TUGAS MAKALAH ETIKA TERAPAN ETIKA DEMONSTRASI DITINJAU DARI DARI PERSPEKTIF TEOLOGIS oleh: PITRI...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of TUGAS MAKALAH ETIKA TERAPAN ETIKA DEMONSTRASI DITINJAU DARI DARI PERSPEKTIF TEOLOGIS oleh: PITRI...
TUGAS MAKALAH ETIKA TERAPAN
ETIKA DEMONSTRASI DITINJAUDARI DARI PERSPEKTIF TEOLOGIS
oleh: PITRI SARTIKA SIHOTANG
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam negara demokrasi, demonstrasi damai adalah
aktifitas legal untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang
dinilai tidak populer atau guna menyuarakan aspirasi rakyat.
Kendati demikian, sebagai negara yang beradab, demonstrasi
tentunya harus dilakukan dengan aksi-aksi yang memiliki nilai
etik kepatutan rakyat. Rasa keadilan serta keinginan untuk
hidup lebih sejahtera merupakan keinginan dari seluruh rakyat
dimanapun dia berada. Namun apabila rakyat tidak mendapatkan
sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh penguasa ataupun
pemerintah untuk hidup lebih baik, rakyat akan melakukan unjuk
rasa atau demonstrasi tujuannya adalah untuk mewujudkan
keadilan dan ketertiban. Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan
salah satu bagian dari kehidupan demokrasi di suatu negara,
karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk
mengungkapkan pendapat dimuka umum. Tetapi aksi unjuk rasa atau
demonstrasi yang terkadang disertai juga dengan tindakan yang
tidak bertanggungjawab tentunya bertentangan dengan tujuan dari
1
unjuk rasa atau demonstrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaanya adalah sikap pro
dan kontra yang ditujukan sebagai respon dari pengalaman yang
telah disaksikan dalam sejarah terjadinya aksi demonstrasi.
Tragedi Tiananmen di Cina, hingga peristiwa 1998 di Indonesia
telah menjadi contoh bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah
menjadi bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan
berkembang. Tetapi, perlu dipahami bahwa pelaksanaan aksi
demonstrasi adalah dibenarkan, tetapi dengan nilai, pola dan
sistem yang telah ditentukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Demonstrasi
Menurut pandangan beberapa tokoh tentang pengertian
2
demokrasi secara teminologis (istilah) dalam A.S. Ma’arif,
yaitu: Pertama, Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di
mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan
cara perjuangan kompetitif atas sura rakyat. Kedua, Sidney
Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-
keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan
secara bebas dari rakyat. Ketiga, Pilippe C. Schmitter dan
Terry Lynn Karl, demokrasi sebagai sistem pemerintahan di mana
pemerintah diminta tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka
di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara
tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para
wakil mereka yang telah dipilih.1 Demonstrasi pada umumnya
dikenal dengan nama sebagai aksi massa yang memperjuangkan
tentang hal-hal tertentu, baik yang mendukung ataupun menolak.
Penulis mengutip pendapat Kaelan dalam Darji Darmadiharjo
yang menjelaskan bahwa, ”kata demonstrasi berasal dari saduran
frasa bahasa Yunani, (demoskratein). berarti
rakyat, dan berarti pemerintahan. Jadi, menurut bahasa
asalnya, Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari
rakyat. Pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.2 Sehingga demokrasi secara etimologi diartikan
sebagai pemerintahan rakyat, yaitu keadaan negara di mana dalam1 A. S. Ma’arif, Politik Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), halaman 32 Darji Darmadiharjo, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), halaman 9
3
sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat,
rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh
rakyat, atau yang kini lebih kita kenal sebagai pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat.
Pengertian ini dapat dipahami bahwa gerakan atau aksi yang
dilakukan adalah untuk menunjukkan sikap yang menolak dengan
memberikan pengaruh melalui penekanan dalam aksi untuk
menyampaikan pendapat. Demonstrasi merupakan alternatif dalam
menanggapi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak
menggutungkan kehidupan bersama. Dengan berbagai format atau
metode sendiri masyarakat mencoba mempresentasi hak idealnya
kepada pemerintah. Dengan melakukan diplomasi dengan pemerintah
metode ini digunakan sebelum aksi demonstrasi. Diplomasi adalah
suatu cara yang digunakan untuk menyampaikan aspirasi,
argumentasi dan solusi kepada pemerintah secara langsung tanpa
peragaan seperti demonstrasi. Dalam diplomasi aspirasi
disampaikan tidak secara terang-terangan di depan umum namun
antara seorang delegasi dengan pemerintah di suatu tempat tanpa
tema tertentu. Oleh karena itu, demonstrasi merupakan suatu hal
yang lebih bersifat reaktif daripada sebuah upaya sistematis
dan proaktif untuk perbaikan bangsa. Jadi kata dasar
demonstrasi tersebut diambil dari pengertian demokrasi sebagai
bentuk dari penyampaian suara rakyat kepada suatu lembaga,
dinas, pemerintahan atau negara. Selanjutnya, penulis mengutip
4
pendapat Saldi Isra yang menjelaskan bahwa, “Pengertian
demonstrasi atau unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah
sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di
hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan
pendapat kelompok penentang kebijakan atau dapat pula dilakukan
sebagai sebuah upaya penekanan secara politik dari kepentingan
suatu kelompok”.3
Dengan demikian, maka meneguhkan egalitarianisme dan
kesantunan politik yang pada intinya bahwa demokrasi dapat
dijalankan dengan demokratisasi, termasuk di dalamnya
demonstrasi. Oleh karena itu, maka demokrasi berkaitan erat
dengan demontrasi. Mengutip pendapat Nurcholis Madjid dalam
Muhari yang mengatakan bahwa, “Nilai demokrasi yang abstrak
menjadi lebih aplikatif untuk mempermudah dijabarkan serta
diterapkan dalam kehidupan sosial-politik Indonesia sebagai
tegaknya demokratisasi di Indonesia.4
B. Kilas Balik Sejarah Singkat Pelaksanaan Demonstrasi
Berawal dari kemenangan negara-negara sekutu (Eropa Barat
dan Amerika Serikat) terhadap negara-negara axis (Jerman,
Italia & Jepang) pada Perang Dunia II (1945), dan disusul
kemudian dengan keruntuhan Uni Soviet yang berlandasan paham
Komunisme di akhir Abad XX, maka paham Demokrasi yang dianut3 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2011), halaman 74 Muhari, Norma-norma Yang Menjadi Pandangan Hidup Demokratis, (Surakarta, US-Press, 2006), halaman 12
5
oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara menjadi paham
yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa
ini. Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi
demokrasi, untuk di Asia Tenggara Indonesia adalah negara yang
paling terbaik menjalankan demokrasinya. Sejak diperkenalkannya
etika politik demokrasi di dunia ini, sebagai maka penegakkan
hukum dan keadilan seakan mulai memperlihatkan kekuatan yang
sebenarnya. Sejak diperkenalkannya paham trias politica berdasarkan
pandangan dari Montesquie lebih menekankan perlu adanya
pembagian kekuasaan sebagai sarana untuk menjamin adanya
perlindungan terhadap hak-hak sipil, yang dikemudian hal ini
dikembangkan oleh seorang negarawan Pracis yang bernama Jean
Jaques Rousseau. Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak
masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi
perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa
model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan
lainnya.
Perjalanan sejarah sistem politik dan penegakan hukum
Indonesia selama ini menunjukkan suatu bukti bahwa semata-mata
konstitusi dalam wujud UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam
kehidupan sistem politik yang demokratis maupun penegakan
hukum. UUD 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan,
masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-
1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-
Sekarang). Semuanya ternyata menunjukkan corak dan karakter
6
kepemerintahan yang berbeda satu periode dengan periode
lainnya. Periode-periode ini mempunyai suasana dan pola
pelaksanaan masing-masing, yang dicatat oleh sejarah
perjalannya.5 Sejarah dunia mencatat, beberapa prinsip demokrasi
yang diwujudkan dalam aksi demonstasi antara lain, revolusi
Inggris, revolusi Prancis, revolusi people power di Filipina, dan
akhir-akhir ini adalah terjadinya pergolakan di sekitar dunia
Timur Tengah, yaitu negara Suriah, Afganistan, Pakistan, Irak
dan beberapa negara lainnya, termasuk daerah Efrika seperti
Alzajair, dan Zimbahwe, Togo dan Mozambik.
Dari kejadian-kejadian yang terjadi di atas, maka
disimpulkan bahwa nilai pelaksanaan dari aksi demonstrasi
pernah membawa perubahan yang bersejarah dalam lembaran sejarah
sebuah negara. Beralihnya sistem dari falsafah sebuah negara,
membawa dampak perubahan besar, walaupun pada satu sisi membawa
beberapa dampak negatif. Namun hal tersebut sebagai harga mahal
yang harus dibayar mahal untuk mencapai tingkat demokrasi
politik yang sesungguhnya dalam sebuah sistem pemerintahan yang
diawasi langsung oleh rakyat sebagai pemegang tampuk kekuasaan
tertinggi.
C. Faktor Penyebab Timbulnya Aksi Demonstrasi
Saat ini hampir bagi semua orang demonstrasi dipandang dan
diyakini sebagai satu-satunya cara efektif dalam mewujudkan5 Oleh penulis berdasarkan analisa terhadap kenyataan yang ditayangkan
media dalam cetak maupun penyiaran.
7
aspirasi rakyat. Meskipun aksi demonstrasi itu dinilai tidak
lagi eksklusif di kalangan mahasiswa dan kampus, namun harus
bahwa demonstrasi sudah merembes ke tingkat politik lokal
seperti di kawasan pedesaan, kecamatan maupun tingkat
pemerintahan daerah lainnya. Penolakan terhadap Pilkades,
tuntutan akan harus mundurnya para kepala desa, camat atau
bupati merupakan bukti ekspansi atau perluasan tren demonstrasi
di kalangan masyarakat.
Menurut Muhari, bahwa tererdapat tiga prakondisi dasar
mengapa demonstrasi muncul sebagai primadona dalam penyelesaian
masalah sosial dan pemerintahan, yaitu “Pertama, ketidak-
sensitifan para pemegang kekuasaan, administrator dan birokrasi
dalam merespon aspirasi serta opini publik. Kedua, masyarakat
terlalu lama hidup dalam ketertekanan utamanya dari segi
konteks politik. Ketiga, mentalitas aparatur yang berdasarkan
pada pembenaran patron-client relationships menyebabkan rakyat tidak
berdaya.6 Selama ini rakyat harus tunduk kepada penguasa. Hal
ini malah bersifat eksploitatif. Singkatnya, demonstrasi muncul
sebagai luapan emosi banyak orang yang terlalu lama terpendam
dan tidak mempunyai sarana efektif untuk menyalurkan
permasalahannya. Tetapi dalam hal ini, pelampisan emosi amarah
dari para masa sering memakan korban harta benda bahwa nyawa.
Contoh kasus adalah kasus demonstrasi yang dilakukan pada saat
pergolakan reformasi 1997/1998. Bahwa diketahui bahwa,
6 Muhari, op.cit., halaman 15
8
kekesalan rakyat terhadap pemerintah dilampiaskan terhadap WNI
Thionghoa, yang dianggap membantu pemerintah. Padahal sikap
seperti ini adalah sikap yang tidak berdasar, yang merupakan
korban dari provokator yang tidak bertanggung jawab.
D. Tujuan dan Dampak aksi Demonstrasi
1. Secara umum
Tujuan dari aksi Demonstrasi bermacam-macam, tergantung
jenis kepentingannya. Menurut Muhari, secara garis besarnya,
salah satu tujuan dari demonstrasi adalah sebagai berikut:
a. Menyampaikan aspirasi atau pendapat
b. Menuntut hak, perubahan, dan perbaikan
c. Menyampaikan penolakan atau protes terhadap suatukebijakan yang dianggap merugikan rakyat dan hanyamenguntungkan pihak tertentu.
Selain tujuan tersebut, juga dapat kita lihat dampak dari
berbagai aksi yang terjadi di kota-kota besar hingga daerah-
daerah di Indonesia, mulai dari dampak positif seperti adanya
perubahan dan perbaikan hingga dampak negatif yang diakibatkan
karena demonstrasi sudah kontraproduktif dari tujuan aksi
sebenarnya. Pasalnya sudah membuat kemacetan berkepanjangan,
kerusakan, kerugian material, psikis, dan bahkan memakan banyak
korban jiwa. Aksi yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk
menuntut hak, perubahan, dan penolakan terhadap suatu
kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Namun akhir-akhir ini
9
aksi yang dilakukan sering berujung anarkis bahkan menimbulkan
kerugian, baik itu kerugian material maupun jiwa. Memang,
demonstrasi bukanlah hal yang salah untuk dilakukan, namun
harus dipikirkan esensi dari demonstrasi yang kita lakukan,
tujuannya dan manfaatnya.
2. Kesewenang-wenangan harus dilawan
Salah satu cara paling ekstrim untuk menyatakan sikap
terhadap pemerintah adalah perlawanan. Tidak sedikit orang yang
memilih menempuh jalan kekerasan untuk menyatakan sikap
perlawanannya. Tentu saja, pemerintah sebagai pemilik otoritas
negara akan melakukan berbagai macam upaya meredam perlawanan
dalam bentuk kekerasan itu, juga dengan pendekatan yang
represif. Leo D. Lefebure mengutip pandangan Agustinus, yang
berpendapat bahwa, “orang-orang benar boleh terpaksa melawan
orang-orang jahat. Terutama di dalam konteks peperangan untuk
mencari perdamaian, kekerasan dapat dilakukan untuk tujuan
penaklukan”.7 Leo D. Felebure menentang pandangan ini, ia
mengatakan bahwa, “Agustinus tidak menyadari bahwa kasih
sebagai salah satu prinsip dasar dari kekristenan justru
menentang kekerasan. Terlihat di dalam ajaran Yesus di bukit,
siklus kekerasan di kalangan masyarakat Yahudi pada waktu itu
dipatahkan dengan pengajaran yang justru menantang para
pendengarnya untuk tidak membalas dendam atas luka-luka yang
mereka derita”.[9] Tuhan Yesus berkata, “Kamu telah mendengar
7 Ibid, halaman 19
10
firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata
kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat
kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu,
berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang
hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah
juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh
satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil (Matius 5:38-
41). Dalam pandangan ini, pada saat itu, Tuhan Yesus tidak
menginginkan kekacauan seperti yang sudah terjadi jauh
sebelumnya, sehingga ketika ia melayani, ia menganggap bahwa
ada hal yang lebih penting, jika dibandingkan dengan melawan
kekerasan. Ia sadar betul bahwa mereka (Israel) sedang berada
di bawah pemerintahan Romawi, sehingga penjajahan ini harus
dilawan dengan cara diplomatis. Namun lain halnya jika
diperhadapkan dengan pemerintahan di bawah satu negara, rakyat
melawan kezoliman pemerintah adalah penting dan harus
dilakukan. Menurut penulis bahwa, orang-orang Kristen yang pro
dengan faham tunduk dan taat secara penuh adalah orang-orang beriman
yang bodoh, yang sebenarnya sedang menutupi ketakutannya
terhadap tindakan kesewenang-wenangan, sebab mereka takut
kehilangan apa yang mereka punyai, kehilangan jabatan dan
kehilangan nyawa. Gereja di berbagai tempat dirubuhkan,
dibakar, bahkan tidak sedikit dari jemaat itu yang kehilangan
harta benda dan banyak nyawa, namun apa yang dilakukan gereja
adalah salah, menempuh jalan diplomasi yang panjang dan
memusingkan adalah cara-cara birokrasi dari orang-orang yang
11
nota bene adalah pejabat-pejabat Kristen yang duduk di dalam
pemerintahan. Mereka selalu mengatakan akan diselesaikan dengan
cara yang damai, tetapi pada kenyataannya, tidak pernah
terjadi, kasus gereja HKBP filadelfia, GBI di bekasi, Gereja
kharismatik di Banten, pembakaran gereja HKBP, GKPPD dan
penutupan gereja BNKP di Aceh Singkil, penutupan gereja HKBP di
daerah Serdang Bedagai, pengrusakan gereka Methodis, GBI, HKI
di Jawa Barat dan Pekalongan, pengrusakan dan penutupan STT
Arastamar oleh oknum Ormas yang menyatakan dirinya sebagai
manusia bertuhan, merupakan pengalaman pahit yang harus
diterima begitu saja oleh orang-orang Kristen. Padahal, orang
Kristen bukanlah pendatang baru di negara ini. Oleh karena itu,
jika diperlukan, maka gereja harus melawan tindakan-tindakan
tersebut. Bagi mereka yang hanya duduk diam dan lebih
memetingkan diri dan imannya dan menjadi penonton dari jauh
dengan bantuan doa adalah orang-orang penakut, yang hanya mampu
berkoar-koar di atas mimbar untuk membuat jemaat menangis
menyesali dosanya, dengan tujuan memperkaya dirinya
3. Alasan-alasan logis
Dengan demikian ada sebuah batasan yang jelas kapan harus
tunduk dan taat kepada pemerintah dan kapan harus tidak. Norman
L. Geisler mengatakan, “kelompok yang mempertimbangkan alasan-
alasan logis di dalam konteks ketaatan kepada pemerintahan
sebagai submisionisme Alkitabiah”.8 Kelompok ini menegaskan8 Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan (Jakarta, BPK Gunung Mulia,
12
bahwa ada saat-saat dimana orang Kristen harus taat dan adapula
saat-saat dimana perlu terlibat dalam ketidaktaatan terhadap
pemerintah. Persoalan yang muncul dari paham ini adalah tentang
garis batas yang menjadi patokan, kapan harus taat dan kapan
harus tidak taat. Geisler menemukan ada dua sikap yang menjadi
alasan ketidaktaaan. Yang pertama adalah saat pemerintah
mengajarkan hukum yang bertentangan dengan firman Allah, dan
yang kedua adalah saat pemerintah memerintahkan orang Kristen
melakukan kejahatan. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang
membangkang pemerintah saat pemerintah menetapkan hukum-hukum
yang tidak alkitabiah. Francis Schaeffer berpendapat bahwa
pemerintah tidaklah memiliki kekuasaan yang mutlak sehingga
bisa berlaku sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Ketidak-
mutlakkan ini berlangsung karena pemerintah berada di bawah
hukum dan bahkan berada diatasnya”.9 Hukum yang sebenarnya
adalah hukum Allah sehingga pemerintah harus tunduk pada hukum
Allah. Pemerintah bukanlah hukum Allah tetapi berada di bawah
hukum Allah. Atas dasar asumsi inilah ketaatan Kristen terhadap
pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah berlaku sesuai
hukum Allah. Bahkan menurut Francis Schaeffer, “kapan saja
sebuah pemerintah memerintah bertentangan dengan hukum Allah,
maka pemerintah tersebut memerintah dengan kejam. Untuk
menghadapi pemerintah semacam itu diperlukan protes dan
kekuatan. Warga negara harus memprotes hukum-hukum yang
2006), halaman 1889 Ibid, halaman 191
13
bertentangan dengan Firman Allah. Jika gagal, maka kekuatan
mungkin diperlukan”.10
Kelompok kedua adalah kelompok yang membangkang pemerintah
saat pemerintah menganjurkan atau memaksa untuk berbuat jahat.
Menurut Francis Schaeffer, “terdapat sejumlah daftar yang
menjadi identifikasi ketidaktaatan yakni (a) ketika pemerintah
memerintahkan kejahatan; (b) ketika pemerintah memaksakan
tindakan-tindakan yang jahat; (c) ketika pemerintah meniadakan
kebebasan; dan (d) ketika pemerintah menindas agama.11 Kedua
pandangan tersebut di atas bersama-sama menerima pemberontakan
dan penolakan sebagai langkah yang harus dilakukan untuk
menyatakan ketidaktaatan. Pada bagian awal makalah ini sudah
dikemukakan bahwa ketidaktaatan dengan langkah pemberontakan,
cuma akan melahirkan krisis.
Maka, pada hal ini, jika pemerintah membiarkan kejahatan
atas rakyatnya yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap
dirinya mayoritas dan menindas dan menekan kebebasan dari kaum
minoritas, maka dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah
pemerintah secara penuh terhadap yang tertindas. Oleh karena
itu, perlu dilakukan suatu perlawanan dengan unjuk rasa atau
aksi massa yang dapat menghentak dan menyentak telinga
pemerintah, yang selama ini menyembunyikan dan tidak begitu10 Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu (Malang: Literatur SAAT, 2007), halaman 309 11 Francis A. Schaeffer, A Christian manifesto (Westchester: Crossway, 1981), halaman 100
14
serius menanggapi. Adalah suatu kesalahan besar bagi negara
Swedia memberikan kepada pemimpin negara RI sebuah penghargaan
sebagai pemimpin yang berhasil menegakkan toleransi beragama di
Indonesia, atau sebaliknya sebuah jebakan bagi pemerintah
indonesia.
E. Dasar Hukum Pelaksanaan Aksi Demontrasi
Dalam pelaksanaan tata cara siste berdemokrasi dengan aksi
demonstrasi, penulis mengutip penjelasan dari Bambang sutiyoso,
yang menguraikan hal-hal seperti di bawah ini:
1. Undang-Undang Dasar NRI 1945
Pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
undang.
Pasal 28 E
a. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
b. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
15
Pasal 19, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan
menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh
pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa
memandang batas-batas wilayah”.
3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 23, (2) “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau
tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai
nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan
bangsa.
Pasal 25, “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka
umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik
Pasal 19
a) Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu.
b) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan
informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara
lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui
16
media lainnya, sesuai dengan pilihannya.12
F. Tata Cara Demonstrasi Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum
Sementara itu, dalam tata cara berdemonstrasi, pengaturan
dan pembatasan dilakukan demi kelancaran dari aksi damai yang
dilaksanakan. Penulis mengutip penjelasan Undang-Undang 9 Tahun
1998 dalam Jimly Asshiddiqie, sebagai berikut:
1. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum: Unjuk rasa
atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas.
Larangan (Pasal 19 ayat (2):
- Penyampaian pendapat di lingkungan istana
kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah
sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api,
terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.
- Penyampaian pendapat pada hari besar nasional.
- Membawa benda-benda yang dapat membahayakan
keselamatan umum.
Dalam prakteknya seringkali demonstrasi diadakan pada hari
besar nasional, namun pihak kepolisian tidak membubarkan aksi
12 Ibid., halaman 102
17
demonstrasi tersebut sepanjang aksi diadakan dengan tertib dan
damai.
2. Tata cara
a. Menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Polri
yang dilakukan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau
penanggung jawab kelompok.
b. Pemberitahuan diberikan selambat-lambatnya 3 x 24
c. Pemberitahuan memuat: maksud dan tujuan, tempat, lokasi,
dan rute, waktu dan lama, bentuk, penanggung jawab, nama dan
alamat organisasi, kelompok atau perorangan, alat peraga yang
dipergunakan; dan atau jumlah peserta.
d. Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta
unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai
dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.
e. Setelah menerima surat pemberitahuan, Polri wajib :
1. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan
2. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian
pendapat di muka umum
3. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga
yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat
4. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
f. Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum
18
disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab
kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam
sebelum waktu pelaksanaan.13
Namun perlu diketahui bahwa, banyak orang memiliki
pemahaman yang salah mengenai pemberitahuan ini. Rencana
menyatakan pendapat disampaikan dengan pemberitahuan bukan
izin. Sifatnya hanya memberitahukan saja dan Kepolisian tidak
berwenang menolak kecuali dalam hal dilarang dalam undang-
undang. Hal yang sangat berbeda jika rencana menyatakan
pendapat diharuskan dengan izin karena kepolisian menjadi
berwenang untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan rencana
menyatakan pendapat tersebut.
3. Sanksi
a) Berdasarkan Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998, sanksi terhadap
pelanggaran tata cara di atas adalah pembubaran.
b) Berdasarkan Pasal 16 UU No. 9 Tahun 1998, pelaku atau
peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini dikenakan jika misalkan terjadi perbuatan
melanggar hukum seperti penganiayaan, pengeroyokan, perusakan
13 Jimly Asshidique, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: SInar Grafik, 2010) halaman 7-9
19
barang, dan bahkan kematian.
c) Berdasarkan Pasal 17 UU No. 9 Tahun 1998 Penanggung jawab
pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana
yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana
pokok. Terdapat pemberatan hukuman terhadap penanggungjawab
yang melakukan tindak pidana.
d) Berdasarkan Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998, setiap orang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak
warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang
telah memenuhi ketentuan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun.
G. Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang Tidak Memenuhi
Tata Cara Sesuai Undang-Undang
1. Sanksi
Berdasarkan Berdasarkan Pasal 15 UU No. 9 Tahun
1998, sanksi terhadap pelanggaran tata cara sesuai
ketentuan undang-undang adalah pembubaran. Tidak ada
sanksi pidana ataupun sanksi lain terhadap pelanggaran
20
tata cara tersebut.
Dalam praktek, kepolisian sering
mengkriminalisasikan para pengunjuk rasa yang menolak
membubarkan diri ketika berunjuk rasa dengan beberapa
pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:
Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, “Barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang
sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban
undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan
kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
2. Sanksi administrasi terhadap peserta penyampaian
pendapat di depan umum
Kemerdekaan menyatakan pendapat tersebut merupakan
perwujudan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sangat penting untuk
dijamin karena merupakan sarana warga negara untuk
mempertahankan hak asasinya ataupun menuntut hak asasinya yang
lain yang seharusnya dipenuhi oleh negara, serta mengawasi
jalannya pemerintahan serta badan-badan publik. Jika terdapat
peraturan internal dari suatu instansi, universitas, ataupun
perusahaan yang melarang penyampaian pendapat di depan umum,
tentunya peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Instansi yang memberikan
21
sanksi terhadap peserta penyampaian pendapat di depan umum
dengan damai dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
dapat dikatakan sebagai instansi yang tidak demokratis dan
melanggar hak asasi warga negara.
Pandangan penulis tentang berbagai hal dalam penjelasan
dan aturan yang ditetapkan oleh undang-undang di atas, tentu
mempunyai tujuan dan makna tentang bagaimana seharusnya aksi
dan tindakan pelaksanaan dari pada demontrasi itu sendiri, yang
dibuat secara struktur dan sistematis. Dengan tujuan bahwa baik
pelaksanaan (pendemo) maupun yang dituju (didemo), haknya
dijamin dengan pagar undang-undang dan aturan yang berlaku,
dengan tujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
atau terjadinya pelanggaran HAM yang memakan korban jiwa.
H. Manajemen Aksi Massa
Dorongan terpokok yang melahirkan aksi massa adalah keinginan
massa akan perubahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa demonstrasi
mahasiswa, aksi rakyat, dan gerakan lain dari kelompok
kepentingan dalam rangka mewujudkan mimpi perubahan. Manusia
mempunyai kebutuhan-kebutuhan mendasar yang harus mendapatkan
pemenuhannya. Menurut Hendri Anggoro Mukti, secara sosiologis
ada tiga kategori kebutuhan:
1. Kebutuhan biologis/primer, yaitu kebutuhan manusiaterhadap hal-hal yang berkaitan langsung dengan jasmanimanusia. Tergolong kebutuhan ini adalah makanan dan
22
minuman, pakaian, bernafas dan istirahat, dan lain-lain.2. Tergolong kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan yangmendukung terpenuhinya kebutuhan biologis/primer.Tergolong kedalam kebutuhan ini adalah pendidikan,rekreasi, komunikasi, hubungan sosial, dan lain-lain.3. Kebutuhan spiritual, yaitu kebutuhan-kebutuhanyang menyangkut kerinduan manusia akan hal-hal yangbersifat kerohanian, supranatural, dan metafisik.Misalnya kebutuhan akan shalat, kebaktian, klenteng, danlain-lain.
Setiap manusia memiliki ketiga jenis kebutuhan tersebut,
karenanya dalam pemenuhannya harus diatur supaya tidak terjadi
penumpukan dan benturan. Peraturan mutlak diperlukan untuk
tujuan keseimbangan dalam masyarakat. Peraturan atau hukumlah
yang menentukan batasan antara hak dan kewajiban antara manusia
yang satu dengan manusia lainnya. Dalam kehidupan sosial
pranata diperlukan untuk mengatur tata kehidupan antar manusia
dalam masyarakat. Pranata sosial menjadi kebutuhan bersama dan
karena itu pula harus disepakati bersama serta dilaksanakan
secara konsisten secara bersama-sama pula.
Hampir tidak ada aksi massa yang berjalan spontan. Umumnya aksi
massa dipersipkan secara matang, mulai dari kekuatan massa yang
akan terlibat, perangkat aksi, isu dan tuntutan serta institusi
yang dituju. Hendri Anggoro Mukti Pada dasarnya aksi massa
melalui tahapan sebagai berikut:
1. Persiapan
23
Gagasan untuk melakukan aksi massa biasanya lahir dari
adanya syarat objektif bahwa isntitusi/lembaga berwenang tidak
tanggap terhadap persoalan yang dihadapi rakyat. Oleh karena
itu diperlukan adanya tekanan (pressure) massa untuk mendorong
persoalan rakyat menjadi perdebatan luas dan terbuka di intra
parlemen maupun dimuka pendapat umum (public opinion) di luar
parlemen. Semua hal yang berkaitan dengan tekanan mengandalkan
kekuatan massa harus dipersiapkan sehingga dapat berjalan
optimal. Persiapan aksi massa berjalan dalam lingkaran-
lingkaran diskusi yang diorientasikan mampu memunculkan:
1. Isu/tuntutanIsu atau tuntutan yang akan diangkat dalam aksi massaharus dibicarakan dan diperdebatkan. Penentuan isu sangatpenting karena akan memberi batasan gerak secarakeseluruhan dari proses aksi massa di lapangan.
2. Prakondisi aksiPrakondisi aksi adalah aktivitas yang dilakukan sebelumaksi massa berlangsung. Pra kondisi tersebut biasanyadalam bentuk aksi penyebaran selebaran, penempelan poster,grafiti action, dst.
3. Perangkat aksi massaPerangkat aksi adalah mbagian kerja partisipan aksi massa.Perangkat aksi massa disesuaikan dengan kebutuhan,biasanya diperlukan perangkat sebagai berikut:
a. Koordinator lapangan.b. Wakil koordinator lapangan.c. Divisi Acarad. Humase. Negosiatorf. Mobilisatorg. Kurirh. Advokasii. Asisten teritorial/keamanan/sweaper/dinamisator
24
lapangan j. Logistic dan medical rescuek. Dokumentasil. Sentral informasi.[20]
2. Kelengkapan Aksi Massa.
Dalam melakukan sebuah aksri, maka sebaiknya dilakukan
beberapa kelengkapan dalam sebuah pelaksanananya, kelengkapan
struktur berupa perangkat aksi massa, dibutuhkan pula
kelengkapan material yang berupa instrumen aksi massa.
Poster adalah kertas ukuran lebar yang bertuliskantuntutan aksi massa dipermukaanya. Poster berisituntutan aksi yang ditulis tebal dengan spidol atau catagar jelas dibaca oleh massa ditulis dengan singkat danjelas. Spanduk adalah bentangan kain yang ditulistuntutan-tuntutan atau nama komite aksi yang sedangmenggelar aksi massa. Selebaran adalah lembaran kertas yang memuatinformasi agitasi dan propaganda kepada massa yang lebihluas agar memberikan dukungan terhadap aksi massa. Pengeras suara adalah perangkat keras elektronikayang berfungsi memperbesa suara. Pernyataan sikap/statemen adalah pernyataantertulis yang memberikan gambaran sikap massa terhadapsatu kebijakan satu institusi/perorangan dibacakandibagian akhir proses aksi massa. Penyusunannyadilakukan oleh humas atau divisi logistik.
Semua aturan di atas sebenarnya mempuyai hakekat yang satu
bahwa komite aksi yang sedang menyelenggarakan aksi massa
mempunyai basis massa yang solid, bersatu, maju, dan tidak
25
dapat dpecah oleh kekuatan dari luar organisasi komite
bersangkutan. Namun demikian komite aksi yang profesional
persoalan nama sudah tidak menjadi hal penting yang perlu
dibicarakan apalagi diperdebatkan, karena hanya akan memakan
waktu yang sia-sia saja. Beberapa organisasi yang namanya sudah
populer dan mapan tak perlu merumuskan nama komite aksi karena
hal yang demikian tidak lagi menjadi kebutuhan.
Salah satu hal yang sering dilupakan orang pada waktu
pelaksanaan demontrasi adalah tahap evaluasi. Dikatakan bahwa,
”Evaluasi adalah tahap akhir dari rangkaian aksi massa.
Merupakan forum atau wadah tempat mengoreksi kesalahan-
kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dilapangan yang sebenarnya tidak sesuai dengan setting aksi
massa yang telah disepakati bersama”. Dengan kata lain bahwa,
evaluasi ini berfungsi melahirkan ide-ide baru yang dapat
membagun struktur pemikiran alternatif terhadap pola aksi yang
telah dilaksanakan oleh komite aksi.dialektika pola aksi massa
justru dapat terungkap ketika evaluasi terhadap pelaksanaan
aksi masa digelar.
26