Post on 06-Mar-2019
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
149
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konflik Antar elit Pondok Pesantren Al Ichsan
Dalam dinamika sosial di Pondok Pesantren Al Ichsan, konflik pada
mulanya terjadi antar elit pesantren, konflik tersebut kemudian berkembang
dan terjadi antara elit pesantren dengan pengelola lembaga pendidikan
formal bahkan juga berkembang menjadi konflik antara pengasuh dengan
sebagian kelompok santri yang memihak salah satu elit pesantren pengasuh
pondok. Realitas konflik tersebut pada mulanya terjadi antar individu yang
berada di Pondok Pesantren Al Ichsan dan kemudian berkembang menjadi
konflik antar individu dengan kelompok sosial masyarakat pesantren.
Situasi konflik yang terjadi di Pondok Pesantren Al Ichsan secara
tipikal tercakup dalam pembagian tipe-tipe situasi konflik yang dirumuskan
oleh Winardi, karena Winardi membagi situasi-situasi konflik menjadi empat
macam,yaitu;1) konflik di dalam individu sendiri;2) konflik antar pribadi
atau konflik antar individu dengan individu;3)konflik antar kelompok dan;
4)konflik antar organisasi.162
Dilihat dari sejarahnya, konflik yang terjadi di Pondok Pesantren Al
Ichsan telah berjalan cukup lama dan melewati proses-proses yang secara
konsisten membentuk siklus konflik. Oleh karena itu, konflik antarelit
162
Winardi, Manajemen Konflik, Konflik Perubahan dan Pengembangan (Bandung: Mandar
Maju,1994), 8.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
150
di pondok pesantren Al Ichsan tidak terjadi tiba-tiba tanpa sebab. Akan
tetapi konflik tersebut terjadi dengan melewati siklus dan proses-proses serta
dipicu oleh faktor-faktor kunci yang melatar belakanginya secara kompleks,
yang kemudian tumbuh berkembang merusak sendi-sendi harmonisási sosial
masyarakatnya.163
Berdasarkan hasil diskusi dengan subyek penelitian dan informan,
diperoleh informasiyang menjelaskan bahwa konflik antar elit yang terjadi di
Pondok Pesantren Al Ichsan dimulai dengan timbulnya suatu krisis
kepemimpinan di pesantren, selanjutnya terjadi kesalahpahaman antar elit
pesantren dan pada akhirnya lahir pertentangan-pertentangan yang
berkembang menjadi konflik antar kelas sosial.
Dengan demikian, dilihat dari pembagian tipe konflik dalam
pemikiran Lewis A.Coser, konflik yang terjadi pada dasarnya adalah Konflik
Realistic, karena konflik baru muncul setelah adanya frustasi atas tuntutan
khusus dari para elit yang mengejar kekuasaan (power), status yang langka,
resources (sumber daya), dan nilai-nilai yang dianggap benar.164
Dilihat dari segi proses dan siklusnya, konflik antar elit Pondok
Pesantren Al Ichsan memiliki proses dan siklus yang berbeda dengan proses
dan siklus terjadinya konflik dalam teori Struktural Konflik, karena
dalam teori Struktural Konflik, proses dan siklus konflik dapat diringkas
sebagai berikut, yaitu: 1)Adanya pembagian ekonomi dan kekuasaan politik
163
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto. 5 Mei 2014. 164
Wawancara, santri senior, Mojokerto. 5 Mei 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
151
yang tidak merata.; 2)Lahir kelompok-kelompok sosial yang terdiri dari
kelas super ordinasi dan subordinasi; 3) Terjadinya konflik dan pertentangan
kelas; 4) Adanya revolusi sistem sosial yang melahirkan masyarakat tanpa
kelas.165
Begitupun juga konflik antar elit Pondok Pesantren Al Ichsan sama
dengan siklus konflik yang dirumuskan oleh Hardjana, di mana ia
merumuskan bahwa lingkaran siklus konflik terdiri dari hal-hal sebagai
berikut, yaitu: 1) kondisi yang mendahului, 2)kemungkinan konflik yang
dilihat, 3)konflik yang dirasa, 4) perilaku yang nampak, 5)konflik ditekan
atau dikelola, 6) dampak konflik166
.
Konflik antarelit Pondok Pesantren Al Ichsan mempunyai ciri yang
khas dan membedakan dengan fenomena konflik yang terjadi di dalam
struktur sosial masyarakat atau organisasi-organisasi yang lain. Adanya
perbedaan tersebut terkait dengan keberadaan pesantren sebagai sebuah
subkultur yang memiliki tradisi tersendiri yang unik dan tidak dimiliki
oleh tradisi masyarakat pada umumnya.
Dalam dunia pesantren, terdapat norma dan sistem nilai sosial yang
perubahannya dipelihara dalam kerangka untuk menjaga kekuasaan yang
diperoleh elit pesantren. Dalam proses penjagaan tersebut, para elit biasanya
menggunakan pengetahuan atau dunia simbolik untuk menguatkan otoritas
kekuasaanya.
165
Lewis A.Coser, The Functions of Social Conflict. (Chicago: Free Press, 1959),71. 166
Hardjana, A.M., Konflik di Tempat Kerja,….. , 14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
152
Dilihat dalam perspektif teori Struktural Konflik yang
dicetuskan oleh Marx, masyarakat Pondok Pesantren Al Ichsan Brangkal
Sooko Mojokerto pada dasarnya dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk
stratifikasi sosial, yaitu kelompok sosial yang super ordinasi dan kelompok
sosial yang subordinasi167
. Dengan bahasa lain dua kelompok tersebut
merupakan dua kelas sosial yang menurut Marx disebutsebagai kelas Borjuis
dan kelas Proletariat168.
Pengasuh utama pondok pesantren yang memiliki dan menguasai
wewenang politik, ekonomi maupun sarana-sarana dapat disebut sebagai
kelompok super ordinasi (Borjuis). Dan sebagian elit pesantren yang tidak
memiliki dan menguasai wewenang politik, ekonomi maupun sarana-sarana
dapat disebut sebagai ‚Kelas Intlektual‛ dalam bahasa Antonio Gramsci.169
Dalam konteks perkembangan konflik di Pondok Pesantren Al Ichsan
Brangkal yang telah mengarah pada konflik antar kelas atau antar
kelompok sosial, kemungkinan sebagian santri di Pondok Pesantren Al
Ichsan Brangkal berani melakukan penentangan-penentangan terhadap
pengasuh utama pondok pesantren adalah karena keperpihakan mereka
terhadap salah satu elit pesantren.
167
Yang penulis maksud dengan kelompok dalam pengertian ini bukanlah kelompok dalam
pengertian masyarakat atau asosiasi (organisasi) sebagaimana devinisi Harold J Laski (lihat
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003),34,
dalam arti ia bukanlah sekumpulan manusia yang hidup bersama dan bekerja sama untuk
mencapai terkabulnya keinginan mereka secara bersama-sama.Akan tetapi yang dimaksud
dengan kelompok dalam konteks ini menunjuk pada pengertian golongan yang mempunyai
identitas tertentu secara cultural dan struktural dengan golongan lain 168
Andi Mu‟awiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx; Matrealisme Dialektif Dan Matrealisme Histories (Yogyakarta : LKIS, 2004), 147.
169 Zainudin Maliki, Narasi Agung…,147.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
153
Proletar yang dianggap lebih berhak secara spiritual dan kultural
memiliki dan menguasai wewenang politik, ekonomi maupun sarana-sarana
yang ada di pesantren. Oleh karena itu keberanian mereka dalam melakukan
penentangan-penentangan menjadi kuat karena mereka merasa memperoleh
legitimasi ideologis. Sebagian elit pesantren yang terlibat konflik pada
umumnya mempunyai pandangan bahwa beberapa kebijakan yang dilakukan
oleh Gus Malik (ketua yayasan) secara substansial adalah ‚salah‛ karena
kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan untuk memenuhi kepentingan pribadi
atau kepentingan keluarganya sendiri. Oleh karena itu, sebagian elit
pesantren lain pada umumnya tidak setuju dengan kebijakan yang
dikeluarkan Gus Malik sehingga mereka kemudian melakukan penentangan-
penentangan.170
Dilihat dalam perspektif teori konflik, perbedaan pandangan
manajemen yang diuraikan, pada dasarnya merupakan bentuk konflik yang
bersifat laten. Konflik laten tersebut pada akhirnya berubah menjadi konflik
manifest ketika para elit pesantren lain berusaha melakukan penentangan
terhadap kebijakan tersebut secara terbuka melalui perang urat saraf,.171
Fenomena pertentangan-pertentangan antarelit pesantren, pada
dasarnya merupakan suatu manifestasi konflik yang perjalanan siklusnya,
secara sistematis ditandai dengan adanya suatu krisis. Krisis di Pondok
Pesantren Al Ichsan Brangkal dimulai dengan wafatnya Kiai Haji Chusen
170
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto. 5 Mei 2014. 171
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto. 5 Mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
154
Ichsan, dan hal itu menjadi persoalan tersendiri mengingat kebesaran
Pondok Pesantren Al Ichsan adalah karena adanya figur dan kharisma Kiai
Haji Chusen Ichsan. Karena itu ketika Kiai Haji Chusen Ichsan masih hidup,
maka santri yang mondok di Pondok Pesantren Al Ichsan sangat banyak,
mereka pada umumnya datang ke Pondok Pesantren Al Ichsan secara
berkelompok dari daerah lokal sampai regional untuk menimba ilmu kepada
Kiai Haji Chusen Ichsan.
Sebaliknya, sejak setelah Kiai Haji Chusen Ichsan wafat sementara
kharisma yang dimiliki para penggantinya kurang besar untuk dapat
memikat masyarakat, maka perlahan-lahan santri pondok pesantren
berkurang dan hinggá saat ini jumlahnya hampir dapat dihitung dengan jari.
Selain itu, para tamu yang datang ke pesantren juga semakin sedikit.172
Dilihat dalam perspektif ekonomi, kharisma Kiai Haji Chusen Ichsan
yang menarik masyarakat untuk belajar ilmu di Pondok Pesantren Al Ichsan
juga berarti menambah akses ekonomi bagi keluarganya dan bagi Pondok
Pesantren Al Ichsan secara umum. Dengan banyaknya santri maka dana
infa>q, bisha>rah atau shahri >‘ah 173yang diberikan santri kepada Kiai Haji
Chusen Ichsan atau kepada Pondok Pesantren Al Ichsan juga besar.
Secara hirarkhis, dana infaq, bisharah atau shahriah yang diberikan
santri kepada Kiai Haji Chusen Ichsan atau kepada Pondok Pesantren Al
172
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto. 5 Mei 2014 173
Infaq adalah pengeluaran sukarela yang dilakukan setiap orang ketika ia mendapatkan rizki,
Bisharah adalah merupakan tanda terima kasih atas jasa yang telah dilakukan oleh orang yang
diminta untuk melakukan sesuatu dalam hal ibadah, Shahriah adalah sumbangan pembinaan
pendidikan yang diberikan oleh siswa setiap bulannya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
155
Ichsan sebenarnya jumlahnya kecil, terlebih lagi sejak awal berdirinya
pondok pesantren ini memang diperuntukan bagi masyarakat yang tidak
mampu.
Oleh karena itu, jumlah dana yang lebih besar biasanya didapatkan
secara individual oleh Kiai Haji Chusen Ichsan dari infaq santri atau orang
tua santri yang tidak mengikat karena ia bersifat persembahan. Infaq dalam
wujud ini biasanya diperoleh Kiai Haji Chusen Ichsan dalam wujud uang
atau barang-barang keperluan hidup, seperti pakaian, makanan, hasil bumi
atau hasil usaha santri atau orang tua santri.
Selain itu, akses ekonomi yang jumlahnya cukup besar biasanya juga
diperoleh Kiai Haji Chusen Ichsan dari pejabat atau tokoh masyarakat
yang ingin ‚membeli‛ benda-benda yang bernilai mistik atau magic, seperti
sabuk (ikat pinggang), cincin atau benda pusaka yang telah ‚diisi‛ tenaga
dalam oleh Kiai Haji Chusen Ichsan melalui wirid-wirid atau riya>d{ah
ba>t}i>niyyah terlebih dahulu sehingga benda-benda tersebut dianggap
bertuah memiliki keistimewaan tertentu. Infaq dalam bentuk ini biasanya
disebut sebagai ‚mahar‛.174
Akses ekonomi yang lebih besar dari ketiga macam bentuk infaq
tersebut adalah pemberian(hibah dan atau hadiah) yang diperoleh Kiai Haji
Chusen Ichsan dari pejabat atau tokoh masyarakat yang merupakan mantan
santri yang sudah sukses. Infaq dalam wujud demikian biasanya diberikan
kepada Kiai Haji Chusen Ichsan secara individual atau secara institusional
174
Wawancara, Hasanudin, Mojokerto,20Mei2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
156
dengan tujuan untuk memanfaatkan kharisma yang dimiliki kiai untuk
kepentingan-kepentingan tertentu. .‛175
Dilihat dari segi manajemen organisasi pesantren, adanya figur Kiai Haji
Chusen Ichsan menjadikan pengelolaan seluruh aspek manajemen pesantren
dapat berjalan dengan teratur, karena itu proses perjalanan pesantren dalam
memberikan mutu dan layanan pendidikan yang berkualitas kepada santri
dapat berjalan secara efektif dan efisien, karena pada saat Kiai Haji Chusen
Ichsan masih hidup, proses pendidikan di Pondok Pesantren Al Ichsan
berjalan dengan baik, proses pembelajaran berjalan sesuai sistem yang ada,
guru dan ustad dapat mengajar sesuai jadwal yang ditentukan. Selain itu,
dengan adanya figur Kiai Haji Chusen Ichsan perkembangan pondok
pesantren dan seluruh aktifitas yang terdapat didalamnya menjadi sangat
signifikan.
Permasalahannya kemudian muncul ketika Kiai Haji Chusen Ichsan
sebagai tokoh sentral di pesantren wafat dan meninggalkan Pondok
Pesantren Al Ichsan tanpa berwasiat tentang siapa yang nanti memegang
tampuk kekuasaan di pesantren sebagai pengganti beliau. Sementara itu,
pada sisi lain Kiai Haji Chusen Ichsan juga tidak menciptakan sistem
pengelolaan pesantren yang terdokumentasikan secara baik dan
administratif, sehingga dapat memandu pelaksanaan fungsí-fungsi
manajemen yang efektif dan efisien.
175
Wawancara, Gus Fatkhurrohman, Mojokerto, 14 Juli 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
157
Kondisi ini sebenarnya dapat memicu lahirnya konflik karena hal itu
dapat menyebabkan perebutan kekuasaan antar elit pesantren, akan tetapi di
Pondok Pesantren Al Ichsan hal itu tidak terjadi secara langsung,karena para
elit pesantren di Pondok Pesantren Al Ichsan telah memiliki kesadaran
bahwa yang akan menduduki kepemimpinan pesantren adalah keluarga
terdekat Kiai Haji Chusen Ichsan.176
Konflik muncul di Pondok Pesantren Al Ichsan ketika dalam
peristiwa sehari-hari terdapat sebagian elit pesantren tidak puas terhadap
cara kerja sebagian elit pesantren yang lain. Perasaan tidak puas ini kadang-
kadang berlalu begitu saja dan muncul kembali ketika individu merasa
mengalami gangguan dan kebijakan yang diskriminatif, sementara itu
mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan sudah sesuai dengan
standar dan aturan yang pada umumnya di Pondok Pesantren Al Ichsan.
Bentuk ketidak puasan tersebut terlihat seperti dalam kasus
pengelolaan dana insentif guru Diniyah. Dalam kasus ini sebagai kepala
Madrasah Diniyah Gus Malik tidak membagikan insentif tersebut secara
langsung kepada para ustad, akan tetapi mengelolanya secara efektif dan
efisisen dengan memberikannya sesuai jam mengajar sebagaimana yang
dilakukan kepala madrasah pada umumnya, padahal dana insentif itu adalah
176
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto. 5 Mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
158
dana pemberian dari pemerintah untuk kesejahteraan guru diluar gaji dari
lembaga atau yayasan.177
Kebijakan yang diambil Gus Malik tersebut dalam realisasinya
ternyata tidak dapat diterima oleh elit pesantren lain dan sebagian besar
ustad Madrasah Diniyah Al Ichsan. Bahkan kebijakan ini pada akhirnya
menimbulkan persepsi negatif bahwa Gus Malik telah melakukan korupsi
terhadap dana insentif guru Diniyah. Padahal menurut Gus Malik dana
tersebut masih ada di bank yang rekeningnya memang ia pegang. Dana
tersebut sengaja tidak di berikan karena proses pendidikan di Madrasah
Diniyah tidak berjalan178
.
Begitupun juga dalam kasus ketika pimpinan Madrasah Aliyah
Al Ichsan meminta izin kepada Gus Malik untuk menggunakan sebagian
kamar pondok untuk kepentingan pengembangan sarana pendidikan di
Madrasah Aliyah Al Ichsan. Dengan tanpa bermusyawarah dengan elit
pesantren yang lain, Gus Malik secara langsung memberikan izin karena hal
itu demi kepentingan pengembangan pendidikan formal yang berarti juga
demi kepentingan pesantren tersebut.
Oleh sebab itu mereka tidak setuju dengan kebijakan ini dan
menganggap kebijakan ini dilakukan secara sepihak, bahkan pada akhirnya
mereka menganggap bahwa kebijakan ini secara substansial adalah salah
karena antara lembaga pendidikan formal dan pondok ada perbedaan, yang
177
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto. 5 Mei 2014 178
Wawancara, Hasanudin, Mojokerto, 20Mei2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
159
pengelolaannya harus dipisahkan, karena pondok bersifat sala>fiyah
sementara lembaga pendidikan formal bersifat khala>fiyah. Untuk itu secara
konseptual kedua institusí ini justru bertentangan dan tidak mungkin dapat
berhubungan yang saling menguntungkan.179
Fenomena ketidakpuasan di atas sebenarnya bagian dari tahap-tahap
konflik yang terjadi di Pondok Pesantren Al Ichsan. Akan tetapi eskalasi
konflik dalam tahap ini sebenarnya masih kecil, karena konflik yang
terjadi hanya bersifat laten, dalam arti ia hanya masih berada pada
dimensi psikis.
Konflik dalam dimensi ini pada dasarnya hanya merupakan
pertentangan-pertentangan psikologis antara elit pesantren dengan elit
pesantren lainnya. Eskalasi konflik yang kecil ini menjadi membesar ketika
terjadi perebutan sumber daya yang ada di pesantren,di mana sumber daya-
sumber daya tersebut sebenarnya semakin langka.
Fenomena konflik yang terjadi di Pondok Pesantren Al Ichsan
sebagaimana yang telah diurai kandi atas, telah lama tidak terselesaikan.
Dan diantara sebab kenapa konflik keluarga pesantren ini sulit diselesaikan
adalah karena tidak adanya kesadaran para elit pesantren tentang kondisi
mereka yang sedang berada pada situasi konflik, walaupun seandainya
situasi konflik ini disadari oleh para elit pesantren, maka resolusi
konflik tetap saja akan mengalami kebuntuan karena disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu:
179
Wawancara, pak Falah, Mojokerto,14 Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
160
Pertama: keluarga selalu bersikap tertutup atas konflik yang
terjadi di antara mereka dengan alasan menjaga reputasi dan kehormatan
di tingkat umat; Kedua : masing-masing pihak yang berkonflik merasa
kedudukan sama dan merasa benar; Ketiga : sulit masuknya mediator
dari luar karena resistensi dan proteksi yang mereka miliki; dan keempat:
pihak luar dianggap lebih rendah statusnya dan tidak diperhitungkan oleh
pihak yang berkonflik.180
Fenomena ini sebenarnyas angat ironis, padahal persoalan konflik
keluarga Pesantren Al Ichsan telah memberikan dampak-dampak yang justru
disfungsional(perusak) terhadap manajemen pendidikan di pesantren dan
perkembangan pendidikan di yayasan Al Ichsan secara umum. Untuk itu,
konflik yang terjadi seharusnya dapat segera diatasi dan diselesaikan dengan
secepatnya agar dampak negatif yang ditimbulkannya tidak semakin
berkembang dan tidak terkendali.181
B. Akar Konflik Antarelit Pondok Pesantren Al Ichsan
Konflik dalam kehidupan sosial dapat diasumsikan sebagai sebuah
‚realitas‛, dalam arti bisa terjadi antara individu dengan individu, antara
individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok. Konflik
sosial juga dapat terjadi kapan saja, dialami oleh siapa saja dan di mana
saja, termasuk juga dapat dialami oleh elit pesantren dan terjadi
dilingkungan pesantren.
180
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 Mei 2014. 181
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 Mei 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
161
Menurut teori Struktural Konflik, konflik adalah gejala yang
selalu melekat pada setiap masyarakat. Bahkan menurut Marx, ‚sejarah
dari setiap masyarakat yang ada dari dulu sampai sekarang adalah sejarah
pertentangan kelas‛. yang merupakan manifestasi dari bentuk konflik182
.
Sejarah kehidupan masyarakat yang bagaimanapun corak sosialnya,
pembagian sumber daya ekonomi dan politik menjadi faktor- faktor pemicu
lahirnya konflik, karenanya teori Struktural Konflik memandang bahwa
faktor ekonomi dan politik menjadi faktor kunci penyebab lahirnya konflik
di masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat pesantren yang komplek, faktor
ekonomi dan politik bukan satu-satunya faktor kunci penyebab lahirnya
konflik. Ada banyak faktor lain yang saling berkaitan dan saling berpengaruh
antara satu faktor dengan faktor lainnya serta memiliki signifikansi yang
tinggi untuk memicu lahirnya konflik.
Menurut Hamdan Farhan dan Syarifudin dengan berdasarkan pada
penelitiannya terhadap pesantren-pesantren salaf (tradisional) di Yogyakarta,
akar konflik di pesantren adalah konflik keluarga, konflik politik, perebutan
pengakuan umat, feodalisme, dan manajemen.183
Berbeda dengan penjelasan
Hamdan Farhan dan Syarifudin di atas, gambaran dari hasil penelitian
yang penulis lakukan terhadap fenomena konflik di Pondok Pesantren Al
182
Andi Muawwiyah Ramli, Peta Pemikiran Karl Marx…,145. 183
Hamdan Farhan dan Syarifudin,Titik Tengkar Pesantren, Resolusi Konflik Masyarakat pesantren, (Yogyakarta:pilar religia,2005), 89-113.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
162
Ichsan menjelaskan bahwa faktor-faktor yang teridentifikasi sebagai
penyebab konflik antarelit pesantren ádalah sebagai berikut :
1. Faktor Internal Elit Pesantren.
Bahwa para elit pesantren yang terlibat konflik baik Gus Malik maupun
Neng Ninuk pada dasarnya mereka menganggap bahwa diri mereka
masing-masing berhak untuk memimpin pesantren, karena hal ini
disebabkan mereka kurang memahami dalam hal internalisasi nilai-nilai
pesantren, kurang luasnya perspektif nilai-nilai keislaman, tidak
mempunyai local wisdom atau kearifan lokal dan pelatihan dan
pendidikan yang memadai diantara elit-elit tersebut.dan karena kurang
baik aspek psikologi mereka,sehingga yang dicari hanya materialistis
dan hedonisme saja, jiwa keikhlasan dan berjuang untuk keberlangsungan
pondok pesantren dan umat tidak ada sama sekali dalam hati mereka.184
2. Faktor Eksternal Elit Pesantren
a. Faktor Ekonomi
Analisis yang terkandung dalam wawasan teori konflik
khususnya yang berakar dari tradisi yang dibangun oleh Marx
adalah bahwa kehidupan sosial-ekonomi ditempatkan sebagai
perangkat yang mendasari setiap kiprah kesadaran manusia.185
Faktor ekonomi selalu menjadi penentu perilaku seseorang dalam
184
Wawancara, Hasanudin, Mojokerto ,14 Agustus 2014 185
Andi Muawwiyah Ramli, Peta Pemikiran Karl Marx…,133.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
163
kehidupan sosial, sedangkan faktor kesadaran ditentukan oleh kondisi
ekonomi yang tercipta..186
Dalam sejarah intelektual, pandangan Marx diatas dianggap
telah membuka ruang bagi interpretasi sejarah yang matrealis dan
Marx disebut sebagai seorang pemikir Matrealisme Dialektik
karena dengan asumsi diatas itu Marx telah meletakkan basis semua
gerakan sejarah dan fenomena masyarakat berada di bawah sistem
ekonomi, olehkarena itu, sistem ekonomilah yang memberi bentuk
dan arah kepada semua fenomena sosial.
Walaupun konsepsi matrealisme sejarah yang dibangun
berdasarkan interpretasi tersebut dapat dikritik berdasarkan
kelemahan-kelemahan empiris dan kelemahan-kelemahan lain dalam
ranah psikologi-filosofis yang terkandung di dalamnya, akan tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa matrealisme sejarah telah berpengaruh
pada konstelasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan abad
20.187
Bahkan lebih dari itu, wawasan pemikiran Marx juga telah
menemukan kenyataan empirisnya dalam perkembangan sosial
masyarakatseperti saat ini.
186
Dalam pandangan demikian, Marx menempatkan hubungan dan cara-cara produksi( the modes of production process) sebagai bangunan bawah (Base), sedangkan system ekonomi, sosial, politik, budaya, kesenian, pendidikan, hukum, bahasa dan berbagai kesadaran sejarah
merupakan bangunan atas (superstruktur). Bangunan atas apakah itu agama, pendidikan,
sejarah, Negara, hukum, bahasa, dan berbagai kesadaran sejarah lainnya sepenuhnya
ditentukan oleh bangunan bawah, sehingga bangunan atas bukan merupakan realitas
tersendir imelainkan sebuah refleksi dari kepentingan produksi atau kondisi material (mode
produksi). Mode produksi ekonomi tersebut dimanifestasikan dalam hubungan antar manusia
yang bersifat independent, tidak tergantung kepada keinginan dan kemauan individu 187
Listyono Santoso,dkk, Epistemologi kiri,( Yogjakarta, Ar-Ruzz Media,2003), 51.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
164
Berdasarkan sudut pandang tertentu,wawasan pemikiran Marx
juga menemukan signifikansinya secara empiris terhadap kenyataan
sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat pesantren, sebagaimana
yang terjadi di Pondok Pesantren Al Ichsan, khususnya yang terkait
dengan realita bahwa faktor ekonomi menjadi faktor penting dalam
proses lahirnya konflik antar elit di pesantren.
Ditinjau dari perspektif nalar spiritual, hal itu sebenarnya sangat
ironis mengingat dunia pesantren yang dalam bahasa Chumaidi
keberadaannya sebagai lembaga keagamaan yang dikenal memiliki
tradisi ‚keih }lasan‛ yang sangat kuat, ternyata justru mulai
terhegemoni oleh falsafah material oriented. Bahkan lebih dari itu,
persoalan ekonomi juga telah menyebabkan para elit pesantren berada
dalam situasi konflik yang menyebabkan hilangnya kearifan hidup dan
perekat persatuan sosial (sosial glue) di antara mereka.
Menurut Gus Malik dahulu ketika Kiai Haji Chusen Ichsan
masih hidup dan pengelolaan yayasan beserta seluruh lembaga berada
dibawah kendali beliau, maka hubungan keluarga Gus Malik dengan
keluarga Gus Syamsul Huda sangat baik dan harmonis. Ketika Gus
Syamsul Huda mendapat amanah dari Kiai Haji Chusen Ichsan untuk
menghadiri suatu acara atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan masalah birokrasi, maka Gus Syamsul Huda biasanya meminta
Gus Malik yang melaksanakannya, karena Gus Syamsul Huda tidak
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
165
begitu berpengalaman terhadap masalah seperti itu. Gus Syamsul
Huda percaya bahwa Gus Malik lebih mampu menunaikan amanat
tersebut dengan baik karena pengalaman organisasi yang dimiliki Gus
Malik lebih banyak.188
Begitupun juga dalam pengelolaan panti asuhan, pada mulanya
pemegang leading sektor adalah Gus Malik. Ditangan Gus Malik
sumber dana Panti asuhan saat itu sangat besar sehingga dapat
membiayai dengan gratis seluruh kebutuhan santri dan asrama, baik
makan, pakaian, tempat tidur dan biaya pendidikan seluruh anak panti
asuhan. Bahkan dengan ditambah dana pemasukan dari Kiai Haji
Chusen Ichsan, kebutuhan pembiayaan seluruh kegiatan operasional
sehari-hari dan kegiatan pengembangan seluruh lembaga di Al Ichsan
dapat terpenuhi secara maksimal. Oleh karena itu, menurut Gus
Abdul Qohar Pondok Pesantren Al Ichsan pernah terkenal hinggá ke
wilayah Jawa Tengah sebagai satu-satunya Pondok Pesantren
‚gratisan‟ yang ngingoni (menghidupi) santrinya189
.
Keadaan demikian sesungguhnya merupakan kenyataan
sosial yang ‚luar biasa‛ dan jarang ditemukan pada instituís-
institusi lain yang ada karena sebagai sebuah institusi yang tumbuh
dari bawah dan berkembang secara mandiri atas kemauan
masyarakat, pembiayaan operasional pesantren dan pembiayaan
188
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 13agustus 2014 189
Wawancara, Gus Abdul Qohar, Mojokerto, 13 Juli 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
166
kebutuhan santri biasanya dibebankan kepada santri atau orang
tuanya, mengingat pesantren tidak memiliki sumber dana yang cukup
memadai untuk membiayai kebutuhan operasional pendidikan di
pesantren, terlebih lagi untuk membiayai semua kebutuhan santri.
Akan tetapi, keadaan yang luar biasa tersebut pada
akhirnya berbanding terbalik dengan keadaan yang terjadi saat ini,
dimana Yayasan Al Ichsan sangat membutuhkan dana bantuan dari
pihak-pihak yang berkenan, pada masa hidup Kiai Haji Chusen Ichsan
dana sangat melimpah, sehingga dengan banyaknya dana tersebut Gus
Malik hampir menguasai seluruh trayek mobil angkutan penumpang
jenis Colt untuk jurusan Jombang-Mojokerto, dan menguasai
perjalanan mobil angkutan Len C dan Len D dengan rute Mojokerto-
Brangkal-Trowulan.190
Oleh karena dengan banyaknya dana pemasukan tersebut, maka
ketika berbelanja untuk keperluan anak-anak Panti, Gus Malik selalu
berbelanja secara besar-besaran, dan demi keperluan itu serta
keperluan-keperluan yayasan yang lain, Gus Malik mengajukan usul
kepada Kiai Haji Chusen Ichsan untuk membeli sebuah mobil, usul itu
kemudian diterima dan sebagai realisasinya maka dibeli sebuah mobil
sedan berwarna merah, yang sekarang sudah rusak dan tidak terpakai.
Demikian keadaan Pondok Pesantren Al Ichsan ketika
mempunyai sumber dana yang besar. Kemampuannya dalam
190
Wawancara , Hasanudin, Mojokerto, 14 Agstus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
167
mencukupi semua kebutuhan hidup santri dan penguasaannya
terhadap sendi-sendi perekonomian masyarakat membuat beberapa
elit pesantren terpikat untuk memiliki wewenang terhadapnya. Oleh
karena itu, menurut GusMalik, pada masa-masa itu Neng Rohilu (istri
Gus Syamsul Huda) berusaha mempengaruhi Gus Syamsul Huda
untuk mengambil kembali wewenang pengelolaan panti asuhan
sebagai sumber penting pembiayaan Yayasan Al Ichsan.191
Dengan mengikuti analisis teori konflik, fenomena diatas
merupakan suatu keadaan yang berpotensi untuk menempatkan
seseorang dalam situasi konflik laten. Faktor-faktor penyebab dari
kondisi itu adalah adanya perebutan penguasaan sumber daya
material (ekonomi). Perebutan penguasaan sumber daya ekonomi
tersebut pada akhirnya memicu terjadinya konflik laten antara
keluaraga Gus Malik dengan Gus Syamsul Huda.
Konflik tersebut pada akhirnya mengemuka ketika kondisi
keuangan di Pondok Pesantren Al Ichsan mengalami krisis sehingga
memaksa Gus Malik mengambil kebijakan untuk mengurangi jatah
makan santri yang semula mendapatkan makan tiga kali sehari
menjadi dua kali sehari.192
Kebijakan inidiambil oleh Gus Malik berdasarkan pertimbangan
efisiensi dana dan hanya di berlakukan bagi santri pondok mengingat
191
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto,13Agustus 2014. 192
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto13Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
168
yang paling berhak untuk dibantu pemenuhan kebutuhan hidupnya
adalah santri dari Panti asuhan.193
Bagi keluarga Gus Syamsul Huda
keadaan lemahnya perekonomian di Pondok Pesantren Al Ichsan yang
berakibat pada pengurangan jatah makan santri lebih disebabkan
karena rendahnya profesionalisme dan kecakapan manajerial dalam
pengelolaanya. Oleh karena itu dalam pemikiran keluarga Gus
Syamsul Huda yang paling bertanggungjawab terhadap lemahnya
perekonomian di yayasan Darul Aitam Al Ichsan adalah Gus Malik.194
Dengan adanya fenomena-fenomena diatas, maka Gus Malik
mengundurkan diri dari jabatan pengelola Panti Asuhan Al Ichsan
sehingga secara otomatis pengelolaan Panti asuhan kembali
kekeluarga Gus Syamsul Huda.195
Faktor ekonomi yang menjadi pemicu terjadinya konflik di
Pondok Pesantren Al Ichsan juga terjadi dalam masalah pembagian
honor guru Diniyah. Sebagaimana pondok pesantren yang lain,
Pondok Pesantren Al Ichsan juga mendapat dana bantuan dari
pemerintah daerah yang disalurkan melalui kantor Departemen
Agama (DEPAG) untuk guru Madrasah Diniyah.
Besaran dana tersebut adalah Rp. 60.000,-/bulan untuk masing-
masing guru Madrasah Diniyah yang biasanya dicairkan setiap enam
193
Wawancara, Santri Senior, Mojokerto, 18Agustus 2014. 194
Wawancara, Muh.Hasanudin, Mojokerto, 14 Agustus 2014, ketua keamanan pondok yang
masih keponakan Kiai Hají Chusen 195
Wawancara, Neng Ninuk dan Gus Abdul Qohar, Mojokerto,15 Agustus 2015.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
169
bulan sekali. Dengan demikian, jumlah dana tersebut sebenarnya
tidak besar, bahkan dapat dikatakan sangat kecil untuk dapat
dikatakan sebagai honor/gaji untuk pekerjaan profesional.
Menurut Gus Malik, yang saat ini memangku jabatan sebagai
mudir Madrasah Diniyah Al Ichsan, selama ini dana bantuan
tersebut tidak dibagikan secara langsung tunai kepada ustad-ustad
madrasah Diniyah. Kebijakan tersebut diberlakukan semata-mata
demi kepentingan efektifitas dan efisiensi manajemen. Oleh karena
itu, honor tersebut akan dibagikan secara bertahap berdasarkan
presensi kehadiran mereka dalam kegiatan belajar mengajar.196
Ditinjau dari perspektif manajemen modern, kebijakan tersebut
sesungguhnya cukup efektif karena dengan kebijakan ini diharapkan
lebih memotivasi ustad-ustad dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Terlebih lagi adanya kenyataan bahwa kegiatan
pembelajaran di madrasah Diniyah sering kali mengalami ‚jam
kosong‛ karena ustad-ustadnya sering tidak hadir.
Dalam praktiknya, kebijakan ini ternyata direspon negatif oleh
sebagian ustad-ustad dan pada akhirnya justru menimbulkan konflik
di Pondok Pesantren Al Ichsan. Fenomena diatas menunjukkan bahwa
pesantren sebagai komunitas masyarakat yang religius saat ini sedang
196
Wawancara, Muh.Hasanudin, Mojokerto,14Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
170
mengalami ketidakpastian dan kekacauan moral sebagai akibat adanya
perebutan persoalan yang bersifat duniawi.197
Kehidupan masyarakat pesantren yang pada mulanya diwarnai
oleh sikap zuhud dengan kombinasi keih}lasan dalam melaksanakan
aktifitas sehari-hariyang dipandang ibadah telah berubah menjadi
investasiyang bernilai bisnis dengan pertimbangan untung dan rugi.
Oleh karena itu, bagi mereka seberapa banyak waktu yang
diluangkan untuk pesantren adalah untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dan sekaligus untuk memperkuat status sosial mereka.
Dalam kontek ini, sebenarnya bukan berarti menafikan perlunya
kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi para elit pesantren.
Kesejahteraan ekonomi dan sosial tetap menjadi sesuatu yang penting
dalam manajemen pendidikan termasuk dalam manajemen pendidikan
di pesantren, namun menjadikan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan
sosial sebagai satu- satunya tujuan dalam mengelola pendidikan di
pesantren dan meninggalkan tuntunan profesionalisme serta nilai-nilai
dasar yang berlaku universal di pesantren, seperti ‚keih}lasan‛ dan
‚zuhud‛ adalah ‚keliru‛. Karena hal itu selain merupakan bentuk
pengingkaran terhadap eksistensi elit yang menjadi panutan
masyarakat, juga akan menurunkan tingkat profesionalisme mereka
dalam pengelolaan pesantren, karena dengan hanya mengejar
materi dan status sosial maka para elit akan kurang berdedikasi
197
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 13Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
171
dalam tugasnya dan kurang memiliki motivasi untuk mengembangkan
pendidikan pesantren yang lebih maju. 198
b. Faktor kekuasaan
Faktor kekuasaan sebagaimana dalam perspektif teori Struktural
Konflik, bahwa sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik
merupakan hal yang penting dalam proses terjadinya konflik di
masyarakat, maka begitupun juga dengan fenomena konflik antar elit
di Pondok Pesantren Al Ichsan. Salah satu faktor yang menyebabkan
lahirnya konflik di antara mereka adalah faktor pengelolaan
pesantren dan lembaga-lembaga yang berada dibawah naungan
Yayasan Al Ichsan.
Secara obyektif, sesungguhnya terdapat banyak keterangan untuk
menjelaskan faktor kekuasaan menjadi penyebab lahirnya konflik di
pesantren. Salah satu di antaranya adalah karena dipesantren tidak
terdapat sistem yang mengatur proses pengalihan kekuasaan dari kiai
utama kepada elit pesantren penerusnya secara jelas. Ketidakjelasan
sistem ini dalam beberapa segi ternyata dapat menimbulkan konflik
sebagai akibat adanya perebutan kekuasaan antara masing-masing elit
pesantren yang merasa paling berhak atas kekuasaan di pesantren.199
Di Pondok Pesantren Al Ichsan, ketidak jelasan sistem peralihan
kekuasaan terjadi karena secara historis kiai Chusen Ichsan adalah
198
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 Mei 2014 199
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 Mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
172
seorang pemilik pondok pesantren yang keberadaannya sangat
otonom, karena itu sistem peralihan kekuasaan dilakukan dengan
model pewarisan yang sesuai berdasarkan tradisi. Jika kiai wafat,maka
berdasarkan tradisi tersebut pesantren akan diwariskan secara turun
temurun kepada ke turunan atau keluarga terdekatnya.200
Dalam konteks sosio-historis, peralihan kekuasaan di
Pondok Pesantren Al Ichsan dengan model pewarisan tersebut
juga didukung kenyataan bahwa pesantren identik dengan „kerajaan
kecil‟ dan putra-putri kiai merupakan para „pangeran‟ yang nantinya
akan meneruskan status sosialnya sebagai ‚raja kecil‟ di
lingkungan pesantren, karena itu perpindahan kekuasaan atau
otoritas politik secara demokratis sangat sulit dilakukan di pesantren
tradisional, seperti halnya di Pondok Pesantren Al Ichsan.
Latar belakang sosio-historis tersebut secara khusus juga
disadari oleh sebagaian gus di Pondok Pesantren Al Ichsan. Gus Malik
misalnya pernah mengatakan ‚sistem pondok iku yo koyo dene sistem kerajaan, dadi sakwise Bapak gak ono, seng nyekel pondok yo Gus Syamsul Huda, tapi sakwise Gus Syamsul Huda sedo sakjane yo aku seng nyekel. (sistem pemerintahan) di pondok pesantren itu ya sama
seperti sistem (pemerintahan) dikerajaan, sehingga setelah ayah saya
(Kiai Haji Chusen Ichsan) wafat, yang seharusnya memegang
(otoritas) di pondok ya Gus Syamsul Huda (sebagai anak pertama),
tapi setelah Gus Syamsul Huda wafat, seharusnya ya saya yang
memegang otoritas)‛.
Jika di telaah lebih lanjut, pandangan para elitpesantren Al
Ichsan bahwa pesantren merupakan ‚kerajaan kecil‛ sebenarnya
200
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 13Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
173
memiliki landasan teoretisnya dalam referensi-referensi yang telah
ditulis para ilmuwan sosial dengan berdasar pada penelitian mereka.
Smith, misalnya menempatkan pesantren sebagai kerajaan kecil.201
Bahkan Chumaidi Syarif Romas menyatakan bahwa pesantren
merupakan sumber kekuasaan kharismatik dan kekuasaan struktural
yang sangat kuat dengan perangkat filosofi jawa yang kental.
Menurutnya, kekuasaan kiai di pesantren pada umumnya selalu
dikaitkan dengan silsilah keturunan para wali atau raja-raja terdahulu
yang termasyhur.202
Oleh karena itu, menurut Nur Cholis Majid kedudukan kiai
merupakan raja kecil di pesantren, tetapi pada saat yang sama ia
adalah seorang broker budaya.203
Mengingat terdapat pandangan
umum bahwa pesantren merupakan kerajaan kecil di mana kiai
merupakan sumber kekuasaan dan kewenangan yang bersifat absolut,
maka ketika kiai wafat, putra-putri yang menggantikannya juga akan
mewarisi kerajaan dengan kekuasaan dan kewenangan yang terdapat
didalamnya.204
201
Apa yang diungkapkan oleh Gus Al-Malikul Fanani diatas, merupakan sebuah pandangan yang
telah mengakar kuat dalam mentalnya, sehingga ia seakan telah menjelma menjadi‚ideologi‛,
dalam arti ia menjadi argumen yang muncul dari pandangan dunia atau fakta sosial yang
digunakan untuk menjustifikasi tindakan-tindakannya. Hasil wawancara 14 mei 2014 202
Chumaidi Syarief Romas, Kekerasan di Kerajaan Surgawi; Gagasan Kekuasaan Kiai, dari Mitos Wali hingga Broker Budaya (Yogyakarta:Kreasi Wacana,2003), 45.
203Nur cholis Majid,Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Pengalaman (Jakarta: Paramadina,
1997), 28. 204Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
174
Selain itu, proses pengalihan kekuasaan dan otoritas politik yang
dilakukan dengan sistem pewarisan juga dapat ditemukan landasan
sosiologisnya dalam tradisi Islam khususnya pada masa dinasti
Bani Umayyah. Bahkan Mu‟awiyah Bin Abi Sufyan yang merupakan
pendiri dinasti Bani Umayyah adalah pelopor sistem Monarchi
Heredities, dalam sistem pengalihan kekuasaan Islam, karena ia
adalah orang pertama yang melaksanakan sistem pewarisan
kekuasaan dalam tradisi politik Islam.205
Oleh karena itu, pandangan bahwa Pondok Pesantren Al Ichsan
merupakan ‚kerajaan kecil‟ dan putra kiai adalah pewaris kekuasaan
dan kewenang andi pesantren juga diakui oleh Gus Abdul Qohar.
Pengakuan tersebut pernah disampaikannya dalam suatu
kesempatan ketika ia mengatakan‚yo gak iso,wong rojone gak tau
masrahi, lek sakumpomone, GusMalik gelem ngajak rembukan trus
mbagi tugas, yo mlaku pondok iki. (ya tidak bisa, karena rajanya (Gus
Malik) tidak pernah memberi amanat, jika seandainya Gus Malik mau
mengajak musyawarah kemudian membagi tugas, maka sistem
pondok ini akan berjalan).206
.
Bagi Gus Malik ‚ideologi‛ bahwa kekuasaan di pesantren
merupakan kerajaan kecil adalah hegemoni yang secara tradisi
205
Donald Eguene Smith, Agama dan Modernisasi Politik, terjemah oleh M. Husein (Jakarta:
Rajawali,1985), 85 206
Wawancara, Gus Abdul Qohar, Mojokerto,14 Agstus 2016.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
175
seharusnya dapat diterima oleh semua masyarakat di lingkungan
Pondok Pesantren Al Ichsan, termasuk juga para elit pesantren lain
saudaranya, karena ia merupakan kekuatan determinan untuk
mempertahankan, melembagakan dan melestarikan kekuasaan secara
terus menerus dan melemahkan posisi tanding kekuatan santri dan
atau orang luar yang berusaha mewarnai pesantren dengan cara
yang berbeda melalui dominasi supremasi ideologis atas kaidah-
kaidah moral dan intelektual yang berlaku di Pondok Pesantren Al
Ichsan.
Gus Malik berharap bahwa warisan tradisi dan proses perjalanan
sistem manajemen di Pondok Pesantren Al Ichsan dengan segala
aspeknya tetap eksis tanpa ada perubahan, walapun sistem kekuasaan
di Pondok Pesantren Al Ichsan saat ini tengah mengalami masa
peralihan dari kekuasaan Kiai Haji Chusen Ichsan yang kharismatik
menjadi kekuasaan yang disubstitusikan dengan organisasi yayasan
dan tidak lagi tergantung pada figur sentral yang berada dibalik
segmen pesantren.207
Permasalahannya kemudian muncul, ketika dalam pengelolaan
Pondok Pesantren Al Ichsan, Gus Malik tidak pernah membagi
kekuasaan dan mendelegasikan kesaudara-saudaranya untuk
berkonsentrasi dalam mengelola sebagian lembaga di Al
207
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 13Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
176
Ichsan..208
Oleh karena itu, terdapat persepsi negatif dalam pemikiran
sebagian elit pesantren lain bahwa hegemoni Gus Malik di pesantren
merupakan dominasi, yaitu sebuah supremasi kekuasaan yang
memiliki kemampuan untuk menjadikan pemegangnya berbuat
‚apapun‟dalam mencapai tujuan dan kepentingan pribadi, walaupun
secara formal para elit pesantren saudara-saudara Gus Malik
mengakui kekuasaannya di Pondok Pesantren Al Ichsan, akan tetapi di
belakang itu, mereka selalu beroposisi dengan melakukan penolakan-
penolakan terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Gus Malik
serta melakukan upaya-upaya yang terkadang mengganggu
harmonisasi hubungan mereka, karena dalam titik tertentu upaya-
upaya oposisi tersebut telah masuk dalam kategori situasi konflik.209
Sikap oposisi yang mereka lakukan di antaranya diperlihatkan
dengan berbagai cara, yaitu:1) melakukan penolakan secara langsung
terhadap pandangan atau pendapat yang disampaikan pada saat rapat;
2) tidak menghadiri rapat atau acara tertentu yang dilaksanakan; 3)
menghadiri rapat tetapi duduk dibelakang dan datang terlambat; 4)
tidak mendukung dan membantu realisasi (pelaksanaan) kebijakan
yang diputuskan. Bahkan lebih dari itu, sikap oposisi tersebut di
antaranya ditunjukkan dengan cara membela para santri pondok atau
208
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 gustus, 2014. 209
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 Mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
177
santri asrama pengikut salah satu elit yang melakukan pelanggaran
terhadapt tata tertib pesantren.210
Dilihat dalam perspektif Sosiologi, fenomena tersebut
merupakan salah satu bentuk konflik yang terjadi antar elit pesantren
Al Ichsan, karena fenomena diatas menggambarkan sebuah bentuk
perselisihan antara individu atau kelompok masyarakat yang
disebabkan karena interest terhadap kepentingan tertentu.211
Hal yang menjadi faktor penyebab konflik tersebut adalah
karena persoalan kekuasaan, karena konstruksi kekuasaan yang
berpusat pada salah satu elit di pesantren dapat melahirkan kekuasaan
personal yang sentralistik dalam fenomena kehidupan di pesantren.
Kekuasaan dalam model demikian pada akhirnya akan berakibat
pada terbentuknya kekuasaan struktural yang dimiliki oleh salah
satu elit. Kekuasaan struktural adalah kekuasaan yang dibangun
berdasarkan kesadaran hirarkhi di mana kekuasaan puncak
mendominasi hirarkhi yang berada di bawahnya.212
Dalam kenyataan sosial yang terjadi, kekuasaan model
tersebut dibangun berdasarkan relasi sosial yang tidak seimbang dan
210
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 Mei 2014 211
Observasi, Pondok pesantren Al Ichsan, Mojokerto, 10Agustus 2014 212
Fenomena ini merupakan bagian dari bentuk konflik yang terjadi antara Neng Ninuk dan Gus
Malik. Dalam kasus ini, seringkali ketika santri yang melakukan pelanggaran adalah santri
asrama (pantiasuhan), maka Neng Ninuk sebagai elit pesantren yang secara khusus mengasuh
anak asrama, kadangkala tidak memberikan sanksi yang tegas, bahkan sikap yang ditunjukkan
terkesan melindungi santri yang melanggar tersebut. Zamakhsyari Dhofier,Tradisi Pesantren,(Jakarta:LP3ES,1994),19.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
178
pada umumnya berpotensi besar dalam menimbulkan konflik
kepentingan, karena hal itu mengakibatkan terjadinya kesadaran
diperlakukan tidak adil dalam diri masyarakat yang berada dalam
hirarkhi sosial bawah.
Ditinjau dari perspektif Sosiologi, kenyataan sosial sebagaimana
yang digambarkan diatas, akan melahirkan hubungan sosial yang
superordinasi dan subordinasi. Hubungan ini mencerminkan adanya
dominasi kekuasaan terhadap seseorang atau kelompok masyarakat
yang dikuasai dan menjadi penyebab konflik antar elit dipesantren.
Karena konflik pada dasarnya terjadi sebagai akibat adanya
kecemburuan sosial dari kelompok subordinasi yang tidak memiliki
dan menguasai sumberdaya ekonomi dan kekuasaan politik terhadap
golongan superordinasi yang selalu ingin berusaha untuk
mempertahankan kemapanannya.
Menurut Marx, tiap golongan atau kelas sosial di masyarakat
mempunyai cara khas yang dapat menimbulkan konflik antar kelas,
karena masyarakat secara sistematis menghasilkan perbedaan-
perbedaan antara orang-orang atau golongan yang berbeda tempat
atau posisinya didalam suatu struktur sosial.213
213
Dalam perspektif sosiologi, konflik merupakan sebuah bentuk perselisihan antara individu
atau kelompok masyarakat yang disebabkan karena interest terhadap kepentingan tertentu.
Ralp Dahrendorf, Case And Class Conflict in Industrial Society. (Standford California:
Standford University Press,1959).169, dan David Lockward dalam Rustam E. Tamburaka,
Pengantar…, 102.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
179
Dengan situasi di atas, maka dalam masyarakat akan selalu
terdapat suatu kelompok yang memiliki kekuatan pemaksa.
Dalam analisis Dahrendrof, kekuatan pemaksa tersebut adalah
kewenangan, karena wewenang secara tidak langsung selalu
superordinasi dan subordinasi. Dengan wewenang tersebut setiap
kelompok masyarakat akan selalu selalu dikotomis, yaitu
menempatkan seseorang dalam posisi atasan dan bawahan yang
mempunyai kepentingan tertentu dan berlawanan dalam substansi
dan arah.214
Berdasarkan pemikiran di atas, maka terdapat istilah kunci
lainnya dari faktor-faktor penyebab munculnya konflik antarelit di
Pondok Pesantren Al Ichsan, yaitu ‚kepentingan‟ yang selalu berbeda
dari masing-masing elit. Elit yang berada dalam posisi dominan
dan merasa mempunyai kekuasaan mempunyai kepentingan untuk
selalu mencari pemeliharaan atas status quo yang telah mereka miliki,
walaupun hal itu dilakukan dengan hegemoni atau dominasi terhadap
kelompok subordinat, sementara elit yang dalam posisi subordinat
mempunyai kepentingan untuk mencari perubahan dari status sosial
mereka.
Implikasi yang ditimbulkan dari adanya perbedaan arah dan
tujuan dari masing-masing kelompok elitpesantren tersebut adalah
214
I Marsana Windhu, Kekerasan dan Kekuasaan Menurut Johan Galtung (Jakarta: Kanisius,
1992), 18.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
180
lahirnya konflik kepentingan antar elit pesantren, karena masing-
masing elit berusaha untuk memperoleh kekuasaan untuk
memperbaiki nasib mereka masing-masing.215
c. Faktor Keluarga dan Pembagian Kewenangan
Faktor keluarga sebagai pemicu lahirnya konflik antarelit
Pondok Pesantren Al Ichsan secara khusus berkaitan dengan sistem
pewarisan pengelolaan pesantren. Faktor keluarga memunculkan
konflik karena sebelum Kiai Haji Chusen wafat beliau tidak pernah
memberi wasiat tentang siapa yang akan memegang tampuk
kepemimpinan dan pemegang jabatan tertentu di pesantren.
Padahal elit pesantren pengganti beliau tidak hanya satu orang
dan mereka memiliki keinginan untuk ‚berbuat banyak‛ di pesantren,
baik karena perjuangan untuk mengamalkan ilmu dan syiar agama
maupun karena didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu
seperti keinginan untuk mendapatkan kekuasaan di pesantren.
Keinginan sebagian elit pesantren untuk lebih banyak
beraktivitas di Al Ichsan pada mulanya hanya bersifat laten karena
keinginan tersebut pada dasarnya tidak terlihat atau di perlihatkan.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu keinginan tersebut terlihat jelas
dan bahkan terkadang melahirkan bentuk perebutan kekuasaan yang
berakibat pada lahirnya konflik keluarga.216
215
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto, 10Agustus 2014 216
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto, 10Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
181
Ditinjau dari sudut pandang sosiologis, keinginan para elit untuk
mendapatkan kekuasaan atas pesantren adalah sesuatu yang wajar
karena menurut Thomas Hobbes, setiap manusia sedikit atau banyak
selalu berusaha mendapatkan kekuasaan karena pada akhirnya
kekuasaan tersebut diperlukan untuk bertahan hidup atau pertahanan
diri.217
Akan tetapi dalam kenyataan sosial yang terjadi di Pondok
Pesaantren Al Ichsan, tidak semua elit mendapatkan kekuasaan,
karena kekuasaan pada dasarnya adalah kemampuan dari seseorang
dalam hubungan sosial yang berada dalam posisi untuk melaksanakan
keinginannya sendiri meskipun ada perlawanan.218
Perlawanan sebagian elit pesantren terhadap sebagian elit
pesantren lain yang memiliki kekuasaan di Pondok Pesaantren
pada akhirnya memunculkan konflik keluarga. Konflik keluarga
tersebut terkadang mengemuka ketika sebagian elit pesantren merasa
dirugikan oleh sistem kekuasaan yang ada dipesantren.
Fluktuasi konflik yang telah mengemuka tersebut pada akhirnya
semakin besar ketika pemegang kekuasaan di pesantren bersikap
acuh dan mempertahankan status quo yang ia miliki dengan berdasar
pada status keluarga dan kewenangan pengelolaan pesantren sebagai
implikasi dari kepemilikan status dalam silsilah keluarga tersebut.
217
Zainudin Maliki, Narasi….,161. 218
Rahmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh…,321.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
182
Konflik keluarga, dana dan pandangan bahwa status keluarga
menentukan kewenangan pengelolaan pesantren menjadikan tidak
adanya pembagian kerja yang seharusnya terjadi di antara
elitpesantren. Padahal pembagian kerja ini dibutuhkan agar secara
efisien pondok pesantren dapat dibangun.
Di Pondok Pesantren Al Ichsan, persoalan status keluarga dan
kewenangan yang diimplikasikannya, menjadikan para elit tidak lagi
tampil sebagai unit-unit sosial yang membangun dan mengembangkan
pondok pesantren dalam relasi-relasi pendidikan, tetapi justru
mengaleniasi kerjasamanya dan saling bertentangan sehingga
menciptakan konflik.219
Faktor keluarga yang menjadi salah satu pemicu konflik
antarelit pesantren Al Ichsan karena ia berhubungan dengan persoalan
siapa yang berhak dan mempunyai wewenang dalam melakukan
aktivitas tertentu di pesantren. Bagi Gus Malik, orang yang paling
berhak melakukan aktivitas tertentu yang berkaitan dengan
manajemen pesantren adalah dirinya, karena ia merupakan pewaris
yang sah secara tradisi mengingat statusnya sebagai putra tertua Kiai
Haji Chusen Ichsan setelah wafatnya Gus Syamsul Huda.
Walapun secara kultural pandangan Gus Malik dapat diterima
oleh hampir seluruh masyarakat pesantren, namun secara psikologis
219
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto, 10Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
183
sebenarnya sebagian masyarakat dan elit pesantren tidak dapat
menerimanya dengan mudah, karenanya ada banyak elemen
masyarakat di pesantren yang secara tidak sadar melakukan
penentangan-penentangan terhadap otoritas yang dimiliki oleh Gus
Malik.220
Bagi sebagian elit pesantren Al Ichsan, melakukan aktivitas
tertentu di pesantren seperti mengajar atau mengelola kegiatan
pendidikan di pesantren yang bertujuan untuk menghidupkan
pesantren, tidak harus dibatasi pada wewenang dan hak-hak keluarga
di pesantren, terlebih lagi kegiatan tersebut dilakukan untuk
melaksanakan syiar agama. Dan bagi para elit pesantren Al Ichsan,
mengajar atau mengelola kegiatan pendidikan di pesantren harus
didasari oleh kepemilikan kecakapan-kecakapan teknis dan
kepemilikan kemampuan intelektual dan spiritual yang
mendalam.221
Oleh karena itu, ketika mereka melihat Gus Malik tidak
mempunyai persyaratan-persyaratan itu, maka mereka menganggap
bahwa Gus Malik sebenarnya juga tidak layak untuk mengelola
pesantren, walaupun secara tradisi ia berhak. Bertentangan dengan
pendapat Gus Malik di atas, bahkan menurut neng Ninuk, jika
220
Observasi, Pondok pesantren Al Ichsan, Mojokerto, 10Agustus 2014 221
L. Layendecker, Tata Perubahan dan Ketimpangan (Jakarta: PT. Gramedia,1983), 160.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
184
lembaga yang berada dibawah naungan yayasan dikelola keluarga,
maka proses perjalanannya akan berhenti.222
Implikasi pandangan Gus Malik bahwa melakukan aktivitas
tertentu di pesantren harus berdasarkan hak dan wewenang yang sah
secara tradisi, yaitu berdasarkan garis keturunan terdekat dengan Kiai
Hají Chusen Ichsan dalam manajamen Pondok Pesantren Al Ichsan
adalah lahirnya sistem pengelolaan pesantren yang berdasarkan
tradisi, bukan berdasarkan keahlian (skill) secara terpadu.223
Sistem pengelolaan institusi dengan model di atas lebih lanjut
berakibat tidak adanya distribusí kekuasaan atau kewenangan yang
baik dalam pengelolaan pesantren, bahkan pada titik-titik tertentu,
hal itu dapat menimbulkan kekecewaan dan pada akhirnya akan
berubah menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu dapat meledak
menjadi konflik yang manifes.224
Di Pondok Pesantren Al Ichsan sebenarnya terdapat potensi
besar untuk dapat terealisasikannya sistem manajemen yang baik
sehingga dapat membawa pesantren menjadi maju, baik secara
akademis maupun secara strategis. Di Pondok Pesantren Al Ichsan
terdapat banyak gus dan neng yang masing-masing mempunyai
222
David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi. Terjemah oleh Paulus Wirutomo
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995), 95. 223
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 13Agustus 2014 224
David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi...........,98.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
185
spesifikasi keilmuan dan keterampilan tertentu yang berbeda antara
gus satu dengan gus yang lain.
Sebagian mereka ada yang memiliki keahlian khusus dalam
bidang qiroah dan tah}fiz} al-Quran, sebagian lagi memiliki keahlian
dalam mengajarkan bidang kitab-kitab ‚ kuning‟, sebagian
memiliki keahlian dalam pengetahuan-pengetahuan umum, dan lain
sebagainya.Spesifikasi keilmuwan yang berbeda dari masing-masing
elitpesantren tersebut pada dasarnya merupakan sumber daya
potensial yang saling melengkapi, untuk itu jika sumber daya tersebut
dapat dikelola dengan sistem manajemen yang baik, maka akan dapat
meningkatkan kualitas dan kuantiítas pendidikan dipesantren.225
Strategi untuk mengelola sumber daya yang berbeda tersebut
adalah dengan cara mengkoordinasikan dan memanfaatkannya secara
efisien demi kemajuan pendidikan di pesantren, karena manajemen
pada dasarnya merupakan proses penggunaan sumber daya secara
efektif untuk mencapai sasaran. Dengan manajemen yang baik,
sumber daya akan diintegrasikan menjadi sistem total untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.
Di Pondok Pesantren Al Ichsan, sumber daya tersebut tidak
terintegrasikan menjadi sistem total dalam sistem manajemen karena
adanya kepentingan tertentu dari elit pesantren serta karena
225
Wawancara, Gus Abdul Qohar dan sebagian masyarakat pesantren, Mojokerto, tanggal 13 Juli
2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
186
adanya faktor kewenangan dan hak-hak keluarga, oleh karena itu
kemampuan para gus dan neng yang merupakan sumber daya
potensial tersebut menjadi tidak terfasilitasi dengan
baik.226
Sebagian elit pesantren yang kemampuannya tidak terfasilitasi
dan merasa dirugikan oleh pihak manajemen, pada akhirnya sering
menampilkan sikap penentangan-penentangan sebagai manifestasi
konflik. Sebagian yang lainnya memutuskan untuk hijrah
meninggalkan Pondok Pesantren Al Ichsan.227
Dalam perspektif manajemen konflik, adanya sikap sebagian
elit pesantren tersebut merupakan dampak disfungsional konflik
yang bersifat psikologis terhadap perilaku organisasi. Sikap menarik
diri dari komunitas pesantren dalam bentuk alineasi dan indeferensi
tersebut merupakan bentuk-bentuk umum yang sering mempengaruhi
di fungsionalisasi organisasi pendidikan pesantren. Penarikan diri
atau keluar dari organisasi pesantren sebagai tanggapan terhadap
konflik yang tidak terselesaikan merupakan kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri sebagai akibat terabaikannya pengelolaan konflik
di dalam organisasi pesantren.228
226
Wawancara, Neng Ninuk, Mojokerto,13Agustus 2014 227
Wawancara, Gus Abdul Qohar, Mojokerto,13 Juli 2014 228
Salah satu elit pesantren yang melakukan hal ini adalah Gus Rum yang merupakan menantu
Kiai Chusen Ichsan dari anaknya yang terakhir. Pada mulanya Gus Rum dan istrinya tinggal
di lingkungan Pondok Pesantren Al Ichsan, akan tetapi pada a k h i r n y a beliau sekeluarga
tidak mau tinggal di Pondok Pesantren Al Ichsan dan berhijrah ke daerah lain di Mojokerto.
Bahkan saat ini Gus Rum bersama keluarganya juga telah berhasil mendirikan Pondok
pesantren baru di lingkungannya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
187
Secara Sosiologis, kenyataan tersebut sebenarnya sangat ironis
mengingat realitas Pondok Pesantren Al Ichsan yang seharusnya
dengan mempunyai multifigure dapat bergerak secara dinamis
sehingga menjadikan pesantren menjadi maju, ternyata malah
terjadi sebaliknya. Dengan banyaknya elit pesantren justru malah
menyebabkan konflik yang tidak terselesaikan sehingga menjadikan
pesantren mengalami keterpurukan.
Padahal jika konflik dapat diselesaikan dan para elit mau duduk
dalam satu meja untuk bekerjasama membangun pesantren dan
seluruh lembaga yang bernaung dibawahnya, pesantren dengan
semua lembaga pendidikan yang bernaung di dalamnya akan menjadi
salah satu institusi pendidikan yang maju dan terpandang dan
dapat memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan sosial
masyarakat disekitarnya.229
d. Faktor Perbedaan Pendidikan dan Pandangan Manajemen
Pendidikan dan pengalaman yang berbeda antara satu elit
pesantren dengan elit pesantren yang lain menjadi salah satu faktor
pemicu lahirnya konflik antar elit di Pondok Pesantren Al Ichsan,
karena perbedaan tersebut pada akhirnya menyebabkan lahirnya
perbedaan pandangan dalam mensikapi kebijakan manajemen
pesantren, khususnya yang berkaitan dengan manajemen
keuangan dan manajemen kurikulum.
229
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 5 mei 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
188
Pondok Pesantren Al Ichsan sebagaimana pondok pesantren lain,
dalam waktu-waktu tertentu mendapat dan bantuan dari kantor
Departemen Agama (DEPAG) yang diperuntukkan sebagai tunjangan
atau gaji usta>z madrasah Diniyah. Dalam mensikapi dana bantuan ini,
Gus Malik yang mempunyai pengalaman organisasi dan lebih banyak
belajar pada pendidikan non pesantren berusaha untuk
menerapkan sistem manajamen efektif dan efisien. Oleh karena itu,
dana bantuan yang diperoleh dari kantor Departemen Agama
(DEPAG) tidak dibagikan secara langsung tunai kepada ustad-uztad
madrasah Diniyah, melainkan dibagikannya secara bertahap dengan
sistem penggajian.230
Bagi Gus Malik yang saat ini bertindak sebagai manager karena
kedudukannya sebagai mudir, sistem pengalokasian bantuan dengan
cara membagikannya secara bertahap dengan sistem penggajian,
dipandang sebagai cara terbaik untuk meningkatkan mutu dan layanan
pendidikan di Pondok Pesantren Al Ichsan, khususnya di madrasah
Diniyah. Akan tetapi kebijakan ini ternyata mendapatkan respon
negatif dari sebagian ustad dan elit Pesantren Al Ichsan.
Dalam pandangan sebagian ustad madrasah Diniyah dan
elit Pesantren Al Ichsan, bantuan tersebut apapun tujuan
pemberiannya sudah merupakan hak mereka. Oleh karena itu,
seberapapun besar atau kecilnya jumlah dana yang diperoleh, maka
230
H.M. Sulthon & Moh. Khusnuridlo, Manajamen,…,68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
189
sebesar dan sekecil itu pula dana tersebut harus diberikan secara
langsung kepada mereka. kebijakan Gus Malik yang tidak
membagikan dana tersebut secara substansial adalah ‚salah‛, dan
hal itu dipandang merupakan wujud ketidakmampuan Gus Malik
dalam melaksanakan tanggung jawab untuk menyampaikan amanah
kepada yang berhak. 231
Secara psikologis, timbulnya konflik antar elit di Pondok
Pesantren Al Ichsan pada dasarnya dipicu oleh faktor ekonomi dan
diperkuat oleh adanya perbedaan konsep manajemen di pesantren
dalam pemikiran para elit khususnya yang berkaitan dengan dimensi
perilaku dan komponen sistem yang berhubungan dengan perubahan
dan pengembangan organisasi.
Dalam konteks keterbukaan sistem manajerialnya, pemikiran
Gus Malik terhadap sistem manajemen Pondok Pesantren Al Ichsan
mengacu pada konsep manajemen pondok pesantren modern (khalafi),
oleh karena itu, ia berusaha mengelola sistem manajemen secara rapi
dan sistematis dengan mengikuti kaídah-kaidah manajerial yang
umum.
Implementasi konsep manajemen modern yang diikuti oleh Gus
Malik tersebutdi antaranya diaplikasikan dalam konteks pengelolaan
dana bantuan yang diperoleh dari kantor Departemen Agama
(DEPAG). Dalam mensikapi masalah dana bantuan tersebut, Gus
231
Wawancara, pak Falah, Mojokerto, 14 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
190
Malik menerapkan kebijakan manajemen dengan tidak
membagikannya secara langsung tunai kepada ustad-ustad madrasah
Diniyah, melainkan membagikannya secara bertahap dengan sistem
penggajian layaknya sistem penggajian yang dilaksanakan oleh para
kepala sekolah dalam mengelola dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) secara profesional.
Dalam pemikiran para elit pesantren yang lain, Pondok
Pesantren Al Ichsan merupakan pondok pesantren tradisional (salafi),
mereka menginginkan agar Pondok Pesantren Al Ichsan dikelola
secara alami, tanpa berdasarkan profesionalisme yang terpadu.
Sehingga keinginan mereka dana bantuan yang diperoleh dari kantor
Departemen Agama (DEPAG) tersebut dapat diberikan secara
langsung kepada mereka, tanpa dikelola dengan sistem penggajian
seperti yang dilaksanakan di sekolah-sekolah umum.232
Selain perbedaan pandangan dalam masalah manajemen
keuangan, perbedaan pandangan dalam masalah manajemen
kurikulum juga menjadi salah satu faktor penyebab konflik antar elit
di Pondok Pesantren Al Ichsan. Perbedaan pandangan tersebut
232
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 13 Agustus 2014. Ditinjau dari perspektif keterbukaan
sistem manajerialnya, Pondok Pesantren menurut Mujamil Qomar dapat dibagi dalam dua
tipologi, yaitu Pondok Pesantren Modern (Khalafi) dan Pondok Pesantren Tradisional
(salafi). Pondok Pesantren Modern (Khalafi) dikelola secara rapi dan sistematis, dengan
mengikuti kaídah-kaidah manajerial yang umum. Sedangkan Pondok Pesantren
Tradisional (salafi) dikelola secara alami dan berdasarkan tradisi, tanpa berdasarkan
profesionalisme yang terpadu. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam (Yogjakarta: Erlangga, 2008), 58.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
191
khususnya terkait dengan perubahan jadwal mengaji dan jadwal
pembelajaran pada madrasah Diniyah.
Menurut Gus Abdul Qohar, pada mulanya jadwal kegiatan
pembelajaran di Madrasah Diniyah dilaksanakan ba’da Shalat
Isya, yaitu sekitar jam 20.00 WIB. Dengan jadwal seperti
demikian, setelah Magrib para santri mempunyai keluasan waktu
untuk mengaji al-Quran di rumahnya.233
Sebelum adanya perubahan
jadwal, yaitu ketika jadwal kegiatan di pondok pesantren
diatur seperti demikian, maka kemampuan Gus Abdul Qohar
untuk melaksanakan pengajaran Al qur’an dan membimbing para
santri yang mengikuti tahfid} dapat terfasilitasi dengan baik karena
santri yang mengaji di rumahnya banyak.
Semenjak jadwal pendidikan di Madrasah Diniyah Al Ichsan
dirubah menjadi dimulai setelah shalat Maghrib, maka banyak
santri yang tidak dapat mengikuti kegiatan pengajaran Quran dan
program tahfid} karena waktu yang mereka miliki menjadi sangat
terbatas. Para santri menjadi malas untuk mengikuti pengajaran
Quran dan program tahfid} karena setelah pembelajaran di
madrasah Diniyah selesai dilaksanakan, waktunya sudah malam.
Karena hal ini, yang membuat sebagian besar dari mereka merasa
lelah dan mengantuk, sementara sebagian santri lainnya yang
pada siang hari bersekolah di sekolah-sekolah umum, pada waktu-
233
Wawancara, Gus Abdul Qohar, Mojokerto, 13Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
192
waktu tersebut mereka pada umumnya sibuk belajar dan mengerjakan
tugas-tugas sekolah.234
Fenomena perubahan dalam manajemen kurikulum madrasah
Diniyah di Pondok Pesantren Al Ichsan tersebut menjadi penyebab
konflik antarelit pesantren Al Ichsan karena perubahan tersebu tsecara
otomatis menjadikan kemampuan Gus Abdul Qohar menjadi tidak
terfasilitasi dengan baik sehingga menyebabkannya merasa dirugikan
dan kecewa dengan pihak manajemen madrasah diniyah. Rasa kecewa
dan perasaan dirugikan yang terdapat dalam diri Gus Abdul Qohar
tersebut pada akhirnya menjadikannya memasuki suatu kondisi
konflik yang berdimensi psikologis, karena konflik tersebut tidak
ditampakkan dalam bentuk perilaku agresif, akan tetapi
memanifestasi dalam bentuk perasaan bermusuhan (hostility feeling)
atau perasaan tidak suka kepada Gus Malik.
Perasaan tersebut timbul karena Gus Abdul Qohar memiliki
anggapan bahwa Gus Malik merupakan aktor yang paling bertanggung
jawab terhadap fenomena perubahan jadwal Madrasah Diniyah Al
Ichsan dan implikasi-implikasi yang ditimbulkannya, mengingat
posisinya sebagai mudir Madrasah Diniyah AlIchsan yang
memegangotoritas penuh.235
234
Wawancara, Gus Abdul Qohar, Mojokerto, 13 Juli 2014. 235
Observasi,Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 5 mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
193
Secara psikologis, kekecewaan Gus Abdul Qohar terhadap
manajemen madrasah Diniyah, khususnya kepada Gus Malik pada
dasarnya adalah wajar, karena dalam sosiologi pesantren, fasilitasi
kemampuan seorang elit merupakan sarana untuk mencari pengaruh
dan pengakuan umat,sehingga pengurangan kesempatan seorang elit
terhadap elit yang lain dalam melaksankan kegiatan di pesantren
secara langsung maupun tidak langsung bisa dianggap sebagai salah
satu upaya membatasi kekuasaan. Oleh karena itu, Gus Abdul Qohar
merasa kecewa atas kebijakan Gus Malik yang telah merubah jadwal
mengaji dan jadwal kegiatan pembelajaran pada Madrasah Diniyah,
karena dengan berubahnya jadwal tersebut, maka santri yang
mengaji di rumah Gus Abdul Qohar menjadi semakin berkurang.236
Dalam perspektif Sosiologi pesantren, berkurangnya santri yang
mengaji pada salah satu elit bisa dianggap sebagai berkurangnya
pengaruh dan pengakuan umat terhadap eksistensi elit tersebut. Oleh
karena itu, fenomena perubahan manajemen dan implikasi yang
ditimbulkannya dapat dengan mudah menyebabkan konflik antarelit
di pesantren, karena secara implisit seorang elit senantiasa
menyandarkan eksitensinya pada pengakuan santri atau masyarakat
pesantren malalui saluran tranfer ilmu pengatahuan (transfer of
knowledge). Sehingga semakin banyak santri atau masyarakat
pesantren yang mengaji padanya, maka semakin banyak pula orang
236
Wawancara, Gus Abdul Qohar, Mojokerto, 13 Juli 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
194
yang mengakui keberadaan dan pengaruh yang dimilikinya. Dengan
demikian pengurangan kesempatan untuk melakukan tranfer ilmu
pengetahuan (transfer ofknowledge) secara langsung maupun tidak
langsung dapat berarti sebuah ancaman bagi kekuasaan yang dimiliki
elit pesantren.
Secara tidak langsung, salah satu penyebab lahirnya konflik antarelit
Pondok Pesantren Al Ichsan sebagaimana uraian diatas adalah faktor
kekuasaan dan perebutan pengakuan umat, faktor tersebut menjadikan
intensitas konflik semakin besar ketika ia berakulturasi dengan faktor lain
yang berbentuk perbedaan pandangan tentang manajemen di pesantren.
Konteks yang mendasar berasal dari adanya pemahaman yang tidak
sempurna dari proses manajemen yang dijalankan dan kurangnya komunikasi
dan koordinasi dalam organisasinya. Akan tetapi, jika ditelusuri secara lebih
mendalam, akar persoalan perbedaan pandangan tentang manajemen yang
menimbulkan konflik tersebut padadasarnya disebabkan karena faktor
perbedaan pendidikan dan pengalaman masing-masing elit pesantren.237
C. Dampak Konflik Terhadap Manajemen Pendidikan Pesantren
Menurut pandangan para tokoh teori Struktural Konflik, konflik
pada dasarnya mempunyai implikasi positif karena merupakan mesin
perubahan kearah kemajuan, bahkan konflik sosial merupakan inti dari
237
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 5 Mei 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
195
proses sejarah, karena konflik adalah kekuatanyang mendorong perubahan
sosial sebagai konsekwensi dari ketegangan dan perjuangan hidup.
Menurut Lewis Coser, konflik pada dasarnya memiliki fungsi-fungsi
yang positif bagi kelompok. Realitas konflik dapat membantu fungsi
komunikasi, karena konflik mendorong anggota ingroup untuk secara aktif
membangun komunikasi, guna mengantisipasi apa yang terjadi ditubuh
outgroup. Dengan demikian, konflik dapat memulihkan integrasi internal dan
dapat menjadi penguatkelompok sosial tertutup.
Pandangan optimis para teoritisi konflik tersebut merupakan sebuah
asumsi dasar yang begitu terkenal dalam sosiólogi. Akan tetapi, walaupun
begitu populair dan optimisnya para teoretisi konflik dalam memandang
konflik, sehingga dalam sosiologi teori konflik dianggap sebagai salah satu
‚narasi agung‛ yang hegemonik, namun sejumlah tesisnya tidak terbukti,
khususnya bila tesis tersebut dihadapkan dalam kenyataan sosial masyarakat
pesantren yang memiliki identitas tersendiri dan membedakanya dengan
masyarakat yang lain.238
Oleh karena itu, jika menurut Marx, konflik merupakan mesin
perubahan ke arah kemajuan dan menjadi inti dari proses sejarah, yang
dalam konteks manajemen pendidikan di Pondok Pesantren Al Ichsan
Brangkal Sooko Mojokerto berarti mewujudnya perkembangan dan
kemajuan sistem pendidikan di pesantren, maka dalam tradisi pesantren,
238
Lewis A. Coser,The Functions of Social Conflict. ( Chicago: Free Press, 1959). 73.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
196
khususnya di Pondok Pesantren AI Ichsan, konflik antarelit justru
berimplikasi terhadap lahirnya persoalan pendidikan dan persoalan
manajemen yang komplek, bahkan kompleksitas persoalannya seakan
telah menciptakan ‚lingkaran setan‛ yang senantiasa membakar mesin
perubahan ke arah kemajuan dan proses sejarah pendidikan di pesantren itu
sendiri.
Pondok Pesantren Al Ichsan sebagaimana pondok pesantren lain
dapat dianggap sebagai model institusi pendidikan yang mempunyai
keunggulan, baik pada sisi keilmuawannya yang oleh Martin Van Bruinessen
dinilai sebagai tradisi agung (great traditión), maupun karena transmisi dan
internalisasi moralitasnya. Maka hal itu seharusnya dapat terwujud
dengan peran dominan elit pesantren dalam mewarnai segala sesuatu
yang ada di pesantren. Namun karena elit pesantren terlibat konflik, maka
warna-warninya menjadi ‚suram‛ sehingga menjadikan pesantren berada
dalam perkembangan statis yang sewaktu-waktu dapat menjadikan tradisi
agungnya menghilang dari dalam pesantren itu sendiri.239
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa
konflik antarelit pesantren pada dasarnya mempunyai implikasi
disfungsional (perusak) terhadap perkembangan dan tradisi pesantren. Secara
garis besar, implikasi disfungsional (perusak) dari konflik antarelit
pesantren terhadap manajemen pendidikan pesantren dapat dipetakan dalam
239
Zainudin Maliki, Narasi Agung; Tiga Teori Sosial Hegemonik......86.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
197
lima konteks persoalan yang saling mempengaruhi dan berhubungan erat
antara satu dengan yang lainnya. Kelima konteks tersebut adalah :
1. Konteks struktur organisasi pesantren.
2. Konteks kepemimpinan dan kekuasaan politik dalam manajemen
pendidikan di pesantren.
3. Konteks fungsi-fungsi manajemen pendidikan di pesantren.
4. Konteks sistem manajemen pada aspek-aspek pendidikan di pesantren
5. Konteks menghilangnya kepercayaan masyarakat.240
Tabel 5 : Implikasi konflik dan variasinnya
NO IMPLIKASI KONFLIK DAN VARIANSINYA
1. Konteks Struktur Organisasi Pesantren
a. Lahirnya dikotomi kekuasaan di pesantren
b. Hilangnya kohesi (kesatuan dan persatuan) antarelit pesantren
2.
Konteks Kepemimpinan dalam Manajemen Pesantren
a. Hilangnya fungsi kepemimpinan dalam manajemen pendidikan
b. Hilangnya kekuasaan dan kewenangan politik pemimpin pesantren
3. Konteks Fungsi-Fungsi Manajemen
a. Tidak berfungsinya proses manajemen pendidikan di pesantren
b. Lahirnya persoalan sistem-fungsional manajemen pendidikan
pesantren
4. Konteks Aspek-Aspek Manajemen Pendidikan Pesantren
a. Proses belajar mengajar sering kosong.
b. Guru banyak yang tidak mengajar secara istiqomah.
c. Santri jarang mengikuti pengajian/ malas.
d. tidak adanya transparansi finansial
e. lembaga pendidikan formal berjalan sendiri-sendiri
f. tidak ada kordinasi antara pendidikan formal dan non formal
5. Konteks Menghilangnya Kepercayaan Masyarakat
a. Alumni tidak mau membantu pesantren
b. Alumni tidak mau menyekolahkan putra putrinya ke pondok
c. hilangnya kepercayaan para pengelola lembaga-lembaga pendidikan
formal dan sebagian masyarakat.
240
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 5 Mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
198
1. KonteksStrukturOrganisasi Pesantren
Secara struktural, konflik antarelit pesantren Al Ichsan mempunyai
implikasi terhadap lahirnya persoalan pada struktur organisasi di
pesantren. Persoalan ini telah memanifestasi dalam bentuk lahirnya
dikotomi kekuasaan dan kewenangan politik di pesantren.
Persoalan struktur organisasi sebagai implikasi konflik antarelit
pesantren mewujud dalam suatu bentuk yang khas, yakni walaupun secara
struktural pengasuh utama Pondok Pesantren Al Ichsan yang memiliki
kekuasaan ideologis hanyalah satu orang, yang dalam hal ini kekuasaan
tersebut seharusnya dimiliki oleh Gus Malik, namun pada kenyataanya
tidak semua santri dan masyarakat pesantren menganggap Gus Malik
memiliki kekuasaan yang bersifat mutlak dan memiliki daya konsentrasi
yang tinggi di pesantren.
Sebagai pewaris pesantren yang sah secara kultural maupun secara
struktural, seharusnya kekuasaan Gus Malik sangat sentral dalam
kehidupan sehari-hari di pondok pesantren. Seharusnya Gus Malik adalah
satu-satunya elit pesantren yang paling menguasai sumber dana dan
sumber jasa yang diperlukan santri atau masyarakat pesantren dengan
tanpa ada tandingan. 241
Namun, berdasarkan pengamatan, banyak santri
dan masyarakat pesantren yang menganggap bahwa selain Gus Malik juga
terdapat kemungkinan bagi pihak lain untuk tumbuh dan pada akhirnya
241
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 5 Mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
199
menjadi „lawan main‟ (sparing patner) yang seimbang dengan kekuasaan
Gus Malik di pesantren.
Dalam observasi yang penulis lakukan terhadap beberapa kasus
perbedaan pandangan yang terjadi antara Gus Malik dengan elit pesantren
lainnya tentang masalah pendidikan secara umum atau masalah-masalah
manajemen pendidikan pesantren, kenyataannya kebanyakan santri
atau masyarakat pesantren kurang memihak Gus Malik bahkan
mereka lebih banyak mengikuti pandangan elit pesantren lainnya.242
Dilihat dalam konteks struktur organisasi pesantren, persoalan
tersebut pada dasarnya merupakan memanifestasi dari dikotomi
kekuasaan politik di pesantren. Dan yang menjadi sebab kenapa dikotomi
kekuasaan tersebut lahir ádalah karena banyak santri dan masyarakat
pesantren yang menganggap Gus Malik kurang memiliki mental-spiritual
dan intelektual yang mumpuni sebagai pengasuh utama pondok
pesantren.Selain itu, dikotomi tersebut juga lahir karena adanya
ketidak percayaan yang tertanam dalam mental santri dan masyarakat
pesantren kepada Gus Malik. Ketidakpercayaan tersebut merupakan
dampak dari kultur individu terhadap elit pesantren lainnya yang
kemudian ditambahkan dengan persepsi negatif oleh sebagian elit
pesantren.243
242
Observasi, pon pes Al Ichsan, Mojokerto, 5 April 2014 243
Dalam wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa elitpesantren, mereka banyak
mengatakan bahwa Gus Malik kurang mampu secara intelektual dan moral, sebagian
mengatakan Gus Malik bukan ahlinya, Mojokerto, 13Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
200
Terlepas persepsi tersebut benar atau salah, akan tetapi Gus Malik
sendiri memang tidak pernah membuktikan dirinya dan menciptakan
persepsi dalam pemikiran santri bahwa ia adalah seorang yang secara
intelektual dan secara moral-spiritual layak menjadi figur paling
sentral di Pondok Pesantren Al Ichsan.244
Secara psikologis, adanya pandangan negatif oleh sebagian
besar santri dan masyarakat Pondok Pesantren Al Ichsan tersebut
menjadikan Gus Malik mengalami ‚kehancuran‟ kekuasaan dalam
dirinya, bahkan hal itu menjadikannya kehilangan hak-hak fundamental
dalam membangun kekuasaan strukturalnya sebagai kiai yang memiliki
peran paling dominan dalam mewarnai segala sesuatu yang ada di
pesantren.
Fenomena yang dapat menjadi bukti terhadap keterangan diatas
adalah kisah yang disampaikan Gus Malik yaitu suatu ketika sebagai
seorang manajer Gus Malik melaksanakan fungsi controll (pengawasan)
terhadap Gus Abdul Qohar dengan menegurnya karena beliau
beberapa kali tidak mengajar di madrasah Diniyah. Mendapatkan
teguran tersebut Gus Abdul Qohar tidak malah instropeksi diri,
melainkan menjawabnya dengan nada menatang. Beliau mengatakan
244
Sebagaimana dituturkan oleh salah sumber mulai dia menjadi santri hingga menjadi guru di
salah satu lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan yayasan Darul Aitam Al
Ichsan, penulis memang tidak pernah melihat Gus Malik mengajar pengajian kitab kuning
atau menjadi imam shalat di pondok.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
201
‚lapo sampeyan ngurusi aku (kenapa anda memperhatikan urusan saya)‛
katanya.245
Kisah lain yang lebih ironis juga disampaikan Gus Malik, bahwa
suatu ketika Neng Ninuk datang kepadanya dengan keadaan marah karena
menganggap ada yang bermasalah dalam pengelolaan Panti Asuhan Darul
Aitam Al Ichsan. Dalam pandangan Neng Ninuk persoalan tersebut
lahir karena panti asuhan dikelola oleh seseorang yang bukan ahlinya.
Oleh karena itu, Neng Ninuk meminta seluruh pengelolaan Panti Asuhan
diberikan kepadanya, menanggapi permintaan tersebut, secara lagsung
Gus Malik menyerahkan pengelolaan lembaga tersebut kepadanya.246
Berdasarkan fenomena ini, maka secara otomatis, kekuasaan politik dan
ekonomi Panti asuhan telah beralih dari tangan Gus Malik kepada Neng
Ninuk.247
Secara psikologis, Neng Ninuk memiliki keberanian untuk meminta
pembagian sumber daya ekonomi dan politik yang merata
dengan menyerahkan pengelolaan Panti Asuhan kepadanya, karena
Neng Ninuk merasa masih memiliki wewenang politik mengingat ia
seharusnya menjadi pewaris kekuasaan pesantren sepeninggal Gus
245
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 13 Agustus 2014. 246
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 13 Agustus 2014 247
Sebenarnya, struktur organisasi Pondok Pesantren Al Ichsan Pada mulanya tidak berbeda
dengan struktur organisasi dalam tradisi pondok pesantren lainnya, dimana pemimpin
tertinggi di pesantren sesungguhnya hanya satu orang elit pesantren, sistem manajemennya
bersifat sentralistik sehingga pengelolaan lembaga-lembaga yang berada dibawah naungan
pondok pesantren harus tetap tunduk kepada pemimpin tertinggi. Namun Gus Malik tidak
memiliki kekuatan (power) untuk menjaga hal itu, mengingat ia menyadari bahwa dirinya dan
keluarganya tengah berada dalam situasi konflik
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
202
Syamsul Huda ayahnya. Neng Ninuk menemukan momentumnya untuk
mendapatkan kekuasaan politik ketika resolusi konflik yang diterapkan
oleh Gus Malik dilakukan dengan menyetujui pengelolaan panti asuhan
diberikan kepadanya untuk meredam konflik.
Sebagai seorang figur sentral di pesantren yang merasa
bertanggungjawab untuk menjaga kearifan hidup dan perekat persatuan
sosial (social glue) khususnya di antara keluarga sendiri, maka Gus Malik
pada waktu itu setuju untuk membagi kekuasaan dengan menyerahkan
pengelolaan Panti Asuhan kepada Neng Ninuk.
Demi tujuan tersebut Gus Malik juga pada akhirnya tidak
menanggapi sikap sinis Gus Abdul Qohar, karena hal itu dianggap sebagai
resolusi yang terbaik agar persoalan konflik tidak berkembang. Akan
tetapi, bagi sebagian santri dan masyarakat Pesantren Al Ichsan, hal itu
merupakan kemungkinan untuk menumbuhkan ‘lawan main‟(sparing
patner) yang dapat menandingi kekuasaan Gus Malik di pesantren.248
Oleh karena itu, saat ini Neng Ninuk dianggap mempunyai
kekuasaan yang sama dengan Gus Malik dalam melegalisasi segala
sesuatu yang dibutuhkan dalam proses administrasi akademik di
yayasan, terlebih lagi saat ini Neng Ninuk yang memegang stempel
yayasan,249
sehingga terdapat surat-surat penting yang dianggap bernilai
legal hanya dengan tanda tangan Neng Ninuk Pada sekian banyak kasus,
248
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 10 Agustus 2014. 249
Observasi, lihat surat-surat kepegawaian, 10 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
203
seperti keperluan penandatanganan surat keputusan (SK) mengajar dari
yayasan atau administrasi yang dibutuhkan guru-guru untuk proses
sertifikasi atau keperluan lain.250
Sebagian guru lembaga pendidikan formal, lebih suka untuk
meminta rekomendasi Neng Ninuk, bukan Gus Malik, sebagai ketua
yayasan, padahal secara struktural Neng Ninuk hanya seorang sekretaris
yayasan dan secara kelembagaan ia hanya pengelola panti asuhan yang
seharusnya tidak memiliki kekuasaan politis untuk memberikan
rekomendasi akademik bagi warga Al Ichsan yang membutuhkannya,
sampai memberikan legalitas formal.251
Secara sosiologis, adanya kasus-kasus semacam itu berarti
menunjukkan ‚kehancuran‟ kekuasaan yang dimiliki Gus Malik di
Pondok Pesantren. Keadaan demikian juga menunjukkan adanya dikotomi
struktur kekuasaan dan kewenangan politik serta ekonomi di
pesantren, karena pada kenyataanya sebagai seorang manajer tunggal dan
pemimpin tertinggi di pesantren, Gus Malik tidak memiliki power
(kekuasaan) untuk melakukan dominasi dan melanggengkan
kepentingan serta ideologinya untuk menentukan proses, cara, maupun
aktivitas manajemen di pesantren.
250
Terdapat banyak warga Al Ichsan yang dalam meminta rekomendasi atau surat keputusan
pada waktu itu dari yayasan mereka banyak meminta ke neng Ninuk dan dilegalisasi sekalian
oleh neng Ninuk, ketika mereka sulit mendapatkan dari gus Malik. 251
Arsip dokumentasi Pon Pes Al Ichsan Brangkal Sooko Mojokerto.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
204
Dengan adanya fenomena tersebut, Gus Malik juga telah kehilangan
‚kekuasaan ‟(Power)‛ dalam manajemen pendidikan di pesantren.
Dalam kontek ini kekuasaan tersebut seharusnya mewujud dalam pola
kelembagaan (insttusion), pengajaran (instruction) dan pengawasan
jabatan akademik (control of academict post).
Melihat status Gus Malik dalam Struktur Sosial di pesantren,
seharusnya Gus Malik memiliki otoritas mutlak untuk menentukan siapa
yang berhak mengajar atau menduduki posisi tertentu di pesantren dan
lembaga- lembaga pendidikan formal. Akan tetapi dengan adanya
konflik yang berimplikasi pada lahirnya persoalan dikotomi kekuasaan di
pesantren, maka kekuasaan Gus Malik menjadi melemah dan
menjadikannya tidak memiliki intervenís apapun untuk mentukan pola
kelembagaan (institusion), pengajaran (instruction) dan pengawasan
jabatan akademik (control of academict post) di pesantren dan di
lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya.252
2. Kontek Kepemimpinan dalam Manajemen Pendidikan di Pesantren
Secara psikologis, persoalan konflik sosial antarelit pesantren yang
terjadi di Pondok Pesantren Al Ichsan telah melahirkan kontradiksi dalam
sistem kepemimpinan Gus Malik di Pondok Pesantren Al Ichsan.Pada
satu sisi, sebagai seorang pengasuh pondok pesantren dan seorang ketua
yayasan, Gus Malik ingin menunjukkan superiotitas dirinya di
lingkungan pesantren, sehingga Gus Malik sebenarnya menginginkan
252
Wawancara, AS Mahfud, Mojokerto,12 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
205
semua kebijakan yang berhubungan dengan pesantren serta yayasan dan
lembaga-lembaga yang berada dibawahnya dapat berpusat kepada dirinya.
Dan pengelolaan dari masing-masing lembaga tersebut tetap
berada dalam kendali kepemimpinannya. Oleh karena itu, suatu ketika
Gus Malik pernah marah kepada pengelola Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al
Ichsan, ketika keinginannya untuk memasukkan nama istrinya dalam
daftar guru penerima Tunjangan Fungsional tidak dapat dilaksanakan oleh
Kepala Madrasah.
Menurut Bapak Bahtiar Dana Setiawan, M.PdI, waktu itu Gus
Malik marah-marah dan mengancam tidak akan mau memberikan tanda
tangan jika guru-guru madrasah meminta surat-surat yang dibutuhkan
untuk kelengkapan administrasi madrasah. Secara psikologis,
fenomena tersebut pada dasarnya merupakan gambaran lain dari
kepribadian Gus Malik yang merasa memiliki kekuasaan dan berhak
mengintervensi segala kebijakan pengelolaan lembaga-lembaga yang
berada dibawah naungan yayasan.253
Rasa memilki tersebut adalah wajar karena selain sebagai pengasuh
utama pondok pesantren dan ketua yayasan, Gus Malik juga merupakan
pewaris yang berhak terhadap segala pengelolaan Al Ichsan. Namun
karena Gus Malik merasa kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan sistem manajemen terpusat.Untuk itu, Gus Malik selalu
mengatakan bahwa yayasan akan memberikan kebebasan dan kemudahan
253
Wawancara, bapak Bahtiar Dana S. Mojokerto, 25 Juli 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
206
administratif yang berhubungan dengan surat-surat dan atau tanda tangan
untuk legalisasinya.254
Dalam konteks lain, Gus Malik juga merasa memiliki banyak
pemikiran-pemikiran dan ide-ide tentang pengembangan pendidikan dan
pengembangan efektifitas dan efisiensi manajemen pendidikan yang
sangat ingin direalisasikan secara praktis dalam bentuk kebijakan-
kebijakan. Akan tetapi pemikiran-pemikiran tersebut tidak pernah dapat
disalurkan, bahkan walaupun hanya dalam bentuk diskusi kecil dengan
para elit pesantren Al Ichsan yang lain.
Sebab-sebab yang menjadikan fenomena tersebut adalah karena
persoalan konflik sosial antara dirinya dengan beberapa elitpesantren
yang lain telah demikian lama terjadi dengan tidak terdapat penyelesaian,
sehingga implikasinya, Gus Malik secara psikologis merasa kehilangan
tim kerja dan tidak mempunyai ‚teman‛ untuk berdiskusi dalam
merealisasikan pemikiran tersebut secara praktis.255
Sebagai pelampiasan
dan pengalihan dari tidak terfasilitasinya pemikiran-pemikiran beliau,
selama ini kegiatan Gus Malik di rumahnya adalah bermain game,
membuat gambar atau kaligrafi, bermain ketetangga atau teman-
temannya, serta sekali-kali bermain ke kantor MTs Al Ichsan untuk
254
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto,13 Agustus 2014 255
Wawancara, Hasanudin, Mojokerto, 14Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
207
mengobrol dengan beberapa guru atau Kepala Madrasah yang dapat
mengalihkan pemikirannya.256
Ditinjau dari perspektif psikologi sosial, inti dari adanya berbagai
macam kontradiksi ini adalah, adanya kebutuhan dalam diri Gus Malik
untuk diakui, sehingga beliau ingin dibantu untuk mengurusi pondok
pesantren beserta yayasan didalamnya, akan tetapi walaupun demikian,
tetap harus adanya pengakuan bahwa dirinya merupakan pemimpin
tertinggi di pesantren dan sebagai ketua yayasan yang secara struktural
membawahi seluruh lembaga-lembaga dibawahnya, baik lembaga formal
maupun lembaga nonformal.
Ditinjau dari pespektif teori konflik, hal itu secara sosiologis adalah
wajar mengingat apa yang dilakukan oleh Gus Malik bisa jadi merupakan
manifestasi dari keinginannya sebagai kelompok superordinasi yang
berusaha memelihara status quo dan kemapanan kelasnya dengan berbagai
senjata, termasuk dengan nilai dan ide-ide yang digunakan agar ia tetap
memiliki dan menguasai wewenang politik, ekonomi maupun sarana-
sarana yang dibutuhkan dalam kehidupannya.
Berdasarkan analisis tersebut, maka dalam konteks sistem
kepemimpinan dan supremasi kekuasaan di Pondok Pesantren Al
Ichsan, maka hal itu merupakan keinginan elitpesantren untuk melakukan
hegemoni, dalam arti merupakan sebuah keinginan untuk melaksanakan
supremasi kekuasaan yang memiliki relasi dimana elitpesantren penguasa
256
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
208
sadar akan haknya untuk memerintah dan mendapatkan kepatuhan untuk
mencapai tujuan dan kepentingan pribadi penguasa.257
3. Konteks Fungsi-Fungsi manajemen Pendidikan di pesantren
Tidak seperti yang diasumsikan dalam teori konflik, bahwa konflik
mempunyai implikasi-implikasi yang positif dalam kehidupan dan
merupakan mesin perubahan ke arah kemajuan, konflik antarelit pesantren
Al Ichsan justru membawa implikasi yang negatif terhadap proses
pelaksanaan fungsi- fungsi manajemen di Pondok Pesantren Al Ichsan.
Persoalan konflik antarelit pesantren justru menimbulkan tidak
berlakunya fungsí-fungsi organik manajemen, hal itu terlihat dengan
tidak adanya kegiatan-kegiatan manajemen seperti perencanaan (planing),
pengorganisasaian (organizing), pelaksanaan (actuating), pengawasan
(controlling), dan lain sebagainya.
Ditinjau dari perspektif keterbukaan sistem manajerialnya, Pondok
Pesantren Al Ichsan sebenarnya bisa dimasukkan dalam tipologi pondok
pesantren semi modern atau semitradisional, karena pada satu sisi Pondok
Pesantren Al Ichsan dikelola secara alami dan berdasarkan tradisi, tanpa
profesionalisme yang terpadu. Namun, pada sisi yang lain Pondok
Pesantren Al Ichsan juga berusaha dikelola secara rapi dan sistematis
dengan mengikuti kaídah-kaidah manajerial yang umum. Oleh karena itu,
di Pondok Pesantren Al Ichsan juga terdapat kegiatan-kegiatan
manajemen seperti rapat-rapat dan juga kegiatan tertib administrasi.
257
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
209
Kegiatan-kegiatan manajemen di Pondok Pesantren Al Ichsan
seperti perencanaan (planning), pengorganisasian(organizing) dan
pengawasan (controlling) biasanya dilakukan dengan cara rapat-rapat
yayasan yang agendanya tidak ditentukan. Jika pesantren ingin
melaksanakan suatu kegiatan tertentu biasanya diawali dengan rapat
pembentukan panitia dan pembagian kerja antar panitia secara
langsung.258
Dalam kaitannya dengan proses pengembangan pendidikan di
Pondok Pesantren Al Ichsan, rapat-rapat tersebut sulit untuk
dilaksanakan dengan sukses mengingat sebagian besar elitpesantren yang
menerima undangan tidak menghadirinya. Pada rapatyang dilaksanakan
pada tanggal 9 Mei 2009, dengan agenda pengembangan pendidikan
pondok pesantren dan pengembangan lembaga pendidikan formal
tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI),Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah(MA) yang berada dibawah
naungan yayasan. Walaupun semua surat undangan telah diterima oleh
semua Gus dan Neng putra-putri kiai, namun yang hadir hanya Gus Malik
saja, undangan dari keluarga yayasan tidak ada yang hadir.259
Menurut bapak A.S. Makhfudz, salah seorang guru senior yang telah
aktif mengajar di Madrasah Tsanawiyah MTs) dan Madrasah Aliyah
(MA) Al Ichsan sejak tahun 1990 yang lalu, keadaan ini memang sudah
258
Observasi, pon pes Al Ichsan, Mojokerto, 8 Juni 2014 259
Observasi di Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto, 10 Agustus 2014. Untuk memperkuat
bukti ini dapat dilihat dokumentasi daftar hadir rapat.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
210
menjadi kebiasaan di Pondok Pesantren Al Ichsan. Menurut beliau
kegiatan ini sudah berkali-kali terjadi dan biasanya jika Gus Malik Hadir
maka Gus dan Neng yang lain tidak hadir, sebaliknya jika Neng atau Gus
yang lain hadir, maka giliran Gus Malik tidak hadir.260
Bagi mereka,
urusan pondok dan urusan lembaga-lembaga bukan urusan mereka karena
sudah ada yang mengurusi, bahkan jika keluarga yang mengurusi
maka justru akan menjadikan proses perjalanan lembaga semakin
berhenti.261
Dalam analisis sebagian guru Al Ichsan, fenomena ketidakhadiran
atau ketidakterlibatan para elitpesantren dari keluarga yayasan pada
dasarnya merupakan bagian dari bentuk konflik yang terjadi diantara
mereka. Alasan mendasar kenapa sikap tersebut menjadi pilihan yang
harus diambil dan dilaksanakan, di antaranya adalah untuk
menujukkan sikap oposisi terhadap kekuasaan Gus Malik.262
Implikasi dari persoalan konflik ini di antaranya adalah hilangnya
fungsi-fungsi manajemen di Pondok Pesantren Al Ichsan, karena dengan
ketidakhadiran mereka pada acara rapat maka berarti telah hilang
kesempatan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, seperti
260
Wawancara, AS Mahfudh, Mojokerto ,10Agustus 2014. 261
Dalam wawancara dan diskusi yang penulis lakukan tentang masalah ini, para elit pesantren
biasanya memberikan jawaban sebagai berikut ‚masalah pondok iku urusane Gus Malik, awak
dewe gak melok duwe hak ngurusi (masalah pondok itu urusannya Gus Malik, saya secara pribadi
tidak memiliki hak untuk mengurusi),‚ 13 juli 2014. 262
wawancara dengan ibu Lis Sulfianah, guru senior di MTs dan MA Al Ichsan.Secara psikologis,
sikap tersebut merupakan bentuk ketidaksadaran para elitpesantren bahwa Pondok Pesantren
Al Ichsan dan seluruh lembaga lainnya merupakan warisan Kiai Haji Chusen Ichsan yang
harus mereka pelihara. 14 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
211
kegiatan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pengawasan (controlling).
Fenomena di atas tentu sangat ironis, mengingat
manajemen pendidikan di pesantren dapat disimbolkan sebagai „ruh’
dari kegiatan pendidikan di pesantren, sehingga ketika kegiatan
pendidikan di pesantren telah kehilangan manajemen yang menjadi
„ruhnya, maka kegiatan pendidikan tidak akan dapat tumbuh
berkembang secara dinamis, ia akan berjalan di tempat secara stagnan
tanpa tujuan yang jelas, bahkan lama kelamaan kegiatan pendidikan di
pesantren mengalami apa yang disebut dengan istilah ‚hidup enggan
mati tak mau‛.263
4. Konteks Aspek-Aspek Manajemen Pendidikan Pesantren
Oleh karena konflik antarelit Pondok Pesantren Al Ichsan telah
membawa implikasi terhadap hilangnya fungsi-fungsi manajemen di
pesantren, maka kegiatan pendidikan di pesantren menjadi
tidakberkembang secara dinamis, perjalanannya stagnan dan bahkan
beberapa kegiatan pendidikan di Pondok Pesantren Al Ichsan telah
mengalami kemandekan.
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika Kiai Chusen Ichsan
masih ‚ada‛, kegiatan pendidikan di pondok pesantren sangat padat dan
berjalan dengan teratur. Kegiatan pengajian kitab kuning dilaksanakan
setiap hari dimulai sejak pagi sampai malam hari. Secara rutin
263
Observasi di Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
212
kegitan pengajian tersebut dilaksanakan di mus}alla pondok setelah
selesai shalat lima waktu, yaitu dimulai setelah Salat Subuh (jam 05.00–
06.00), pada waktu D}uha (jam 08.00–09.00), setelah Salat z}uhur (jam
14.00-15.00), setelah selesai S}alat As}ar (16.00–17.00), dan setelah s}alat
Ishak (jam 21.00-22.00). Khusus setelah S}alat Magrib adalah kegiatan
Madrasah Diniyah dan kegiatan Khitabah serta diba’iyah pada hari
kamis.264
Pada kegiatan pendidikan yang berlangsung pada waktu-waktu
tersebut, semua santri mengikutinya dengan tertib, baik santri pondok
maupun santri asrama.Jika terdapat santri yang tidak mengikuti salah satu
kegiatan atau lebih, maka santri akan disidang oleh keamanan pondok dan
dikenakan sanksi sesuai jenis pelanggarannya.265
Sejak meninggalnya Kiai Haji Chusen Ichsan dan adanya persoalan
konflik diantara elitpesantren penggantinya, maka kegiatan-kegiatan
pendidikan dan pengajian kitab kuning di Pondok Pesantren Al Ichsan
banyak mengalami perubahan. Bahkan pada saat ini kegiatan pendidikan
di Pondok Pesantren Al Ichsan yang secara formal dan terstruktur dalam
kurikulum pesantren hampir tidak ada sama sekali.
Dan pengajian-pengajian kitab kuning sudah tidak terlaksana
dengan maksimal sehingga dalam satu hari terkadang hanya satu
pengajian yang dilaksanakan dan itupun tidak diikuti semua santri
264
Wawancara, Muh. Hasanudin, keponakan Kiai Haji Chusen Ichsan, Mojokerto, 14 Agustus 2014. 265
Wawancara, Muh. Hasanudin, keponakanKiai Haji Chusen Ichsan, Mojokerto, 14 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
213
karena tidak ada aturan tegas yang mengharuskan santri untuk mengikuti
pengajian tersebut, jika santri tidak mengikuti kegiatan pengajian
tersebut, maka tidak ada sangsi yang menghukumnya. Kegiatan yang
berjalan di pondok saat ini adalah sebagai berikut:
Tabel 6 : Jadwal Pengajian.266
No Jenis Kegiatan Waktu
1 Pengajian Kitab Kuning Setiap hari ba‟da Ashar
2 Pra Diniyah Setiap hari ba‟da Maghrib
3 Pengajian Al-Qur‟an Setiap hari ba‟da Isya‟
4 Khitabah Hari Selasa setelah Magrib
5 Tahlil dan Diba‟iyah Hari Kamis setelah Magrib.
Perubahan tersebut juga dialami oleh madrasah Diniyah yang
seharusnya menjadi ‚dapur‛ ilmu pengetahuan di pesantren. Saat ini
kegiatan pembelajaran di madrasah Diniyah sama sekali tidak berjalan.
Keadaan ini telah terjadi sejak tahun 2005 yang lalu ,yaitu sejak setelah
wafatnya Agus Syamsul Huda yang saat itu masih menjabat ketua
Yayasan Darul Aitam Al Ichsan dan kepala pengasuh Pondok Pesantren
Al Ichsan.267
Dalam beberapa tahun terakhir, sebenarnya Gus Malik telah
beberapa kali berupaya untuk menghidupkan kembali madrasah Diniyah.
Bahkan pada permulaan tahun 2007 Gus Malik berusaha
menghidupkannya dan menyusun kurikulum yang sesuai perkembangan
266
Dokumentasi: jadwal kegiatan pondok yang ditulis oleh saudara Slamet, santri senior Pondok
Pesantren Al Ichsan Brangkal Sooko Mojokerto. 267
Observasi di Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10 Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
214
santri dan kurikulum pada sekolah formal, akan tetapi upaya tersebut
mengalami kegagalan dan madrasah Diniyah dapat ‚hidup‛ hanya
beberapa saat, setelah itu kembali ‚mati‛ hingga pada saat ini.
Di antara faktor utama yang menjadi penyebab ‚matinya‛ proses
pendidikan di Madrasah Diniyah Al Ichsan adalah karena sebagian
besar guru atau ustad tidak mau mengajar secara istiqo>mah, sehingga
jadwal pembelajarann yang ada seringkali mengalami kekosongan, dan
faktor lainnya adalah karena sebagian besar santri merasa malas untuk
mengikuti proses pembelajaran. Kedua faktor penyebab ‚berhentinya‛
proses pendidikan di Madrasah Diniyah Al Ichsan tersebut sebenarnya
saling berkaitan dan menunjuk suatu fenomena kausalitas (sebab-
akibat), karena yang menjadi sebab sebagian besar santri merasa
enggan untuk mengikuti proses pembelajaran adalah karena seringnya
terdapat jam kosong.268
Faktor mendasar yang menjadikan lemahnya motivasi para ustad
atau elit pesantren untuk melaksanakan proses pembelajaran sehingga
mengakibatkan jam pelajaran sering mengalami ‚jam kosong‛, adalah
karena para ustad merasa hak-hak dasar mereka telah diminimalisasi oleh
kepala madrasah Diniyah.269
Untuk itu fenomena ‚jam kosong‚tersebut
268
Observasi di Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10Agustus2014 269
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10Agustus 2014.Hak dasar yang dimaksud
dalam konteks ini adalah hak yang berkaitan dengan masalah gaji. Sebagaimana yang
dikemukakan di atas, Pondok Pesantren Al Ichsan dalam waktu-waktu tertentu mendapat
dana bantuan dari kantor Departemen Agama (DEPAG) yang diperuntukkan sebagai
tunjangan atau gaji ustadz madrasah Diniyah. Namun dana bantuan yang diperoleh dari kantor
Departemen Agama (DEPAG) tidak dibagikan oleh kepala madrasah Diniyah secara langsung
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
215
pada dasarnya dapat dianggap sebagai aksi protes terhadap kepala
madrasah Diniyah.
Implikasi lain dari terjadinya konflik antar elit Pondok Pesantren
Al Ichsan dalam konteks disfungsionalisasi aspek-aspek manajemen
pendidikan pesantren juga menjadikan pelaksanaan program pendidikan
pada masing-masing lembaga pendidikan formal berjalan sendiri-sendiri
dan tidak terkoordinasi dengan baik. Bahkan antara pendidikan formal
dan pendidikan non formal seperti pengajian dan madrasah Diniyah tidak
terdapat sinergi, masing-masing lembaga mempunyai visi-misi dan
strategi yang tidak sesuai dengan visi-misi pesantren. Tidak adanya
sinergi tersebut merupakan kerugian bagi proses pendidikan di Al Ichsan
mengingat secara ideal pendidikan seharusnya selalu berada dalam gerak
keberlanjutan (sustainibility) sebagaimana yang disarankan oleh A. Malik
Fadjar.270
Dalam konteks tersebut, lembaga-lembaga pendidikan di Al Ichsan
seharusnya memiliki visi-misi dan strategi yang berhubungan dan saling
mendukung antara satu lembaga dengan lembaga lainnya, sehingga
seluruh program pendidikan pada masing-masing lembaga seharusnya
mendukung pencapaian visi dan misi pesantren.
tunai kepada ustad-uztadh madrasah Diniyah, melainkan dibagikannya secara bertahap
dengan sistem penggajian perbulan. Bagi para ustad Madrasah Diniyah Al Ichsan, apapun
bentuknya dana tersebut adalah sudah enjadi hak mereka oleh karena itu, kebijakan kepala
madrasah dalam hal ini mereka anggap sebagai minimalisasi hak-hak yang seharusnya
diberikan kepada mereka 270
Ahmad Barizi, Holistica………,74
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
216
Menurut Gus Malik secara ideal, keberlanjutan (sustainibility)
dalam pendidikan formal seharusnya ditunjukkan dalam program-program
yang dikembangkan oleh masing-masing lembaga. Seharusnya program
pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK) Al Ichsan memiliki hubungan
dan mendukung program pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al
Ichsan. Program pendidikan di Madrasah Ibtida‟iyah (MI) Al Ichsan
seharusnya memiliki hubungan keberlanjutan dan mendukung program
pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al Ichsan, dan begitupun juga
seterusnya, program pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al
Ichsan seharusnya memiliki hubungan keberlanjutan dan mendukung
program pendidikan di Madrasah Aliyah (MA) Al Ichsan.271
Idealisme diatas secara praktif ternyata tidak dapat diwujudkan di
lembaga-lembaga Al Ichsan dan salah satu faktor yang menyebabkannya
adalah karena yayasan sebagai induk organisasi dari masing-masing
lembaga tersebut tidak memiliki kekuatan untuk mengintervensi
kebijakan-kebijakan pendidikan pada masing-masing lembaga.Termasuk
di antaranya kekuatan untuk mengintervensi penentuan visi-misi dan
strateginya.
Dan yang menjadi penyebab kenapa yayasan tidak mempunyai
kekuatan tersebut adalah karena saat ini kekuatan yayasan telah melemah
dikarenakan adanya konflik diantara para pengurusnya. Konflik tersebut
menyebabkan tidak adanya kohesi dan bahkan menyebabkan persoalan
271
Wawancara, Gus Malik, Mojokerto, 14 Juli 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
217
perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, untuk mengembalikan kekuasaan
yayasan maka persoalan konflik ini harus diselesaikan terlebih dahulu dan
memperkuat kohesi dalam tubuh organisasinya.272
5. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pesantren
Para elit Pondok Pesantren Al Ichsan memandang konflik adalah hal
biasa ketika isu yang dikonflikkan menyangkut perbedaan pandangan
dari masing-masing pihak yang terlibat konflik. Bagi mereka, konflik
merupakan hal wajar yang tidak perlu diungkap apalagi dibesar-besarkan.
Adanya kecenderungan untuk tidak mengekspos konflik adalah karena
pandangan teologis bahwa perbedaan merupakan realitas hidup yang
harus difahami sebagai sunatullah yang bersifat konstruktif karena akan
membawa pada kebajikan.
Selain karena pandangan teologis tersebut, faktor kultural juga
dianggap berpengaruh dalam cara pensikapan konflik yang ada di
pesantren. Untuk itu, para elit pesantren Al Ichsan memandang
‚tabu‛ untuk membicarakan konflik apalagi membesar-besarkannya.
Sikap mentabukan tersebut karena mereka menganggap bahwa pesantren
merupakan sebuah institusí keagamaan yang penuh dengan nilai-nilai
dan norma keagamaan yang dipercaya masyarakat.
Pada umumnya, para elitpesantren memandang bahwa konflik
merupakan keburukan yang tidak harus diketahui oleh masyarakat.Untuk
itu setiap konflik yang terjadi di pesantren sebisa mungkin diselesaikan
272
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
218
dengan secepatnya agar citra pesantren sebagai lembaga keagamaan
tetap baik di masyarakat.
Berbeda dengan pandangan para elitpesantren tersebut dalam
memandang konflik, para pengelola lembaga-lembaga pendidikan formal
yang berada di bawah naungan Yayasan Darul Aitam Al Ichsan seperti
paraguru atau pimpinan lembaga Taman Kanak-Kanak (TK) Al Ichsan,
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Ichsan. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al
Ichsan dan Madrasah Aliyah (MA) Al Ichsan justru menganggap bahwa
konflik yang terjadi bukanlah hal yang tabu untuk dibicarakan karena bagi
mereka konflik di pesantren sudah bukan menjadi rahasia umum, bagi
pengelola lembaga formal, banyak pesantren yang semula didirikan
pendirinya sebagi satu kesatuan institusí pada perjalannya terbelah
disebabkan adanya konflik di antara para elitnya.273
Dalam kaitan ini bapak Ainul Yaqin, M.PdI, kepala Madrasah
Tsanawiyah (MTs) Al Ichsan mengatakan ‚saya itu heran, kebanyakan
lembaga sosial keagamaan yang didirikan oleh orang Islam di Indonesia
itu kok kalau sudah besar selalu saja terpecah dan pengelolaannya di
perebutan hinggá pada akhirnya tidak terurus dan runtuh ditinggalkan
banyak orang, tapi mungkin wajar seperti itu wong Ibnu khaldun saja
meramalkan kalau perjalanan suatu negara membutuhkan tiga
generasi untuk mencapai kesempurnaanya‛.274
Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Madrasah
Tsanawiyah (MTs) Al Ichsan tersebut, bapak M. Ibnu Falahudin, S.IP
yang saat ini menjabat sebagai kepala Madrasah Aliyah (MA) dan
merupakan salah satu ustad Madrasah Diniyah Al Ichsan, justru malah
menegaskan bahwa konflik antarelit pesantren memang sudah biasa
terjadi di pondok-pondok pesantren lain. Beliau mengatakan ‚ya tidak
hanya disini (di Al Ichsan), di Pondok Mojogeneng dahulu juga
273
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10Agustus 2014 274
Wawancara, Ainul yaqin, Mojokerto,15 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
219
mengalami konflik sosial setelah meninggalnya Kiai Yahdi, jadi
memang itu dinamikanya pondok pesantren‛.275
Walaupun para guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan
formal yang terdapat dibawah naungan Yayasan Darul Aitam Al Ichsan
dapat menerima situasi konflik sebagai fakta sosial yang wajar terjadi,
akan tetapi pada umumnya mereka tidak menginginkan konflik antara elit
Pondok Pesantren Al Ichsan terus menerus terjadi tanpa penyelesaian,
karena bagi mereka konflik tersebut akan membawa dampak
disfungsional (perusak) bagi perkembangan pendidikan di Al Ichsan.
Untuk itu dalam berbagai kesempatan, para guru dan pengelola lembaga-
lembaga pendidikan formal yang terdapat di bawah naungan
Yayasan Darul Aitam Al Ichsan selalu berupaya mendamaikan konflik
yang terjadi. Di antara upaya yang mereka lakukan adalah dengan
berusaha menghadirkan mereka dalam setiap acara atau dalam rapat-
rapat bersama antara para guru dan pengelola lembaga-lembaga
pendidikan formal. Rapat-rapat bersama tersebut biasa diselenggarakan
untuk membahas program pendidikan Al Ichsan pada awal tahún atau
pada akhir tahun ajaran baru. Akan tetapi usaha-usaha demikian dalam
perjalannya tidak dapat berjalan secara maksimal karena biasanya yang
hadir hanya Gus Malik saja, sementara undangan yang lain dari elit
pesantren Al Ichsan justru tidak hadir.276
275
Wawancara, Ibnu Falah, Mojokerto, 15 Agustus 2014. 276
Wawancara, Hasanudin, Mojokerto, 14 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
220
Dalam beberapa segi, fenomena di atas mengindikasikan adanya
konflik laten yang terdapatdalam komunitas elitpesantren Al Ichsan.
Dampaknya yang kelihatan adalah lahirnya persoalan struktural dan
fungsional dalam kepengurusan yayasan. Pada perkembangan selanjutnya,
persoalan struktur dan fungsional tersebut juga melahirkan persoalan
baru, yaitu menghilangnya kepercayaan para pengelola lembaga-lembaga
pendidikan formal dan sebagian masyarakat kepada yayasan.
Bagi para guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan formal,
persoalan struktur dan fungsional ini menyebabkan ke-engganan
mereka untuk membantu pendanaan keuangan yayasan. Karena itu, ketika
membahas bantuan dana yang akan diberikan ke yayasan, persoalan yang
biasa muncul adalah ‚dana tersebut mau diberikan kepada siapa dan akan
dipergunakan untuk apa?.
Dalampandangan paraguru dan pengelola lembaga-lembaga
pendidikan formal, kepengurusan yayasan dan fungí-fungsinya ‚tidak
jelas‛,untuk itu jika mereka ingin memberikan dana kepada yayasan,
maka apakah dana tersebut akan diberikan kepada salah satu pengurus
yayasan,yaitu kepada Gus Malik sebagai ketua yayasan atau kepada
Neng Ninuk yang menjabatsekretaris?.Ada kehawatiran dalam diri para
guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan formal bahwa dana
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
221
tersebut nantinya akan dianggap sebagai pemberian lembaga kepada
individu.277
Kekhawatiran para guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan
formal sebenarnya juga dialami oleh masyarakat sekitar atau para
alumni yang ingin menyumbang ke yayasan. Kekhawatiran ini
sebenarnya bukan tanpa alasan karena menurut cerita yang
disampaikan oleh bapak Muh. Hasanudin, ‚pernah suatu ketika ada
alumni pondok dari Gresik merasa kecewa (khususnya kepada Gus
Malik) ketika ia memberikan beras kepada yayasan. Melalui Gus Malik,
bantuan beras tersebut sebenarnya diberikan kepada pengurus yayasan
yang merupakan keluarga Kiai Haji Chusen Ichsan, akan tetapi terjadi
kesalahpahaman karena Gus Malik mengira bantuan tersebut adalah
untuk keluarganya secara pribadi, karena itu beliau tidak memberikannya
kepada pengurus yayasan yang lain. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi
memberikan bantuan kepada yayasan.Dengan demikian, secara tidak
langsung konflik antar elit Pondok Pesantren Al Ichsan ternyata
membawa dampak terhadap menghilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap pihak manajemen Pondok Pesantren Al Ichsan.278
Selain persoalan yang terkait dengan bantuan dana, menghilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap pihak manajemen Pondok Pesantren Al
Ichsan juga terlihat dalam bentuk keraguan mereka untuk menyerahkan
277
Wawancara, Guru-guru Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto,10Agustus 2014 278
Wawancara, Hasanudin, Mojokerto, 14 Agustus 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
222
pendidikan anaknya di lembaga-lembaga Al Ichsan. Bahkan
ketika masyarakat terlanjur ‚memasukkan‛ putra-putrinya di Al Ichsan,
sebagian mereka pada akhirnya ‚memboyong‛ putra-puti mereka dan
memasukkannya ke lembaga atau pondok lain.279
Dengan demikian, pandangan Coser bahwa konflik mempunyai
wajah Disfungsional(perusak) menjadi terbukti kebenarannya,walaupun
disfungsionalisasi konflik dalam konteks ini tidak seperti yang
disimpulkan oleh Coser, karena bagi Coser Konflik disfungsional terjadi
bila aktor konflik menyerang nilai-nilai inti substansi perbedaan
hubungan sosial, dan konflik memberikan dampak perbaikan (fungsional)
manakala tidak mempertanyakan dasar-dasar hubungan atau menyangkut
substansi perbedaan potensi konflik.
Konflik antarelit pesantren pada kenyataanya justru disfungsional
terhadap manajemen pendidikan, walaupun konflik sosial yang terjadi
tidak menyerang nilai-nilai inti substansi perbedaan hubungan sosial dan
tidak mempertimbangkan tujuan, nilai atau kepentingan yang tidak
bertentangan dengan dasar hubungan yang ada.
Pada kenyataanya, walaupun faktor kunci penyebab lahirnya konflik
sosial antarelit pesantren di Pondok Pesantren Al Ichsan adalah faktor
keluarga dan faktor kewenangan ekonomi dan politik, sehingga dengan
demikian, konflik sosial tidak menjadikan nilai-nilai inti substansi
279
Observasi, Pondok Pesantren Al Ichsan, Mojokerto, 10Agustus 2014 .untuk memperkuat bukti
ini dapat dilihat dokumentasi daftar hadir rapat.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
223
perbedaan hubungan sosial sebagai senjata utama konflik, namun,
implikasi konflik tetap disfungsional.
Dalam konteks inilah teori konflik dapat dikritik, dan andaikan teori
ini konsisten dengan pandangan bahwa pengaruh berbeda dari konflik
terhadap kelompok amat tergantung kepada tipe isu yang dipertentangkan
serta bergantung kepada tipe struktur sosial dimana konflik terjadi, maka
artinya teori konflik tidak dapat dikatakan sebagai „narási agung‟
yangdapat menjelaskan fenomena sosial, seperti perilaku konflik
dalam hubungannya dengan manajemen dan pendidikan, khususnya
manajemen pendidikan di pesantren.280
Pandangan Coser bahwa konflik mempunyai wajah Disfungsional
(perusak) menjadi terbukti kebenarannya, walaupun disfungsionalisasi
konflik dalam konteks ini tidak seperti yang disimpulkan oleh Coser,
karena bagi Coser Konflik disfungsional terjadi bila aktor konflik
menyerang nilai-nilai inti substansi perbedaan hubungan sosial, dan
konflik memberikan dampak perbaikan (fungsional) manakala tidak
mempertanyakan dasar-dasar hubungan atau menyangkut substansi
perbedaan potensi konflik.
Persikapan konflik yang positif adalah dengan cara mengelolanya
dengan baik karena konflik dektruktif akan berubah menjadi konstruktif
manakala dikelola dengan baik dan pihak-pihak yang terlibat mau
280 Rahmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh…,236-238.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
224
menerimanya secara dewasa, walaupun bukan berarti menganggap
konflik sebagai sesuatu yang positif.281
D. Resolusi Konflik Sebagai Proses Penyelesaian Persoalan Pengelolaan
Pendidikan di Pesantren
Konflik antarelit yang terjadi di pondok pesantren Al Ichsan, pada
dasarnya tidak disadari oleh elit pesantren. Mereka biasanya tidak menyadari
tentang kondisi mereka yang tengah berada dalam situasi konflik. Hal itu
karena dalam pandangan mereka, konflik adalah ‚aib‛ yang ‚tabu‛ jika
dibicarakan, karena;
Pertama: pesantren selama ini dianggap sebagai institusi keagamaan,
pendidikan dan sosial kemasyarakatan yang memiliki tradisi agung (great
tradition) karena internalisasi moralitas dan keberagamaannya, dalam hal ini
kemunculan konflik dianggap sebagai kegagalan transmisi dan internalisasi
moralitas keberagamaan tersebut. Kedua, para elit pesantren pada dasarnya
adalah figur kearifan hidup dan perekat persatuan sosial (social glue) antar
masyarakat di pesantren dan umat secara umum, sehingga konflik dianggap
sebagai persoalan sosial yang keberadaannya tidak patut terjadi di antara
mereka.Untuk itu, pensikapan konflik biasanya dilakukan dengan cara
menolak dan mengingkarinya. Ketiga, konflik yang terjadi di masyarakat
pesantren, khususnya yang terjadi antarelit pada dasarnya hanya merupakan
281
Margaret M.Poloma,Sosiologi Kontemporer (Yogyakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), 116.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
225
konflik laten, untuk itu ia hanya berada dalam ruang psikologi para
pelakunya. Selain itu konflik di lingkungan pesantren biasanya hanya
memanifestasi dalam bentuk perasaan bermusuhan (hostility feeling/
perasaan tidak suka, cemburu,benci, dan lain sebagainya.282
Oleh karena keberadaan konflik tidak begitu disadari oleh
masyarakat pesantren, maka resolusi konflik sangat sulit dilakukan secara
baik di pesantren. Kalaupun terdapat resolusi konflik, maka hal itu biasanya
hanya dilakukan dipermukaan saja. Resolusi konflik biasanya dilakukan
bersamaan dengan proses penyelesaian persoalan yang ada di pesantren,
karena walaupun keberadaan konflik tidak disadari, namun dalam
konflik yang berupa persoalan, pengelolaan, pendidikan, disadari oleh
masyarakat pesantren. Untuk itu, resolusi konflik biasanya tidak
dilaksanakan berdasarkan tahap- tahap yang teratur dan sistematis.
Menurut Hamdan Farhan dan Syarifudin, resolusi konflik yang
dapat dilakukan dan sesuai dengan tradisi pesantren terdiri dari lima tahap,
yakni sebagai berikut1) Pencegahan melalui media s}ilat al-rahi>m dan
melaksanakan tradisi kekerabatan yang ada di masyarakat pesantren, 2)
Melakukan pengaturan konflik melalui klarifikasi atau dalam istilah
pesantren biasa disebut dengan tabayyun,3) Melakukan bah}th al-masa>il
untuk menekan dan menyekat konflik serta mengupayakan diperolehnya
solusi terbaik yang dapat dilaksanakan.4) Pengelolaan konflik melalui nilai
dan norma keagamaan yang menjadi pedoman masyarakat pesantren yang
282
. Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 Mei 2014.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
226
biasanya diimplementasikan melalui kaidah-kaidah fiqih. 5) Penyelesaian
konflik dengan menggunakan model is}lah} atau rekonsiliasi.Dalam proses
rekonsiliasi ini pihak-pihak yang terlibat dalam situasi konflik dapat
diupayakan untuk melakukan rujuk dan proses pemulihan hubungan yang
erat dan berkonsistensi damai dan saling bekerjasama.Tahap-tahap resolusi
konflik sebagaimana diuraikan diatas walaupun sangat sesuai dengan kultur
pesantren, tetapi sangat sulit dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik
antarelit pesantren Al Ichsan.283
Resolusi konflik yang dilaksanakan oleh pengasuh pondok pesantren
Al Ichsan dilaksanakan melalui media s}ilat al-rahim dan musyawarah
keluarga, itupun tidak secara spesifik untuk membahas penyelesaian konflik,
melainkan hanya sebatas tabayyun/ memberikan penjelasan terhadap faktor-
faktor yang dianggap sebagai pemicu lahirnya konflik serta mendiskusikan
persoalan pengelolaan pendidikan dipesantren dan kemnungkinan
penyelesaiannya.
Resolusi konflik dengan cara demikian kurang efektif, dalam arti
kurang dapat menyelesaikan konflik dan juga tidak dapat menyelesaikan
persoalan pengelolaan pendidikan secara permanen, namun
caratersebutdianggap sebagaisalah satu alternatif untuk menekan dan
menyekat konflik agar tidak semakin melebar dan lebih berdampak negatif
terhadap pendidikan di pesantren.
283
Hamdan farhan dan syarifudin,Titik Tengkar Pesantren, Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren‛ (Yogyakarta : Pilar Religia, 2005), 90.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
227
Resolusi konflik sangat sulit diupayakan di pondok pesantren al
Ichsan selain karena masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik pada
dasarnya tidak menyadari kondisi mereka yang tengah berada dalam situasi
konflik, juga dikarenakan pihak-pihak yang terlibat konflik adalah satu
keluarga.284
Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi karena faktor ekonomi
dan meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru madrasah
Diniyah di Pondok Pesantren Al Ichsan di antaranya adalah dengan
mengembalikan perspepsi dan pemikiran pada paradigma pengelolaan
pesantren yang berlaku universal di pesantren, seperti ‚keikhlasan‛, ‚zuhud‛
dan tingkat dedikasi dan profesionalisme individu yang tinggi.
Dalam kasus konflik antarkeluarga elit demikian ini, resolusi konflik
mengalami kebuntuan disebabkan karena: 1) Keluarga biasanya selalu
bersikap tertutup terhadap konflik yang terjadi di antara mereka, karena
untuk menjaga reputasi dan kehormatan mereka dimata ummat. 2) Masing-
masing pihak yang berkonflik merasa kedudukannya sama dan menganggap
diri mereka sendiri yang benar. 3) Sulitnya mediator dari luar karena
resistensi dan proteksi yang mereka miliki.285
Mengingat penyelesaian konflik dengan cara diatas menemukan jalan
buntu, maka proses penyelesaian konflik antarelit di pondok pesantren Al
Ichsan pada akhirnya memerlukan campur tangan pihak lain atau pihak
284
Observasi, Pon Pes Al Ichsan, Mojokerto, 13 Mei 2014 285
Observasi , pon pes Al Ichsan, Mojokerto, 14 Mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
228
ketiga yang banyak mengetahui permasalahan di pesantren dan mempunyai
kredebilitas dan status sosial yang diperhitungkan oleh masyarakat
pesantren. Campur tangan pihak ketiga tersebut diwujudkan dalam bentuk
mediasi dan konsultasi.
Mediasi sebagai salah satu resolusi konflik antarelit di pondok
pesantren Al Ichsan dilakukan dengan cara melibatkan KH.Abdul Gofur dari
Nganjuk. Beliau ditunjuk dengan sukarela untuk memberikan nasihat dan
rekomendasi terhadap proses penyelesaian konflik dan penyelesaian masalah
pengelolaan pendidikan di pesantren. Dan dalam bentuk konsultasi,upaya
yang dilakukan adalah dengan cara mengembangkan hubungan antara dua
pihak dan mengembangkan kapasitas mereka sendiri dalam menyelesaikan
konflik.
Dalam implementasinya, campur tangan pihak ketiga hadir dalam
rapa-rapat yang diikuti oleh elitpesantren dan tokoh masyarakat lain selain
keluarga pesantren. Pada kenyataannya, campur tangan pihak ketiga tersebut
berjalan cukup efektif untuk menekan konflik sehingga tidak berkembang
dan berimplikasi terhadap makin parahnya persoalan di pesantren.286
Karena
salah satu faktor utama yang menjadi penyebab konflik antarelit pesantren
adalah faktor ekonomi, faktor perebutan kekuasaan dan faktor keluarga dan
pembagian kewenangan, maka resolusi konflik sebagai proses penyelesaian
masalah pengelolaan pendidikan dilakukan dengan membagi kekuasaan,
yaitu dengan membentuk pengurus baru yayasan dan mendelegasikan kepada
286
Wawancara, Hasanudin, Mojokerto,13Agustus 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
229
masing-masing elit untuk menjadi pengelola lembaga-lembaga yang
bernaung dibawah yayasan, termasuk pondok pesantren dan panti asuhan.
Khusus masalah panti asuhan yang merupakan sumber dana bagi
pesantren dan yayasan, pengelolaannya tidak didelegasikan kepada pihak
keluarga pesantren, akan tetapi didelegasikan kepada pihak dari luar tetapi
masih memiliki kaitan emosional dengan pesantren dan memiliki kapasitas
sama dengan elitpesantren untuk mengelolanya dalam hal ini yang menjadi
ketua panti asuhan adalah DR H Amir solehudin dan untuk ketua
yayasan pondok pesantren Gus Malik.287
E. Efektifitas resolusi konflik dalam penyelsaian persoalan pengelolaan
pendidikan di pesantren
Sebagaimana yang diuraikan dimuka, resolusikonflik antarelit
pesantren Al Ichsan dengan cara tabayyun dan musyawarah keluarga kurang
efektif untuk menyelesaikan konflik secara permanen dan kurang dapat
memberikan penyelesaian secara langsung terhadap persoalan pengelolaan
pendidikan di pesantren. Bahkan penarikan diri dari komunitas pesantren
yang dilakukan oleh salah satu elit sebagai dampak konflik menjadi nyata
wujudnya.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh fakta bahwa setelah
musyawarah keluarga dilakukan oleh para elitpesantren Al Ichsan, salah satu
elitpesantren yang terlibat dalam konflik, saat ini sangat jarang berada di
287
Arsip, pon pes Al Ichsan, Mojokerto, Tahun 2010.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
230
lingkungan pondok pesantren Al Ichsan, bahkan dalam waktu-waktu yang
akan datang akan menetap di luar kota. Akan tetapi jika sudah saatnya nanti,
elitpesantren tersebut akan kembali dan mendirikan yayasan pondok
pesantren/panti asuhan baru yang terlepas sama sekali dengan yayasan dan
pondok pesantren Al Ichsan yang selama ini diperjuangkan dalam hal ini
yang melakuan adalah Neng Ninuk putri dari Gus Samsul Huda.288
Adanya sikap menarik diri dari kelompok yang akan berkembang
menjadi sikap separatisme dengan cara berencana mendirikan institusi baru
sebagai tandingan terhadap institusi lama sebagaimana yang diuraikan
diatas, pada dasarnya merupakan salah satu wujud nyata dari dampak konflik
dan hal itu tetap ada bahkan setelah diupayakan resolusinya.
Sebagai refleksi dari fenomena tersebut, mungkin jika resolusikonflik
dapat dilaksanakan dengan baik dan sistematis sesuai tahap-tahapnya,maka
dampak disfungsional dari konflik seperti disfungsionalisasi fungsi-fungsi
manajemen pendidikan di pesantren seperti perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), pengawasan
(controling) yang menjadi tidak berlakuakan dapat berlaku.
Begitupun juga, persoalan disfungsionalisasi aspek-aspek pengelolaan
pendidikan di pesantren seperti institusi tidak terurus, pelaksanaan program
pendidikan di pesantren tidak terstruktur dalam kurikulum bahkan ia
menjadi berhenti, para ustad banyak mengabaikan tanggungjawabnya untuk
288
Observasi , pon pes Al Ichsan, Mojokerto, 14 Mei 2014
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
231
melaksanakan proses pendidikan di pesantren, persoalan-persoalan tersebut
mungkin akan dapat diselesaikan dengan resolusi konflik.289
289
Lewis A. Cosr,The Functions of Social Conflict........,73