Post on 30-Nov-2015
B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan
perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi
empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4)
formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi
dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process
by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean
changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference
made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman
sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif,
mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan
kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.
C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.
Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk
kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-
kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang
diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu.
Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi
individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2)
pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7)
perlakuan dan (8) umpan balik.
D. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan
dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler,
ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
5
Jenis Teori PembelajaranOPINI | 06 April 2011 | 05:47 529 5 Nihil
Dalam kegiatan pembelajaran dikenal berbagai teori-teori pembelajaran. Setiap teori yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran pasti terdapat sisi positif dan sisi negatif. Berikut
merupakan beberapa macam dari teori pembelajaran, diantaranya adalah :
Teori Pembelajaran kognitif. Salah satu teori yang berpengaruh terhadap praktik belajar
adalah aliran psikologi kognitif. Berrdasarkan teori ini belajar merupakan sebuah proses
mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, serta menggunakan pengetahuan. Jadi perilaku
yang terlihat pada individu tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental
seperti motivasi, kesengajaan dan keyakinan.
Teori Pembelajaran Konstruktivisme, merupakan yang menjelaskan bahwa siswa
mampu aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan
kematangan kognitif yang dimiliki oleh siswa. Teori ini lebih menekankan pada sejauh
mana keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, karena anak bukan lagi sebagai
objek pembelajaran melainkan sebagai subjek dalam pembelajaran. Oleh karena itu,
anak bukanlah tempat atau wadah untuk menampung ilmu, seperti sebuah ember yang
digunakan untuk menampung air.
Teori Pembelajaran Humanisme, teori ini muncul sebagai bentuk ketidaksetujuan pada dua
pandangan sebelumnya, yaitu pandangan psikoanalisis dan behavioristik dalam menjelaskan
tingkah laku manusia. Dalam teori ini siswa harus mempunyai kemampuan untuk
mengarahkan sendiri perilakunya dalam proses belajar, apa yang dipelajari, sampai tingkatan
mana, kapan dan bagaimana mereka belajar. Ide pokoknya yaitu bagaimana siswa belajar
mengarahkan dirinya sendiri sekaligus memotivasi diri dalam belajar daripada sekedar
menjadi penerima yang pasif. Pada teori ini guru hanya sebagai fasilitator saja, guru hanya
memberikan sedikit rangsang selebihnya anak yang mengembangkan.
Teori Pembelajaran menurut Piaget
Dalam teorinya Piaget membagi menjadi beberapa tahapan , yaitu : pertama, tahap
sensorimotor. Terjadi pada anak usia 0 -2 tahun. Yaitu tahapan dimana anak mulai belajar
dan mengendalikan lingkungan menggunakan panca indera. Kedua, tahap pre oporational
yang terjadi pada anak usia 2-7 tahun. Anak telah mampu untuk berrpikirr sebelum bertindak
namun belum sampai pada tingkat berpikir logis. Tindakannya cenderung bersifat egosentris,
maka anak sukar untuk menerima pandanngan orang lain. Selain itu anak juga belum mampu
untuk berpikir secara abstrak. Ketiga, tahap concrete, terjadi pada anak usia 7-11 tahun. Pada
tahap ini anak masih belum mampu untuk berpikir secara abstrak, kebanyakan dari mereka
masih mampu berpikir secara konkrit. Namun anak telah mampu untuk melakukan observasi,
menilai serta mengevaluasi. Keempat, tahap formal operations yang tejadi pada anka usia 11
tahun ke atas. Pada tahap ini kemampuan anak telah sampai pada berpikir secara logis dan
abstrak. Anak telah mampu untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi
berdasarkan kemampuan analisis dan logis. Sehingga tahap formal operations sangat
dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
Dalam teori pembelajaran konstruktivisme dan humanisme, anak sama-sama dituntut agar
mampu mengembangakan dirinya sendiri, guru hanya memberikan sedikit stimulus kepada
anak. Perbandingan antara teori pembelajaran konstruktivisme dan humanisme. Pada teori
konstriktivisme lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran, baik
secara fisik, mental dan emosional. Penerapan teori ini cocok digunakan pada materi yang
berhubungan langsung pada proses berpikir secara abstrak, misalnya matematika. Sedangkan
pada teori humanisme, siswa benar-benar diajak dan dituntut untuk mengembangkan diri
dalam kegiatan pembelajaran. Dapat dikatakan dengan “mereka butuh, mereka yang
mencari”. Jadi dalam teori ini guru hanya sebagai fasilitator saja. Pembelajaran berdasarkan
pada teori humanisme cocok diterapkan pada materi yang sifatnya mampu membentuk
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
15
A. Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan
pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan dalam
pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang
memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih
dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan
mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses
saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran
terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya
secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya
yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor
ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten
atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan
pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori
kognitif juga. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui
gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut
teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari
kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan
kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Asimilasi adalah
penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali
struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai
tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental
yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau
memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996:
7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya dalah siswa harus
memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat. Menurut C. Asri
Budiningsih menjelaskan bahwa ada dua macam proses adapatasi yaitu adaptasi bersifat
autoplastis, yaitu proses penyesuaian diri dengan cara mengubah diri sesuai suasana
lingkungan, lalu adaptasi yang bersifat aloplastis yaitu adaptasi dengan mengubah situasi
lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan
konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)
mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu
yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal
mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari
luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah
sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Belajar
merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema sehingga pengetahuan terkait
bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998:
5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern
atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan
mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui
tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap
manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-
tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut
dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan
tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul
(akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999:
62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis
Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada
lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori
belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2)
kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan
selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru
hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
B. Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa
harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil
yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam
teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan
antara gagasandalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara
gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama
dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat
diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki
anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan
lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang
lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang
lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide
yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3)
strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan
saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya
sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang
telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
(6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Selain itu Slavin menyebutkan strategi-
strategi belajar pada teori kontruktivisme adalah top-down processing( siswa belajar dimulai
dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan ketrampilan yang
dibutuhkan, cooperative learning(strategi yang digunakan untuk proses belajar, agar siswa
lebih mudah dalam menghadapi problem yang dihadapi dan generative learning(strategi yang
menekankan pada integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh
dengan skemata.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat
sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam
lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan
memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu
pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan
teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa
sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar
siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan
pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran
dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari,
dan juga penerapan konsep.
3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam
berbagai konteks sosial.
4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh
karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur
kegiatan belajarnya.
5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses
dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana
siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti
seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong
menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu
lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru
memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang
konsep
Kesimpulan
Jadi teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau pandangan yang sangat
terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental
Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan
teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun
dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah
sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik
yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori
belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan
dan dilakukan oleh guru.
11,12,13
BAB 12
TEORI PEMBELAJARAN
PEMBELAJARAN MENURUT ALIRAN KOGNITIF
1. Jean Piaget
Piaget mengemukakan 3 prinsip pembelajaran yaitu:
- Belajar aktif=> Menciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan siswa belajar
sendiri.
- Belajar lewat interaksi sosial=> Menciptakan suasana yang memungkinkan adanya
interaksi antar siswa.
- Belajar lewat pengalaman sendiri=> Didasarkan pada pengalaman nyata.
2. JA Brunner
Menurut Brunner dalam pengajaran di sekolah hendaknya mencakup:
- Pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar.
Pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik agar memperoleh pengalaman
optimal dalam proses belajar dan meningkatkan kemauan belajar.
- Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal.
Pembelajaran hendaknya dapat memberikan struktur yang jelas dari suatu pengetahuan
yang dipelajari anak-anak.
- Perincian urutan penyajian materi pelajaran.
Pendekatan pembelajaran dilakukan dengan peserta didik dibimbing melalui urutan
masalah, sekumpulan materi pelajaran yang logis dan sistematis untuk meningkatkan
kemampuan dalam menerima, mengubah, dan menstranfer apa yang telah dipelajari.
- Cara pemberian penguatan
Pujian atau hukuman perlu dipikirkan cara penggunaannya dalam proses belajar
mengajar.
3. David Ausubel
Ausubel mengemukakan teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna
adalah proses mengkaitkan informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan
terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Belajar bermakna timbul apabila: - Materi yang akan dipelajari bermakna secara potensial.
- Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar
bermakna.
Ausubel mengajukan empat prinsip pembelajaran, yaitu:
- Kerangka cantolan=> pendidik menggunakan bahan pengait untuk mengkaitkan konsep
lama dengan konsep baru.
- Diferensiasi progresif=> proses pembelajaran dimulai dari hal umum ke hal khusus.
- Belajar superordinat=> proses struktur kognitif yang mengalami pertumbuhan ke arah
deferensiasi.
- Penyesuaian integratif=> Materi pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga pendidik
dapat menggunakan hierarki-hierarki konseptual ke atas
dan ke bawah selama informasi disajikan.
Sumber: Rifai, Achmad dan Tri Anni, Catharina. 2009. Psikologi Pendidikan. Semarang:
Unnes Press
BAB 13
PEMBELAJARAN KONTRUKTIVISME DAN KONTEKSTUAL
PEMBELAJARAN KONTRUKTIVISME
Kontruktivisme merupakan teori psikologi tentang pengetahuan yang menyatakan bahwa
manusia membangun dan memaknai pengetahuan dari pengalamannya sendiri. Esensi
pembelajaran kontruktivistik adalah peserta didik secara individu menemukan dan mentranfer
informasi yang kompleks apabila menghendaki informasi itu menjadi miliknya. Pembelajaran
kontruktivistik memandang bahwa peserta didik secara terus-menerus memeriksa informasi
baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika
tidak sesuai lagi.
Untuk mendorong agar peserta didik terlibat aktif dalam kegiatan belajar, maka:
- Suasana lingkungan belajar harus demokratis.
- Kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif dan berpusat pada peserta didik.
- Pendidik mendorong peserta didik agar belajar mandiri dan bertanggungjawab atas kegiatan
belajarnya.
Asumsi dalam pembelajaran kontruktivistik:
1. Mengenai peserta didik
- Peserta didik adalah individu yang bersifat unik. Mereka memiliki latar belakang dan
kebutuhan yang unik pula.
- Kontruktivisme sosial mendorong peserta didik menghadirkan versi kebenarannya
sendiri, hal ini karena dipengaruhi oleh latar belakang, kebudayaan atau pandangan
tentang dunianya sendiri.
- Peserta didik perlu didorong untuk memiliki tanggung jawab belajarnya sendiri.
- Motivasi belajar peserta didik tergantung pada keyakinan peserta didik terhadap potensi
belajarnya.
2. Mengenai pendidik
- Pendidik harus menyesuaikan diri dengan peran sebagai fasilitator dan bukan sebagai
pendidik.
- Tugas fasilitator adalah membantu peserta didik memperoleh pemahaman tentang isi
pembelajaran.
- Karena pendidik sebagai fasilitator, maka peserta didik yang berperan aktif dalam
pembelajaran.
3. Mengenai proses belajar
- Belajar merupakan proses aktif di mana peserta didik belajar menemukan prinsip, konsep
dan fakta untuk dirinya sendiri.
- Tercipta interaksi yang dinamik antara tugas-pendidik-peserta didik.
4. Mengenai kolaborasi peserta didik
- Peserta didik dengan perbedaan keterampilan dan latar belakangnya, hendaknya
berkolaborasi dalam melaksanakan tugas dan diskusi dalam rangka memperoleh
pemahaman tentang kebenaran.
- Konteks merupakan pusat belajar. Pengetahuan yang tidak sesuai konteks tidak
memberikan ketrampilan kepada peserta didik untuk menerapkan pemahamannya pada
tugas-tugas yang bersifat autentik.
5. Mengenai asesmen
- Holt dan Willard-Holt menekankan konsep asesmen dinamik, yaitu cara menilai peserta
didik yang berbeda dari penilaian konvensional. Belajar interaktif diperluas dengan
proses asesmen.
- Pendidik hendaknya memandang asesmen sebagai proses interaksi dan kontinyu untuk
mengukur prestasi belajar dan kualitas pengalaman belajar. Balikan yang dibuat melalui
proses asesmen itu digunakan sebagai dasar pengembangan kegiatan berikutnya.
6. Mengenai pemilihan, cakupan dan urutan materi pelajaran
- Pengetahuan dipandang sebagai keseluruhan yang terpadu.
- Agar peserta didik benar-benar terlibat dalam proses pembelajaran, maka tugas dan
lingkungan belajarnya hendaknya merefleksikan kompleksitas lingkungan, sehingga
peserta didik mampu memfungsikan diri sampai akhir kegiatan belajar.
- Semakin terstruktur lingkungan belajar, semakin tidak mampu peserta didik membangun
makna berdasarkan pemahaman konseptualnya. Fasilitator hendaknya menstrukturkan
pengalaman belajar cukup untuk memastikan bahwa peserta didik memperoleh
bimbingan yang jelas sehingga mampu mencapai tujuan belajar.
Pendekatan pembelajaran kontruktivistik menekankan pembelajaran dari atas ke bawah (top-
down intruction). Peserta didik mulai memecahkan masalah yang kompleks kemudian
menemukan keterampilan dasar yang diperlukan.
Pembelajaran yang memakai prinsip kontruktivisme adalah:
1. Diskaveri (discovery learning)
Dikembangkan oleh Jerome Brunner. Dalam pembelajaran diskaveri, pembelajaran harus
mampu mendorong peserta didik untuk mempelajari apa yang telah dimiliki. Keuntungan
pembelajaran ini adalah:
- Mampu memunculkan hasrat ingin tahu peserta didik dan memotivasi peserta didik untuk
bekerja keras sampai menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul.
- Peserta didik belajar keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah karena
mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi.
2. Penangkapan (reception learning)
Dikembangkan oleh David Ausubel. Dalam pembelajaran penangkapan, peserta didik tidak
mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dirinya sendiri, sehingga mereka
memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif dalam mempelajari apa
yang diajarkan di sekolah. Inti pendekatan belajar penangkapan adalah pengajaran
ekspositori, yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh pendidik mengenai
informasi yang bermakna (meaningful information). Pembelajaran ekspositori ini terdiri
atas tiga tahap, yaitu:
- Penyajian Advance organizer
Merupakan pernyataan umum yang memperkenalkan bagian-bagian utama yang
tercakup dalam urutan pengajaran.
- Penyajian materi atau tugas belajar
Merupakan penyajian materi pembelajaran baru dengan metode ceramah, diskusi, film
atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada peserta didik.
- Memperkuat organisasi kognitif
Caranya dengan mengkaitkan informasi baru ke dalam struktur yang telah direncanakan
di dalam permulaan pelajaran, dengan cara mengingatkan peserta didik bahwa rincian
yang bersifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum.
3. Belajar terbimbing (scaffolding)
Dikembangkan oleh Vgotsky. Scaffolding merupakan strategi pembelajaran yang berkaitan
dengan dukungan kepada peserta didik dengan cara membatasi kompleksitas konteks dan
secara perlahan-lahan mengurangi batas-batas tersebut karena peserta didik telah
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengatasi
kompleksitas konteks tersebut.
16
Teori Konstruktivisme Teori Konstruktivisme
Muhammad Faiq Dzaki
Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat
kmenerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah,
menemukan sesuatu bagi diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas
pendidikan tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak
siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna
tertanam kuat dalam benak siswa.
Teori yang dikenal dengan constructivist theories of lerning menyatakan bahwa siswa harus
menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru
dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu apabila tidak lagi sesuai. Hakekat
dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya
sendiri (Nur dan Retno,2000:2).
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down daripada
bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan
dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-
keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional yang mana
keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan-
keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 1997 dalam Nur dan Retno,2000:7). Sehingga
dapat dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah membantu
siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan
ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.
Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu konsep kunci dari teori belajar konstruktivis adalah
pembelajaran dengan pengaturan diri (self regulated learning) yaitu seseorang yang memiliki
pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan
pengetahuan itu (Nur dan Retno, 2000:12). Jadi apabila siswa memiliki strategi belajar yang
efektif dan motivasi serta tekun menerapkan strategi itu sampai pekerjaan terselesaikan maka
kemungkinan mereka adalah pelajar yang efektif.
Salah satu pendekatan dalam pengajaran konstruktivis yang sangat berpengaruh dari Jerome
Bruner adalah belajar penemuan dimana siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui
partisipasi aktif mereka sendiri dengan konsep dan prinsip dimana guru mendorong siswa
untuk memiliki pengalaman serta dapat melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka
menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. (Nur dan Wikandari,2000:10)
Pendekatan yang lain dalam pengajaran dan pembelajaran yang juga berlandaskan pada teori
konstruktivis adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and
learning). Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang
membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja (U.S.
Department of Education and the National School-to-Work Office yang dikutip oleh
Blanchard, 2001 dalam Nur,2001a:1).
Pada dasarnya CTL juga menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. PBM lebih diwarnai student centred
daripada teacher centered. Sebagaian besar waktu PBM berlangsung dengan berbasis pada
aktivitas siswa. Inquiry-Based Learning dan Problem-Based Learning disebut sebagai strategi
CTL yang diwarnai student centered dan aktivitas siswa (University of Washington,2001
dalam Nur,2001a:7)
Pustaka:
Nur, M. dan Wikandari P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan
Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya University Press.
Nur, M. 2001a. “Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual”. Makalah disajikan pada
Pelatihan TOT guru mata pelajaran SLTP dan MTs dari enam propinsi, di Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Wilayah IV Surabaya.
CTL, pembelajaran kontekstual, konstruktivisme
8
Pada asasnya, teori-teori pembelajaran masa kini boleh diklasifikasikan kepada empat
mazhab yang utama, iaitu, behavioris, kognitif, sosial dan humanis.
Teori Kognitif
Mazhab kognitif pula berpendapat bahawa pembelajaran ialah suatu proses dalaman yang
berlaku dalam akal fikiran, dan tidak dapat diperhatikan secara langsung daripada tingkah
laku. Ahli-ahli psikologi kognitif seperti Bruner dan Piaget menumpukan kajian kepada
pelbagai jenis pembelajaran dalam proses penyelesaian masalah dan celik akal mengikut
pelbagai peringkat umur dan kebolehan pelajar. Teori-teori pembelajaran mereka adalah
bertumpu kepada cara pembelajaran seperti pemikiran celik akal, kaedah penyelesaian
masalah, penemuan dan pengkategorian. Menurut teori ini, manusia memiliki struktur
kognitif, dan semasa proses pembelajaran, otak akan menyusun segala maklumat di dalam
ingatan.
Rabu, 13 April 2011
Teori Belajar Menurut Aliran Kognitivisme 13:08 Banyu Bening
Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang
dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan
kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda
dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan belajar
bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan
belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar.
Oleh karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif
untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang
tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental
seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin &
Wahyuni, 2007: 88).
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan
behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya,
menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah
teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta
seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran
behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental,
bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat
behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah,
seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan
perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan
menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena
yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang
ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah,
1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan,
yakni belajar. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka
aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses pembelajaran
juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan
berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan
apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia
berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan,
merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt,
teori medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori
penemuan Bruner dan teori kognitif Bandura.
1) Teori Gestalt
Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-
tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh
gestalt ini belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang
menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat
mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan
pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa
bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah
makhluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia bereaksi
dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur
subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin &
Wahyuni, 2007: 88).
Menurut teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan,
pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan
antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik
yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis sehingga mengabaikan
atau mengingkari pernanan insight, teori gestalt justru menganggap bahwa insight adalah
inti dari pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum
yang terkenal dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz ini lebih kurang
berarti teratur, seimbang, dan harmonis. Belajar adalah mencari dan mendapatkan
pragnanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Untuk menemukan
pragnanz diperlukan adanya pemahaman (insight).
Menurut Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu:
(1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh
pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi,
(4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan pemahaman dapat
diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi lain
(Sukmadinata, 2007: 171).
2) Teori Medan (field theory)
Teori medan (field theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun
kognitif. Teori medan ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang
menekankan keseluruhan dan keterpaduan. Menurut teori medan, individu selalu berada
dalam suatu medan atau ruang hidup (life space), yang digambarkan oleh Kurt Lewin sebagai
berikut:
Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk
mencapainya selalu saja ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah
dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila
individu tersebut telah berhasil mencapai tujuan, maka masuk ke dalam medan atau lapangan
psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-hambatan baru pula.
Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan masuk ke dalam medan psikologis
berikutnya (Sukmadinata, 2007: 171).
Kaitannya dengan proses belajar, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa teori
medan menganggap belajar sebagai proses pemecahan masalah. Menurut Lewin
(Sanjaya, 2006: 120), beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah
dalam belajar adalah:
a) Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan
masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan
contoh adalah sebagai berikut:
Orang yang melihat sembilan buah titik tersebut sebagai sebuah bujur sangkar akan sangat
sulit memecahkan persoalan tersebut. Agar sembilan buah titik dapat dilewati dengan 4 buah
tarikan garis, maka harus mengubah struktur kognitif bahwa kesembilan buah titik itu bukan
sebuah bujur sangkar.
b) Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu
untuk berperilaku. Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar
(ektern).
3) Teori Perkembangan Piaget
Kaitannya dengan perkembangan kognitif, seorang pakar terkemuka dalam
disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap
yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses
berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi
juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan (http://www.e-psikologi.com). Keempat
tahapan itu adalah:
a) Tahap sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak mengalami dunianya melalui
gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi
sedikit mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan bena-
benda lain.
b) Tahap pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai memiliki kecakapan
motorik. Pada masa ini anak menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek.
Misalnya seorang anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi yang sat berada
dalam gelas panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan mengatakan bahwa
air di gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.
c) Tahap operasional konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak mulai berpikir secara logis
tentang kejadian-kejadian konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang sama
dalam kondisi yang berbeda.
d) Tahap operasional formal setelah usia 11 tahun. Pada masa ini anak mulai memasuki
dunia “kemungkinan” dari dunia yang sebenarnya atau anak mengalami
perkembangan penalaran abstrak (http://id.wikipedia.org).
Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda
dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai
dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang
memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22). Hal ini berarti
bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik. Artinya,
perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dari
perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks
susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap
individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi
pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses
pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya
untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006: 122).
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga
tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan
(pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak
peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi
yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi.
Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru, informasi tersebut akan
dimodifikasi sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut
asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan dengan informasi yang
diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin, 2002: 199).
Uraian tersebut di atas memberi sebuah pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget
tentang proses belajar seseorang adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan
tertentu sesuai dengan umurnya (Muhaimin, 2002: 200).
4) Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan
pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal,
belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari
diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur
kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).
Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika
seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima
dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini
berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini terdapat dua
komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada pada individu.
Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari
pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah
yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau
lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan
struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan. Substansial berarti bahan yang
dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada pada struktur kognitif.
Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata,
2007: 188)
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan
persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna
dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa
lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam
hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta didik tidak akan
mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh apabila peserta didik
tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar
(Muhaimin, 2002: 201).
Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan
belajar (advance organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam
bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang ada pada
struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila dirancang dengan baik, advance
organizers akan mempermudah peserta didik mempelajari isi pembelajaran karena
kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan dengan apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak
atau ringkasan mengenai apa yang dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan
dipelajari secara hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan
(Muhaimin, 2002: 202).
Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna,
yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).
5) Teori Penemuan Bruner
Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome
Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner
menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha
sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya,
menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26)
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka
memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Untuk
memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif di mana mereka harus
mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima penjelasan
dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah yang mendorong peserta didik
untuk melakukan kegiatan penemuan (Trianto, 2007b: 33).
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga berbicara
tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan
bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan
oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif, dimana individu melakukan
aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit, dimana individu
melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap simbolik,
dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan
logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan sistem simbol
(Muhaimin, 2002: 200).
Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu
menunggu sampai seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan
pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar meskipun umurnya
belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun asalkan materi pembelajaran disusun
berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan sesuai dengan karakteristik
perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan
dengan cara menata strategi pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari
dan tingkat perkembangannya (Muhaimin, 2002: 201).
6) Teori Kognitif Bandura
Albert Bandura mengatakan bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan
perilaku. Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh
pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip belajar menurut Bandura
adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda dengan situasi di
laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak memerlukan pengamatan tentang pola
perilaku beserta konsekuensinya pada situasi alami (Djaali, 2007: 93).
Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif
dan mengingat tingkah laku orang lain. Seorang belajar dengan mengamati tingkah laku
orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara
menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ulang
kembali. Melalui jalan pengulangan ini akan memberi kesempatan kepada orang tersebut
untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya (Trianto, 2007b: 31).
Bandura juga menyatakan bahwa perilaku seseorang dan lingkungan itu dapat
dimodifikasi. Buku tidak berpengaruh pada seseorang, kecuali ada orang yang menulisnya
dan orang yang memilih untuk membaca. Oleh karena itu, hadiah atau hukuman tidak akan
banyak bermakna, kecuali diikuti oleh lahirnya perilaku yang diharapkan. Diperolehnya
perilaku yang kompleks bukan hanya disebabkan oleh hubungan dua arah antara pribadi dan
lingkungan, melainkan hubungan tiga arah antara perilaku – lingkungan – peristiwa batiniah
(reciprocal determinism/ determinasi timbal balik). Contoh: seorang yang telah berlatih, akan
timbul perasaan percaya diri. Perilakunya menimbulkan reaksi baru, yang pada akhirnya
reaksi ini mempengaruhi kepercayaan dirinya yang kemudian menimbulkan perilaku
berikutnya dan dapat melukiskan perilaku yang baru itu, meskipun dia tidak melakukannya
(Djaali, 2007: 94).
Teori kognitivisme ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses
informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian
menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah
ada. Teori ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Karakteristik :
a) Belajar adalah proses mental bukan behavioral
b) Siswa aktif sebagai penyadur
c) Siswa belajar secara individu dengan pola deduktif dan induktif
d) Instrinsik motivation, sehingga tidak perlu stimulus
e) Siswa sebagai pelaku untuk menuntun penemuan
f) Guru memfasilitasi terjadinya proses insight
Implikasi teori kognitivisme dalam kegiatan pembelajaran lebih memusatkan
perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Selain
itu, peran siswa sangat diharapkan untuk berinisiatif dan terlibat secara aktif dalam kegiatan
belajar. Teori ini juga memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
per- kembangan. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di
dalam kelas yang terdiri dari individu – individu ke dalam bentuk kelompok – kelompok
kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal. Teori ini juga mengutamakan peran
siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan – gagasan tidak dapat
dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara
langsung, perkembangannya dapat disimulasi. Implikasi dalam konsep evaluasi bahwa
evaluasi dilakukan selama proses belajar bukan hanya semata dinilai dari hasil belajar. Jadi,
teori ini menitikberatkan pada proses daripada hasil yang dicapai oleh siswa.