dan hiperventilasi, dan dari berbagai
pengamatan, 25% pasien mengalami hipotensi (Bouchama dan Knochel, 2002).
Pasien yang menderita nonexercional heat stroke biasanya menampilkan tanda-
tanda alkalosis respiratorik. Di sisi lain, pasien dengan exercional heat stroke
menampilkan tanda-tanda baik alkalosis respiratorius maupun asidosis laktat.
Hipophosphatemia dan hipokalemia merupakan hal yang lazim ditemui saat
pemeriksaan, sementara hipoglikemia sangatlah jarang. Hiperkalsemia dan
peningkatan hematokrit mungkin pula ditemukan.
Seperti halnya SIRS dan sepsis, MODS merupakan komplikasi terberat dari heat
stroke. Disfungsi ini mencakup ensefalopati, rabdomiolisis, gagal ginjal akut, ARDS,
cedera miokardial dan hepatoselular, iskemia intestinal, dan lain sebagainya
(Bouchama dan Knochel, 2002).
F. Manifestasi Klinis Syok Neurogenik
Syok distributif yang terjadi dalam bentuk syok neurogenik memiliki manifestasi
yang hampir sama dengan syok pada umumnya. Pada syok neurogenik juga
ditemukan hipotensi, hanya saja akibat dari berbagai disfungsi saraf otonom
(khususnya saraf simpatis) nadi tidaklah bertambah cepat (takikardi), bahkan dapat
lebih lambat (bradikardi). Kadang gejala ini disertai dengan adanya defisit neurologis
dalam bentuk quadriplegia atau paraplegia. Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah
pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya
pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat
dan cepat berwarna kemerahan (Duane, 2008).
II.8. Penatalaksanaan Syok Distributif
47
Penatalaksanaan dalam syok distributif pada dasarnya sama dengan syok lainnya.
Karena termasuk kondisi gawat darurat, maka yang pertama kali dilakukan adalah
tatalaksana suportif untuk mencegah syok berkembang ke tahap yang lebih buruk.
Selanjutnya, tatalaksana akan lebih diberatkan ke arah eliminasi etiologi, dimana
tentunya akan cenderung disesuaikan dengan faktor pencetus syok distributif itu
sendiri.
a. Tatalaksana suportif
Hal utama yang perlu diperhatikan di sini adalah konsekuensi dari SIRS,
sepsis, maupun bentuk syok distributif lainnya, yakni kegagalan organ. Seiring
berjalannya waktu, pasien SIRS/sepsis akan menerima konsekuensi yang fatal
apabila tidak mendapat terapi penunjang yang tepat.
- Oksigenasi
Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda pasien
mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam tatalaksana hipoksemia
dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi,
delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian dan dikoreksi.
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera
dilakukan.
- Terapi cairan
Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan
pemberian cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer laktat) maupun
koloid. Kristaloid merupakan pilihan terapi awal karena mudah didapatkan,
tetapi perlu diberikan dalam jumlah banyak. Volume cairan yang diberikan
perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Pada
keadaan albumin < 2 gr/dl koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi
eritrosit diperlukan pada keadaan pendarahan aktif atau bilamana kadar
hemoglobin rendah pada keadaan iskemia miokardial dan renjatan septik.
Kadar HB yang dicapai pada SIRS dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl.
Namun pertimbangan kadar HB bukan hanya berdasarkan kadar HB semata,
melainkan juga keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia, serta keuntungan
dan kerugian pemberian transfusi.
48
- Vasopresor dan Inotropik
Vasopresor diberikan apabila keadaan hipovolemik teratasi masih
ditemukan kondisi hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis
terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) 60
mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat
digunakan dopamin dengan dosis >8 mikrogram (mcg)/kg/menit,
norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang dapat digunakan
dobutamin dengan dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit,
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase.
- Bikarbonat
Pada SIRS terjadi hipoperfusi dengan konsekuensi terjadinya
gangguan transpor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi
penurunan pH sel ke tingkat yang sangat rendah. Secara empirik bikarbonat
dapat diberikan bila pH < 7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/l, dengan
disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
- Disfungsi renal
Gangguan fungsi renal pada syok distributif terjadi sebagai akibat
buruknya perfusi ke organ tersebut. Dopamin dosis renal (1-3 mcg/kg/menit)
terbukti tidak menurunkan mortalitas, untuk itu sebagai terapi pengganti
dilakukan hemodialisis dan hemofiltrasi kontinu.
- Nutrisi
Kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak,
cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan
pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara
parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah juga perlu dilakukan oleh
karena berbagai penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses
inflamasi dan penurunan mortalitas.
- Kortikosteroid
Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan
pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan perbaikan syok
dan disfungsi organ (Bone, 1992).
49
b. Kontrol Kausa
Hal terpenting dalam tatalaksana Syok distributif adalah menghilangkan
faktor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi (khususnya sepsis).
- Antibiotik
Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan maksimal,
termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan serologi dan aspirasi
perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat pada awal perjalanan penyakit
infeksi akan memperbaiki prognosis dan bersama-sama dengan pencegahan
infeksi sekunder
serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS.
- Pembedahan
Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh
trauma. Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-kadang
diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi
berasal dari intra-abdomen.
- Kontrol kausa lainnya
Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai
fraktur dapat memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi patah
tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus yang iskemik
atau jaringan mati serta pengasatan pus perlu dilakukan untuk mengontrol
penyebab SIRS (Bone, 1992).
c. Terapi inovatif
- Modulasi imun
Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal
serta obat-obatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem imun
menunjukkan tidak adanya penurunan presentasi mortalitas pasien-pasien
Sepsis.
- Inhibitor NO
50
Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan
meningkatkan mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor yang
selektif terhadap iNOS mempunyai peranan dalam tatalaksana MODS
- Filtrasi darah
Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat
menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan
mengeluarkannya dari jaringan.
- Manipulasi kaskade pembekuan darah
Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada pasien
sebesar 6% (Bone, 1992).
51