Ujian 4-17-03-13-revisi
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of Ujian 4-17-03-13-revisi
EVALUASI PRODUKTIVITAS ITIK PETELUR DENGAN MANAJEMEN PAKAN BERBEDA DI KELOMPOK TERNAK “SUKAMAJU”
Oleh :HAFIZUN
B1A 009 020
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiperbedaan produktivitas itik petelur yang diberikanpakan tambahan keong mas dan ikan sapu-sapu dalampakan. Materi yang digunakan dalam penelitian iniadalah itik Mojosari yang berumur ± 17 bulan,sebanyak 503 ekor, dan masing-masing kandang ternakdari 20-40 ekor itik betina dan 1-3 ekor jantan.Rancangan yang digunakan dalam penelitian inimenggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3perlakuan dan ulangan yang berbeda yaitu : P1 =Perlakuan kontrol dengan pemberian pakan (dedak, jagungdan konsentrat) terdiri dari 4 ulangan, P2 = Perlakuankedua adalah pemberian pakan (dedak, jagung, konsentratdan keong mas) terdiri dari 6 ulangan dan P3 =Perlakuan ketiga adalah pemberian pakan (dedak,jagung, konsentrat dan ikan sapu-sapu) terdiri dari 3ulangan. Parameter yang diamati adalah produksi telurharian, konsumsi pakan, kandungan nutrisi dari jenispakan yang diberikan, bobot telur, konversi pakan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan sapu- sapumenunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)terhadap peningkatan produksi telur harian itik, danpenambahan keong mas berpengaruh nyata (P<0,05)terhadap peningkatan produksi telur apabila dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata peningkatanproduksi telur (%) masing-masing perlakuan adalah : P1= 40.37%, P2 = 71.52% dan P3= 90.59%. Hasil penelitianmenyimpulkan bahwa penambahan ikan sapu-sapu dalampakan dapat meningkatkan produksi telur itik dibandingkan dengan pemberian keong mas.
1
Kata Kunci : Itik , telur, keong mas, ikan sapu-sapu
(Hypostomus sp)
EVALUATION OF DIFFERENT FEEDING MANAGEMENT ON LAYINGPRODUCTIVITY OF DUCKS IN SUKAMAJU FARM
By: HAFIZUN
B1A 009 020
ABSTRAK
This study aimed to determine different feedingmanagement on the productivity of laying ducks wasgiven additional food Golden Snails and Sapu-Sapu fish(Hypostomus sp). A total of 503 Mojosari ducks at 17months of age, and each cage has a 20-40 females and 1-3 males. The experimental design was completelyrandomized design (CRD) with 3 different treatments anddifferent replications. The first treatment as acontrol (P1) was fed with commercial concentrate, ricebran, and yellow corn. The second treatment was offeredas the first but added by golden Snails and the thirdwas also similar to P1 but sapu-sapu fish was included.Parameters measured were daily egg production, feedintake, egg weight and feed conversion. The result
2
shows a highly significant effect (P<0.01) of sapu-sapufish on improving daily egg production and significantincrease (P<0.05) when golden snails was incorporatedinto the ration compared to the control as a standarddiet. The average increase in egg production (%) ofeach treatment were: P1 = 40.37%, P2 = P3 = 71.52% and90.59%. It can be concluded that feeding the standarddiet with sapu-sapu fish or golden snails can increasethe egg production. .Key Words: ducks, eggs, golden snail and sapu-sapu fish
(hypostomus sp)
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
3
Unggas sebagai ternak menghasilkan produk pangan
berupa telur dan daging, Ternak itik merupakan salah
satu komoditi unggas yang mempunyai peran
cukup penting sebagai penghasil telur dan daging untuk
mendukung ketersediaan protein hewani yang murah dan
mudah didapat. Di Indonesia, itik umumnya diusahakan
sebagai penghasil telur namun ada pula yang diusahakan
sebagai penghasil daging.Peternakan itik didominasi
oleh peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih
tradisional di mana itik digembalakan di sawah atau di
tempat-tempat yang banyak airnya, namun dengan cepat
mengarah pada pemeliharaan secara intensif yang
sepenuhnya terkurung. Ternak itik merupakan unggas air
yang tersebar luas di pedesaan yang dengan sungai, rawa
atau pantai dengan pengelolaan yang masih tradisional.
Populasi ternak itik yang tinggi dan perannya yang
penting bagi kehidupan peternak sebagai sumber gizi
merupakan potensi nasional yang masih dapat
ditingkatkan.
Produk unggas cenderung lebih populer dikalangan
masyarakat dibandingkan dengan daging sapi karena
4
harganya lebih terjangkau dan diproduksi dalam jangka
waktu singkat, terutama telur (Anonim, 2000). Usaha
peternakan itik semakin diminati sebagai alternatif
sumber pendapatan bagi masyarakat di pedesaan maupun di
sekitar perkotaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa
kondisi lingkungan strategis yang lebih memihak pada
usaha peternakan itik. Di samping itu, semakin
terbukanya pasar produk itik ikut mendorong
berkembangnya peternakan itik di Indonesia. Pasar telur
itik yang selama ini telah terbentuk masih sangat
terbuka bagi peningkatan produksi karena permintaan
yang ada pun belum bisa terpenuhi semuanya.
Ternak itik mempunyai beberapa keunggulan
ekonomis jika dibandingkan dengan ternak ayam ras,
nilai jual telur itik lebih tinggi karena dijual dengan
harga butiran. Dibandingkan dengan ayam kampung, itik
memiliki produktivitas telur yang lebih tinggi 260
butir/ tahun dan lebih menguntungkan jika dipelihara
secara intensif terkurung sepenuhnya (Sudarman dkk,
2010)
5
Itik mulai bertelur pada umur 5-6 bulan dan saat
itik memasuki masa bertelur, ternak itik tidak
menghendaki adanya perubahan-perubahan pakan mendadak
dalam cara-cara pemeliharaan. Perubahan atau gangguan
lain akan mudah menyebabkan itik stress dan mengganggu
produksi telur, terutama jika terjadi perubahan pakan
(Sudarman dkk, 2010). Akan tetapi kenyataan yang ada
pada peternakan rakyat intensif, pemberian bahan pakan
baik secara kualitatif dan kuantitatif kurang mendapat
perhatian bahkan tidak ada jadwal pemberian pakan yang
teratur karena beternak itik dilakukan hanya sebagai
sampingan. Menurut Ketaren dan Prasetyo (2002), bahwa
kebutuhan gizi untuk itik petelur pada fase pertumbuhan
umur 1−16 minggu cenderung lebih rendah yaitu sekitar
85−100% dari rekomendasi oleh Sinurat (2000). Kebutuhan
gizi untuk itik petelur fase produksi 6 bulan pertama
cenderung lebih rendah (± 3%) dibanding kebutuhan gizi
pada fase produksi 6 bulan kedua. Hal ini berarti bahwa
pemberian pakan pada umur produksi berbeda-beda
tergantung tingkat produksi.
6
Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa
rata-rata produksi telur itik di peternakan rakyat
“Sukamaju” sekitar 40%. Tingkat produksi telur ini jauh
lebih rendah dibandingkan dengan produksi telur
peternakan itik intensif yang dilaporkan oleh
Ismoyowati dan Suswoyo (2009), di Jawa Tengah produksi
telur itik yang di pelihara secara intensif pada
peternakan rakyat sekitar 54.02% + 19.31, sedangkan
produksi telur itik yang di pelihara secara intensif
skala usaha komersial memiliki produksi telur rata
rata 78,0 + 19,00%. Perbedaan ini nampaknya disebabkan
oleh perbedaan manajemen yang dilakukan oleh
peternakan rakyat secara umum dan mungkin perbedaan
pemberian pakan. Oleh karena itu perlu penelitian yang
komprehensif pada peternakan rakyat yang menerapkan
budidaya intensif untuk mengetahui penyebab rendahnya
produktifitas telur itik di kelompok ” Sukamju”.
7
B. Tujuan dan Kegguanaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian.
1. Untuk mengetahui produktifitas itik petelur yang
diberikan pakan berbeda.
2. Untuk mengetahui jumlah dan jenis pakan yang
diberikan oleh peternak pada itik petelur yang di
pelihara secara intensif.
2. Kegunaan Penelitian
8
Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi
bagi peternakan rakyat tentang jumlah dan jenis
pemberian pakan yang baik sehingga itik yang
dipelihara secara intensif skala rakyat mampu
menunjukkan performan yang maksimal dan menguntungkan.
3. Hipotesis
Ho: Tidak ada perbedaan produksi itik petelur yang
diberikan manajemen pakan berbeda.
Ha: Ada perbedaan produksi itik petelur yangdiberikan manajemen pakan berbeda.
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
9
A. Karakteristik Itik Secara Umum
Pada dasarnya itik dikenal sebagai unggas air
(water fowl) karena suka berenang di perairan. Dan
beberapa ciri has atau karakteristik itik antara lain
sebagai berikkut: (a) Kaki itik relatif lebih pendek di
bandingkan dengan tubuhnya, sedangkan jari jari kaki
dihubungkan satu sama lain oleh selaput renang. (b)
Paruhnya di tutupi oleh selaput halus yang sensitif dan
pinggir-pinggir paruh tersebut marupakan plat yang
bertanduk. (c) Bulu bulu itik cekung, tebal, dan dan
berminyak agar air tidak mudah masuk ke dalam tubuh.
(d) Daging itik tergolong daging “gelap” dan persentase
karkas lebih rendah di bandingkan ayam (Bambang, 2012).
B. Jenis – Jenis dan Ciri Itik Petelur
Menurut Bambang (2012), beberapa jenis itik
petelur dan ciri dari masing masing itik tersebut
sebagai berikut:
a. Itik Alabio : Itik ini merupakan itik asli Indonesia
dan banyak di kembangkan di daerah Kalimantan
Selatan, khususnya di Muntai. Dilihat dari
10
potensinya itik Alabio dapat di golongkan sebagai
itik petelur karena memilki produksi telur mencapai
230-248 butir/ekor/ tahun. Ciri-cirinya memiliki
warna bulu dada cokelat keunguan, sedangkan warna
bulu badan kelabu pucat dan biru kehijauan mengkilap
serta ukuran tubuh besar, berat dewasa jantan 1,8-
2,0 kg dan betina 1,6-1,8.
b. Itik Tegal : Sesuai dengan namanya itik ini berasal
dari daerah Tegal, Jawa Tengah. Penyebaran itik
sangat luas sampai daerah lain terutama di daerah
Jawa Tengah, Jawa Barat. Itik Tegal memiliki
produksi telur rara-rata 200-230 butir /ekor/tahun.
Secara umum ciri warna bulu itik tegal adalah
kecoklatan dengan variasi totol totol putih.
c. Itik Mojosari : Itik Mojosari termasuk itik indian
runner dengan bentuk tubuh seperti botol dan berdiri
tegak. Produksi telur itik mojosari 200-250 butir/
ekor/tahun dengan ciri warna kemerahan dengan
variasi coklat, hitam dan putih.
d. Itik Magelang : Pada umumnya itik Magelang memilki
ciri-ciri warna putih yang melingkat di leher
11
selebar 1-2 cm berbentuk seperti kalung, sehingga
ada juga yang menyebutnya itik kalung, dan produksi
telur itik Magelang sebanyak 170 butir / ekor/
tahun .
e. Itik Cirebon : Itik Cirebon merupakan hasil persilangan
antara itik tegal dengan itik magelang dan memilki
ciri ciri bulu kecoklatan, produksi telur itik
Cirebon mencapai 180 butir/tekor/tahun. dll
C. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Produksi Telur
Produksi telur itik utamanya tergantung pada bibit
dan pemeliharaan (pemberian pakan khususnya). Dengan
demikian perlu sekali mendapatkan bibit yang terjamin
mutunya. Ketersediaan pakan yang terjamin berikut
pemberiannya sesuai dengan jadwal dan dosis juga
merupakan pangkal beberapa keberhasilan ternak itik
petelur (Bank Indonesia, 2012). Faktor yang
mempengaruhi periode bertelur itik menjadi lebih pendek
yaitu: (1) pemberian pakan dan nutrisi yang kurang, (2)
pergantian formula pakan yang mendadak, (3) pakan
tercampur dedak padi ketan, (4) kekurangan air minum,
12
(5) perubahan cuaca yang mendadak, (6) sering di
kejutkan dengan suara keras atau kilat petir, (7)
sering bermain dengan air (Supriyadi, 2011).
Menurut Amrullah (2003), faktor-faktor yang
menentukan produksi telur (%) adalah genetik/bangsa,
nutrisi pakan, umur atau usia produksi, jenis kandang,
sistem pemeliharaan (ekstensif, semi intensif, dan
intensif), dan temperature
1. Sistem Pemeliharaan Itik
Pada umumnya, dalam bidang pertanian dan termasuk
peternakan, sisitem budi daya di kelompokkan menjadi 3
macam yakni: sistem tradisional, semi intensif, dan
intensif. Dalam peternakan itik sistem tradisional
nyaris tidak menerapkan teknologi. Itik dibiarkan
berkeliaran di pematang sawah untuk mencari makan. Pada
pemeliharaan itik semi-intensif peternak membuat
kandang tapi itik tetap di gembalakan, itik tidak
dikurung terus menerus. Ada juga yang membuat kandang
dilengkapi dengan kolam tempat itik berenang.
Pemeliharaan itik intensif merupakan cara pemeliharaaan
13
itik yang sepenuhnya dilakukan di dalam kandang. Dalam
sistem pemeliharaan ini peternak dapat menghemat
lahan, namun harus memberikan pakan yang cukup dengan
kebutuhan itik sehingga hasilnya maksimal (Bambang,
2012).
Menurut Bambang dan Amri (2005), pemeliharaan itik
secara tradisional sangat tergantung pada tersedianya
lahan penggembalaan, pemeliharaan itik secara
tradisional sangat menujang konsep pengendalian hama
terpadu pada usaha padi sawah sehingga sangat di
anjurkan. Namun sejak penggunaan pestisida dan obat-
obatan dalam bidang pertanian banyak itik yang
mengalami keracunan. Hal tersebut menyebabkan banyak
peternak itik secara tradisional mulai beralih menjadi
pola intensif. Selain hal di atas terjadinya perubahan
penggunaan lahan dan berdirinya bangunan secara besar-
besaran yang menyebabkan lahan-lahan penggembalaan
semakin sempit.
Pemeliharaan itik yang mengarah ke pola intensif
yaitu dari digembalakan menjadi dikandangkan terkendala
oleh masalah pakan. Biaya untuk pakan pada usaha
14
peternakan unggas mencapai 65-70% dari total biaya
produksi dan dari biaya tersebut 70% untuk biaya
kebutuhan energi (Supriyadi 2011). Salah satu upaya
menekan biaya produksi yaitu mengoptimalkan daya guna
bahan pakan lokal yang terdapat di daerah tertentu,
sehingga biaya pakan dapat ditekan tanpa mengganggu
produktivitas ternak (Bambang, 2005). Selanjutnya
Bambang dan Khairul (2005) menyatakan bahwa perbedaan
persentase produksi telur antara peternakan
tradisional, semi-intensif, dan intensif adalah 33,5 :
47,5 : 83,5.
Perbedaan sistem pemeliharaan dan daerah
tropograpi tempat peternakan juga akan mempengaruhi
produktifitas telur itik. Daerah pertanian akan
tersedia banyak sumber pakan terrnak dan sebagian dari
limbah pertanian, pada derah pantai banyak tersedia
pakan sumber protein bagi ternak seperti limbah
perikanan (Ismoyowati dan Suswoyo, 2009). Hasil
observasi dari sampel telur dari sistem pemeliharaan
ekstensif, semi intensif dan intensif bahwa, persentase
produksi telur tertinggi adalah sistem intensif sebesar
15
91% diikuti sistem semi intensif 83,2 % baru kemudian
sistem ekstensif 55,4% (Anonim, 2012).
2. Sistem Perkandangan
Itik petelur dapat hidup di hampir semua
lingkungan sepanjang lingkungan tersebut tidak bising
atau ramai, yang mana dapat mempengaruhi produksi
telurnya. Usaha itik lebih mudah dilakukan dari pada
ayam, karena itik cenderung lebih tahan penyakit dan
mudah dalam pemeliharaan dan pakannya. Berdasarkan hal
tersebut, maka usaha ternak itik petelur memiliki
propek untuk dikembangkan (Bank Indonesia, 2012).
Lokasi peternakan harus terpisah dari lingkungan
pemukiman dan berjarak minimal 500 meter dari pagar
terluar (Permentan, 2011). Mengenai lokasi kandang yang
perlu diperhatikan adalah: lokasi jauh dari
keramaian/pemukiman penduduk, mempunyai letak
transportasi yang mudah dijangkau dari lokasi pemasaran
16
dan kondisi lingkungan kandang mempunyai iklim yang
kondusif bagi produksi ataupun produktivitas ternak
itik serta kondisi lokasi tidak rawan penggusuran
(Bambang dan Khirul, 2005).
Menurut Hardi (2006) kandang itik harus ada litter
(tidur dan bertelur) dan kandang lantai tempat
bermain ; lantai litter dialasi campuran pasir dan
kapur dan ditutup dengan kulit jerami; tersedia saluran
air dangkal tempat minum, membersihkan bulu dan
mempertahankan suhu tubuh; kepadatan 4 ekor per m2 (50-
100 ekor/kandang). Bentuk kandang itik petelur ada 2
bagian di mana 1/3 bagian tertutup dan beratap untuk
itik tidur dan bertelur dan 2/3 bagian yang terbuka
sebagai halaman untuk itik makan, minum dan bermain
pada siang hari (Prasetyo dkk, 2010).
3. Masa Produktif Itik Petelur
Menurut Hardi (2006), pemeliharaan itik petelur
(masa produksi) berumur >20 minggu mempunyai masa
17
produksi telur yang ideal adalah selama 1 tahun. Pada
umumnya, manajemen pemeliharaan itik petelur memakai
sistem satu umur (all in all out), yaitu pola produksi
telur nya mengikuti pola bertelur itik yang di mulai
dari jumlah produksi telur sedikit dan terus bertambah
sampai puncak produksi sekitar 97% selama 2 bulan.
Masa puncak dapat bertahan antara 3-4 bulan. Setelah
itu produksi mulai turun sampai sekitar 40 % selama 10
bulan. Setelah selesai masa produksi periode I, dengan
pertimbangan tertentu, pemeliharaan itik dapat di
lanjutkan pada periode ke II setelah mengalami masa
rontok bulu selama 1,5 bulan. Pada periode bertelur ke
2 ini polanya sama dengan periode bertelur 1, tapi
puncak produksi telurnya lebih rendah dan lama
produksinya makin pendek. Setelah masa rontok bulu
itik mulaai bertelur sedikit dan terus bertambah sampai
mencapai puncak 80% selama 2 bulan. Setelah itu
produksi mulai menurun sampai sekitar 40% selama 7
bulan. Setelah periode ke II berahir itik kemudian di
afkir (Supriyadi, 2011).
18
Menurut Sohibul (2008), itik Mojosari yang
bertelur pertama kali pada umur 25 minggu memiliki masa
produksi lebih lama, bisa sampai 3 periode masa
produktif. Setelah umur 7 bulan produksinya mulai
stabil dan banyak. Dengan perawatan yang baik produksi
perhari dapat mencapai rata-rata 70-80% dari seluruh
populasi. Produksi telur itik yang dipelihara dengan
cara digembalakan rata-rata 124 butir/ekor/tahun,
sedangkan dengan sistem pemeliharaan intensif telurnya
dapat mencapai lebih dari 200 butir/ekor/tahun
(Rochjat, 2000).
4. Jumlah Konsumsi Pakan Itik Petelur
Konsumsi pakan itik petelur tergantung pada
fase pemeliharaan (umur) seperti tertera pada Tabel
1.
Tabel.1. Konsumsi Pakan Itik Petelur Pada Setiap Fase Pertumbuhan
Uraian Umur Kebutuhan (gram) DOD – 1 minggu 15Dara 8-9 minggu 130
(Grower) 9-15 minggu 145Dewasa > 20 minggu 160-180
(Hardi, 2006)
19
Menurut Novalina (2011), pakan merupakan salah
satu faktor yang sangat berpengaruh pada produksi telur
itik. Itik petelur membutuhkan pakan sebanyak 160
gram/ekor/hari.Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi itik,
di pasaran sudah tersedia pakan konsentrat untuk itik
dengan kandungan nutrisi yang cukup. Kebutuhan pakan
untuk itik petelur pada periode awal (umur >18 minggu)
sebanyak 120 gram/ekor/hari, bila dalam kelompok sudah
mulai bertelur, pemberian pakan dapat di tingkatkan
antara 130-150 gram/ekor/hari. Bila pakan bermutu
sedang pemberian pakan dapat di tingkatkan menjadi 180
gram/ekor/hari (Supriyadi, 2011).
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap
peternak itik di Jakarta Timur diketahui bahwa jumlah
pakan yang digunakan oleh peternak terbukti sangat
berlebihan, yaitu rata-rata sebanyak 380
gram/ekor/hari, jauh melebihi jumlah yang dianjurkan
yaitu hanya sebanyak 150 gram/ekor/hari. Kelebihan
dalam jumlah pemberian pakan tersebut mengakibatkan
terjadinya kelebihan dalam jumlah energi metabolis dan
protein kasar. Jumlah energi metabolic dan protein
20
kasar yang diberikan masing-masing 4.800 Kkal/kg dan
40,95%, jauh melebihi kebutuhan itik petelur yang hanya
2.500 Kkal/kg dan 18,28%. Melalui penghematan jumlah
pakan yang diberikan akan dapat dilakukan penghematan
dalam biaya pakan yang dikeluarkan (Anonim, 2000).
5. Nutrisi Pakan
Menurut Supriyadi (2011), pada dasarnya, bahan
baku pakan dapat di bagi menjadi 2 kelompok utama
yaitu:
a. Pakan sumber energi yang merupakan bagian terbesar
dalam ransum pakan seperti : jagung, dedak padi,
gandum, ketela pohon. Di pasar sering di jumpai
bahan pakan dari satu jenis pakan dengan kualitas
yang berbeda. Jagung misalnya, terdapat 3 jenis
pakan dengan berbagai ukuran biji, mulai dari yang
paling kecil sampi besar. Deemikian pula dengan
dedak padi, terdapat 4 jenis di pasaran, yakni dedak
kasar, dedak halus, bekatul, dan kebi dengan warna
yang berbeda pula.
21
b. Bahan pakan sumber protein yang memegang peranaan
penting pada masa awal pertumbuhan dan produksi,
sebagai contoh bungkil kelapa, bungkil kedelai,
bungki kacang tanah, kepala udang, keong air, ikan
asin dan tepung ikan.
Pakan yang mempunyai tingkat protein rendah
umumnya bersifat bulky (amba), karena kemampuan dari
tembolok menampung pakan yang dikonsumsi terbatas dan
mengakibatkan konsumsi pakan menurun (Buwono 2007).
Penggunaan dedak padi hingga 75% dalam ransum itik
petelur tidak mengganggu produksi telur, asalkan
kandungan nutrisi yang lainnya cukup (Rochjat, 2000).
Menurut Sihombing (2012), kandungan nutrien bahan
pakan yang biasa di pakai dalam menyusun ransum
alternatif memiliki kandungan seperti tertera pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Secara Umum Bahan Pakan Batas
(%)Proteinkasar(%)
EnergikkalME/kg
Ca(%)
P(%)
Dedak Padi < 75 12,0 2.400 0,20 1,00
Menir - 10,2 2.660 0,09 0,12
22
Jagung - 8,5 3.300 0,02 0,30
Tepung Keong
20 44,0 2.700 0,69 0,43
(Sihombing, 2012)
Dari beberapa jenis bahan pakan yang dipilih untuk
digunakan dalam penelitian tersebut memiliki kandungan
nutrien seperti terdapat pada tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Nutrien Bahan Pakan yang Digunakan dalam Penelitian
Nutrien Kandungan Nutrien Bahan Pakan (%)
Konsentrat*
Dedak**
Jagung***
NasiAking****
IkanSapu*****
Keong mas******
Bahan Kering 90 91,11 88,2 89,89 100 87,34ProteinKasar
17 14,03 8,9 7,4750 35,50 54,17
Serat Kasar 5 12,21 2,2 1,2644 3,40 2,37Ca 14 0,12 0,02 38 3,99 29,33P 3 1,51 0,23 - 0,92 0,13MetabolismeEnergi(Kkal/Kg)
2.700 2.028 3.329 - 631 3.971
Air 10 8,89 11,8 10,1089 0 12,66Abu 36 15 1,50 0,4343 - -Lemak Kasar 6 11 3,10 1,3495 - -Keterangan* : Pranajaya (2000). ** : Analisa Proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan
Ternak Unram & DSN ,2001*** : Analisis di Labolatorium Nutrisi dan Makanan Ternak Unram
&Feed Reference standar (2003) **** :Analisis di Labolatorium Nutrisi dan Makanan Ternak
Unram&www.ilmupeternakan.com/2011_09_01_archive.html
23
***** : Purnamasari dkk. (2011)****** : Sundari dkk. (2004)
Diantara sumber protein yang di gunakan peternak
salah satunya ikan sapu–sapu dan keong mas dengan
kandungan nutrisi sebagai berikut:
a. Kandungan Nutrisi Ikan Sapu-Sapu
Salah satu contoh komoditi perikanan yang belum
dimanfaatkan secara optimal adalah ikan sapu-sapu
(Liposarcus pardalis). Ikan sapu-sapu ini bagi sebagian
besar petani dianggap sebagai hama, karena merupakan
kompetitor bagi ikan budidaya baik dalam habitat maupun
makanan, juga merusak sarang pemijahan ikan lain di
sekitarnya. Kemampuan adaptasinya tinggi dengan
mekanisme reproduksinya yang baik sehingga mampu
bertahan hidup dan mendominasi perairan tawar yang
dihuni (Prihardhyanto, 1995). Berikut ini beberapa
komponen nutrisi yang terdapat dalam ikan sapu-sapu
dalam bentuk basah protein 11,97%, abu 2,5% dan kering
71,11% , abu 14,90% (Anonim,2012).
24
Menurut Purnamasari dkk (2011), ikan sapu sapu
merupakan biota yang mengkonsumsi endapan endapan yang
telah tercemar kotoran maupun logam-logam berat,
ternyata mampu meningkatkan produksi dan kualitas telur
karena ikan sapu sapu memiliki kandungan protein yang
tinggi sekitar 33,3 – 41,7%, lemak berkisar 13,29-
22,97%, serat kasar berkisar 0,80-3,40%, gross energi
berkisar 3.290– 5.881 (kkal/kg), Ca berkisar 3,56 –
4,26%, dan P berkisar 0,92-0,99%.
b. Kandungan Nutrisi Keong Mas (Golden Snail)
Golden snail atau lebih dikenal dengan keong mas
(Pomacea Spp) merupakan sumber protein pakan yang
potensial karena kandungan proteinnya menyamai tepung
ikan (Sundari, 2004). Menurut Rochjat (2000), bahan
pakan sumber protein yang sangat disukai oleh itik
dalam bentuk segar adalah ikan rucah, cangkang udang
dan keong mas , namun pemberiannya haruslah dalam
ukuran yang cukup kecil untuk memudahkan itik
25
menelannya. Menurut Novalina (2011), pemberian keong
mas pada itik petelur mampu meningkatkakn produksi
mencapai 75 % dengan masa pakan per ekor sebanyak 91.67
gram/sekali makan. Pemberian keong mas pada itik dapat
menekan biaya pakan sebanyak 8.5% dari total biaya
pakan (Adam, 2010). Pemberian dalam bentuk segar dapat
menyebabkan pengaruh negatif terhadap ternak, yaitu
dapat menyebabkan penurunan produksi ternak karena di
dalam lendir keong tersebut terdapat suatu zat anti
nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan ternak, oleh
sebab itu dianjurkan menggunakan keong emas yang telah
direbus (Anonim, 2000).
6. Kebutuhan Nutrisi Itik
Pakan harus memenuhi standar kebutuhan nutrisi
yaitu yang mengandung zat-zat protein, karbohidrat,
lemak, vitamin, mineral, dan air dalam jumlah yang
cukup dan seimbang (Bambang, 2005). Pemberian serat
kasar yang tinggi pada bahan pakan akan menyulitkan
proses pencernaan pada unggas, karena unggas tidak
mempunyai mikro flora (walaupun ada jumlahnya belum
26
memadai untuk mencerna serat kasar) (Buwono, 2007).
Penggunaan dedak padi hingga 75% dalam ransum itik
petelur tidak mengganggu produksi telur, asalkan
kandungan nutrisi yang lainnya cukup (Rochjat, 2000)
Menurut Bambang (2005), konsumsi pakan untuk itik
petelur sebanyak 160 grama/ekor/hari dengan kebutuhan
nutrisi itik petelur yang biasa di gunakan di Indonesia
di rekomendasikan seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Kebutuhan Nutrisi Itik Petelur
Nutrisi PakanAnakItik
Dara Petelur
0-4minggu
5-20 minggu >21 minggu
Protein (%) 18-20 14-16 15-17Metabolisme Energi (kcal)
3.000 2.800 2.900
Serat Kasar (%) 4-7 6-9 6-9Lemak (%) 4-7 3-6 4-7Calsium (%) 0,90 0,80 0,80Fosfor (%) 0,70 0,70 0,50
(Bambang, 2005).
Pemberian pakan itik petelur dengan kadar protein
tinggi (18%) dapat memproduksi telur lebih baik
dibandingkan pakan dengan kadar protein lebih rendah
(16%), sedangkan energi metabolisme untuk itik yang
sedang bertelur adalah 2.700 kkal/kg (Anonim, 2000).
Pemberian kadar protein yang lebih rendah menyebabkan
27
telur yang dihasilkan lebih kecil, sedangkan bila kadar
energi pakan yang lebih rendah akan menyebabkan
penurunan produksi telur, tetapi tidak mempengaruhi
berat telur, sedangkan kebutuhan zat kapur dan fosfor
yang cukup tinggi dalam pakannya berkisar 3,0% Ca dan
0,60% P. Penurunan zat kapur hingga 1,25% dalam
pakan menyebabkan penurunan produksi telur dan kerabang
telur yang lebih tipis. Kekurangan zat fosfor akan
menurunkan nafsu makan dan menyebabkan pertumbuhan yang
terlambat, serta penurunan produksi dan berat telur.
Penambahan garam dapur 0,2% hingga 0,5% sudah dapat
menunjang pertumbuhan dan produksi telur yang baik
(Anonim, 2000)
BAB. III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
A. Materi Penelitian
Materi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah
itik petelur Mojosari yang berumur ± 17 bulan milik
anggota kelompok peternak “Sukamaju”. Sebanyak 503
28
ekor, yang terdiri dari 480 ekor betina dan 23 ekor
jantan, terbagi dalam 13 kandang dan masing masing
kandang mempunyai 20-40 ekor itik betina dan jantan 1-3
ekor.
1. Alat Penelitian
a. Kandang koloni yang terbuat dari bambu, dimana
masing masing kelompok memiliki ukuran kandang 5 X
3 m, yang di lengkapi dengan tempat pakan dan
minum.
b. Timbangan. Untuk menimbang pakan digunakan
timbangan ohaus dengan kapasitas 15 kg.
c. Timbangan analitik untuk menimbang telur.
d. Kantong plastik digunakan membungkus pakan sebelum
diberikan pada ternak.
2. Bahan Penelitian
a. Dedak, jagung, Nasi Aking dan konsentrat komersial
produksi PT Japfa Comfeed Sidoarjo yang
mengandung kadar air minimal 10%, protein kasar
minimal 38%, lemak kasar 3,5%, serat kasar
29
maksimal 5%, abu maksimal 42%, kalsium 13-15%,
phosfor 1-5% dan antibiotik dan bahan kering 90%.
b. Air bersih, diberikan secara adlibitum sebagai air
minum.
c. Sekam padi sebagai alas kandang tempat bertelur.
d. Keong mas dan ikan sapu-sapu sebagai pakan
tambahan.
B. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelititan
Penelitian ini di laksanakan di kelompok ternak
itik “Sukamaju” Dasan Cermen, Kecamatan Sandubaya, Kota
Mataram. Analisis kandungan bahan pakan yang diberikan
di lakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
2. Pelaksanaan Penelitian
1. Mengevaluasi dan mengontrol pakan yang akan
diberikan pada ternak iti di masing-masing
kandang.
30
2. Menghitung jumlah itik dan jumlah pakan yang
diberikan untuk menghitung jumlah konsumsi itik
dan harga pakan perekor per hari.
3. Membuat campuran pakan yang terdiri dari dedak,
jagung,nasi aking dan konsentrat dengan
perbandingan (8:1:1:1) sebagai kontrol.
4. Menimbang jumlah pakan yang diberikan pada setiap
pemberian pakan pagi dan sore hari.
5. Menghitung jumlah produksi telur setiap pagi hari
pada masing masing kandang.
3. Perlakuan Penelitian
Sebanyak 503 ekor yang terdiri dari 480 ekor
betina dan 23 ekor jantan, terbagi dalam 15 kandang
dan masing masing kandang mempunyai 20-40 ekor itik
betina dan jantan 1-3 ekor. Air minum diberikan secara
adlibitum dan pakan diberikan 2 kali sehari yaitu pada
pagi hari jam 08.00 dan sore hari jam 16.00, pakan yang
diberikan terdiri dari 3 perlakuan sebagai berrikut :
Perlakuan A = Dedak, jagung,Nasi aking dan
konsentrat dengan perbandingan 8:1:1:1
31
Perlakuan B = Seperti pada perlakuan A plus Keong
Mas
Perlakuan C = Seperti pada perlakuan A plus Ikan
Sapu-Sapu
Kandungan nutiren masing msing perlakuan tertera pada
tabel 5 .
Tabel 5. Kandungan Nutrien dari Susunan Pakan Masing-Masing Perlakuan dalam Penelitian.
Kandungan Nutrien
Perlakuan
A B CBK(%) 90,7 90,2 92,5PK(%) 15,9 21,4 18,8SK(%) 10,5 9,3 9,3Ca(%) 1,5 5,5 1,8P(%) 1,5 1,3 1,4Energi Kkal/kg 2.225 2.477 1.9974. Variabel Yang Diamati
a. Variabel Pokok
1. Jumlah konsumsi pakan yang diberikan
2. Produksi telur setiap hari
b. Variabel Penunjang
1. Kandungan nutrisi dari jenis pakan yang di
beriakan
2. Bobot telur
3. Konversi pakan
5. Rancangan Percobaan
32
Rancangan percobaan yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan ulangan beda yaitu pada perlakuan A empat
ulangan, perlakuan B enam ulangan, dan perlakuan C tiga
ulangan. Data yang di peroleh di analisis dengan
menggunakan ANOVA dan apabila beda nyata di lanjutkan
dengan (uji- Duncan) untuk membandingkan antara
masing- masing perlakuan.
Tabel Layout Penelitian :
Ulangan
PerlakuanA B C
Jumlah Telur(%)
Jumlah Telur(%)
Jumlah Telur(%)
1 - - -2 - - -3 - - -4 - -5 -6 -
Rata-Rata -
Keterangan :
- Perlakuan A= Dedak, Jagung,Nasi akingdan Konsentrat.
- Perlakuan B = Dedak, Jagung ,Nasi akingdan Konsentrat + Keong Mas
- Perlakuan C= Dedak, Jagung,Nasi akingdan Konsentrat + Ikan Sapu-Sapu.
33
BAB. IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Jumlah Konsumsi Pakan
Jumlah konsumsi pakan itik yang dipelihara oleh
kelompok ternak “Sukamaju” Dasan Cermen dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Konsumsi Pakan Itik yang Diberi PakanBerbeda (gram/ekor/hari)
Bahan Pakan Perlakuan
A B CDedak 128 128 128Jagung 16 16 16Nasi aking 16 16 16Konsentrat 16 16 16Keong Mas* - 27 -Ikan Sapu-Sapu* - - 27Total 176 203 203
34
*. Berdasarkan berat kering
Perlakuan A merupakan standar yang digunakan oleh
sebagian anggota kelompok, dan B menggunakan keong mas
sebagai salah satu bahan pakan itik. Kelompok C
cenderung menambahkan ikan sapu-sapu selain dedak,
jagung dan konsentrat. Dengan demikian, jumlah pakan
tambahan yang diberikan pada perlakuan B dan C sekitar
16,8% lebih tinggi dari A. Menurut Novalina (2011),
makanan merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh pada produksi telur itik dan itik petelur
membutuhkan pakan sebanyak 160 gram/ekor/hari. Apabila
di bandingkan dengan konsumsi pakan yang di anjurkan
oleh (Anonim, 2000), berdasarkan hasil survei yang
dilakukan terhadap peternak itik diketahui bahwa jumlah
pakan yang digunakan oleh peternak terbukti sangat
berlebihan, yaitu rata-rata sebanyak 380
gram/ekor/hari, jauh melebihi jumlah yang dianjurkan
yaitu hanya sebanyak 150 gram/ekor/hari. Kelebihan
dalam jumlah pemberian pakan mengakibatkan jumlah
energi metabolis dan protein kasar yang dikonsumsi
juga lebih lebih tinggi. Konsumsi pakan yang diberikan
35
oleh kelompok A pada penelitian ini sudah sesuai
dengan kebutuhan itik secara kuantitas, namun belum
menjamin jumlah tersebut memenuhi kebutuhan nutisi
itik. Apabila dilihat dari perbandingan total jumlah
konsumsi bahan pakan yang diberikan, pada perlakuan A
itik mengkonsusmsi jumlah dedak sebanyak 80%, jagung
10%, dan 10% konsentrat, dengan melebihi penggunaan
dedak padi yang di anjurkan oleh Rochjat (2000) bahwa,
penggunaan dedak padi hingga 75% dalam ransum itik
petelur tidak mengganggu produksi telur, asalkan
kandungan nutrisi yang lain cukup. Namun bila di lihat
penambahan protein hewani pada perlakuan B dan C
sebanyak 16,8% /ekor/hari dalam bentuk berat kering,
penambahan protein hewani di harapkan mampu melengkapi
kebutuhan nutrisi itik petelur sehingga produksi telur
maksimal. Penambahan jumlah protein hewani yang berbeda
tentu akan memberikan respon produksi yang berbeda.
Pemilihan bahan pakan yang diberikan harus sesuai
dengan kebutuhan gizi itik, terutama apabila itik
dipelihara secara intensif. Bahan pakan untuk itik
secara umum sama dengan bahan pakan untuk ayam, namun
36
itik memiliki kemampuan mencerna serat kasar lebih
tinggi di bandingkan dengan ayam. Menurut Buwono
(2007), pemberian serat kasar yang terlalu tinggi pada
bahan pakan akan menyulitkan proses pencernaan pada
unggas, karena unggas tidak mempunyai mikro flora
(walaupun ada jumlahnya belum memadai untuk mencerna
serat kasar).
2. Jumlah Konsumsi Nutrien Pakan
Jumlah konsumsi nutien pakan dapat dihitung
dengan mengalikan kandungan nutiren bahan pakan (Tabel
3) dengan jumlah konsumsi berat kering pakan yang
diberikan setiap hari (Tabel 6). Tabel 7 adalah jumlah
konsumsi nutrien bahan pakan yang diberikan.
Tabe 7. Konsumsi Nutrien Masing-Masing Bahan Pakan/ekor/hari
Perlakuan
Jenis Bahan Pakan
Kandungan Nutrien
BK PK SK Ca P Energi
Gram Kkal/kg
A
Dedak 116,62
17,96
15,63 0,15 1,93 259,5
8
Jagung 14,11 1,42 0,35 0,00 0,04 53,26
Nasi 7,47 1,26 - - -
37
Aking 50 44Konsentrat
14,40 6,08 0,08 2,24 0,48 43,20
Total 145,13
32,935
17,324 2,40 2,45 356,0
5
B
Dedak 116,62
17,96
15,63 0,15 1,93 259,5
8
Jagung 14,11 1,42 0,35 0,00 0,04 53,26
Nasi Aking - 7,47
501,2644 - - -
Konsentrat
14,40 6,08 0,80 2,24 0,48 43,20
Keong Mas
23,60
14,63 0,64 7,92 0,04 107,2
8
Total 168,73
47,565
17,964
10,32 2,48 463,3
3
C
Dedak 116,62
17,96
15,63 0,15 1,93 259,5
8
Jagung 14,11 1,42 0,35 0,00 0,04 53,26
Nasi Aking - 7,47
501,2644 - - -
Konsentrat
14,40 6,08 0,80 2,24 0,48 43,20
Ikan Sapu
27,78 9,86 0,94 1,11 0,26 17,53
Total 172,91
42,795
18,264 3,51 2,71 373,5
8Keterangan : Superskrip yang sama pada baris
yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Perlakuan A : Dedak+Jagung+Nasi Aking +KonsentratPerlakuan B : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+Keong MasPerlakuan C : Dedak+Jagung+Nasi Aking +Konsentrat+Ikan Sapu Sapu
38
Berdasarkan hasil hitungan kandungan nutrien pakan
di atas, jumlah selisih protein yang di konsumsi pada
perlakuan A 14,64 gram (53,8%) lebih rendah di
bandingkan perlakuan B. Perlakuan B memperoleh selisih
konsumsi protein lebih tinggi 4,77 gram (17,5%) di
bandingkan dengan perlakuan C dan perlakuan C
memperoleh selisih konsumsi protein lebih tinggi 9,8
garam (36,28 %) di bandingkan dengan perlakuan A.
Menurut Bambang (2005), kebutuhan standar protein bagi
itik yang sedang bertelur 15-17% atau sebanyak 27,2
gram/ekor/hari. untuk itik periode bertelur, pemberian
pakan dengan kadar protein tinggi (18%) dapat
memproduksi telur lebih baik dibandingkan pakan dengan
kadar protein lebih rendah 16%. Anonim (2000). Tinggi
rendahnya protein yang dikonsumsi oleh ternak akan
berpengaruh pada tinggi rendahnya produksi, namun
konsumsi protein yang tinggi tanpa penyerapan yang
maksimal tidak akan memberikan respon produksi yang
baik.
Selisih intake energi pakan pada perlakuan A dan B
sebanyak 107 kkal/kg, hal ini di sebabkan pada
39
perlakuan B adanya penambahan protein hewani asal keong
yang memiliki energi metabolisme sebayak 3,971 Kkal/kg.
Hasil penelitian ini memiliki intake yang lebih tinggi
dari penelitian yang di lakukan oleh Yose (2012), yang
menyatakan bahwa, konsumsi intake energi unggas
sebanyak 350 Kkal/kg /hari pada suhu 22 0C. Sedangkan
antara perlakuan A dan C memiliki selisih energi pakan
sebanyak 17,58 Kkal/kg.
Imbangan protein dan energi perlu di perhatikan
dalam penyusunan ransum, apabila protein terlalu tinggi
dan energi pakan rendah, maka ternak akan cendrung
mengkonsumsi banyak pakan dan evisiensi akan berkurang,
dan sebaliknya apabila terlalu banyak energi feed
intake akan berkurang dan berpengaruh pada pertumbuhan
dan produksi. Dengan demikian dalam menyusun ransum
harus memperhatikan standar imbangan protein dan energi
yang telah di tetapkan.
3. Jumlah Produksi Telur
Jumlah produksi telur (%) merupakan perbandingan
antara jumlah telur yang dihasilkan di bandingkan
dengan jumlah betina. Respon penambahan keong mas dan
40
ikan sapu-sapu terhadap rataan produksi telur (%), yang
di lakuakan selama penelitian dapat di lihat pada tabel
8.
Tabel 8. Rata-Rata Produksi Telur (%) Sebagai ResponPenambahan
Keong Mas dan Ikan Sapu-Sapu yang Diberikan PadaRansum.
ULANGAN
PELAKUAN
A B C1 42,01 75,26 92,682 59,52 72,62 90,813 37,38 85,0 88,294 22,56 54,88 5 70,37 6 71,03
Rata-rata 40,37a±15,2 71,52b ±12,5 90,59b ±2,2
Keterangan : Superskrip yang sama pada baris yangsama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P< 0,01)
Perlakuan A : Dedak+Jagung +Nasi Aking+KonsentratPerlakuan B : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+Keong MasPerlakuan C : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+ Ikan Sapu Sapu
Hasil analisis statistik pada tabel 6 menunjukkan
bahwa penambahan protein hewani ikan sapu-sapu (C)
berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi
telur (P<0,01) di bandingkan kelompok itik (A) yang
tidak mendapatkan tambahan perlakuan protein hewani.
41
Hal ini di sebabkan karena penambahan protein hewani
dapat merangsang pembentukan sel telur sehingga mampu
meningkatkan produksi (Supriyadi, 2011). Apabila
dilihat selisih produksi telur perlakuan C lebih tinggi
(19,07 %) di bandingkan produksi telur B, karena ikan
sapu-sapu yang ada pada perlakuan C banyak mengandung
asam-amino yang lebih lengkap dibandingkan dengan asam-
amino yang ada dalam keong mas (Iistanti, 2005).
Disamping itu Pemberian keong mas dalam bentuk segar
dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap ternak,
yaitu dapat menyebabkan penurunan produksi karena di
dalam lendir keong tersebut terdapat suatu zat anti
nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan ternak, oleh
sebab itu dianjurkan menggunakan keong emas yang telah
direbus (Anonim, 2000). Selanjutnya, tingginya kadar
kalsium pada keong mas diduga dapat menghambat
penyerapan protein sehingga berdampak pada rendahnya
protein yang mampu di serap dan akan menurunkan
produksi telur.
Pada perlakuan B bila dilihat secara spesifik
rata-rata produksi telur mencapai >70% hasil
42
penelititan ini sejalan dengan penelitian (Novalina,
2011), menyatakan baahwa pemberian keong mas pada itik
petelur mampu meningkatkakn produksi mencapai >70 %
dengan massa pakan tambahan per ekor sebanyak 91.67
gram/hari. Karena dengan penambahan protein hewani pada
fase layer sangat berperan dalam dalam proses
pembentukan telur (Supriyadi, 2011). Selanjutnya, untuk
dijadikan pakan ternak, keong mas dapat digunakan
seluruh tubuhnya sebagai sumber protein dan mineral
(Sri, 2010). Diantara perlakuan A dan perlakuan B pada
analisis statistik menujukkan bahwa pada perlakuan B
memiliki produksi yang lebih tinggi pada tingkat beda
nyata (P<0,05), dengan selisih produksi 31,15%
dibandingkan dengan perlakuan A. Hal ini disebabkan
karena pada perlakuan A tidak ada penambahan protein
hewani, hanya memiliki tambahan protein dari pemberian
konsentrat 10% dan protein nabati dari jagung yang
diberikan sebanyak 10% dari total ransum/ekor. Dihitung
berdasarkan kebutuhan nutrisi belum mencukupi kebutuhan
protein untuk layer sebanyak 15-17% (Bambang, 2005).
4. Bobot Telur
43
Berikut ini adalah rataan hasil penimbangan telur
yang di lakukan selama penelitian berlangsung tertulis
dalam tabel 9 berikut ini :
Tabel 9. Rataan Bobot Telur Sebagai Respon dariPemberikan Pakan Berbeda
Ulangan Perlakuan
A B C1 68,69 69,08 70,292 66,69 69,16 69,423 67,31 68,89 69,954 67,70 68,945 69,096 68,91
Rata – Rata67,60a
±0,8469,01a
±0,11 69,89a±0,43Keterangan : Superskrip yang sama pada baris yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)Perlakuan A: Dedak+Jagung+Nasi Aking +KonsentratPerlakuan B: Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+Keong MasPerlakuan C: Dedak+Jagung+Nasi Aking +Konsentrat+ Ikan Sapu Sapu
Hasil satatistik pada Tabel 9 menujukkan bahwa,
bobot telur pada perlakuan A,B dan C, tidak berbeda
nyata (P>0,05), berarti pemberian pakan dari ketiga
perlakuan tersebut memiliki bobot telur yang dianggap
sama, karena bobot telur lebih besar kaitanya dengan
bobot badan awal dan dewasa kelamin pada itik, semakin
tinggi bobot badan awal produksi, maka berpengaruh pula
pada tingginya bobot telur yang di capai (Supriyadi,
44
2011). Apabila di lihat secara spesifik bobot telur
perlakuan B dan C lebih tertinggi di bandingkan dengan
perlakuan A, karena adanya penambahan kalsium dari
keong mas dan ikan sapu-sapu yang dapat meningkatkan
ketebalan kerabang dan diduga dapat menambah bobot
telur.
Bobot telur di atas (Tabel 9) dapat di jadikan
acuan dalam menghitung konversi pakan yang merupakan
hasil bagi dari jumlah konsumsi pakan dibagi dengan
bobot telur yang di hasilkan. Konversi pakan yang di
hasilkan dari penelitian tersebut memiliki rata-rata
sebagai berikut:
5. Konversi Pakan
Konversi pakan merupakan perbandingan antara
jumlah pakan yang diberikan dengan bobot telur yang di
hasilkan . Rataan konversi pakan komulatif setiap
perlakuan selama penelitian di sajikan dalam Tabel 10
berikut ini :
Tabel 10. Rataan Konversi Pakan Sebagai Respon dariKetiga Jenis Perlakuan Pakan yang Diberikan
45
Ulangan
Perlakuan
A B C1 2,329 2,707 2,6722 2,399 2,704 2,7053 2,377 2,715 2,6854 2,363 2,7135 2,7076 2,714
Rata –Rata2,367a ±0,029
2,710b ±0,004
2,687b±0,016
Keterangan : Super skrip yang beda pada baris yang samamenunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Perlakuan A : Dedak+Jagung +Nasi Aking+KonsentratPerlakuan B : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+Keong MasPerlakuan C : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+ Ikan Sapu Sapu
Hasil analisis statistik (Tabel 10), menunjukkan
bahwa penambahan keong mas dan ikan sapu-sapu dalam
pakan nyata meningkatkan konversi pakan (P<0,05)
dibandingkan control. Hal ini disebabkan karena adanya
penambahan pakan sumber protein hewani sebanyak, 27
gram/ekor/hari pada perlakuan B dan C (Tabel 6) diikuti
oleh peningkatan bobot telur (Tabel 9), sehingga
dihasilkan konversi pakan yang meningkat nyata pada
perlakuan B dan C. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang di laporkan Septyana (2008), menyatakan
bahwa penambahan keong mas pada itik petelur mampu
46
meningkatkan produksi telur tetapi dapat meningkatkan
konversi pakan dari 3,10 menjadi 3,35. Hasil penelitian
ini memiliki rataan konversi pakan yang lebih baik
(2.58), bila di bandingkan dengan hasil penelitian
yang di laporkan Subhan (2010), menyatakan bahwa,
pemberian tepung keong mas sebanyak 6% dalam pakan itik
memberikan respon pada konversi pakan sebanyak 4.01.
.
47
BAB. V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Manajemen pemberian pakan dengan penambahan ikan
sapu-sapu pada pakan sebanyak 16,8% meningkatkan
produksi telur (P<0,01) mencapai 90,59 ±2,2 %,
sedangkan penambahan keong mas meningkatkan
produksi telur (P<0,05) mencapai 71,52 ±12,5, serta
berpengaruh pula pada meningkatnya konversi pakan
2. Jumlah konsumsi protein tertinggi ada pada perlakuan
penambahan keong mas, tetapi tidak menunjukan
respon produksi tertinggi apabila dibandingkan
dengan penambahan ikan sapu-sapu.
3. Meningkatnya produksi telur juga meningkat konversi
pakan karena bertambahnya jumlah konsumsi yang
diberikan.
48
B. Saran
Penggunaan keong mas sebaiknya direbus terlebih
dahulu untuk menghilangkan zat antinutrisi sehingga
tidak berpengaruh pada proses pencernaan dan penyerapan
yang akhirnya mengurangi validnya hasil penelitian.
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
produktifitas itik petelur yang diberikan pakan
berbeda, yaitu pemberian pakan tambahan keong mas dan
ikan sapu-sapu, penelitian ini dilakukan pada bulan
September 2014 – November 2014. Di kandang kelompok
ternak “Sukamaju” yang berada di Kelurahan Sandubaya,
Dasan Cermen, Lombok Barat. Materi yang digunakan dalam
49
penelitian ini adalah itik petelur (itik Mojosari) yang
berumur ± 17 bulan, sebanyak 503 ekor, dan masing
masing kandang ternak dari 20-40 ekor itik betina dan
1-3 ekor jantan. Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan ulangan yang berbeda yaitu : P1
= Perlakuan kontrol dengan pemberian pakan (dedak,
jagung dan konsentrat) terdiri dari 4 ulangan, P2 =
Perlakuan kedua adalah pemberian pakan (dedak, jagung,
konsentrat dan keong mas) terdiri dari 6 ulangan dan P3
= Perlakuan ketiga adalah pemberian pakan (dedak,
jagung, konsenttrat dan ikan sapu-sapu) terdiri dari 3
ulangan. Parameter yang diamati adalah produksi telur
harian, konsumsi pakan, kandungan nutrisi dari jenis
pakan yang diberikan, bobot telur, konversi pakan. Data
yang di peroleh dalam penelitian tersebut di analisis
menggunakan (ANOVA) dan apabila berbeda nyata
dilanjutkan dengan uji (Duncan) untuk membandingkan
masing-masing perlakuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ikan
sapu- sapu menunjukkan pengaruh yang sangat nyata
50
(P<0,01) terhadap peningkatan produksi telur harian
itik, dan penambahan keong mas berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap peningkatan produksi telur apabila di
bandingkan dengan kontrol. Rata-rata peningkatan
produksi telur (%) masing-masing perlakuan adalah : P1
= 40.37%, P2 = 71.52% dan P3= 90.59%. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa penambahan ikan sapu-sapu dalam
pakan dapat meningkatkan produksi telur itik di
bandingkan dengan pemberian keong mas.
51
DAFTAR PUSTAKA
Adam, S, 2010. Pakan Alternatif Itik. http:// adamspesies08.blogspot. com/ 2010 03 01 archive.html
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga SatuGunung Budi. Bogor.
Anonim, 2012. Karakteristik Eksterior, Produksi Dan Kualitas Telur ItikAlabio. http:// www. unlam .ac.id/bioscientiae.
Anonim, 2012. Pengembangan Produksi Pangan Alternatif: Otak-OtakIkan Sapu-Sapu. http: //bandarayasnack.com/otak-otak/
Anonim. 2000. Penyusunan Ransum Untuk Itik Petelur.http/blogspot.com/p/catatan.html. Jakarta
Bambang, 2012. Beternak Itik Petelur Di Kandang Baterai. PenebarSwadaya.
Bambang dan Khairul, 2005. Beternak Itik Secara Intensif.Penebar Swadaya.
52
Bambang dan Dede. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya.Jakarta
Bank Indonesia, 2012. Usaha Itik Petelur (Pola PembiayaanSyariah). Direktorat Kredit, BPR Dan UMKM, Email :[email protected]
Biyatmoko, D. 2005. Disain Pengembangan Itik Di KalimantanSelatan Tahun 2006-2010. Dinas Peternakan ProvinsiKalimantan Selatan, Banjarbaru.
Bonar, S. 2012.http://Yosyhombing.Blogspot.Com/2012/04/Formula-Kebutuhan-Nutrisi-Ternak-Itik .Html
Buwono, 2007. Pengaruh tingkat protein pakan dan frekuensiPemberian pakan terhadap kinerja itik mojosari (Anasdomesticus) jantan periode awal. Fakultas PeternakanBarawijaya Malang.
Hardi. P, 2006. Sistem Pemeliharaan Itik Petelur MA. TabloidSinar Tani, 27 September
Ismoyowati dan Suswoyo, 2009. Peroduksi Telur Dan PendapatanPeternak Itik Pada Pemeliharaan Secara Gembala Dan TerkurungDi Daerah Pertanian Dan Perikanan. Fakultas PeternakanUniversitas Jendral Sudirman Purwokerto.
Istanti, 2005. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap KarakteristikKerupuk Daging Ikan Sapu-Sapu. Program Studi TeknologiHasil Perikanan Fakultas Perikanan Dan IlmuKelautan. Institut Pertanian Bogor
Permentan, 2011. Pedoman Pembibitan Ayam Ras Yang Baik.Tanggal : 15 juli 2011.
Prihardhyanto, A. 1995. Beberapa Aspek Biologi Ikan Sapu-sapu(Hypostomus sp dan Lyposarcus pardalis) SuatuTinjauan Ringkas. FMIPA. UI.
53
Rochjat, 2000. Penyusunan Ransum Untuk Itik Petelur. BadanPenelitian Dan Pengembangan Pertanian InstalasiPenelitian Dan Pengkajian Teknologi Pertanian.Jakarta.
Sandhy, 2011. Beternak Itik Tanpa Air. Penebar Swadaya.
Sasongko, 2007. Beternak Itik. PT. Intan Sejati, Klaten,Yogyakarta
Septyana, 2008. Performa Itik Petelur Lokal Dengan PemberianKeong Mas Dan Daun Katuk, Fakultas PeternakanInstitut Pertanian Bogor.
Sudarman, 2010. Panduan Budidaya Dan usaha Ternak Itik. BalaiPenelitian Ternak, Ciawi Bogor.
Sohibul, 2008. Mengenal Beberapa Jenis Itik Petelur Lokal.Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
Subhan, 2010. Pemanfaatan Pakan Lokal Sebagai Pakan Itik Petelur.Fakultas Peternakan Universitas Andalas.
Sundari, 2004. Evaluasi Energi Metabolis Tepung Keong Mas(Pomacea Spp) Pada Itik Lokal Jantan. Buletin Pertaniandan Peternakan 5(10):115-123.
Supriyadi, M.M, 2011. Beternak Itik Hibrida Unggul . Jakarta,Penebar Swadaya.
Supriyadi, M.M, 2011. Panduan Lengkap Itik. Jakarta,Penebar Swadaya.
Ketaren dan H. Prasetyo (2002).Pengaruh Pemberian PakanTerbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (Ma):1. Masa Bertelur Fase Pertama Umur 20-43 Minggu. BalaiPenelitian Ternak, Bogor , Indonesia.
54