Isi Lapsus Anestesi - 2

16
1 BAB I PENDAHULUAN Massa intrakranial dapat berupa kongenital, neoplastik (benigna atau maligna), infeksi (abses atau kista), atau vaskular (hematom atau malformasi). Kraniotomi adalah prosedur yang paling sering digunakan untuk tatalaksana neoplasma otak. Tumor primer biasanya berasal dari sel glia (astrositoma, oligodendroma, atau glioblastoma), sel ependimal (ependimoma), atau jaringan penyokong (meningioma, schwannoma, atau papilloma koroid) Tanpa memperhatikan penyebabnya, massa intrakranial yang hadir ditentukan berdasarkan prtumbuhannya, lokasi, dan tekanan intrakranial. Massa yang tumbuh lambat biasanya tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama, berbeda dengan massa yang tumbuh secara cepat biasanya akan menimbulkan gejala walaupun ukurannya tidak terlalu besar. Gejala yang sering muncul adalah nyeri kepala, kejang, gangguan fungsi kognitif dan neurologis secara umum, dan defisit neurologis fokal. Gejala yang mengarah ke massa supratentorial meliputi kejang, hemiplegi, atau afasia, dimana gejala yang muncul akibat massa infratentorial adalah disfungsi serebral (ataksia, nistagmus, dan disartria), atau kompresi batang otak (kelumpuhan nervus kranilais, penurunan kesadaran, atau respirasi abnormal). Jika tekanan intrakranial meningkat, maka tanda- tanda hipertensi intrakranial juga akan muncul. Evaluasi preoperative pada pasien yang akan menjalani kraniotomi harus dilakukan untuk menentukan ada tidaknya hipertensi intrakranial. Teknik anestesi yang digunakan pada pasien yang menjalani kraniotomi adalah anestesi umum dengan selalu memperhatikan tekanan darah.

description

GA kraniotomi

Transcript of Isi Lapsus Anestesi - 2

Page 1: Isi Lapsus Anestesi - 2

1    

BAB I

PENDAHULUAN

Massa intrakranial dapat berupa kongenital, neoplastik (benigna atau maligna),

infeksi (abses atau kista), atau vaskular (hematom atau malformasi). Kraniotomi adalah

prosedur yang paling sering digunakan untuk tatalaksana neoplasma otak. Tumor primer

biasanya berasal dari sel glia (astrositoma, oligodendroma, atau glioblastoma), sel

ependimal (ependimoma), atau jaringan penyokong (meningioma, schwannoma, atau

papilloma koroid)

Tanpa memperhatikan penyebabnya, massa intrakranial yang hadir ditentukan

berdasarkan prtumbuhannya, lokasi, dan tekanan intrakranial. Massa yang tumbuh

lambat biasanya tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama, berbeda dengan massa

yang tumbuh secara cepat biasanya akan menimbulkan gejala walaupun ukurannya

tidak terlalu besar. Gejala yang sering muncul adalah nyeri kepala, kejang, gangguan

fungsi kognitif dan neurologis secara umum, dan defisit neurologis fokal. Gejala yang

mengarah ke massa supratentorial meliputi kejang, hemiplegi, atau afasia, dimana gejala

yang muncul akibat massa infratentorial adalah disfungsi serebral (ataksia, nistagmus,

dan disartria), atau kompresi batang otak (kelumpuhan nervus kranilais, penurunan

kesadaran, atau respirasi abnormal). Jika tekanan intrakranial meningkat, maka tanda-

tanda hipertensi intrakranial juga akan muncul.

Evaluasi preoperative pada pasien yang akan menjalani kraniotomi harus

dilakukan untuk menentukan ada tidaknya hipertensi intrakranial. Teknik anestesi yang

digunakan pada pasien yang menjalani kraniotomi adalah anestesi umum dengan selalu

memperhatikan tekanan darah.

Page 2: Isi Lapsus Anestesi - 2

2    

BAB II

LAPORAN KASUS

II.1 Hasil Kunjungan

1. Identitas

Nama : Ny. R

Usia : 24 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Talang keramat, Palembang

No. Rekam Medis : 315866

Ruangan : Dahlia

Diagnosa : SOL

Tindakan : Kraniotomi

2. Anamnesis

a. Kebiasaan

Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok

b. Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, maupun udara

c. Riwayat Penyakit

Pasien mengakui memiliki riwayat hipertensi sejak 3 tahun terakhir dan

terkontrol dengan obat. Pasien tidak memiliki riwayat asma, penyakit

jantung, ginjal, hepar, diabetes mellitus dan kecelakaan/trauma.

d. Riwayat Operasi

Pasien belum pernah dioperasi sebelumnya

e. Keadaan Saat Ini

Pasien tidak sedang demam, batuk maupun flu. Saat ini keluhan pasien

berupa nyeri kepala.

3. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang

b. Kesadaran : compos mentis

Page 3: Isi Lapsus Anestesi - 2

3    

c. Status Gizi : BB 58 kg

d. Tanda Vital:

• TD : 150/87 mmHg

• RR : 20 x/menit

• N : 72 x/ menit

• S : 36,00C

e. Kepala dan Leher: normochepal, konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)

f. Thorax

• Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi :

o Batas atas kiri: ICS II LPS sinistra

o Batas atas kanan:ICS II LPS Dekstra

o Batas bawah kiri : ICS V LMC Sinistra

o Batas bawah kanan: ICS IV LPS Dextra

Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

• Paru

Inspeksi : pergerakan simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)

Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor kedua lapang paru

Auskultasi: vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing (-)

• Abdomen

Inspeksi : Perut datar, distensi (-)

Auskultasi : BU (+)

Perkusi : Timpani

Palpasi : Nyeri tekan (-)

• Ekstremitas : jejas (-), bekas trauma (-), massa (-), sianosis (-), turgor

kulit cukup, akral hangat

• Mallampati Skor : 1 (tampak pilar faring, palatum mole, dan uvula)

• Bukaan mulut : 3 jari pasien

• Jarak mento-hyoid : 2 jari pasien

Page 4: Isi Lapsus Anestesi - 2

4    

• Jarak tiro-hyoid : 2 jari pasien

4. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Leukosit : 13,8 ribu/mm3

Hb :12,7 g/dl

Ht : 36 %

Trombosit : 353 ribu/mm3

PT : 10,8 detik

APTT : 23,6 detik

BT : 3 menit

CT : 6 menit

SGOT : 42 U/L

SGPT : 37 U/L

Ureum : 17 mg/dl

Kreatinin : 0,7 mg/dl

Na/Cl : 140/104

Kalium : 3,4

GDS : 254 mg/dl

b. Rontgen Thorax

Kesan : cor, pulmo, pleura, sinus dan diafragma, dalam batas normal

c. CT Scan Kepala

Kesan : Massa struktur inhomogen dengan tepi hemorrhage, lobulated,

ukuran ± 6,5x6,3 cm pada region frontal kiri disertai peritumoral edema

cerebri yang mendesak ventrikel lateral kiri kanan terutama kornu anterior,

penyempitan sulkus kortikalis dan fissure silvii kanan kiri, pendesakan falk

anterior ke kanan serta mid line shifting ke kanan.

DD : Meningioma; astrocytoma.

Page 5: Isi Lapsus Anestesi - 2

5    

5. Kesan ASA (The American Society of Anesthesiologist)

ASA 2 (Pasien dengan penyakit sistemik sedang; hipertensi terkontrol,

hiperglikemia)

II.2 Status Anastesi

Anastesi dilakukan pada posisi terlentang dengan posisi kepala dielevasikan 150.

Lama anastesi 3 jam (pukul 08.30 – 11.30) dan lama operasi 2.5 jam (pukul 08.45-

11.15).

1. Rencana Anestesi : anestesi umum dengan intubasi

a. Premedikasi

Fentanyl (1-3 µg/kgBB) = 58 mcg – 174 mcg → 100 mcg

Sediaan 2cc : 50 µg/cc → 2 cc

b. Induksi

Propofol (2-3 mg/kgBB) = 116 mg – 174 mg → 150 mg

Sediaan 20 cc: 10 mg/ml → 15 cc

c. Pelumpuh Otot

Attracurium (0,5-0,6 mg/kgBB) = 29 mg – 34.8 mg → 30 mg

Sediaan 2,5cc: 10 mg/ml → 3 cc

Rumatan (0,1 mg/kgBB) = 0,1 x 58 = 5,8 mg à 5 mg = 0,5 cc

d. Pemasangan ETT

Dewasa wanita à digunakan ETT biasa dengan cuff ukuran 7,0

e. Maintenance

N2O & O2 serta sevofluran 2 Vol%

BMR O2 : 3-5 ml/kgBB

: 174 – 290 ml → 250 ml x 12 = 3000 ml = 3 L

N2O : O2 = 1 : 1 = 2 L : 2 L

Page 6: Isi Lapsus Anestesi - 2

6    

f. Monitoring :

o Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia :

pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada, observasi

reservoir breathing bag, serta pastikan stabilitas ETT tetap terjaga

terutama karena akses jalan napas tidak didapatkan selama prosedur

kraniotomi.

o Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan dibantu dengan

pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2

o Pemantauan adekuat tidaknya fungsi sirkulasi pasien :

o Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung

o Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia

Input : berupa Infus (kristaloid dan solusi koloid)

Output : Perdarahan, urin

Perhitungan

Maintenance : (4x10) + (2x10) + (1x38) = 98 ml

Operasi (6 ml/kg/jam) : 348 ml

Puasa (6 jam) : 6 x 98 = 588 ml

Pemberian

Jam I : ½ puasa + Maintenance + Operasi = 294 + 98 + 348 = 740

Jam II : ½ puasa + Maintenance + Operasi = 294 + 98 + 348 = 740

Jam III : Maintenance + Operasi = 98 + 348 = 446

Kebutuhan cairan selama operasi 740 + 740 + 446 = 1656 ml

Cairan yang diberikan selama anestesi RL jumlah 1500 cc, HES 6%

jumlah 500 cc

Cairan yang keluar selama operasi

- Urin ± 700 ml

- Perdarahan 500 cc

- Total jumlah cairan keluar 1200 ml

Page 7: Isi Lapsus Anestesi - 2

7    

Tabel 1. Pemantauan Tanda-Tanda Vital Selama Operasi

Sistol Diastol Nadi MAP 08.30 150 87 98 108 08.45 122 88 80 99 09.00 98 62 72 74 09.15 96 58 69 70 09.30 98 60 69 72 09.45 94 54 63 70 10.00 94 49 63 64 10.15 96 48 61 64 10.30 98 53 59 68 10.45 101 56 60 71 11.00 113 63 65 79 11.15 108 64 65 78 11.30 114 68 60 83

o Lain-lain :

§ Inj. Furosemide 20 mg

§ Inj. Ondancentron 8 mg

§ Inj. Ketorolac 30 mg

§ Inj. Asam Tranexamat 1 g

§ Inj. Neostigmin 1,5 mg + Atropine 0.5 mg (3 : 2)

g. Recovery Room (Aldrette Score)

Kesadaran : 1 (bangun cepat namun kembali tertidur)

Pernafasan : 2 (dapat nafas dalam, batuk)

0  20  40  60  80  100  120  

MAP  (Mean  Arterial  Pressure)  

MAP  

Page 8: Isi Lapsus Anestesi - 2

8    

Tekanan darah : 1 (TD berubah 20 - 50%)

Aktivitas : 2 (4 ekstremitas dapat digerakkan)

Warna kulit/SpO2 : 2 (merah muda (pink), tanpa O2, SaO2 > 92%)

TOTAL : 8

h. Tindak Lanjut

o Observasi tanda-tanda vital post operasi

o O2 nasal kanul 3 LPM

o Ketorolac 3x30 mg (iv)

o Ondansentron 2x4 mg (iv)

o Diet bertahap

Page 9: Isi Lapsus Anestesi - 2

9    

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Teknik anestesi harus disesuaikan apabila terdapat peningkatan tekanan

intrakranial (hipertensi intrakranial) dan perfusi marginal serebral. Sebagai

tambahannya, banyak ahli bedah saraf membutuhkan posisi pasien (mis, duduk,

tengkurap) yang dapat menimbulkan komplikasi dalam prosedur anestesi.

III.1. Hipertensi Intrakranial

Hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan intrakranial

diatas 15 mmHg. Hipertensi intrakranial dapat disebabkan oleh bertambahnya massa

jaringan atau cairan, penekanan pada fraktur tulang kepala, intervensi pada absorpsi

cairan serebrospinal (CSS), volume darah serebral yang sangat banyak, atau edema

otak. Peningkatan tekanan darah arterial periodik dengan penurunan refleks denyut

jantung (respon Cushing) berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial yang

berlangsung selama 1 – 15 menit.

Tatalaksana hipertensi intrakranial secara ideal harus ditujukan pada penyebab

utamanya. Gangguan metabolik dikoreksi, dan prosedur pembedahan dilakukan apabila

pasien memang sanggup. Edema vasogenik (yang sering berhubungan dengan adanya

tumor) dapat memberikan respon terhadap kortikosteroid (dexamethasone). Tanpa

memperhatikan penyebab, pengaturan cairan, agen osmotik, dan loop diuretic biasanya

efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial dan edema otak. Diuretik menurunkan

tekanan intrakranial dengan membindahkan cairan intraselular dari jaringan otak

normal. Hiperventilasi moderat (PaCO2 30-33 mmHG) dapat membantu menurunkan

aliran darah otak dan tekanan intrakranial secara akut.

Manitol dengan dosis 0.25-0.5 g/kg, efektif untuk menurunkan cairan dan

tekanan intrakranial secara cepat. Osmolalitas serum sebesar 300-315mOsm/L adalah

tujuan utamanya. Manitol dapat secara perlahan meurunkan tekanan dengan efek

vasodilatasinya walaupun lemah. Penggunaan loop diuretic (furosemide) memiliki efek

yang kurang maksimal dibandingkan dengan manito, membutuhkan sekitar 30 menit,

namun dapat memberikan keuntungan tambahan untuk menurunkan produksi CSS.

Page 10: Isi Lapsus Anestesi - 2

10    

Kombinasi penggunaan manitol dan furosemid dapat berlangsung sinergis namun harus

selalu dipantau konsentrasi potasium serumnya.

III.2. Anestesi dan kraniotomi pada pasien dengan lesi massa

III.2.1. Manajemen Preoperatif

Evaluasi preoperatif pada pasien yang menjalani karniotomi dibutuhkan untuk

menentukan ada tidaknya hipertensi intrakranial. CT scan dan MRI harus membuktikan

kehadiran edema otak, pergeseran garis tengah lebih dari 0.5 cm dan kompresi

ventrikel. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai ada tidaknya defisit sensorik

dan motorik serta status mental pasien. Pengobatan pasien seperti kortikosteroid,

diuretik, dan terapi antikonvulsan perlu diketahui. Hasil laboratorium perlu

menyingkirkan hiperglikemia terinduksi kortikosteroid, gangguan elektrolit akibat

penggunaan diuretik, atau sekresi abnormal hormon antidiuretik.

Premedikasi

Obat-obatan sedatif atau opioid sebaikanya dihindari bila dicurigai adanya

hipertensi intrkranial. Hiperkapnia akibat depresi napas dapat pula meningkatkan

tekanan intrakranial. Kortikosteroid dan terapi antikonvulsan sebaiknya dilanjutkan

hingga waktunya pembedahan.

III.2.2. Manajemen Intraoperatif

Monitoring

Selain monitoring standar, perlu juga tambahan monitoring tekanan intraarterial

dan kateter urin selama pasien menjalani kraniotomi. Perubahan cepat pada tekanan

darah selama prosedur anestesi, posistioning, dan manipulasi pembedahan sebaiknya

dilakukan dengan tuntunan dari monitoring tekanan darah. Selain itu, analisis gas darah

arteri diperlukan untuk mengatur PaCO2. Banyak ahli anestesi neuro me-nol-kan

transducer tekanan arteri setingkat kepala (meatus auditorius eksterna) – daripada

atrium kanan – untuk memfasilitasi kalkulasi tekanan perfusi serebral. Akses vena

sentral dan montiroing tekanan perlu dipertimbangkan apabila pasien membutuhkan

obat-obatan vasoaktif. Kateter urin diberlukan karena penggunaan diuretik, durasi

pembedahan yang cukup lama, dan fungsinya sebagai penunjuk terapi cairan. Fungsi

Page 11: Isi Lapsus Anestesi - 2

11    

neuromuskular perlu diamati pada sisi yang tidak terkena hemiparese karena respon

berkedut/tersentak biasanya resisten pada sisi yang terkena. Monitoring visual evoked

potensial juga dapat membantu dalam pencegahan kerusakan nervus optik selama

reseksi tumor hipotalamus.

Alat ventrikular, intraparenkimal, dan subdural dapat dipasang oleh ahli bedah

saraf untuk mengukur tekanan intrakranial. Tranducernya harus di-nol-kan sama

dengan tranducer untuk tekanan arteri. Kateter ventikulostomi dapat memantu

pengeluaran cairan serebrospinal untuk menurunkan tekanan intrakranial.

Induksi

Induksi anestesi dan intubasi trakea merupakan periode kritis pada pasien

dengan tekanan intrakranial yang meningkat. Tekanan intrakranial dapat diperbaiki

dengan diuretik osmotik, dexamethasone, atau pengeluaran CSS dalam volume yang

kecil melalui ventriculostomy drain. Tujuan dari teknik apapun adalah memberikan

induksi anestesi dan mengintubasi trakea tanpa meningkatkan TIK. Hipertensi yang

berkelanjutan dapat meningkatkan TIK, dan berisiko herniasi.

Teknik induksi yang paling sering digunakan adalah dengan propofol yang

disertai hiperventilasi untuk menurunkan TIK dan menumpulkan efek merugikan pada

laringoskopi dan intubasi. Pasien yang kooperatif dapat diminta untuk hiperventilasi

sebelum periode preoksigenasi. Semua pasien menerima ventilasi terkontrol setelah

propofol diinjeksikan. Penghambat neuromuskular diberikan untuk memfasilitasi

ventilasi dan mencegah ejanan atau batuk, dimana keduanya dapat secara tiba-tiba

meningkatkan TIK. Opioid intravena yang diberikan bersama dengan propofol dapat

menumpulkan respon simpatetik, terutama pada pasien muda. Esmolol, 0.5-1.0 mcg/kg

efektif dalam mencegah takikardi yang berhubungan dengan intubasi.

Teknik induksi saat ini dapat bervariasi tergantung respon individual pasien dan

penyakit yang menyertai. Succinylcholine secara teori dapat meningkatkan TIK,

terutama bila intubasi dilakukan sebelum anestesi dalam tercapai. Walaupun begitu,

succinylcholine merupakan obat pilihan untuk induksi cepat atau adanya kekhawatiran

penyulit pada jalan napas.

Hipertensi dalam induksi dapat diatasi dengan β1-blocker atau memperdalam

anestesi dengan tambahan propofol. Konsentrasi rendah pada agen inhalasi (mis,

Page 12: Isi Lapsus Anestesi - 2

12    

sevoflurane) dapat juga digunakan. Sevoflurane dapat membantu dalam pengaturan

aliran darah otak dan vasodilatasi, ini merupakan agen inhalasi yang disarankan pada

pasien dengan TIK meningkat.

Positioning

Kraniotomi frontal, temporal, dan preoksipital dilakukan dalam posisi supinasi.

Kepala dielevasikan sebanyak 15-30o untuk memfasilitasi drainase CSS. Kepala juga

dapat dimiringkan ke salah satu sisi untuk keperluan pembedahan. Fleksi atau rotasi

berlebihan pada leher dapat menghalangi drainage vena jugular dan dapat meningkatkan

TIK. Sebelum dan setelah positioning, ET harus selalu diperiksa dan diamankan. Dan

sirkuit pernapasan harus terpasang dengan baik. Risiko terlepasnya sirkuit napas dapat

meningkat karena jalan napas pasien tidak mudah diakses setelah prosedur bedah akan

dimulai.

Gambar 1. Posisi elevasi yang dapat digunakan dalam kraniotomi

Page 13: Isi Lapsus Anestesi - 2

13    

Gambar 2. Posisi duduk pada kraniotomi

Pemeliharaan Anestesi

Anestesi dapat dipelihara dengan anestesi inhalasi, total intravenous anesthesia

techniques (TIVA), atau kombinasi opioid dan hipnotik intravena (biasanya propofol)

dan agen inhalasi dosis rendah. Walaupun preiode stimulasi hanya sedikit, penghambat

neuromuskular disarankan – kecuali terdapat kontraindikasi – untuk mencegah pasien

mengejan, melawan, atau bergerak. Kebutuhan penambahan agen anestesi diperkirakan

terjadi selama intubasi, insisi kulit, pembukaan dural, manipulasi periosteal, termasuk

penempatak Mayfied pin dan penutupan. TIVA dengan ramifentanil dan propofol

memfasilitasi penilaian kedaruratan dan status neurologis pasien.

Hiperventilasi sebaiknya tetap dilakukan selama intraopertaif untuk

mempertahankan PaCO2 pada kisaran 30-35 mmHg. Penurunan tekanan PaCO2

berhubungan dengan iskemia serebri dan disosiasi oksigen yang terganggu pada

hemoglobin. Penggunaan ventilasi tekanan positif dengan volume tidal yang tinggi,

waktu inspirasi yang lebih panjang, dan peningkatan Positive End Expiratory Pressure

(PEEP) akan mengurangi aliran balik vena sehingga dapat membantu mempertahankan

tekanan darah. Akan tetapi peningkatan volume tidal pada pemberian ventilasi mekanik

juga akan meningkatkan ruang rugi dan meningkatkan tekanan intratoraks sehingga

Page 14: Isi Lapsus Anestesi - 2

14    

akan mengurangi aliran darah balik otak yang akhirnya menyebabkan peninggian

tekanan intrakranial.

Penggantian cairan intravena harus dibatasi dengan kristaloid bebas glukosa atau

solusi koloid. Hiperglikemia sering terjadi pada pasien bedah saraf (efek kortikosteroid)

dan dapat menyebabkan cedera otak iskemik. Solusi koloid dapat dipergunakan untuk

mengembalikan defisit volume intravaskular, dimana solusi kristaloid isotonik

digunakan untuk mempertahankan kebutuhan cairan. Prosedur pembedahan saraf

seringkali berhubungan dengan kehilangan darah secara tersembunyi dibawah kain atau

di lantai.

Emergence

Pasien yang menjalani kraniotomi elektif dapat dilakukan ekstubasi pada akhir

prosedur pembedahan, selama fungsi neurologis intak. Pasien yang tetap diintubasi

sebaiknya ditidurkan untuk menghindari agitasi. Ekstubasi dalam ruang operasi

membutuhkan kemampuan khusus selama mengeluarkannya. Ejanan atau lawanan pada

ET dapat memicu hemoragik intrakranial atau memperburuk edema serebral. Pada saat

kulit sedang ditutup, pasien sebaiknya sudah bernapas secara spontan. Setelah kepala

selesai dibebat dan akses penuh pada pasien telah kembali (meja dikembalikan ke posisi

awal saat induksi), semua gas anestesi diberhentikan dan penghambat neuromuskular

dikembalikan (reversed). Proses membangunkan pasien dengan cepat dapat membantu

untuk penilaian status neurologis pasien dan biasanya terjadi bila proses anestesi

berjalan dengan baik. Bila dosis opioid atau agen sedatif berlebihan maka akan terjadi

proses membangunkan pasien yang lebih lama. Reeksplorasi segera perlu dilakukan.

Kebanyakan pasien dibawa ke ICU postoperatif untuk monitoring neurologis lebih

ketat.

Page 15: Isi Lapsus Anestesi - 2

15    

BAB IV

PEMBAHASAN

Perempuan usia 44 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalankan operasi

kraniotomi pada tanggal 16 September 2015 dengan diagnosis pre operatif yaitu SOL.

Rencana pre-operatif adalah dengan pemberian maintenance cairan sesuai berat badan

serta dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi yang bertujuan untuk memperkecil

kemungkinan adanya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah saat dilakukan

anestesi.

Pada operasi untuk pasien ini, metode anestesi yang dipilih adalah anestesi umum

dengan intubasi trakea. Tujuan dari teknik ini adalah memberikan induksi anestesi dan

mengintubasi trakea tanpa meningkatkan TIK. Teknik induksi yang digunakan adalah

dengan propofol yang disertai hiperventilasi untuk menurunkan TIK dan menumpulkan

efek merugikan pada laringoskopi dan intubasi. Pasien ini menerima ventilasi terkontrol

setelah propofol diinjeksikan. Penghambat neuromuskular (attracurium) diberikan untuk

memfasilitasi ventilasi dan mencegah ejanan atau batuk, dimana keduanya dapat secara

tiba-tiba meningkatkan TIK. Lalu diberikan inhalasi gas anestesi untuk

mempertahankan prosedur anestesi selama operasi kraniotomi berlangsung. Gas

anestesi yang digunakan adalah sevoflurani yang bekerja memblok ganglion simpatik

menyebabkan hambatan ganglion otonom melalui mekanisme inhibisi kompetitif

asetilkolin. Sevoflurane juga dapat membantu dalam pengaturan aliran darah otak dan

vasodilatasi.

Setelah induksi maka dilakukan pengaturan posisi pembedahan dimana kepala

dielevasikan sebanyak 15-30o untuk memfasilitasi drainase CSS. Kepala juga

dimiringkan ke salah satu sisi untuk keperluan pembedahan kraniotomi. Sebelum dan

setelah positioning, ET diperiksa dan diamankan. Dan sirkuit pernapasan dipastikan

terpasang dengan baik.

Setelah prosedur selesai, gas anestesi sevofluran diturunkan perlahan agar pasien

mudah dibangunkan. Setelah itu lakukan bagging untuk memancing pasien agar dapat

bernafas normal. Jika pasien sudah dapat bernapas normal dilakukan ekstubasi lalu

disungkup hingga pasien sadar dan dapat membuka mata.

Page 16: Isi Lapsus Anestesi - 2

16    

BAB V

KESIMPULAN

Pada operasi kraniotomi, teknik anestesi yang dipilih seharusnya dapat

mengendalikan tekanan intrakranial dalam tingkat yang normal. Teknik anestesi disertai

dengan pengaturan posisi agar kepala dielevasikan 15-30o.Metode anestesi yang dipilih

adalah anestesi umum dengan intubasi trakea. Tujuan dari teknik ini adalah memberikan

induksi anestesi dan mengintubasi trakea tanpa meningkatkan TIK. Teknik induksi yang

digunakan adalah dengan propofol yang disertai hiperventilasi untuk menurunkan TIK

dan menumpulkan efek merugikan pada laringoskopi dan intubasi. Pasien ini menerima

ventilasi terkontrol setelah propofol diinjeksikan. Penghambat neuromuskular

(attracurium) diberikan untuk memfasilitasi ventilasi dan mencegah ejanan atau batuk,

dimana keduanya dapat secara tiba-tiba meningkatkan TIK. Lalu diberikan inhalasi gas

anestesi untuk mempertahankan prosedur anestesi selama operasi kraniotomi

berlangsung. Selama prosedur anestesi, dilakukan monitoring pada tekanan intrakranial,

tekanan darah, serta repirasi. Setelah prosedur selesai, gas anestesi sevofluran

diturunkan perlahan agar pasien mudah dibangunkan. Setelah itu lakukan bagging untuk

memancing pasien agar dapat bernafas normal. Jika pasien sudah dapat bernapas normal

dilakukan ekstubasi lalu disungkup hingga pasien sadar dan dapat membuka mata.