Ujian 4-17-03-13-revisi

55
EVALUASI PRODUKTIVITAS ITIK PETELUR DENGAN MANAJEMEN PAKAN BERBEDA DI KELOMPOK TERNAK “SUKAMAJU” Oleh : HAFIZUN B1A 009 020 INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan produktivitas itik petelur yang diberikan pakan tambahan keong mas dan ikan sapu-sapu dalam pakan. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik Mojosari yang berumur ± 17 bulan, sebanyak 503 ekor, dan masing-masing kandang ternak dari 20-40 ekor itik betina dan 1-3 ekor jantan. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan ulangan yang berbeda yaitu : P1 = Perlakuan kontrol dengan pemberian pakan (dedak, jagung dan konsentrat) terdiri dari 4 ulangan, P2 = Perlakuan kedua adalah pemberian pakan (dedak, jagung, konsentrat dan keong mas) terdiri dari 6 ulangan dan P3 = Perlakuan ketiga adalah pemberian pakan (dedak, jagung, konsentrat dan ikan sapu-sapu) terdiri dari 3 ulangan. Parameter yang diamati adalah produksi telur harian, konsumsi pakan, kandungan nutrisi dari jenis pakan yang diberikan, bobot telur, konversi pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan sapu- sapu menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap peningkatan produksi telur harian itik, dan penambahan keong mas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan produksi telur apabila di bandingkan dengan kontrol. Rata-rata peningkatan produksi telur (%) masing-masing perlakuan adalah : P1 = 40.37%, P2 = 71.52% dan P3= 90.59%. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penambahan ikan sapu-sapu dalam pakan dapat meningkatkan produksi telur itik di bandingkan dengan pemberian keong mas. 1

Transcript of Ujian 4-17-03-13-revisi

EVALUASI PRODUKTIVITAS ITIK PETELUR DENGAN MANAJEMEN PAKAN BERBEDA DI KELOMPOK TERNAK “SUKAMAJU”

Oleh :HAFIZUN

B1A 009 020

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiperbedaan produktivitas itik petelur yang diberikanpakan tambahan keong mas dan ikan sapu-sapu dalampakan. Materi yang digunakan dalam penelitian iniadalah itik Mojosari yang berumur ± 17 bulan,sebanyak 503 ekor, dan masing-masing kandang ternakdari 20-40 ekor itik betina dan 1-3 ekor jantan.Rancangan yang digunakan dalam penelitian inimenggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3perlakuan dan ulangan yang berbeda yaitu : P1 =Perlakuan kontrol dengan pemberian pakan (dedak, jagungdan konsentrat) terdiri dari 4 ulangan, P2 = Perlakuankedua adalah pemberian pakan (dedak, jagung, konsentratdan keong mas) terdiri dari 6 ulangan dan P3 =Perlakuan ketiga adalah pemberian pakan (dedak,jagung, konsentrat dan ikan sapu-sapu) terdiri dari 3ulangan. Parameter yang diamati adalah produksi telurharian, konsumsi pakan, kandungan nutrisi dari jenispakan yang diberikan, bobot telur, konversi pakan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan sapu- sapumenunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)terhadap peningkatan produksi telur harian itik, danpenambahan keong mas berpengaruh nyata (P<0,05)terhadap peningkatan produksi telur apabila dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata peningkatanproduksi telur (%) masing-masing perlakuan adalah : P1= 40.37%, P2 = 71.52% dan P3= 90.59%. Hasil penelitianmenyimpulkan bahwa penambahan ikan sapu-sapu dalampakan dapat meningkatkan produksi telur itik dibandingkan dengan pemberian keong mas.

1

Kata Kunci : Itik , telur, keong mas, ikan sapu-sapu

(Hypostomus sp)

EVALUATION OF DIFFERENT FEEDING MANAGEMENT ON LAYINGPRODUCTIVITY OF DUCKS IN SUKAMAJU FARM

By: HAFIZUN

B1A 009 020

ABSTRAK

This study aimed to determine different feedingmanagement on the productivity of laying ducks wasgiven additional food Golden Snails and Sapu-Sapu fish(Hypostomus sp). A total of 503 Mojosari ducks at 17months of age, and each cage has a 20-40 females and 1-3 males. The experimental design was completelyrandomized design (CRD) with 3 different treatments anddifferent replications. The first treatment as acontrol (P1) was fed with commercial concentrate, ricebran, and yellow corn. The second treatment was offeredas the first but added by golden Snails and the thirdwas also similar to P1 but sapu-sapu fish was included.Parameters measured were daily egg production, feedintake, egg weight and feed conversion. The result

2

shows a highly significant effect (P<0.01) of sapu-sapufish on improving daily egg production and significantincrease (P<0.05) when golden snails was incorporatedinto the ration compared to the control as a standarddiet. The average increase in egg production (%) ofeach treatment were: P1 = 40.37%, P2 = P3 = 71.52% and90.59%. It can be concluded that feeding the standarddiet with sapu-sapu fish or golden snails can increasethe egg production. .Key Words: ducks, eggs, golden snail and sapu-sapu fish

(hypostomus sp)

BAB. I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

3

Unggas sebagai ternak menghasilkan produk pangan

berupa telur dan daging, Ternak itik merupakan salah

satu komoditi unggas yang mempunyai peran

cukup penting sebagai penghasil telur dan daging untuk

mendukung ketersediaan protein hewani yang murah dan

mudah didapat. Di Indonesia, itik umumnya diusahakan

sebagai penghasil telur namun ada pula yang diusahakan

sebagai penghasil daging.Peternakan itik didominasi

oleh peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih

tradisional di mana itik digembalakan di sawah atau di

tempat-tempat yang banyak airnya, namun dengan cepat

mengarah pada pemeliharaan secara intensif yang

sepenuhnya terkurung. Ternak itik merupakan unggas air

yang tersebar luas di pedesaan yang dengan sungai, rawa

atau pantai dengan pengelolaan yang masih tradisional.

Populasi ternak itik yang tinggi dan perannya yang

penting bagi kehidupan peternak sebagai sumber gizi

merupakan potensi nasional yang masih dapat

ditingkatkan.

Produk unggas cenderung lebih populer dikalangan

masyarakat dibandingkan dengan daging sapi karena

4

harganya lebih terjangkau dan diproduksi dalam jangka

waktu singkat, terutama telur (Anonim, 2000). Usaha

peternakan itik semakin diminati sebagai alternatif

sumber pendapatan bagi masyarakat di pedesaan maupun di

sekitar perkotaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa

kondisi lingkungan strategis yang lebih memihak pada

usaha peternakan itik. Di samping itu, semakin

terbukanya pasar produk itik ikut mendorong

berkembangnya peternakan itik di Indonesia. Pasar telur

itik yang selama ini telah terbentuk masih sangat

terbuka bagi peningkatan produksi karena permintaan

yang ada pun belum bisa terpenuhi semuanya.

Ternak itik mempunyai beberapa keunggulan

ekonomis jika dibandingkan dengan ternak ayam ras,

nilai jual telur itik lebih tinggi karena dijual dengan

harga butiran. Dibandingkan dengan ayam kampung, itik

memiliki produktivitas telur yang lebih tinggi 260

butir/ tahun dan lebih menguntungkan jika dipelihara

secara intensif terkurung sepenuhnya (Sudarman dkk,

2010)

5

Itik mulai bertelur pada umur 5-6 bulan dan saat

itik memasuki masa bertelur, ternak itik tidak

menghendaki adanya perubahan-perubahan pakan mendadak

dalam cara-cara pemeliharaan. Perubahan atau gangguan

lain akan mudah menyebabkan itik stress dan mengganggu

produksi telur, terutama jika terjadi perubahan pakan

(Sudarman dkk, 2010). Akan tetapi kenyataan yang ada

pada peternakan rakyat intensif, pemberian bahan pakan

baik secara kualitatif dan kuantitatif kurang mendapat

perhatian bahkan tidak ada jadwal pemberian pakan yang

teratur karena beternak itik dilakukan hanya sebagai

sampingan. Menurut Ketaren dan Prasetyo (2002), bahwa

kebutuhan gizi untuk itik petelur pada fase pertumbuhan

umur 1−16 minggu cenderung lebih rendah yaitu sekitar

85−100% dari rekomendasi oleh Sinurat (2000). Kebutuhan

gizi untuk itik petelur fase produksi 6 bulan pertama

cenderung lebih rendah (± 3%) dibanding kebutuhan gizi

pada fase produksi 6 bulan kedua. Hal ini berarti bahwa

pemberian pakan pada umur produksi berbeda-beda

tergantung tingkat produksi.

6

Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa

rata-rata produksi telur itik di peternakan rakyat

“Sukamaju” sekitar 40%. Tingkat produksi telur ini jauh

lebih rendah dibandingkan dengan produksi telur

peternakan itik intensif yang dilaporkan oleh

Ismoyowati dan Suswoyo (2009), di Jawa Tengah produksi

telur itik yang di pelihara secara intensif pada

peternakan rakyat sekitar 54.02% + 19.31, sedangkan

produksi telur itik yang di pelihara secara intensif

skala usaha komersial memiliki produksi telur rata

rata 78,0 + 19,00%. Perbedaan ini nampaknya disebabkan

oleh perbedaan manajemen yang dilakukan oleh

peternakan rakyat secara umum dan mungkin perbedaan

pemberian pakan. Oleh karena itu perlu penelitian yang

komprehensif pada peternakan rakyat yang menerapkan

budidaya intensif untuk mengetahui penyebab rendahnya

produktifitas telur itik di kelompok ” Sukamju”.

7

B. Tujuan dan Kegguanaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian.

1. Untuk mengetahui produktifitas itik petelur yang

diberikan pakan berbeda.

2. Untuk mengetahui jumlah dan jenis pakan yang

diberikan oleh peternak pada itik petelur yang di

pelihara secara intensif.

2. Kegunaan Penelitian

8

Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi

bagi peternakan rakyat tentang jumlah dan jenis

pemberian pakan yang baik sehingga itik yang

dipelihara secara intensif skala rakyat mampu

menunjukkan performan yang maksimal dan menguntungkan.

3. Hipotesis

Ho: Tidak ada perbedaan produksi itik petelur yang

diberikan manajemen pakan berbeda.

Ha: Ada perbedaan produksi itik petelur yangdiberikan manajemen pakan berbeda.

BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA

9

A. Karakteristik Itik Secara Umum

Pada dasarnya itik dikenal sebagai unggas air

(water fowl) karena suka berenang di perairan. Dan

beberapa ciri has atau karakteristik itik antara lain

sebagai berikkut: (a) Kaki itik relatif lebih pendek di

bandingkan dengan tubuhnya, sedangkan jari jari kaki

dihubungkan satu sama lain oleh selaput renang. (b)

Paruhnya di tutupi oleh selaput halus yang sensitif dan

pinggir-pinggir paruh tersebut marupakan plat yang

bertanduk. (c) Bulu bulu itik cekung, tebal, dan dan

berminyak agar air tidak mudah masuk ke dalam tubuh.

(d) Daging itik tergolong daging “gelap” dan persentase

karkas lebih rendah di bandingkan ayam (Bambang, 2012).

B. Jenis – Jenis dan Ciri Itik Petelur

Menurut Bambang (2012), beberapa jenis itik

petelur dan ciri dari masing masing itik tersebut

sebagai berikut:

a. Itik Alabio : Itik ini merupakan itik asli Indonesia

dan banyak di kembangkan di daerah Kalimantan

Selatan, khususnya di Muntai. Dilihat dari

10

potensinya itik Alabio dapat di golongkan sebagai

itik petelur karena memilki produksi telur mencapai

230-248 butir/ekor/ tahun. Ciri-cirinya memiliki

warna bulu dada cokelat keunguan, sedangkan warna

bulu badan kelabu pucat dan biru kehijauan mengkilap

serta ukuran tubuh besar, berat dewasa jantan 1,8-

2,0 kg dan betina 1,6-1,8.

b. Itik Tegal : Sesuai dengan namanya itik ini berasal

dari daerah Tegal, Jawa Tengah. Penyebaran itik

sangat luas sampai daerah lain terutama di daerah

Jawa Tengah, Jawa Barat. Itik Tegal memiliki

produksi telur rara-rata 200-230 butir /ekor/tahun.

Secara umum ciri warna bulu itik tegal adalah

kecoklatan dengan variasi totol totol putih.

c. Itik Mojosari : Itik Mojosari termasuk itik indian

runner dengan bentuk tubuh seperti botol dan berdiri

tegak. Produksi telur itik mojosari 200-250 butir/

ekor/tahun dengan ciri warna kemerahan dengan

variasi coklat, hitam dan putih.

d. Itik Magelang : Pada umumnya itik Magelang memilki

ciri-ciri warna putih yang melingkat di leher

11

selebar 1-2 cm berbentuk seperti kalung, sehingga

ada juga yang menyebutnya itik kalung, dan produksi

telur itik Magelang sebanyak 170 butir / ekor/

tahun .

e. Itik Cirebon : Itik Cirebon merupakan hasil persilangan

antara itik tegal dengan itik magelang dan memilki

ciri ciri bulu kecoklatan, produksi telur itik

Cirebon mencapai 180 butir/tekor/tahun. dll

C. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Produksi Telur

Produksi telur itik utamanya tergantung pada bibit

dan pemeliharaan (pemberian pakan khususnya). Dengan

demikian perlu sekali mendapatkan bibit yang terjamin

mutunya. Ketersediaan pakan yang terjamin berikut

pemberiannya sesuai dengan jadwal dan dosis juga

merupakan pangkal beberapa keberhasilan ternak itik

petelur (Bank Indonesia, 2012). Faktor yang

mempengaruhi periode bertelur itik menjadi lebih pendek

yaitu: (1) pemberian pakan dan nutrisi yang kurang, (2)

pergantian formula pakan yang mendadak, (3) pakan

tercampur dedak padi ketan, (4) kekurangan air minum,

12

(5) perubahan cuaca yang mendadak, (6) sering di

kejutkan dengan suara keras atau kilat petir, (7)

sering bermain dengan air (Supriyadi, 2011).

Menurut Amrullah (2003), faktor-faktor yang

menentukan produksi telur (%) adalah genetik/bangsa,

nutrisi pakan, umur atau usia produksi, jenis kandang,

sistem pemeliharaan (ekstensif, semi intensif, dan

intensif), dan temperature

1. Sistem Pemeliharaan Itik

Pada umumnya, dalam bidang pertanian dan termasuk

peternakan, sisitem budi daya di kelompokkan menjadi 3

macam yakni: sistem tradisional, semi intensif, dan

intensif. Dalam peternakan itik sistem tradisional

nyaris tidak menerapkan teknologi. Itik dibiarkan

berkeliaran di pematang sawah untuk mencari makan. Pada

pemeliharaan itik semi-intensif peternak membuat

kandang tapi itik tetap di gembalakan, itik tidak

dikurung terus menerus. Ada juga yang membuat kandang

dilengkapi dengan kolam tempat itik berenang.

Pemeliharaan itik intensif merupakan cara pemeliharaaan

13

itik yang sepenuhnya dilakukan di dalam kandang. Dalam

sistem pemeliharaan ini peternak dapat menghemat

lahan, namun harus memberikan pakan yang cukup dengan

kebutuhan itik sehingga hasilnya maksimal (Bambang,

2012).

Menurut Bambang dan Amri (2005), pemeliharaan itik

secara tradisional sangat tergantung pada tersedianya

lahan penggembalaan, pemeliharaan itik secara

tradisional sangat menujang konsep pengendalian hama

terpadu pada usaha padi sawah sehingga sangat di

anjurkan. Namun sejak penggunaan pestisida dan obat-

obatan dalam bidang pertanian banyak itik yang

mengalami keracunan. Hal tersebut menyebabkan banyak

peternak itik secara tradisional mulai beralih menjadi

pola intensif. Selain hal di atas terjadinya perubahan

penggunaan lahan dan berdirinya bangunan secara besar-

besaran yang menyebabkan lahan-lahan penggembalaan

semakin sempit.

Pemeliharaan itik yang mengarah ke pola intensif

yaitu dari digembalakan menjadi dikandangkan terkendala

oleh masalah pakan. Biaya untuk pakan pada usaha

14

peternakan unggas mencapai 65-70% dari total biaya

produksi dan dari biaya tersebut 70% untuk biaya

kebutuhan energi (Supriyadi 2011). Salah satu upaya

menekan biaya produksi yaitu mengoptimalkan daya guna

bahan pakan lokal yang terdapat di daerah tertentu,

sehingga biaya pakan dapat ditekan tanpa mengganggu

produktivitas ternak (Bambang, 2005). Selanjutnya

Bambang dan Khairul (2005) menyatakan bahwa perbedaan

persentase produksi telur antara peternakan

tradisional, semi-intensif, dan intensif adalah 33,5 :

47,5 : 83,5.

Perbedaan sistem pemeliharaan dan daerah

tropograpi tempat peternakan juga akan mempengaruhi

produktifitas telur itik. Daerah pertanian akan

tersedia banyak sumber pakan terrnak dan sebagian dari

limbah pertanian, pada derah pantai banyak tersedia

pakan sumber protein bagi ternak seperti limbah

perikanan (Ismoyowati dan Suswoyo, 2009). Hasil

observasi dari sampel telur dari sistem pemeliharaan

ekstensif, semi intensif dan intensif bahwa, persentase

produksi telur tertinggi adalah sistem intensif sebesar

15

91% diikuti sistem semi intensif 83,2 % baru kemudian

sistem ekstensif 55,4% (Anonim, 2012).

2. Sistem Perkandangan

Itik petelur dapat hidup di hampir semua

lingkungan sepanjang lingkungan tersebut tidak bising

atau ramai, yang mana dapat mempengaruhi produksi

telurnya. Usaha itik lebih mudah dilakukan dari pada

ayam, karena itik cenderung lebih tahan penyakit dan

mudah dalam pemeliharaan dan pakannya. Berdasarkan hal

tersebut, maka usaha ternak itik petelur memiliki

propek untuk dikembangkan (Bank Indonesia, 2012).

Lokasi peternakan harus terpisah dari lingkungan

pemukiman dan berjarak minimal 500 meter dari pagar

terluar (Permentan, 2011). Mengenai lokasi kandang yang

perlu diperhatikan adalah: lokasi jauh dari

keramaian/pemukiman penduduk, mempunyai letak

transportasi yang mudah dijangkau dari lokasi pemasaran

16

dan kondisi lingkungan kandang mempunyai iklim yang

kondusif bagi produksi ataupun produktivitas ternak

itik serta kondisi lokasi tidak rawan penggusuran

(Bambang dan Khirul, 2005).

Menurut Hardi (2006) kandang itik harus ada litter

(tidur dan bertelur) dan kandang lantai tempat

bermain ; lantai litter dialasi campuran pasir dan

kapur dan ditutup dengan kulit jerami; tersedia saluran

air dangkal tempat minum, membersihkan bulu dan

mempertahankan suhu tubuh; kepadatan 4 ekor per m2 (50-

100 ekor/kandang). Bentuk kandang itik petelur ada 2

bagian di mana 1/3 bagian tertutup dan beratap untuk

itik tidur dan bertelur dan 2/3 bagian yang terbuka

sebagai halaman untuk itik makan, minum dan bermain

pada siang hari (Prasetyo dkk, 2010).

3. Masa Produktif Itik Petelur

Menurut Hardi (2006), pemeliharaan itik petelur

(masa produksi) berumur >20 minggu mempunyai masa

17

produksi telur yang ideal adalah selama 1 tahun. Pada

umumnya, manajemen pemeliharaan itik petelur memakai

sistem satu umur (all in all out), yaitu pola produksi

telur nya mengikuti pola bertelur itik yang di mulai

dari jumlah produksi telur sedikit dan terus bertambah

sampai puncak produksi sekitar 97% selama 2 bulan.

Masa puncak dapat bertahan antara 3-4 bulan. Setelah

itu produksi mulai turun sampai sekitar 40 % selama 10

bulan. Setelah selesai masa produksi periode I, dengan

pertimbangan tertentu, pemeliharaan itik dapat di

lanjutkan pada periode ke II setelah mengalami masa

rontok bulu selama 1,5 bulan. Pada periode bertelur ke

2 ini polanya sama dengan periode bertelur 1, tapi

puncak produksi telurnya lebih rendah dan lama

produksinya makin pendek. Setelah masa rontok bulu

itik mulaai bertelur sedikit dan terus bertambah sampai

mencapai puncak 80% selama 2 bulan. Setelah itu

produksi mulai menurun sampai sekitar 40% selama 7

bulan. Setelah periode ke II berahir itik kemudian di

afkir (Supriyadi, 2011).

18

Menurut Sohibul (2008), itik Mojosari yang

bertelur pertama kali pada umur 25 minggu memiliki masa

produksi lebih lama, bisa sampai 3 periode masa

produktif. Setelah umur 7 bulan produksinya mulai

stabil dan banyak. Dengan perawatan yang baik produksi

perhari dapat mencapai rata-rata 70-80% dari seluruh

populasi. Produksi telur itik yang dipelihara dengan

cara digembalakan rata-rata 124 butir/ekor/tahun,

sedangkan dengan sistem pemeliharaan intensif telurnya

dapat mencapai lebih dari 200 butir/ekor/tahun

(Rochjat, 2000).

4. Jumlah Konsumsi Pakan Itik Petelur

Konsumsi pakan itik petelur tergantung pada

fase pemeliharaan (umur) seperti tertera pada Tabel

1.

Tabel.1. Konsumsi Pakan Itik Petelur Pada Setiap Fase Pertumbuhan

Uraian Umur Kebutuhan (gram) DOD – 1 minggu 15Dara 8-9 minggu 130

(Grower) 9-15 minggu 145Dewasa > 20 minggu 160-180

(Hardi, 2006)

19

Menurut Novalina (2011), pakan merupakan salah

satu faktor yang sangat berpengaruh pada produksi telur

itik. Itik petelur membutuhkan pakan sebanyak 160

gram/ekor/hari.Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi itik,

di pasaran sudah tersedia pakan konsentrat untuk itik

dengan kandungan nutrisi yang cukup. Kebutuhan pakan

untuk itik petelur pada periode awal (umur >18 minggu)

sebanyak 120 gram/ekor/hari, bila dalam kelompok sudah

mulai bertelur, pemberian pakan dapat di tingkatkan

antara 130-150 gram/ekor/hari. Bila pakan bermutu

sedang pemberian pakan dapat di tingkatkan menjadi 180

gram/ekor/hari (Supriyadi, 2011).

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap

peternak itik di Jakarta Timur diketahui bahwa jumlah

pakan yang digunakan oleh peternak terbukti sangat

berlebihan, yaitu rata-rata sebanyak 380

gram/ekor/hari, jauh melebihi jumlah yang dianjurkan

yaitu hanya sebanyak 150 gram/ekor/hari. Kelebihan

dalam jumlah pemberian pakan tersebut mengakibatkan

terjadinya kelebihan dalam jumlah energi metabolis dan

protein kasar. Jumlah energi metabolic dan protein

20

kasar yang diberikan masing-masing 4.800 Kkal/kg dan

40,95%, jauh melebihi kebutuhan itik petelur yang hanya

2.500 Kkal/kg dan 18,28%. Melalui penghematan jumlah

pakan yang diberikan akan dapat dilakukan penghematan

dalam biaya pakan yang dikeluarkan (Anonim, 2000).

5. Nutrisi Pakan

Menurut Supriyadi (2011), pada dasarnya, bahan

baku pakan dapat di bagi menjadi 2 kelompok utama

yaitu:

a. Pakan sumber energi yang merupakan bagian terbesar

dalam ransum pakan seperti : jagung, dedak padi,

gandum, ketela pohon. Di pasar sering di jumpai

bahan pakan dari satu jenis pakan dengan kualitas

yang berbeda. Jagung misalnya, terdapat 3 jenis

pakan dengan berbagai ukuran biji, mulai dari yang

paling kecil sampi besar. Deemikian pula dengan

dedak padi, terdapat 4 jenis di pasaran, yakni dedak

kasar, dedak halus, bekatul, dan kebi dengan warna

yang berbeda pula.

21

b. Bahan pakan sumber protein yang memegang peranaan

penting pada masa awal pertumbuhan dan produksi,

sebagai contoh bungkil kelapa, bungkil kedelai,

bungki kacang tanah, kepala udang, keong air, ikan

asin dan tepung ikan.

Pakan yang mempunyai tingkat protein rendah

umumnya bersifat bulky (amba), karena kemampuan dari

tembolok menampung pakan yang dikonsumsi terbatas dan

mengakibatkan konsumsi pakan menurun (Buwono 2007).

Penggunaan dedak padi hingga 75% dalam ransum itik

petelur tidak mengganggu produksi telur, asalkan

kandungan nutrisi yang lainnya cukup (Rochjat, 2000).

Menurut Sihombing (2012), kandungan nutrien bahan

pakan yang biasa di pakai dalam menyusun ransum

alternatif memiliki kandungan seperti tertera pada

Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Secara Umum Bahan Pakan Batas

(%)Proteinkasar(%)

EnergikkalME/kg

Ca(%)

P(%)

Dedak Padi < 75 12,0 2.400 0,20 1,00

Menir - 10,2 2.660 0,09 0,12

22

Jagung - 8,5 3.300 0,02 0,30

Tepung Keong

20 44,0 2.700 0,69 0,43

(Sihombing, 2012)

Dari beberapa jenis bahan pakan yang dipilih untuk

digunakan dalam penelitian tersebut memiliki kandungan

nutrien seperti terdapat pada tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Bahan Pakan yang Digunakan dalam Penelitian

Nutrien Kandungan Nutrien Bahan Pakan (%)

Konsentrat*

Dedak**

Jagung***

NasiAking****

IkanSapu*****

Keong mas******

Bahan Kering 90 91,11 88,2 89,89 100 87,34ProteinKasar

17 14,03 8,9 7,4750 35,50 54,17

Serat Kasar 5 12,21 2,2 1,2644 3,40 2,37Ca 14 0,12 0,02 38 3,99 29,33P 3 1,51 0,23 - 0,92 0,13MetabolismeEnergi(Kkal/Kg)

2.700 2.028 3.329 - 631 3.971

Air 10 8,89 11,8 10,1089 0 12,66Abu 36 15 1,50 0,4343 - -Lemak Kasar 6 11 3,10 1,3495 - -Keterangan* : Pranajaya (2000). ** : Analisa Proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan

Ternak Unram & DSN ,2001*** : Analisis di Labolatorium Nutrisi dan Makanan Ternak Unram

&Feed Reference standar (2003) **** :Analisis di Labolatorium Nutrisi dan Makanan Ternak

Unram&www.ilmupeternakan.com/2011_09_01_archive.html

23

***** : Purnamasari dkk. (2011)****** : Sundari dkk. (2004)

Diantara sumber protein yang di gunakan peternak

salah satunya ikan sapu–sapu dan keong mas dengan

kandungan nutrisi sebagai berikut:

a. Kandungan Nutrisi Ikan Sapu-Sapu

Salah satu contoh komoditi perikanan yang belum

dimanfaatkan secara optimal adalah ikan sapu-sapu

(Liposarcus pardalis). Ikan sapu-sapu ini bagi sebagian

besar petani dianggap sebagai hama, karena merupakan

kompetitor bagi ikan budidaya baik dalam habitat maupun

makanan, juga merusak sarang pemijahan ikan lain di

sekitarnya. Kemampuan adaptasinya tinggi dengan

mekanisme reproduksinya yang baik sehingga mampu

bertahan hidup dan mendominasi perairan tawar yang

dihuni (Prihardhyanto, 1995). Berikut ini beberapa

komponen nutrisi yang terdapat dalam ikan sapu-sapu

dalam bentuk basah protein 11,97%, abu 2,5% dan kering

71,11% , abu 14,90% (Anonim,2012).

24

Menurut Purnamasari dkk (2011), ikan sapu sapu

merupakan biota yang mengkonsumsi endapan endapan yang

telah tercemar kotoran maupun logam-logam berat,

ternyata mampu meningkatkan produksi dan kualitas telur

karena ikan sapu sapu memiliki kandungan protein yang

tinggi sekitar 33,3 – 41,7%, lemak berkisar 13,29-

22,97%, serat kasar berkisar 0,80-3,40%, gross energi

berkisar 3.290– 5.881 (kkal/kg), Ca berkisar 3,56 –

4,26%, dan P berkisar 0,92-0,99%.

b. Kandungan Nutrisi Keong Mas (Golden Snail)

Golden snail atau lebih dikenal dengan keong mas

(Pomacea Spp) merupakan sumber protein pakan yang

potensial karena kandungan proteinnya menyamai tepung

ikan (Sundari, 2004). Menurut Rochjat (2000), bahan

pakan sumber protein yang sangat disukai oleh itik

dalam bentuk segar adalah ikan rucah, cangkang udang

dan keong mas , namun pemberiannya haruslah dalam

ukuran yang cukup kecil untuk memudahkan itik

25

menelannya. Menurut Novalina (2011), pemberian keong

mas pada itik petelur mampu meningkatkakn produksi

mencapai 75 % dengan masa pakan per ekor sebanyak 91.67

gram/sekali makan. Pemberian keong mas pada itik dapat

menekan biaya pakan sebanyak 8.5% dari total biaya

pakan (Adam, 2010). Pemberian dalam bentuk segar dapat

menyebabkan pengaruh negatif terhadap ternak, yaitu

dapat menyebabkan penurunan produksi ternak karena di

dalam lendir keong tersebut terdapat suatu zat anti

nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan ternak, oleh

sebab itu dianjurkan menggunakan keong emas yang telah

direbus (Anonim, 2000).

6. Kebutuhan Nutrisi Itik

Pakan harus memenuhi standar kebutuhan nutrisi

yaitu yang mengandung zat-zat protein, karbohidrat,

lemak, vitamin, mineral, dan air dalam jumlah yang

cukup dan seimbang (Bambang, 2005). Pemberian serat

kasar yang tinggi pada bahan pakan akan menyulitkan

proses pencernaan pada unggas, karena unggas tidak

mempunyai mikro flora (walaupun ada jumlahnya belum

26

memadai untuk mencerna serat kasar) (Buwono, 2007).

Penggunaan dedak padi hingga 75% dalam ransum itik

petelur tidak mengganggu produksi telur, asalkan

kandungan nutrisi yang lainnya cukup (Rochjat, 2000)

Menurut Bambang (2005), konsumsi pakan untuk itik

petelur sebanyak 160 grama/ekor/hari dengan kebutuhan

nutrisi itik petelur yang biasa di gunakan di Indonesia

di rekomendasikan seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Kebutuhan Nutrisi Itik Petelur

Nutrisi PakanAnakItik

Dara Petelur

0-4minggu

5-20 minggu >21 minggu

Protein (%) 18-20 14-16 15-17Metabolisme Energi (kcal)

3.000 2.800 2.900

Serat Kasar (%) 4-7 6-9 6-9Lemak (%) 4-7 3-6 4-7Calsium (%) 0,90 0,80 0,80Fosfor (%) 0,70 0,70 0,50

(Bambang, 2005).

Pemberian pakan itik petelur dengan kadar protein

tinggi (18%) dapat memproduksi telur lebih baik

dibandingkan pakan dengan kadar protein lebih rendah

(16%), sedangkan energi metabolisme untuk itik yang

sedang bertelur adalah 2.700 kkal/kg (Anonim, 2000).

Pemberian kadar protein yang lebih rendah menyebabkan

27

telur yang dihasilkan lebih kecil, sedangkan bila kadar

energi pakan yang lebih rendah akan menyebabkan

penurunan produksi telur, tetapi tidak mempengaruhi

berat telur, sedangkan kebutuhan zat kapur dan fosfor

yang cukup tinggi dalam pakannya berkisar 3,0% Ca dan

0,60% P. Penurunan zat kapur hingga 1,25% dalam

pakan menyebabkan penurunan produksi telur dan kerabang

telur yang lebih tipis. Kekurangan zat fosfor akan

menurunkan nafsu makan dan menyebabkan pertumbuhan yang

terlambat, serta penurunan produksi dan berat telur.

Penambahan garam dapur 0,2% hingga 0,5% sudah dapat

menunjang pertumbuhan dan produksi telur yang baik

(Anonim, 2000)

BAB. III

MATERI DAN METODE PENELITIAN

A. Materi Penelitian

Materi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah

itik petelur Mojosari yang berumur ± 17 bulan milik

anggota kelompok peternak “Sukamaju”. Sebanyak 503

28

ekor, yang terdiri dari 480 ekor betina dan 23 ekor

jantan, terbagi dalam 13 kandang dan masing masing

kandang mempunyai 20-40 ekor itik betina dan jantan 1-3

ekor.

1. Alat Penelitian

a. Kandang koloni yang terbuat dari bambu, dimana

masing masing kelompok memiliki ukuran kandang 5 X

3 m, yang di lengkapi dengan tempat pakan dan

minum.

b. Timbangan. Untuk menimbang pakan digunakan

timbangan ohaus dengan kapasitas 15 kg.

c. Timbangan analitik untuk menimbang telur.

d. Kantong plastik digunakan membungkus pakan sebelum

diberikan pada ternak.

2. Bahan Penelitian

a. Dedak, jagung, Nasi Aking dan konsentrat komersial

produksi PT Japfa Comfeed Sidoarjo yang

mengandung kadar air minimal 10%, protein kasar

minimal 38%, lemak kasar 3,5%, serat kasar

29

maksimal 5%, abu maksimal 42%, kalsium 13-15%,

phosfor 1-5% dan antibiotik dan bahan kering 90%.

b. Air bersih, diberikan secara adlibitum sebagai air

minum.

c. Sekam padi sebagai alas kandang tempat bertelur.

d. Keong mas dan ikan sapu-sapu sebagai pakan

tambahan.

B. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelititan

Penelitian ini di laksanakan di kelompok ternak

itik “Sukamaju” Dasan Cermen, Kecamatan Sandubaya, Kota

Mataram. Analisis kandungan bahan pakan yang diberikan

di lakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak

Fakultas Peternakan Universitas Mataram.

2. Pelaksanaan Penelitian

1. Mengevaluasi dan mengontrol pakan yang akan

diberikan pada ternak iti di masing-masing

kandang.

30

2. Menghitung jumlah itik dan jumlah pakan yang

diberikan untuk menghitung jumlah konsumsi itik

dan harga pakan perekor per hari.

3. Membuat campuran pakan yang terdiri dari dedak,

jagung,nasi aking dan konsentrat dengan

perbandingan (8:1:1:1) sebagai kontrol.

4. Menimbang jumlah pakan yang diberikan pada setiap

pemberian pakan pagi dan sore hari.

5. Menghitung jumlah produksi telur setiap pagi hari

pada masing masing kandang.

3. Perlakuan Penelitian

Sebanyak 503 ekor yang terdiri dari 480 ekor

betina dan 23 ekor jantan, terbagi dalam 15 kandang

dan masing masing kandang mempunyai 20-40 ekor itik

betina dan jantan 1-3 ekor. Air minum diberikan secara

adlibitum dan pakan diberikan 2 kali sehari yaitu pada

pagi hari jam 08.00 dan sore hari jam 16.00, pakan yang

diberikan terdiri dari 3 perlakuan sebagai berrikut :

Perlakuan A = Dedak, jagung,Nasi aking dan

konsentrat dengan perbandingan 8:1:1:1

31

Perlakuan B = Seperti pada perlakuan A plus Keong

Mas

Perlakuan C = Seperti pada perlakuan A plus Ikan

Sapu-Sapu

Kandungan nutiren masing msing perlakuan tertera pada

tabel 5 .

Tabel 5. Kandungan Nutrien dari Susunan Pakan Masing-Masing Perlakuan dalam Penelitian.

Kandungan Nutrien 

Perlakuan

A B CBK(%) 90,7 90,2 92,5PK(%) 15,9 21,4 18,8SK(%) 10,5 9,3 9,3Ca(%) 1,5 5,5 1,8P(%) 1,5 1,3 1,4Energi Kkal/kg 2.225 2.477 1.9974. Variabel Yang Diamati

a. Variabel Pokok

1. Jumlah konsumsi pakan yang diberikan

2. Produksi telur setiap hari

b. Variabel Penunjang

1. Kandungan nutrisi dari jenis pakan yang di

beriakan

2. Bobot telur

3. Konversi pakan

5. Rancangan Percobaan

32

Rancangan percobaan yang di gunakan dalam

penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL)

dengan ulangan beda yaitu pada perlakuan A empat

ulangan, perlakuan B enam ulangan, dan perlakuan C tiga

ulangan. Data yang di peroleh di analisis dengan

menggunakan ANOVA dan apabila beda nyata di lanjutkan

dengan (uji- Duncan) untuk membandingkan antara

masing- masing perlakuan.

Tabel Layout Penelitian :

Ulangan

PerlakuanA B C

Jumlah Telur(%)

Jumlah Telur(%)

Jumlah Telur(%)

1 - - -2 - - -3 - - -4 - -5 -6 -

Rata-Rata -

Keterangan :

- Perlakuan A= Dedak, Jagung,Nasi akingdan Konsentrat.

- Perlakuan B = Dedak, Jagung ,Nasi akingdan Konsentrat + Keong Mas

- Perlakuan C= Dedak, Jagung,Nasi akingdan Konsentrat + Ikan Sapu-Sapu.

33

BAB. IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Jumlah Konsumsi Pakan

Jumlah konsumsi pakan itik yang dipelihara oleh

kelompok ternak “Sukamaju” Dasan Cermen dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Konsumsi Pakan Itik yang Diberi PakanBerbeda (gram/ekor/hari)

Bahan Pakan Perlakuan

  A B CDedak 128 128 128Jagung 16 16 16Nasi aking 16 16 16Konsentrat 16 16 16Keong Mas* - 27 -Ikan Sapu-Sapu* - - 27Total 176 203 203

34

*. Berdasarkan berat kering

Perlakuan A merupakan standar yang digunakan oleh

sebagian anggota kelompok, dan B menggunakan keong mas

sebagai salah satu bahan pakan itik. Kelompok C

cenderung menambahkan ikan sapu-sapu selain dedak,

jagung dan konsentrat. Dengan demikian, jumlah pakan

tambahan yang diberikan pada perlakuan B dan C sekitar

16,8% lebih tinggi dari A. Menurut Novalina (2011),

makanan merupakan salah satu faktor yang sangat

berpengaruh pada produksi telur itik dan itik petelur

membutuhkan pakan sebanyak 160 gram/ekor/hari. Apabila

di bandingkan dengan konsumsi pakan yang di anjurkan

oleh (Anonim, 2000), berdasarkan hasil survei yang

dilakukan terhadap peternak itik diketahui bahwa jumlah

pakan yang digunakan oleh peternak terbukti sangat

berlebihan, yaitu rata-rata sebanyak 380

gram/ekor/hari, jauh melebihi jumlah yang dianjurkan

yaitu hanya sebanyak 150 gram/ekor/hari. Kelebihan

dalam jumlah pemberian pakan mengakibatkan jumlah

energi metabolis dan protein kasar yang dikonsumsi

juga lebih lebih tinggi. Konsumsi pakan yang diberikan

35

oleh kelompok A pada penelitian ini sudah sesuai

dengan kebutuhan itik secara kuantitas, namun belum

menjamin jumlah tersebut memenuhi kebutuhan nutisi

itik. Apabila dilihat dari perbandingan total jumlah

konsumsi bahan pakan yang diberikan, pada perlakuan A

itik mengkonsusmsi jumlah dedak sebanyak 80%, jagung

10%, dan 10% konsentrat, dengan melebihi penggunaan

dedak padi yang di anjurkan oleh Rochjat (2000) bahwa,

penggunaan dedak padi hingga 75% dalam ransum itik

petelur tidak mengganggu produksi telur, asalkan

kandungan nutrisi yang lain cukup. Namun bila di lihat

penambahan protein hewani pada perlakuan B dan C

sebanyak 16,8% /ekor/hari dalam bentuk berat kering,

penambahan protein hewani di harapkan mampu melengkapi

kebutuhan nutrisi itik petelur sehingga produksi telur

maksimal. Penambahan jumlah protein hewani yang berbeda

tentu akan memberikan respon produksi yang berbeda.

Pemilihan bahan pakan yang diberikan harus sesuai

dengan kebutuhan gizi itik, terutama apabila itik

dipelihara secara intensif. Bahan pakan untuk itik

secara umum sama dengan bahan pakan untuk ayam, namun

36

itik memiliki kemampuan mencerna serat kasar lebih

tinggi di bandingkan dengan ayam. Menurut Buwono

(2007), pemberian serat kasar yang terlalu tinggi pada

bahan pakan akan menyulitkan proses pencernaan pada

unggas, karena unggas tidak mempunyai mikro flora

(walaupun ada jumlahnya belum memadai untuk mencerna

serat kasar).

2. Jumlah Konsumsi Nutrien Pakan

Jumlah konsumsi nutien pakan dapat dihitung

dengan mengalikan kandungan nutiren bahan pakan (Tabel

3) dengan jumlah konsumsi berat kering pakan yang

diberikan setiap hari (Tabel 6). Tabel 7 adalah jumlah

konsumsi nutrien bahan pakan yang diberikan.

Tabe 7. Konsumsi Nutrien Masing-Masing Bahan Pakan/ekor/hari

Perlakuan

Jenis Bahan Pakan

  Kandungan Nutrien           

BK PK SK Ca P Energi

Gram Kkal/kg

 A

 

Dedak 116,62

17,96

15,63 0,15 1,93 259,5

8

Jagung 14,11 1,42 0,35 0,00 0,04 53,26

Nasi 7,47 1,26 - - -

37

Aking 50 44Konsentrat

14,40 6,08 0,08 2,24 0,48 43,20

Total 145,13

32,935

17,324 2,40 2,45 356,0

5

B

Dedak 116,62

17,96

15,63 0,15 1,93 259,5

8

Jagung 14,11 1,42 0,35 0,00 0,04 53,26

Nasi Aking - 7,47

501,2644 - - -

Konsentrat

14,40 6,08 0,80 2,24 0,48 43,20

Keong Mas

23,60

14,63 0,64 7,92 0,04 107,2

8

Total 168,73

47,565

17,964

10,32 2,48 463,3

3

Dedak 116,62

17,96

15,63 0,15 1,93 259,5

8

Jagung 14,11 1,42 0,35 0,00 0,04 53,26

Nasi Aking - 7,47

501,2644 - - -

Konsentrat

14,40 6,08 0,80 2,24 0,48 43,20

Ikan Sapu

27,78 9,86 0,94 1,11 0,26 17,53

 Total 172,91

42,795

18,264 3,51 2,71 373,5

8Keterangan : Superskrip yang sama pada baris

yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Perlakuan A : Dedak+Jagung+Nasi Aking +KonsentratPerlakuan B : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+Keong MasPerlakuan C : Dedak+Jagung+Nasi Aking +Konsentrat+Ikan Sapu Sapu

38

Berdasarkan hasil hitungan kandungan nutrien pakan

di atas, jumlah selisih protein yang di konsumsi pada

perlakuan A 14,64 gram (53,8%) lebih rendah di

bandingkan perlakuan B. Perlakuan B memperoleh selisih

konsumsi protein lebih tinggi 4,77 gram (17,5%) di

bandingkan dengan perlakuan C dan perlakuan C

memperoleh selisih konsumsi protein lebih tinggi 9,8

garam (36,28 %) di bandingkan dengan perlakuan A.

Menurut Bambang (2005), kebutuhan standar protein bagi

itik yang sedang bertelur 15-17% atau sebanyak 27,2

gram/ekor/hari. untuk itik periode bertelur, pemberian

pakan dengan kadar protein tinggi (18%) dapat

memproduksi telur lebih baik dibandingkan pakan dengan

kadar protein lebih rendah 16%. Anonim (2000). Tinggi

rendahnya protein yang dikonsumsi oleh ternak akan

berpengaruh pada tinggi rendahnya produksi, namun

konsumsi protein yang tinggi tanpa penyerapan yang

maksimal tidak akan memberikan respon produksi yang

baik.

Selisih intake energi pakan pada perlakuan A dan B

sebanyak 107 kkal/kg, hal ini di sebabkan pada

39

perlakuan B adanya penambahan protein hewani asal keong

yang memiliki energi metabolisme sebayak 3,971 Kkal/kg.

Hasil penelitian ini memiliki intake yang lebih tinggi

dari penelitian yang di lakukan oleh Yose (2012), yang

menyatakan bahwa, konsumsi intake energi unggas

sebanyak 350 Kkal/kg /hari pada suhu 22 0C. Sedangkan

antara perlakuan A dan C memiliki selisih energi pakan

sebanyak 17,58 Kkal/kg.

Imbangan protein dan energi perlu di perhatikan

dalam penyusunan ransum, apabila protein terlalu tinggi

dan energi pakan rendah, maka ternak akan cendrung

mengkonsumsi banyak pakan dan evisiensi akan berkurang,

dan sebaliknya apabila terlalu banyak energi feed

intake akan berkurang dan berpengaruh pada pertumbuhan

dan produksi. Dengan demikian dalam menyusun ransum

harus memperhatikan standar imbangan protein dan energi

yang telah di tetapkan.

3. Jumlah Produksi Telur

Jumlah produksi telur (%) merupakan perbandingan

antara jumlah telur yang dihasilkan di bandingkan

dengan jumlah betina. Respon penambahan keong mas dan

40

ikan sapu-sapu terhadap rataan produksi telur (%), yang

di lakuakan selama penelitian dapat di lihat pada tabel

8.

Tabel 8. Rata-Rata Produksi Telur (%) Sebagai ResponPenambahan

Keong Mas dan Ikan Sapu-Sapu yang Diberikan PadaRansum.

ULANGAN  

PELAKUAN  

  A B C1 42,01 75,26 92,682 59,52 72,62 90,813 37,38 85,0 88,294 22,56 54,88  5   70,37  6   71,03  

Rata-rata 40,37a±15,2 71,52b ±12,5 90,59b ±2,2

Keterangan : Superskrip yang sama pada baris yangsama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P< 0,01)

Perlakuan A : Dedak+Jagung +Nasi Aking+KonsentratPerlakuan B : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+Keong MasPerlakuan C : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+ Ikan Sapu Sapu

Hasil analisis statistik pada tabel 6 menunjukkan

bahwa penambahan protein hewani ikan sapu-sapu (C)

berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi

telur (P<0,01) di bandingkan kelompok itik (A) yang

tidak mendapatkan tambahan perlakuan protein hewani.

41

Hal ini di sebabkan karena penambahan protein hewani

dapat merangsang pembentukan sel telur sehingga mampu

meningkatkan produksi (Supriyadi, 2011). Apabila

dilihat selisih produksi telur perlakuan C lebih tinggi

(19,07 %) di bandingkan produksi telur B, karena ikan

sapu-sapu yang ada pada perlakuan C banyak mengandung

asam-amino yang lebih lengkap dibandingkan dengan asam-

amino yang ada dalam keong mas (Iistanti, 2005).

Disamping itu Pemberian keong mas dalam bentuk segar

dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap ternak,

yaitu dapat menyebabkan penurunan produksi karena di

dalam lendir keong tersebut terdapat suatu zat anti

nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan ternak, oleh

sebab itu dianjurkan menggunakan keong emas yang telah

direbus (Anonim, 2000). Selanjutnya, tingginya kadar

kalsium pada keong mas diduga dapat menghambat

penyerapan protein sehingga berdampak pada rendahnya

protein yang mampu di serap dan akan menurunkan

produksi telur.

Pada perlakuan B bila dilihat secara spesifik

rata-rata produksi telur mencapai >70% hasil

42

penelititan ini sejalan dengan penelitian (Novalina,

2011), menyatakan baahwa pemberian keong mas pada itik

petelur mampu meningkatkakn produksi mencapai >70 %

dengan massa pakan tambahan per ekor sebanyak 91.67

gram/hari. Karena dengan penambahan protein hewani pada

fase layer sangat berperan dalam dalam proses

pembentukan telur (Supriyadi, 2011). Selanjutnya, untuk

dijadikan pakan ternak, keong mas dapat digunakan

seluruh tubuhnya sebagai sumber protein dan mineral

(Sri, 2010). Diantara perlakuan A dan perlakuan B pada

analisis statistik menujukkan bahwa pada perlakuan B

memiliki produksi yang lebih tinggi pada tingkat beda

nyata (P<0,05), dengan selisih produksi 31,15%

dibandingkan dengan perlakuan A. Hal ini disebabkan

karena pada perlakuan A tidak ada penambahan protein

hewani, hanya memiliki tambahan protein dari pemberian

konsentrat 10% dan protein nabati dari jagung yang

diberikan sebanyak 10% dari total ransum/ekor. Dihitung

berdasarkan kebutuhan nutrisi belum mencukupi kebutuhan

protein untuk layer sebanyak 15-17% (Bambang, 2005).

4. Bobot Telur

43

Berikut ini adalah rataan hasil penimbangan telur

yang di lakukan selama penelitian berlangsung tertulis

dalam tabel 9 berikut ini :

Tabel 9. Rataan Bobot Telur Sebagai Respon dariPemberikan Pakan Berbeda

Ulangan Perlakuan

A B C1 68,69 69,08 70,292 66,69 69,16 69,423 67,31 68,89 69,954 67,70 68,945 69,096 68,91

Rata – Rata67,60a

±0,8469,01a

±0,11 69,89a±0,43Keterangan : Superskrip yang sama pada baris yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)Perlakuan A: Dedak+Jagung+Nasi Aking +KonsentratPerlakuan B: Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+Keong MasPerlakuan C: Dedak+Jagung+Nasi Aking +Konsentrat+ Ikan Sapu Sapu

Hasil satatistik pada Tabel 9 menujukkan bahwa,

bobot telur pada perlakuan A,B dan C, tidak berbeda

nyata (P>0,05), berarti pemberian pakan dari ketiga

perlakuan tersebut memiliki bobot telur yang dianggap

sama, karena bobot telur lebih besar kaitanya dengan

bobot badan awal dan dewasa kelamin pada itik, semakin

tinggi bobot badan awal produksi, maka berpengaruh pula

pada tingginya bobot telur yang di capai (Supriyadi,

44

2011). Apabila di lihat secara spesifik bobot telur

perlakuan B dan C lebih tertinggi di bandingkan dengan

perlakuan A, karena adanya penambahan kalsium dari

keong mas dan ikan sapu-sapu yang dapat meningkatkan

ketebalan kerabang dan diduga dapat menambah bobot

telur.

Bobot telur di atas (Tabel 9) dapat di jadikan

acuan dalam menghitung konversi pakan yang merupakan

hasil bagi dari jumlah konsumsi pakan dibagi dengan

bobot telur yang di hasilkan. Konversi pakan yang di

hasilkan dari penelitian tersebut memiliki rata-rata

sebagai berikut:

5. Konversi Pakan

Konversi pakan merupakan perbandingan antara

jumlah pakan yang diberikan dengan bobot telur yang di

hasilkan . Rataan konversi pakan komulatif setiap

perlakuan selama penelitian di sajikan dalam Tabel 10

berikut ini :

Tabel 10. Rataan Konversi Pakan Sebagai Respon dariKetiga Jenis Perlakuan Pakan yang Diberikan

45

Ulangan

Perlakuan

A B C1 2,329 2,707 2,6722 2,399 2,704 2,7053 2,377 2,715 2,6854 2,363 2,7135 2,7076 2,714

Rata –Rata2,367a ±0,029

2,710b ±0,004

2,687b±0,016

Keterangan : Super skrip yang beda pada baris yang samamenunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Perlakuan A : Dedak+Jagung +Nasi Aking+KonsentratPerlakuan B : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+Keong MasPerlakuan C : Dedak+Jagung +Nasi Aking+Konsentrat+ Ikan Sapu Sapu

Hasil analisis statistik (Tabel 10), menunjukkan

bahwa penambahan keong mas dan ikan sapu-sapu dalam

pakan nyata meningkatkan konversi pakan (P<0,05)

dibandingkan control. Hal ini disebabkan karena adanya

penambahan pakan sumber protein hewani sebanyak, 27

gram/ekor/hari pada perlakuan B dan C (Tabel 6) diikuti

oleh peningkatan bobot telur (Tabel 9), sehingga

dihasilkan konversi pakan yang meningkat nyata pada

perlakuan B dan C. Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang di laporkan Septyana (2008), menyatakan

bahwa penambahan keong mas pada itik petelur mampu

46

meningkatkan produksi telur tetapi dapat meningkatkan

konversi pakan dari 3,10 menjadi 3,35. Hasil penelitian

ini memiliki rataan konversi pakan yang lebih baik

(2.58), bila di bandingkan dengan hasil penelitian

yang di laporkan Subhan (2010), menyatakan bahwa,

pemberian tepung keong mas sebanyak 6% dalam pakan itik

memberikan respon pada konversi pakan sebanyak 4.01.

.

47

BAB. V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Manajemen pemberian pakan dengan penambahan ikan

sapu-sapu pada pakan sebanyak 16,8% meningkatkan

produksi telur (P<0,01) mencapai 90,59 ±2,2 %,

sedangkan penambahan keong mas meningkatkan

produksi telur (P<0,05) mencapai 71,52 ±12,5, serta

berpengaruh pula pada meningkatnya konversi pakan

2. Jumlah konsumsi protein tertinggi ada pada perlakuan

penambahan keong mas, tetapi tidak menunjukan

respon produksi tertinggi apabila dibandingkan

dengan penambahan ikan sapu-sapu.

3. Meningkatnya produksi telur juga meningkat konversi

pakan karena bertambahnya jumlah konsumsi yang

diberikan.

48

B. Saran

Penggunaan keong mas sebaiknya direbus terlebih

dahulu untuk menghilangkan zat antinutrisi sehingga

tidak berpengaruh pada proses pencernaan dan penyerapan

yang akhirnya mengurangi validnya hasil penelitian.

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

produktifitas itik petelur yang diberikan pakan

berbeda, yaitu pemberian pakan tambahan keong mas dan

ikan sapu-sapu, penelitian ini dilakukan pada bulan

September 2014 – November 2014. Di kandang kelompok

ternak “Sukamaju” yang berada di Kelurahan Sandubaya,

Dasan Cermen, Lombok Barat. Materi yang digunakan dalam

49

penelitian ini adalah itik petelur (itik Mojosari) yang

berumur ± 17 bulan, sebanyak 503 ekor, dan masing

masing kandang ternak dari 20-40 ekor itik betina dan

1-3 ekor jantan. Rancangan yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)

dengan 3 perlakuan dan ulangan yang berbeda yaitu : P1

= Perlakuan kontrol dengan pemberian pakan (dedak,

jagung dan konsentrat) terdiri dari 4 ulangan, P2 =

Perlakuan kedua adalah pemberian pakan (dedak, jagung,

konsentrat dan keong mas) terdiri dari 6 ulangan dan P3

= Perlakuan ketiga adalah pemberian pakan (dedak,

jagung, konsenttrat dan ikan sapu-sapu) terdiri dari 3

ulangan. Parameter yang diamati adalah produksi telur

harian, konsumsi pakan, kandungan nutrisi dari jenis

pakan yang diberikan, bobot telur, konversi pakan. Data

yang di peroleh dalam penelitian tersebut di analisis

menggunakan (ANOVA) dan apabila berbeda nyata

dilanjutkan dengan uji (Duncan) untuk membandingkan

masing-masing perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ikan

sapu- sapu menunjukkan pengaruh yang sangat nyata

50

(P<0,01) terhadap peningkatan produksi telur harian

itik, dan penambahan keong mas berpengaruh nyata

(P<0,05) terhadap peningkatan produksi telur apabila di

bandingkan dengan kontrol. Rata-rata peningkatan

produksi telur (%) masing-masing perlakuan adalah : P1

= 40.37%, P2 = 71.52% dan P3= 90.59%. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa penambahan ikan sapu-sapu dalam

pakan dapat meningkatkan produksi telur itik di

bandingkan dengan pemberian keong mas.

51

DAFTAR PUSTAKA

Adam, S, 2010. Pakan Alternatif Itik. http:// adamspesies08.blogspot. com/ 2010 03 01 archive.html

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga SatuGunung Budi. Bogor.

Anonim, 2012. Karakteristik Eksterior, Produksi Dan Kualitas Telur ItikAlabio. http:// www. unlam .ac.id/bioscientiae.

Anonim, 2012. Pengembangan Produksi Pangan Alternatif: Otak-OtakIkan Sapu-Sapu. http: //bandarayasnack.com/otak-otak/

Anonim. 2000. Penyusunan Ransum Untuk Itik Petelur.http/blogspot.com/p/catatan.html. Jakarta

Bambang, 2012. Beternak Itik Petelur Di Kandang Baterai. PenebarSwadaya.

Bambang dan Khairul, 2005. Beternak Itik Secara Intensif.Penebar Swadaya.

52

Bambang dan Dede. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya.Jakarta

Bank Indonesia, 2012. Usaha Itik Petelur (Pola PembiayaanSyariah). Direktorat Kredit, BPR Dan UMKM, Email :[email protected]

Biyatmoko, D. 2005. Disain Pengembangan Itik Di KalimantanSelatan Tahun 2006-2010. Dinas Peternakan ProvinsiKalimantan Selatan, Banjarbaru.

Bonar, S. 2012.http://Yosyhombing.Blogspot.Com/2012/04/Formula-Kebutuhan-Nutrisi-Ternak-Itik .Html

Buwono, 2007. Pengaruh tingkat protein pakan dan frekuensiPemberian pakan terhadap kinerja itik mojosari (Anasdomesticus) jantan periode awal. Fakultas PeternakanBarawijaya Malang.

Hardi. P, 2006. Sistem Pemeliharaan Itik Petelur MA. TabloidSinar Tani, 27 September

Ismoyowati dan Suswoyo, 2009. Peroduksi Telur Dan PendapatanPeternak Itik Pada Pemeliharaan Secara Gembala Dan TerkurungDi Daerah Pertanian Dan Perikanan. Fakultas PeternakanUniversitas Jendral Sudirman Purwokerto.

Istanti, 2005. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap KarakteristikKerupuk Daging Ikan Sapu-Sapu. Program Studi TeknologiHasil Perikanan Fakultas Perikanan Dan IlmuKelautan. Institut Pertanian Bogor

Permentan, 2011. Pedoman Pembibitan Ayam Ras Yang Baik.Tanggal : 15 juli 2011.

Prihardhyanto, A. 1995. Beberapa Aspek Biologi Ikan Sapu-sapu(Hypostomus sp dan Lyposarcus pardalis) SuatuTinjauan Ringkas. FMIPA. UI.

53

Rochjat, 2000. Penyusunan Ransum Untuk Itik Petelur. BadanPenelitian Dan Pengembangan Pertanian InstalasiPenelitian Dan Pengkajian Teknologi Pertanian.Jakarta.

Sandhy, 2011. Beternak Itik Tanpa Air. Penebar Swadaya.

Sasongko, 2007. Beternak Itik. PT. Intan Sejati, Klaten,Yogyakarta

Septyana, 2008. Performa Itik Petelur Lokal Dengan PemberianKeong Mas Dan Daun Katuk, Fakultas PeternakanInstitut Pertanian Bogor.

Sudarman, 2010. Panduan Budidaya Dan usaha Ternak Itik. BalaiPenelitian Ternak, Ciawi Bogor.

Sohibul, 2008. Mengenal Beberapa Jenis Itik Petelur Lokal.Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.

Subhan, 2010. Pemanfaatan Pakan Lokal Sebagai Pakan Itik Petelur.Fakultas Peternakan Universitas Andalas.

Sundari, 2004. Evaluasi Energi Metabolis Tepung Keong Mas(Pomacea Spp) Pada Itik Lokal Jantan. Buletin Pertaniandan Peternakan 5(10):115-123.

Supriyadi, M.M, 2011. Beternak Itik Hibrida Unggul . Jakarta,Penebar Swadaya.

Supriyadi, M.M, 2011. Panduan Lengkap Itik. Jakarta,Penebar Swadaya.

Ketaren dan H. Prasetyo (2002).Pengaruh Pemberian PakanTerbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (Ma):1. Masa Bertelur Fase Pertama Umur 20-43 Minggu. BalaiPenelitian Ternak, Bogor , Indonesia.

54

Yose, 2012. Energi Metabolisme Pada Unggas. Program StudiIlmu Ternak Program Pascasarjana UniversitasAndalas.

55