aterosklerosis

Post on 11-Dec-2015

7 views 1 download

description

medical and neurology

Transcript of aterosklerosis

Mekanisme Penyakit

Inflamasi, Aterosklerosis, dan Penyakit Arteri Koroner

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa inflamasi memainkan peran kunci pada

penyakit arteri koroner (coronary artery disease/CAD) dan manifestasi lain

aterosklerosis. Sel imun mendominasi lesi aterosklerotik awal, molekul efektor

mereka mempercepat perkembangan lesi, dan aktivasi proses peradangan dapat

menimbulkan sindrom koroner akut. Ulasan ini menyoroti peran proses inflamasi

dalam patogenesis aterosklerosis CAD. Ulasan ini akan menceritakan bukti bahwa

aterosklerosis yang merupakan penyebab utama CAD, aterosklerosis adalah

penyakit inflamasi yang memiliki mekanisme kekebalan dan berinteraksi dengan

faktor risiko metabolik untuk memulai, menyebarkan, dan mengaktifkan lesi di

pembuluh darah arteri.

Satu dekade yang lalu, pengobatan hiperkolesterolemia dan hipertensi

diharapkan dapat menghilangkan CAD pada akhir abad ke-20. Akhir-akhir ini,

bagaimanapun juga, prediksi tersebut membutuhkan revisi. Penyakit

kardiovaskular diduga-duga menjadi penyebab utama kematian secara global

dalam 15 tahun ke depan karena prevalensinya meningkat pesat di negara-negara

berkembang dan Eropa Timur serta meningkatnya insiden obesitas dan diabetes di

dunia Barat (1). Penyakit kardiovaskular menyebabkan 38 persen kematian di

Amerika Utara dan merupakan penyebab paling umum kematian pada pria Eropa

di bawah usia 65 tahun dan penyebab paling umum kedua pada wanita. Fakta

fakta ini memaksa kita untuk meninjau kembali penyakit kardiovaskular dan

mempertimbangkan strategi baru untuk prediksi, pencegahan, dan pengobatan.

Fitur Utama Lesi Aterosklerotik

Lesi aterosklerotik (atheromata) merupakan penebalan fokal asimetris terdalam

pada lapisan arteri, terutama intima (Gbr. 1). Lesi aterosklerotik terdiri dari sel-

sel, elemen jaringan ikat, lipid, dan puing-puing (2). Sel-sel inflamasi dan imun di

darah merupakan bagian penting ateroma, sisanya menjadi sel endotel pembuluh

darah dan otot polos. Ateroma didahului oleh fatty streak, akumulasi sel-sel sarat

lemak di bawah endothelium (3). Sebagian besar sel-sel ini di fatty streak

merupakan makrofag, bersama-sama dengan beberapa sel T. Fatty streak secara

umum pada orang muda, tidak pernah menimbulkan gejala, dan dapat

berkembang menjadi atheromata atau akhirnya menghilang.

Di tengah suatu ateroma, sel busa dan tetesan lemak ekstraseluler

membentuk daerah inti, yang dikelilingi oleh sel otot polos yang berbentuk seperti

topi dan matriks kaya kolagen. Sel T, makrofag, dan sel mast menginfiltrasi lesi

dan sangat berlimpah di daerah bahu di mana ateroma tumbuh (2,4,5). Banyak sel

imun menunjukan tanda-tanda aktivasi dan menghasilkan sitokin inflamasi (5-8).

Infark miokard terjadi ketika proses atheromatosa mencegah aliran darah

melalui arteri koroner. Awalnya diperkirakan bahwa penyempitan lumen progresif

berasal dari pertumbuhan lanjutan sel otot polos dalam plak, merupakan penyebab

utama infark. Studi angiografi, bagaimanapun juga, mengidentifikasi lesi

penyebab plak yang tidak menyebabkan stenosis (9), dan sekarang jelas bahwa

aktivasi plak daripada iskemia presipitat stenosis dan infark (Gbr. 1). Spasme

koroner mungkin terlibat dengan beberapa batas, namun sebagian besar kasus

infark yang disebabkan oleh pembentukan trombus terjadi di permukaan plak

(10).

Gambar 1. Lesi Aterosklerotik pada Arteri Manusia

Panel A menunjukkan arteri koroner potongan melintang pada pasien yang

meninggal karena infark miokard besar. Lesi aterosklerotik ini berisi trombus

oklusif disertai plak aterosklerosis yang kaya lipid. Topi fibrosa yang menutupi

inti kaya lipid telah pecah (daerah antara panah), menunjukan inti thrombogenic

ke darah. Penggunaan Trichrome stain, membawa trombus luminal dan

perdarahan intraplaque merah serta kolagen biru. Panel B adalah mikrograf daya

tinggi dari daerah di Panel A ditandai dengan tanda bintang dan menunjukkan

bahwa isi plak ateromatosa telah merembes melalui celah di cap pembuluh darah

ke lumen, menunjukkan bahwa plak pecah didahului trombosis (tanda bintang

menunjukkan kristal kolesterol). (Panel A dan B milik Dr. Erling Falk, University

of Aarhus, Aarhus, Denmark.) Panel C mengilustrasikan konsekuensi aktivasi sel

imun dalam plak koroner. Mikroba, autoantigen, dan berbagai molekul inflamasi

dapat mengaktifkan sel T, makrofag, dan sel mast, menyebabkan sekresi sitokin

inflamasi (misalnya, interferon-γ dan tumor necrosis factor) yang mengurangi

stabilitas plak. Aktivasi makrofag dan sel mast juga menyebabkan pelepasan

metaloproteinase dan protease sistein, yang secara langsung menyerang kolagen

dan komponen lain dari matriks jaringan. Sel-sel ini juga dapat menghasilkan

faktor-faktor protrombotik dan prokoagulan yang secara langsung memicu

pembentukan trombus di lokasi pecahnya plak.

Ada dua penyebab utama trombosis koroner: ruptur plak dan erosi endotel.

Ruptur plak, yang terdeteksi dalam 60 sampai 70 persen kasus (11), hal tersebut

berbahaya karena membuka bahan prothrombotic dari inti plak - fosfolipid, faktor

jaringan, dan molekul matriks yang melekat dengan platelet – sampai ke darah

(Gambar 1.). Ruptur plak terjadi di topi fibrosa yang tipis dan sebagian hancur.

Pada tempat tersebut, diaktifkan sel imun yang melimpah (7). Sel imun tersebut

menghasilkan banyak molekul inflamasi dan enzim proteolitik yang dapat

melemahkan topi fibromatosa dan mengaktifkan sel-sel di inti, mengubah plak

yang stabil menjadi rentan, struktur yang tidak stabil dapat ruptur, menyebabkan

trombus, dan menimbulkan sindrom koroner akut (Gbr. 1). Untuk memahami

bagaimana hal ini bisa terjadi, kita perlu mengidentifikasi langkah-langkah kunci

pada dinding arteri normal ke plak aterosklerosis yang rawan pecah.

Evolusi Plak Aterosklerotik yang Rawan Pecah

Model Tikus dengan Gen Target

Penyelidikan klinis, studi populasi, dan percobaan struktur sel telah menyediakan

petunjuk penting sebagai patogenesis aterosklerosis. Namun, percobaan pada

hewan perlu dilakukan pembedahan langkah patogenetik dan menentukan

kausalitas (12). Aterosklerosis tidak berkembang pada tikus laboratorium di

bawah kondisi normal. Namun, gen yang ditargetkan untuk dihapus pada

apolipoprotein E (tikus apoE mati) menyebabkan hiperkolesterolemia berat dan

aterosklerosis spontan. Aterosklerosis juga berkembang pada tikus dengan

reseptor low-density lipoprotein (LDL) rendah, terutama ketika tikus diberi makan

diet lemak. Salah satunya menggunakan tikus mati ini untuk mempelajari

hubungan antara hiperkolesterolemia dan aterosklerosis serta untuk menilai efek

gen lainnya dan produk gen pada kondisi ini. Dengan cara mengawinkan tikus

dengan tikus mati yang kekurangan gen immunoregulator, mungkin untuk

memperjelas peran mekanisme imunologi dan inflamasi pada aterosklerosis. Jelas,

temuan pada model tersebut harus dikuatkan, sebanyak mungkin, penelitian sel

manusia dan jaringan. Saat ini pemahaman aterosklerosis yang bertumpu pada

kombinasi penelitian pada hewan dan kultur sel, analisis lesi manusia,

penyelidikan klinis pasien dengan sindrom koroner akut, dan studi epidemiologi

CAD.

Retensi Lipoprotein dan Aktivasi Sel-Sel Kekebalan Tubuh

Peran Aktivasi Endotel, Adhesi Molekul, dan Chemokin

Studi pada hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa hiperkolesterolemia

menyebabkan aktivasi fokal endotelium di arteri besar dan menengah. Infiltrasi

dan retensi LDL dalam intima arteri memulai respon inflamasi di dinding arteri

(13,14) (Gbr. 2). Modifikasi LDL, melalui oksidasi atau serangan enzimatik di

intima, mengarah kepada pelepasan fosfolipid yang dapat mengaktifkan endotel

sel (14), istimewa di tempat regangan hemodinamik (15). Pola aliran

hemodinamik khas untuk segmen yang rawan aterosklerosis (rata-rata rendah

tetapi memiliki stres osilasi tinggi) menyebabkan peningkatan ekspresi molekul

adhesi dan inflamasi gen oleh sel endotel (16). Oleh karena itu, ketegangan

hemodinamik dan akumulasi lipid dapat mengawali proses inflamasi arteri.

Gambar 2. Mengaktifkan Pengaruh Infiltrasi LDL pada Peradangan Arteri

Pada pasien dengan hiperkolesterolemia, kelebihan infiltrat LDL arteri dan

dipertahankan dalam intima, terutama pada situs strain hemodinamik. oksidatif

dan modifikasi enzimatik menyebabkan pelepasan lipid inflamasi yang

menginduksi sel endotel untuk mengekspresikan molekul adhesi leukosit.

Modifikasi partikel LDL yang diambil oleh reseptor makrofag, berkembang

menjadi sel busa.

Trombosit merupakan sel darah pertama yang tiba pada proses aktivasi

endotel (17). Glikoprotein Ib dan IIb / IIIa yang terlibat molekul permukaan

endotel sel, dapat berkontribusi untuk aktivasi endotel. Penghambatan adhesi

platelet mengurangi infiltrasi leukosit dan aterosklerosis pada tikus

hiperkolesterolemia (17).

Sel endotel diaktifkan, menunjukan beberapa jenis molekul adhesi leukosit,

yang menyebabkan darah sel bergulir sepanjang permukaan pembuluh darah

untuk berikatan di tempat aktivasi (18). Karena adhesi sel-vaskular molekul 1

(VCAM-1) biasanya diatur sesuai dengan respon terhadap hiperkolesterolemia,

sel-sel yang membawa counterreceptor untuk VCAM-1 (yaitu, monosit dan

limfosit) melekat pada tempat ini (Gbr 2, 3, dan 4). Setelah sel-sel darah

menempel, kemokin yang diproduksi di intima menstimulasi sel-sel darah pindah

melalui interendothelial dan ke ruang subendothelial (Gbr. 2, 3, dan 4).

Penghapusan genetik atau blokade farmakologis kemokin tertentu dan molekul

adhesi untuk menghambat sel mononuklear aterosklerosis tikus (20-24).

Gambar 3. Peran Proses Inflamasi Makrofag Arteri

Monosit dikumpulkan melalui endotelium yang diaktifkan dan dibedakan dari

makrofag. Beberapa molekul endogen dan mikroba dapat berikatan dengan pola

molekul yang dikenali (toll-like receptor) pada sel-sel ini, mendorong aktivasi dan

menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi, kemokin, oksigen dan radikal nitrogen,

serta molekul inflamasi lain dan, pada akhirnya, peradangan dan kerusakan

jaringan.

Makrofag pada Perkembangan Plak

Sitokin atau faktor pertumbuhan yang diproduksi dalam intima yang meradang,

faktor yang menstimulasi koloni makrofag, menginduksi monosit memasuki plak

untuk berubah menjadi makrofag (Gbr. 3). Langkah ini penting dalam

pembentukan aterosklerosis (25) dan dikaitkan dengan pengaturan pengenalan

pola reseptor sebagai kekebalan bawaan, termasuk scavenger

receptor dan toll-like receptor (26,27).

Scavenger receptor internalisasi berbagai molekul dan partikel bantalan

molekul dengan pola molekul mirip molekul patogen (26). Endotoksin bakteri,

fragmen sel apoptosis, dan partikel teroksidasi LDL semua diambil dan

dihancurkan melalui jalur ini. Jika kolesterol yang berasal dari serapan partikel

LDL teroksidasi tidak dapat dimobilisasi dari sel sampai batas yang cukup,

terakumulasi sebagai sitosol. Pada akhirnya, sel berubah menjadi sel busa, sel

prototipe di aterosklerosis.

Toll-like receptor juga mengikat molekul dengan pola molekul mirip

patogen, tapi berbeda dengan scavenger receptor, scavenger receptor dapat

memulai kaskade sinyal yang mengarah ke aktivasi sel (27). Aktifasi makrofag

menghasilkan sitokin inflamasi, protease, dan sitotoksik oksigen serta molekul

radikal nitrogen. Efek serupa diamati pada sel dendritik, sel mast, dan sel endotel,

yang juga mengekspresikan toll-like receptor. Toksin bakteri, stres protein, dan

motif DNA dikenali oleh berbagai toll-like receptor (27). Selain itu, protein

heatshock 60 manusia dan partikel LDL teroksidasi mungkin mengaktifkan

reseptor ini (28,29). Sel-sel pada lesi aterosklerotik manusia menampilkan

spektrum toll-like receptor (30), dan peradangan plak sebagian tergantung pada

jalur ini. Untuk mendukung gagasan ini, penghapusan molekul genetik toll-like

receptor pada jalur sinyal menghambat aterosklerosis di apoE tikus mati (31).

Aktivasi T-Sel dan Vascular Peradangan

Sel-sel imun, termasuk sel-sel T, sel dendritik antigen-presenting, monosit,

makrofag, dan sel-sel, patroli berbagai jaringan, termasuk arteri aterosklerosis,

pada pencarian antigen (32,33). Infiltrasi sel-T selalu muncul pada lesi

aterosklerotik (Gbr. 4). Sebagian besar infiltrat merupakan CD4 + sel T, yang

mengenali antigen protein dan disajikan sebagai fragmen terikat ke molekul

major-histocompatibility-complex (MHC) kelas II (Gbr. 4). Sel CD4 + T reaktif

terhadap antigen penyakit yang berhubungan dengan LDL teroksidasi, protein

heat-shock 60, dan protein klamidia telah diklon dari lesi manusia (28,34,35).

Subpopulasi sel-T minor, sel T Natural Killer, lazim pada lesi awal. Sel T

Natural Killer mengenali antigen lipid, dan aktivasinya meningkatkan

aterosklerosis di apoE tikus mati (36). Sel CD8 + T dibatasi oleh antigen MHC

kelas I juga hadir dalam lesi aterosklerotik (33). Sel-sel ini mengenali antigen

virus, mungkin ada dalam lesi (lihat di bawah). Pengaktifan sel CD8 + T di apoE

tikus mati bisa menyebabkan kematian sel-sel arteri dan mempercepat

aterosklerosis (37).

Ketika reseptor antigen sel T diikat oleh antigen, hasil aktivasi kaskade

dalam ekspresi satu set sitokin, molekul permukaan sel, dan enzim. Pada tikus

hasil perkawinan, dua respon stereotip dapat timbul (38). Respon sel T helper tipe

1 (Th1) mengaktifkan makrofag, inisiasi respon inflamasi mirip dengan

hipersensitivitas tipe lambat, dan fungsi khas dalam pertahanan terhadap patogen

intraseluler. Respon sel T helper tipe 2 (Th2) rmemunculkan peradangan alergi.

Meskipun sistem Th1-Th2 lebih cocok pada manusia, pola umum tersebut mirip.

Lesi aterosklerotik berisi sitokin yang mempromosikan respon Th1

(daripada respon Th2) (8,39). Oleh karena itu sel T diaktifkan, berubah menjadi

sel efektor Th1 dan mulai memproduksi sitokin interferon-γ yang mengaktifkan

makrofag (Gbr. 4). Interferon-γ meningkatkan efisiensi presentasi antigen dan

menambah sintesis faktor necrosis tumor sitokin inflamasi dan interleukin-1 (38).

Bekerja secara sinergis, sitokin ini meningkatkan produksi banyak molekul

inflamasi dan sitotoksik dalam makrofag serta sel pembuluh darah (33). Semua

tindakan ini cenderung meningkatkan pembentukan aterosklerosis. Memang, di

apoE tikus mati kurang interferon-γ atau reseptornya, sehingga pengembangan

aterosklerosis terhambat (40,41). Demikian pula, luasnya penyakit berkurang

ketika jalur Th1 terhambat secara farmakologi (42) atau genetik (43-45)

pada hewan.

Gambar 4. Pengaruh Aktivasi T-Sel pada Plak Inflamasi.

Antigen yang disajikan oleh makrofag dan sel dendritik (sel antigen-presenting)

memicu aktivasi sel T-antigen spesifik arteri. Sebagian besar sel T diaktifkan

untuk menghasilkan sitokin Th1 (misalnya, interferon-γ), mengaktifkan makrofag

dan sel pembuluh darah, yang menyebabkan peradangan. Pengaturan sel T

memodulasi proses dengan mensekresi sitokin antiinflamasi (seperti interleukin

10 dan mengubah faktor pertumbuhan β).

Sitokin jalur Th2 dapat meningkatkan reaksi kekebalan antiatherosclerotic.

(46). Namun, sitokin jalur Th2 juga dapat berkontribusi untuk pembentukan

aneurisma dengan menginduksi enzim elastolitik (47). Oleh karena itu,

perubahan respon imun aterosklerosis dari Th1 ke Th2 belum tentu menyebabkan

berkurangnya penyakit pembuluh darah.

Sitokin sel-T menyebabkan produksi dalam jumlah besar molekul hilir

kaskade sitokin (Gbr. 5). Akibatnya, kadar interleukin-6 dan C-reaktif protein

dapat dideteksi di sirkulasi perifer. Dengan cara ini, aktivasi sejumlah sel imun

dapat mengawali pembentukan kaskade inflamasi kuat, baik dalam pembentukan

lesi dan secara sistemik.

Gambar 5. Kaskade Sitokin.

Sel imun diaktifkan dalam plak yang menghasilkan sitokin inflamasi (interferon-γ,

interleukin-1, dan tumor necrosis factor [TNF]), yang menginduksi produksi

dalam jumlah besar interleukin-6. Sitokin ini juga diproduksi di berbagai jaringan

untuk menanggapi infeksi dan dalam jaringan adiposa pasien dengan sindrom

besar pada reaktan fase akut, termasuk C-reaktif protein (CRP), serum amyloid A,

dan fibrinogen, terutama di hati. Meskipun sitokin pada semua langkah memiliki

efek biologis penting, amplifikasi mereka pada setiap langkah kaskade membuat

pengukuran mediator hilir seperti CRP sangat berguna untuk diagnosis klinis.

Faktor Antiinflamasi dan Aktivitas Penyakit

Regulator yang kuat dibangun ke dalam jaringan kekebalan tubuh dan bertindak

sebagai faktor pelindung aterosklerosis. Regulator tersebut termasuk dua sitokin

antiinflamasi, interleukin-10 dan mengubah faktor pertumbuhan β (TGF-β).

Respon antibodi dan faktor metabolik juga bisa berkontribusi dalam regulasi

kekebalan tubuh. Penargetan gen atau penghambatan farmakologis interleukin-10

memperburuk aterosklerosis pada tikus hiperkolesterolemia dan memperburuk

trombosis koroner (48-50). Pencabutan sinyal TGF-β sel T memunculkan fenotipe

yang dramatis, dengan pesatnya perkembangan, lesi aterosklerotik menjadi tidak

stabil (51). Efek ini menunjukkan bahwa kekebalan yang dimediasi sel-T

dihambat oleh TGF-β dan interleukin-10; penghapusan ini mengerem proses

percepatan aterosklerosis.

Antibodi yang menghasilkan sel B, meskipun tidak banyak pada lesi,

berkontribusi pada aktivitas antiatherosclerotic, mungkin sebagai akibat antibodi

spesifik terhadap antigen plak, pengikatan antibodi ke reseptor penghambat Fc,

atau sitokin yang dihasilkan oleh sel B. Sel B limpa merupakan inhibitor sangat

efektif aterosklerosis (52), mungkin karena antibodi alami tertentu yang

diproduksi oleh beberapa sel-sel ini mengenali phosphorylcholine, suatu molekul

muncul dalam LDL teroksidasi, membran sel apoptosis, dan dinding sel

Streptococcus pneumoniae (53). Antibodi ini dapat berkontribusi pada

penghapusan sel teroksidasi LDL dan sel mati serta pertahanan terhadap infeksi

pneumokokus. Menariknya, orang yang telah menjalani splenektomi meningkat

pula kerentanan tidak hanya terhadap infeksi pneumokokus tetapi juga CAD (54).

Cross-Talk antara Inflamasi dan Metabolisme

Keseimbangan antara inflamasi dan aktivitas antiinflamasi mengontrol

perkembangan aterosklerosis. Faktor metabolik dapat mempengaruhi proses ini

dalam beberapa cara. Jelas, faktor metabolik berkontribusi pada deposisi lipid di

arteri, memulai putaran baru rekrutmen sel imun. Selanjutnya, jaringan adiposa

pasien dengan sindrom metabolik dan obesitas menghasilkan sitokin inflamasi,

terutama faktor necrosis tumor dan interleukin-6 (Gambar. 5) (55,56).

"Adipokines" -sitokin dari jaringan adiposa, termasuk leptin, adiponektin, dan

resistin- Juga dapat mempengaruhi respon inflamasi seluruh organisme (55).

Akhirnya, molekul yang dihasilkan selama peroksidasi lipid di penyakit

aterosklerotik dapat meningkatkan perlindungan serta reaksi inflamasi, misalnya,

dengan mengikat nuklir reseptor yang mengontrol gen inflamasi (14,57).

Infeksi dan CAD

Beberapa studi telah mengaitkan infeksi aterosklerosis dan CAD. Titer antibodi

terhadap peningkatan klamidia ditemukan pada pasien dengan CAD (58), dan

berspekulasi bahwa mikroba ini menyebabkan aterosklerosis. Namun, infeksi

Chlamydia pneumoniae tidak menyebabkan aterosklerosis pada hewan, meskipun

itu dapat merangsang perkembangan penyakit dan aktivasi plak (59,60). Hal ini

bisa disebabkan baik untuk tindakan langsung pada plak atau remote sinyal oleh

mediator inflamasi (61). Mimikri molekuler antara antigen C. pneumoniae dan

molekul manusia mungkin berkontribusi pada aktivasi peradangan (62). Namun,

beberapa uji pencegahan sekunder terakhir, termasuk dua yang dilaporkan dalam

edisi Jurnal ini, gagal mencegah sindrom koroner akut dengan pemberian

antibiotik yang ditargetkan pada C. pneumoniae, menyarankan bahwa infeksi C.

pneumoniae tidak dominan sebagai penyebab utama sindrom ini (63-66).

Virus herpes dapat juga berkontribusi terhadap CAD. Cytomegalovirus

ditemukan dalam lesi, dapat memodulasi sel imun tubuh serta aktivitas sel

pembuluh darah, dan meningkatkan aterosklerosis eksperimental (67-69). Data

klinis menyiratkan peran penting cytomegalovirus pada arteriosklerosis yang

berkaitan dengan transplantasi disebabkan penolakan graft (70). Studi lebih lanjut

diperlukan untuk menentukan apakah virus yang terlibat dalam bentuk lebih

umum dari CAD. Karena beberapa jenis patogen dapat berkontribusi terhadap

CAD, tidak mungkin mikroba tunggal menyebabkan aterosklerosis. Sebagai

gantinya, total beban infeksi di berbagai tempat dapat mempengaruhi

perkembangan aterosklerosis dan menimbulkan manifestasi klinis (71).

Sindrom Koroner Akut

Mekanisme Ruptur Plak

Apa yang menyebabkan lesi aterosklerotik pecah? Makrofag diaktifkan, sel T, dan

sel mast di tempat ruptur plak (5,7,72) memproduksi beberapa jenis molekul -

sitokin inflamasi, protease, faktor koagulasi, radikal, dan molekul vasoaktif- dapat

mengganggu kestabilan lesi (Gambar 1.). Molekul tersebut menghambat

pembentukan topi fibrosa stabil, serangan kolagen di topi fibrosa, dan memulai

pembentukan trombus (73-76). Semua reaksi ini dibayangkan dapat menginduksi

aktivasi dan pecahnya plak, trombosis, serta iskemia.

Dua jenis protease terlibat sebagai pemain kunci dalam aktivasi plak: matrix

metaloproteinase (MMPs) dan protease sistein (77,78). Beberapa anggota family

enzim terjadi pada plak dan dapat menurunkan matriks. Aktivitas MMP dikontrol

pada beberapa tingkatan: sitokin inflamasi menginduksi ekspresi gen MMP,

plasmin mengaktifkan proforms enzim ini, dan inhibitor protein (inhibitor

jaringan metaloproteinase) menekan aksi mereka. Demikian pula, protease sistein

yang diinduksi oleh sitokin tertentu dan diperiksa oleh inhibitor disebut

"cystatins" (78). Beberapa molekul memainkan peran yang menentukan

pembentukan aneurisma, seperti yang ditunjukkan oleh percobaan pada gen tikus.

Namun, penelitian mekanistik pada model aterosklerosis telah menghasilkan hasil

yang kompleks, dengan MMPs tertentu mengurangi daripada meningkatkan

ukuran lesi. Pada saat yang sama, enzim ini jelas mempengaruhi komposisi plak.

Oleh karena itu, mereka dapat mewakili target terapi masa depan. Penelitian

mengenai pecahnya plak pada model binatang dapat membantu menentukan peran

protease dalam aktivasi plak dan infark miokard.

Indikator Sistemik Inflamasi

Proses peradangan pada arteri aterosklerotik dapat menyebabkan peningkatan

kadar inflamasi sitokin dan reaktan fase akut lainnya (Gbr. 5). Kadar protein C-

reaktif dan interleukin-6 meningkat pada pasien dengan angina tidak stabil dan

infark miokard, dengan tingkat tinggi memprediksi prognosis yang lebih buruk

(79-81). Tingkat peradangan lainnya juga meningkat pada pasien ini, termasuk

fibrinogen, interleukin-7, interleukin-8, ligan CD40, dan proteinu C-reaktif terkait

protein pentraxin 3 (82-85). Tingkat protein C-reaktif meningkat pada pasien

dengan angina tidak stabil, kondisi tersebut tergantung pada trombosis koroner

plak aterosklerotik, tapi tidak terjadi pada orang-orang dengan varian angina yang

disebabkan oleh vasospasme (86). Oleh karena itu, peningkatan kadar protein C

reaktif pada pasien dengan sindrom koroner akut mungkin mencerminkan

peradangan pada arteri koroner daripada di iskemik miokardium (86). Aktivasi sel

T juga muncul dan subkelompok sel T inflamasi meningkat pada darah pasien

dengan sindrom koroner akut (87,88). Secara kolektif, temuan ini menunjukkan

bahwa aktivasi kekebalan inflamasi di arteri koroner mengawali sindrom koroner

akut, dengan tingkat sirkulasi sebagai tanda inflamasi yang mencerminkan

perjalanan kondisi klinis.

Penanda Inflamasi dan Risiko CAD

Meskipun tingkat peradangan aktif meningkat pada plak aktif pada pasien dengan

sindrom koroner akut, radang membara merupakan ciri plak silent. Lesi tersebut

juga melepaskan mediator inflamasi ke dalam sirkulasi sistemik (Gbr. 5). Tingkat

protein C-reaktif cukup tinggi pada immunoassay yang sangat sensitif merupakan

faktor risiko independen CAD dalam populasi yang sehat (89,90). Apakah tes ini

harus digunakan sebagai skrening pasien asimptomatis masih menjadi perdebatan

(90). Langkah-langkah lain fase reaktan akut, termasuk tingkat sedimentasi

eritrosit dan kadar fibrinogen dan protein plasma lainnya, juga memberikan

informasi tentang risiko inflamasi CAD (91), seperti halnya tingkat sirkulasi,

molekul adhesi soluble seperti molekul adhesi interseluler soluble 1, larut VCAM-

1, dan P-selektin soluble, yang dihasilkan oleh sel (92).

Fakta bahwa beberapa tanda inflamasi yang berbeda, dengan aktivitas

biologis yang berbeda, berkontribusi dengan risiko statistik CAD membuatnya

tidak seperti protein C-reaktif atau salah satu penanda lainnya yang sudah terbukti

menyebabkan penyakit. Sebaliknya, tanda inflamasi mencerminkan proses

inflamasi lokal pada arteri dan, mungkin, jaringan lain (misalnya, jaringan

adiposa) (Gambar. 5). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas peran

molekul-molekul ini sebagai penanda risiko serta kontributor untuk

perkembangan penyakit.

Kesempatan Terapi

Pengetahuan bahwa aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi menawarkan

kesempatan baru untuk pencegahan dan pengobatan CAD. Agen

immunosuppressan atau antiinflamasi kuat merupakan perawatan menarik untuk

sindrom koroner akut (93). Untuk pencegahan jangka panjang aterosklerosis,

diinginkan pendekatan lebih spesifik, seperti sebagai vaksinasi dengan antigen

yang berhubungan dengan penyakit (94). Hasil penelitian eksperimental di kedua

daerah ini mendukung pendapat tersebut.

Obat imunosupresif siklosporin dan sirolimus memblokir aktivasi sel T dan,

pada tingkat tinggi, proliferasi otot polos (95). Obat tersebut menghambat lesi

intima (95,96), dan sirolimus-coated saat ini digunakan untuk mencegah

restenosis setelah angioplasti (97). Apakah famili senyawa ini dapat digunakan

pada sindrom koroner akut tidak diketahui.

Senyawa antiinflamasi termasuk inhibitor cyclooxygenase-2 dan inhibitor

lain sintesis eicosanoid. Situasi ini kompleks, namun, karena enzim dihambat oleh

senyawa tersebut juga terlibat dalam produksi prothrombotic eikosanoid oleh

trombosit dan sintesis endotel eikosanoid antitrombotik. Temuan baru-baru ini

dari peningkatan insiden kejadian kardiovaskular pada pasien yang diobati dengan

inhibitor siklooksigenase-2 rofecoxib (Vioxx) (98) menunjukkan kompleksitas

biologi eicosanoid dan menunjukkan kebutuhan untuk pendekatan secara hati-hati

dengan penggunaan jenis senyawa antiinflamasi pada pasien dengan penyakit

kardiovaskular.

Hebatnya, statin penurun lipid memiliki efek antiinflamasi (99-101).

Antiinflamasi merupakan salah satu efek pleiotropic yang paling penting dari

statin (yaitu, efek tidak langsung tergantung pada penurunan tingkat kolesterol).

Sifat-sifat ini mungkin hasil kemampuan statin untuk menghambat pembentukan

asam mevalonat. Produk hilir molekul ini tidak hanya produk akhir, kolesterol,

tapi juga beberapa intermediet isoprenoid yang digunakan oleh lipid untuk

melampirkan beberapa sinyal molekul intraseluler (99). Penambahan enzimatik

isoprenoidnya protein intraseluler mengontrol aktivitas jalur sinyal, termasuk

pembelahan sel dan antigen- presenting. Selain itu, mengurangi tingkat kolesterol

di membran sel yang terkena statin dan dapat mengganggu pengelompokan

reseptor antigen sel T selama aktivasi kekebalan (102).

Beberapa efek menguntungkan statin mungkin karena aktivitas

antiinflamasi. Misalnya, penelitian ameliorates atorvastatin terhadap

encephalomyelitis autoimun (103), dan percobaan klinis baru-baru ini

menunjukkan atorvastatin memiliki efek menguntungkan pada pasien dengan

rheumataoid arthritis (104). Hal ini disebabkan oleh kapasitas statin yang

menghambat antigen-dependent aktivasi T-sel (105). Target penting lainnya

termasuk produksi oksida nitrat endotel dan fibrinolisis, baik yang ditingkatkan

dengan statin, dan aktivitas platelet, yang diturunkan (99). Menghambat

penambahan peradangan untuk menurunkan lipid sebagai efek bermanfaat statin

pada CAD, baru-baru ini ditunjukkan dalam dua uji klinis pasien dengan

aterosklerosis dan CAD. Dalam studi ini, pengurangan peradangan (tercermin

pada tingkat protein C-reaktif) melalui terapi statin yang meningkatkan hasil

klinis secara independen dari penurunan tingkat kolesterol serum (106,107).

Akhirnya, vaksinasi merupakan pendekatan menarik untuk menginduksi

kekebalan tubuh (94). Pada percobaan yang dilakukan terhadap

hewan, aterosklerosis berkurang oleh vaksinasi dengan LDL teroksidasi, bakteri

yang mengandung fosfolipid tertentu dimodifikasi, atau menggunakan protein

heat-shock 60 (53,108-112). Hal ini mungkin karena induksi antibodi pelindung

atau sel T. Namun, persiapan antigen yang lebih baik harus dikembangkan dan

pengetahuan yang lebih mekanistik diperoleh sebelum pendekatan ini dapat diuji

pada manusia. Kesimpulannya, pengetahuan baru tentang peradangan CAD telah

memberikan wawasan mengejutkan dalam hal patogenesis, dan menawarkan

kesempatan baru untuk membantu menegakan diagnosis dan prediksi, dan dapat

mengarah pada pengobatan baru penyakit yang mengancam jiwa ini.