Post on 05-Aug-2015
STATUS PENDERITA
No. catatan medik : 01447371
Masuk RS : 3 November 2011
Pukul : 09.00 WIB
Tanggal Diperiksa : 12 November 2011
I. IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : An. H
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Berat badan : 17 kg
Alamat : Pasir Kramis, Pasir Wangi
Identitas Orang Tua
Ayah Ibu
Nama Ayah : Tn. Ade Nama Ibu : Ny. Yani
Umur : 50 th Umur : 45 th
Pendidikan : SD Pendidikan : SD
Pekerjaan : buruh Pekerjaan : buruh
1
II.ANAMNESIS : Autoanamnesis dan alloanamnesis (dengan ibu pasien)
Tanggal 12 November 2011
Keluhan utama : Benjolan pada lipat paha kiri, daerah bokong dan paha kirinya pecah
Keluhan tambahan : Nyeri pada punggung
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Anak RSU dr. Slamet diantar oleh ibunya dengan keluhan
benjolan-benjolan yang ada di tubuhnya pecah dengan sendirinya. Benjolan tersebut berada pada
lipat paha kiri, daerah bokong, bokong kiri, dan paha kanannya. Keluhan tersebut disertai
dengan nyeri punggung tidak menjalar dan sulit berjalan yang dirasakan sejak beberapa minggu
yang lalu.
Ibunya mengeluh benjolan tersebut awalnya berbentuk seperti bisul, nyeri, dan teraba
kenyal yang dirasakan sejak 5 tahun yang lalu dan sekarang pecah mengeluarkan nanah. Sekitar
2-3 tahun sebelum adanya benjolan, pasien mengalami batuk berdahak lama, tanpa darah dan
disertai demam yang tidak terlalu tinggi sekaligus keringat yang banyak pada malam hari.
Selama keluhan tersebut berlangsung, pasien sempat dibawa ke mantri dan diberikan dua jenis
obat dengan kemasan syrup sebagai pereda batuk dan demam. Batuknya dan demam pun hilang,
namun sering timbul lagi. Pasien tidak pernah mendapatkan pengobatan lama berbulan-bulan
maupun foto rontgen.
Menurut ibu pasien, 1 bulan terakhir keluhan batuk tersebut kambuh lagi dan disertai
dengan demam tanpa menggigil yang tidak terlalu tinggi. Batuk disertai dahak berwarna
keputihan, tanpa disertai darah, dan kental. Sedangkan demamnya lebih dirasakan pada malam
hari dan disertai banyak keringat.
Pertumbuhan pasien terlihat melambat, pasien menjadi kurus dan terlihat lebih kecil dari
teman-teman sebayanya. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama diakui pasien, yaitu
dengan tetangga pasien yang telah dewasa.
Riwayat cedera pada punggung pasien diakui setelah sebelumnya pasien sudah
mengeluhkan adanya nyeri punggung. Keluhan BAK berdarah setelah cedera punggung tersebut
disangkal. Adanya keluhan kencing berpasir disangkal pasien. Keluhan nyeri punggung yang
menjalar sampai ke kaki disangkal. Keluhan adanya gangguan pencernaan disangkal. Riwayat
berpergian ke daerah pantai disangkal. Riwayat kejang disangkal. Riwayat nyeri sendi, disertai
bengkak, kemerahan pada sendi, bercak kemerahan pada tungkai juga disangkal.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat batuk, pilek berulang diakui.
Riwayat pengobatan TB disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat kakak pertama pasien mengalami keluhan batuk berdahak lama yang disertai
keringat banyak pada malam hari diakui ibu pasien beberapa tahun yang lalu dan tidak terobati
dengan baik. Riwayat tetangga atau anggota keluarga lainnya yang mengidap keluhan yang sama
dengan pasien juga disangkal.
Riwayat kehamilan
Pasien merupakan ketiga dari tiga bersaudara. Selama hamil ibu pasien tidak pernah
memeriksakan kehamilannya ke bidan maupun dokter. Selama hamil ibu pasien mengaku tidak
pernah disuntik dan tidak ada keluhan selama kehamilan.
Riwayat persalinan
Pasien lahir di rumah ditolong oleh paraji, dengan usia kehamilan sembilan bulan, lahir
spontan, kepala lahir terlebih dahulu. Bayi lahir langsung menangis dengan berat badan lahir
3000 gram dan panjang badan tidak diketahui. Riwayat kuning dan kebiruan pada bayi
disangkal.
Riwayat kontak
Riwayat kakak pertama pasien pernah mendapatkan pengobatan TB selama 9 bulan 7
tahun yang lalu dan dinyatakan sembuh.
Riwayat sosial-ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai buruh, penghasilan rata-rata Rp. 450.000/bulan. Pasien
tinggal di rumah yang saat ini dihuni bersama ayah, ibu, dan dua orang kakaknya. Rumahnya
berukuran 5 x 4 m2, rumah status milik kakek pasien, dengan 1 kamar tidur, 1 dapur, 2 pintu,
dan tanpa kamar mandi (kamar mandi di luar rumah). Jendela dan ventilasi kamar mandi di
dalam rumah, 1 dapur, 1 ruang tamu, 2 pintu masuk dan tanpa jendela. Hanya ada kaca di ruang
tamu dan ventilasi di bagian atas. Lantai berupa semen, tanpa keramik.
Riwayat imunisasi
Ibu pasien mengaku bahwa pasien tidak mendapat imunisasi lengkap sejak lahir.
Anamnesis makanan
Pasien mendapatkan ASI sejak lahir hingga berusia 2 tahun lebih, setelah itu pasien
diberi makanan seperti makanan dewasa. Sehari-hari pasien makan 2-3 kali, terkadang tidak
makan sama sekali. Menu makannya berupa nasi, telur, sayur, tahu, dan tempe. Pasien juga tidak
pernah minum susu.
Anamnesis pertumbuhan
Pasien terlihat lebih kurus dari teman sebayanya. Mulai tumbuh gigi pada umur 7 bulan.
Anamnesis perkembangan
- 7 bulan : Duduk
- 8 bulan : Merangkak dan ngomong ma-pa
- 1 tahun : Berdiri dan ngomong mama papa
- 1 tahun 6 bulan : Berjalan
- 2 tahun : Berlari dan bicara jelas
I. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan umum
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Ukuran Antropometri
Berat Badan : 17 kg
Tinggi Badan : 104 cm
Lingkar Kepala : 48 cm
Lingkar Lengan Atas : 11 cm
Lingkar Perut : 57 cm
Status Gizi
BB/U = 17/45 x 100% = 37%
TB/U = 104/156,5 x100% = 66%
Kesimpulan : KEP Berat
BMI: BB / TB2 = 17/ (1,04)2 = 15,7 (Berat Badan KURANG)
Tanda Vital
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit reguler, equal, isi cukup
Respirasi : 68 x/menit
Suhu : 38,0 ºC
Status Generalis
Kelainan mukosa kulit/ subkutan yang menyeluruh:
Pucat : (-)
Kering dan mengkilap : (-)
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Perdarahan : (-)
Edema umum : (-)
Turgor : kembali cepat
Pembesaran KGB : (+)
KEPALA
Bentuk : Normocephal, bulat, simetris
UUB : Ubun – ubun besar menutup
Rambut : Hitam kecoklatan, lurus, tidak mudah dicabut, pertumbuhan lebat, signo
de bandero (-)
Kulit : Kering, crazy pavement dermatosis (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-), air mata (+/+), refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor diameter 3 mm, bercak bitot (-/-)
Telinga : Bentuk normal, simetris
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-/-)
Mulut : Bibir basah, sianosis (-), bercak koplik (-), angular chellosis (-), typhoid
tongue (-)
Wajah : Tampak seperti orang tua (-), noma (-)
LEHER
Bentuk : Simetris
Trakhea : Di tengah
KGB : Teraba pembesaran KGB multiple a/r colli dextra, ukuran masing-
masing 5 mm, batas tegas, konsistensi kenyal, permukaan rata
THORAKS
Inspeksi : Bentuk dan gerak kedua hemithoraks simetris, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Fremitus taktil simetris pada kedua hemitoraks
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks
Auskultasi : Pulmo : Ronkhi basah sedang (+/+), wheezing (-/-)
Cor : Bunyi jantung I & II reguler murni, gallop (-/-), murmur (-/-)
ABDOMEN
Inspeksi : Permukaan tampak cembung, retraksi epigastrium (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : Terdengar timpani di keempat kuadran abdomen
Palpasi : NT (-)
Hepar : Tidak membesar
Lien : Tidak membesar
Turgor : Kulit kembali cepat
GENITALIA EXTERNA
Kelamin : Laki-laki, tidak ada pembesaran kelenjar inguinal
EKSTREMITAS
Superior : Akral hangat, oedem (-/-), sianosis (-)
Inferior : Akral hangat, oedem (-/-), sianosis (-), tampak ulkus dengan dasar otot
pada regio: inguinal sinistra, sacrum, trochanter mayor dextra, dan gluteus
sinistra, serta tampak sikatriks pada regio gluteus sinistra et quadrisep
femoris sinistra
STATUS NEUROLOGI
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk: (-)
Brudzinski I, II, III (-)
Bragard Test : +/+
Patrick Test : +/+
Kontrapatrick Test : +/+
N. I - N. XII : baik
Kesan (4 November 2011)
Susp Spondilitis TB Lumbal 2-3 dd/ trauma kompresi lumbal + susp TB paru dd/
Bronchopneumonia + Osteomyelitis a/r coxae bilateral + Scoliosis + KEP berat
Penatalaksanaan
Terapi Umum
Energi:
Holiday segar = 1000 + (50 kkal x 7 kg) = 1350 kkal
Protein (3-5 g/kgBB/hari) = 4 x 17 = 68 gram/hari
500 kal dipenuhi dengan F75 =10 x 65 cc per hari
1200 kal dipenuhi dengan 3x makanan padat
Terapi Khusus
Inf Asering : 70 gtt/mnt micro
Inj Cefotaxim : 3 x 600mg iv
Paracetamol Syr : 3 x cth 1
Saran
- cek hematologi
- rontgen thorak + thorakolumbal AP/Lateral + coxae bilateral
- PPD test
Hasil laboratorium
Tanggal 7-11-2011
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb : 8,3 gr/dL
Ht : 28 %
Leukosit : 9100/ mm3
Trombosit : 693.000/ mm3
Eritrosit : 4,19 juta/mm3
LED : 122/130 mm/jam
PPD 5 TU test : +
Hitung Jenis
Basofil : 0
Eosinofil : 6
Batang : 3
Segmen : 66
Limfosit : 24
Monosit : 1
Tanggal 10-11-2011
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb : 7,1 gr/dL
Ht : 25 %
Leukosit : 9200/ mm3
Trombosit : 832.000/ mm3
Eritrosit : 3,62 juta/ mm3
Morfologi Darah
Eritrosit : Hipokrom mikrositer
Leukosit : Jumlah normal, morfologi normal
Trombosit : Kelompok trombosit banyak
Kesan : Anemia hipokrom mikrositer
Tanggal 11-11-2011
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb : 12,9 gr/dL
Ht : 39 %
Leukosit : 8300/ mm3
Trombosit : 683.000/ mm3
Eritrosit : 5,76 juta/ mm3
Hasil Foto Thorax PA Tanggal 7 November 2011
Expertise:
Foto asimetris
Cor, sinus, diafragma baik
Pulmo: parahiller dan paracardial berbercak lunak
Hasil Foto Coxae AP Tanggal 7 November 2011
Expertise:
Coxitis bilateral dengan batas kabur
Hasil Foto Vertebra AP/Lateral Tanggal 10 November 2011
Expertise:
Spondilitis Lumbal 2-3 dan skoliosis thorakolumbal
Postur Tubuh Pasien
Tampak Depan Tampak Samping
Tampak Belakang
Foto Ulkus
Ulkus a/r inguinal sinistra
Ulkus a/r sacrum
Ulkus a/r trochanter mayor dextra
Ulkus a/r gluteus sinistra
Sikatriks a/r gluteus sinistra et quadrisep femoris sinistra
Scoring TB :
- Kontak : 1 (negatif)
- Tuberculin : 3 (negatif)
- Demam : 1 ( ≥ 2 minggu)
- Batuk : 1 ( ≥ 3 minggu)
- Status Gizi : 2 (BB/U < 60%)
- Pemb. KBG : 1
- Pemb. Sendi : 1
- Rontgen Thorak : 2 (kalsifikasi+infiltrat)
Total score = 12 (diagnosis TB)
KESAN (7 November 2011)
Spondilitis TB Lumbal 2-3 + Tuberkulosis Paru + Osteomyelitis a/r coxae bilateral +
Skoliosis torakolumbal + KEP Berat + Anemia Mikrositik Hipokrom
PENATALAKSANAAN
Terapi Umum
Energi:
Kebutuhan kalori = 100 kkal x 17kg= 1700 kkal
Protein (3-5 g/kgBB/hari) = 4 x 17 = 68 gram/hari
500 kal dipenuhi dengan F75 =10 x 65 cc per hari
1200 kal dipenuhi dengan 3x makanan padat
Terapi Khusus
Rifampisin 15 x 17 = 255 mg
Isoniazid 10 x 17 = 170 mg
Pirazinamid 15 x 17 = 255 mg 2 x 255 mg
Inj Streptomicyn 30 x 17 = 510 mg im
Vit. B6 10 mg
Asam Folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
Fe 3 mg/kgBB/hari = 3 x 17 = 51 mg (bila BB mulai naik/fase rehabilitasi)
Paracetamol = 10 x 17 = 170 mg 3 x Cth 1,5 (bila demam)
S ARAN PEMERIKSAAN
Konsul ahli bedah tulang
Edukasi
Makan dengan porsi kecil, frekuensi sering
Kepada Ibu Pasien:
Pemberian makan yang benar
Mengupayakan makanan untuk dihabiskan
FOLLOW UP
TANGGAL KELUHAN PEMERIKSAAN FISIK TERAPI
04 – 11- 2011 Demam (+)
Nyeri punggung (+)
KU = sakit sedang KS = CM
T = 100/80 mmHg
N = 80 x/mnt
R = 20 x/mnt
S = 36,6°C
Kepala : UUB datar menutup
Rambut: hitam kecoklatan, tidak mudah
lepas
Mata: CA (-/-),SI (-/-)
Hidung : PCH (-/-), sekret (-/-)
Mulut: SPO (-), mukosa bibir lembab,
typhoid tongue (-), angular chellosis (-/-)
Leher : dbn
Thoraks
I : bentuk dan gerak hemitoraks kanan dan
kiri simetris, retraksi suprasternal (-),
P: fremitus taktil simetris di kedua
hemitoraks
P: sonor pada kedua lapang paru
A: pulmo : Ronkhi basah sedang (+/+),
wheezing (-/-)
Cor: BJ I dan II murni reg
Abdomen
I: Permukaan tampak cembung, retraksi
epigastrium (-)
A: BU (+)
P: hepar dan lien tidak teraba pembesaran
P: timpani di keempat kuadran abdomen
Ekstremitas
Akral: teraba hangat. Oedem –
Terapi Umum
Energi:
Kebutuhan kalori = 100 kkal
x 17kg= 1700 kkal
Protein (3-5 g/kgBB/hari) =
4 x 17 = 68 gram/hari
500 kal dipenuhi dengan F75
=10 x 65 cc per hari
1200 kal dipenuhi dengan
3x makanan padat
Terapi Khusus
Inf Asering : 70 gtt/mnt micro
Inj Cefotaxim : 3 x 600mg iv
Paracetamol Syr : 3 x cth 1
Saran
- cek hematologi- rontgen thorak +
thorakolumbal AP/Lateral + coxae bilateral
- PPD test
Kesan::
Susp Spondilitis TB Lumbal 2-3 dd/trauma kompresi lumbal + susp TB paru dd/
Bronchopneumonia + Osteomyelitis a/r coxae bilateral + Scoliosis + KEP Berat
07-11-2011 Demam (+)
Nyeri punggung (+)
Hb : 8,3 gr/dLHt : 28 %Leukosit : 9100/ mm3
Trombosit: 693.000/ mm3
Eritrosit : 4,19 juta/mm3
LED: 122/130 mm/jam
T = 110/80 mmHg
N = 90x/mnt
R = 20 x/mnt
S = 37,1°C
PPD Test (+)
Kebutuhan kalori = 100 kkal
x 17kg= 1700 kkal
Protein (3-5 g/kgBB/hari) =
4 x 17 = 68 gram/hari
500 kal dipenuhi dengan F75
=10 x 65 cc per hari
PPD 5 TU test : +
Rontgen
Thorax : TB paru
Coxae : Coxitis bilateral
Lumbosakral : Spondilitis
TB L 2-3 & skoliosis
thorakolumbal
1200 kal dipenuhi dengan
3x makanan padat
Terapi KhususPRC : 170 ccRifampisin 15 x 17 = 255 mgIsoniazid 10 x 17 = 170 mgPirazinamid 15 x 17 = 255 mg 2 x 255 mgInj Streptomicyn 30 x 17 = 510 mg imVit. B6 10 mgAsam Folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)Fe 3 mg/kgBB/hari = 3 x 17 = 51 mg (bila BB mulai naik/fase rehabilitasi)Paracetamol = 10 x 17 = 170 mg 3 x Cth 1,5 (bila demam)
S ARAN PEMERIKSAAN Konsul ahli bedah tulang
EdukasiMakan dengan porsi kecil, frekuensi seringKepada Ibu Pasien:Pemberian makan yang benarMengupayakan makanan untuk dihabiskan
Diagnosa kerja :Spondilitis TB Lumbal 2-3 + Tuberkulosis Paru + Osteomyelitis a/r coxae bilateral + Skoliosis torakolumbal + KEP Berat + Anemia Mikrositik Hipokrom
08-11-2011 Demam (-)
Nyeri punggung (+)
T = 110/70 mmHg
N = 86x/mnt
R = 22 x/mnt
S = 36,0°C
Terapi lanjut
09-11-2011 Nyeri punggung (+) T = 110/80 mmHg
N = 84x/mnt
R = 20 x/mnt
S = 36,4°C
Pasien dikonsulkan ke dr. Husodo, Sp.OT
Terapi lanjut
10-11-2011 Nyeri punggung (+)
Lemas
T = 100/60 mmHg
N = 120x/mnt
R = 36 x/mnt
S = 36,1°C
Terapi lanjut
10s/d06-12-
2011
Pasien dialihrawatkan ke bagian orthopedi di ruangan Marjan Atas dan dilakukan operasi pada
tanggal 21 november 2011.
05-12-2011 Pasien dikonsulkan kembali ke bagian IKA dikarnakan pasien penurunan kesadaran dan kejang.
Hasil Follow up Bagian IKA :
05-12-11 Kejang (+) KU: SB
KS: sopor (E2M4V2)
T = 170/110 mmHg
N = 90 x/mnt
R = 24 x/mnt
S = 36,3 oC
MAP = 130 mmHg
Status Neurologi:
RM: KK: (+), Brudzinsky I/II/III: -/-/-
RF: +/+, RP: +/+ Babinski
Inf Asering 70 gtt/mnt microRifampisin 15 x 17 = 255 mgIsoniazid 10 x 17 = 170 mgPirazinamid 15 x 17 = 255 mg 2 x 255 mgInj Streptomicyn 30 x 17 = 510 mg imVit. B6 10 mgParacetamol = 10 x 17 = 170 mg 3 x Cth 1,5 (bila demam)Prednison : 34mg
Inj. Lasix 2x 16 mg IV
Captopril 2x 4 mg per sonde
Valium 5 mg (bl kejang)
Saran:
Hematologi, kimia klinik,
urin rutin, Lumbal Punksi
KESAN :
Post op Spondilitis TB Lumbal 2-3 + Tuberkulosis Paru + Osteomyelitis a/r coxae bilateral +
Skoliosis Torakolumbal + KEP Berat + Susp meningitis serosa dd/encefalophaty hipertensi
06-12-2011 Pasien dialihrawatkan ke bagian IKA (ruang Nusa Indah Bawah) lagi karena terjadi penurunan
kesadaran dan kejang.
06-12-2011 Kejang (+)
Hasil Lab: 6-12-11
Protein Total: 8.00 gr/dlAlbumin: 4.00 gr/dlLeukosit : 13.000/ mm3
Trombosit: 455.000/ mm3
Albumin: 4,20 mg/dlkolesterol HDL:35 mg/dlGDS : 85 mg/dlNatrium : 134 mEq/lProtein urine:POS (+ +) Keton urine: POS (+ + +) Eritrosit : >100/lpb
KU: SB
KS: sopor (E2M4V2)
T = 170/110 mmHg
N = 90 x/mnt
R = 24 x/mnt
S = 36,3 oC
MAP = 130 mmHg
PF: edema pre tibial +/+
Status Neurologi:
RM: KK: (+), Brudzinsky I/II/III: -/-/-
RF: +/+, RP: +/+ Babinski
Th/ lanjut
KESAN :
Post op Spondilitis TB Lumbal 2-3 + Tuberkulosis Paru + Osteomyelitis a/r coxae bilateral +
Skoliosis Torakolumbal + KEP Berat + encefalophaty hipertensi ec GNA + susp meningitis
serosa
07-12-2011 Kejang (+) 2x KS: sopor (E2M4V2)
T = 180/110 mmHg
N = 100 x/mnt
R = 24 x/mnt
S = 36,5 oC
PF: edema pre tibial +/+
Th/ lanjut
Valium 5mgstop
KSR 2x 2/5 tab per sonde
Luminal 2 x 35mg per sonde
08-12-2011 Kejang (+)
Keluarga Menolak
untuk Dilakukan
Lumbal Punksi
KS: sopor (E2M5V2)
T = 160/120 mmHg
N = 100 x/mnt
R = 22 x/mnt
S = 36,3 oC
PF: edema pre tibial +/+
Rencana Lumbal Punksi
Clonidin drip 32 gtt/mnt
dalam 100 cc D5%
Observasi TD
KESAN :
Post op Spondilitis TB Lumbal 2-3 + Tuberkulosis Paru + Osteomyelitis a/r coxae bilateral +
Skoliosis Torakolumbal + KEP Berat + encefalophaty hipertensi ec GNA + susp meningitis
serosa
09-12-2011 Kejang (-) KS: CM (E4M6V5)
T = 180/110 mmHg
N = 80 x/mnt
R = 28 x/mnt
S = 36,7 oC
PF: edema pre tibial +/+
Status Neurologi:
RM: KK: (+), Brudzinsky I/II/III: -/+/-
RF: +/+, RP: +/- Babinski
Clonidin drip 12 gtt/mnt
dalam 100cc D5%
Naikkan 4 gtt/mnt bila TD
belum turun
10-12-2011 - KS: CM (E4M6V5)
T = 140/100 mmHg
N = 100 x/mnt
R = 22 x/mnt
S = 36,7 oC
PF: edema pretibial -/-
Terapi lanjut
11-12-2011 Pasien terjatuh dari tempat
tidurnya
KS: CM (E4M6V5)
T = 160/120 mmHg
N = 100 x/mnt
R = 28 x/mnt
S = 36,5 oC
Terdapat luka terbuka pada pelipis
kanannya sebesar 3 x 0,2 x 0,1 cm
Hecting luka
ATS 1500 IU IM
12-12-2011 - KS: CM (E4M6V5) Terapi lanjut
T = 140/100 mmHg
N = 128 x/mnt
R = 24 x/mnt
S = 36,3 oC
Diagnosa Akhir:
Post op Spondilitis TB Lumbal 2-3 + Tuberkulosis Paru + Osteomyelitis a/r coxae bilateral +
Skoliosis Torakolumbal + KEP Berat + encefalophaty hipertensi ec GNA + susp meningitis
serosa
Penatalaksanaan :
Terapi Umum
Energi:
Kebutuhan kalori = 100 kkal x 17kg= 1700 kkal
Protein (3-5 g/kgBB/hari) = 4 x 17 = 68 gram/hari
500 kal dipenuhi dengan F75 =10 x 65 cc per hari
1200 kal dipenuhi dengan 3x makanan padat
Observasi TD
Terapi Khusus
Rifampisin 15 x 17 = 255 mg
Isoniazid 10 x 17 = 170 mg
Pirazinamid 15 x 17 = 255 mg 2 x 255 mg
Inj Streptomicyn 30 x 17 = 510 mg im
Vit. B6 10 mg
Asam Folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
Fe 3 mg/kgBB/hari = 3 x 17 = 51 mg (bila BB mulai naik/fase rehabilitasi)
Paracetamol = 10 x 17 = 170 mg 3 x Cth 1,5 (bila demam)
KSR 2x 2/5 tab per sonde
Luminal 2 x 35mg per sonde
Clonidin drip 32 gtt/mnt dalam 100 cc D5%
Prednison 36 mg per oral
EDUKASI
Makan dengan porsi kecil, frekuensi sering
Kepada Ibu Pasien:
Pemberian makan yang benar
Mengupayakan makanan untuk dihabiskan
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
RESUME
Pasien diantar oleh ibunya dengan keluhan benjolan-benjolan yang ada di tubuhnya
pecah dengan sendirinya. Benjolan tersebut berada pada lipat paha kiri, daerah bokong, bokong
kiri, dan paha kanannya, bentuknya seperti bisul, nyeri, dan teraba kenyal yang dirasakan sejak 5
tahun yang lalu. Keluhan tersebut disertai dengan nyeri punggung tidak menjalar dan sulit
berjalan yang dirasakan sejak beberapa minggu yang lalu.
Sekitar 2-3 tahun sebelum adanya benjolan, pasien mengalami batuk berdahak lama,
tanpa darah dan disertai demam tanpa menggigil sekaligus keringat yang banyak pada malam
hari keluhan tersebut dirasakan hingga sekarang. Selama keluhan tersebut berlangsung, pasien
sempat berulang kali dibawa ke mantri dan diberikan satu jenis obat pereda batuk dan penurun
panas. Batuk dan panasnya pun hilang, namun sering timbul lagi. Pasien tidak pernah
mendapatkan terapi pengobatan lama.
Pertumbuhan pasien terlihat melambat, pasien menjadi kurus dan terlihat lebih kecil dari
teman-teman sebayanya. Semenjak benjolan-benjolan tersebut timbul, nafsu makan pasien
menurun. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama diakui pasien, yaitu dengan tetangga
pasien yang telah dewasa
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Status gizi penderita didapatkan BB/U kisaran < 60 % Gizi Buruk (DEPKES 1975)
Rambut : Hitam kecoklatan, lurus, tidak mudah dicabut, signo de bandero (-)
Mata : CA (-/-), SI (-/-), bercak bitot (-)
Hidung : PCH (-/-), sekret (-/-)
Mulut : SPO (-), typhoid tongue (-), angular chellosis (-)
Wajah : Tidak tampak seperti orang tua, noma (-).
Thorak : Pulmo : Ronkhi basah sedang (+/+), wheezing (-/-)
Cor : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : Datar, BU (+), hepar dan lien tidak teraba pembesaran, turgor kulit
cepat
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
Total Scoring TB = 12
S ARAN PEMERIKSAAN
1. PPD test
2. Rontgen lumbosacral + thorax + Coxae
3. T3
4. Lab (hematologi, urin ratin, kimia rutin)
5. Lumbal Punksi
DIAGNOSIS
Spondilitis TB Lumbal 2-3 + Tuberkulosis paru + Osteomielitis a/r coxae bilateral + KEP Berat
+ Anemia Mikrositik Hipokrom + Skoliosis Toraco-lumbal + encefalophati hipertensi ec GNA
+ susp Meningitis serosa.
PENATALAKSANAAN
Terapi Umum
Energi: Holiday segar = 1000 + (50 kkal x 7 kg) = 1350 kkal
Protein (3-5 g/kgBB/hari) = 4 x 17 = 68 gram/hari
Obs Tekanan Darah
Terapi Khusus
Transfusi PRC 170 cc
Rifampisin 15 x 17 = 255 mg
Isoniazid 10 x 17 = 170 mg
Pirazinamid 15 x 17 = 255 mg 2 x 255 mg
Streptomicin 30 x 17 = 51 mg im
Vit. B6 10 mg
Asam Folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
Fe 3 mg/kgBB/hari = 3 x 17 = 51 mg (bila BB mulai naik/fase rehabilitasi)
Paracetamol = 10 x 17 = 170 mg 3 x Cth 1,5 (bila demam)
Edukasi
Makan dengan porsi kecil, frekuensi sering
Kepada Ibu Pasien:
Pemberian makan yang benar
Mengupayakan makanan untuk dihabiskan
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
PEMBAHASAN
Pembahasan Kasus
Pasien ini didiagnosa sebagai Tuberculosis Paru + Spondilitis TB Lumbal 2-3 + Osteomielitis a/r
coxae bilateral + KEP Berat + Anemia Mikrositik Hipokrom karena dari pemeriksaan ditemukan
:
a) Anamnesa :
Batuk berdahak yang hilang timbul sejak 7-8 tahun SMRS.
Demam hilang timbul sejak 7-8 tahun SMRS, suhu demam tidak terlalu tinggi
dan penyebab demam tidak diketahui.
Keluar keringat banyak pada malam hari
Benjolan yang berawal pada lipat paha kiri sejak 5 tahun yang lalu dan
kemudian pecah mengeluarkan nanah dan bekas pecahan menjadi ulkus.
Benjolan yang sama juga terbentuk di berbagai tempat di daerah sekitar
pinggang.
Nyeri punggung yang dirasakan sejak 1 bulan SMRS.
Pasien tampak lebih kurus dan pendek dari teman sebayanya
b) Pemeriksaan fisik :
Status Gizi
BB/U = 17/45 x 100% = 37%
TB/U = 104/156,5 x100% = 66%
Kesimpulan : KEP Berat
BMI: BB / TB2 = 17/ (1,04)2 = 15,7 (Berat Badan KURANG)
Kepala
Rambut : Hitam kecoklatan, lurus, tidak mudah dicabut
Thorax
Ronkhi basah sedang (+/+), wheezing (-/-)
Extremitas
Inferior: Akral hangat, oedem (-/-), sianosis (-), tampak ulkus dengan
dasar otot pada regio: inguinal sinistra, sacrum, trochanter mayor dextra,
dan gluteus sinistra, serta tampak sikatriks pada regio gluteus sinistra et
quadrisep femoris sinistra
Status Neurologi
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk: (-)
Brudzinski I, II, III (-)
Bragard Test : +/+
Patrick Test : +/+
Kontrapatrick Test : +/+
N. I - N. XII : baik
c) Scoring TB :
- Kontak : 1 (negatif)
- Tuberculin : 3 (negatif)
- Demam : 1 ( ≥ 2 minggu)
- Batuk : 1 ( ≥ 3 minggu)
- Status Gizi : 2 (BB/U < 60%)
- Pemb. KBG : 1
- Pemb. Sendi : 1
- Rontgen Thorak : 2 (kalsifikasi+infiltrat)
Total score = 12 (diagnosis TB)
d) Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Tanggal 7-11-2011
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb : 8,3 gr/dL
Ht : 28 %
Leukosit : 9100/ mm3
Trombosit : 693.000/ mm3
Eritrosit : 4,19 juta/mm3
LED : 122/130 mm/jam
Hitung Jenis
Basofil : 0
Eosinofil : 6
Batang : 3
Segmen : 66
Limfosit : 24
Monosit : 1
Tanggal 10-11-2011
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb : 7,1 gr/dL
Ht : 25 %
Leukosit : 9200/ mm3
Trombosit : 832.000/ mm3
Eritrosit : 3,62 juta/ mm3
Morfologi Darah
Eritrosit : Hipokrom mikrositer
Leukosit : Jumlah normal, morfologi normal
Trombosit : Kelompok trombosit banyak
Kesan : Anemia hipokrom mikrositer
Tanggal 11-12-2011
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb : 12,9 gr/dL
Ht : 39 %
Leukosit : 8300/ mm3
Trombosit : 683.000/ mm3
Eritrosit : 5,76 juta/ mm3
Tanggal 30-11-2011
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb : 13,9 gr/dL
Ht : 45 %
Leukosit : 8.300/ mm3
Trombosit : 333.000/ mm3
Eritrosit : 5,86 juta/ mm3
Tanggal 05-12-2011
Protein Total : 8.00 gr/dl
Albumin : 4.00 gr/dl
Tanggal 06-12-2011
1. HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb : 12,7 gr/dL
Ht : 40 %
Leukosit : 13.000/ mm3
Trombosit : 455.000/ mm3
Eritrosit : 5,46 juta/mm3
Hitung Jenis
Basofil : 0
Eosinofil : 0
Batang : 2
Segmen : 83
Limfosit : 14
Monosit : 1
2. KIMIA KLINIK
Protein Total : 7,57 gr/dl
Albumin : 4,20 mg/dl
Ureum : 18 mg/dl
Kreatinin : 0,53 mg/dl
Kolesterol Total : 127 mg/dl
Kolesterol HDL : 35 mg/dl
Kolesterol LDL : 62 mg/dl
Trigliserida : 133 mg/dl
GDS : 85 mg/dl
Natrium : 134 mEq/l
Kalium : 3,3 mEq/l
3. URINE RUTIN
Kimia Urine
Berat Jenis : 1.105
pH : 6,5
Nitrit : NEGATIF
Protein urine : POS (+ +) mg/dl
Glukosa urine : NEGATIF
Keton urine : POS (+ + +) mg/dl
Urobilinogen urine : NORMAL mg/dl
Bilirubin urine : NEGATIF
Mikroskopis Urine
Eritrosit : >100/lpb
Leukosit : 30-35/lpb
Sel epitel : 3-5/lpb
Bakteri : NEGATIF
Kristal : NEGATIF
Silinder : COR 1-2 /lpk
Pemeriksaan foto thoraks PA
tampak kalsifikasi dan infiltrat di paracardial dan parahiller
Foto rontgen Coxae AP
Coxitis Bilateral dengan batas kabur
Hasil Foto Vertebra AP/Lateral Tanggal 10 Nov 2011
Spondilitis L 2-3 dengan skoliosis thorako-lumbal
Uji Tuberkulin/ mantoux (+)
TUBERCULOSIS PADA ANAK
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh mikobakterium
tuberculosis (Depkes, RI. 2001).
Menurut Masjoer (2000) Tuberculosis Paru adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium Tuberculosis sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh, dengan
lokasi terbanyak di paru- paru yang biasanya lokasi infeksi primer.
KLASIFIKASI TB ANAK
1. TB Primer
- Komplek Primer
- Komplikasi paru dan alat lain (sistemik)
2. TB Post Primer
- Re infeksi endogen (karena daya tahan tubuh turun, kuman yang indolen aktif kembali)
- Re infeksi eksogen
Kompleks Primer:
Di paru basil yang berkembang biak menimbulkan suatu daerah radang yang
disebutafek/fokus primer dari Gohn. Basil akan menjalar melalui saluran limfe dan terjadi
limfangitis dan akan terjadi limfadenitis regional. Pada lobus atas paru akan terjadi pada kelenjar
limfepada trakheal, sedangkan pada lobus bawah akan terjadi pada kelenjar limfe hiller.
Komplikasi Paru dan alat lain
Dapat terjadi penyebaran secara limfogen hematogen akan terjadi TB milier, meningitis
TB, bronkogenik, pleuritis, peritonitis, perikarditis, TB tulang dan sendi.
DIAGNOSIS TB ANAK
a. Test Tuberkulin
Ada 2 macam tuberkulin yang dipakai yaitu Old tuberkulin dan Purified protein derivate dengan
cara Mantoux. Yaitu dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin PPD intrakutan di volar lengan
bawah.Reaksi dilihat 48 – 72 jam setelah penyuntikan. Uji Tuberkulin positif menunjukkan
adanya infeksi TB. Reaksi ini akan bertahan cukuplama walaupun pasien sudah sembuh
sehingga uji Tuberkulin tidak dapat digunakan untuk memantau pengobatan.
b.Keadaan umum anak
Curiga adanya TB anak bila :
- Sering panas
-Sering batuk pilek (batuk kronis berulang)
-Nafsu makan menurun
-Berat badan tidak naik
SISTEM SKORING TB ANAK IDAI
GEJALA 0 1 2 3
Kontak Tidak jelas - BTA (-) BTA (-)
Tes
tuberkulin
- - - Positif
BB Bbm
bb
Gizi buruk -
Panas Penyebab
tidak jelas
- -
Batuk < 3mg ≥3 mg
Pembesaran
kelenjar
>1 kel
≥1cm
Tidak sakit
Tulang / sendi Bengkak
Foto thorax Normal sugestif
CATATAN UNTUK SISTEM SKORING IDAI
-Diagnosis oleh dokter
-Diagnosis gizi harus ada
-Panas/demam dan batuk tidak ada respon dengan pengobatan standart
-Foto Ro Thoraks bukan merupakan alat diagnostik yang utama pada TB anak
-Semua kejadian reaksi akselerasi BCG harus dilakukan evaluasi dengan sistem
skoring
-Diagnosis TB anak bila skor ≥ 6
-Bila skor 5 dan anak < 5 th dengan dugaan yang kuat, rujuk ke RS
-Pemberian profilaksis INH bila kontak BTA (+) dg skor < 6
c. Laboratorium hematologi
Tidak banyak membantu. Laju endap darah meninggi pada keadaan aktif dan kronik.
Pada stadium akut bisa terjadi lekositosis dengan sel polimorfonuklear yang meningkat
selanjutnya limfositosis. Gambaran hematologik dapat membantu mengamati perjalanan
penyakitnya. Gambaran darah yang normal tidak / belum dapat menyingkirkan diagnosis
tuberkulosis.
d. Foto Rontgen
Foto thoraks yang khas adalah :
- Fokus primer
- Limfadenitis pada trakhea
- Limfangitis
Foto thoraks yang jelas :
- TB milier
- Bronkhogenic Spread
Foto Rontgen thoraks tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal
e. Pemeriksaan Bakteriologis
Merupakan diagnosis pasti bila ditemukan kuman basil tahan asam, tetapi sulit pada bayi
dan anak. Bahan pemeriksaan dapat diambil dari sputum (pada anak besar), bilasan lambung
pagi hari atau dari cairan lain : LCS, Cairan pleura, cairan pericardium. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara langsung, biakan dengan metode lama, radiometrik (Bactec), PCR.
f. Pemeriksaan Histopatologi
Jarang dilakukan pada anak, dilakukan dengan biopsi misalnya dari kelenjar limfe.
g. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pada umumnya fungsi paru tak terganggu kecuali pada bronkhiektasis hebat.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada TB anak yang memerlukan tindakan operatif.
h. Pemeriksaan Terhadap Sumber Penularan
Dicari sumber infeksi baik dari keluarga maupun orang lain, dilakukan pemeriksaan
sputum, foto paru, pemeriksaan darah. Bila positif sebaiknya diisolasi untuk mengurangi kontak
dan dilakukan pengobatan.
i. Serologi
Hasil kurang memuaskan dan masih kontroversi, hasil tergantung dari :
- Umur
- Status imunisasi
- Mycobacterium atypic
- Tidak dapat membedakan infeksi dan sakit
SPONDILITIS TUBERKULOSA
PENDAHULUAN
Spondilltis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah dengan
ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru'-2. Sir Percival Pott (1799)
mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik dan sejak saat itu spondilitis
tuberkulosa dikenal juga sebagai penyaldt Pott (Port's disease). Tuberkulosis merupakan masalah
besar bagi negara-negara berkembang karena insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang
serius. Indonesia adalah kontributor pasien tuberkulosis nomor 3 di dunia setelah India dan Cina.
Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn
usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah.
Spondilitis tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan
penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau
melalui plexus vena Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosa setelah instilasi BCG
(Bacillus Calmelle Guerin) intravesical pada karsirnoma buli-buli. Juga telah dilaporkan kasus
osteomyelitis tuberkulosa sebagai komplikasi dari vaksinasi BCG. Fokus primer infeksi
cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda. Banerjee melaporkan pada 499 pasien
dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru
dan dan kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto
rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa.
Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskular sehingga Iebih resisten terhadap
infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra. Pada anak-anak karena diskus
intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer. Penyempitan diskus
intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami
herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak. Kompresi struktur neurologis terjadi akibat
penekanan oleh proses ekstrinsik maupun intrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan
oleh akumulasi cairan akibat edema, abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang atau
diskus.
INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada
negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun
sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun
perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena
dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Ujung Pandang spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak
70% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang
yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah.
Gambar Spondilytis TB
ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk
batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu
disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.
PATOLOGI
Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun yang
terbanyak menyerang bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang dan akhirnya
vertebra cervicalis pun tidak terlepas dari serangan ini. focus yang pertama dapat terletak pada
centrum corpus vertebrae atau pada metaphyse, bisa juga pertama kali bersifat subperiosteal.
Penyakit ini juga dapat menjalar, sehingga akhirnya corpus vertebrae tidak lagi kuat untuk
menahan berat badan dan seakan-akan hancur sehingga dengan demikian columna vertebralis
membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thorax, maka akan terdapat pembengkokan
hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus. Sementara itu proses dapat menimbulkan gejala-
gejala lain, diantaranya dapat terkumpulnya nanah yang semakin lama semakin banyak, nanah
ini dapat menjalar menuju ke beberapa tempat diantaranya dapat berupa :
1. Suatu abscess paravertebrae, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-kanan columna
vertebralis.
2. Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasi dan kulit di sebelah
belakang dan di luar columna vertebralis merupakan suatu abscess akan tetapi tidak panas.
Umumnya abscess ini dinamakan abscess dingin. Abscess dingin artinya abscess tuberculose.
3. Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga merupakan senkung’s
abscess yang terlihat di bagian dada penderita.
4. Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empyme.
5. Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam pharynx sehingga merupakan
retropharyngeal abscess.
6. Dapat pula abscess terlihat sebagai supraclavicular abscess.
7. Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang kemudian menurun
sampai terjadi abscess besar yang terletak di bagian dalam dari paha.
Semua abscess tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya fistel
yang bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada vertebrae dapat pula
memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut Pott’s Paraplegia. Komplikasi ini
disebabkan karena adanya tekanan pada Medulla Spinalis. Adapun pathogenesis dari proses ini
dapat dijelaskan sebagai berikut : tekanan dapat berasal dari proses yang terletak di dalam
canalis spinalis. Jika di dalam canalis spinalis ada proses tuberculose yang terletak pada corpus
bagian belakang yang merupakan dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan
pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla spinalis. Dalam hal ini
meskipun nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk memberikan tekanan yang hebat pada
Medulla Spinalis.
Dapat pula proses tuberculosa menghancurkan corpus sehingga canalis spinalis
membengkok dan menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan paraplegia.
Kemungkinan lain ialah terdapat sequestra dan pus di sekeliling canalis spinalis tadi yang juga
menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian banyak sebab-sebab yang dapat menekan
medulla spinalis dengan keras sehingga menimbulkan gejala paraplegia. Secara klinis paraplegia
dapat dibagi menjadi early onset, ialah jika paraplegia segera timbul sebagai kelanjutan dari
proses spondylitis tuberculose. Type kedua adalah paraplegia late onset, paraplegia ini terjadi
setelah penyakit spondylitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu lamanya kemudian timbul
gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan.
Lesi Spondilitis tuberkulosa berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang lambat,
bersifat osteolisis lokal, awalnya pada tulang subkhondral di bagian superior atau inferior
anterior dari korpus vertebra . Proses infeksi Myobacterium tuberkulosis akan mengaktifkan
chaperonin 10 yang merupakan stimulator poten dari proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi
destruksi korpus vertebra dianterior. Proses perkijuan yang terjadi akan menghalangi proses
pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskular
sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi progresif di anterior akan
mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang terinfeksi dan terbentuklah kifosis ( angulasi
posterior ) tulang belakang.Proses terjadinya kifosis dapat terus berlangsung walaupun telah
terjadi resolusi dari proses infeksi.Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan problem respirasi
dan paraplegi.
Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra dan membentuk abses paravertebral.
Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung dibawah
ligamentum longitudinal anterior.Apabila telah terbentuk abses paravertebral , lesi dapat turun
mengikuti alur fascia muskulus psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis.
Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap
infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra.Pada anak–anak karena diskus
intervertebralis masih bersifat avaskular,infeksi diskus dapat terjadi primer. Gejala utama adalah
nyeri tulang belakang, nyeri biasanya bersifat kronis dapat lokal maupun radikular.Pasien
dengan keterlibatan vertebra segmen servikal dan thorakal cenderung menderita defisit
neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri
radikular.Selain nyeri terdapat gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam,
peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat badan . Tulang belakang terasa nyeri
dan kaku pada pergerakan.
PATOFISIOLOGI
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat
terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia.
Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan
tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat
mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini
paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu
vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra
sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang
dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra
yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta
basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak
aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul
di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus
sternokleidomastoideus.
Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus,
atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses
pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah
lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum
inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.
Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah
vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra
torakalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka
paraplegia biasanya pada vertebra torakalis10 sedang yang non paraplegia pada vertebra
lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla
spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 1 sisi kiri.
Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu
diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya.
Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis 10, sedang kanalis
vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya jelas
lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior.
Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi
vertebra torakal 10.
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak
Kuman membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :
1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8
minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya
pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal, setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus
vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3
bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis
yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah
ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari
abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena
tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan
dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya
stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang
massif di sebelah depan.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran Spondilitis Tuberkulosa antara lain:
- Badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun.
- Suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung, Pada anak-anak sering
disertai dengan menangis pada malam hari.
- Pada awal dapat dijumpai nyeri interkostal yaitu nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah keatas dada melalui ruang intercosta, hal ini karena tertekannya radiks dorsalis
ditingkat torakal.
- Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.
Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut berupa :
- Paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan medulla spinalis yang
menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri,
- Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya batas deficit sensorik
setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri interkostal
Pemeriksaan Fisik
- Adanya gibus dan nyeri setempat
- Spastisitas
- Hiperreflesia tendon lutut/Achilles dan reflex patologik pada kedua belah sisi
- Batas deficit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan miksi jarang dijumpai
Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :
1. Pada bentuk sentral.
Detruksi awal terletak di sentral korpus vertebra, bentuk ini sering ditemukan pada anak.
2. Bentuk paradikus.
Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebral, bentuk ini
sering ditemukan pada orang dewasa.
3. Bentuk anterior.
Dengan lokus awal di korpus vertebra bagian anterior, merupakan penjalaran per kontinuitatum
dari vertebra di atasnya.
DIAGNOSIS
Diagnosis dari penyakit ini dapat kita ambil melalui bebertapa tanda khas dibawah ini,
Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :
o Nyeri punggung yang terlokalisir
o Bengkak pada daerah paravertebral
o Tanda dan gejala sistemik dari TB
o Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia
Pemeriksaan Laboratorium
o Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk
uji tapis. Al-marri melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33 % anak
dengan laju endap darah yang normal.
o Uji Mantoux positif
o Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan
mikobakterium
o Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
o Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
o Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses
dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah,
test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu
kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.
o Peningkatan CRP ( C-Reaktif Protein ) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang
berhubungan dengan pembentukan abses.
o Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
o Pemeriksaan dengan ELISA ( Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay ) dilaporkan memiliki
sensitivitas 60-80 %, tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan
alergi. Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit
mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
o Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction ( PCR ) masih terus dikembangkan. Prosedur
tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada
fragmen DNA , amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh
yang dapat diidentifikasi dengan gel.
Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10
basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen.
Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang
diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4
minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC ( Becton Dickinson Diagnostic
Instrument System ), Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala
yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga
karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa
radioaktifnya.
Pemeriksaan Radiologis:
o Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal ini sangat diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
o Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat
ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah
servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada
daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra
yang hebat sehingga timbul kifosis.
o Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat
suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut
suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan
dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra
jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.
o “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
o Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
o Abses dingin.
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan
(“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada
vertebra C1-2.
Pemeriksaan CT scan
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan
abses soft-tissue (panah putih)
Pemeriksaan MRI
o Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang.
o Menunjukkan adanya penekanan saraf.
Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT-
Scan dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos. CT-Scan
efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT-Scan dapat digunakan
untuk memandu prosedur biopsi.
Gambar Spondilitis tuberkulosa
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi, memberikan
stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis. Kriteria
kesembuhan sebagian besar ditekankan pada tercapainya status yang
didefenisikan sebagai pasien dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau
tindakan bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan system saraf pusat, focus infeksi yang tenang
secara klinis maupun secara radiologis.
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap:
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500
mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4
bulan (54 kali).
Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita
dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid
1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat
diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju
endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta
gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.
2. Terapi operatif
Bedah costotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus
vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa/kortiko – spongiosa.
Indikasi operasi yaitu:
Bila dengan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3-6 bulan tidak terjadi
perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan
operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft.
Abses besar segmen servikal pada pasien dengan obstruksi saluran respirasi .
Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT
dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting
dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa,
paraplegia dan kifosis progresif atau hernasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis.
Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi
resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase
bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai tendensi
untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior
atau melalui operasi radikal.
DIAGNOSIS BANDING
1. Osteitis Piogen : khasnya demam lebih cepat timbul
2. Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis
3. Skoliosis idiopatik : tanpa gimus dan tanda paralisis
4. Penyakit paru dengan bekas empiema : tulang belakang bebas penyakit
5. Metastasis tulang belakang : tidak mengenai diskus, adanya karsinoma prostat
6. Kifosis senilis : kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka (3)
PROGNOSIS
Prognosa dari penyakit ini bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya
komplikasi neurologic, unutk paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik,
sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya biasanya kurang baik. Bila
paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa proggnosisnya ad functionam juga buruk.
OSTEOMYELITIS
Osteomyelitis adalah merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang yang disebabkan
bakteri pyogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus di tempat lain dan beredar melalui
sirkulasi darah.
Osteomyelitis hematogen akut
Merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang akut yang disebabkan bakteri pyogen
dimana mikroorganisme berasal dari fokus di tempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
Sering ditemukan pada anak-anak dan sangat jarang pada orang dewasa. Diagnosis yang dini
sangat penting, oleh karena prognosis tergantung dari pengobatan yang tepat dan segera.
Etiologi
Faktor predisposisi
1. Umur, terutama mengenai bayi dan anak-anak
2. Jenis kelamin; lebih sering pada laki-laki
3. Trauma; hematoma akibat trauma pada daerah metafisis
4. Lokasi; pada daerah metafisis, karena merupakan daerah aktif terjadinya pertumbuhan tulang
5. Nutrisi; lingkungan dan imunitas yang buruk serta adanya fokus infeksi sebelumnya
Osteomyelitis hematogen akut dapat disebabkan oleh :
1. Staphylococcus aureus β-hemolyticus
2. Haemophylus influenzae, pada anak dibawah umur 4 tahun
3. Organisme lain, seperti E. coli, Pseudomonas aeruginosa, proteus mirabilis dan lain-lain.
Patologi dan Patogenesis
Penyebaran osteomyelitis terjadi melalui dua cara, yaitu :
1. Penyebaran umum
Melalui sirkulasi darah berupa bakteriemi dan septikemi
Melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah lain.
2. Penyebaran local
Subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periosteum
Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai dibawah kulit
Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septic
Penyebaran ke medulla tulang sekitarnya sehingga system sirkulasi dalam tulang
terganggu.
Hal ini menyebabkan kematian tulang local dengan terbentuknya tulang mati (sekuester)
Teori terjadinya infeksi pada daerah metafisis yaitu :
1. Teori vascular (Trueta)
Pembuluh darah pada daerah metafisis berkelok-kelok, membentuk sinus-sinus dengan
akibat aliran darah menjadi lebih lambat. Aliran ini akan menyebabkan mudahnya bakteri untuk
berkembang biak.
2. Teori fagositosis (Rang)
Daerah metafisis merupakan daerah pembentukan RES. Bila terjadi infeksi, bakteri akan
difagosit oleh sel-sel fagosit matur di tempat ini. Meskipun demikian, di daerah ini terdapat juga
sel-sel fagosit immatur yang tidak dapat memfagosit bakteri, sehingga beberapa bakteri tidak
difagositer dan berkembang biak di daerah ini.
3. Teori trauma
Bila trauma artificial dilakukan pada binatang percobaan maka akan terjadi hematoma
pada daerah lempeng epifisis. Dengan penyuntkkan bakteri secara intravena, akan terjadi infeksi
pada daerah hematoma tersebut.
Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut tergantung pada factor
predisposisi. Infeksi terjadi melalui sirkulasi dari focus di tempat lain dalam tubuh pada fase
bakteriemi dan dapat menimbulkan septicemia. Embolus infeksi kemudian masuk kedalam
juksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Fase selanjutnya terjadi hyperemia dan
edema di daerah metafisis disertai pembentukkan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana
jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang
bertambahsehingga akan mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada
sirkulasi tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang.
Di samping proses itu, pembentukkan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian
dalam periosteum sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu
lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum
didalamnya. Proses ini terlihat pada akhir minggu ke dua. Apabila pus menembus tulang maka
terjadi pengaliran pus dari involucrum melalui lubang yang disebut kloaka/sinus jaringan lunak
dan kulit.
Pada tahap selanjutnya, penyakit akan berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada
daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang
membentuk abses tulang kronis (abses Brodie).
Bedasarkan umur dan pola vaskularisasi pada daerah metafisis dan epifisis, truetamembagi
proses patologi pada osteomyelitis hematogen akut atas tiga jenis :
1. Bayi
Adanya pola vaskularisasi foetal menyebabkan penyebaran infeksi dari metafisis dan
epifisis dengan masuk kedalam sendi, sehingga seluruh tulang termasuk sendi dapat
terkena.lempeng epifisis biasanya lebih resisten terhadap infeksi.
2. Anak
Dengan terbentuknya lempeng epifisis serta osifikasi yang sempurna, resiko infeksi pada
epifisis berkurang karena lempeng epifisis merupakan barier terhadap infeksi. Selain itu, tidak
ada hubungan vaskularisasi yang berarti antara metafisis dan epifisis. Infeksi pada sendi hanya
dapat terjadi bila ada infeksi intraartikular.
3. Dewasa
Osteomyelitis hematogen akut sangat jarang terjadi karena lempeng epifisis telah hilang.
Walaupun infeksi dapat menyebar ke epifisis, namun infeksi intraartikuler sangat terjadi. Abses
subperiosteal juga sulit terjadi karena periosteum melekat erat dengan korteks.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis osteomielitis hematogen tergantung dari stadium patogenesis dari
penyakit. Osteomielitis hematogen akut berkembang secara progresif/cepat. Pada keadaan ini
mungkin dapat ditemukan adanya infeksi bacterial pada kulit dan saluran nafas bagian
atas.Gejala dapat berupa nyeri yang konstan pada daerah infeksi, nyeri tekan dan terdapat
gangguam anggota gerak yang bersangkutan.
Gejala umum timbul akibat bakteremia dan septicemia, berupa :
Panas tinggi
Nafsu makan berkurang
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Nyeri tekan
Gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan
bertambah berat jika terjadi spasme local. Gangguan sendi juga dapat disebabkan oleh
efusi sendi atau infeksi sendi (arthritis septic)
Pada orang dewasa lokalisasi infeksi biasanya pada daerah vertebra torako-lumbal yang terjadi
akibat torakosintesis atau akibat prosedur urologis dan dapat ditemukan adanya riwayat kencing
manis, malnutrisi, adiksi obat-obatan atau pengobatan dengan imuno supresif.
Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan Darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 disertai peningkatan LED.
Pemeriksaan titer antibody anti stafilokokus.
Pemeriksaan Kultur darah untuk menentukan jenis bakterinya (50% positif) dan diikuti
dengan uji sensitivitas. Juga harus diperiksa adanya penyakit anemia sel sabit yang
merupakan jenis osteomielitis yang jarang.
Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri
salmonella.
Pemeriksaan Biopsy
Dilakukan pada tempat yang dicurigai.
Pemeriksaan Ultrasound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos dalam 10 hari pertama, tidak ditemukan kelainan radiologist yang berarti
dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Gambaran destruksi tulang dapat
terlihat setelah 10 hari berupa rarefraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan
pembentukan tulang baru dibawah periosteum yang terangkat.
Komplikasi :
Septikemia
Infeksi yang bersifat metastatik
Artritis supuratif
Gangguan pertumbuhan
Osteomielitis kronis
Diagnosa Banding :
Selulitis
Artritis supuratif akut
Demam reumatik
Krisis sel sabit
Penyakit gaucher
Tumor Ewing
Pengobatan :
Istirahat dan pemberian analgesic
Pemberian cairan intravena dan kalau perlu transfuse darah
Istirahat local dengan bidai atau traksi
Pemberian Antibiotik secepatnya sesuai dengan penyebab utama yaitu Stafilokokus
aureus, sambil menunggu hasil biakan kuman. Antibiotic diberikan 3-6 minggu,
Antibiotik tetap diberikan 2 minggu setelah LED normal.
Drainase Bedah, dilakukan apabila setelah 24 jam pengobatan local dan sistemik
antibiotic gagal (tidak ada perbaikan KU), drainase dilakukan selama beberapa hari
dengan menggunakan cairan NaCl dan dengan antibiotic.
Osteomyelitis Hematogen Subacute
Gejala Osteomyelitis hematogen subacute lebih ringan oleh karena organisme yang
menyebabkan kurang purulen dan penderita lebih resisten
Etiologi
Osteomyelitis hematogen subacute biasanya disebabkan oleh staphylococcus aureus dan
umumnya berlokasi dibagian distal femur dan proksimal tibia.
Patologi
Biasanya terdapat cavitas dengan batas tegas pada tulang kanselosa dan mengandung cairan
semipurulen. Kavitas dilingkari oleh jaringan granulasi yang terdiri dari sel-sel inflamasi acute
dan kronik dan biasanya terdapat penebalan trabekula
Gambaran Klinis
Atrofi otot
Nyeri local
Sedikit pembengkakan
Dan dapat pula penderita menjadi pincang
Terdapat rasa nyeri pada daerah sekitar sendi selama beberapa minggu atau mungkin berbulan-
bulan.
Suhu tubuh penderita biasanya normal
Diagnosis
Foto roentgen biasanya ditemukan kavitas berdiameter 1-2 cm, terutama pada daerah metafisis
dari tibia dan femur atau kadang-kadang pada daerah diafisis tulang panjang.
Pemeriksaan labratorium
Leukosit normal
LED meningkat
Pengobatan
Pengobatan yang diberikan berupa pemberian antibiotic yang adekuat selam 6 minggu, apabila
diagnosis ragu-ragu, maka dapat dilakukan biopsy dan kuretase.
Osteomyelitis Sklerosing/Garre
Adalah suatu osteomyelitis subacute dan terdapat kavitas yang dikelilingi jaringan
sclerotic pada daerah metafisis, dan diaphisis tulang panjang. Penderita biasanya remaja dan
orang dewasa, terdapat rasa nyeri dan sedikit pembengkakan pada tulang
Pemeriksaan radiologi
Terlihat adanya kavitas yang dilingkari jaringan sklerotis dan tidak ditemukan kavitas yang
sentral, hanya berupa suatu cavitas yang difus.
Pengobatan
Eksisi
Kuretase
Osteomyelitis Pasca Trauma
Osteomyelitis akibat fraktur terbuka merupakan osteomylitis yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa. Pada suatu fraktur terbuka dapat ditemukan kerusakan jaringan,
kerusakan pembuluh darah, edema, hematoma dan hubungan antara fraktur dan dunia luar,
sehingga pada fraktur terbuka umumnya menjadi infeksi.
Etiologi
Staphylokokus aureus, E. Colli, pseudomonas dan kadang-kadang oleh bakteri anaerobic, seperti
clostridium, streptococcus anaerob atau bakteriodes.
Gambaran Klinis
Demam
Nyeri
Pembengkakan pada daerah fraktur
Dan sekresi pus pada luka
Laboratorium
Pada fraktur terbuka perlu dilakukan pemeriksaan biakan kuman guna menentukan kuman
penyebabnya, pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis dan peningkatan LED.
Pengobatan
Prinsip penanganan pada kelainan ini sama dengan osteomyelitis lainnya, pada fraktur terbuka
sebaiknya dilakukan pencegahan infeksi melalui pembersihan dan debridement luka. Luka
dibiarkan terbuka dan diberikan antibiotic adekuat.
Osteomyelitis Pasca Operasi
Osteomyelitis jenis ini terjadi setelah suatu operasi tulang (terutama pada operasi yang
menggunakan implant), dimana invasi bakteri disebabkan oleh lingkungan bedah. Gejala infeksi
dapat timbul segera setelah operasi atau beberapa bulan kemudian.
Osteomyelitis pasca operasi yang paling ditakuti adalah osteomyelitis setelah suatu
operasi artoplasty. Pada keadaan ini pencegahan lebih penting dari pada pegobatan.
Pengobatan
Pada operasi tanpa implant : pengobatannya sama dengan ostemyelitis post trauma dengan
kerusakan jaringan yang sedikit.
Pada fraktur yang difiksasi internal : Antibiotik IV dengan dosis besar, bila ada abses harus
didrainase dan luka dibiarkan terbuka sampai bersih, jika gagal eksisi bagiang yang infeksi dan
nekrosis, dan diirigasi dengan antibiotic secara intermitten dan suction drainasse mungkin dapat
mengontrol infeksi dan mencegah terjadinya osteomyelitis kronis.
Osteomyelitis Kronis
Osteomyelitis kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomyelitis akut yang tidak
terdiagnosis, atau tidak diobati dengan baik. Osteomyelitis kronis dapat juga terjadi setelah
fraktur terbuka atau setelah operasi pada tulang
Etiologi
Bakteri penyebab osteomyelitis kronis terutama oleh staphylokokus aureus atau E. Colli,
proteus, pseudomonas. Staphylokokus epidermidis merupakan penyebab utama osteomyelitis
kronis pada operasi-operasi orthopedic yang menggunakan implant.
Patologi dan Patogeneses
Infeksi tulang dapat menyebabkan terjadinya sekuestrum yang menghambat terjadinya
resolusi dan penyembuhan spontan yang normal pada tulang. Sekustrum ini merupakan benda
asing bagi tulang dan mencegah terjadinya penutupan kloaka (pada tulang) dan sinus (pada
kulita) sekuetrum diselimuti oleh involucrum yang tidak dapat keluar atau dibersihkan dari
medulla tulang kecuali dengan tindakan operasi. Proses selanjutnya terjadi destruksi dan
sclerosis tulang yang dapat ditunjukanan melalui foto roentgen.
Gambaran klinis
Keluarnya cairan dari luka atau sinus setelah operasi, yang bersifat menahun.
Demam
Nyeri local yang hilang timbul didaerah anggota gerak tertentu
Pada Pemeriksaan Fisik : adanya sinus, fistel, atau sikatrik bekas operasi dengan nyeri
tekan, mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit.
Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomyelitis pada penderita
Laboratorium
Peningkatan LED
Leukositosis
Peningkatan titer antibody anti staphylococcus
Pemeriksaan kultur dan uji sensitifitas diperlukan untuk menentukan organisme penyebabnya
Pemeriksaan radiologi
Foto polos : ditemukan tanda-tanda porosis dan sclerosis tulang, penebalan periost, elevasi
periosteum dan mungkin adanya sekuestrum
Radiology scanning : membantu menegakkan diagnosis osteomyelitis kronis.
CT Scan dan MRI : bermanfaat untuk membuat rencana pengobatan serta untuk melihat sejauh
mana kerusakan tulang yang terjadi.
Pengobatan
1. Pemberian antibiotic : untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada tulang sehat
lainnya, mengontrol eksaserbasi akut
2. Tindakan opertif : dilakukan bila fase eksaserbasi akut telah reda, setelah pemberian antibotik
yang adekuat, operasi yang dilakukan bertujuan untuk mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik,
baik jaringan lunak maupun jaringan tulang (sekuestrum) sampai jaringan sehat sekitarnya.
Selanjutnya dilakukan drainasse kemudian irigasi secara kontinu selama beberapa hari.
Adakalanya diperlukan penanaman rantai antibiotic didalam bagian tulang yang infeksi. Sebagai
dekompresi pada tulang dan memudahkan antibiotik mencapai sasaran dan mencegah
penyebaran osteomyelitis lebih lanjut.
Komplikasi
1. Kontraktur sendi
2. Penyakit ameloid
3. Fraktur patologis
4. Perubahan menjadi ganas pada jaringan epidermis
5. Kerusakan epiphisis sehingga terjadi gangguan pertumbuhan.
INFEKSI TUBERKULOSA
Tuberkolosis Tulang dan Sendi
Faktor predisposisi tuberculosis adalah :
- Nutrisi dan sanitasi yang jelek
- Ras: banyak ditemukan pada orang Asia, Meksiko, Indian dan Negro
- Trauma pada tulang dapat merupakan lokus minoris
- Umur: terutama ditemukan setelah umur satu tahun, paling sering pada umur 2-10 tahun.
- Penyakit sebelumnya, seperti morbili dan varisela dapat memprovokasi kuman.
- Masa kehamilan dan pubertas dapat mengaktifkan tuberculosis.
Patologi :
1. Primer kompleks
Lesi primer biasanya pada paru-paru, faring atau usus dan kemudian pada saluran limfe
menyebar ke limfonodus regional dan disebut sebagai kompleks primer
2. Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah
menghasilkan tuberculosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa
bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra-pulmoner.
3. Lesi tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberculosis paru akan
menyebar dan berakhir sebagai tuberculosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus-kasus
tuberculosis paru masih tinggi dan kasus tuberculosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih
tinggi.
Osteomyelitis Tuberkulosa
Osteomyelitis tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan
tuberkulosa dari tempat lain terutama dari paru-paru.Seperti pada osteomyelitis hematogen akut,
penyebaran infeksi juga terjadi secara hematogen dan biasanya mengenai anak-
anak.Perbedaannya, osteomyelitis hematogen akut umumnya terdapat pada daerah metafisis
sementara osteomyelitis tuberkulosa terutama mengenai daerah tulang belakang.
ANEMIA
Anemia ( Yunani ) adalah penurunan dibawah normal dalam jumlah eritrosit per mm3,
atau volume sel darah merah (packed red cells) dalam 100 ml darah yang terjadi ketika
keseimbangan antara kehilangan darah (melalui perdarahan atau perusakan) dan produksi darah
terganggu. Kekurangan sel darah merah ini dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu
cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah.
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin dan hematokrit dibawah nilai
normal yang menyebabkan penurunan kapasitas darah dalam membawa oksigen.
DIAGNOSIS
Anemia merupakan kelainan hematologik yang paling biasa ditemukan dimasyarakat.
Dalam penegakan diagnosis anemia, WHO telah menetapkan kriteria anemia berdasarkan kadar
hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hmt) yaitu ; diagnosis anemia pada laki-laki bila kadar Hb <
130 g/L (<13 g/dL) dan Hmt 0,39 (39%), pada wanita bila kadar Hb < 120 g/L (12 g/dL) dan
Hmt < 0,36 (36 %).
Anemia dapat disebabkan oleh banyak hal sehingga sangat sulit untuk menegakkan
dignosis etiologik anemia. Berdasarkan etiologinya anemia dapat disebabkan oleh:
- Perdarahan baik perdarahan akut maupun kronik yang dapat diakibatkan oleh berbagai
sebab.
- Hemolisis yaitu lisisnya eritrosit matur dalam sirkulasi
- Kelainan sumsum tulang, yaitu bila terjadi kegagalan sumsum tulang yang dapat disebabkan
oleh proses imunologis, infiltrasi sel-sel leukemia atau oleh sel ganas lainnya.
- Kurang gizi / anemia gizi akibat dari kekurangan zat-zat pembentuk darah dalam makanan,
misalnya Fe, Vit B12, asam folat, protein dan lain-lain.
Untuk menegakkan diagnosis etiologik diperlukan ; (a). anamnesis (b). Pemeriksaan fisik
(c). Pemeriksaan Laboratorium (d). Pemeriksaan khusus (e). kadang – kadang dengan terapi
adjuvantivus (pengobatan percobaan lalu dipantau responnya.
1) Anamnesis
Anamnesis dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab anemia ;
- Kehilangan darah dapat diketahui dari riwayat epistaksis, hemoptisis, hematemesis,
melena, hematuria, menoragia, metroragia, atau pica (sangat ingin memakan es, tanah
liat, atau kanji bekas cucian).
- Diet buruk, penyalahgunaan alkohol, sariawan lidah, parestesia, kesukaran berjalan, atau
diare berbau busuk dengan tinja berminyak.
- Riwayat pajanan terhadap obat atau racun.
- Riwayat kanker, infeksi kronis.
- Riwayat demam, penurunan berat badan, nyeri tulang, atau massa dapat menunjukkan
kanker sebagai penyebab anemia.
2) Pemeriksaan fisik
- Kepucatan, yang nampak pada wajah dan bibir bila anemia berat dan lebih jelas pada
mukosa konjungtiva.
- Pemeriksaan mulut dapat memperlihatkan stomatitis angularis, glositis, atrofi lidah dan
bau nafas uremia.
- Pemeriksaan perut dapat mengungkapkan hepatomegali, splenomegali, massa, atau
asites.
- Pemeriksaan pelvis dan rektum dapat menemukan sumber perdarahan.
- Nyeri tulang atau limfadenopati dapat memberikan petunjuk adanya kanker.
3) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pengukuran yang akurat dari konsentrasi hemoglobin, hematokrit dan hitung sel darah
merah (RBC) memungkinkan penghitungan indeks sel darah merah yang sangat berguna
untuk menggolongkan anemia.
Tabel 1. Nilai normal RBC, hemoglobin dan hematokrit berdasarkan umur dan jenis
kelamin
ParameterLelaki
dewasa
Wanita
dewasa
Bayi baru
lahir
Umur 0,5 –
2 tahun
Umur 2 –
6 tahun
RBC, 1012 4.5–5.9 4.0–5.2 3.9–5.5 4.0–6.6 3.7–5.3
Hb, g/dL13.5–17.5 12.0–16.0 13.5–19.5 14.5–22.5 10.5–13.5
HCT 0.41–0.53 0.36–0.46 0.42–0.60 0.45–0.67 0.33–0.39
b) Indeks sel darah merah : Mean Corpuskular Volume (MCV), Mean Corpuscular
Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). Indeks sel
darah merah ini dapat memberi dugaan abnormalitas yang mendasari sebelum anemia
yang ditentukan sebelumnya berkembang.
o MCV = Mean Corpuscular Volume (Volume Korpuskuler Rata – rata) adalah ukuran
besarnya sel dan untuk menyatakan adanya perubahan – perubahan besarnya sel.
MCV = Hmt : RBC ( dalam m3, atau femtoliter (fl)
o MCH = Mean Corpuscular Hemoglobin (Hemoglobin korpuskuler Rata – rata)
merupakan ukuran jumlah rata-rata hemoglobin dalam tiap satuan sel.
MCH = Hb : RBC (dalam pictogram (pg)
o MCHC = Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (Konsentrasi Hemoglobin
Korpuskuler rata-rata) merupakan ukuran konsentrasi hemoglobin dalam tiap sel
(ukuran kromositas).
MCHC = Hb : Hmt (dalam gram/100 ml RBC, g/dl RBC)
Tabel 1. Nilai normal MCV, MCH dan MCHC berdasarkan umur dan jenis kelamin
ParameterLelaki
dewasa
Wanita
dewasa
Bayi baru
lahir
Umur 0,5
– 2 tahun
Umur 2 –
6 tahun
MCV, fL 80–100 80–100 98–118 95–121 70–86
MCH, pg26–34 26–34 31–37 31–37 23–31
MCHC, g/dL 31–37 31–37 30–36 29–37 30–36
c) Hitung Retikulosit, bermanfaat untuk membedakan anemia yang sekunder pada produksi
sel darah merah yang rendah atau oleh hemolisis.
d) Hitung Leukosit dan Trombosit, dapat membantu untuk membedakan anemia murni atau
pansitopenia.
e) Pemeriksaan apusan darah yang dapat memastikan ukuran dan warna sel-sel darah yang
dapat mengungkapkan adanya variasi pada ukuran sel (anisositosis) atau bentuk
(poikilositosis) darah merah.
f) Pemeriksaan sumsum tulang, sering bermanfaat dan penting pada anemia yang tidak
jelas.
KLASIFIKASI
Jenis anemia dengan berbagai manifestasinya dan penyebabnya yang sudah diketahui,
demikian banyaknya, sehingga sangat sulit untuk menyusun klasifikasi kelainan ini. Pada
umumnya ada 2 kategori yang perlu dibedakan yaitu; keadaan dimana produksi eritrosit tidak
cukup dan keadaan dimana destruksi eritrosit terjadi secara berlebihan.
Tabel 2. Anemia akibat produksi eritrosit tidak cukup
Indeks RBCSumsum
tulang
Uji lab
tambahanDiagnosis
Hipokrom ,
mikrositik.
(MCV dan MCH
berkurang)
MCV < 80 fl
MCH < 26 pg
Zat besi (-) Fe, TIBC Defisiensi Besi
Zat besi (+) HbA atau HbF Thalasemia
Anemia Sideroblastik
Makrositik
MCV meningkatMegaloblastik
B12 serum,
aklorhidria
- Defisiensi Vit B12
- Anemia pernisiosa
Folat serum Defisiensi Asam folat
Normokrom ,
Normositik.
(MCV dan MCH
normal)
Normal/ tidak
normal
Fe, TIBC
Kreatinin
Uji fungsi hati tak
normal
T4
- Anemia aplastik
- Anemia post
perdarahan
- Anemia Hemolitik
- Anemia pada radang
menahun
- Anemia pada uremia
- Anemia pada penyakit
hati
- Anemia pada
miksedema
Berdasarkan kadar Hemoglobin dalam darah maka anemia dapat dibagi menjadi :
1) Anemia ringan, jika kadar Hemoglobin darah antara 10 – 12 gr %
2) Anemia sedang, jika kadar Hemoglobin darah antara 6 – 10 gr %
3) Anemia berat, kadar Hemoglobin darah < 6 gr %
ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMIK
Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi besi adalah suatu keadaan berkurangnya jumlah besi dalam tubuh dan
merupakan sebab anemia tersering pada setiap Negara didunia, dimana ketiga indeks sel darah
merah (MCV, MCH dan MCHC) semuanya berkurang dan memperlihatkan sel darah merah
mikrositik, hipokromik.
Sebelum terjadi anemia karena kekurangan defisiensi besi, terlebih dahulu dilalui suatu
tingkatan yaitu deplesi besi, kemudian defisiensi besi dan akhirnya anemia defiensi besi.
Deplesi besi merupakan permulaan kekurangan besi dimana cadangan besi didalam
tubuh berkurang atau tidak ada, tetapi besi diplasma masih normal begitu juga dengan
hemoglobin dan hematokrit juga normal. Defisiensi besi tanpa anemia yaitu selain cadangan
besi juga besi diplasma sudah berkurang tetapi hemoglobin masih normal. Anemia defisiensi besi
bila cadangan besi, besi didalam plasma dan hemoglobin kurang dari normal.
Etiologi Anemia Defisiensi besi
Tabel 3. Etiologi Anemia Defisiensi besi
1. KEHILANGAN DARAH
- Uterus
- Gastrointestinal
Misalnya; Varises esophagus, hiatus hernia, ulkus peptikum, minum aspirin,
gasterktomi parsial, karsinoma lambung atau caecum, kolon atau
rectum, ankilostomiasis, divetikulitis dan seterusnya.
- Hematuria, hemoglobinuria
- Keganasan
2. KEBUTUHAN MENINGKAT
- Prematuritas
- Hamil
- Pertumbuhan
3. MALABSORBSI
Misalnya pada Gasterktomi dan kelainan duodenum, atau ileum dan jejenum
4. DIET BURUK
5. INTAKE BESI KURANG
Gambaran klinis
Biasanya pasien mengeluhkan keluhan umum dari anemia seperti cepat capek, jantung
berdebar, susah berkonsentrasi, mata berkunag-kunang, letih, sakit kepala dan lesu. Manifestasi
yang paling menonjol pada anemia defisiensi besi adalah pucat, glositis, stomatitis, keilitis
angular, koilonikia, perdarahan dan eksudat pada retina, dan plummer-vinson syndrome yaitu
sukar menelan yang merupakan gejala yang khas pada anemia defisiensi besi.
Gambaran laboratorium
Tabel 4. Hasil pemeriksaan laboratorium pada defisiensi besi
Darah tepi
Hb, Hmt dan RBC menurun
MCV, MCH dan MCHC menurun
Mungkin ada leukopeni
Jumlah trombosit meningkat pada perdarahan aktif
Persentase retikulosit rendah
Sumsum tulang
Hiperplasi eritroid
Cadangan besi menurun
Lain-lain
Kadar besi serum (SI) menurun, TIBC meningkat, % saturasi menurun
Kadar feritrin serum < 10 ng/dl
Protoporfirin eritrosit bebas meningkat
Umur eritrosit menurun
Terapi
Usaha pengobatan ditujukan pada pencegahan dan intervensi. Pencegahan tersebut
mencakup ; Menganjurkan Ibu-Ibu untuk memberikan ASI, Makan makanan kaya zat besi dan
minum vitamin pranatal yang mengandung besi. Terapi untuk mengatasi anemia defisiensi zat
besi terdiri dari program pengobatan berikut ;
1. Zat besi diberikan per oral dalam dosis 2 – 3 mg/kg unsur besi semua
bentuk zat besi sama efektifnya ( fero sulfat, fero fumarat, fero suksinat, fero
glukonat.
2. Vitamin C harus diberikan bersama dengan besi (Vitamin C
meningkatkan absorpsi besi).
Terapi besi hendaknya diberikan sekurang-kurangnya selama 6 minggu setelah anemia
dikoreksi untuk mengisi kembali cadangan besi. Zat besi yang disuntikkan jarang dipakai lagi
kecuali terdapat penyakit malabsorpsi usus halus.
KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)
I. Definisi
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).
II. Klasifikasi
Berikut ini adalah klasifikasi Kurang Energi Protein:
KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median WHO-NCHS
dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90% baku median WHO-NCHS.
KEP sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB 70-80% baku
median WHO-NCHS.
KEP berat/Gizi buruk bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB <70%
baku median WHO-NCHS.
III. Etiologi
Terdapat 13 faktor yang dapat melatarbelakangi kemungkinan terjadinya KEP, yaitu:
tingkat pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi,
tingkat frekuensi penyuluhan gizi, tingkat kunjungan ke posyandu, riwayat pemberian ASI
eksklusif, riwayat imunisasi, riwayat sakit, riwayat pemberian MP-ASI, riwayat kelahiran, pola
asupan gizi, pola asuhan, kebersihan lingkungan tempat tinggal.
UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah satu
strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan bahwa
masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh:
Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi
kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak
yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita
gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya
tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
Penyebab tidak langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :
- Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu
untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang
cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
- Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan masyarakat diharapkan
dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh
kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.
- Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang
ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan
dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
IV. Patofisiologi
Adapun patofisiologi dari KEP diantaranya, yaitu(3):
Respon metabolik tehadap kekurangan intake energi
- Pada keadaan tanpa infeksi, kelaparan menyebabkan terjadinya pengurangan
cadangan lemak tubuh sehingga cadangan glikogen dikeluarkan dan terjadi perubahan
hormonal untuk mempertahankan fungsi vital sampai kebutuhan energi dapat
terpenuhi kembali.
- Penyesuaian metabolisme diatur secara hormonal. Kadar kortisol meningkat
menyebabkan stress, sekresi insulin menurun dan terjadi penurunan respons
terhadap glukosa dan resistensi perifer. Growth hormon umumnya tinggi. Peningkatan
aldosteron menyebabkan pengeluaran kalium.
Adaptasi pengurangan intake protein
- Selama intake protein kurang, otot skelet mengecil karena protein dirubah untuk
mempertahankan enzim esensial dan menyediakan energi untuk proses metabolik.
Terjadi penurunan sintesis protein dan peningkatan pemecahan protein di dalam otot
dimana asam amino esensial di dalam hati untuk sintesis protein dan glukoneogenesis.
Perubahan elektrolit
- Pada marasmus dan kwashiorkor, terjadi retensi natrium yang menyebabkan peningkatan
natrium total tubuh meskipun kadar natrium serum dapat saja rendah, yang menunjukkan
adanya peningkatan air ekstraseluler.
- Kadar kalium total tubuh dapat saja menurun meski kadar di dalam serum normal.
- Dibutuhkan kalium sebanyak 7,0 mmol/kg pada minggu pertama atau fase akut dari
pemilihan, dan jumlah yang sama telah memberikan hasil yang baik pada uji klinis di
Malawi.
- Terjadi penurunan aktivitas pompa natrium yang tergantung energi, yang menyebabkan
kenaikkan natrium intraseluler dan penurunan kalium.
- Hipofosfatemia yang terjadi pada anak malnutrisi behubungan dengan tingginya
mortalitas.
Interaksi dengan infeksi
- Infeksi dan nutrisi berhubungan dengan erat dalam suatu lingkaran setan yang terjadi
pada berbagai tingkatan, dari hubungan inter-relasi sosio kultural menjadi metabolisme
interseluler.
- Pada kelaparan dan kemiskinan, diet anak sebagian besar terdiri dari karbohidrat tanpa
atau disertai sedikit produk dari hewan dan lemak.
- Selama proses infeksi, terjadi perubahan metabolik yang menyebabkan sumber energi
tubuh terkonsentrasi dalam memproduksi protein fase akut di hepar dan kondisi yang
sebaliknya terjadi pada kelaparan.
Sitokin
- Sitokin adalah protein struktural yang kecil, yang dapat diproduksi oleh hampir semua
sel bernukleus dengan kadar yang sangat kecil, memiliki efek lokal dan sistemik, dan
terlibat dalam respon primer terhadap infeksi. Sintesis sitokin secara cepat dipicu oleh
respon terhadap infeksi, trauma, dan sebagainya. Sitokin juga terlibat dalam perubahan
metabolisme protein dan fungsi otot pada keadaan infeksi, puasa, dan kaheksia kanker.
Golongan tumor necrosis faktor (TNF), IL-I, dan IL-6 adalah sitokin proinflamasi, yang
menjadi mediator pada respon inflamasi lokal, yang terdiri dari kalor, rubor, dolor,
tumor, serta berperan juga pada respon sistemik seperti demam dan anoreksia.
- Anak dengan malnutrisi berat sering mengalami penurunan reaksi inflamasi dan tidak
berespon terhadap demam. Telah dilaporkan bahwa produksi IL-I dan TNF in vitro oleh
monosist yang bersirkulasi menurun pada anak dengan malnutrisi. Sebaliknya
konsentrasi tinggi IL-6 dan TNF dilaporkan meningkat dalam serum anak malnutrisi
yang tidak mengalami infeksi.
Protein fase akut
- C-reaktive protein (CRP), α1-antitripsin, dan α-makroglobulin disebut sebagai protein
fase akut positif karena sintesisnya di dalam hepar mengalami peningkatan sebagai
respon terhadap stress termasuk infeksi.
- Protein fase akut negatif (albumin, prealbumin, fibronectin, retinol binding protein)
konsentrasinya di dalam serum menurun pada anak dengan malnutrisi tanpa
memperhatikan peningkatan sintesis di hepar secara keseluruhan.
- Kadar fibronectin yang rendah telah dilaporkan sebagai indikator awal yang bermanfaat
untuk diagnosis malnutrisi. Protein fase akut positif berperan penting dalam pertahahann
tubuh melawan infeksi, tetapi inflamasi yang tidak terkontrol berhubungan dengan efek
yang berlawanan, misalnya pada inflammatory bowel disease, arthritis rheumatoid, dan
mungkin saja pada kwashiorkor.
Kwashiorkor
- Selama ini kwashiorkor berhubungan dengan kekurangan protein dalam diet dan edema
yang terjadi dihubungkan dengan kadar albumin yang rendah, sehingga penderita
kwashiorkor diterapi dengan diet tinggi protein.
- Kwashiorkor sering terjadi setelah penyakit campak atau disentri dan juga dapat terjadi
pada bayi yang dapat ASI, yang pada dasarnya mendapat asupan protein yang adekuat,
serta anak dari komunitas yang dietnya hampir sama dapat mengalami kwashiorkor atau
marasmus.
Radikal bebas
- Gejala klinis yang timbul pada kwashiorkor diduga disebabkan oleh produksi radikal
bebas.
- Respon terhadap infeksi atau cedera sel tergantung pada radikal bebas dalam
menghancurkan bakteri.
- Radikal bebas ditandai oleh satu atau lebih elektron tunggal (tidak berpasangan), yang
membuatnya menjadi lebih reaktif dan tidak stabil.
- Produksi radikal bebas meningkat pada stress, termasuk inflamasi, infeksi, dan tekanan
dari lingkungan.
- Stress oksidatif adalah prorses dimana keseimbangan antara pro-oksidan dan antiksidan
bergeser kearah pro-oksidan, sehingga terjadi peningkatan radikal bebas yang
menyebakan kerusakan biologis, antara lain kerusakan enzyme, asam nukleat, dan
peroksidasi lipoprotein serta EFA di memban sel oleh hydrogen peroksida.
Metabolisme lemak, asam lemak tak jenuh ganda, dan radikal bebas.
- Pada malnutrisi terjadi perubahan profil lemak pada membran sel darah merah dan
plasma.
- Asam lemak bebas dan metabolitnya memiliki fungsi protektif termasuk menjaga
integrasi membran sel dan terlibat dalam sintesis elemen imunologis seperti
prostaglandin dan leukotrien.
- Pada anak dengan malnutrisi berat, kadar asam arakidonat, salah satu asam lemak
esensial, pada profil lemak membran sel dan konsentrasi dalam plasmanya rendah.
- Kadar antioksidan secara tetap menurun pada KEP, sehingga meningkatkan peroksidasi
dari membran asam lemak tak jenuh rantai panjang.
Perubahan pada organ dan system pada penderita malnutrisi
- Sistem endokrin
Pada manutrisi berat sering ditemukan penurunan kadar insulin dan adanya gangguan
respon insulin terhadap glukosa, glukagon, dan arginin. Hal ini menjelaskan kenapa pada
malnutrisi berat perlunya menunda waktu mulai diberikannya makanan dan makanan
yang diberikan dalam porsi kecil tetapi sering.
Selama terjadi pengurangan diet, mula-mula terjadi peningkatan T4 (Thyroxin), tetapi
bila keadaan malnutrisi semakin berat terutama pada kwashiorkor akan terjadi penurunan
T4. Kadar thyroid binding protein akan menurun juga, hal ini merupakan efek primer
akbat penurunan produksi. Terjadi juga penurunan kadar T3 (triidothyronin).
- Sistem imun
Pada keadaan malnutrisi terjadi perubahan dalam sintesis imun yang diperantarai sel,
sistem imun komplemen, dan fungsi sel PMN dan beberapa melaporkan adanya
perubahan sistem imun humoral.
- Hati
Pada hati terjadi pergantian produksi, dari produksi protein carrier menjadi produksi
protein untuk inflamasi akut, yang menunjukkan adanya respon terhadap trauma atau
infeksi.
- Jantung
Curah jantung menurun pada PEM akut dibandingkan dengan saat penyembuhan.
- Sitem pernafasan
Penurunan masa otot akan menurunkan juga massa otot pernafasan termasuk diafragma.
- Saluran pencernaan
Penurunan asam lambung, penipisan mukosa intestinal, pemendekan atau menghilangnya
villi usus dengan kripta yang menjadi lebih jarang. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas usus dan penurunan absorbsi makanan.
Hilangnya villi usus akan menyebabkan menurunnya aktifitas disakaridase, terutama
lactase karena zat ini terdapat pada puncak villi. Karena itu sering ditemukan
malabsorbsi laktosa pada malnutrisi.
Malabsorbsi lemak juga ditemukan pada PEM dan diare persisten. Pada PEM tejadi juga
pertumbuhan berlabihan dari bakteri. Walaupun terdapat intoleransi laktosa, pemberian
laktosa tidak lebih dari 3 g/kg/hari ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan akan
merangsang penyembuhan.
- Hematologi: Anemia
Anemia serina dijumpai pada malnutrisi dan kemungkinan disebabkan karena defisiensi
besi atau penurunan produksi eritrosit karena beradaptasi dengan penurunan lean body
mass.
Walaupun terdapat defisiensi besi yang berbioavaibilitas baik pada makanan, pada
kwashiorkor terdapat peningkatan besi hepatik dan pada sumsum tulang terdapat besi
yang cukup. Hal ini tidak umum ditemukan pada marasmus.
Pada marasmus, besi terikat kuat pada protein selama penyimpanan dan selama
pengangkutan. Hal ini untuk mencegah pembentukan radikal bebas dari besi bebas. Pada
kwashiorkor, penurunan kadar transferin plasma menunjukkan bahwa terdapat penurunan
iron binding capacity dan konsentrasi besi bebas kemungkinan meningkat.
- Kulit dan rambut
Pada marasmus, ditemukan kulit yang kering dan berkerut yang disebabkan karena
pengurangan lemak subkutan menyebabkan mudahnya timbul gejala hipotermia. Pada
rambut PEM tipis, tumbuh lambat dan rontok.
- Fungsi otak dan perkembangan
Biasanya anak PEM berasal dari lingkungan yang tidak memungkinkan timbulnya
rangsangan yang diperlukan dan setelah sembuh dari PEM anak ini juga harus kembali
ke lingkungan tersebut. Hal ini menyulitkan untuk membedakan akibat jangka panjang
malnutrisi.
- Tulang
Terjadi penurunan turn over tulang selama fase akut dan peningkatan turn over pada fase
penyembuhan. Defisiensi tulang dapat menyebabkan defisiensi folat. Defisiensi vitamin
D dapat menimbulkan rickets dan osteomalacia. Defisiensi vitamin C dapat
menimbulkan gejala scurvy.
V. Gejala klinis
Gejala klinis KEP ringan
Penyakit KEP ringan sering ditemukan pada anak-anak dari 9 bulan sampai 2 tahun, akan
tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar. Pertumbuhan yang terganggu dapat
dilihat dari(4):
1) Pertumbuhan linier mengurang atau terhenti
2) Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, dan adakalanya beratnya bahkan menurun
3) Ukuran lingkaran lengan atas menurun
4) Maturasi tulang terlambat
5) Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun
6) Tebal lipat kulit normal atau mengurang
7) Anemia ringan
8) Aktivitas dan perhatian mereka berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat
9) Kelainan kulit maupun rambut jarang ditemukan pada KEP ringan, akan tetapi adakalanya
dijumlahkan.
Gejala Klinis Kwashiorkor
Adapun gambaran dan gejala klinis kwashiorkor sebagai berikut:
1) Penampilan
Penampilannya seperti anak yang gemuk (suger baby)
2) Gangguan pertumbuhan
Berat badan dibawah 80% dari baku Harvard persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu
pula tinggi badannya terutama jika KEP sudah berlangsung lama.
3) Perubahan mental
Pada umumnya mereka banyak menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis.
4) Edema
Edema ini muncul dini, pertama kali terjadi pada alat dalam, kemudian muka, lengan,
tungkai, rongga tubuh dan pada stadium lanjut mungkin di seluruh tubuh (Edema Anasarka).
Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema.
5) Atrofi otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring terus menerus, walaupun
sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat berjalan-jalan.
6) Sistem gastro-intestinum
Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang berat penderita
menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui
sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang cair dan
mengandung banyak asam laktat karena mengurangnya produksi laktase dan enzim
disakaridase lain. Adakalanya diare demikian disebabkan pula oleh cacing dan parasit lain.
7) Perubahan rambut
Rambut berwarna pirang, berstruktur kasar dan kaku, serta mudah di cabut. Tarikan ringan di
daerah temporal dengan mudah dapat mencabut seberkas rambut tanpa reaksi sakit. Pada
kwashiorkor tahap lanjut rambut akan terlihat kusam, jarang, kering, halus, dan berwarna
pucat atau putih. Pada selembar rambut seringkali Nampak berbagai warna secara selang
seling antara warna gelap, pirang, dan pucat, yang menyerupai bendera dan dikenal sebagai
signo de bandero. Perubahan rambut pada kelopak mata tidak nyata, bahkan bulu mata sering
menjadi lebih panjang.
8) Perubahan kulit
Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan adanya
penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang
khas bagi penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah
menyerupai petehia, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam. Setelah bercak
hitam mengelupas, maka terdapat bagian-bagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yang
masih hitam. Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan
yang terus-menerus mendapat tekanan merupakan predeleksi crazy pavement dermatosis,
seperti di punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya.
9) Pembesaran hati
Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadang - kadang batas hati
terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal
pada rabaan dengan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam. Sediaan hati demikian jika
dilihat di bawah mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi dengan lemak. Pada
kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat terutama di segi tiga Kurnan,
lebih berat penyakitnya lebih banyak sel hati yang terisi dengan lemak, sedangkan pada yang
sangat berat perlemakan terdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat juga adanya
fibrinosis dan nekrosis hati.
10) Anemia
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita demikian. Bilamana kwashiorkor disertai
oleh penyakit lain, terutama ankylostomiasis, maka dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis
anemia pada kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik normokrom, mikrositik
hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya. Perbedaan macam anemia pada
kwashiorkor dapat dijelaskan oleh kekurangan berbagai faktor yang mengiringi kekurangan
protein, seperti zat besi, asam folik, vitamin B12, vitamin C, tembaga, insufisiensi hormon,
dan sebagainya. Macam anemia yang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih dominan.
Pada pemeriksaan sumsum tulang sering-sering ditemukan mengurangnya sel sistem
eripoitik. Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan terutama oleh
kekurangan protein dan infeksi menahun.
11) Kelainan biokimia darah
Ada hipotesis yang mengatakan, bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh tidak dapat
beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh kekurangan protein maupun energi.
Oleh sebab itu banyak perubahan biokimia dapat ditemukan pada penderita kwashiorkor,
misalnya:
a. Albumin serum:
Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering dianggap spesifik dan
sudah ditemukan pada tingkat dini, maka McLaren memberi angka (skor) untuk
membedakan kwashiorkor dari marasmus. Lebih rendah kadar albumin serum, lebih tinggi
pemberian angkanya.
b. Globulin serum:
Kadar globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi tidak sebanyak
menurunnya albumin serum, hingga pada kwashiorkor terdapat rasio albumin/ globulin
yang biasanya menjadi lebih rendah, bahkan pada kwashiorkor yang berat ditemukan rasio
yang terbalik.
c. Kadar kolesterol serum:
Pada penderita kwashiorkor, terutama yang berat, kadar kolesterol darahnya rendah.
Mungkin saja rendahnya kolesterol darah disebabkan oleh makanan sehari-harinya yang
terdiri dari sayuran hingga tidak mengandung kolesterol, atau adanya gangguan dalam
pembentukan kolesterol dalam tubuh.
d. Tes thymol turbidity (derajat kekeruhan):
Tes tersebut merupakan tes fungsi hati. Penentuan terhadap 109 penderita kwashiorkor
memberi hasil sebagai berikut: pada 73 penderita meninggi, sedangkan pada selebihnya
tidak. Tidak ditemukan korelasi antara tingginya kekeruhan dan beratnya perlemakan hati
maupun tingginya angka kematian, maka tes tersebut tidak mempunyai nilai diagnosis
maupun prognosis
Gejala Klinis Marasmus
Adapun gejala klinis marasmus diantaranya, yaitu:
1) Penampilan; muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua. Anak
terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya.
2) Perubahan mental; anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa
lapar. Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat.
3) Kelainan pada kulit tubuh; kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan
kehilangan banyak lemak di bawah kulit serta otot-ototnya. Kulit berkeriput, jaringan lemak
subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pada daerah pantat tampak seperti memakai celana
longgar “baggy pants”)
4) Kelainan pada rambut kepala; walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor,
adakalanya tampak rambut yang kering, tipis dan mudah rontok.
5) Lemak di bawah kulit; lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang.
6) Otot-otot; otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas.
7) Saluran pencernaan; penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi.
8) Jantung; tidak jarang terdapat bradikardi.
9) Tekanan darah; pada umumnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan dengan
anak sehat seumur.
10) Saluran nafas; terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang.
11) Sistem darah; pada umumnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah.
Gejala Klinis Kwashiorkor Marasmik
Adapun gejala klinis kwashiorkor marasmik diantaranya, yaitu:
1) Patologi; pada penyakit KEP terdapat perubahan nyata daripada komposisi tubuhnya, seperti
jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein.
2) Cairan tubuh total (total body water); tubuh mengandung lebih banyak cairan. Keadaan ini
merupakan akibat menghilangnya lemak, otot, dan jaringan lain.
3) Cairan eksternal; terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak cairan
ekstrasel dibandingkan dengan yang tanpa edema.
4) Kalium total tubuh; kalium menurun, terutama yang terdapat dalam sel, hingga menimbulkan
gangguan metabolik pada organ-organ seperti otot, ginjal, dan pankreas.
5) Mineral lain; dalam sel otot kadar natrium dan faktor inorganic yang meninggi dan kadar
magnesium yang menurun.
VI. Diagnosis
Adapun diagnosis dari KEP diantaranya, yaitu:
1. Klinik : anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang, serta penyakit yang
pernah diderita) dan pemeriksaan fisik (tanda-tanda malnutrisi dan berbagai defisiensi
vitamin)
2. Anthropometrik : BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur),
LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan),
LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan)
3. Analisis diet
4. Laboratorik :
Darah : Hb, leukosit, eritrosit, nilai absolut eritrosit, hematokrit, apus darah tepi, albumin,
protein total, ureum kreatinin, kolesterol, HDL, trigliserida, Fe, TIBC, transthyretin serum,
elektrolit, glukosa, bilirubin, indeks protrombin, dan biakan.
Urin: kultur, urea N, hidroksiprolin, apus rectal.
VII. Diagnosa banding
Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor maupun marasmik-kwashiorkor
perlu dibedakan dengan sindroma nefrotik, sirosis hepatis, payah jantung kongestif, Pellagra
infantil(5).
VIII. Dampak
Menguraikan mengenai dampak penyakit KEP adalah sebagai berikut:
1) Sistem Alimentasi Bagian Atas
Mukosa mulut, lidah, dan leher penderita KEP menjadi atrofis, papilla lidah sangat datar.
Gusi sering-sering mengalami infeksi hingga tampak adanya ulserasi yang luas. Adakalanya
timbul noma, ulkus yang nekrotis dimulai pada mukosa mulut yang menjalar ke permukaan,
hingga menyebabkan lubang di muka yang sangat menyedihkan. Terdapat pula atrofi kelenjar
ludah.
2) Saluran Gastro-intestinum
Permukaan saluran gastro-intestinum menjadi atrofis hingga menimbulkan gangguan resorbsi
makanan. Enzim-enzim disaharidase disintesis oleh vili-vili usus, maka terdapat gangguan
pencernaan disakarida, terutama laktosa.
3) Hepar
Pada parenkim hepar terdapat penimbunan lemak. Pada penyakit KEP yang ringan hanya sel-
sel sekitar saluran portal mengalami perlemakan, tetapi menjalar ke sentrum dengan makin
beratnya penyakit, hingga pada akhirnya seluruh parenkim terisi lemak. Terdapat pula
pembesaran hati hingga pada rabahan batas bawah hepar dapat mencapai jauh di bawah
umbilikus. Pada otopsi didapati hati yang lebih pucat dan agak keras. Adakalanya terdapat
pula fibrosis dan nekrosis ringan disamping perlemakan yang diutarakan tadi. Penderita KEP
dengan perlemakan berat mempunyai prognosis yang buruk. Jarang sekali terdapat sirosis hati
setelah penderita sembuh.
4) Pankreas
Pankreas penderita KEP mengecil, disertai atrofi sel-sel asinus dan menghilangnya butir-butir
zimogen. Produksi berbagai enzim pancreas menurun. Diantara enzim-enzim pankreas lipase
menurun terlebih dulu, sedangkan amilase yang terakhir. Dengan demikian kelainan tersebut
mempunyai pengaruh yang negatif pada fungsi pencernaan.
5) Ginjal
Pada otopsi sering-sering ditemukan ginjal yang atrofis. Sering pula dilaporkan adanya
perubahan pada glomerulus. Infeksi saluran kemih yang tidak didiagnosa sering ditemukan
pada otopsi. Berhubung dengan terdapatnya kelainan pada ginjal, maka dapat diduga
terjadinya perubahan fungsi, seperti mengurangnya kecepatan filtrasi, dan lain-lain.
6) Jantung
Atrofi ringan otot jantung dapat ditemukan. Pemeriksaan radiologis jantung memperlihatkan
gambaran jantung yang mengecil atau normal, walaupun pada penderita marasmus
adakalanya membesar. Jika terdapat pula anemia berat atau penderita sedang mengalami masa
penyembuhan, pemberian cairan yang berlebihan dapat menimbulkan pembesaran jantung
yang akut karena dilatasi. Pada KEP-berat cardiac output menurun, waktu sirkulasi
memanjang, bradikardi dan hipotensi. Pada umumnya tangan dan kaki penderita terasa dingin
dan pucat disebabkan insufisiensi sirkulasi yang timbul.
7) Sistem Endokrin pada KEP
Pada KEP-berat ditemukan perubahan produksi beberapa hormon:
1) Kortisol; walaupun pada otopsi ditemukan atrofi anak ginjal, kadar kortisol plasma naik
baik pada kwashiorkor maupun pada marasmus.
2) Insulin; pada umumnya sekresi insulin tetap rendah setelah penderita dapat glukosa.
3) Hormon pertumbuhan (human growth hormon); kadar hormone pertumbuhan sering-sering
justru meninggi pada kwashiorkor dan normal atau meninggi pada marasmus.
4) Thyroid Stimulating Hormon (TSH); TSH meninggi akan tetapi fungsi tiroid menurun.
Hormon-hormon yang disebut tadi mempunyai peranan pada metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein. Dilihat dari fungsi masing-masing hormone terhadap metabolisme
ketiga makronutrien tersebut, maka perubahan kadar dalam serum pada penderita KEP
menguntungkan penderita dalam penyediaan energy yang sangat dibutuhkan.
8) Dampak Penyakit KEP terhadap Perkembangan Mental
Penyelidikan dalam bidang pertubuhan dan fungsi otak pada penderita yang sembuh dari
penyakit KEP banyak dilakukan. Menurut Winic dan Rosso (1975) berpendapat bahwa KEP
yang diderita pada masa dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA,
dengan akibat terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya otak itu
normal. Jika KEP terjadi setelah divisi sel otak berhenti, hambatan sintesis protein akan
menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal tetapi dengan ukuran yang lebih kecil.
Perubahan yang disebut belakangan ini dapat hilang kembali (reversibel) dengan perbaikan
diet. Pada tahun 1975 Karyadi melaporkan hasil studinya terhadap 90 anak yang pernah
menderita penyakit KEP. Studi lanjutan yang dilakukan 5 tahun kemudian menunjukkan
defisit pada IQ mereka. Pemeriksaan ulang setelah 10 tahun memberi hasil demikian, bahwa
nilai IQ anak-anak yang pernah menderita KEP pada umur muda lebih rendah secara
bermakna. Pemeriksaan EEG abnormal, dan setelah diulang 5 tahun kemudian naik menjadi
65%. Dari studi tersebut ia mengambil kesimpulan bahwa KEP dapat mempengaruhi
kecerdasan melalui kerusakan otak. Memang faktor – faktor lain seperti kebudayaan dan
keturunan ikut berperan dalam menentukan kecerdasan seseorang. Disamping faktor umur,
penting pula diketahui derajat berat dan lamanya si anak menderita KEP.
IX. Penyulit
1. Gangguan pada mata akibat defisiensi vitamin A
2. Gangguan pada kulit (Dermatosis)
a. Hipo/hiperpigmentasi
b. Deskuamasi (kulit mengelupas)
c. Lesi ulserasi eksudatif menyerupai luka bakar, sering disertai dengan infeksi sekunder
oleh candida.
3. Diare Persisten
4. Anemia Berat
5. Parasit/Cacing
6. Tuberculosis
7. Malaria
X. Pengobatan
Prinsip pengobatan MEP adalah:
1. Memberikan makanan yang mengandung banyak protein bernilai biologik tinggi, tinggi
kalori, cukup cairan, vitamin dan mineral.
2. Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah dicerna dan diserap
3. Makanan yang diberikan secara bertahap, karena toleransi terhadap makanan sangat rendah.
4. Penanganan terhadap penyakit penyerta.
5. Tindak lanjut berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi terhadap
keluarga.
Adapun 10 langkah utama pada tatalaksana KEP berat diantaranya, yaitu:
1. Hipoglikemia
Merupakan salah satu penyebab kematian pada gizi buruk. Dapat disebabkan infeksi sistemik
atau tidak mendapat makanan 4-6 jam sebelumnya.
Definisi : Kadar glukosa darah <54 mg/dL atau <3 mmol/L
Tanda Klinis : Lemah, suhu tubuh <36,5˚C, kadang ada gangguan kesadaran.
Anak tidak berkeringat dan pucat seperti anak normal, lebih
sering didapatkan anak mengantuk.
Bila ada tanda klinis berikan glukosa tanpa menunggu pemeriksaan lab.
Anak mampu minum : 50 ml glukosa 10% atau F-75
Sukrosa 10% : 1 sendok teh gula pasir dalam 5
sendok teh air
Anak tidak sadar atau kejang : Glukosa 10% 5ml/kgBB iv diikuti
50ml glukosa 10% per NGT
Semua anak gizi buruk yang menderita hipoglikemia harus diberi antibiotika spektrum luas
karena kemungkinan besar menderita infeksi sistemik.
2. Hipotermia
Definisi : Suhu aksiler <36.5 ˚C
Faktor resiko : Bayi <12 bulan
Kerusakan kulit yang meluas
Infeksi serius
Penanganan : Kangaroo mother care (kontak langsung kulit ibu denga kulit
anak)/perawatan bayi lekat bungkus anak dengan selimut dan letakkan
lampu didekatnya (50 cm). Hentikan pemanasan jika suhu tubuh sudah
mencapai 37 ˚C
3. Dehidrasi dan syok septik
Dehidrasi dan syok septik sulit dibedakan pada anak dengan gizi buruk. Pada syok septik
sering dijumpai riwayat diare dengan dehidrasi sehingga gambaran klinis menjadi kabur.
Diagnosis :
Tanda dehidrasi yang biasa digunakan untuk menilai anak normal sulit diterapkan pada anak
gizi buruk karena Pada anak gizi buruk terjadi atrofi kelenjar ludah dan air mata sehingga
mukosa menjadi kering dan air mata tidak ada tidak cukup baik untuk menilai dehidrasi.
Lemak subkutan tipis sehingga pada cubitan kembalinya kulit selalu lambat. Sebaliknya,
edema menutupi tanda ini.
Tatalaksana :
Dehidrasi diatasi dengan pemberian cairan peroral. Pemberian cairan intravena dapat
menyebabkan over hidrasi dan gagal jantung, karena itu hanya diberikan pada keadaan syok.
Penderita gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan kadar natrium yang tinggi, maka
seharusnya cairan rehidrasi mengandung lebih banyak kalium dan lebih sedikit natrium
dibanding oralit standard (formula WHO).
Cairan rehidrasi untuk malnutrisi disebut ReSoMal.
Cara pemberian :
- 70-100ml/kgBB selama 12jam, dimulai dengan 5ml/kg setiap 30 menit untuk 2 jam
pertama (oral/NGT), kemudian 5-10 ml/kg/jam.
Hentikan ReSoMal bila ada :
- Kenaikan frekuensi jantung dan respirasi
- Pelebaran (kenaikan tekanan) vena jugularis
- Peningkatan edema (termasuk kelopak mata bengkak)
Rehidrasi diberikan sampai anak tidak merasa haus, air kemih telah diproduksi dengan baik,
tanda dehidrasi lain sudah hilang.
Rehidrasi intravena :
- Diberikan pada syok hipovolemik atau syok septik.
- Larutan Darrow (half-strength) dengan glukosa (dekstrosa) 5% atau RL dengan glukosa
5% atau D5 ½ saline.
- Diberikan 15ml/kgBB selama 1 jam, pantau tanda overhidrasi. Dapat diulang dengan
dosis yang sama. Pasang NGT dan berikan ReSoMal 10ml/kgBB/jam.
- Anak dievaluasi tiap jam.
- Anak dengan tanda sebagai berikut dianggap menderita syok septik :
- Tanda dehidrasi tanpa riwayat diare cair
- Hipotermia atau Hipoglikemia
- Edema dan tanda Dehidrasi
4. Koreksi elektrolit
Kurangi garam pada makanan, berikan makanan yang banyak mengandung K dan Mg
Sumber K : jus tomat, merica, paprika, kacang-kacangan, apel, alpukat, bayam,
daging tanpa lemak.
Sumber Mg : coklat, kopi instan, kacang-kacangan, bayam, aprikot.
5. Infeksi
Demam sebagai tanda infeksi tidak tampak pada penderita gizi buruk. Pada semua penderita
gizi buruk sebaiknya diberikan antibiotika spektrum luas.
a. Tanpa tanda infeksi dan komplikasi :
- Kotrimoksasol (25mg sulfametoksasol + 5mg trimetoprim/kg/x) Dua kali sehari
peroral.
b. Dengan infeksi / komplikasi :
- Ampisilin 50mg/kg/kali tiap 6 jam i.m atau i.v selama 2 hari diteruskan dengan
Amoksisilin 15mg/kg/kali tiap 8 jam peroral selama 5 hari.
- Gentamisin 7,5mg/kg sekali sehari selama 7 hari.
- Bila dalam 48 jam tidak ada perbaikan tambahkan Kloramfenikol 25mg/kg/kali i.m
atau i.v. tergantung respon anak.
- Bila ada infeksi lain (amoebiasis, candidiasis, tuberculosis, dll) terapi sesuai
penyakitnya.
- Berikan imunisasi campak sewaktu masauk rumahsakit dan dosis ulang pada waktu
keluar. Hal ini karena mortalitas karena campak sangat tinggi pada anak dengan gizi
buruk.
6. Defisiensi mikronutrien
Berikan suplementasi vitamin A :
- Bayi < 6 bulan 50.000 IU/kali
- Bayi 6-12 bulan 100.000 IU/kali
- Bayi > 12 bulan 200.000 IU/kali
Diberikan pada hari pertama, kedua, dan keempat belas dihitung sejak perawatan dimulai
bila ada tanda defisiensi vitamin A (buta senja, xerosis konjungtiva, xerosis kornea, bercak
bitot, ulkus kornea, keratomalasia). Hanya hari pertama jika tidak ada tanda defisiensi
vitamin A. Berikan suplementasi vitamin dan mikronutrien lainnya kecuali besi. Besi
diberikan pada minggu kedua setelah BB mulai naik, dosis 3mg/kgBB/kali
Dosis Pemberian Fe
Tablet besi/folat (FeSO4 200 mg + 0.25 mg as.folat)
Sirup besi (FeSO4 150 ml) 1-3 mg elemental
7. Pemberian makanan awal
Fungsi hati dan usus kurang sempurna, gangguan keseimbangan elektrolit :
- Makanan dengan kandungan protein/lemak/natrium di jumlah kurang dari normal,
karbohidrat tinggi. Diberikan dalam porsi kecil dan sering. Dengan NGT bila anak tidak
dapat menelan.
- Pantau asupan makanan harian
- Bila nafsu makan timbul : Pemberian makan berhasil, anak masuk fase rehabilitasi
- Asupan kalori : 80-100 kcal/kgBB/hari
- Pantau BB tiap hari.
8. Tumbuh kejar
a. Bantu anak makan sesuai kemampuannya
b. Menyusui setiap kali anak menginginkannya
c. Merangsang perkembangan emosi
d. Mempersiapkan ibu/pengasuh untuk perawatan di rumah
e. Rehabilitasi nutrisi :
- Kebutuhan energi 150-220 kcal/kgBB/hari
- Protein 4-6 g/kgBB/hari
- Berikan besi dan asam folat
- Pantau BB tiap hari
9. Stimulasi
Ruang rawat dengan warna cerah dan suara musik, aktivitas bermain dengan anak lain dan
aktivitas fisik.
10. Tindak lanjut
Melatih orang tua untuk mencegah berulangnya gizi buruk, dengan cara menjelaskan:
a. Penyebab malnutrisi
b. Pemberian makan yang benar
c. Cara stimulasi mental dan emosi
d. Mampu menangani diare
e. Mengenali kemungkinan infeksi
f. Memahami perlunya pemberian obat cacing tiap 6 bulan.
XI. Tatalaksana diet
Tatalaksana diet pada KEP berat ditujukan untuk memeberikan makanan tinggi energy,
tinggi protein daan cukup vitamin dan mineral secara bertahap, guna mencapai status gizi
maksimal. Ada 4 kegiatan peting dalam tatalaksana diet, yaitu:
1. Pemberian diet
Cara pemberian makanan pada KEP berat di bagi atas 3 tahap :
Fase Stabilisasi ( 1-2 hari)
Pada aplikasinya penderita dibagi menjadi 2 golongan menurut berat badannya, yaitu
dengan berat badan kurang dari 7 Kg dan lebih dari 7 Kg.
o Berat badan kurang dari 7 Kg.
Jenis makanan yang diberikan adalah makanan bayi. Pada awal perawatan
makanan utamanya adalah susu yang diencerkan (1/3, 2/3, 3/3) atau susu formula
yang dimodifikasi (susu rendah laktosa). Untuk tambahan alori dapat diberikan
glukosa 2 – 5% dan tepung 2%. Kemudian secara berangsur dapat diberikan buah
+ biscuit, makanan lumat dan makanan lembek selain itu bilan masih ada, ASI
dapat terus diberikan.
o Berat badan lebih dari 7 kg.
Jenis makanan adalah makanan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun, dimulai
dengan pemberian kalori 50 KKal/KgBB, protein 1,0 gr/KgBB, dan cairan 200
ml/KgBB setiap hari. Bentuk makanan yang diberikan mulai dengan pemberian
makanan yang diencerkan, kemudian secara bertahap dikentalkan (1/3, 2/3, 3/3).
Bahan makanan utama dan sumber protein makanan cair adalah susu. Sebagai
tambahan kalori dapat ditambahkan glukosa 5%. Dalam tahap awal ini makanan
cair diberikan lebih sering dengan porsi lebih kecil dan bilan perlu dengan sonde.
Setelah diberikan makanan cair penuh dan toleransi anak terhadap makanan
membaik, dapat dimulai dengan pemberian makanan lunak, disusul dengan
makanan biasa.
Fase Transisi (minggu ke 2)
- Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara berlahan-lahan untuk
menghindari risiko gagal jantung, yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi
makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.
- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml)
dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100
ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat
digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgbb/kali pemberian (200
ml/kgbb/hari).
Fase rehabilitasi (minggu ke 3-7)
Setelah fase rehabilitasi (minggu ke 3-7) anak diberi :
- Formula WHO-F 135/pengganti/Modisco 1½ dengan jumlah tidak terbatas dan
sering.
- Energi : 150-220 kkal/kgbb/hari
- Protein 4-6 g/kgbb/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan ASI, ditambah dengan makanan
Formula karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-
kejar.
- Secara perlahan diperkenalkan makanan keluarga
2. Evaluasi dan Pemantaan Pemberian Diet
- Penimbangan berat badan
Dilakukan seminggu sekali bila tidak kenaikan berat badan, kaji penyebabnya, antara lain
: Asupan zat gizi tidak adekuat, Defisiensi zat tertentu, misalnya : Iodium, adanya
infeksi, adanya masalah psikologis.
- Pemeriksaan Laboratorium
Hb, gula darah, feses (adanya cacing dan urin)
- Asupan Zat gizi : bila kurang, modifikasi diet sesuai selera
- Kejadian Diare : gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan hiperosmolar, misalkan
: susu rendah laktosa, tempe, dan tepung-tepungan.
- Kejadian Hipoglikemia : beri mium air gula atau makan setiap 2 jam.
3. Penyuluhan gizi di rumah sakit.
- Menggunakan leaflet khusus yang berisi : jumlah, jenis, dan frekuensi pemberian
makanan
- Selalu memberikan contoh menu
- Mempromosikan ASI
- Memperhatikan riwayat gizi
- Mempertimbangkan social ekonomi keluarga
- Memberikan demonstrasi/praktek memasakan makanan balita untuk ibu
4. Tindak lanjut.
- Merujuk ke Puskesmas
- Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah
- Merencanakan pemberdayaan keluarga.
XII. Penanggulangan
Upaya penanggulangan masalah KEP dilakukan guna mencegah dan mengurangi
kejadian KEP adalah yaitu:
1. Dengan mengurangi/mengatasi faktor resiko, melalui perawatan kesehatan.
2. Pencegahan infeksi potensial KEP.
3. Pemberian ASI eksklusif.
4. Perbaikan sosial ekonomi keluarga.
5. Keluarga berencana.
6. Imunisasi.
7. Kerjasama lintas program dan lintas sektor seperti: kesehatan, pertanian, ketenaga kerjaan,
pendidikan, kesejahteraan sosial dan kependudukan juga dibutuhkan.
8. Revitalisasi posyandu dengan menggalakkan kegiatan program : penimbangan balita secara
rutin, imunisasi, upaya kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, upaya
perbaikan gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan, penyuluhan kesehatan
akan sangat mendukung.
XIII. Prognosis
Dengan pengobatan adekuat, umumnya penderita dapat ditolong walaupun diperlukan
waktu sekitar 2 – 3 bulan untuk tercapainya berat badan yang diinginkan. Pada tahap
penyembuhan yang sempurna, biasanya pertumbuhan fisik hanya terpaut sedikit dibandingkan
dengan anak yang sebayanya. Namun kadang-kadang perkembangan intelektualnya akan
mengalami kelambatan yang menetap, khususnya kelainan mental dan defisiensi persepsi.
Retardasi perkembangan akan lebih nyata lagi bila penyakit ini diderita sebelum anak berumur 2
tahun, ketika masih terjadi proliferasi, mielinisasi dan migrasi sel otak.