Draft

43
B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation” Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:

Transcript of Draft

B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran

konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai

rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan

perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi

empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4)

formal operational.

Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi

dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process

by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean

changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference

made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap

perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk

melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman

sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan

rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif,

mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan

kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru

mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.

Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi

dengan teman-temanya.

C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat

penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.

Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk

kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam

pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-

kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang

diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu.

Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi

individu dalam proses pembelajaran.

Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2)

pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7)

perlakuan dan (8) umpan balik.

D. Teori Belajar Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau

konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan

dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler,

ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

5

Jenis Teori PembelajaranOPINI | 06 April 2011 | 05:47 529 5 Nihil

Dalam kegiatan pembelajaran dikenal berbagai teori-teori pembelajaran. Setiap teori yang

digunakan dalam kegiatan pembelajaran pasti terdapat sisi positif dan sisi negatif. Berikut

merupakan beberapa macam dari teori pembelajaran, diantaranya adalah :

Teori Pembelajaran kognitif. Salah satu teori yang berpengaruh terhadap praktik belajar

adalah aliran psikologi kognitif. Berrdasarkan teori ini belajar merupakan sebuah proses

mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, serta menggunakan pengetahuan. Jadi perilaku

yang terlihat pada individu tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental

seperti motivasi, kesengajaan dan keyakinan.

Teori Pembelajaran Konstruktivisme, merupakan yang menjelaskan bahwa siswa

mampu aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan

kematangan kognitif yang dimiliki oleh siswa. Teori ini lebih menekankan pada sejauh

mana keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, karena anak bukan lagi sebagai

objek pembelajaran melainkan sebagai subjek dalam pembelajaran. Oleh karena itu,

anak bukanlah tempat atau wadah untuk menampung ilmu, seperti sebuah ember yang

digunakan untuk menampung air.

Teori Pembelajaran Humanisme, teori ini muncul sebagai bentuk ketidaksetujuan pada dua

pandangan sebelumnya, yaitu pandangan psikoanalisis dan behavioristik dalam menjelaskan

tingkah laku manusia. Dalam teori ini siswa harus mempunyai kemampuan untuk

mengarahkan sendiri perilakunya dalam proses belajar, apa yang dipelajari, sampai tingkatan

mana, kapan dan bagaimana mereka belajar. Ide pokoknya yaitu bagaimana siswa belajar

mengarahkan dirinya sendiri sekaligus memotivasi diri dalam belajar daripada sekedar

menjadi penerima yang pasif. Pada teori ini guru hanya sebagai fasilitator saja, guru hanya

memberikan sedikit rangsang selebihnya anak yang mengembangkan.

Teori Pembelajaran menurut Piaget

Dalam teorinya Piaget membagi menjadi beberapa tahapan , yaitu : pertama, tahap

sensorimotor. Terjadi pada anak usia 0 -2 tahun. Yaitu tahapan dimana anak mulai belajar

dan mengendalikan lingkungan menggunakan panca indera. Kedua, tahap pre oporational

yang terjadi pada anak usia 2-7 tahun. Anak telah mampu untuk berrpikirr sebelum bertindak

namun belum sampai pada tingkat berpikir logis. Tindakannya cenderung bersifat egosentris,

maka anak sukar untuk menerima pandanngan orang lain. Selain itu anak juga belum mampu

untuk berpikir secara abstrak. Ketiga, tahap concrete, terjadi pada anak usia 7-11 tahun. Pada

tahap ini anak masih belum mampu untuk berpikir secara abstrak, kebanyakan dari mereka

masih mampu berpikir secara konkrit. Namun anak telah mampu untuk melakukan observasi,

menilai serta mengevaluasi. Keempat, tahap formal operations yang tejadi pada anka usia 11

tahun ke atas. Pada tahap ini kemampuan anak telah sampai pada berpikir secara logis dan

abstrak. Anak telah mampu untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi

berdasarkan kemampuan analisis dan logis. Sehingga tahap formal operations sangat

dibutuhkan untuk memecahkan masalah.

Dalam teori pembelajaran konstruktivisme dan humanisme, anak sama-sama dituntut agar

mampu mengembangakan dirinya sendiri, guru hanya memberikan sedikit stimulus kepada

anak. Perbandingan antara teori pembelajaran konstruktivisme dan humanisme. Pada teori

konstriktivisme lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran, baik

secara fisik, mental dan emosional. Penerapan teori ini cocok digunakan pada materi yang

berhubungan langsung pada proses berpikir secara abstrak, misalnya matematika. Sedangkan

pada teori humanisme, siswa benar-benar diajak dan dituntut untuk mengembangkan diri

dalam kegiatan pembelajaran. Dapat dikatakan dengan “mereka butuh, mereka yang

mencari”. Jadi dalam teori ini guru hanya sebagai fasilitator saja. Pembelajaran berdasarkan

pada teori humanisme cocok diterapkan pada materi yang sifatnya mampu membentuk

kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.

15

A. Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan

pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan dalam

pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Teori

Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan

mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang

memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,

kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau

menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan

pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang

dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman

demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih

dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.

2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan

mereka.

3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses

saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran

terbaru.

4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya

secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya

yang sudah ada.

5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor

ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten

atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan

pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar

konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori

kognitif juga. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori

perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,

yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap

perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam

mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui

gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)

menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau

pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut

teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari

kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif

Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan

kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Asimilasi adalah

penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali

struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai

tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental

yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau

memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996:

7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh

seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun

penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak

bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan

lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses

berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan

(Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa

pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda

berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya dalah siswa harus

memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat. Menurut C. Asri

Budiningsih menjelaskan bahwa ada dua macam proses adapatasi yaitu adaptasi bersifat

autoplastis, yaitu proses penyesuaian diri dengan cara mengubah diri sesuai suasana

lingkungan, lalu adaptasi yang bersifat aloplastis yaitu adaptasi dengan mengubah situasi

lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan

konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)

mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu

yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal

mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari

luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi

pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah

sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Belajar

merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema sehingga pengetahuan terkait

bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998:

5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang

berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern

atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan

intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan

mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui

tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap

manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-

tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,

pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang

menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut

dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan

tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul

(akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang

dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam

interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam

belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999:

62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis

Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada

lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak

(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori

belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki

kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2)

kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan

pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan

memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan

menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan

selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru

hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang

kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

B. Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan

tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa

harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan

kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil

yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam

teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan

antara gagasandalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara

gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama

dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat

diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi

bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki

anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif

dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui

lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan

lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang

lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang

lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar

konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan

pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide

yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3)

strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan

saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)

mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:

(1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa

sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya

sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk

mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang

telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan

(6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Selain itu Slavin menyebutkan strategi-

strategi belajar pada teori kontruktivisme adalah top-down processing( siswa belajar dimulai

dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan ketrampilan yang

dibutuhkan, cooperative learning(strategi yang digunakan untuk proses belajar, agar siswa

lebih mudah dalam menghadapi problem yang dihadapi dan generative learning(strategi yang

menekankan pada integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh

dengan skemata.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu

kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam

mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang

telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk

mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis

Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat

sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam

lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:

1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa

Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi

pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan

memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu

pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan

teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna

Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa

sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar

siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan

pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran

dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari,

dan juga penerapan konsep.

3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,

Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa

maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam

berbagai konteks sosial.

4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri

Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh

karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur

kegiatan belajarnya.

5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.

Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses

dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan

memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.

pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana

siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti

seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong

menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu

lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru

memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang

konsep

Kesimpulan

Jadi teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan

mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau pandangan yang sangat

terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental

Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan

teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun

dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah

sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik

yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa

ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan

akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang

dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi

dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori

belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan

pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan

dan dilakukan oleh guru.

11,12,13

BAB 12

TEORI PEMBELAJARAN

 

 

PEMBELAJARAN MENURUT ALIRAN KOGNITIF

1. Jean Piaget

Piaget mengemukakan 3 prinsip pembelajaran yaitu:

- Belajar aktif=> Menciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan siswa belajar

sendiri.

- Belajar lewat interaksi sosial=> Menciptakan suasana yang memungkinkan adanya

interaksi antar siswa.

- Belajar lewat pengalaman sendiri=> Didasarkan pada pengalaman nyata.

2. JA Brunner

Menurut Brunner dalam pengajaran di sekolah hendaknya mencakup:

- Pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar.

Pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik agar memperoleh pengalaman

optimal dalam proses belajar dan meningkatkan kemauan belajar.

- Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal.

Pembelajaran hendaknya dapat memberikan struktur yang jelas dari suatu pengetahuan

yang dipelajari anak-anak.

- Perincian urutan penyajian materi pelajaran.

Pendekatan pembelajaran dilakukan dengan peserta didik dibimbing melalui urutan

masalah, sekumpulan materi pelajaran yang logis dan sistematis untuk meningkatkan

kemampuan dalam menerima, mengubah, dan menstranfer apa yang telah dipelajari.

- Cara pemberian penguatan

Pujian atau hukuman perlu dipikirkan cara penggunaannya dalam proses belajar

mengajar.

3. David Ausubel

Ausubel mengemukakan teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna

adalah proses mengkaitkan informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan

terdapat dalam struktur kognitif seseorang.

Belajar bermakna timbul apabila: - Materi yang akan dipelajari bermakna secara potensial.

- Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar

bermakna.

Ausubel mengajukan empat prinsip pembelajaran, yaitu:

- Kerangka cantolan=> pendidik menggunakan bahan pengait untuk mengkaitkan konsep

lama dengan konsep baru.

- Diferensiasi progresif=> proses pembelajaran dimulai dari hal umum ke hal khusus.

- Belajar superordinat=> proses struktur kognitif yang mengalami pertumbuhan ke arah

deferensiasi.

- Penyesuaian integratif=> Materi pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga pendidik

dapat menggunakan hierarki-hierarki konseptual ke atas

dan ke bawah selama informasi disajikan.

 

Sumber: Rifai, Achmad dan Tri Anni, Catharina. 2009. Psikologi Pendidikan. Semarang:

Unnes Press

BAB 13

PEMBELAJARAN KONTRUKTIVISME DAN KONTEKSTUAL

 

PEMBELAJARAN KONTRUKTIVISME

Kontruktivisme merupakan teori psikologi tentang pengetahuan yang menyatakan bahwa

manusia membangun dan memaknai pengetahuan dari pengalamannya sendiri. Esensi

pembelajaran kontruktivistik adalah peserta didik secara individu menemukan dan mentranfer

informasi yang kompleks apabila menghendaki informasi itu menjadi miliknya. Pembelajaran

kontruktivistik memandang bahwa peserta didik secara terus-menerus memeriksa informasi

baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika

tidak sesuai lagi.

Untuk mendorong agar peserta didik terlibat aktif dalam kegiatan belajar, maka:

- Suasana lingkungan belajar harus demokratis.

- Kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif dan berpusat pada peserta didik.

- Pendidik mendorong peserta didik agar belajar mandiri dan bertanggungjawab atas kegiatan

belajarnya.

 

Asumsi dalam pembelajaran kontruktivistik:

1. Mengenai peserta didik

- Peserta didik adalah individu yang bersifat unik. Mereka memiliki latar belakang dan

kebutuhan yang unik pula.

- Kontruktivisme sosial mendorong peserta didik menghadirkan versi kebenarannya

sendiri, hal ini karena dipengaruhi oleh latar belakang, kebudayaan atau pandangan

tentang dunianya sendiri.

- Peserta didik perlu didorong untuk memiliki tanggung jawab belajarnya sendiri.

- Motivasi belajar peserta didik tergantung pada keyakinan peserta didik terhadap potensi

belajarnya.

2. Mengenai pendidik

- Pendidik harus menyesuaikan diri dengan peran sebagai fasilitator dan bukan sebagai

pendidik.

- Tugas fasilitator adalah membantu peserta didik memperoleh pemahaman tentang isi

pembelajaran.

- Karena pendidik sebagai fasilitator, maka peserta didik yang berperan aktif dalam

pembelajaran.

3. Mengenai proses belajar

- Belajar merupakan proses aktif di mana peserta didik belajar menemukan prinsip, konsep

dan fakta untuk dirinya sendiri.

- Tercipta interaksi yang dinamik antara tugas-pendidik-peserta didik.

4. Mengenai kolaborasi peserta didik

- Peserta didik dengan perbedaan keterampilan dan latar belakangnya, hendaknya

berkolaborasi dalam melaksanakan tugas dan diskusi dalam rangka memperoleh

pemahaman tentang kebenaran.

- Konteks merupakan pusat belajar. Pengetahuan yang tidak sesuai konteks tidak

memberikan ketrampilan kepada peserta didik untuk menerapkan pemahamannya pada

tugas-tugas yang bersifat autentik.

5. Mengenai asesmen

- Holt dan Willard-Holt menekankan konsep asesmen dinamik, yaitu cara menilai peserta

didik yang berbeda dari penilaian konvensional. Belajar interaktif diperluas dengan

proses asesmen.

- Pendidik hendaknya memandang asesmen sebagai proses interaksi dan kontinyu untuk

mengukur prestasi belajar dan kualitas pengalaman belajar. Balikan yang dibuat melalui

proses asesmen itu digunakan sebagai dasar pengembangan kegiatan berikutnya.

6. Mengenai pemilihan, cakupan dan urutan materi pelajaran

- Pengetahuan dipandang sebagai keseluruhan yang terpadu.

- Agar peserta didik benar-benar terlibat dalam proses pembelajaran, maka tugas dan

lingkungan belajarnya hendaknya merefleksikan kompleksitas lingkungan, sehingga

peserta didik mampu memfungsikan diri sampai akhir kegiatan belajar.

- Semakin terstruktur lingkungan belajar, semakin tidak mampu peserta didik membangun

makna berdasarkan pemahaman konseptualnya. Fasilitator hendaknya menstrukturkan

pengalaman belajar cukup untuk memastikan bahwa peserta didik memperoleh

bimbingan yang jelas sehingga mampu mencapai tujuan belajar.

Pendekatan pembelajaran kontruktivistik menekankan pembelajaran dari atas ke bawah (top-

down intruction). Peserta didik mulai memecahkan masalah yang kompleks kemudian

menemukan keterampilan dasar yang diperlukan.

 

Pembelajaran yang memakai prinsip kontruktivisme adalah:

1. Diskaveri (discovery learning)

Dikembangkan oleh Jerome Brunner. Dalam pembelajaran diskaveri, pembelajaran harus

mampu mendorong peserta didik untuk mempelajari apa yang telah dimiliki. Keuntungan

pembelajaran ini adalah:

- Mampu memunculkan hasrat ingin tahu peserta didik dan memotivasi peserta didik untuk

bekerja keras sampai menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul.

- Peserta didik belajar keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah karena

mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi.

2. Penangkapan (reception learning)

Dikembangkan oleh David Ausubel. Dalam pembelajaran penangkapan, peserta didik tidak

mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dirinya sendiri, sehingga mereka

memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif dalam mempelajari apa

yang diajarkan di sekolah. Inti pendekatan belajar penangkapan adalah pengajaran

ekspositori, yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh pendidik mengenai

informasi yang bermakna (meaningful information). Pembelajaran ekspositori ini terdiri

atas tiga tahap, yaitu:

- Penyajian Advance organizer

Merupakan pernyataan umum yang memperkenalkan bagian-bagian utama yang

tercakup dalam urutan pengajaran.

- Penyajian materi atau tugas belajar

Merupakan penyajian materi pembelajaran baru dengan metode ceramah, diskusi, film

atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada peserta didik.

- Memperkuat organisasi kognitif

Caranya dengan mengkaitkan informasi baru ke dalam struktur yang telah direncanakan

di dalam permulaan pelajaran, dengan cara mengingatkan peserta didik bahwa rincian

yang bersifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum.

3. Belajar terbimbing (scaffolding)

Dikembangkan oleh Vgotsky. Scaffolding merupakan strategi pembelajaran yang berkaitan

dengan dukungan kepada peserta didik dengan cara membatasi kompleksitas konteks dan

secara perlahan-lahan mengurangi batas-batas tersebut karena peserta didik telah

memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengatasi

kompleksitas konteks tersebut.

 

16

Teori Konstruktivisme Teori Konstruktivisme

Muhammad Faiq Dzaki

Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat

kmenerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah,

menemukan sesuatu bagi diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas

pendidikan tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak

siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna

tertanam kuat dalam benak siswa.

Teori yang dikenal dengan constructivist theories of lerning menyatakan bahwa siswa harus

menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru

dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu apabila tidak lagi sesuai. Hakekat

dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya

sendiri (Nur dan Retno,2000:2).

Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down daripada

bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan

dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-

keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional yang mana

keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan-

keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 1997 dalam Nur dan Retno,2000:7). Sehingga

dapat dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah membantu

siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan

ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.

Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu konsep kunci dari teori belajar konstruktivis adalah

pembelajaran dengan pengaturan diri (self regulated learning) yaitu seseorang yang memiliki

pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan

pengetahuan itu (Nur dan Retno, 2000:12). Jadi apabila siswa memiliki strategi belajar yang

efektif dan motivasi serta tekun menerapkan strategi itu sampai pekerjaan terselesaikan maka

kemungkinan mereka adalah pelajar yang efektif.

Salah satu pendekatan dalam pengajaran konstruktivis yang sangat berpengaruh dari Jerome

Bruner adalah belajar penemuan dimana siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui

partisipasi aktif mereka sendiri dengan konsep dan prinsip dimana guru mendorong siswa

untuk memiliki pengalaman serta dapat melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka

menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. (Nur dan Wikandari,2000:10)

Pendekatan yang lain dalam pengajaran dan pembelajaran yang juga berlandaskan pada teori

konstruktivis adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and

learning). Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang

membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan

memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam

kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja (U.S.

Department of Education and the National School-to-Work Office yang dikutip oleh

Blanchard, 2001 dalam Nur,2001a:1).

Pada dasarnya CTL juga menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan

mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. PBM lebih diwarnai student centred

daripada teacher centered. Sebagaian besar waktu PBM berlangsung dengan berbasis pada

aktivitas siswa. Inquiry-Based Learning dan Problem-Based Learning disebut sebagai strategi

CTL yang diwarnai student centered dan aktivitas siswa (University of Washington,2001

dalam Nur,2001a:7)

Pustaka:

Nur, M. dan Wikandari P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan

Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya University Press.

Nur, M. 2001a. “Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual”. Makalah disajikan pada

Pelatihan TOT guru mata pelajaran SLTP dan MTs dari enam propinsi, di Pusat Pendidikan

dan Pelatihan Wilayah IV Surabaya.

CTL, pembelajaran kontekstual, konstruktivisme

8

Pada asasnya, teori-teori pembelajaran masa kini boleh diklasifikasikan kepada empat

mazhab yang utama, iaitu, behavioris, kognitif, sosial dan humanis.

Teori Kognitif

Mazhab kognitif pula berpendapat bahawa pembelajaran ialah suatu proses dalaman yang

berlaku dalam akal fikiran, dan tidak dapat diperhatikan secara langsung daripada tingkah

laku. Ahli-ahli psikologi kognitif seperti Bruner dan Piaget menumpukan kajian kepada

pelbagai jenis pembelajaran dalam proses penyelesaian masalah dan celik akal mengikut

pelbagai peringkat umur dan kebolehan pelajar. Teori-teori pembelajaran mereka adalah

bertumpu kepada cara pembelajaran seperti pemikiran celik akal, kaedah penyelesaian

masalah, penemuan dan pengkategorian. Menurut teori ini, manusia memiliki struktur

kognitif, dan semasa proses pembelajaran, otak akan menyusun segala maklumat di dalam

ingatan.

Rabu, 13 April 2011

Teori Belajar Menurut Aliran Kognitivisme 13:08 Banyu Bening

Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang

dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan

kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda

dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang

bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan belajar

bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan

belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar.

Oleh karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif

untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang

tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental

seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin &

Wahyuni, 2007: 88).

Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan

behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya,

menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah

teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta

seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran

behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.

Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental,

bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat

behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah,

seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan

perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan

menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena

yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang

ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah,

1999: 111).

Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa

pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan,

yakni belajar.  Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka

aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses pembelajaran

juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan

berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan

apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia

berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan,

merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.

Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt,

teori medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori

penemuan Bruner  dan teori kognitif Bandura.

1)        Teori Gestalt

Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-

tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh

gestalt ini belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang

menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat

mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan

pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa

bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah

makhluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia bereaksi

dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur

subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin &

Wahyuni, 2007: 88).

Menurut teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan,

pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan

antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik

yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis sehingga mengabaikan

atau mengingkari pernanan insight, teori gestalt justru menganggap bahwa insight adalah

inti dari pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum

yang terkenal dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz ini lebih kurang

berarti teratur, seimbang, dan harmonis. Belajar adalah mencari dan mendapatkan

pragnanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Untuk menemukan

pragnanz diperlukan adanya pemahaman (insight).

Menurut Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu:

(1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh

pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi,

(4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan pemahaman dapat

diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi lain

(Sukmadinata, 2007: 171).

2)        Teori Medan (field theory)

Teori medan (field theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun

kognitif. Teori medan ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang

menekankan keseluruhan dan keterpaduan. Menurut teori medan, individu selalu berada

dalam suatu medan atau ruang hidup (life space), yang digambarkan oleh Kurt Lewin sebagai

berikut:

Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk

mencapainya selalu saja ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah

dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila

individu tersebut telah berhasil mencapai tujuan, maka masuk ke dalam medan atau lapangan

psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-hambatan baru pula.

Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan masuk ke dalam medan psikologis

berikutnya (Sukmadinata, 2007: 171).

Kaitannya dengan proses belajar, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa teori

medan menganggap belajar sebagai proses pemecahan masalah. Menurut Lewin

(Sanjaya, 2006: 120), beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah

dalam belajar adalah:

a)        Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan

masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan

contoh adalah sebagai berikut:

Orang yang melihat sembilan buah titik tersebut sebagai sebuah bujur sangkar akan sangat

sulit memecahkan persoalan tersebut. Agar sembilan buah titik dapat dilewati dengan 4 buah

tarikan garis, maka harus mengubah struktur kognitif bahwa kesembilan buah titik itu bukan

sebuah bujur sangkar.

b)        Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu

untuk berperilaku. Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar

(ektern).

3)        Teori Perkembangan Piaget

Kaitannya dengan perkembangan kognitif, seorang pakar terkemuka dalam

disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap

yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses

berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi

juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan (http://www.e-psikologi.com). Keempat

tahapan itu adalah:

a)        Tahap sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak mengalami dunianya melalui

gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi

sedikit mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan bena-

benda lain.

b)        Tahap pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai memiliki kecakapan

motorik. Pada masa ini anak menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek.

Misalnya seorang anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi yang sat berada

dalam gelas panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan mengatakan bahwa

air di gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.

c)        Tahap operasional konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak mulai berpikir secara logis

tentang kejadian-kejadian konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang sama

dalam kondisi yang berbeda.

d)       Tahap operasional formal setelah usia 11 tahun. Pada masa ini anak mulai memasuki

dunia “kemungkinan” dari dunia yang sebenarnya atau anak mengalami

perkembangan penalaran abstrak (http://id.wikipedia.org).

Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda

dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai

dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang

memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22). Hal ini berarti

bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik. Artinya,

perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dari

perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks

susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).

Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap

individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya

sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi

pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses

pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya

untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006: 122).

Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga

tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan

(pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak

peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi

yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara

asimilasi dan akomodasi.

Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru, informasi tersebut akan

dimodifikasi sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut

asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan dengan informasi yang

diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin, 2002: 199).

Uraian tersebut di atas memberi sebuah pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget

tentang proses belajar seseorang adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan

tertentu sesuai dengan umurnya (Muhaimin, 2002: 200).

4)        Teori Belajar Bermakna Ausubel

Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan

pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal,

belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari

diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur

kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).

Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika

seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima

dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini

berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini terdapat dua

komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada pada individu.

Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari

pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.

Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah

yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau

lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan

struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan. Substansial berarti bahan yang

dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada pada struktur kognitif.

Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata,

2007: 188)

Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan

persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna

dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa

lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam

hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta didik tidak akan

mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh apabila peserta didik

tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar

(Muhaimin, 2002: 201).

Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan

belajar (advance organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam

bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang ada pada

struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila dirancang dengan baik, advance

organizers akan mempermudah peserta didik mempelajari isi pembelajaran karena

kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan dengan apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak

atau ringkasan mengenai apa yang dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan

dipelajari secara hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan

(Muhaimin, 2002: 202).

Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna,

yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat

dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).

5)        Teori Penemuan Bruner

Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome

Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner

menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara

aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha

sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya,

menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26)

Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka

memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Untuk

memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif di mana mereka harus

mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima penjelasan

dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah yang mendorong peserta didik

untuk melakukan kegiatan penemuan (Trianto, 2007b: 33).

Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga  berbicara

tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan

bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan

oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif, dimana individu melakukan

aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit, dimana individu

melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap  simbolik,

dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan

logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan sistem simbol

(Muhaimin, 2002: 200).

Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu

menunggu sampai seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan

pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar meskipun umurnya

belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun asalkan materi pembelajaran disusun

berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan sesuai dengan karakteristik

perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan

dengan cara menata strategi pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari

dan tingkat perkembangannya (Muhaimin, 2002: 201).

6)        Teori Kognitif Bandura

Albert Bandura mengatakan bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan

perilaku. Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh

pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip belajar menurut Bandura

adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda dengan situasi di

laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak memerlukan pengamatan tentang pola

perilaku beserta konsekuensinya pada situasi alami (Djaali, 2007: 93).

Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif

dan mengingat tingkah laku orang lain. Seorang belajar dengan mengamati tingkah laku

orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara

menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ulang

kembali. Melalui jalan pengulangan ini akan memberi kesempatan kepada orang tersebut

untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya (Trianto, 2007b: 31).

Bandura juga menyatakan bahwa perilaku seseorang dan lingkungan itu dapat

dimodifikasi. Buku tidak berpengaruh pada seseorang, kecuali ada orang yang menulisnya

dan orang yang memilih untuk membaca. Oleh karena itu, hadiah atau hukuman tidak akan

banyak bermakna, kecuali diikuti oleh lahirnya perilaku yang diharapkan. Diperolehnya

perilaku yang kompleks bukan hanya disebabkan oleh hubungan dua arah antara pribadi dan

lingkungan, melainkan hubungan tiga arah antara perilaku – lingkungan – peristiwa batiniah

(reciprocal determinism/ determinasi timbal balik). Contoh: seorang yang telah berlatih, akan

timbul perasaan percaya diri. Perilakunya menimbulkan reaksi baru, yang pada akhirnya

reaksi ini mempengaruhi kepercayaan dirinya yang kemudian menimbulkan perilaku

berikutnya dan dapat melukiskan perilaku yang baru itu, meskipun dia tidak melakukannya

(Djaali, 2007: 94).

Teori kognitivisme ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses

informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian

menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah

ada. Teori ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.

Karakteristik :

a) Belajar adalah proses mental bukan behavioral

b) Siswa aktif sebagai penyadur

c) Siswa belajar secara individu dengan pola deduktif dan induktif

d) Instrinsik motivation, sehingga tidak perlu stimulus

e) Siswa sebagai pelaku untuk menuntun penemuan

f) Guru memfasilitasi terjadinya proses insight

Implikasi teori kognitivisme dalam kegiatan pembelajaran lebih memusatkan

perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Selain

itu, peran siswa sangat diharapkan untuk berinisiatif dan terlibat secara aktif dalam kegiatan

belajar. Teori ini juga memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan

per- kembangan. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di

dalam kelas yang terdiri dari individu – individu ke dalam bentuk kelompok – kelompok

kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal. Teori ini juga mengutamakan peran

siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan – gagasan tidak dapat

dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara

langsung, perkembangannya dapat disimulasi. Implikasi dalam konsep evaluasi bahwa

evaluasi dilakukan selama proses belajar bukan hanya semata dinilai dari hasil belajar. Jadi,

teori ini menitikberatkan pada proses daripada hasil yang dicapai oleh siswa.