TUGAS MAKALAH ETIKA TERAPAN ETIKA DEMONSTRASI DITINJAU DARI DARI PERSPEKTIF TEOLOGIS oleh: PITRI...

26
TUGAS MAKALAH ETIKA TERAPAN ETIKA DEMONSTRASI DITINJAU DARI DARI PERSPEKTIF TEOLOGIS oleh: PITRI SARTIKA SIHOTANG BAB I PENDAHULUAN Dalam negara demokrasi, demonstrasi damai adalah aktifitas legal untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak populer atau guna menyuarakan aspirasi rakyat. Kendati demikian, sebagai negara yang beradab, demonstrasi tentunya harus dilakukan dengan aksi-aksi yang memiliki nilai etik kepatutan rakyat. Rasa keadilan serta keinginan untuk hidup lebih sejahtera merupakan keinginan dari seluruh rakyat dimanapun dia berada. Namun apabila rakyat tidak mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh penguasa ataupun pemerintah untuk hidup lebih baik, rakyat akan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban. Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bagian dari kehidupan demokrasi di suatu negara, karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan pendapat dimuka umum. Tetapi aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang terkadang disertai juga dengan tindakan yang tidak bertanggungjawab tentunya bertentangan dengan tujuan dari 1

Transcript of TUGAS MAKALAH ETIKA TERAPAN ETIKA DEMONSTRASI DITINJAU DARI DARI PERSPEKTIF TEOLOGIS oleh: PITRI...

TUGAS MAKALAH ETIKA TERAPAN

ETIKA DEMONSTRASI DITINJAUDARI DARI PERSPEKTIF TEOLOGIS

oleh: PITRI SARTIKA SIHOTANG

BAB I

PENDAHULUAN 

Dalam negara demokrasi, demonstrasi damai adalah

aktifitas legal untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang

dinilai tidak populer atau guna menyuarakan aspirasi rakyat.

Kendati demikian, sebagai negara yang beradab, demonstrasi

tentunya harus dilakukan dengan aksi-aksi yang memiliki nilai

etik kepatutan rakyat. Rasa keadilan serta keinginan untuk

hidup lebih sejahtera merupakan keinginan dari seluruh rakyat

dimanapun dia berada. Namun apabila rakyat tidak mendapatkan

sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh penguasa ataupun

pemerintah untuk hidup lebih baik, rakyat akan melakukan unjuk

rasa atau demonstrasi tujuannya adalah untuk mewujudkan

keadilan dan ketertiban. Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan

salah satu bagian dari kehidupan demokrasi di suatu negara,

karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk

mengungkapkan pendapat dimuka umum. Tetapi aksi unjuk rasa atau

demonstrasi yang terkadang disertai juga dengan tindakan yang

tidak bertanggungjawab tentunya bertentangan dengan tujuan dari

1

unjuk rasa atau demonstrasi itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam pelaksanaanya adalah sikap pro

dan kontra yang ditujukan sebagai respon dari pengalaman yang

telah disaksikan dalam sejarah terjadinya aksi demonstrasi.

Tragedi Tiananmen di Cina, hingga peristiwa 1998 di Indonesia

telah menjadi contoh bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah

menjadi bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan

berkembang. Tetapi, perlu dipahami bahwa pelaksanaan aksi

demonstrasi adalah dibenarkan, tetapi dengan nilai, pola dan

sistem yang telah ditentukan.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Demonstrasi

Menurut pandangan beberapa tokoh tentang pengertian

2

demokrasi secara teminologis (istilah) dalam A.S. Ma’arif,

yaitu: Pertama, Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan

perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di

mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan

cara perjuangan kompetitif atas sura rakyat. Kedua, Sidney

Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-

keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak

langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan

secara bebas dari rakyat. Ketiga, Pilippe C. Schmitter dan

Terry Lynn Karl, demokrasi sebagai sistem pemerintahan di mana

pemerintah diminta tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka

di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara

tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para

wakil mereka yang telah dipilih.1 Demonstrasi pada umumnya

dikenal dengan nama sebagai aksi massa yang memperjuangkan

tentang hal-hal tertentu, baik yang mendukung ataupun menolak.

Penulis mengutip pendapat Kaelan dalam Darji Darmadiharjo

yang menjelaskan bahwa, ”kata demonstrasi berasal dari saduran

frasa bahasa Yunani, (demoskratein). berarti

rakyat, dan berarti pemerintahan. Jadi, menurut bahasa

asalnya, Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari

rakyat. Pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat.2 Sehingga demokrasi secara etimologi diartikan

sebagai pemerintahan rakyat, yaitu keadaan negara di mana dalam1 A. S. Ma’arif, Politik Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), halaman 32 Darji Darmadiharjo, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), halaman 9

3

sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat,

rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh

rakyat, atau yang kini lebih kita kenal sebagai pemerintahan

dari, oleh, dan untuk rakyat.  

Pengertian ini dapat dipahami bahwa gerakan atau aksi yang

dilakukan adalah untuk menunjukkan sikap yang menolak dengan

memberikan pengaruh melalui penekanan dalam aksi untuk

menyampaikan pendapat. Demonstrasi merupakan alternatif dalam

menanggapi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak

menggutungkan kehidupan bersama. Dengan berbagai format atau

metode sendiri masyarakat mencoba mempresentasi hak idealnya

kepada pemerintah. Dengan melakukan diplomasi dengan pemerintah

metode ini digunakan sebelum aksi demonstrasi. Diplomasi adalah

suatu cara yang digunakan untuk menyampaikan aspirasi,

argumentasi dan solusi kepada pemerintah secara langsung tanpa

peragaan seperti demonstrasi. Dalam diplomasi aspirasi

disampaikan tidak secara terang-terangan di depan umum namun

antara seorang delegasi dengan pemerintah di suatu tempat tanpa

tema tertentu. Oleh karena itu, demonstrasi merupakan suatu hal

yang lebih bersifat reaktif daripada sebuah upaya sistematis

dan proaktif untuk perbaikan bangsa. Jadi kata dasar

demonstrasi tersebut diambil dari pengertian demokrasi sebagai

bentuk dari penyampaian suara rakyat kepada suatu lembaga,

dinas, pemerintahan atau negara. Selanjutnya, penulis mengutip

4

pendapat Saldi Isra yang menjelaskan bahwa, “Pengertian

demonstrasi atau unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah

sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di

hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan

pendapat kelompok penentang kebijakan atau dapat pula dilakukan

sebagai sebuah upaya penekanan secara politik dari kepentingan

suatu kelompok”.3

Dengan demikian, maka meneguhkan egalitarianisme dan

kesantunan politik yang pada intinya bahwa demokrasi dapat

dijalankan dengan demokratisasi, termasuk di dalamnya

demonstrasi. Oleh karena itu, maka demokrasi berkaitan erat

dengan demontrasi. Mengutip pendapat Nurcholis Madjid dalam

Muhari yang mengatakan bahwa, “Nilai demokrasi yang abstrak

menjadi lebih aplikatif untuk mempermudah dijabarkan serta

diterapkan dalam kehidupan sosial-politik Indonesia sebagai

tegaknya demokratisasi di Indonesia.4

B.     Kilas Balik Sejarah Singkat Pelaksanaan Demonstrasi

Berawal dari kemenangan negara-negara sekutu (Eropa Barat

dan Amerika Serikat) terhadap negara-negara axis (Jerman,

Italia & Jepang) pada Perang Dunia II (1945), dan disusul

kemudian dengan keruntuhan Uni Soviet yang berlandasan paham

Komunisme di akhir Abad XX, maka paham Demokrasi yang dianut3 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2011), halaman 74 Muhari, Norma-norma Yang Menjadi Pandangan Hidup Demokratis, (Surakarta, US-Press, 2006), halaman 12

5

oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara menjadi paham

yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa

ini. Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi

demokrasi, untuk di Asia Tenggara Indonesia adalah negara yang

paling terbaik menjalankan demokrasinya. Sejak diperkenalkannya

etika politik demokrasi di dunia ini, sebagai maka penegakkan

hukum dan keadilan seakan mulai memperlihatkan kekuatan yang

sebenarnya. Sejak diperkenalkannya paham trias politica berdasarkan

pandangan dari Montesquie lebih menekankan perlu adanya

pembagian kekuasaan sebagai sarana untuk menjamin adanya

perlindungan terhadap hak-hak sipil, yang dikemudian hal ini

dikembangkan oleh seorang negarawan Pracis yang bernama Jean

Jaques Rousseau. Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak

masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi

perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa

model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan

lainnya.

Perjalanan sejarah sistem politik dan penegakan hukum

Indonesia selama ini menunjukkan suatu bukti bahwa semata-mata

konstitusi dalam wujud UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam

kehidupan sistem politik yang demokratis maupun penegakan

hukum. UUD 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan,

masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-

1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-

Sekarang). Semuanya ternyata menunjukkan corak dan karakter

6

kepemerintahan yang berbeda satu periode dengan periode

lainnya. Periode-periode ini mempunyai suasana dan pola

pelaksanaan masing-masing, yang dicatat oleh sejarah

perjalannya.5 Sejarah dunia mencatat, beberapa prinsip demokrasi

yang diwujudkan dalam aksi demonstasi antara lain, revolusi

Inggris, revolusi Prancis, revolusi people power di Filipina, dan

akhir-akhir ini adalah terjadinya pergolakan di sekitar dunia

Timur Tengah, yaitu negara Suriah, Afganistan, Pakistan, Irak

dan beberapa negara lainnya, termasuk daerah Efrika seperti

Alzajair, dan Zimbahwe, Togo dan Mozambik.

Dari kejadian-kejadian yang terjadi di atas, maka

disimpulkan bahwa nilai pelaksanaan dari aksi demonstrasi

pernah membawa perubahan yang bersejarah dalam lembaran sejarah

sebuah negara. Beralihnya sistem dari falsafah sebuah negara,

membawa dampak perubahan besar, walaupun pada satu sisi membawa

beberapa dampak negatif. Namun hal tersebut sebagai harga mahal

yang harus dibayar mahal untuk mencapai tingkat demokrasi

politik yang sesungguhnya dalam sebuah sistem pemerintahan yang

diawasi langsung oleh rakyat sebagai pemegang tampuk kekuasaan

tertinggi.

C.    Faktor Penyebab Timbulnya Aksi Demonstrasi

Saat ini hampir bagi semua orang demonstrasi dipandang dan

diyakini sebagai satu-satunya cara efektif dalam mewujudkan5 Oleh penulis berdasarkan analisa terhadap kenyataan yang ditayangkan

media dalam cetak maupun penyiaran.

7

aspirasi rakyat. Meskipun aksi demonstrasi itu dinilai tidak

lagi eksklusif di kalangan mahasiswa dan kampus, namun harus

bahwa demonstrasi sudah merembes ke tingkat politik lokal

seperti di kawasan pedesaan, kecamatan maupun tingkat

pemerintahan daerah lainnya. Penolakan terhadap Pilkades,

tuntutan akan harus mundurnya para kepala desa, camat atau

bupati merupakan bukti ekspansi atau perluasan tren demonstrasi

di kalangan masyarakat.

Menurut Muhari, bahwa tererdapat tiga prakondisi dasar

mengapa demonstrasi muncul sebagai primadona dalam penyelesaian

masalah sosial dan pemerintahan, yaitu “Pertama, ketidak-

sensitifan para pemegang kekuasaan, administrator dan birokrasi

dalam merespon aspirasi serta opini publik. Kedua, masyarakat

terlalu lama hidup dalam ketertekanan utamanya dari segi

konteks politik. Ketiga, mentalitas aparatur yang berdasarkan

pada pembenaran patron-client relationships menyebabkan rakyat tidak

berdaya.6 Selama ini rakyat harus tunduk kepada penguasa. Hal

ini malah bersifat eksploitatif. Singkatnya, demonstrasi muncul

sebagai luapan emosi banyak orang yang terlalu lama terpendam

dan tidak mempunyai sarana efektif untuk menyalurkan

permasalahannya. Tetapi dalam hal ini, pelampisan emosi amarah

dari para masa sering memakan korban harta benda bahwa nyawa.

Contoh kasus adalah kasus demonstrasi yang dilakukan pada saat

pergolakan reformasi 1997/1998. Bahwa diketahui bahwa,

6 Muhari, op.cit., halaman 15

8

kekesalan rakyat terhadap pemerintah dilampiaskan terhadap WNI

Thionghoa, yang dianggap membantu pemerintah. Padahal sikap

seperti ini adalah sikap yang tidak berdasar, yang merupakan

korban dari provokator yang tidak bertanggung jawab.

D.    Tujuan dan Dampak aksi Demonstrasi

1.      Secara umum

Tujuan dari aksi Demonstrasi bermacam-macam, tergantung

jenis kepentingannya. Menurut Muhari, secara garis besarnya,

salah satu tujuan dari demonstrasi adalah sebagai berikut:

a.  Menyampaikan aspirasi atau pendapat

b.      Menuntut hak, perubahan, dan perbaikan

c.       Menyampaikan penolakan  atau protes terhadap suatukebijakan yang dianggap merugikan rakyat dan hanyamenguntungkan pihak tertentu.

Selain tujuan tersebut, juga dapat kita lihat dampak dari

berbagai aksi yang terjadi di kota-kota besar hingga daerah-

daerah di Indonesia, mulai dari dampak positif seperti adanya

perubahan  dan perbaikan hingga dampak negatif yang diakibatkan

karena demonstrasi sudah kontraproduktif dari tujuan aksi

sebenarnya. Pasalnya sudah membuat kemacetan berkepanjangan,

kerusakan, kerugian material, psikis, dan bahkan memakan banyak

korban jiwa. Aksi yang  dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk

menuntut hak, perubahan, dan penolakan  terhadap suatu

kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Namun akhir-akhir ini

9

aksi yang dilakukan sering berujung anarkis bahkan menimbulkan

kerugian, baik itu kerugian material maupun jiwa. Memang,

demonstrasi bukanlah hal yang salah untuk dilakukan, namun

harus dipikirkan esensi dari demonstrasi yang kita lakukan,

tujuannya dan manfaatnya.

2.      Kesewenang-wenangan harus dilawan

Salah satu cara paling ekstrim untuk menyatakan sikap

terhadap pemerintah adalah perlawanan. Tidak sedikit orang yang

memilih menempuh jalan kekerasan untuk menyatakan sikap

perlawanannya. Tentu saja, pemerintah sebagai pemilik otoritas

negara akan melakukan berbagai macam upaya meredam perlawanan

dalam bentuk kekerasan itu, juga dengan pendekatan yang

represif. Leo D. Lefebure mengutip pandangan Agustinus, yang

berpendapat bahwa, “orang-orang benar boleh terpaksa melawan

orang-orang jahat. Terutama di dalam konteks peperangan untuk

mencari perdamaian, kekerasan dapat dilakukan untuk tujuan

penaklukan”.7 Leo D. Felebure menentang pandangan ini, ia

mengatakan bahwa, “Agustinus tidak menyadari bahwa kasih

sebagai salah satu prinsip dasar dari kekristenan justru

menentang kekerasan. Terlihat di dalam ajaran Yesus di bukit,

siklus kekerasan di kalangan masyarakat Yahudi pada waktu itu

dipatahkan dengan pengajaran yang justru menantang para

pendengarnya untuk tidak membalas dendam atas luka-luka yang

mereka derita”.[9] Tuhan Yesus berkata, “Kamu telah mendengar

7 Ibid, halaman 19

10

firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata

kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat

kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu,

berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang

hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah

juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh

satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil (Matius 5:38-

41). Dalam pandangan ini, pada saat itu, Tuhan Yesus tidak

menginginkan kekacauan seperti yang sudah terjadi jauh

sebelumnya, sehingga ketika ia melayani, ia menganggap bahwa

ada hal yang lebih penting, jika dibandingkan dengan melawan

kekerasan. Ia sadar betul bahwa mereka (Israel) sedang berada

di bawah pemerintahan Romawi, sehingga penjajahan ini harus

dilawan dengan cara diplomatis. Namun lain halnya jika

diperhadapkan dengan pemerintahan di bawah satu negara, rakyat

melawan kezoliman pemerintah adalah penting dan harus

dilakukan. Menurut penulis bahwa, orang-orang Kristen yang pro

dengan faham tunduk dan taat secara penuh adalah orang-orang beriman

yang bodoh, yang sebenarnya sedang menutupi ketakutannya

terhadap tindakan kesewenang-wenangan, sebab mereka takut

kehilangan apa yang mereka punyai, kehilangan jabatan dan

kehilangan nyawa. Gereja di berbagai tempat dirubuhkan,

dibakar, bahkan tidak sedikit dari jemaat itu yang kehilangan

harta benda dan banyak nyawa, namun apa yang dilakukan gereja

adalah salah, menempuh jalan diplomasi yang panjang dan

memusingkan adalah cara-cara birokrasi dari orang-orang yang

11

nota bene adalah pejabat-pejabat Kristen yang duduk di dalam

pemerintahan. Mereka selalu mengatakan akan diselesaikan dengan

cara yang damai, tetapi pada kenyataannya, tidak pernah

terjadi, kasus gereja HKBP filadelfia, GBI di bekasi, Gereja

kharismatik di Banten, pembakaran gereja HKBP, GKPPD dan

penutupan gereja BNKP di Aceh Singkil, penutupan gereja HKBP di

daerah Serdang Bedagai, pengrusakan gereka Methodis, GBI, HKI

di Jawa Barat dan Pekalongan, pengrusakan dan penutupan STT

Arastamar oleh oknum Ormas yang menyatakan dirinya sebagai

manusia bertuhan, merupakan pengalaman pahit yang harus

diterima begitu saja oleh orang-orang Kristen. Padahal, orang

Kristen bukanlah pendatang baru di negara ini. Oleh karena itu,

jika diperlukan, maka gereja harus melawan tindakan-tindakan

tersebut. Bagi mereka yang hanya duduk diam dan lebih

memetingkan diri dan imannya dan menjadi penonton dari  jauh

dengan bantuan doa adalah orang-orang penakut, yang hanya mampu

berkoar-koar di atas mimbar untuk membuat jemaat menangis

menyesali dosanya, dengan tujuan memperkaya dirinya

3.      Alasan-alasan logis

Dengan demikian ada sebuah batasan yang jelas kapan harus

tunduk dan taat kepada pemerintah dan kapan harus tidak. Norman

L. Geisler mengatakan, “kelompok yang mempertimbangkan alasan-

alasan logis di dalam konteks ketaatan kepada pemerintahan

sebagai submisionisme Alkitabiah”.8 Kelompok ini menegaskan8 Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan (Jakarta, BPK Gunung Mulia,

12

bahwa ada saat-saat dimana orang Kristen harus taat dan adapula

saat-saat dimana perlu terlibat dalam ketidaktaatan terhadap

pemerintah. Persoalan yang muncul dari paham ini adalah tentang

garis batas yang menjadi patokan, kapan harus taat dan kapan

harus tidak taat. Geisler menemukan ada dua sikap yang menjadi

alasan ketidaktaaan. Yang pertama adalah saat pemerintah

mengajarkan hukum yang bertentangan dengan firman Allah, dan

yang kedua adalah saat pemerintah memerintahkan orang Kristen

melakukan kejahatan. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang

membangkang pemerintah saat pemerintah menetapkan hukum-hukum

yang tidak alkitabiah. Francis Schaeffer berpendapat bahwa

pemerintah tidaklah memiliki kekuasaan yang mutlak sehingga

bisa berlaku sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Ketidak-

mutlakkan ini berlangsung karena pemerintah berada di bawah

hukum dan bahkan berada diatasnya”.9 Hukum yang sebenarnya

adalah hukum Allah sehingga pemerintah harus tunduk pada hukum

Allah. Pemerintah bukanlah hukum Allah tetapi berada di bawah

hukum Allah. Atas dasar asumsi inilah ketaatan Kristen terhadap

pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah berlaku sesuai

hukum Allah. Bahkan menurut Francis Schaeffer, “kapan saja

sebuah pemerintah memerintah bertentangan dengan hukum Allah,

maka pemerintah tersebut memerintah dengan kejam. Untuk

menghadapi pemerintah semacam itu diperlukan protes dan

kekuatan. Warga negara harus memprotes hukum-hukum yang

2006), halaman 1889 Ibid, halaman 191

13

bertentangan dengan Firman Allah. Jika gagal, maka kekuatan

mungkin diperlukan”.10

Kelompok kedua adalah kelompok yang membangkang pemerintah

saat pemerintah menganjurkan atau memaksa untuk berbuat jahat.

Menurut Francis Schaeffer, “terdapat sejumlah daftar yang

menjadi identifikasi ketidaktaatan yakni (a) ketika pemerintah

memerintahkan kejahatan; (b) ketika pemerintah memaksakan

tindakan-tindakan yang jahat; (c) ketika pemerintah meniadakan

kebebasan;  dan (d) ketika pemerintah menindas agama.11 Kedua

pandangan tersebut di atas bersama-sama menerima pemberontakan

dan penolakan sebagai  langkah yang harus dilakukan untuk

menyatakan ketidaktaatan. Pada bagian awal makalah ini sudah

dikemukakan bahwa ketidaktaatan dengan langkah pemberontakan,

cuma akan melahirkan krisis.

Maka, pada hal ini, jika pemerintah membiarkan kejahatan

atas rakyatnya yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap

dirinya mayoritas dan menindas dan menekan kebebasan dari kaum

minoritas, maka dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah

pemerintah secara penuh terhadap yang tertindas. Oleh karena

itu, perlu dilakukan suatu perlawanan dengan unjuk rasa atau

aksi massa yang dapat menghentak dan menyentak telinga

pemerintah, yang selama ini menyembunyikan dan tidak begitu10 Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu (Malang: Literatur SAAT, 2007), halaman 309 11 Francis A. Schaeffer, A Christian manifesto (Westchester: Crossway, 1981), halaman 100

14

serius menanggapi. Adalah suatu kesalahan besar bagi negara

Swedia memberikan kepada pemimpin negara RI sebuah penghargaan

sebagai pemimpin yang berhasil menegakkan toleransi beragama di

Indonesia, atau sebaliknya sebuah jebakan bagi pemerintah

indonesia.

 

E.     Dasar Hukum Pelaksanaan Aksi Demontrasi

Dalam pelaksanaan tata cara siste berdemokrasi dengan aksi

demonstrasi, penulis mengutip penjelasan dari Bambang sutiyoso,

yang menguraikan hal-hal seperti di bawah ini:

1.      Undang-Undang Dasar NRI 1945

Pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-

undang. 

Pasal 28 E

a.      Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,

menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

b.      Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.

2.      Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

15

Pasal 19, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan

menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh

pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan

menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa

memandang batas-batas wilayah”.

3.      Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 23, (2) “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan

menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau

tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai

nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan

bangsa.

Pasal 25, “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka

umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan”.

4.      Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan

Internasional Hak Sipil dan Politik

Pasal 19

a)      Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu.

b)      Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;

hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan

informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara

lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui

16

media lainnya, sesuai dengan pilihannya.12

 

F.     Tata Cara Demonstrasi Tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum 

Sementara itu, dalam tata cara berdemonstrasi, pengaturan

dan pembatasan dilakukan demi kelancaran dari aksi damai yang

dilaksanakan. Penulis mengutip penjelasan Undang-Undang 9 Tahun

1998 dalam Jimly Asshiddiqie, sebagai berikut:

1.      Bentuk penyampaian pendapat di muka umum: Unjuk rasa

atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas.

Larangan (Pasal 19 ayat (2):

-     Penyampaian pendapat di lingkungan istana

kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah

sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api,

terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.

-     Penyampaian pendapat pada hari besar nasional.

-     Membawa benda-benda yang dapat membahayakan

keselamatan umum.

Dalam prakteknya seringkali demonstrasi diadakan pada hari

besar nasional, namun pihak kepolisian tidak membubarkan aksi

12 Ibid., halaman 102

17

demonstrasi tersebut sepanjang aksi diadakan dengan tertib dan

damai.

2.      Tata cara

a.       Menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Polri

yang dilakukan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau

penanggung jawab kelompok.

b.      Pemberitahuan diberikan selambat-lambatnya 3 x 24

c.       Pemberitahuan memuat: maksud dan tujuan, tempat, lokasi,

dan rute, waktu dan lama, bentuk, penanggung jawab, nama dan

alamat organisasi, kelompok atau perorangan, alat peraga yang

dipergunakan; dan atau jumlah peserta.

d.      Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta

unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai

dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.

e.       Setelah menerima surat pemberitahuan, Polri wajib :

1.      segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan

2.      berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian

pendapat di muka umum

3.      berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga

yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat

4.      mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.

f.       Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum

18

disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab

kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam

sebelum waktu pelaksanaan.13

Namun perlu diketahui bahwa, banyak orang memiliki

pemahaman yang salah mengenai pemberitahuan ini. Rencana

menyatakan pendapat disampaikan dengan pemberitahuan bukan

izin. Sifatnya hanya memberitahukan saja dan Kepolisian tidak

berwenang menolak kecuali dalam hal dilarang dalam undang-

undang. Hal yang sangat berbeda jika rencana menyatakan

pendapat diharuskan dengan izin karena kepolisian menjadi

berwenang untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan rencana

menyatakan pendapat tersebut.

3.      Sanksi

a)      Berdasarkan Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998, sanksi terhadap

pelanggaran tata cara di atas adalah pembubaran.

b)      Berdasarkan Pasal 16 UU No. 9 Tahun 1998, pelaku atau

peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang

melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi

hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Hal ini dikenakan jika misalkan terjadi perbuatan

melanggar hukum seperti penganiayaan, pengeroyokan, perusakan

13 Jimly Asshidique, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: SInar Grafik, 2010) halaman 7-9

19

barang, dan bahkan kematian.

c)      Berdasarkan Pasal 17 UU No. 9 Tahun 1998 Penanggung jawab

pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana

yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana

pokok. Terdapat pemberatan hukuman terhadap penanggungjawab

yang melakukan tindak pidana.

d)     Berdasarkan Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998, setiap orang

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak

warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang

telah memenuhi ketentuan, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 1 (satu) tahun.

 

G.    Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang Tidak Memenuhi

Tata Cara Sesuai Undang-Undang

1.      Sanksi

         Berdasarkan Berdasarkan Pasal 15 UU No. 9 Tahun

1998, sanksi terhadap pelanggaran tata cara sesuai

ketentuan undang-undang adalah pembubaran. Tidak ada

sanksi pidana ataupun sanksi lain terhadap pelanggaran

20

tata cara tersebut.

         Dalam praktek, kepolisian sering

mengkriminalisasikan para pengunjuk rasa yang menolak

membubarkan diri ketika berunjuk rasa dengan beberapa

pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:

Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, “Barang siapa

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang

sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban

undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan

kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling

lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah.

2.      Sanksi administrasi terhadap peserta penyampaian

pendapat di depan umum

Kemerdekaan menyatakan pendapat tersebut merupakan

perwujudan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sangat penting untuk

dijamin karena merupakan sarana warga negara untuk

mempertahankan hak asasinya ataupun menuntut hak asasinya yang

lain yang seharusnya dipenuhi oleh negara, serta mengawasi

jalannya pemerintahan serta badan-badan publik. Jika terdapat

peraturan internal dari suatu instansi, universitas, ataupun

perusahaan yang melarang penyampaian pendapat di depan umum,

tentunya peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Instansi yang memberikan

21

sanksi terhadap peserta penyampaian pendapat di depan umum

dengan damai dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

dapat dikatakan sebagai instansi yang tidak demokratis dan

melanggar hak asasi warga negara.

Pandangan penulis tentang berbagai hal dalam penjelasan

dan aturan yang ditetapkan oleh undang-undang di atas, tentu

mempunyai tujuan dan makna tentang bagaimana seharusnya aksi

dan tindakan pelaksanaan dari pada demontrasi itu sendiri, yang

dibuat secara struktur dan sistematis. Dengan tujuan bahwa baik

pelaksanaan (pendemo) maupun yang dituju (didemo), haknya

dijamin dengan pagar undang-undang dan aturan yang berlaku,

dengan tujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan

atau terjadinya pelanggaran HAM yang memakan korban jiwa.

H.    Manajemen Aksi Massa

Dorongan terpokok yang melahirkan aksi massa adalah keinginan

massa akan perubahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa demonstrasi

mahasiswa, aksi rakyat, dan gerakan lain dari kelompok

kepentingan dalam rangka mewujudkan mimpi perubahan. Manusia

mempunyai kebutuhan-kebutuhan mendasar yang harus mendapatkan

pemenuhannya. Menurut Hendri Anggoro Mukti, secara sosiologis

ada tiga kategori kebutuhan:

1.      Kebutuhan biologis/primer, yaitu kebutuhan manusiaterhadap hal-hal yang berkaitan langsung dengan jasmanimanusia. Tergolong kebutuhan ini adalah makanan dan

22

minuman, pakaian, bernafas dan istirahat, dan lain-lain.2.      Tergolong kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan yangmendukung terpenuhinya kebutuhan biologis/primer.Tergolong kedalam kebutuhan ini adalah pendidikan,rekreasi, komunikasi, hubungan sosial, dan lain-lain.3.      Kebutuhan spiritual, yaitu kebutuhan-kebutuhanyang menyangkut kerinduan manusia akan hal-hal yangbersifat kerohanian, supranatural, dan metafisik.Misalnya kebutuhan akan shalat, kebaktian, klenteng, danlain-lain.  

Setiap manusia memiliki ketiga jenis kebutuhan tersebut,

karenanya dalam pemenuhannya harus diatur supaya tidak terjadi

penumpukan dan benturan. Peraturan mutlak diperlukan untuk

tujuan keseimbangan dalam masyarakat. Peraturan atau hukumlah

yang menentukan batasan antara hak dan kewajiban antara manusia

yang satu dengan manusia lainnya. Dalam kehidupan sosial

pranata diperlukan untuk mengatur tata kehidupan antar manusia

dalam masyarakat. Pranata sosial menjadi kebutuhan bersama dan

karena itu pula harus disepakati bersama serta dilaksanakan

secara konsisten secara bersama-sama pula.

Hampir tidak ada aksi massa yang berjalan spontan. Umumnya aksi

massa dipersipkan secara matang, mulai dari kekuatan massa yang

akan terlibat, perangkat aksi, isu dan tuntutan serta institusi

yang dituju. Hendri Anggoro Mukti Pada dasarnya aksi massa

melalui tahapan sebagai berikut:

1.      Persiapan

23

Gagasan untuk melakukan aksi massa biasanya lahir dari

adanya syarat objektif bahwa isntitusi/lembaga berwenang tidak

tanggap terhadap persoalan yang dihadapi rakyat. Oleh karena

itu diperlukan adanya tekanan (pressure) massa untuk mendorong

persoalan rakyat menjadi perdebatan luas dan terbuka di intra

parlemen maupun dimuka pendapat umum (public opinion) di luar

parlemen. Semua hal yang berkaitan dengan tekanan mengandalkan

kekuatan massa harus dipersiapkan sehingga dapat berjalan

optimal. Persiapan aksi massa berjalan dalam lingkaran-

lingkaran diskusi yang diorientasikan mampu memunculkan:

1.      Isu/tuntutanIsu atau tuntutan yang akan diangkat dalam aksi massaharus dibicarakan dan diperdebatkan. Penentuan isu sangatpenting karena akan memberi batasan gerak secarakeseluruhan dari proses aksi massa di lapangan.

2.      Prakondisi aksiPrakondisi aksi adalah aktivitas yang dilakukan sebelumaksi massa berlangsung. Pra kondisi tersebut biasanyadalam bentuk aksi penyebaran selebaran, penempelan poster,grafiti action, dst.

3.      Perangkat aksi massaPerangkat aksi adalah mbagian kerja partisipan aksi massa.Perangkat aksi massa disesuaikan dengan kebutuhan,biasanya diperlukan perangkat sebagai berikut:

a.       Koordinator lapangan.b.      Wakil koordinator lapangan.c.       Divisi Acarad.      Humase.       Negosiatorf.       Mobilisatorg.      Kurirh.      Advokasii.        Asisten teritorial/keamanan/sweaper/dinamisator

24

lapangan j.        Logistic dan medical rescuek.      Dokumentasil.        Sentral informasi.[20] 

2.      Kelengkapan Aksi Massa.

Dalam melakukan sebuah aksri, maka sebaiknya dilakukan

beberapa kelengkapan dalam sebuah pelaksanananya, kelengkapan

struktur berupa perangkat aksi massa, dibutuhkan pula

kelengkapan material yang berupa instrumen aksi massa.

         Poster adalah kertas ukuran lebar yang bertuliskantuntutan aksi massa dipermukaanya. Poster berisituntutan aksi yang ditulis tebal dengan spidol atau catagar jelas dibaca oleh massa ditulis dengan singkat danjelas.         Spanduk adalah bentangan kain yang ditulistuntutan-tuntutan atau nama komite aksi yang sedangmenggelar aksi massa.         Selebaran adalah lembaran kertas yang memuatinformasi agitasi dan propaganda kepada massa yang lebihluas agar memberikan dukungan terhadap aksi massa.          Pengeras suara adalah perangkat keras elektronikayang berfungsi memperbesa suara.         Pernyataan sikap/statemen adalah pernyataantertulis yang memberikan gambaran sikap massa terhadapsatu kebijakan satu institusi/perorangan dibacakandibagian akhir proses aksi massa. Penyusunannyadilakukan oleh humas atau divisi logistik.  

Semua aturan di atas sebenarnya mempuyai hakekat yang satu

bahwa komite aksi yang sedang menyelenggarakan aksi massa

mempunyai basis massa yang solid, bersatu, maju, dan tidak

25

dapat dpecah oleh kekuatan dari luar organisasi komite

bersangkutan. Namun demikian komite aksi yang profesional

persoalan nama sudah tidak menjadi hal penting yang perlu

dibicarakan apalagi diperdebatkan, karena hanya akan memakan

waktu yang sia-sia saja. Beberapa organisasi yang namanya sudah

populer dan mapan tak perlu merumuskan nama komite aksi karena

hal yang demikian tidak lagi menjadi kebutuhan.

Salah satu hal yang sering dilupakan orang pada waktu

pelaksanaan demontrasi adalah tahap evaluasi. Dikatakan bahwa,

”Evaluasi adalah tahap akhir dari rangkaian aksi massa.

Merupakan forum atau wadah tempat mengoreksi kesalahan-

kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi

dilapangan yang sebenarnya tidak sesuai dengan setting aksi

massa yang telah disepakati bersama”. Dengan kata lain bahwa,

evaluasi ini berfungsi melahirkan ide-ide baru yang dapat

membagun struktur pemikiran alternatif terhadap pola aksi yang

telah dilaksanakan oleh komite aksi.dialektika pola aksi massa

justru dapat terungkap ketika evaluasi terhadap pelaksanaan

aksi masa digelar.

 

26